28
1 JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I PENDAHULUAN Juvenile angiofibroma merupakan tumor jinak hipervaskuler di nasofaring dengan gambaran epidemiologi dan pola pertumbuhan yang khas. Tumor secara khas mengenai remaja laki-laki pada masa prapubertas, dengan gejala klinis yang khas epistaksis berulang dan sumbatan hidung unilateral. 1,2 Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang di kepala dan leher, tetapi merupakan tumor yang paling sering di nasofaring. Meskipun secara histologi termasuk tumor jinak, tetapi tumor sering menunjukkan perilaku destruktif lokal dan agresif, mempunyai kecenderungan kuat untuk berdarah dan mempunyai angka kekambuhan yang tinggi. Biopsi merupakan hal yang berbahaya karena potensi terjadi perdarahan besar. 3,4 Pemeriksaan radiologi mempunyai peranan yang penting dalam diagnosis, penentuan stadium dan penatalaksanaan juvenile angiofibroma nasofaring. Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan foto polos, CT scan, MRI maupun arteriografi. Gambaran radiologi yang khas adalah adanya massa di nasofaring, destruksi tulang, dengan gambaran bowing di dinding posterior sinus maksilaris (Hofman-Miller sign), yang pada pemberian kontras tampak penyangatan kuat dan homogen. Pemeriksaan arteriografi dapat menentukan feeding vessel dari tumor, dan mempunyai nilai diagnostik dan terapetik. 4,5 Penatalaksanaan yang direkomendasikan adalah dengan pembedahan. Tetapi, pembedahan sendiri mempunyai risiko perdarahan yang besar akibat tingginya vaskularisasi tumor. Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk mengurangi kehilangan darah selama operasi, sehingga memungkinkan eksisi total, mengurangi komplikasi dan meminimalkan residu tumor. 1,3

JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

  • Upload
    phamtu

  • View
    245

  • Download
    8

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

1

JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING

BAB I

PENDAHULUAN

Juvenile angiofibroma merupakan tumor jinak hipervaskuler di nasofaring dengan

gambaran epidemiologi dan pola pertumbuhan yang khas. Tumor secara khas mengenai

remaja laki-laki pada masa prapubertas, dengan gejala klinis yang khas epistaksis berulang

dan sumbatan hidung unilateral.1,2

Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang di kepala dan leher, tetapi

merupakan tumor yang paling sering di nasofaring. Meskipun secara histologi termasuk

tumor jinak, tetapi tumor sering menunjukkan perilaku destruktif lokal dan agresif,

mempunyai kecenderungan kuat untuk berdarah dan mempunyai angka kekambuhan yang

tinggi. Biopsi merupakan hal yang berbahaya karena potensi terjadi perdarahan besar.3,4

Pemeriksaan radiologi mempunyai peranan yang penting dalam diagnosis, penentuan

stadium dan penatalaksanaan juvenile angiofibroma nasofaring. Pemeriksaan radiologi dapat

dilakukan dengan foto polos, CT scan, MRI maupun arteriografi. Gambaran radiologi yang

khas adalah adanya massa di nasofaring, destruksi tulang, dengan gambaran bowing di

dinding posterior sinus maksilaris (Hofman-Miller sign), yang pada pemberian kontras

tampak penyangatan kuat dan homogen. Pemeriksaan arteriografi dapat menentukan feeding

vessel dari tumor, dan mempunyai nilai diagnostik dan terapetik.4,5

Penatalaksanaan yang direkomendasikan adalah dengan pembedahan. Tetapi,

pembedahan sendiri mempunyai risiko perdarahan yang besar akibat tingginya vaskularisasi

tumor. Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk mengurangi

kehilangan darah selama operasi, sehingga memungkinkan eksisi total, mengurangi

komplikasi dan meminimalkan residu tumor.1,3

Page 2: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

2

Latar belakang diangkatnya kasus ini karena juvenile angiofibroma nasofaring

merupakan kasus yang jarang, dengan tujuan agar ahli radiologi dapat mempelajari aspek-

aspek penegakan diagnosa juvenile angiofibroma nasofaring, terutama dari modalitas

arteriografi dan penatalaksanaannya dengan embolisasi.

Page 3: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Juvenile angiofibroma merupakan tumor jinak hipervaskuler. Secara histologi,

juvenile angiofibroma merupakan lesi pseudokapsuler yang ditandai dengan komponen

vaskular irreguler yang terdiri dari berbagai pembuluh darah dengan kaliber berbeda yang

menempel dalam fibrosa yang kaya kolagen dan fibroblas. Pembuluh darah mempunyai

dinding yang tipis, tidak memiliki lapisan serabut elastis, memiliki lapisan otot yang tidak

lengkap atau bahkan tidak ada, sehingga mudah terjadi perdarahan. Angiofibroma di luar

nasofaring sangat jarang dan cenderung terjadi pada pasien yang lebih tua dan banyak pada

wanita, namun tumor kurang berifat vaskuler dan kurang agresif daripada juvenile

angiofibroma nasofaring.1,2,6

B. Patofisiologi

Juvenile angiofibroma nasofaring muncul dari foramen sphenopalatina dan mengenai

fossa pterigopalatina dan kavum nasi posterior. Tumor berkembang dengan cara erosi tulang

dan mendesak struktur di sekitarnya, dan dapat mencapai basis kranii.7,8

Pertumbuhan lesi memiliki kecenderungan khas mengikuti lapisan submukosa,

tumbuh di dekat tempat yang mempunyai resistensi rendah dan menginvasi tulang cancellous

basisphenoid, sehingga pola penyebarannya dapat diprediksi. Dari fossa pterigopalatina,

tumor tumbuh ke medial ke dalam nasofaring, fossa nasalis dan akhirnya menuju sisi

kontralateral. Pertumbuhan ke lateral dapat meluas ke fossa sphenopalatina dan

infratemporalis, melalui fissura pterigo-maksilaris yang melebar dengan gambaran khas

pergeseran ke anterior dari dinding posterior maksilaris, sampai berhubungan dengan otot

Page 4: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

4

mastikator dan jaringan lunak pipi. Pertumbuhan ke posterior dapat mengenai arteri karotis

interna melalui kanalis vidian, sinus kavernosus melalui foramen rotundum dan apeks orbita

melalui fissura orbitalis inferior. Proptosis dan atrofi nervus optikus terjadi jika fissura

orbitalis sudah terkena tumor. Keterlibatan tulang terjadi melalui dua mekanisme utama

yaitu: (1) resorpsi karena tekanan langsung dengan aktivasi osteoklast atau (2) langsung

tersebar di sepanjang arteri perforanates ke dalam akar cancellous dari prosesus pterigoideus.

Perluasan ke posterior berikutnya dapat mengenai clivus dan ala mayor sphenoid, biasanya

dengan erosi tabula interna fossa kranialis media dan dapat meluas ke intrakranial. Pelebaran

fissura orbitalis superior merupakan tanda perluasan tumor ke intrakranial.1,6,9

C. Anatomi

Fossa pterigopalatina adalah lekukan medial fissura pterigomaksillaris yang terletak

tepat di bawah puncak orbita antara prosessus pterigoideus dan posterior maksilla. Batas

medialnya adalah pelat tegak lurus dari tulang palatina. Hal ini penting karena

menghubungkan beberapa ruangan dan dapat memfasilitasi penyebaran patologi diantara

mereka. Fossa pterigopalatina berhubungan ke superior dengan orbita melalui bagian

posterior dari fissura orbitalis inferior. Foramen rotundum terbuka ke dalamnya, di sisi

superior, menghubungkannya dengan fossa kranialis media. Di sisi lateral, fossa

pterigopalatina berhubungan secara bebas dengan fossa infratemporalis. Di sisi medial fossa

pterigopalatina berhubungan dengan rongga hidung melalui foramen sphenopalatina pada

pelat tegak lurus dari tulang palatina, dan dengan rongga mulut melalui kanalis palatina

mayor, yang berjalan di sisi inferior antara tulang palatina dan maksilla. Fossa pterigopalatina

berisi cabang maksillaris dari saraf kranialis kelima, yang berjalan melalui foramen rotundum

dan ke dalam orbita melalui fissura orbitalis inferior. Fossa pterigopalatina juga berisi

segmen pterigopalatina dari arteri maksilaris, yang membuat loop karakteristik dan

Page 5: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

5

memberikan dari cabang ke fossa kranialis media dan infratemporalis, ke rongga hidung,

palatum dan faring.10

Arteri karotis eksternal biasanya muncul pada setinggi vertebra servikalis ke tiga

(VC-3) dari percabangan arteri karotis interna. Cabang-cabang utama arteri karotis eksterna

adalah arteri tiroidea superior, arteri lingualis, arteri fasialis, arteri faringealis asenden, arteri

oksipitalis, arteri aurikularis posterior, arteri maksilaris interna dan arteri temporalis

superfisialis. Tiga cabang pertama muncul dari aspek anteromedial dari segmen proksimal

arteri. Dua atau tiga arteri di atasnya, arteri faringealis asenden dan arteri oksipitalis, timbul

dari aspek posterolateral karotid eksterna. Pada sekitar 15% kasus, arteri tiroidea superior

timbul dari arteri karotis komunis dekat bifurkasio, arteri oksipitalis atau faringealis asenden,

dapat timbul dari karotis interna. Arteri aurikularis posterior adalah cabang kecil yang

muncul dekat sebelum cabang terminal utama, arteri temporalis superfisialis dan arteri

maksilaris interna. Arteri maksilaris interna besar memberikan pentingnya arteri meningea

media serta mensuplai fossa hidung, palatum, mandibula dan daerah infraorbita.9

D. Epidemiologi

Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang yang timbul di nasofaring,

yang merupakan 0,5% dari semua tumor kepala dan leher, dengan frekuensi satu diantara

5.000-60.000 pasien THT di Amerika Serikat. Meskipun jarang, juvenile angiofibroma

nasofaring merupakan tumor yang paling sering mengenai nasofaring. Tumor terjadi secara

eksklusif pada laki-laki, sehingga wanita dengan tumor ini harus menjalani tes genetik. Usia

saat terkena umumnya pada dekade kedua, antara 7-19 tahun, dan jarang terjadi pada usia

lebih dari 25 tahun.2,5,6

Page 6: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

6

E. Etiologi

Etiologi juvenile angiofibroma nasofaring tidak diketahui tetapi diduga berhubungan

dengan hormon seks. Pengamatan yang menunjukkan tumor secara khas muncul pada remaja

laki-laki, dan bahwa lesi sering regresi setelah perkembangan lengkap karakteristik seks

sekunder memberikan bukti pengaruh hormonal pada pertumbuhan tumor. Terdapat bukti

peningkatan reseptor androgen dan regresi tumor setelah terapi anti-androgen.1,4,7

F. Gejala Klinis

Gejala dan tanda juvenile angiofibroma nasofaring terkait dengan perluasan tumor ke

rongga hidung, orbita dan basis kranii. Gejala yang khas adalah obstruksi hidung unilateral

yang progresif (80-90 %) dengan rhinorrhea dan epistaksis unilateral berulang (45-60 %).

Gejala yang lain adalah sakit kepala (25 %), nyeri wajah, otitis media unilateral, rinosinusitis

kronis, proptosis dan gangguan penglihatan. Sakit kepala dan nyeri wajah dapat timbul

sebagai akibat sumbatan sinus paranasal. Otitis media unilateral disebabkan gangguan pada

tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

kronis. Proptosis dan gangguan penglihatan mengindikasikan keterlibatan orbita.

Pembengkakan pipi, defisit neurologis, gangguan penciuman dan otalgia juga dapat

terjadi.1,5,6

G. Diagnosis

Diagnosis juvenile angiofibroma nasofaring terutama didasarkan pada riwayat

penyakit, pemeriksaan rongga hidung dan pencitraan. Secara endoskopi dapat terlihat massa

lobulated besar di belakang khonka nasalis media, mengisi khoana dengan permukaan halus

dan hipervaskularisasi yang jelas. Karena secara epidemiologi dan temuan endoskopi adalah

Page 7: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

7

khas, maka biopsi mutlak merupakan kontraindikasi karena risiko perdarahan masif yang

cukup besar.1

Pemeriksaan radiologi memegang peranan penting dalam diagnosis, penentuan

stadium dan penatalaksanaan. Pemeriksaan radiologi berperan dalam menunjukkan perluasan

tumor primer, khususnya dalam menilai invasi sphenoid karena merupakan tempat utama

terjadinya kekambuhan, sebuah gambaran yang jelas menunjukkan asal dari angiofibroma.

Pemeriksaan radiologi juvenile angiofibroma nasofaring dapat dilakukan dengan foto polos,

CT scan, MRI dan arteriografi. Gambaran foto polos pada Water’s atau submental view dapat

menunjukkan erosi di sinus sphenoidalis dan penonjolan dinding posterior sinus maksilaris

atau Holman-Miller sign. 6,7

CT scan dan MRI juvenile angiofibroma nasofaring menunjukkan massa inhomogen

yang timbul dari ruang mukosa atau submukosa nasofaring, dengan penyangatan yang kuat

dan homogen disertai erosi basis kranii atau perluasan intrakranial.1,4 CT scan berperan dalam

follow-up setelah pembedahan untuk mendeteksi sisa tumor, menilai ukuran setelah

radioterapi atau menilai pengecilan tumor.7 CT scan merupakan pemeriksaan sebelum operasi

yang paling penting karena dapat menunjukkan destruksi struktur tulang dan pelebaran

foramen dan fisura pada basis kranii akibat penyebaran tumor. Keterlibatan tulang dan

penyebaran tumor paling baik dilihat pada potongan aksial atau koronal irisan tipis. CT scan

aksial dan koronal dapat menggambarkan asal dan perluasan lesi. Temuan termasuk massa

nasofaring, penonjolan ke anterior dari dinding posterior sinus maksilaris (Holman-Miller

sign) dengan massa di fossa pterigopalatina, pelebaran foramen sphenopalatina, opasitas di

sinus paranasal, erosi tulang sphenoid dengan massa di sinus, erosi palatum durum, erosi

dinding medial sinus maksilaris, deviasi septum nasi, dan perluasan intrakranial.5,6

Arteriografi mempunyai nilai diagnostik dan terapetik, dengan melakukan embolisasi

feeding vessel tumor. Keduanya dapat dilakukan terpisah atau bersama. Pola retikuler yang

Page 8: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

8

khas biasanya terlihat pada awal fase arteri, dengan blush homogen padat yang menetap

sampai fase vena. Adanya awal draining vein jarang terjadi.5,7

Identifikasi suplai darah preoperatif merupakan hal yang penting

untuk menentukan strategi pembedahan yang tepat. Meskipun magnetic resonance

angiography (MRA) dapat membantu dalam penilaian vaskular, gambaran lengkap dari

semua pembuluh darah memerlukan angiografi. Feeding vessel juvenile angiofibroma

nasofaring berasal sistem karotis eksternal terutama dari cabang arteri maksilaris interna

distal, umumnya cabang sphenopalatina, palatina desenden, dan alveolar posterior superior.

Terkadang arteri faringealis asenden ikut mensuplai tumor.2,4,9

Arteriografi sebelum pembedahan diindikasikan untuk menentukan luasnya lesi,

jumlah vaskularisasi dan asal feeding vessel. Dalam menentukan batas tumor, penilaian

perluasan intrakranial sangat penting karena operasi dapat menyebabkan bahaya lain.

Gambaran angiografi merupakan ciri khas, dan diagnosis preoperatif biasanya

memungkinkan dikerjakan sebelum biopsi.3

H. Penatalaksanaan

Terapi yang dapat dilakukan meliputi pembedahan, radiasi, krioterapi,

elektrokoagulasi, terapi hormonal, embolisasi, dan injeksi agen sklerosing. Pembedahan

merupakan penatalaksanaan yang dianjurkan dan paling banyak diterima, tetapi terdapat

risiko perdarahan yang besar akibat tingginya vaskularisasi tumor, seringkali lebih besar dari

2.000 ml.3,7

Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk mengurangi

kehilangan darah selama operasi, sehingga memungkinkan eksisi total, mengurangi

komplikasi dan meminimalkan residu tumor. Tujuannya adalah mengurangi suplai darah ke

tumor, dan hal ini akan efisien jika agen emboli dapat masuk ke pembuluh darah di dalam

Page 9: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

9

tumor, yang paling baik dicapai dengan partikel berukuran kecil seperti polivinil alkohol.

Pemilihan ukuran partikel merupakan keseimbangan antara keamanan dan efisiensi dan

tergantung apakah posisi kateter dapat dicapai dengan injeksi langsung agen emboli ke dalam

tumor. Partikel kecil akan masuk lebih dalam ke dalam tumor tetapi mempunyai risiko yang

lebih tinggi untuk terjadi nekrosis kulit dan kelumpuhan saraf kranial. Bahan yang paling

sering digunakan adalah polivinil alkohol atau gelfoam. Embolisasi dapat mengurangi 60-

70% perdarahan intraoperatif. Pembedahan dilakukan 2-5 hari setelah embolisasi.1,3,5,9

Ujung kateter ditempatkan sedekat mungkin dengan lesi, biasanya di distal arteri

karotis eksterna di setinggi bifurkasio ke arteri temporalis superfisial dan maksilaris interna.

Posisi kateter yang tepat sangat penting untuk mencegah refluks ke arteri karotis interna.

Injeksi dengan kecepatan melebihi aliran arteri juga dapat mengakibatkan refluks ke trunkus

arteri proksimal dan bisa terjadi embolisasi intrakranial. Komplikasi ringan seperti demam

dan nyeri lokal dapat terjadi 12-24 jam setelah embolisasi dan diobati dengan steroid.

Bradikardi sementara dapat terjadi selama injeksi arteri maksilaris. Hal ini dapat diatasi

dengan injeksi atropin.3,5

Penggunaan terapi radiasi masih diperdebatkan karena adanya risiko transformasi

sarkomatoid. Beberapa penulis merekomendasikan terapi radiasi sebagai terapi ajuvan pada

unresectable tumor, terdapat residu tumor atau terdapat perluasan intrakranial yang luas.1,5,7

I. Teknik Kateterisasi Arteriografi

Sebelum tindakan, pasien sebaiknya dipuasakan untuk mencegah risiko aspirasi bila

terjadi reaksi terhadap bahan kontras, tetapi masih dibolehkan untuk minum. Pasien

dilakukan pemeriksaan fisik, termasuk pulsasi arteri femoralis, arteri dorsalis pedis dan

tibialis posterior dan status neurologis, pemeriksaan kreatinin serum dan parameter koagulasi,

pemasangan infus dan kateter foley. Perhatian harus diberikan pada pasien dengan terapi

Page 10: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

10

antikoagulan, gangguan pembekuan darah, hipertensi, dengan riwayat alergi sebelumnya,

bayi, penyakit jantung, gagal hepar atau ginjal dan gangguan metabolik lainnya.11,12

Arterial puncture merupakan bagian terpenting dari prosedur angiografi. Pembuluh

darah yang paling sering dilakukan puncture adalah arteri femoralis. Tempat tusukan harus

dibius dengan cukup. Setelah kulit dibersihkan, dilakukan anestesi lokal dengan injeksi

infiltrasi 5-10 ml lignokain 0,5-1 % di sekitar arteri, baik di anterior maupun posterior arteri.

Kemudian dibuat insisi dengan skalpel. Cara yang dapat diandalkan adalah dengan meraba

arteri dengan jari tengah dan telunjuk tangan kiri dan memasukkan jarum (yang dipegang

dengan tangan kanan) di antara kedua jari tersebut. Jarum dipegang miring ke depan dan

melewati dinding anterior saja atau keduanya melalui arteri tergantung pada pilihan

angiografer. Pada teknik single-wall puncture, aliran darah akan terjadi segera setelah jarum

memasuki lumen pembuluh darah. Ketika menggunakan teknik double-wall puncture, setelah

melewati pembuluh darah, stilet sentral dicabut, jarum ditarik perlahan, kemudian

dibengkokkan sedikit lebih ke arah horisontal dan dibantu oleh gerakan berputar lembut

untuk menghindari hentakan tiba-tiba. Ketika ujung jarum berada di dalam lumen arteri, arus

balik darah akan memancar dari hub. Sementara jarum dipegang mantap dengan satu tangan,

ujung lembut guidewire dimasukkan melalui jarum ke dalam arteri. Jika wire sudah masuk

cukup dalam, jarum dicabut dan tekanan manual yang kuat dipertahankan pada temap

tusukan sampai jarum telah digantikan kateter atau dilator. Guidewire dilepas ketika ujung

kateter berada dalam posisi yang baik dan kateter kemudian dibilas dengan larutan garam

terheparinisasi agar bersih bebas dari jendalan darah. Pada akhir prosedur insersi yang

dilakukan dengan benar seharusnya tidak ada perdarahan di sekitar kateter, dimana kateter

akan bergerak bebas dan tanpa rasa sakit ketika dimanipulasi.11

Page 11: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

11

Ada beberapa argumen yang mendukung baik single maupun double-wall arterial

puncture. Beberapa ahli radiologi lebih memilih untuk menusuk hanya dinding anterior saja,

untuk meminimalkan trauma ke pembuluh darah, meskipun tusukan ke kedua dinding tidak

meningkatkan risiko komplikasi, karena komplikasi biasanya disebabkan oleh manipulasi

guidewire dan kateter. Pendukung teknik double-wall puncture mempertahankan bahwa

metode ini lebih aman, terutama ketika pertama kali belajar angiografi, dengan risiko yang

lebih rendah terjadinya diseksi intima ketika memasukkan guidewire melalui jarum bila

dibandingkan dengan teknik single-wall.11

Kateter dibilas dengan larutan garam terheparinisasi pada seluruh prosedur untuk

mencegah pembekuan. Pembilasan lebih baik dilakukan sebentar-sebentar, daripada

pemberian secara kontinyu. Teknik ini tidak hanya memberikan ujung proksimal kateter

bebas dari manipulasi tetapi juga lebih efektif, karena infus lambat hanya dapat

membersihkan lubang proksimal kateter, gumpalan di ujung dan sisi lubang lebih distal, dan

kemudian pecah ke dalam sistem vaskular ketika suntikan kontras dengan tekanan dilakukan.

Setelah selesai tindakan, dilakukan penekanan manual 1-2 cm di sebelah atas dari tempat

puncture selama 15 menit, kemudian dipasang pressure dressing. Pasien diharuskan tetap

berbaring selama 5 jam sebelum diperbolehkan mobilisasi.11,12

J. Stadium dan Prognosis

Sistem stadium yang banyak digunakan adalah dari Andrews et al. dan Radkowski et

al. berdasarkan perluasan tumor, sebagaimana dapat dilihat pada lampiran. Juvenile

angiofibroma nasofaring merupakan tumor dengan kekambuhan yang tinggi, rata-rata sebesar

32%, sampai setinggi 40-50% pada kasus dengan invasi basis kranii. Kekambuhan dapat

terjadi 3-4 bulan setelah operasi. Angka kekambuhan tinggi terutama bila sudah mengenai

basis kranii sperti sinus sphenoid, basis pterigoid, clivus, sinus kavernosus dan fossa anterior.

Page 12: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

12

Sehingga, pemeriksaan ulang sebaiknya dilakukan setiap 6-8 bulan untuk setidaknya 3 tahun

setelah operasi.1,4,7,8

K. Diagnosis banding

K1. Polip angiomatosa

Polip angiomatosa adalah polip inflamatorik hidung yang mempunyai komponen

vaskuler dan fibrosa. Secara histologi merupaka tumor jinak dan mirip dengan

angiofibroma nasofaring. Polip tidak mempunyai predileksi jenis kelamin. Kemungkinan

adanya polip angiomatosa harus selalu dipikirkan sebelum mempertimbangkan diagnosa

angofibroma, pada pasien dewasa dan perempuan. Gejala yang paling sering muncul

adalah hidung tersumbat dan sering mimisan. Pembesaran lesi secara perlahan dapat

menyebabkan erosi tulang, pendesakan struktur tulang di dekatnya, pipi bengkak dan

eksofthalmus.13,14

Polip angiomatosa terletak terutama di fossa nasalis dan bukan di nasofaring, tidak

meluas ke fossa pterigopalatina, sinus sphenoidalis, maupun ke intra kranial. Pada

angiografi polip angiomatosa mempunyai tampilan hipovaskuler atau avaskuler. Pada CT

scan polip tidak menyangat atau hanya menyangat minimal. Polip dapat dieksisi dengan

mudah dan jarang terjadi kekambuhan. Angiografi dan embolisasi tidak diperlukan pada

polip.13,14,15

K.2 Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang berasal dari lapisan epitel

mukosa nasofaring, dan merupakan tumor paling umum yang mengenai nasofaring.

Karsinoma nasofaring biasanya muncul dari fossa Rosenmuller dan dikenal sebagai

neoplasma agresif lokal dengan tingginya kejadian metastase ke limfonodi leher. Tumor

Page 13: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

13

primer di dalam nasofaring dapat meluas ke palatum, rongga hidung, orofaring dan basis

kranii. Gejala klinis yang paling sering dirasakan adalah adanya benjolan di leher.

Keluhan lain dapat berupa epistaksis, hidung tersumbat, otitis media, telinga berdenging

dan tuli. Karsinoma nasofaring merupakan keganasan dengan karakteristik variasi

distribusi geografis dan etnis, terutama di Asia Tenggara. Gambaran radiologi karsinoma

nasofaring adalah asimetri fossa Rosenmuller, hilangnya lapisan lemak di parapharyngeal

space, destruksi tulang dan penebalan preoccipital space.16,17,18

Page 14: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

14

BAB III

LAPORAN KASUS

Dilaporkan seorang pasien laki-laki berumur 15 tahun, dengan keluhan utama hidung

sering tersumbat dan pilek terutama yang sebelah kiri sejak 4 bulan sebelum masuk rumah

sakit. Keluhan menetap dan semakin berat, dan kadang-kadang disertai dengan mimisan.

Selain keluhan tersebut, pasien tidak merasakan gejala lain, seperti sakit kepala, gangguan

telinga atau penglihatan. Pada pemeriksaan fisik tampak massa kemerahan di rongga hidung

kiri dan di nasofaring kanan dan kiri. Khoanae dan muara tuba eustakhius tertutup oleh

massa. Adenoid sulit dinilai. Keadaan umum pasien baik, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi

88 x/menit, suhu tubuh 370 celcius dan pernafasan 22 x/menit.

Delapan bulan sebelumnya (10 Desember 2012) pasien telah dilakukan pemeriksaan

foto polos sinus paranasalis, dengan keterangan klinis yang tidak disebutkan. Tampak adanya

perselubungan semiopak inhomogen di sinus maksilaris kanan dengan atrofi konkha nasalis

kanan, dan dikesankan sebagai sinusitis maksilaris kanan. Kemudian pasien dilakukan biopsi

kavum nasi dan sinus maksilaris, dengan hasil polip nasi fibroinflamatorik dan radang kronis

sinus maksillaris.

Kemudian pasien dilakukan pemeriksaan CT scan dengan keterangan klinis

rinosinuistis kronis dan polip nasi sinistra. Pada gambaran CT scan tampak lesi inhomogen

(iso-hipodens) di nasofaring bilateral, bentuk amorf, batas tak tegas, ukuran 4,6x3,2 cm, yang

meluas ke kavum nasi bilateral terutama sinistra serta mendeviasi dan mendestruksi septum

nasi, mendestruksi dinding medial sinus maksilaris sinistra dan menginfiltrasinya,

mendestruksi dasar sinus sphenoidalis dan menginfiltrasi sinus sphenoid aspek sinistra. Post

kontras tampak enhancement inhomogen (HU pre kontras =33, post kontras= 73). Pada CT

scan juga tampak gambaran oedema cerebri berupa penyempitan sulci, gyri mendatar, fissura

Page 15: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

15

sylvii yang sempit, batas kortex dan medulla yang tidak tegas, penyempitan ventrikel lateralis

dextra dan struktur mediana tampak terdeviasi ringan ke arah dextra. Hasil pemeriksaan CT

scan disimpulkan sebagai massa inhomogen di nasofaring bilateral dengan perluasan ke sinus

sphenoidalis aspek sinistra, kavum nasi sinistra dan sinus maksilaris sinistra disertai destruksi

dinding medial sinus maksilaris sinistra dan os sphenoidalis, dengan oedema serebri,

kemungkinan suatu brain metastase.

Kemudian pasien dilakukan tindakan arteriografi dan embolisasi dengan keterangan

klinis suspek angiofibroma di kavum nasi. Pemeriksaan laboratorium sebelum tindakan: Hb

12,4; AL 6,80; AT 313.000; BUN 7,6; kreatinin 0,58; PPT 16,3; APTT 33,7. Pada

pemeriksaan arteriografi arteri karotis eksterna sinistra, tampak gambaran blushing di

proyeksi sinus maksilaris sinistra dan nasofaring sinistra, dengan feeding vessel berasal dari

arteri maksilaris interna sinistra. Hasil pemeriksaan arteriografi disimpulkan sebagai

angiofibroma di regio nasofaring sinistra dan maksilaris sinistra.

Kemudian tindakan dilanjutkan dengan embolisasi di feeding vessel dari angiofibroma

yang berasal dari arteri maksilaris interna sinistra. Embolisasi dilakukan dengan larutan

gelfoam. Embolisasi dihentikan ketika aliran darah mulai melambat, sebelum terjadi refluks.

Setelah tindakan, pasien hanya merasakan sedikit keluhan nyeri di pangkal paha kanan (skala

nyeri 2-3), tetapi tidak terdapat hematom di daerah tersebut.

Empat hari kemudian pasien dilakukan tindakan operasi ekstirpasi. Jumlah perdarahan

saat operasi 300 ml. Setelah operasi pasien dipasang tampon hidung anterior dan posterior.

Pasien diterapi dengan inj ceftriaxon 2x500 mg dan inj asam traneksamat 3x500 mg. Pada

hari keenam tampon hidung dilepas dan pasien diijinkan pulang. Hasil pemeriksaan patologi

anatomi menyatakan tumor angiofibroma.

Page 16: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

16

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien pada laporan kasus ini adalah seorang laki-laki berumur 15 tahun, dengan

gejala hidung kiri sering tersumbat, disertai pilek dan mimisan, dengan diagnosa awal polip

nasi dan sinusitis maksilaris. Pasien tidak mempunyai keluhan lainnya, seperti nyeri kepala,

gangguan di telinga maupun mata. Gejala hidung tersumbat dan mimisan dapat terjadi pada

polip nasi maupun angiofibroma nasofaring. Polip nasi angiomatosa mempunyai gejala dan

tanda yang mirip dengan angiofibroma.

Perbedaan antara keduanya terletak pada predileksi umur dan jenis kelamin, dan letak

serta perluasan lesi. Polip nasi angiomatosa tidak mempunyai predileksi jenis kelamin. Hal

ini berbeda dengan angiofibroma nasofaring, yang mempunyai predileksi jenis kelamin laki-

laki dan umur remaja. Selain dari epidemiologi, perbedaan polip angiomatosa dengan

angiofibroma adalah letak terutama polip angiomatosa di fossa nasalis, bukan di nasofaring,

tidak meluas ke fossa pterigopalatina, sinus sphenoidalis, maupun ke intra kranial.13,14

Pasien ini pada awalnya diduga sebagai polip nasalis dan sinusitis maksilaris. Pada

pemeriksaan foto sinus paranasalis delapan bulan sebelumnya tampak sinusitis maksilaris dan

hasil pemeriksaan patologi anatomi menyatakan polip nasi fibroinflamatorik dan radang

kronis sinus maksillaris. Tetapi keluhan hidung tersumbat dan mimisan, masih berlanjut dan

bahkan semakin memberat.

Pada pemeriksaan CT scan tampak massa inhomogen di nasofaring bilateral, dengan

perluasan ke kavum nasi bilateral terutama sinistra, mendeviasi dan mendestruksi septum

nasi, mendestruksi dinding medial sinus maksilaris sinistra dan menginfiltrasinya,

mendestruksi dasar sinus sphenoidalis dan menginfiltrasi sinus sphenoid aspek sinistra, yang

pada pemberian bahan kontras tampak menyangat. Perluasan dan destruksi tulang

Page 17: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

17

menunjukkan sifat agresif lesi. Pada CT scan polip angiomgatosa tidak menyangat atau hanya

menyangat minimal, sedangkan pada angiofibroma nasofaring menyangat kuat. Letak lesi

yang berada di nasofaring juga menyingkirkan diagnosa polip. Dari hasil CT scan tersebut

maka diagnosa yang lebih mungkin adalah angiofibroma nasofaring daripada polip nasi.

Dari sifat destruktifnya, kemungkinan diagnosa yang lain adalah keganasan, yang

paling sering karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada semua usia,

walaupun lebih sering terjadi pada dekade kelima dan keenam. Gambaran radiologi

karsinoma nasofaring adalah asimetri fossa Rosenmuller, hilangnya lapisan lemak di

parapharyngeal space, destruksi tulang, penebalan preoccipital space dan pembesaran

limfonodi servikal. Pada CT scan pasien laporan kasus ini, fossa Rosenmuller tertutup oleh

lesi, sehingga tidak bisa dinilai. Tetapi lapisan lemak di parapharyngeal space masih tegas,

preoccipital space tak menebal, dan tak tampak pembesaran limfonodi servikal. Dengan

demikian maka kemungkinan lesi sebagai karsinoma nasofaring dapat disingkirkan. Adanya

gambaran oedema serebri kemungkinan merupakan perluasan lesi ke basis kranii.

Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak yang mempunyai vaskularisasi yang

banyak. Karena hipervaskularisasi dari tumor ini maka biopsi tidak dianjurkan, karena dapat

menyebabkan perdarahan yang banyak. Angiofibroma nasofaring mempunyai predileksi yang

khas pada remaja laki-laki sehingga disebut juvenile angiofibroma nasofaring.3,4

Pada pemeriksaan arteriografi tampak gambaran blushing di proyeksi sinus maksilaris

sinistra dan nasofaring sinistra. Gambaran blushing merupakan ciri khas angiofibroma.3

Arteriografi sebelum pembedahan diindikasikan untuk menentukan luas lesi, jumlah

vaskularisasi dan asal feeding vessel. Identifikasi suplai darah preoperatif merupakan hal

yang penting untuk menentukan strategi pembedahan yang tepat.3,4

Pada pemeriksaan arteriografi pasien ini tampak feeding vessel berasal dari arteri

maksilaris interna sinistra. Hal ini sesuai dengan gambaran pada umumnya dimana feeding

Page 18: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

18

vessel angiofibroma berasal terutama dari cabang arteri maksilaris interna distal. Polip

angiomatosa mempunyai tampilan hipovaskuler atau avaskuler.2,4,9

Pembedahan merupakan penatalaksanaan yang dianjurkan, tetapi terdapat risiko

perdarahan yang besar akibat tingginya vaskularisasi tumor, seringkali lebih besar dari 2.000

ml.3,7 Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk mengurangi

kehilangan darah selama operasi, sehingga memungkinkan eksisi total, mengurangi

komplikasi dan meminimalkan residu tumor.1,3 Pada pasien laporan kasus ini operasi

dilakukan empat hari setelah embolisasi, dengan perdarahan saat operasi 300 ml. Pasien tidak

mengalami komplikasi dari tindakan embolisasi maupun operasi, dan pada hari keenam

pasien diijinkan pulang. Hasil pemeriksaan patologi anatomi menyatakan tumor

angiofibroma.

Page 19: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

19

BAB IV

KESIMPULAN

Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki usia 15 tahun, dengan keluhan hidung kiri

sering tersumbat dan mimisan berulang. Pada pemeriksaan CT scan tampak massa menyangat

di nasofaring yang meluas ke sinus paranasalis dan terjadi destruksi tulang. Pada arteriografi

tampak gambaran blush dengan feeding vessel dari arteri maksilaris interna sinistra. Pasien

didiagnosa sebagai juvenile angiofibroma nasopharyng dan telah dilakukan tindakan

embolisasi.

Diagnosis banding juvenile angiofibroma nasopharyng adalah polip nasi angiomatosa

dan karsinoma nasofaring. Polip nasi angiomatosa tidak mempunyai predileksi jenis kelamin.

Letak lesi terutama di fossa nasalis, tidak meluas ke fossa pterigopalatina, sinus sphenoidalis,

maupun intra kranial. Pada arteriografi mempunyai gambaran hipovaskuler atau avaskuler.

Karsinoma nasofaring terutama terjadi pada dekade kelima dan keenam. Gambaran

radiologisnya adalah asimetri fossa Rosenmuller, hilangnya lapisan lemak di parapharyngeal

space, destruksi tulang, penebalan preoccipital space dan pembesaran limfonodi servikal.

Page 20: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

20

LAMPIRAN

Gambar 1. Anatomi cabang-cabang arteri karotis eksterna. 1. arteri tiroidea superior; 2. arteri

lingualis; 3. arteri fasialis; 4. arteri faringealis asenden; 5. arteri oksipitalis; 6. arteri

aurikularis posterior; 7. arteri maksilaris interna; 8. arteri temporalis superfisialis.9,19

Gambar 2. Anatomi fossa pterigopalatina. A, Bukaan dari fossa pterigopalatina (o) ke dalam

rongga hidung melalui foramen sphenopalatina (panah) dan ke fossa infratemporalis melalui

fissura pterigomaksillaris (panah terbuka) diberi label. B. Kepala panah menunjukkan kanalis

vidian, jalan keluar lain dari fossa pterigopalatina. Foramen laserum (l) akan menjadi lantai

arteri karotis interna (c) dalam jalur horisontal. Panah menunjukkan foramen sphenopalatina.

C, Kepala panah baru pada potongan yang lebih superior menunjukkan foramen rotundum,

dan panah kecil menunjukkan fisura orbitalis inferior. Bagian ini adalah batas atas fossa

pterigopalatina. Saraf kranial V-2 akan melewati foramen rotundum untuk sampai ke

Meckel’s cave (m). Foramen lacerum akan tepat di bawah arteri karotis petrosus horisontal

(c).20

Page 21: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

21

Gambar 3. Juvenile angiofibroma. A, Massa mendesak dinding posterior sinus maksilaris

(panah) ke anterior dan tumbuh ke rongga hidung (tanda +) dan fossa infratemporalis

(panah). B. Suplai darah yang luas berasal dari arteri maksilaris interna (panah) dan tampak

pelebaran cabang meningea media (panah).20

Gambar 4. Angiogram menggambarkan angiofibroma sebelum dan sesudah embolisasi,

suplai darah tumor dari arteri maxillaris interna.2

Tabel 1. Stadium Juvenile angiofibroma nasofaring.1

Page 22: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

22

Gambar 7. Rekomendasi kateter diagnostik. 5F Angled Taper, kateter serba guna. 4/5F Vertebra, kateter serba guna, sedikit kaku daripada angled taper tetapi bentuknya sama. 4/5F Simmons 1, Angiografi spinal. 4/5F Simmons 2 atau 3, arteri karotis komunis sinistra, bovine configuration, tortuous arkus aorta, umur pasien >50 tahun. 5F CK-1 (aka HN-5), arteri karotis komunis sinistra atau vertebralis dekstra. 5F H1 (aka Headhunter), arteri subklavia dekstra; arteri vertebralis dekstra. 4/5F Newton, tortuous anatomy, umur pasien >65 tahun.12

Gambaran 6. Karsinoma nasofaring.

CT scan dengan kontras menunjukkan

karsinoma nasofaring dengan perluasan

parafaring kanan dan adenopati

retrofaringeal.16

Gambar 5. Polip antro-khoanal.

CT scan potongan aksial menunjukkan

opasitas di sinus maksilaris sinistra dengan

polip antro-khoanal di kavum nasi posterior

dan khoana yang keluar dari bawah khonka

nasalis media di daerah kompleks

ostiometal.6

Page 23: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

23

Gambar 8. Kateterisasi perkutan. Salah satu teknik yang sering digunakan untuk kateterisasi

perkutan arteri. Arteri (1) ditusuk (2). Jarum ditarik dan didatarkan (3). Guidewire

dimasukkan ke jarum saat aliran darah balik (3,4), jarum ditarik dan kateter atau introducer

dimasukkan melalui wire (5,6). Bila kateter sudah aman berada dalam lumen arteri, wire

ditarik (7).11

Page 24: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

24

Gambar 9. Pemeriksaan sinus paranasalis.

Foto sinus paranasalis, dengan klinis : -, kondisi cukup, hasil :

- Tampak perselubungan semiopak inhomogen di sinus maksilaris dekstra

- Tampak atrofi konkha nasalis dekstra

- Sinus maksilaris sinistra, sinus frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis normodens

- Tak tampak deviasi septum nasi

- Tak tampak destruksi pada tulang

Kesan : sinusitis maksilaris dekstra

Page 25: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

25

Gambar 10. Pemeriksaan CT scan Dilakukan pemeriksaan CT scan kepala dengan kontras, potongan aksial, koronal dan sagital,

pada pasien dengan klinis RSK dan polip nasi, hasil :

⁻ Tampak lesi inhomogen (iso-hipodens) di nasofaring bilateral, bentuk amorf, batas tak

tegas, ukuran 4,6x3,2 cm, yang meluas ke kavum nasi bilateral terutama sinistra serta

mendeviasi dan mendestruksi septum nasi, mendestruksi dinding medial sinus maksilaris

sinistra dan menginfiltrasinya, mendestruksi dasar sinus sphenoidalis dan menginfiltrasi

sinus sphenoid aspek sinistra. Post kontras tampak enhancement inhomogen (HU pre

kontras =33, post kontras= 73)

⁻ Tak tampak infiltrasi massa di parapharyngeal space

⁻ Tak tampak limfadenopati cervicalis

⁻ Tak tampak lesi iodens/hipodens/hiperdens intracerebri maupun intracerebelli. Post

kontras tak tampak enhancement.

⁻ Tampak gyri mendatar, sulci dangkal, fissura sylvii sempit. Batas cortex dan medulla tak

tegas. Ventrikel lateralis dextra tampak sempit. Struktur mediana tampak terdeviasi ringan

ke arah dextra

⁻ Ventrikel lateralis sinistra, tertius dan kuadratus tak lebar/sempit

⁻ Air celluale mastoidea normodens

⁻ Tak tampak soft tissue swelling ekstrakranial

Kesan :

⁻ Massa nasofaring bilateral, yang meluas ke kavum nasi sinistra dan mendestruksi septum

nasi, mendestruksi dinding medial sinus maksilaris sinistra dan menginfiltrasinya,

mendestruksi dasar sinus sphenoidalis dan menginfiltrasi sinus sphenoid aspek sinistra.

⁻ Oedema cerebri, susp brain metastase.

Page 26: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

26

Gambar 11. Pemeriksaan arteriografi dan embolisasi. Dilakukan pemeriksaan arteriografi karotis eksterna sinistra pada pasien dengan klinis suspek angiofibroma di cavum nasi, dengan teknik Seldinger, melalui a. femoralis dekstra. Pasien ditidurkan diatas bed cathlab, dilakukan tindakan aseptik antiseptik di daerah inguinal dekstra dengan betadin. Kemudian os ditutup dengan duk steril dari dada sampai kaki, kecuali daerah inguinal dekstra. Dilakukan pungsi a. femoralis dekstra dengan abbocath 18. Kemudian setelah darah memancar keluar, mandrin ditarik keluar digantikan dengan guide wire pendek, dilakukan cek fluoroskopi, guide wire masuk sampai bifurkasio aorta. Abbocath dilepas digantikan dengan introducer sheet, setelah masuk, guide wire dan introducer dilepas bersamaan, sehingga tinggal sheet-nya yang terpasang. Kemudian dimasukkan kateter vertebra no. 5F yang didalamnya sudah ada guide wire dimasukkan menuju a. karotis eksterna sinistra. Dimasukkan bahan kontras. Tampak kontras mengisi a. karotis eksterna sinistra sampai berlanjut ke a. maksilaris interna sinistra, tampak gambaran blushing di proyeksi sinus maksilaris sinistra dan nasofaring sinistra. Tampak feeding vessel dari a. maksilaris interna sinistra. Dilanjutkan dengan embolisasi dengan larutan gelfoam, tampak aliran darah mulai melambat kemudian sebelum refluks dihentikan. Kesan : Angiofibroma di regio nasofaring sinistra dan maksilaris sinistra dengan feeding

vessel dari a. maksilaris interna sinistra.

Page 27: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

27

DAFTAR PUSTAKA

1. Nicolai P, Schreiber A, Villaret AB. Juvenile Angiofibroma: Evolution of

Management. International Journal of Pediatrics. 2012: 1-11

2. Garca MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Eur J Gen

Med. 2010;7(4): 419-25

3. Roberson GH, Price AC, Davis JM, Gulati A. Therapeutic Embolization of Juvenile

Angiofibroma. AJR. 1979; 133: 657-63

4. Atalar M, Solak O, Muderris S. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma: Radiologic

evaluation and Pre-operative embolization. KBB-Forum. 2006; 5(1): 58-61

5. Davis RK. Embolization of Epistaxis and Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma.

AJR. 1987;148: 209-18

6. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. 2013. Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com [updated: Feb 7, 2013]

7. Naz N, Ahmed Z, Shaikh SM, Marfani MS. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma

Role of Imaging in Diagnosis, Staging and Recurrence. Pakistan Journal of Surgery.

2009; 25 (3): 185-9

8. Kania RE, Sauvaget E, Guichard JP, Chapot R, Huy PTB, Herman P. Early

Postoperative CT Scanning for Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma: Detection of

Residual Disease. AJNR. 2005; 26: 82-8

9. Sutton D, Gregson RHS. Arteriography and Interventional Angiography. In: Sutton D.

Textbook of Radiology and Imaging. 7th ed. Churchill Livingstone. 2008 : 1544-83

10. Ryan S, McNicholas M, Eustace S. Anatomy for Diagnostic Imaging. 2nd ed. Elsevier;

2004

11. Jacksen JE, Allison DJ, Meaney.Angiography: Principles, Techniques and

Complication, In: Grainger & Allison's Diagnostic Radiology, 5th ed. Churchill

Livingstone. 2008 : 227-31

12. Harrigan MR, Deveikis JP. Handbook of Cerebrovascular Disease and

Neurointerventional Technique. Springer Science. 2013

13. Verma N, Kumar N, Azad R, Sharma N. Angioamtous Polyp : A Condition Difficult

to Diagnose. Otorhinolaryngology Clinics: An International Journal. 2011; 3(2): 93-7

14. Kumar B, Pant B, Jeppu S. Infarcted Angiectatic Nasal Polyp with Bone Erosion and

Pterygopalatine Fossa Involvement-Simulating Malignancy. Case Report and

Literature Review. The Internet Journal of Pathology. 2012;13(2): 1-10

Page 28: JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING BAB I · PDF fileOtitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis

28

15. Som PM, Curtin HD. Head and Neck Imaging. Elsevier. 2011

16. Chan M, Bartlett E, Sahgal A, Chan S and Yu E. Imaging of Nasopharyngeal

Carcinoma, In: Carcinogenesis, Diagnosis, and Molecular Targeted Treatment for

Nasopharyngeal Carcinoma. Shih-Shun Chen (Ed.), 2012. InTech. Diunduh dari

http://www.intechopen.com

17. Hoe J. CT of Nasopharyngeal Carcinoma: Significance of Widening of the

Preoccipital Soft Tissue on Axial Scans. AJR. 1989; 153:867-72

18. Abdel Razek AAK, King A. MRI and CT of Nasopharyngeal Carcinoma. AJR. 2012;

198:11-8

19. Hansen JT. Netter’s Clinical Anatomy. 2nd ed. Saunders Elsevier. 2010

20. Yousem DM, Grossman RI. Neuroradiology: The Requisite, 3rd ed. Mosby-Elsevier;

2010