136
1 Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Final report from Peatland Definition and Peatland Maping Methodology activity. Indonesian version. Low resolution PDF.

Citation preview

Page 1: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

1

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Page 2: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

2

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Page 3: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

3

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Saran Penulisan Referensi:ICCC, 2014. Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut. Indonesia Climate Change Center. Jakarta, Indonesia.

Laporan studi Metodologi untuk Pemetaan dan Definisi Lahan Gambut ini disiapkan oleh Mazars Starling Resources (MSR) berdasarkan penugasan Pusat Perubahan Iklim Indonesia (Indonesia Climate Change Center - ICCC) dengan dukungan pendanaan dari United State Forest Service –(USFS).

ICCC Primary Contact:

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi I (BPPT) building, 16th FloorJalan M.H.Thamrin 8, Jakarta 10340, IndonesiaEmail: [email protected]

USFS Primary Contact:

United States Forest Service International Programs1 Thomas CircleWashington, DC. 2009Tel: +1 (202) 644-4571

Mazars Starling Resources Primary Contact:

Mazars Starling ResourcesIkat Plaza Building, 3rd Floor,Jl. Bypass Ngurah Rai No. 505Denpasar, Bali 80361, IndonesiaTel: +62-(0)361-847-3141

Page 4: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

4

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Ucapan Terima KasihLaporan akhir studi ini merupakan hasil dari kegiatan penelitian lapangan yang telah dilaksanakan pada bulan April sampai dengan September 2013 bekerja sama dengan individu-individu dari berbagai lembaga dan organisasi mitra seperti yang tercantum di bawah. Penulis laporan mengucapkan terima kasih kepada para kontributor, peneliti dan juga staff administrasi, surveyor lapangan, staff teknis, dan masyarakat lokal di Desa Teluk Meranti dan Pangkalan Kapau di Kabupaten Pelalawan, dan juga masyarakat lokal di Desa Tewang Kampung dan Kampung Melayu di Kabupaten Katingan atas dukungan yang telah diberikan terhadap kegiatan ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada tim pelaksana kegiatan di lapangan, yakni Mazars Starling Resources, Universitas Hokkaido, Japan Space System, Institut Teknologi Bandung, Universitas Riau, Universitas Palangka Raya, Yayasan Puter Indonesia, Institute Social and Economic Change.

*Hak cipta semua foto dalam laporan ini adalah milik Indonesia Climate Change Center

Page 5: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

5

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Daftar Isi

Ucapan Terima Kasih Daftar Singkatan Kata Pengantar Ringkasan Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut 1. Latar Belakang dan Tujuan 2. Lokasi Studi dan Luas Kabupaten 2.1. Gambaran Umum Kabupaten Pelalawan 2.2. Gambaran Umum Kabupaten Katingan 3. Definisi dan Klasifikasi 3.1. Definisi 3.2. Klasifikasi 4. Outline Laporan Bagian A: Pemetaan Lahan Gambut A1. Pendahuluan A2. Metodologi A2.1. Landasan Teoritis dari Model Shimada A2.2. Batasan dan Asumsi-Asumsi dari Model Shimada A2.3. Prosedur A3. Hasil dan Diskusi A3.1. Hasil Analisa Spasial A3.2. Hasil Pengukuran Kedalaman Gambut dan Sampling Verifikasi A3.3. Hasil Pemetaan Lahan Gambut Bagian B: Sejarah Pengelolaan Lahan Gambut dan Implikasinya Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan dan Tutupan Lahan [Land-Use Land-Cover Changes (LULCC)] B1. Pendahuluan B2. Metodologi B2.1. Analisa Penginderaan Jauh (Inderaja) B2.2. Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) dan Survey Data Dasar Sosial B3. Hasil dan Diskusi B3.1. Telaah Pola LULCC Masa Lampau B3.2. Analisa Penginderaan Jauh LULCC Kabupaten Pelalawan B3.3. Analisa Pengideraan Jauh dari LULCC di Kabupaten Katingan

Bagian C: Perubahan Iklim dan Potensi Dampak Terhadap Lahan Gambut C1. Pendahuluan C2. Metodologi C2.1. Akuisisi Data C2.2. Metode Analisa C2.3. Batasan-Batasan C3. Hasil dan Diskusi C3.1. Observasi Historis dari Variasi Iklim Dalam Kabupaten Pelalawan C3.2. Observasi Tren Variasi Iklim di Kabupaten Katingan C3.3. Proyeksi Iklim untuk Kabupaten Pelalawan C3.4. Proyeksi Iklim untuk Kabupaten Katingan C3.5. Iklim Ekstrim dalam Kabupaten Pelalawan C3.6. Iklim Ekstrim dari Kabupaten Katingan C3.7. Dampak Potensial dari Perubahan Iklim Terhadap Lahan Gambut

4 7 9 10

35 35 36 3637 383838

40404141424251515762

67

6767676870707578

82828383 84 86 86 86899294959798

Page 6: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

6

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Bagian D: Penggunaan Ground Water Table (GWT) Berbasis Satelit untuk Mengestimasi Emisi CO2 Bersih dari Ekosistem Lahan Gambut D1. Pendahuluan D2. Metodologi D2.1. Tinjauan Teoritis dari Penggunaan Data GWT Berbasis Satelit untuk Estimasi Emisi CO2 D2.2. Tahapan Studi D2.3. Batasan-batasan D3. Hasil dan Pembahasan D3.1. Pengukuran Gwt Secara Empiris D3.2. Estimasi Emisi CO2 Dengan Penggunaan Pemodelan GWT Berbasis Satelit D3.3. Estimasi Volume Pengatusan (Drainase) Lahan Gambut Bagian E: Menuju Pengelolaan Lahan Gambut yang Berkelanjutan di Indonesia E1. Implikasi dari Pengelolaan Lahan Gambut yang Berkelanjutan Terhadap Mitigasi Perubahan Iklim E2. Rekomendasi untuk Pengelolaan Lahan Gambut yang Berkelanjutan di Indonesia E2.1. Peta Lahan Gambut Yang Akurat dan Perencanaan Spasial E2.2. Perlindungan Lahan Gambut Tersisa E2.3. Praktek-Praktek Terbaik Dalam Pengelolaan Lahan Gambut E2.4. Pencegahan Kebakaran di Lahan Gambut E2.5. Restorasi Ekosistem Lahan Gambut Referensi Lampiran Lampiran 1. Peta lahan gambut baru Kabupaten Pelalawan Lampiran 2. Peta lahan gambut baru Kabupaten Katingan Lampiran 3. Analisis Perubahan Tata Guna dan Tutupan Lahan pada lahan gambut di Kabupaten Pelalawan Lampiran 4. Analisis Perubahan Tata Guna dan Tutupan Lahan pada lahan gambut di Kabupaten Katingan

101

101101101

103109110110112114

117117

119119120121122123

124127128129130

131

Page 7: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

7

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Daftar Singkatan

AR4 Fourth Assessment Report (IPCC)AVHRR Advanced Very High Resolution RadiometerBIG Badan Informasi GeospasialBMKG Badan Meteorologi, Klimatologi dan GeofisikaCO2 Carbon dioxideCDF Cumulative Density FunctionCRU Climate Research Unit (University of East Anglia)DB Drained Burnt PeatlandDBH Diameter at breast height (1.3 meters)DEM Digital Elevation ModelDF Drained ForestDNPI Dewan Nasional Perubahan Iklim (National Council on Climate Change)ENSO El Niño Southern OscillationERC Ecosystem Restoration ConcessionFGD Focus Group DiscussionGCM Global Circulation ModelGHG Greenhouse GasGIS Geographic Information SystemGPP Gross Primary Production (ecosystem photosynthesis)GPS Global Positioning SystemGWL Ground Water LevelGWP Global Warming PotentialGWT Ground Water TableHa HectareHCV High Conservation ValueHPH Hak Pengusahaan Hutan (forest concession license)HP Hutan Produksi (production forest)HTI Hutan Tanaman Industri (industrial timber plantation)HV Horizontal transmitting, Vertical receiving (PALSAR)ICCC Intergovernmental Panel on Climate ChangeIPCC Intergovernmental Panel on Climate ChangeITB Institut Teknologi BandungITCZ Inter-Tropical Convergence ZoneJICA Japan International Cooperation AgencyLULC Land Use and Land CoverLULCC Land Use and Land Cover ChangeLULUCF Land Use, Land-Use Change and Forestrym Metermm MillimeterMoA Ministry of Agriculture IndonesiaMODIS Moderate Resolution Imaging SpectroradiometerMoE Ministry of the EnvironmentMoF Ministry of Forestry IndonesiaMSR Mazars Starling ResourcesMT Metric tonneNDVI Normalized Difference Vegetation indexNEE Net Ecosystem ExchangeNGO Non-governmental OrganizationNOAA National Oceanic and Atmospheric Administration (US Government)PALSAR Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar

Page 8: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

8

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

PET Potential EvapotranspirationPDF Probability Density FunctionPDO Pacific Decadal OscillationPSF Plant-Soil FeedbackRE Ecosystem RespirationRePPProt Regional Physical Planning Program for TransmigrationRGB Red/Green/Blue (satellite imagery)RSNI Rancangan Standarisasi Nasional Indonesia (Indonesia National Standardization Program)SAR Strategic Assessment Report (IPCC)SRES Special Report on Emissions ScenariosSRTM Shutter Radar Topography MissiontC Tonnes of CarbontCO2e Metric tonne of Carbon Dioxide equivalentTM Landsat Thematic MapperTS Time SeriesUF Undrained ForestUNEP United Nations Environment ProgrammeUSGS United States Geological Survey VV Vertical transmitting, Vertical receiving (PALSAR)WI Wetlands International

Page 9: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

9

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Kata PengantarIndonesia Climate Change Center (ICCC) melalui beberapa kali pertemuan para pakar gambut telah menghasilkan konsensus Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut. Sebagai kelanjutannya, untuk memberikan informasi mengenai analisis ilmiah yang mendukung kebijakan dan tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari lahan gambut, dan untuk mendukung penyusunan kebijakan yang handal, maka ICCC telah melakukan kegiatan ‘Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut’ di Kabupaten Pelalawan (Provinsi Riau) dan Kabupaten Katingan (Provinsi Kalimantan Tengah). Kajian ini dilaksanakan untuk menguji konsensus Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut yang telah dihasilkan ICCC.

Dalam melakukan kajian ini, kegiatan yang dilakukan juga meliputi konsultasi intens dengan para pakar gambut dari sejumlah perguruan tinggi dan lembaga. Kajian ini mencakup kegiatan antara lain: 1) Pengujian definisi lahan gambut; 2) Pengujian metodologi pemetaan lahan gambut; dan 3) Pengumpulan data time series dan informasi terkait kegiatan sosial-ekonomi, demografi, bencana (kebakaran, kekeringan dan banjir) pada lahan gambut serta informasi lainnya terkait interaksi masyarakat dan lahan gambut. Dengan hasil ini, ICCC menargetkan untuk dapat mendukung para pembuat kebijakan dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan yang handal untuk pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan. Dari kajian di kedua lokasi tersebut, ICCC menyajikan: 1) Data dan hasil analisis yang berbasis ilmiah; 2) Temuan-temuan kunci; dan 3) Rekomendasi untuk kegiatan lebih lanjut untuk mengembangkan kajian-kajian lahan gambut yang handal.

Merupakan suatu kehormatan bagi kami untuk berbagi hasil kajian ini kepada Bapak/Ibu.

Kami berterima kasih kepada para mitra yang telah berpartisipasi dan berkontribusi pada kegiatan ini dalam usaha untuk mencari solusi bagi isu-isu perubahan iklim, terutama isu yang terkait lahan gambut.

Farhan Helmy

Manajer

Indonesia Climate Change Center (ICCC)

Page 10: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

10

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Ringkasan

PendahuluanPerubahan iklim dan emisi gas rumah kaca (GRK) yang disebabkan oleh aktivitas penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (LULUCF) semakin terasa dampaknya pada tataran global. Indonesia termasuk dalam lima negara teratas dalam emisi gas rumah kaca, dan merupakan penyumbang emisi terbesar ketiga di dunia selama beberapa tahun terakhir, di antaranya pada tahun 2005 dan 2009 (UNEP,2012). Pada tahun 2005, 85% dari total emisi yang dihasilkan di Indonesia berasal dari LULUCF dan lahan gambut, 41% dari total 85% tersebut merupakan emisi dari lahan gambut yang kaya akan karbon (DNPI, 2010).

Menyadari bahwa kebijakan dan tindakan yang terkait dengan mitigasi emisi gas rumah kaca dari lahan gambut harus berdasarkan studi dan penelitian ilmiah, Indonesia Climate Change Center (ICCC) berupaya untuk memberikan kontribusi terhadap proses pengembangan kebijakan yang dirumuskan berdasarkan hasil studi ilmiah lapangan, terutama dalam bidang: 1) Pengelolaan tata air dalam kegiatan pemanfaatan lahan gambut, dan 2) Praktik pengelolaan penggunaan lahan gambut yang rendah emisi dalam berbagai sektor. Lokasi studi ilmiah lapangan adalah lahan gambut di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah.

Untuk mencapai maksud di atas, ICCC memberikan mandat kepada Mazars Starling Resources (MSR) untuk melaksanakan studi ilmiah lapangan mengenai metodologi-metodologi yang terkait dengan lahan gambut, khususnya dalam topik-topik sebagai berikut:

• Melakukan telaah metodologi pemetaan lahan gambut yang ada;

• Mengembangkan peta lahan gambut yang lebih akurat untuk Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Katingan;

• Menyusun rekomendasi model pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara pengurangan emisi gas rumah kaca dan kebutuhan sosial – ekonomi; dan

• Membangun kemitraan dengan universitas nasional dan internasional, LSM, dan masyarakat lokal untuk saling bagi tukar pengetahuan dan memfasilitasi peningkatan kapasitas.

Sistematika laporan akhir studi ilmiah ini disusun dalam lima bagian, di mana dalam setiap bagian terdiri dari pengantar singkat, metodologi dan tahapan kerja studi, kemudian hasil dan pembahasan.

Bagian A. Pemetaan Lahan Gambut

Bagian B. Praktek pengelolaan lahan gambut pada masa lalu dan implikasi untuk penggunaan lahan dan perubahan tutupan lahan

Bagian C. Perubahan iklim dan dampak potensialnya terhadap lahan gambut

Bagian D. Penggunaan data tinggi muka air tanah berbasis satelit untuk memperkirakan emisi CO2 bersih dari lahan gambut

Bagian E. Menuju pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan

Page 11: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

11

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Bagian A: PEMETAAn LAHAn GAMBUT

Di Indonesia, saat ini ada lebih dari 10 peta lahan gambut yang dihasilkan oleh berbagai lembaga dan peneliti individual. Sayangnya, peta-peta tersebut menunjukkan hasil yang berbeda dan tidak konsisten satu dengan lainnya. Hal ini disebabkan karena penggunaan dan sumber data yang berbeda, definisi gambut yang digunakan, kemudian metode dan tingkat presisi dalam proses menganalisa sebaran lahan gambut dan kelas kedalaman yang digunakan oleh pembuat peta lahan gambut tidak sama. Ketidakkonsistenan ini telah menghambat pelaksanaan dan penegakan dari kebijakan, peraturan, dan perencanaan tata ruang dan zonasi di tingkat kabupaten, provinsi sampai tingkat nasional. Atas dasar alasan ini, mengembangkan sebuah peta sebaran lahan gambut yang akurat, terpadu dan konsisten berdasarkan metodologi yang dikembangkan untuk seluruh Indonesia sangat penting untuk pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan.

Gambar ES1. Lokasi studi dan luas kabupaten

Pengembangan peta lahan gambut dalam studi ini menerapkan pemodelan lahan gambut Shimada. Model ini masih terus disempurnakan oleh tim dari Universitas Hokkaido, Jepang, dan juga telah diuji penerapannya di lokasi studi, yaitu di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Katingan (Gambar ES1). Dengan menggunakan analisa penginderaan jauh dari data citra multi-temporal dan data kedalaman gambut hasil pengukuran lapangan, luasan dan sebaran lahan gambut termasuk juga kedalaman gambut ditelaah dan dibandingkan dengan kondisi fenologi hutan rawa gambut pada awal tahun 1990an. Pada tahun 1990an diasumsikan kondisi lahan gambut masih relatif tidak terganggu (hutan alam asli) dan kondisi alamiahnya kemungkinan masih dapat dilihat. Tahapan dalam pengembangan peta lahan gambut dalam studi ini secara garis besar adalah; 1) analisa spasial, 2) verifikasi kedalaman gambut (groundtruthing), dan 3) pembuatan peta sebaran lahan gambut yang baru berdasarkan penerapan dari Model Shimada. Kemudian setelah tiga tahapan tersebut selesai, peta lahan gambut dikoreksi dengan aplikasi Kriging Biasa (Ordinary Kriging) untuk mengklasifikasikan kedalaman gambut ke dalam kategori yang lebih rinci dan konsisten di seluruh daerah.

Page 12: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

12

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Dalam studi ini, definisi dan kategori kedalaman gambut yang digunakan ditujukan untuk memberikan klasifikasi lebih detil demi tujuan mitigasi perubahan iklim, dan tidak selalu merujuk kepada kedalaman ambang-batas 3 m. Sebagaimana diketahui, secara formal (peraturan Indonesia) hanya gambut dengan kedalaman lebih dari 3 m dilindungi dari segala bentuk pembangunan.

Lahan gambut didefinisikan sebagai “daerah dengan akumulasi bahan organik yang sebagian terurai (decomposed) dengan kadar abu sama dengan atau kurang dari 35%, kedalaman gambut sama dengan atau lebih dari 50 cm, dan kandungan karbon organik (berat) minimal 12%” (ICCC, 2012).

• Ketebalan gambut atau kedalaman adalah jarak vertikal dari permukaan lantai tanah sampai lapisan substratum (lapisan tanah mineral) di bawah lapisan gambut.

• Kategori ketebalan gambut

1. Analisa Spasial

Kombinasi data citra satelit, peta topografi, dan peta lahan gambut yang telah ada sebelumnya digunakan untuk analisa spasial dari lokasi studi. Secara rinci data-data tersebut adalah:

• Landsat TM4, 5, 7 dan 8 sebagai sumber primer untuk analisa spasial;

• Data polarimetry Alos PALSAR sebagai sumber sekunder analisa spasial;

• Peta BIG (Badan INFORMASI Geospasial) topografi skala 1:50.000;

• Data dari Shutter Radar Topografi Mission (SRTM) dan Digital Elevation Model (DEM);

• Peta lahan gambut (ESRI shapefile Format) yang dibuat oleh Wetlands International (WI, 2004) dan Kementerian Pertanian Indonesia (MoA, 2012); dan

• Data dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Radiometer Lanjutan Resolusi Sangat Tinggi (AVHRR).

Data ini digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan utama antara peta lahan gambut yang telah ada, memahami karakteristik geomorfologi lahan gambut di lokasi studi, menentukan titik contoh untuk verifikasi lapangan, dan mengklasifikasikan tutupan lahan gambut secara multi-temporal.

Secara umum untuk Pelalawan, Peta lahan gambut dari WI menunjukkan total luas lahan gambut dengan luas 2.693 hektar lebih besar dibandingkan dengan peta dari MoA. Perbedaan ini tidak terlalu signifikan, dan perbedaan seperti itu mungkin diakibatkan oleh proses pengolahan data di komputer. Sedangkan untuk Kabupaten Katingan, peta MoA menunjukkan luas lahan gambut dengan luas 24.696 hektar lebih besar dibandingkan dengan peta lahan gambut dari WI. Perbedaan ini sangat signifikan dan penelitian lebih lanjut sangat perlu .

Kategori   Kedalaman  Gambut  (m)   Kategori   Kedalaman  Gambut  (m)  PEATY   0-­‐0.5   D3   6.0-­‐8.0  D0   0.5-­‐2.0   D4   8.0-­‐10.0  D1   2.0-­‐4.0   D5   >  10.0  D2   4.0-­‐6.0      

 

Page 13: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

13

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

# #

#

##

##

##

##

#

##

###

###

##

#

#

#

#

#

##

####

#

##

# #

#

##

#

#

#

#

#

#

### #

8

0

0

1 02.5

3.7

9.5

0.1

3.5

1.7

1.110.33

0.09

3.013.91

4.094.08

3.54

4.225.01

5.08

3.27 3.56

> 109.09

9.68

7.747.12

7.226.83

6.723.512.490.37

0.05

0.18

5.622.84

1.020.28

3.56

3.17

3°5' 3°5'

3°00' 3°00'

2°55' 2°55'

2°50' 2°50'

2°45' 2°45'

113°10'

113°10'

113°15'

113°15'

113°20'

113°20'

113°25'

113°25'

-3 -3

NLEGENDA :

1-2 m2-4 m4-8 m

0,5-1 m

8-12 m

# Titik Survey

2. Verifikasi Kedalaman Gambut

Kegiatan survei lapangan untuk pengukuran kedalaman gambut dan pengambilan contoh tanah gambut telah dilakukan sesuai dengan prosedur yang dijelaskan dalam Rancangan Standarisasi Nasional Indonesia mengenai Pemetaan Lahan Gambut (RSNI 2012). Selama survei, tim studi lapangan mengukur kedalaman gambut pada 51 titik sampling di Pelalawan, dan 50 di Kabupaten Katingan. Dan kemudian, mengambil lebih dari 190 sampel gambut dari 32 titik verifikasi. Sampel tanah gambut ini dikumpulkan untuk dianalisa kandungan karbon, kadar abu dan berat jenis ruah (bobot jenis) di mana tiga parameter ini biasa digunakan untuk mendefinisikan kualitas gambut.

Salah satu temuan yang penting dari hasil verifikasi lapangan adalah bahwa kedalaman gambut atau sebaran lahan gambut dalam wilayah studi menunjukkan hasil yang berbeda dengan peta lahan gambut dari WI. Beberapa titik contoh verifikasi dalam lokasi studi di Kabupaten Pelalawan, yang dalam peta WI diklasifikasikan sebagai daerah non-gambut atau tidak-diperhitungkan, ternyata di lapangan ditemukan sebagai lahan gambut. Begitu pula dalam lokasi studi di Kabupaten Katingan, beberapa daerah yang diklasifikasikan sebagai lahan gambut dengan ketebalan antara 0,5 sampai 2 meter ternyata di lapangan berada di tanah mineral. Pembelajaran penting lainnya adalah peletakan titik verifikasi lapangan pada daerah batas antara lahan gambut dan non-gambut, sangat penting untuk kegiatan delineasi luasan lahan gambut secara lebih akurat. Gambar ES2 menunjukkan titik-titik verifikasi pengukuran kedalaman gambut di lapangan yang ditumpangsusunkan dengan peta lahan gambut WI, tampak jelas adanya perbedaan. Semua data hasil verifikasi lapangan ini kemudian digabungkan ke dalam proses pembuatan peta lahan gambut baru dengan penerapan Model Shimada.

Gambar ES2. Titik pengukuran kedalaman gambut ditumpangsusunkan dengan peta lahan gambut WI di Kabupaten Pelalawan (kiri) dan Kabupaten Katingan (kanan)

Page 14: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

14

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

3. Pembuatan Peta Lahan Gambut Baru

Salah satu topik studi ini adalah menguji kelayakan dari penerapan metodologi baru untuk pemetaan lahan gambut di kabupaten Pelalawan dan Katingan. Metodologi yang dikembangkan tersebut berdasarkan pendekatan Model Shimada, yang dikombinasikan dengan delineasi secara manual dengan menggunakan citra penginderaan jauh, data hasil pengukuran lapangan dan juga koreksi akhir dengan penerapan metode Kriging Biasa untuk mengklasifikasi kembali kedalaman gambut ke dalam kategori yang lebih rinci dan konsisten. Secara umum, metodologi ini dianggap dapat meningkatkan akurasi peta lahan gambut yang ada. Langkah-langkah pembuatan peta lahan gambut dan pengolahan datanya ditunjukkan oleh Gambar ES3.

Sebaran dan luasan lahan gambut didelineasi secara manual dengan merujuk pada peta tutupan lahan tahun 1990. Pada tahun 1990, sebagian besar lahan gambut masih tertutup oleh hutan rawa gambut dengan kerapatan tinggi, baik di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Katingan, di mana kegiatan alih fungsi lahan gambut atau degradasi belum terjadi secara besar-besaran. Hal ini dapat diasumsikan bahwa luasan areal tutupan hutan rawa pada saat itu dapat mewakili luasan batas lahan basah yang mengandung gambut. Data slope raster dengan resolusi 1 - km disusun berdasarkan data titik elevasi dari peta topografi skala 1:50.000 BIG, dan berdasarkan data sampel kedalaman gambut yang ditambahkan ke dalam peta tutupan lahan. Kawasan hutan rawa gambut didelineasi secara manual dengan merujuk pada daerah yang landai (yaitu memiliki kemiringan sudut kurang dari atau sama dengan 0,2°), dan selanjutnya dikalibrasi berdasarkan citra Landsat TM dengan urutan pita 5 (R), 4 (G) dan 3 (B). Ketika morfologi cekungan teridentifikasi pada suatu dalan wilayah studi, wilayah tersebut dieliminasi walaupun terletak dalam wilayah yang landai. Begitu pula dengan hutan tepian sungai (riparian forest) yang terletak pada wilayah luapan air sungai dipisahkan dari lahan gambut dan juga dihilangkan selama proses ini. Delineasi lahan gambut untuk pulau di sebelah timur Pelalawan, di mana tidak ada data lapangan atau data slope raster dari BIG yang tersedia, maka luasan gambut diestimasi hanya berdasarkan pada citra Landsat.

Supervised classification untuk kedalaman gambut dilakukan menggunakan pendekatan Model Shimada yang melanjutkan proses delineasi lahan gambut sebelumnya. Karena Model Shimada ini mengklasifikasi kedalaman gambut berdasarkan pada indeks aktivitas vegetasi, maka data aktivitas ini harus diekstrak dari wilayah yang berhutan. Oleh karenanya, hanya titik-titik verifikasi yang berada dalam kawasan hutan diekstraksi sebagai data latihan (training data), dan data dari titik verifikasi yang berada diluar kawasan berhutan diabaikan dalam studi ini. Citra Landsat digunakan untuk melakukan interpretasi visual agar dapat menentukan apakah titik-titik sampling verifikasi tersebut terletak di dalam kawasan berhutan. Semua data aktivitas yang telah diekstraksi tersebut kemudian diklasifikasikan kembali dalam grid sel dengan resolusi 1-km agar sesuai dengan resolusi dari data

Gambar ES3. Langkah-langkah pengolahan data

Page 15: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

15

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

NOAA-AVHRR. Pada tahap analisa ini, kedalaman gambut diklasifikasikan ke dalam 5 kategori kedalaman untuk Pelalawan dan 6 kategori kedalaman untuk Katingan, karena terbatasnya jumlah data aktivitas tertentu pada kategori kedalaman gambut tertentu.

Supervised classification dilakukan dengan menggunakan susunan multi-temporal data dari NOAA-AVHRR dan dataset latihan yang terpilih. Dalam analisa ini, digunakan metode analisa kebolehjadian diskriminan maksimum (Maximum likehood discriminant analysis), metode yang paling umum digunakan dalam supervised classification dari citra satelit.

Langkah selanjutnya dalam pengembangan peta lahan gambut dengan Model Shimada adalah melakukan klasifikasi kedalaman gambut yang lebih rinci dan konsisten. Teknik interpolasi Kriging Biasa (Ordinary Kriging), dilakukan untuk pengklasifikasian kedalaman gambut ini. Dengan demikian, berdasarkan penggabungan model Shimada dan teknik Kriging, studi ini membuat kelas kedalaman gambut menjadi 7 kategori.

Gambar ES4 menyajikan peta lahan gambut baru Pelalawan dan Kabupaten Katingan dengan daerah sebaran lahan gambut yang telah diperluas dan kedalaman gambut yang relatif lebih akurat hasil dari studi ini. Peta yang telah disesuaikan dengan peta topografi BIG skala 1:50.000 tersedia dalam format file ESRI.

Gambar ES4. Peta lahan gambut baru dari Kabupaten Pelalawan (kiri) dan Kabupaten Katingan (Kanan)

Peta-peta lahan gambut yang dihasilkan dalam studi ini telah mengidentifikasi beberapa perbedaan yang dapat dianggap cukup signifikan dengan peta WI dan Peta MOA dalam kedua wilayah lokasi studi, baik dalam konteks sebaran lahan gambut maupun kedalaman gambut. Gambar ES5 menyajikan kesenjangan antara peta WI dan peta lahan gambut yang dikembangkan oleh studi ini.

Page 16: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

16

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar ES5. Perbedaan antara peta lahan gambut hasil studi dan Peta WI di Pelalawan (kiri) dan Katingan (kanan)

Studi ini menguji kelayakan dari penerapan dan kelebihan metode Model Shimada untuk pemetaan lahan gambut. Dengan menggunakan dataset satelit dari awal 1990an, Model Shimada mengevaluasi dan menganalisa lahan gambut yang relatif dalam keadaan tidak terganggu di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Katingan, kemudian memperkirakan luasan sebaran lahan gambut dan kedalaman gambut, meskipun saat ini lokasi studi (training area) telah mengalami deforestasi, dibudidayakan atau terdegradasi. Mengetahui keadaan awal dari areal hutan rawa gambut sangat penting untuk memahami bagaimana lahan gambut terbentuk dan kemudian terdegradasi, dan juga untuk perencanaan rehabilitasi hutan rawa gambut. Pada dasarnya, Model Shimada ini menggunakan algoritma sederhana untuk mengolah data satelit (NOAA-AVHRR) yang saat ini tersedia secara gratis. Oleh karena itu, model ini dapat diterapkan pada daerah-daerah lahan gambut lainnya dengan kompleksitas teknis yang minimal dan biaya yang relatif rendah.

Page 17: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

17

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Bagian B: SEjARAH PEnGELOLAAn LAHAn GAMBUT DAn

IMPLIKASInyA TERHADAP PERUBAHAn TATA GUnA DAn TUTUPAn LAHAn (LULCC)

Dalam studi ini, analisa perubahan tata guna lahan dan tutupan lahan (LULCC) pada lahan gambut di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Katingan mengandalkan analisa penginderaan jauh dari data citra landsat, data hasil diskusi kelompok terfokus (FGD), survei sosial secara langsung, dan data sekunder dari berbagai pihak.

Dalam studi ini LULCC didefinisikan sebagai berikut:

• Tata Guna Lahan merujuk kepada pola pengelolaan dan aktivitas manusia dalam kelas tutupan lahan.

• Tutupan Lahan merujuk kepada jenis biofisik dari tutupan permukaaan lahan atau tanah (FAO, 2000).

• Kelas dari Tata Guna Lahan dan Tutupan Lahan

LULCC dalam lokasi studi dianalisa dengan menggunakan Citra Landsat (TM 4, 5, 7 dan 8) dan Alos PALSAR, dan dikuantifikasi melalui post-classification comparison. Analisa LULCC dilakukan dengan interval lima tahunan, mulai dari tahun 1990 sampai 2013. Sebaran lahan gambut dalam lokasi studi ditentukan dengan meng-overlay-kan peta lahan gambut yang dikembangkan dalam studi ini. Total luas dari setiap kelas tutupan lahan antara tahun x dan tahun x +5 diestimasi agar dapat dideteksi perubahan tutupan lahan dalam kelas tersebut. Analisis LULCC berbasis penginderaan jauh ini selanjutnya diverifikasi dengan data empiris yang dikumpulkan melalui pengamatan lapangan dan FGD.

                     No   Tutupan  Lahan   Penjelasan    

1   Hutan  Rawa  Gambut  Primer    

Hutan  rawa  gambut  yang  masih  utuh  tanpa  ada  jejak  jalur  penebangan,  jaringan  drainase  air  atau  sejarah  kebakaran  hutan.    Hutan  dengan  vegetasi  tinggi,  kanopi  yang  tidak  merata,  dan  spesies  pohon  campuran.  

2   Hutan  Rawa  Gambut  Sekunder  

Hutan   rawa   gambut   yang   dengan   sejarah   penebangan,   jalur   penebangan   dan/  atau   jaringan   drainase   air   dan   parit.     Vegetasi   hutan   telah   terganggu   dengan  hanya   beberapa   pohon   mencapai   DBH   50   cm   dalam   tipe   hutan   ini.   Species  pohon  campuran.  

3   Semak  dan  Rumput  pada  Rawa  Gambut  

Daerah   terbuka   dengan   vegetasi   rendah   (1-­‐5m)   berkayu   dan   tanaman   herba  dengan  sejarah   jaringan  drainase  air,  parit  dan/atau  kebakaran  hutan.  Vegetasi  didominasi  oleh  paku-­‐pakuan,  rumput  dan  semak  belukar.  

4   Hutan  Tanaman  Industri    

Tanaman  kayu  Monokultur  dan/atau  tanaman  bahan  baku  pulp  (akasia)  dengan  trek  dan  jaringan  drainase  air.  Jenis  hutan  biasanya  dikelola  oleh  konsesi  

5   Perkebunan  Kelapa  Sawit  

Perkebunan   kelapa   sawit   yang   dikelola   oleh   konsesi   dan/atau   petani   dengan  adanya  trek  dan  jaringan  drainase  air.  

6   Perkebunan/  Tanaman  rakyat  

Campuran   pohon   agroforest   tanaman   dan   lahan   pertanian   monokultur  didominasi   oleh   tanaman   permanen,   tidak   di   bawah   sistem   rotasi.   Jenis   lahan  pertanian   biasanya   dikelola   oleh   petani   kecil   dengan   atau   tanpa   jaringan  drainase  air  skala  kecil.  

7   Pertanian   Daerah  lahan  pertanian  dengan  atau  tanpa  sistem  drainase  air  skala  kecil.  Jenis  tanah  meliputi  sawah,  sayuran  dan  tanaman  pangan  lainnya.  

8   Lahan  kosong   Permukaan  tanah  alamiah  dan/atau  buatan  ditutupi  sedikit  atau  tanpa  vegetasi  termasuk  daerah  terbakar,  tanah  gundul  dan  lahan  pertanian  yang  ditinggalkan.  

9   Pemukiman   Rumah,  bangunan  dan  jenis-­‐jenis  infrastruktur  lainnya  

10   Badan  Air   Sungai,  kanal,  danau,  dll  

 

Page 18: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

18

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Empat FGD (Focus Group Discussion) dilakukan di dua desa yang terletak di/sekitar lahan gambut di lokasi studi. Setiap FGD dihadiri sekitar 25 sampai 35 pria dan wanita perwakilan dari masyarakat lokal. Setiap sesi FGD berlangsung rata-rata selama dua jam. Secara umum, peserta FGD adalah para petani dan nelayan.

1. Perubahan Pola Produksi dan Kosumsi

Kabupaten Pelalawan :

Dimulai pada akhir tahun 1980an, para petani lokal mengubah sistem pertanian mereka dari perladangan berpindah ke sistem perladangan menetap. Akibat dari perubahan sistem ini, menjelang awal tahun 1990an, budidaya karet oleh petani lokal menjadi lebih meningkat, meninggalkan pola perladangan sawah bera, sekaligus telah mengubah pola pemanfaatan lahan dari pola tradisional menjadi perkebunan monokultur. Sebagian besar dari masyarakat lokal yang sebelumnya lebih mengandalkan perikanan pun mulai bergeser ke arah perkebunan rakyat dan pertanian. Bersamaan dengan hal di atas, perkebunan kelapa sawit rakyat pun mulai tumbuh dengan pesat. Perubahan drastis pada bentang alam terjadi pada pertengahan sampai akhir tahun 2000an, akibat mulai beroperasinya perusahaan bubur kayu (pulp) dan kertas. Hutan rawa gambut disekat-sekat dan dibersihkan, kanal-kanal dibangun untuk mengeluarkan air, hutan alam dikonversi dengan relatif cepat menjadi hutan tanaman industri (umumnya Acacia sp) untuk bahan baku bubur kertas. Masyarakat lokal dipaksa untuk keluar dari lahannya karena terkena areal konsesi perusahaan, dan kehilangan akses terhadap tanah dan sumber daya hutan.

Saat ini pertanian merupakan sumber utama dalam pertumbuhan ekonomi lokal khususnya untuk desa-desa yang terletak di dan sekitar lahan gambut di Kabupaten Pelalawan. Perkebunan karet dan kelapa sawit adalah salah satu sumber pemasukan yang paling penting bagi masyarakat lokal. Sebagian besar anggota masyarakat yang diwawancarai selama survei sosial melaporkan memiliki, rata-rata, 2-4 hektar kebun karet dan kelapa sawit, bahkan ada yang memiliki lebih dari 13ha. Walaupun sampai saat ini perkebunan karet masih dominan, namun masyarakat mulai cenderung memilih perkebunan monokultur kelapa sawit, karena lebih menguntungkan dan kebutuhan tenaga kerja yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan komoditas pertanian lainnya. Sementara ini perkebunan kelapa sawit telah menjadi sumber mata pencaharian utama dan berkontribusi terhadap pola pemanfaatan lahan di lokasi studi, namun masih banyak juga masyarakat lokal yang menambah penghasilan dengan menjual sayuran, buah-buahan, beras, ikan, produk hutan non-kayu, hewan ternak, dan produk lainnya buatan lokal.

Kabupaten Katingan:

Sampai dengan akhir tahun 1990an, sebagian besar masyarakat lokal sangat tergantung pada hasil hutan, baik kayu maupun hasil hutan bukan kayu. Masyarakat lokal sangat tergantung pada hasil penjualan kayu, rotan, dan madu serta hasil hutan bukan kayu lainnya. Setelah tahun 2000an, dengan adanya larangan untuk melakukan penebangan kayu (logging), banyak masyarakat lokal mulai berpindah ke sistem perekonomian berbasis lahan. Masyarakat lokal mulai mengolah lahan gambut, membangun sistem drainase (yaitu parit dan kanal), dan kemudian membangun wanatani kebun karet yang biasanya dicampur dengan rotan, nanas, dan pohon buah-buahan. Perladangan padi sendiri telah menjadi mata pencaharian tradisional dan utama untuk sebagian

Page 19: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

19

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

besar masyarakat lokal. Namun, setelah sekali panen biasanya ladang padi ini diubah menjadi kebun karet dan rotan, atau ditinggalkan begitu saja karena tidak ada biaya pengolahan. Lahan yang ditinggalkan kemudian menjadi hutan kembali, diawali dengan tumbuhnya pohon-pohon pionir seperti Galam (Melaleuca sp.) dan tumih (Combretocarpus rotundatus). Meskipun begitu, sebenarnya masyarakat lokal lebih memilih untuk mengolah lahan pertanian di tanah mineral atau gambut yang dangkal, atau kurang dari dua meter. Namun karena keterbatasan kepemilikan lahan, masyarakat lokal mulai membuka lahan-lahan pertanian pada lahan-lahan gambut yang cukup dalam, lebih dari tiga meter.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sebagian besar masyarakat lokal melakukan perladangan berpindah, pertanian subsisten, menanam padi, dan menanam komoditas lainnya seperti karet, rotan dan buah-buahan. Selain itu, mereka pun menjadikan perikanan air tawar, pemungutan hasil hutan non-kayu seperti getah jelutung, kulit kayu Gemor, jamur, madu hutan dan sagu sebagai sumber pendapatan tambahan. Budidaya pohon karet dan rotan merupakan salah satu sumber yang paling penting dari mata pencaharian. Rata-rata, petani karet di lokasi studi memiliki 1-2 hektar lahan, dan menanam sekitar 600 pohon dalam satu hektar lahan, yang akan menghasilkan hingga 1.000 kilogram getah mentah dalam setiap bulan. Menurunnya harga rotan akibat dari kebijakan pemerintah (kebijakan kuota ekspor rotan di bawah Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 36/2009) dan juga adalah praktek monopoli pasar yang dilakukan oleh sebuah perusahaan perdagangan yang berkantor di Sampit, yaitu PT. Sampit telah mengendurkan semangat para petani untuk membudidayakan rotan meski potensi ekonominya sangat baik.

2. Analisa Penginderaan jauh dari Perubahan Tata Guna dan Tutupan Lahan (LULCC)

Kabupaten Pelalawan:

Pada tahun 1990, sebagian besar lahan gambut di Kabupaten Pelalawan masih tertutup oleh hutan rawa rapat. Sekitar 390.397 ha atau 47% dari lahan gambut yang masih dalam kondisi utuh, dan 325.052 ha atau 40% merupakan hutan sekunder. Perubahan yang cukup besar pada lahan gambut terjadi pertama kali sekitar tahun 2000 dan 2005 di mana hutan rawa gambut primer dan sekunder dikonversi menjadi hutan tanaman dalam periode ini.

Bentang alam Kabupaten Pelalawan telah berubah drastis sejak tahun 1990 demi mengakomodasi kebutuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Saat ini hanya ada tersisa sebagian kecil hutan rawa gambut dengan kondisi yang masih alamiah. Hutan tanaman industri untuk bubur kertas (pulp) telah mendominasi bentang alam lokal dengan luas sebesar 241.793 ha. Lahan gambut yang dikonversi untuk kebutuhan perkebunan kelapa sawit, lahan pertanian dan perkebunan rakyat seperti karet, dan lahan pertanian lainnya juga meningkat dengan kecepatan yang cukup mengkhawatirkan. Sampai saat ini, hutan rawa gambut primer yang tersisa sekitar 135.562 ha - 65% dari hutan yang utuh telah menghilang sejak tahun 1990, dan hutan rawa gambut sekunder hanya seluas 180.215 ha.

Page 20: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

20

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar ES6. Ringkasan LULCC (dalam hektar) di lahan gambut Kab. Pelalawan, 1990-2013

Kabupaten Katingan:

Pada tahun 1990, seluas 598.281 ha atau lebih dari 98% lahan gambut di Kabupaten Katingan masih tertutup oleh hutan rawa rapat di mana sekitar 46% terdiri dari hutan rawa gambut primer dan 52% terdiri dari hutan sekunder. Mulai tahun 1973 sampai sekitar 2002, industri kayu merupakan penggerak ekonomi yang utama bagi kabupaten ini, khususnya dalam lokasi studi, dan perusahaan kayu besar atau HPH (Hak Pemanfaatan Hutan-Kayu) sangat mendominasi pemanfaatan hutan. Pada periode yang sama, pembalakan liar juga merajalela dan ini mempercepat laju deforestasi dan degradasi hutan rawa gambut. Pada selang tahun 1990 dan 1995, sekitar 7% dari hutan rawa gambut primer dan 12% hutan sekunder telah berubah menjadi semak belukar dan padang rumput. Hal ini menambah luas areal semak belukar dan padang rumput bertambah sebesar 599%, atau seluas 66.956 ha hutan rawa gambut telah berubah tutupan lahannya. Perubahan tutupan lahan ini dapat teramati lebih jelas pada sisi sebelah timur Sungai Katingan.

Sebagian besar hutan rawa gambut di sisi timur Sungai Katingan telah dicadangkan untuk kawasan hutan lindung dan konservasi sebagai wilayah penunjukan Taman Nasional Sebangau pada tahun 2004. Kemudian pada tahun 2008, di bagian barat Sungai Katingan pun telah dicadangkan untuk Restorasi Ekosistem oleh Departemen Kehutanan. Walaupun pemerintah telah berinisiatif untuk melakukan kegiatan seperti perlindungan hutan dan konservasi, seperti menetapkan Taman Nasional Sebangau dan juga menetapkan Restorasi Ekosistem, kenyataannya hutan rawa gambut masih terus berkurang dalam kedua wilayah tersebut.

Page 21: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

21

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Saat ini, 518.704 ha atau 85% dari lahan gambut Katingan masih tertutup oleh hutan meskipun 60% dari hutan primer yang ada pada tahun 1990 sudah rusak berat atau dikonversi ke pemanfaatan lain untuk mengakomodasi kebutuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk di kabupaten ini. Perkebunan kelapa sawit mulai dikembangkan di kabupaten ini. Ada sekitar seluas 1.305 ha lahan gambut yang terletak dekat Desa Baun Bango di Kecamatan Kamipang. Kepentingan investor dan juga masyarakat lokal telah mempercepat pembangunan kebun kelapa sawit. Akibatnya, konversi lebih lanjut dari hutan rawa gambut yang tersisa mungkin akan sulit dihindari. Gambar ES7 menunjukkan ringkasan LULCC pada lahan gambut di Kabupaten Katingan, analisa dilakukan dalam selang tahun 1990-2013.

Gambar ES8. Ringkasan LULCC (dalam hektar) di lahan gambut Kab. Katingan, 1990-2013

Page 22: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

22

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Bagian C: PERUBAHAn IKLIM DAn POTEnSI DAMPAK

TERHADAP LAHAn GAMBUT Studi ini mempelajari pola sejarah perubahan iklim, kejadian-kejadian iklim yang ekstrim, dan proyeksi iklim di masa depan untuk Kabupaten Pelalawan dan Katingan. Informasi iklim yang ditampilkan dalam bagian ini merupakan hasil analisa data iklim dari Globally Gridded Data dan Surface Observation Data. Sumber dari Globally Gridded Data adalah grid time-series (TS) versi 3.20 dari Climatic Research Unit (CRU) Universitas East Anglia . Sedangkan Surface Observation Data diperoleh dari Badan Meteorologi regional, Badan Meteorologi, Klimatologi Dan Geofisika Hidrologi (BMKG) yang berlokasi di Pekanbaru dan Sampit. Dalam studi ini, hanya data rata-rata curah hujan dan suhu harian (nilai sebenarnya, bukan anomali) yang digunakan dalam analisa perubahan iklim, baik di Kabupaten Pelalawan juga Kabupaten Katingan. Kejadian esktrem pada masa lalu pada iklim dianalisa dengan menggunakan dataset dari CRU TS. Studi ini juga menghitung fungsi kepadatan probabilitas (Probability Density Function) dan fungsi densitas kumulatif (Cumulative Density Function) untuk memperkirakan peluang terjadinya kejadian ekstrim di lokasi studi.

1. Observasi Pola Iklim dan Kejadian Ekstrim Pada Masa Lalu (1950-2011)

Kabupaten Pelalawan:

Berdasarkan hasil pengamatan temperatur dan pola curah hujan untuk Kabupaten Pelalawan telah menunjukkan variasi yang besar pada pola iklim setempat sejak tahun 1950. Secara rata-rata suhu udara telah menunjukkan pola peningkatan sebesar 1,33° C dan pola curah hujan pun menunjukkan kecenderungan adanya peningkatan kejadian anomali (yaitu, lebih sering terjadi kondisi ekstrim seperti kekeringan dan kejadian banjir) dalam periode 1950-2011. Dalam lokasi studi, kejadian ekstrim ini tidak hanya lebih sering namun juga dengan intensitas yang meningkat. Gambar ES9 menunjukkan kecenderungan perubahan dari temperatur dan curah hujan di Pelalawan.

Gambar ES9. Pola temperatur (kiri) dan curah hujan (kanan) dari 1950 sampai 2011 di Kabupaten Pelalawan

Kabupaten Pelalawan sangat rentan terhadap bencana alam terkait dengan perubahan iklim seperti banjir, kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan gambut. Perubahan peningkatan suhu yang drastis jelas teramati sejak tahun 1990an. Peningkatan suhu udara yang semakin panas dan kejadian-kejadian bencana alam, seperti banjir, kebakaran hutan pada musim kemarau yang panjang dan banjir besar serta badai pada musim hujan pun dilaporkan oleh masyarakat lokal pada saat dilaksanakan

Page 23: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

23

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

proses FGD di tingkat desa. Banyak lahan petani mengalami kebakaran di ladang dan kebun mereka, terutama selama El Niño, yang mengakibatkan hilangnya kesempatan memperoleh hasil panen pada musim tersebut.

Sebagian masyarakat lokal juga telah menyadari adanya perubahan tinggi muka air sungai dan anak sungainya yang lebih kentara. Intrusi air laut pun diamati oleh beberapa anggota masyarakat di daerah tersebut, yang mungkin sebagai akibat dari turunnya muka air sungai dan perubahan pola curah hujan. Hal ini berpotensi menimbulkan ancaman signifikan terhadap ekosistem lahan gambut di daerah itu. Lebih jauh lagi, produktivitas dan hasil panen pertanian juga bisa menurun drastis karena proses salinasi lahan gambut.

Kabupaten Katingan:

Lain halnya dengan di Kabupaten Pelalawan, di Kabupaten Katingan kecenderungan peningkatan suhu rata-rata tercatat sebesar 0,58° C selama periode tahun 1950-2011. Namun perlu diperhatikan bahwa ada kecenderungan penurunan dalam beberapa tahun terakhir, khususnya selama periode tahun 1997 dan 2012. Pola variasi suhu di Katingan adalah berbeda dari wilayah Pelalawan, yang menunjukkan tren naik yang terlihat selama dua dekade terakhir. Gambar ES10 menunjukkan kecenderungan temperatur dan curah hujan di Katingan.

Gambar ES10. Pola temperatur (kiri) dan curah hujan (kanan) dari tahun 1950 sampai 2011 di Katingan

Mirip dengan Pelalawan, Kabupaten Katingan sangat rentan terhadap bencana alam yang terkait dengan perubahan iklim seperti banjir, kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan gambut. Kejadian kebakaran hutan dan lahan gambut pada musim kemarau, serta banjir dan badai pada musim hujan. Suhu udara lebih panas dan perubahan tingkat air permukaan di sungai dan anak sungai juga terlihat di daerah tersebut.

2. Proyeksi Iklim

Proyeksi iklim ekstrim dianalisa dengan menggunakan hasil keluaran bulanan dari Global Circulation Model (GCM). Pola kecenderungan suhu selama 40 tahun terakhir telah menunjukkan adanya peningkatan yang terus-menerus dengan rata-rata kenaikan sebesar 1,37° C untuk Pelalawan dan 1,28° C untuk Katingan. Proyeksi untuk curah hujan 2011-2050, di sisi lain, tidak menunjukkan kecenderungan adanya peningkatan yang signifikan untuk Pelalawan, sebaliknya terjadi kecenderungan penurunan untuk Kabupaten Katingan. Namun demikian, hasil analisa dari PDF dan CDF telah menunjukkan pola frekuensi curah hujan dan intensitas curah hujan tinggi yang akan cenderung meningkat di masa depan untuk kedua kabupaten lokasi studi. Hal ini mungkin saja akan menyebabkan kejadian banjir yang lebih sering di masa mendatang.

Page 24: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

24

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

3. Dampak Potensial dari Perubahan Iklim

Lahan gambut sangat rentan terhadap bencana alam yang terkait dengan perubahan iklim, seperti banjir, kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan gambut. Di Kabupaten Pelalawan, terjadi peningkatan kejadian kebakaran hutan dan gambut yang bertambah parah dengan adanya musim kemarau yang panjang dan gelombang panas, sedangkan pada selama musim hujan kejadian banjir parah dan badai pun meningkat. Demikian pula dengan Kabupaten Katingan, diperkirakan akan mengalami kenaikan suhu udara dengan tingkat curah hujan lebih rendah selama beberapa dekade mendatang. Curah hujan berkurang dan suhu yang lebih tinggi juga dapat meningkatkan resiko kebakaran lahan gambut dan bencana terkait iklim lainnya.

Perubahan iklim sangat mungkin menjadi pemicu dampak merugikan bagi lingkungan, ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat yang tinggal di atau di sekitar lahan gambut di Pelalawan dan Kabupaten Katingan (Gambar ES11). Musim yang tak bisa diprediksi serta kejadian cuaca ekstrim menjadi beban berat bagi masyarakat lokal. Banjir dan badai juga dapat merusak tanaman pertanian mereka dan menyebabkan kerugian ekonomi. Kebakaran gambut juga menimbulkan risiko ekonomi dan kesehatan secara langsung kepada masyarakat lokal, sebagai contoh adalah kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi di beberapa provinsi di pulau Sumatera dan Kalimantan pada 1997-1998, dan baru-baru ini di Provinsi Riau pada bulan Juni 2013.

Gambar ES11. Dampak potensial dari perubahan iklim

Page 25: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

25

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Bagian D: PEnGGUnAAn DATA TInGGI MUKA AIR TAnAH

BERBASIS SATELIT UnTUK MEnGESTIMASI EMISI CO2 BERSIH DARI LAHAn GAMBUT

GWT (Ground Water Table) adalah salah satu parameter kunci untuk memahami siklus karbon dalam sistem lahan gambut. Oleh sebab itu, pemantauan dan pencatatan fluktuasi GWT sangat penting untuk dapat mengukur emisi bersih CO2. Terkait dengan hal tersebut, dalam penelitian ini ada dua metodologi yang diuji, yaitu: 1) mengestimasi emisi bersih CO2 berbasis satelit dengan menggunakan teknik eddy kovarians untuk estimasi CO2 digabungkan dengan data hasil pengukuran GWT di Kabupaten Pelalawan dan Katingan, dan 2) memperkirakan laju volume pengeringan/pengurasan air tanah lahan gambut menuju kanal dengan skenario maksimal dan minimal.

1. Estimasi emisi CO2 bersih berbasis satelit

Menghitung nilai Net Ecosystem Exchange (NEE) CO2 bersih adalah kunci agar dapat menjelaskan peran ekosistem lahan gambut dalam siklus karbon global. Nilai NEE tahunan dalam ekosistem lahan gambut dapat diestimasi dengan GWT data, karena diasumsikan ada hubungan langsung (linear) antara nilai NEE di atmosfer dan Ground Water Level (GWL) (Hirano, et. Al., 2012). Nilai NEE dapat diestimasi dengan persamaan berikut:

NEE = RE – GPP

di mana:

RE = Ecosystem Respiration

GPP = Gross Primary Production (ecosystem photosynthesis)

Nilai NEE positif mengindikasikan proses pelepasan fluks CO2 bersih ke atmosfir, sedangkan nilai negatif mengindikasikan penyerapan CO2 bersih oleh ekosistem. Nilai RE akan meningkat seiring naiknya suhu tanah, dan menurun ketika nilai GWT naik. Nilai NEE untuk sub tipe ekosistem di lahan gambut diuraikan dalam tabel berikut:

Persamaan (model) untuk menghitung nilai NEE saat ini baru tersedia untuk tiga sub-tipe ekosistem lahan gambut, yaitu Undrained PSF (UF), Drained Secondary PSF (DF) dan Drained and Burnt Peatland (DB) sehingga dalam penelitian ini beberapa kelas tutupan hutan yang ada di lokasi studi (yaitu, hutan rawa gambut primer, hutan rawa gambut sekunder, dan semak-semak rawa gambut dan padang rumput) diklasifikasi ke dalam ketiga sub-tipe ekosistem di atas (UF, DF dan DB) dengan resolusi spasial 1/30 x 1 / 30 derajat, atau 13,7 km2 per pixel. Akibat dari keterbatasan model ini, tutupan lahan lainnya seperti perkebunan kelapa sawit dan pertanian telah dikeluarkan dari perhitungan. Ketika beberapa tutupan lahan berada dalam satu pixel, maka tutupan lahan yang menempati lebih dari 50% akan dipilih sebagai tipe kelas untuk untuk pixel tersebut (lihat Gambar ES12).

Page 26: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

26

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar ES12. Area lahan gambut yang sudah diklasifikasi dengan tingkat gangguan yang berbeda

Karena keterbatasan data empiris GWT dari lokasi studi, maka dalam studi ini digunakan data rata-rata harian GWL untuk mengestimasi nilai NEE bukan data rata-rata GWT tahunan. Nilai rata-rata harian NEE diestimasi berdasarkan model yang diuraikan dalam Tabel D1. Nilai rata-rata GWT harian yang dikumpulkan dari setiap klasifikasi tutupan lahan kemudian dimasukkan ke dalam persamaan sehingga nilai rata-rata NEE dapat diperkirakan, selanjutnya dikalikan dengan luas wilayah sub-tipe ekosistem untuk mengetahui nilai NEE pada tingkat sub-tipe ekosistem.

Emisi CO2 bersih dari masing-masing sub-tipe ekosistem lahan gambut diestimasi berdasarkan dari nilai rata-rata harian NEE (gC/m2) yang diakses pada tanggal 1 September 2013. Ukuran total sampel UF, DF dan DB dalam piksel untuk Kabupaten Pelalawan secara berurutan adalah 90, 101 dan 16, dan 80, 277 dan 43 untuk Kabupaten Katingan. Gambar ES13 menunjukkan hasil estimasi emisi CO2 bersih dari lokasi studi: a) Kabupaten Pelalawan, dan b) Kabupaten Katingan. Korelasi linear antara rata-rata emisi CO2 bersih (dinyatakan dalam nilai NEE) dan fluktuasi GWT dari berbagai sub-tipe kelas lahan gambut ditampilkan dengan jelas. Di semua lokasi sampel latihan, emisi CO2 bersih meningkat seiring dengan turunnya GWL.

a) Pelalawan

Page 27: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

27

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar ES13. Hubungan antara nilai emisi rata-rata harian CO2 bersih (NEE gC/m2) dan

GWL (cm) dari berbagai sub-tipe ekosistem

Pada lokasi UF (hutan rawa gambut primer), nilai GWL -6 cm merupakan nilai batas antara keadaan nilai NEE negatif (penyerapan) dan nilai NEE positif (emisi). Sedangkan pada lokasi DF (hutan rawa gambut sekunder), emisi CO2 bersih terjadi ketika nilai GWL lebih rendah dari -31 cm. Nilai NEE positif terjadi secara permanen pada lokasi DB (semak dan padang rumput rawa gambut), meskipun dari model yang digunakan untuk mengestimasi nilai NEE tidak menunjukkan adanya korelasi yang signifikan untuk DB (P = 0,11) (lihat Bagian D2.1.). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi UF memiliki rata-rata emisi CO2 bersih lebih besar dari DF dengan menurunya nilai GWL. Penjelasan lebih jauh mengenai hal kejadian di atas diperlukan penelitian lebih jauh. Berdasarkan penjelasan di atas, maka perlindungan hutan rawa gambut primer dan pemeliharaan GWT harus diprioritaskan untuk mengurangi emisi CO2 di daerah penelitian.

2. Estimasi volume pengeringan dari lahan gambut menuju kanal

Pemodelan pengeringan hidrologis lahan gambut pada lokasi studi diuji dengan menggunakan program MODFLOW yang dikembangkan oleh US Geological Survey (USGS). Tiga parameter input dibuat sebelum menjalankan aplikasi MODFLOW agar mendapatkan estimasi pola aliran air tanah pada lokasi penelitian (Gambar ES14).

Geomorfologi pada lokasi studi dan hubungannya dengan daerah tutupan rawa serta air permukaan ditentukan berdasarkan interpretasi citra Landsat TM dan data citra satelit Alos Aster dan dilakukan paralelipiped supervised classification. Lapisan gambut dievaluasi untuk memberikan

Gambar ES14. Alur kerja pemodelan pengeringan hidrologis di lahan gambut

b) Katingan

Page 28: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

28

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

batas vertikal dari akuifer dalam pemodelan hidrologi. Data ketebalan gambut yang telah diverifikasi digunakan untuk mengembangkan model kontur gambut. Parameter kunci, serta nilai K dan Sy, kemudian dikembangkan untuk menjalankan aplikasi MODFLOW. K merupakan permeabilitas atau konduktivitas hidrolik, yang menunjukkan bagaimana air tanah cepat bergerak di dalam lapisan gambut, sedangkan Sy mewakili storativity atau Specific yield, yang menunjukkan volume air yang dikeluarkan dari air tanah akuifer (dalam hal ini adalah gambut) per unit areal permukaan. Kemudian, laju aliran air tanah dihitung dengan mempertimbangkan garis kontur lahan gambut, ukuran kanal, area basah, dan kemiringan lahan kanal.

Nilai Permeabilitas atau Konduktivitas hidrolik (K values) untuk tujuan studi ini ditentukan sebagai berikut:

• 10e-7 meter per detik untuk akuifer gambut

• 10e-9 meter per detik untuk lapisan-lapisan impermeabel

Storativity or specific yield dari lapisan gambut (Sy values) untuk tujuan studi ini ditentukan sebagai berikut:

• 2.75 untuk akuifer gambut di Pelalawan

• 1.79 untuk akuifer gambut di Katingan

• 0.002 untuk lapisan-lapisan impermeabel

Tabel berikut menyajikan hasil estimasi maksimum dan minimum dari volume pengeringan air tanah dihitung berdasarkan ukuran kanal yang berbeda.

Dalam skenario maksimum, estimasi volume/laju pengurasan air tanah dari lahan gambut berkisar antara 2,67 m3 dan 83,1 m3 per detik, dan dalam skenario minimum, 1,34 m3 dan 41,55 m3 per detik. Ini berarti bahwa variasi ukuran dari kanal mempengaruhi volume pengurasan gambut, yang mana juga berdampak juga kepada tinggi air tanah di daerah pembasahan langsung. Pengaruh pembangunan kanal memainkan peran penting dalam memperkirakan emisi CO2 bersih yang diestimasi berdasarkan fluktuasi GWT. Dengan demikian, hubungan secara hidrologis antara volume pengeringan air tanah dan emisi CO2 penting untuk diteliti lebih lanjut di masa depan.

Page 29: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

29

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Bagian E: MEnUjU PEnGELOLAAn LAHAn GAMBUT

BERKELAnjUTAn Penelitian ini menyediakan metodologi berbasis ilmu pengetahuan, dan pendekatan empiris dan konseptual untuk kebutuhan dan potensi mitigasi perubahan iklim pada areal lahan gambut di Kabupaten Pelalawan dan Katingan. Karena dampak dari perubahan iklim bervariasi untuk setiap daerah sehingga menjadi penting untuk menggabungkan metodologi ilmiah yang akurat dengan strategi mitigasi praktis ke dalam kebijakan iklim di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten. Rekomendasi secara umum dan spesifik wilayah dituliskan untuk menyimpulkan laporan ini.

1. Peta lahan gambut yang akurat dan perencanaan spasial

Mengembangkan sebuah peta lahan gambut untuk seluruh Indonesia yang akurat, terintegrasi, transparan dan konsisten yang dikerjakan secara kolaboratif oleh berbagai lembaga merupakan sebuah hal yang sangat penting agar dapat, secara efektif, menjalankan kebijakan, peraturan dan strategi pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan. Peta lahan gambut tersebut kemudian dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat perencanaan dan pembuatan zonasi penggunaan lahan yang rendah emisi baik pada tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional.

Penelitian ini menyajikan:

• Sebuah metodologi ilmiah yang ketat namun praktis untuk pemetaan lahan gambut, yang dapat direplikasi di daerah-daerah lahan gambut lainnya di seluruh Indonesia;

• Peta lahan gambut baru untuk Kabupaten Pelalawan dan Katingan dengan akurasi yang lebih besar; dan

• Sebuah database kedalaman gambut terbaru dengan tambahan 101 data dan 197 sampel gambut yang telah dianalisa karakteristik kimia dan fisikanya.

Kebutuhan dan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut:

Secara umum :

• Penyempurnaan Model Shimada (atau penggunaan kombinasi model yang berbeda) agar dapat mengestimasi kedalaman gambut di daerah tidak berhutan;

• Penerapan secara formal standar metodologi yang disepakati bersama mengenai pemetaan lahan gambut di Indonesia.

Untuk Pelalawan :

Pemeriksaan lapangan dan pengukuran kedalaman gambut di sepanjang batas lahan gambut dan di lahan gambut dengan strata dangkal (yaitu, 0,5-4 m) menggunakan metodologi yang telah disepakati.

Untuk Katingan :

Pemeriksaan lapangan dan pengukuran kedalaman gambut di sepanjang batas lahan gambut dan di lahan gambut dengan strata yang lebih dalam (yaitu, 8 m ke atas) menggunakan metodologi yang telah disepakati.

Page 30: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

30

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

2. Perlindungan lahan gambut tersisa

Ancaman utama untuk ekosistem lahan gambut dan hutan rawa gambut adalah konversi lahan gambut menjadi penggunaan lainnya seperti perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman (misalnya, akasia), perkebunan tanaman non-pangan (misalnya, karet), dan/atau menjadi lahan pertanian. Dalam rangka untuk mengurangi tekanan ekologis dan emisi gas rumah kaca dari konversi lahan gambut, pemerintah harus melindungi lahan gambut yang tersisa melalui kebijakan yang efektif dan keterlibatan multi-pihak.

Penelitian ini menyajikan:

• Dinamika penggunaan lahan dan tutupan lahan perubahan lahan gambut di Kabupaten Pelalawan dan Katingan 1990-2013;

• Penggerak utama dari deforestasi dan degradasi hutan rawa gambut

Kebutuhan dan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut:

Secara umum:

• Pembatasan pengembangan perkebunan baru di lahan gambut setelah moratorium (Inpres No 6/2013) pada hutan primer dan lahan gambut; yang mana akan berakhir dalam dua tahun ke depan, atau tahun 2015;

• Penegakan undang-undang dan peraturan tentang pembalakan liar dan konversi, perambahan, dan pembakaran di lahan gambut;

• Perencanaan dan zonasi tata ruang yang efektif dengan partisipasi masyarakat untuk mencegah perkembangan perkebunan rakyat di lahan gambut;

• Tukar guling lahan untuk merelokasi konsesi-konsesi yang baru dan berjalan di atas lahan gambut ke lahan terdegradasi.

• Mempromosikan ekosistem restorasi pada lahan gambut.

Untuk Pelalawan:

Mengidentifikasi peluang-peluang untuk tukar guling lahan bagi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (pulpwood).

Untuk Katingan:

• Menjalankan restorasi ekosistem pada lahan gambut dalam hutan produksi.

• Meningkatkan pengelolaan Taman Nasional Sebangau.

3. Praktek-praktek terbaik dalam pengelolaan lahan gambut

Selain perlindungan lahan gambut yang tersisa melalui berbagai tindakan hukum seperti yang disajikan di atas, praktek terbaik dalam pengelolaan lahan gambut harus dikembangkan dan dikomunikasikan diantara para pemangku kepentingan dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca dan juga tekanan sosial-ekologis lainnya. Praktik terbaik ini harus berlandaskan kepada ilmu pengetahuan, secara sosial-budaya dapat diterima, ramah lingkungan dan layak secara finansial, serta menggabungkan pengalaman dari para ahli dan masyarakat lokal.

Page 31: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

31

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Penelitian ini menyajikan:

• Metodologi berbasis satelit untuk mengestimasi emisi CO2 yang berdasarkan kepada fluktuasi tinggi muka air (GWT) pada berbagai tipe tutupan lahan;

• Pengukuran GWT secara terus-menerus di tiga titik lokasi dalam Kabupaten Pelalawan dan tiga titik lokasi di Kabupaten Katingan;

• Kerangka teoritis mengenai skenario trade-off, sebuah keadaan seimbang antara pengurangan emisi CO2 dari berbagai tutupan lahan dalam ekosistem lahan gambut dan tingkat pengembangan ekonomi yang optimal, misal dalam bidang pertanian;

• Model hidrologi untuk mengestimasi besaran pengeluaran air melalui kanal dan parit di lahan gambut.

Kebutuhan dan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut:

Secara umum:

• Mengembangkan model trade-off berbasis ilmu pengetahuan, yang dapat menunjukkan tingkat GWT secara optimal dalam arti cukup rendah sehingga menjamin produksi lahan pertanian namun cukup tinggi untuk dapat mencegah proses oksidasi dan dekomposisi gambut;

• Penelitian secara berkelanjutan mengenai hubungan antara GWT dan emisi CO2, serta dengan hasil panen dari tanaman pertanian dan perkebunan;

• Penelitian ilmiah mengenai hubungan hidrologis antara volume pengurasan air tanah dengan emisi CO2;

• Pengembangan metode pemantauan pengatusan lahan gambut untuk mempertahankan GWT pada tingkat optimal;

• Pemilihan tanaman pertanian dan perkebunan yang sesuai dan tahan terhadap lahan gambut;

• Pengelolaan lahan gambut secara kolaboratif berdasarkan kesepakatan multi- pihak dalam rangka mengurangi resiko konflik sosial, perambahan dan praktek yang tidak berkelanjutan.

Untuk Pelalawan:

• Intensifikasi pertanian dan perbaikan pengelolaan lahan untuk meningkatkan hasil lahan pertanian dan perkebunan per hektar, sembari mempertahankan GWT pada tingkat optimal;

• Memperbaiki pengelolaan kegiatan budidaya air dan perikanan skala kecil.

Untuk Katingan:

• Pengembangan mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan secara ekologi dan sosio-ekonomi (seperti: Hasil hutan bukan kayu, hasil-hasil wanatani, perikanan skala kecil dan budidaya air, dan ekowisata);

• Perbaikan pengelolaan lahan untuk meningkatkan hasil dari sawah dan komoditas wanatani per hektarnya, sembari mempertahankan GWT pada tingkat optimal

Page 32: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

32

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

4. Pencegahan kebakaran di lahan gambut

Kebakaran lahan gambut biasanya terjadi karena praktik-praktik penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan, dan merupakan salah satu penyebab utama deforestasi besar-besaran dan degradasi lahan gambut, dan menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang negatif. Kebakaran hampir selalu terjadi pada musim kemarau di lahan gambut tak berhutan dan/atau terdegradasi. Pencegahan kebakaran lahan gambut sangat penting sebagai bagian dari pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dan juga mitigasi emisi gas rumah kaca.

Penelitian ini menyajikan:

Peluang dari penggunaan informasi GWT berbasis satelit sebagai deteksi dini kebakaran lahan

Kebutuhan dan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut:

Secara umum:

• Pengembangan metodologi pemetaan titik titik api (hot spot) yang menggunakan data GWT berbasis satelit dan Sensor satelit seperti Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS), sebagai sebuah sistem peringatan dini dan pelaporan;

• Pemantauan GWT di daerah-daerah yang rentan kebakaran, khususnya pada musim kemarau;

• Studi mengenai metode yang efektif untuk melakukan pembersihan lahan untuk pertanian;

• Peningkatan kesadaran dan kapasitas petani kecil akan pencegahan, pengawasan dan dampak dari kebakaran hutan.

Untuk Pelalawan:

• Penegakan hukum untuk mengatur penggunaan api dalam penyiapan lahan perkebunan;

• Berkolaborasi dengan pelaku industri konsesi HTI untuk mengawasi pengatusan lahan gambut sampai tingkat optimal (dibahas pada bagian E2.3.).

Untuk Katingan:

Membuat tanggul-tanggul (tabat) kecil untuk mencegah pengatusan lahan gambut dan mempertahankan tinggi GWT di Taman Nasional Sebangau dan di lokasi restorasi ekosistem.

5. Restorasi ekosistem lahan gambut

Selain melakukan pencegahan terhadap konversi lahan gambut, pengatusan dan kebakaran lahan, penting juga untuk melakukan restorasi terhadap lahan gambut yang sudah terdegradasi. Restorasi ini perlu dilakukan dalam rangka untuk membalik arah proses deforestasi dan dari berkurangnya secara cepat ekosistem lahan gambut yang tersisa. Kegiatan restorasi mau tidak mau akan memberikan dampak sosial ekonomi pada masyarakat yang tinggal di sekitarnya, dan oleh karena itu kegiatan ini harus direncanakan dan dilaksanakan melalui pendekatan partisipatif.

Page 33: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

33

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Penelitian ini menyajikan:

Analisa tata guna dan tutupan lahan yang dapat digunakan sebagai rujukan lokasi lahan-lahan kritis untuk kegiatan restorasi ekosistem lahan gambut, baik di Kabupaten Pelalawan maupun Katingan

Kebutuhan dan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut:

Secara umum:

• Peningkatan kesadaran dan kapasitas mengenai pentingnya lahan gambut melalui penelitian yang berkelanjutan dan pengembangan ilmu pengetahuan;

• Pengembangan tehnik silvikultur dan regenerasi alamiah terbantu untuk spesies asli di lahan gambut.

Untuk Pelalawan:

• Pengembangan zona penyangga disekeliling HTI yang dikelola secara kolaboratif dengan masyarakat lokal;

• Penzonasian yang efektif, konservasi dan pemantauan terhadap hutan dan spesies yang bernilai konservasi tinggi dalam kawasan perkebunan atau HTI.

Untuk Katingan:

• Pembasahan gambut dan pelaksanaan penataan air secara efektif;

• Reforestasi di areal bukan hutan dan pengayaan di areal terdegradasi dengan spesies asli;

• Pengembangan zona penyangga yang dapat dikelola sebagai hutan masyarakat;

• Perlindungan dan regenerasi terbantu dari spesies yang memiliki NKT (nilai konservasi tinggi).

Page 34: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

34

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Page 35: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

35

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Pendahuluan 1. Latar Belakang dan Tujuan

Perubahan iklim dan emisi gas rumah kaca (GRK) yang disebabkan oleh aktivitas penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (LULUCF) semakin terasa pada tataran global. Indonesia termasuk ke dalam lima negara teratas dalam emisi gas rumah kaca, dan merupakan sumber penyumbang emisi terbesar ketiga di dunia selama beberapa tahun terakhir, khususnya pada tahun 2005 dan 2009 (UNEP,2012). Pada tahun 2005, 85% dari total emisi yang dihasilkan di Indonesia berasal dari LULUCF dan lahan gambut, 41% dari total 85% tersebut merupakan emisi dari lahan gambut yang kaya karbon (DNPI, 2010).

Lahan gambut merupakan susunan bahan organik dengan konsentrasi tinggi, termasuk juga di dalamnya adalah bagian-bagian daun, akar dan ranting tumbuhan yang telah membusuk sebagian atau keseluruhan, dengan kondisi selalu terendam air dan anaerobik. Dalam kondisi alaminya, lahan gambut dapat berfungsi sebagai pengatur kandungan kadar air dan mengendalikan fluktuasi air sepanjang musim yang berbeda. Hal ini menunjang fungsi dasar dari gambut termasuk pengaturan aliran air, mencegah kebakaran lahan gambut, mempertahankan unsur hara dari tanah gambut, penyediaan air bersih, dan menjaga keanekaragaman hayati yang sangat unik dan kaya tetap lestari.

Meskipun gambut memiliki fungsi ekologis yang sangat penting, tetap ada peningkatan kepentingan untuk mengkonversi lahan gambut menjadi lahan pertanian dan perkebunan di Indonesia. Konversi ini akan mempercepat laju degradasi lahan gambut yang juga akan mempercepat laju dekomposisi material organik yang secara alamiah (tanpa gangguan) pun sudah terdekomposisi. Degradasi lahan gambut di Indonesia seringkali dikaitkan atau berujung dengan alih fungsi hutan, penggundulan hutan dan kebakaran gambut.Pengatusan gambut akibat pembangunan kanal dan parit untuk irigasi dan transportasi menurunkan kedalaman muka air tanah dan mengakibatkan hilangnya kesatuan hidrologi, peningkatan oksidasi gambut, dan menurunkan tingkat permukaan tanah atau subsidensi. Aktivitas pengrusakan gambut ini kemudian akan melepaskan GRK ke atmosfer dalam jumlah besar, dan memicu terjadinya perubahan iklim.

Menyadari bahwa kebijakan dan tindakan yang terkait dengan emisi gas rumah kaca dari lahan gambut berdasarkan kepada analisis ilmiah sangat penting, maka Indonesia Climate Change Center (ICCC) berupaya untuk memberikan kontribusi yang mengacu kepada hasil studi ilmiah untuk proses pengembangan kebijakan dalam dua bidang utama, yaitu: 1) Sebuah sistem pengelolaan tata air dalam kegiatan pemanfaatan lahan gambut, dan 2) Praktik pengelolaan penggunaan lahan gambut yang rendah emisi dalam berbagai sektor. Lokasi studi ICCC meliputi dua kabupaten – Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah.

Untuk mencapai tujuan-tujuan program tersebut, ICCC menugaskan kepada Mazars Starling Resources (MSR) untuk melaksanakan studi ilmiah mengenai metodologi-metodologi yang terkait dengan lahan gambut dengan topik-topik sebagai berikut:

KAjIAn DEFInISI LAHAn GAMBUT DAn PEMETAAn LAHAn GAMBUT

Page 36: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

36

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

• Melakukan studi metodologi mengenai pemetaan lahan gambut;

• Mengembangkan peta lahan gambut yang lebih akurat untuk Pelalawan dan Kabupaten Katingan;

• Menyusun rekomendasi model pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara pengurangan emisi gas rumah kaca dan kebutuhan sosial-ekonomi; dan

• Membangun kolaborasi dengan universitas nasional dan internasional, LSM, dan masyarakat lokal untuk saling bagi tukar pengetahuan dan memfasilitasi peningkatan kapasitas.

2. Lokasi Studi dan Luas Kabupaten

Lokasi studi berada di dua wilayah, yaitu Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia. (Gambar 1)

Gambar 1. Lokasi studi dan luas kabupaten

2.1. Gambaran Umum Kabupaten Pelalawan

Pelalawan mempunyai luas wilayah sebesar 1.392.494 hektar (ha) atau sekitar 14,73% dari total luas Provinsi Riau. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Siak di Utara, Kecamatan Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir di Selatan, dan Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu di barat, kemudian Karimun, Kepri dan Kabupaten Bengkalis di timur. Dari total luas kabupaten, sekitar 536.000 ha atau 40%-nya merupakan lahan gambut. Kemudian dari total 12 kecamatan di kabupaten ini, ada 5 kecamatan yang terletak di lahan gambut, yaitu Kecamatan Kerumutan, Teluk Meranti, Pelalawan dan Kuala Kampar. Kabupaten Pelalawan beriklim tropis, dengan curah hujan tahunan rata-rata 219,65 milimeter (mm) dan suhu udara rata-rata 27.22 derajat Celsius (° C) pada tahun 2012. Total populasi di lahan gambut pada tahun 2011 adalah 44.469 (Gambar 2).

Pelalawan District (1,392,494 ha)

Katingan District (1,750,000 ha)

Page 37: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

37

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar 2. Peta sebaran populasi di lahan gambut dalam Kabupaten Pelalawan

2.2. Gambaran Umum Kabupaten Katingan

Kabupaten Katingan memiliki luas 1.750.000 ha, atau 11,4% dari total ukuran Provinsi Kalimantan Tengah. Katingan berbatasan dengan Kalimantan Timur dan Barat di Utara, Laut Jawa di sebelah selatan, Kabupaten Kotawaringin Timur di sebelah barat, dan Kabupaten Pulang Pisau di timur. Sekitar 643.800 ha atau 38% dari kabupaten merupakan lahan gambut. Dari 13 Kecamatan, 4 kecamatan terletak di areal lahan gambut yaitu Tasik Payawan, Kamipang, Mendawai dan Kecamatan Katingan Kuala. Kabupaten ini beriklim tropis, dengan curah hujan tahunan rata-rata 329 mm dan suhu udara rata-rata 26,9° C pada tahun 2012. Total populasi di lahan gambut pada tahun 2011 adalah 69.330 (Gambar 3).

Gambar 3. Peta sebaran populasi di lahan gambut dalam Kabupaten Katingan

Page 38: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

38

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

3. Definisi dan Klasifikasi

3.1. Definisi

Dalam studi ini, definisi-definisi yang digunakan adalah sebagai berikut:

• Lahan gambut didefinsikan sebagai “sebuah lahan yang merupakan akumulasi dari material organik terdekomposisi sebagian dengan kandungan kadar abu sama atau kurang dari 35%, kedalaman gambut sama atau kurang dari 50cm, dan kandungan karbon organik (berat) sekurang-kurangnya 12%” (ICCC, 2012).

• Ketebalan atau kedalaman gambut adalah jarak vertikal dari permukaan tanah sampai lapisan substratum (tanah mineral) di bawah lapisan gambut.

• Tata Guna Lahan merujuk kepada pola pengelolaan dan aktivitas manusia dalam kelas tutupan lahan.

• Tutupan Lahan merujuk kepada jenis biofisik dari tutupan permukaaan lahan atau tanah (FAO, 2000).

3.2. Klasifikasi

Tabel 1 menyajikan LULC klasifikasi dan deskripsi, dan Tabel 2 menunjukkan kategori kedalaman gambut diterapkan dalam penelitian ini. Kategori kedalaman gambut yang digunakan dalam studi ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran lebih detil untuk tujuan mitigasi perubahan iklim, dan tidak selalu merujuk kepada kedalaman ambang-batas 3m. Sebagaimana diketahui, gambut dengan kedalaman lebih dari 3m dilarang untuk dimanfaatkan untuk penggunaan lain berdasarkan peraturan pemerintah Indonesia.

Tabel 1. Klasifikasi tata guna dan tutupan lahan

No Tutupan Lahan Penjelasan

1 Hutan rawa gambut primer

Hutan rawa gambut yang masih utuh tanpa ada jejak jalur penebangan, jaringan drainase air atau sejarah kebakaran hutan. Hutan dengan vegetasi tinggi, kanopi yang tidak merata,dan spesies pohon campuran.

2 Hutan rawa gambut sekunder

Hutan rawa gambut dengan sejarah penebangan, jalur penebangan dan/atau jaringan drainase air dan parit. Vegetasi hutan telah terganggu dengan hanya beberapa pohon mencapai DBH 50 cm dalam tipe hutan ini. Spesies pohon campuran.

3Padang rumput dan semak rawa gambut

Daerah terbuka dengan vegetasi rendah (1-5m) berkayu dan tanaman herba dengan sejarah jaringan drainase air, parit dan/atau kebakaran hutan. Vegetasi didominasi oleh paku-pakuan, rumput dan semak belukar.

4 Hutan tanamanTanaman kayu Monokultur dan/atau tanaman bahan baku pulp (akasia) dengan trek dan jaringan drainase air. Jenis hutan biasanya dikelola oleh konsesi

Page 39: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

39

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

5 Perkebunan kelapa sawit

Perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh konsesi dan/atau petani dengan adanya trek dan jaringan drainase air.

6 Kebun rakyat

Campuran pohon agroforest, tanaman dan lahan pertanian monokultur didominasi oleh tanaman permanen, tidak di bawah sistem rotasi. Jenis lahan pertanian biasanya dikelola oleh petani kecil dengan atau tanpa jaringan drainase air skala kecil.

7 PertanianDaerah lahan pertanian dengan atau tanpa sistem drainase air skala kecil. Jenis tanah meliputi sawah, sayuran dan tanaman pangan lainnya.

8 Lahan kosongPermukaan tanah alamiah dan/atau buatan ditutupi sedikit atau tanpa vegetasi termasuk daerah terbakar, tanah gundul dan lahan pertanian yang ditinggalkan.

9 Pemukiman Rumah, bangunan dan jenis-jenis infrastruktur lainnya

10 Badan air Sungai, kanal, danau, dll

Tabel 2. Kategori kedalaman gambut

Category Peat depth (m) Category Peat depth (m)

Bergambut 0-0.5 D3 6.0-8.0

D0 0.5-2.0 D4 8.0-10.0

D1 2.0-4.0 D5 > 10.0

D2 4.0-6.0

4. Outline Laporan

Sistematika laporan studi lapangan ini disusun kedalam lima bagian. Masing-masing bagian terdiri dari pendahuluan singkat, metodologi dan hasil dan pembahasan.

Bagian A. Pemetaan Lahan Gambut

Bagian B. Sejarah pengelolaan lahan gambut dan implikasinya terhadap perubahan tata guna dan tutupan lahan

Bagian C. Perubahan Iklim dan potensi dampak terhadap lahan gambut

Bagian D. Penggunaan data GWT berbasis satelit untuk mengestimasi emisi CO2 bersih dari lahan gambut

Bagian E. Menuju pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan

Page 40: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

40

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Bagian A: PEMETAAn LAHAn GAMBUT

A1. Pendahuluan

Sampai saat ini, Indonesia telah memiliki beberapa peta lahan gambut yang diterbitkan oleh beberapa peneliti dan lembaga, diantaranya seperti Departemen Pertanian (Deptan), Program Fisik Perencanaan Transmigrasi Regional (RePPProT), Wetlands International (WI) dan lain-lain (Tabel A1). Dari beberapa peta lahan gambut yang terdaftar pada tabel A1, peta lahan gambut yang diterbitkan oleh WI dan MoA merupakan peta yang paling sering dirujuk saat ini.

*angka-angka di atas tidak termasuk lahan gambut yang berasosiasi dengan tanah saline dan daerah luapan sungai, yang diperkirakan mencapai 2,46 juta hektar di Indonesia.

Namun, seperti dapat dilihat pada Tabel A1, luasan dan sebaran lahan gambut yang telah diterbitkan menunjukkan hasil yang berbeda dan tidak konsisten. Hal ini karena data yang berbeda, definisi, metode dan tingkat presisi yang diadopsi dalam proses menganalisis distribusi lahan gambut dan kedalaman juga berbeda. Ketidakkonsistenan ini telah menghambat pelaksanaan dan penegakan kebijakan, peraturan, dan perencanaan tata ruang dan zonasi lahan gambut baik di tingkat kabupaten, provinsi sampai tingkat nasional. Oleh karenanya, mengembangkan sebuah peta sebaran lahan gambut yang akurat, terpadu dan konsisten berdasarkan

Tabel A1. Estimasi luas lahan dan sebaran gambut di Indonesia dari berbagai sumber (sumber: Najiyati et al., 2005)

Page 41: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

41

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

metodologi yang dikembangkan untuk seluruh Indonesia sangat penting untuk pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan. Berdasarkan studi yang telah dilakukan dalam konteks studi metodologi pemetaan lahan gambut ini, beberapa hasil kegiatan disajikan, seperti:

• Hasil telaah terhadap peta-peta lahan gambut yang telah ada (contohnya, MoA 2012 and WI 2004) dan mengidentifikasi perbedaan yang ada untuk lahan gambut di lokasi studi;• Hasil analisa citra satelit untuk menduga berbagai parameter di lapangan termasuk ketinggian, kedalaman gambut, jaringan hidrologi dan kubah gambut;• Hasil kegiatan uji coba metodologi di lapangan;• Kalibrasi kedalaman gambut dan batas lahan gambut berdasarkan data lapangan dan model spasial (contohnya, Model Shimada) diintegrasikan dengan data satelit seperti Landsat dan Palsar; dan • Hasil dari pembuatan peta lahan gambut yang lebih akurat baik dari segi sebaran maupun kedalaman gambut.

A2. Metodologi

A2.1. Landasan Teoritis dari Model Shimada

Pada wilayah hutan rawa gambut tropis seperti di Pulau Sumatera dan Kalimantan, gradasi tipe tutupan hutan alami dapat diamati dari mulai gambut yang dangkal yang terletak di pinggiran sungai atau daerah luapan sampai kepada daerah endapan gambut tebal di daerah kubah gambut (Bruenig, 1990; Shepherd et al, 1997). Dalam hutan rawa gambut tropis, tipe tegakan hutan dan fitur fenologinya menyesuaikan dengan kedalaman gambut dan fluktuasi musiman dari tinggi air tanah, yang mana dinamika musiman dari aktivitas vegetasi ini dapat tercermin atau terekam secara spasial (Shimada et al., 2004). Berdasarkan pertimbangan tersebut, dimungkinkan untuk memperkirakan sebaran lahan gambut dan kedalaman gambut dengan menganalisisa hubungan antara tipe fenology hutan dan ketebalan lapisan gambut (Gambar A1).

Gambar A1. Contoh dari hubungan antara tipe hutan dan kedalaman gambut

Page 42: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

42

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Untuk menguji teori ini, berbagai jenis fenologi hutan rawa gambut diklasifikasikan dengan menggunakan data multi-temporal penginderaan jauh (Shimada, et al., 2004). Metode klasifikasi ini, Model Shimada, mengasumsikan bahwa vegetasi hutan rawa gambut mengalami berbagai tahap pertumbuhan selama periode musiman yang berbeda, dan juga mengekstrak variabel fenologi dari NDVI (Normalized Difference Vegetation Index).

A2.2. Batasan dan asumsi-asumsi dari Model Shimada

Pendekatan Model Shimada mengasumsikan bahwa sebuah wilayah studi terbagi dalam dua musim yang jelas dan tegas, yaitu periode musim kering dan basah. Namun sayangnya, lokasi studi di Kabupaten Pelalawan tidak menunjukkan adanya periode musim kering yang jelas, dan pola curah hujan pun menunjukkan variasi dengan adanya dua puncak curah hujan pada bulan April dan November. Di sisi lain, pola curah hujan di wilayah Katingan menunjukkan hanya ada satu puncak curah hujan dalam periode tahunan, terekam antara bulan April sampai Desember (gambar C4b dan d; C7b dan d). Karena alasan di atas, ada beberapa kesulitan untuk menerapkan secara langsung Model Shimada ke dalam lokasi studi di Kabupaten Pelalawan.

Kehandalan metodologi ini untuk mengklasifikasi kedalaman gambut secara akurat sangat tergantung pada kuantitas dan kualitas data hasil survei lapangan.Walaupun tersedia database yang cukup besar dari kegiatan survei lapangan untuk Riau dan Kalimantan Tengah, namun kerapatan lokasi titik pemeriksaan kedalaman gambut masih relatif rendah. Pun, lokasi pengambilan titik sampel kedalaman gambut bias secara spasial karena aksesibilitas terbatas dan tantangan logistik. Maximum likelihood method yang digunakan untuk membantu mengklasifikasi kedalaman gambut (lihat Bagian 2.2.5.) membutuhkan sekurangnya dua sampai tiga kali lebih banyak aktivitas data dari yang telah ada untuk setiap citra satelit (sel 1 - km grid) (Oki et al, 2005.). Karena alasan ini, beberapa kategori kedalaman gambut (yaitu, 0 - 0.5 m dan 0.5 - 1 m untuk Pelalawan , dan 8 - 10 m dan di atasnya untuk Katingan) sangat terbatas dalam Model Shimada, dan sebagai alternatifnya, metode statistik Kriging Biasa digunakan untuk membantu mengklasifikasikan kembali kategori-kategori kedalaman gambut yang terbatas tersebut. Penyebaran lokasi pengambilan sampel kedalaman gambut yang lebih merata akan meningkatkan hasil pengklasifikasian.

Karena Model Shimada ini bekerja berdasarkan pada kegiatan vegetasi yang merespon periode kebasahan (hydro-periode), maka studi disini terbatas pada rawa berhutan, dan tidak berlaku untuk daerah bukan-hutan seperti tanah kosong atau padang rumput.

A2.3. Prosedur

A2.3.1. Analisa Spasial

Citra satelit untuk analisa penginderaan jauh yang bebas asap dan awan relatif terbatas untuk daerah tropis, khususnya wilayah Katingan. Dalam rangka mengurangi kesenjangan data dan meningkatkan interpretasi citra, penggabungan citra satelit optis resolusi sedang dengan data Synthetic Aperture Radar (SAR) data (lihat Tabel A2) serta data lapangan dilakukan. Data SAR, sistem citra gelombang mikro ini

Page 43: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

43

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

mampu menembus awan baik siang maupun malam, dan dapat menginterpretasi karakter struktural hutan dan tutupan lahan yang berbeda. Sensor satelit optik yang membentuk gambar mirip dengan foto menggunakan gelombang sinar nampak (visible) dan sensor inframerah gelombang dekat dan pendek, dan mendeteksi sinar matahari yang dipantulkan dan disebarkan oleh permukaan bumi.

Tabel A2. Sensor satelit yang digunakan dalam studi ini

Sensor Satelit Data capability Tahun Number of scenes acquired

Resolusi Spasial

Landsat TM4, 5, 7 and 8

Medium resolution optical sensor

1990, 1995, 2000, 2005, 2010, 2013

Multiple imageries for path rows 126-60

30 m for multispectral bands 1-7

ALOS PALSAR

SAR active microwave sensor 2010 and 2011

14 scenes for full polarimetry mode HH+HV+VH+VV

12.5 m for full polarimetry mode

Data-data lain yang digunakan dalam studi adalah:

• Peta topography skala 1:50.000 dari BIG (Badan Informasi Geospasial);• Data Shutter Radar Topography Mission (SRTM) digital elevation model (DEM);• Peta lahan gambut dalam format shp (ESRI shapefile format) yang dibuat oleh Wetlands International (WI, 2004) dan Ministry of Agriculture Indonesia (MoA, 2012); dan• data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR).

Sumber data primer untuk studi ini adalah citra satelit Landsat TM4, 5, 7 dan 8. Pengolahan data awal (pre-processing) dengan melakukan koreksi radiometrik dan geometrik dijalankan sebelum menginterpretasi data citra satelit. Dalam rangka meningkatkan interpretasi visual citra satelit, digunakan citra Landsat dengan komposit warna RGB 543 dan 453 RGB.

Data satelit Alos PALSAR juga digunakan sebagai sumber data penunjang untuk mengklarifikasi dan memvalidasi daerah-daerah yang tertutup awan dan batas-batas yang tidak pasti. Analisis koefisien hamburan balik (backscattering coefficient analysis), pengolahan interferometri dan pengolahan data polarimetrik diljalankan untuk mendapatkan informasi kombinasi vektor.

Selain citra di atas, digunakan juga citra SRTM DEM untuk menentukan fitur geomorfologi permukaan bumi seperti struktur kubah gambut dan jaringan hidrologi.

Page 44: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

44

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

A2.3.2. Pengumpulan data sampel

Penentuan lokasi sampel dilakukan dengan melakukan analisa peta lahan gambut yang diterbitkan oleh WI dan MoA, Citra satelit, Data DEM (digital elevation model), analisa topografi dan aliran sungai, serta data1 kedalaman gambut yang telah dimiliki.

Gambar A3. Sebaran titik sampel di a) Pelalawan dan b) Katingan dengan dasar peta lahan gambut WI.

1) Database ini merupakan kompilasi data kedalaman gambut yang didapat dari berbagai sumber dan tersedia sebagai lampiran dalam laporan ini dengan menggunakan nama file “2013-09-15 ICCC Peatland Survey Database_FINAL”.

a)

b)

Page 45: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

45

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Lokasi titik sampel verifikasi tersebut ditentukan berdasarkan kriteria dan langkah berikut:

1. Mengidentifikasi perbedaan atau ketidakpastian dari peta lahan gambut WI dan MoA;

2. Mengidentifikasi area-area yang menjadi batas antara lahan gambut dan bukan lahan gambut, atau area yang mengindikasikan perubahan kedalaman gambut mendadak:

3. Analisa DEM dan citra satelit;

4. Berdasarkan perbedaan tata guna dan tutupan lahan;

5. Aksesibilitas ke lokasi titik sampel yang diusulkan; dan

6. Perijinan untuk masuk lokasi titik sampel, khususnya jika titik sampel berada dalam kawasan konsesi.

Kriteria di atas kemudian diuji kembali dengan melakukan analisa remote sensing sebelum melakukan survei ke lapangan. Setelah di lapangan, tim survei melakukan observasi dan orientasi lapangan, kemudian temuan dari hasil observasi lapangan dan analisa citra ini kemudian menjadi titik sampel yang diukur. Total 50 titik verifikasi disurvei di Kabupaten Pelalawan, dan 51 titik verifikasi di Kabupaten Katingan (Gambar A3a dan A3b).

Saat melakukan survei lapangan, dilakukan tiga kegiatan utama, yaitu pengukuran ketebalan gambut, pengambilan sampel tanah gambut, dan pengukuran tinggi muka air tanah (GWT). Pelaksanaan survei lapangan ini melibatkan masyarakat lokal dan bekerja sama dengan Universitas lokal.

A2.3.2.1. Pengukuran Ketebalan Gambut

Pengukuran kedalaman gambut yang dilakukan mengikuti prosedur pemetaan lahan gambut yang tertuang dalam Prosedur Pemetaan Lahan Gambut diterbitkan oleh Badan Standardisasi Nasional Indonesia (Standar Nasional Indonesia 7925: 2013). Bor yang digunakan untuk mengukur kedalaman gambut adalah bor gambut Eijkelkamp®2. Ketebalan gambut diukur dengan melakukan pengeboran ke dalam tanah gambut secara manual, sembari mengambil sampel tanah gambut di setiap kedalaman 50 cm sampai mencapai lapisan substratum (Gambar A4).

2) The stainless steel peat sampler: http://en.eijkelkamp.com/products/soil/soil-and-sediment-sampling/semi-disturbed-sediment-sampling/peat-sampler.htm

Page 46: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

46

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar A4. Pengukuran kedalaman gambut di lapangan

A2.3.2.2. Pengambilan Sampel Tanah Gambut

Sampel tanah gambut yang dikumpulkan dikirim ke laboratoium untuk dianalisa kandungan karbon, kadar abu dan bobot jenis-nya, di mana ketiga parameter ini digunakan untuk mendefiniskan kualitas gambut yang terdapat di titik sampel. Tidak semua titik pengukuran gambut diambil sampelnya, hanya kurang lebih setengah dari jumlah titik sampling pengukuran kedalaman gambut tersebut yang diambil sampel tanah gambutnya.

Sampel tanah gambut diambil sampai kedalamanan 3 meter dengan jenjang per 50 cm (yaitu, 0-0,5 m, 0.5 - 1 m, ... 2,5 - 3 m), kemudian pada bagian transisi atau substratum juga diambil sampel tanah gambut. Sampel tanah gambut yang diambil adalah sepanjang 5 cm dipilih dari bagian yang relatif tidak terganggu pada segmen tersebut. Pada lapisan transisi, sampel tanah gambut diambil tepat di atas batas tanah gambut-mineral. Kelebihan akar dan material organik yang tidak membusuk dari panjang 5 cm kemudian dibersihkan dari sampel dengan pisau. Sampel tanah gambut kemudian ditempatkan dalam cawan aluminium (8 cm dengan 7 cm). Berat basah sampel langsung diukur di lapangan. Kemudian cawan aluminium ditutup rapat dengan kertas aluminium dan dimasukkan ke dalam plastik Whirl-Pak®. Sampel tanah gambut kemudian dikemas dan dikirim ke laboratorium Biotrop3 di Bogor, Jawa Barat, untuk analisa kadar abu, kandungan karbon organik dan bobot jenis.

A2.3.3. Indeks Aktivitas Vegetasi

Metode supervised classification berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan data4 kedalaman gambut yang ada dijalankan untuk mengestimasi relasi pola spasial antarake dalaman gambut dengan tipe hutan rawa. Dalam klasifikasi ini, nilai NDVI yang berasal dari data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) digunakan untuk mengevaluasi indeks vegetasi. Untuk tujuan estimasi kedalaman dan sebaran lahan gambut yang

3) SEAMO BIOTROP Services Laboratory: http://www.biotrop.org 4) “2013-09-15 ICCC Peatland Survey Database_FINAL”

Page 47: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

47

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

lebih akurat di lokasi studi, maka analisa didasarkan pada kondisi tutupan lahan awal 1990an, di mana pada saat itu lahan gambut relatif tidak terganggu dan masih dalam kondisi asli. Persamaan untuk NDVI yang digunakan adalah sebagai berikut:

Di mana:

NIR = near-infrared wavelength (Channel 2 of AVHRR)

RED = the visible red wavelength (Channel 1 of AVHRR)

2.3.4. Prosedur Pengolahan Data

Prosedur pengelolaan data dapat dilihat pada gambar A6 dan dijelaskan secara lebih rinci pada bagian selanjuntya.

2.3.4.1. Akuisisi citra NOAA-AVHHR images

Citra NOAA-AVHRR diperoleh dari USGS global Land 1-km AVHHR Project5. Periode data yang tersedia adalah dari April 1992 sampai dengan Januari 1996, semuanya digunakan dalam penelitian ini. Data yang diperoleh kemudian dikompositkan secara maksimum per 10.

2.3.4.2.Pra-proses data NOAA-AVHHR data

Pertama, data komposit maksimum bulanan NDVI dihitung. Kemudian, kedua, dataset bulanan yang berisi gangguan (noise) dan areal tertutup awan dihilangkan dengan maksud untuk menghindari nilai-nilai “tidak ada data” dalam perhitungan. Penghapusan ini dilakukan dengan menggunakan Band 1 dari dataset NOAA AVHHR. Kemudian untuk kebutuhan analisis lebih lanjut, dipilih 17 bulan data komposit untuk Pelalawan dan 22 bulan data komposit Kabupaten Katingan. Kemudian data komposit bulanan dalam format raster ditumpuk (dirakit) sebagai file raster multi-temporal untuk kebutuhan klasifikasi.

Gambar A6. Prosedur pengolahan data satelit

5) http://edc2.usgs.gov/1KM/comp10d.php

NIR-REDNIR+RED’

NDVI= (1)

Page 48: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

48

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

2.3.4.3. Delineasi luasan lahan gambut

Daerah hutan rawa gambut dihasilkan dari peta dasar tutupan lahan tahun 1990 guna mewakili potensi luasan lahan gambut. Pada tahun 1990, sebagian besar lahan gambut masih ditutupi oleh hutan yang rapat, dan pada saat itu pun belum terjadi konversi lahan gambut atau degradasi secara besar-besaran. Ini dapat diasumsikan bahwa daerah hutan rawa pada saat itu juga merupakan perwakilan yang relatif akurat dari luasan lahan gambut pada saat itu. Selain hasil analisa, data-data aktivitas hasil pemeriksaan lapangan pun digunakan untuk melengkapi delineasi luasan lahan gambut. Lebih jauh, kawasan hutan rawa gambut kemudian dikalibrasi secara manual dengan mengacu pada citra Landsat TM images6dengan urutan pita 5 (R), 4 (G) dan 3 (B).

Untuk delineasi lahan gambut secara manual, data raster kemiringan dengan resolusi 1 - km disatukan berdasarkan data titik elevasi dari peta topografi skala 1:50.000 BIG.95% dari titik sampling yang terletak di lahan gambut berpotongan dengan data raster kemiringan ini, yang mengindikasikan kemiringan sudut kurang dari atau sama dengan 0,2°. Daerah ini didefinisikan sebagai "daerah dengan kelerengan landai” (Gambar A7). Kemudian delineasi manual yang dilakukan mengacu pada daerah-daerah dengan kelerengan landai ini. Walaupun begitu, ketika morfologi cekungan teridentifikasi pada suatu dalan wilayah studi, wilayah tersebut dieliminasi walaupun terletak dalam wilayah dengan kelerengan landai. Begitu pula dengan hutan tepian sungai (riparian forest) yang terletak pada wilayah luapan air sungai dipisahkan dari lahan gambut dan juga dihilangkan selama proses ini. Delineasi lahan gambut untuk pulau di sebelah Timur Pelalawan, di mana tidak ada data lapangan atau data slope raster dari BIG yang tersedia, maka hanya berdasarkan pada citra Landsat.

Kemudian areal-areal hasil delineasi ini, yang ditetapkan sebagai lahan gambut berdasarkan pengolahan data yang telah dijelaskan di atas, diintegrasikan dan digunakan untuk melengkapi data dari hasil supervised classification.

6) Scene IDs: lt51260601990154bkt00, lt51250601989256bkt00

Gambar A7. Sebaran titik sampel gambut dan daerah dengan kelerengan landai (kiri: Pelalawan, kanan: Katingan)

Page 49: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

49

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

2.3.4.4. Pemilihan training data

Karena Model Shimada mengkategorikan kedalaman gambut berdasarkan indeks aktivitas vegetasi, maka training data harus dihasilkan dari wilayah berhutan. Oleh karena itu, hanya titik sampling yang terletak dalam wilayah berhutan yang diekstraksi sebagai training data, dan titik sampel gambut yang berada di areal tidak berhutan tidak digunakan dalam analisis ini. Untuk dapat mencukupi kebutuhan sampel data untuk klasifikasi, digunakan data set yang telah ada sebelumnya dari berbagai sumber7 serta data sampel hasil dari survei lapangan selama proses studi ini. Untuk menentukan apakah titik sampel berada dalam wilayah berhutan maka digunakan citra Landsat dengan interpretasi visual.

Semua data aktivitas itu kemudian diklasifikasikan ulang ke dalam grid sel 1 - km agar sesuai dengan resolusi dari data NOAA-AVHRR. Berdasarkan Model Shimada, data kedalaman gambut untuk Kabupaten Pelalawan awalnya dikategorikan menjadi 5 kelas dan Kabupaten Katingan menjadi 6 kelas (Tabel A3). Ketidakkonsistenan dalam kategori kedalaman gambut terjadi karena strata gambut dangkal di Pelalawan dan strata yang lebih dalam di Katingan (lingkaran merah) memiliki jumlah sampel yang sangat sedikit atau tidak cukup data. Dalam dengan pendekatan Model Shimada, memasukan data sampel yang sangat sedikit kedalam analisa akan mengakibatkan bias secara statistik dan meningkatkan ketidakpastian dalam mengestimasi kedalaman gambut, dan dengan demikian kategori ini harus digabungkan.

Tabel A3. Kategori kedalaman gambut Model Shimada

Category Peat depth (m) Pelalawan Peat depth (m) Katingan

PEATY0-4.0

0-0.5D0 0.5-2.0D1 2.0-4.0D2 4.0-6.0 4.0-6.0

D3 6.0-8.0 6.0-8.0D4 8.0-10.0

>8.0D5 > 10.0

2.3.4.5. Supervised classification untuk kedalaman gambut

Supervised classification dilakukan dengan menggunakan data multi-temporal yang tersusun dari NOAA-AVHRR dan dataset latihan terpilih. Secara skematik, prosedur klasifikasi ditunjukkan pada Gambar A8. Dalam proses supervised classification ini diterapkan metode analisa discriminant likehood maximum, metode yang paling umum digunakan dalam supervised classification untuk citra satelit. Dalam metode ini, jarak Mahalanobis, ukuran relatif tanpa satuan (unitless) kesamaan dari titik data sampel yang tidak diketahui ke yang diketahui, digunakan untuk menetapkan setiap pixel dari citra satelit agar masuk ke dalam salah satu kategori kedalaman gambut. Peristiwa dua dimensi (misalnya, gambar satelit dari dua bulan) dapat digunakan untuk mengukur jarak8. Hasil awal dari klasifikasi ini adalah dalam format raster dan ditulis dalam GeoTIFF.

7) “2013-09-15 ICCC Peatland Survey Database_FINAL”

8) The Euclidian distance from x to the centroid of category PD2 is equal to that from x to PD1. However, the probability that x belongs to category PD1 is almost zero, since the probability density of PD1 concentrates around the centroid. Conversely, the probability that x belongs to category PD2 is greater than zero, since category PD2 has a broader density function. Thus, x is classified into category PD2.

Page 50: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

50

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Jarak Mahalanobis dan Kebolehjadian adalah berbanding terbalik. Metode diskriminasi kebolehjadian maksimum (maximum likelihood discrimination) memilih satu kumpulan nilai atau variabel untuk diterapkan dalam parameter model yang mana akan memaksimalkan kebolehjadian dalam beragam dimensi (multi citra satelit). Analisis kebolehjadian maksimum ini berlandaskan pada fungsi Gaussian, dan data latihan yang kecil akan menyebabkan estimasi yang berkualitas rendah pada distribusi kebolehjadian, karena susunan letak data latihan pra-pengkelasan terlalu jarang. Dengan demikian, sejumlah besar data latihan diperlukan untuk estimasi yang lebih akurat dari kebolehjadian klasifikasi (classification likelihoods).

Gambar A8. Prosedur supervised classification

2.3.4.6. Konversi menjadi data vektor

Untuk kebutuhan visualisasi, hasil raster awal disederhanakan dan diubah kedalam bentuk vektor. Pertama, poligon-poligon raster yang lebih kecil daripada batas spesifik (4 pixels) dihilangkan dan diganti dengan nilai pixel terbesar dari polygon raster terdekat. Kedua, data raster yang sudah disederhanakan dan diklasifikasi kemudian diubah menjadi data titik vector (dalam format shp, ESRI). Ketiga, polygon thiessen dibuat dan batas-batas polygonnya dihaluskan dengan menggunakan algoritma

Page 51: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

51

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

puncak dengan threshold 4000 m. Terakhir, batas polygon yang sudah dihaluskan disatukan dengan mask map hutan rawa gambut.

2.3.4.7. Klasifikasi kedalaman gambut

Selanjutnya untuk menyempurnakan peta lahan gambut, dilakukan klasifikasi kembali untuk kategori kedalaman gambut. Kategori kedalaman gambut yang yang digunakan oleh Model Shimada adalah 5 kategori untuk Pelalawan, dan 6 kategori untuk Katingan. Sebuah teknik interpolasi, yang dikenal sebagai Kriging Biasa, digunakan dalam proses klasifikasi kedalaman gambut ini. Dengan menggabungkan dua pendekatan, yaitu Model Shimada dan Teknik Interpolasi Kriging, studi ini pada akhirnya mengklasifikasi kedalaman gambut menjadi 7 kategori baik untuk Pelalawan maupun Kabupaten Katingan (Tabel A4).

Tabel A4. Kategori kedalaman gambut hasil kombinasi dari Model Shimada Model dan Kriging

Kategori Kedalaman Gambut (m) Kategori Kedalaman Gambut (m)PEATY 0-0.5 D3 6.0-8.0

D0 0.5-2.0 D4 8.0-10.0D1 2.0-4.0 D5 > 10.0D2 4.0-6.0

2.3.5. Software

Untuk kebutuhan analisa dan pengolahan data satelit, beberapa aplikasi komputer berikut telah digunakan seperti Grass GIS 6.4 RC3 (GRASS Development Team, 2013), Quantum GIS 1.8 (Quantum GIS Development Team, 2013), dan R 2.14.2.

A3. Hasil dan Diskusi

A3.1. Hasil Analisa Spasial

A3.1.1. Hasil Telaah Peta Lahan Gambut

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan, terdapat kesenjangan antara peta lahan gambut yang diterbitkan oleh Departemen Pertanian (Deptan, 2012) dan Wetlands International (WI, 2004). Gambar A9a dan A9b memperlihatkan perbedaan-perbedaan utama antara peta lahan gambut dari Wetlands International dan Kementrian Pertanian di wilayah Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Katingan.

Pada dasarnya, kedua peta tersebut, baik yang diterbitkan WI maupun MoA, dikerjakan oleh ahli yang sama dengan metodologi sebagai berikut (Wahyunto, et. al, 2008):

• Kompilasi data-data sampel dan peta-peta gambut• Klasifikasi kedalaman gambut (Sumatra: < 50cm, 50–100 cm, 100–200 cm, 200– 400 cm, >400 cm; Kalimantan: < 50cm, 50–100 cm, 100–200 cm, 200–400 cm, 400–800 cm, 800–1200 cm)

Page 52: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

52

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

• Analisa citra satelit (Sumatra: Landsat TM7 2000 – 2002; Kalimantan: Landsat TM7 2001 – 2002) untuk melakukan interpretasi jejak spektra berdasarkan tone, texture dan pola citra (contoh, kemiripan jenis tutupan tanaman dan kelembaban) untuk mendelineasi wilayah lahan gambut• Ekstrapolasi untuk mendeteksi kedalaman gambut dari data sampel dan data satelit• Cek lapangan untuk memvalidasi peta

Gambar A9a. Peta lahan gambut dari Wetlands International (kiri) dan MoA (kanan)

Gambar A9b. Peta lahan gambut Katingan dari Wetlands International (kiri) dan MoA (kanan)

Untuk Kabupaten Pelalawan, peta WI menunjukkan total luas lahan gambut lebih besar jika dibandingkan dengan peta lahan gambut yang diterbitkan oleh MoA dengan perbedaan sebesar 2,693 ha. Perbedaan ini dianggap tidak signifikan, dan kemungkinan disebabkan adanya kesalahan dalam proses pengolahan data. Sementara, untuk Kabupaten Katingan, peta MoA menunjukkan luas lahan gambut lebih besar dibandingkan dengan peta WI sebesar 24.696 ha. Perbedaan ini cukup signifikan, dan penelitian lebih lanjut sangat diperlukan9.

9) During this study, the team was only able to access some of these gap areas due to limited time and resources.

Page 53: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

53

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

A3.1.2. Analisa Fitur Geomorfology

Gambar A10a dan gambar A10b secara berturut-turut menunjukkan gambar SRTM DEM resolusi spasial 90m untuk Kabupaten Pelalawan dan untuk Kabupaten Katingan. Warna yang lebih cerah (putih) menunjukkan elevasi yang lebih tinggi, sedangkan warna yang lebih gelap (abu-abu, hitam) menunjukkan posisi ketinggian rendah. Dalam gambar, daerah aliran air dan daerah depresi ditandai oleh warna abu-abu gelap. Garis punggungan dan hutan dengan pohon-pohon tinggi ditandai oleh warna abu-abu terang. Stuktur khas kubah gambut dapat juga diidentifikasi oleh SRTM DEM. Ketinggian kubah gambut yang ditemukan 5 sampai 10m lebih tinggi daripada daerah sekitarnya seperti yang ditunjukkan dalam warna abu-abu terang. Axis Y menunjukkan elevasi, dan sumbu X menunjukkan jarak.

Gambar A10. Fitur geomorfologis dari a) Kab. Pelalawan (kiri) dan b) Kab. Katingan (kanan)

Untuk aliran hidrologi, analisa dilakukan dengan menggunakan SRTM DEM dan citra satelit yang tersedia. Setiap satu pixel dari data SRTM DEM mewakili luasan 90m kali 90m, daerah aliran air dihitung secara otomatis. Data ini kemudian disesuaikan dengan citra optik dan radar. Gambar A11 menunjukkan estimasi daerah aliran air untuk Kabupaten Pelalawan dan Katingan.

Gambar A11. Estimasi aliran air dari Data SRTM DEM a) Pelalawan (kiri) dan b) Katingan (kanan)

A

B

A B

Page 54: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

54

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

A3.1.3. Analisa data satelit

Penggunaan kombinasi Alos PALSAR dan citra Landsat memberikan hasil analisa klasifikasi tutupan lahan yang relatif lebih akurat (Gambar A12 dan A13). Dalam analisa ini, area Z2 diperkirakan dapat mewakili volume hamburan untuk daerah berhutan lebat dan area Z6 mencerminkan hamburan permukaan untuk permukaan kasar atau vegetasi rendah seperti area budidaya pertanian (Gambar A14). Selain itu, area Z2 dibagi menjadi tiga kelas intensitas (I), yaitu, Low-I, Medium-I, dan High-I. Intensitas dipengaruhi oleh ukuran daun tanaman dan batang pohon, serta tingkat kelembaban vegetasi. Misalnya, ketika menghitung volume biomassa di hutan menggunakan data PALSAR, volume diperkirakan menjadi besar jika intensitas kuat. Demikian pula, volume biomasa diperkirakan kecil, jika intensitas rendah.

Gambar A12. Tutupan lahan tahun 2010 Kabupaten Pelalawan a) Palsar (kiri) dan Landsat (kanan)

Gambar A13. Tutupan lahan tahun 2010 Kab. Katingan a) Palsar (kiri) dan Landsat (tengah dan kanan)

Analisa hamburan polarimetri dari klasifikasi be-dimensional dilakukan berdasarkan Entrophy (H) dan Sudut Alpha (α) mengklasifikasikan bahwa lahan gambut Pelalawan di tahun 2010 merupakan permukaan lahan yang kasar, areal yang bervegetasi rendah (Z6) dan area bervegatasi lebat yang tertutup tajuk pohon (Z2). Areal bervegetasi rendah (Z5) juga berhasil diamati pada beberapa daerah studi. Serupa dengan Pelalawan, di Katingan areal Z2, Z5 and Z6 merupakan kelas tutupan yang dominan untuk wilayah lahan gambut dalam lokasi studi. Dalam kelas Z2, kemudian diklasifikasi lebih detil menjadi dua tipe hutan, hutan kerapatan rendah ditandai dengan warna hijau terang dan hutan kerapatan tinggi ditandai dengan warna hijau gelap.

Page 55: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

55

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Source: Yamaguchi, Y., Radar Polarimetry From Basics to Applications, Page 182, IEICE, Tokyo, Japan, 2007

Gambar A14. Klasifikasi Sudut Alpah dan Entropi

Data citra Palsar dan Landsat dibandingkan untuk mendapatkan kesenjangan atau perbedaan dari tutupan permukaan lahan. Gambar A15 sampai A17 menunjukkan contoh-contoh perbandingan citra satelit yang digunakan (gambar A15-17).

Gambar A15. Perbandingan dari hasil klasifikasi tutupan lahan menggunakan Palsar dan Landsat dalam areal kotak A dari gambar. A13

Palsar kiri), Landsat 5 (tengah dan kanan)

Seperti ditunjukan pada gambar A15, pola tutupan lahan yang unik (garis tebal lingkaran merah) yang teridentifikasi oleh citra Landsat dapat juga terindentifikasi oleh Palsar. Batas-batas tutupan lahan pada beberapa daerah tidak terlalu jelas pada beberapa bagian citra Landsat (garis putus-putus merah), dalam kasus seperti ini, delineasi tutupan lahan pada citra Landsat sangat tergantung pada pengalaman individu dalam melakukan analisa citra satelit. Namun, persoalan tersebut dapat

Palsar (kiri), Landsat 5 (tengah dan kanan)

Page 56: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

56

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

sedikit dikurangi dengan menggabungkan hasil klasifikasi citra Palsar dengan Landsat, yang hasilnya adalah batasan tutupan lahan dapat didelineasi dengan relatif lebih akurat.

Gambar A16. Perbandingan dari hasil klasifikasi tutupan lahan menggunakan Palsar dan Landsat dalam areal kotak B dari gambar A13

Palsar kiri), Landsat 5 (tengah dan kanan)

Perbedaan tutupan hutan yang terdeteksi oleh citra Landsat dapat juga dikenali oleh citra Palsar (gambar A16). Namun, citra Palsar tidak dapat mengenali lebih jauh perbedaan pada tipe vegetasi hutan yang berada dalam lingkaran merah, yang mana dalam hal ini citra Landsat dapat mengenali perbedaan ini dengan lebih baik. Hal ini mungkin terjadi di mana spesies pohon dan/atau tutupan vegetasi hutan memiliki fitur struktur yang mirip dalam area ini. Sebaliknya, vegetasi sepanjang tepian sungai yang ditandai oleh lingkaran merah putus-putus, nampak homogen dalam citra Landsat, namun dalam citra Palsar, pada lokasi yang sama, dibedakan kedalam beberapa tipe tutupan. Hal ini menyiratkan bahwa spesies pohon pada lokasi latihan relatif homogen, namun memiliki fitur struktur seperti kerapatan berbeda atau permukaan tanah yang tertutup air. Informasi tutupan lahan yang diperoleh melalui analisa citra satelit akan beragam tergantung pada instrumen yang digunakan pada saat melakukan analisa.

Gambar A17. Perbandingan dari hasil klasifikasi tutupan lahan menggunakan Palsar dan Landsat dalam areal kotak C dari gambar A13

Palsar (kiri), Landsat 5 (tengah dan kanan)

Page 57: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

57

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Seperti yang diperlihatkan pada gambar A17, dalam citra Landsat, beberapa wilayah tampak berwarna hitam, ini menandakan wilayah dengan refleksi rendah seperti sungai, danau dan rawa-rawa. Jika mengandalkan citra Landsat saja terkadang cukup sulit untuk membedakan antara rawa-rawa, danau dan sungai. Sebaliknya, data polarimetri palsar mampu mengidentifikasi rawa dengan menginterpretasi kan intensitas dari permukaan air. Sinyal hamburan balik dari permukaan air akantampil sebagai intensitas rendah, sedangkan sinyal dari hutan rawa yang terendam air menampilkan intensitas tinggi. Oleh karenanya, gabungan penggunaan dari citra Landsat dan Palsar akan memberikan alat yang relatif akurat untuk melakukan klasifikasi hutan rawa dalam studi ini.

A3.2. Hasil Pengukuran Kedalaman Gambut dan Sampling Verifikasi

A3.2.1. Verifikasi lapangan kedalaman gambut

Berdasarkan hasil temuan lapangan dari 101 titik pengukuran kedalaman gambut, 51 titik di Kabupaten Katingan dan 50 titik di Kabupaten Pelalawan, kedalaman gambut pada lokasi studi sangat bervariasi. Variasi kedalaman gambut meliputi kategori D1 (0-0.5m) sampai kepada D7 (>10m). Rangkuman dari hasil pengukuran kedalaman gambut disajikan pada tabel A5.

Tabel A5. Hasil pengukuran kedalaman gambut di lokasi studi dalam Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Katingan

Tabel 5 menunjukkan bahwa lebih dari setengah dari jumlah total sampel terletak di kedalaman gambut antara 2 sampai 6 meter. Secara rata-rata, kedalaman gambut di lokasi studi Kabupaten Pelalawan lebih dalam dibandingkan dengan kedalaman gambut di lokasi studi Kabupaten Katingan. Bahkan beberapa lokasi memiliki kedalaman lebih dari 10 meter. Namun kedalaman gambut lebih dari 10 meter tidak dapat diverifikasi dengan pasti karena pada saat verifikasi lapangan, tim hanya membawa satu set Eijelkamp® auger dengan maksimum kemampuan ukur adalah 10 meter.

Temuan lain yang juga penting adalah kedalaman gambut yang ditemukan pada saat verifikasi lapangan menunjukkan hasil yang berbeda dengan peta lahan gambut WI pada beberapa tempat (gambar A18). Beberapa titik sampel di Kabupaten Pelalawan, yang diklasifikasikan sebagai non-peatland atau or not-counted areas dalam peta lahan gambut WI, ternyata berdasarkan hasil verifikasi adalah lahan gambut. Sebaliknya di

Page 58: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

58

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

lokasi studi Kabupaten Katingan, beberapa area yang diklasifikasikan lahan gambut dengan kedalaman antara 0.5 sampai 2 meter, ternyata berdasarkan hasil lapangan adalah bukan lahan gambut. Verifikasi lapangan dengan meletakkan titik sampel verifikasi di sepanjang batas gambut dan bukan lahan gambut sangat penting agar dapat menentukan delineasi lahan gambut secara lebih akurat.

Gambar A18. Peta ketebalan gambut ditumpangsusunkan dengan peta lahan gambut WI a) Pelalawan; b) Katingan

Tabel A6a dan A6b di bawah merangkum kelas kedalaman gambut pada berbagai tutupan lahan di lokasi studi dalam Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Katingan. Tampak bahwa ada variasi kedalaman gambut walau dalam kelas tutupan lahan yang sama. Sebagai contoh, di Kabupaten Pelalawan, kedalaman gambut di perkebunan kelapa sawit sangat bervariasi mulai dari tanah bergambut sampai D3 (0-8 meter).

Tabel A6a. Sebaran gambut di lokasi studi Kabupaten Pelalawan

Tutupan LahanPelalawan

TotalPEATy D0 D1 D2 D3 D4 D5

Bare Land     1 1 1 1   4

Plantation Forest 1   2         3

Primary Peat Swamp Forest         1   1 2

Secondary Peat Swamp Forest     6 4 6 2   18

Peat Swamp Shurb and Grassland   1 3 3 1     8

Oil palm plantation 2 1 2 5 2     12

Crops plantation 1     1 1     3

Total 4 2 14 14 12 3 1 50

a) b)

Page 59: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

59

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Begitu juga di Katingan, ketebalan gambut di semak dan padang rumput bervariasi. Hal ini bermakna bahwa walaupun kegiatan anthropogenic telah mengubah tutupan lahan gambut dari kondisi asli menjadi perkebunan, semak, padang rumput, tanaman pertanian dan bentuk buatan lainnya, lapisan gambut tetap dapat ditemukan pada wilayah yang telah berubah tersebut. Hal ini terjadi karena sebenarnya perubahan tutupan lahan oleh aktivitas manusia ini relatif lebih muda umurnya dibandingkan dengan proses pembentukan gambut itu sendiri, dan subsidensi hanya terjadi secara gradual saja pada wilayah tersebut.

Tabel A6b. Sebaran ketebalan gambut di lokasi studi Kabupaten Katingan

LandcoverKatingan

TotalPEATy D0 D1 D2 D3 D4 D5

Agriculture 1             1

Bare Land   1 5         6

Secondary Peat Swamp Forest     3 6       9

Peat Swamp Shurb and Grassland 10 3 9 2 6 3 1 34

Crop plantation 1             1

Total 12 4 17 8 6 3 1 51 A3.2.2. Karateristik Gambut

Karakteristik gambut adalah hal yang penting dalam melakukan pemetaan lahan gambut. Secara prinsip ada tiga karakter gambut yang diuji dalam studi ini, yaitu bobot jenis, kadar abu, dan kadar karbon organik. Kadar karbon organik dan kadar abu dalam sampel tanah organik biasa digunakan menentukan kualitas gambut atau mendefiniskan apakah tanah sampel merupakan gambut atau bukan gambut.

Tabel A7. Rangkuman statistik dari nilai bobot jenis, karbon organik dan kadar abu dari sampel tanah gambut di bawah berbagai tutupan lahan di Kabupaten Pelalawan dan Katingan. Nilai-nilai dalam disajikan dengan bentuk mean ± SD, dan

nilai dalam kurung adalah range dari hasil pengamatan dan analisa.

Page 60: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

60

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Secara keseluruhan, dalam studi ini telah dikumpulkan 190 sampel tanah dari 32 titik pengeboran yang tersebar di Kabupaten Pelalawan dan Katingan. Sampel tanah yang diambil termasuk juga dari bagian transisi gambut ke substratum (tanah mineral) untuk perbandingan. Tabel A7 menyajikan rangkuman statistik dari hasil analisa sampel tanah gambut selama studi dilakukan. Bobot jenis, kadar abu dan kadar karbon organik dari lapisan transisi dihilangkan dalam analisa statistik ini karena akan menghasil bias, di mana berdasarkan pengalaman nilai bobot jenis dan kadar abu pada lapisan ini cenderung jauh lebih tinggi. Nilai-nilai bobot jenis dan kadar karbon organik dalam tabel 6 secara umum masih dalam nilai-nilai yang diterbitkan oleh peneliti lain (Wahyunto, et. al., 2010; Hooijer, et al., 2012; and Warren, 2012).

A3.2.2.1. Bobot Jenis

Bobot jenis gambut didefinisikan sebagai berat kering gambut hasil oven (pengeringan) per satuan volumenya (Ravindrananth, et. al., 2010), dan umumnya diekspresikan dengan satuan g/cm3 (gram per cubic centimeter). Nilai bobot jenis ini biasa digunakan untuk mengkuantifikasi kandungan karbon per unit luas (tC/ha), dan juga mengkuantifikasi kandungan kerapatan karbon dalam kg C/m3 or ton C/ha (Fahmudin, et. al., 2011). Gambar A19 menunjukkan rata-rata bobot jenis gambut di bawah beberapa penggunaan lahan dalam wilayah studi di Pelalawan dan Katingan. Nilai bobot jenis yang relatif lebih tinggi pada lahan perkebunan sawit dan hutan tanaman akasia dimungkinkan karena pengaruh dari proses konversi lahan, pengeringan dan/atau praktik pengelolaan lahan lainnya, seperti penggunaan alat-alat berat ketika membajak lahan. Nilai bobot jenis lebih tinggi juga bermakna bahwa gambut secara relatif lebih kompak, padat dan kurang berpori. Temuan lain adalah nilai bobot jenis gambut di Katingan, khususnya di lahan semak dan padang rumput dan hutan sekunder, lebih tinggi dibandingkan dengan di Pelalawan.

Gambar A19. Bobot jenis rata-rata pada berbagai penggunaan lahan, Pelalawan (balok orange) dan Katingan (balok putih)

A3.2.2.2. Kerapatan karbon (Carbon Density)

Nilai kerapatan karbon yang dihasilkan dari studi ini secara rata-rata lebih rendah daripada nilai kerapatan karbon yang dilaporkan oleh peneliti lain (Wahyunto, et. al., 2010; Mulyani, et. al., 2012). Hal ini terjadi dimungkinkan akibat metode analisa kandungan karbon organik dengan menggunakan metode Wakley & Black. Metode ini, juga dikenal dengan metode wet combustion memiliki keterbatasan

Page 61: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

61

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

dalam mengoksidasi senyawa organik dalam sampel. Metode yang lebih akurat adalah Dry Combustions namun saat ini masih cukup mahal dan alatnya saat ini masih terbatas juga. Baru-baru ini, sebuah artikel akademik yang ditulis Warren, et al., (2012) menyajikan persamaan untuk mengestimasi kerapatan karbon dari nilai bobot jenis dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan logistik di atas. Gambar A20 menyajikan hasil rata kerapatan jenis dari gambut di lokasi studi, baik Pelalawan maupun Katingan.

Gambar A20. Kerapatan karbon gambut pada berbagai penggunaan lahan Pelalawan (balok hijau) dan Katingan (balok hijau muda). Kerapatan karbon dihitung

menggunakan rata-rata bobot jenis dan karbon organik

Seperti yang ditunjukan dalam gambar A20, nilai kerapatan karbon dari hutan gambut sekunder Katingan relatif lebih tinggi dibandingkn dengan nilai kerapatan karbon di hutan gambut sekunder Pelalawan. Hal ini tidak mengejutkan karena nilai bobot jenis hutan rawa gambut Katingan juga lebih tinggi daripada nilai bobot jenis hutan rawa gambut Pelalawan. Hal ini dapat menunjukkan bahwa sifat-sifat kimia fisik gambut dari kedua lokasi studi cukup berbeda.

A3.2.2.3. Kadar Abu

Kadar abu adalah salah satu parameter penting dalam proses penentuan gambut atau bukan gambut. Dalam studi ini, definisi tanah gambut yang dipakai adalah material organik yang terdekomposisi sebagian dan mengandung kadar abu kurang dari 35%l. Namun, dalam beberapa studi lain, diindikasikan bahwa kadar abu dari sampel tanah gambut atau bergambut di hutan alam bervariasi 0 dari 55% (Wust.A.J., Raphael., 2003).

Nilai rata-rata kadar abu yang dihasilkan dalam studi ini adalah di bawah 35% untuk semua sampel tanah gambut di berbagai kelas penggunaan lahan (Gambar A21). Gambar A21 juga menunjukkan bahwa persentase kadar abu pada lahan kosong relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelas penggunaan lahan lain. Hal ini mungkin saja terjadi karena lahan kosong yang ada biasanya hasil dari aktivitas pembersihan lahan menggunakan metode tebang dan bakar. Begitu pula dengan nilai kadar abu yang relatif tinggi di perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman (akasia) mungkin terjadi karena aktivitas konversi, pengeringan, dan penggunaan pupuk kimia. Tidak seperti dua parameter sebelumnya, karbon organik dan bobot jenis, kadar abu di lokasi studi Katingan ternyata lebih rendah dibandingkan dengan Kabupaten Pelalawan, khususnya di kelas tutupan lahan hutan sekunder dan semak belukar.

Page 62: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

62

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar A21. Nilai rata-rata kadar abu di berbagai kelas tutupan lahan Pelalawan (balok hitam) dan Katingan (balok putih)

A3.3. Hasil Pemetaan Lahan Gambut

A3.3.1. Peta lahan gambut baru Kabupaten Pelalawan dan Katingan

Studi ini menguji kelayakan dari penerapan metodologi Model Shimada untuk pemetaan lahan gambut di Kabupaten Pelalawan dan Katingan, dengan memanfaatkan delineasi secara manual dengan menggunakan analisa penginderaan jauh citra Landsat dan data hasil pengukuran lapangan. Pendekatan Model Shimada tidak berdiri sendiri namun digabungkan dengan tehnik statistik Kriging Biasa untuk mengklasifikasi kedalaman gambut ke dalam kategori yang lebih rinci dan konsisten. Secara keseluruhan, studi ini dianggap dapat meningkatkan akurasi peta lahan gambut yang ada sebelumnya. Gambar A22a menunjukkan luasan sebaran lahan gambut di Kabupaten Pelalawan dan gambar A22b untuk Kabupaten Katingan berdasarkan hasil studi. Gambar A23 menyajikan peta kedalaman gambut untuk Kabupaten Pelalawan dan Katingan, setelah dilakukan beberapa tahapan peningkatan citra dalam wilayah lahan gambut yang baru hasil dari studi ini. Terakhir, peta lahan gambut hasil studi ini kemudian ditumpangsusunkan dengan peta topographi BIG untuk Kabupaten Pelalawan dan Katingan dengan skala 1:50.000 (Lampiran 1).

Gambar A22. Estimasi luasan sebaran lahan gambut a) Kab. Pelalawan (kiri) dan b) Kab. Katingan (kanan)

Page 63: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

63

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar A23. Estimasi lahan gambut dalam format sederhana dan vector a) Pelalawan (kiri) b) Katingan (kanan)

A3.3.2. Perbedaan dan Peningkatan dari Peta Lahan Gambut yang Ada

Peta lahan gambut yang dikembangkan dalam studi ini menampilkan perbedaan yang cukup besar, baik dari sisi sebaran maupun kedalaman lahan gambut dibandingkan dengan peta lahan gambut yang diterbitkan oleh WI dan Kementrian Pertanian. Gambar A24a dan A24b menyajikan kesenjangan yang teridentifikasi pada lokasi studi di Kabupaten Pelalawan, sedangkan gambar A25a dan A25b untuk Kabupaten Katingan.

Dalam gambar, ditandai dengan warna biru adalah perbedaan antara peta lahan gambut WI dan MoA dengan peta lahan gambut yang dikembangkan dalam studi ini. Perbedaan menunjukkan bahwa warna biru pada peta WI dan MoA menunjukkan bukan area lahan gambut atau no data, namun dalam studi ini area warna biru tersebut dimasukkan ke dalam area lahan gambut. Dalam kasus di Kabupaten Pelalawan, besar perbedaan adalah diestimasi sekitar 99,713 ha (jka dibandingkan dengan peta WI) dan 97,226ha (jika dibandingkan dengan peta MoA). Untuk kasus Kabupaten Katingan, perbedaan adalah sebesar 98,455 ha (jika dibandingkan dengan peta WI) dan 79,580 ha (jika dibandingkan dengan peta MoA). Hal ini dapat dimaknai bahwa luasan sebaran lahan gambut pada peta WI dan MoA kemungkinan adalah underestimate, dan nampaknya luasan sebaran gambut berdasarkan studi ini, baik di Kabupaten Pelalawan maupun Kabupaten Katingan, lebih besar dari apa yang ditampilkan oleh peta WI dan MoA.

Temuan lain adalah area-area yang diberi warna merah muda pada gambar merupakan area gambut pada peta WI dan MoA, namun nampaknya adalah bukan lahan gambut jika berdasarkan studi ini. Beberapa area yang sebelumnya diklasifikasikan sebagai lahan gambut, dalam studi ini diklasifikasi ulang sebagai area bukan lahan gambut. Lahan-lahan lainya yang kurang data lapangan perlu diperiksa lebih jauh untuk memvalidasi hasil analisa.

Warna coklat dan hijau cerah diklasifikasikan sebagai lahan gambut namun dengan kedalaman yang berbeda. Warna coklat dipertimbangkan sebagai lahan gambut yang relatif lebih dalam dibanding dengan kedalaman gambut yang disajikan dalam peta WI dan MoA. Area-area warna hijau terang mengindikasikan kedalaman gambut yang lebih dangkal dibandingkan dengan kedalaman gambut pada peta WI dan MoA. Terakhir, area-area yang berwarna abu-abu merupakan area lahan gambut yang tidak

Page 64: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

64

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

memiliki perbedaan kedalaman antara peta WI, MoA dan peta lahan gambut yang dihasilkan dalam studi ini.

Gambar A24. Perbedaan antara peta lahan gambut baru di Pelalawan dengan peta a) peta lahan gambut WI; dan b) peta lahan gambut MoA

Gambar A25. Perbedaan antara peta lahan baru di Kabupaten Katingan dengan a) Peta lahan gambut WI; dan b) peta lahan gambut MoA

Dalam peta lahan gambut WI dan MoA, kategori gambut terdalam untuk Kabupaten Pelalawan adalah sampai 8 meter (gambar A9), faktanya, pada saat dilakukan verifikasi lapangan ditemukan bahwa gambut dengan kedalaman lebih dari 8 meter mewakili wilayah yang cukup luas pada wilayah tersebut. Area-area yang lebih dalam ini tersebar di bagian utara Kabupaten Pelalawan. Studi ini juga mengestimasi luasan sebaran gambut yang lebih besar di sebelah timur Sungai Kampar dibandingkan dengan peta lahan gambut yang telah ada. Lebih jauh, pulau yang terletak di sebelah timur Kabupaten Pelalawan diklasifikasi ulang dengan cara delineasi manual karena tidak ada data sampel di wilayah tersebut.

b) a)

a) b)

b)

Page 65: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

65

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Hasil klasifikasi kedalaman gambut di Kabupaten Katingan menunjukkan bahwa bagian utara dari luasan sebaran gambut cenderung lebih dalam dibandingkan dengan daerah Selatan. Pada bagian Utara, kedalaman gambut yang diestimasi lebih dalam karena jarak lahan gambut dari sungai Katingan semakin jauh atau bertambah. Pada sisi sebelah Timur Sungai Katingan, bersebelahan dengan batas kabupaten, kedalaman gambut diestimasi lebih dangkal dibandingkan dengan kedalaman gambut yang dilaporkan oleh peta WI dan MoA. Sebaliknya, sepanjang sisi Barat dari Sungai Katingan kedalaman gambut diestimasi lebih dalam dibanding dengan kedalaman gambut yang dilaporkan oleh peta WI dan MoA. Lebih jauh lagi, berdasarkan hasil studi diduga bahwa wilayah bagian Utara dari Kabupaten Katingan yang berbatasan dengan Kota Palangkaraya merupakan lahan gambut karena terletak pada daerah landai.

Tabel A8 menyajikan perbedaan-perbedaan (dalam hektar) dari estimasi sebaran dan kedalaman lahan gambut antara peta WI, MoA dan Peta lahan gambut baru yang dikembangkan dalam studi ini.

Key differences found in the Shimada Model based peatland map compared with…

Color indication

Wetlands International

peatland map (ha)

Ministry of Agriculture

peatland map (ha)

Pelalawan District

1. Area with deeper peat deposits 313,489 351,998

2. Area with no noticeable difference 300,574 267,2033. Area with shallower peat deposits 18,975 15,1214. Area identified as non-peatland in this study but as peatland by WI and/or MoA 46,571 42,859

5. Area identified as peatland in this study but as non-peatland by WI and/or MoA 99,713 97,226

Katingan District

1. Area with deeper peat deposits 205,526 224,921

2. Area with no noticeable difference 138,958 141,884

3. Area with shallower peat deposits 141,336 140,340

4. Area identified as non-peatland in this study but as peatland by WI and/or MoA 25,213 28,886

5. Area identified as peatland in this study but as non-peatland by WI and/or MoA 98,455 79,580

Tabel A8. Perbandingan Peta Lahan Gambut antara hasil studi dan Peta WI serta MoA

Page 66: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

66

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Studi ini menguji kelayakan penerapan dan kelebihan dari penggunaan metode Model Shimada untuk pemetaan lahan gambut. Dengan menggunakan dataset satelit dari awal 1990an, Model Shimada menguji dan menganalisa lahan gambut yang relatif dalam keadaan tidak terganggu di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Katingan, kemudian memperkirakan luasan sebaran lahan gambut dan kedalaman gambut, meskipun saat ini lokasi studi (training area) telah mengalami deforestasi, dibudidayakan atau terdegradasi. Mengetahui keadaan awal dari areal hutan sangat penting untuk memahami bagaimana lahan gambut terbentuk dan kemudian terdegradasi, dan juga untuk perencanaan rehabilitasi hutan rawa gambut. Pada dasarnya, Model Shimada ini menggunakan algoritma sederhana untuk mengolah dari data satelit (NOAA-AVHRR) yang saat ini tersedia secara gratis. Oleh karena itu, model ini dapat diterapkan pada wilayah-wilayah lahan gambut lainnya dengan tingkat kompleksitas teknis yang minimal dan biaya yang relatif rendah.

Page 67: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

67

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Bagian B: SEjARAH PEnGELOLAAn LAHAn GAMBUT DAn

IMPLIKASInyA TERHADAP Land-Use Land-Cover ChanGes (LULCC)

B1. Pendahuluan

Perubahan tutupan dan pengunaan lahan (LULCC) yang terjadi pada negara-negara tropis secara garis besar berkaitan dengan peluang pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial-politik dan juga kebutuhan-kebutuhan akan infrastruktur (Hecht, 1985). Dalam konteks yang lebih lokal, seperti di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Katingan, meningkatnya kebutuhan global akan tanaman pertanian, minyak sawit dan kayu ditambah dengan pertumbuhan populasi yang cepat, merupakan pemicu utama dari LULCC ini.

Walaupun sudah ada beberapa informasi yang tersedia mengenai LULCC di beberapa wilayah di Indonesia, namun khusus untuk kasus konversi lahan gambut menjadi penggunaan lahan lain belum banyak informasi yang tersedia. Hal ini disebabkan oleh belum banyaknya pengetahuan dan penelitian mengenai lahan gambut tropis itu sendiri serta minimnya ketersediaan data.

Sebuah pemahaman yang lengkap akan kompleksitas dan dinamika dari LULCC pada lahan gambut tropis merupakan sebuah modal dasar untuk membangun perencanaan dan pemanfaatan lahan gambut yang ada, juga sebagai dasar untuk menyusun strategi kebijakan nasional masa depan mengenai perubahan iklim dan penggunaan lahan. Dalam studi ini, sebuah analisa yang cukup mendalam mengenai LULCC pada lahan gambut di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Katingan telah dilakukan. Analisa dilakukan berdasarkan citra satelit, data lapangan, diskusi dengan masyarakat, serta sumber-sumber sekunder lain.

B2. Metodologi

B2.1. Analisa Penginderaan Jauh (inderaja)

Penginderaan jauh citra satelit dan perangkat lunak jenis suite of Geographical Information System (GIS) dijalankan untuk melakukan analisa LULCC pada lahan gambut yang sudah terstratifikasi dengan rentang setiap 5 tahun, mulai tahun 1990 sampai 2013.

Sumber citra satelit utama yang digunakan adalah Landsat TM4, 5, 7 dan 8. Sebelum digunakan dan diinterpretasi, koreksi citra baik secara radiometric maupun geometric dilakukan terlebih dahulu. Proses interpretasi citra satelit terdiri beberapa aktivitas seperti, identifikasi obyek, delineasi dan penamaan, sesuai dengan klasifikasi LULC yang telah ditentukan sebelumnya (gambar B1). Untuk meningkatkan interpretasi visual citra satelit, maka penajaman

Gambar B1. Alur analisa Land-use and land-cover change analysis process

Page 68: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

68

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

kualitas citra satelit dilakukan dengan menerapkan komposit warna berikut RGB 543 dan RGB 453. Data citra Alos Palsar juga turut dipelajari untuk melengkapi, mengklarifikasi dan memvalidasi beberapa area yang tidak terlalu jelas atau area-area yang tertutup awan pada citra Landsat. Sebaran lahan gambut dalam wilayah studi dilakukan dengan menumpangsusunkan peta lahan gambut baru yang dikembangkan berdasarkan Model Shimada (Lampiran 1 dan 2).

Metode post-classification comparison digunakan untuk mengkuantifikasi LULCC pada lokasi studi. Definisi dari LULC kelas sendiri dijelaskan secara lebih mendetil pada pendahuluan di bagian 3 dari laporan ini. Secara umum untuk mengidentifikasi dan sekaligus mengkuantifikasi LULCC adalah dengan mengestimasi luas total setiap kelas tutupan lahan pada tahun X dan pada tahun X+5 sehingga perubahan dalam setiap kelas dapat diamati. Analisa LULCC dengan penginderaan jauh ini kemudian diverifikasi ulang di lapangan dengan data empiris hasil wawancara, observasi lapangan dan diskusi terfokus.

B2.2. Diskusi Kelompok terfokus (FGD) dan Survei data dasar sosial

Empat pertemuan diskusi kelompok terfokus (FGDs) telah dilakukan selama studi. FGD dilakukan di 4 desa (dua di Kabupaten Pelalawan dan 2 di Kabupaten Katingan) dengan durasi pertemuan adalah 2 jam, di mana desa-desa tersebut berada di sekitar lokasi studi lahan gambut. Tabel B1 merinci peserta dan fasilitator pertemuan diskusi di setiap desa. Dalam setiap pertemuan dihadiri sekitar 25 sampai 35 perwakilan masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki dengan mata pencaharian utama adalah nelayan atau petani.

Tabel B1. Daftar peserta FGDs

Lembaga Peserta

Kabupaten Pelalawan (Juni 3 – 6, 2013)

Universitas Riau Dr. Haris Gunawan (fasilitator)

Yayasan ISEC (based in Pekanbaru) Rini Ramadanti (fasilitator lokal)

PT. Mazars Starling Resources Rumi Naito, Taufik Hidayat

Dusun Teluk Meranti, Kecamatan Teluk Meranti; dan Dusun Pangkalan Kapau, Kelurahan Kerumutan

Perwakilan masyarakat (petani, nelayan, dan kelompok perempuan petani organik)

Kabupaten Katingan (Juni 18 – 19, 2013)Universitas Palangka Raya Dr. Adi jaya (fasilitator)Riau University Dr. Haris GunawanYayasan Puter Decky (fasilitator lokal)

PT. Mazars Starling Resources Rumi Naito

Tewang Kampung and Kampung Melayu villages Perwakilan masyarakat (petani, nelayan, kepala desa, dan kelompok perempuan)

Page 69: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

69

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Metodologi dalam melakukan FGD adalah sebagai berikut:

1) Pemilihan desa

Pemilihan desa untuk melakukan FGD dan survei dasar berdasarkan kriteria di bawah:

• Jarak atau kedekatan dengan lahan gambut;• Mudah diakes oleh anggota tim studi; • Mata pencaharian tergantung pada lahan gambut; dan • Kesediaan dan kemauan dari warga lokal untuk mengorganisasi dan membantu pelaksanaan FGD.

2) Pengumpulan data primer

Selama melakukan FGD digunakan metode diskusi semi-terstruktur, ini menjaga jalannya diskusi namun tetap memberi ruang untuk topik-topik lain (gambar B2). FGD ini dihadiri oleh perwakilan masyarakat lokal yang terdiri dari petani, nelayan, kelompok perempuan, tetua kampung, kepala desa dan tokoh informal desa. Dalam FGD pembahasan utama adalah mengenai kondisi sosial-ekonomi, penguasaan lahan, praktek pengelolaan lahan gambut, LULCC, dan pola penghidupan masyarakat.

Agenda utama selama FGD antara lain adalah:

• Perkenalan, pemaparan tujuan FGD dan pemaparan singkat tentang desa;• Kegiatan mata pencaharian, LULUC, dan pola-pola pengelolaan di lahan gambut; dan• Perubahan iklim dan dampak potensialnya terhadap mata pencaharian.

3) Cek silang dengan sistem Triangulasi

Selain menggali informasi selama FGD, tim studi pun melakukan observasi dan wawancara secara langsung dengan beberapa orang lokal yang tidak terlibat dalam proses FGD untuk memverifikasi informasi yang didapatkan selama FGD.

Gambar B2. FGD di Dusun Pangkalan Kapau, Pelalawan (kiri) dan Desa Tewang Kampung, Katingan (kanan)

Page 70: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

70

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

4) Analisa data

Seluruh data yang dikumpulkan selama proses FGD dan triangulasi kemudian dianalisa dengan merujuk kepada beberapa literatur yang relevan dan hasil analisa perubahan iklim.

B3. Hasil dan Diskusi

B3.1. Telaah Pola LULCC Masa Lampau

Salah satu penyebab utama dari LULCC di lahan gambut tropis adalah adalah pola mata pencaharian yang bergeser akibat dari adanya peluang-peluang sosial-ekonomi dan adanya kebutuhan mendesak lainya. Informasi dari hasil survei data dasar sosial dan FGD pada desa-desa tepilih di lokasi studi memperlihatkan adanya pola-pola kejadian LULCC yang mirip antara Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Katingan. Pola mata pencaharian masyarakat lokal dalam lokasi studi ini telah bergeser untuk mengakomodir kebijakan-kebijakan pada sektor kehutanan, kebutuhan pasar, kebutuhan ekonomi dan pertumbuhan populasi. Secara turun-temurun, sebenarnya masyarakat lokal pun sejak dahulu telah menggantungkan mata pencaharian kepada hutan, diantaranya adalah pembalakan kayu, pengumpulan hasil hutan bukan kayu [sonde (Payena lerii), rotan (Calamus sp.), jamur, tumbuhan obat, madu dan lainnya]. Selain itu, mata pencaharian lain yang sudah turun temurun adalah perladangan tradisional dan juga berburu atau menangkap ikan.

Pada akhir tahun 1960an, tidak lama setelah era orde baru Suharto menjabat, pemerintah mengumumkan bahwa seluruh kawasan hutan adalah tanah milik negara, dan memberikan konsesi ekploitasi kayu tanpa kontrol kepada beberapa perusahaan besar. Dengan mendompleng masa-masa keemasan perekonomian Indonesia yang dimulai pada tahun 1970-an, masyarakat lokal kemudian banyak terlibat dalam usaha pembalakan kayu ini, baik secara legal maupun tidak legal. Harga-harga komoditas melonjak naik dan usaha pembalakan kayu jadi sangat menguntungkan. Pembalakan kayu yang dijalankan oleh para pemegang konsensi atau para “cukong kayu” dengan cepat telah mengubah rona hutan gambut primer menjadi sekunder atau non-hutan. Kayu-kayu yang menjadi sasaran adalah jenis-jenis kayu seperti Kayu besi (Eusideroxylon zwageri), ramin (Gonystylus bancanus), meranti (Shorea spp.), jelutung (Dyera Lowii), punak (Tetramerista glabra) dan keruing (Dipterocarpus spp.). Munculnya usaha-usaha kecil sawmills dan operasi pembalakan kayu telah mengundang banyak orang luar untuk datang ke kawasan ini; tercatat banyak pendatang dari Sumatra, Jawa, Sulawesi, Papua barat dan Bali. Log-log yang ditumbangkan kemudian disarad secara manual atau tradisional dengan membangun kanal-kanal dan jalur kuda-kuda kayu yang kemudian memicu proses degradasi dan pengeringan hutan gambut utuh menjadi lebih cepat dan luas (gambar B3). Walaupun begitu, sekitar tahun 2001, setelah dikeluarkan larangan melakukan pembalakan liar dan penggerebekan ke lapangan, aktivitas pembalakan kayu ini mulai menurun, khususnya dalam wilayah studi.

Page 71: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

71

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar B3. Transportasi log dan jalur kuda-kuda

B3.1.1. Sejarah LULCC dalam Kabupaten Pelalawan

Menanam padi merupakan salah satu mata pencaharian tradisional utama bagi masyarakat lokal yang hidup di atau sekitar lahan gambut Kabupaten Pelalawan. Kemudian, sistem perladangan berpindah pun merupakan praktik yang diterapkan oleh masyarakat lokal setidaknya sampai akhir tahun 1980-an. Berpindah-pindah tempat, masyarakat lokal kemudian menebang kayu, membakar akar-akar yang tertinggal, semak dan rerumputan, kemudian membangun irigasi dan pada akhirnya menanam padi pada lahan gambut tersebut. Setelah masa tiga tahun penanaman, lahan gambut menjadi kering dan kurang subur yang pada akhirnya hasilnya sudah tidak menguntungkan dan lahan sawah kemudian ditinggalkan. Lahan-lahan yang telah ditinggalkan ini kemudian tumbuh kembali menjadi hutan sekunder, atau dalam beberapa kasus, kebakaran lahan gambut akan membuat lahan tersebut menjadi lahan kosong atau terlantar yang menyebabkan subsiden parah. Menurut beberapa petani yang mengelola sawah, permukaan gambut akan turun sekitar 50 sampai 60 cm setelah lahan tersebut tiga tahun dikelola secara terus–menerus dengan sistem irigasi (pengeringan) melalui pembangunan kanal dan parit.

Sejak akhir tahun 1980an, para petani lokal telah mengubah sistem pengelolaan pertanian mereka dari sistem ladang berpindah menjadi ladang yang permanen dan menetap. Secara umum, petani saat ini lebih memilih untuk mengembangkan pertanian di atas tanah mineral atau lahan gambut dangkal. Hal disebabkan para petani mulai paham bahwa lahan tanah mineral dan gambut dangkal relatif lebih subur dan biaya pemeliharaan yang lebih rendah. Walaupun paham akan hal tersebut, dalam wilayah studi lahan-lahan pertanian sudah merambah kawasan gambut dalam dikarenakan lahan-lahan produktif yang sudah sangat terbatas.

Menjelang awal tahun 1990an, para pemilik kebun karet skala kecil semakin banyak dijumpai, meninggalkan lahan-lahan pertanian menjadi terlantar. Pola ini telah mengubah pola penggunaan lahan yang tradisional menjadi perkebunan monokultur. Begitu pula dengan pemilik perkebunan kelapa sawit skala kecil yang mulai sejak tahun 1990an, mereka pun telah mengubah pola penggunaan lahan tradisional. Pada pertengahan tahun 2000-an, perubahan drastis terjadi pada bentang alam lokal dengan hadirnya perusahaan-perusahaan bubur kertas dan hutan tanaman industri. Akibat bisnis baru ini, banyak luasan hutan gambut yang ditebang habis, kanal-

Page 72: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

72

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

kanal dibangun kemudian akhirnya hutan gambut berubah menjadi hutan tanaman industri (umumnya akasia). Dampak dari kegiatan ini pun adalah hilangnya akses masyarakat lokal terhadap lahan dan sumber daya alamnya.

Pembangunan perkebunan bubur kayu (pulpwood) juga memiliki dampak terhadap mata pencaharian masyarakat lokal. Berkurangnya hasil tangkapan ikan sejak dimulainya pembangunan perkebunan dan hutan tanaman banyak dirasakan oleh para penangkap ikan dari masyarakat lokal. Jumlah populasi ikan menurun akibat dibangunnya kanal yang besar dekat Sungai Kampar dan anak-anak sungainya, selain itu terjadi penurunan atau rusaknya kualitas air sungai diakibatkan oleh pupuk dan pestisida kimia yang digunakan oleh perkebunan tersebut. Banyak masyarakat lokal yang dahulunya menggantungkan hidup pada perikanan saat ini terpaksa berpindah ke pertanian dan perkebunan skala kecil. Perubahan mata pencaharian ini berakibat meningkatnya kebutuhan akan lahan, sehingga cukup banyak lahan gambut dan hutan gambut kemudian dikonversi menjadi perkebunan skala kecil, baik perkebunan karet maupun kelapa sawit, di mana perkebunan ini membutuhkan kanal dan parit untuk mengeluarkan air. Akibat pembangunan perkebunan ini, terjadi kerusakan lahan gambut. Kejadian subsiden dan menurunnya muka air tanah dilaporkan oleh masyarakat berdasarkan hasil pengamatan mereka sendiri di lapangan, hal yang lebih parah adalah kejadian kebakaran hutan dan polusi asap pada musim kemarau.

Saat ini, perkebunan dan pertanian merupakan kontributor utama dalam perkembangan ekonomi lokal bagi desa-desa dalam kawasan gambut di Kabupaten Pelalawan. Pohon karet dan kelapa sawit merupakan sumber mata pencaharian yang dominan dan penting (gambar B4). Hampir semua masyarakat yang diwawancarai selama survei sosial, secara rata-rata, menyatakan memiliki kebun karet atau kebun kelapa sawit seluas 2-4 hektar, bahkan beberapa menyatakan memiliki lahan lebih dari 13 ha. Walaupun kebun karet masih sangat umum dijumpai di kawasan ini, namun masyarakat lokal saat ini lebih menyukai perkebunan kelapa sawit dari produk pertanian lainnya, karena dianggap lebih menguntungkan.

Gambar B4. Perkebunan karet skala kecil (kiri),tumpukan tandan kelapa sawit yang siap jual ke pengepul (kanan)

Penyiapan lahan untuk perkebunan karet dan kelapa sawit memerlukan pembersihan lahan, seperti penebangan pohon, pembakaran semak-semak yang tersisa, akar dan rerumputan, kemudian diperlukan juga pembuatan kanal dan parit (biasanya memiliki lebar 1.5-2 m dan kedalaman sekitar 2 m) untuk mengurangi air dalam lahan gambut tersebut. Beberapa pemilik lahan biasanya menanam padi terlebih dahulu sebelum mulai dengan perkebunan karet atau kelapa sawit (gambar B5). Dalam lahan perladangan di mana kondisi tinggi muka air sangat rendah kejadian kebakaran lahan gambut merupakan hal biasa dan kadang-kadang berulang-ulang khususnya

Page 73: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

73

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

pada musim kemarau. Setelah menyala, biasanya karena puntung rokok atau akibat dari pembersihan lahan, api akan merambat dengan cepat dalam lapisan gambut sehingga sulit dikendalikan dan dipadamkan. Untuk mengatasi penyebaran api, biasanya masyarakat lokal akan membuat parit di sekeliling kebun mereka. Walaupun ada resiko kerugian ekonomi dari kebakaran hutan, namun keuntungan yang akan diperoleh dari perkebunan karet dan kelapa sawit masih menjadi pertimbangan utama bagi masyarakat lokal, dibanding dengan komoditas berbasis lahan lainnya.

Gambar B5. Penyiapan lahan di perkebunan skala kecil, Kabupaten Pelalawan

B3.1.2. Sejarah LULCC di Kabupaten Katingan

Sampai menjelang akhir tahun 1990an, sebagian besar masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan lahan gambut dalam wilayah Kabupaten Katingan, secara ekonomi sangat tergantung kepada hasil hutan. Pengambilan rotan di hutan alam merupakan salah satu kegiatan mata pencaharian utama di samping mata pecaharian lain seperti bertani padi, pembalakan kayu, dan pengumpulan hasil hutan bukan kayu lainnya. Setelah diterbitkan larangan pembalakan kayu, atau sekitar menjelang pertengahan tahun 2000-an, banyak masyarakat kemudian berpindah mata pencaharian yang lebih bergantung kepada lahan gambut. Hal ini kemudian diikuti dengan pembangunan kanal dan parit-parit kemudian membuka perkebunan karet atau wanatani karet yang biasanya dicampur dengan rotan, nenas atau pohon buah-buahan.

Sama halnya dengan Kabupaten Pelalawan, padi merupakan salah satu sumber utama dari mata pencaharian bagi masyararkat lokal yang ada di Kabupaten Katingan. Tanaman padi ini biasanya dipanen setahun sekali saja. Pembukaan lahan persawahan seringkali didukung oleh pemerintah daerah, dimulai dengan penebangan pohon-pohon, pembakaran sisa-sisa akar, semak dan rerumputan, kemudian pembangunan parit-parit dan saluran irigasi. Hasil panen biasanya dikonsumsi secara lokal saja, dijual memang jika hasilnya berlebih. Umumnya perladangan padi di lahan gambut ini hanya bertahan 3 tahun saja, setelah itu lahan menjadi kering dan tidak subur. Akhirnya lahan diubah menjadi kebun karet dan rotan atau bahkan ditinggalkan saja. Lahan yang ditinggalkan ini kemudian menjadi semak dan hutan sekunder diawali dengan tumbuhnya pohon galam (Melaleuca sp.) dan atau tumih (Combretocarpus rotundatus), pada beberapa kasus, kebakaran lahan akan menghanguskan seluruh lahan mengakibatkan tetap menjadi lahan kosong dan subsiden.

Page 74: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

74

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Lahan-lahan pertanian di Katingan sudah mulai masuk ke dalam areal gambut dalam karena kurangnya lahan-lahan perladangan bagi masyarakat sekitar. Di bagian sebelah selatan dari kanal utama, kanal yang menghubungkan Sungai Katingan dan Sungai Mentaya, merupakan areal lahan gambut dengan kedalaman rata-rata 3 sampai 4 meter, namun baru-baru ini warga Desa Kampung Melayu mendapatkan jatah lahan pertanian seluas 200 hektar dari pemerintah daerah, melalui Dinas Pertanian (gambar B6). Lahan seluas 200 hektar ini kemudian dibagi-bagikan kepada warga Kampung Melayu, rata-rata setiap warga mendapat satu hektar lahan siap tanam. Hal serupa juga terjadi di Desa Tekwang Kampung, di mana telah dikembangkan lahan seluas lebih dari 400 hektar, lahan ini sekarang telah mengalami kebakaran pada tahun 2007 dan saat ini ditumbuhi oleh Kelakai (Stenochlaena palustric). Walaupun ijin atau pendanaan belum turun dari pemerintah daerah, para petani lokal berencana untuk menanam jelutung dan membuka perkebunan kelapa sawit di lokasi tersebut.

Gambar B6. Pembangunan lahan persawahan di lahan gambut.

Saat ini, hampir semua masyarakat lokal bergantung kepada pertanian, dan mereka menjalankan sistem pertanian subsisten, seperti padi, kebun karet, rotan dan lainnya. Terkadang mereka juga mengambil ikan dan mengambil hasil hutan bukan kayu jika musimnya tepat. Sistem perkebunan yang dikembangkan biasanya merupakan kebun campuran atau wanatani, di mana karet biasanya dicampur dengan rotan, nenas atau jahe. Kadang-kadang, walaupun sangat jarang, mereka menanam padi pada lahan yang sama dengan karet dan komoditas lain, sampai komoditas ini tumbuh dewasa dan padi tidak dapat tumbuh lagi.

Selain mata pencaharian di atas, beberapa masyarakat lokal memiliki pekerjaan tambahan sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit, menambang emas, membudidayakan sarang burung walet, membuat kerajinan atau hanya sekedar membuka warung kecil. Bahkan akhir-akhir ini mulai ada ketertarikan warga untuk membuka lahan perkebunan sawit di lahan gambut dalam lokasi studi.

Page 75: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

75

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

B3.2. Analisa Penginderaan Jauh LULCC Kabupaten Pelalawan

Analisa perubahan tutupan lahan berdasarkan penginderaan jauh telah memperlihatkan jejak perubahan yang sangat signifikan pada bentang alam lahan gambut di Kabupaten Pelalawan selama 20 tahun terakhir.

Gambar B7 memperlihatkan secara visual perubahan landscape. Gambar B7 ini juga menyajikan peta LULCC dengan selang lima tahunan mulai 1990 sampai 2013. Gambar 8 dan tabel 12 menyajikan rangkuman LULCC dengan beberapa penghilangan untuk tutupan yang tidak signifikan.

Gambar B7. Perubahan tutupan lahan di lahan gambut Kabupaten Pelalawan dalam periode 1990-2013

Page 76: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

76

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar B8. Rangkuman dari LULCC (dalam hektar) di lahan gambut Kabupaten Pelalawan (1990- 2013)

Tabel B2. Rangkuman LULCC (dalam persen) di lahan gambut Kabupaten Pelalawan (1990-2013)

Seperti yang disajikan oleh data-data di atas, pada tahun 1990 sebagian besar lahan gambut di Kabupaten Pelalawan masih tertutup oleh hutan rawa yang lebat. Diperkirakan sekitar 390,397 ha atau 47% dari lahan gambut saat itu masih utuh, dan 325,052 ha atau 40% masih ditutupi hutan rawa sekunder. Menjelang tahun 2000, sebanyak 140,288 ha atau 39% dari luas hutan rawa gambut primer di tahun 1990 telah terdegradasi oleh pembalakan kayu. Selama masa ini juga sudah mulai beberapa

Page 77: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

77

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

areal lahan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman. Sementara itu, tutupan lahan lain seperti lahan pertanian, perkebunan dan lahan-lahan kosong terus bertambah seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk.

Perubahan yang sangat besar pada lahan gambut terjadi pada sekitar tahun 2000 dan 2005. Luasan hutan rawa gambut primer dan sekunder yang dikonversi menjadi perkebunan atau hutan tanaman cukup siginifikan pada masa ini. Akibat beroperasinya konsesi-konsesi hutan tanaman industri, terjadi penambahan luas hutan tanaman dari 17.359 ha pada tahun 2000 menjadi 113.827 ha pada tahun 2005 – sebuah penambahan sebesar 556%. Begitu pula perluasan perkebunan sawit, pada periode yang sama telah menjadi dua kali lipat 18.818 ha menjadi 42.261 ha. Akibat dari konversi tersebut, hutan rawa gambut primer berkurang sebesar 30% dari 250.109 ha menjadi 175.769 ha, dan hutan rawa gambut sekunder berkurang sebesar 24% dari 359,622 ha menjadi 273,723 ha.

Pola konversi lahan dari hutan rawa gambut menjadi hutan tanaman atau perkebunan monokultur terus berlangsung sampai dengan tahun 2010. Di akhir tahun 2010, luas areal hutan tanaman industri bertambah dari 113,827 ha menjadi 180,672 ha, dan perkebunan kelapa sawit dari 42,261 ha menjadi 68,053 ha. Lahan-lahan pertanian dan perladangan skala kecil pun terus bertambah dan menyumbang kepada perubahan bentang alam di Kabupaten Pelalawan. Sampai dengan akhir tahun 2010, sebagian kecil dari hutan rawa sekunder dan semak-semak telah dikonversi menjadi pemukiman dan beberapa infrastruktur dengan penambahan luasan mencapai 249% dari hanya 40 ha menjadi 138 ha. Lampiran 1 menyajikan secara lebih detil mengenai LULCC di kabupaten Pelalawan.

Bentang alam Kabupaten Pelalawan telah berubah secara drastis sejak tahun 1990. Perubahan ini terjadi untuk mengakomodir kebutuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk (Tabel B3 dan Gambar B9), perubahan ini kemudian hanya menyisakan sedikit hutan rawa gambut yang alami. Hutan tanaman industri merupakan tutupan lahan yang mendominasi bentang alam lokal dengan luas mencapai 241,793 ha. Perluasan konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit, kebun karet dan perladangan juga mengalami peningkatan dengan kecepatan yang signifikan. Hutan rawa gambut yang tersisa hanya sekitar 135,562 ha – Sejak tahun 1990 seluas 65% dari hutan gambut utuh atau asli telah hilang dan beralih fungsi. Untuk hutan rawa sekunder, hanya sekitar 180,215 ha saja yang tersisa sampai hari ini.

Tabel B3. Perubahan populasi dari 2003 sampai 2011 dalam kecamatan-kecamatan yang berlokasi di areal lahan gambut.

Page 78: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

78

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar B9. Perubahan populasi dari 2003 sampai 2011 dalam kecamatan di Kabupaten Pelalawan

B3.3. Analisa Pengideraan Jauh dari LULCC di Kabupaten Katingan

Analisa penginderaan jauh untuk LULCC pada Kabupaten Katingan telah membuktikan bahwa terjadi degradasi dan konversi hutan rawa gambut secara besar-besaran di bentang alam lokasi studi selama periode 20 tahun terakhir. Gambar B11 memperlihatkan secara visual perubahan dalam bentang alam lokal, dan gambar B10 serta Tabel B4 menyajikan rangkuman dari LULCC dengan selang waktu analisa setiap lima tahunan mulai dari tahun 1990 sampai 2013 dengan beberapa penghilangan untuk tutupan yang dianggap tidak signifikan.

Gambar B10. Rangkuman LULCC utama (hektare) di lahan gambut Kabupaten Katingan dalam periode 1990 sampai 2013

Page 79: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

79

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar B11. Perubahan tutupan lahan di atas lahan gambut Kabupaten Katingan periode 1990 sampai 2013

Tabel B4. Rangkuman LULCC (persen) di lahan gambut Kabupaten Katingan periode 1990 sampai 2013

Page 80: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

80

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Dalam tahun 1990, ada sekitar 598,281 ha atau lebih dari 98% lahan gambut di Kabupaten Katingan masih tertutup oleh hutan rawa, yang mana terdiri dari hutan rawa gambut primer seluas 46% dan hutan rawa gambut sekunder seluas 52%. Aktivitas masyarakat pada saat itu terbatas hanya pada pembalakan kayu, pengumpulan hasil hutan bukan kayu, mencari ikan dan berburu. Pada periode tahun 1973 sampai sekitar 2002an, industri kayu merupakan penggerak ekonomi utama dalam kawasan ini, hamper seluruh kawasan hutan dimiliki oleh HPH. Selain itu, pembalakan liar pun semakin marak dalam periode ini. Kegiatan ini mau tidak mau mempercepat proses degradasi dan penggundulan hutan rawa gambut.

Menjelang tahun 1995 sebanyak 36% dari hutan rawa primer telah terdegradasi akibat dari aktivitas pembalakan kayu. Antara tahun 1990 sampai 1995 ini, hampir sekitar 7% dari hutan rawa primer dan 12% dari hutan rawa sekunder berubah menjadi semak-semak dan ilalang. Akibatnya, tutupan lahan berupa semak dan ilalang bertambah sebesar 599% atau menjadi sekitar 66,956 ha selama periode ini. Perubahan tutupan lahan ini terlihat lebih jelas di wilayah sebelah Timur Sungai Katingan.

Perubahan tutupan lahan ini terus berlanjut, menjelang 2010, terjadi perubahan yang sangat luas dari hutan rawa gambut primer menjadi semak dan ilalang saja, di mana kemudian semak dan ilalang ini mendominasi wilayah lahan gambut di sebelah selatan dari Kabupaten Katingan. Sebagian besar area lahan gambut di sebelah timur Sungai Katingan telah disahkan menjadi kawasan perlindungan dan konservasi di bawah Taman Nasional Sebangau pada tahun 2004. Kemudian pada tahun 2008, sebagian besar area lahan gambut di sebelah Barat Sungai Katingan telah dicadangkan sebagai area restorasi ekosistem oleh Kementrian Kehutanan. Walaupun sudah ada keputusan mengenai perlindungan dan konservasi hutan rawa gambut di wilayah Taman Nasional Sebangau dan wilayah restorasi ekosistem namun kerusakan hutan rawa gambut dalam wilayah tersebut masih saja terus terjadi. Lampiran B menyajikan secara lebih detil mengenai hasil analisa LULCC untuk Kabupaten Katingan.

Saat ini, masih sekitar 518,704 ha atau 85% dari lahan gambut di Kabupaten Katingan tertutup hutan rawa, walaupun hutan rawa gambut yang ada pada tahun 1990 telah berkurang sebesar 60% untuk mengakomodir kebutuhan ekonomi dan pertumbuhan jumlah penduduk (tabel B5 dan gambar B12). Saat ini mulai ada pengembangan perkebunan kelapa sawit sekitar 1,305 ha dekat dengan Desa Baun Bango, wilayah Kecamatan Kamipang. Kemungkinan konversi lahan ke depan sulit dihindari di wilayah ini, karena saat ini perkebunan kelapa sawit mulai menarik perhatian warga, dan juga investor luar.

Tabel B5. Perubahan populasi dalam periode 1998 sampai 2012 di dalam kecamatan yang terletak di lahan gambut

Page 81: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

81

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar B12. Perubahan populasi dalam periode 1998 sampai 2012 pada kecamatan yang sama

Tidak seperti di Kabupaten Pelalawan, LULCC di Kabupaten Katingan lebih banyak diakibatkan oleh aktivitas pembalakan yang tidak terkontrol dan kemudian berubah menjadi semak-semak dan ilalang. Walaupun hasil analisa citra satelit mengklasifikasikan bahwa konversi lahan gambut kebanyakan menjadi semak-semak dan ilalang, namun survei lapangan membuktikan lain. Semak-semak dan ilalang dari hasil analisa citra satelit ternyata sebagiannya adalah sawah tadah hujan, perladangan dan kebun karet. Hal ini menyiratkan adanya keterbatasan akurasi dengan menggunakan citra Landsat beresolusi 30 meter. Agar dapat membedakan secara lebih detil tutupan lahan yang ada di lapangan, seperti membedakan ilalang dan padi, maka citra beresolusi tinggi sangat diperlukan.

Page 82: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

82

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Bagian C: PERUBAHAn IKLIM DAn POTEnSI DAMPAK

TERHADAP LAHAn GAMBUT

C1. Pendahuluan

Perubahan iklim dapat mempengaruhi variasi dari temperatur udara dan permukaan lautan, juga dapat mempengaruhi pola curah hujan, kelembaban, tinggi muka air laut dan rezim hidrologis (IPCC, 2012). Kenaikan rata-rata temperatur tahunan biasanya akan diterjemahkan sebagai sebuah anomali iklim, yang akan meningkatkan juga fenomena El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan juga akan memicu kejadian-kejadian cuaca yang ekstrim serta bencana-bencana yang terkait dengan perubahan iklim (MoE, 2007). Hampir selama dua dekade lampau jumlah bencana alam yang disebabkan oleh kekacauan iklim, seperti banjir, kekeringan, longsor, badai, gelombang panas dan kebakaran hutan telah meningkat dua kali secara global. Bencana-bencana ini telah mengakibatkan kerugian, seperti korban jiwa, hilangnya mata pencaharian, di samping kerusakan sistem ekonomi dan lingkungan (Guterres, 2009). Jutaan orang telah kehilangan tempat tinggal dan harus berpindah tempat karena cuaca-cuaca ekstrim ini, di mana frekuensi dan intensitas cuaca ekstrim atau bencana-bencana ini hanya mungkin dapat terjadi dan meningkat dengan bertambahnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer (Sivakumar, 2005).

Perubahan iklim seringkali dikaitkan dengan kejadian-kejadian cuaca ekstrim. IPCC mendefinisikan sebagai berikut “[a] changing climate leads to changes in the frequency, intensity, spatial extent, duration, and timing of extreme weather and climate events, and can result in unprecedented extreme weather and climate events” (IPCC, 2000). Data dan informasi mengenai iklim ekstrim sangatlah penting untuk memahami implikasi dari perubahan iklim dan mengkaji resiko-resiko sosial dan lingkungan terkait perubahan iklim ini. Ekosistem lahan gambut adalah sebuah ekosistem yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Ketika gambut dalam keadaan kering, biasanya pada saat musim kemarau, gambut kering ini sangat mudah sekali terbakar, menyebar dan menjalar sampai mendekati batas muka air tanahnya. Gambut yang terdegradasi juga akan menurun kemampuannya dalam menahan air dan akhirnya dapat menyebabkan banjir. Pola cuaca yang sulit diperkirakan ini juga dapat menimbulkan dampak yang merugikan kepada aktivitas ekonomi harian masyarakat lokal, seperti menangkap ikan, berladang dan bertani.

Pemahaman yang berdasarkan kepada penelitian ilmiah mengenai perubahan iklim, proyeksi iklim ke depan dan dampak perubahan iklim akan memberikan sumbangan yang penting bagi masyarakat dan juga pembangunan yang berkelanjutan. Pemahaman yang komprehensif ini juga dapat membantu pembuat kebijakan untuk menentukan strategi mitigasi perubahan iklim, serta menyusun dukungan intervensi terhadap bencana dan pengelolaan resiko bencana, dan menjadi kunci untuk membangun strategi pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dalam arti adanya keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan usaha pengurangan emisi GRK.

Dalam bagian laporan ini, disajikan dan dibahas mengenai sejarah dinamika iklim dan implikasinya yang terjadi di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Katingan. Laporan ini juga mencoba untuk memaparkan proyeksi perubahan iklim sampai dengan tahun 2050 dengan menggunakan tujuh Global Circulation Model (GCM).

Page 83: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

83

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Kemudian bagian ini ditutup dengan mendiskusikan kejadian-kejadian dan proyeksi cuaca ekstrim dengan menjalankan analisa statistik.

C2. Metodologi

C2.1. Akuisisi Data

Globally gridded data dan surface observation data digunakan untuk menganalisa informasi-informasi tentang iklim yang telah didapat dari daerah Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Katingan. Untuk globally gridded data digunakan dataset deret-waktu versi 3.20 yang diambil dari Climatic Research Unit (CRU) Universitas East Anglia1. Sedangkan untuk surface observation data digunakan data dari badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang berlokasi di Pekanbaru dan Sampit2.

Dataset CRU menyajikan data variasi iklim bulanan berdasarkan dari nilai harian selama periode 1 Januari 1901 sampai dengan 31 Desember 2011. Dataset TS CRU ini menyediakan data untuk fenomena atau variabel lain seperti presipitasi, tutupan awan, temperatur diurnal, potensi evapotranspirasi, rata-rata temperatur harian, temperatur maksimum dan minimum harian, tekanan uap dan frekuensi hari basah. Namun, dalam studi ini data yang digunakan adalah data rata-rata temperatur harian dan presipitasi (nilai aktual, bukan anomali) untuk melakukan analisa perubahan iklim di Kabupaten Pelalawan dan Katingan.

Dataset CRU diolah dengan resolusi spasial 0.5° x 0.5° khusus pada wilayah daratan gambar C1. Dalam ilustrasi gambar 1, data poin warna merah muda yang berdekatan dengan titik 0.25°S; 102.25°E terletak dalam Kabupaten Pelalawan dan data poin merah muda yang berdekatan dengan 2.75°S;113.25°E terletak dalam Kabupaten Katingan diasumsikan dapat mewakili wilayah kabupaten studi. Data TS CRU ini kemudian divalidasi dengan menggunakan surface observation data periode 1990 sampai 2012 yang diperoleh dari stasiun BMKG Pekanbaru dan Sampit.

Gambar C1. Ilustrasi tutupan dan resolusi spasial dari Dataset TS CRU

1) Datasets are available online at: http://badc.nerc.ac.uk/view/badc.nerc.ac.uk__ATOM__ACTIVITY_3ec0d1c6-4616-11e2-89a3-00163e251233.

2) For the analysis of local climate patterns, BMKG data from Sampit, the capi-tal of Kotawaringin Timur District, was used instead of BMKG Palangka Raya, the capital of Central Kaliman-tan Province, because of its proximity to study area’s peatland.

Page 84: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

84

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

C2.2. Metode Analisa

Untuk dapat memahami sejarah pola variasi iklim dan anomali, beberapa tehnik statistik deskriptif dimanfaatkan dalam studi ini, beberapa tehnik tersebut adalah sebagai berikut:

• Analisa tren temporal (time-series);• Analisa plot Contour;• Analisa Box plot; dan • Analisa Histogram dari probability density function (PDF)dan cumulative density function (CDF). Untuk menganalisa proyeksi iklim dalam areal studi, tujuh model GCM dijalankan untuk membangun skenario iklim masa depan. Metode Savitzky-Golay smoothing (Savitzky and Golay, 1964) kemudian digunakan untuk menghaluskan hasil dari model GCM ini sehingga plot-plot hasil proyeksinya lebih baik. Ketujuh model GCM ini pun digunakan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada saat menyusun Fourth Assessment Report (AR4). Tujuan dari menjalankan model ini adalah agar dapat menyajikan potensi ketidakpastian-ketidakpastian keadaan atmosfer yang lebih beragam. Penjelasan secara detil dari setiap model GCM ini disajikan pada table C1 yang dimodifikasi dari tabel 8.1 laporan IPCC-AR4, bagian 8.

Dalam studi ini, telah dipilih salah satu skenario emisi karbon, yaitu skenario SRES A1B (moderate) dari hampir 40 skenario yang ada agar dapat mengilustrasikan kemungkinan perubahan iklim dalam wilayah studi sampai 35 tahun ke depan. Skenario A1B memegang asumsi-asumsi sebagai berikut “a future world of very rapid economic growth, global population that peaks in mid-century and declines thereafter, and the rapid introduction of new and more efficient technologies. Major underlying themes are convergence among regions, capacity building, and increased cultural and social interactions, with a substantial reduction in regional differences in per capita income” (IPCC, 2000). Skenario A1B dapat beradaptasi dengan perkembangan perubahan teknologi dalam sistem energi namun tidak tergantung sepenuhnya pada salah satu jenis sumber energi namun justru melalui pendekatan keseimbangan terhadap semua sumber-sumber energi.

Page 85: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

85

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Model ID, Vintage

Sponsor(s), Country

AtmosphereTop

ResolutionReferences

OceanResolution

Z Coord., Top BCReferences

CouplingFlux

AdjustmentsReferences

Land Soil, Plants,

Routing References

GFDL-CM2.0, 2005

U.S. Department of Commerce/National Oceanic and Atmospheric Administration

(NOAA)/Geophysical Fluid Dynamics Laboratory (GFDL), USA

top = 3 hPa

2.0° x 2.5° L24

GFDL GAMDT, 2004

0.3°–1.0° x 1.0°

depth, free surface

Gnanadesikan et al., 2004

no adjustments

Delworth et al., 2006

bucket, canopy, routing

Milly and Shmakin, 2002;

GFDL GAMDT, 2004

GFDL-CM2.1, 2005

top = 3 hPa 2.0° x 2.5° L24 GFDL GAMDT, 2004 with semi-Lagrangian transports

0.3°–1.0° x 1.0°

depth free surface

Gnanadesikan et al., 2004

no adjustments

Delworth et al., 2006

bucket, canopy, routing Milly and Shmakin, 2002;

GFDL GAMDT, 2004

UKMO-HadCM3, 1997

Hadley Centre for Climate Prediction and Research/Met Office, UK

top = 5 hPa

2.5° x 3.75° L19

Pope et al., 2000

1.25° x 1.25° L20

depth, rigid lid

Gordon et al 2000

no adjustments

Gordon et al., 2000

layers, canopy, routing

Cox et al., 1999

MIROC3.2

(medres),

2004

Center for Climate System Research (University of Tokyo), National Institute for Environmental Studies, and Frontier Research Center for Global change (JAM-STEC), Japan

top = 30 km

T42 (~2.8° x 2.8°) L20

K-1 Developers, 2004

0.5°–1.4° x 1.4° L43

sigma/depth, free

surface

K-1 Developers, 2004

no adjustments

K-1 Developers,

2004

layers, canopy, routing

K-1 Developers, 2004;

Oki and Sud, 1998

ECHAM5/MPI-OM, 2005

Max Planck Institute for Meteorology, Germany

top = 10 hPa

T63 (~1.9° x 1.9°) L31

Roeckner et al., 2003

1.5° x 1.5° L40

depth, free surface

Marsland et al., 2003

no adjustments

Jungclaus et al., 2005

bucket, canopy, routing Hagemann, 2002; Hagemann and Dümenil-Gates, 2001

Tabel C1. Deskripsi dari model-model terpilih. Tabel ini merupakan hasil modifikasi dari IPCC-AR4, WG 1 (IPCC 2007)

Page 86: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

86

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Model ID, Vintage

Sponsor(s), Country

AtmosphereTop

ResolutionReferences

OceanResolution

Z Coord., Top BCReferences

CouplingFlux

AdjustmentsReferences

Land Soil, Plants,

Routing References

MRI-CGCM2.3.2, 2003

Meteorological Research Institute, Japan

top = 0.4 hPa

T42 (~2.8° x 2.8°) L30

Shibata et al., 1999

0.5°–2.0° x 2.5° L23 depth, rigid lid

Yukimoto et al., 2001

heat, freshwater,

momentum (12°S–12°N) Yukimoto et al., 2001; Yukimoto and Noda, 2003

layers, canopy, routing

Sellers et al., 1986; Sato et al., 1989

CCSM3, 2005

National Center for Atmospheric Research, USA

top = 2.2 hPa

T85 (1.4° x 1.4°) L26

Collins et al., 2004

0.3°–1° x 1° L40

depth, free surface Smith and Gent, 2002

no adjustments

Collins et al., 2006

layers, canopy, routing Oleson et al., 2004;

Branstetter, 2001

C2.3. Batasan-batasan

Keterbatasan dari penggunaan data GCM untuk analisa perubahan iklim regional dan lokal adalah adanya bias karena resolusi grid yang relatif rendah dalam model ini. Hal ini juga dapat mengakibatkan adanya perbedaan estimasi terhadap curah hujan. Namun data GCM adalah data yang sering digunakan oleh komunitas ilmiah dan sampai saat ini yang relatif mudah tersedia secara cepat. Karena keterbatasan di atas, maka dalam studi ini menggunakan hasil-hasil dari ketujuh model GCM tersebut dan kemudian dirata-ratakan untuk meminimalisir potensi bias yang ada.

C3. Hasil dan Diskusi

C3.1. Observasi historis dari variasi iklim dalam Kabupaten Pelalawan

Gambar C2 memperlihatkan variasi rata-rata temperatur dan presipitasi bulanan berdasarkan hasil observasi dalam periode 1950–2012 pada lokasi studi. Garis hitam pada gambar C2 menunjukkan data dari CRU poin grid yang terletak dalam Kabupaten Pelalawan atau pada koordinat 0.25°S;102.25°E dan garis merah adalah data dari stasiun BMKG Pekanbaru. Kooefisien korelasi dari nilai rata-rata temperatur dan presipitasi hasil CRU TS dan Stasiun BMKG secara berurutan adalah 0.60 and 0.59. Walaupun terlihat ada relasi yang cukup kuat antara data CRU dan BMKG, namun rata-rata temperatur pada pertengahan tahun 1990an menunjukkan adanya bias. Variasi bulanan dari nilai rata-rata temperatur dalam satu tahun tidaklah signifikan, dan masih dalam rentang 1° sampai 2°. Variasi temperatur yang kecil ini merupakan hal biasa dalam daerah tropis seperti Indonesia.

Page 87: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

87

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar C2. Rata-rata data bulanan (a) temperatur dan (b) presipitasi di Pelalawan dari 1950-2012.

Data CRU TS menunjukkan adanya tren peningkatan rata-rata temperatur sebesar 1,33° C selama periode 1950 sampai 2011 (gambar C2a). Peningkatan temperatur yang cukup besar terjadi mulai pada April 1977 dengan nilai 27,5° C. Pada April tahun 1958 dan 1963 ada kenaikan rata-rata temperatur, namun tidak diikuti oleh adanya kondisi iklim ekstrim pada bulan-bulan selanjutnya. Temperatur tinggi yang terekam pada April 1958 terjadi bersamaan dengan adanya fenomena El Niño namun tidak terjadi pada tahun 1963 dan 1977. Tingginya temperatur pada tahun 1963 dan 1977 diduga karena adanya perubahan pada tutupan dan penggunaan lahan dalam area studi3. Dalam periode yang lebih kini, yaitu periode antara tahun 1990-2011, tren temperatur antara CRU TS dan BMKG menunjukkan hasil rekaman yang berbeda, hasil BMKG menunjukkan peningkatan yang lebih besar dengan nilai 1,33° C dari pada CRU TS data dengan nilai hanya 0,19° C. Perbedaan ini kemungkinan diakibatkan adanya perbedaan lokasi pengambilan data, di mana CRU TS berlokasi di Kabupaten Pelalawan dan BMKG di Kota Pekanbaru.

Rata-rata presipitasi bulanan menunjukkan adanya sedikit kenaikan, sebesar 2,91 mm, selama periode 1950 sampai 2011 (gambar 2B). Namun dalam periode yang lebih pendek yaitu antara 1990 sampai 2011 terekam adanya tren kenaikan presipitasi sebesar 57,37 mm (CRU TS) dan 73,22 mm (BMKG). Karena banyak sekali faktor yang mempengaruhi pola dan variasi curah hujan, cukup sulit untuk merumuskan dan memilih penjelasan terhadap fenomena ini. Walaupun begitu, presipitasi ini merupakan parameter yang penting dalam menganalisa perubahan iklim tropis karena adanya variasi dan rata-rata nilai yang dapat diamati dinamikanya setiap bulannya.

Untuk mengetahui variasi tahunan parameter iklim—khususnya temperatur dan presipitasi, dan juga anomali pada periode 1950 sampai 2012, dilakukan analisis contour bulan-tahun untuk variasi nilai temperatur dan presipitasi dengan menggunakan data CRU dan BMKG (Gambar C3). Gambar C3a mengindikasikan bahwa ada beberapa outlier (kondisi ekstrim) dalam data sebelum tahun 1980-an, outlier ini terjadi pada tahun bulan April dalam 1958, 1963 dan 1977. Namun setelah tahun 1980, kejadian temperatur ekstrim ini kemudian bergeser ke bulan Mei, September dan Oktober dengan adanya pola pemanasan umum serta kantong-kantong anomali di sepanjang tahun. Gambar C3c menampilkan tren temperatur dan anomali dalam periode tahun 1990 sampai 2012 berdasarkan data set BMKG, di mana data set tersebut menunjukkan adanya kejadian temperatur ekstrim pada bulan Mei 2004 dan juga 2012, dan pada bulan Agustus serta September untuk tahun 2008 sampai 2010. Hal ini membuktikan bahwa kejadian temperatur ekstrim lebih banyak terjadi setelah tahun 1990. Tren kenaikan temperatur ini juga divalidasi oleh masyarakat lokal pada saat diskusi terfokus tingkat desa di Kabupaten Pelalawan pada bulan Juni 2013.

3

3) Our social survey found that the study area has been experiencing a considerable land-use and land-cover changes since the 1960s. Such changes were driven by rapid urbanization, the timer boom in the late 1960s that fueled logging activities over a large area of pristine peat swamp forest, and peatland conversion into agriculture and plantations.

a) b)

Page 88: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

88

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

a)

c)

b)

d)

Berbeda dengan temperatur, variasi dalam pola presipitasi tidak terlalu kentara (gambar C3b dan C3d). Hal ini cukup konsisten dengan hasil analisa time-series yang ditunjukkan oleh gambar C2b yang tidak menunjukkan adanya variasi yang signifikan dan juga tren kenaikan. Walaupun begitu, ada beberapa anomali presipitasi pada tahun-tahun 1961, 1992 and 1997 yang terjadi pada musim kemarau panjang, sedangkan November 1979, Oktober 1990 dan 2004 terjadi intensitas hujan tinggi.

Rangkuman boxplot statistik dari rata-rata temperatur dan presipitasi bulanan pada lokasi studi dapat dilihat pada gambar C4, di mana kedua variabel tersebut menunjukkan tren kenaikan yang mirip. Dalam parameter temperatur terlihat adanya puncak pada bulanMei dan Oktober, namun tidak terlalu kentara pada data BMKG. Hal yang mirip pun terjadi pada pola presipitasi, boxplot menunjukkan puncak curah hujan pada bulan April dan November (gambar C4b dan C4d). Pola yang demikian berkaitan dengan peredaran semu matahari yang melintasi ekuator dua kali dalam setahun yang mengakibatkan pergerakan inter tropical convergence zone (ITCZ; Aldrian and Susanto 2003). Puncak pada bulan November sedikit lebih tinggi dari pada bulan April untuk kedua data CRU dan BMKG dengan rata-rata puncak curah hujan sebesar 250 mm, dan anomali mencapai 500 mm. Hal ini kemungkinan adanya pengaruh Monsoon Asia yang membawa banyak uap air ke arah selatan di bulan November.

Gambar C3. Analisa contour bulan-tahun (a) temperatur dan (b) presipitasi dari data CRU , dan (c) temperatur dan (d) presipitasi dari data BMKG. Temperatur dalam °C dan presipitasi dalam mm.

Page 89: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

89

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

C3.2. Observasi Tren Variasi Iklim di Kabupaten Katingan

Data variasi temperatur rata-rata dan presipitasi bulanan untuk periode 1950 sampai 2012 untuk Kabupaten Katingan ditampilkan oleh gambar C5. Garis hitam mewakili data dari CRU TS yang diperoleh dari stasiun (grid point) di dalam Kabupaten Katingan (2.75° S; 113.25° E) dan garis merah mewakili data yang diperoleh dari stasiun klimat di BKMG Sampit. Koefisien korelasi antara data CRU untuk Katingan dan stasiun BMKG Sampit untuk variabel temperatur rata-rata bulanan dan presipitasi adalah 0,24 dan 0,59.Terdapat bias temperatur rata-rata bulanan yang besar pada tahun 2005 sampai 2007, di mana data BMKG lebih besar kurang lebih 1° C dibandingkan dengan data CRU. Sementara itu pada tahun 2008, data BMKG menunjukkan penurunan temperatur sehingga lebih kecil dari pada data CRU. Bias ini dapat terjadi akibat perubahan lingkungan pada stasiun observasi BMKG, misalnya stasiun atau alat pencatat berpindah tempat, atau terjadi perubahan tata guna lahan di sekitar stasiun.

Gambar C5. Rata-rata data bulanan (a) temperatur dan (b) presipitasi di Katingan dari 1950-2012.

a) b)

a)

c)

b)

d)

Gambar C4. Rata-rata bulanan dari boxplot Pelalawan: (a) Temperatur; (b) Curah hujan dari data CRU; (c) Temperatur; (d) Curah hujan dari data BMKG. Garis hitam dan merah menunjukkan komposit rata-

rata curah hujan dan suhu dari CRU (BMKG).

Page 90: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

90

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Seperti halnya pada daerah Pelalawan, tren peningkatan temperatur tercatat pada data CRU selama periode 1950–2011 dengan besaran 0,58° C (gambar C5a). Sementara itu pada periode 1990–2011 terjadi tren penurunan temperatur sebesar 0,01° C pada rekaman data CRU TS ini. Begitu juga dengan data BMKG Sampit menunjukkan trend penurunan temperatur pada periode 1997–2012 dan hal ini berbeda dengan daerah Pelalawan yang cenderung menunjukkan tren kenaikan pada periode dua dekade terakhir. Berbeda dengan variabel temperatur, data presipitasi dari CRU TS untuk wilayah Katingan menunjukkan tren penurunan selama periode 1950–2011 sebesar 13,55 mm. Penurunan ini relatif kecil jika dibandingkan rata-rata bulanan yang berorde ratusan (Gambar C5b). Namun demikian, pada periode yang lebih singkat, yaitu 1990–2012, tren peningkatan ini ditunjukkan oleh data CRU dan BMKG yaitu sebesar 16,96 dan 78,18 mm. Sama dengan peningkatan presipitasi di wilayah Pelalawan, faktor penyebab perubahan curah hujan di Katingan sulit untuk diketahui secara pasti karena kompleksnya sistem atmosfer.

Jika dilihat dari variasi tahunan, antara tahun 1960an sampai 1970an terlihat adanya periode dingin relatif terhadap tahun-tahun yang lain (Gambar C5a dan C5b). Hal ini dimungkinkan berkaitan dengan variasi inter-dekadal iklim seperti Pasific Decadal Oscillation (PDO) yang diketahui biasa terjadi pada bagian utara dan selatan Pasifik dengan siklus 15 sampai 30 tahunan. PDO memiliki fase positif (hangat) dan fase negatif (dingin) yang akan mempengaruhi temperatur permukaan laut. PDO dapat mengubah pola sirkulasi atmosfer lautan dalam periode waktu yang relatif lebih lama dan akan berada dalam satu fase yang sama dalam jangka waktu satu atau dua dekade. Namun melalui data BKMG tahun 2004 dan 2007, terlihat jelas adanya periode hangat sebagai bias positif temperatur (Gambar C6c). Pergeseran maksimum temperatur tidak terlihat pada gambar tersebut. Periode hangat yang terlihat sebagai bias positif temperatur pada data times series BMKG (Gambar 9a) terlihat sangat jelas pada Gambar 10c.

Pada variabel presipitasi (Gambar 10b dan d), pergeseran puncak maksimun tidak terlihat dengan jelas sama seperti pada wilayah Pelalawan. Hal ini konsisten dengan pola time series yang tidak menunjukkan perubahan signifikan dan begitu pula dengan tren peningkatan curah hujan yang relatif kecil. Meskipun demikian, variasi presipitasi antar tahun masih dapat terlihat misalnya pada tahun 1960-an terlihat puncak maksimum terjadi pada bulan Januari–Februari sedangkan pada tahun-tahun yang lain puncak maksimum didominasi bulan Maret–April.

Page 91: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

91

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar C6b dan C6d menunjukkan variabel presipitasi; dalam gambar tidak terlalu kentara adanya pergeseran puncak maksimum curah hujan. Pada variabel presipitasi (Gambar 10b dan d), pergesaran puncak maksimun tidak terlihat dengan jelas sama seperti pada wilayah Pelalawan. Hal ini konsisten dengan pola time series yang tidak menunjukkan perubahan signifikan dan begitu pula dengan tren peningkatan curah hujan yang relatif kecil. Meskipun demikian, variasi presipitasi antar tahun masih dapat diamati misalnya pada tahun 1960-an terlihat puncak maksimum terjadi pada bulan Januari–Februari sedangkan pada tahun-tahun yang lain puncak maksimum didominasi di bulan Maret–April.

Pola temperatur yang diperlihatkan oleh boxplot menunjukkan pola tipikal untuk daerah tropis (Gambar C7a dan C7c) yang masih konsisten dengan lokasi studi Pelalawan. Untuk parameter temperatur, kedua data CRU dan BMKG menunjukkan adanya dua puncak pada bulan Mei dan November dan hal ini berhubungan dengan gerak semu matahari tahunan.

a)

c)

b)

d)

Gambar C6. Rata-rata contour bulan-tahun bulanan di Katingan (a) temperatur dan (b) presipitasi dari CRU, dan (c) temperatur dan (d) presipitasi dari data BMKG.

No data years

Page 92: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

92

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Presipitasi untuk daerah Katingan menunjukkan pola yang berbeda dengan daerah Pelalawan (Gambar C7b dan C7d). Pola presipitasi untuk daerah Katingan cenderung menunjukkan pola monsunal yaitu hanya terdapat satu puncak. Puncak curah hujan terjadi antara bulan Desember–April yang dalam hal ini berkaitan dengan Monsoon Asia. Pada banyak daerah di wilayah Indonesia, Monsoon Asia merupakan penghasil hujan.

C3.3. Proyeksi Iklim untuk Kabupaten Pelalawan

Seperti yang disajikan pada gambar C8, proyeksi temperatur dari tahun 2001 sampai 2050 mengindikasikan adanya perbedaan besar di antara ketujuh model GCM yang digunakan dalam studi ini. Model UKMO-HadCM3 cenderung untuk menghasilkan nilai temperatur yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan model lainnya. Sementara model GFDL-CM2.1 memproyeksikan nilai yang lebih rendah. Kelima model lainnya memberikan nilai yang berada di antara kedua model sebelumnya. Range antara temperatur tertinggi sampai terendah berkisar antara 3–4° C. Hal ini lebih tinggi dari variasi bulanan temperatur itu sendiri sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya.

Gambar C8. Temperatur rata-rata bulanan Kab. Pelalawan dari 7GCMs dengan skenario SRES A1B (2001–2050)

a)

c)

b)

d)

Gambar C7. Rata-rata bulanan dari boxplot Katingan (a) Temperatur (b) Curah hujan dari CRU dan (c) Temperatur (d) Curah hujan dari BMKG. Garis hitam dan merah menunjukkan komposit rata-rata presipitasi dan

temperatur dari data CRU dan BMKG.

Page 93: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

93

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Tren peningkatan temperatur (garis merah) diperoleh dengan cara terlebih dahulu merata-ratakan output ketujuh GCM untuk mendapatkan ensemble mean. Pada ensemble mean tersebut juga dilakukan penghalusan dengan menerapkan metode Savitzky-Golay dan setelah itu dihitung tren liniernya. Hasil tren linier temperatur menunjukkan nilai 1,37° C/50 yr, yang mana nilai ini dekat dengan nilai dari data CRU, yaitu 1,33° C. Meskipun resolusi output GCM jauh lebih rendah dari pada data CRU, diharapkan tren kenaikan temperatur ke depan tidak jauh berbeda. Tentunya dengan catatan bahwa skenario yang digunakan adalah SRES A1B.

Gambar C9 menunjukkan proyeksi presipitasi untuk periode 2001-2050. Pada gambar ini juga ditunjukkan bahwa antar model GCM terdapat variasi yang cukup besar. Namun demikian, berbeda dengan parameter temperatur, pada parameter presipitasi tidak terlihat ada satu model yang menunjukkan kecenderungan nilai yang overestimate dibandingkan model lainnya, begitupun juga sebaliknya. Nilai ensemble mean ketujuh output GCM berada pada kisaran 200 mm, di mana kisaran ini sebanding dengan data CRU.

Gambar C9. Presipitasi rata-rata bulanan dari 7 model GCMs dengan skenario SRES A1B (2001–2050)

Tren peningkatan presipitasi tidak menunjukkan nilai yang signifikan. Tren ini hanya naik sekitar 2–3 mm dari tren data CRU untuk periode 1950–2011 (lihat Gambar 2b). Dari hasil proyeksi presipitasi, diharapkan tidak terjadi banyak perubahan di masa mendatang.

Proyeksi presipitasi dari tahun 2011 sampai 2050 menunjukkan tidak adanya kenaikan yang siginifikan, hanya 5,65 dalam periode ini. Dalam periode yang lebih panjang, 1950-2011, kenaikan hanya 2 to 3 mm berdasarkan hasil tren data CRU TS (gambar C2b). Hal ini dapat dimaknai bahwa ada harapan tidak terjadi variasi presipitasi dalam skenario perubahan iklim ke depan. Namun, seperti yang diperlihatkan oleh gambar C3b dan C3d anomali-anomali presipitasi bulanan nampaknya terus berlanjut, yang bisa saja menyebabkan adanya perubahan pola curah hujan ke depan. Karena faktor-faktor yang mempengaruhi siklus curah hujan tahunan cukup banyak, sehingga diperlukan lebih banyak data-data empiris dan juga model-model statistik pada level lokal atau regional agar dapat membuat proyeksi yang lebih akurat.

Page 94: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

94

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

C3.4. Proyeksi Iklim untuk Kabupaten Katingan

Gambar C10 memperlihatkan proyeksi temperatur Kabupaten Katingan untuk periode 2001 sampai 2050. Proyeksi ini mirip dengan Kabupaten Pelalawan, di mana perbedaan antara ketujuh model GCM cukup jelas dan relatif besar. Tren kenaikan temperatur yang dihasilkan dari Ensemble mean memperlihatkan nilai 1,28° selama periode 50 tahun, hal ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan Kabupaten Pelalawan. Kenaikan tersebut memprediksikan akan adanya peningkatan temperatur yang cukup besar di masa depan, hampir dua kalinya, dibandingkan dengan periode 1950 sampai 2011.

Proyeksi presipitasi dari hasil tujuh model GCM memprediksikan terjadinya penurunan besaran presipitasi sebesar 6,69mm selama 40 tahun ke depan (Gambar C11). Cukup banyak variasi diantara ketujuh model tersebut, namun tidak sama dengan proyeksi temperatur, tidak ada satu pun dari model yang menunjukkan nilai parameter yang underestimate atau overestimate dari nilai proyeksinya. Nilai ensemble mean dari hasil tujuh model GCM masih berada dalam rentang 200mm sampai 300mm yang masih sesuai dengan data dari CRU TS.

Gambar C10. Rata-rata temperatur bulanan Katingan dari 7 model GCM di bawah skenario SRES A1B 2001-2050

Page 95: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

95

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar C11. Rata-rata presipitasi bulanan Katingan dari 7GCM di bawah skenario SRES A1B 2001–2050

Gambar C11 menunjukkan dinamika data yang konsisten dengan kecenderungan data yang diperoleh dari data CRU TS, namun tren untuk Katingan ini bertolak belakang dengan tren wilayah Pelalawan yang mana presipitasi diprediksi akan sedikit naik pada waktu yang akan datang. Namun mirip dengan Pelalawan, diprediksi tidak akan ada terlalu banyak variasi yang besar pada pola presipitasi di masa datang. Dalam skenario studi ini, jumlah curah hujan dalam wilayah studi diprediksi akan menurun dengan besaran lebih kecil dari pola penurunan curah hujan di masa lampau sehingga variasi presipitasi kemungkinan tidak berkontribusi negatif terhadap kesediaan atau cadangan air dalam wilayah studi.

C3.5. Iklim ekstrim dalam Kabupaten Pelalawan

Kejadian-kejadian iklim ekstrim masa lampau untuk Kabupaten Pelalawan dianalisa dengan menggunakan dataset CRU TS, sementara untuk proyeksi digunakan data keluaran bulanan dari GCM. Selain itu, dilakukan juga analisa kebolehjadian iklim-iklim ekstrim dengan menggunakan probability density functions (PDF) dan cumulative density functions (CDF).

Gambar C12 di bawah menunjukkan hasil perhitungan dengan menggunakan PDF untuk daerah Pelalawan dalam periode 1950 sampai 2011 dengan dataset CRU TS, sedangkan untuk periode 2001 sampai 2050 menggunakan dataset keluaran dari GCM.

Page 96: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

96

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar C12. Probability Density Function (PDF) dan Cumulative Distribution Function (CDF) dari rata-rata temperatur bulanan untuk Pelalawan (a dan c) dan presipitasi (b dan d)

Hasil PDF dari data CRU TS menunjukkan pola distribusi normal dari rata-rata temperatur bulanan dengan rentang nilai antara 25o sampai 29° C (Gambar C12a). Sebaliknya, hasil PDF yang diolah dari data keluaran memperlihatkan distribusi rata-rata temperatur bulanan yang cenderung berat ke sebelah kiri (left skewed). Hal ini dikarenakan variasi keluaran temperatur dari model GCM yang berbeda-beda, seperti yang telah disinggung pada pembahasan gambar C5, dan hal ini membuat sebaran data dari distribusi menjadi melebar baik ke kiri dan ke kanan. Meskipun sebaran distribusi jauh melebar dibandingkan dengan distribusi data CRU, namun data temperatur yang mempunyai densitas paling banyak masih berada dalam rentang data CRU. Walaupun begitu, dalam skenario iklim masa depan, anomali-anomali dari temperatur dan kejadian-kejadian ekstrim ada kemungkinan akan terjadi dengan frekuensi yang lebih besar.

Bertolak belakang dengan distribusi temperatur, distribusi proyeksi data presipitasi menunjukkan pola yang bergeser ke kanan dibandingkan dengan distribusi CRU yang diasosiasikan dengan data historis presipitasi (Gambar C12b). Hal ini mengimplikasikan pada tahun-tahun mendatang presipitasi dengan frekuensi terbanyak menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan presipitasi historisnya meskipun peningkatannya tidak terlalu signifikan. Selain itu, hal ini mengindikasikan bahwa presipitasi yang lebih besar diprediksikan akan lebih sering muncul di masa mendatang.

Menggunakan cumulative distribution function (CDF) dapat juga ditentukan nilai-nilai mana yang masuk dalam kategori ekstrim dan kebolehjadian dari kondisi ekstrim tersebut. Dalam Gambar C12c ditunjukan kebolehjadian dari temperatur diatas 28° C dan dibawah 26° C, yang mana nilai-nilai tersebut hanya sekitar kurang dari 10% dari keseluruhan data yang diperoleh dari CRU TS. Keadaan temperatur tinggi yang

a)

c)

b)

d)

Page 97: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

97

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

terjadi pada bulan April 1958, 1963, dan 1977 (gambar C2) adalah contoh-contoh dari keadaan ekstrim tersebut. Distribusi dari kebolehjadian temperatur ekstrim dalam skenario A1B cukup menyebar, terlihat dalam gambar CDF keluaran dari model GCM. Hal ini juga menyebabkan nilai ekstrim (baik tinggi maupun rendah) temperatur keluaran GCM jauh berbeda dengan data CRU (berbeda sekitar 1° C). Hal ini mengingat variasi temperatur bulanan yang hanya berkisar 1–2° C.

Pergeseran frekuensi terbanyak dari presipitasi yang terlihat pada PDF dapat diidentifikasi lebih jauh dengan menggunakan CDF. Nilai ekstrim presipitasi untuk probabilitas sebesar 10% pada data CRU naik sekitar 25–50 mm dalam data studi dengan skenario A1B. Besaran ini sebanding dengan tren kenaikan presipitasi pada data proyeksi yang juga berada pada kisaran yang sama. Meskipun terhitung kecil, penaikan presipitasi sebesar ini tetap perlu diperhatikan khususnya untuk perencanaan tata kelola air.

Dari pembahasan-pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa daerah Pelalawan akan mengalami penaikan temperatur dan juga presipitasi. Meskipun jika dilihat dari besarannya tidak signifikan, perlu dilakukan persiapan dan adaptasi dalam menghadapi perubahan ini di masa mendatang.

C3.6. Iklim Ekstrim dari Kabupaten Katingan

Gambar C13 di bawah menunjukkan hasil perhitungan dengan menggunakan PDF untuk daerah Katingan dalam periode 1950 sampai 2011 dengan dataset CRU TS, sedangkan untuk periode 2001 sampai 2050 menggunakan dataset keluaran dari GCM.

Hasil PDF dari data CRU TS untuk rata-rata temperatur menunjukkan pola distribusi normal dengan rentang antara 25 to 29° C (gambar C13a). Keluaran dari proyeksi GCM mengindikasikan adanya rentang yang lebar dari distribusi rata-rata temperatur disebabkan banyaknya variasi keluaran dari model GCM. Meskipun demikian bentuk PDF dari data proyeksi wilayah Katingan menunjukkan pola yang sedikit berbeda dengan wilayah Pelalawan. Pola PDF Katingan menunjukkan pola dengan tiga puncak.

Gambar C13. Probability Density Function (PDF) dan Cumulative Distribution Function (CDF) Katingan untuk rata-rata temperatur bulanan (a dan c) dan presipitasi (b dan d)

a) b)

d)c)

Page 98: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

98

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Berbeda dengan distribusi rata-rata temperatur, distribusi proyeksi data presipitasi menunjukkan pola yang bergeser ke kanan dibandingkan dengan distribusi CRU yang diasosiasikan dengan data historis presipitasi (Gambar C13b) ini mirip dengan yang terjadi di wilayah Pelalawan. Meskipun di masa mendatang diprediksi akan terjadi peristiwa ekstrim yang lebih banyak, penurunan presipitasi yang telah dibahas sebelumnya juga terlihat dari penurunan kurva fitting untuk data proyeksi dibandingkan dengan kurva fitting untuk data CRU. Meskipun penurunan presipitasi dapat terjadi seperti yang telah ditunjukkan dari hasil ensemble mean, potensi peningkatan kejadian presipitasi ekstrim tetap perlu diwaspadai.

Dengan menggunakan CDF, kita dapat mengetahui nilai-nilai variabel yang masuk dalam kategori ekstrim dan probabilitasnya. Kejadian temperatur ekstrim yang terjadi pada bulan April 1958, 1963, dan 1977 (gambar C2) adalah contoh-contoh dari kejadian temperatur ekstrim tersebut, di mana dapat diketahui bahwa probabilitas kejadian temperatur di atas 28° C dan di bawah 26° C kurang dari 10% dari seluruh kejadian untuk data CRU. Distribusi temperatur yang melebar juga dapat dilihat dari gambar CDF temperatur dari keluaran model GCM. Hal ini juga menyebabkan nilai ekstrim (baik tinggi maupun rendah) temperatur keluaran dari model GCM jauh berbeda dengan data CRU (berbeda sekitar 1° C).

Pergeseran frekuensi dari kejadian presipitasi ekstrim yang terlihat pada PDF dapat diidentifikasi lebih jauh dengan menggunakan CDF. Nilai ekstrim presipitasi untuk probabilitas sebesar 10% pada data CRU naik sekitar 25–50 mm di data proyeksi iklim masa depan. Meskipun dari hasil ensemble mean terlihat adanya tren penurunan presipitasi, hasil distribusi CDF menunjukkan bahwa intensitas curah hujan cenderung meningkat pada masa yang akan datang. Hal ini perlu mendapatkan perhatian akan bahaya peningkatan intensitas hujan yang berpotensi mengakibatkan terjadinya banjir.

C3.7. Dampak Potensial dari Perubahan Iklim terhadap Lahan Gambut

Lahan gambut sangat rentan terhadap bencana alam yang terkait dengan perubahan iklim, seperti banjir, kekeringan dan kebakaran hutan atau lahan gambut. Berdasarkan hasil diskusi terfokus di beberapa desa di Pelalawan dan Katingan (lihat bagian B2.2) telah teridentifikasi peningkatan kejadian kebakaran hutan dan lahan gambut yang diperparah dengan adanya kemarau panjang. Sebaliknya pada musim hujan, peningkatan kejadian banjir dan badai. Lebih jauh lagi, perubahan iklim – temperatur udara yang semakin panas dan pola musim yang sulit diprediksi – semakin dirasakan oleh masyarakat lokal. Masyarakat lokal juga merasakan dan sadar akan adanya perubahan tinggi muka air sungai maupun alirannya.

Perubahan iklim dapat menyebabkan dampak negatif yang serius terhadap lingkungan, ekonomi, dan sosial bagi masyarakat yang hidup sekitar atau berada dalam lahan gambut di kabupaten Pelalawan dan Katingan (gambar C 14). Bencana lingkungan yang dipicu oleh perubahan iklim seringkali juga menjadi pemicu bencana sosio-ekonomi, dan akan menimbulkan ancaman langsung kepada masyarakat lokal.

Page 99: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

99

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar C14. Dampak potensial perubahan iklim

Kejadian iklim ekstrim dan musim yang sukar diprediksi menambah beban berat bagi masyarakat lokal. Sebagai contoh, kegiatan penyadapan dan pemanenan getah karet sangat tergantung pada kondisi cuaca. Para petani biasanya akan menghentikan atau mengurangi aktivitas pada saat musin hujan karena sulit mengumpulkan getah dalam kondisi hujan atau basah. Banjir dan badai dapat juga menghancurkan pohon-pohon karet dan kerugian ekonomi. Lebih jauh, curah hujan tinggi memaksa petani karet untuk mencari alternatif pendapatan lain dalam jangka waktu yang relatif lama.

Komunitas-komunitas yang hidup dan tinggal di sekitar lokasi studi menghadapi peningkatan resiko akan kebakaran hutan dan lahan gambut pada musim kemarau. Kebakaran lahan gambut menyebabkan beberapa bahaya termasuk emisi CO2, asap dan gangguan saluran pernapasan, dan bahkan kerugian sosial-ekonomi. Api pada lahan gambut akan menyebar dengan cepat dan menimbulkan ancaman yang nyata terhadap tanaman pertanian dan perkebunan, dan bahkan pemukiman. Di Kabupaten Pelalawan, kebakaran lahan gambut telah menjadi persoalan serius disebabkan oleh perubahan tata guna lahan dan tutupan hutan pada lahan gambut (lihat bagian B3.2.). Banyak petani yang mengalami kebakaran gambut dalam kawasan pertanian dan perkebunan mereka, khususnya pada periode tahun El Niño, dan banyak mendapat kerugian pada musim tersebut. Di Katingan, sebaliknya, kebakaran lahan gambut banyak terjadi pada kawasan lahan kosong dan padang rumput. Namun, beberapa petani juga mengalami kebakaran lahan gambut yang berulang-ulang pada kawasan pertanian dan kebun mereka selama musim kemarau.

Page 100: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

100

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Hutan rawa gambut yang masih baik umumnya selalu dalam kondisi tergenang, dan memiliki peranan untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut tersebut. Jadi, kebakaran gambut hampir selalu terjadi karena adanya kegiatan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengolahan lahan yang tidak lestari seperti pembangunan kanal dan parit di perkebunan, atau menurunkan tinggi muka air akan mempercepat atau menambah resiko kebakaran hutan dan lahan gambut dalam wilayah studi.

Dampak lain dari perubahan iklim adalah intrusi air laut menuju lahan gambut dan areal pertanian sebagai akibat dari menurunnya tinggi muka air tanah dan berubahnya pola curah hujan. Intrusi air laut telah dapat diamati oleh beberapa anggota masyarakat lokal dalam lokasi studi. Hal ini akan menimbulkan potensi ancaman yang besar terhadap ekosistem lahan gambut. Intrusi air laut juga akan merusak pohon dan tanaman, serta menurunkan bahkan menggagalkan hasil pertanian.

Perubahan pola curah hujan menambah beban berat bagi masyarakat lokal karena akan mempengaruhi juga kalender sistem bertanam dan menangkap ikan. Dalam rangka untuk mengatasi resiko dari perubahan iklim ini, sebagian besar masyarakat lokal dalam lokasi studi akan menyesuaikan mata pencahariannya dan menggantungkan kepada lebih banyak sumber mata pencaharian. Hal ini juga untuk mengantisipasi ketidakpastian ekonomi akibat dari perubahan cuaca, kebakaran, banjir, dan kekeringan.

Page 101: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

101

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Bagian D: PEnGGUnAAn GroUnd WaTer TabLe (GWT)

BERBASIS SATELIT UnTUK MEnGESTIMASI EMISI CO2 BERSIH DARI EKOSISTEM LAHAn GAMBUT

D1. Pendahuluan

Lahan gambut tropis merupakan salah satu tempat penyimpanan karbon daratan yang cukup besar, dan memiliki peranan yang sangat penting dalam siklus hidrologi dan sirkulasi atmosfer global. Walaupun secara alamiah gambut akan mengalami proses pelapukan atau dekomposisi, namun di Indonesia, proses dekomposisi ini dipercepat dengan adanya pengrusakan lahan gambut akibat kegiatan manusia. Degradasi lahan gambut di Indonesia seringkali dihubungkan dan dikuti dengan kejadian konversi hutan, penggundulan hutan dan kebakaran lahan gambut. Pengatusan lahan gambut akibat dari pembangunan kanal dan parit untuk kebutuhan irigasi dan transportasi akan menurunkan tinggi muka air tanah (GWT) yang akhirnya akan menggangu keutuhan sistem hidrologis lahan gambut tersebut. Hal lain adalah terjadi oksidasi gambut dan subsidensi permukaan gambut, yang akhirnya akan melepaskan gas-gas rumah kaca ke atmosfer dalam jumlah yang besar dan kemudian dapat mengakibatkan perubahan iklim.

Saat ini banyak peneliti sudah dan sedang melakukan studi dampak atau pengaruh dari pengatusan gambut terhadap emisi CO2 berdasarkan data subsidensi dan dengan pengukuran langsung dengan tehnik chamber, namun pengetahuan mengenai emisi CO2 dalam skala ekosistem di hutan gambut tropis masih belum banyak diketahui secara meyakinkan (Hirano, et. al., 2012). GWT adalah salah satu parameter kunci untuk memahami siklus karbon pada lahan gambut, sehingga memonitor dan merekam dinamika GWT adalah penting untuk mengkuantifikasi emisi CO2 bersih dari ekosistem lahan gambut ini. Atas dasar pemikiran tersebut, bagian ini akan menyajikan tahap-tahap penting hasil awal dari studi metodologi estimasi CO2 bersih berbasis satelit dengan memanfaatkan data penghitungan emisi dari tehnik eddy covariance dan pengukuran empiris GWT di lahan gambut Kabupaten Pelalawan dan Katingan.

Selain itu, studi ini bertujuan untuk mengkaji metodologi estimasi laju (volume) pengurasan air gambut yang mengalir melalui kanal dan parit-parit dengan menerapkan skenario maksimum dan minimum. Walaupun, dalam kesempatan studi kali ini, hasil awal dari model pengatusan hidrologis belum dapat digabungkan dalam penghitungan estimasi emisi CO2 bersih dari lahan gambut, model ini merupakan alat yang cukup akurat untuk menganalisa potensi dampak negatif dari pembangunan kanal dan parit irigasi pada lahan gambut.

D2. Metodologi

D2.1. Tinjaun Teoritis dari Penggunaan data GWT berbasis satelit untuk Estimasi Emisi CO2

Estimasi dari nilai emisi CO2 bersih ekosistem (NEE) adalah salah satu cara untuk mendefinisikan fungsi penting dari lahan gambut dalam siklus karbon global. Nilai NEE tahunan, khususnya dalam ekosistem lahan gambut dapat diestimasi

Page 102: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

102

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

dengan menggunakan data GWT yang diunduh melalui satelit, karena diasumsikan ada hubungan linear antara NEE di atmosfer dengan data GWT dalam ekosistem tersebut. (Hirano, et. al., 2012). Menurut Hirano nilai NEE dapat ditentukan melalui persamaan berikut:

NEE = RE – GPP

di mana:

RE = ecosystem respiration

GPP = gross primary production (ecosystem photosynthesis)

Saat malam hari, NEE akan berkorelasi dengan nilai RE karena pada malam hari diasumsikan tidak ada aktivitas photosintesa. Tanda positif dari NEE mengindikasikan bahwa ekosistem melepaskan CO2 ke atmosfer, sementara tanda negatif akan mengindikasikan bahwa ekosistem menyerap CO2 dari atmosfer. Berdasarkan penelitian sebelumnya, RE menunjukkan peningkatan seiring dengan peningkatan temperatur tanah, dan menurun jika GWT naik.

Studi ini akan menguji penerapan dari metodologi estimasi NEE (net CO2 exchange) dari data fluktuasi GWT di lapangan yang mana metodologi ini dikembangkan oleh tim ahli dari Universitas Hokkaido. Dalam rangka menguji persamaan NEE di atas, tim kemudian menetapkan tiga sub-tipe lahan gambut, yaitu a) hutan rawa gambut utuh dengan sedikit pengatusan (UF); b) Hutan rawa gambut terdrainase (DF); dan c) lahan terdrainasae dan terbakar (DB). Nilai NEE tahunan dalam sub-tipe ekosistem ini ditetapkan dengan tehnik edy covariance. Dalam tabel 1 dan gambar D1 ditunjukkan beberapa persamaan untuk setiap sub-tipe ekosistem lahan gambut dan juga hubungan linear antara nilai NEE tahunan dan rata-rata nilai GWL tahunan. Dari persamaan dapat dilihat bahwa ada korelasi yang siginifikan pada sub-tipe UF dan DF (P < 0.05), namun untuk sub-tipe DB tidak ada korelasi yang signifikan DB (P = 0.11).

Ecosystem disturbance level nEE Equation

Undrained Peat Swamp Forest (UF) NEE [gC/(m2year)] = -2376 GWL[m] – 151

Drained Secondary Peat Swamp Forest (DF) NEE [gC/(m2year)] = -1609 GWL[m] – 510

Drained and Burnt Peatland (DB) NEE [gC/(m2year)] = -789 GWL[m] + 378

Tabel D1. Persamaan linear antara NEE tahunan dan Rata-rata GWL tahunan dalam setiap sub-tipe ekosistem lahan gambut (Hirano, et. al, 2012)

Page 103: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

103

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar D1. Hubungan antara NEE tahunan dan rata-rata GWL tahunan (Hirano, et. al., 2012)

D2.2. Tahapan Studi

D2.2.1. Pengukuran GWT secara empiris

Tiga set automatic water loggers1, dua buah rain gauge dipasang untuk mengukur GWT, curah hujan dan temperatur udara dalam tiga lokasi sub-tipe ekosistem lahan gambut di Kabupaten Pelalawan dan Katingan (Gambar D2). Lokasi secara khusus untuk pemasangan water logger dipilih berdasarkan kemudahan akses dan ketersediaan sinyal telepon seluler, karena alat ini (SESAME 01-II) mengirimkan data secara langsung melalui jaringan telepon seluler GSM/GPRS/Q-CDMA (Gambar D3). Instrumen dipasang pada tanggal 6 dan 7 Juni 2013 untuk Kabupaten Pelalawan dan tanggal 19 Juni 2013 untuk Kabupaten Katingan. Instrumen ini kemudian dimonitor dan dijaga oleh orang lokal.

1) SESAME 01-II: http://www.midori-eng.com/english/image/sesame-01-2_pamph.pdf

Gambar D2. Lokasi pemasangan water logger a) Kabupaten Pelalawan (kiri); dan b) Kabupaten Katingan (kanan)

Page 104: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

104

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

2) GWT data can be accessed at: http://jica-jst.lapanrs.com/ ~wataru/GWT.

D2.2.2. Penggunaan Data Satelit untuk Pemetaan GWT

Data GWT yang dikumpulkan selama masa studi kemudian diintegrasikan ke dalam database GWT yang telah ada sebelumnya yang dibangun oleh JICA-JST Satrep Project2. Data hasil pengukuran empiris tersebut kemudian diolah untuk mendapatkan peta GWT. Estimasi peta status GWT untuk seluruh Indonesia ini dibangun berdasarkan kepada empat sumber data yang terangkum dalam gambar D4.

Gambar D4. Flowchart of a GWT mapping framework (adapted and slightly modified from Takeuchi, et. al., 2010)

Estimasi status GWT dalam lokasi studi dikembangkan dan kemudian dikalibrasi berdasarkan data presipitasi, temperatur permukaan tanah dan hasil pemgukuran GWT dalam setiap sub-tipe ekosistem lahan gambut (UF; DF; DB) (Takeuchi, et. al., 2010). Contoh peta status GWT untuk Indonesia pada tanggal 10 September 2013 dapat dilihat pada gambar D5. Warna hitam mengindikasikan lokasi-lokasi tergenang pada saat itu. Secara umum, peta ini menyajikan status GWL secara visual dan real-

Gambar D3. Ilustrasi pemasangan automatic water logger dan rain gauge

Page 105: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

105

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

time pada lahan gambut dan juga dapat menjadi alat untuk memonitor potensi kebakaran lahan gambut. Penting untuk diketahui bahwa peta status GWT ini hanya bisa diterapkan pada lahan gambut saja, untuk daerah bukan gambut dapat diabaikan.

Gambar D5. Contoh peta status GWT di Indonesia (Takeuchi, et. al., 2010)

D2.2.3. Sub-tipe ekosistem Lahan gambut di lokasi studi untuk estimasi NEE

Hasil analisa tutupan hutan yang telah dibahas pada bagian sebelumnya (lihat bagian B3.2. dan B3.3.) telah mengklasifikasikan ekosistem lahan gambut di kabupaten Pelalawan dan Katingan ke dalam 10 kelas tutupan lahan yang berbeda. Namun, model persamaan untuk estimasi NEE hanya berlaku untuk tiga sub-tipe ekosistem lahan gambut, yaitu (UF), (DF), dan (DB). Oleh karena itu mejadi kebutuhan untuk mengkategorikan tutupan lahan gambut yang ada ke dalam tiga sub-tipe ekosistem tersebut di atas.

Gambar D6. Ilustrasi klasifikasi ke dalam pixel

Dalam studi ini hanya digunakan tiga tutupan hutan dari tahun 2013 untuk kemudian dikategorikan ke dalam tiga sub-tipe ekosistem lahan gambut seperti yang terangkum dalam Tabel D2. Kelas tutupan hutan yang tidak digunakan dalam studi ini kemudian dikeluarkan. Model ini menggunakan resolusi spasial 1/30 x 1/30 derajat, atau 13,7 km2 per pixel. Kelas tutupan hutan yang ada kemudian dikonversi ke dalam pixel yang sama, dan diklasifikasi ulang ke dalam sub-tipe ekosistem lahan gambut agar dapat digunakan dalam perhitungan estimasi NEE. Ketika kelas tutupan lahan muncul bersamaan dalam satu pixel, klasifikasi kemudian akan merujuk kepada sub-tipe ekosistem lahan gambut yang menutup lebih dari 50%.

Page 106: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

106

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

No Land Cover Eligible Peatland Ecosystem

Total size (km2) in Pelalawan

Total size (km2) in Katingan

1 Primary peat swamp forest UF 657.6 479.5

2 Secondary peat swamp forest DF 822.0 1,904.33 Peat swamp shrub and grass land DB 219.0 432.5

Nilai rata-rata NEE harian dihitung berdasarkan persamaan atau model yang terdapat pada tabel D1. Di mana, data rata-rata GWT harian yang berhasil dikumpulkan kemudian dimasukkan ke dalam persamaan untuk setiap kelas atau sub-tipe ekosistem, berdasarkan input ini kemudian nilai NEE dapat diestimasi. Hasil estimasi untuk setiap sub-tipe ekosistem kemudian dikalikan dengan luas total dari sub-tipe ekosistem tersebut. Karena keterbatasan data GWT secara empiris di lokasi studi, maka data rata-rata GWL harian juga digunakan untuk melakukan estimasi NEE.

D2.2.4. Pemodelan Drainase Hidrologi berdasarkan metode parallelepiped supervised classification

Pemodelan pengatusan hidrologis untuk lahan gambut dalam lokasi studi dilakukan oleh TIM dari Institut Teknologi Bandung dengan menggunakan model dan data dari hasil riset sebelumnya. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan model program MODFLOW3 yang dikembangkan oleh U.S. Geological Survey (USGS). MODFLOW adalah aplikasi pemodelan aliran tanah 3 dimensi yang dapat menjalankan metode penghitungan numerik finite-difference. Tiga parameter kunci untuk menjalankan program Modflow harus dibangun terlebih dahulu agar dapat memodelkan pola aliran air tanah dalam lokasi studi (Gambar D7).

Gambar D7. Alur metodologis dari penggunaan program Modflow

Tabel D2. Klasifikasi dari tutupan hutan ke dalam sub-tipe ekosistem lahan gambut. Luasan dari setiap kelas adalah hasil penjumlahan sub-tipe ekosistem lahan gambut di Kabupaten Pelalawan dan

Katingan

3) http://water.usgs.gov/nrp/gwsoftware/modflow.html

Page 107: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

107

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Rona geomorphology dari lokasi studi termasuk daerah rawa-rawa dan air permukaan dianalisa dengan menggunakan hasil interpretasi landsat TM dan data citra Alos Aster dan menerapkan metode parallelepiped supervised classification. Parallelepiped supervised classification adalah sebuah proses yang relatif sederhana untuk mengklasifikasi pixel dalam citra dan dimasukkan ke dalam kelas atau kategori tertentu berdasarkan batas-batas deviasi standar dari setiap kelas yang dipilih atau daerah latihan. Dalam studi ini, dipilih 6 daerah latihan, yaitu 1) rawa-rawa; 2) permukaan air; 3) hutan; 4) perkebunan; 5) daerah urban; dan 6) awan. Kelas awan dimasukkan sebagai daerah latihan agar dapat mengurangi kesalahan interpretasi data.

Lapisan gambut juga diteliti agar dapat menyediakan batas vertikal dari aquifer dalam pemodelan hidrologis. Untuk keperluan ini, data kedalaman gambut yang dihasilkan selama survei lapangan digunakan untuk membangun model kontur gambut.

Parameter K dan Sy dibangun terlebih dahulu agar dapat input untuk menjalankan program MODFLOW. K mencerminkan permeabilitas atau konduktivitas hidrolik, yang mana mengindikasikan berapa cepat air tanah bergerak secara horizontal dalam lapisan gambut. Nilai K diekspresikan dalam persamaan 2 di bawah:

Di mana:

h = head = initial depth of water at time (t)

ho = initial head

t = time

K = hydraulic conductivity

L = intake length

ri = radius of influence – approx. 100*rs

rs = radius of intake (OD)

re = casing radius (ID)

T = time lag (time when h/ho= 0.37)

(2)

(3)

Page 108: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

108

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Nilai h diperoleh dari pengukuran GWT secara empiris selama studi dan data lapangan pada penelitian terdahulu yang dikumpulkan oleh tim ITB. Nilai L ditentukan dengan melakukan slug test (Gambar D8).

Gambar D8. Ilustrasi dari slug test untuk mengetahui nilai L

Nilai Sy yang mana mencerminkan storativity atau specific yield, mengindikasikan besaran volume yang dilepaskan dari akuifer (dalam hal ini gambut adalah akuifer) air tanah dalam satuan luas permukaan. Nilai ini juga dapat bermakna sebagai nilai kapasitas gambut (akuifer) untuk menahan air, dan dapat diukur dengan mengukur penurunan tinggi muka air (GWT) dalam lokasi studi. Nilai Sy diekspresikan dengan persamaan berikut:

Sy = Vd / Vt

Di mana:

Vd = the volume of water drainage from Vt

Vt = the total volume of water per unit of surface area

Selain data GWT yang dihasilkan selama studi berlangsung (lihat D2.2.1), tim ITB pun menentukan nilai Vd dan Vt dengan melakukan analisa dan pengujian sampel gambut di beberapa lokasi di Indonesia.

Kemudian, laju aliran air tanah dihitung dengan memperhatikan kontur lapisan gambut, lebar kanal dan gradient kemiringan. Untuk itu persamaan 5 dapat digunakan.

(4)

Page 109: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

109

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Q= A5/3 S1/2/n.P1/2 (5)

Di mana:

Q = flow rate (LT-3) in m3 per second

A = wet surface area (L2)

S = canal slope gradient

n = manning coefficient

P = wet surface circumfence (L)

D2.3. Batasan-Batasan

Walaupun pendekatan atau model ini mempunyai potensi yang besar untuk dapat mengestimasi emisi CO2 dari lahan gambut di seluruh Indonesia, namun tingkat presisi dari model ini akan sangat tergantung pada pengukuran GWT di lapangan. Kualitas dari peta GWT berbasis satelit ini dapat ditingkatkan dengan lebih banyak memasang stasiun meteorologi di ekosistem lahan gambut di seluruh Indonesia.

Dalam studi ini, penghitungan estimasi emisi CO2 berbasis satelit untuk Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Katingan ini lebih banyak menggunakan data GWT empiris yang telah dikumpulkan oleh proyek JICA-JST Satrep untuk wilayah Kalimantan Tengah. Model yang diaplikasikan ini membutuhkan data rata-rata GWT tahunan sehingga sangat perlu untuk memiliki data GWT lapangan dalam periode waktu yang cukup lama. Namun karena ada hambatan waktu dan sumber daya, dalam studi ini digunakan data GWT tahunan dari Kalimantan Tengah untuk mengestimasi emisi CO2 dari Kabupaten Pelalawan. Karena adanya Perbedaan tipe atau kondisi lahan gambut antara Kabupaten Katingan dan Kabupaten Pelalawan, maka sebaiknya memang diperlukan perekaman data GWT di masing-masing lokasi studi dalam jangka waktu yang lebih panjang untuk menghasilkan estimasi laju pengurasan air tanah dan emisi CO2 ini secara lebih akurat.

Saat ini, model atau persamaan untuk menghitung NEE hanya tersedia untuk tiga sub-tipe ekosistem lahan gambut saja, yaitu UF, DF, dan DB. Tutupan lahan lainnya dalam lokasi studi, seperti perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman, pertanian, perkebunan dan lahan kosong tidak dimasukkan ke dalam model perhitungan NEE ini. Kemudian tutupan lahan yang dianggap dapat dihitung kemudian diklasifikasi kembali ke dalam tiga sub-tipe ekosistem lahan gambut tersebut dalam bentuk pixel-pixel. Dalam proses ini, walaupun dalam satu pixel ada beberapa sub-tipe ekosistem yang muncul, namun hanya satu sub-tipe saja yang dipilih yaitu sub-tipe yang menutupi lebih dari 50% luasan pixel tersebut. Tentu proses-proses di atas akan menghasilkan bias dalam melakukan estimasi nilai NEE dalam setiap sub-tipe ekosistem lahan gambut tersebut.

Keterbatasan pada model hidrologis juga kemungkinan dapat menimbulkan bias terhadap hasil estimasi NEE ini. Keterbatasan muncul disebabkan oleh, pertama

Page 110: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

110

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

model hidrologis dibangun dari data lapangan yang terbatas sehingga akan menimbulkan bias pada daerah-daerah yang tidak memiliki data. Kedua, parameter K dan Sy dihitung berdasarkan data dari riset yang dilakukan sebelumnya di daerah lain. Terakhir, hanya ada dua skenario dalam model, yaitu skenario maksimum dan minimum, padahal hasil pengukuran GWT dari water logger menunjukkan adanya fluktuasi.

D3. Hasil dan Pembahasan

D3.1. Pengukuran GWT secara Empiris

Pengukuran data GWT dan parameter meteorologis lainnya dikumpulkan hampir selama 2,5 bulan dalam studi ini. Pengukuran dilakukan dalam tiga sub-tipe hutan gambut di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Katingan dengan memasang alat atau stasiun meteorologi mini. Gambar D9 menunjukkan perbandingan data dari ketiga sub-tipe hutan gambut (PLW 01, 02, 03; and KTG 01, 02, 03) hasil pengukuran stasiun meteorologi yang dipasang di lapangan. Pengukuran sampel diambil dalam setiap selang waktu 10 menit dan data dikirim dalam selang waktu satu jam.

Site: PLW 01; Drained/burned forest (DB) Location: 0.055236oS; 102.414362oE Modem no: 0012013042513

Site: PLW 02; Undrained forest (UF) Location: 0.027614oS, 102.439315oE Modem: 0012013042516

Site: PLW 03; Drained forest (DF) Location: 0.062950oS, 102.413000oE Modem: 0012013042517

*No precipitation was recorded.

Page 111: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

111

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Analisa hasil data empiris mengindikasikan adanya korelasi positif antara jumlah curah hujan dan GWL (Gambar D10 dan D11). Perlu diketahui bahwa curah hujan hanya diukur pada sub-tipe DB dan UF saja dikarenakan keterbatasan alat. Kedua sub tipe ini menunjukkan kesesuaian yang baik dari persamaan linear dengan nilai R2 lebih dari 0.8. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ada pola yang mirip dari kedua Kabupaten lokasi studi, yaitu jika curah hujan naik maka GWL di sub-tipe BD menunjukkan peningkatan yang cepat dan siginifikan dibandingkan dengan di sub-tipe UF (sudut kemiringan lebih tajam, dalam grafik). Hal ini dapat dimaknai bahwa sub-tipe DF dan DB akan lebih cepat terpengaruh oleh faktor curah hujan, sedangkan UF menunjukkan pola yang lebih stabil.

Gambar D9. Perbandingan GWT di tiga sub-tipe ekosistem hutan gambut

Site: KTG 01; Drained/burnt forest (DB) Location: 2.954237oS, 113.226182oE Modem: 0012013042514

Site: KTG 02; Drained forest (DF) Location: 2.961161oS, 113. 220717oE Modem: 0012013042515

*No precipitation was recorded.

Site: KTG 03; Undrained forest (UF) Location: 2.924743oS, 113.169852oE Modem: 0012013042518

Page 112: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

112

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

D3.2. Estimasi Emisi CO2 dengan penggunaan pemodelan GWT berbasis satelit

Emisi CO2 bersih dari setiap sub-tipe ekosistem hutan gambut diestimasi berdasarkan nilai rata-rata NEE harian (gC/m2) yang diakses pada 1 September 2013. Jumlah total luasan sampel dari UF, DF dan DB dalam pixel adalah 90, 101 dan 16 untuk Kabupaten Pelalawan, dan kemudian 80, 277 dan 43 untuk Kabupaten Katingan. Gambar D12 menunjukkan wilayah hutan gambut yang sudah terklasifikasi ke dalam tiga tingkat gangguan (sub-tipe ekosistem hutan gambut) dengan resolusi spasial 1/30 x 1/30 derajat.

b) UF

b) UF

a) DB

a) DB

Gambar D10. Hubungan antara curah hujan dan GWL di a) DB/DF, dan b) UF di Kabupaten Pelalawan

Gambar D11. Hubungan antara curah hujan dan GWL di a) DB/DF , dan b) UF di Kabupaten Katingan

Page 113: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

113

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Gambar D12. Wilayah lahan gambut terklasifikasi ke dalam tiga tingkat gangguan

Gambar D13 memperlihatkan relasi linear antara nilai estimasi rata-rata emisi bersih CO2 (diekspresikan dengan nilai NEE) dengan fluktuasi nilai GWT dari area lahan gambut dengan tingkat gangguan yang berbeda (UF, DF, dan DB) di Kabupaten Pelalawan dan Katingan. Semua lokasi studi menunjukkan adanya peningkatan emisi CO2 bersih seiring dengan menurunnya GWL di lapangan.

Gambar D13. Relasi antara nilai estimasi rata-rata emisi bersih CO2 (NEE gC/m2) dengan GWL (cm) di tiga sub-tipe gangguan hutan gambut : a) Kabupaten Pelalawan ; dan b) Kabupaten

Katingan.

a)

b)

Page 114: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

114

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Dalam lokasi contoh UF (hutan rawa gambut primer), nilai GWL sekitar - 6 cm merupakan batas antara nilai negatif NEE (sekuetrasi) dan positif NEE (emisi). Sebaliknya, di lokasi DF (hutan rawa gambut sekunder), emisi CO2 bersih terjadi ketika nilai GWL turun atau lebih rendah dari - 31 cm. Dari hasil pengamatan juga ditemukan bahwa untuk lokasi DB (semak dan rerumputan), nilai NEE positif lebih persisten, walaupun persamaan yang diterapkan untuk mengestimasi nilai NEE di lokasi DB tidak menunjukkan adanya korelasi yang signifikan (P = 0.11) (lihat bagian D2.1.). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai rata-rata emisi CO2 bersih dari lokasi UF lebih besar dibandingkan dengan DF pada saat nilai GWL menurun. Fenomena ini belum dapat dijelaskan secara khusus, perlu penelitian lebih jauh mengenai hal ini, namun hal ini sementara dapat dimaknai bahwa perlindungan hutan rawa gambut primer dan penjagaan GWT haruslah diprioritaskan dalam proses mitigasi emisi CO2 di lokasi studi.

D3.3. Estimasi volume Pengatusan (drainase) Lahan Gambut

Volume potensi pengurasan air dari lahan gambut menuju kanal dan parit irigasi dalam lokasi studi diestimasi dengan pendekatan skenario pengurasan maksimum dan minimum. Angka-angka dari kedua skenario ini berdasarkan kepada angka rata-rata volume tetinggi dan terendah GWL yang terekam oleh automatic water loggers (lihat bagian D3.1.). Tabel D3 menyajikan angka-angka minimum dan maksimum dari setiap lokasi studi.

Lokasi Waterlogger Minimum GWT (m) Maximum GWT (m)

PLW 01 -2.7 -0.7PLW 02 -2.3 -0.2PLW 03 -2.9 -0.1

KTG01 -2.3 -0.9KTG02 -1.8 0KTG03 -2.3 -0.2

Permeabilitas atau konduktivitas hidraulik (K) untuk lokasi studi ditentukan sebagai berikut:

• 10e-7 meter per detik untuk akuifer gambut• 10e-9 meter per detik untuk lapisan impermeable

Storativity atau specific yield dari lapisan gambut (nilai Sy) telah ditentukan sebagai berikut:

• 2.75 for peat aquifer in Pelalawan• 1.79 for peat aquifer in Katingan• 0.002 for impermeable layers

Gambar D13 dan D14 menunjukkan pola-pola yang berbeda dari aliran air tanah minimum dengan dan tanpa skenario kanal. Elevasi dari GWT pada lahan gambut

Tabel D3. Nilai GWL maksimum dan minimum yng digunakan dalam pemodelan

Page 115: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

115

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

dalam lokasi studi digunakan untuk mengestimasi area-area yang berpotensi terjadi pengurasan air jika terjadi pembangunan kanal. Pada gambar D13 dan D 14, garis X (longitude) dan Y (latitude) menunjukkan koordinat lokasi, sedangkan garis kontur dalam gambar menunjukkan elevasi dari tinggi muka air. Dari gambar-gambar sudah jelas bahwa aliran air tanah akan menurun dan juga berubah arahnya dengan adanya pembangunan kanal.

Gambar D13. Estimasi aliran air tanah di Pelalawan a) dengan kanal (kiri); dan b) tanpa kanal (kanan)

Gambar D14. Estimasi aliran air tanah di Katingan: a) dengan kanal (kiri); dan b) tanpa kanal (kanan)

Potensi volume pengurasan air (nilai Q) dari lahan gambut menuju kanal diestimasi dengan memberlakukan skenario minimum dan maksimum. Tabel D4 menyajikan rangkuman dari perhitungan yang digunakan dalam proses estimasi ini (jika pada tabel di klik dua kali maka akan masuk ke dalam aplikasi lembar kerja excel). Lebar atau dimensi kanal disesuaikan dengan kebutuhan dan pemanfaatan dari kanal tersebut, misalnya untuk pembalakan kayu, irigasi dan perkebunan.

Dalam skenario maksimum, estimasi volume pengurasan air tanah dari gambut berada dalam rentang 2,67 m3 dan 83,1 m3 per detik, dan skenario minimum dalam rentang 1,34 m3 dan 41,55 m3 per detik. Hal ini bermakna bahwa variasi dimensi kanal akan berpengaruh terhadap pengatusan gambut dan juga air tanah (tinggi muka air tanah). Berdasarkan hal ini, penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara volume/laju pengurasan air tanah dengan emisi CO2 perlu terus dikembangkan lebih jauh di masa depan.

Page 116: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

116

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Tabel D4. Estimasi volume/laju pengurasan air tanah

Page 117: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

117

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Bagian E: MEnUjU PEnGELOLAAn LAHAn GAMBUT yAnG

BERKELAnjUTAn DI InDOnESIA

E1. Implikasi dari Pengelolaan Lahan Gambut yang Berkelanjutan terhadap Mitigasi Perubahan Iklim

Perubahan iklim memiliki dampak yang sangat merusak hampir pada seluruh sektor di Indonesia, dan sudah dirasakan hampir di semua wilayah Indonesia. Sebagai contoh adalah pembahasan pada bagian C mengenai variasi temperatur dan presipitasi yang sudah terjadi sejak tahun 1950 di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Katingan.

Di Pelalawan, rata-rata temperatur udara mengalami kenaikan sebesar 1,33° C dan pola curah hujan menunjukkan adanya peningkatan anomali (misal lebih sering terjadi peristiwa iklim ekstrim seperti kekeringan dan banjir) selama periode 1950 sampai 2011. Sebaliknya, di Kabupaten Katingan, kenaikan tren rata-rata temperatur terekam sebesar 0,58° C selama periode 1950 sampai 2011, namun dalam rentang waktu yang lebih pendek, 1997 sampai 2012, sebenarnya terjadi tren penurunan. Pola variasi temperatur di Kabupaten Katingan cukup berbeda dengan pola variasi temperatur di Kabupaten Pelalawan yang justru menunjukkan kenaikan yang tidak dapat dibantah dalam dua dekade terakhir.

Seperti telah dibahas sebelumnya, lahan gambut sangat rentan terhadap bencana yang berkaitan dengan perubahan iklim seperti banjir, kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan gambut. Di Kabupaten Pelalawan, saat ini ada peningkatan kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan gambut yang diperparah oleh adanya musim kemarau yang panjang dan gelombang panas, sedangkan pada musim hujan terjadi banjir besar dan badai. Mirip dengan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Katingan mengalami peningkatan temperatur namun menurunnya pola presipitasi selama beberapa decade ke depan. Walaupun pola presipitasi menurun, namun intesitas curah hujan nampaknya meningkat yang mana akan menimbulkan resiko banjir besar. Jumlah curah hujan yang berkurang dan meningkatnya temperatur dapat juga meningkatkan resiko kebakaran gambut dan bahaya-bahaya bencana berkaitan dengan iklim lainya.

Bahaya-bahaya dari iklim dan potensi dampaknya dapat diperparah dengan adanya pola perubahan tutupan lahan yang cepat dari lahan gambut. Di Kabupaten Pelalawan, konversi lahan gambut untuk menjadi hutan tanaman industri, perkebunan kelapa sawit dan lahan perkebunan skala kecil, seperti karet milik warga, adalah pemicu atau pendorong utama dari proses deforestasi dan degradasi lahan gambut. Sementara, hutan rawa gambut di Kabupaten Katingan sudah mulai terdgradasi sejak tahun 1970-an, dan semakin parah pada tahun-tahun belakangan ini. Degradasi terjadi karena meluasnya aktivitas pembalakan baik illegal maupun legal melalui ijin HPH yang lebih jauh lagi mengakibatkan berkurangnya sumber daya hutan secara cepat. Sejak berhentinya aktivitas pembalakan kayu HPH pada tahun 2001 dan juga kemudian diikuti dengan berkurangnya aktivitas pembalakan liar setelah tahun 2005, degradasi lahan gambut terus berlanjut dengan adanya konversi lahan gambut menjadi lahan perkebunan karet skala kecil dan lahan pertanian untuk mengakomodir pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan ekonomi warga.

Page 118: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

118

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

LULCC di lokasi studi umumnya dapat menyebabkan terjadinya deforestasi dan juga pengatusan lahan gambut. Pengatusan lahan gambut yang disebabkan oleh pembangunan kanal, parit-parit irigasi dan juga jalur transportasi sungai menurunkan tinggi muka air gambut (GWT), yang akan menyebabkan hilangnya kesatuan fungsi hidrologis gambut, terjadi oksidasi dan subsidensi. Yang pada akhirnya akan melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer dalam jumlah besar, dan memicu perubahan iklim. Dalam proses konversi lahan gambut menjadi lahan pertanian dan kebun, pada tahap pembersihan biasanya digunakan tehnik pembakaran. Tehnik ini akan secara langsung melepaskan CO2 ke atmosfer. Polusi asap pun telah dilaporkan pada kasus-kasus kebakaran lahan gambut terakhir1 di Provinsi Riau.

Ketika pertumbuhan populasi dan ekonomi terus menjadi ancaman bagi kelestarian sumber daya hutan dan sekaligus mempercepat laju deforestasi dan degradasi di lahan gambut, kebutuhan mata pencaharian yang berkelanjutan bagi warga lokal pun harus tetap menjadi perhatian sehingga perlu dicari terobosan untuk menyeimbangkan kebutuhan sosial, ekonomi dan aspek ekologis. Terobosan atau sistem tersebut harus berdasarkan kepada pertimbangan ilmiah, sebuah trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan emisi CO2.

Salah satu pendekatan untuk mencapai keadaan optimal dari pengurangan emisi CO2 dan pertumbuhan ekonomi (dalam kasus ini menggunakan contoh kebun kelapa sawit sebagai sumber ekonomi) pada lahan gambut adalah dengan membangun sebuah skenario trade-off. Dalam studi ini, skenario trade-off didefinisikan atau dibatasi sebagai sebuah keadaan di mana praktik terbaik pertanian diterapkan, teknologi yang lebih efisien dikembangkan, dan terjadi pengurangan emisi CO2 dari lahan gambut tanpa harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan ekonomi diekspresikan dengan hasil kebun atau pertanian). Dengan skenario ini diharapkan dapat mengubah arah praktik bisnis berbasis lahan di masa depan (gambar E1).

Gambar E1. Contoh ilustrasi skenario trade-off

1) More information can be accessed at:http://www.theguardian.com/environment/2013/jun/24/indonesia-forest-fire-malaysia-singapore; and http://blog.cifor.org/17493/new-data-on-indonesia-fires-generate-important-insights/#.UjqqEGTbriM.

Page 119: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

119

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Ilustrasi pada gambar E1 di atas menjelaskan bahwa GWL dijadikan sebagai faktor penentu dalam mengatur potensi mitigasi emisi CO2 secara optimal dan sekaligus pertumbuhan ekonomi atau produktivitas pertanian. Dalam gambar E1 terlihat bahwa saat GWL menurun, maka emisi CO2 akan meningkat karena adanya oksidasi gambut (dalam gambar, hubungan GWL dan emisi CO2 diskemakan secara terbalik, karena sumbu vertikal kiri menunjukkan kualitas mitigasi optimal bukan emisi). Sebaliknya garis ungu menunjukkan bahwa hasil panen akan menurun jika tanaman kelapa sawit tidak terdrainase dengan baik dan efektif. Oleh karena itu, dalam kerangka bisnis seperti biasa, GWL akan dibikin mendekati titik A dengan membangun kanal dan parit dan sebagai konsekuensinya lahan akan mengeluarkan emisi CO2 dalam jumlah yang besar. Dalam skenario trade-off , nilai GWL optimal untuk menghasilkan produksi kebun yang tinggi adalah jika bergeser ke arah kanan, sedangkan titik B adalah titik di mana adanya peningkatan atau perbaikan dalam aspek teknologi dan manajemen kebun. Hal ini bermakna bahwa batas GWL harus dipertahankan pada titik ini (mendekati B atau B) di mana pengurangan laju emisi CO2 dan pertumbuhan ekonomi dalam keadaan seimbang.

Ketika gambar E1 hanya menunjukkan konseptual model dari skenario trade-off, nilai estimasi emisi CO2 dari LULCC dan fluktuasi GWT yang dihasilkan dalam studi ini perlu diteliti dan diverifikasi lebih mendalam. Selain hal itu, masih perlu dilakukan penelitian lebih jauh mengenai hubungan antara tingkat GWT dan hasil panen atau produktivitas produk pertanian dan perkebunan, seperti kelapa sawit, karet, hutan tanaman industri, padi dan yang lainnya pada kawasan lahan gambut. Studi-studi kasus lapangan dan riset ilmiah diperlukan untuk memperoleh nilai atau angka-angka yang dapat digunakan dalam skenario trade-off.

E2. Rekomendasi untuk pengelolaan Lahan Gambut yang Berkelanjutan di Indonesia

Studi ini menyediakan pendekatan-pendekatan metodologi ilmiah, baik secara empiris maupun konseptual terhadap potensi dan kebutuhan mitigasi perubahan iklim di lahan gambut dalam ruang lingkup Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Katingan. Ketika dampak perubahan iklim sangat bervariasi untuk setiap daerah, menjadi penting untuk menggabungkan metodologi ilmiah yang ketat dan strategi mitigasi praktis ke dalam kebijakan mitigasi perubahan iklim, baik pada tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten. Rekomendasi yang bersifat umum dan spesifik wilayah diuraikan secara terperinci pada bagian selanjutnya sekaligus sebagai penutup dari laporan ini.

E2.1. Peta Lahan Gambut yang Akurat dan Perencanaan Spasial

Mengembangkan sebuah peta lahan gambut untuk seluruh Indonesia yang akurat, terintegrasi, transparan dan konsisten yang dikerjakan secara kolaboratif oleh berbagai lembaga merupakan sebuah hal yang sangat penting agar dapat secara efektif menjalankan kebijakan, peraturan, dan strategi pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan. Peta lahan gambut tersebut kemudian dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat perencanaan dan pembuatan zonasi penggunaan lahan yang rendah emisi baik pada tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional.

Page 120: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

120

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Penelitian ini menyajikan:• Sebuah metodologi ilmiah yang ketat namun praktis untuk pemetaan lahan gambut, yang dapat direplikasi di daerah-daerah lahan gambut lainnya di seluruh Indonesia;• Peta lahan gambut baru untuk Kabupaten Pelalawan dan Katingan dengan akurasi yang lebih besar; dan• Sebuah database kedalaman gambut terbaru dengan tambahan 101 data dan 197 sampel gambut yang telah dianalisa karakteristik kimia dan fisikanya.

Kebutuhan dan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut:

Secara umum:

• Penyempurnaan Model Shimada (atau penggunaan kombinasi model yang berbeda) agar dapat mengestimasi kedalaman gambut di daerah tidak berhutan;• Penerapan secara formal standar metodologi yang disepakati bersama mengenai pemetaan lahan gambut di Indonesia.

Untuk Pelalawan:Pemeriksaan lapangan dan pengukuran kedalaman gambut di sepanjang batas lahan gambut dan di lahan gambut dengan strata dangkal (yaitu 0,5-4m) menggunakan metodologi yang telah disepakati.

Untuk Katingan:Pemeriksaan lapangan dan pengukuran kedalaman gambut di sepanjang batas lahan gambut dan di lahan gambut dengan strata yang lebih dalam (yaitu 8 m ke atas) menggunakan metodologi yang telah disepakati.

E2.2. Perlindungan lahan gambut tersisa

Ancaman utama untuk ekosistem lahan gambut dan hutan rawa gambut adalah konversi lahan gambut menjadi penggunaan lahan lainnya seperti perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman (misalnya, akasia), perkebunan tanaman non-pangan (misalnya, karet), dan/atau menjadi lahan pertanian. Dalam rangka untuk mengurangi tekanan ekologis dan emisi gas rumah kaca dari konversi lahan gambut, pemerintah harus melindungi lahan gambut yang tersisa melalui kebijakan yang efektif dan keterlibatan multi-pihak.

Penelitian ini menyajikan:

• Dinamika penggunaan lahan dan tutupan lahan perubahan lahan gambut di Kabupaten Pelalawan dan Katingan 1990-2013;• Penggerak utama dari deforestasi dan degradasi hutan rawa gambut.

Kebutuhan dan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut:

Secara umum:• Pembatasan pengembangan perkebunan baru di lahan gambut setelah moratorium (Inpres No 6/2013) pada hutan primer dan lahan gambut; yang akan berakhir dalam dua tahun ke depan, atau tahun 2015;• Penegakan undang-undang dan peraturan tentang pembalakan liar dan konversi, perambahan, dan pembakaran di lahan gambut;

Page 121: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

121

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

• perencanaan dan zonasi tata ruang yang efektif dengan partisipasi masyarakat untuk mencegah perkembangan perkebunan rakyat di lahan gambut;• Tukar guling lahan untuk merelokasi konsesi-konsesi yang baru dan berjalan di atas lahan gambut ke lahan terdegradasi. • Mempromosikan ekosistem restorasi pada lahan gambut.

Untuk Pelalawan:Mengidentifikasi peluang-peluang untuk tukar guling lahan bagi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (pulpwood). Untuk Katingan:Menjalankan restorasi ekosistem pada lahan gambut dalam hutan produksi. Meningkatkan pengelolaan Taman Nasional Sebangau.

E2.3. Praktek-praktek terbaik dalam pengelolaan lahan gambut

Selain perlindungan lahan gambut yang tersisa melalui berbagai tindakan hukum seperti yang disajikan di atas, praktek terbaik dalam pengelolaan lahan gambut harus dikembangkan dan dikomunikasikan di antara para pemangku kepentingan dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca dan juga tekanan sosial-ekologis lainnya. Praktik terbaik ini harus berlandaskan kepada ilmu pengetahuan, secara sosial-budaya dapat diterima, ramah lingkungan dan layak secara finansial, serta menggabungkan pengalaman dari para ahli dan masyarakat lokal.

Penelitian ini menyajikan:

• Metodologi berbasis satelit untuk mengestimasi emisi CO2 yang berdasarkan kepada fluktuasi tinggi muka air (GWT) pada berbagai tipe tutupan lahan;• Pengukuran GWT secara terus-menerus di tiga titik lokasi dalam Kabupaten Pelalawan dan tiga titik lokasi di Kabupaten Katingan;• Kerangka teoritis mengenai skenario trade-off, sebuah keadaan seimbang antara pengurangan emisi CO2 dari berbagai tutupan lahan dalam ekosistem lahan gambut dan tingkat pengembangan ekonomi yang optimal, misal dalam bidang pertanian;• Model hidrologi untuk mengestimasi besaran pengeluaran air melalui kanal dan parit di lahan gambut. Kebutuhan dan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut:

Secara umum:

• Mengembangkan model trade-off berbasis ilmu pengetahuan yang dapat menunjukkan tingkat GWT secara optimal; dalam arti cukup rendah sehingga menjamin produksi lahan pertanian namun cukup tinggi untuk dapat mencegah proses oksidasi dan dekomposisi gambut; • Penelitian secara berkelanjutan mengenai hubungan antara GWT dan emisi CO2, serta dengan hasil panen dari tanaman pertanian dan perkebunan;• Penelitian ilmiah mengenai hubungan hidrologis antara volume pengurasan air tanah dengan emisi CO2;• Pengembangan metode pemantauan pengatusan lahan gambut untuk mempertahankan GWT pada tingkat optimal;

Page 122: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

122

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

• Pemilihan tanaman pertanian dan perkebunan yang sesuai dan tahan terhadap lahan gambut;• Pengelolaan lahan gambut secara kolaboratif berdasarkan kepada kesepakatan multi-pihak dalam rangka untuk mengurangi resiko konflik sosial, perambahan dan praktek yang tidak berkelanjutan. Untuk Pelalawan:• Intensifikasi pertanian dan perbaikan pengelolaan lahan untuk meningkatkan hasil lahan pertanian dan perkebunan per hektar, sembari mempertahankan GWT pada tingkat optimal;• Memperbaiki pengelolaan kegiatan budidaya air dan perikanan skala kecil. Untuk Katingan:• Pengembangan mata penghidupan alternatif yang berkelanjutan secara ekologi dan sosio-ekonomi (seperti: Hasil hutan bukan kayu, hasil-hasil wanatani, perikanan skala kecil dan budidaya air, dan ekowisata);• Perbaikan pengelolaan lahan untuk meningkatkan hasil dari sawah dan komoditas wanatani per hektarnya, sembari mempertahankan GWT pada tingkat optimal.

E2.4. Pencegahan kebakaran di lahan gambut

Kebakaran lahan gambut biasanya terjadi karena praktik-praktik penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan, dan merupakan salah satu penyebab utama deforestasi besar-besaran dan degradasi lahan gambut, dan menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang negatif. Kebakaran hampir selalu terjadi pada musim kemarau di lahan gambut tak berhutan dan/atau terdegradasi. Pencegahan kebakaran lahan gambut sangat penting sebagai bagian dari pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dan juga mitigasi emisi gas rumah kaca.

Penelitian ini menyajikan:

Peluang dari penggunaan informasi GWT berbasis satelit sebagai deteksi dini kebakaran lahan.

Kebutuhan dan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut:

Secara umum:

• Pengembangan metodologi pemetaan titik-titik api (hot spot) yang menggunakan data GWT berbasis satelit dan Sensor satelit seperti Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS), sebagai sebuah sistem peringatan dini dan pelaporan;• Pemantauan GWT di daerah-daerah yang rentan kebakaran, khususnya pada musim kemarau;• Studi mengenai metode yang efektif untuk melakukan pembersihan lahan untuk pertanian;• Peningkatan kesadaran dan kapasitas petani kecil akan pencegahan, pengawasan dan dampak dari kebakaran hutan. Untuk Pelalawan:• Penegakan hukum untuk mengatur penggunaan api dalam penyiapan lahan perkebunan;

Page 123: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

123

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

• Berkolaborasi dengan pelaku industri konsesi HTI untuk mengawasi pengatusan lahan gambut sampai tingkat optimal (dibahas pada bagian E2.3.).

Untuk Katingan:Membuat tanggul-tanggul (tabat) kecil untuk mencegah pengatusan lahan gambut dan mempertahankan tinggi GWT di Taman Nasional Sebangau dan di lokasi restorasi ekosistem.

E2.5. Restorasi ekosistem lahan gambut

Selain melakukan pencegahan terhadap konversi lahan gambut, pengatusan dan kebakaran lahan, penting juga untuk melakukan restorasi terhadap lahan gambut yang sudah terdegradasi. Restorasi ini perlu dilakukan dalam rangka untuk membalik arah proses deforestasi dan dari berkurangnya secara cepat ekosistem lahan gambut yang tersisa. Kegiatan restorasi mau tidak mau akan memberikan dampak sosial ekonomi pada masyarakat yang tinggal di sekitarnya, dan oleh karena itu kegiatan ini harus direncanakan dan dilaksanakan melalui pendekatan partisipatif.

Penelitian ini menyajikan:

Analisa tata guna dan tutupan lahan yang dapat digunakan sebagai rujukan lokasi lahan-lahan kritis untuk kegiatan restorasi ekosistem lahan gambut, baik di Kabupaten Pelalawan maupun Katingan.

Kebutuhan dan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut:

Secara umum:

• Peningkatan kesadaran dan kapasitas mengenai pentingnya lahan gambut melalui penelitian yang berkelanjutan dan pengembangan ilmu pengetahuan; • Pengembangan tehnik silvikultur dan regenerasi alamiah terbantu untuk spesies asli di lahan gambut.

Untuk Pelalawan:• Pengembangan zona penyangga disekeliling HTI yang dikelola secara kolaboratif dengan masyarakat lokal;• Penzonasian yang efektif, konservasi dan pemantauan terhadap hutan dan spesies yang bernilai konservasi tinggi dalam kawasan perkebunan atau HTI.

Untuk Katingan: • Pembasahan gambut dan pelaksanaan penataan air secara efektif;• Reforestasi di areal bukan hutan dan pengayaan di areal terdegradasi dengan spesies asli;• Pengembangan zona penyangga yang dapat dikelola sebagai hutan masyarakat;• Perlindungan dan regenerasi terbantu dari spesies yang memiliki NKT (nilai konservasi tinggi).

Page 124: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

124

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Referensi

Aldrian, E., and Dwi Susanto, R. (2003). Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. International Journal of Climatology 23: 1435-1452.

Badan Pusat Statistik.(2012). Katingan Dalam Angka 2012. Available online at: http:// katingankab.bps.go.id/Ruangbaca_kda12.php.

Bruenig, E. F. (1990). Oligotrophic forested wetlands in Borneo. In: Lugo,A.E., Brinson M & Brown S (Eds). Ecosystems of The World 15 (pp 299-334), Forested Wetlands, Elsevier

Dinas Kehutanan.(2013). Luas hutan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan Kabupaten Katingan Tahun 2009. Available online at: http://www. katingankab.go.id/selayang-pandang/pengembangan-produk/kehutanan. html.

DNPI.(2010). Indonesia’s Greenhouse Gas Abatement Cost Curve. Dewan Nasional Perubahan Iklim. Jakarta, Indonesia.

Fahmudin, A., Hairiah, K., and Mulyani, A. (2011). Measuring carbon stock in peat soils: practical guideline. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program, Indonesia Centre for Agricultural Land Resources Research and Development.

FAO.(2000). Land Cover Classification System (LCCS): Classification Concepts and User Manual. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome, Italy.

GRASS Development Team. (2013). Geographic Resources Analysis Support System (GRASS) Software, Version 6.4. Open Source Geospatial Foundation. http://grass.osgeo.org.

Guterres, Antonio. (2009). Climate change, natural disasters and human displacement: a UNHCR perspective. Unite Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Geneva, Switzerland.

Hecht, S.B.(1985). Environment, development, and politics: capital accumulation and the livestock sector in Amazonia. World Development 13 (6), 663–684.

Hirano, T., Segah, H., Kusin, K., Limin, S., Takahashi, H., and Osaki, M. (2012). Effects of disturbances on the carbon balance of tropical peat swamp forests. Global Change Biology, 18, 3410-3422. Hooijer, A., Page, S., Jauhiainen, J., Lee, W., Lu, X., and Idris, A. (2012). Subsidence and carbon loss in drained tropical peatlands. Biogeosciences , 1053-1071. Indonesia Climate Change Center. (2012). Policy memo: Peatland definition from uncertainty to certainty. Jakarta: Indonesia Climate Change Center.

Page 125: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

125

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

IPCC.(2000). Summary for Policy Makers: Emission Scenarios. A Special Report of Working Group III of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Geneva, Switzerland. p4. IPCC.(2007). Climate Change 2007: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Core Writing Team, Pachauri, R.K and Reisinger, A. (eds.)]. Geneva, Switzerland, 104 pp.

Jaenicke J., Rieley J.O., Mott C., Kimman P. and Siegert F. (2008) Determination of the amount of carbon stored in Indonesian peatlands, Geoderma 147, 151-158

Najiyati, S., L. Muslihat, I. Nyoman N., andSuryadiputra. (2005). Panduan Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Pertanian Berkelanjutan. Wetlands International, ix + 241. ISBN 979-97373-2-9.

MoE.(2007). Indonesia Country Report: Climate Variability and Climate Change, and their Implication. Ministry of Environment, Republic of Indonesia, Jakarta.

Mulyani, A., Susanti, E., Dariah, A., Maswar, Wahyunto, & Agus, F. (2012). Basis Data Karakteristik Tanah Gambut di Indonesia. (11).

Oki, K., Sruwatari, T., Nogawa, Y., Suhama, T., and Omasa, K. (2005). Classification Method for Vegetation in Urban Area using Hyperspectral Data, Eco- Engineering 17(1), 67-72.

Quantum GIS Development Team. (2013). Quantum GIS Geographic Information System. Open Source Geospatial Foundation Project. http://qgis.osgeo.org.

Ravindrananth, N., and Ostwald, M. (2010). Carbon Inventory Methods-handbooks for greenhouse Gas Inventory, carbon mitigation and roundwood production project. Springer.

R Core Team. (2013). R: A language and environment for statistical computing. R Foundation for Statistical Computing, Vienna, Austria. ISBN 3-900051-07- 0, URL: http://www.R-project.org.

RSNI-2. (2012). Pemetaan lahan gambut skala 1:50.000.Rencangan Standar Nasional Indonesia-2.Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Savitzky, A. and  Golay, M.J.E.  (1964). Smoothing and Differentiation of Data by Simplified Least Squares Procedures.  Analytical Chemistry 36 (8): 1627– 1639.

Shepherd, P. A, Rieley, J. O.,and Page, S. E. (1997). The relationship between forest vegetation and peat characteristics in the upper catchment of Sungai Sebangau, Central Kalimantan. In: Rieley, J. O. & Page, S.E. (Eds) Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatland (pp 191-210). Samara Publishing Limited

Page 126: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

126

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Shimada, S., Takahashi, H., Kaneko, M. and Toyoda, H. (2004).Predicting Peat Layer Mass Using Remote Sensing Data in Central Kalimantan, Indonesia. In: Participatory Strategy for Soil and Water Conservation. Edited by M. Mihara & E.Yamaji, Institute of Environment Rehabilitation and Conservation, Soubun Co., Ltd., pp. 193-196.

Sivakumar, M.V.K., Brunini, O., and Das, H.P. (2005).Impacts of present and future climate variability on agriculture and forestry in the arid and semi-arid tropics. Climatic Change. 70:31-72 pp.

Sumartadipura A.S., and Margono U., (1996). Geological map of the Tewah (Kualakurun) Quadrangle, Kalimantan (1:250,000), Geological Survey Institute, Index No.1614.

Takeuchi, W., Hirano, T., Anggraini, N., and Roswintiarti, O. (2010). Estimation of ground water table at forested peatland in Kalimantan usingdrought index toward wildfire control. JICA-JST.

UNEP. (2012). The Emissions Gap Report. United Nations Environment Programme (UNEP), Nairobi.

Wahyunto, I Nyoman N. Suryadiputra. (2008). Atlas Sebaran Lahan Gambut di Sumatera dan Kalimantan:penjelasan terhadap sumber data, tingkat ketelitian, faktor pembatas dan celah kelemahan dalam penyusunannya. Wetlands International, Bogor.

Wahyunto, Dairah, A., and Fahmudin, A. (2010). Distribution, properties and carbon stock in Indonesia Peatland.

Warren, M., Kauffman, J., & Murdiyarso, D. (2012). A cost-efficient method to assess carbon stock in tropical peat soil. Biogeosciences , 4477-4485.

Wust.A.J., and Raphael., B. M. (2003). New Classification system for tropical organic- rich deposits based on study of Tasek Bera Basin, Malaysia. Catena 53.

Yamaguchi, Y. (2007). Radar Polarimetry From Basics to Applications, P.182, IEICE, Tokyo, Japan.

Page 127: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

127

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Daftar Lampiran

1. Peta lahan gambut baru Kabupaten Pelalawan

2. Peta lahan gambut baru Kabupaten Katingan

3. Analisis Perubahan Tata Guna dan Tutupan Lahan pada lahan gambut di Kabupaten Pelalawan

4. Analisis Perubahan Tata Guna dan Tutupan Lahan pada lahan gambut di Kabupaten Pelalawan

Lampiran 1. Peta lahan gambut baru Kabupaten Pelalawan Lampiran 2. Peta lahan gambut baru Kabupaten Katingan Lampiran 3. Analisis Perubahan Tata Guna dan Tutupan Lahan pada lahan gambut di Kabupaten Pelalawan

Tabel A.1. Perubahan Tutupan Lahan pada lahan gambut di Kabupaten Pelalawan tahun 1990-1995 (dalam Hektar)

Tabel A.2. Perubahan Tutupan Lahan pada lahan gambut di Kabupaten Pelalawan tahun 1995-2000 (dalam Hektar)

Tabel A.3. Perubahan Tutupan Lahan pada lahan gambut di Kabupaten Pelalawan tahun 2000-2005 (dalam Hektar)

Tabel A.4. Perubahan Tutupan Lahan pada lahan gambut di Kabupaten Pelalawan tahun 2005-2010 (dalam Hektar)

Tabel A.5. Perubahan Tutupan Lahan pada lahan gambut di Kabupaten Pelalawan tahun 2010-2013 (dalam Hektar)

Lampiran 4. Analisis Perubahan Tata Guna dan Tutupan Lahan pada lahan gambut di Kabupaten Katingan

Tabel B.1. Perubahan Tutupan Lahan pada lahan gambut di Kabupaten Katingan tahun 1990-1995 (dalam Hektar)

Tabel B.2. Perubahan Tutupan Lahan pada lahan gambut di Kabupaten Katingan tahun 1995-2000 (dalam Hektar)

Tabel B.3. Perubahan Tutupan Lahan pada lahan gambut di Kabupaten Katingan tahun 2000-2005 (dalam Hektar)

Tabel B.4. Perubahan Tutupan Lahan pada lahan gambut di Kabupaten Katingan tahun 2005-2010 (dalam Hektar)

Tabel B.5. Perubahan Tutupan Lahan pada lahan gambut di Kabupaten Katingan tahun 2010-2013 (dalam Hektar)

Page 128: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

128

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan GambutLa

mpi

ran

1. P

eta

laha

n ga

mbu

t bar

u K

abup

aten

Pel

alaw

an

Page 129: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

129

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan GambutLa

mpi

ran

2. P

eta

laha

n ga

mbu

t bar

u K

abup

aten

Kat

inga

n

Page 130: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

130

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Lam

pira

n 3.

Ana

lisis

Peru

baha

n Ta

ta G

una

dan

Tutu

pan

Laha

n pa

da la

han

gam

but d

i Kab

upat

en P

elal

awan

Tabe

l A.1

. Per

ubah

an T

utup

an L

ahan

pad

a la

han

gam

but d

i Kab

upat

en P

elal

awan

tahu

n 19

90-1

995

(dal

am H

ekta

r)

Tabe

l A.2

. Per

ubah

an T

utup

an L

ahan

pad

a la

han

gam

but d

i Kab

upat

en P

elal

awan

tahu

n 19

95-2

000

(dal

am H

ekta

r)

Tabe

l A.3

. Per

ubah

an T

utup

an L

ahan

pad

a la

han

gam

but d

i Kab

upat

en P

elal

awan

tahu

n 20

00-2

005

(dal

am H

ekta

r)

Page 131: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

131

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Tabe

l A.4

. Per

ubah

an T

utup

an L

ahan

pad

a la

han

gam

but d

i Kab

upat

en P

elal

awan

tahu

n 20

05-2

010

(dal

am H

ekta

r)

Tabe

l A.5

. Per

ubah

an T

utup

an L

ahan

pad

a la

han

gam

but d

i Kab

upat

en P

elal

awan

tahu

n 20

10-2

013

(dal

am H

ekta

r)

Page 132: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

132

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan GambutLa

mpi

ran

4. A

nalis

is Pe

ruba

han

Tata

Gun

a da

n Tu

tupa

n La

han

pada

laha

n ga

mbu

t di K

abup

aten

Kat

inga

n

Tabe

l B.1

. Per

ubah

an T

utup

an L

ahan

pad

a la

han

gam

but d

i Kab

upat

en K

atin

gan

tahu

n 19

90-1

995

(dal

am H

ekta

r)

Tabe

l B.2

. Per

ubah

an T

utup

an L

ahan

pad

a la

han

gam

but d

i Kab

upat

en K

atin

gan

tahu

n 19

95-2

000

(dal

am H

ekta

r)

Tabe

l B.3

. Per

ubah

an T

utup

an L

ahan

pad

a la

han

gam

but d

i Kab

upat

en K

atin

gan

tahu

n 20

00-2

005

(dal

am H

ekta

r)

Page 133: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

133

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Tabe

l B.4

. Per

ubah

an T

utup

an L

ahan

pad

a la

han

gam

but d

i Kab

upat

en K

atin

gan

tahu

n 20

05-2

010

(dal

am H

ekta

r)

Tabe

l B.5

. Per

ubah

an T

utup

an L

ahan

pad

a la

han

gam

but d

i Kab

upat

en K

atin

gan

tahu

n 20

10-2

013

(dal

am H

ekta

r)

Page 134: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

134

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Page 135: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

135

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

Page 136: Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

136

Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut