Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ISOLASI SENYAWA METABOLIT SEKUNDER DARI
FRAKSI n-HEKSAN RIMPANG TEMU GIRING
(Curcuma heyneana Val. & V.Zijp)
SKRIPSI
RIZKA MEIRISA PUTRI
11141020000037
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2018
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ISOLASI SENYAWA METABOLIT SEKUNDER DARI
FRAKSI n-HEKSAN RIMPANG TEMU GIRING
(Curcuma heyneana Val. & V.Zijp)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Farmasi
RIZKA MEIRISA PUTRI
11141020000037
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2018
iii
iv
v
vi
ABSTRAK
Nama : Rizka Meirisa Putri
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Isolasi Senyawa Metabolit Sekunder dari Fraksi n-Heksan
Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Val. & V.Zijp)
Temu giring merupakan tanaman asli Indonesia, dan sudah sering digunakan oleh
masyarakat Indonesia sebagai obat tradisional seperti obat cacing, obat luka, dan
pelangsing tubuh. Aktivitas biologis temu giring telah dilaporkan diantaranya
sebagai antibakteri, antioksidan, antikanker dan antideabetes. Pada uji pendahulan
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ekstrak etanol temu giring berpotensi
sebagai antiinflamasi dengan metode antidenaturasi protein. Penelitian ini bertujuan
untuk mengisolasi senyawa metabolit sekunder dari rimpang temu giring (Curcuma
heyneana), menentukan strukturnya dan menguji aktivitas antiinflamasi dengan
metode antidenaturasi protein. Isolasi dan pemurnian fraksi heksan temu giring
menggunakan berbagai metode kromatografi dan mendapatkan senyawa E’X
sebanyak 90 mg. analisa data spektroskopi menggunakan 1H-NMR
mengindikasikan bahwa senyawa ini memiliki 4 metil (CH3), dua CH, enam
CH/CH2/CH3 alifatik , 2CH2, proton olefinik dan aromatic atau heterosiklik yang
mirip dengan pola struktur senyawa sesquiterpen. Berdasarkan uji aktivitas
antidenaturasi protein, senyawa E’X pada konsentrasi 0,01 ppm, 0,1 ppm, 1 ppm
dan 10 ppm yang dibandingkan dengan natrium diklofenak dan menunjukkan nilai
P ≤ 0,05 yaitu berbeda bermakna yang berarti akvititas antiinflamasi senyawa E’X
lebih rendah dari natrium diklofenak.
Kata Kunci : Temu Giring (Curcuma heyneana), antidenaturasi protein,
antiinflamasi, Bovine Serum Albumin (BSA).
vii
ABSTRACT
Nama : Rizka Meirisa Putri
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Isolation of Secondary Metabolites Compound from n-
Hexane Fraction of Rhizome Temu Giring (Curcuma
heyneana Val. & V.Zijp)
Temu giring is native plant of Indonesia, and has often been used by Indonesian
people as traditional medicine such as anthelmintic, wound medicine and body
slimming. The biology activities of temu giring has been reported to have
antibacterial, antioxidant, anticancer and antidiabetic. In the preliminary test that
has been carried out indicate that the ethanol extract of temu giring potentially has
anti-inflammatory activity used antidenaturation of protein method. The objective
of this research were to isolate a secondary metabolite compound from rhizomes
temu giring (Curcuma heyneana), elucidated the structure, and determined its
antidenaturation of protein activity. Isolation and purified the hexane fraction of
temu giring was carried out by using chromatographic method and give 90 mg of
E’X compound. Analysis of the 1H-NMR spectroscopic data of E’X indicate that
this compound has 4 methyls (CH3), two CH, six CH/CH2/CH3 aliphatics, 2CH2,
olefinic and aromatic or heterocyclic proton that are similar to the sesquiterpenes
skeleton. Based of antidenaturation of protein activity test, E’X compound at
concentration 0,01 ppm, 0,1 ppm, 1 ppm and 10 ppm were compared to sodium
diclofenac and showed the value P ≤ 0,05 that is significantly different which means
inflammation activity of E’X compound is lower than sodium diclofenac.
Keywords: Temu Giring (Curcuma heyneana), antidenaturation of protein activity,
antiinflammatory, Bovine Serum Albumin (BSA).
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi, Tuhan Yang
Maha Esa, atas segala rahmat, karunia, hidayah serta inayah-Nya, saya dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya
sepenuhnya menyadari, bahwa tanpa bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai
pihak, dari awal masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah
sulit dan penuh rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karna
itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua Orang tua saya, Muchtar Abdullah Kohar dan Qori Harfiati, serta
keluarga yang terus memberi dukungan moril maupun materil.
2. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph. D., Apt. selaku pembimbing pertama dan Ibu
Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt. selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan
waktu, tenaga, pikiran untuk membimbing dan mengarahkan, memberikan
ilmu, masukan dan saran, sejak proposal skripsi, pelaksanaan penelitian sampai
pada penyusunan skripsi.
3. Dr. Arief Soemantri, SKM., M.Kes selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt selaku Kepala Jurusan Program Studi Farmasi
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
5. Segenap Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan
hingga penulis dapat menyelesaikan studi di jurusan Farmasi Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Sahabat-sahabat saya Zakiyyah Hamida Hasibuan, Inez Latanza Vidiyanti,
Mutiara Ayu Lestari, Elsa Melian, Nehta Estania Zahra, Ayu Rahmawati,
Khoirun Nisa, Putri Nuzulia Matany, Nurjihan Fahira, Amajidda Hassyati yang
selalu mengingatkan, membantu dan memberi dukungan kepada saya.
7. Teman-teman seperjuangan cepet S.Farm Muhammad Firman, Luluk
Muchoyaratul, Nehta Estania Zahra, Ferani Nadyn Fatma, Putri Siti Hawa serta
ix
teman angkatan 2014 yang sama-sama berjuang selama 4 tahun untuk
menyelesaikan pendidikan ini.
8. Ka Walid, Ka Eris, Mba Rani, Ka Zaenab dan Pak Rahmadi yang telah menjadi
sahabat di laboratorium selama penelitian.
9. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut
membantu menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan guna tercapainya
kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis
berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi kalangan akaemis
dan dunia ilmu pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa farmasi, serta masyarakat
pada umumnya.
Tangerang Selatan, 5 September 2018
Penulis
x
DAFTAR ISI
COVER .............................................................................................................................. i
COVER ............................................................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........ Error! Bookmark not defined.
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......... Error! Bookmark not defined.
HALAMAN PENGESAHAN ......................................... Error! Bookmark not defined.
ABSTRAK ...................................................................................................................... vi
ABSTRACT ................................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ viii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 3
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 5
2.1 Temu Giring ................................................................................................ 5
2.1.1 Klasifikasi Tanaman.............................................................................. 5
2.1.2 Deskripsi Tanaman................................................................................ 5
2.1.3 Manfaat ................................................................................................. 6
2.1.4 Aktivitas Farmakologi ........................................................................... 6
2.1.5 Kandungan Kimia ................................................................................. 6
2.2 Simplisia ...................................................................................................... 6
2.3 Ekstrak dan Ekstraksi .................................................................................. 7
2.4 Pelarut ......................................................................................................... 9
2.5 Skrining Fitokimia .................................................................................... 10
xi
2.5.1 Flavonoid ............................................................................................ 10
2.5.2 Alkaloid ............................................................................................... 11
2.5.3 Saponin ................................................................................................ 11
2.5.4 Tanin ................................................................................................... 11
2.6 Kromatografi ............................................................................................. 12
2.6.1 Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ........................................................ 12
2.6.2 KLT Preparatif .................................................................................... 13
2.6.3 Kromatografi Kolom ........................................................................... 14
2.6.4 GC-MS (Gas Chromatography – Mass Spectroscopy) ....................... 14
2.7 Spektrofotometer Uv-Vis .......................................................................... 15
2.8 Spektroskopi NMR (Nuclear Magnetic Resonance)................................. 15
2.9 Inflamasi .................................................................................................... 16
2.9.1 Mekanisme Inflamasi Akut ................................................................. 16
2.9.2 Obat-obatan Antiinflamasi .................................................................. 17
2.10 Denaturasi Protein ..................................................................................... 18
2.11 Bovine Serum Albumin (BSA) .................................................................. 18
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................... 20
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 20
3.2 Alat dan Bahan .......................................................................................... 20
3.2.1 Alat ...................................................................................................... 20
3.2.2 Bahan................................................................................................... 20
3.3 Prosedur Kerja ........................................................................................... 21
3.3.1 Determinasi Tumbuhan ....................................................................... 21
3.3.2 Penyiapan Simplisia ............................................................................ 21
3.3.3 Pembuatan Ekstrak .............................................................................. 21
3.3.4 Identifikasi Kandungan Kimia Ekstrak ............................................... 22
xii
3.3.5 Isolasi dan Pemurnian Senyawa Metabolit Sekunder ......................... 23
3.3.6 Analisis Struktur Senyawa .................................................................. 26
3.3.7 Uji In Vitro Aktivitas Antiinflamasi ................................................... 27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 30
4.1 Preparasi Sampel ....................................................................................... 30
4.2 Ekstraksi .................................................................................................... 30
4.3 Penapisan fitokimia ................................................................................... 31
4.4 Isolasi Senyawa Murni .............................................................................. 31
4.5 Penentuan Struktur Senyawa..................................................................... 35
4.6.1 GC-MS ................................................................................................ 35
4.6.2 Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR) ....................................... 36
4.6 Pengujian Antidenaturasi Protein BSA ..................................................... 38
4.6.3 Hasil Uji Aktivitas Antidenaturasi Protein BSA dari Natrium
Diklofenak ..................................................................................................... 38
4.6.4 Hasil Uji Aktivitas Antidenaturasi Protein BSA dari Senyawa E’X .. 39
BAB V PENUTUP ........................................................................................................ 40
5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 40
5.2 Saran .......................................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 41
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Tumbuhan Temu giring ............................................................................ 5
Gambar 2.2 Mekanisme Inflamasi Akut.................................................................... 17
Gambar 4.1 Bagan Kromatografi Kolom Ekstrak Heksan Temu Giring .............. 33
Gambar 4.2 Hasil KLT dari Fraksi E’X pada UV 254 ............................................ 34
Gambar 4.3 Spektrum Hasil GCMS Senyawa E’X ................................................. 35
Gambar 4.4 Pola Fragmentasi Senyawa E’X ............................................................ 36
Gambar 4.5 Spektrum 1H-,NMR Senyawa E’X ....................................................... 37
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Rendemen Ekstrak Etanol Temu Giring ................................................... 31
Tabel 4.2 Hasil Skrining Kandungan Ekstrak Temu Giring .................................... 31
Tabel 4.3 Rendemen Fraksi Hasil Partisi ................................................................... 32
Tabel 4.4 Bobot Fraksi A-F.......................................................................................... 32
Tabel 4.5 Karakteristik Senyawa E’X ........................................................................ 34
Tabel 4.6 Pergeseran Kimia Senyawa E’X ................................................................ 37
Tabel 4.7 Hasil Uji Antidenaturasi Protein BSA dari Natrium Diklofenak .......... 38
Tabel 4.8 Hasil Uji Antidenaturasi Protein BSA dari Senyawa E’X ...................... 39
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Determinasi Sampel .................................................................... 46
Lampiran 2. Bagan Alur Kerja ................................................................................... 47
Lampiran 3. Skema Isolasi Senyawa E’X ................................................................. 48
Lampiran 4. Alur Uji Aktivitas Antidenaturasi Protein BSA ................................. 49
Lampiran 5. Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak ......................................................... 50
Lampiran 6. Perhitungan Rendemen Ekstrak ........................................................... 51
Lampiran 7. Dokumentasi Pembuatan Ekstrak ........................................................ 52
Lampiran 8. Hasil KLT ............................................................................................... 53
Lampiran 9. Dokumentasi Uji antidenaturasi Protein BSA .................................... 55
Lampiran 10. Perhitungan Konsentrasi Na Diklofenak dan Senyawa E’X .......... 56
Lampiran 11. Data Absorbansi Na Diklofenak dan Senyawa E’X ........................ 58
Lampiran 12. Analisa Statistik ................................................................................... 59
Lampiran 13. Hasil 1H-NMR Senyawa E’X ............................................................. 63
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai sumber bahan baku obat-obatan tropis yang
dapat dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai macam penyakit. Begitu pula
Indonesia merupakan salah satu negara pengguna tumbuhan obat terbesar di dunia
bersama dengan negara lain di Asia, seperti Cina dan India. Pemanfaatan tanaman
sebagai obat-obatan juga telah berlangsung selama ribuan tahun yang lalu
(Susiarti, 2015).
Masyarakat Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman
berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam pencegahan penyakit (preventif),
meningkatkan kesehatan (promotif), memulihkan kesehatan (rehabilitatif), dan
penyembuhan (kuratif). Pengetahuan tentang tanaman khasiat obat berdasar pada
pengalaman dan keterampilan secara turun-menurun telah diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya (Sari, 2006).
Tanaman memiliki aktivitas biologi yang dapat dimanfaatkan oleh
manusia. Aktivitas biologi tanaman dipengaruhi oleh jenis metabolit sekunder
yang terkandung didalamnya. Penemuan berbagai senyawa obat baru dari bahan
alam semakin memperjelas peran penting metabolit sekunder tanaman sebagai
sumber bahan baku obat. Metabolit sekunder adalah senyawa hasil biogenesis dari
metabolit primer. Umumnya dihasilkan oleh tumbuhan tingkat tinggi, yang bukan
merupakan senyawa penentu kelangsungan hidup secara langsung, tetapi lebih
sebagai hasil mekanisme pertahanan diri organisme (Lisdawati et al., 2007).
Metabolit sekunder yang dihasilkan tersebut dapat mengobati suatu penyakit
karena memiliki aktivitas farmakologi. Contoh senyawa metabolit sekunder
tersebut adalah alkaloid, flavonoid, fenol dan lain-lain (Setyorini dkk, 2016).
Pada saat ini ada kecenderungan yang lebih besar pada pemakaian obat
alami atau tradisional yang berasal dari tanaman atau herbal karena minimalnya
efek samping obat (Manvi, et al., 2011). Salah satu tumbuhan yang dipakai oleh
masyarakat untuk obat tradisional adalah temu giring (Curcuma heyneana Val. &
V.Zijp). Temu giring merupakan tanaman asli Indonesia. Rimpang dari tumbuhan
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 2
temu giring digunakan untuk perawatan kecantikan secara tradisional sebagai
lulur, mengobati perasaan tidak tenang, obat cacing, menyembuhkan kulit
terkelupas dan luka, serta pelangsing tubuh (Muhlisah, 2007).
Rimpang temu giring mengandung berbagai jenis senyawa
sesquiterpenoid seperti, germacrone, dehydrocurdione, isocurcumenol,
curcumenol, curcumanolides A dan B, zerumbone, dan oxycurcumenol (Firman
K et al., 1988). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Diastuti dkk (2014)
dilaporkan bahwa germacrone, dehydrocurdione, dan 1(10),4(5)-
diepoxygermacrone yang terkandung dalam temu giring memiliki aktivitas
sebagai antibakteri. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rahayu dkk (2018)
dilaporkan temu giring mengandung senyawa dihydrosuberenol dan
demethoxycurcumin yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan, dan pada
penelitian yang dilakukan oleh Cho W dkk (2009) dilaporkan bahwa zedoarindiol
dari temu giring memiliki efek sebagai antiinflamasi dengan penghambatan iNOS,
COX-2 dan sitokin pro-inflamasi.
Temu giring (Curcuma heyneana) telah dilaporkan memiliki berbagai
aktivitas biologis lainnya seperti antikanker (Atun dkk, 2010) dan antidiabetes
(Lukiati et al., 2012), namun masih terbatas pada pengujian aktivitas antiinflamasi
terhadap tanaman tersebut. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan
menyatakan ekstrak etanol dari temu giring aktif sebagai antiinflamasi dengan
menggunakan metode denaturasi protein. Oleh karena itu, perlu dilakukan isolasi
untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder dan pengujian aktivitas biologis
antidenaturasi protein terhadap temu giring (Curcuma heyneana Val) dimana
berdasarkan kandungan kimia dari tanaman dan beberapa penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa tanaman temu giring (Curcuma heyneana Val) memiliki
potensi sebagai antiinflamasi.
Inflamasi didefinisikan sebagai reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau
cedera dan melibatkan lebih banyak respon imun. Inflamasi merupakan respon
fisiologis terhadap berbagai rangsangan seperti infeksi dan cedera jaringan.
Inflamasi dapat lokal, sistemik, akut dan kronis (Bratawidjaja dkk, 2012).
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menguji aktivitas
antiinflamasi adalah dengan menggunkan metode penghambatan denaturasi
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 3
protein dengan Bovine Albumin Serum (BSA) (Williams et al., 2008). Denaturasi
protein pada jaringan adalah salah satu penyebab penyakit inflamasi. Auto-
antigen yang diproduksi pada penyakit inflamasi mungkin bertanggung jawab atas
terjadinya denaturasi protein. produksi auto-antigen pada sejumlah rheumatoid
arthritis kemungkian disebabkan denaturasi protein in vivo. Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu agen tertentu yang dapat mencegah danaturasi protein yang
dapat bermanfaat pada pengembangan obat antiinflamasi (Chandra S et al., 2012).
Penelitian ini dilakukan ini dilakukan untuk mengisolasi metabolit
sekunder dari ekstran n-heksan temu giring (Curcuma heyneana Val. & V.Zijp)
dan mengevaluasi kemungkinan efek antiinflamasi dari hasil isolasi tersebut
terhadap denaturasi protein BSA secara in vitro dengan menggunakan instrument
Spektrofotometer Uv-Visible.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan menyatakan ekstrak
etanol dari temu giring aktif sebagai antiinflamasi dengan menggunakan metode
denaturasi protein BSA. Dengan latar belakang tersebut dilakukanlah penelitian
untuk mengisolasi metabolit sekunder dari fraksi n-Heksana Curcuma heyneana
Val. & V.Zijp dan menguji apakah senyawa tersebut memiliki aktivitas
antiinflamasi dengan metode denaturasi protein BSA.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk:
1. Mengisolasi metabolit sekunder dari fraksi n-heksan Curcuma heyneana Val.
& V.Zijp.
2. Menguji aktivitas antiinflamasi senyawa hasil isolasi secara in-vitro dengan
menggunakan metode penghambatan denaturasi protein BSA.
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 4
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Dapat mengetahui komponen kimia yang terdapat pada tumbuhan temu giring
(Curcuma heyneana Val. & V.Zijp) yang tumbuh di Indonesia.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang aktivitas antiinflamasi
yang terkandung dalam tumbuhan temu giring sehingga dapat berguna untuk
penelitian selanjutnya.
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Temu Giring (Curcuma heyneana Val. & V.Zijp)
2.1.1 Klasifikasi Tanaman (GBIF, 2018)
Kingdom : Plantae
Divisio : Tracheophyta
Class : Liliopsida
Ordo : Zingiberales
Family : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma heyneana Val. & V.Zijp
Gambar 2.1 Tumbuhan Temu giring atau Curcuma heyneana Val. &
V.Zijp
(Sumber: Depkes RI, 1989)
2.1.2 Deskripsi Tanaman
Temu giring merupakan tanaman berbatang semu dengan
ketinggian mencapai 1 meter. Rimpang temu giring berwarna kuning serta
beraroma khas. Daunnya berbentuk runcing dengan tepi rata, berwarna
hijau serta berpelepah yang saling melekat satu dengan yang lain hingga
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 6
membentuk batang semu. Bunga majemuknya berbulu dengan tangkai
yang mencapai 40 cm dan kelopak bunganya berwarna kuning kemerahan.
Sementara buah berbentuk bulat telur berwarna coklat kehitaman.
Tanaman ini tumbuh pada daerah hingga ketinggian 750 mdpl. Temu
giring dijumpai sebagai tanaman liar di hutan jati atau di halaman rumah,
terutama di tempat yang teduh. Pembudidayaan dilakukan dengan setek
rimpang induk atau rimpang cabang yang bertunas (Mursito, 2004).
2.1.3 Manfaat
Bagi masyarakat lokal Indonesia Rimpang dari tumbuhan temu
giring digunakan untuk perawatan kecantikan secara tradisional sebagai
lulur, mengobati perasaan tidak tenang, obat cacing, menyembuhkan kulit
terkelupas dan luka, serta pelangsing tubuh (Muhlisah, 2007).
2.1.4 Aktivitas Farmakologi
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, temu gring
memiliki aktivitas farmakologi sebagai antioksidan (Rahayu dkk, 2018),
antiinflamasi (Cho et al., 2009), antidiabetes (Lukiati et al., 2012), dan
antikanker (Atun dkk, 2010).
2.1.5 Kandungan Kimia
Rimpang temu giring mengandung minyak atsiri yang jumlahnya
tidak kurang dari 1,5% b/v yang memiliki daya antimikroba, selain itu juga
mengandung senyawa berupa kurkumin, tanin, saponin, dan flavonoid
(Depkes RI, 1989). Dan mengandung berbagai jenis senyawa
sesquiterpenoid seperti, germacrone, dehydrocurdione, isocurcumenol,
curcumenol, curcumanolides A dan B, zerumbone, dan oxycurcumenol
serta dihydrosuberenol dan demethoxycurcumin (Rahayu dkk, 2018).
2.2 Simplisia
Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai bahan obat dan
belum mengalami pengolahan apapun, kecuali dinyatakan lain, berupa bahan
yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 7
hewani, dan simplisia pelican (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang
berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat
tumbuhan ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang
dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa
kimia murni (Depkes RI, 2000).
2.3 Ekstrak dan Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa
atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang
telah ditetapkan (Depkes RI, 2000).
Adapun faktor yang mempengaruhi pada mutu ekstrak yaitu faktor biologi
dan faktor kimia (Depkes RI, 2000) :
a. Faktor Biologi
Identitas jenis (spesies) : jenis tumbuhan dari sudut keragaman hayati
dapat dikonfirmasi sampai informasi genetic sebagai faktor internal
untuk validasi jenis (spesies)
Lokasi tumbuhan asal : Lokasi merupakan faktor eksternal, yaitu
lingkungan (tanah dan atmosfer) dimana tumbuha berinteraksi berupa
energi (cuaca, temperatur, cahaya) dan materi (air, senyawa organic dan
anorganik).
Periode pemanenan hasil tumbuhan : faktor ini merupakan dimensi
waktu dari proses kehidupan tumbuhan terutama metabolisme sehingga
menentukan senyawa kandungan.
Penyimpanan bahan tumbuhan : merupakan faktor eksternal yang dapat
diatur karena dapat berpengaruh pada stabilitas bahan serta adanya
kontaminasi (biotik dan abiotik).
Umur tumbuhan dan bagian yang diguanakan.
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 8
b. Faktor Kimia
Faktor Internal, meliputi jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi
kualitatif senyawa aktif, komposisi kuantitatif senyawa aktif, dan kadar
total rata-rata senyawa aktif.
Faktor Eksternal, meliputi metode ekstraksi, perbandingan ukuran alat
ekstraksi (diameter dan tinggi alat), ukuran, kekerasan dan kekeringan
bahan, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat
dan kandungan pestisida.
Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibagi menjadi
dua cara, yaitu cara panas dan cara dingin (Depkes RI, 2000) :
A. Cara Dingin
1) Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan
menggunakan pelarut dalam wadah tertutup dengan beberapa kali
pengocokkan atau pengadukan pada temperature ruangan (Kamar).
Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya.
2) Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperature
kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan,
tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampaidiperoleh
ekstrak (perkolat).
B. Cara Panas
1) Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperature titik
didihnya selama waktu tertentu dan dalam jumlah pelarut terbatas yang
relative konstan dangan adanya pendinginan balik.
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 9
2) Soklet
Soklet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru
yang umumnya dilakukan dengan alat khusu sehingga terjadi ekstraksi
kontinu dengan jumlah pelarut relative konstan dengan adanya
pendinginan balik.
3) Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperature yang lebih tinggi dari temperature ruangan (kamar), yaitu
secara umum dilakukan pada temperature 400-500C.
4) Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperature
penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih,
temperatur terukur 960-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit).
5) Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30 Menit) dan
temperature sampai titik didih air.
2.4 Pelarut
Keberhasilan determinasi senyawa aktif dari tumbuhan tergantug pada
jenis pelarut yang digunakan pada proses ekstraksi. Karakteristik pelarut yang
baik adalah toksisitas rendah, mudah menguap pada pemanasan rendah, berperan
sebagai pengawet, tidak menyebabkan ekstrak membentuk kompleks atau
terdisosiasi. Faktor yang mempengaruhi pemilihan pelarut yaitu fitokimia yang
ingin diekstraksi, kecepatan ekstraksi, keanekaragaman komponen yang
terekstraksi, mudah untuk penggunaan dalam proses selanjutnya, toksisitas
pelarut pada proses bioassay dan potensi bahaya kesehatan dari ekstraktan
(Tiwari, 2011).
1) Alcohol
Aktivitas pelarut yang merupakan alcohol lebih baik dibandingkan
dengan pelarut berupa air. Pelarut berupa alcohol lebih efisien untuk
mendegradasi dinding sel yang bersifat nonpolar sehingga dapat melarutkan
analit yang bersifat polar dan nonpolar. Etanol lebih mudah untuk
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 10
berpenetrasi kedalam membrane sel sehingga dapat mengekstraksi senyawa
didalam sel. Methanol lebih polar dibandingkan dengan etanol namun
bersifat lebih toksik. Etanol dan methanol dapat menarik senyawa polifenol,
flavonoid, saponin, tanin, alkaloid dan terpenoid (Tiwari, 2013).
2) Etil asetat
Etil asetat merupakan pelarut dengan karakteristik semipolar. Etil asetat
secara efektif akan menarik senyawa yang bersifat semipolar seperti fenol
dan terpenoid (Pranoto, dkk, 2012).
3) n-Heksana
n-Heksana mempunyai karakteristik sangat tidak polar, volatile,
mempunyai bau khas yang dapat menyebabkan pingsan. Berat molekul
heksana adalah 86,2 gram/mol dengantitik leleh -94,3oC sampai -95,3 oC.
Titik didih heksana pada tekanan 760 mmHg adalah 66 oC sampai 71 oC
(Daintith, 1994). n-Heksana biasanya digunakan sebagai pelarut untuk
ekstraksi minyak nabati.
2.5 Skrining Fitokimia
Untuk mengetahui aktivitas farmakologi yang dimiliki oleh tanaman maka
harus dilakukan skrining fitokimia. Skrining fitokimia merupakan analisis
kualitatif terhadap senyawa-senyawa metabolit sekunder. Suatu ekstrak dari
bahan alam terdiri atas berbagai macam metabolit sekunder yang berperan dalam
aktivitas biologinya. Senyawa-senyawa tersebut dapat diidentifikasi dengan
pereaksi-pereaksi yang mampu memberikan ciri khas dari setiap golongan dari
metabolit sekunder (Harborne,1987).
2.5.1 Flavonoid
Flavanoid merupakan senyawa polar yang umumnya mudah larut
dalam pelarut polar seperti etanol, menthanol, butanol, aseton, dan lainlain.
(Markham,1988). Flavanoid dalam tumbuhan terikat pada gula sebagai
glikosida dan aglikon flavanoid, Gula yang terikat pada flavanoid mudah
larut dalam air (Harborne, 1987). Flavanoid merupakan golongan terbesar
dari senyawa fenol, senyawa fenol mempunyai sifat efektif menghambat
pertumbuhan virus, bakteri dan jamur. Flavanoid mempunyai bermacam-
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 11
macam efek yaitu, efek antiinflamasi, anti tumor, anti HIV, immune
stimulant, analgesik, antiradang, antifungal, antidiare, antihepatotoksik,
antihiperglikemik dan sebagai vasolidator (De Padua, et al., 1999).
2.5.2 Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar.
Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau
lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem
siklik. Alkaloid sering bersifat racun bagi manusia dan banyak yang
mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol, jadi digunakan secara luas
dalam bidang pengobatan. Alkaloid biasanya berwarna, sering kali bersifat
optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa
cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar (Harbone,1987)
2.5.3 Saponin
Saponin adalah suatu glikosida yang larut dalam air dan mempunyai
karakteristik dapat membentuk busa apabila dikocok, serta mempunyai
kemampuan menghemolisis sel darah merah. Saponin mempunyai
toksisitas yang tinggi. Berdasarkan strukturnya saponin dapat dibedakan
menjadi dua macam yaitu saponin yang mempunyai rangka steroid dan
saponin yang mempunyai rangka triterpenoid. Berdasarkan pada
strukturnya saponin akan memberikan reaksi warna yang karakteristik
dengan pereaksi Liebermann-Buchard (LB) (Harborne, 1987).
2.5.4 Tanin
Tanin merupakan golongan senyawa aktif tumbuhan yang bersifat
fenol, mempunyai rasa sepat dan mempunyai kemampuan menyamak kulit.
Secara kimia tanin dibagi menjadi dua golongan, yaitu tanin terkondensasi
atau tanin katekin dan tanin terhidrolisis (Robinson,1995).
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 12
2.6 Kromatografi
Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan campuran berdasarkan
perbedaan kecepatan perambatan komponen dalam medium tertentu. Istilah
kromatografi berasal dari gabungan kata “Chroma” (warna) dan “Graphein”
(menuliskan). Prinsip pemisahan kromatografi yaitu adanya distribusi
komponen-komponen dalam fase diam dan fase gerak berdasarkan sifat fisik
komponen yang akan dipisahkan. Persyaratan utama kromatografi yaitu ada fase
diam dan fase gerak (fase diam tidak boleh berinteraksi dengan fase gerak),
komponen sampel harus larut dalam fase gerak dan berinteraksi dengan fase
diam, fase gerak harus bisa mengalir melewati fase diam, sedangkan fase diam
harus terikat di posisinya (Adrianingsih, 2009).
2.6.1 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu metode
pemisahan fisika, kimia dan kromatografi cair paling sederhana yaitu
dengan menggunakan plat kaca atau plat alumunium yang dilapisi silica
gel dan menggunakan pelarut tertentu (Harborne, 1987). Pada KLT fase
diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang
datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat alumunium atau plat plastik.
Meskipun demikian, kromatografi planar ini adalah bentuk terbuka dari
kromatografi kolom (Gritter, dkk, 1991).
KLT mempunyai peranan penting dalam pemisahan senyawa
organik maupun senyawa anorganik, karena relatif sederhana dan
kecepatan analisisnya. Di dalam analisis dengan KLT, sampel dalam
jumlah yang sangat kecil ditotolkan menggunakan pipa kapiler di atas
permukaan pelat tipis fasa diam (adsorbent), kemudian pelat diletakkan
dengan tegak dalam bejana pengembang yang berisi sedikit pelarut
pengembang. Oleh aksi kapiler, pelarut mengembang naik sepanjang
permukaan lapisan pelat dan membawa komponen-komponen yang
terdapat dalam sampel (Atun, 2014).
Pemilihan fasa gerak yang tepat merupakan langkah yang sangat
penting untuk keberhasilan analisis dengan KLT. Fase gerak harus
memiliki kemurnian yang tinggi, hal ini dikarenakan KLT merupakan
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 13
teknik yang sensitive. Fase gerak yang digunakan adalah pelarut organic
yang memiliki tingkat polaritas tertentu, mampu melarutkan senyawa, dan
tidak bereaksi dengan adsorban (Gritter, dkk, 1991). Adsorban yang biasa
digunakan sebagai fase diam pada kromatografi lapis tipid antara lain: Gel
silica G, Gel silica GF254, Kieselguhr (mengandung pengikat kalsium
sulfat sebagai penyangga) (Watson, 2009).
2.6.2 KLT Preparatif
Kromatografi lapis tipis preparatif adalah salah satu metode yang
memerlukan pembiayaan paling murah dan memakai peralatan paling
dasar. Walaupun KLTP dapat memisahkan bahan dalam jumlah gram,
sebagian besar pemakainya hanya dalam jumlah miligram. KLTP
bersama-sama dengan kromatografi kolom terbuka masih dijumpai dalam
sebagian besar publikasi mengenai isolasi bahan alam (Hostettmann,
1995).
Ketebalan penjerap (adsorben) yang paling sering dipakai pada
KLTP adalah sekitar 0,5-2 mm. Ukuran plat kromatografi biasanya 20 x
20 cm atau 20 x 40 cm. Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran plat
sudah tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan
KLTP. Penjerap yang paling umum digunakan ialah silika gel dan dipakai
untuk pemisahan campuran senyawa lipofil maupun campuran senyawa
hidrofil (Hostettmann, 1995).
Cuplikan pada KLTP dilarutkan dalam sedikit pelarut sebelum
ditotolkan pada pelat KLTP. Pelarut yang baik adalah pelarut atsiri
(heksana, diklorometana, etil asetat), karena jika pelarut kurang atsiri akan
terjadi pelebaran pita. Konsentrasi cuplikan harus sekitar 5%-10%.
Cuplikan ditotolkan berupa pita yang harus sesempit mungkin, karena
pemisahan tergantung pada lebar pita (Hostettmann, 1995).
Pengembangan plat KLT preparatif dilakukan dalam bejana kaca
yang dapat menampung beberapa plat. Bejana dijaga tetap jenuh dengan
pelarut pengembang dengan bantuan kertas saring yang diletakkan berdiri
disekeliling permukaan bagian dalam bejana (Hostettmann, 2006).
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 14
Kebanyakan Penjerap KLT preparatif mengandung indikator fluorosensi
yang membantu mendeteksi letak pita yang terpisah pada senyawa yang
menyerap sinar ultraviolet (Hostettmann, 1995).
2.6.3 Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom merupakan metode kromatografi
konvensional yang digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa
dalam jumlah banyak berdasarkan adsorpsi dan partisi (Gritter, dkk.,
1991). Pada kromatografi kolom fase diam yang digunakan dapat
berupasilika gel, selulosa atau poliamida. Sedangkan fase geraknya dapat
dimulai dari pelarut nonpolar kemudian ditingkatkan kepolarannya secara
bertahap, baik dengan pelarut tunggal ataupun kombinasi dua pelarut yang
berbeda kepolarannya dengan perbandingan tertentu sesuai tingkat
kepolaran yang dibutuhkan (Stahl, 1969).
Fraksi yang diperoleh dari kolom kromatografi ditampung dan
dimonitor dengan KLT. Fraksi-fraksi yang memiliki pila kromatogram
yang sama digabung kemudian pelarutnya diuapkan sehingga akan
diperoleh beberapa fraksi. Noda pada plat KLT dideteksi dengan lampu
ultraviolet pada panjang gelombang 254 nm atau 366 nm untuk senyawa-
senyawa yang mempunyai gugus kromofor (Stahl, 1969).
2.6.4 GC-MS (Gas Chromatography – Mass Spectroscopy)
Kromatografi gas dan spektrofotometri massa dapat digunakan
untuk memisahkan komponen dengan memberikan waktu retensi dan
puncak elusi yang dapat dimasukkan ke dalam spektrofotometer massa
untuk memperoleh berat molekul, karakteristik dan informasifragmentasi
(Heinrich, 2004). Teknik ini juga dapat digunakan untuk komponen yang
polar (senyawa yang larut dalam air) seperti polihidroksil alkaloid jika
dibuat turunannya dengan komponen yang sesuai (trimetilsilil klorida)
untuk meningkatkan volatilitasnya (Heinrich, 2004).
Kromatografi gas saat ini merupakan metode analisa yang penting
dalam kimia organik untuk menentukan senyawa tunggal dalam
campuran. Spektrofotometri massa sebagai metode deteksi yang
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 15
memberikan data bermakna, yang diperoleh dari penentuan langsung
molekul zat atau fragmen (Heinrich, 2004).
2.7 Spektrofotometer Uv-Vis
Spektrofotometri UV-Vis adalah alat yang digunakan untuk mengukur
serapan yang dihasilkan dari interaksi kimia antara radiasi elektromagnetik
dengan molekul atau atom dari suatu zat kimia pada daerah UV-Vis. Jangkauan
panjang gelombang untuk daerah ultraviolet adalah 190-380 nm, daerah cahaya
tampak 380-780 nm (Ditjen POM, 1995).
Prinsip kerja spektrofotometer Uv-Vis adalah interaksi sinar ultraviolet
atau tampak dengan molekul sampel. Energi cahaya akan mengeksitasi elektron
terluar molekul ke orbital lebih tinggi (Harborne, 1987).
Salah satu syarat senyawa dianalisis dengan spektrofotometri adalah
karena senyawa tersebut mengandung gugus kromofor. Kromofor adalah gugus
fungsional yang mengabsorbsi radiasi ultraviolet dan tampak, jika diikat oleh
gugus ausokrom. Hampir semua kromofor mempunyai ikatan rangkap
berkonjugasi (diena(C=C-C=C), dienon (C=C-C=O), benzen dan lain-lain.
Ausokrom adalah gugus fungsional yang mempunyai elektron bebas, seperti –
OH, N , N , -X (Harmita, 2006).
Sumber radiasi pada spektrofotometer UV-Vis berdasarkan panjang
gelombang terbagi menjadi dua, yaitu lampu deuterium dan tungsten. Lampu
deuterium menghasilkan sinar 160-500 nm. Lampu tungsten digunakan di daerah
sinar tampak 350-3500nm. Sumber radiasi dikatakan ideal jika memancarkan
spectrum radiasi yang kontinyu, intensitasnya tinggi dan stabil pada semua
panjang gelombang.
2.8 Spektroskopi NMR (Nuclear Magnetic Resonance)
Karakterisasi yang dilakukan terhadap senyawa murni adalah dengan
menggunakan alat spektrometer resonansi magnet inti proton (1H-NMR).
Spektrometri resonansi magnet inti proton (1H-NMR) merupakan alat yang
berguna pada penentuan struktur molekul organik. Spektrometri resonansi
magnetik inti proton (1H-NMR) didasarkan pada pengukuran absorbsi radiasi
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 16
elektromagnetik pada daerah frekuensi radio 4-600 MHz atau panjang
gelombang 75-0,5 m, oleh partikel (inti atom) yang berputar di dalam medan
magnet. Teknik ini memberikan informasi mengenai berbagai jenis atom
hidrogen dalam molekul (Harbone, 1987).
Spektrum 1H-NMR memberikan informasi mengenai lingkungan dan
struktur gugusan yang berdekatan dengan setiap atom hidrogen (Harbone, 1987).
Sedangkan spektrometri resonansi magnetik isotop karbon 13 (13C-NMR)
digunakan untuk mengetahui jumlah atom karbon dan menentukan jenis atom
karbon pada senyawa tersebut (Sudjadi, 1985).
2.9 Inflamasi
Inflamasi didefinisikan sebagai reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau
cedera dan melibatkan lebih banyak respon imun. Inflamasi merupakan respon
fisiologis terhadap berbagai rangsangan seperti infeksi dan cedera jaringan.
Inflamasi dapat lokal, sistemik, akut dan kronis (Bratawidjaja dkk, 2012).
Inflamasi berfungsi untuk menghamcurkan, mengurangi, atau
melokalisasi (sekuster) baik agen yang merusak maupun jaringan yang rusak.
Tanda terjadinya inflamasi adalah pembengkakan/edema, kemerahan, panas,
nyeri dan perubahan fungsi (Ramadhani dkk, 2016).
2.9.1 Mekanisme Inflamasi Akut
Inflamasi akut disebabkan oleh pelepasan berbagai mediator yang
berasal dari jaringan rusak, sel mast, leukosit dan komplemen. Mediator-
mediator tersebut menimbulkan edema, kemerahan, sakit, gangguan
fungsi organ yang terkena (Bratawidjaja dkk, 2012).
Saat membran mengalami kerusakan, fosfolipid akan diubah
menjadi asam arakidonat yang dikatalisis oleh fosfolipase A2. Asam
arakidonat selanjutnya akan dimetabolisme melalui dua jalur yaitu,
lipooksigenase dan siklooksigenase (COX). Pada jalur siklooksigenase
menghasilkan prostaglandin (Bratawidjaja dkk, 2012). Prostaglandin
dapat meningkatkan aliran darah ke tempat yang mengalami inflamasi,
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 17
meningkatkan permeabilitas kapiler dan merangsang reseptor nyeri.
Sintesis prostaglandin ini dapat dihambat oleh golongane obat AINS.
Leukotrien merupakan produk akhir dari metabolisme asam arakidonat
pada jalur lipooksigenase. Senyawa ini dapat meningkatkan permeabilitas
kapiler dan meningkatkan adhesi leukosit pada pembuluh kapiler selama
cedera atau infeksi (Corwin, 2008).
Gambar 2.2 Mekanisme Inflamasi Akut
(Sumber: Katzung, 2012)
2.9.2 Obat-obatan Antiinflamasi
Berdasarkan mekanisme Kerjanya, Obat-obat antiinflamasi terbagi
ke dalam golongan:
1.) Antiinflamasi Steroid
Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat fosfolipase, suatu
enzim yang bertanggung jawab terhadap pelepasan asam arakidonat
dari membran lipid. Yang termasuk obat golongan ini adalah:
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 18
prednisone, hidrokortison, deksametason dan betametason (Katzung,
2012).
2.) Antiinflamasi Non Steroid (AINS)
Obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam
arakidonat menjadi prostaglandin menjadi terganggu. Obat golongan
ini adalah: aspirin, COX-2 selektif inhibitor (meloxicam dan
celecoxib), Non-selektif COX inhibitor (diklofenak, indometasin,
ibuprofen, fenilbutazon, peroksikam) (Katzung, 2012).
2.10 Denaturasi Protein
Denaturasi protein merupakan salah satu penyebab inflamasi.
Autoantigen yang diproduksi pada penyakit inflamasi mungkin bertanggung
jawab atas terjadinya denaturasi protein 2. Produksi auto-antigen pada sejumlah
rheumatoid arthtritis kemungkinan disebabkan denaturasi protein in vivo.
Mekanisme denaturasi protein terjadi melalui perubahan ikatan elektrostatik,
hidrogen, hidrofobik dan disulfida (Marisa dkk, 2015).
Denaturasi adalah proses hilangnya struktur tersier dan sekunder protein
atau asam nukleat, akibat tekanan eksternal atau senyawa seperti asam kuat atau
basa, garam anorganik terkonsentrasi seperti pelarut organik (alkohol atau
kloroform), atau panas. Jika protein dalam sel hidup didenaturasi, akan
menimbulkan gangguan terhadap aktivitas sel dan kemungkinan kematian sel
(Marisa dkk, 2015).
2.11 Bovine Serum Albumin (BSA)
Albumin memiliki berat molekul relatif rendah, yang larut dalam air,
mudah mengkristal dan mengandung asam amino. BSA adalah rantai polipeptida
tunggal yang terdiri dari sekitar 538 residu asam amino dan mengandung 17
jembatan rantai disulfide dan 1 kelompok sulfihidril. Serbuk BSA disimpan pada
suhu 2-80C. stabilitas larutan BSA sangat baik. Bahkan, albumin sering
digunakan sebagai stabilisator untuk protein terlarut lainnya (misalnya, enzim
labil). Namun, albumin mudah digumpalkan oleh pemanasan. Ketika dipanaskan
sampai 500C atau diatas, albumin cukup pesat membentuk agregat hidrofobik
yang tidak kembali ke monomer pada saat pendinginan. Pada suhu yang lebih
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 19
rendah agregasi juga diharapkan terjadi, tetapi pada tingkat yang relative lebih
lambat (www.sigma-aldrich.com).
Bovine Albumin Serum (BSA) digunakan untuk stabilisasi enzim selama
penyimpanan dan untuk reaksi enzimatik (Thermo Fisher Scientific, 2012).
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 20
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilksanakan mulai bulan Januari – Juli 2018 dan bertempat di
Laboratorium Analisis Obat dan Pangan Halal serta Laboratorium Farmakognosi
dan Fitokimia Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Blender,
timbangan analitik, pH meter (HORIBA), vortex, thermometer, waterbath
(EYELA), alumunium foil, kertas saring, kapas, labu ukur 250 ml, 100
ml, 25 ml, 10 ml, dan 5 ml (IWAKI PYREX), beaker glass (Schott Duran),
Gelas ukur 100 ml, corong, Erlenmeyer, pipet tetes, tabung reaksi, rak
tabung reaksi, batang pengaduk, spatula, kaca arlogi, plat tetes, cawan uap,
seperangkat alat vacuum rotary evaporator (EYELA), melting point,
mikropipet, botol kaca gelap, corong pisah, buret, statif.
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah
spektrofotometer UV-Visiblel, GC-MS, dan Spektrometer NMR.
3.2.2 Bahan
Sampel tumbuhan yang digunakan adalah rimpang tumbuhan temu
giring Curcuma heyneana Val. & V.Zijp yang diambil pada bulan agustus
2017 dan telah dideterminasi di Herbarium Bogoriense (LIPI), Cibinong,
Bogor.
Media uji yang digunakan adalah Bovine Serum Albumin (BSA)
yang diperoleh dari Sigma-Aldrich
Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
etanol 70%, n-Heksana, etil asetat, metanol, metanol pro analysis,
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 21
aquades, bubuk Gel Silika 60, NaCl, Tris base dan Tris buffer saline.
Reagen kimia antara lain: dragendrof, mayer, asam sulfat, Natrium
hidroksida, asam asetat glasial, kloroform, Ferri klorida, asam klorida,
asam asetat anhidrat.
Standar obat kimia yang digunakan sebagai kontrol positif adalah
Natrium Diklofenak (Dipharma).
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Determinasi Tumbuhan
Sebelum dilakukan penelitian, sampel terlebih dahulu dilakukan
determinasi untuk mengidentifikasi sampel yang akan diteliti. Determinasi
dilakukan di Pusat Penelitian Herbarium Bogoriense, LIPI, Cibinong,
Bogor.
3.3.2 Penyiapan Simplisia
Bahan yang digunakan sebagai simplisia dalam penelitian ini
adalah rimpang tumbuhan temu giring Curcuma heyneana Val. & V.Zijp..
Sampel tumbuhan temu giring Curcuma heyneana Val. & V.Zijp.
disortasi basah dan dilakukan pencucian dengan menggunakan air
mengalir hingga bersih. Selanjutnya sampel dirajang dan dikering
anginkan. Sampel kering, disortasi kering kemudian dihaluskan dengan
menggunakan blender. Serbuk simplisia disimpan dalam wadah tertutup
rapat dan terhindar dari cahaya matahari.
3.3.3 Pembuatan Ekstrak
Simplisia yang telah disiapkan di maserasi pada botol maserasi.
Maserasi dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol 70%. Maserasi
dilakukan berulang sampai maserat tidak berwarna atau bening. Maserat
disaring dengan menggunakan kertas saring. Pelarut diuapkan dengan
menggunakan vacuum rotary evaporator dengan suhu 450C rendemen
dihitung terhadap simplisia awal.
% 𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 =𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ (𝑔)
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔 (𝑔) 𝑥 100
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 22
3.3.4 Identifikasi Kandungan Kimia Ekstrak
a. Uji Alkaloid (Tiwari et al., 2011)
Ekstrak dilarutkan dengan larutan asam klorida encer, kemudian
disaring. Filtrat yang dihasilkan dapat dilakukan pengujian dengan
cara Tes Mayer dan Tes Dragendroff.
1.) Tes Mayer
Filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan
reagen mayer (potassium mercuri iodide). Terbentuknya endapan
warna kuning menunjukkan adanya senyawa alkaloid.
2.) Tes Dragendroff
Filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan
reagen dragendroff (larutan potassium bismuth iodide).
Terbentuknya endapan warna merah menunjukkan adanya
senyawa alkaloid.
b. Uji Fenol (Tiwari et al., 2011)
Ekstrak dari tumbuhan Curcuma heyneana dilakukan pengujian
dengan tes Ferric Chloride. Ekstrak ditambahkan 3-4 tetes larutan
FeCl3 akan terbentuk warna hitam kebiruan yang mengidentifikasikan
senyawa fenol.
c. Uji Flavonoid (Tiwari et al., 2011)
Ekstrak dari tumbuhan Curcuma heyneana diletakan di dalam plat
tetes lalu beberapa tetes NaOH. Terbentuknua kuning intens yang jika
ditambahkan dengan larutan asam, warna kuning akan memudar, hal
ini menunjukkan adanya senyawa Favonoid.
d. Uji Terpenoid dan Steroid
1.) Tes Salkowski
Sejumlah ekstrak dilarutkan dalam kloroform dan disaring.
Kemudian filtrat ditambahkan beberapa tetes asam sulfat dan
dikocok. Terbentuknya warna merah kecokelatan
mengindikasikan adanya senyawa terpenoid (Ayoola, et al, 2008).
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 23
2.) Tes Liebermann Burchard
Sejumlah ekstrak dilarutkan dalam kloroform dan disaring, filtrat
ditambahkan beberapa tetes asam asetat anhidrat, kemudian
dipanaskan dan didinginkan. Selanjutnya larutan ditambahkan
beberapa tetes asam sulfat. Terbentuknya cincin cokelat
mengindikasikan adanya senyawa steroid (Tiwari, et al, 2011).
e. Uji Saponin (Tiwari et al., 2011)
Ekstrak dari tumbuhan Curcuma heyneana dilakukan pengujian
dengan tes Foam dengan melarutkan ekstrak kedalam 2 ml aquades di
dalam tabung reaksi, kemudia larutan dikocok. Terbentuknya foam
tidak kurang dari 10 menit menunjukkan adanya senyawa saponin.
f. Uji Tanin (Ayoola et al., 2008)
Ekstrak dari tumbuhan Curcuma heyneana sebanyak 0,5 gram di
didihkan dalam 10 ml air di dalam tabung reaksi dan kemudian
disaring. Tambahkan beberapa tetes FeCl3 0,1% lalu diamati. Jika
terjadi perubahan warna hijau kecoklatan atau biru kehitaman
menunjukkan adanya senyawa tanin.
3.3.5 Isolasi dan Pemurnian Senyawa Metabolit Sekunder
1) Fraksinasi Cair-Cair
Ekstrak etanol difraksinasi secara bertingkat dengan metode
partisi cair-cair. Proses ini dilakukan dengan menggunakan corong
pisah dengan pelarut n-Heksan terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan
dengan pelarut etil asetat. Proses ini dilakukan hingga fase yang
diinginkan (baik n-Heksan maupun etil asetat) menjadi jernih.
2) Kromatografi Kolom
Ekstrak n-heksana dari temu giring kemudian dilakukan
fraksinasi kembali menggunakan kromatografi kolom. Berikut
penjelasan mengenai kromatografi kolom.
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 24
Penyiapan kolom dilakukan dengan menyumbat kapas
kedalam ujung kolom kromatografi (tempat keluarnya fase gerak),
tidak perlu ditekan kuat. Kemudian kolom dialirkan pelarut n –
heksana sambil menekan kapas agar tidak ada udara terperangkap
diujung kolom kromatografi (tempat keluarnya fase gerak).
Silika gel 60 GF254 digunakan sebagai fase diam. Penyiapan
fase diam menggunakan metode cara basah yaitu fase diam dilarutkan
dengan pelarut di luar kolom kemudian dituang ke dalam kolom
(Saifudin, 2014). Fase diam silika gel 60 ditimbang 30 g dan
ditambahkan pelarut n-heksana secukupnya, kemudian dituang
kedalam kolom. Kolom yang digunakan adalah diameter 2 cm dan
tinggi 17 cm. Teknis kritis pekerjaan penyiapan silika gel yaitu
mengkondisikan silika gel mampat sempurna didalam kolom dengan
cara mengketuk-ketuk kolom sambil dialirkan n-heksana agar silika
gel bebas udara.
Setelah fase diam telah dipersiapkan, ekstrak n-Heksan temu
giring diletakkan diatas silika gel yang telah siap dan dielusi dengan
fase gerak.
Fase gerak yang digunakan merupakan campuran dari berbagai
pelarut n-heksana, etil asetat, dan metanol dengan berbagai
perbandingan. Perbandingan fase gerak yang digunakan berawal dari
tingkat kepolaran yang rendah sampai tingkat kepolaran yang tinggi.
Berikut penjelasannya :
Fase Gerak 1 : n-heksana (1)
Fase Gerak 2 : n-heksana : etil asetat ( 8:2)
Fase Gerak 3 : n-heksana : etil asetat ( 6:4)
Fase Gerak 4 : n-heksana : etil asetat ( 4:6)
Fase Gerak 5 : n-heksana : etil asetat ( 2:8)
Fase Gerak 6 : etil asetat (1)
Fase Gerak 7 : etil asetat : metanol ( 8:2)
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 25
Fase Gerak 8 : etil asetat : metanol ( 6:4)
Fase Gerak 9 : etil asetat : metanol ( 4:6)
Fase Gerak 10 : etil asetat : metanol ( 2:8)
Fase Gerak 11 : metanol (1)
Setiap fase gerak dibuat 250 ml. Fase gerak 1 dimasukkan
kedalam kolom sampai habis 250 ml, lalu dilanjutkan dengan fase
gerak selanjutnya. Hasil kromatografi kolom ditampung dalam vial
yang telah diberi nomor secara berurutan.
3) Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Hasil kromatografi kolom dilakukan analisis pola
pemisahannya kembali dengan kromatografi lapis tipis. Perlakuan ini
dilakukan untuk melihat pola pemisahan dari hasil kromatografi
kolom. Pola pemisahan dari kromatografi lapis tipis dilakukan
identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah menggunakan nilai
Rf . Nilai Rf (Retardation factor) didefinisikan sebagai berikut
(Sastrohamidjojo, 1985) :
𝑅𝑓 = 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑝𝑢𝑠𝑎𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑐𝑎𝑘 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑎𝑤𝑎𝑙
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑏𝑎𝑡𝑎𝑠 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑒𝑙𝑢𝑒𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑎𝑤𝑎𝑙
Jika pola pemisahan belum diindikasikan untuk dapat
dilanjutkan kromatofragi lapis tipis preparatif, maka hasil
kromatografi kolom tersebut dilanjutkan kromatografi kolom kembali.
4) KLT Preparatif
Hasil dari kromatografi kolom akhir, dilakukan proses
selanjutnya yaitu kromatografi lapis tipis preparatif berukuran 10x10
cm. Perlakuannya dengan mentotolkan hasil dari kromatografi akhir
membentuk pita memanjang, lalu dielusi dengan fase gerak yang
sesuai.
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 26
5) Rekristalisasi
Hasil hasil kromatografi kolom berbentuk Kristal dimurnikan
dengan cara rekristalisasi. Kristal yang masih terdapat pengotor
dilarutkan dengan pelarut atau campuran pelarut yang sesuai,
kemudian ditambahkan dengan pelarut dengan tingkat kepolaran
berbeda. Kemudia Kristal dipisahkan dari pengotornya.
6) KLT Dua Dimensi
Identifikasi kemurnian senyawa dilakukan dengan
menggunakan kromatografi lapis tipis dua dimensi. KLT dua dimensi
dilakukan terhadap senyawa yang didapat dari hasil kromatografi lapis
tipis preaparatif. Plat KLT dibuat dengan bentuk bujur sangkar yang
setiap sisinya memiliki ukuran 5 cm. Kemudian senyawa yang ingin
diuji kemurniannya ditotolkan pada salah satu sisi plat dengan pipa
kapiler, selanjutnya plat KLT dielusi dengan fase gerak yang sesuai
dan dibiarkan mengering. Kemudian plat KLT di putar 90o dan dielusi
kembali dengan menggunakan fase gerak yang sama, bercak dilihat
dibawah lampu UV 254 nm.
3.3.6 Analisis Struktur Senyawa
1) GC-MS
Senyawa yang didapatkan ditentukan strukturnya dengan
menggunakan GC-MS. Senyawa dilarutkan dengan methanol pro
analisa kemudian diinjeksikan ke dalam GC-MS.
2) 1H-NMR
Senyawa isolat yang telah didapatkan kemudian diidentifikasi
struktur molekul dengan menggunakan instrument yaitu 1H-NMR
(Proton Nuclear Magnetic Resonance) dengan sistem konsol DD2,
yang beroperasi pada frekuensi 500 MHz (1H) dan 125 MHz (13C).
Senyawa isolat murni dilarutkan dengan 1 ml pelarut khusus untuk
NMR. Kemudian dianalisa dengan menggunakan 1H-NMR. Sebelum
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 27
pengujian, terlebih dahulu dilakukan penyesuaian pada perlakuan
terhadap sampel, pelarut yang digunakan, dan pengaturan instrumen.
3.3.7 Uji In Vitro Aktivitas Antiinflamasi
Pengujian aktivitas antiinflamasi dari fraksi n-heksan tumbuhan
temu giring (Curcuma heyneana) in vitro meliputi tahapan-tahapan yang
diawali dengan pembuatan larutan TBS (Tris Buffer Salline) sebanyak
1000 mL pH 6,2 – 6,5, pembuatan larutan 0,2% BSA (Bovine Serum
Albumin) sebanyak 100 mL, pembuatan kontrol negative sebanyak 5 mL,
pembuatan larutan konsentrasi uji (ekstrak methanol), pembuatan larutan
konsentrasi kontrol positif, pengukuran aktivitas antiinflamasi,
perhitungan presentase penghambatan denaturasi protein dan perhitungan
presentase nilai IC50. Tahapan-tahapan ini dijelaskan sebagai berikut :
1) Pembuatan Larutan TBS (Tris Buffer Saline)
Sebanyak 1,21 gram tris base dan 8,7 gram NaCl dilarutkan
dengan aquades sampai 900 mL. Adjust pH dengan asam asetat glasial
sampai pH 6,2-6,5 (pH patologis) kemudian tambahkan aquadest
sampai 1000 mL dalam labu ukur 1000 mL (Mohan, 2003).
2) Pembuatan 0,2% BSA (Bovine Serum Albumin)
Sebanyak 0,2 gram BSA (Bovine Serum Albumin) dimasukkan
ke dalam labu ukur 100 mL. Kemudian ditambahkan dengan larutan
TBS (Tris Buffer Saline) hingga volume 100 mL (William et al.,
2008).
3) Pembuatan Larutan Kontrol Negatif
Sebanyak 50 μL pelarut metanol lalu ditambahkan larutan
0,2% BSA ke labu ukur hingga volume mencapai 5 mL.
4) Pembuatan Larutan Uji
Sampel dilarutkan dengan metanol pro analisis sehingga
didapatkan konsentrasi 10.000 ppm sebagai larutan induk. Larutan
induk dengan konsentrasi 10.000 ppm dibuat seri konsentrasi,
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 28
sehingga menjadi larutan uji dengan konsentrasi 1000 ppm, 100 ppm,
10 ppm dan 1 ppm.
5) Pembuatan Kontrol Positif
Natrium Diklofenak kemudian dilarutkan dengan Metanol p.a.
sehingga didapatkan larutan dengan konsentrasi 10.000 ppm sebagai
larutan induk. Larutan induk dengan konsentrasi 10.000 ppm dibuat
seri konsentrasi larutan kontrol positif menjadi 1000 ppm, 100 ppm,
10 ppm dan 1 ppm.
6) Pengukuran Aktivitas Antiinflamasi
Sebanyak 50 μL dari setiap konsentrasi larutan (larutan uji dan
larutan kontrol positif) ditambahkan larutan 0,2% BSA hingga volume
mencapai 5 mL. Sehingga menghasilkan varian konsentrasi larutan uji
dan larutan kontrol positif yaitu 0,01 ppm, 0,1 ppm, 1 ppm, 10 ppm,
dan 100 ppm. Kemudian diinkubasi pada suhu 250C selama 30 menit
kemudian dipanaskan selama 5 menit pada suhu 720C, lalu didiamkan
selama 25 menit pada suhu kamar. Larutan divortex dan dilakukan
pengukuran absorbansi dengan spektrofotometri Uv-Visible pada
panjang gelombang 660 nanometer. Uji aktivitas antiinflamasi
dilakukan sebanyak tiga kali (triplo) (Komala et al., 2015).
7) Perhitungan Presentase Penghambatan Denaturasi Protein
Menghitung persentase inhibisi dari denaturasi atau presipitasi
BSA dapat menggunakan rumus sebagai berikut :
% 𝑖𝑛ℎ𝑖𝑏𝑖𝑠𝑖 = 𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 − 𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 𝑥 100 %
Pada pengujian denaturasi BSA, jika senyawa sampel dapat
menghambat denaturasi atau presipitasi BSA dengan persen inhibisi
>20% dianggap memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi (Williams et
al., 2008).
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 29
8) Analisa Data Statistik
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Shapiro-Wilk untuk
melihat distribusi data dan analisis dengan uji Levene untuk melihat
homogenitas data. Jika data normal dan homogenitas maka dilanjutkan
dengan uji Analisa Varians (ANOVA) one way dengan taraf
kepercayaan sehingga dapat diketahui apakah perbedaan yang
diperoleh bermakna atau tidak. Jika data normal dan tidak
homogenitas dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis. (Santoso, 2007).
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Preparasi Sampel
Tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang tumbuhan
temu giring Curcuma heyneana Val. & V.Zijp yang diambil pada bulan agustus
2017 dan telah dideterminasi di Herbarium Bogoriense (LIPI), Cibinong, Bogor
(Lampiran 1). Rimpang di pisahkan dari tanamannya, kemudian dibersihkan
dengan menggunakan air mengalir untuk menghilangkan kotoran. Selanjutnya
sampel dirajang dan dikering anginkan pada suhu kamar.
Pengeringan sampel dilakukan dengan cara diangin-anginkan, tidak
dijemur dibawah sinar matahari langsung bertujuan untuk menghindari terjadinya
kerusakan senyawa akibat pemanasan dan meminimalisir terjadinya kehilangan
senyawa yang mutah menguap apabila kemungkinan dalam tanaman tersebut
mengandung banyak senyawa yang mudah menguap.
Simplisia yang telah kering disortasi kembali dari kotoran-kotoran yang
tertinggal, kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender. Simplisia halus
yang didapatkan sebanyak 1,6 Kg. Simplisia dihaluskan dengan tujuan untuk
memperbesar luas permukaan simplisia sehingga kontak dengan pelarut semakin
besar dan proses ekstraksi pun dapat berjalan lebih maksimal. Simplisia yang telah
halus disimpan dalam wadah bersih, kering dan terlindung dari cahaya untuk
mencegah kerusakan mutu simplisia.
4.2 Ekstraksi
Simplisisa yang telah halus kemudian diekstraksi. Ekstraksi dilakukan
dengan menggunakan ekstraksi cara dingin, yaitu dengan metode maserasi. Pada
maserasi, seluruh simplisia bersentuhan dengan pelarut dalam wadah tertutup
selama periode tertentu dengan beberapa kali diguncang hingga zat terlarut.
Metode ini digunakan karena sangat baik untuk senyawa yang termolabil (Tiwari
et al., 2011). Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol 70%.
Maserasi dilakukan hingga dihasilkan maserat dengan warna bening yang berarti
tidak ada lagi senyawa yang dapat ditarik.
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 31
Maserat yang disaring kemudian dipekatkan dengan vacuum rotary
evaporator dengan suhu ±400C. didapatkan ekstrak etanol sebanyak 129,95 gram.
Rendemen kemudian dihitung berat awal simplisia (Lampiran 6)
Tabel 4.1 Rendemen Ekstrak Etanol Temu Giring
Berat simplisia Berat ekstrak (g) Rendemen (%)
1,6 Kg 129,95 8,121
4.3 Penapisan fitokimia
Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengidentifikasi komponen apa saja
yang terkandung dalam tumbuhan. Dari hasil uji penapisan fitokimia (Lampiran
5) didapatkan hasil sebgai berikut:
Tabel 4.2 Hasil Skrining Kandungan Ekstrak Temu Giring
UJI HASIL UJI
Alkaloid -
Flavonoid +
Terpenoid +
Steroid -
Fenol -
Tanin +
Saponin +
4.4 Isolasi Senyawa Murni
Ekstrak etanol Curcuma heyneana Val. & V.Zijp difraksinasi secara
bertingkat dengan metode partisi cair-cair. Pada teknik partisi cair-cair ini
menggunakan pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda yaitu n-
heksana yang merupakan pelarut non polar, etil asetat yang merupakan pelarut
semi polar dan etanol yang merupakan pelarut polar. Alat yang digunakan yaitu
corong pisah. Dari proses partisi cair-cair, diperoleh ekstrak temu giring heksan
dan etil asetat sebagai berikut:
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 32
Tabel 4.3 Rendemen Fraksi Hasil Partisi
Ekstrak n-heksana Curcuma heyneana tersebut kemudian dilakukan
pemisahan kromatografi kolom. Sebanyak 5 gram ekstrak dimasukkan kedalam
kolom berisi gel silica 60 yang telah disiapkan, kemudian dielusi dengan elusi
gradien. Elusi gradient dilakukan dengan campuran pelarut untuk memisahkan
senyawa berdasarkan tingkat kepolarannya. Elusi isokratik atau eluen dengan
rasio tetap tidak digunakan karena tidak dapat memisahkan ekstrak kasar
(Saifudin, 2014).
Eluen yang digunakan dimulai dengan tingkat kepolaran yang rendah
yaitu n-heksana 100%, n-heksana : etil asetat (8:2, 6:4, 4:6 dan 2:8), etil asetat
100%, etil asetat : methanol (8:2, 6:4, 4:6 dan 2:8) dan methanol 100%.
Didapatkan 283 vial, kemudian setiap nomer ganjil dilakukan KLT dengan eluen
campuran dari n-heksana dan etil asetat 4:1 (Lampiran 8).
Hasil KLT dengan spot sama, kemudian digabungkan. Vial nomor 27-35
digabungkan kemudian dilabel sebagai fraksi A, vial nomor 36-42 digabungkan
kemudian dilabel sebagai fraksi B, vial nomor 43-57 digabungkan kemudian
dilabel sebagai fraksi C, vial nomor 59-77 digabungkan kemudian dilabel sebagai
fraksi D, vial nomor 18-20 digabungkan kemudian dilabel sebagai fraksi E, dan
vial nomor 22-25 digabungkan kemudian dilabel sebagai fraksi F.
Tabel 4.4 Bobot Fraksi A-F
Ekstrak Etanol Fraksi Bobot (g) Rendemen (%)
40,85 n-Heksana 5,1 12,48
Etil asetat 12,73 31,16
Fraksi Nomor Vial Bobot (mg)
A 27-35 740
B 36-42 320
C 43-57 310
D 59-77 220
E 18-20 920
F 22-25 820
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 33
Pada Fraksi E terdapat pemisahan antara endapan minyak dan endapan
kristal, kemudian dilakukan rekristalisasi degan pelarut etil asetat. Kristal tersebut
dilabel dengan fraksi E’X. Selanjutnya E’X dilakukan KLT dan KLT dua dimensi
untuk melihat kemurniannya.
Gambar 4.1 Bagan Kromatografi Kolom Ekstrak Heksan Temu Giring
Yang diberi warna kuning merupakan fraksi yang selanjutnya diujikan
Antidenaturasi protein BSA.
Ekstrak n-heksana
Temu Giring
Vial No.
36-42
Fraksi B
Vial No.
27-35
Fraksi A
Vial No.
22-25
Fraksi F
Vial No.
18-20
Fraksi E
Vial No.
59-77
Fraksi D
Vial No.
43-57
Fraksi C
Kromatografi Kolom
Fase diam : 100 gram Silika Gel
Eluen : n-Heksana, etil asetat dan
methanol (berbagai perbandingan)
digabungkan
Vial No.
23-25
Fraksi
E’3
Vial No.
29-41
Fraksi
E’5
Vial No.
13-18
Fraksi
E’1
Vial No.
5-11
Fraksi
E’-1
Rekristalisasi
Fraksi
E’X
Vial No.
56-89
Fraksi
E’7
Vial No.
43-55
Fraksi
E’6
Vial No.
19-22
Fraksi
E’2
Vial No.
27-28
Fraksi
E’4
Vial No.
12
Fraksi
E’0
Fraksi E & F
Fraksi E’
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 34
2
(a) (b) 1
Gambar 4.2 Hasil KLT dari Fraksi E’X pada UV 254 nm, (a) KLT E’X, (b)
KLT dua dimensi E’X.
KLT dua dimensi digunakan untuk menguji kemurnian suatu senyawa
yang dilihat dari bercak yang dihasilkan dengan kromatografi secara dua arah.
Senyawa dikatakan murni apabila memiliki bercak tunggal setelah dilakukan
pengujian dengan KLT dua dimensi. Hasil KLT dua dimensi dari senyawa E’X
menunjukkan bercak tunggal dengan nilai Rf 0,57 sehingga dapat diindikasikan
bahwa senyawa telah murni.
Tabel 4.5 Karakteristik Senyawa E’X
Bentuk : Kristal
Warna : Putih Bening
Kelarutan : Larut dalam heksan
Bau : Tidak berbau
Bobot : 90 mg
Eluen : 4:1 (Heksan : etil asetat)
Titik leleh : 56-580C
Rf : 0,57
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 35
4.5 Penentuan Struktur Senyawa
4.6.1 GC-MS
Senyawa dianalisis dengan menggunakan alat kromatografi gas-
spektroskopi massa. Senyawa E’X dilarutkan dengan menggunakan
metanol kemudian diinjeksikan ke dalam alat. Pada spektrum
kromatografi gas, jika sampel mengandung banyak senyawa, terlihat dari
banyaknya puncak (peak) dalam spektrum tersebut. Berdasarkan data
waktu retensi yang sudah diketahui dari literatur, bisa diketahui senyawa
apa saja yang ada dalam sampel.
Senyawa E’X diidentifikasi dengan melihat waktu retensi dan pola
fragmentasi yang terlihat. Kromatogram isolat E’X menunjukkan satu
puncak tunggal pada waktu retensi 9,791 menit dan berat molekul 234,1
m/z dengan fragmentasi massa 219 m/z; 201 m/z; 189,1 m/z; 173 m/z; 159
m/z; 147 m/z; 133,1 m/z; 119 m/z; 105 m/z; 91 m/z; 77 m/z; 67 m/z; 55
m/z; dan base peak 44 m/z. Dari satu puncak kromatogram yang
dihasilkan mengindikasikan bahwa isolat E’X telah murni sehingga dapat
dilanjutkan untuk diidentifikasi lebih lanjut.
Gambar 4.3 Spektrum Hasil GCMS Senyawa E’X
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 36
Gambar 4.4 Pola Fragmentasi Senyawa E’X
4.6.2 Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR)
Penentuan struktur dilakukan dengan menggunakan resonansi
magnetik inti proton (1H-NMR). Analisis struktur kimia dengan 1H-NMR,
memungkinkan untuk mengetahui adanya proton dalam suatu struktur
molekul. Data yang dihasilkan berupa pergeseran kimia sebagai ciri
bagian tertentu dari suatu struktur molekul dan dapat membantu
mengidentifikasi setiap gugus suatu senyawa. Analisa 1H-NMR dilakukan
dengan menggunakan pelarut CDCl3, yang beroprasi pada frekuensi 500
MHz (1H).
Analisa dengan 1H-NMR dilakukan terhadap senyawa E’X
sehingga diperoleh data spekrum 1H-NMR seperti pada Gambar 4.4. Hasil
analisa 1H-NMR mengindikasikan senyawa E’X memiliki 4 metil pada δH
1,01 (d, 9H, 3CH3); δH 1,04 (d, 3H, CH3). Terdapat dua CH pada δH 1,17
(s, 1H, CH); δH 2.99 (d, 1H, J= 7.5, CH). Terdapat enam CH/CH2/CH3
alifatik pada δH 1,52-1,60 (m, 13H, CH/CH2/CH3 alifatik ); 1,61-1,68 (m,
15H, CH/CH2/CH3 alifatik ); 1,77-1,81 (m, 12H, CH/CH2/CH3 alifatik );
1,84-1,98 (m, 23H, CH/CH2/CH3 alifatik ); 2,64 (d, 4H, J= 6.75,
CH/CH2/CH3 alifatik ); 2,88 (s, 3H, CH/CH2/CH3 alifatik ). Pada δH 2,10
terdapat 2CH2 (d, 4H, 2CH2) dan pada δH 5,75 dan 6,04 terdapat peak yang
menunjukkan adanya senyawa memiliki proton olefinik dan aromatic atau
heterosiklik.
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 37
Gambar 4.5 Spektrum 1H-,NMR Senyawa E’X
Tabel 4.6 Pergeseran Kimia Senyawa E’X
δH
(Saifudin et al., 2013) δH
Perkiraan Gugus
Fungsi
d, 1.00 1.01 (d, 9H, J= 2.5) 3CH3
1.04 (d, 3H, J= 5) CH3
1.17 (s, 1H) CH
m, 1.51 1.52-1.60 (m, 13H) CH/CH2/CH3 alifatik
m, 1.60 1.61-1.68 (m, 15H) CH/CH2/CH3 alifatik
m, 1.83 1.77-1.81 (m, 12H) CH/CH2/CH3 alifatik
m, 1.88 1.84-1.98 (m, 23H) CH/CH2/CH3 alifatik
d, 2.25 2.10 (d, 4H, J= 7.5) 2CH2
2.64 (d, 4H, J= 6.75) CH/CH2/CH3 alifatik
s, 3.95 2.88 (s, 3H) CH/CH2/CH3 alifatik
2.99 (d, 1H, J= 7.5) CH
s, 5.71 5.75 (s, 3H) Olefinik
6.04 (s, 1H) Aromatik atau
heterosiklik
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 38
Pola struktur senyawa E’X mirip dengan pola struktur senyawa
sesquiterpen yang merupakan senyawa major yang terkandung pada
Curcuma heyneana Val (Saifudin et al., 2013). Struktur senyawa E’X
belum dapat dianalisa karena keterbatasanspektrum yang ada sehingga
informasi yang didapatkan belum cukup.
4.6 Pengujian Antidenaturasi Protein BSA
Senyawa E’X dilakukan uji aktivitas antidenaturasi protein BSA secara in-
vitro. Kontrol positif yang digunakan adalah natrium diklofenak yang sudah
diketahui memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi. Bovine Serum Albumin (BSA)
digunakan karena memiliki keuntungan yaitu praktis dan sederhana dalam
pengerjaannya. Denaturasi protein pada suatu jaringan merupakan salah satu
penyebab dari penyakit inflamasi, oleh karena itu, prinsip tersebut dapat
digunakan untuk pengembangan obat baru.
4.6.3 Hasil Uji Aktivitas Antidenaturasi Protein BSA dari Natrium
Diklofenak
Natrium diklofenak dibuat berbagai variasi konsentrasi yaitu 0,1
ppm, 1 ppm, 10 ppm dan 100 ppm kemudian dilakukan uji antidenaturasi
protein BSA. Hasil uji dapat dilihat dalam tabel 4.8 sebagai berikut:
Tabel 4.7 Hasil Uji Antidenaturasi Protein BSA dari Natrium Diklofenak
Aktivitas antidenaturasi protein natrium diklofenak pada variasi
konsentrasi tersebut memiliki persentase inhibisi lebih besar dari 20%.
Persentase inhibisi tertinggi natrium diklofenak pada konsentrasi 10 ppm
sebesar 68,11%.
Konsentrasi (ppm) % Inhibisi ± SD
0,01 53,62 ± 2,51
0,1 59,42 ± 2,51
1 63,76 ± 2,51
10 68,11 ± 2,51
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 39
4.6.4 Hasil Uji Aktivitas Antidenaturasi Protein BSA dari Senyawa E’X
Senyawa E’X dibuat berbagai variasi konsentrasi yaitu 0,01 ppm,
0,1 ppm, 1 ppm dan 10 ppm kemudian dilakukan uji antidenaturasi protein
BSA. Hasil uji dapat dilihat dalam tabel 4.9 sebagai berikut:
Tabel 4.8 Hasil Uji Antidenaturasi Protein BSA dari Senyawa E’X
Berdasarkan data hasil uji antidenaturasi protein BSA diatas,
senyawa E’X memiliki potensi sebagai antiinflamasi. Menurut Williams
et al., (2008) bahwa senyawa atau ekstrak yang beraktivitas sebagai
antiinflamasi dengan metode penghambatan denaturasi protein jika
persentasi inhibisi denaturasi protein lebih besar dari 20%. Senyawa E’X
memiliki persentase inhibisi >20%, dengan persetase terbesar 39,56%
yaitu pada konsentrasi 10 ppm.
Persentase inhibisi dari senyawa E’X kemudian dibandingkan
dengan persentase inhibisi dari natrium diklofenak dan dilakukan analisa
data statistik menggunakan SPSS 22 Kruskal-Wallis Test dengan P
(signifikansi) ≤ 0,05 yaitu berbeda bermakna terhadap kontrol positif
(natrium diklofenak) yang berarti aktivitas antiinflamasi senyawa E’X
pada setiap konsentrasi lebih rendah dari kontrol positif.
Konsentrasi (ppm) % Inhibisi ± SD
0,01 21,43 ± 0,26
0,1 32,34 ± 3,31
1 38,88 ± 4,72
10 39,56 ± 0,74
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 40
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Hasi isolasi yang di dapat yaitu senyawa E’X yang memiliki karakteristik
organoleptis berbentuk Kristal dan berwarna putih bening dengan hasil KLT
menghasilkan nilai Rf 0,57 dengan pengembang n-heksana : etil asetat (4 : 1).
2. Hasil analisa 1H-NMR mengindikasikan senyawa E’X memiliki 4 metil pada
δH 1,01 (d, 9H, 3CH3); δH 1,04 (d, 3H, CH3). Terdapat dua CH pada δH 1,17
(s, 1H, CH); δH 2.99 (d, 1H, J= 7.5, CH). Terdapat enam CH/CH2/CH3 alifatik
pada δH 1,52-1,60 (m, 13H, CH/CH2/CH3 alifatik ); 1,61-1,68 (m, 15H,
CH/CH2/CH3 alifatik ); 1,77-1,81 (m, 12H, CH/CH2/CH3 alifatik ); 1,84-1,98
(m, 23H, CH/CH2/CH3 alifatik ); 2,64 (d, 4H, J= 6.75, CH/CH2/CH3 alifatik );
2,88 (s, 3H, CH/CH2/CH3 alifatik ). Pada δH 2,10 terdapat 2CH2 (d, 4H, 2CH2)
dan pada δH 5,75 dan 6,04 terdapat peak yang menunjukkan adanya senyawa
memiliki proton olefinik dan aromatic atau heterosiklik. Senyawa E’X diduga
masih termasuk senyawa golongan sesquiterpen.
3. Hasil uji antidenaturasi protein menunjukkan bahwa senyawa E’X berpotensi
sebagai antiinflamasi dengan P ≤ 0,05 terhadap kontrol positif.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan pengambilan sampel yang lebih optimal lagi sehingga bisa
mendapatkan senyawa yang diisolasi lebih banyak.
2. Diperlukan data lebih lanjut untuk penentuan struktur dari senyawa E’X yang
meliputi 13C-NMR dan NMR dua dimensi (HMBC, HSQC dan NOESY).
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut lagi mengenai aktivitas antiinflamasi
dari senyawa E’X.
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 41
DAFTAR PUSTAKA
Adrianingsih, R. 2009. Penggunaan High Performance Liquid Chromatography
(HPLC) Dalam Proses Analisa Ion. Berita Dirgantara, 10(4).
Atun S., dkk. 2010. Efek Sitotoksik Umbi Tumbuhan Temu Giring (Curcuma
heyneana) dan Temu Ireng (Curcuma aeruginosa) Terhadap Beberapa Sel
Kanker. Jurnal Penelitian Saintek, 15(2): 1-9.
Atun, Sri. 2014. Metode Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Bahan
Alam. Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, 8(2), 53-61.
Ayoola, et al. 2008. Phytochemical Screening and Antioxidant Activities of Some
Selected Medicinal Plants Used for Malaria Therapy in Southwestern
Nigeria. Tropical Journal of Pharmaceutical Research, 7(3), 1019-1024.
Bratawidjaja, G.K., Rengganis, Iris. 2012. Imunologi Dasar Edisi ke-10. Jakarta:
Fakultas Kedoketran Universitas Indonesia
BSA (Bovine Albumin Serum). Product Information by Sigma. www.sigma-
aldrich.com. Diakses pada tanggal 08/02/2018, 13.48 WIB
Chandra S., Chatterjee P., Dey P., Bhattacharya S. 2012. Evaluation of in vitro anti-
inflammatory activity of coffee against the denaturation of protein. Asia
Pacific Journal of Tropical Biomedicine, S178-S180.
Cho W., Nam J.W., Kang H.J., Widono T., Seo E.K., Lee K.T. 2009. Zedoarondiol
Isolated From The Rhizoma of Curcuma heyneana is Involved in the
Inhibition of iNOS, COX-2 and Pro-Inflammatory Cytokines Via the
Downregulation of NF-kappaB pathway in LPS-stimulated murine
macrophage. Int Immunopharmacol, 9(9): 49-57.
Corwin, Elizabeth J. 2008. Handbook of Pathophysiology 3th edition. Philadelphia:
Lippincort Williams & Wilkins.
Daintith, J. 1994. Kamus Lengkap Kimia. Terjemahan Suminar Achmadi. Jakarta:
Erlangga.
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 42
De Padua, L. S. D., N. Banyapraphatsara, R. H. M. J., Lemmens. 1999. Plant
Resources of South-East Asia. Prosea Foundation, 180-182.
Departemen Kesehatan RI. 1989. Materia Medika Indonesia Jilid V. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Departemen Kesehatan RI. 1989. Vademekum Bahan Obat Alam. Jakarta: Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan
Diastuti, dkk. 2014. Antibacterial Activity of Germacrane Type Sesquiterpenes from
Curcuma heyneana Rhizome. Indo. J. Chem., 14(1), 32-36.
Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia
Field L D, S. Stenhell, dan J R Kalman. 2007. Organic Structures from Spectra Fourth
Edition. New York: John Wiley and Sons Ltd.
Firman K., et al. 1988. Terpenoids from Curcuma heyneana. Phytochemistry, 27(12),
3887-3891.
Gritter, R, J., Bobbits, J.M, dan A. E. Schwarting. 1991. Introduction to
Chromatography (Pengantar Kromatografi) Edisi ke-2. Bandung: Penerbit
ITB
Harborne, J.B. 1897. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Penerjemah: Kosasih P, Soediro Iwang. Bandung: ITB.
Harmita. 2006. Analisis Kuantitatif Bahan Baku dan Sediaan Farmasi. Depok:
Departemen Farmasi FMIPA Universitas Indonesia.
Heinrich, M., Bernes, J., Gibbons, S., Williansom, M. E. 2004. Fundamental of
Pharmacognosy and Phytotherapy. Philadelpia: Elsevier.
Hostettman K., Hostettman M, Maerston. 1995. Preparative Chromatography
Technique:Application in Natural Product Isolation. diterjemahkan Oleh
Kosasih P. Bandung: Penerbit ITB.
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 43
Komala, et al. 2015. Antioxidant and Anti-inflammatory Activity of the Indonesian
Ferns, Nephrolepis falcate and Pyrrosia lanceolata. International Journal
Pharm Sci, 7(12), 162-165.
Lisdawati, Vivi., Wiryowidagdo, S., Kardono, L., Broto S. 2007. Isolasi dan Elusidasi
Struktur Senyawa Lignan dan Asam Lemak dari Ekstrak Daging Buah
Phaleria macrocarpa. Buletin Penel Kesehatan, 35(3), 115-124.
Lukiati B, et al. 2012. The Effects of Curcuma heyneana Ethanolic Extract on the
Superoxide Dismuase Activity and Histological Pancreas of Type 1 Diabetes
Mellitus Rats. Internatinal Journal Basic and Applied Sciences, 12(2): 22-
30.
Marisa, Donna., dkk. 2015. Potensi Antiinflamasi Jus buah Manggis (Garcinia
mangostana) Terhadap Denaturasi Protein In vitro. Berkala Kedokteran,
11(2), 149-156.
Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. diterjemahkan oleh Kosasih
Padmawinata. Bandung: ITB
Mohan. 2003. Buffers: A Guide fFor The Preparation and Use of Buffers in Biological
Systems. Germany: Calbiochem.
Muhlisah, Fauziah. 2007. Temu-temuan dan Empon-empon Budidaya dan
Manfaatnya. Yogyakarta: Kanisius.
Mursito, B. 2004. Ramuan Tradisional untuk Pelangsing Tubuh. Penebar Swadaya,
Hal. 83
Pavia, D.L., Lampman, G.M., and George S. Kris.. 2001. Introduction to
Spectroscopy: A Guide for Student of Organic Chemistry (third Edition).
Washington: Thomson Learning
Pranoto, E.N., Widodo, F.M., dan Delianis P. 2012. Kajia Aktivitas Bioaktif Ekstrak
Teripang Pasir (Holothuria scabra) Terhadap Jamur Candida albicans. Jurnal
Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan, 1(1), 1-8.
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 44
Pringgoutomo S, Himawan S, Tjarta A. 2002. Buku Ajar Patologi I (Umum) Edisi ke-
1. Jakarta: Sagung Seto.
Ramadhani, Nur. Sumiwi, SA. 2016. Artikel Review: Aktivitas Antiinnflamasi
Berbagai Tanaman Diduga Berasal Dari Flavonoid. Farmaka Suplemen,
14(2), 111-123.
Rahayu, D.U.C. et al. 2018. Antioxidant Activity Of Methanol Extract From
Indonesian Curcuma heyneana Rhizome. European Journal of
Pharmaceutical and Medical Research, 5(3), 582-588.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi Edisi ke-4. Terjemahan:
Kosasih Padmawinata. Bandung: ITB
Saifudin, et al. 2013. Sesquiterpenes from the Rhizomes of Curcuma heyneana.
Journal of Natural Products, 76, 223-229.
Saifudin, Azis. 2014. Senyawa Alam Metabolit Sekunder Teori, Konsep, dan Teknik
Pemurnian Ed.1. Yogyakarta: Deepublish.
Santoso, S. 2007. Menguasai Statistik di Era Informasi dengan SPSS 15. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Sari, L. O. R. K. 2006. Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan Manfaat
dan Keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian, 3(1), 1-7.
Sastrohamidjojo, Hardjono . 1985 . Kromatografi . Yogyakarta : Liberty Yogyakarta.
Setyorini, dkk. 2016. Peningkatan Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Aneka
Kacang sebagai Respon Cekaman Biotik. Iptek Tanaman Pangan, 11(2),
167-173.
Soejoko, Djarwani S., Wahyuni, Sri. 2002. Spektroskopi Inframerah Senyawa
Kalsium Fosfat Hasil Presipitasi. Makara Sains, 6(3).
Stahl, E. 1969. Apparatus and General Techniques in TLC. dalam : Stahl, E. (ed) Thin
Layer Chromatography a Laboratory Handbook. Terj. Dari Dunnschicht
chromatographie, oleh Ashworth, M.R.F. Berlin: Springer-Verlag, 61-77.
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 45
Stahl, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Penerjemah :
Kosasih Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB.
Sujono T.A. et al. 2012. Efek antiinflamasi infusa rimpang temu putih (Curcuma
zedoaria (Berg) Roscoe) pada tikus yang diinduksi karangenin. Biomedika,
4(2), 10-17.
Susiarti S. 2015. Pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan obat masyarakat local di
Pulau Seram, Maluku. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon, 1(5), 1083-1087.
Thermo Fisher Scientific. 2012. Product Information Bovine Serum Albumin (BSA),
Molecular biology grade
Tiwari, P., Kumar, B., Kaur, G., Kaur H. 2011. Phytochemical Screening and
Extraction: A Review. Internationale Pharmaceutica Sciencia, 1(1).
Watson, D,G. 2009. Analisis Farmasi: Buku Ajar untuk Mahasiswa Farmasi dan
Praktisi Kimia Farmasi. Penerjemah: Winny R, Syarief. Edisi kedua. Jakarta:
EGC
Williams et al. 2008. The in vitro Anti-denaturation Effects Induded by Natural
Products and Non-steroidal Compounds in Heat Treated (Immunogenic)
Bovine Serum Albumin is Prposed as a Screening Assay for the Detection of
Anti-inflammatory Compounds, without the uses of Animals, in the Early
Stages of the Drug Discovery Process. West Indian Medicine Journal, 57(4),
327-330.
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 46
Lampiran 1. Hasil Determinasi Sampel
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 47
Lampiran 2. Bagan Alur Kerja
Curcuma heyneana Val. & V.Zijp
Simplisia Curcuma heyneana
Dibersihkan, disortasi
basah, dikeringkan, dan
dihaluskan
Ekstrak Etanol Curcuma heyneana
Fraksinasi Cair-cair
Dimaserasi dengan pelarut etanol
70%, disaring dan dipekatkan dengan
Rotary Evaporator
Ekstrak Etanol
Uji Antiinflamasi Denaturasi Protein BSA
Di partisi dengan pelarut
heksan dan etilasetat dan
dipekatkan
Fase diam: Silika gel G60, Fase gerak:
campuran pelarut etil asetat, heksan dan
metanol dengan berbagai perbandingan
Ekstrak Heksan Ekstrak Etil asetat
KLT
Kromatografi Kolom
Penentuan Struktur Senyawa
GC-MS
Menggunakan 1H-NMR dan
GC-MS
KLT
Non-kristal Kristal
Rekristalisasi
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 48
Lampiran 3. Skema Isolasi Senyawa E’X
Ekstrak n-heksana
Temu Giring
Vial No.
36-42
Fraksi B
Vial No.
27-35
Fraksi A
Vial No.
22-25
Fraksi F
Vial No.
18-20
Fraksi E
Vial No.
59-77
Fraksi D
Vial No.
43-57
Fraksi C
Kromatografi Kolom
Fase diam : 100 gram Silika Gel
Eluen : n-Heksana, etil asetat dan
methanol (berbagai perbandingan)
digabungkan
Vial No.
23-25
Fraksi
E’3
Vial No.
29-41
Fraksi
E’5
Vial No.
13-18
Fraksi
E’1
Vial No.
5-11
Fraksi
E’-1
Rekristalisasi
Fraksi
E’X
Vial No.
56-89
Fraksi
E’7
Vial No.
43-55
Fraksi
E’6
Vial No.
19-22
Fraksi
E’2
Vial No.
27-28
Fraksi
E’4
Vial No.
12
Fraksi
E’0
Fraksi E & F
Fraksi E’
Uji Kemurnian dengan
KLT dua dimensi dan
GCMS
Penentuan struktur
senyawa dengan GCMS
dan 1H-NMR
Uji Aktivitas
Antidenaturasi Protein
BSA
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 49
Lampiran 4. Alur Uji Aktivitas Antidenaturasi Protein BSA
Senyawa E’X dan Natrium
diklofenak dibuat menjadi
berbagai konsentrasi (10 ppm, 1
ppm, 0.1 ppm dan 0.01 ppm)
dengan metanol
Setiap konsentrasi dicuplik 50µL
dan dimasukkan kedalam labu
ukur 5 ml
Larutan 0,2% BSA dalam TBS
dengan pH 6,2-6,5 hingga volume
mencapai 5 ml
Setelah digabungkan masukkan
kedalam tabung reaksi
Dipanaskan di waterbath pada
suhu 720C selama 5 menit
kemudian didinginkan pada suhu
ruang selama 20 menit
Setelah dingin, divorteks kemudian
dilakukan pengukuran %inhibisi denaturasi
protein dengan menggunakan
Spektrofotometer Uv-Vis pada panjang
gelombang 660 nm
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 50
Lampiran 5. Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak
No. Uji Metode Hasil
1 Flavonoid
Alkaline reagent test:
Cuplikan ekstrak pada plat tetes + beberapa
tetes NaOH → kuning intens + beberapa tetes
HCl encer
sebelum
Sesudah
Positif
2 Terpenoid/
steroid
Lieberman-Burchard :
2 ml larutan ekstrak diuapkan dalam cawan
porselen → residu yang terbentuk + 0,5 ml
kloroform + 0,5 ml asam asetat anhidrat + 2 ml
H2SO4 pekat melalui dinding tabung
(+) terpenoid : membentuk cincin
kecoklatan atau violet
(+) steroid : membentuk cincin biru
kehijauan
(+) Terpenoid
(-) Steroid
3 Alkaloid
Mayer Test
Cuplikan ekstrak dilarutkan kedalam 10 ml
campuran aquades : HCl 2 N (9:1) + saring
filtrat + teteskan pereaksi meyer → (+)
terbentuk endapan putih
Positif
4 Senyawa Fenol
Ferric Chloride Test :
Kocok cuplikan ekstrak dengan eter pada
tabung reaksi kemudian pindahkan
kedalam plat tetes + 3-4 tetes larutan
FeCl3 → (+) apabila terbentuk warna biru
kehitaman
Negatif
5 Saponin
Foam test :
0,5 mg ekstrak kental + 2 ml aquades +
kocok kuat hingga berbusa + diamkan
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 51
selama 10 menit → (+) apabila busa tetap
stabil Positif
6 Tannin
Ferric Chloride Test
Ekstrak dalam 10 ml aquades dipanaskan
dalam tabung reaksi + saring + filtrat
ditambahkan FeCl3 → (+) apabila
terbentuk warna biru, hijau, atau biru
kehijauan
Positif
Lampiran 6. Perhitungan Rendemen Ekstrak
1.) Rendemen Ekstrak Etanol
% 𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 =129,95 𝑔𝑟𝑎𝑚
1600 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100 % = 8,121 %
2.) Rendemen Ekstrak Etil asetat
% 𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 =12,73 𝑔𝑟𝑎𝑚
40,85 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100 % = 31,16 %
3.) Rendemen Ekstrak n-Heksana
% 𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 =5,1 𝑔𝑟𝑎𝑚
40,85 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100 % = 12,48 %
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 52
Lampiran 7. Dokumentasi Pembuatan Ekstrak
Simplisia Temu Griring
Botol Maserasi
Penyaringan Maserat
Pemekatan Ekstrak Etanol
Ekstrak etanol temu giring
Ekstrak n-Heksana
T.Griring
Pemekatan Hasil Partisi
Partisi Cair-cair
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 53
Lampiran 8. Hasil KLT
Foto KLT Keterangan
Hasil KLT Fraksi Temu Giring
Heksan dan Etil asetat
Dengan eluen 4:1
Hasil KLT T.Giring Kolom ke-1
vial no. 1-29
Dengan eluen 4:1
Hasil KLT T.Giring Kolom ke-1
vial no. 31-55
Dengan eluen 4:1
Hasil KLT T.Giring Kolom ke-1
vial no. 57-79
Dengan eluen 4:1
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 54
Hasil KLT T.Giring Kolom ke-1
vial no. 15, 17, 19, 21
Dengan eluen 4:1
Hasil KLT Fraksi A, B, C dan D
Dengan eluen 4:1
Hasil KLT Fraksi E dan F
Dengan eluen 4:1
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 55
Lampiran 9. Dokumentasi Uji antidenaturasi Protein BSA
Pembuatan Seri Konsentrasi Senyawa E’X
Sebelum dipanaskan
Setelah dipanaskan dan siap untuk di ukur dengan spektrofotometer uv-vis
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 56
Lampiran 10. Perhitungan Konsentrasi Na Diklofenak dan Senyawa E’X
1. Perhitungan Konsentrasi Na Diklofenak
Sejumlah 10 mg Na diklofenak dilarutkan dalam 1 mL metanol p.a sehingga
didapat konsentrasi larutan induk 10.000 ppm.
10 𝑚𝑔
1 𝑚𝐿=
10.000 µ𝑔
1 𝑚𝐿= 10.000 𝑝𝑝𝑚
Pengenceran Konsentrasi Konsentrasi Akhir Setelah di add
dengan larutan 0,2% BSA
1000 ppm
V1 x 10.000 ppm = 1 mL x 1000 ppm
V1 = 100 µL
1000 ppm menjadi 10 ppm
1000 ppm x 50 µL = 5 mL x M2
M2 = 10 ppm
100 ppm
V1 x 10.000 ppm = 1 mL x 100 ppm
V1 = 10 µL
100 ppm menjadi 1 ppm
100 ppm x 50 µL = 5 mL x M2
M2 = 1 ppm
10 ppm
V1 x 10.000 ppm = 5 mL x 10 ppm
V1 = 5 µL
10 ppm menjadi 0,1 ppm
10 ppm x 50 µL = 5 mL x M2
M2 = 0,1 ppm
1 ppm
V1 x 10.000 ppm = 25 mL x 1 ppm
V1 = 2,5 µL
1 ppm menjadi 0,01 ppm
1 ppm x 50 µL = 5 mL x M2
M2 = 0,01 ppm
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 57
2. Perhitungan Kosentrasi Senyawa E’X
Sejumlah 10 mg Senyawa E’X dilarutkan dalam 1 mL metanol p.a sehingga
didapat konsentrasi larutan induk 10.000 ppm.
10 𝑚𝑔
1 𝑚𝐿=
10.000 µ𝑔
1 𝑚𝐿= 10.000 𝑝𝑝𝑚
Pengenceran Konsentrasi Konsentrasi Akhir Setelah di add
dengan larutan 0,2% BSA
1000 ppm
V1 x 10.000 ppm = 1 mL x 1000 ppm
V1 = 100 µL
1000 ppm menjadi 10 ppm
1000 ppm x 50 µL = 5 mL x M2
M2 = 10 ppm
100 ppm
V1 x 10.000 ppm = 1 mL x 100 ppm
V1 = 10 µL
100 ppm menjadi 1 ppm
100 ppm x 50 µL = 5 mL x M2
M2 = 1 ppm
10 ppm
V1 x 10.000 ppm = 5 mL x 10 ppm
V1 = 5 µL
10 ppm menjadi 0,1 ppm
10 ppm x 50 µL = 5 mL x M2
M2 = 0,1 ppm
1 ppm
V1 x 10.000 ppm = 25 mL x 1 ppm
V1 = 2,5 µL
1 ppm menjadi 0,01 ppm
1 ppm x 50 µL = 5 mL x M2
M2 = 0,01 ppm
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 58
Lampiran 11. Data Absorbansi Na Diklofenak dan Senyawa E’X
1. Natrium Diklofenak
Konsentrasi Absorbansi Absorbansi
Negatif % Inhibisi
Rata-rata
% Inhibisi SD Inhibisi
0.01 ppm
0.011 0.023 52.173913
53.62319 2.51021856 0.011 0.023 52.173913
0.01 0.023 56.5217391
0.1 ppm
0.009 0.023 60.8695652
59.42029 2.51021856 0.009 0.023 60.8695652
0.01 0.023 56.5217391
1 ppm
0.009 0.023 60.8695652
63.76812 2.51021856 0.008 0.023 65.2173913
0.008 0.023 65.2173913
10 ppm
0.007 0.023 69.5652174
68.11594 2.51021856 0.008 0.023 65.2173913
0.007 0.023 69.5652174
2. Senyawa E’X
Konsentrasi Absorbansi Absorbansi
Negatif % Inhibisi
Rata-rata
% Inhibisi SD Inhibisi
0.01 ppm
0.037 0.047 21.2766
21.43077 0.267044528 0.037 0.047 21.2766
0.018 0.023 21.73913
0.1 ppm
0.03 0.047 36.17021
32.34659 3.311352145 0.016 0.023 30.43478
0.016 0.023 30.43478
1 ppm
0.031 0.047 34.04255
38.88375 4.722688326 0.014 0.023 39.13043
0.013 0.023 43.47826
10 ppm
0.028 0.047 40.42553
39.56213 0.747724678 0.014 0.023 39.13043
0.014 0.023 39.13043
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 59
Lampiran 12. Analisa Statistik
1. Uji Normalitas Shapiro-wilk
Tujuan : Untuk melihat data persentase inhibisi denaturasi protein
terdistribusi normal atau tidak.
Hipotesis :
Ho : Data persentase inhibisi denaturasi protein terdistribusi normal
Ha : Data persentase inhibisi denaturasi protein tidak terdistribusi
normal
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikan ≥ 0,05, maka Ho diterima
Jika nilai signifikan ≤ 0,05, maka Ho ditolak
Hasil uji normalitas data persentase inhibisi denaturasi protein
konsentrasi
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statis
tic df Sig. Statistic df Sig.
persen_inhibisi positif 0.01 ppm .385 3 . .750 3 .000
positif 0.1 ppm .385 3 . .750 3 .000
positif 1 ppm .385 3 . .750 3 .000
positif 10 ppm .385 3 . .750 3 .000
sampel 0.01 ppm .385 3 . .750 3 .000
sampel 0.1 ppm .385 3 . .750 3 .000
sampel 1 ppm .187 3 . .998 3 .914
sampel 10 ppm .385 3 . .750 3 .000
Keputusan : Data presentase inhibisi denaturasi protein tidak terdistribusi normal
2. Uji Homogenitas Levene
Tujuan : Untuk melihat data persentase inhibisi denaturasi protein
homogen atau tidak.
Hipotesis :
Ho : Data persentase inhibisi denaturasi protein bervariasi homogen
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 60
Ha : Data persentase inhibisi denaturasi protein tidak bervariasi
homogen
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikan ≥ 0,05, maka Ho diterima
Jika nilai signifikan ≤ 0,05, maka Ho ditolak
Hasil uji homogenitas data persentase inhibisi denaturasi protein
Test of Homogeneity of Variances
persen_inhibisi
Levene Statistic df1 df2 Sig.
2.136 7 16 .099
Keputusan : Data persentase inhibisi denaturasi protein bervariasi homogen
3. Uji Kruskal Wallis terhadap Presentase Inhibisi Denaturasi Protein
Tujuan : Untuk melihat data peresentase inhibisi denaturasi protein
homogen atau tidak.
Hipotesis :
Ho : Data peresentase inhibisi tidak berbeda secara bermakna
Ha : Data peresentase inhibisi berbeda secara bermakna
Pengambilan Keputusan :
Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 Ho ditolak, berarti terdapat perbedaan
Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 Ho diterima, berarti tidak terdapat
perbedaan
Hasil uji Kruskal wallis data presentase inhibisi denaturasi protein
Test Statisticsa,b
persen_inhibisi
Chi-Square 22.127
df 7
Asymp. Sig. .002
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: konsentrasi
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 61
Keputusan : data persentase inhibisi denaturasi protein berbeda secara bermakna,
maka dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan metode LSD
(Least Significance Different).
4. Uji Mann Whitney Presentase Inhibisi denaturasi Protein
Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan peresentase inhibisi denaturasi
protein yang bermakna
Hipotesis :
Ho : Data peresentase inhibisi tidak berbeda bermakna
Ha : Data persentase inhibisi berbeda bermakna
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 Ho ditolak, berarti terdapat perbedaan
Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 Ho diterima, berarti tidak terdapat
perbedaan
Hasil Uji Mann Whitney data persentase inhibisi denaturasi protein
Positif 0,01 ppm dengan sampel 0,01 ppm
Test Statisticsa
persen_inhibisi
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 6.000
Z -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .043
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100b
a. Grouping Variable: Konsentrasi
b. Not corrected for ties.
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 62
Positif 0,1 ppm dengan sampel 0,1 ppm
Test Statisticsa
persen_inhibisi
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 6.000
Z -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .043
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100b
a. Grouping Variable: Konsentrasi
b. Not corrected for ties.
Positif 1 ppm dengan sampel 1 ppm
Test Statisticsa
persen_inhibisi
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 6.000
Z -1.993
Asymp. Sig. (2-tailed) .046
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100b
a. Grouping Variable: Konsentrasi
b. Not corrected for ties.
Positif 10 ppm dengan sampel 10 ppm
Test Statisticsa
persen_inhibisi
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 6.000
Z -2.023
Asymp. Sig. (2-tailed) .043
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100b
a. Grouping Variable: Konsentrasi
b. Not corrected for ties.
Keputusan : Persentase inhibisi senyawa E’X berbeda bermakna terhadap natrium
diklofenak (P ≤ 0,05) pada semua konsentrasi.
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 63
Lampiran 13. Hasil 1H-NMR Senyawa E’X
UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 64