69
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.1 Latar Belakang Ilmu ortodonti telah berkembang pesat berkat pengalaman ortodonti dalam pencapaian hasil yang optimal. Semakin berkembang ortodontik, semakin banyak pula orang yang mencari pertolongan untuk memperbaiki posisi gigi mereka yang tidak teratur. Maloklusi atau ketidakteraturan gigi pada lengkung rahang merupakan masalah bagi beberapa individu karena bisa menyebabkan problem fungsi mulut, gangguan sendi temporomandibula, pengunyahan, penelanan dan bicara. 1 Pada awal konsultasi, setiap dokter gigi diputuskan untuk menjawab pertanyaan mengenai lama perawatan yang dianjurkan, jawaban pertanyaan ini biasanya tergantung pada faktor-faktor lain seperti pengalaman dokter, keterampilan klinis, dan metode manajemen praktik. Pasien yang diberikan informasi akurat akan menjadi konsumen yang lebih baik pada pelayanan gigi, dengan harapan untuk hasil perawatan dan 1

judul 4.doc

Embed Size (px)

Citation preview

BAB 1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.1 Latar Belakang

Ilmu ortodonti telah berkembang pesat berkat pengalaman ortodonti dalam pencapaian hasil yang optimal. Semakin berkembang ortodontik, semakin banyak pula orang yang mencari pertolongan untuk memperbaiki posisi gigi mereka yang tidak teratur. Maloklusi atau ketidakteraturan gigi pada lengkung rahang merupakan masalah bagi beberapa individu karena bisa menyebabkan problem fungsi mulut, gangguan sendi temporomandibula, pengunyahan, penelanan dan bicara.1 Pada awal konsultasi, setiap dokter gigi diputuskan untuk menjawab pertanyaan mengenai lama perawatan yang dianjurkan, jawaban pertanyaan ini biasanya tergantung pada faktor-faktor lain seperti pengalaman dokter, keterampilan klinis, dan metode manajemen praktik. Pasien yang diberikan informasi akurat akan menjadi konsumen yang lebih baik pada pelayanan gigi, dengan harapan untuk hasil perawatan dan kepuasaan yang lebih besar dengan perawatan mereka secara keseluruhan. Lembaga ortodontik inggris merekomendasikan bahwa pasien harus menerima informasi yang cukup tentang perawatan yang dianjurkan, termasuk perkiraan realistis mengenai skala waktu yang dibutuhkan. Banyak faktor yang bisa mempengaruhi lama perawatan ortodontik yaitu salah satunya adalah tindakan ekstraksi gigi.2 Perawatan ortodonti terkadang memerlukan pencabutan gigi untuk merawat susunan gigi yang tidak teratur .pada perawatan ortodonti ada dua alasan untuk mencabut gigi . pertama: mendapatkan ruangan untuk penyusunan gigi pada kasus gigi berjejal dengan derajat berat, kedua : untuk menggerakkan gigi pada kasus protrusi yang memerlukan retraksi.3 Pada kasus pencabutan gigi geligi untuk medapatkan ruang dibutuhkan waktu untuk penutupun ruang bekas pencabutan tersebut.4

keseimbangan biologi rongga mulut. Emel sari dan ilhan birinci (2011) mengemukakan bahwa jumlah Streptococcus mutans dan Lactobacillus meningkat setelah penggunaan ortodonti.3

Selama perawatan ortodonti sangat sulit untuk menjaga kebersihan mulut karena terdapat beberapa komponen alat ortodonti cekat seperti bracket dan wires yang memungkinkan terjadi retensi makanan.3 Asli Topaloglu, Fahinur Ertugra, Ece Eden, Mustafa Ates, Hakan Bulut (2011) dalam penelitiannya efek penggunaan ortodonti pada mikrobiota rongga mulut. Gambaran ini menguraikan bahwa jumlah Streptococcus mutan dan Lactobacillus Sp meningkat secara signifikan pada 6 bulan setelah pemasangan alat ortodonti cekat / lepasan di rongga mulut. Peningkatan yang signifikan pada C.albican setelah 3 bulan penggunaan alat ortodonti cekat.4

Adanya bakteri yang terdapat dalam rongga mulut merupakan flora normal dalam keadaan seimbang pada orang yang tidak menggunakan alat ortodonti. Namun pada pemakai alat ortodonti cekat, keadaannya menjadi berbeda. Bakteri akan bertambah banyak bila penderita kurang merawat kebersihan gigi. Bakteri yang berakumulasi terdapat dalam plak gigi akan merekat erat pada komponen-komponen alat ortodonti tersebut.5

Menjaga kebersihan mulut dengan baik merupakan tantangan bagi siapapun terutama pengguna alat ortodonti.6 Kelebihan komposit disekitar dasar bracket merupakan faktor penting yang dapat menyebabkan akumulasi plak karena permukaan kasar dan adanya celah yang berbeda pada permukaan komposit-email.7 Ini telah jelas bahwa alat ortodonti cekat berkontribusi terhadap retensi plak dan mengganggu kebersihan mulut. Penelitian klinis dan eksperimen telah menunjukkan bahwa etiologi utama terjadinya inflamasi pada jaringan periodontal yaitu adanya plak bakteri supragingiva atau subgingiva.6

Penggunaan alat ortodonti cekat dapat meningkatkan jumlah daerah potensial untuk terjadi retensi plak sehingga akan meningkatkan kemungkinan berkembangnya gingivitis menjadi periodontitis.

Dari beberapa penelitian sebelumnya mengatakan bahwa pada awal pemakaian terjadi perubahan flora mikroba.2 Beberapa bakteri yang sering ditemukan dirongga mulut seperti Streptococcus mutans dan Lactobacillus, jumlahnya meningkat setelah penggunaan ortodonti.3 Dalam penelitian lain mengatakan bahwa konsentrasi bakteri aerob dan anaerob meningkat selama 3 bulan pertama perawatan ortodonti.1 Namun penelitian yang dilakukan oleh Asli topaloglu, Fahinur Ertugra, Ece Eden, Mustafa Ates, Hakan Bulut (2011) mengemukakan bahwa jumlah Streptococcus mutan dan Lactobacillus Sp meningkat secara signifikan pada 6 bulan setelah pemasangan alat ortodonti cekat / lepasan di rongga mulut. Peningkatan yang signifikan pada C.albican setelah 3 bulan penggunaan alat ortodonti cekat.

Perawatan ortodonti dalam jangka waktu yang panjang memungkinkan terdapatnya efek negatif terhadap flora mikroba dan meningkatkan resiko karies serta masalah periodontal. Pengguna ortodonti harus selalu diingatkan untuk termotivasi dalam menjaga kebersihan rongga mulut selama perawatan ortodonti.4

Oleh karena itu, peneliti menganggap lama pemakaian merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah koloni bakteri pada pengguna alat ortodonti cekat namun tidak menutup kemungkinan semakin lama penggunaan alat ortodontik cekat maka jumlah bakterinya semakin banyak jika pemakainya mengimbangi dengan rajinnya membersihkan dan lebih ekstra menjaga oral hygiene disaat menggunakan alat ortodonti cekat. Dengan alasan itulah, peneliti mengambil sampel dari mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi dengan maksud mahasiswa kedokteran gigi lebih mengetahui bagaimana cara menyikat gigi yang baik, seberapa sering menyikat gigi maupun hal-hal lain yang berhubungan dengan kebersihan gigi dan mulut.

Oleh karena itu, peneliti menganggap mahasiswa kedokteran gigi memiliki oral hygiene yang setara karena ilmu tentang kedokteran gigi yang mereka miliki.

Dengan dasar itulah, peneliti tertarik untuk mengetahui apakah ada hubungan lama pemakaian alat ortodonti cekat terhadap jumlah koloni bakteri rongga mulut.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah apakah ada hubungan lama pemakaian alat ortodonti cekat terhadap jumlah koloni bakteri pada saliva ?

1.3 HIPOTESA PENELITIAN

Hipotesa penelitian ini adalah ada hubungan lama pemakaian alat ortodonti cekat terhadap jumlah koloni bakteri pada saliva.

1.4 TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan lama pemakaian alat ortodonti cekat terhadap jumlah koloni bakteri pada saliva.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

1.5.1Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi ilmiah bagi disiplin ilmu kedokteran gigi yang berhubungan dengan jumlah koloni bakteri pada pemakai alat ortodonti cekat sesuai dengan lamanya pemakaiannya.

1.5.2Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan informasi bagi para peneliti yang relevan dengan penelitian ini, dan juga pihak-pihak lain yang berkepentingan. Diharapkan pula penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang hubungan lamanya pemakaian alat ortodontik cekat terhadap jumlah koloni bakteri pada saliva.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui hubungan antara ekstraksi gigi dengan waktu yang diperlukan dalam perawatan ortodonti.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara ekstraksi gigi dengan waktu yang diperlukan dalam perawatan ortodonti?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan ekstraksi gigi dengan waktu yang diperlukan dalam perawatan ortodonti.

1.4 Hipotesis

Ada hubungan antara ekstraksi gigi dengan waktu yang diperlukan dalam perawatan ortodonti.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Menambah pengetahuan dalam melakukan rencana perawatan.

2. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan informasi dalam perawatan ortodonti.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Maloklusi

Pengertian Maloklusi adalah penyimpangan letak gigi dan atau malrelasi lengkung geligi (rahang) diluar rentang kewajaran yang dapat diterima. Maloklusi juga bisa merupakan variasi biologi sebagaimana variasi biologi yang terjadi pada bagian tubuh yang lain, tetapi karena variasi letak gigi mudah diamati dan menggangu estetik sehingga menarik perhatian dan memunculkan keinginan untuk melakukan perawatan. Terdapat bukti bahwa prevalensi maloklusi meningkat, peningkatan ini sebagian dipercayai sebagai suatu proses evolusi yang diduga akibat meningkatnya variabilitas gen dalam populasi yang bercampur dalam kelompok ras1 atau bisa juga dikatakan Maloklusi merupakan keadaan yang menyimpang dari oklusi normal.2

2.2 Etiologi Maloklusi

Kondisi maloklusi lebih banyak diakibatkan oleh faktor genetik yang mengakibatkan ketidakseimbangan antara ukuran rahang dengan ukuran gigi secara keselurahan.2 Namun dalam hal ini faktor lokal juga mempengaruhi etiologi dari maloklusi.1

2.2.1. Faktor herediter

Pada populasi primitif yang terisolasi jarang dijumpai maloklusi yang berupa disproporsi ukuran rahang dan gigi sedangkan relasi rahangnya menunjukan relasi yang sama. Pada populasi modern lebih sering ditemukan maloklusi daripada populasi primitif sehingga diduga karena adanya kawin campur menyebabkan peningkatan prevalensi maloklusi. Cara yang lebih baik untuk mempelajari pengaruh herediter adalah dengan mempelajari anak kembar monozigot yang hidup pada lingkungan yang sama. Suatu penelitian menyimpulkan bahwa 40 persen variasi dental dan fasial dipengaruhi faktor heriditer sedangkan penelitian yang lain menyimpulkan bahwa karakter skeletal kraniofacial sangat dipengaruhi oleh faktor heriditer sedangkan pengaruh heriditer terhadap gigi rendah. Pengaruh heriditer dapat bermanifestasi dalam dua hal, yaitu 1) disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan maloklusi berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa diastema multipel meskipun yang terakhir ini jarang dijumpai, 2) disproporsi ukuran, posisi dan bentuk rahang atas dan rahang bawah yang menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis. Dimensi kraniofacial, ukuran dan jumlah gigi sangat dipengaruhi faktor genetik sedangkan ukuran dan jumlah gigi sangat dioengaruhi faktor genetik sedangkan dimensi lengkung geligi dipengaruhi oleh faktor lokal. Urutan pengaruh genetik pada skelet yang paling tinggi adalah mandibula yang prognatik, muka yang panjang serta adanya deformitas muka. Menurut Mossey (1999) berbagai komponen ikut menentukan terjadinya oklusi normal ialah : 1) ukuran maksila dan mandibula termasuk ramus dan korpus 2) faktor yang ikut mempengaruhi relasi maksila dan mandibula seperti basis kranial dan lingkungan 3) jumlah, ukuran dan morfologi gigi 4) morfologi dan sifat jaringan lunak (bibir,lidah,dan pipi). Kelainan pada komponen tersebut serta interaksinya dapat menyebabkan maloklusi. Implikasi klinis suatu maloklusi yang lebih banyak dipengaruhi faktor heriditer adalah kasus tersebut mempunyai prognosis yang kurang baik bila dirawat ortodontik, namun sayangnya sukar untuk dapat menentukan seberapa pengaruh faktor heriditer pada maloklusi tersebut. Perkembangan pengetahuan genetik molekuler diharapkan mampu menerangkan penyebab etiologi heriditer dengan lebih cepat.1

a. Etiologi maloklusi kelas 1 Angle

Pola skelet maloklusi kelas 1 biasanya kelas 1 tetapi dapat juga kelas II atau kelas III ringan. Pola jaringan lunak pada maloklusi kelas 1 umumnya menguntungkan kecuali pada maloklusi yang disertai proklinasi bimaksiler (insisivi atas dan bawah proklinasi) yang mungkin merupakan ciri khas ras tertentu. Kebanyakan maloklusi kelas 1 disebabkan faktor lokal yang dapat berupa diskrepansi ukuran gigi dan lengkung geligi. Faktor lokal yang dapat menyebabkan kelainan pada maloklusi kelas II dan kelas III.

b. Etiologi maloklusi kelas II :

1. kelas II divisi 1 Angle

Pada maloklusi kelas II divisi I sering didapatkan letak mandibula yang lebih posterior daripada maloklusi kelas 1 atau maksila yang lebih anterior sedangkan madibula normal. Kadang-kadang didapatkan ramus mandibula yang lebih sempit dan panjang total mandibula juga berkurang. Terdapat korelasi yang tinggi antara pasien dengan keluarga langsungnya sehingga beberapa peneliti menyimpulkan bahwa pewarisan maloklusi kelas II divisi I dari faktor poligenik. Selain faktor genetik maloklusi kelas II divisi I juga disebabkan faktor lingkungan. Jaringan lunak, misalnya bibir yang tidak kompeten dapat mempengaruhi posisi insisivus atas karena hilagnya keseimbangan yang dihasilkan oleh bibir dan lidah sehingga insisivus atas protrusi. Kebiasaan menghisap jari dapat menghasilkan maloklusi kelas II divisi I meskipun relasi rahang atas dan bawah kelas I sehingga ada yag menyebut maloklusi ini sebagai maloklusi kelas II divis I tipe dental. Pada maloklusi kelas II divisi I insisivus atas dalam keadaan proklinasi sehingga jarak gigit menjadi besar. Adanya diskrepansi skeletal dalam jurusan sagital juga dapat menyebabkan jarak gigit yang besar. Dengan adanya jarak gigit yang besar biasanya tidak terdapat stop bagi insisivus bawah sehingga terjadi supra erupsi insisivus bawah dengan akibat terjadi gigitan dalam dan kurva spee menjadi positif. Posisi bibir iku berperan pada maloklusi kelas II divisi I. Pada bibir yang tidak kompeten pasien berusaha mendapatkan anterior oral seal dengan cara muskulus sirkum oral berkontraksi dengan mengajukan mandibula sehingga bibir atas dan bawah dapat berkontak pada saat isitrahat, lidah berkontak dengan bibir bawah atau kombinasi keadaan-keadaan ini. Bila mandibula diajukan kelainan relasi skeletal nampak tidak terlalu parah tetapi bila bibir bawah terletak dipalatal inisisivus atas dapat berakibat retroklinasi insisivus bawah dan proklinasi insisivus atas sehingga jarak gigit menjadi lebih besar.

2. Kelas II divisi 2 Angle

Maloklusi ini merupakan hasil interaksi faktor-fakto yang mempengaruhi skelet dan jaringan lunak. Penelitian pada anak kembar monozigot menunjukan bahwa maloklusi kelas II divisi 2 dipengaruhi oleh faktor herediter autosomal yang dominan tetapi yang bersifat poligenik. Pola skelet pada maloklusi kelas II divisi 2 biasanya kelas II ringan atau kelas 1 dan meskipun sangat jarang bisa juga pola skelet kelas III ringan. Tinggi muka yang berkurang disertai relasi skelet kelas II sering menyebabkan tidak adanya stop antara insisivus bawah dengan insisivus atas sehingga insisivus bawah bererupsi melebihi normal sehingga terjadi gigitan dalam. Pengaruh bibir bawah sagat besar terutama bila didapatkan high lower lip line (bibir bawah menutupi lebih dari sepertiga panjang mahkota insisivus) yang menyebabkan posisi insisivus atas retroklinasi (lapatki dkk, Mitchell, 2007) bila panjang mahkota insisivus laterla pendek maka gigi ini dapat terletak normal sedangkan insisivus sentral retroklinasi dan bila panjang inisisivus lateral normal gigi ini bisa juga terletak retroklinasi. Bisa juga didapatkan retroklinasi insisivus atas maupun bawah bila bibir sangat aktif. Kadang kadang didapatkan letak gigi berdesakan dan insisivus lateral yang rotasi mesiolabial disebabkan tekanan bibir pada insisivus sentral.

c. Etiologi maloklus Kelas III Angle

Contoh paling jelas dan terkenal adanya pengaruh faktor genetik adalah prognati mandibula yang didapatkan pada dinasti Hasburg dikerajaan Austria yang diturunkan dari generasi ke generasi dengan cara autosomal dominan. Maloklusi kelas III dapat terjadi karena faktor skelet, yaitu maksila yang kurang tumbuh sedangkan mandibula normal atau maksila normal dan mandibula yang tumbuh berlebihan atau kombinasi kedua keadaan tersebut. Selain itu juga dipengaruhi oleh panjang basis kranial serta sudut yang terbentuk antara basis kranial posterior dan anterior. Kadang-kadang fossa glenoidal yang terletak anterior menyebabkan mandibula terletak lebih anterior. Jaringan lunak tidak begitu memainkan peranan dalam terjadinya maloklusi kelas III kecuali adanya tendens tekanan dari bibir dan lidah yang mengompensasi relasi skelet kelas III sehingga terjadi retroklinasi insisivus bawah dan proklinasi insisivus atas. Faktor genetik lebih mempengaruhi skelet ( misalnya, pada sindrom muka panjang yang menyebabkan adanya gigitan terbuka ) sedangkan faktor lingkungan lebih mempengaruhi letak gigi dalam lengkung geligi. Lengkung geligi atas yang sempit menyebabkan terjadinya gigi berdesakan dan lengkung geligi bawah yang lebar menyebabkan letak gigi yang normal atau bahkan kadang-kadang terdapat diastema.

2.2.2. Faktor lokal

a. Gigi sulung tanggal prematur

Gigi sulung yang tanggal prematur dapat berdampak pada susunan gigi permanen. Semakin muda umur pasien pada saat terjadi tanggal prematur gigi sulung semakin besar akibatnya pada gigi permanen. Insisivus sentral dan lateral sulung yang taggal prematur tidak begitu berdampak tetapi kaninus sulung akan menyebabkan adanya pergeseran garis median. Perlu diusahakan agar kaninus sulung tidak tidak tanggal prematur. Sebagian peneliti mengatakan bahwa bila terjadi tanggal prematur kaninus sulung karena resobsi insisivus lateral atau karena karies disarankan dilakukan balancing ekstraction, yaitu pencabutan kaninus sulung kontralateral agar tidak terjadi pergeseran garis median dan kemudian dipasang space mentainer. Molar pertama sulung yang tanggal prematur juga dapat menyebabkan pergeseran garis median. Perlu tidaknya dilakukan balancing ekstraction harus dilakukan terlebih dahulu. Molar kedua sulung terutama rahang bawah merupakan gigi sulung yang paling sering tanggal prematur karena karies, kemudian gigi molar permanen bergeser kearah diastema sehingga tempat untuk premolar kedua berkurang dan premolar kedua tumbuh sesuai letak benihnya. Gigi molar kedua sulung yang tanggal prematur juga dapat menyebabkan asimetri lengkung geligi, gigi berdesakan serta kemungkinan terjadi supra erupsi gigi antagonis. Bila kolar kedua sulung tanggal prematur banyaknya pergeseran molar pertama permanen ke mesial dipengaruhi oleh tinggi tonjil gigi (bila tonjol gigi tinggi pergeseran makin sedikit) dan waktu tanggal gigi tersebut (pergeseran paling banyak bila molar kedua sulung tanggal sebelum molar permanen erupsi).

b. Persistensi gigi

Persistensi gigi sulung atau disebut juga over retained decidous teeth berarti gigi sulung yang sudah melewati waktunya tanggal tetapi tidak tanggal. Perlu diingat bahwa waktu tanggal gigi sulung sangat bervariasi. Keadaan yang jelas menunjukan persistensi gigi sulung adalah apabila gigi permanen pengganti telah erupsi tetapi gigi sulungnya tidak tanggal. Bila diduga terjadi persistensi gigi sulung tetapi gigi sulungnya tidak ada dirongga mulut, perlu diketahui anamnesis pasien, dengan melakukan wawancara medis kepada orang tua pasien apakah dahulu pernah terdapat gigi yang bertumpuk diregio tersebut.

c. Trauma

Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi permanen. Bila terjadi trauma pada saat mahkota gigi permanen sedang terbentuk dapat terjadi gangguan pembentukan enamel, sedangkan bila mahkota gigi gigi permanen telah terbentuk dapat terjadi dilaserasi, yaitu akar gigi yang mengalami distorsi bentuk (biasanya bengkok). Gigi yang mengalami dilaserasi biasanya tidak dapat mencapai oklusi yang normal bahkan kalau parah tidak dapat dirawat ortodontik dan tidak ada pilihan lain kecuali dicabut. Kalau ada dugaan terjadi trauma pada saat pembentukan gigi permanen perlu diketahui anamnesis apakah pernah terjadi trauma disekitar mulut untuk lebih memperkuat dugaan adanya trauma. Trauma pada salah satu sisi muka pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan asimetri muka.

d. Pengaruh jaringan lunak

Tekanan dari otot bibir, pipi dan lidah memberi pengaruh yang besar terhadap letak gigi. Meskipun tekanan dari otot-otot ini jauh lebih kecil daripada tekanan otot pengunyah tetapi berlangsung lebih lama. Menurut penelitian tekanan yang berlangsung selama 6 jam dapat mengubah letak gigi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa bibir, pipi dan lidah yang menempel terus pada gigi hampir selama 24 jam dapat sangat mempengaruhi letak gigi. Tekanan dari lidah, misalnya karena letak lidah pada posisi istrahat tidak benar atau karena adanya makroglosi dapat mengubah keseimbangan tekanan lidah dengan bibir dan pipi sehingga insisivus bergerak ke labial. Dengan demikian patut dipertanyakan apakah tekanan lidah dapat mempengaruhi letak insisivus karena meskipun tekanannya cukup besar yang dapat menggerakkan gigi tetapi berlagsung dalam waktu yang singkat. Bibir yang telah dioperasi pada pasien celah bibir dan langit-langit kadang-kadang mengandung jaringan parut yang selain tekanannya yang besar oleh karena bibir pada keadaan tertentu menjadi pendek sehingga memberi tekanan yang lebih besar dengan akibat insisivus tertekan ke palatal.

e. Kebiasaan buruk

Suatu kebasaan yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari, berfrekuensi cukup tinggi dengan intensitas yang cukup dapat menyebabkan maloklusi. Kebiasaan mengisap jari atau benda-benda lain dalam waktu yang berkepanjangan dapat menyebabkan maloklusi. Dari ketiga faktor ini yang paling berpengaruh adalah durasi atau lama kebiasaan berlangsung. Kebiasaan mengisap jari pada fase geligi sulung tidak mempunyai dampak pada gigi permanen bila kebiasaa tersebut telah berhenti sebelum gigi permanen erupsi. Bila kebiasaan ini terus berlanjut sampai gigi permanenn erupsi akan terdapat maloklusi dengan tanda-tanda berupa insisivus atas proklinasi dan terdapat diastema, gigitan terbuka, lengkung atas sempit serta retroklinasi inisisvus bawah. Maloklusi yang terjadi ditentukan oleh jari mana yang diisap dan bagaimana pasien meletakkan jarinya pada waktu mengisap. Kebiasaan mengisap bibir bawah dapat menyebabkan proklinasi insisivus atas disertai jarak gigit yang bertambah da retroklinasi insisivus bawah. Kebiasaan mendorong lidah sebetulnya bukan merupakan kebiasaan tetapi lebih berupa adaptasi terhadap adanya gigitan terbuka misalnya karena mengisap jari. Dorongan lidah pada saat menelan tidak lebih beda daripada yang tidak mendorongkan lidahnya sehingga kurang tepat untuk mengatakan bahwa gigitan terbuka anterior terjadi karena adanya dorongan lidah pada saat menelan. Kebiasaan menggigit kuku juga dapat menyebabkan maloklusi tetapi biasanya dampaknya hanya pada satu gigi.

f. Faktor iatrogenik

Pengertian kata iatrogenik adalah berasal dari suatu tindakan profesional. Perawatan ortodontik mempunyai kemungkinan terjadinya kelainan iatrogenik. Misalnya, pada saat menggerakkan kaninus ke distal dengan peranti lepasan tetapi karena kesalahan desain atau dapat juga saat menempatkan pegas tidak benar sehingga yag terjadi gerakan gigi kedistal dan palatal. Contoh lain adalah pemakaian kekuatan yang besar untuk menggerakkan gigi dapat menyebabkan resobsi akar gigi yang digerakkan, resobsi yang berlebihan pada tulang alveolar selain kematian pulpa gigi. Kelainan jaringan periodontal dapat juga disebabkan adanya perawatan ortodontik, misalnya gerakkan bibir kearah labial/bukal yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya dehiscence dan fenestrasi.1

2.3 Klasifikasi Maloklusi Menurut Angel

a. Kelas 1 : maloklusi dengan molar pertama permanen bawah setengah lebar tonjol mesial terhadap molar pertama permanen atas. Relasi lengkung gigi semacam ini biasa disebut juga dengan istilah netroklusi. Kelainan yang menyertai dapat berupa gigi berdesakan, proklinasi, gigitan terbuka anterior dan lain-lain.

b. Kelas II : maloklusi angle kelas II adalah hasil kelainan skeletal dan dentoalveolar yaitu malrelasi antara maksila dan mandibula.7 lengkung bawah minimal setengah lebar tonjol lebih posterior dari relasi yang normal terhadap lengkung geligi atas dilihat pada relasi molar. Relasi seperti ini biasa juga disebut distoklusi.maloklusi kelas II dibagi menjadi dua divisi menurut inklinasi insisivus atas :

Divisi 1 : insisivus atas proklinasi atau meskipun insisivus atas inklinasinya normal tetapi terdapat jarak gigit dan tumpang gigit yang bertambah.

Divisi 2: insisivus sentral atas retroklinasi. Kadang-kadang insisivus lateral proklinasi, miring ke mesial atau rotasi mesiolabial. Jarak gigit biasanya dalam batas normal tetapi kadang-kadang sedikit bertambah. Tumpang gigit bertambah. Dapat juga keempat insisivus atas retroklinasi dan kaninus terletak dibukal.

c. Kelas III : lengkung bwah setidak-tidaknya satu lebar tonjol lebih ke mesial daripada lengkung geligi atas bila dilihat dari relai molar pertama permanen. Relasi lengkung geligi semacam ini biasa disebut juga mesioklusi. Relasi anterior menunjukan adanya gigitan terbalik. 1

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh foster dan day (1974) menemukan bahwa penderita maloklusi klas 1 sebesar 44%, klas 2 divisi 1 sebesar 27%, kals 2 divisi 2 sebesar 18%, klas 2 (tak pasti) 7%, klas 3 (sejati) 3 %, dan klas 3 (postural) sebesar 0,3%.2 Menurut winoto (1989) kasus maloklusi klas 1 sebesar 80 % yang terjadi di Indonesia.

2.4 Tujuan Perawatan Ortodontik

Tujuan perawatan ortodontik adalah :

a. Kesehatan gigi dan mulut

b. Estetik muka dan geligi

c. Fungsi kunyah dan bicara yang baik

d. Stabilitas hasil perawatan

Sebagian besar integral dari upaya mencapai kesehatan secara menyeluruhmakan perawatan ortodontik harus dapat mengoreksi maloklusi dan meningkatkan kesehatan gigi dan mulut. Kebanyakan pasien memerlukan perawatan orotodontik harus dapat mengoreksi maloklusi dan meningkatkan kesehatan gigi dan mulut. Kebanyakan pasien memerlukan perawatan orotodontik untuk memperbaiki estetik muka dan geligi yang bisa diperoleh bila gigi-gigi terletak teratur dalam lengkung geligi yang menjadikan muka pasien menyenangkan. Susunan geligi yang teratur dalam lengkung geligi tetapi bila insisivus atas maupun bawah dalam keadaan proklinasi menyebabkan muka yang tidak menyenangkan. Dengan adanya gigi-gigi yang terletak baik dalam lengkung dan juga hubungannya dengan lengkung geligi antagonis memberikan fungsi yang lebih baik daripada gigi yang tidak teratur. Hasil perawatan ortodontik harus menjamin bahwa letak gigi-gigi sesudah perawatan ortodontik akan stabil dan tidak cenderung terjadi relaps. Hal ini dapat dicapai dengan menempatkan gigi-gigi sesuai dengan ketentuan dan mempunyai hubungan yang baik dengan gigi antogonisnya. 1

2.5 Indikasi Ekstraksi atau Non Ekstraksi Pada Perawatan Ortodonti

Penyedian tempat untuk koreksi letak gigi gigi yang berdesakan dapat diperoleh dari enamel stripping, ekspansi lengkung geligi, distalisasi molar, memproklinasikan insisivus dan pencabutan gigi permanen. 3

1. Tindakan Non ekstraksi

a. Enamel stripping

Pengurangan enamel dapat dilakukan pada sisi distal/mesial gigi sulung atau permanen. Enamel stripping selain menyediakan ruangan juga dapat membentuk gigi permanen ke bentuk yang lebih baik atau memperbaiki titik kontak. Enamel stripping dilakukan dengan menggunakan metal abrasive strip atau dengan menggunakan bur yang dipasang pada high speed air-turbine handpiece. Untuk memudahkan pengurangan enamel didaerah posterior dapat dipasang separator diantara molar dan premolar selama 3-5 hari sehingga didapatkan diastema diantara gigi-gigi tersebut. Banyaknya enamel yang dibuang tanpa membahayakan gigi tersebut adalah 0,25 mm tiap sisi gigi. Enamel stripping bila dilakukan dengan baik tidak memberikan efek negatif pada gigi yang dikurangi enamelnya. Bila enamel stripping dilakukan pada semua gigi insisivus maka akan didapat ruangan 2 mm di regio anterior sedangkan bila dilakukan pada seluruh rahang akan didapat ruagan sebesar 5-6 mm di rahang tersebut. Perlu diupayakan bahwa enamel stripping juga tetap mempertahankan bentuk gigi dan kontak dengan gigi yang berdekatan. Harus diingat bahwa sesudah dilakukan enamel stripping gigi harus diulas dengan bahan aplikasi topikal yag mengandung flour untuk mencegah terjadinya karies pada gigi tersebut.

b. Ekspansi

Ekspansi adalah suatu prosedur untuk melebarkan lengkung gigi, dan dapat dilakukan baik dalam arah sagital (protraksi) maupun transversal. Gejala klinis yang terlihat pada defisiensi lengkung gigi adalah kontraksi lengkung gigi, gigitan silang (anterior maupun posterior), gigi yang berjejal serta koridor bukal yang lebar. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan ekspansi pada lengkung giginya. Ekspansi dapat mengatasi kekuarangan ruang 3-8 mm dengan melebarkan jarak intermolar lengkung gigi atas sekitar 4-10 mm dan lebar intermolar lengkung gigi bawah sekitar 4-6 mm. Adkins dkk menyatakan bahwa tiap penambahan 1 mm lebih intermolar, akan menambah panjang lengkung gigi sebesar 0,77 mm. Bila diperlukan ekspansi kurang dari 4 mm, pada periode gigi bercampur, dapat digunakan alat ekspansi lepasan dengan spring dan screw ekspansi yang diaktivasi sebesar 1-2 putaran per minggu yang menghasilkan pergerakan 0,20-0,50 mm. Pada periode gigi permanen, alat eksoansi yang digunakan dapat berupa quad helix, w-spring TPA atau arc-wire. Bila ekspansi diperlukan sekitar 5-12 mm diindikasikan alat ekspansi cekat. Aktivasi sebesar 0,5-1 mm atau 2 kali putaran per hari. RPE dapat mengekspansi tidak hanya pada lengkung gigi tetapi juga lengkung rahang denga usia optimal penggunaan RPE adalah pada puncak masa pertumbuhan. Pada kasus skeletal ekstrem, bila diperlukan ekspansi lebih dari 12 mm diindikasikan alat ekspansi cekat dikombinasi dengan bedah.

c. Distalisasi Gigi Molar atas

Distalisasi gigi molar aas bertujuan untuk memperoleh ruangan guna memperbaiki susunan gigi geligi atau memperbaiki hubungan gigi molar. Pergerakan yang diinginkan adalah pergerakan bodili semaksimal mungkin dengan minimalnya resiko resorpsi akar dan loss of anchorage gigi anterior ke labial. Indikasi distalisasi molar atas adalah pada kasus maloklusi klas II ringan hingga sedang, terutama pada kasus yang disebabkan oleh prematur loss, pada kasus gigi berjejal ringan hingga sedang, baik untuk tipe wajah mesofacial atau brachifacial, profil wajah lurus atau flat dan masih mempunyai potensi pertumbuhan. Alat untuk distalisasi gigi molar dapat intraoral atau ekstraoral. Headgear merupakan alat distalisasi molar ekstra oral yang paling sering digunakan. Kelebihan headgear selain menghasilkan efek ortodonti juga efek ortopedik pada usia pertumbuhan, tidak menyebabkan hilangnya penjangkaran pada gigi anterior, dapat digunakan pada kasus asimetri, dan memiliki kontrol vertikal. Headgear mendistalisasi gigi molar sebesar 3 mm dalam 3 bulan. Banyak macam alat distalisasi molar intra oral. Hilgers pendulum adalah salah satu alat intra oral yang sering dipakai. Alat ini terdiri atas plat palatal akrilik berdiameter 25 mm dengan kawat distalisasi dari beta-titanium berdiameter 0,032 yang tertanam didalamnya, kemudian ujung kawat distalisasi lainnya disolder atau dimasukkan kelingual palatal sheath dari cincin gigi molar. 3

2. Tindakan Ekstraksi

Pencabutan gigi permanen perlu dilakukan apabila diskrepansi total menunjukan kekurangan tempat lebih dari 8 mm. Diskrepansi total terdiri atas diskrepansi model, diskrepansi sefalometrik, kedalaman kurva spee dan perkiraan banyaknya keholangan penjangkaran. Untuk mendatarkan kurva spee yang kedalamannya kurang dari 3 mm diperlukan tempat 1 mm, bila lebih besar daripada 5 mmdiperlukan tempat 2 mm. Sebelum dilakukan pencabutan gigi permaen pada masa geligi pergantian perlu diperhatikan bahwa gigi permanen yang lain ada meskipun saat itu masih belum erupsi. Pemilihan gigi yang akan dicabut membutuhkan pertimbangan yang kompleks yang menyangkut semua aspek perawatan ortodontik. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum mencabut gigi permanen antara lain sebagai berikut :

Prognosis gigi, misalnya adanya karies yang besar disertai kelainan patologis pada apikal yang seandainya dirawat prognosis gigi tersebut dalam jangka lama masih diragukan.

Letak gigi yang kadang-kadang sangat menyimpang dari letak yang normal

Banyaknya tempat yang dibutuhkan dan dimana letak kekurangan tempat tersebut.

Relasi insisivus

Kebutuhan penjangkaran apakah perlu digunakan penjangkaran maksimum atau tidak

Profil pasien apakah pencabutan yang dilakukan dapat menyebabkan perubahan profil pasien, misalnya pasien dengan profil yang lurus dengan adanya pencabutan dapat menyebabkan profil menjadi cekung.

Tujuan preawatan apakah perawatan komprehensif ataukah perawatan kompromo atau bahkan hanya penunjang.1

2.6 Faktor-faktor Yang Perlu Dipertimbangkan Dalam Mencabut Beberapa Komponen Individual Dari Gigi Geligi

2.6.1 Insisivus atas

Insisivus sentral atas jarang dicabut untuk menghilangkan susunan yang berjejal, kecuali kondisinya merupakan faktor pengindikasi, seperti misalnya jika gigi ini fraktur parah. Pada kasus semacam itu, insisivus lateral bisa digeser dan diberi mahkota selubung agar mirip dengan insisivus sentral yang dicabut pada situasi yang menguntungkan. Alasan mencabut insisivus lateral atas adalah : 1)malposisi gigi yang parah, khususnya jika apeksnya terlalu dipalatal 2) malformasi gigi, yang paling sering adalah mahkotanya berbentuk konus. Kadang-kadang gigi ini juga dicabut untuk gigi kaninus, jika gigi kaninus ini berjejal ke bukal, keluar dari lengkung rahang.4

2.6.2 Insisivus bawah

Seringkali gigi insisivus bawah tampaknya seolah-olah gigi yang perlu dicabut untuk menghilangkan susunan yang berjejal, khususnya jika keadaan berjejal ini terbatas pada segmen anterior dari lengkung gigi. Meskipun demikian, secara umum hasil pencabutan insisivus bawah mengecewakan, kecuali pada situasi-situasi khusus yang tertentu. Ada kecenderungan bahwa sesudah insisivus bawah dicabut, gigi-gigi anterior yang tersisa akan bergeser, dan meskipun susunan yang berjejal bisa diperbaiki dalam waktu yang singkat, pergerakan ke depan dari gigi-gigi bukal akan menghasilkan kontak dan posisi insisivus yang tidak ideal. Ada dua keadaan dimana pencabutan gigi insisvus bawah merupakan indikasi, diluar pemikiran mengenai kondisi gigi-gigi, yaitu : 1) jika insisivus sama sekali terletak diluar lengkung rahang 2) jika gigi kaninus bawah mempunyai inklinasi distal yang besar. Pada kasus kedua ini, pencabutan gigi disebelah mesial gigi kaninus akan memungkinkan gigi ini diperbaiki letaknya, karena menggerakkan mahkota lebih mudah daripada menggerakkan bagian apika. Bahkan pada situasi ini, pencabutan gigi premolar dan memperbaiki susunan gigi-gigi anterior dengan terapi pesawat sering kali merupakan pilihan yang lebih sesuai.

2.6.3 Kaninus

Kaninus atas normalnya haya dicabut jika letaknya sangat malposisi. Keadaan ini bisa merupakan malposisi perkembangan, atau malposisi akibat susunan gigi yang berjejal. Posisi apeks merupakan faktor pertimbangan utama. Kaninus adalah gigi yang besar dan pencabutan gigi ini akan meninggalkan ruangan yang lebih besar daripada pencabutan inisisivus lateral maupun gigi premolar. Dari segi penampilan, kaninus bisa digantikan dengan baik oleh gigi premolar pertama, asalkan gigi ini berada pada posisi yang baik dan tidak terotasi. Pencabutan gigi kaninus bawah hanya bisa dipertimbangkan jika gigi ini diperkirakan sangat sulit diperbaiki susunannya. Ini biasanya terjadi jika gigi terletak sama sekali diluar lengkung gigidan apeksnya sangat malposisi. Insisivus lateral bawah-kontak premolar pertama seringkali buruk, dan sumber peradanagan gingiva serta penyakit periodontal.

2.6.4 Premolar pertama

Seperti sudah disebutkan terdahulu, premolar pertama adalah gigi yang paling sering dicabut untuk memperbaiki susunan yang berjejal 9. Gigi ini terletak didekat bagian tengah setiap kuadran lengkung gigi, dan karena itu, normalnya terletak didekat daerah yang berjejal. Faktor lain yang penting adalah gigi ini bis digantikan dengan premolar kedua, yang mempunyai bentuk sama, dan membentuk hubungan kontak yang sama dengan kaninus. Jadi, tanggalnya gigi premolar pertama tidak akan mempengaruhi kualitas hidup antar gigi.

2.6.5 Premolar kedua

Pencabutan gigi premolar kedua untuk menghilangkan susunan yang berjejal biasanya dilakukan jika gigi itu sendiri malposisi selain juga berjejal. Karena gigi premolar kedua bererupsi sesudah premolar pertama dan molar pertama permanen, gigi ini bisa saja terletak sama sekali diluar lengkung gigi. Jika dicabut, gigi ini bisa digantikan denga baik oleh gigi premolar pertama kecuali jika gigi molar pertama tetap miring atau rotasi kedepan, dimana pada kasusus ini kontak antara kedua gigi akan menjadi tidak benar.

2.6.6 Molar pertama permanen

Molar pertama permanen merupakan subyek perdebatan dan perbedaan pendapat menyangkut kegunaan gigi ini didalam lengkung gigi, khususnya karena sejak dahulu gigi ini merupakan gigi permanen yang paling rentan terhadap karies dimasa kanak-kanak. Gigi molar pertama permanen juga dianggap sebagai kunci dari lengkung gigi, dan tidak boleh dicabut atau dikatakan bahwa molar pertama permanen bisa dicabut sebagai tindakan rutin, yang bermanfaat bagi lengkung gigi pada beberapa kasus. Kedua pendapat yang berbeda tersebut tentu saja tidak bisa benar dua-duanya, dan kelihatan karena adanya variasi kondisi oklusal yang luas, maka tidak ada satu aturan tunggal mengenai molar pertama yang bisa diterpkan pada semua individu. Seperti halnya dengan gigi-gigi yang lain, situasi yang ada harus dilihat secara individual. Cara yang rasional untuk melakukannya adalah dengan memeriksa hasil yang bisa diperoleh dari pencabutan molar pertama permanen. Meskipun demikian, gigi molar pertama sering juga dicabut jika kondisinya buruk. Pada kasus semacam ini, ada dua aturan umum untuk menentukan waktu pencabutan yang paling cocok, yaitu : 1) jika tidak ada susunan yang berjejal, atau bila keadaan ini terbatas pada segmen premolar, dan tidak dibutuhkan ruangan untuk memperbaiki susunan gigi-gigi anterior. Pada kondisi ini, adalah merupakan kebiasaan untuk mencabut molar pertama sebelum molar kedua erupsi, sehingga gigi molar kedua akan bisa bergeser kedepan selama erupsinya dan menempati posisi molar pertama, asalkan gigi premolar yang berjejal sudah diperbaiki terlebih dahulu. Pada praktiknya, molar pertama bawah biasanya perlu dicabut lebih cepat daripada molar pertama atas, karena molar kedua berjalan kedepan dengan lebih cepat pada rahang bawah. 2) jika dibutuhkan ruangan untuk mengatur susunan gigi-gigi anterior. Pada kondisi ini, ruang yang diperoleh dengan mencabut gigi molar pertama dibutuhkan untuk memperbaiki susunan gigi-gigi anterior. Oleh karena itu perlu menunggu sampai molar kedua erupsi sebelum mencabut molar pertama, sehingga penutupan ruang karena pergeseran kedepan dari molar kedua, bisa dicegah. Pada susunan gigi geligi yang berjejal, jika gigi molar pertama kondisinya buruk, kadang-kadang gigi ini perlu dicabut lebih dini, untuk memungkinkan terjadinya penutupan ruangan, dan kemudian gigi premolar digerakkan masing-masing kuadran untuk memperbaiki susunan gigi yag berjejal.

2.6.7 Molar kedua permanen

Gigi molar kedua permanen tidak sering dicabut untuk memperbaiki susunan yang berjejal. Posisinya yang berada diakhir lengkung gigi pada masa kanak-kanak membuat gigi ini biasanya terletak jauh dari daerah berjejal, dan tidakbenar-benar malposisi meskipun ada susunan gigi yang berjejal. Meskipun demikian, Richardsno (1983) melaporkan hasil suatu studi klinis dimana pencabutan molar kedua bawah mengurangi berjejal-jejalnya susunan gigi-gigi anterior bawah. Gigi molar kedua bawah kadang-kadang dicabut jika molar pertama tetap sudah bergeser kedepan, meninggalkan ruang yang tidak memadai untuk erupsi premolar kedua. Pencabutan gigi molar kedua memang dianjurkan untuk mencegah terjadinya impaksi molar ketiga bawah, namun cara perawatan ini tidak bisa diterapkan untuk semua kasus. Satu-satunya kondisi dimana pencabutan molar kedua bawah bisa menghasilkan posisi molar ketiga bawah yang baik adalah : 1) jika molar ketiga letaknya lurus, tidak miring ke mesial lebih dari 30 derajat 2) jika pencabutan dilakukan hanya jika mahkota gigi molar ketiga sudah terkalsifikasi. Pencabutan molar kedua juga menjadi alternatif perawatan pada pasien dengan gigitan terbuka yang hanya berkontak pada gigi molar kedua dengan pembukaan bidang oklusal yang besar.(prinsip perawatan dan pemilihan mekanik)

2.6.8 Molar ketiga permanen

Dahulu gigi ini dicabut untuk menghindari gigi berdesakan diregio anterior 7 tetapi sekarang banyak yang berpendapat bahwa pencabutan molar ketiga hanya untuk mencegah gigi berdesakan diregio anterior tidak dianjurkan .

2.7 Penutupan Ruang Sesudah Pencabutan

Sudah banyak dilakukan penelitian mengenai penutupan spontan dari ruangan sesudah pencabutan gigi. Seipel ( 1946 ) menemukan bahwa pada gigi geligi susu, penutupan ruang terjadi lebih sedikit pada regio insisivus daripada diregio molar, dan lebih banyak dirahang atas atas daripada dirahang bawah. Ia juga menemukan bahwa pada gigi geligi susu, penutupan ruang sesudah pencabutan berjalan progresif sampai 28 bulan sesudah pencabutan, tetapi pada gigi geligi tetap, penutupan ruang terjadi paling cepat selama 3 bulan pertama, agak melambat sampai 9 bulan, dan kemudian makin melambat, dan hanya sedikit penutupan sesudah bulan ke 9. Secara umum disepakati bahwa penutupan ruang sesudah pencabutan pada lengkung gigi yang berjejal atau berpotensi berjejal terjadi dari kedua sisi ruang pencabutan, yaitu baikberupa pergerakan mesial dari gigi yang terletak dibelakangnya maupun pergerakan ke distal dari gigi-gigi yang terletak di depan ruang tersebut ( northway dkk, 1984 ). Pergerakan ke mesial biasanya berlangsung lebih besar daripada pergerakan ke distal, bahkan perbandingannya bias 2:1. 4

BAB III

KERANGKA KONSEP

Keterangan:

Variabel bebas Variabel tidak terkendali

Variabel terikat Variabel antara

Variabel terkendali Hub.antar variabel

Hubungan variabel terkendali / tidak terkendali

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik

4.2 Rancangan Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional

4.3 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dibagian RSGM Kandea

4.4 Waktu Penelitian

Maret 2012 April 2012

4.5 Populasi Penelitian

a) Populasi : pasien yang telah selesai menjalani perawatan ortodontik dengan alat ortodontik lepasan dibagian ortodontik RSGMP Kandea.

b) Sampel : sampel penelitian ini adalah model gigi dan kartu status dari pasien yang telah selesai menjalani perawatan ortodonti

4.6 Kriteria Sampel

a) Perawatan ortodonti dengan alat ortodonti lepasan.

b) Model gigi sebelum dan sesudah perawatan ortodonti dalam keadaan baik.

c) Fase gigi permanen

d) Maloklusi kelas 1

e) Kartu status pasien

4.7 Variabel

a. Variabel bebas : Ekstraksi gigi

b. Variabel terikat : Lama waktu perawatan

c. Variabel terkendali : Usia dan maloklusi kelas 1

d. Variabel tidak terkendali :

a) Etiologi maloklusi

b) Tingkat keparahan maloklusi

c) Penerapan mekanika perawatan ortodontik

d) Respon pasien terhadap perawatan ortodontik

e. Variabel antara : Pergerakan gigi

4.8 Devinisi Operasional

a) Ekstraksi gigi adalah tindakan pencabutan gigi yang dilakukan untuk mendapatkan ruang pada perawatan ortodonti.

b) Waktu yang diperlukan selama perawatan : waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kasus maloklusi.

4.9 Alat dan Bahan

a) Model gigi rahang atas dan bawah sebelum dan sesudah perawatan.

b) Kartus status pasien.

c) Alat tulis

4.10 Kriteria Penilaian

a) Melihat keadaan model yang non ekstraksi dan kartu status pasien.

b) Melihat keadaan model yang di lakukan ekstraksi dan kartu status pasien.

c) Melakukan analisis terhadap kedua waktu perawatan ortodontik baik non ekstraksi maupun ekstraksi.

4.11 Analisis Data

a) Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.

b) Pengolahan data :

Dilakukan secara manual dan menggunakan SPSS.

c) Penyajian data :

Tabulasi ( distribusi tabel ) dan hasil olahan SPSS.

4.12 Alur Penelitian

BAB V

HASIL PENELITIAN

Telah dilakukan penelitian mengenai hubungan antara ekstraksi gigi dengan waktu yang diperlukan dalam perawatan ortodontik. Lama perawatan ortodontik dalam penelitian ini dinilai dengan menggunakan satuan bulan. Penelitian ini dilakukan pada bulan maret 2012 di Bagian Ilmu Orthodontik Rumah Sakit Gigi Mulut Hj. Halimah Daeng Sikati, Kandea (RSGMP Kandea). Penelitian ini mengambil 60 model studi dan kartu status pasien yang telah berhasil menjalani perawatan ortodontik sebagai sampel penelitian. Sampel penelitian harus memenuhi kriteria seleksi sampel yang ditetapkan sebelumnya untuk dijadikan sebagai sampel.

Pengambilan data dilakukan melalui pemeriksaan kartu status dan model studi pasien yang telah berhasil dalam perawatan ortodontik. Kartu status dan model studi pasien diperiksa sebelum dan setelah menjalani perawatan. Data yang diambil berupa status sosio-demografi pasien, seperti usia dan jenis kelamin, kelas maloklusi pasien, tanggal awal perawatan, dan tanggal selesai perawatan. Melalui data tanggal awal dan tanggal selesai perawatan, akan diperoleh lama perawatan ortodontik. Kelas maloklusi dalam penelitian ini dibatasi hanya pada kelas 1 maloklusi Angle. Selanjutnya, hasil penelitian akan dikumpulkan, diolah, dan dianalisis menggunakan program SPSS (versi 16), serta ditampilkan melalui tabel distribusi sebagai berikut.

Tabel 1. Distribusi karakteristik subjek (N=60)

Karakteristik sampel

Frekuensi (n)

Persen (%)

Mean SD

Jenis kelamin

Laki-laki

18

30,0

Perempuan

42

70,0

Usia

20,78 3,71

Kelas Maloklusi

Kelas 1 tipe 1

26

43,3

Kelas 1 tipe 2

7

11,7

Kelas 1 tipe 3

1

1,7

Kelas 1 tipe 6

26

43,3

Kelompok pencabutan

Ekstraksi

30

50,0

Non-ekstraksi

30

50,0

Lama Perawatan (bulan)

11,41 7,37

Tabel 1 memperlihatkan distribusi karakteristik sampel penelitian dengan jumlah sebanyak 60 model studi dan kartu status pasien. Terlihat pada tabel 1 bahwa model studi yang dijadikan sampel terdiri dari 42 perempuan dan 18 laki-laki, dengan rata-rata usia yang dijadikan sampel adalah 20 tahun. Kelas maloklusi yang dijadikan sebagai sampel dibatasi pada kelas 1, tanpa batasan tipe. Namun, pada penelitian ini tidak ada model studi yang dijadikan sampel dengan tipe 4 dan tipe 5. Pada tabel 1 terlihat, jumlah kelas maloklusi yang paling banyak adalah kelas 1 tipe 1 dan kelas 1 tipe 6, masing-masing dari tipe ini berjumlah 26 model studi. Adapun, model studi yang dijadikan sampel dibagi dalam dua kelompok yang sama banyak (30 model studi), yaitu kelompok ekstraksi dan non ekstraksi. Rata-rata lama perawatan ortodontik dihitung dalam satuan bulan. Lama perawatan ortodontik diperoleh melalui pengurangan tanggal selesai perawatan dengan tanggal awal perawatan. Tabel 1 memperlihatkan rata-rata lama perawatan adalah 11 bulan.

Tabel 2. Distribusi karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin

Karakteristik sampel

Jenis Kelamin

Total

Laki-laki

Perempuan

Kelompok pencabutan

Ekstraksi

9 (50%)

21 (50%)

30 (100%)

Non-ekstraksi

9 (50%)

21 (50%)

30 (100%)

Kelas Maloklusi

Kelas 1 tipe 1

8 (44,4%)

18 (42,9%)

26 (100%)

Kelas 1 tipe 2

2 (11,1%)

5 (11,9%)

7 (100%)

Kelas 1 tipe 3

0 (0)

1 (2,4%)

1 (100%

Kelas 1 tipe 6

8 (44,4%)

18 (42,9%)

26 (100%)

Lama Perawatan

1-10 bulan

10 (55,6%)

23 (54,8%)

33 (100%)

11-20 bulan

5 (27,8%)

12 (28,6%)

17 (100%)

>20 bulan

3 (16,7%)

7 (16,7%)

10 (100%)

Total

18 (100%)

42 (100%)

60 (100%)

Tabel 3. Distribusi karakteristik sampel berdasarkan kelompok pencabutan

Karakteristik sampel

Kelompok Pencabutan

Total

Ekstraksi

Non-ekstraksi

Jenis kelamin

Laki-laki

9 (30%)

9 (30%)

18 (100%)

Perempuan

21 (70%)

21 (70%)

42 (100%)

Kelas Maloklusi

Kelas 1 tipe 1

24 (80%)

2 (6,7%)

25 (100%)

Kelas 1 tipe 2

6 (20%)

1 (3,3%)

24 (100%)

Kelas 1 tipe 3

0 (0)

1 (3,3%)

1 (100%

Kelas 1 tipe 6

0 (0)

26 (86,7%)

26 (100%)

Lama Perawatan

1-10 bulan

6 (20%)

27 (90%)

33 (100%)

11-20 bulan

15 (50%)

2 (6,7%)

17 (100%)

>20 bulan

9 (30%)

1 (3,3%)

10 (100%)

Total

30 (100%)

30 (100%)

60 (100%)

Tabel 2 dan tabel 3 memperlihatkan hal yang hampir sama. Pada tabel 2 terlihat distribusi karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin, sedangkan pada tabel 3 terlihat distribusi karakteristik sampel berdasarkan kelompok pencabutan. Melalui tabel 2, dapat terlihat bahwa perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki baik pada kelompok ekstraksi maupun non-ekstraksi, yang terdiri dari 9 laki-laki maupun 21 perempuan. Hal yang sama juga ditunjukkan pada tabel 3. Adapun, kelas maloklusi tertinggi, baik untuk laki-laki maupun perempuan adalah kelas 1 tipe 1 dan tipe 6. Tabel 2 memperlihatkan kelas 1 tipe 3 tidak terdapat sama sekali pada laki-laki, sedangkan pada perempuan hanya satu orang. Lama perawatan tertinggi, baik pada laki-laki maupun perempuan adalah 1-10 bulan, dengan jumlah 10 untuk laki-laki dan 23 untuk perempuan. Pada tabel 3 terlihat bahwa kelas maloklusi tertinggi untuk kelompok ekstraksi adalah kelas 1 tipe 1 (24 orang) dan untuk kelompok non-ekstraksi adalah kelas 1 tipe 6 (26 orang). Tabel 3 juga menunjukkan lama perawatan tertinggi pada kelompok ekstraksi adalah 11-20 bulan (15 orang) dan untuk kelompok non-ekstraksi adalah 1-10 bulan (27 orang).

Tabel 4. Distribusi rata-rata usia dan lama perawatan ortodontik

Karakteristik sampel

Frekuensi (n)

Usia

Lama Perawatan (bulan)

Mean SD

Mean SD

Jenis kelamin

Laki-laki

18

20,174,12

11,087,67

Perempuan

42

21,053,54

11,557,33

Kelas Maloklusi

Kelas 1 tipe 1

26

21,003,74

15,455,83

Kelas 1 tipe 2

7

20,002,16

16,717,87

Kelas 1 tipe 3

1

220

4,90

Kelas 1 tipe 6

26

20,734,13

6,194,96

Lama Perawatan

1-10 bulan

33

21,274,523

5,492,40

11-20 bulan

17

19,352,29

16,052,51

>20 bulan

10

21,601,65

23,042,35

Kelompok pencabutan

Ekstraksi

30

20,502,37

16,705,57

Non-ekstraksi

30

21,074,71

6,124,65

Total

60

20,783,71

11,417,37

Tabel 4 memperlihatkan distribusi rata-rata usia dan lama perawatan ortodontik. Rata-rata usia laki-laki adalah 20 tahun dan untuk perempuan adalah 21 tahun. Adapun, berdasarkan kelas maloklusi, kelas 1 tipe 3 memiliki rata-rata usia paling tinggi, yaitu 22 tahun. Pada kategori lama perawatan, kelompok >20 bulan memiliki rata-rata usia tertinggi dengan 21 tahun dan berdasarkan kelompok pencabutan, non-ekstraksi gigi memiliki rata-rata usia lebih tinggi dari ekstraksi gigi dengan 21 tahun juga. Selain usia, tabel 4 juga memperlihatkan rata-rata lama perawatan ortodontik. Baik laki-laki, maupun perempuan memiliki rata-rata lama perawatan yang sama, yakni 11 bulan. Berdasarkan kelas maloklusi, kelas 1 tipe 2 memburuhkan waktu yang paling lama, yaitu 16 bulan, dan kelas 1 tipe 3 yang paling sedikit, yaitu 5 bulan. Dari segi kelompok pencabutan, ekstraksi gigi memerlukan waktu yang lebih lama dari non-ekstraksi.

Tabel 5. Hubungan antara ekstraksi gigi dengan lama perawatan ortodontik

Kelompok Pencabutan

Lama Perawatan

Total

p value

1-10 bulan

11-20 bulan

>20 bulan

Ekstraksi

6 (18,2%)

15 (88,2%)

9 (90%)

30 (100%)

0,000*

Non-ekstraksi

27 (81,8%)

2 (11,8%)

1 (10%)

30 (100%)

Total

33 (100%)

17 (100%)

10 (100%)

60 (100%)

*Chi-square test: p