107

journalism gabungan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

journalism gabungan

Citation preview

Page 1: journalism gabungan

artpaper SN

Page 2: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

1

PENGGUNAAN KULIT KAYU PINUS DAN GEL DAUN LIDAH

BUAYA SEBAGAI BIOREGULATOR DAN BIOFUNGISIDA

PADA PEMBIBITAN PANILI

Oleh

I MADE SUKERTA DAN I KETUT SUMANTRA

Jurs. Agroekoteknologi, Fak. Pertanian Univ. Mahasaraswati Denpasar

ABSTRACT

The research with aimed to know the effect of pine bark, aloe vera leaf gel and their

interactions on seedling growth of vanilla and attack intensity of Fusarium sp have

been done from June to October 2010, used a randomized block design with Factorial

pattern, with 3 replications.

The results showed that no significant interaction between the provision of pine bark

and aloe vera gel on seedling growth of vanilla and attack intensisty of Fusarium sp.

The giving of pine bark alone is not able to increase seedling growth of cuttings of

vanilla and lower intensity of Fusarium sp. Aloe vera gel could increased the seedling

growth of vanilla, but no significant different on attack intensity of Fusarium sp. Aloe

vera gel 50% could increased the root length, root dry weight and shoot dry weight

respectively 72.6%, 57.9% and 65.7% compared to without aloe vera gel.

Keywords : pinus, lidah buaya, bibit panili

PENDAHULUAN

Pengembangan panili (Vanilla planifolia Andrews) di daerah-daerah yang

berpotensi sering mengalami hambatan karena kurang tersedianya bibit bermutu dalam

jumlah dan kualitas yang memadai. Perbanyakan tanaman panili yang umum dilakukan

oleh petani adalah dengan stek dengan ukuran minimal lima ruas. (Hartmann dan

Kester, 1978; Purseglove, 1988 dan Ashley, 1980). Cara ini reletif kurang efisien

mengingat perkembangan areal dan kebutuhan bibit semakin meningkat, oleh karena

itu perlu dipikirkan penggunaan stek pendek. Namun demikian penggunaan stek

pendek umumnya dihadapkan pada permasalahan kurangnya keberhasilan tumbuh dan

kurangnya ketegaran tanaman yang dihasilkan (Rosita dkk., 1991). Hal ini sangat

Page 3: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

2

dipengaruhi oleh keseimbangan antara kandungan hormon auksin, karbohidrat dan

nitrogen (Andriance dan Brison, 1967).

Hartman dan Kester (1983) mengatakan auksin berpengaruh sangat nyata

terhadap pembentukan akar stek. Pertumbuhan dan jumlah akar meningkat jika kadar

auksin lebih tinggi dari sitokinin endogen (Tomkins dan Hall, 1991). Yang et al.

(1993) menyatakan bahwa auksin eksogen berpengaruh kuat dalam pemanjangan

batang, meskipun pengaruhnya sangat pendek yaitu 3 sampai 5 jam.

Zat pengatur tumbuh dari kelompok auksin yang banyak dipergunakan untuk

merangsang pertumbuhan akar diantaranya Indole Butyric Acid (IBA), Indole Acetic

Acid (IAA), dan Napthalene Acetic Acid (NAA) (Kusumo, 1984; Sunaryo dan

Sudarsono, 1977). Zat pengatur tumbuh tersebut harganya relatif mahal dan sulit

diperoleh di pasaran bebas. Oleh karena itu perlu dicari alternatif zat pengatur tumbuh

yang dapat terjangkau oleh petani. Penggunaan kulit kayu pinus dan gel daun lidah

buaya sebagai zat pengatur tumbuh (bioregulator ) merupakan alternatif yang perlu

dicoba dan dipertimbangkan, karena bahan-bahan tersebut sangat mudah diperoleh

dengan harga yang murah. Biasanya kulit kayu adalah limbah industri kayu yang

ditumpuk begitu saja, dan bila tumpukannya sudah menggunung lalu dibakar.

Demikian pula untuk memperoleh gel daun lidah buaya, karena hampir sebagian

besar penduduk menanamnya di halaman rumah.

Deroes (1990) menemukan bahwa semua stek persik yang ditanam di media

kulit kayu pinus menunjukkan persentase berakar dan indeks perakaran sangat nyata

lebih tinggi daripada stek-stek yang ditanam pada media vermikulit, tanpa ada

perbedaan yang nyata antara konsentrasi IBA yang digunakan. Hess (1959, dalam

Deroes, 1990) menyebutkan bahwa kulit kayu pinus dapat sebagai auksin ko-faktor,

dan menemukan faktor itu adalah senyawa fenol. Senyawa fenol dari kelompok

catechol dan pyrogalol mempercepat pembentukan akar pada stek kacang buncis. Jika

senyawa-senyawa tersebut diberikan ke stek bersama-sama auksin, pembentukan akar

lebih cepat dan lebih baik (Hess, 1962, dalam, Daroes, 1990).

Penggunaan gel daun lidah buaya sebagai bioregulator telah dicoba pada

beberapa jenis tanaman. Sundahri (1994) menyatakan bahwa pemberian gel lidah buaya

(Aloe vera, L.) secara linier cenderung meningkatkan pertumbuhan akar stek kumis

kucing pada konsentrasi 0 – 12 % dengan perendaman 10 jam.Hal ini diduga karena

Page 4: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

3

gel lidah buaya mengandung zat pengatur tumbuh terutama auksin, asam amino,

vitamin dan mineral yang mampu mendorong pertumbuhan stek (Sundahri, 1994).

Sedangkan pada stek panili dengan konsentrasi 50 % dapat meningkatkan pertumbuhan

jumlah daun, berat kering tunas, dan panjang akar. Namun bila konsentrasinya

ditingkatkan lebih dari 50 %, variabel – variabel pertumbuhan tanaman panili tersebut

menurun (Sumantra, 2002).

Masalah yang dihadapi untuk mendapatkan konsentrasi gel lidah buaya 50 %

diperlukan bahan baku cukup banyak, sehingga perlu dicoba dikombinasikan dengan

penggunaan kulit kayu pinus sebagai bahan baku bioregulator. Namun demikian

kombinasi dari kedua bahan tersebut belum diketahui pengaruhnya terhadap

pertumbuhan bibit stek panili di pembibitan.

Tanaman panili selalu mengalami gangguan baik di lapangan maupun di

pembibitan yang disebabkan oleh jamur fusarium oxysporum (Arya, 1996 dan Santoso,

1988). Kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit ini telah

mengakibatkan menurunnya nilai eksport dan pendapatan petani. Patogen ini dapat

menular dan menyebar melalui bibit / stek (Tombe et al., 1985). Penyebaran penyakit

busuk batang melalui tanah mempunyai arti yang lebih penting karena sering dijumpai

stek yang ditanam pada bekas tanaman yang terserang tidak lama kemudian juga akan

mati karena pangkal batangnya membusuk (Semangun, 1988). Penggunaan fungisida

seperti Menzate dan Dithane M-45 pada bibit sangat dianjurkan untuk mencegah

serangan penyakit busuk batang panili di pembibitan. Penggunaan fungisida sintetis di

atas sangat membahayakan pemakai dan keseimbangan lingkungan karena berpengaruh

buruk terhadap kesehatan dan kelestarian lingkungan. Di samping adanya kenyataan

bahwa harga dari fungisida tersebut relatif mahal dan sulit dijangkau oleh petani.

Senyawa fenolik alami pada kulit kayu beberapa tanaman merupakan senyawa

yang efektif untuk mencegah meluasnya infeksi akibat serangan jamur (Margaret dan

Brian, 1981). Sundahri dkk. (1996) menyatakan bahwa gel lidah buaya (Aloe vera)

ternyata mampu mencegah gangguan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Lebih

lanjut Hok (1988) menyatakan bahwa gel lidah buaya dapat mengendalikan infeksi

bakteri secara efektif dengan biaya yang sangat murah. Disisi lain, penelitian

mengenai penggunaan kulit kayu pinus dan gel lidah buaya sebagai bioregulator

madasupun sebagai biofungisida pada pembibitan panili belum banyak dilaporkan.

Page 5: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

4

Berdasarkan uraian di atas permasalahan dapat dirumuskan adalah apakah

pemberian kulit kayu pinus, pemberian gel lidah buaya dan kombinasinya dapat

meningkatkan pertumbuhan bibit panili dan dapat menekan intensitas serangan

fusarium oxysporum pada pembibitan panili. Penelitian ini dilaksanakan dengan

tujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kulit kayu pinus, pemberian gel daun

lidah buaya serta interaksinya terhadap pertumbuhan bibit panili dan intensitas

serangan fusarium oxysporum.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di desa Ayunan, Abiansemal-Badung dengan

ketinggian tempat + 350 m di atas permukaan laut, mulai dari bulan Juni 2010 sampai

dengan bulan Nopember 2010.

Bahan penelitian yang dipergunakan meliputi : stek panili, kulit kayu pinus,

daun lidah buaya, tanah bekas tanaman panili yang terserang Fusarium oxysporum,

aquades, plastik bening, blabat, , tanah, pasir dan pupuk kandang.. Alat penelitian

yang dipergunakan meliputi : pisau stek, blender, meteran, neraca, petridis, tabung

reaksi, dan lain-lain.

Percobaan ini mempergunakan rancangan Acak Kelompok dengan pola

faktorial yang diulang sebanyak tiga kali. Perlakuan terdiridari dua faktor yaitu

pemberian kulit kayu pinus dan konsentrasi gel lidah buaya. Faktor kulit kayu pinus

terdiri dari dua taraf yaitu tanpa kulit kayu pinus dan diberi kulit kayu pinus.

Sedangkan konsentrasi gel lidah buaya terdiri dari : 0 % ( tanpa gel lidah buaya), 25

%, 50 %, 75 % dan 100 %.

Adapun model matematik dari percobaan ini adalah :

Yijk = U + Bi + Kj + Tk + KjTk + Eijk

dimana :

Yijk = Parameter yang diamati.

U = rata-rata umum

Bi = pengaruh dari blok ke-i

Kj = pengaruh perlakuan ke-j dari faktor kulit kayu pinus

Tk = pengaruh perlakuan ke – k konsentrasi gel lidah buaya

Page 6: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

5

KjTk = pengaruh interaksi antara kulit kayu pinus dengan konsentrasi gel lidah

buaya

Eijk = galat percobaan.

Media pembibitan terdiri atas tanah pasir dan pupuk kandang dengan

perbandingan 3 : 2 : 1 yang sebelumnya diseterilkan terlebih dahulu, selanjutnya

dimasukkan ke dalam polybag berukuran 15 x 25 cm. Perlakuan kulit kayu pinus

sebagai bioregulator dan sebagai biofungisida diambil dari bagian batangnya, yang

sebelumnya dirajang dan dihaluskan , kemudian diaduk dalam media tanah, pasir dan

pupuk kandang. Setiap kantong yang diperlakukan diisi 500 g. kulit kayu. Sebelum stek

panili ditanam dalam polybag terlebih dahulu direndam dalam larutan gel lidah buaya.

Larutan tersebut diperoleh dengan mengupas kulit daun dan dagingnya diblender, untuk

selanjutnya dikonsentrasikan pada level yang diperlakukan yaitu 0%, 25 %, 50 %, 75 %

dan 100%. Dengan cara menambah aquades. Pada perlakuan 0 % tidak terdapat ekstrak

gel daun lidah buaya, sedangkan konsentrasi 100 % tanpa pengenceran dengan

aquades. Kemudian stek direndam selama 10 jam. Setiap unit perlakuan terdiridari 10

(sepuluh) stek. Pemeliharaan tanaman dititikberatkan pada upaya mempertahankan

temperatur dan kelembaban media pembibitan dengan mengatur melalui penyiraman.

Peubah tanaman yang diamati meliputi persentase stek tumbuh, panjang tunas,

jumlah tunas per stek, jumlah dan panjang akar, berat akar, berat tunas dan ratio tunas

akar. Aspek perlindungan tanaman yang diamati meliputi intensitas penyakit busuk

batang dan persentase tanaman terserang.

Data hasil penelitian diolah dengan analisis ragam. Apabila dari hasil analisis

menunjukkan pengaruh nyata sampai sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji Beda

Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5 %.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara pemberian kulit

kayu pinus dengan gel daun lidah buaya menunjukkan pengaruh yang tidak nyata

terhadap persentase setek tumbuh, jumlah daun per tunas, jumlah tunas, panjang tunas,

panjang akar, berat kering akar, berat kering tunas, ratio tunas akar, persentase

tanaman sakit dan intensitas serangan Fusarium. Hal ini menunjukkan bahwa

Page 7: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

6

pemberian gel lidah buaya dan pemberian kulit kayu pinus berpengaruh secara

terpisah. Hal ini diduga bahwa bahan aktif yang terdapat dalam kulit kayu pinus

belum menunjukan aktivitas kimiawinya dalam memacu maupun menghambat

intensitas serangan Fusarium, karena memerlukan waktu untuk melakukan proses

mineralisasi untuk melepas bahan-bahan aktif yang terkandung dalam kulit pinus.

Pemberian kulit kayu pinus sebagai bioregulator tidak menunjukkan

pengaruh yang nyata terhadap persentase setek tumbuh, jumlah tunas, jumlah daun per

tunas, panjang tunas, panjang akar, berat kering akar, berat kering tunas, dan ratio

tunas akar. Demikian juga pemberian kulit kayu pinus berpengaruh tidak nyata

terhadap persentase tanaman sakit dan intensitas serangan Fusarium. Terdapat

kecenderungan bahwa pemberian 500 g kulit kayu pinus menyebabkan penurunan

terhadap persentase tanaman sakit dan intensitas serangan berturut-turut 8,1 % dan

6,04 % dibandingkan dengan tanpa pemberian (Tabel 1).

Terdapat kecenderungan bahwa peran kulit kayu pinus sebagai bioregultaor

dapat meningkatkan persentase setek tumbuh, jumlah tunas, jumlah daun, panjang

tunas, dan panjang akar masing-masing 0,34 %, 1,16 %, 1,16, 0,22 %, 1,71 % dan

1,71 % dibandingkan dengan tanpa pemberiaan ( Tabel 1 ). Terhadap berat kering

akar dan berat kering tunas, pemberiaan kulit kayu pinus cenderung meningkatkan

variable-variabel tersebut berturut-turut 2,5 %, dan 2,38 % dibandingkan dengan

tanpa pemberiaan (Tabel 1)

Tabel 1. Pengaruh tunggal dari pemberian kulit kayu pinus dan gel daun lidah buaya

terhadap pertumbuhan bibit dan intensitas serangan Fusarium

Perlakuan % tase

stek

tumbuh

Jumlah

tunas

(buah)

Jumlah

daun

(helai)

Panjang

tunas

(cm)

Panjang

akar

(cm)

Berat

kering

akar

(g)

Berat

kering

tunas

(g)

Ratio

tunas/

akar

Inten sitas

serangan

(skor)

A0 95,80a 1,96a 8,58a 30,86a 23,44a 0,75a 1,48a 1,946a 2,62a

A1 96,13a 2,33a 8,68a 30,93a 23,84a 0,77a 1,50a 1,943a 2,57a

BNT 5% tn tn tn tn tn tn tn tn tn

B0 91,83b 1,75c 7,51b 27,83c 16,73d 0,57d 1.08d 1,876c 2,71a

B1 98,83a 2,33b 9,75a 34,50a 26,83b 0,88b 1,63b 1,840c 2,58a

B2 98,66a 2,83a 9,90a 34,75a 28,88a 0,90a 1,79a 1,978b 2,63a

Page 8: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

7

B3 97,00a 2,33b 8,26b 29,58b 26,21b 0.83b 1,58b 1,885c 2,63a

B4 93,5b 1,50d 7,71b 27,83c 19,53c 0,62c 1,35c 2,146a 2,45a

BNT 5% 3,05 tn 0,87 1,49 1,67 0,016 0,06 0,08 tn

Analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian gel lidah buaya berpengaruh

nyata sampai sangat nyata terhadap pertumbuhan bibit. Pemberiaan gel lidah buaya 50

% mampu meningkatkan pertumbuhan yang meliputi jumlah tunas, jumlah daun,

panjang tunas, panjang akar, berat kering akar dan berat kering tunas berturut-turut

masing-masing 11,04%, 61,71%, 31,82%, 24,86%, 72,6%, 57,89% dan 65,74%

dibandingkan dengan kontrol. Pengaruh ini diduga disebabkan oleh kuatnya kompetisi

antara calon akar dengan calon tunas dalam memperebutkan cadangan makanan

maupun hormone tumbuh terutama auksin. Fenomena ini menyebabkan calon akar

mampu memobilisasi faktor tumbuh tersebut ke pangkal stek atau pada ruas-ruas stek

yang terbenam di dalam tanah. Kondisi ini memungkinkan bagian-bagian stek yang

berada di dalam tanah menjadi lebih muda kembali (dedifrentiation) sehingga sel-sel

parenchyma lebih terpacu untuk memperpanjang akar. Hal ini terlihat pada Tabel 1

bahwa pemberian gel lidah buaya 50 % dapat meningkatkan secara nyata panjang akar,

berat kering akar dan berat kering tunas masing-masing 72,6 %, 57,9% dan 65,7 %

dibandingkan dengan tanpa gel lidah buaya.

Terbentuknya akar merupakan kunci keberhasilan pembiakan vegetatif dengan

stek. Hartman dan Kester (1978) menyatakan bahwa ada beberapa tahapan yang dilalui

selama perkembangan terbentuknya akar yaitu adanya diferensiasi sel yang diikuti oleh

migrasi dari meristem sel, kemudian terjadi diferensiasi sel untuk membentuk

primordial akar yang terakhir adalah pertumbuhan akar baru. Meningkatnya

pertumbuhan akar berarti akan makin aktif menyerap air dan unsur hara untuk

menunjang proses fisiologi dalam tanaman. Hal ini terlihat bahwa dengan konsentrasi

gel lidah buaya 50 % jumlah daun dan berat kering tunas meningkat masing-masing

31,82 % dan 65,74 % dibandingkan dengan tanpa pemberiaan gel lidah buaya (Tabel

1). Keadaan ini menunjukkan bahwa senyawa-senyawa yang terkandung di dalam gel

lidah buaya mampu sebagai bioregulator pada stek panili. Senyawa-senyawa tersebut

adalah polisakarida terutama glukomanan, asam-asam amino, enzim, asam krisofan,

Page 9: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

8

vitamin, mineral, hormone tumbuh terutama auksin yang dapat memacu pertumbuhan

stek (Afzal et al., 1991).

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan :

1. Interaksi antara pemberiaan kulit kayu pinus dengan pemberian gel lidah buaya

tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan bibit stek panili dan

intensitas serangan dari Fusarium sp.

2. Pemberiaan kulit kayu pinus secara tunggal tidak mampu meningkatkan

pertumbuhan bibit stek panili dan menurunkan intensitas serangan Fusarium sp.

3. Pemberian gel lidah buaya meningkatkan pertumbuhan bibit stek panili, namun

tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan Fusarium sp. Pemberian gel

lidah buaya 50% meningkatkan pertumbuhan panjang akar, berat kering akar dan

berat kering tunas berturut-turut 72,6%, 57,9% dan 65,7% dibandingkan dengan

tanpa gel lidah buaya.

4. Untuk meningkatkan pertumbuhan stek panili dan efisiensi bahan dapat dilakukan

pemberiaan gel lidah buaya 50 %. Namun demikian untuk memantapkan penelitian

ini perlu dikaji tentang tingkat kedewasaan daun gel lidah buaya apa bila

dipergunakan sebagai bioregulator dan biofungisida sebab diduga komposisi

senyawa yang dikandungnya berbeda. Jumlah bahan kulit kayu sebagai

bioregulator dan biofungsida perlu dikaji lebih lanjut terutama waktu aktifitas

mineralisasi dan jumlah yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

Arya, N. 1996. Pengendalian Terpadu Busuk Batang Panili di Daerah Bali. Fak.

Pertanian Unud., Denpasar.

Ashley, J. 1980. The Culture of Vanilla in Uganda. World Crops 32(5):

Page 10: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

9

p. 121 – 129.

Deroes, K.M. 1990. Auksin Ko-faktor pada Kulit Kayu Pinus Sebagai Perangsang

Pembentukan Akar Stek Peach. Prosiding Simposium Hortikultura 13 – 14

Nop. 1990. Fak’ Pertanian UNBRAW. 274 – 281.

Grainge, M. and Ahmed, S. 1987. Hand Book of Plants With Pest – Control

Properties. John Wiley & Sons. 469 p.

Hartman, H.T. and D.E. Kester, 1983. Plant Propagation Principles and Practices.

Prentice Hall, New Jersey, 727 p.

Hok, Y. 1988. Pengaruh Ekstrak Residu Daun Lidah Buaya terhadap Biakan

Bakteri Staphylococcus aureus secara in Vitro. Laporan Penelitian.

FMIPA Unair, Surabaya.

Isbandi, Djoko, 1983. Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Fakultas

Pertanian Universitas Gajahmada, Yogyakarta. 259 h.

Kumar, H.D; H.N. Singh. 1975. Plant Metabolism. The Macmillan Press Ltd,

London and Basingstoke. P. 256 – 274.

Leopold, A.C. and P.E. Kriedemann. 1988. Plant Growth and Development. Tata

Mc. Grow Hill, New Delhi, 545 p.

Margaret L. Vickey and Bria Vicky. 1981. Secondary Plant Metabolism. Univ.Park

Press, Ballimore. p 157 – 181.

Purseglove, J.W.; E.G. Brown;C.L. Green; and Robbins. 1988. Sepcies Vol 2. Jhon

Wiley and Sons, New Work. 813 p.

Rosita, S. Solahuddin, dan Q Mutaqim. 1991. Pengaruh Air Kelapa dan Triakontanol

terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Stek Panili. Pemberitaan

LITTRI XVI (3) : h 123 – 127.

Rosman, R., 2005. Status dan Strategi Pengembangan Panili di Indonesia.

Persvektif 4 (2): h. 43 – 54.

Santoso, H.B. 1989. Panili, Budidaya dan Analisa Ekonomi. Sinar Baru,

Bandung. 72 h.

Sumantra, K. 2002. Pengaruh Gel Aloe Vera Terhadap Pertumbuhan Stek Panili.

Mahawidya Saraswati (56): 17 -19 .

Sundahri. 1994. Efektivitas Gel Lidah Buaya Terhadap Perakaran Stek Kumis

Kucing. Laporan Penelitian, FAPERTA UNEJ. 11 h.

Page 11: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

10

Sundahri, H.B. Setyawan, dan S.Kardi. 1996. Efektivitas Gel Lidah Buaya

sebagai Zat Perangsang pada Distribusi Sifat Pertumbuhan Stek Pendek

Panili. Laporan Hasil Penelitian PPSLPT – ADB. 28 h.

Suprapta, D.N. 2001. Pengembangan Pestisida Nabati Untuk Mendukung

Pertanian Organik. Makalah Seminar Pertanian Organik dan Prospek

Pengembangannya di Bali. Fakultas Pertanian Universitas Udayana,

Denpasar. 8 h.

Tombe, Mesak; D. Sitepu, H. Sastraatmadja dan S. Sastrasuwignyo. 1985.

Kemungkinan Pengendalian Penyakit Busuk Batang Panili Secara Biologi.

Risalah Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Jakarta 29 – 31

Oktober 1985.

Tomkins, J.P. and Hall. 1991. Stimulation of Alfalfa Bud and Shoot

Development With Cytokinin. Agronomi Journal 83 (3) : 577 – 581 pp.

Yang, T.D.M. Law and P.J. Davies. 1993. Magnitude and Kinetics of Stem

Elongation Induced by Exogenous Indole – 3 – Acetic Acid in Intact Light

Grown Pea Seedling. Plant Physiology 102 (3) : 717 – 724 pp.

Page 12: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

11

PELESTARIAN TANAMAN BAMBU SEBAGAI UPAYA

REHABILITASI LAHAN DAN KONSERVASI TANAH DI

DAERAH SEKITAR MATA AIR PADA LAHAN

MARGINAL DI BALI TIMUR

Oleh :

I DEWA NYOMAN RAKA, I G.N. ALIT WISWASTA,

I MADE BUDIASA

ABSTRAK

Dewasa ini pemerintah telah menggalakkan upaya rehabilitasi lahan dan

konservasi tanah seperti penghijauan dan reboisasi. Kegiatan itu dimaksudkan untuk

mempertahankan kesuburan tanah, memulihkan lahan kritis, serta memperbaiki tata air.

Upaya perbaikan lahan yang telah rusak tersebut dapat dilakukan dengan melestarikan

tanaman bambu sebagai tanaman reboisasi dan rehabilitasi. Dengan melestarikan

bambu, lahan yang telah rusak akan kembali memberikan fungsinya dengan baik dalam

waktu yang cukup cepat, sehingga sumberdaya alam hutan, tanah dan air dapat berdaya

guna dan berhasil guna bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui partisipasi masyarakat dalam

pelestarian tanaman bambu untuk menanggulangi lahan marginal/kritis di Bali Timur,

(2) membuat bahan kampanye ke masyarakat berupa Leaflet terkait tanaman bambu

dalam upaya menanggulangi lahan kritis, (3) membuat bahan ajar yang terkait

konservasi untuk kalangan mahasiswa.

Penelitian ini adalah penelitian, field experiment dan survei, sampel ditentukan

secara purposive sampling di 30 desa yang memiliki kawasan lahan marginal/kritis di

Bali Timur. Hasil Penelitian menemukan partisipasi masyarakat dalam pelestarian

tanaman bambu untuk menanggulangi lahan marginal/kritis 76,00% kuat, dan melalui

demplot tanaman bambu diketahui terjadi peningkatan debit air sebesar 10%.

Disarankan kepada pemerintah desa untuk turut berperan aktif melalui pembuatan

awig-awig desa dalam pelestarian tanaman bambu untuk menanggulangi lahan

marginal/ kritis.

Page 13: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

12

Kata kunci : Lahan Marginal, Tanaman Bambu, Partisipasi Masyarakat

PENDAHULUAN

Lahan kritis adalah lahan yang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena

mengalami proses kerusakan fisik, kimia, maupun biologi yang pada akhirnya

membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, pemu-kiman dan

kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Lahan kritis juga disebut sebagai lahan

marginal yaitu lahan yang memiliki beberapa faktor pembatas, sehingga hanya sedikit

tanaman yang mampu tumbuh. Faktor pembatas yang dimaksud adalah faktor

lingkungan yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman, seperti unsur hara, air, suhu,

kelembaban dan sebagainya. Jika terdapat salah satu saja faktor pembatas pertumbuhan

tanaman tersebut yang kurang tersedia, maka tumbuhan juga akan sulit untuk hidup

(dalam keadaan tercekam).

Petani yang tidak dapat bercocok tanam karena lahannya marginal atau kritis,

selain penghasilannya berkurang, pengeluarannya bertambah banyak untuk

merehabilitasi lahannya yang tidak produktif tersebut. Oleh karenanya, fungsi

sumberdaya alam seperti lahan dan mata air perlu dilestarikan agar dapat memberikan

manfaat yang optimal. Perlu adanya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah secara

intensif terutama pada lahan di sekitar mata air dengan berbagai jenis tanaman seperti

tanaman bambu dan rumput akar wangi.

Pelaksanaan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) di Bali sampai

lima tahun terakhir telah berhasil dilaksanakan dalam bentuk reboisasi seluas 825 ha,

dan yang berhasil kurang dari separuhnya yaitu hanya 350 ha. Rendahnya tingkat

keberhasilan usaha rehabilitasi dan konservasi tanah yang telah dilakukan tersebut

disebabkan dalam pelaksanaan rehabilitasi mengalami kendala seperti : (1) anggaran

yang tersedia sangat terbatas, (2) waktu pelaksanaan terlalu pendek, (3) dalam memilih

lokasi kegiatan tidak memperhatikan potensi yang ada, dan (4) pemilihan tanaman tidak

sesuai dengan kesesuaian tempat tumbuh dari tanaman yang akan dikembangkan.

Daerah-daerah yang memiliki lahan kering di Bali secara administratif meliputi

Kabupaten Buleleng (kecamatan Kubutambahan, Sawan, Buleleng, Sukasada, Banjar,

Seririt, Busungbiu); Kabupaten Tabanan (kecamatan Pupuan); Kabupaten Bangli

Page 14: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

13

(kecamatan Kintamani); dan Kabupaten Karangasem (keca-matan Kubu, Abang, dan

Karangasem) dengan total luas wilayah 70.424 ha mempunyai lahan kritis 240 ha dan

potensi kritis mencapai 10.615 ha (Departemen Kehutanan, 2005).

Lahan kering di Kabupaten Bangli dan Karangasem ada dua macam yaitu lahan

kering produktif yang luasnya sekitar 40 % dari luas lahan kering yang ada, yang dari

segi agroekoklimat dapat diusahakan sebagai lahan pertanian/ perkebunan terutama

tanaman jeruk, kopi dan tanaman keras lainnya untuk Kabupaten Bangli dan tanaman

salak, kelapa dan tanaman keras lainnya untuk Kabupaten Karangasem. Sebagian lagi

sekitar lebih kurang 60 % dari luas lahan kering yang ada merupakan lahan marginal

atau lahan kritis yang dapat diusahakan oleh petani jika ada air atau hanya pada musim

hujan saja.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Bambu

Bambu merupakan tanaman yang secara botanis dapat digolongkan pada famili

Gramineae (rumput). Bambu mudah menyesuaikan diri dengan kondisi tanah dan cuaca

yang ada, serta dapat tumbuh pada ketinggian sampai dengan 3800 m di atas

permukaan laut. Bambu tumbuh berumpun dan memiliki akar rimpang, yaitu semacam

buhul yang bukan akar maupun tandang. Bambu memiliki ruas dan buku. Pada setiap

ruas tumbuh cabang-cabang yang berukuran lebih kecil dibandingkan dengan buluhnya

sendiri. Pada ruas-ruas ini, tumbuh akar-akar yang memungkingkan untuk

memperbanyak tanaman dari potongan-potongan setiap ruasnya, disamping tunas-tunas

rimpangnya. Bambu merupakan tanaman yang memiliki banyak kegunaan mulai dari

benda kerajinan, bahan makanan, bahan industri, sampai kepada bahan konstruksi.

Diantara pemanfaatan bambu antara lain digunakan sebagai topi, kursi, meja, lemari,

alat musik angklung, sayur (rebung), kertas, dan bahan bangunan. Kegunaan ini t idak

hanya dikenal dibeberapa negara saja melainkan hampir di seluruh dunia sejak dahulu

kala. Setidaknya ada tiga kelebihan bambu jika dibandingkan dengan tanaman kayu-

kayuan antara lain:

1) Tumbuh dengan Cepat

Page 15: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

14

Bambu merupakan tanaman yang dapat tumbuh dalam waktu yang singkat

dibandingkan dengan tanaman kayu-kayuan. Dalam sehari bambu dapat bertambah

panjang 30-90 cm. Rata-rata pertumbuhan bambu untuk mencapai usia dewasa

dibutuhkan waktu 3-6 tahun. Pada umur ini, bambu memiliki mutu dan kekuatan

yang paling tinggi. Bambu yang telah dipanen akan segera tergantikan oleh batang

bambu yang baru. Hal ini berlangsung secara terus menerus secara cepat sehingga

tidak perlu dikhawatirkan bambu ini akan mengalami kepunahan karena dipanen.

Berbeda dengan kayu, setelah ditebang akan memerlukan waktu yang cukup lama

untuk menggantinya dengan pohon yang baru.

2) Tebang Pilih

Bambu yang telah dewasa yakni umur 3-6 tahun dapat dipanen untuk digunakan

dalam berbagai keperluan. Dalam pemanenan dapat dilakukan dengan dua cara

yaitu dengan metode tebang habis dan tebang pilih. Tebang habis yaitu menebang

semua batang bambu dalam satu rumpun baik batang yang tua maupun yang muda.

Metode ini kurang menguntungkan karena akan didapatkan kualitas bambu yang

berbeda-beda dan tidak sesuai dengan yang diinginkan, selain itu akan memutuskan

regenarasi bambu itu sendiri. Metode tebang pilih adalah metode penebangan

berdasarkan umur bambu. Metode ini sangat efektif karena akan didapatkan mutu

bambu sesuai dengan yang diinginkan dan kelansungan pertumbuhan bambu akan

tetap berjalan.

3) Meningkatkan Volume Air Bawah Tanah

Tanaman bambu memiliki akar rimpang yang sangat kuat. Struktur akar ini

menjadikan bambu dapat mengikat tanah dan air dengan baik. Dibandingkan

dengan pepohonan yang hanya menyerap air hujan 35-40% air hujan, bambu dapat

menyerap air hujan hingga 90 %.

Berkaitan dengan upaya penghijauan, maka tanaman hijau yang sebaiknya

ditanam adalah tanaman bambu, bukan tanaman kayu-kayuan ataupun buah-buahan.

Alasan ini berdasarkan pada prediksi seorang ahli iklim NASA bernama dr. H. J.

Zwally yang mengatakan bahwa hampir semua es di kutub utara akan lenyap pada

akhir musim panas 2012 akibat pemanasan global. Tanaman bambu dapat tumbuh

dengan cepat yang hanya membutuhkan waktu sekitar tiga tahun saja, dibandingkan

Page 16: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

15

dengan tanaman kayu-kayuan dan buah-buahan yang memerlukan waktu yang cukup

lama untuk mencapai usia dewasa. Selain itu, dalam hal penyerapan Karbon Dioksida,

bambu lebih banyak menyerap Karbon Dioksida dari pada tanaman kayu-kayuan

ataupun buah-buahan. Studi menunjuk-kan bahwa satu hektar tanaman bambu dapat

menyerap lebih dari 12 ton karbon dioksida di udara. Ini merupakan jumlah yang cukup

besar. Dengan melestarikan hutan bambu, berarti kita telah memiliki mesin penyedot

karbon dioksida dalam kapasitas yang besar

Lahan Marginal

Menurut Suprapto dkk. (2000), lahan marginal pada umumnya merupakan lahan

kurus akan unsur hara, ketersediaan air terbatas hanya tergantung dari curah hujan yang

ada. Petani pada lahan ini pada umumnya petani kecil dengan perekonomian rendah

dan pendapatan rendah sehingga sangat berpengaruh dalam berusahatani yang masih

tradisional dan subsisten. Lebih lanjut dinyatakan bahwa petani pada lahan marginal

pada umumnya hanya mengandalkan hujan sebagai sumber air untuk berusahatani

sehingga saat musim kemarau hampir sebagian besar lahan diberakan. Keadaan seperti

ini menyebabkan tingkat produktivitas lahan dan pendapatan petani menjadi rendah.

Seiring dengan meningkatnya teknologi dibidang pertanian, maka telah diperkenalkan

beberapa teknik penyediaan air seperti pompanisasi, penampungan air hujan dengan

cubang, dan teknik pemanenan air hujan dengan embung yang dapat dipergunakan

untuk kebutuhan rumah tangga dan berusahatani.

Munculnya lahan-lahan marginal ini akibat dari penanganan konservasi tanah

dan air yang masih sangat minim, bahkan tidak ada sama sekali. Selain dari

perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat pedalaman, maraknya penebangan

hutan secara liar telah mengakibatkan semakin luasnya lahan-lahan marginal.

Konservasi Tanah dan Air

Menurut Sitanala Arsyad (1989), Konservasi Tanah adalah penempatan setiap

bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan

memperlakukkannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi

kerusakan tanah. Sedangkan konservasi Air menurut Deptan (2006) adalah upaya

penyimpanan air secara maksimal pada musim penghujan dan pemanfaatannya secara

Page 17: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

16

efisien pada musim kemarau. Konservasi tanah dan konservasi air selalu berjalan

beriringan dimana saat melakukan tindakan konservasi tanah juga di lakukan tindakan

konservasi air.

Konservasi tanah dan air merupakan cara konvensional yang cukup mampu

menanggulangi masalah erosi, kekurangan air dan kahat unsur hara. Dengan

menerapkan sistem konservasi tanah dan air diharapkan bisa menanggulangi erosi,

menyediakan air dan meningkatkan kandungan hara dalam tanah serta menjadikan

lahan tidak kritis lagi. Ada 3 (tiga) metode dalam melakukan konservasi tanah dan air

yaitu metode fisik dengan pegolahan tanahnya, metode vegetatif dengan memanfaatkan

vegetasi dan tanaman untuk mengurangi erosi dan penyediaan air serta metode kimia

yaitu memanfaatkan bahan-bahan kimia untuk mengawetkan tanah.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan sebagai penelitian field experiment, dan survei,

dilakukan deskripsi fakta terhadap partisipasi masyarakat dalam pelestarian tanaman

bambu untuk menanggulangi lahan marginal/kritis di Bali Timur, serta pembuatan

experiment berupa demonstrasi plot budidaya tanaman bambu.

HASIL DAN PEMBAHASA

Keberadaan Mata Air di Lokasi Penelitian

Berdasarkan survai lapangan yang telah dilakukan mengenai keberadaan mata

air di tempat lokasi penelitian ternyata jumlah mata air yang ada adalah sebagai berikut

: di Kabupaten Karangasem meliputi Kecamatan Kubu sebanyak 6 mata air, 2 mata air

telah ada pendistribusian/perpipaan, 3 mata air ternyata airnya surut atau tidak berair

pada musim kemarau, Kecamatan Abang ada 4 mata air, 1 mata air telah ada

perpipaan/pendistribusian dan 2 mata air ternyata airnya surut atau tidak berair pada

musim kemarau; di Kabupaten Bangli, Kecamatan Kintamani ada 4 mata air, 1 mata air

telah ada perpipaan/ pendistribusian, dan 2 mata air dalam keadaan tidak berair pada

musim kemarau. Kebanyakan mata air dengan debit air yang cukup besar berada dekat

daerah hutan dan bahkan di dalam hutan.

Page 18: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

17

Kendala yang dihadapi masyarakat untuk memperoleh air disebabkan

ketersediaan air yang sangat terbatas, ketersediaan air hanya bergantung dari curah

hujan yang ada. Keadaan curah hujan pada daerah tersebut di atas berkisar antara 1.200

– 1.400 mm per tahun dengan musim penghujan yang pendek antra 4 – 5 bulan dan

bervariasi mulai dari bulan Nopember – Desember dan berakhir bulan Maret – April.

Demplot Tanaman Bambu di Sekitar Mata Air di Lokasi Penelitian

Melalui demplot tanaman bambu dengan berbagai jenis tanaman bambu yang

memiliki nilai khususnya bagi masyarakat Hindu Bali, nampak bahwa setelah sepuluh

bulan sejak penanaman terjadi peningkatan debit air pada sumber mata air didekat

demplot, namun belum menunjukkan kondisi yang signifikan. Peningkatan terjadi

kurang dari 10% hal ini disebabkan curah hujan yang masih rendah, disamping akar

tanaman bambu belum cukup banyak/signifikan untuk menyerap/menahan air hujan.

Jenis tanaman bambu yang ditanam pada demplot meliputi : (1) bambu jajang

aya (Gigantochloa aya), merupakan jenis bambu ukuran besar dan memiliki ketinggian

sampai dengan 15 meter dan diameter 12 sentimeter, (2) bambu jajang taluh

(Gigantochloa taluh), merupakan jenis bambu yang memiliki warna batang hijau

keputih-putihan, dan (3) bambu kedampal (Sahizostachyum cestaneum), merupakan

jenis bambu yang memiliki batang pendek dan buluh tipis, warna batang hijau

Berdasarkan pengamatan dilapangan, nampak bahwa pelestarian tanaman

bambu merupan langkah yang sangat tepat dalam upaya penanggulangan sumber mata

air pada lahan marginal di Bali Timur, karena dalam pelestariannya tidak dibutuhkan

waktu yang cukup lama karena bambu dapat mencapai usia dewasa pada umur 3-6

tahun. Selain itu, penanaman bambu tidak memerlukan biaya yang cukup besar seperti

kayu-kayuan karena tanaman bambu merupakan tanaman rakyat yang mudah dan

murah didapatkan dibandingkan dengan kayu-kayuan. Disamping hal tersebut tanaman

bambu memiliki akar rimpang yang sangat kuat. Struktur akar ini menjadikan bambu

dapat mengikat tanah dan air dengan baik. Dibandingkan dengan pepohonan yang

hanya menyerap 35-40% air hujan, bambu dapat menyerap air hujan hingga 90 %.

Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Tanaman Bambu

Page 19: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

18

Analisis deskriptif tentang partisipasi masyarakat dalam pelestarian tanaman

bambu meliputi (1) partisipasi dalam perencanaan, (2) partisipasi dalam pelaksanaan,

dan (3) partisipasi dalam pemanfaatan.

Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pelestarian tanaman bambu

Perencanaan memegang peranan yang sangat penting dalam suatu kegiatan

karena keberhasilan suatu kegiatan tergantung dari perencanaan yang disusun

sebelumnya. Dimensi partisipasi di dalam perencanaan kegiatan pelestarian tanaman

bambu meliputi (1) pencurahan atau sumbangan pikiran yaitu pemberian gagasan-

gagasan yang berhubungan dengan perencanaan kegiatan, yang mana gagasan tersebut

bisa diterima sebagai masukan (input) bagi keberhasilan suatu perencanaan, (2)

pencurahan atau sumbangan materiil yaitu besarnya materiil atau dana yang

disumbangkan pada perencanaan, dan (3) pencurahan atau sumbangan tenaga yaitu

besarnya atau banyaknya tenaga yang dicurahkan (ikut bekerja) pada perencanaan

kegiatan tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian, nampak bahwa sebagian besar (69,70%)

partisipasi masyarakat dalam perencanaan kegiatan pelestarian tanaman bambu

termasuk dalam kategori tinggi, masyarakat hampir semuanya tahu kenapa kegiatan

pelestarian tanaman bambu perlu dilaksanakan, dan masyarakat secara aktif telah

membuat perencanaan kegiatan pelestarian tanaman bambu khususnya di lahan

marginal di Bali Timur. Hal ini disebabkan masyarakat mengetahui bahwa tanaman

bambu mampu menyerap air hujan, disamping itu masyarakat memahami bahwa

tanaman bambu merupakan salah satu jenis tanaman yang paling banyak digunakan

masyarakat Bali dalam kehidupan sehari-hari. Hampir di setiap upacara keagamaan,

bambu pasti digunakan, baik daun maupun batangnya.

Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pelestarian tanaman bambu

Sama halnya dengan perencanaan, dimensi partisipasi di dalam pelaksanaan

kegiatan pelestarian tanaman bambu mencakup : (1) pencurahan atau sumbangan

pikiran, (2) pencurahan atau sumbangan materiil, (3) pencurahan atau sumbangan

tenaga pada pelaksanaan kegiatan tersebut.

Page 20: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

19

Berdasarkan hasil penelitian, nampak bahwa lebih dari dua pertiga responden

(70,20 %) partisipasi masyarakat dikategorikan cukup tinggi dalam pelaksanaan

kegiatan pelestarian tanaman bambu. Masyarakat telah mengetahui manfaat yang

diperoleh dari kegiatan pelestarian tanaman bambu, masyarakat juga telah mengetahui

bahwa kegiatan pelestarian tanaman bambu bermanfaat bagi pendidikan generasi muda

di masa mendatang, karena tanaman bambu dapat meningkatkan debit air pada sumber

mata air di sekitar lahan marginal, sehingga tanah dapat lebih produktif. Namun,

pemerintah diharapkan dapat memberikan sosialisasi atau penyuluhan yang lebih

intensif lagi mengingat lahan marginal di Bali Timur yang cukup luas.

Partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan pelestarian tanaman bambu

Pada umumnya besarnya partisipasi seseorang atau sekelompok orang dalam

suatu kegiatan sangat tergantung pada sejauh mana maksud dan tujuan dari kegiatan

tersebut dan sejauh mana pula dapat memberikan manfaat bagi kepentingannya. Dalam

hal ini manfaat penerapan kegiatan pelestarian tanaman bambu apakah memberikan

kontribusi yang besar secara finansial bagi masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian, nampak bahwa hanya 9,09% partisipasi

masyarakat dalam pemanfaatan kegiatan pelestarian tanaman bambu berada dalam

kategori rendah, dengan kata lain 90,01% dalam katagori tinggi. Hal ini disebabkan

motivasi masyarakat cukup kuat untuk memanfaatkan kegiatan pelestarian tanaman

bambu sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan ketersediaan air pada lahan

marginal di Bali Timur.

Partisipasi masyarakat secara kumulatif dalam kegiatan pelestarian tanaman

bambu

Partisipasi masyarakat terhadap kegiatan pelestarian tanaman bambu secara

komulatif dapat diukur berdasarkan hasil akumulasi dari (1) partisipasi dalam

perencanaan kegiatan, (2) partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan, dan (3) partisipasi

dalam pemanfaatan kegiatan.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan masih ada masyarakat (12,12%) yang

memiliki katagori rendah dalam kegiatan pelestarian tanaman bambu. Oleh karena itu

partisipasi masyarakat terhadap kegiatan pelestarian tanaman bambu harus terus

Page 21: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

20

ditingkatkan, guna mencapai tujuan yang dinginkan yaitu ketersediaan air pada lahan-

lahan marginal di daerah Bali Timur, sehingga lahan-lahan marginal dapat lebih

produktif dalam peningkatan produksi nasional.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal,

yaitu :

1) Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pelestarian tanaman bambu dalam katagori

tinggi

2) Demplot tanaman bambu pada umur 10 bulan dari penanaman telah mampu

meningkatkan debit air, meskipun belum cukup siginifikan.

Saran – Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan dan pembahasan dapat disarankan hal-hal

sebagai berikut :

1) Pembinaan dan penyuluhan perlu dilaksanakan lebih intensif guna lebih

meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pelestarian tanaman bambu

2) Untuk keberhasilan tindakan kegiatan pelestarian tanaman bambu di Daerah Bali

Timur, maka dalam pemilihan jenis tanaman bambu agar dipilih jenis tanaman

bambu yang diperkirakan paling banyak dan telah biasa dikembang-kan oleh

penduduk setempa.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I W Sandi., 2006. Study of Monitoring Land Use Cahanges and Erosion in

the Highland of Bali. Ph..D. Thesis Graduate School of Science and Technoloy,

CHIBA University, Japan

Arsyad, S., 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB Press, Bogor

Asdak, C., 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Penerbit Gajah

Mada University Press, Yogyakarta

Page 22: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

21

Bank Dunia, 1993, Rumput Vetiver. Pagar Hidup Penahan Erosi. Terjemahan Yayasan

Ekoturin – East Proverty Project Bali – Indonesia.

Cusack, V., 1999, Bamboo World. The Growing and Use of Clumping Bamboos.

Kangaroo Press NSW – Australia.

Darmadi, 1995. Dasar-dasar Pengelolaan DAS. Balai Teknologi Pengelolaan DAS,

Badan Litbang Kehutanan, Bahan Alih Teknologi Stasiun Pengamat Arus

Sungai II, Surakarta.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Informasi Teknik Rehabilitasi dan

Konservasi Tanah. Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.

Departemen Kehutanan, 1994. Pedoman Penyusunan Pola Rahabilitasi Lahan dan

Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Direktorat Jenderal Reboisasi dan

Rahabilitasi Lahan, Jakarta.

Departemen Kehutanan, 1998. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan

Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Direktorat

Jenderal Reboisasi dan Rahabilitasi Lahan, Jakarta.

Departemen Kehutanan, 2006. Peta Lahan Kritis Wilayah Propinsi Bali. Balai

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Unda Anyar, Denpasar.

Dinas Kehutanan, 2002. Statistik Dinas Kehutanan Propinsi Bali Tahun 2002.

Denpasar.

Dradjad, M., 2004. Rehabilitasi Lahan. Makalah disampaikan pada Lokakarya

Nasional Pengembangan Kompetensi Pendidikan Tinggi dan Penelitian Ilmu

Tanah di Indonesia, Yogyakarta, 4-6 Agustus 2004.

Gunamanta, Pande Gede, 2002. Identifikasi Karakteristik Lahan Kering Sebagai Acuan

Perencanaan Konservasi Tanah dan Air di DAS Unda Anyar Bali. Agritrop

Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, Vol. 21, No 1 Maret 2002. Fakultas Pertanian Unud

Denpasar.

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global. Pemanasan Global. 13 Oktober

2008.

http://library.usu.ac.id/download//fp/hutan-ridwanti4/pdf. Pemanfaatan Bambu di

Indonesia. 22 Juli 2008.

http://www.pemanasanglobal.net/. Global Warming Mengancam Keselamatan

Planet Bumi. 13 Oktober 2008.

Page 23: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

22

EFFECTIVENESS OF ALOE VERA GEL AND COCONUT

WATER AS A BIOREGULATOR ON SEED GERMINATION OF

DENDROBIUM ORCHID

I KETUT SUMANTRA AND I KETUT WIDNYANA

Agroecotechnology Departement, Facultay of Agriculture, Mahasaraswati University

ABSTRACT

The study aimed to determine the effect of concentration of coconut water and

aloe vera gel on seed germination of Dendrobium orchid was done in Tissue Culture

Laboratory Unmas Denpasar, from the month of April to August 2010. The research

method using nested completely randomized design with 3 replications. Treatment

additions bioregulator on VW medium consisting of coconut water with a concentration

of 0 ml/l, 150 ml/l, 200 ml/ l, 250 ml/l and 300 ml/l, and aloe vera gel with a

concentration of 0 g/l, 5 g/l, 10 g/l, 15 g/l and 20g/l.

Page 24: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

23

The results showed that there were no initial differences in germination and

percentage germination between VW medium given coconut water and given aloe vera

gel. VW medium fed coconut water 150 ml/l and 200 ml/l gave the early germination

and highest germination percentage. While the VW medium given aloe vera gel 5 g/l

and 10 g/l gives the fastest initial germination and the highest germination percentage.

To speed up germination and increase the percentage of seed germination of

Dendrobium in the culture medium in-vitro with VW, may be the addition of coconut

water 150 -200 ml/l or with leaves of aloe vera gel with a concentration of 5-10 g /l.

INTRODUCTION

The island of Bali as one of the major tourist destination in Indonesia, to be able

to provide a variety of tourism facilities, either in relation to the provision of tourism

facilities, services and provision for tourists such as orchids. Effendi (1994) mentions

that the demand for ornamental plants and cut flowers in each year has increased no

less than 10 percent. Consumer tastes towards ornamental plants and orchids are

determined by the manufacturer and trends overseas. At this time the dominant

preference orchid is Dendrobium species (34%), followed by Oncidium Golden Shower

(26%), Cattleya (20%) and Vanda (17%) and other orchids (3%) while many orchid

flower color selection influenced by the purpose of its use (Widiastoety, 2004 ).

Dendrobium orchid preferred by many konsunmen because it has high

economic value in addition suitable developed at warm area and fresh live of the

flowers bloom up to 30 days. For consumers, all of the Dendrobium characteristics is

not easily replaced by other plants, and the price is not too exspensive.

In the development of orchid plants, the important thing to note is the provision

of seedlings. The propagation of orchid plants could done by vegetative and generative.

Propagation through vegetative considered less effective, because the number of

puppies produced is very limited. On multiplication by genaratif, main problem faced

is the time for seed germination long enough . This is because the size of orchid seeds

are very small and has no food reserves in the endosperm as early seed germination.

Besides, the germination of orchid seeds in conditions in vivo showed low germination

at less than 1% (Gunawan, 2002). One way that can be done is to germination of orchid

seeds in vitro using growth media. The growth medium used for germination of orchids

is a medium Vacint and Went (VW). In VW's media, the culturis often add growth

Page 25: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

24

hormones to speed up seed germination and also to determine the direction of plant

growth and development.

In everyday life, synthetic growth regulators are still difficult to find and the

price is relatively expensive, so need to look for other alternatives. One of the natural

plant growth regulator (bioregulator) are easy and cheap to obtain is the leaf of aloe

vera gel. In the implementation of tissue culture, the addition of coconut water is

commonly used. While granting leaves of aloe vera gel in vitro culture has not been

widely reported.The use of Aloe vera leaf gel as a bioregulator were tested on several

types of plants. Sundahri (1994) stated that aloe vera gel (Aloe vera, L.) concentration

of 0-12% in a linear increase root growth in cuttings of cat whiskers. This is

presumably because the aloe vera gel contains plant growth regulators, especially

auxin, amino acids, vitamins and minerals that could encourage the growth of cuttings

(Sundahri, 1994). While on vanilla cuttings with a concentration of 50% can increase

the amount of leaf growth, shoot dry weight and root length. However, if the

concentration is increased more than 50%, the growth of vanilla variables are

decreased (Sumantra, 2002). Based on the above description, the problem are: (1) Is the

provision of coconut water and aloe vera gel could increased seed germination of

Dendrobium orchid. (2) What is the ideal concentration of each bioregulator. (3) Which

of these two kinds bioregulator (coconut water and aloe vera gel) is effective in

promoting seed germination of dendrobium orchids

This study aims to: (1) To determine the influence of the concentration of

coconut water and aloe vera leaf gel on seed germination of Dendrobium orchid. (2) To

know one of the two bioregulator, which can provide a better germination.

RESEARCH METHOD

This research was conducted at Tissue Culture Laboratory of the University

Mahasaraswati Denpasar, starting in April-August 2010. The research was conducted

with experimental methods. The design used was a completely randomized design

with nested patterns (Nested Experiment) or RAL nested with three replicatio. Two

types of bioregulator who tried the coconut water and aloe vera leaf gel. Coconut

water treatment consisted of 4 levels which are: coconut water 0 ml / l (A0 = control),

coconut water 150 ml / l (A1), coconut water 200 ml / l (A2), coconut water 250 ml / l

Page 26: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

25

(A3 ) and coconut water 300 ml / l (A4). While the leaves of aloe vera gel bioregulator

consisted of: Aloe vera gel 0 g / l (B0), leaves of aloe vera gel 5 g / l (B1), aloe vera

leaf gel of 10 g / l (B2), leaves of aloe vera gel 15g / l (B3), and the leaves of aloe vera

gel 20 g / l (B4).

The materials used include medium Vacint and Went (VW), coconut water,

aloe vera leaf gel, sugar, 0.1 N NaOH, 0.1 N HCL, alcohol 70%, aquades sterile,

chlorox, betadine, spritus, activated charcoal, fish emulsion, paper label, aluminum foil,

paper indicator, dendrobium orchid seeds, paper towels, rubber, plastics isolatif.

The tools used include laminar air flow cabinets (LAF), analytic scales, culture

bottles, bottle stock, measuring cups, pipettes, stirring rods, autoclaf, blander, spray

bottles, Bunsen lamp, glass chemistry, petri dish, scapel, tweezers, sowerspoon, funnel,

erlenmayer, stationery, timer. Implementation of activities consists of several stages:

Making Media consists of several activities:

a) Make a stock solution of VW and enter each stock solution into the flask peck.

b) Each flask is then added to the treatment material that is bioregulator coconut

water and aloe vera leaf gel separately.

c) Dilute solution at point b with aquades sterile until the specified limits.

d) Adjust the pH of the media in order to reach pH 5.5, raise low pH by adding

NaOH 0.1 N and high pH lower by 0.1 N HCL.

e) While stirring pour the gelatin that has been weighed, the volume of solution to

be added 1000 ml.

f) Continue stirring, heat the solution on the stove or hot plate until the agar

dissolves.

g) Solvent is then inserted into the culture bottles with medium thickness

approximately 1.5 cm.

h) Close the bottle culture with heat-resistant rubber lid or with aluminum foil.

i) Sterilize the above media in the autoclave at a temperature of 121 o C with a

pressure of 17.5 psi for 20 minutes.Sowing seeds of orchids.

j) Rinse the seeds of orchids with cotton wool soaked in alcohol 95%, cut the

base of the fruit so clean from dirt.

k) Dip fruit orchids in 95% alcohol for 1 minute.

l) Using tweezers, baked on spritus lights until a few moments so sterile.

Page 27: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

26

m) In petridish sterile, using a sterile scalpel blade, the fruit is opened to facilitate

taking the seeds.

n) With using long tweezers, grab the orchid seeds and carefully, and culture the

seeds on media that has been prepared in advance.

o) Inkubasikan culture results in a culture room at a temperature of 25 o C, light

intensity from 1500 to 2000 lux with radiation 12 hours /24.

Observations were germination time and germination percentage. Obtained data

were processed by analysis of manner. If the results of the analysis showed

significantly then continued with Least Significant Difference test (LSD) at 5%

level.

RESULTS AND DISCUSSION

The results showed that there is no difference between the addition of coconut

water with the addition of aloe vera leaf gel on the germination time and percentage of

germination of Dendrobium orchid seeds. The addition of coconut water and aloe vera

gel on VW medium, orchid seeds germinate 7.2 weeks after sowing, seeds germination

with an average of 94% The results showed that the addition of aloe vera leaf gel and

coconut water separately on VW medium can increase the percentage of germination

and time of seed germination of Dendrobium than without the provision.

VW medium plus coconut water 150 ml/l, 200 ml/l, 250 ml/l and 300 ml/l initial

seed germination to 7 weeks after sowing (WAS), while without giving coconut water

early germination occurred at 8 weeks after sowing. VW medium supplemented 150 ml

/ l and 200 ml / l, the percentage of germination reached 100%. Medium is added to

250 ml of coconut water / l and 300 ml / l, germination percentage of 98% and 95%

respectively, whereas without the addition of coconut water lowest germination

percentage is 80% (Figure 1 and Figure 3).

Page 28: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

27

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

0 ml/l 150 ml/l 200 ml/l 250 ml/l 300 ml/l

Time Germ

Percen Germ

Figure 1. Germination time (WAS) and percentage germination (%)

of Dendrobium orchid seeds on different concentrations

of coconut water

This shows that with the provision of coconut water to speed up the

germination of seeds. Coconut water contains many complex organic materials that are

often needed for plant growth and development, it contains the hormone cytokinin 5.8

mg / l, auxin 0.07 mg / l and giberilin very little and other compounds that can

stimulate the germination and growth (Morel , 1974).

VW medium supplemented with aloe vera gel produce different

germination time and germination percentage differently. VW medium without aloe

vera gel takes longer than 1 week with Aloe vera gel initial germination 7 MST.

Granting leaves of aloe vera gel on VW medium give different values of germination

percentage. VW medium supplemented aloe vera gel 5 g / l and 10 g / l produced the

highest germination percentage ie 100% respectively. Addition of 15 g / l and 20 g / l,

germination percentage of 98% and 90% respectively, whereas without Aloe vera leaf

gel the lowest greminatiom percentage of 80% (Figure 2 and Figure 4).

a b

a

a

a a a a a

a b

a

a b

a a b

a

Page 29: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

28

0

20

40

60

80

100

0 g/l 5 g/l 10 g/l 15 g/l 20 g/l

Time Germ

Percen Germ

Figure 2. Germination time (WAS) percentage germination (%) Dendrobium orchid

seeds at a difference concentration of aloe vera leaf gel.

This is thought that aloe vera gel contains a natural regulator of auxin as well as

other compounds. Both natural and synthetic auxin can be used to stimulate and

accelerate the formation of roots and to improve the quality and quantity of roots

(Hartman and Kester, 1983).

Leopold and Kriedemenn (1988) states that auxin functions in cell

differentiation among the leaves and stems and roots at the base of cuttings. Auxin at

high concentrations promote the synthesis of ethylene, whereas ethylene inhibits cell

elongation at concentrations higher than the optimum concentration. Aloe vera pulp

containing pulp alonin and sap. Gum pulp composed of polysaccharides

(glucomannan), krisofan acid, protease enzyme, a number of vitamins, minerals and

amino acids. Amino acids make up proteins function to help substitute the damaged

cells. Vitamins and minerals into the driving circuit triggers biochemical processes

necessary in the healing process. Acid krisofan promote healing of damaged cells,

while glucomannan in cooperation with the bacterial enzyme can break the intruder

pretease (Sundahri et al., 1996; Afzal et al., 1991).

a

a b

a a a

a b

a

a b

a

a b

a

a a a a

Page 30: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

29

Figure 3. Performance of Dendrobium growth on VW medium with the addition of

coconut water with different concentrations.

Figure 4. . Performance of Dendrobium growth on VW medium with the addition of

aloe vera gel with different concentrations.

CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS

The results can be concluded as follows:

1. There were no initial differences in germination and percentage germination

between VW medium given coconut water and given aloe vera leaf gel.

2. VW medium fed coconut water 150 ml / l and 200 ml / l gave the early

germination of the fastest and highest germination percentage.

3. VW medium given aloe vera gel 5 g / l and 10 g / l gives early germination of

the fastest and highest germination percentage.

To speed up germination and increase the percentage of seed germination of

Dendrobium in the medium culture in-vitro with VW, could used coconut water

150 -200 ml / l or with leaves of aloe vera gel with a concentration of 5-10 g / l.

Page 31: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

30

REFERENCES

Bey,Y., W Syafii, dan N. Ngatifah.2005. Pengaruh Pemberian Giberilin pada Media

Vacin dan Went terhadap Perkecambahan Biji Anggrek Bulan

(Phalaenopsis amabilis BL) secara invitro. Jurnal Biogenesis.Vol 1(2):57-

61

Dinas Pertanian Provinsi Bali. 2005. Laporan Statistik Pertanian Tanaman Pangan

Tahun 2005. h. 230.

George, Edwin F. and Paul D. Sherrington, 1984. Plant Propagation by Tissue Culture.

Eversley, Basingstoke Hants. England.

Gunadi, T. 1985. Anggrek Untuk Pemula, Angkasa, Bandung.

Gunawan, L. Winata. 1987. Teknik Kultur Jaringan . Laboratorium Kultur Jaringan

PAU Bioteknologi IPB, Bogor.

Gunawan, 1989. Budidaya Anggrek. Penebar Swadaya, Jakarta.

Hartman, H.T. and D.E. Kester, 1983. Plant Propagation Principles and Practices.

Prentice Hall, New Jersey, 727 p.

Hok, Y. 1988. Pengaruh Ekstrak Residu Daun Lidah Buaya terhadap Biakan Bakteri

Staphylococcus aureus secara in Vitro. Laporan Penelitian. FMIPA Unair,

Surabaya.

Leopold, A.C. and P.E. Kriedemann. 1988. Plant Growth and Development. Tata Mc.

Grow Hill, New Delhi, 545 p.

Rosita, S. Solahuddin, dan Q Mutaqim. 1991. Pengaruh Air Kelapa dan Triakontanol

terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Stek Panili. Pemberitaan LITTRI

XVI (3) : h 123 – 127.

Sumantra, K. 2002. Pengaruh Gel Aloe Vera Terhadap Pertumbuhan Stek Panili.

Mahawidya Saraswati (56): 17 -19 .

Sundahri. 1994. Efektivitas Gel Lidah Buaya Terhadap Perakaran Stek Kumis Kucing.

Laporan Penelitian, FAPERTA UNEJ. 11 h.

Sundahri, H.B. Setyawan, dan S.Kardi. 1996. Efektivitas Gel Lidah Buaya sebagai Zat

Perangsang pada Distribusi Sifat Pertumbuhan Stek Pendek Panili.

Laporan Hasil Penelitian PPSLPT – ADB. 28 h.

Page 32: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

31

Widiastoety Darmono. 2004. Bertanam Anggrek. Penebar Swadaya, Jakarta. 75 h.

MODEL FOR DEVELOPING HOME INDUSTRY

TIGER GROUPER HATCHERY FIRMS (HSRT) IN BALI:

An Overview on Economic and Maricultural Perspective

By

CENING KARDI, AND PUTU SUJANA

ABSTRACT

The high demand to grouper seeds in domestic and international market had

pushed the mass grouper seeds production in Gerokgak District, Bali. At the first

research, there were gaps between the average actual hatchery productivity of Tiger

grouper (Epinephelus fuscoguttatus) hatchery firms with the potentially achievable

productivity. This research then aimed for improving the productivity by determination

of economic efficiency and optimum inputs combination. The research utilized data

which were collected with survey to 41 samples of hatchery firms in Gerokgak District.

The result in dry season: the average technical efficiency was 0.88903; the price

efficiency was 1,554; and the economic efficiency was 1,381. In wet season the

average technical efficiency was 0,72055; the price efficiency was 6,469, and the

economic efficiency 4,661. The optimum inputs combination in dry season was grouper

eggs 750 thousands pieces; pellet 6,0 kg; artemia 40 cans; mysid shrimp 660 sacks;

rotifer 61 sacks; and workers 5 men. In wet season was grouper eggs 500 thousands

pieces; pellet 6,0 kg; artemia 21 cans; mysid shrimp 210 sacks; rotifer 46 sacks; and

workers 3 men. These optimum inputs could make meaningful contributions toward

rising productivity and profitability of the Tiger grouper hatchery firms. Besides that,

close attention should be given to improving managerial ability of the farmers and to

preparing adroit hatchery workers through education and training.

Keywords: coastal communities, grouper, hatchery, technical efficiency, economic

efficiency

INTRODUCTION

Coastal and sea resources could be trade on national economic improvements.

Various potential resources continuously explorated and developed, included in coastal

cultivation, with potential product, groupers. Groupers cultivation should be developed

due to its excellent economic value, and besides that it could lessen coral reef

Page 33: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

32

destructions (Hanafi et al., 2002). Groupers cultivation in Indonesia included hatchery

(producing seeds/juveniles), and raising fishes in basket net in sea (producing groupers

for consumtion). Each of the two producing stages could be a stand alone business.

The high demand to fresh Tiger groupers (Epinephelus fuscoguttatus) in

international market (Hongkong, Singapore, Japan and China) had pushed dramatically

the development of the home industry Tiger grouper hatchery firms in Bali, where its

centre for productions located all along the coastal area in Gerokgak District, Buleleng

Regency (about 1.200 grouper hatchery firms had been operating in this area). The

successfulness of mass seeds/juveniles production here had extended positive impacts

of increasing: non fuel export, labors absorption, incomes for coastal communities, and

prevention to criminal action of environment damages in coastal area. In the Year 2007

the total product of Tiger grouper juveniles in Bali was 9.387.200 pieces (6.954.500

pieces were sold in domestic trading, and 2.432.700 pieces were exported). The total

value of these juveniles trading was 11.264,64 millions rupiahs (The Fishes Quarantine

Office-Ngurah Rai Denpasar, 2008).

The research of Kardi (2007) clarified that the average juveniles production of

31 samples home industry Tiger grouper hatchery firms in dry season was 33.780

pieces per cyclus production (the time period from disseminating grouper eggs till

juveniles harvest was ±50 days), with average grouper eggs dissemination of 420

thousands pieces or the sintasan level was 9,86% and coefficient of variance was

48,6% (high variously). Its average profit was Rp 6.150.000,- per cyclus production.

According to the research of Giri et al. (2006) at fishery experiment station in

Gerokgak, the average sintasan of Tiger grouper juveniles in dry season was 15,50%,

and in wet season was 12,25% with average profit Rp 9.350.000,- per cyclus. The

productivity of the home industry Tiger grouper hatchery firms in Gerokgak District

were very variously and enough lower than the productivity at experiment station, as

well as their profitability. This yield gap could be caused by some factors. According

to Widodo (1989) higher production level is dependently on: behaviour and ability of

farmers, inputs level applicated, socioeconomic factors (managerial ability, education,

and farmer’s off-hatchery job) and climate (dry or wet season). Identification the role

of these factors was expected to give some advantages in the efforts to enhance

technical efficiency, price efficiency and economic efficiency of Tiger grouper

Page 34: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

33

hatchery firms and to develope the firms. Therefore, this research was conducted with

aims: (1) to analyze the technical efficiency among the Tiger grouper hatchery farmers;

(2) to analyze the economic efficiency of the Tiger grouper hatchery firms; (3) to

analyze cost and return (R/C) of the Tiger grouper hatchery firms; (4) to analyze

socioeconomic factors influence the juveniles production of the hatchery firms; and (5)

to obtain the optimum inputs combination for Tiger grouper hatchery firms. Each

analysis was done for production in dry and wet season.

RESEARCH METHODS

Theoretical framework of input efficiency

The comprehension of efficiency in producing is that efficiency is ratio output

per input refers to achieve maximum output within a set of inputs, that the higher

output ratio means the higher efficiency. Efficiency is the best usage inputs in

producing product (Shone, Rinald in Susantun, 2000). Farrel (1957) distinguished

efficiency into three, those: (1) technical efficiency, (2) alocative or Price efficiency,

and (3) economic efficiency. Technical efficiency deals with input-output relationship.

It is output per unit of input where inputs are aggregated in some manner. According

to: Richmont (1974), Aigner et al. (1977) Battese and Corra (1977) and Collie (1955) in

Zen et al. (2002), Frontier production function represents usage of technology

extensively by companies in an industri. Model of frontier production function is

proposed for measurement of technical efficiency in a company. The model can be

written as:

Y = f (Xi, ) exp i (1)

Where is a set of estimated parameter. Xi is input, and i = vi + ui. The error is

supposed negative and increasing due to intersection of normal distribution with

average nol dan positive variance u2. This describe technical efficiency of a company.

On the other word error vi assumed has normal distribution with average nol dan

variance positive u2, that describing error of measurement interrelated with

uncontrolled factors in relation with production.

Page 35: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

34

Technical efficiency can be measured using parameter of ratio that given by

as follow (Battese and Corra (1997) in Zen et al. (2002)):

= (u2) /(

2) (2)

Where 2 = u

2 + v

2 and 0 1 (3)

Jondrow et al. (1982) in Zen et al. (2002) and Squires et al. (2003) noted

condition of average ui and i as:

E (uii) = (u v / ).{[f(i -1

) / (1 – F(i -1

))] - (i -1

)} (4)

Where i is a sum of vi and ui, = (u2 + v

2)

1/2 , is a ratio u/v , each f and

F is standard normal density and distribution function that evaluated at i -1

. The

measurement of technical efficiency for each companies can be calculated with TEi =

exp [E(uii)] , and so 0 TEi 1.

According to Nicholson (1995) price efficiency is achieved when the ratio

marginal value productivity per input price (NPMXi/PXi) or ki = 1. This condition

requires NPMX equal with price of production factor X or it can be written as

bYPy / X = PX (5)

or bYPy / X PX = 1, (6)

where PX = price of production factor X.

Economic efficiency (EE) denotes a product of technical efficiency (TE) and

price efficiency (PE) (Susantun, 2000). Hence economic efficiency can be achieved

when both efficiencies are achieved, so it can be written as

EE = TE.PE (7)

Data and analytical methods

This study utilized data from the intensive study conducted in 7 villages of

grouper seeds/juveniles producing area in Gerokgak District, Bali. The main data

collection were conducted with survey to 41 samples of hatchery firms in the 7 villages.

On each of 41 Tiger grouper hatchery firms was measured: quantities of fixed inputs

and variable inputs and production; inputs and production price; and socioeconomic

factors (farmer’s managerial ability, education, and farmer’s off-hatchery job).

Page 36: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

35

Cobb-Douglas production function was choosed as functional relationship

between Tiger grouper juveniles production and its variable inputs. The log normal

form of its production function was as

Ln Y = α + 1LnX1 + 2LnX2 + 3LnX3 + 4LnX4 + 5LnX5 + 6LnX6 (8)

Estimation of this production function used Maximum Likelihood Estimation (MLE)

method in Software Frontier 4.1.

Concerning socioeconomic factors (farmer’s managerial ability, education, and

farmer’s off-hatchery job), the effect of these factors on juveniles production of Tiger

grouper hatchery firms was analyzed with model Cobb-Douglas production function as:

Ln Y = α + 1Ln X1 + 2Ln X2 + 3Ln X3 + 4Ln X4 + 5Ln X5 + 6Ln X6

+ 7Ln X7 + 8Ln X8 + 9Ln eX9

(9)

Estimation of this function used Ordinary Least Square (OLS) method in Software

SPSS 15

Table 1. Definition of operational variables for juveniles production function

Variable Code Definition Measurement scale

Production

Grouper egg

Pellet feed

Artemia

Mysid shrimp

Rotifer

Worker

Education

Managerial ability

Farmer’s off-hatchery job

LnY

Ln X1

Ln X2

Ln X3

Ln X4

Ln X5

Ln X6

Ln X7

Ln X8

X9

Logarithm of juveniles production per cyclus

Logarithm of Grouper eggs per cyclus

Logarithm of pellet feed per cyclus

Logarithm of artemia per cyclus

Logarithm of mysid shrimp per cyclus

Logarithm of rotifer per cyclus

Logarithm of workers per cyclus

Logarithm of formal education

Logarithm of technical efficiency

Farmer with or without off-hatcery job

pieces

Thousand pieces

kg

can

sack

sack

men

ordinal

-

Nominal

(With =1;

Without = 0)

RESULTS AND DISCUSSION

The technical efficiency of grouper juveniles production

The average grouper juveniles production of 41 samples Tiger grouper hatchery

firms in dry season was 59.791 pieces/cyclus production. They disseminated grouper

eggs with average 571951 pieces, so these grouper hatchery firms only could produce

Page 37: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

36

juveniles with average survival rate or sintasan 10,74% (lower than average sintasan at

experiment station 15,5%). The result of frontier production function analysis on the

grouper juveniles production in dry season (Table 2) indicated that factors pellet feed

(X2), mysid shrimp (X4), rotifer (X5), and workers (X6) were significant. Among these

factors, rotifer (X5) with negative regression coefficient indicated negative effect on

juveniles production do to excessively utilization. Too more supply of rotifers impeded

Nannochloropsis oculatas reproduction. Nannochloropsis oculatas were significant

fitoplanktons as initial natural feed for well growing of grouper larvas . Therefore, the

stunted Nannochloropsis oculata reproduction by excessively utilization of rotifers

decreased the juveniles production. Here the hatchery farmers should controle the

utilization of rotifers. On the contrary the factors pellet feed (X2), mysid shrimp (X4),

and workers (X6) with positive regression coefficients indicated that utilization of these

factors could be increased to make more viable larvas to be juveniles (increasing

sintasan).

Table 2. The result of estimating frontier production function on the Tiger

grouper juveniles production in dry season

Variable Coeficient t-ratio Significance

Constant

LnX1 (Grouper egg)

LnX2 (Pellet feed)

LnX3 (Artemia)

LnX4 (Mysid shrimp)

LnX5 (Rotifer)

LnX6 (Workers)

Log likelihood

Average technical efficiency (TE)

Average technical inefficiency (1-TE)

Return to scale (RTS)

8,31638

0,25216

0,20063

0,03609

0,18473

-0,62503

0,37674

33,65936

0.88903

0.11097

0,42532

4.7887

1.4201

2.5464

0.2790

2.0166

-3.1258

3.5169

0,00003*

0,16442ns

0,01544*

0,78189ns

0,05000*

0,00355*

0,00123*

Informations: * = significant;

ns = non significant

Page 38: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

37

The description for technical efficiency and technical inefficiency of 41

samples Tiger grouper hatchery firms in dry season (Figure 1) depicted that the

managerial ability among the hatchery farmers in acclimating technology to produce

grouper juveniles was enough variously. The average technical efficiency (TE) of the

grouper hatchery firms was 0,88903 (Table 2), with average actual production (QY)

59.791 pieces/farmer, but its average potential production (QQ) was 67.174

pieces/farmer. This case indicated that the actual juveniles production was lower than

potential juveniles production, so it was very required some efforts to increase juveniles

production.

The average technical efficiency = 0,88903 was lower than 1 (one) yet,

indicated that the technical efficiency among the Tiger hatchery farmers in dry season

was not efficient, so it was possible to add the quantity of some inputs which allocated

to increase juveniles production. The average technical inefficiency (1-TE) = 0,11097

indicated some failures to use hatchery equipments and to allocate some variable inputs

in achieving maximum juveniles production.

Figure 1. The technical efficiency and technical inefficiency of 41 samples

Tiger grouper hatchery firms in dry season

The average juveniles production of the grouper hatchery firms in wet season

was 56.558 pieces/cyclus production. They disseminated grouper eggs with average

560.975 pieces, so these they only could produce grouper juveniles with average

0

0..

2

0..

4

0..

6

0..

8

1

1.

2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1

1 1

2 1

3 1

4 1

5 1

6 1

7 1

8 1

9 2

0 2

1 2

2 2

3 2

4 2

5 2

6 2

7 2

8 2

9 3

0 3

1 3

2 3

3 3

4 3

5 3

6 3

7 3

8 3

9 4

0 4

1 Hatchery farmer

Tech

nic

al e

ffic

iency/I

ne

ffic

iency

Tech efficiency

Tech

inefficiency

Page 39: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

38

sintasan 10,42% (lower than average sintasan at experiment station 12,25%). The

result of frontier production function analysis on the grouper juveniles production in

wet season (Table 3) indicated that factors artemia (X3), mysid shrimp (X4), rotifer

(X5), and workers (X6) were significant. Among these factors, mysid shrimp (X4) with

negative regression coefficient indicated negative effect on the juveniles production do

to excessively utilization. Too more feed of mysid shrimps made defected digestion in

grouper seeds. It was caused by complication in digesting shell of mysid shrimps,

accumulation of these shells in digestion increased the mortality of the seeds. Here the

hatchery farmers should controle the utilization of mysid shrimps. On the contrary, the

factors artemia (X3), rotifer (X5) and workers (X6) with positive regression coefficients

indicated that utilization of these factors could be increased to make increasing

sintasan.

The description for technical efficiency and technical inefficiency of 41 samples

Tiger grouper hatchery firms in wet season (Figure 2) depicted that the managerial

ability among the grouper hatchery farmers in acclimating technology to produce

grouper juveniles in wet season was very variously and more variously than the

managerial ability in dry season. The average technical efficiency (TE) of these 41

Tiger grouper hatchery firms was 0,72055, with average actual production (QY)

56.558 pieces/farmer, but its average potential production (QQ) was 78.390

pieces/farmer. This case indicated that the actual juveniles production was lower than

potential juveniles production, so it was very required some efforts to increase juveniles

production.

Table 3. The result of estimating frontier production function for the Tiger

grouper juveniles production in wet season

Variable Coeficient t-ratio Significance

Constant

LnX1 (Grouper egg)

LnX2 (Pellet feed)

LnX3 (Artemia)

LnX4 (Mysid shrimp)

9.08944

0.15507

0.16365

0.31655

-0.65045

10,2262

1,3768

0,3556

1,7654

-2,2068

0,00000*

0,17732ns

0,72427ns

0,08622*

0,03398*

Page 40: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

39

LnX5 (Rotifer)

LnX6 (Workers)

Log likelihood

Average technical efficiency (TE)

Average technical inefficiency (1-TE)

Return to scale (RTS)

0.51251

0.57042

4,36202

0,72055

0,27945

1,06775

2,3534

6,1489

0,02435*

0,00000*

Informations: * = significant;

ns = non significant

The average technical efficiency (TE) = 0,72055 indicated that the technical

efficiency of the Tiger hatchery firms in wet season was inefficient, so it was possible

to add the quantity of some inputs which allocated to increase juveniles production. The

average technical inefficiency (1-TE) = 0,27945 indicated some failures to use hatchery

equipments and to allocate some variable inputs in achieving maximum juveniles

production. This inefficiency was more seriously than inefficiency of production in dry

season.

Figure 2. The technical efficiency and technical inefficiency of 41 sample

Tiger grouper hatchery firms in wet season

Price/allocative efficiency and economic efficiency

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41

Hatchery farmer

Tech

nic

al e

ffic

iency/in

effic

iency

effic

iency/in

eff

icie

ncy

Tech efficiency

Tech inefficiency

Page 41: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

40

The result of allocative efficiency analysis for the grouper juveniles production

in dry season (Table 4) indicated that the ratio marginal value productivity per input

price for several inputs: grouper egg, pellet feed, mysid shrimp, and workers were lack

of efficient (> 1), but inputs: artemia, and rotifer were not efficient (< 1). The average

allocative efficiency of these 6 inputs (PE) was 1,554, and so the economic efficiency

(EE = TE x PE) was 1,381 (not efficient). Therefore, to improve the total efficiency or

to achieve economic efficient (production and profit closely to maximum level) for the

home industry Tiger grouper hatchery firms in dry season, the allocation of the inputs:

grouper egg, pellet feed, mysid shrimp, and workers should be increased, but allocation

of the inputs: artemia, and rotifer should be decreased.

Table 4. The price/allocative efficiency and economic efficiency of the Tiger

grouper hatchery firms in dry season

Variabel Regression Coeficient Ratio NPMx /Px Efficiency

LnX1 (Grouper egg)

LnX2 (Pellet feed)

LnX3 (Artemia)

LnX4 (Mysid shrimp)

LnX5 (Rotifer)

LnX6 (Workers)

0,25216

0,20063

0,03609

0,18473

-0,62503

0,37674

19,58213

11,62090

0,33313

3,57054

-28,85790

3,07536

PE

TE

EE

=

=

=

1,554

0,889

1,381

The result of allocative efficiency analysis for grouper juveniles production in

wet season (Table 5) indicated that the ratio marginal value productivity per input price

for several inputs: grouper egg, pellet feed, artemia, rotifer and workers were lack of

efficient (> 1), but input mysid shrimp was not efficient (< 1). The average allocative

efficiency of these 6 inputs (PE) was 6,469, and so the economic efficiency (EE = TE

x PE) was 4,661 (not efficient). Therefore, to improve the total efficiency or to

achieve economic efficient in wet season, the allocation: grouper egg, pellet feed,

Page 42: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

41

rotifer and workers should be increased, but the allocation of the input mysid shrimp

should be decreased.

Table 5. Price/allocative efficiency and economic efficiency of Tiger grouper

hatchery firms in wet season

Variabel Regression

Coeficient

Ratio NPMx /Px Efficiency

LnX1 (Grouper egg)

LnX2 (Pellet feed)

LnX3 (Artemia)

LnX4 (Mysid shrimp)

LnX5 (Rotifer)

LnX6 (Workers)

0,15507

0,16365

0,31655

-0,65045

0,51251

0,57042

11,61410

8,53220

2,84428

-12,24290

23,66714

4,40462

EH

ET

EE

=

=

=

6,469

0,720

4,661

The cost and return of the Tiger grouper hatchery firms

The average return of 41 samples Tiger grouper hatchery firms in dry season

was Rp 77.728.585,-. Its average cost was Rp 42.011.476,-, so the average profit of the

firms was Rp 35.717.110,-/cyclus production, with standard deviation Rp 12.273.513,-

/cyclus production or the coefficient of variance was 34,36% (not so much variously).

The whole process of Tiger grouper hatchery firm for one cyclus production (from

preparation for hatchery means and equipments till crop and packaging) needed time 4

(four) months, so the average profit per month was Rp 8.929.000,-.

The average return in wet season was Rp 73.525.780,-. Its average cost was Rp

41.230.784,-, so the average profit of the firms was Rp 32.294.996,-/cyclus production,

with standard deviation Rp 17.804.839,-/cyclus production or the coefficient of

variance was 55,13% (enough variously), so the average profit per month was Rp

8.073.750,-.

Page 43: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

42

The effect of socioeconomic factors on the grouper juveniles production

The effect of the factor managerial ability of the hatchery farmers was very

significant on the grouper juveniles production in dry season, but the factors formal

education and farmer’s off-hatchery job were not significant. Eventhough some

hatchery farmers had low education (SD or SMP) and they had off-hatchery jobs, but

these two cases not caused the juveniles production in low quantity due to not bad their

managerial ability. The managerial ability was very dominant to determine the

successfulness to produce juveniles in high productivity, which was indicated by its

coefficient elasticity 1,265 (>1). Management for hatchery firm denoted as the ability

of a farmer to determine, to organize and to coordinate inputs application as efficient as

possible. The measurement for the success of this firm management was productivity

per input or productivity of the firm. The gist of this matter, a hatchery farmer was not

only as a worker but also as manager to order organization of producing juveniles in

totality manner.

The effect of factors managerial ability and formal eduction were very

significant on the grouper juveniles production in wet season, but the factor farmer’s

off-hatchery job were not significant. The running of hatchery firm in wet season was

rather more intricated than the running in dry season, due to the declining quality of the

coastal watter (purity, plankton riches, sterility from pathogen) during the wet season.

So the capability to analyze of the farmers with higher formal education influenced the

higher juveniles production.

Optimum inputs combination for Tiger grouper hatchery firm

From all appearances the grouper hatchery practices were different only among

farmers not among hatchery locations or hatchery techniques. Therefore, the point of

optimum inputs combination here was projected from the graph of the sum technical

efficiency plus profit hatchery firm (per Rp 100.000.000,-) possessed by each of 41

hatchery farmers. The result were presented in the Appendices.

The highest sum of technical efficiency plus profit hatchery firm for the

juveniles production in dry season was 1,596 which achieved by the hatchery farmer

Page 44: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

43

number 15. The empirical data of the farmer number 15 that he applicated inputs

combination of XD = (X1; X2; X3; X4; X5; X6) = (750.000; 6; 40; 660; 61; 5),

and so the optimum inputs combination for the Tiger grouper hatchery firm in dry

season were: grouper eggs = 750 thousands pieces; pellet feed = 6 kg; artemia = 40

cans; mysid shrimp = 660 sacks; rotifer = 61 sacks; and workers = 5 men.

In the same manner the highest value in wet season was 1,714 which achieved

by the farmer number 13. This farmer applicated inputs combination of XW = (X1;

X2; X3; X4; X5; X6) = (500.000; 6; 21; 210; 46; 3), and so the optimum inputs

combination in wet season were: grouper eggs = 500 thousands pieces; pellet feed = 6

kg; artemia = 21 cans; mysid shrimp = 210 sacks; rotifer = 46 sacks; and workers = 3

men.

Implication

The analysis of marinecultural production especially for grouper hatchery

production had become an important step in the formulation of marinecultural policy.

It was an internal part of the development policy making because of the strategic

position of grouper hatcheries to push the development of raising groupers companies

and to alleviate the poor of the coastal communities. The policy objective was often to

identify the possibilities for increasing output, while conserving some resource uses,

particularly under development policy which emphasizes sustainable marine resources

and cultivation with secure fishes product.

Concerning the developing home industry Tiger grouper hatchery firms, the

excessively allocation of inputs artemia and rotifer in the Tiger grouper hatchery firms

in dry season should be changed to increase the allocation of the inputs pellet feed,

mysid shrimp, and workers, while for the excessively allocation of the input mysid

shrimp in wet season should be changed to increase the allocation of the inputs pellet

feed, artemia, and workers. The hatchery farmers whose production capacity of

disseminating Tiger grouper eggs about 750 thousands pieces in dry season should

allocate pellet feed = 6,0 kg, artemia = 40 cans, mysid shrimp = 660 sacks, rotifer = 61

sacks, and worker = 5 men. The hatchery farmers who had production capacity of

disseminating Tiger grouper eggs about 500 thousands pieces in wet season should

Page 45: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

44

allocate pellet feed = 6,0 kg, artemia = 21 cans, mysid shrimp = 210 sacks, rotifer = 46

sacks, and workers = 3 men. The local governments in cooperating with finance

institutions or banks should prepare soft loan to new hatchery doers whose human

capital to run hatchery firm was sufficient. As well as to prepare adroit back-yard

hatchery workers through education and training to the local human resources in

coastal communities in Bali.

References

The Fishes Quarantine Office-Ngurah Rai Denpasar, 2008. Statistik Produksi Benih

Ikan Kerapu di Bali yang Diperdagangkan Antar Pulau dan Diekspor Tahun

2004-2007. Denpasar: The Fishes Quarantine Office-Ngurah Rai.

Farrel, M.J., 1957. “The Measurement of Productive Efficiency”. Journal of The Royal

Statistical Society, Series A, Part 3, 120: 253-581.

Giri, N.A., K. Suwirya, dan M. Marzuqi, 2006. Pembenihan Ikan Kerapu Macan

Gerokgak: Balai Besar Riset Perikanan dan Budidaya Laut Gondol.

Hanafi, A., Awal Subandar, dan Kris Sunarto, 2002. Urgensi Kajian Lingkungandan

Tata Ruang Kawasan Pesisir dalam Mendukung Pengembangan Budidaya

Kerapu Berkelanjutan. Jakarta: Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Budidaya Pertanian, BPPT.

Kardi, C., 2007. Strategi Memaksimumkan Profit Usaha Pembenihan Ikan Kerapu

Macan melalui Pengendalian Input dan Produksi di Kecamatan Gerokgak.

Gerokgak: BBRPBL Gondol

Nicholson, W., 1995. Teori Mikro Ekonomi. Prinsip Dasar dan Perluasan. Edisi

Kelima. Terjemahan: Daniel Wirajya. Jakarta: Binarupa Aksara.

Panayotou, T., 1985. Production Technology and Economic Efficiency.

A Conceptual Framework. (ed. T. Panayotou) Small-scale fisheries in Asia. Ottawa,

Canada: IDRC.

Pappas, J.L. and Mark Hirschey, 1993. Managerial Economics.

Orlando-Florida: Harcourt Brace College Publishers.

Squires, D.; I.H. Omar; Yongli Jeon; K. Kuperan; and Indah Susilowati, 2003. “Exces

Capacity and Sustainable Development in Java Sea Fisheries”. Environment

Page 46: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

45

and Development Economics 8: 105-127. Cambridge University Press: United

Kingdom.

Susantun, I., 2000. “Fungsi Keuntungan Cobb-Douglas dalam Pendugaan Efisiensi

Ekonomi Relatif”. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 21(2), 149-161.

Sutanto, H.A. dan Indah Susilowati, 2006. “Analisis Efisiensi Alat Tangkap Gillnet di

Kabupaten Pemalang Jawa Tengah”. Jurnal Ekobis. 7(1), 1-16.

Viswanathan; I.H. Omar; Yongli Jeon; K. Kuperan; James Kirkley; Dale Squires; and

Indah Susilowati, 2001. “Fishing Skill in Developing Country Fisheries:

The Kedah Malaysia Trawl Fishery”. Marine Resource Ekonomics. 16 (4).

Widodo, S. 1989. Production Efficiency of Rice Farmers in Java Indonesia.

Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Zen et al., 2002. “Technical Efficiency of The Drifnet and Payang Seine (Lampara)

Fisheries in West Sumatra, Indonesia”. Journal of Asian Fisheries Science.

15, 97-106.

Appendices

The Graphs for technical efficiency; profit ; and sum of technical

efficiency plus profit of the juveniles production in dry season

Page 47: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

46

The Graphs for technical efficiency; profit ; and sum of technical

efficiency plus profit of the juveniles production in wet season

KONTRIBUSI KEARIFAN LOKAL TERHADAP

KONSERVASI LAHAN KRITIS

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

1.8

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41

Hatchery farmer

Pro

fit/

TE/P

rofi

t+T

E

E Profit+TE TE Profit

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

1.8

2

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41

Hatchery farmer

Pro

fit/

TE/P

rofi

t +T

E

Profit + TE TE Profit

Page 48: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

47

Oleh

I MADE TAMBA

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) mengetahui penerapan kearifan lokal dalam

konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah; dan 2) mengetahui kontribusi kearifan

lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah. Populasi penelitian ini

adalah seluruh petani yang ada diwilayah Desa Batur Tengah. Pengambilan sampel

dilakukan dengan metode quota sampling, yaitu sebanyak 30 orang petani yang

tergabung dalam kelompok tani dan 30 orang petani yang tidak tergabung dalam

kelompok tani

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1)

Penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah berada

dalam kategori baik. 2) Kontribusi penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan

kritis di Desa Batur Tengah berada dalam kategori cukup tinggi. 3) Faktor pendukung

penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah adalah

faktor dukungan masyarakat, pemerintah, pengamalan warga terhadap falsafah Tri Hita

Karana dan landasan operasional “paras paros selulung subayantaka sarpanaya”. 4)

Faktor penghambat penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa

Batur Tengah adalah hambatan ekonomi, teknologi, kelembagaan dan hambatan fisik.

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut. Kepada warga

masyarakat agar meningkatkan kualitas penerapan kearifan lokal dalam konservasi

lahan kritis sehingga kontribusi penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis

menjadi lebih tinggi Kepada Bendesa adat agar melaksanakan kearifan local secara

lebih bijaksana. Kepada Pemerintah Daerah melalui Camat Kintamani agar lebih

intensif memantau penerapan kearifan local dalam konservasi lahan kritis.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumber daya hutan dan lahan sebagai sumber kekayaan alam yang penting

untuk suatu kehidupan, perlu dikelola dengan baik agar bermanfaat bagi masyarakat

dengan tetap menjaga kelangsungan fungsi dan kemampuannya. Pendayagunaan

dilakukan secara rasional disertai upaya pelestarian sebagai perwujudan dari

pembangunan berwawasan lingkungan dengan mengikutsertakan masyarakat secara

luas. Sehubungan dengan hal itu, pengelolaan dan pengembangannya diarahkan untuk

mempertahankan keberadaan dan keseimbangan yang dinamis melalui berbagai usaha

perlindungan, rehabilitasi dan pemeliharaan. Hal itu dimaksudkan agar pemanfaatan

Page 49: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

48

sumber daya alam, utamanya hutan dan lahan tidak menimbulkan gangguan terhadap

ekosistem, yang antara lain mengakibatkan terjadinya lahan kritis.

Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif lagi untuk mendatangkan hasil

atau dapat dikatakan lahan itu kurang sekali manfaatnya bagi lingkungan hidup,

sehingga kerugian yang diakibatkan oleh lahan kritis dapat bersifat individual maupun

massal. Petani yang tidak dapat bercocok tanam karena lahannya gersang, selain

penghasilannya berkurang, pengeluarannya bertambah banyak untuk merehabilitasikan

lahannya yang tidak produktif. Lahan kritis dapat terjadi baik di luar kawasan hutan

maupun di dalam kawasan hutan. Oleh karenanya, fungsi sumberdaya alam seperti

lahan perlu dilestarikan agar dapat memberikan manfaat yang optimal.

Propinsi Bali terdiri dari 8 (delapan) kabupaten dan 1 (satu) kota mempunyai

luas wilayah keseluruhan 5.632,86 Km2 dengan lahan kritis seluas 307.035 Ha dan dari

luasan lahan kritis tersebut 127.706 ha berada didalam kawasan hutan. Pelaksanaan

Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) pada Daerah Aliran Sungai (DAS)

di Bali sampai lima tahun terakhir telah berhasil dilaksanakan dalam bentuk reboisasi

seluas 825 ha. Pembuatan hutan rakyat seluas 2.334,4 ha dan rehabilitasi teras 2.390 ha

(Departemen Kehutanan, 2006). Namun kenyataannya kerusakan lahan (lahan kritis)

khususnya di daerah DAS ada kecendrungan semakin meningkat (0,089% per tahun).

Pada tahun 2002 lahan kritis mencapai luasan 286.938 ha yaitu 107.422 ha dalam

kawasan hutan dan 179.496 ha di luar kawasan hutan. Pada tahun 2005 meningkat

1.275 ha menjadi 287.213 ha yaitu di dalam kawasan hutan 107.442 ha dan 179.771 ha

di luar kawasan hutan.

Rendahnya tingkat keberhasilan usaha rehabilatiasi dan konservasi tanah yang

telah dilakukan tersebut (hanya 350 ha dari 825 ha lahan yang direhabilitasi)

disebabkan dalam pelaksanaan rehabilitasi mengalami kendala seperti :(1) anggaran

yang tersedia untuk pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah

sangat terbatas, sehinga kegiatan yang dilakukan hanya berupa bantuan bibit kepada

masyarakat dan tanpa pembuatan teras sesuai kaidah konservasi, tetapi hanya

memanfaatkan teras yang telah dimiliki masyarakat, serta waktu penanaman yang

kurang memperhatikan curah hujan sehingga persentase tumbuh tanaman konservasi

rendah (< 50%), (2) pelaksanaan kegiatan waktunya terlalu pendek sehingga dalam

tahapan pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan jadwal, (3) dalam memilih lokasi

Page 50: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

49

kegiatan tidak memperhatikan spesifik lokal, karakteristik dari wilayah seperti biofisik,

sosial ekonomi masyarakat dan potensi yang ada, dan (4) pemilihan tanaman untuk

kegiatan tidak sesuai dengan kesesuaian tempat tumbuh dari tanaman yang akan

dikembangkan sehingga sangat mempengaruhi persentase tumbuh tanaman.

Upaya penanganan lahan kritis di Propinsi Bali sudah dilakukan melalui

kegiatan Reboisasi dan Penghijauan, namun hasilnya belum sesuai dengan yang

diharapkan, dan bahkan akhir-akhir ini pertambahan lahan kritis cenderung meningkat.

Salah satu indikatornya yaitu fluktuasi aliran sungai yang kontras, distribusi air yang

tidak merata sepanjang tahun dan tingginya kandungan sidementasi

Jika dicermati, masyarakat Bali sesungguhnya telah memiliki kearifan lokal

untuk menjaga keberadaan lingkungan. Ada penghormatan terhadap lingkungan yang

dibuktikan dengan adanya konsep Tri Hita Karana, Tri Angga (Kepala, badan dan

kaki), Tri Mandala (utama, madya, nista), Tat Twam Asi, Tumpek Bubuh, Tumpek

Uduh, dan Tumpek Kandang.

Namun sayangnya dalam kehidupan kini, kearipan lokal bali tersebut sepertinya

dipertanyakan kontribusinya terhadap pelestarian lingkungan termasuk konservasi

lahan kritis. Tingkat kerusakan hutan tinggi akibat illegal logging dapat menjadi salah

satu contohnya. Begitu juga halnya banyak lahan-lahan kritis yang muncul akibat dari

eksploitasi atau pemanfaatan oleh manusia yang berlebihan tanpa memperhatikan etika

lingkungan sehingga terjadi degradasi lahan yang cukup serius.

Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa

Batur Tengah ?

2. Bagaimana kontribusi kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur

Tengah ?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di

Desa Batur Tengah.

Page 51: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

50

2. Untuk mengetahui kontribusi kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di

Desa Batur Tengah.

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Batur Tengah. Lokasi penelitian ini

dipilih secara purposive dengan dasar pertimbangan bahwa (1) Desa Batur Tengah

merupakan salah satu lokasi dari beberapa lokasi diadakannya kegiatan Rehabilitasi

Lahan dan Konservasi Tanah di Kabupaten Bangli. (2) Dalam konservasi lahan kritis

masyarakat Desa Batur Tengah berpedoman pada aspek-aspek kearifan lokal.

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh petani yang ada diwilayah Desa Batur

Tengah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode quota sampling, yaitu sebanyak

30 orang petani yang tergabung dalam kelompok tani dan 30 orang petani yang tidak

tergabung dalam kelompok tani.

Metode Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dalam penelitian ini ada 2 (dua), yaitu data primer dan data

sekunder. Data primer merupakan data yang diproleh dengan cara survey atau

wawancara langsung dengan petani responden yang berpedoman pada daftar

pertanyaan (kuisioner) yang telah disusun sebelumnya sebanyak 25 pertanyaan. Data

sekunder merupakan data yang diperoleh dari instansi atau lembaga terkait yang

berhubungan dengan topik penelitian.

Analisis Data

Penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis dianalisis secara

deskriptif kualitatif. Sedangkan kontribusi penerapan kearifan lokal dalam konservasi

lahan kritis dianalisis secara deskriptif kuantitatif dengan menggunakan skala 3 (tiga).

Page 52: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

51

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penerapan Kearipan Lokal Dalam Konservasi Lahan Kritis

Konsepsi Tri Hita Karana telah mengajarkan masyarakat Bali untuk memelihara

dan berpegang pada nilai keseimbangan, keberlanjutan, keteladanan dan toleransi,

sehingga kehidupan di alam dapat terjaga. Upaya untuk menjaga adanya keseimbangan

harus terus digelorakan menuju kualitas kehidupan yang lebih baik. Keseimbangan

dalam konteks kearifan local yang merujuk pada Budaya Bali harus dipahami dari

konsep skala-niskala . Dalam melaksanakan konservasi lahan kritis masyarakat Desa

Batur Tengah tidak hanya memperhatikan aspek skala namun juga memiliki keyakinan

yang kuat terhadap aspek niskala. Responden melakukan penanaman pohon tidak

semata ingin mendapatkan imbalan secara skala tetapi juga secara niskala.

Penerapan kearifan local dalam konservasi lahan kritis dapat diidentifikasi

sebagai berikut :

1) Penancapan ranting pohon pada pangkal pohon yang ditebang pada setiap

penebangan pohon mengandung makna bahwa setiap penebangan pohon harus

disertai upaya penanaman kembali untuk mengganti pohon yang ditebang.

Disini nilai keberlanjutan sangat kasat mata untuk memelihara keseimbangan

alam. Satu tindakan yang arif dan bijaksana mengandung nilai yang berganda

baik bagi keberlanjutan maupun keseimbangan alam. Bagi masyarakat Desa

Batur Tengah tindakan ini sepenuhnya dilakukan dalam aktivitas kesehariannya.

Hal ini terlihat jelas, karena anggota kelompok wira usaha secara

berkesinambungan melakukan usaha pembibitan tanaman hutan. Tidak sulit

bagi masyarakat untuk mendapatkan bibit tanaman hutan yang digunakan

sebagai pengganti tanaman yang telah ada, karena bibit tanaman hutan tersedia

sepanjang tahun. Hal ini terjadi karena Kelompok Tani Wira Usaha telah

menjadikan usaha pembibitan tanaman hutan sebagai salah satu income

generating bagi kelompoknya. Penanaman pohon hari ini dapat

diinterpretasikan sebagai tabungan bagi generasi mendatang. Karena pohon

yang baru ditanam akan memberikan manfaat besar beberapa tahun yang akan

datang dan dapat dinikmati oleh generasi penerus. Budaya menanam kembali

Page 53: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

52

pada setiap penebangan pohon telah terinternalisasikan dalam masyarakat Desa

Batur Tengah. Menurut penuturan responden, tidak ada masyarakat yang secara

terpaksa atau dipaksa untuk menanam pohon. Kesadaran menanam pohon

terlahir dari relung hati masyarakat yang secara kebetulan mereka berada pada

daerah yang memiliki lahan kritis.

2) Penebangan pohon yang didasarkan atas hari baik. Hal ini mengandung makna

bahwa penebangan pohon harus dilakukan secara beraturan atau tidak boleh

dilakukan secara sembarangan. Hari-hari menebang pohon tidak boleh secara

acak. Dalam kehidupan masyarakat Desa Batur Tengah terdapat suatu

pandangan kosmis dimana manusia merasakan dirinya hanya sebagai unsure

kecil saja yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha

besar. Pandangan kosmos mendasari hubungan harmonis antara makrokosmos

dengan mikrokosmos guna mewujudkan ketentraman bathin dalam kehidupan.

Sesuai dengan sifat kehidupan sosioreligius masyarakat Hindu maka penduduk

Desa Batur Tengah selalu merujuk pada penggunaan “dewasa” dalam

kehidupannya. Kata “dewasa” adalah bahasa Sansekerta yang artinya sorga,

langit, hari. Jadi dewasa artinya hari pilihan atau hari baik. Dalam

perkembangan selanjutnya diinterpretasikan bahwa “dewasa” adalah pemilihan

hari baik untuk menuju jalan yang mulia berdasarkan peredaran benda benda

langit di ruang angkasa. Memilih hari baik, tidak akan sempurna adanya, namun

ada saja kekurangannya. Masyarakat Desa Batur Tengah percaya bahwa jika

dalam perhitungan sudah didapat lebih banyak nilai baik, berarti sudah bisa

dijadikan dewasa. Untuk menyempurnakan dan mentralisir hal-hal yang buruk,

maka masyarakat setempat melakukan upacara “pamarisudan halaning dewasa”.

Kenyataan ini memberi makna bahwa masyarakat Desa Batur Tengah sangat

mengapresiasi hari baik untuk melakukan aktivitas menebang pohon. Dengan

demikian penebangan pohon tidak dilakukan secara semena-mena yang berarti

bahwa tindakan tersebut mengandung muatan konservasi. Karena sesungguhnya

tindakan konservasi lahan kritis tidak diartikan sebagai tindakan yang sama

sekali nihil terhadap tindakan penebangan pohon. Sumber daya hutan boleh saja

ditebang namun harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhatikan

unsure waktu dan disertai upaya nyata penanaman kembali sebagai pengganti

Page 54: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

53

pohon yang ditebang. Disini nampak unsure kearifan local penduduk Desa

Batur Tengah, yang berupaya menjadikan dusun dan daerah sekitarnya sebagai

kawasan yang tidak lagi terperangkap dalam label daerah lahan kritis. Khusus

untuk menebang bambu masyarakat setempat tidak berkenan melakukannya

pada hari Minggu. Para Tetua Masyarakat Desa Batur Tengah memiliki

pengalaman panjang berkenaan dengan keberadaan tanaman bambu, sehingga

mereka sampai pada kesimpulan praktis yang mengandung muatan konservasi

lahan, yaitu pohon bambu tidak boleh ditebang pada hari Minggu. Suatu

kenyataan yang kasat mata akan terjadi bila pohon bambu ditebang pada hari

Minggu, yakni beberapa bulan kemudian pohon bambu yang masih tertinggal

pada rumpun tersebut akan mengeluarkan bunga. Keluarnya bunga pada pohon

bambu menandakan bahwa rumpun bambu tersebut akan segera mati. Oleh

karena itu, maka masyarakat Desa Batur Tengah telah mengapresiasi fakta

tersebut dengan tidak melakukan penebangan bambu pada hari Minggu. Dengan

demikian muatan konservasi lahan kritis telah melekat pada perilaku

masyarakat Desa Batur Tengah.

3) Penanaman pohon dilakukan berdasarkan hari baik. Bagi masyarakat Desa

Batur Tengah, menanam pohon dilakukan pada hari baik mengandung makna

bahwa penanaman pohon disamping memilih hari baik juga memperhatikan

musim hujan. Walaupun ada hari baik untuk menanam pohon, tetapi tidak

bersamaan dengan musim hujan, maka penanaman pohon tidak dilakukan. Jadi

penanaman pohon hanya dilakukan pada hari baik yang jatuh pada musim

hujan. Penanaman pohonpun dilakukan dengan memperhatikan kemiringan

lahan. Jika lahannya miring maka dilakukan terasering. Dengan demikian

masyarakat Desa Batur Tengah telah mengapresiasi aspek teknis dan non teknis

dalam melakukan konservasi lahan kritis.

4) Pelaksanaan upacara Tumpek Bubuh secara khidmat. Lingkungan hidup sebagai

sumber kesejahteraan hidup manusia menjadi kewajiban manusia untuk

memeliharanya. Untuk itu hendaknya diupayakan adanya perilaku untuk

mensejahterakan alam dan isinya. Usaha untuk melestarikan alam dan isinya

telah menjadi kewajiban manusia sebagaimana diisyaratkan di dalam rgveda

VI.48.17 dan Yayurveda VI.22 : “Janganlah menebang pohon-pohon itu, karena

Page 55: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

54

mereka menyingkirkan pencemaran. Janganlah mencemari air dan janganlah

menyakiti atau menebang pohon-pohon itu”. Perilaku masyarakat Bubung

Kelambu untuk memelihara dan melestarikan alam lingkungan dengan

menyelamatkan semua yang hidup di sekitar lingkungannya diwujud nyatakan

dengan melestarikan hutan lindung, menebang pohon secara bijaksana,

menanam pohon pelindung dan pohon yang bermanfaat bagi kehidupannya,

baik untuk kepentingan pembangunan fisik maupun untuk kepentingan upacara

adapt dan keagamaan. Pemeliharaan terhadap kelestarian lingkungan dimaknai

sebagai satu tatanan perilaku dalam mewujudkan “Moksartam jagadhita”.

Idealisme yang ditunjukkan dalam berbagai sastra suci Weda dan sebagaimana

diungkapkan di dalam Lontar Purana Bali (dalam Wiana, 2002) bahwa di dalam

memelihara dan melestarikan kehidupan alam, agar berpegang pada Sad Kerta

diantaranya Samudra Kerti, Wana Kerti, dan Danu Kerti yang bermakna upaya

untuk memelihara kelestarian hutan, samudra dan danau sebagai sumber air

telah diupayakan untuk diwujud nyatakan oleh masyarakat Bubung Kelambu.

Masyarakat Desa Batur Tengah di dalam memelihara pelestarian alam disertai

dengan upacara ritual keagamaan seperti pelaksanaan Rerahinan Tumpek

Bubuh (atau juga disebut Tumpek Penguduh, Tumpek Wuduh,, Tumpek

Wariga-Pengatag) secara khidmat.

5) Konservasi lahan kritis dituangkan dalam Peraturan Banjar. Bagi masyarakat

Desa Batur Tengah peraturan banjar merupakan wahana untuk mewujudkan

keharmonisan hubungan antar anggota banjar. Untuk mewujudkan

kemarmonisan hubungan, maka harus ada ketaatan dari anggotanya untuk

mematuhi aturan tersebut. Namun bagi anggota masyarakat Bubung Kelambu,

aturan tersebut tidak menjadi penghalang untuk melakukan aktivitas, karena

mereka terbiasa melakukan aktivitas secara normative. Oleh karena itu

peraturan tidak dirasakan sebagai sesuatu yang membatasui aktivitasnya, karena

aktivitas yang dilakukan berada pada ranah normative. Masyarakat beranggapan

bahwa ada atau tanpa peraturan yang berkaitan dengan konservasi lahan kritis,

perilakunya tetap seperti demikian.

6) Kegiatan konservasi lahan kritis dianggap sebagai yadnya. Menjadi kewajiban

bagi masyarakat Desa Batur Tengah untuk melaksanakan aktivitas konservasi

Page 56: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

55

lahan kritis disertai dengan kegiatan yadnya. Yadnya sebagai pusat terciptanya

dan terpeliharanya alam semesta dan segala isinya. Tuhan menciptakan yadnya

sebagai dasar kehidupan semua mahluk ciptaanNya. Oleh karena itu untuk

melakukan harmonisasi hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya

dilakukan aktivitas yadnya. Kesejahteraan sesungguhnya merupakan hak hakiki

semua mahluk, dan kesejahteraan tersebut akan dapat diwujudkan jika ajaran

agama dilaksanakan dengan baik. Yadnya yang dilakukan memberikan vibrasi

terpadu yang efek multipliernya sangat besar terutama pada aspek kesejahteraan

masyarakat.

7) Kegiatan konservasi lahan kritis menciptakan hubungan antar warga yang lebih

harmonis. Harmonisasi hubungan antar warga menjadi sangat penting ditengah

gejolak pergaulan antar dan antara banjar yang acapkali memanas. Toleransi

antar sesama sangat penting untuk diresapi agar tidak menimbulkan perpecahan

yang terkadang disebabkan oleh masalah sepele. Melalui ketentraman suasana

lingkungan sebagai pencerminan dari pelaksanaan konservasi lahan kritis akan

terlahir harmonisasi hubungan antar sesama warga dan bahkan pada tataran

yang lebih luas. Keberhasilan konservasi lahan kritis memberikan vibrasi yang

besar terhadap pencitraan suasana hati para warga masyarakat. Rasa kedamaian

yang menghiasi kehidupan hari-hari warga masyarakat, maka yang

bersangkutan akan mampu mengelola suasana hatinya secara bijaksana. Orang

bijak mengatakan bahwa kebijakan harus teruji pada situasi kritis. Kalau dalam

situasi yang bersifat kritis (dalam konteks lahan kritis) orang mampu mengelola

suasana hatinya secara bijaksana, maka orang tersebut telah layak dikatakan

bijaksana. Tindakannya tidak terperangkap pada perbuatan yang bersifat

kontraproduktif (misalnya merusak hutan). Harmonisasi hubungan antar warga

menjadi prioritas bagi warga Desa Batur Tengah, sehingga kegiatan konservasi

lahan kritis tidak terkendala oleh perilaku keseharian warga dusun.

8) Pemeliharaan kelestarian hutan merupakan jembatan menuju sorga. Sorga bagi

masyarakat Bubung Kelambu dimaknai sebagai suatu keadaan yang tentram,

damai, dan sejahtera. Jika hutan lestari berarti sumber air akan terpelihara,

kesuburan lahan akan terjaga, yang berdampak positif terhadap eksistensi usaha

tani maupun ternak dan akhirnya bermuara pada meningkatnya kesejahteraan

Page 57: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

56

masyarakat. Upaya masyarakat Desa Batur Tengah untuk memelihara

kelestarian hutan telah dilakukan secara berkesinambungan. Menurut

responden, tidak pernah dijumpai adanya kasus warga Desa Batur Tengah yang

melakukan illegal logging. Jangankan menebang pohon yang berada pada

kawasan konservasi lahan kritis, menebang pohon yang berada di lahan

miliknya sendiri selalu melakukan koordinasi dengan keluarga dengan memilih

hari baik. Oleh karena itu, pemeliharaan kelestarian hutan telah dijadikan

aktivitas keseharian warga Desa Batur Tengah, yang mana hal ini terbukti dari

keberadaan vegetasi di daerah ini yang kerapatannya semakin meningkat.

Hasil analisis terhadap jawaban responden dalam penerapan kearifan lokal untuk

konservasi lahan kritis menunjukkan bahwa sebagian besar (63,33%) responden

berada dalam kategori penerapan kearifan lokal yang tinggi. Tidak ada responden

yang penerapan kearifan lokalnya berada dalam kategori rendah. Hanya sebesar

36,67% responden yang berada dalam kategori cukup tinggi dalam hal penerapan

kearifan lokal. Hal ini member makna bahwa penerapan kearifan lokal telah

dijadikan pengawal perilaku responden di Desa Batur Tengah. Dalam kehidupan

sehari-hari responden berpegang pada perilaku normatif yang telah membudaya

pada masyarakat Desa Batur Tengah. Menurut pengakuan responden, ada perasaan

berdosa apabila mereka melakukan perbuatan yang bertentangan atau bersebrangan

dengan perilaku normatif. Dengan demikian perilaku normatif pada masyarakat

Desa Batur Tengah telah melembaga secara permanen dan menjadi rujukan semua

warganya. Pantang bagi warga masyarakat untuk berperilaku menyimpang.

Kelembagaan masyarakat Desa Batur Tengah telah diyakini mampu memberikan

insentif ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan warganya. Kelembagaan yang ada

telah memiliki roh yang kuat yang tercermin dari tingkat keberdayaan masyarakat

menghadapi tantangan perkembangan global.

Kontribusi Kearifan Lokal terhadap Konservasi Lahan Kritis

Penerapan kearifan local dinilai oleh warga Desa Batur Tengah memberikan

dampak positif terhadap upaya konservasi lahan kritis. Tradisi-tradisi yang melandasi

perilaku masyarakat untuk memperbaiki kualitas lingkungan tetap dipelihara. Terlebih

lagi tradisi-tradisi tersebut tidak memerlukan penafsiran kembali untuk penerapannya.

Page 58: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

57

Tidak ada tradisi yang bersifat menalar yang sakral. Tidak ada satupun responden yang

memberikan jawaban bahwa penerapan kearifan local tidak efektif. Sebagian besar

responden menyatakan bahwa penerapan kearifan local cukup efektif dalam melakukan

konservasi lahan kritis. Secara visual dapat diamati bahwa kondisi lingkungan di Desa

Batur Tengah menampakkan panorama yang semakin membaik. Luas areal lahan kritis

semakin berkurang, kondisi lahan semakin hijau dengan kepadatan vegetasi semakin

meningkat.

Sebagian besar responden menyatakan bahwa penanaman pohon pada hari baik

memperlihatkan hasil yang lebih baik. Tradisi memilih hari baik untuk melakukan

penanaman pohon telah menjadi pegangan hidup masyarakat Desa Batur Tengah.

Secara nyata perbuatan ini telah teruji di lapangan. Pohon yang ditanam pada hari baik

biasanya terhindar dari gangguan ternak, hama dan penyakit bahkan tindakan warga

masyarakat yang berperilaku menyimpang. Seolah tanaman tersebut terlindung dari

bencana yang kerap terjadi secara sporadic. Ada kekuatan yang tidak nampak atau ada

semacam invisible hand yang melindungi tanaman tersebut. Pertumbuhan pohonpun

menampakkan laju yang lebih baik. Fenomena ini telah dikenali oleh masyarakat secara

komprehensif dan telah dikomunikasikan kepada generasi penerusnya untuk selalu

diamalkan dalam kehidupan dimasa mendatang. Para tetua yang mahir wariga dengan

penuh kesabaran hati mentransmisikan pengetahuannya kepada anak cucunya. Bahkan

ada sejumlah generasi muda Desa Batur Tengah yang mencoba mendokumentasikan

metode pemilihan hari baik berdasarkan perhitungan wariga yang berbasis teknologi

informasi.

Penebangan pohon pada hari baik dipersepsikan oleh respoden menampakan

hasil yang lebih baik. Sebagian besar responden menyatakan bahwa penebangan pohon

pada hari baik memperlihatkan hasil yang lebih baik. Menurut responden kayu yang

ditebang pada hari baik yang kemudian digunakan untuk bahan bangunan tidak cepat

rusak. Ada responden yang menyatakan berdasarkan pada pengalamannya bahwa kayu

yang ditebang pada hari baik terhindar dari gangguan rayap, walaupun kayu tersebut

tidak diberikan perlakuan khusus agar tahan terhadap serangan rayap. Walaupun hal ini

masih memerlukan kajian lebih lanjut, namun responden merasakan manfaat yang

sangat signifikan ketika mereka menggunakan hari baik untuk menebang pohon

Page 59: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

58

terutama yang akan dijadikan bahan bangunan, baik rumah tempat tinggal maupun

bangunan tempat suci.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi penerapan kearifan lokal dalam

konservasi lahan kritis berada dalam kategori cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari

persentase pencapaian skor terhadap skor maksimal yang mencapai 68,73 %. Secara

kuantitatif sebagian besar responden berada dalam kaegori cukup tinggi dalam hal

kontribusi penerapan konservasi lahan kritis. Pada tataran persepsi responden,

kontribusi penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis cukup baik. Derajat

ketepatan penerapan kearifan lokal disinyalir berdampak pada besaran kontribusinya,

sehingga pada tingkat penerapan yang relatif terarah mengakibatkan kontribusi yang

relative lebih baik terhadap konservasi lahan kritis.

Keyakinan responden bahwa kehidupan memiliki dimensi waktu (Tri Semaya

Kala) melahirkan pikiran yang menganggap konservasi lahan kritis sebagai kewajiban.

Aktivitas konservasi yang dilakukan pada masa lalu akan berdampak pada masa kini

dan masa yang akan datang. Demikian juga tindakan konservasi yang dilakukan pada

masa kini akan memberikan dampak yang besar pada kualitas kehidupan yang akan

datang. Kesadaran yang tinggi dari responden bahwa hidup bukan hanya hari ini,

namun juga pada masa yang tidak terkira didepan, menambah semarak aktivitas

pelestarian lingkungan terutama yang berkaitan dengan konservasi lahan kritis.

Faktor Pendukung Penerapan Kearifan Lokal Dalam Konservasi Lahan Kritis

Keberhasilan penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis tidak

terlepas dari keberadaan faktor pendukung. Adapun sejumlah faktor pendukung

penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis teridentifikasi sebagai berikut :

1) Faktor tingginya dukungan warga masyarakat Desa Batur Tengah melaksanakan

konservasi lahan kritis yang berlandaskan ajaran dharma.

2) Visi kelompok tani Wira Usaha yang secara lugas mencantumkan Tri Hita

Karana sebagai dasar merujudkan pertanian maju, meningkatkan fungsi hutan

dan kesejahteraan petani. Warga masyarakat Bubung Kelambu percaya bahwa

kesuburan adalah merupakan karunia dari Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan

Yang Maha Esa, sehingga warga berusaha memelihara hubungan yang

harmonis dengan Sang Pencipta dalam manifestasinya sebagai Dewi Kesuburan

Page 60: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

59

melalui persembahan upacara-upacara yang dilaksanakan pada Pura-Pura

setempat. Warga juga percaya bahwa kesuburan yang ingin dicapai tidak dapat

diusahakan secara sendiri-sendiri atau memerlukan kerjasama, sehingga warga

berusaha menjalin hubungan yang harmonis antar warga yang diwujudkan

melalui sangkepan/rapat-rapat warga. Warga Desa Batur Tengah juga percaya

bahwa segala kemakmuran itu adalah datangnya dari bantuan alam lingkungan

sekitarnya sehingga kelompok tani dan warga dusun berusaha menjalin

hubungan yang harmonis dengan alam lingkungannya.

3) Tingginya pengamalan warga masyarakat terhadap landasan operasional dusun

yaitu “Paras paros selunglung sabayantaka sarpanaya” yang berarti segala baik

buruk, berat ringan dipikul bersama. Betapa tingginya rasa toleransi warga

untuk mensukseskan pelaksanaan suatu aktivitas termasuk upaya penerapan

kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis.

4) Faktor dukungan pemerintah daerah dari tingkat kabupaten, kecamatan, dan

bahkan desa. Dukungan tersebut diwujudkan dalam bentuk bantuan dana,

material, maupun dukungan moril.

Faktor Penghambat Penerapan Kearifan Lokal Dalam Konservasi Lahan Kritis

Teridentifikasi sejumlah faktor penghambat merintangi penerapan kearifan lokal

dalam konservasi lahan kritis, yaitu :

1) Hambatan ekonomi, yaitu kurangnya pendanaan yang dapat dimanfaatkan untuk

penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis. Kegiatan konservasi

lahan kritis melalui penerapan kearifan lokal tidak lepas dari masalah

pendanaan, karena kegiatan tersebut membutuhkan dana yang memadai.

Aksesibilitas warga terhadap sumber-sumber pendanaan yang dapat

dimanfaatkan untuk konservasi lahan kritis masih terbatas. Kepedulian investor

terhadap pelestarian lingkungan masih sangat rendah, terbukti tidak adanya

investor yang mau berkolaborasi dengan warga dalam melaksanakan konservasi

lahan kritis.

2) Hambatan teknologi. Masyarakat menganggap bahwa teknologi yang mereka

gunakan untuk menerapkan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis masih

Page 61: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

60

sangat sederhana, karena mereka melakukannya secara manual. Belum ada

upaya enginering dalam penerapan kearifan lokal.

3) Hambatan kelembagaan. Lembaga adalah organisasi atau norma yang mengatur

kehidupan warga masyarakat. Di Desa Batur Tengah tidak semua warganya

tergabung dalam kelompok tani, sehingga terjadi disparitas antara warga yang

tergabung dalam kelompok dengan warga yang tidak tergabung dalam

kelompok. Warga yang tergabung dalam kelompok memiliki visi dan misi yang

jelas dalam melaksanakan konservasi lahan kritis termasuk melalui konsep

kearifan lokal. Sementara warga yang tidak tergabung dalam kelompok tani

kurang terarah dalam melangkah untuk menerapkan kearifan lokal.

4) Hambatan fisik, yakni curamnya medan yang menjadi lokasi konservasi lahan

kritis, sehingga menghambat warga dalam menerapkan kearifan lokal. Untuk

menuju lokasi konservasi lahan kritis yang relatif sulit, warga seringkali

semangatnya terpatahkan oleh kesulitan medan, meskipun sesungguhnya

mereka telah siap dengan konsep kearifan lokal.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1) Penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah

berada dalam kategori baik.

2) Kontribusi penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur

Tengah berada dalam kategori cukup tinggi.

3) Faktor pendukung penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa

Batur Tengah adalah faktor dukungan masyarakat, pemerintah, pengamalan warga

terhadap falsafah Tri Hita Karana dan landasan operasional “paras paros selulung

subayantaka sarpanaya”

4) Faktor penghambat penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa

Batur Tengah adalah hambatan ekonomi, teknologi, kelembagaan dan hambatan

fisik.

Page 62: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

61

Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut :

- Kepada warga masyarakat agar meningkatkan kualitas penerapan kearifan lokal

dalam konservasi lahan kritis sehingga kontribusi penerapan kearifan lokal

dalam konservasi lahan kritis menjadi lebih tinggi.

- Kepada Bendesa adat agar melaksanakan kearifan local secara lebih bijaksana.

- Kepada Pemerintah Daerah melalui Camat Kintamani agar lebih intensif

memantau penerapan kearifan local dalam konservasi lahan kritis.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan, 2005. Rencana Teknik Lapangan Rahabilitasi Lahan dan

Konservasi Tanah (RTL RLKT) DAS Saba Daya. Balai Pengelolaan DAS Unda

Anyar, Denpasar.

Departemen Kehutanan, 2006. Peta Lahan Kritis Wilayah Propinsi Bali. Balai

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Unda Anyar, Denpasar.

Page 63: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

62

AFFECTIVITY OF APPLICATION TIME OF FUNGI

TRICHODERMA SPP IN CONTROLLING WITHERED DISEASE

OF FUSARIUM OXYSPORUM TO RED CHILI PLANT IN A

LARGE AREA.

Oleh

FARIDA HANUM DAN NI PUTU PANDAWANI

Faculty of Agriculture, Mahasaraswati University Denpasar

ABSTRACT

Research that untitled “Affectivity of application time of fungi Trichoderma

SPP in controlling withered disease of Fusarium Oxysporum to red chili plant in a large

area“ The result of the research shows that treatment of fungi Trichoderma SPP

application to chili plant when breeding produce height of plant and highest amount of

leaf that are 103,25 cm and 209,00 sheets which actually higher 26,45% and 21,89%

are compared with control (without application), and also actually higher in a row

11,14%; 14,15%; 10,80%; and 6,49%; 11,98%; 13,11% if compared with time of

application fungi Trichoderma SPP in 1, 2, and 3 weeks before planting.

The biggest safety of cultivation fruit weight per plot and percentages of

cultivation result is held in treatment of fungi Trichoderma SPP application when

Page 64: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

63

breeding that reaches 8,080kg and 45,69% but treatment of fungi Trichoderma SPP

application in 1, 2, and 3 weeks before planting reaches 5,971 kg; 7,240kg; 6,073 kg

and 7,66%; 30,54%, and 9,51%. Fungi Trichoderma SPP application when breeding

produces the higher affectivity in controlling withered disease of Fusarium Oxysporum

to red chili plant with lowest attack intensity that is 10,71% but fungi Trichoderma SPP

application in 1, 2, and 3 weeks before planting produces attack intensity in a row

25,00%; 14,28%; and 27,38%.

Key word: Efectiveness, Metarhizium anisopliae, Oryctes rhinoceros. L.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit utama yang menyerang tanaman cabai merah adalah penyakit

layu Fusarium yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum var.

vasinfectum. Serangan permulaan penyakit layu Fusarium terjadi pada leher

batang bagian bawah yang bersinggungan dengan tanah. Bagian tersebut akan

membusuk dan berwarna coklat. Infeksi menjalar ke keperakaran yang

menyebabkan akar busuk basah. Gejala penyakit pada bagian tanaman di atas

tanah adalah terjadinya kelayuan daun-daun mulai dari bagian bawah dan

serangan layu Fusarium umum terjadi di pembibitan ( Sumarni, 1996 ).

Pengendalian penyakit layu Fusarium dengan menggunakan fungisida

merupakan cara yang paling imum dilakukan oleh petani. Cara ini telah

dilakukan selama bertahun-tahun, namun belum memberikan hasil yang

mantap, disamping itu penggunaan fungisida yang tidak bijaksana dapat

mengakibatkan pencemaran lingkungan, gangguan terhadap kesehatan manusia,

hewan dan mikroorganisme yang menguntungkan. Di samping itu pengendalian

dengan menanam varietas tahan belum mampu memberikan hasil panen yang

tinggi ( Suryaningsih, 1994 ).

Sejalan dengan perkembangan iptek yang telah maju, maka perlu

diupayakan alternatip pengendalian lain seperti pengendalian hayati dengan

memanfaatkan agen antagonis seperti salah satunya adalah cendawan

Trichoderma spp. Cendawan Trichoderma spp. merupakan cendawan yang bersifat

antagonis terhadap cendawan yang bersifat patogen pada tanaman. Cendawan

Page 65: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

64

Trichoderma spp. memiliki tiga sifat antagonistk yaitu kompetisi, antibiosis dan

mikroparasitisme. Kompetisi terjadi ketika dua atau lebih mikroorganisme saling

berkompetisi dalam memperebutkan kebutuhan hidup yang sama. Sifat kompetisi

antara agens antagonis dengan patogen penyakit memegang peranan penting dalam

pengendalian penyakit (Meity,1995).

Berdasarkan hal diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “

Efektivitas Waktu Aplikasi Cendawan Trichoderma spp. dalam Pengendalian Penyakit

Layu Fusarium oxysporum Tanaman Cabai Merah di Lapang“ yang dilaksanakan di

Laboratorium Fakultas Pertanian Unmas Denpasar untuk kegiatan persiapan bahan

penelitian yaitu pembiakan cendawan dan di kebun cabai di Dusun Uma Desa, Desa

Peguyangan Kaja, Kecamatan Denpasar Timur untuk kegiatan penelitian lapang.

Perumusan Masalah

Berdasarkan pernyataan diatas dan diketahui juga bahwa ada beberapa kendala

dalam pengendalian hayati menggunakan agensia hayati yaitu tidak diperhatikannya

situasi ekologi yang sangat kompleks dari suatu agensia dimana proliferasi atau

pertumbuhan agensia di lapang sangat menentukan efektifitas pengendalian. Sejalan

dengan hal tersebut, maka masalah yang akan dicarikan jawabannya dalam penelitian

ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1). Apakah perbedaan dari waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp.yaitu saat

pembibitan dan saat setelah tanam aka berpengaruh terhadap pertumbuhan

tanaman cabai merah di lapang

2). Apakah perbedaan dari waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp.akan

berpengaruh terhadap Intensitas serangan penyakit layu F. Oxysporum pada

tanamaN cabai merah di lapang

3). Apakah perbedaan dari waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp. akan

berpengaruh terhadap produksi tanaman cabai merah di lapang

4). Saat aplikasi yang efektip dari cendawan Trichoderma spp. ke lapang

untuk pengendalain penyakit layu Fusarium oxysporum pada tanaman

cabai merah dilapang.

Tujuan Penelitian

Page 66: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

65

1) Mengetahui waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp.yang tepat apakah saat

pembibitan atau saat setelah tanam akan memberikan pertumbuhan terbaik dari

tanaman cabai merah di lapang

2) Mengetahui waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp.yang tepat apakah saat

pembibitan atau saat setelah tanam akan memberikan produksi tertinggi dari

tanaman cabai merah di lapang

3) Mengetahui waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp.yang tepat apakah saat

pembibitan atau saat setelah tanam dalam pengendalian penyakit layu Fusarium

sehingga dihasilkan intensitas serangan penyakit terendah dari tanaman cabai

merah di lapang

METODE

Rancangan Penelitian

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5

perlakuan termasuk kontrol dan 6 ulangan sehingga jumlah plot / satuan

percobaan sebanyak 5 x 6 = 30 petak. Denah penelitian dan denah contoh plot

penelitian tertera pada Gambar 1dan Gambar 2.

Perlakuan yang dimaksud adalah :

TB = Aplikasi cendawan Trichoderma spp. saat pembibitan

T3 = Aplikasi cendawan Trichoderma spp. 3 minggu sebelum tanam

T2 = Aplikasi cendawan Trichoderma spp. 2 minggu sebelum tanam

T1 = Aplikasi cendawan Trichoderma spp. 1 minggu sebelum tanam

T0 = Kontrol ( Tanpa aplikasi cendawan Trichoderma spp.)

Pelaksanaan Penelitian di Laboratorium

Pembiakan Cendawan dari isolat murni pada PDA ke Media Beras

Beras dicuci dan dikukus selama ± 45 menit. Beras yang telah dimasak

dituang di atas nampan, selanjutnya dibiarkan sampai dingin, Setelah dingin media

beras dimasukkan ke dalam kantong plastik, kira-kira seperempat bagian dari panjang

kantong. Media disterilkan/dikukus dalam panci selama 1 jam (dihitung setelah air

mendidih), Setelah dingin media siap diinokulasikan dengan biakan Trichoderma Sp

Page 67: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

66

dan dilakukan dalam incase (kotak inokulasi), Setelah diinokulasi, mulut kantong

streples untuk memberi ruangan udara. Media lalu disimpan pada kondisi ruangan yang

tidak terkena cahaya matahari langsung. Miselium cendawan akan memenuhi media

dalam waktu 7-10 hari dan siap untuk dipindahkan pada media sekam. Pembiakan ini

diatur disesuaikan dengan kebutuhan perlakuan waktu aplikasi.

Pembiakan cendawan dari media beras ke media sekam

Starter cendawan Trichoderma spp pada media padat beras yang telah tumbuh

langsung diblender bersama media beras hingga menyerupai tepung.

Sementara itu sekam dikukus ± 1 jam dan didinginkan. Tepung Trichoderma

dilarutkan ke dalam 500 ml air dan dicampurkan pada 1 kg sekam yang sudah steril,

dan diaduk sampai rata. lalu kita masukan ke dalam kantong plastik dan kita rekatkan

pada kedua ujungnya, selanjutnya disimpan pada rak penyimpanan. Inkubasi selama 3-

5 hari, sampai miselium menutupi media sekam secara merata selanjutnya siap

diaplikasikan ke lapang. Agar umur cendawan pada media sekam yang digunakan sama

untuk semua perlakuan waktu aplikasi yaitu 5 hari, maka saat pembiakan cendawan ke

media sekam diatur disesuaikan dengan perlakuan waktu aplikasi.

Pelaksanaan Penelitian di Lapang

Pembibitan

Benih cabai setelah direndam dalam air selama ± 24 jam langsung ditanam pada

polybag kecil ukuran 8 cm x 10 cm yang telah diisi media campuran dari 10 kg tanah,

5 kg pupuk kandang dan 80 gr pupuk NPK dengan satu bibit per polybag. (Rukmana,

1994).Untuk perlakuan aplikasi Trichoderma spp. pada pembibitan, disiapkan 6 x 14 =

84 buah polybag yang masing-masing telah diisi media campuran di atas ditambah

0,5 kg media sekam biakan cendawan Trichoderma spp.per polybag (BPTPH Bali,

2001). Jumlah seluruh bibit yang diperlukan adalah 6 x 5 x 14 = 420 buah Setelah

tumbuh umur 23 hari bibit siap dipindahkan ke lapangan.

Persiapan Lahan dan Aplikasi Trichoderma spp.

Lahan pertanaman cabai yang akan dipergunakan untuk percobaan dibersihkan

dari gulma, digemburkan dan dibuatkan 6 petak besar sebagai ulangan / kelompok

dengan ukuran masing-masing 7 m x 15 m. Setiap petak besar dibagi menjadi 5 plot

Page 68: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

67

sebagai perlakuan dengan ukuran masing-masing 1,5 m x 5 m dan jarak antar plot 1m.

Penempatan perlakuan pada setiap ulangan dilakukan secara acak dengan memasang

kode perlakuan dan ulangan. Pemupukan dasar dilakukan 1 minggu sebelum tanam

dan sebelum mulsa plastik dipasaang dengan dosis pertanaman Urea 20 gr, TSP 30 gr,

KCl 30 gr dan ZA 50 gr (Rukmana, 2001)

Waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp. dilakukan sesuai dengan perlakuan

yaitu TB, T3, T2, T1, dengan dosis 0,5 kg pertanaman. Jumlah tanaman per plot

(perlakuan = 14) , sehingga aplikasi perplot sebanyak 14 x 0,5 kg = 7 kg.

Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman

Penanaman di lapangan dilakukan setelah bibit umur 23 hari dengan satu bibit

perlubang dan jarak tanan 60 cm x 70 cm (Rukmana, 2001)

Pemeliharaan tanaman meliputi kegiatan pengairan, penyiangan, pemasangan

ajir dan pemupukan. Pengairan dilakukan dengan penggenangan sehari sampai setinggi

plot setiap minggu atau sesuai keadaan. Pemupukan ke dua dilakukan saat tanaman

umur 50 (hari setelah tanam) yaitu dengan cara disiram dengan larutan pupuk NPK 5

kg/200 liter air dan dosis ± 500 ml per tanaman. Pemupukan ini dilakukan setiap 2 mg

sampai panen.

Pengamatan dan Analisis Data

Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman (cm), jumlah daun pertanaman

(helai), Intensitas serangan penyakit layu F. oxysporum (%) dan berat panen buah per

plot (Kg).

Pengamatan dilakukan setiap minggu hingga panen. Untuk parameter tinggi

tanaman dan jumlah daun diukur dari rerata 5 sampel tanaman per plot, pengambilan

sampel dengan cara diacak Berat panen buah diukur dari hasil panen per plot ( per 7,5

m² ). Panen dilakukan bertahap 3-4 kali selang 2-3 hari mulai umur 105 hst.

Intensitas serangan penyakit ditentukan dari rerata seluruh tanaman yaitu 14

tanaman per plot. Intensitas serangan penyakit dihitung dengan rumus sbb:

(Anonimus, 2000).

A

I = ____________ X 100 %

A + B

Page 69: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

68

Keterangan : I = Intensitas serangan (%)

A = Jumlah tanaman terserang

B = Jumlah tanaman yang diamati

Data hasil pengamatan perminggu dari masing-masing parameter

disusun dalam bentuk tabel dan dianalisis sesuai dengan Rancangan penelitian

yang digunakan yaitu RAK dan uji lanjutan beda nilai rerata dengan BNT pada

taraf uji 5% ( Hanafiah, 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi Tanaman Cabai

Pengamatan umur 4 mst. tinggi tanaman tertinggi terjadi pada perlakuan TB

yaitu 31,66 cm dan terendah terjadi pada perlakuan T1 yaitu 29,01 cm yang tinggi

berturut-turut pada pengamatan 4, 6 dan 8 mst. setinggi 43.87 cm; nyata lebih tinggi

dari kontrol (T 0) yaitu 27,.76 cm. Pengamatan umur 6, 8 dan 10 minggu setelah tanam,

tinggi tanaman tertinggi juga terjadi pada perlakuan TB yaitu berturut-turut mencapai

51,00 cm; 83,88 cm dan 103,25 cm sedangkan terendah juga terjadi pada perlakuan T1

yaitu berturut-turut 44,77 cm; 65,20 cm dan 93,18 cm, tetapi selalu lebih tinggi dari

kontrol (T 0) yang hanya mencapai 43,87 cm; 63,98 cm dan 81,65 cm (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh Perlakuan Waktu Aplikasi Cendawan Trichoderma spp.

terhadap Tinggi Tanaman Cabai (cm)

No

. Perlakuan

Umur Tanaman (mst)

4 6 8 10

1. T B 31.66 a 51.00 a 83.88 a 103.25 a

2. T 3 29.86 b 47.60 b 74.12 b 92.90 b

3 T 2 29.46 c 45.70 c 67.45 c 90.45 b

4 T 1 29.01 d 44.77 d 65.20 d 93.18 b

24

Page 70: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

69

5 T 0 27.76 e 43.87 e 63.98 d 81.65 c

BNT 5% 0.18 0.38 1.53 3.85

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh hurup yang sama pada kolom yang sama

menujukan berbeda tidak nyata pada tarap uji BNT 5% .

Jumlah Daun Tanaman Cabai

Pengamatan umur 4 mst. jumlah daun tertnggi terjadi pada perlakuan T2

yaitu 33,13 helai dan terendah terjadi pada perlakuan T1 yaitu 32,23 helai yang tidak

nyata lebih tinggi dari kontrol (T 0) yaitu 30,73 helai.. Pengamatan umur 6, 8 dan 10

minggu setelah tanam, jumlah daun tertinggi terjadi pada perlakuan TB yaitu berturut-

turut mencapai 78,50 helai; 157,60 helai dan 209,00 helai sedangkan jumlah terendah

juga terjadi pada perlakuan T1 yaitu berturut-turut 66,23 helai; 123,66 helai dan 184,70

helai, tetapi selalu lebih tinggi dari kontrol (T 0) yang hanya mencapai jumlah

berturut-turut pada pengamatan 4, 6 dan 8 mst. sebanyak 66,23 helai; 114,86 helai dan

171,46 helai. (Tabel 3).

Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Waktu Aplikasi Cendawan Trichoderma spp.

terhadap Jumlah Daun Tanaman Cabai ( helai/tanaman )

No

. Perlakuan

Umur Tanaman (mst)

4 6 8 10

1. T B 32.90 a 78.50 a 157.60 a 209.00 a

2. T 3 33.13 a 73.53 b 144.66 b 196.26 b

3 T 2 33.43 a 73.93 ab 136.23 c 186.63 c

4 T 1 32.23 ab 66.23 c 123 66 d 184.76 c

5 T 0 30.73 b 67.26 c 114.86 e 171.46 d

Page 71: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

70

BNT 5% 1.63 4.66 4.81 6.69

Keterangan : Nilai yang diikuti oleh hurup yang sama pada kolom yang sama

menujukan berbeda tidak nyata pada tarap uji BNT 5%

Gambar 3. Pengaruh perlakuan waktu aplikasi

cendawan terhadap tinggi tanaman

0

20

40

60

80

100

120

4 MST 6 MST 8 MST 10 MST

Umur Tanaman (mst)

Tin

ggi T

anam

an (c

m)

TB

T3

T2

T1

T0

Gambar 4. Pengaruh perlakuan waktu aplikasi

cendawan terhadap jumlah daun

0

50

100

150

200

250

4 MST 6 MST 8 MST 10 MST

Umur Tanaman (mst)

Jum

lah d

aun (h

ela

i/tanam

an)

TB

T3

T2

T1

T0

Page 72: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

71

Intensitas Serangan Penyakit Layu F. oxysporum

Perlakuan waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp pada tanaman cabai

memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P < 0,01) terhadap parameter

intensitas serangan penyakit yaitu pada pengamatan umur 4, 6, 8 dan 10 minggu setelah

tanam.

Pada pengamatan umur 10 mst, perlakuan TB memberikan intensitas serangan

penyakit terendah yaitu 10,71 % yang berbeda nyata dengan semua perlakuan lain.

Sedangkan intensitas serangan tertinggi terjadi pada perlakuan T0 yaitu 27,38 % yang

tidak berbeda nyata dengan perlakuan T1 dan T3 yaitu masing-masing 25,00 %,

tetapi berbeda nyata dengan perlakuan T2 dan TB yaitu 14,28 % dan 10,71 %

(Table 5).

Tabel 5. Pengaruh Perlakuan Waktu Aplikasi Cendawan Trichoderma spp.

terhadap Intensitas Serangan Penyakit Layu F. oxysporum pada

Tanaman Cabai (%)

No

. Perlakuan

Umur Tanaman (mst)

4 6 8 10

1. T B 0.00 b 3.57 c 9.52 d 10.71 c

2. T 3 10.71 a 20.23 a 23.81 b 25.00 a

Page 73: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

72

3 T 2 1.19 b 10.71 b 14.28 c 14.28 b

4 T 1 8.33 a 16.66 ab 23.81 b 25.00 a

5 T 0 8.33 a 22.61 a 27.38 a 27.38 a

BNT 5% 8.51 7.02 3.14 3.36

Keterangan : Nilai yang diikuti oleh hurup yang sama pada kolom yang sama

menujukan berbeda tidak nyata pada tarap uji BNT 5% .

Berat Panen Buah per Plot

Perlakuan waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp pada tanaman cabai

memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P < 0,01) terhadap parameter berat

panen buah per plot buah. Panen dilakukan bertahap pada buah cabai yang telah merah

mulai umur 85 - 95 hari setelah tanam .

Gambar 5. Pengaruh perlakuan waktu aplikasi

cendawan terhadap intensitas serangan

0

5

10

15

20

25

30

4 MST 6 MST 8 MST 10 MST

Umur Tanaman (mst)

Inte

nsita

s s

era

ng

an

(%

)

TB

T3

T2

T1

T0

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Bera

t panen (

Kg/7

,50 m

2)

TB T3 T2 T1 T0

Perlakuan

Gambar 6. Pengaruh perlakuan waktu aplikasi

cendawan terhadap berat panen buah

Page 74: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

73

Persentase Berat Panen Terselamatkan

Persentase berat panen terselamatkan adalah persentase peningkatan hasil

panen pada perlakuan dibandingkan dengan hasil panen pada kontrol ( tanpa aplikasi

Trichoderma spp.).

Perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp pada saat pembibitan dapat

menyelamatkan hasil terbesar karena serangan penyakit layu yaitu mencapai sebesar

45,69 %. Pada perlakuan aplikasi T3 hasil panen yang terselamatkan paling kecil yaitu

7,66 % yang kemudian meningkat pada perlakuan T1; T2 dan tertinggi pada perlakuan

TB yaitu berturut-turut sebesar 9,51 %; 30,54 % dan 45,69 %.(Tabel 6).

Tabel 6. Pengaruh Perlakuan Waktu Aplikasi Cendawan Trichoderma spp.

terhadap Berat panen buah dan Persentase hasil panen terselamatkan

No Perlakuan

Parameter

Berat panen buah

(Kg/ 7,5 m²)

Persentase panen buah

terselamatkan (%)

Page 75: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

74

Keterangan : Nilai yang diikuti oleh hurup yang sama pada kolom yang sama

menujukan berbeda tidak nyata pada tarap uji BNT 5% .

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaruh waktu aplikasi cendawan

Trichoderma spp. terhadap parameter yang diamati memberikan pengaruh yang

berbeda nyata (p < 0,05) sampai berbeda sangat nyata (P < 0,01) pada semua

parameter. Ditinjau dari parameter tinggi tanaman pada umur 4; 6; 8 dan 10 minggu

setelah tanam, perlakuan waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp. pada tanaman

cabai dalam pengendalian penyakit layu , perlakuan waktu aplikasi saat pembibitan

selalu menyebabkan tanaman tertinggi yaitu berurutan 31,66 cm ; 51,00 cm; 83,88 cm

dan 103,25 cm dan tanaman terendah selalu terjadi pada tanpa pemberian cendawan

Trichoderma spp. yaitu berurutan 27,76 cm; 43,87 cm; 63,98 cm dan 81,65 cm . Bila

dibandingkan dengan ketiga perlakuan waktu aplikasi yaitu 3 mst; 2 mst dan 1 mst,

ternyata tampak bahwa perlakuan aplikasi saat pembibitan juga selalu menyebabkan

tanaman yang tertinggi pada setiap umur pengamatan dan tanaman terendah selalu

terjadi pada perlakuan aplikasi 1 mst.

Ditinjau dari parameter intensitas serangan penyakit layu Fusarium oxysporum

pada semua perlakuan di pengamatan perminggu, jumlah tanaman terserang penyakit

layu adalah 0 (tanaman belum ada terserang penyakit) pada umur tanaman 2 mst,

selanjutnya serangan penyakit mulai terjadi pada umur 3 mst yaitu pada perlakuan

1. T B 8,080 a 45,69

2. T 3 5,971 c 7,66

3 T 2 7,240 b 30,54

4 T 1 6,073 c 9,51

5 T 0 5,546 c 0

BNT 5% 0,543 -

Page 76: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

75

tanpa aplikasi cendawan Trichoderma spp. (T0), aplikasi cendawan Trichoderma spp

satu minggu sebelun tanam (T1) dan aplikasi cendawan Trichoderma spp tiga minggu

sebelum tanam (T3), sedangkan pada perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp.

dua minggu sebelum tanam (T2) serangan penyakit layu baru terjadi pada umur 4 mst

dan pada perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp saat pembibitan (TB) serangan

penyakit layu baru terjadi pada umur 5 mst. Dari hasil pengamatan tersebut tampak

bahwa perlakuan aplikasi saat pembibitan memberikan ketahanan terhadap penyakit

layu paling tinggi pada awal pertumbuhan tanaman yang terlihat dari munculnya

serangan penyakit mulai umur 5 mst sedangkan pada perlakuan lain serangan penyakit

telah muncul mulai umur 3 mst.

Pada setiap waktu pengamatan perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp

saat pembibitan (TB) selalu memberikan intensitas serangan penyakit paling rendah

yaitu nyata lebih rendah dari perlakuan tanpa aplikasi (T0), aplikasi 1 (T1) dan 3

minggu sebelum tanam (T3), tetapi tidak nyata lebih rendah dari perlakuan aplikasi 2

minggu sebelum tanam (T2). Intensitas serangan penyakit pada akhir pengamatan yaitu

umur 10 minggu terendah terjadi pada perlakuan saat pembibitan yaitu 10,71 % nyata

lebih rendah dibandingkan dengan semua perlakuan lain yaitu 14,28 % pada perlakuan

aplikasi 2 minggu sebelum tanam, 25,00% pada perlakuan aplikasi 1 dan 3 minggu

sebelum tanam dan 27,38 % pada perlakuan tanpa aplikasi cendawan Trichoderma

spp.

Serangan penyakit layu terus berlanjut terjadi sampai umur tanaman 9 mst dan

pada pengamatan terakhir umur 10 mst pada semua perlakuan sudah tidak ada lagi

perkembangan jumlah tanaman terserang penyakit. Hal ini terjadi mungkin ketahanan

tanaman terhadap penyakit layu sudah semakin tinggi sebagai akibat dari pengaruh

aktivitas cendawan Trichoderma spp yang telah diaplikasikan, dan ini berhubungan

dengan pendapat Meity,1995 yang menyatakan bahwa cendawan Trichoderma spp.

memiliki tiga sifat antagonistic yaitu kompetisi, antibiosis dan mikroparasitisme.

Kompetisi terjadi ketika dua atau lebih mikroorganisme saling berkompetisi dalam

memperebutkan kebutuhan hidup yang sama. Sifat kompetisi antara agens antagonis

dengan patogen penyakit memegang peranan penting dalam pengendalian

penyakit..Antibiosis terjadi ketika Trichoderma spp. melepaskan zat toxik yang bersifat

antibiosis terhadap organisme lain yang berintegrasi langsung. Organisme antagonis

Page 77: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

76

hidup dan tumbuh pada isi sel inang yang telah mati. Cendawan Trichoderma spp

menghasilkan antibiotik, lisis dan enzim hidrolitik yang dapat menghambat

pertumbuhan dan perkembangan organisme lain yang beritegrasi dengannya .

Selanjutnya tampak bahwa dari hasil penelitian parameter tinggi tanaman,

jumlah daun dan intensitas serangan penyakit memberikan pengaruh yang sejalan

degan berat buah panen per plot, dimana jumlah buah panen tertinggi dicapai pada

perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp saat pembibitan yaitu 8,080 kg yang

nyata lebih tinggi dari semua perlakuan T2; T1; T3 dan T0 dengan hasil panen masing-

masing 7,240 kg; 6,073 kg; 5,971 kg dan 5,546 kg. Demikian pula perlakuan

aplikasi cendawan Trichoderma spp pada saat pembibitan dapat menyelamatkan hasil

buah cabai terbesar karena serangan penyakit layu Fusarium oxysporum yaitu mencapai

nilai 45,69 %.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp pada tanaman cabai saat

pembibitan menghasilkan tinggi tanaman dan jumlah daun tertinggi yaitu 103,25

cm dan 209,00 helai, yang secara nyata lebih tinggi 26,45 % dan 21,89 %

dibandingkan dengan kontrol (tanpa aplikasi), dan juga nyata lebih tinggi

berturut-turut 11,14%; 14,15%; 10,80% dan 6,49%;11,98%;13,11%

dibandingan dengan waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp 1, 2, dan 3

minggu sebelum tanam.

2. Berat buah panen per plot dan persentase hasil panen terselamatkan terbesar

terjadi pada perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp. saat pembibitan

yaitu mencapai 8,080 kg dan 45,69 % sedangkan perlakuan aplikasi cendawan

Trichoderma spp 1, 2, dan 3 minggu sebelum tanam mencapai 5,971 kg; 7,240

kg; 6,073 kg dan 7,66 %; 30,54 % dan 9.51 %.

3. Aplikasi cendawan Trichoderma spp. saat pembibitan paling menghasilkan

efektivitas tertinggi dalam pengendalian penyakit layu Fusarium oxysporum pada

tanaman cabai dengan intensitas serangan terendah yaitu 10,71 %, sedangkan

aplikasi cendawan Trichoderma spp 1, 2, dan 3 minggu sebelum tanam

Page 78: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

77

menghasilkan intensitas serangan berturut-turut mencapai 25,00 %; 14,28 % dan

27,38 % .

Saran

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa dalam usaha pengendalian

penyakit layu Fusarium oxysporum dengan agent hayati cendawan Trichoderma spp.

pada tanaman cabai di lapangan sebaiknya aplikasi cendawan dilakukan saat

pembibitan agar diperoleh efektivitas pengendalian yang optimum, disamping itu juga

perlu dilakukan penelitian serupa pada lokasi perkebunan dengan iklim dan musim

yang sangat berbeda dengan lokasi penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga. W. 1996. Produksi dan Konsumsi Cabai Merah Dalam Teknologi

Produksi Cabai Merah. Balitsa. Lembang : 4 – 13.

Anon, 2001. Petunjuk Teknis Pengembangan dan Penerapan Pestisida Nabati

dan Agen hayati. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Bali dan

BPTPH VII. Bali.

Anon, 2004. Data Statistik Pertanian. Dinas Pertanian Tanaman Pangan

Propinsi. Bali.

Cahyono, 1996. Usaha Tani Cabai Merah yang Berhasil. CV. Aneka. Solo

Duriat. A. S. 1990. Efikasii Beberapa Fungisida terhadap Penyakit Fusarium

pada Tanaman Cabai Merah ( Capsicum annuum L. ). Bul. Panel. Hort.

Vol.XIX No. 2 : 112 – 119.

Hanafiah, K A, 1995, Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Fakultas Pertanian

Universitas Sriwijaya, Palembang.

Mety, S. Sinaga, 1995, Pengendalian Hayati Patogen Tumbuhan. Direktorat

Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura. Jakarta.

Pracaya, 1994. Budidaya Tanaman Cabai Merah dan Segala Permasalahannya.

Penebar Swadaya. Bandung.

Rukmana, 1994. Budidaya Cabai Hibrida Sistem Mulsa Plastik. Kanisius.

Jakarta.

Page 79: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

78

Semangun, Haryono. 1989. Penyakit -penyakit Tanaman Hortikultura di

Indonesia. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.

Semangun. 1989. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.

Gajahmada University Press.

Sujatmika. 1990. Hama dan Penyakit. Dua Musuh Utama Petani Cabai. Trubus

No. 27 Tahun III.

Sumarni. 1996. Budidaya Tanaman Cabai Merah dalam Teknologi Produksi

Cabai Merah. Balitsa, Lembang : 31 – 34.

Suryaningsih. E, Sutarya. R dan Duriat. A. S. 1996. Penyakit Tanaman Cabai

Merah dalam Teknologi Produksi Cabai Merah. Balitsa, Lembang : 64 –

83.

Tjahyadi, 1990. Bertanam Cabai. Kanisius. Jakarta

DUKUNGAN MASYARAKAT DAN DAYA DUKUNG BIOFISIK

TERHADAP KEBERHASILAN PELAKSANAAN REHABILITASI

Page 80: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

79

LAHAN DAN KONSERVASI TANAH DI DAERAH SEKITAR

MATA AIR PADA LAHAN MARGINAL DI BALI TIMUR

Oleh

I MADE BUDIASA, I G.N. ALIT WISWASTA,

I DEWA NYOMAN RAKA

ABSTRAK

Dewasa ini pemerintah telah menggalakkan upaya rehabilitasi lahan dan

konservasi tanah seperti penghijauan dan reboisasi. Kegiatan itu dimaksudkan untuk

mempertahankan kesuburan tanah, memulihkan lahan kritis, memperbaiki tata air dan

membina perilaku masyarakat, sehingga sumberdaya alam hutan, tanah dan air dapat

berdaya guna dan berhasil guna bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang.

Akan tetapi fakta menunjukan luas lahan kritis ada kecendrungan semakin meningkat.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mem-peroleh Model Rehabilitasi Lahan dan

Konservasi Tanah (RLKT) yang efektif dan efisien untuk menanggulangi lahan

marginal/kritis di Bali Timur, (2) membuat bahan kampanye ke masyarakat berupa

Leaflet dalam upaya menang-gulangi lahan kritis, (3) membuat bahan ajar yang terkait

konservasi untuk kalangan mahasiswa.

Penelitian ini adalah penelitian, field experiment, laboratorium dan survei,

sampel ditentukan secara purposive sampling di 30 desa yang memiliki kawasan lahan

marginal/kritis di Bali Timur. Hasil Penelitian menemukan dukungan masyarakat

ditinjau dari aspek sosial ekonomi terhadap keberhasilan tindakan RLKT 56,00% kuat.

Daya dukung biofisik menemukan bahwa rerata curah hujan di wilayah Kubu mencapai

1.233 mm per tahun, di wi1ayah Abang curah hujan 1.481 mm per tahun, dan di

wilayah Kintamani rerata curah hujan 1.796 mm per tahun. Kepekaan erosi tanah

daerah penelitian berkisar agak tinggi sampai tinggi. Penggunaan lahan didominasi oleh

penggunaan tegalan dan kebun campuran, dan di bagian/daerah berlereng curam

didominasi oleh semak belukar, dan berdasarkan hasil matching/mencocokkan antara

kualitas lahan dengan persyaratan tumhuh tanaman yang dievaluasi, kesesuaian lahan

aktualnya ter-golong tidak sesuai sampai sesuai bersyarat, sedangkan secara potensial

dari cukup sesuai, sesuai bersyarat sampai tidak sesuai.

Kata kunci : Lahan Marginal, Dukungan Masyarakat, Daya Dukung Biofisik.

PENDAHULUAN

Page 81: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

80

Lahan marginal atau lahan kritis adalah lahan yang kurang/tidak produktif lagi

untuk mendatangkan hasil atau dapat dikatakan lahan itu kurang sekali manfaatnya bagi

lingkungan hidup, sehingga kerugian yang diakibatkan oleh lahan kritis dapat bersifat

individual maupun massal. Petani yang tidak dapat bercocok tanam karena lahannya

marginal atau kritis, selain penghasilannya berkurang, pengeluarannya bertambah

banyak untuk merehabilitasi lahannya yang tidak produktif tersebut. Oleh karenanya,

fungsi sumberdaya alam seperti lahan dan mata air perlu dilestarikan agar dapat

memberikan manfaat yang optimal. Perlu adanya rehabilitasi lahan dan konservasi

tanah secara intensif terutama pada lahan di sekitar mata air dengan berbagai jenis

tanaman seperti tanaman bambu dan rumput akar wangi.

Pelaksanaan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) di Bali sampai

lima tahun terakhir telah berhasil dilaksanakan dalam bentuk reboisasi seluas 825 ha,

dan yang berhasil kurang dari separuhnya yaitu hanya 350 ha. Rendahnya tingkat

keberhasilan usaha rehabilitasi dan konservasi tanah yang telah dilakukan tersebut

disebabkan dalam pelaksanaan rehabilitasi mengalami kendala seperti : (1) anggaran

yang tersedia untuk pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah

sangat terbatas, (2) pelaksanaan kegiatan waktunya terlalu pendek sehingga dalam

tahapan pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan jadwal, (3) dalam memilih lokasi

kegiatan tidak memperhatikan spesifik lokal, karakteristik dari wilayah seperti biofisik,

sosial ekonomi masyarakat dan potensi yang ada, dan (4) pemilihan tanaman untuk

kegiatan tidak sesuai dengan kesesuaian tempat tumbuh dari tanaman yang akan

dikembangkan sehingga sangat mempengaruhi persentase tumbuh tanaman

(Departemen Kehutanan, 2004).

Daerah-daerah yang memiliki lahan kering di Bali secara administratif meliputi

Kabupaten Buleleng (kecamatan Kubutambahan, Sawan, Buleleng, Sukasada, Banjar,

Seririt, Busungbiu); Kabupaten Tabanan (kecamatan Pupuan); Kabupaten Bangli

(kecamatan Kintamani); dan Kabupaten Karangasem (kecamatan Kubu, Abang, dan

Karangasem) dengan total luas wilayah 70.424 ha mempunyai lahan kritis 240 ha dan

potensi kritis mencapai 10.615 ha (Departemen Kehutanan, 2005).

Lahan kering di Kabupaten Bangli dan Karangasem ada dua macam yaitu lahan

kering produktif yang luasnya sekitar 40 % dari luas lahan kering yang ada, yang dari

segi agroekoklimat dapat diusahakan sebagai lahan pertanian/ perkebunan terutama

Page 82: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

81

tanaman jeruk, kopi dan tanaman keras lainnya untuk Kabupaten Bangli dan tanaman

salak, kelapa dan tanaman keras lainnya untuk Kabupaten Karang-asem. Sebagian lagi

sekitar lebih kurang 60 % dari luas lahan kering yang ada merupakan lahan marginal

atau lahan kritis yang dapat diusahakan oleh petani jika ada air atau hanya pada musim

hujan saja.

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Daerah Lahan Kering

Tantangan terbesar bagi pengelolaan sumberdaya alam adalah menciptakan

untuk selanjutnya memperhatikan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan hidup

manusia dan keberlanjutan pemanfaatan dan keberadaan sumber daya alam.

Pengelolaan daerah lahan kering diharapkan dapat memberikan kerangka kerja ke arah

tercapainya pembangunan yang berkelanjutan.

Sumberdaya alam berupa hutan, tanah, air merupakan kekayaan alam yang harus

tetap lestari, sehingga pengelolaan terhadap sumberdaya alam dengan satuan unit

pengelolaan berupa daerah lahan kering untuk diberdayakan harus dilaksanakan secara

hati-hati dan bijaksana, sehingga dapat mendukung tercapainya kesejahteraan

masyarakat yang lestari (Departemen Kehutanan, 1999).

Tekanan terhadap sumberdaya alam disebabkan oleh pertambahan jumlah

penduduk dengan segala aktivitasnya seperti pada pengelolaan sumberdaya lahan

kering. Masih sering dijumpai dalam pengelolaan sumberdaya lahan kering yang belum

mempertimbangkan kelas kemampuan lahannya dan penerapan teknik konservasi tanah

yang baik dan benar. Akhirnya sering timbul kondisi lahan yang mengalami degradasi

dan berubah menjadi lahan kritis yang mengancam kesejahteraan rakyat banyak.

Terhadap kondisi tersebut di atas diperlukan upaya-upaya untuk memulihkan dan

mempertahankan fungsi lahan kembali, yang biasa dikenal dengan upaya rehabilitasi

lahan dan konservasi tanah (RLKT)

Konsep Pengelolaan Lahan

Selama ini, pengalaman yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa

kegiatan pengelolaan lahan seringkali dibatasi oleh batas-batas yang bersifat politis/

Page 83: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

82

administratif (negara, provinsi, kabupaten), dan oleh karenanya, batas-batas ekosistem

alamiah kurang banyak dimanfaatkan. Padahal kita sadar bahwa kekuatan alam seperti

banjir dan tanah longsor tidak mengenal batas-batas politis.

Sebaliknya bahwa aliran air (banjir), tanah longsor, erosi, migrasi ikan dan organisme

akuatis lainnya serta pencemaran air berlangsung menurut batas-batas daerah aliran

sungai (ekologis). Beberapa aktivitas pengelolaan lahan yang diselenggarakan di

daerah hulu seperti kegiatan pengelolaan lahan yang mendorong terjadinya erosi, pada

gilirannya dapat menimbulkan dampak di daerah hilir (dalam bentuk pendangkalan

sungai atau saluran irigasi karena pengendapan sedimen yang berasal dari erosi di

daerah hulu).

Konsep pengelolaan lahan yang baik perlu didukung oleh kebijakan yang

dirumuskan dengan baik pula. Dalam hal ini kebijakan yang berkaitan dengan

pengelolaan lahan seharusnya mendorong dilaksanakannya praktek-praktek

pengelolaan lahan yang kondusif terhadap pencegahan degradasi tanah dan air. Harus

selalu disadari bahwa biaya yang dikeluarkan untuk rehabilitasi lahan jauh lebih mahal

daripada biaya yang dikeluarkan untuk usaha-usaha pencegahan dan perlindungan

lahan (Departemen Kehutanan, 2004).

Lahan Marginal

Menurut Suprapto dkk. (2000), lahan marginal pada umumnya merupakan lahan

kurus akan unsur hara, ketersediaan air terbatas hanya tergantung dari curah hujan yang

ada. Petani pada lahan ini pada umumnya petani kecil dengan perekonomian rendah

dan pendapatan rendah sehingga sangat berpengaruh dalam berusahatani yang masih

tradisional dan subsisten. Lebih lanjut dinyatakan bahwa petani pada lahan marginal

pada umumnya hanya mengandalkan hujan sebagai sumber air untuk berusahatani

sehingga saat musim kemarau hampir sebagian besar lahan diberakan. Keadaan seperti

ini menyebabkan tingkat produktivitas lahan dan pendapatan petani menjadi rendah.

Seiring dengan meningkatnya teknologi dibidang pertanian, maka telah diperkenalkan

beberapa teknik penyediaan air seperti pompanisasi, penampungan air hujan dengan

cubang, dan teknik pemanenan air hujan dengan embung yang dapat dipergunakan

untuk kebutuhan rumah tangga dan berusahatani.

Page 84: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

83

Konservasi Tanah dan Air

Konservasi adalah usaha penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan

yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan mem-perlakukannya sesuai dengan

syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan. Sedangkan pengertian

konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air seefisien mungkin dan

pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak pada musim hujan

dan terdapat cukup air pada musim kemarau (Merit, 2006). Konservasi tanah dan air

merupakan dua hal yang saling berhubungan erat sekali.

Dukungan Masyarakat dalam Pengelolaan Lahan

Mengingat keberhasilan pengelolaan lahan yang pada akhirnya ditentukan oleh

manusianya, maka aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat mempunyai peranan

penting untuk dijadikan prioritas utama dalam pengelolaan lahan.

Prinsip sosial ekonomi dalam melaksanakan RLKT (Departemen Kehu-tanan,

Perkebunan, 1998) meliputi :

1) Tindakan RLKT harus cocok untuk keadaan sosial ekonomi setempat.

2) Petani/masyarakat kemungkinan perlu biaya kredit untuk melakukan RLKT untuk

kegiatan yang manfaatnya tidak dapat langsung dinikmati oleh masyarakat.

3) Untuk petani miskin harus diintroduksikan tindakan RLKT yang murah dan mudah

dilaksanakan.

4) Petani yang sudah memahami dampak dari erosi terhadap lahannya akan lebih

tertarik untuk melakukan tindakan RLKT dari pada petani yang belum tahu atau

tidak merasakan pengaruh dari erosi.

5) Kegiatan RLKT yang akan diterapkan seharusnya dipilih oleh petani bersama-sama

dengan penyuluh.

Dari uraian-uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa keberhasilan RLKT

sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi masyarakat, yaitu : Tingkat

ketergantungan penduduk terhadap lahan, yang terdiri dari luas pemilikan lahan, status

pemilikan lahan, diversifikasi mata pencaharian, distribusi alokasi waktu kerja dan

Page 85: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

84

tradisi/ kebiasaan khusus. Tingkat adopsi petani terhadap teknologi konservasi serta

keberadaan dan aktivitas kelembagaan yang ada (Departemen Kehutanan, 1998).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan sebagai penelitian field experiment, labora-torium

dan survei, dilakukan deskipsi fakta, dari aspek sosial yaitu dukungan masyarakat

terhadap pelaksanaan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan faktor-faktor

karakteristik masyarakat yang berhubungan dengan dukungan masyarakat terhadap

keberhasilan pelaksanaan RLKT pada lahan marginal di Bali Timur. Sedangkan dari

aspek teknis yaitu kondisi biofisik seperti; iklim yaitu curah hujan dan intensitas hujan,

topografi yaitu panjang dan kemiringan lereng (slope), sifat tanah yaitu, kemantapan

agregat tanah, jenis struktur dan tekstur tanah serta kedalaman tanah, jenis dan

keberadaan vegetasi, selanjutnya untuk memperoleh model rehabilitasi lahan dan

konservasi tanah yang efektif dan efisien untuk menganggulangi lahan marginal dibuat

experiment berupa demons-trasi plot.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dukungan Masyarakat terhadap Keberhasilan Tindakan RLKT di Daerah

Sekitar Mata Air Pada Lahan Marginal di Bali Timur

Hasil penelitian menemukan peringkat dukungan masyarakat yang ditinjau dari

aspek sosial ekonomi terhadap tindakan RLKT di daerah sekitar mata air pada lahan

marginal di Bali Timur menunjukkan 17,83% termasuk dalam kategori sangat kuat,

56,00 % dalam katagori kuat, 16,33% sedang dan 7,00 % dalam kategori kurang dan

hanya 2,84% dalam kategori sangat kurang. Hal ini menun-jukkan bahwa jika

dukungan dari aspek sosial ekonomi masyarakat ter-hadap keberhasilan tindakan

RLKT akan berhasil dilakukan dan permasalahan-nya sekarang sangat tergantung dari

cara mensosialisasikannya dan dari aspek bio-fisiknya yang harus disesuaikan dengan

keadaan daerah yang bersangkutan. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan

Page 86: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

85

cukup tinggi. Ini dapat dibuktikan dari rata-rata luas pemilikan lahan mencapai 0,92 ha

yang sebagian besar dengan status sebagai hak milik, bermata pencaharian sebagai

petani pemilik penggarap dengan waktu alokasi kerja sebagian besar adalah bertani

penuh. Sehingga tindakan RLKT merupakan tindakan yang sangat penting bagi mereka

karena menyangkut masalah kontinyuitas atau berkesinambungannya sumber mata

pencaharian mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup beserta keluarganya. Rusaknya

lahan mereka berarti hilang pula sumber mata pencaharian mereka.

Faktor-faktor Karakteristik Masyarakat yang berhubungan dengan Keberhasilan

Tindakan RLKT di Daerah Sekitar Mata Air Pada Lahan Marginal di Bali

Timur.

Faktor-faktor karakteristik yang dianalisis hubungannya dengan keber-hasilan

tindakan RLKT adalah umur responden, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga

dan luas penguasaan lahan. Umur petani mempunyai hubungan sangat nyata dengan

keberhasilan tindakan RLKT karena X2-hitung 141,3527 lebih besar dari X

2-tabel

31,9999 pada taraf nyata 1%, dengan derajat hubungan lemah (=0,1057). Hal ini

menunjukkan adanya kecendrungan semakin tua usia petani semakin kuat dukungannya

terhadap keberhasilan RLKT di daerah sekitar mata air pada lahan marginal di Bali

Timur. Petani sangat menyadari bahwa lahan harus dikelola dengan bijak-sana secara

berkesinambungan agar produktivitas lahan optimal. Disamping itu, hampir sebagian

besar petani dalam usia produktif (15 th s/d 65 th) dan hanya sebagian kecil saja

tergolong dalam usia kurang produktif (>65 th).

Jumlah anggota keluarga mempunyai hubungan sangat nyata dengan

keberhasilan tindakan RLKT di daerah sekitar mata air pada lahan marginal di Bali

Timur, karena X2-hitung 152,9403 lebih besar dari X

2-tabel 31,9999 pada taraf nyata

1%, dengan derajat hubungan lemah (=0,1292).

Pendidikan responden menunjukkan hubungan yang sangat nyata dengan

dukungan masyarakat terhadap keberhasilan tindakan RLKT, karena X2-hitung

141,0685 lebih besar dari X2-tabel 31,9999 pada taraf nyata 1%, dengan derajat

hubungan lemah (=0,1714). Ini berarti pendidikan mempunyai perbedaan dukungan

Page 87: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

86

terhadap keberhasilan tindakan RLKT. Semakin tinggi pendidikan petani berarti

semakin kuat dukungannya terhadap keberhasilan RLKT. Walaupun pendidikan petani

relatif rendah namun sudah cukup beragam bahkan ada sudah tamat perguruan tinggi

Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang semakin besar

perhatiannya terhadap pelestarian sumberdaya utamanya sumberdaya pertanian

(lahan).

Luas penguasaan lahan menunjukkan hubungan yang nyata dengan dukungan

masyarakat terhadap keberhasilan tindakan RLKT di daerah sekitar mata air pada lahan

marginal di Bali Timur, karena X2-hitung 133,3116 lebih besar X

2-tabel 31,9999 pada

taraf nyata 1%, dengan derajat hubungan lemah -0,0363. Ini berarti ada kecenderungan

semakin luas lahan yang dimiliki semakin kuat dukungan masyarakat terhadap

keberhasilan tindakan RLKT. Ini dapat dilihat dari koefisien derajat hubungan yang

positif.

Daya Dukung Biofisik

Hasil penelitian menemukan bahwa Wilayah Kecamatan Kubu suhu rerata

tahunannya 26,25°C, wilayah Kecamatan Abang 25,80°C, dan wilayah Kecamatan

Kintamani suhu rata-rata 26,40°C. Secara umum kualitas lahan regim temperatur di

semua wilayah penelitian tergolong sangat sesuai sampai cukup sesuai untuk semua

jenis tanaman yang dievaluasi.

Rerata curah hujan untuk wilayah Kubu mencapai 1.233 mm per tahun dengan

jumlah rerata bulan kering 6 bulan; wi1ayah Abang rerata bulan kering 5-6 bulan dan

curah hujan 1.481 mm per/tahun dan wilayah Kintamani rerata bulan kering 6 bulan

dengan rerata curah hujan 1.796 mm per tahun. Lamanya bulan kering di ketiga

wilayah yang bersangkutan, menyebabkan kualitas lahan ketersediaan air tergolong

cukup sesuai sampai sesuai bersyarat untuk komoditas/ tanaman jati, nangka, mangga

dan pasture, sedangkan untuk komoditas lainnya tergolong sesuai - cukup sesuai.

Kualitas lahan retensi hara ditentukan oleh karakteristik KTK tanah, pH tanah,

C-organik. Kapasitas Tukar Kation (KTK) secara umum tergolong rendah sampai

sedang, pH tanah tergolong agak masam sampai netral, dan C-organik tergolong rendah

Page 88: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

87

sampai sangat rendah. Kualitas lahan retensi hara di daerah penelitian secara

keseluruhan tergolong cukup sesuai untuk pengembangan komoditas yang dievaluasi.

Hasil penelitian juga menemukan kepekaan erosi tanah daerah penelitian

berkisar agak tinggi sampai tinggi. Tingginya kepekaan erosi tanah di daerah penelitian

berkaitan dengan rendahnya kandungan bahan organik serta tingginya kandungan pasir

halus dan debu. Tingkat bahaya erosi yang tergolong berat sampai sangat berat

merupakan faktor pembatas dalam kesesuaian lahan untuk berbagai penggunaan. Hasil

matching/mencocokkan antara kualitas lahan dengan persyaratan tumhuh tanaman yang

dievaluasi, kesesuaian lahan aktualnya tergolong tidak sesuai sampai sesuai bersyarat.

Sedangkan secara potensial dari cukup sesuai, sesuai bersyarat sampai tidak sesuai.

Sebagai faktor pembatas yang cukup berat untuk beberapa komoditas pertanian antara

lain : lereng, tingkat bahaya erosi, kedalaman efektif tanah dan adanya singkapan

batuan yang cukup tinggi di beberapa satuan lahan. Tekstur tanah yang agak kasar

sampai kasar di wilayah Kecamatan Kubu, Abang, dan Kintamani serta lamanya bulan

kering bersifat sebagai faktor pembatas untuk beberapa komoditas yang dievaluasi

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal,

yaitu :

1) Dukungan sosial ekonomi masyarakat terhadap tindakan RLKT diperoleh 17,83

% termasuk dalam kategori sangat kuat, 56,00% kuat, 16,33 % sedang dan 7,00%

dalam kategori kurang dan hanya 2,84% dalam kategori sangat kurang.

2) Faktor karakteristik masyarakat yang mempunyai hubungan nyata dengan

tindakan RLKT adalah umur, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan dan

luas pemilikan lahan.

3) Rerata suhu tahunan di Kecamatan Kubu 26,25°C, wilayah Kecamatan Abang

25,80°C, dan wilayah Kecamatan Kintamani suhu rata-rata 26,40°C.

4) Rerata curah hujan di wilayah Kubu mencapai 1.233 mm per tahun dengan rerata

bulan kering mencapai 6 bulan, di wi1ayah Abang curah hujan 1.481 mm per

Page 89: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

88

tahun dengan rerata bulan kering 5-6 bulan, dan di wilayah Kintamani rerata

curah hujan 1.796 mm per tahun dengan rerata bulan kering 6 bulan.

5) Kepekaan erosi tanah daerah penelitian berkisar agak tinggi sampai tinggi.

6) Penggunaan lahan didominasi oleh penggunaan tegalan dan kebun campuran, dan

di bagian/daerah berlereng curam didominasi oleh semak belukar

7) Berdasarkan hasil matching/mencocokkan antara kualitas lahan dengan

persyaratan tumhuh tanaman yang dievaluasi, kesesuaian lahan aktualnya

tergolong tidak sesuai sampai sesuai bersyarat. Sedangkan secara potensial dari

cukup sesuai, sesuai bersyarat sampai tidak sesuai

Saran – Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan dan pembahasan dapat disarankan hal-hal

sebagai berikut :

1) Pembinaan dan penyuluhan lebih dintensifkan guna lebih meningkatkan peran serta

masyarakat dalam melaksanakan upaya-upaya RLKT.

2) Untuk keberhasilan tindakan RLKT di lahan kering di Daerah Bali Timur, maka

dalam pemilihan jenis komoditas yang dipilih adalah jenis tanaman yang

diperkirakan paling mendekati kesesuaian secara agroekologi, serta paling banyak

dan telah biasa dikembangkan oleh penduduk setempat serta mempunyai nilai

ekonomi cukup tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I W Sandi., 2006. Study of Monitoring Land Use Cahanges and Erosion in

the Highland of Bali. Ph..D. Thesis Graduate School of Science and Technoloy,

CHIBA University, Japan

Arsyad, S., 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB Press, Bogor

Asdak, C., 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Penerbit Gajah

Mada University Press, Yogyakarta

Bank Dunia, 1993, Rumput Vetiver. Pagar Hidup Penahan Erosi. Terjemahan Yayasan

Ekoturin – East Proverty Project Bali – Indonesia.

Cusack, V., 1999, Bamboo World. The Growing and Use of Clumping Bamboos.

Kangaroo Press NSW – Australia.

Page 90: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

89

Darmadi, 1995. Dasar-dasar Pengelolaan DAS. Balai Teknologi Pengelolaan DAS,

Badan Litbang Kehutanan, Bahan Alih Teknologi Stasiun Pengamat Arus

Sungai II, Surakarta.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1998. Konservasi Tanah dan Air. Sekretariat

Tim Pengendali Pusat Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Jakarta.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Informasi Teknik Rehabilitasi dan

Konservasi Tanah. Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.

Departemen Kehutanan, 1994. Pedoman Penyusunan Pola Rahabilitasi Lahan dan

Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Direktorat Jenderal Reboisasi dan

Rahabilitasi Lahan, Jakarta.

Departemen Kehutanan, 1998. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan

Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Direktorat

Jenderal Reboisasi dan Rahabilitasi Lahan, Jakarta.

Departemen Kehutanan, 2003. Laporan Tahunan. Balai Pengelolaan DAS Unda Anyar,

Denpasar.

Departemen Kehutanan, 2004. Laporan Hasil Monitoring dan Evaluasi Rehabilitasi

Hutan dan Lahan Tahun 2004. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan

Perhutanan Sosial Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Unda Anyar,

Denpasar

Departemen Kehutanan, 2005. Rencana Teknik Lapangan Rahabilitasi Lahan dan

Konservasi Tanah (RTL RLKT) DAS Saba Daya. Balai Pengelolaan DAS Unda

Anyar, Denpasar.

Departemen Kehutanan, 2006. Peta Lahan Kritis Wilayah Propinsi Bali. Balai

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Unda Anyar, Denpasar.

Dinas Kehutanan, 2002. Statistik Dinas Kehutanan Propinsi Bali Tahun 2002.

Denpasar.

Donie, S., 1997. Peran Pola Pengelolaan Hutan Rakyat terhadap Konservasi Tanah

dan Sosial Ekonomi Masyarakat di DAS Solo. Buletin Teknologi Pengelolaan

DAS, Ujung Pandang.

Dradjad, M., 2004. Rehabilitasi Lahan. Makalah disampaikan pada Lokakarya

Nasional Pengembangan Kompetensi Pendidikan Tinggi dan Penelitian Ilmu

Tanah di Indonesia, Yogyakarta, 4-6 Agustus 2004.

Page 91: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

90

Gunamanta, Pande Gede, 2002. Identifikasi Karakteristik Lahan Kering Sebagai Acuan

Perencanaan Konservasi Tanah dan Air di DAS Unda Anyar Bali. Agritrop

Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, Vol. 21, No 1 Maret 2002. Fakultas Pertanian Unud

Denpasar.

Lembaga Penelitian Unpad, 1994. Aspek Sosial Ekonomi Dalam Pengelolaan DAS

Terpadu. Ddalam Lokarya Pencaran Pengelolaan DAS Terpadu Ditjen RRL

Departemen Kehutanan, Cisarua 24-25 Maret 1994.

Merit, I Nyoman., 2006. Konservasi Tanah dan Air Dalam Pengembangan Pertanian

Lahan Kering. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan

Pertanian Lahan Kering Menuju Petani Sejahtera yang dilaksanakan oleh

Program Pascasarjana Unud di Denapasar, tanggal 22 Juli 2006

Setyarso, A., 1999. Analisis Kebijaksanaan Pemanfaatan Sumber Daya Alam. Makalah

pada Lokakarya Nasional Kebijaksanan Pengelolaan DAS, Bogor.

Soekanto S., 1997. Sosiologi Suatu Pengantar. Yayasan Penerbit Universitas Indonesia,

Jakarta.

Sudjana, 1975. Metode Statistika, Penerbit Tarsito, Bandung.

Sulistiawati, Ni Putu Anom., 2003. Prediksi Erosi, Perencanaan Konserasi Tanah dan

Air di Daerah Hulu DAS Buleleng. Tesis Program Pascasarjana Unud,Denpasar

Sumarna, Anang., 1987. Bamboo. Penerbit Angkasa. Bandung.

Suprapto, Maha putra, Mery Alam Tina Sinaga, Sudaratmaja, dan Sumartini, 2000.

Pengkajian Sistem Usahatani Tanaman Pangan Di Lahan Marginal. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Suratman, 2002. Prediksi Erosi dan Pengendaliannya di Daerah Aliran Sungai Tukad

Sumaga dan Tukad Grokgak Buleleng. Tesis Program Pascasarjana Unud,

Denpasar

Wibowo, S., 2003. Kebijakan Pengelolaan DAS Bersama Masyarakat. Surili, Bandung.

Wibowo, S., 2004. Masalah Degradasi Lahan dan Upaya Rehabilitasi Hutan dan

Lahan. Prosiding Kongres Nasional V Masyarakat Konservasi Tanah dan Air

Indonesia dan Seminar Degradasi Hutan dan Lahan. Yogyakarta, 10 – 11

Desember 2004

Page 92: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

91

Widarto, B., 2004. Prediksi Tingkat Bahaya Erosi dan Upaya Konservasi Tanah di

Daerah Aliran Sungai Tukad Ngis Karangasem. Tesis Program Pascasarjana

Unud, Denpasar

Zaeni, W.A., 1987. Konsep-konsep Dasar Sosiologi Dalam Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai, Kali Konto Project ATA 206 Phase III.

KAJIAN TENTANG PELESTARIAN SUBAK

DITINJAU DARI AKTIVITASNYA YANG BERLANDASKAN

KONSEP TRI HITA KARANA

Oleh

I KETU ARNAWA

Abstrak

Pada hakekatnya subak merupakan suatu sistem dan himpunan petani sawah

yang bertujuan mengatur tata pengairan sebaik-baiknya berdasarkan asas gotong

royong yang murni, tanpa membedakan asal, kedudukan, dan golongan para

anggotanya. Subak sebagai aset keunikan budaya Bali yang telah dikenal di manca

negara perlu dijaga kelestariannya. Penelitian ini menggunakan analisis deskriftif dan

analisis logistik. Hasil penelitian menemukan aktivitas subak masih cukup lestari,

subak yang tidak mengalami alih fungsi lahan lebih lestari jika dibandingkan dengan

subak yang mengalami alih fungsi lahan. Unsur-unsur Tri Hita Karana, yaitu

parhyangan, pawongan dan palemahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

kelestarian subak, penyelesaian konflik dapat diselesaikan dengan konsep parasparos

selunglung sebayantaka sarpanaya artinya segala baik buruk, berat ringan dipikul

bersama

Page 93: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

92

Kata Kunci : Pelestarian, Subak,

PENDAHULUAN

Arus modernisasi dan teknologi telah menimbulkan konflik pada sistem subak

di Bali, yaitu proyek-proyek jaringan tersier yang dilaksanakan departemen Pekerjaan

Umum (PU) sejak akhir tahun 1970-an dengan merubah sistem bangunan-bagi

(tembuku) dari sistem numbak menjadi sistem ngerirun, perubahan itu tidak serasi

dengan sosio-kultural masyarakat setempat. Subak tidak memiliki kewenangan untuk

merombak bangunan-bagi milik proyek (pemerintah) tersebut, karena dapat dikenakan

sanksi tindak pidana. Untuk tetap menjaga harmoni, subak mengatasi kendala tersebut

dengan cara tidak memanfaatkan bangunan-bagi yang dibangun proyek, dan tetap

memanfaatkan bangunan- bagi yang lama (Sutawan, dkk 1984)

Demikian pula halnya dengan diperkenalkannya padi varietas unggul yang

berumur pendek, tetapi banyak menggunakan pupuk kimia, pestisida dan herbisida

telah mengamcam kelestarian subak. Penggunaan pupuk dan obat-obatan pertanian

secara berlebihan telah menimbulkan pencemaran lingkungan, terancamnya

keanekaragaman hayati (biodiversity) pada lahan sawah, memburuknya kesehatan para

petani akibat dari keracunan dari penggunaan pestisida (Drysdale and Zimmerman,

1995 dalam Sutawan, 2005)

Di Kabupaten Bangli alih fungsi lahan produktif cenderung semakin meningkat,

sehingga areal sawah semakin berkurang. Jika hal ini terus berlangsung dikhawatirkan

akan mengancam keberadaan subak itu sendiri. Kajian empirik yang dikemukakan di

atas, mengimplikasikan bahwa kajian terhadap kelestarian subak di Bangli menjadi

masalah sangat penting karena di satu pihak Subak sebagai lembaga yang bersifat

Sosio-Agraris-Religius di Bali menghadapi beberapa permasalahan seperti semakin

menyempitnya areal sawah (subak), semakin menurunnya kuantitas dan kualitas air

irigasi, Serta arus modernisasi dan perubahan teknologi cukup tinggi melanda aspek

kehidupan masyarakat, padahal kelestarian subak merupakan faktor utama keberadaan

sektor pertanian. Oleh karenanya, diperlukan kajian imperik terhadap kelerstarian

subak di Bali. Dengan demikian dapat diketahui apakah subak itu masih lestari jika

Page 94: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

93

dilihat dari aktivitasnya yang berlandaskan Tri Hita Karana yang teridiri dari unsur

parhyangan, pawongan, palemahan dan keadaan fisik jaringan irigasinya serta sistem

pengelolaan air irigasinya.

Beberapa jawaban yang diharapkan dalam paper ini. Pertama yaitu kelestarian

subak dilihat dari aktivitasnya yang berlandaskan Tri Hita Karana, kedua bagaimana

unsur-unsur Tri Hita Karana mempengaruhi kelestarian subak, ketiga aktivitas apa

yang dilakukan subak untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi

dewasa ini.

METODE

Model Analisis

Penelitian ini menggunakan 2 metode analisis data, yaitu analisis deskriptif dan

analisis regresi logistik. Analisis deskriptif digunakan untuk memberi gambaran

mengenai responden dan kelestarian subak. Analisis regresi logistik (logit) digunakan

untuk menganalisis pengaruh variabel-variabel parhyangan (X1), pawongan(X2),

palemahan (X3), kondisi fisik jaringan irigasi (X4) dan sistem pengelolaan air irigasi

(X5) terhadap kelestarian subak.

Analisis deskriftif

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden meliputi usia,

jenis kelamin, pendidikan, jumlah anggota keluarga, penguasahaan luas lahan.

Kelestarian subak dideskripsikan aktivitasnya dengan unsur-unsur Tri Hita Karananya,

kondisi jaringan irigasinya, sistem pengelolaan airnya. Interpretasi dalam analisis ini

didasarkan pada ouput analisis yang berupa tabel frekuensi jawaban responden terhadap

pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan karakteristik responden dan aktivitas

subak yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana.

Analisis Regresi Logistik

Model logit adalah model regresi yang dirancang secara khusus untuk

menganalisis regresi dengan variabel dependen berupa variabel probabilitas, yaitu

variabel yang nilainya berkisar antara 0 hingga 1. Model logit memungkinkan estimasi

Page 95: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

94

persamaan regresi yang dapat menjaga agar hasil prediksi variabel dependennya tetap

berada di rentang nilai 0 hingga 1.

Penelitian ini menggunakan analisis regresi model logit yang diperlukan untuk

menjawab apakah responden menjawab faktor-faktor yang mempengaruhi pelestarian

subak, yaitu aktivitas subak yang berhubungan unsur parhyangan, unsur pawongan,

unsusr palemahan, kondisi jaringan irigasi dan sistem pengelolaan air irigasi

mempunyai pengaruh terhadap kelestarian subak.

Variabel terikat (variabel dependent)

Y = 1, jika aktivitas subak yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana, kondisi

fisik jaringan irigasi dan sistem pengelolaan air irigasi yang dilakukan oleh

subak tetap lestari

Y = 0, jika aktivitas subak yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana, kondisi

fisik jaringan irigasi dan sistem pengelolaan air irigasi yang dilakukan oleh

subak tidak lestari

Variabel bebas (variabel independent)

Variabel bebas dalam model ini berfungsi untuk menjelaskan kelestarian subak

yang dilihat dari aktivitasnya yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana, variabel

tersebut terdiri atas 5, yaitu :

1. X1 = Unsur Parhyangan (aktivitas subak yang berhubungan dengan Tuhan-

Nya)

2. X2 = Unsur Pawongan (aktivitas subak yang berhungan dengan sesama

kerama subak)

3. X3 = Unsur Palemahan (aktiviatas subak yang berhubungan dengan areal

usahataninya/alam dan lingkungannya)

4. X4 = Kondisi fisik jaringan irigasi

5. X5 = Sistem pengelolaan air irigasi

Kelima variabel tersebut diukur berdasarkan nilai total skor dari pengukuran

masing-masing indikator yang dimiliki :

Dengan demikian ,

Prob (Y = 1 x ) = P

Page 96: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

95

Prob (Y = 0 x ) = 1 - P ………………………………………………(1)

Karena E [ y | x ] = P, maka model regresinya adalah :

y = E [ y | x ] + (y - E [ y | x ] ) = P + ε …………………………………….(2)

Karena probabilitas (P) harus terletak antara 0 dan 1, maka terdapat pembatasan

:

0 ≤ E [ y | x ] ≤ 1 …………………………………………………………….(3)

Interpretasi pada model logit menunjukan besarnya probabilitas kelestarian subak

ditunjukan oleh persamaan :

Prob (Y = 1 | x ) = P e 1 z

ez

……………………………………………..(4)

Dengan Z = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5

Jika P adalah probabilitas untuk melestarikan subak, maka probabilitas

diskontinuitas pelestarian subak adalah :

Prob (Y = 0 | x ) = 1- P

e 1 z

1

…………………………………………(5)

Dengan demikian, maka

L P

P

1 e

zz

ez

e 1

1

………………………………………………(6)

P

P

1 merupakan odds ratio, yaitu perbandingan antara probalilitas untuk

tidak melestarikan subak.

Sehingga, model logit dalam penelitian ini yang merupakan logaritma natural dari

persamaan 6 adalah ;

Li = Ln

P

P

1 = y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5

Dimana :

Β1 – β5 = Koefisien regresi

P = Probabilitas petani (krama subak) untuk melestarikan subak

P – 1 = Probabilitas petani (krama subak) untuk tidak melestarikan subak

Page 97: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

96

Data dan Kalibrasi

Data yang digunakan bersumber dari 50 orang petani sampel subak di Bangli,

25 sampel berasal dari subak yang tidak mengalami alih fungsi lahan, dan 25 sampel

dari subak yang mengalami alih fungsi lahan (penyempitan lahan, penurunan kualitas

dan kuantitas air irigasi, perpindahan tenaga kerja ke sektor lain). Subak yang

mengalami alih fungsi lahan, Subak Aya kecamatan Bangli. Sedangkan subak yang

tidak mengalami alih fungsi lahan, Subak Sala Kecamatan Susut Bangli

Pengumpulan data menggunakan koesioner yang disusun berdasarkan kisi-kisi

teoritis dalam bentuk skala likert. Penggunaan skala likert dimaksudkan untuk

mengetahui aktivitas subak yang berlandaskan Tri Hita Karana, kondisi fisik jaringan

irigasi dan sistem pengelolaan air irigasi yang dilakukan oleh subak, yaitu skor 5 =

sangat baik, skor 4 = baik; skor 3 = cukup baik; skor 2 = kurang baik dan skor 1 =

buruk

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelestarian Subak Ditinjau Dari Aktivitasnya Yang Berlandaskan Tri Hita

Karana

Pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Dewi Sri) oleh krama subak

atau petani masih tetap dilaksanakan hanya, di areal persawahan dan pura-pura subak

saja dan sudah jarang dilakukan di rumah tangga masing-masing. Hal ini disebabkan

petani sangat jarang memiliki lumbung terutama petani di subak Aya sehingga

pemujaan terhadap Dewi Sri di rumah praktis tidak dapat dilakukan, biasanya

pemujaan dilakukan pada saat menaikan dan penurunan padi dari lumbung, dan petani

sudah jarang menyimpan hasil panennya di lumbung karena padi sudah dijual pada saat

di sawah dengan sistem tebasan. Sehingga sangat ironis ketika harga beras naik pada

musim paceklik petani tidak dapat menikmati justru pedagang yang meraup keuntungan

dari keadaan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan pembinaan yang lebih intensif

terutama menyangkut masalah pentingnya lumbung keluarga

Page 98: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

97

Pemasangan sunari, pindekan, ketuklak kepuakan dan petakut aktivitasnya

dapat dikategorikan kurang baik, padahal tujuan pemasangan perlengkapan tradisional

ini secara spritual diyakini untuk, meningkatkan produksi pertaman, hal ini disebabkan

petani kurang memahami lagi makna dari pemasangan perlengkapan tersebut dan

dianggap sebagai sarana mengusir hama khususnya burung, sehingga petani

menggunakan sarana lainnya seperti dengan membentangkan pita isi kaset bekas,

robekan plastik atau kain sebagai sarananya, sehingga nampak tidak asri dan bahkan

terkesan kumuh.

Peran teruna teruni kurang terorganisasi dan tidak aktif, hal ini karena anggota

subak tidak berasal dari satu banjar yang sama sehingga agak kesulitan dalam

melakukan koordinasi, disamping itu teruna teruni anggota subak, lebih mengutamakan

aktifitasnya di banjarnya masing-masing. Demikim juga mengenai pemahaman cerita

rakyat (mitologi) petani banyak tidak mengetahui, ini perlu dibina dan perlu

disosialisasikan kepada teruna-teruni (generasi muda) dan anak-anak sehingga

kelestarian subak tetap dapat dipertahankan.

Aktivitas subak yang terkait dengan unsur parhyangan secara umum masih

tetap dapat dilakukan, namun ada beberapa petani di subak Aya aktivitasnya

dikategorikan buruk/tidak baik seperti: penentuan pedewasaan mulai hercocok tanam

sudah tidak berpedoman pada sastra agama dan tatenger tajeging bintang tenggala

serta bintang kartika sampai condong ke barat. Hal ini disebabkan petani hanya berfikir

begitu habis panen, secepatnya untuk bisa melakukan penanaman berikutnya, mungkin

hal ini adalah salah satu dampak dari diperkenalkannya padi varietas unggul yang dapat

ditanam 3 kali dalam setahun.

Demikian pula dengan upacara pada awal proses tanam padi seperti upacara

mendak toya, ngendag (mulai bekerja) amuluku (mulai membajak) ngurit dan upacara

nandur padi ada beberapa petani aktivitasnya dapat dikategorikan tidak baik. Upacara

yang dilaksanakan selama masa pemeliharaan padi di sawah seperti upacara ngerainin

padi, ngiseh, mabiya kukung dan ngerasakin masih tetap berjalan dengan baik,

demikian juga upacara yang dilaksanakan pada waktu panen diawali dengan caru

manyi lalu Dewi Nini (Nyangket)

Kelengkapan Bale Subak mulai berkurang misalnya sudah tidak ditemukannya

alat pengukur waktu (janggi), papan nama subak sudah kurang lengkap seperti tidak

Page 99: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

98

ada papan data statistik areal produksi dan data subak. Kegotong-royongan untuk

kepentingan subak yang dilaksanakan yaitu hanya 1-2 kali dalam satu musim tanam

(MT), hal ini dapat dimengerti karena kebanyakan fasilitas subak seperti saluran air

irigasi, tembuku pembagi air dibuat permanen.

Demikian pula kegiatan gotong royong untuk kepentingan umum juga sangat

jarang dilakukan yaitu hanya satu kali dalam enam bulan. Hal ini perlu mendapatkan

perhatian baik dari subak itu sendiri maupun dari pemerintah karena dengan semakin

menurunnya aktivitas gotong royong ini berarti pula rasa kebersamaan, rasa saling

memiliki diantara anggota subak akan semakin menurun hal ini dapat mengancam

keberadaan subak di masa-masa yang akan datang.

Anggota subak kurang aktif mencari informasi pertanian, perkebunan,

peternakan, kemasyarakatan sosial budaya baik lewat radio maupun televisi atau koran,

selanjutnya sudah tidak ditemukan lagi anggota subak menjadi anggota klompencapir.

Aktivitas subak yang terkait dengan unsur pawongan yang masih tetap berjalan

dengan baik adalah perangkat organisasi subak masih lengkap yaitu ada krama, awig-

awig tertulis, struktur organisasi. Subak masih tetap melaksanakan sangkedan (rapat)

ada suara kentongan/kulkul, menyahcah/absen, memakai bahasa Bali balus/lumrah.

Banyak anggota subak di Subak Sala menjadi anggota Koperasi Unit Desa (KUD) dan

untuk subak Aya hampir semua anggotanya tidak ada yang menjadi anggota KUD.

Realisasi pembayaran PBB cukup baik yaitu mencapai 76 – 100% dari target

Pelaksanaan pola tanam ditemukan tidak tertib yaitu tanam padi tidak serempak

atau tolak sumur dan ini harus segera ditertibkan karena akan berdampak terhadap

serangan hama dan penyakit tanaman yang sulit dikendalikan.

Pemasaran basil dilakukan sendiri-sendiri dan belum dilakukan bersama dengan

memanfaatkan jasa KUD. Subak sudah jarang memanfaatkan sawah sebagai tempat

pemeliharaan ikan (minapadi) hal ini disebabkan karena semakin menurunnya kuantitas

air dan umur padi yang relatif pendek yang tidak sesuai dengan masa panen ikan. Padi

siap dipanen tetapi ikan belum siap panen sehingga petani mengalami kesulitan dalam

mengelolanya.

Petani di Subak Aya sudah jarang memanfaatkan potensi peternakannya

misalnya pemanfaatan pematang sawah sebagai sumber hijauan makanan ternak,

pemanfaatan limbah pertanian untuk makanan ternak, (sapi, itik). Pemanfaatan kotoran

Page 100: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

99

ternak untuk pupuk dan demikian pula pemanfaatan potensi perkebunannya

petani/krama subak sudah jarang memanfaatkannya hal itu mungkin dianggap tidak

ekonomis untuk dikelola karena rata-rata luasan lahan dikuasai relatif sempit sehingga

petani lebih banyak memanfaatkan waktu luangnya untuk mencari pekerjaan

sampingan sebagai tukang atau buruh bangunan, namun sebaliknya dengan petani

subak Sala potensi tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik, karena di subak Sala

merupakan salah sentra produksi ternak sapi di kabupaten Bangli

Variabel-Variabel yang Berpengaruh Terhadap Kelestarian Subak

Subak sebagai organisasi sosio, agraris religius yang berlandaskan Tri Hita

Karana, dimana setiap langkah kegiatannya tidak terlepas dari 3 unsur penyebab

keseimbangan dan keharmonisannya yaitu unsur parhyangan, pawongan dan

palemahan.

Tabel 1 Variabel-Variabel Yang Berpengaruh Terhadap Kelestarian

Subak Aya dan Subak Sala Tahun 2009

No

Variabel

Subak Total

Rata-

rata

(Skor)

Kategori Aya

(skor)

Sala

(Skor)

1

2

3

4

5

Parhyangan (X1)

Pawongan (X2)

Palemahan (X3)

Kondisi Jaringan Irigasi (X4)

Sistem Pengelolaan Air (X5)

49,54

89,68

58,54

6,00

14,50

77,47

161,19

139,19

14,50

33,15

62,47

124,01

123,17

10,25

23,83

Cukup lestari

Cukup lestari

Cukup lestari

Cukup lestari

Cukup lestari

Page 101: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

100

Subak Sala lebih lestari jika dibandingkan dengan Subak Aya. Berdasarkan

Tabel 14 dapat juga disimpulkan, bahwa petani telah memahami bahwa subak

merupakan kesatuan masyarakat adat yang bersifat sosio-agraris-ekonomis dan religius

yang dilandasi falsafah Tri Hita Karana harus dilestarikan dan memelihara nilai-nilai,

norma, etika, moral dan adat istiadat yang terkandung didalamnya agar tetap terjaga

dan berlanjut sampai anak cucu mereka di masa yang akan datang.

Tabel 2. Hasil Analisis Logit Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi

Kelestarian Subak

Variabel β (Koefisien) Signifikansi

Parhyangan (X1)

Pawongan (X2)

Palemahan (X3)

Kondisi Jaringan Irigasi (X4)

Sistem Pengelolaan Air (X5)

Konstanta

0,213*

0,163*

0,973*

0,138*

0,142*

-139,311

0,000

0,000

0,000

0,000

0,000

0,000

Sumber : Analisis data primer, 2009

Keterangan : *) signifikan pada α = 5%

Berdasarkan Tabel 2, maka dihasilkan persamaan logit sebagai berikut :

Li =Ln = P

P

1

Dari persamaan tersebut dapat diketahui probabilitas atau kemungkinan petani

melakukan pelestarian subak, pada saat semua variabel bebas bernilai 0, maka

probabilitas petani untuk melakukan pelestarian subak 0 persen. Nilai signifikansi pada

Tabel 2, dapat diketahui semua variabel signifikan pada tingkat kepercayaan 5%.

Unsur Parhyangan memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap

kelestarian subak dengan koefisien regresi 0,213 signifikan pada taraf nyata α = 0,05.

Unsur Parhyangan adalah pernyataan rasa sujud bakti petani anggota subak ,

kehadapan Tuhan Yang Mahaesa dalam segala manifestasinya, dilakukan dengan

= -139,311+0,213X1+0,163X2+0,973X3+0,138X4+0,142X5

Page 102: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

101

berbagai jenis upacara keagamaan atau kegiatan ritual. Berbagai upacara keagamaan

yang berkaitan dengan subak ada yang dilakukan secara kolektif atau bersama (tempek

atau munduk, subak dan kabupaten/kota) dan ada pula yang dilakukan oleh masing-

masing anggota subak secara perorangan. Berbagai jenis upacara keagamaan tersebut

dilaksanakan di tempat suci atau tempat pemujaan yang disebut pura, baik pura milik

bersama atau milik subak maupun pura milik petani perorangan yang menjadi anggota

subak.

Unsur Pawongan memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap

kelestarian subak dengan koefisien regresi 0,163 signifikan pada taraf nyata α = 0,05.

Unsur pawongan adalah hubungan antara manusia dengan manusia sebagai salah satu

komponen Tri Hita Karana, diantaranya mencakup anggota atau krama subak,

pengurus subak , awig-awig subak, sangkep atau rapat subak, dana subak, gotong-

royong tolong menolong dan konflik. Anggota suatu subak adalah petani

pemilik/penggarap sawah-sawah yang digarap itu berlokasi di wilayah subak yang

bersangkutan. Anggota suatu subak dapat berasal dari beberapa desa, dan petani

pemilik penggarap sawah dapat menjadi anggota pada lebih dari satu subak.

Unsur Palemahan memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap

kelestarian subak dengan koefisien regresi 0,973 signifikan pada taraf nyata α = 0,05.

Unsur palemahan konsep ini memberikan arahan bagaimana subak dan anggotanya

mengolah dan memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas yang terdiri atas tanah

atau lahan pertanian, air irigasi, tanaman dan hewan agar dapat memberikan hasil

pertanian secara optimal, menjaga kelestarian alam dapat memberikan kesejahteraan

bagi seluruh anggota subak beserta keluarga mereka masing-masing

Konsdisi jaringan irigasi memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik

terhadap kelestarian subak dengan koefisien regresi 0, 138 signifikan pada taraf nyata

α = 0,05. Berbagai macam saluran irigasi subak seperti saluran utama (saluran

pembawa primer) kalau tertutup (terowongan) dinamakan aungan dan kalau terbuka

disebut telabah-gede/telabah aya. Telabah pemaron gede (saluran skunder), telabah

pemaron cenik (saluran tersier), telabah pengalapan (saluran kuarter), talikunda

(saluran cacing) adalah saluran yang mendistribusikan air secara adil untuk setiap sikut

sawah.

Page 103: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

102

Sistem pengelolaan air irigasi memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik

terhadap kelestarian subak dengan koefisien regresi 0,142 signifikan pada taraf nyata α

= 0,05. Subak sebagai sistem irigasi sekaligus sebagai organisasi para petani dalam

bidang irigasi, mempunyai tujuan untuk memberikan kesejahteraan lahir batin (moksa

artham jagathita) bagi para anggotanya melalui usaha produksi pangan khususnya

beras. Untuk itu diperlukan berbagai kegiatan yaitu, salah satunya manajemen atau

pengelolaan air irigasi dalam arti mengatur, membagi, serta mengalirkan air agar dapat

dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para petani anggota subak pada sawahnya masing-

masing.

PENUTUP

1) Kelestarian subak jika ditinjau dari aktivitasnya yang berdasarkan konsep Tri Hita

Karana adalah cukup lestari, subak yang tidak mengalami alih fungsi lahan lebih

lestari jika dibandingkan dengan subak yang mengalami alih fungsi lahan.

2) Variabel-variabel unsur-unsur Tri Hita Karana seperti parhyangan, pawongan dan

palemahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kelestarian subak,

demikian juga variabel kondisi jaringan irigasi dan sistem pengelolaan irigasi

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kelestarian subak.

3) Pembinaan dan penyuluhan perlu terus dilakukan, terutama kepada subak yang

mengalami alih fungsi lahan, karena banyak aktivitasnya yang kurang baik dan

buruk, seperti kegotong-gotong royongan, sistem pengelolaan air irigasi yang

merupakan azas esensial dari subak tersebut. Sehingga diharapkan subak dapat

berkembang sepanjang jaman dan tetap lestari.

Daftar Pustaka

Argawal, H.S., 1998. Modern Micro Economics. 6th resived and anlarged edition.

Kornak Publisher PUTLTD

Biro Pusat Statistika, 2007. Bali Dalam Angka Bali in Figure. BPS Propinsi Bali,

Denpasar

Page 104: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

103

Dixon, J.A., and Hufschmidt, M., 1986. Economic Valuation Techniques For The

Environmental: A case Study Workbook, The John Hopkins University Press,

Copyright by The East-West Centre, East-West Environment and Policy

Institute, All Rights Reserved. Diterjemahkan oleh Sukanto Reksohadiprodjo,

Gadjah Mada University Press.

Dinas Kebudayaan Bali, 2009. Statistik Kebudayaan Bali. Denpasar

Cater, E. 1997. Ecotourism: dimensions of sustainability, paper yang dipresentasikan

dalam International Seminar of Ecouturism for Forest Conservation and

Community Development, 28-31 January 1997, Chiang Mai, Thailand.

Fauzi, Ahmad, 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi.

PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Gittinger, J.P., 1982. Economic Analysis of Agricultureal Projects, Baltimore, Johns

Hopkins University Press

Goodland, R. 1996. Environmental sustainability: universal and negotiable. Ecological

application, 64:1002-1017.

Groendfeldt, David, 2003. Multi-functional roles of irrigation with special reference to

paddy cultivation, World Water Council 3rd World Water Forum, Kyoto, Japan.

Grumbine, R.E. 1994. What is ecosystem manajemen? Conservation Biology, 8:27-38.

Hufschmidt, Maynard M. and David, 1992. Environmental, Natural System, and

Development: An Economic Valuation Guide, The John Hopkins University

Press, Copyright by The East-West Centre, East-West Environment and Policy

Institute, All Rights Reserved. Diterjemahkan oleh Sukanto Reksohadiprodjo,

Editor Sugeng Martopo, Cetakan Kedua, Gadjah Mada University Press.

Husein, Harun M., 1993. Lingkungan Hidup, Masalah Pengelolaan dan Penegakan

Hukumnya, PT. Bumi Aksara, Jakarta.

Harahab, Nuddin, 2008. Analisis Ekonomi-Ekologi Perencanaan Wilayah Hutan

Mangrove. Disertasi Program Pascasarjana Unibraw. Malang.

Kwun, Soon-kuk, 2002. Multi-functional roles in paddy fields and on –farm

irrigation, World WaterCouncil 3rd World Water Forum, Otsu, Shiga, Japan.

Lansing, J.S. 1995. The Balinese. Harcourt Brace College Publisher, Tokyo.

Lansing, J.S., J.N. Kremer, V. Gerhart, P. Kremer, A. Arthawiguna, S.P.K. Surata,

Suprapto, I.B. Suryawan, I.G. Arsana, V.L. Scarborough, J. Schoenfelder & K.

Page 105: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

104

Mika. 2001. Analysis volcanic fertilization of Balinese rice paddies. Ecological

Economic, 38:383-900.

Lansing, J.S. 1995. The Goddess. Prentice Hall, New Jersey (in press).

Munasinghe, M., and E. Lutz, 1993. Environmental Economics and Valuation in

Development Decision Making. Environmental Economics and Natural

Resources Management in Developing Countries, Edited by Mohan

Munasinghe, Compiled by Adelaide Schwab, Committee of International

Development Institution on The Environment (CIDIE), Distributed for CIDIE by

The World Bank Washington, DC.

Mizutani, Masakazu, 2002. Multi-functional roles of paddy field irrigation in the Asia

monsoon region,World Water Council 3rd World Water Forum , Otsu ,Shiga,

Japan.

Minitab, Inc. 1996. Minitab Release 11.12. www.minitab.com

Nasendi dan Anwar Afeffendi, 1985. Program Linear dan Variasinya. Penerbit PT.

Gramedia Jakarta

Odum, W.E., and E.J.Heald, 1975. The Response of Mangrove to man-in-duced

environmental stress, pp: 52-62, In Ferguson Wood, E.J., and R.E. Johannes

(eds.) Tropical marine pollution, Elsevier Scientific Publishing Company,

Amsterdam.

Pearce David, W. and Turner R. Kerry, 1990. Economic of Natural Resources and

Environment, Harvester Weatsheaf New York London, Toronto Sydney Tokyo.

Reksohadiprodjo Sukanto dan Andreas Budi P.B., 1997. Ekonomi. Lingkungan, Suatu

Pengantar, Edisi Pertama, Cetakan kelima, BPFE, Yogyakarta

Sedana, Gede, 1999. Pengembangan Fungsi Subak Dalam Menghadapi Tantangan di

Masa Depan. Makalah disampaikan pada Diskusi Terbatas (SITAS) II

Kerjasama FP. Undwi dengan Jaringan Komunikasi Irigasi (JKI) di Unmas

Denpasar

Sudita, Made dan Made Antara, 2006. Nilai Sosial-Ekonomi Air di Kawasan Pura Tirta

Empul Desa Manukaya, Kabupaten Gianyar, Bali: Suatu Pendekatan Ekonomi

Lingkungan. (dalam Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis “SOCA”,

Vol 6 No.2:109-216, Juli 2006), diterbitkan oleh Fakultas Pertanian Universitas

Udayana.

Page 106: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

105

Supardi, I., 1985. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya, Penerbit Alumni, (Cetakan

Kedua), Bandung.

Suradisastra, K, Sejati, WK, Supriatna, Y, Hidayat, D. 2002. Institutional description of

the Balinese subak. Jurnal Litbang Pertanian, 21 (1):7-16.

Sutawan, N; M Swara; W Windia; N Sutjipta. 1984. Studi Perbandingan Subak dalam

Sistem Irigasi non-PU dan Subak dalam Sistem Irigasi PU (Kasus Subak

Timbul Baru dan Subak Celuk, Kab. Gianyar) UNUD Denpasar

Sutawan, N, W.Windia, M Swara, G.Sedana, IGM. Putra Marjaya, 1991. Penelitian

Aksi Pembentukan Wadah Koordinasi antar Sistem Irigasi (Subak Agung) di

wilayah Kabupaten Tabanan dan Buleleng. UNUD Denpasar

Sutawan, N., 1996. Struktur dan Fungsi Subak. Makalah Peranan Berbagai Program

Pembangunan Dalam Melestarikan Subak di Bali. UNUD Denpasar.

Sutawan, N., 2005. Revitalisasi Subak Dalam Memasuki Era Globalisasi. Penerbit

Andi Offset. Yogyakarta

Sutawan, N., 2007. Organisasi dan Manajemen Subak di Bali. Penerbit Pustaka Bali

Post. Denpasar

Sutjipta, N dan W. Windia, 1996. Pengaruh Program Pemerintah Terhadap

Ketradisionalan Dinamika Kelompok dab Mutu Hidup Anggota Subak. Makalah

Peranan Berbagai Program Pembangunan Dalam Melestarikan Subak di Bali,

UNUD, Denpasar

Surata, S.P.K, I.W.A.A. Wiguna , I.G.M.O. Suprapta & J.S. Lansing. 2004. Respon

Biologi Tanaman Padi di Bali terhadap Pengurangan Penggunaan Pupuk Fosfat

dan Nitrogen Anorganik. Makalah pada seminar nasional tentang”Optimalisasi

Pemanfaatan Sumberdaya Lokal untuk Mendukung Pembangunan Pertanian”

yang diselenggarakan atas kerjasama Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian

Departemen Pertanian RI dan BPTP Bali, di Kuta Bali, 6 Oktober 2004.

Surata, S.P.K. 2003. Budaya padi dalam subak sebagai model pendidikan lingkungan.

Hal. 81-97. Di dalam Kasryno, F., E. Pasandaran & A.M. Fagi (Penyunting).

Subak dan Kerta Masa. Kearifan Lokal Pendukung Pertanian Berkelanjutan.

Yayasan Padi Indonesia, Jakarta.

Surata, S.P.K., & I.W.A.A. Wiguna. 2003. Persepsi wisatawan terhadap fungsi ganda

subak. Prosiding Seminar Nasional tentang Revitalisasi Teknologi Kreatif

Page 107: journalism gabungan

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

106

dalam Mendukung Agribisnis dan Otonomi Daerah. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian, Departemen Pertanian, Teknologi Pertanian. Denpasar, 7 Oktober

2003

Suhendang, Endang, 1996. Ekologi., Ekologisme, dan Pengendalian Sumberdaya

Hutan: Ekologi vs Ekonomi. Gagasan, Pemikiran, dan Karya Ishemat

Soerianegara. Dirterbitkan oleh : Jurusan Manajemen Hutan Fakultas

Kehutanan IPB. ISBN:979-95044-2-X

Windia I Wayan., 2002. Transformasi Sistem Irigasi Subak yang Berlandaskan Konsep

Tri Hita Karana. Disertasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Windia I Wayan., 2006. Transformasi Sistem Irigasi Subak yang Berlandaskan Konsep

Tri Hita Karana. Penerbit Pustaka Bali Post, Denpasar.