39
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah termasuk kedalam daerah risiko tinggi terhadap insidensi demam berdarah, yaitu sebesar 55 per 100.000 penduduk (Mulyono & Andiwibowo, 2010). Angka kesakitan penyakit demam berdarah dengue (DBD) cenderung meningkat setiap tahunnya, Namun secara nasional angka kematian akibat DBD cenderung menurun. Walaupun demikian, angka kematian akibat dengue syok sindrom (DSS) yang disertai dengan perdarahan gastrointestinal dan ensefalopati masih tinggi. Patogenesis utama yang menyebabkan kematian pada hampir seluruh pasien DBD adalah syok karena kebocoran plasma. Anak yang berusia di bawah 15 tahun memiliki derajat keparahan yang lebih tinggi. Semakin muda usia pasien semakin tinggi pula angka mortalitasnya. Selai itu, kerentanan terhadap terjadinya DSS semakin tinggi pada rentang usia 4-12 tahun. Hal tersebut diduga karena pada anak yang lebih muda endotel pembuluh darah kapiler lebih rentan terjadi pelepasan sitokin sehingga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang akan mengakibatkan kebocoran plasma yang berakibat pada terjadinya syok.

Jurnal Anak Dhf Fix Banget

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Jurnal

Citation preview

Page 1: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Provinsi Jawa Tengah termasuk kedalam daerah risiko tinggi terhadap

insidensi demam berdarah, yaitu sebesar 55 per 100.000 penduduk (Mulyono &

Andiwibowo, 2010). Angka kesakitan penyakit demam berdarah dengue (DBD)

cenderung meningkat setiap tahunnya, Namun secara nasional angka kematian

akibat DBD cenderung menurun. Walaupun demikian, angka kematian akibat

dengue syok sindrom (DSS) yang disertai dengan perdarahan gastrointestinal dan

ensefalopati masih tinggi. Patogenesis utama yang menyebabkan kematian pada

hampir seluruh pasien DBD adalah syok karena kebocoran plasma. Anak yang

berusia di bawah 15 tahun memiliki derajat keparahan yang lebih tinggi.

Semakin muda usia pasien semakin tinggi pula angka mortalitasnya. Selai itu,

kerentanan terhadap terjadinya DSS semakin tinggi pada rentang usia 4-12 tahun.

Hal tersebut diduga karena pada anak yang lebih muda endotel pembuluh darah

kapiler lebih rentan terjadi pelepasan sitokin sehingga terjadi peningkatan

permeabilitas kapiler yang akan mengakibatkan kebocoran plasma yang

berakibat pada terjadinya syok. Fase syok ini terjadi pada hari sakit ke-4 sampai

ke-7, kebocoran plasma terhebat terjadi setelah demam 3 hari dan berlangsung

selama 24-48 jam (Raihan, Hadinegoro, & Tumbelaka, 2010).

Pengobatan DBD pada dasarnya bersifat suportif, yaitu untuk mengatasi

kehilangan cairan plasma sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler

dan perdarahan. Berdasarkan panduan manajemen DBD dari WHO

direkomendasikan penggantian cairan plasma dengan menggunakan cairan

kristaloid yang kemudian diikuti oleh pemberian bolus cairan koloid untuk

pasien yang mengalami syok refrakter. Selama ini masih terjadi perdebatan

mengenai jenis cairan yang paling efektif untuk manajemen pasien DHF. Padahal

pemilihan terapi cairan yang tepat dan efektif sangat penting dilakukan untuk

mencegah terjadinya syok bahkan kematian.

Page 2: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

Oleh karena itu, makalah ini akan membahas jurnal mengenai perbandingan

efektifitas 3 jenis cairan, yaitu ringer laktat, dekstran 70%, dan 6% hydroxyethil

strach. Tujuannya adalah untuk membandingkan efektifitas 3 jenis cairan

tersebut untuk pasien anak dengan DBD.

Page 3: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

BAB 2

PEMBAHASAN

A. Resume Jurnal

1) Latar Belakang

Dengue Syok Syndrome (DSS) adalah manifestasi paling serius dari

demam berdarah dengue. Demam berdarah dengue ditandai dengan kebocoran

pembuluh darah sistemik dan gangguan hemostasis dan dapat berkembang

setelah infeksi dengan salah satu dari empat serotipe virus dengue. Pedoman

manajemen DBD menurut WHO pertama kali diusulkan pada tahun 1975,

awalnya merekomendasikan penggantian kehilangan plasma dengan larutan

kristaloid. Namun masih terjadi perdebatan yang cukup besar dalam literatur

medis mengenai penggunaan kristaloid dibandingkan koloid untuk

penggantian volume pada pasien DSS. Sebagai upaya untuk mengoptimalkan

manajemen terapi cairan pada pasie DSS ini, dilakukan uji coba

membandingkan tiga cairan resusitasi, kristaloid dan dua koloid sintetik

sebagai resusitasi utama anak-anak dengan sindrom syok dengue.

2) MetodePenelitian

a. Metodepenlitian:single center, dengan randomisasi sampel, double blind

b. Responden: pasien anak di unit perawatan intensif anak, Rumah Sakit

Penyakit Tropis di Kota Ho Chi Minh, Vietnam

c. Kriteriaresponden: pasien anak berusia 2-15 tahun yang mengalami DSS.

d. Intervensi:Anak-anak dengan syok keparahan sedang (tekanan darah ,>

10 dan ≤20 mm Hg) merupakan kelompok 1 dan secara acak ditentukan

untuk menerima Ringer laktat, dekstran, atau pati. Kelompok 2 terdiri

dari orang-orang dengan shock berat (tekanan nadi, ≤10 mm Hg); anak-

anak ini secara acak ditentukan untuk menerima baik dekstran atau pati.

Setiap anak menerima 15 ml per kilogram berat badan dari cairan yang

Page 4: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

dialokasikan selama satu jam, diikuti oleh 10 ml per kilogram selama jam

kedua.

Setelah menerima infus 3 cairan tersebut, anak-anak menerima jadwal

standar Ringer laktat yang melibatkan pengurangan pada interval waktu

tertentu untuk tingkat pemeliharaan setelah delapan jam. Nadi, tekanan

darah, dan perfusi perifer dipantau setidaknya setiap jam sampai mereka

stabil selama minimal 24 jam, dan kemudian setiap 4 jam sampai debit.

Kapiler hematokrit diukur pada awal, dan 6 jam setelah awal penelitian,

dan kemudian kira-kira setiap 12 jam atau dalam hal kerusakan

kardiovaskular. Tambahan sampel plasma sitrat untuk skrining koagulasi

diperoleh dari studi hari 2 dan 4, bersama-sama dengan sampel serum

kedua untuk pengujian serologi untuk infeksi dengue di debit. Scan

ultrasound dari dada dan perut dilakukan pada studi hari 3 oleh salah satu

dari dua pengamat terlatih dengan menggunakan protokol standar untuk

mengukur kedalaman setiap efusi pleura dan menilai keparahan ascites.

Pasien yang statusnya kardiovaskular tidak membaik setelah

pemberian cairan studi (yaitu, mereka yang memiliki penyempitan lebih

lanjut atau tidak ada respon dalam tekanan nadi, bersama-sama dengan

Bertahan atau memburuknya penutupan perifer, hematokrit meningkat,

atau keduanya) menerima infus dari 5 sampai 10 ml per kilogram

penyelamatan koloid (biasanya dekstran) pada kebijaksanaan dokter.

Demikian pula, jika setelah respon yang menguntungkan awal, tekanan

nadi menyempit kemudian lagi untuk 20 mm Hg atau kurang dengan

vasokonstriksi perifer, hematokrit meningkat, atau keduanya, cairan

koloid dapat diberikan. Itu tidak mungkin untuk memperbaiki kriteria

mutlak untuk penggunaan penyelamatan koloid, tapi kelompok inti yang

sama dari dokter bertanggung jawab atas perawatan pasien selama

penelitian, dan kebijakan umum unit perawatan intensif anak untuk

intervensi setelah resusitasi awal konservatif. Pasien menerima inotropik,

Page 5: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

transfusi darah, diuretik, dan terapi lain pada kebijaksanaan dokter yang

merawat.

e. Outcome:membandingkan efektifitas 3 jenis cairan yaitu kristaloid

isotonik (Ringer laktat) dan dua cairan koloid isotonik (6 persen

dextran 70 [dekstran] dan 6 persen HES 200 / 0,5 [pati]) untuk

resusitasi darurat anak-anak dengan DSS.

f. Analisis data:analisis data menggunakan soft ware StatsDirect dengan

uji chisquare dan Fisher’s exact test untuk data kategorik dan uji

Man-Whitney atau Kruskal-Wallis untuk data numerik.

3) Hasil

Sebanyak 512 anak-anak direkrut ke dalam studi antara Agustus 1999

dan Maret 2004, dan semua menerima cairan studi yang ditentukan. Dari 512

pasien, 476 (93 persen) telah dikonfirmasi dengue, yang terdaftar dengan

benar dan secara acak dilibatkan untuk menerima cairan, dan menerima cairan

dalam 10 persen dari volume dimaksud 25 ml per kilogram lebih dari dua jam

untuk resusitasi awal. Semua karakteristik awal yang serupa di antara

kelompok cairan pengobatan untuk 383 anak-anak dengan syok cukup parah

(kelompok 1) dan 129 anak-anak dengan shock berat (kelompok 2). Satu anak

(penerima pati) meninggal karena shock dan perdarahan gastrointestinal.

Pasien studi yang tersisa pulih sepenuhnya. Data hasil yang dilaporkan di sini

adalah untuk semua 512 anak-anak, kecuali di tempat yang ditentukan.

Perbedaan ditandai antara cairan dalam efek pada hematokrit kapiler

mereka. Dua jam setelah awal penelitian, penurunan median di hematokrit

dari awal adalah 9 persen (90 kisaran persen, 1-19 persen) untuk anak-anak

dalam kelompok 1 yang menerima laktat Ringer dibandingkan dengan 25

persen (kisaran 90 persen, 10 sampai 35 persen ) bagi mereka yang menerima

dekstran dan 22 persen (kisaran 90 persen, 7-31 persen) bagi mereka yang

menerima pati (P <0,001) (Tabel 2.1). Namun, peningkatan berikutnya dalam

hematokrit antara dua dan enam jam secara signifikan lebih besar untuk dua

Page 6: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

koloid dibandingkan kristaloid tersebut. Peningkatan median hematokrit

selama periode ini adalah 5 persen (90 persen kisaran, ¡8 sampai 20 persen)

untuk dekstran dan 5 persen (kisaran 90 persen, ¡10 sampai 21 persen) untuk

pati dibandingkan dengan 0 persen (kisaran 90 persen , ¡12-12 persen) untuk

Ringer laktat dalam kelompok 1 (P <0,001), dan 8 persen (90 kisaran persen,

¡6-22 persen) dan 5 persen (90 kisaran persen, ¡9-21 persen) untuk dekstran

dan pati, masing-masing, dalam kelompok 2 (tidak ada perbedaan statistik).

Tabel 2.2Karakteristik pasien

Page 7: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

4) Diskusi

Meskipun penggantian volume diterima sebagai andalan pengobatan

untuk anak-anak dengan sindrom syok dengue, dua penelitian sebelumnya

yang menyelidiki kemanjuran cairan yang berbeda dalam situasi ini tidak

memadai didukung sehubungan dengan hasil klinis yang relevan untuk

memungkinkan perbandingan definitif antara manajemen dengan kristaloid

dan solusi koloid. Penelitian ini, dengan persyaratan untuk penyelamatan

koloid sebagai indikator hasil, menetapkan yang termurah dan pilihan paling

aman, Ringer laktat, sama efektifnya dengan salah satu dari koloid untuk

resusitasi awal anak-anak dengan syok cukup parah. Publikasi terbaru dari

Saline vs Albumin Fluid Evaluasi (SAFE) temuan studi, menunjukkan bahwa

albumin dan normal saline sama-sama efektif untuk resusitasi cairan pada

populasi heterogen pasien di unit perawatan intensif. Pengukuran hematokrit

seri mencerminkan kombinasi efek pengobatan cairan dan kebocoran

pembuluh darah yang sedang berlangsung. Data hematokrit menunjukan

bahwa kedua koloid mengerahkan efek langsung yang diikuti dengan

peningkatan rebound kebocoran pembuluh darah beberapa jam kemudian.

Teori mikrovaskuler ultrafiltrasi mendukung prinsip dasar Starling

dari keseimbangan yang seimbang antara perbedaan tekanan onkotik dan

hidrostatik tetapi menunjukan bahwa glycocalyx, daripada sel endotel sendiri,

adalah regulator utama dari aliran fluida. Ada bukti yang baik bahwa protein

plasma, terutama albumin, menyerap residu positif di lapisan glycocalyx dan

membatasi ultrafiltration. Albumin mungkin dibersihkan dari lapisan ini

selama infeksi dengue tetapi dapat digantikan sementara oleh koloid sintetik,

yang dikenal menyerap glycocalyx pada tingkat yang berbeda, tergantung

pada ukuran molekul. Dengan cara ini, koloid dapat singkat mengubah

permeabilitas selektif penghalang endotel, mengurangi fluks luar dan

memungkinkan tekanan hidrostatik rendah kapiler meningkat. Sebaliknya,

larutan kristaloid menyeimbangkan cepat ke seluruh ruang cairan

intravaskular dan interstitial dan tampaknya tidak berpengaruh pada fungsi

Page 8: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

penghalang endotel. Efek dari koloid bersifat sementara, bagaimanapun, dan

meskipun rebound di awal hematokrit terlihat pada anak-anak yang menerima

koloid, kami tidak menemukan perbedaan antara cairan yang berbeda dalam

keparahan keseluruhan kelebihan cairan saat itu dinilai 48 sampai 72 jam

setelah penelitian infus.

5) Kesimpulan

Sebagian besar anak-anak dengan dengue shock syndrome merespon

dengan baik terhadap pengobatan bijaksana dengan solusi kristaloid isotonik.

Intervensi dini dengan solusi koloid tidak diindikasikan. Regimen cairan

Ringer laktat pada 25 ml per kilogram selama dua jam kini didukung oleh

bukti calon yang kuat dan harus direkomendasikan untuk anak-anak dengan

syok cukup parah. Bagi mereka dengan shock berat, situasi yang kurang jelas-

potong, dan dokter harus terus bergantung pada pengalaman pribadi,

keakraban dengan produk-produk tertentu, ketersediaan lokal, dan biaya.

Keuntungan kecil dalam pemulihan awal menunjukkan dengan tepung, dan

secara signifikan lebih banyak reaksi samping yang berhubungan dengan

dekstran, jadi jika penggunaan koloid dianggap perlu, pati mungkin menjadi

pilihan yang lebih disukai.

B. Landasan Teori

1) Demam Berdarah

Demam Dengue (DD) merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari,

ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut: nyeri

kepala, nyeri retro-orbital, mialgia / artralgia, ruam kulit, manifestasi

perdarahan (petekie atau uji bendung-rumple leed positif), leukopenia, dan

pemeriksaan serologi dengue positif, atau ditemukan pasien DD/DBD yang

sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama (Suhendro, et.al.,

2006). Di Indonesia terdapat 2 jenis nyamuk aedes sebagai penyebab demam

berdarah, yaitu:

Page 9: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

a. Aedes Aegypti, nyamuk hidup di daerah tropis dan berkembang biak di

dalam rumah yaitu biasanya di tempat penampungan air jernih atau

penampungan air di sekitar rumah. Karakteristik nyamuk biasanya

berbintik-bintik putih dan menggigit pada siang hari terutama pada pagi

dan sore hari.

b. Aedes Albopictus, nyamuk ini habitatnya di tempat air bersih. Biasanya di

sekitar rumah atau pohon-pohon, menggigit pada siang hari dan jarak

terbang sekitar 50 meter (Mansjoer, 2000).

2) Kriteria Klinik dan Laboratoris DBD

Kriteria klinik:

a. Demam tinggi mendadak, terus menerus selama 2-7 hari.

b. Terdapat manifestasi perdarahan seperti torniquet positif, petechiae,

echimosis, purpura,

c. perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi dan hematemesis dan

atau melena.

d. Pembesaran hati

e. Syok ditandai dengan nadi lemah dan cepat, tekanan nadi turun, tekanan

darah turun, kulit dingin dan lembab terutama di ujung jari dan ujung

hidung, sianosis.

f. sekitar mulut, dan gelisah.

Kriteria laboratoris:

a. Trombositopenia (100.000ul atau kurang)

b. Hemokonsentrasi, peningkatan hematokrit 20% atau lebih (Sudarmo, et

al, 2002).

Page 10: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

3) Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue

DD/DBD Derajat* Gejala Laboratorium

DD Demam disertai 2 atau lebih

tanda: sakit kepala, nyeri retro-

orbital, myalgia, arthralgia.

Leukopenia

Trombositopenia, tidak ditemukan

bukti kebocoran plasma.

Serologi dengue positif

DBD I Gejala diatas ditambah uji

bendung positif

Trombositopenia, bukti ada

kebocoran plasma

DBD II Gejala diatas ditambah

perdarahan spontan

Trombositopenia, bukti ada

kebocoran plasma

DBD III Gejala diatas ditambah

kegagalan sirkulasi (kulit

dingin dan lembab serta

gelisah)

Trombositopenia, bukti ada

kebocoran plasma

DBD IV Syok berat disertai dengan

tekanan darah dan nadi tidak

terukur

Trombositopenia, bukti ada

kebocoran plasma

(Suhendro, et.al., 2006)

Page 11: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

Gambar 2.1. Patogenesis dan spektrum klinis DBD(Chen, Pohan & Sinto, 2009)

Gambar 2.2. Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue(Wibowo, 2011).

Page 12: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

Gambar 2.3. Patogenesis syok pada DBD (Wibowo, 2011)

4) Dengue Shock Syndrome (DSS)

Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi

kriteria DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok.

SSD adalah kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan

penyakit infeksi virus dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal. Pada

keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh

dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan ini disebut

dengue shock syndrome (DSS) (Sudarmo, et al, 2002)..

Pada DSS, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan

umum tiba-tiba memburuk, hal ini terjadi biasanya pada saat atau setelah

demam menurun, yaitu di antara hari sakit ke 3-7. Hal ini dapat di terangkan

dengan hipotesis meningkatnya reaksi imunologis (the immunological

enchancement hypothesis). Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda

kegagalan peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis di

Page 13: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut. Anak tampak lesu, gelisah,

dan secara cepat masuk dalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri

di daerah perut sesaat sebelum syok (Sudarmo, et al, 2002)..

Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai

prognosis buruk. Disamping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi

lembut, cepat, kecil sampai tidak dapat diraba. Tekanan nadi menurun

menjadi 20 mmHg atau kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80

mmHg atau lebih rendah. Syok harus segera diobati apabila terlambat pasien

dapat mengalami syok berat (profound shock), tekanan darah tidak dapat

diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat

akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolik, hipoksia, pendarahan

gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk. Sebaliknya dengan

pengobatan yang tepat segera terjadi masa penyembuhan dengan cepat.

Pasien menyembuh dalam waktu 2-3 hari. Selera makan membaik

merupakan petunjuk prognosis baik. Pada pemeriksaan laboratorium

ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi. Jumlah trombosit

<100.000/μl ditemukan di antara hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar

hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma, terjadi pula pada

kasus derajat ringan walaupun tidak sehebat dalam keadaan syok. Hasil

laboratorium lain yang sering ditemukan ialah hipoproteinemia,

hiponatremia, kadar transaminase serum dan nitrogen darah meningkat. Pada

beberapa kasus ditemukan asidosis metabolik. Jumlah leukosit bervariasi

antara leukopenia dan leukositosis. Kadang kadang ditemukan albuminuria

ringan yang bersifat sementara (Sudarmo, et al, 2002).

5) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar

hematokrit,jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat

adanyalimfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak

harike 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak

Page 14: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

timbulnyademam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke3

demam.

Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaanterjadinya

gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis(PT, APTT,

Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lainyang dapat dikerjakan

adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin. Untuk membuktikan

etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui pemeriksaan isolasi

virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular.

Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah

pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural

protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang

terinfeksi virus Dengue.

6) Penatalaksanaan

Gambar 2.4. Penanganan DBD tanpa syok(Chen, Pohan & Sinto, 2009)

Page 15: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

Gambar 2.5. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat(Chen,

Pohan & Sinto, 2009)

Page 16: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

Gambar 2.6. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%(Chen,

Pohan & Sinto, 2009)

Page 17: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

Gambar 2.7. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa(Chen, Pohan &

Sinto, 2009)

Page 18: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan

khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah

jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan

diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan

cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat,

ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan(Chen, Pohan &

Sinto, 2009).

Terapi yang diberikan pada pasien ini meliputi terapi suportif dan

simtomatik. Terapi suportif yang diberikan adalah pemberian O2 melalui

nasal kanul 2 liter permenit. Pemberian oksigen harus selalu dilakukan pada

semua pasien syok. Saturasi oksigen pada pasien harus dipertahankan >

92%, oleh karena itu untuk pemantauan diperlukan pemasangan pulse

oximetry untuk mengetahui saturasi oksigen dalam darah (Wibowo, 2011).

Sebagai terapi simptomatik pada pasien ini diberikan parasetamol untuk

mengatasi demam dengan dosis sebanyak 3 x 500 mg PO (apabila suhu > 38

C). Karena pasien ini mengeluhkan adanya nyeri perut terutama di ulu hati

maka juga diberikan ranitidine dengan dosis 50 mg untuk sekali pemberian

yang diberikan 2 kali sehari. Diberikan antibiotik dengan tujuan untuk

mencegah terjadinya infeksi sekunder yang mungkin terjadi akibat

manipulasi yang dilakukan terhadap pasien seperti pemasangan jalur infus

untuk pemberian cairan, pemasangan Douwer Catheter dan pengambilan

sampel darah yang secara rutin dilakukan (Wibowo, 2011).

a) Cairan

1. Ringer laktat (RL)

RL merupakan cairan yang paling fisiologis yang dapat

diberikan pada kebutuhan volume dalam jumlah besar. RL banyak

digunakan sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok

hipovolemik, diare, trauma, dan luka bakar. Laktat yang terdapat di

dalam larutan RL akan dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat

yang berguna untuk memperbaiki keadaan seperti asidosis metabolik.

Page 19: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup untuk pemeliharaan

sehari-hari, apalagi untuk kasus defisit kalium. Larutan RL tidak

mengandung glukosa, sehingga bila akan dipakai sebagai cairan

rumatan, dapat ditambahkan glukosa yang berguna untuk mencegah

terjadinya ketosis. Kemasan larutan kristaloid RL yang beredar di

pasaran memiliki komposisi elektrolit Na+ (130 mEq/L), Cl- (109

mEq/L), Ca+ (3 mEq/L), dan laktat (28 mEq/L). Osmolaritasnya

sebesar 273 mOsm/L. Sediaannya adalah 500 ml dan 1.000 ml (P

Rudi, 2006).

2. Dextros

Larutan dextran dibuat dari sukrosa dengan bantuan kerja

bakteri Leuconostoc mesenteroides. Dextran adalah suatu

polisakarida, terdiri dari glukosa dengan berbagai panjang rantai.

Klasifikasiberdasarkan berat molekul (BM). Dextran-40 memiliki

BM 40.00 dan Dextran-70 memiliki BM 70.000. Indikasi pemakaian

dextran: (1), Syak hipovolemik (2). Memperbaiki aliran darah

perifer. (3).Mencegah tromboemboli. Komplikasi pemberian dextran

berupa gagal ginjal akut, reaksi anafilaksisdan diatesis hemoragik

(Sari, 2003).

3. HES

Hidroxyethyl strach (HES) merupakan kelompok senyawa

yang didapatkan dari kanji hidroksietil (diperoleh dari jagung).

Hetastarch adalah molekul sintetikyang menyerupai glikogen, yang

diproduksi sebagai upaya mencari koloid dengan reaksi minimal,

bebas dari sifat toksik dan dari reaksi imunologis. HES merupakan

modifikasi dari amilopektin, suatu cabang polimer glukosa dari jenis

jagung tertentu (Sari, 2003).

Indikasi pemakaian sebagai terapi dan profilaksis defisiensi

volume (hipovolemia) dan syok (terapi penggantian volume)

Page 20: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

berkaitan dengan perdarahan (syok hemoragik), kombustio (syok

kombustio) dan infeksi (syok septik). Adapun kontraindikasi

pemakaian adalah gagal jantung kongestif berat, gagal ginjal,

gangguan koagulasi berat (kecuali kedaruratan yang mengancam

nyawa), cairan berlebih (hiperhidrasi), kekurangan cairan yang berat

(dehidrasi), perdarahan serebral dan alergi terhadap kanji (Sari,

2003).

Efek samping HES yang menguntungkan adalah pada tekanan

onkotik koloid, dimana HES mempunyai kemampuan meningkatkan

tekanan onkotik. Efek pada volume darah, dapat meningkatkan

volume darah namun tingkatan dan durasi efek bervariasi tergantung

pada berat molekulnya. Efek pada aliran regional yaitu

mengembalikan aliran darah regional seperti ginjal. Efek mikro

sirkulasi berbeda untuk berbagai macam HES karena menurunkan

viskositas, mengganggu rouleux dan menurunkan daya adesif

leukosit berdasarkan berat molekulnya. HES menurunkan deformasi

trombosit dan menurunkan aggregasi trombosit. Efek samping HES

yang merugikan yaitu tergantung berat molekul yang meliputi reaksi

anafilaktik, pruritus, akumulasi dalam jaringan, pembatasan

pengguaan pada gagal ginjal (Satoto, 2008).

HES mempengaruhi sistem koagulasi melalui delusi faktor-

faktor koagulasi yang meliputi penurunan pada vWF dan kemudian

menyebabkan penurunan pada adhesi trmbosit. HES dapat

meningkatkan perdarahan, berhubungan dengan penurunan vWF .

fibrin dapat menurun sebagai akibat polimerasi fibrin yang

dipercepat. Penggunaan HES yang berulang dengan dosis kecil

menyebabkan gangguan hemostasis dan dihubungkan dengan

manifestasi perdarahan. Efek yang merugikan pada koagulasi lebih

sering diamati sesudah penggunaan berulang HES dengan berat

molekul tinggi (Satoto, 2008).

Page 21: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

HES merupakan polisakarida kompleks yang tersedia dalam

bentuk berat molekul besar (≥400KD), molekul sedang (200-400

KD), dan molekul kecil (<200KD) yang dapat digunakan sebagai

pengganti plasma. Pada molekul kecil efek samping berupa

perdarahan relatif lebih kecil dibanding dengan molekul sedang

ataupun besar (Satoto, 2008).

Larutan HES 200KD dengan derajat substitusi 0,4-0,55 (haes

steril) terdiri dari Na+ 154 mmol/L, Cl- 154 mmol/L. Dosis harian

sampai 20cc/kgBB/hari=1500 cc/kgBB/hari biasanya antara 500-

1000cc/hari (Satoto, 2008).

C. Analisis Jurnal

Hasil penelitiana dari jurnal menunjukan bahwa dari ketiga cairan yang

digunakan, ringer laktat merupakan cairan yang terbaik. Ringer laktat merupakan

cairan isotonis kristaloid. Hal tersebut sejalan dengan WHO (2005) dalam

dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue shock syndrome in the context of

the integrated management of childhood illness, yang mengungkapkan terapi

kristaloid digunakan sebagai cairan standar pada terapi DBD karena

dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah.

Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan

antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah

diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi

yang minimal. Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD

aman dan efektif (Chen, Pohan & Sinto, 2009).

Menurut hasil penelitia yang dilakukan oleh Hung (2012) juga menunjukan

bahwa penggunaan cairan kristaloid dan koloid dapat digunakan untuk

menangani pasien anak dengan DSS. Namun, penggunaan Ringer laktat lebih

menguntungkan karena dapat menstabilkan fungsi kardiovaskuler lebih lama

dibandingkan cairan koloid. Penggunaan cairan koloid seperti HES dan dekstran

Page 22: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

menimbulkan efek samping perdarahan dan terjadinya kelebihan volume cairan

yang akan meningkatkan angka mortalitas (Hung, 2012).

Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan

kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan

hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam

pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan

menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang

singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial

(ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut

dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular

dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Namun demikian, dalam

aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain

mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi

plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan

reaksi anafilaktik (Chen, Pohan & Sinto, 2009).

Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa

keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi

volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih

lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid

memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil.

Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid

yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun

beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi

yang rendah (contoh: hetastarch) (Chen, Pohan & Sinto, 2009).

Cairan koloid yang digunakan dalam jurnal penelitian tersebut yaitu

dekstran dan Hydroxy ethyl starch (HES). Golongan Dekstran mempunyai sifat

isotonik dan hiperonkotik, maka pemberian dengan larutan tersebut akan

menambah volume intravaskular oleh karena akan menarik cairan ekstravaskular.

Efek volume 6% Dekstran 70 dipertahankan selama 6-8 jam, sedangkan efek

volume 10°/o Dekstran 40 dipertahankan selama 3-5 jam. Kedua larutan tersebut

Page 23: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

dapat menggangu mekanisme pembekuan darah dengan cara menggangu fungsi

trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII, terutama bila

diberikan lebih dari 1000 ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak boleh diberikan

pada pasien dengan KID (Wibowo, 2011).

Hydroxy ethyl starch (HES) 6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES

450/0,7 adalah larutan isotonik dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5

adalah larutan isotonik dan hiponkotik. Efek volume 6%/10°/o HES 200/0,5

menetap dalam 4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6% HES

450/0,7 menetap selama 8-12 jam. Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan

terjadi bila diberikan kurang dari 1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi karena

pengenceran dengan penurunan hitung trombosit sementara, perpanjangan waktu

protrombin dan waktu tromboplastin parsial, serta penurunan kekuatan bekuan

(Wibowo, 2011). Hal tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Satoto (2008) yang menunjukkan bahwa pada kelompok HES 200

kD selama 15 menit setelah pemberian terdapat pemanjangan waktu PTT yang

bermakna dibanding dengan kelompok HES 40 kD. Hal tersebut menunjukkan

bahwa semakin besar berat molekul HES akan semakin mengganggu fungsi

koagulasi. Pemberian HES 200 kD memperpanjang nilai Plasma Protombin Time

(PT) dan partial thromboplastin time (PTT), dan nilai tersebut lebih besar

daripada HES 40 kD (Satoto, 2008).

Jurnal dengan judul “Comparison of three fluid solutions for resuscitation

in dengue shock syndrome”menunjukkan bahwa cairan koloid dibandingkan

kristaloid pada pasien anak dengan DSSyang menggunakan parameter stabilisasi

hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada

kedua jenis cairan. Namun jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari

banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut

masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan

untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat

kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa

dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam;

Page 24: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat

badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan

pada DBD dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam.

Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai

apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang

diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu

dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta

diuresis(Chen, Pohan & Sinto, 2009).

Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4)

cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan,

dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi

hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada

kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi

hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu

dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal(Chen,

Pohan & Sinto, 2009).

Page 25: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ringer laktat merupakan cairan yang efektif untuk resusitasi awal

pasien anak dengan DSS. RL merupakan cairan yang paling fisiologis yang

dapat diberikan pada kebutuhan volume dalam jumlah besar. Hal tersebut

sejalan dengan WHO, yang mengungkapkan terapi kristaloid digunakan

sebagai cairan standar pada terapi DBD. Jenis cairan yang ideal yang

sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat

bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak

mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang

minimal.1-3 Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD

aman dan efektif.Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan

menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang

singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial

(ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut

dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular

Dekstran memiliki efek samping jika digunakan untuk penatalaksanaan DSS.

Larutan dekstran dapat menggangu mekanisme pembekuan darah dengan cara

menggangu fungsi trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor

VIII, terutama bila diberikan lebih dari 1000 ml/24 jam. Sedangkan

pemberian HES 200 kD selama 15 menit dapat mengakibatkan pemanjangan

waktu PTT yang bermakna dibanding dengan kelompok HES 40 kD. Hal

tersebut menunjukkan bahwa semakin besar berat molekul HES akan semakin

mengganggu fungsi koagulasi.

Page 26: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

B. Implikasi Keperawatan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada jurnal Comparison of

Three Fluid Solutions for Resuscitationin Dengue Shock Syndromemaka, hal

yang perlu mendapatkan perhatian lebih pada pasien DHF dalam pemberian

cairan parenteral adalah :

1) Kemampuan personal perawat sangat dibutuhkan dalam melakukan

pengkajian secara komperhensif pada pasien DHF yang membutuhkan

pemberian cairan secara parenteral.

2) Perawat perlu memberi lebih banyak perhatian tentang kebutuhan cairan

yang masuk ke dalam tubuh pasienterutamapadapasiendengan DB atau

DSS. Infus Ringer Laktat dapat diberikan dengan tetesan 20 cc / Kg BB /

Jam selama 24 jam. Perawat perlu melakukan pemeriksaan laboratorium

secara rutin untuk mengevaluasi keberhasilan intervensi yang telah

dilakukan.

3) Pemantauan secara rutin tanda-tanda vital, perhitungan kebutuhan cairan

dan pengukuran kadar hematokrit dilakukan untuk memastikan bahwa

pasien menerima jumlah volume cairan intravena yang sesuai dengan

kebutuhan pasien sehingga memberikan cairan yang cukup untuk

mempertahankan fungsi vital selama periode kebocoran sistemik tanpa

overfillingruang intravaskular.

4) Terjadinya kelebihan cairan merupakan salah satu penyebab

kematianpada pasien DHF sehingga monitoring dan evaluasi stasus

hidrasi penting dilakukan oleh perawat untuk mencegah terjainya

komplikasi

Page 27: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

DAFTAR PUSTAKA

Chen, Khie,. Pohan, Herdiman T,. Sinto, Robert. (2009). Diagnosis dan terapi cairan

pada demam berdarah dengue. Medicinus. 22(1). 1-7

Hung, Nguyen Thanh. (2012). Fluid management for dengue in children. Paediatrics

and international child health. 32(S1). 39-42

Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.

Mulyono, S., & Andiwibowo, A. (2010). Buletin Jendela Epidemiologi: Demam

Berdarah Dengue. Jakarta: Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi

Kementerian Kesehatan RI.

Perel, P,. Roberts, I,. & Ker, K. (2013). Colloids versus crystalloids for fluid

resuscitation in critically ill patients. The Cochrane Collaboration. Published

by JohnWiley & Sons.

P Rudi, M Mukhlis. (2006). Pengaruh pemberian cairan ringer laktat dibandingkan

NaCl 0,9% terhadap keseimbangan asam basa pada pasien sectio caesaria

dengan anestesi regional. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.

Raihan, Hadinegoro, S. R., & Tumbelaka, A. (2010). Faktor prognosis terjadinya

syok pada demam berdarah dengue . Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.

Sari, Nina Kemala. (2003). Penggunaan cairan koloid di bidang penyakit dalam.

FKUI.

Satoto, Hari H. (2008). Perbedaan pengaruh pemberian infus HES dengan berat

molekul 40 kD dan 200 kD terhadap plasma prothrombin time dan partial

thromboplastin time. Tesis. Semarang: Universits Diponegoro.

Sudoyo, A. et.al. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi 4. Jakarta:

Pusat Penerbitan IPD FKUI.

World Health Organization (WHO). (2005). Dengue, dengue haemorrhagic fever and

dengue shock syndrome in the context of the integrated management of

Page 28: Jurnal Anak Dhf Fix Banget

childhood illness. Department of Child and Adolescent Health and

Development.

Wibowo,Nur Rahmat. (2011). Laporan kasus: Dengue shock syndrome. Pontianak:

Universitas Tanjungpura.