25
1 Kajian Etnokoreologi Tari Topeng Banjar Oleh Putri Yunita Permata Kumala Sari Dosen Prodi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat Abstrak Artikel ini secara umum untuk mengetahui informasi kompleks dan mendalam mengenai karakteristik Tari Topeng Banjar melalui mengetahui gerak khas dan karakter Topeng Topeng Banjar, sehingga dapat memberikan pemahaman wiraga, wirama, dan wirasa yang baik dan benar.Artikel ini merupakan kajian tari dengan disiplin ilmu Etnokoreologi dengan objek artikel Tari Topeng Banjar yang ada dalam Upacara Manuping di Desa Banyiur Luar, Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang bergenre tari klasik. Etnokoreologi merupakan pendekatan multidisipliner untuk mengkaji tari etnis dari segi tekstual dan kontekstual. Melalui proses artikel ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman teks dan kontekstual. Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui metode triangulasi dengan wawancara, observasi dan dokumentasi bersama pelaku seni yang berhubungan langsung dengan pertunjukan Tari Topeng Banjar dan budayawan Kalimantan Selatan serta pengumpulan data melalui beberapa literasi yang terkait dengan artikel ini. Tari topeng di Banyiur Luar ini memiliki keunikan yang menjadi karakteristiknya, dimana tari topeng dengan tokoh perempuan menggunakan ragam gerak yang merupakan akulturasi ragam gerak tari klasik Banjar dan ragam gerak japin Banjar. Hal tersebut dikarenakan lokasi situs merupakan daerah pesisir sungai dan konon di daerah tersebut juga merupakan daerah pertama hidupnya komunitas penjapinan di Kalimantan Selatan. Kata kunci : Karakteristik, Tari Topeng Banjar, Upacara Manuping, Etnokoreologi. Abstract This article is generally aimed to find complex and in-depth information about the characteristics of Banjarese Mask Dance through knowing the typical movements and characters of the Banjarese Mask, so as to provide an understanding of wiraga, wirama, and wirasa well. This article is a study on dance with Ethnocoreology discipline with the object of the Banjarese Mask Dance articles in the Manuping Ceremony in Banyiur Luar Village, Banjarmasin, South Kalimantan which has a classical dance genre. Ethnocoreology is a multidisciplinary approach to studying ethnic dance in terms of textual and contextual. Through this article, it is expected to provide text and contextual understanding. This article uses a qualitative approach through the method of triangulation with interviews, observation and documentation with artists who are directly related to the performance of Banjarese Mask Dance and South Kalimantan cultural observer, as well as data collection through several literacysources related to this article. The mask dance in Banyiur Luar has a unique characteristic, where mask dance with famale characters uses a variaty of motion which is an acculturation of various classical Banjarese dance movements and various japin Banjarese dance movements. This is because the location of site is a coastal area of the river and

Kajian Etnokoreologi Tari Topeng Banjar Oleh Putri Yunita ...eprints.ulm.ac.id/7542/1/Jurnal Pelataran Seni.pdfperempuan menggunakan ragam gerak yang merupakan akulturasi ragam gerak

  • Upload
    others

  • View
    43

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

Kajian Etnokoreologi Tari Topeng Banjar

Oleh

Putri Yunita Permata Kumala Sari

Dosen Prodi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Lambung Mangkurat

Abstrak

Artikel ini secara umum untuk mengetahui informasi kompleks dan mendalam mengenai karakteristik

Tari Topeng Banjar melalui mengetahui gerak khas dan karakter Topeng Topeng Banjar, sehingga

dapat memberikan pemahaman wiraga, wirama, dan wirasa yang baik dan benar.Artikel ini

merupakan kajian tari dengan disiplin ilmu Etnokoreologi dengan objek artikel Tari Topeng Banjar

yang ada dalam Upacara Manuping di Desa Banyiur Luar, Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang

bergenre tari klasik. Etnokoreologi merupakan pendekatan multidisipliner untuk mengkaji tari etnis

dari segi tekstual dan kontekstual. Melalui proses artikel ini, diharapkan dapat memberikan

pemahaman teks dan kontekstual. Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui metode

triangulasi dengan wawancara, observasi dan dokumentasi bersama pelaku seni yang berhubungan

langsung dengan pertunjukan Tari Topeng Banjar dan budayawan Kalimantan Selatan serta

pengumpulan data melalui beberapa literasi yang terkait dengan artikel ini. Tari topeng di Banyiur

Luar ini memiliki keunikan yang menjadi karakteristiknya, dimana tari topeng dengan tokoh

perempuan menggunakan ragam gerak yang merupakan akulturasi ragam gerak tari klasik Banjar dan

ragam gerak japin Banjar. Hal tersebut dikarenakan lokasi situs merupakan daerah pesisir sungai dan

konon di daerah tersebut juga merupakan daerah pertama hidupnya komunitas penjapinan di

Kalimantan Selatan.

Kata kunci : Karakteristik, Tari Topeng Banjar, Upacara Manuping, Etnokoreologi.

Abstract

This article is generally aimed to find complex and in-depth information about the

characteristics of Banjarese Mask Dance through knowing the typical movements and

characters of the Banjarese Mask, so as to provide an understanding of wiraga, wirama, and

wirasa well. This article is a study on dance with Ethnocoreology discipline with the object of

the Banjarese Mask Dance articles in the Manuping Ceremony in Banyiur Luar Village,

Banjarmasin, South Kalimantan which has a classical dance genre. Ethnocoreology is a

multidisciplinary approach to studying ethnic dance in terms of textual and contextual.

Through this article, it is expected to provide text and contextual understanding. This article

uses a qualitative approach through the method of triangulation with interviews, observation

and documentation with artists who are directly related to the performance of Banjarese

Mask Dance and South Kalimantan cultural observer, as well as data collection through

several literacysources related to this article. The mask dance in Banyiur Luar has a unique

characteristic, where mask dance with famale characters uses a variaty of motion which is an

acculturation of various classical Banjarese dance movements and various japin Banjarese

dance movements. This is because the location of site is a coastal area of the river and

2

supposedly in the area is also the first area of life of the ‘penjapinan’ community in South

Borneo.

Keyword : Characteristic, Banjarese Maks Dance, Manuping Ceremony,

Ethnochoreology

PENDAHULUAN

Topeng bukanlah benda yang asing bagi setiap orang, dan bahkan sudah menjadi

bagian dari tradisi masyarakat Indonesia, bahkan di dunia. Di Kalimantan Selatan seni topeng

tradisi disini dipertunjukan dalam bentuk upacara ritual yang dinamakan

Manopeng/Manopeng. Pada upacara Manopeng ini terdapat beberapa ritual yang

dilaksanakan, seperti pembersihan peralatan warisan seperti wayang, tombak, keris, topeng

dan sebagainya. Kemudian topeng-topeng tesebut pertunjukan dalam bentuk Tari Topeng

dengan berbagai tujuan, ada yang ditujuan untuk pemberian makan kepada roh-roh yang

dipercaya terdapat pada topeng; sebagai ritual pengobatan penyakit gaib yang diderita juriyat

panopengan; rasa syukur setelah panen; ritual pembersihan kampung; dan lain sebagainya.

Tari Topeng biasanya dipergelarkan pada upacara Manopeng/Manopeng itu ada yang

diharuskan juriyat langsung yang membawakan tari tersebut dan ada juga beberapa tari

topeng yang diperbolehkan untuk ditarikan oleh orang diluar garis juriyat. Apabila

diperhatikan secara seksama maka akan nampak perbedaan dalam membawakan tarian yang

memang sangat signifikan, dimana biasanya para penari yang juriyat menari merupakan

kegiatan turun-temurun dan mereka menari dengan spontanitas, karena mereka belajar secara

absorbed action dalam ruang lingkup pendidikan informal. Seperti yang dijelaskan oleh

Morris dalam Narawati (2003:32), absorbed action merupakan perilaku yang dilakukan oleh

seseorang karena ia merasa perlu melakukan perilaku yang sama yang dilakukan oleh orang

lain. Kegiatan menari topeng sudah mendarah-daging dalam kehidupan mereka.

Berbeda halnya dengan penari yang bukan juriyat, biasanya mereka memiliki

perbendaharaan gerak, karena latihan dalam ruang lingkup pendidikan formal (akademik

pendidikan tari) maupun non formal (sanggar), sehingga kalau dilihat wiraga dan wirama

secara sekilas lebih bagus yang diluar juriyat. Namun untuk wirasa jauh lebih bisa merasakan

yang juriyat langsung, karena mereka memahami karakteristik topeng tersebut, dari historis

hingga silsilah pewarisan ilmu tersebut. Lain halnya dengan yang diluar juriyat yang tidak

memahami karakteristiknya, sehingga mereka hanya menari tanpa mampu menjiwai tarian

tersebut.

3

Pengkajian ini akan dilakukan lebih mendalam dengan menggunakan pendekatan

Etnokoreologi sebagai pijakannya. Etnokoreologi merupakan ilmu kajian ilmiah yang

multidisipliner untuk mengupas sebuah tari etnis secara tekstual dan kontekstual. Heddy Shri

Ahimsa-Putra (dalam Hendra, 2018:160) yang mengatakan, bahwa dalam menganalisis seni

yaitu dengan memfokuskan pada dua bentuk kajian yaitu tekstual dan kontekstual. Dipilihnya

etnokoreologi, karena disiplin ilmu ini merupakan penyempurnaan semua disiplin terdahulu,

seperti antropologi tari, etnologi tari, koreologi, etnokoreografi dan lain sebagainya. Oleh

karena itu digunakanlah etnokoreologi ini, dimana masalah teks dikaji mendalam dengan

mengidentifikasi Tari Topeng Banjar berdasarkan karakterisasi, deskripsi, analisis, dan

pemaknaan dari bentuk penyajian, sedangkan wilayah konteksnya adalah berkenaan dengan

nilai-nilai kearifan lokal dan makna simbolik yang terkandung dalam gerak berdasarkan pada

pola pikir, sikap serta pandangan hidup urang Banjar di Kalimantan Selatan, sehingga

pemahaman akan sebuah tari etnis akan maksimal, dan pengkomunikasiannya pun akan

maksimal.

Berdasarkan pandangan tersebut, maka teknik pengumpulan data yang akan

digunakan dalam artikel ini adalah teknik triangulation (triangulasi), yakni kombinasi

metodologi untuk memahami sebuah fenomena. Menurut Alwasilah (2002:106), triangulasi

menguntungkan peneliti dalam dua hal, yaitu (1) mengurangi resiko terbatasnya kesimpulan

pada metode dan sumber data tertentu; dan (2) meningkatkan validitas kesimpulan, sehingga

lebih menambah pada ranah yang lebih luas. Artikel ini menggunakan beberapa metodologi,

seperti: observasi; metode perekaman; teknik wawancara; teknik pengumpulan data

dokumen.

Soedarsono (2009:49) menyatakan Etnokoreologi (dalam Fitriana dkk, 2018:2) yang

terdiri tiga kata yaitu ethno yang berarti bangsa atau suku bangsa, choros yang bararti tari

(tari kelompok), dan logos yang berarti ilmu, lebih tepat, karena yang diteliti oleh

etnokoreologi adalah tari-tarian dari bangsa-bangsa atau suku bangsa. Etnokoreologi

(Ethnochoreology) merupakan pendekatan atau metode multidisiplin yang digunakan untuk

mengupas sebuah seni tari etnis secara tekstual dan kontekstual tersebut. Etnokoreologi

merupakan istilah yang bisa dikatakan baru dalam sebuah kajian tari. Pendekatan

etnokoreologi digunakan sebagai pengganti istilah-istilah disiplin ilmu tari untuk mengkaji

sebuah karya seni tari etnis sebelumnya. Istilah Koreologi (Choreology) dicetuskan pertama

kali oleh Getrude Prokosch Kurath pada tahun 1956, yang kemudian diikuti oleh Joan

Kealiinohomoku, Adrienne L. Keappler, Anya Peterson Royce, Claire Holt, dll. Setelahnya,

istilah yang selalu digunakan oleh para sarjana tari untuk menamakan studi tari adalah

4

Etnologi Tari (Dance Ethnology) atau Antropologi Tari (Dance Anthropology). Hal ini tentu

saja masih meminjam istilah disiplin ilmu etnologi atau antropologi (Masunah dan Narawati,

2012:47).

Istilah etnokoreologi mengandung empat pengertian, yakni pertama tari adalah produk

sebuah masyarakat. Kedua, tari sebagai produk masyarakat mengandung nilai-nilai yang

dianut masyarakat. Ketiga, nilai yang dianut masyarakat satu dengan masyarakat lainnya itu

berbeda. Keempat, menilai/mengapresiasi sebuah tari etnis tidak bisa berlaku umum harus

dengan acuan nilai yang dianut masyarakat pemilik budaya tarinya. Dengan demikian, maka

teori etnokoreologi lebih menekankan bahwa tari merupakan produk masyarakat yang

tentunya terkandung nilai-nilai etnis di dalamnya (Narawati, 2013:70-71 dalam Wahyudi dkk,

2018:136).

Konsep etnokoreologi ini juga dijadikan pisau bedah dalam mengkaji tari Topeng

Banjar yang diharapkan mampu menguak karakteristik Tari Topeng Banjar dalam penelitian

ini. Dibia (2007:14 dalam Restela dan Narawati, 2017:188) menjelaskan bahwa selain

mengandung pesan-pesan tertentu (naratif, simbolik, kinestetik), sajian tari selalu dipengaruhi

bahkan dipolakan oleh nilai-nilai atau konsep seni dan budaya kelompok etnis yang

melahirkannya. Tentunya karakteristik masyarakat etnis Banjar akan terefleksi dalam tari

Topeng yang dimilikinya. Selanjutnya, karakteristik juga dibangun oleh ketiga aspek

kemanusiaan berikut dalam perspektif tari yang melebur dalam bangunan rasa sebagai

suasana dramatik (Wahyudiyanto, 2006:126-127):

1. Sikap untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih baik dan sikap yang melatar

belakangi manusia berbudaya. Dengan demikian wujud suatu kesenian sebagai

pengalaman berbudaya merupakan salah satu ungkap kehidupan yang melingkupinya.

2. Konstitusi jasmaniah, yaitu keadaan jasmaniah secara fisiologi merupakan sifat

bawaan sejak lahir.

3. Keindahan rasa yang terpancar dari nilai-nilai normatif yang hidup dalam masyarakat.

Berdasarkan teori-teori tersebut untuk menguak karakteristik tari Topeng Banjar , maka

pengkajian dilakukan melalui historis dan eksistensi tari Topeng Banjar; karakterisasi tokoh-

tokoh Topeng Banjar; analisis gerak khas pada tari Topeng Banjar; busana yang digunakan

penari; musik iringan tari Topeng Banjar; kelengkapan; waktu serta tempat pelaksanaan

upacara Manopeng di Banyiur Luar, Banjarmasin. Selain itu juga diharapkan dapat

memberikan kontribusi pemahaman akan pembawaan sebuah tari etnis yang bukan hanya

menonjolkan wiraga dan wirama saja, tetapi juga wirasa yang merupakan hal terpenting

dalam pengekspresian dan pengkomunikasian pesan tari dengan baik dan benar. Sebab hal

5

tersebut berkaitan dengan pengekspresian sebuah interpretasi budaya yang menjadi identitas

masyarakat Banjar.

PEMBAHASAN

Kalimantan Selatan bermayoritaskan suku Banjar dan bermayoritaskan muslim serta

merupakan daerah yang tingkat religiusitasnya tinggi. Suku Banjar merupakan asimilasi dari

tiga kebudayaan, yakni budaya Dayak yang merupakan suku asli Kalimantan, budaya Jawa

yang dibawa oleh kerajaan Majapahit, Mataram dan Demak, serta Melayu yang dibawa oleh

kerajaan Sriwijaya dan pedagang-pedagang Arab (Disporabudpar dan UPTD Taman Budaya

KalSel, 2009:2-3).

Sejarah kesenian Banjar tidak terlepas dari sejarah kebudayaannya yang paralel

dengan sejarah perkembangan urang Banjar. Ideham, dkk (2005:387) dalam bukunya yang

berjudul“Urang Banjar dan Kebudayaannya” menyebutkan bermula dari adanya pembauran

etnik Melayu sebagai etnik dominan, dengan unsur etnik Dayak Bukit, Ngaju dan Maanyan.

Perpaduan etnik lama-kelamaan menimbulkan perpaduan kultural; unsur Melayu sangat

dominan dalam Bahasa Banjar. Demikian pula dengan kesenian Banjar tentu saja merupakan

kesenian yang dihasilkan oleh asimilasi dari pengaruh sosial politik kesejarahan dalam kurun

waktu yang sangat lama.Sejarah Banjar secara sistematis terbagi menjari 3 zaman, yaitu

Prasejarah, Hindu-Budha dan Islam.

Pada zaman prasejarah, bentuk gerakan berdasarkan suatu tujuan yang mengandung

nilai lain, sekalipun semua itu diungkapkan dari emosi kejiwaan bersifat sentimental penuh

perasaan. Sampai sekarang masih dikenal tarian perang, tarian saat berburu, tarian untuk

arwah dan sebagainya yang masih ditemukan khususnya pada masyarakat Dayak di

Kalimantan (Ideham, dkk, 2005:388-389). Mulai dari zaman prasejarah oleh bangsa primitif

inilah munculnya mitos-mitos, sehingga menjadi identitas yang spesifik dari masyarakat

primitif animisme, yaitu adanya kegiatan-kegiatan mistis dan aktivitas ritual. Mitos ini dapat

diwariskan dengan diceritakan kembali kepada generasi penerus maupun diwujudkan dalam

suatu kegiatan dalam bentuk tarian atau lakon. Kegiatan tersebut sering ditemui pada upacara

ritual yang sakral. Pelaksanaan upacara tersebut sebagai ungkapan pengabdian dan pemujaan

terhadap sesuatu yang gaib dan sesuatu yang melebihi kemampuan dan kekuatan mereka,

dengan tujuan untuk meraih keselarasan dan keseimbangan hidup, pemohonan restu, dan

menghindari murka arwah leluhur dalam garis keturunnnya (Maman, 2012:36).

Memasuki zaman peradaban, pada zaman Hindu-Budha, kebudayaan Jawa dalam

kehidupan masyarakat istana sekitarnya berpadu dengan kebudayaan Melayu dan kebudayaan

6

Dayak Maanyan, akan tetapi karena keraton Dipa lebih mendominasi adat tradisi Budaya

Jawa, maka masyarakat sekitar juga dipengaruhi hal demikian (Ideham, dkk, 2005:391).

Dalam catatan sejarah Kalimantan Selatan, pada abad XII berdiri kerajaan Tanjungpuri yang

merupakan kerajaan migrasi orang-orang Melayu Sriwijaya dengan membawa kebudayaan

dan ajaran Budhisme. Kemudian pada abad XIII muncul pula kerajaan Negara Dipa yang

merupakan migrasi orang-orang Jawa Timur, akibat peperangan antara Ken Arok dengan

Raja Kertajaya yang disebut perang Ganter pada tahun 1222. Mereka membawa kebudayaaan

dan ajaran Hinduisme (Maman, 2012:28-29).

Seiring peradaban masyarakat Kalimantan Selatan, kebudayaan Islam secara perlahan

tumbuh, namun kesenian lama tidak dimusnahkan karena terjadi akulturasi positif. Istana

sejak dahulu memang menjadi pusat kebudayaan. Demikian juga dengan istana kerajaan

Banjar yang dibangun oleh Sultan Suriansyah, yang direbut olehnya ketika masih bernama

Pangeran Samudera (Ideham, dkk, 2005:397). Kerajaan Banjar ini muncul pada abad XVI,

sebagai akibat perpecahan yang disebutkan kekuasaan kerajaan Negara Daha, yang

sebelumnya bernama Kerajaan Negara Dipa oleh Pangeran Samudera dengan pamannya

Pangeran Temanggung. Akhirnya melalui proses politik, Pangeran Samudera beserta

pengikutnya berhasil mengalahkan Negara Daha dan memenuhi janji untuk memeluk agama

Islam, serta merubah nama menjadi Sultan Suriansyah. Banjarmasin menjadi ibukota

merangkap bandar dari Kerajaan Banjar, sedangkan rakyatnya dinamai Urang (Orang)

Banjar. Bagi Urang Banjar, agama Islam menjadi pendukung kewarganegaraan, dan status

daerahnya (Ideham dkk, 2005:19-20).

Topeng salah satu warisan budaya bangsa hingga sekarang masih memiliki peran

penting dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam aspek kehidupan kultural dan spritual

dibeberapa mayoritas daerah di Indonesia, termasuk Kalimantan Selatan. Beragam topeng

yang dimiliki Kalimantan Selatan yang disebut Topeng Banjar, atau bila diselenggarakan

dalam bentuk sajian dikatakan Manopeng/Manopeng. Secara umum Topeng Banjar dalam

Manopeng diklasifikasikan dalam bentuk sajian Wayang Topeng atau yang lazim dikenal

oleh masyarakat dengan Tari Topeng yang dibawakan oleh penari-penari dengan memakai

topeng sebagai pengganti riasan dan diiringi seperangkat gamelan salendro (Maman,

2012:13-15).

Kemudian Amka dan Hartini (1986) dalam bukunya yang berjudul Upacara

Manopeng Di Kelurahan Basirih Banjarmasin menambahkan, di daerah Kalimantan Selatan

tari topeng lahir sejak zaman kerajaan Negara Dipa, yaitu abad XI. Pada saat itu jenis

kesenian ini tidak hanya berupa tari lepas tapi juga berupa teater, yang di Kalimantan Selatan

7

disebut teater Topeng Dalang. Tari topeng itu sendiri biasanya merupakan pemenuhan

kebutuhan hiburan dikalangan istana atau keraton.

Berdasarkan beberapa studi pustaka tersebut, kita dapat membandingkan dengan

topeng-topeng yang terdapat dibeberapa daerah di Indonesia, yang menunjukan bahwa setiap

topeng yang memiliki karakter ketokohan terbagi menjadi dua bentuk penyajian, yaitu

Wayang Topeng atau Tari Topeng dan Topeng Dalang dengan ceritera beserta dialog. Namun

hingga sekarang ini yang berkembembang atau yang masih lestari hanya Tari Topeng saja,

sedang Topeng Dalang sudah bisa dikatakan hampir punah, karena sudah sangat jarang

dipergelarkan.

Di Kalimantan Selatan terdapat lima titik situs seni Topeng, yakni: (1) di Desa

Barikin, Kabupaten Hulu Sungai Tengah; (2) di Pantai Hambawang, Kabupaten Hulu Sungai

Tengah ; (3) di Rantau, Kabupaten Tapin; (4) di Kabupaten Barito Kuala dan (5) di daerah

Kampung Melayu, Sungai Mesa, Banjarmasin (sudah tidak aktif); dan (5) di Desa Banyiur

Luar, Banjarmasin. Pertunjukan topeng biasanya dilaksanakan dalam upacara

Manopeng/Manopeng, yakni upacara ritual pembersihan peralatan warisan seperti wayang,

tombak, keris, topeng dan sebagainya. Tujuan diadakannya pertunjukan tari Topeng adalah:

(1) untuk pemberian makan kepada roh-roh yang dipercaya terdapat pada topeng; (2) sebagai

ritual pengobatan penyakit gaib yang diderita juriyat panopengan; (3) berdo’a untuk

memohon keselamatan, terlepas dari bencana dan lain sebagainya. (Amka & Hartini, 1986:9)

Artikel ini difokuskan pada pengkajian karakteristik tari Topeng Banjar dalam

upacara Manopeng di Desa Banyiur Luar ini berada di kawasan kota Banjarmasin dan dapat

ditempuh dengan mudah. Selain itu eksistensinya hingga sampai sekarang masih terjaga di

tengah-tengah masyarakat perkotaan Banjarmasin, yang sudah mulai mengalami transisi

sebagai dampak globalisasi dan modernisasi tadi. Meskipun terjaga, namun pelaksanaannya

masih sering diadakan dengan alakadarnya atau seadanya. Hal ini disebabkan minimnya

perhatian dari pihak masyarakat Banjarmasin secara umum, penyelenggaraan hanya

mengandalkan sumbangan suka rela dari juriyat panopengan (para pelaku kegiatan

Manopeng) dan masyarakat sekitar Kelurahan Basirih, tempat dilaksanakannya kegiatan

upacara.

Lokasi situs yang merupakan daerah bandar, yakni daerah sungai besar, memberikan

pengaruh yang cukup besar untuk perkembangan Tari Topeng di Desa Banyiur Luar ini.

Mayoritas penduduk desa bermatapencaharian sebagai pekerja pelabuhan, karena desa dekat

dengan pelabuhan Trisakti Banjarmasin. Selain itu, menurut studi lapangan, konon daerah

tersebut merupakan pusat panjapinan pertama di Kalimantan Selatan, sehingga dalam

8

gerakan tari Topeng Banjar di Desa Banyiur Luar sudah terkontaminasi dengan gerakan-

gerakan japin. Namun sayangnya, komunitas japin ini sudah tidak ada lagi, dan hanya

meninggalkan jejak pada Tari Topeng Banjar yang terdapat dalam upacara Manopeng.

Meskipun dengan kondisi yang minim, penyelenggaraan Manopeng ini masih dapat hidup

hingga sekarang.

Karakterisasi topeng yang terdapat di Kalimantan Selatan ditinjau dengan

etnokoreologi yang merupakan multidisiplin berdasarkan sosial budaya setempat. Analisis

yang berkaitan dengan bentuk topeng adalah pendekatan ikonografi. Pendekatan ikonografis

dikokohkan oleh Alessandra Iyer dalam bukunya yang berjudul “Prambanan Sculpture and

Dance in Ancient Java: A Study in Iconography” yang data utamanya mempergunakan

bentuk ikonografis patung atau relief Candi Prambanan yang merekam berbagai bagian

karana tari India. Clare Holt, dalam bukunya “Malacak Jejak Perkembangan Seni di

Indonesia”, juga menggunakan istilah ikonografi untuk mengulas tentang berbagai

perwatakan tokoh-tokoh wayang kulit dari segi bentuk wajahnya (Narawati, 2003:76).

Selain itu juga, digunakan pendekatan fisiognomi untuk menganalisis dari garis-garis

alis, mata, mulut, kumis, serta bentuk hidung seperti yang diutarakan Richard Corson

(1975:13) dalam bukunya Stage Make Up. Fisiognomi (physiognomy) adalah ilmu yang

menghubungkan antara bentuk fisik dengan karakter dan sifat, seperti yang dikemukakannya

dalam pernyataan berikut: “The practice of relating physical appearance to character and

personality traits is defined by the dictionary as physiognomy”, “Praktek yang berkaitan

dengan penampilan fisik pada karakter dan kepribadian yang didefinisikan oleh kamus

fisiognomi”.

Analisis topeng pun juga ditentukan dari warna topeng tersebut. Setiap masyarakat

disuatu daerah pasti memiliki penafsiran tersendiri terhadap sebuah warna. Analisis warna

menggunakan pendekatan semiotik, yang merupakan ilmu yang berhubungan dengan sistem

tanda, lambang atau simbol dalam konteks kehidupan masyarakat yang memiliki sistem

kebudayaan tertentu. Ferdinand de Saussure (1916) dalam Hoed (2011:3), menerangkan

bahwa melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi

seseorang) dan makna (atau isi, yakni yang dipahami oleh manusia sebagai tanda). Warna

merupakan simbol dalam kehidupan, seperti dalam lalu lintas, lampu merah merupakan

tanda harus berhenti.

Beragam karakter Topeng Banjar berdasarkan tingkat fungsi dan perannya yang

terdapat di Kalimantan Selatan. Namun ada sekitar 20 topeng yang dimiliki para juriyat

9

panopengan di Desa Banyiur Luar, Banjarmasin. Namun dalam upacara Manopeng di sini

hanyalah berikut ini:

Topeng 7 Bidadari

Tari Topeng ini merupakan manifestasi dari mitologi 7 bidadari yang turun dari

kayangan ke bumi. Di dalam mitologi urang Banjar, para bidadari ini turun ke bumi untuk

menapungtawari yang berarti mendo’akan agar diberikan keselamatan oleh Tuhan Yang

Maha Esa. Sesuai dengan namanya, topeng ini terdapat 7 buah, yang semuanya perempuan,

dan tarian topeng ini juga ditarikan oleh 7 orang penari puteri. Tari Topeng ini bukan hanya

boleh ditarikan oleh para juriyat panopengan saja, tetapi juga boleh ditarikan oleh siapa saja

yang ingin menari dalam uparaca Manopeng tersebut.

Di dalam Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Kalimantan Selatan, (Soenarto dkk,

1977/1978:185) menerangkan mengenai Hikayat Lambung Mangkurat yang menuliskan

mengenai upacara Puja Bantan (memuja mendo’a), ketika Kapal Prabayaksa yang

ditumpangi Pangeran Suryanata (Pengeran dari Majapahit) bersama pasukannya kandas di

Pambatanan Lok Baintan, Sungai Martapura. Demi melepaskan kandasnya kapal Prabayaksa,

Pangeran Suryanata menceburkan diri ke sungai, dan bertarung dengan buaya-buaya yang

menghalau kapalnya. Para penumpang kapal mengadakan upacaran pemujaan kepada Tuhan

Yang Maha Kuasa, hingga turunlah para bidadari dari kayangan untuk menapungtawari

Pangeran Suryanata dan kapalnya agar selamat. Topeng 7 Bidadari ini tidak terdeteksi

namanya secara personal, sehingga peneliti menandai dengan huruf “a” sampai “g”. Semua

topeng rata-rata memiliki ciri-ciri warna, bentuk, dan garis yang hampir mirip. Ketujuh

topeng ini berwarna kuning tua atau kuning kunyit, warna ini merupakan warna khas etnis

Banjar yang menggambarkan kesakralan, seperti yang terdapat dalam mitologi urang Banjar

tentang 7 bidadari turun ke bumi untuk mendo’akan.

Topeng (a) memiliki bentuk wajah yang cenderung bulat menunjukan watak dan aktifitas

mental yang sangat kuat, dapat terlihat dari mata yang kecil namun berani menatap ke depan

dengan alis menggunung yang bersegi, serta memiliki hidung sedikit mancung ke atas. Dahi

sempit menunjukan sifat yang hangat, dan mulut tipis dengan sedikit tebuka memberikan

kesan senyuman hangat. Topeng (b) memiliki bentuk wajah dengan rahang sempit berdahi

lebar, cenderung agresif dan keras kepala, memutuskan sesuatu harus melihat hasilnya

secepat mungkin, dan siap bertempur sampai titik darah penghabisan demi tercapainya

kehendak. Hal tersebut juga diperkuat dengan bentuk alis menggunung yang bersegi, mata

terkesan acuh, hidung agak lebar, mulut besar dengan senyum lebar. Topeng (c) dengan

bentuk wajah berlian yang memiliki dahi sempit dan dagu lancip, menunjukan seseorang

10

yang memiliki sikap yang hangat, kemauan yang besar, pemberani, namun cenderung egois

dan ambisius. Sikap hangat terlihat dari alis yang cenderung lurus dan mulut yang agak kecil

dengan senyum sejuk. Keberanian telihat dari mata yang tegas dan benari menatap ke depan

dan hidung yang agak mancung ke atas. Topeng (d) juga berbentuk berlian dengan dagu

lancip, namun berdahi lebarmenunjukan sikap yang hangat dan siap bertempur sampai titik

darah penghabisan demi tercapainya kehendak. Kerendahan hati, pemalu tetapi kuat bisa

dilihat dari mata kecil yang menatap ke bawah dan alis yang cenderung rata namun bersegi,

hidung sedikit mancung ke bawah, mulut tipis dengan senyum yang menyejukan. Topeng (e)

memiliki bentuk wajah segitiga dengan dahi yang sempit, dagu lancipmenunjukan sosok yang

bersemangat tak kenal lelah dengan kemauan besar, ambisius, namun cenderung memikirkan

segala hal dengan seksama. Hal tersebut dipertegas dengan mata yang menatap tajam dengan

alis sedikit melengkung. Hidung sedikit lebar dan senyum yang tak luwes menunjukan

cenderung kurang ramah. Topeng (f) memiliki bentuk wajah oval dengan alis lurus

cenderung berperawakan baik. Dahi lebar menunjukan sosok yang cerdas. Mata kecil dengan

pandangan ke depan, menunjukan keramahan dan berani mengambil keputusan. Mulut tipis

dengan senyum yang manis, menunjukan keikhlasan. Topeng (g) agak mirip dengan topeng

(f) namun pandangan topeng ini cenderung ke bawah yang menunjukan tidak begitu berani

mengambil keputusan.

Berdasarkan analisis tersebut di atas, secara garis besar penggambaran sosok dengan

kecantikan dan kehalusan sosok bidadari yang diliputi dengan kemistisannya dengan simbol

warna kuning kunyitnya.

Topeng Panji

Panji merupakan tokoh ksatria yang sangat tampan, kakak Raden Gunung Sari yang juga

lemah lembut namun berwibawa. Berbeda halnya dengan dengan topeng Panji yang biasa

terdapat di Jawa yang berwarna putih, topeng Panji yang terdapat di Desa Banyiur Luar,

Banjarmasin ini berwarna biru kehijauan muda. Namun bentuk alis tipis, mata kecil melihat

ke bawah, terkesan menunduk, mulut tipis agak membuka yang mengesankan senyum yang

sejuk, hidung agak kecil dan sedikit mancung sama dengan yang terdapat di Jawa. Ornamen

kepala berbentuk gigi haruan yang mencerminkan ketajaman pemikiran atau cerdas Ciri-ciri

tersebut memberikan kesan watak ksatria halus.

Topeng Gunung Sari

11

Merupakan tokoh ksatria Raden Samba yang tampan, lemah lembut, namun ksatria

tangguh.Berdasarkan analisis yang ditinjau dari idientifikasi penamaaan, warna, garis, dan

bentuk Topeng Gunung Sari, yang terdapat didua situs di Kalimantan Selatan, yakni di Desa

Banyiur Luar dan di Desa Barikin, serta Topeng Rumyang yang terdapat di Jawa, memiliki

beberapa kemiripan. Raden Gunung Sari disebut juga Raden Samba, sama halnya dengan

Rumyang yang bernama lain Raden Samba juga.

Pada Topeng Gunung Sari di Desa Barikin memiliki rambut-rambut ikal di bagian atas

seperti topeng Rumyang yang terdapat di Jawa, tetapi Topeng di Banyiur Luar tidak ada.

Meskipun demikian, ciri bentuk wajah yang berlian dengan mata sama kecil dan terkesan

melihat ke bawah atau menunduk yang menunjukan kerendahan hati. Alis kecil dan

cenderung lurus, hidung mancung, bibir tipis dengan senyum kecil, menunjukan kelembutan

dan kehangatan sosok Gunung Sari yang sama halnya dengan sosok Panji.

Topeng Kelana

Topeng ini merupakan manifestasi tokoh Rahwana sebagai raja yang sakti, kaya raya,

gagah perkasa, namun congkak. Topeng kelana berwarna merah yang menyimbolkan

kegarangan dan kejahatan. Hal tersebut dikuatkan dengan mata yang besar, alisnya tidak

terlalu tebal, tapi lebih melengkung tinggi, mulutnya tersenyum lebar dengan terlihat gigi

bagian atas yang terkesan congkak. Hidung agak besar menunjukan kemampuan mencari

uang dan bentuk wajah yang oval adalah sosok pekerja keras, makadari itu tidak heran kalau

sosok Kelana seorang yang kaya raya. Hal tersebut juga tergambar dari ornamen kepala yang

cenderung mewah dengan warna emas dan berbentuk gigi haruan yang merefleksikan

ketajaman berfikir atau cerdas. Kumis yang dimiliki tergolong lebat yang menunjukan

kegagahan.

Topeng Patih

Merupakan tokoh yang mempunyai sifat yang arif dan bijaksana sebagai pendamping

raja, gagah dan berwibawa. Topeng Patih berwarna putih krem dengan mata besar, tetapi alis

kecil yang mencerminkan ketegasan, namun bijaksana. Hidung agak mancung, mulut

tesenyum lebar dengan kumis agak besar, tidak terlalu tipis dan tidak terlalu tebal.

Topeng Tumenggung

Merupakan tokoh topeng yang gagah berani dan selalu siap jika ada perintah raja, namun

gegabah sehingga dalam tugasnya sering mengalami kegagalan. Topeng Tumenggung Banjar

juga memiliki sedikit berbedaan dari warnanya dengan Topeng Tumenggung Jawa, dimana

Topeng Tumenggung Jawa berwarna merah tua atau merah muda, sedangkan Topeng

Tumanggung Banjar yang terdapat di Desa Banyiur Luar, Banjarmasin berwarna kuning

12

kecoklatan. Mata besar dan terbuka lebar dan hidung pendek menunjukan keberanian dan

pekerja keras. Namun dahi sempit menunjukan sering mendapat kesulitan dalam

menguraikan maksud dan tujuan, sehingga gegabah mengambil keputusan. Alis berbentuk

sedang dan melengkung, mulut tersenyum lebar hingga giginya tampak, kumis lebat sampai

ujung, menggambarkan keberanian dan kepercayaan diri. Tokoh ini termasuk tokoh pria

gagahan.

Topeng Lambang Sari

Tokoh topeng ini manifestasi tokoh Sekar Tajiyang cantik, lemah lembut, baik budi,

sopan santun, sehingga para ksatria pasti jatuh hati padanya. Topeng ini berwarna putih krem

atau warna kulit dengan bentuk wajah berlian, dahi sempit dan dagu lancip, memiliki sikap

yang hangat dan menandakan individu yang mudah bergaul, sangat penyabar, serta

mengambil keputusan sangat cepat dan tepat. Mata kecil dengan pandangan ke bawah, yang

memberikan kesan santun, alis kecil tapi tegas. Hidung mancung dan bibir tidak terlalu tebal

dan tidak terlalu tipis dengan tersenyum agak lebar yang memberi kesan keceriaan, namun

lemah lembut, serta menunjukan sifat kesetiaan dan loyalitas tinggi.

Topeng Tambam dan Pantul

Adalah tokoh jenaka dan merupakan tokoh “jembatan” untuk mengundang roh Sangkala,

sehingga tari topeng ini selalu ditampilkan sebelum tari Topeng Sangkala. Penampilan ini

pun bisa dibilang penampilan menuju klimak dari upacara Manopeng di Desa Banyiur Luar

tersebut. Kedua tokoh ini menggambarkan dua orang ksatria yang sedang bersuka cita dan

becanda gurau. Oleh karena itulah gerakan-gerakan yang digunakan cenderung jenaka. Dua

tokoh ini selalu tampil bersama, karena pada mulanya tari Topeng Pantul dan Tambam ini

sehubungan dengan adanya seorang dukun yang sedang mengobati seseorang yang sakit,

dimana dukun itu memerlukan perantara. Melalui perantara Pantul dan Tambam ini, dukun

berusaha mengobati orang yang sakit tersebut.

Topeng ini hanya menutupi setengah wajah, bagian mulut tidak tertutup, sehingga penari

bisa berdialog. Pada tarian ini kedua tokoh berdialog sambil menyantap sesajian yang telah

disediakan. Tarian ini ditampilkan sebelum tari Topeng Sangkala muncul, karena penari

Topeng Sangkala adalah salah satu dari penari tersebut yang nantinya dipercaya akan dirasuki

oleh roh Sangkala yang akan mengobati orang yang sakit dengan tapung tawar.

Kedua topeng ini sama-sama berwarna putih krem. Bentuk topeng Tambam lebih

panjang, sedang Pantul lebih bulat. Mata Tambam lebih panjang terlihat miring ke atas dan

alis juga miring ke atas, maka orang ini cenderung mengetahui apa yang dia inginkan,

dibanding Pantul yang bermata lebih kecil bulat dan beralis tebal yang menunjukan perilaku

13

cerdik dan intelektual. Alis Pantul lebih tebal dibanding Tambam. Hidung kedua tokoh ini

sama-sama besar, namun Tambam lebih panjang yang menunjukkan keterampilan

perencanaan dan strategi yang istimewa, sedang Pantul lebih pendek yang menunjukkan

bakat kerja keras. Mereka juga sama-sama terdapat kumis, namun kumis Tambam lebih tebal

dibanding Pantul, dan pada topeng Tambam terdapat satu gigi yang menambah kesan jenaka

pada tokoh ini.

Topeng Sangkala

Sangkala merupakan sosok Raja Jin yang merupakan manifestasi dari segala perbuatan

jahat yang sombong, angkara murka dan suka mengganggu. Sangkala juga sering disebut

Batara Kala atau Gajah Barung. Topeng berwarna merah yang menyimbolkan kekuatan,

keberanian sekaligus kejahatan. Hal tersebut juga diperkuat dengan hidung besar, mulut

terbuka lebar dengan gigi terlihat semua dan terdapat dua taring di ujung kiri dan kanan atas.

Wajah berbentuk bulat dengan mata besar membelalak dan alis melengkung, menunjukan

watak, aktivitas mental yang sangat kuat, wajah ini pada umumnya cerdas, panjang umur, dan

umumnya juga dimiliki oleh para raja atau kaisar. Maka dari itulah sosok ini raja para jin

yang ditakuti. Pada topeng ini terdapat kumis tebal dan jenggot yang menambah kegarangan

sosok raja jin.

Tari Topeng Sangkala inilah yang menjadi tari topeng yang utama dalam upacara

Manopeng di Desa Banyiur Luar, Banjarmasin, sehingga tari Topeng Sangkala biasanya

terdapat diakhir upacara, atau merupakan klimaks dari upacara tersebut. Roh Sangkala

dipercaya merasuki salah satu penari Topeng Pantul atau Tambam yang sebelumnya tampil

dengan berdialog dan menyantap sesajian yang telah disediakan untuk mereka. Namun tidak

menutup kemungkinan juga dari penonton yang ada di sekitar tempat penyelenggaraan

upacara. Sosok Sangkala ini yang dipercaya masyarakat dapat mengobati orang yang sakit

non medis atau penyakit gaib, serta dipercaya menjaga juriyat panopengan dan masyarakat

desa dari makhluk-makhluk gaib, karena Sangkala ini adalah Raja dari para jin. Setelah

beberapa saat penari topeng menari, kemudian penari menapungtawari orang yang sakit atau

para juriyat dan masyarakat yang ikut menonton penyelenggaraan upacara (Soenarto,

1977/1978; Narawati, 2003; Maman, 2011).

Tari Topeng Banjar bersumber dari wayang kulit dan wayang orang (Wayang Gung),

yang masih hidup sampai sekarang.Walaupun menggunakan bentuk gerak dan pakem ceritera

yang berbeda, dimana tari topeng dengan pakem ceritera Panji dan wayang gung dengan

pekem ceritera Ramayana (Maman, 2012:14-15). Namun sama-sama memiliki gerak khas

14

dengan esensi nilai kearifan lokal urang Banjar. Kalau tari topeng mengkomunikasikan pesan

dengan simbolisasi gerak, berbeda halnya dengan Wayang Gung yang mengkomunikasikan

pesan melalui gerak dan dialog dengan bahasa Banjar, yang terdiri dari kosa kata bahasa

Dayak dan Melayu lama, serta beberapa kosa kata bahasa Kawi (Maman, 2012:62).

Berbeda halnya dengan tari topeng yang ada di Jawa yang sudah menjadi tari bentuk

yang terstruktur. Tari Topeng Banjar Kalimantan Selatan yang terdapat di Desa Banyiur luar

ini bersifat spontanitas, tidak baku dalam tari bentuk. Meskipun begitu, terdapat beberapa

gerak khas yang selalu muncul disetiap tari Topeng Banjar.Pembedanya hanya disesuaikan

dengan karakter topeng yang dibawakan, sehingga berdampak pada volume gerak, bentuk

gerak dan sikap pembawaan. Gerak khas tersebut diklasifikasikan berdasarkan kategorisasi

gerak. Hawkins dan Soedarsono dalam Narawati (2003:118) ada tiga kategori gerak yang

selalu dipergunakan dalam sebuah komposisi tari, yakni gerak berpindah tempat (locomotion

movement), gerak murni (pure movement), dan gerak maknawi (gesture movement).

Ada 7 gerak khas berdasarkan kategori gerak dalam tari Topeng Banjar Kalimantan

Selatan dengan pendekatan etnokoreologi tersebut adalah:

Locomotion movement (gerak berpindah tempat)

Kijik

Berupa gerak menghentak-hentakkan ujung kaki atau tapak kaki. Gerak ini adalah simbol

himung (kegembiraan atau kebanggaan). Ada dua jenis kijik, yaitu: bajingkit dengan

menghentakan sebelah ujung kaki dan posisi kaki yang dihentakkan di belakang kaki satunya;

dan badapak dengan menghentakan sebelah telapak kaki dan posisi kaki yang dihentakkan di

samping kaki satunya.

Gerak Kijik terdapat pada hampir setiap tari-tari klasik, termasuk tari Topeng Banjar.

Gerak Kijik Bajingkit biasanya digunakan pada tari-tari topeng karaktertokoh

perempuan,sedangkan gerak Kijik Badapak untuk tari-tari topeng dengan karakter tokoh laki-

laki.

Lagoreh

Gerak ini merupakan gerakan jalan dalam tari Banjar klasik.Gerak lagoreh memiliki

fungsi sebagai pembuka dan penutup dalam struktur tari. Gerak ini merupakan manifestasi

dari adap, tata krama bersikap yang penuh dengan etika. Berawal dari konsep dualitas yang

menciptakan kesempurnaan, dimana di dunia ini saling berpasang-pasangan. Pada gerak

lagoreh ini mencerminkan kesempurnaan manusia yang memiliki kedua tangan dan kedua

kaki. Kanan dan kiri bergerak berpasangan dan bergantian, yang menciptakan keharmonisan.

15

Kaki kanan melangkah ke depan sambil tangan kiri bergerak ke depan dada dengan

telapak tangan ke arah kanan, jari-jari ke atas dan tangan kanan bergerak lurus ke samping

kanan bawah dengan telapak tangan ke arah kanan, jari-jari ke atas. Setiap perpindahan gerak

langkah kaki, tangan diukal (diputar ke dalam). Kaki kiri melangkah ke depan sambil tangan

kanan bergerak ke depan dada dengan telapak tangan ke arah kiri, jari-jari ke atas dan tangan

kiri bergerak lurus ke samping kiri serong bawah dengan telapak tangan ke arah kiri, jari-jari

ke atas. Begitu seterusnya bergerak hingga sampai ke posisi.

Melangkah dengan kaki kanan terlebih dahulu adalah mencerminkan setiap ingin

melakukan sesuatu harus dimulai dengan yang sebelah kanan dan membaca do’a, dimana

kanan perlambang kebaikan. Apabila memulai dengan hal yang baik, akan memetik hasil

yang baik pula dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa.

Pure movement (gerak murni)

Lu’lu

Gerak Lu’lu juga biasa disebut gulak gulu (menggerakan dengan tumpuan leher). Gerak

ini membentuk angka delapan horizontal dalam lingkaran tipis dengan dagu. Berdasarkan

wawancara, gerak ini merupakan simbolisasi proses berfikir atau berbicara dengan mata hati.

Lu’lu juga sebagai simbol perenungan. Lu’lu ada dua jenis, yaitu Lu’lu melihat ke dua arah

(kanan-kiri) dan Lu’lu melihat ke tiga arah (kanan-tengah-kiri-tengah).

Gerakan Tumpang Daun

Adalah gerakan kedua telapak tangan saling menutup berhadapan vertikal, dengan arah

yang berlawanan. Gerak ini merupakanmanifestasi dari dualisme alam semesta. Di dalam

buku Wayang Gung Kalimantan Selatan, Maman (2012:82) menjelaskan mengenai filosofi

dualistis dalam dialog narasi yang mengatakan.

Alalia pun apa karsani, jadi sekarang tukang dalang manjalasakan bahwasanya

alam semesta ini diciptakan oleh Sang Hyang Sukmawaswara dalam timbangan

pindu pin pindu dua pin dua, apa artinya pindu pin pindu dua pin dua, artinya

Sang Hyang Sukmaswara ma-ada-akan serba dua,mulai bumi lawan langit,

siang lawan malam, bulan lawan matahari,binatang lawan kayu-kayuan, tunggul

lawan batang, kijang lawan menjangan, sapi kalih banteng, bini-bini lawan laki-

laki, diwantanakan lagi jagat alam pewayangan mulai kulon lawan wetan,

jumbina lawan mandakara, nagara Pancawati kalih nagara Alengka Diraja’.

Makna yang terkandung dalam dialog narasi itu mengatakan bahwa Tuhan menciptakan

alam dan seluruh isinya dalam timbangan yang selaras, seimbang, dan sangat adil, serta

bijaksana.

16

Gesture movement (gerak maknawi)

Jumanang

Merupakan posisi awal penari. Posisi ini ada yang berdiri dan ada yang duduk. Bentuk

Jumanang ini pun tergantung karakter tokoh yang dibawakan. Jumanang merupakan simbol

kehidupan bahwa “dia” adalah hidup. Pada posisi berdiri posisi kaki V (viktor), walau

berjalan tetap posisi kaki seperti itu. Artinya adalah kemenangan, dimana manusia

“menguasai” alam, bukan alam yang “menguasai” manusia. Arti manusia dapat

memanfaatkan alam dengan baik, bukan manusia yang tidak bisa memanfaatkan alam dengan

baik.

Posisi Jumanang berdiri manifestasi kehidupan dalam pergerakan yang luas atau lebih

bebas, sedangkan Jumanang dalam posisi duduk berarti kehidupan dengan pergerakan yang

terbatas. Posisi ini juga berarti bersiap atau bersiaga. Berikut ini bentuk Jumanang

berdasarkan karakter dan posisinya:

Posisi berdiri pria halus. Karakter ini terdapat pada tokoh Panji dan Gunung Sari.

Jumanang ini dengan posisi kaki kanan di tengah, atau di lekukan kaki kiri dengan posisi

kaki kanan diagonal 45o, lutut ditekuk ¼ atau 25% dari posisi tegak, dan jarak kedua kaki

satu tapak.

Posisi berdiri laki-laki gagahan. Karakter ini terdapat pada tokoh Patih, Tumenggung,

Kelana dan Sangkala. Jumanang ini posisinya sama dengan pria halus, dengan posisi kaki

kanan di tengah, atau di lekukan kaki kiri dengan posisi kaki kanan diagonal 45o, dan lutut

ditekuk ¼ atau 25% dari posisi tegak. Namun jarak kedua kaki sekitar dua tapak.

Posisi berdiri perempuan halus. Karakter ini terdapat pada tokoh Lambang Sari dan 7

Bidadari. Jumanang ini juga digunakan pada tari-tari klasik Banjar perempuan lainnya Posisi

kaki. Jumanang perempuan halus ini sama dengan posisi Jumanang berdiri yang lain, yakni

posisi kaki kanan di tengah, atau di lekukan kaki kiri dengan posisi kaki kanan diagonal 45o,

dan lutut ditekuk ¼ atau 25% dari posisi tegak, namun posisi kedua kaki rapat.

Posisi berdiri perempuan gagahan. Posisi Jumanang ini sama dengan posisi Jumanang

laki-laki halus. Jumanang ini biasanya digunakan oleh penari perempuan untuk menarikan

dengan tokoh laki-laki halus seperti Panji dan Gunung Sari.

Posisi duduk pria halus. Tumpuan lutut kiri di lantai, kaki kanan di posisi dengan jarak satu

tapak di tengah tungkai, telapak kaki hadap depan. Jumanang ini biasanya digunakan oleh

tokoh-tokoh halus, seperti Panji dan Gunung Sari.

17

Posisi duduk laki-laki gagahan. Tumpuan lutut kiri di lantai, kaki kanan di posisi dengan

jarak dua tapak di tengah tungkai, telapak kaki hadap depan. Jumanang ini digunakan oleh

tokoh-tokoh gagah, seperti Tumanggung, Kelana, Sangkala.

Posisi duduk perempuan halus. Ada dua jenis Jumanang duduk wanita halus,

yakni:dungkul (kedua lutut dilantai dan rapat) dan lutut kaki kanan di angkat tidak menyentuh

lantai. Jumanang pada tari Topeng Banjar digunakan pada tari Topeng 7 Bidadari.

Posisi duduk perempuan gagahan. Posisi kaki rapat, kaki kanan ke arah depan vertikal.

Posisi jumanang duduk perempuan gagahan ini sama seperti Jumanang duduk laki-laki halus,

yakni digunakan untuk karakter-karakter tokoh ksatria perempuan atau penari perempuan

yang menarikan tokoh laki-laki halus, seperti Panji dan Gunung Sari.

Sembah

Merupakan manifestasi do’a, permohonan, dan penghormatan. Posisi gerak Sembah

adalah kedua telapak tangan dipertemukan di depan dada atau di depan matahagi, kedua

lengan berbentuk V (viktor). Gerak ini selalu ada disetiap tari klasik Banjar, dan tak

terkecuali tari Topeng Banjar.Gerak ini merupakan refleksi dari tanda penghormatan, baik

kepada Tuhan, alam semesta maupun kepada sesama manusia. Makna posisi ini tersirat

dalam tutur Lamut berbentuk narasi bersajak yang tersebut dalam untaian syair.

“...sapuluh jari batangkup, sebelas lawan tangan, duabelas lawan matahagi, satu

pang tali, duwa pang lalaran, katiga tungkat, ampat pang ukuran, kalima jarum,

anam kulindan, tujuh kompa, dalapan padoman, kasambilan tiori politik nang

kasapuluh lawan aturan...”(Maman, 2011).

(Artinya)”.....jari bertangkup, sebelas dengan tangan, duabelas dengan matahagi,

satu adalah tali dua adalah menjalar, ketiga tongkat empat adalah ukuran, kelima

jarum enam kulindan, tujuh kompas delapan pedoman, kesembilan teori politik

yang kesepuluh dengan aturan....”

Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan, maka diperoleh informasi mengenai

maksa dari sajak dalam syair tersebut di atas. Sepuluh jari dan tangan tadi membentuk

piramid, yang berarti kehidupan menuju pada Yang Maha Agung. Urang Banjar pun

melakukan sesuatu tetap ada batasan, dan batasan tersebut adalah aturan yang dibuat oleh

Tuhan untuk mendapatkan keselamatan di dunia dan di akhirat.

Sisilau

Gerak ini merupakan gerakan yang menggambarkan sedang melihat sesuatu. Gerakan

Sisilau,dalam posisi Jumanang dengan meletakan salah satu tangan dibagian atas mata

dengan jarak sejengkal. Sisilau dengan asal silau (dalam kata sifat) dan melihat (dalam kata

18

kerja). Filosofi dari gerak ini adalah menentukan tujuan yang akan dicapai atau menentukan

kemana arah yang akan dituju. Gerakan sisilau ada dua, yaitu bermakna melihat sesuatu yang

berjarak dekat, dan melihat sesuatu yag berjarak dekat. Untuk gerak Sisilau tidak digunakan

pada setiap tari klasik, hanya tari-tari tertentu saja seperti tari Topeng dan Wayang Gung.

Hal unik dari tari Topeng Banjar yang ada di Desa Banyiur Luar ini adalah terjadirnya

pergerseran di sana yang mempengaruhi dan menjadi kekhasannya, dimana menurut

informasi yang didapat dari berbagai sumber, konon di Desa Banyiur Luar pernah hidup dan

berkembang komunitas panjapinan pertama di Banjarmasin. Japin adalah tari pesisir Banjar,

atau di daerah Sumatera disebut dengan Zapin. Hal tersebut sedikit banyaknya telah

mempengaruhi tari topeng yang berkembang di sana, sehingga untuk tari topeng dengan

karakter perempuan menggunakan gerakan dan iringan musik japin, seperti tari Topeng 7

Bidadari. Gerakan japin Banjar yang menjadi gerak khas ditarian ini adalah step 4.

Step 4 merupakan stilisasi dari cara berjalan manusia sebagaimana berjalan dengan 4

hitungan dalam tempo 4/4. Pergerakan tangan, badan dan kepala mengikuti alunan irama

langkah pada gerak step 4 tersebut. Step 4 biasanya dimulai dengan kaki kanan, yang

menggambarkan bahwa segala sesuatu yang dimulai dengan sebelah kanan merupakan hal

yang diniatkan baik dan menjadikan sesuatu yang baik pula.

Step 4 termasuk locomotion movement (gerak berpindah) dan stilisasi cara berjalan

manusia, dimana apabila kaki kanan melangkah, tangan kiri membarengi sesuai anatomi

tubuh manusia. Pergerakan tersebut adalah pergerakan makhluk paling sempurna di muka

bumi. Di dalam filsafat hidup orang Indonesia, segala sesuai di jagat raya ini diciptakan

berpasang-pasangan, sama halnya dengan tubuh manusia. Pasangan ini lah yang menciptakan

harmonisasi kehidupan. Adapun deskripsi geraknya sebagai berikut:

Posisi badan berdiri tegap ke depan. Pada hitungan 8 (dalam instruksi 5,6,7,8) angkat

kaki kanan ke depan dengan menekuk paha, kurang lebih sejengkal dari lantai. Pergelangan

tangan kanan dikepal, letakkan tangan kanan lurus sejajar paha kanan dengan jempol tangan

mengarah ke lutut. Tangan kiri di samping kanan pinggang dengan pergelangan tangan kiri

juga dikepal dan jempol mengarah ke pinggang. Pada hitungan 1, kaki kanan melangkah

dengan dibarengi ayunan tangan kiri ke depan (dengan posisi pergelangan tangan masih

dikepal). Pada hitungan 2, kaki kiri melangkah dengan dibarengi ayunan tangan kanan ke

depan. Pada hitungan 3, kaki kanan jalan di tempat dibarengi ayunan tangan kiri ke depan.

Kebalikan dari awal. Pada hitungan 4, kaki kiri diangkat ke depan dengan menekuk paha,

kurang lebih sejengkal dari lantai. Pergelangan tangan kiri dikepal, letakkan tangan kanan

lurus sejajar paha kiri dengan jempol tangan mengarah ke lutut. Tangan kanan di samping

19

kiri pinggang dengan pergelangan tangan kiri juga dikepal dan jempol mengarah ke

pinggang. Pada hitungan 5, kaki kiri melangkah dengan dibarengi ayunan tangan kanan ke

depan (dengan posisi pergelangan tangan masih dikepal). Pada hitungan 6, kaki kanan

melangkah dengan dibarengi ayunan tangan kiri ke depan. Pada hitungan 7, kaki kiri jalan di

tempat dibarengi ayunan tangan kanan ke depan. Pada hitungan 8, kembali kaki kanan

diangkat ke depan dengan menekuk paha, kurang lebih sejengkal dari lantai. Pergelangan

tangan kanan dikepal, letakkan tangan kanan lurus sejajar paha kanan dengan jempol tangan

mengarah ke lutut. Tangan kiri di samping kanan pinggang dengan pergelangan tangan kiri

juga dikepal dan jempol mengarah ke pinggang dan begitu seterusnya.

Tarian-tarian topeng yang dibawakan di Desa Banyiur Luar ini bersifat spontanitas,

bahkan ada tarian yang bergerak di bawah alam sadar penari, karena dirasuki oleh roh halus,

seperti Tari Topeng Sangkala dan juga yang lain. Namun tanpa disadari tercipta sebuah

desain atau pola yang terbentuk dari pergerakan penari. Penggunaan garis lantai terlihat

sangat sederhana dan simetris. Garis-garis lantai yang diciptakan dari pergerakan maju,

mundur, bergaser ke kiri, bergeser ke kanan, berputar, jalan melingkar, dan sebagainya

menurut keinginan yang diungkapkan penari. Pola yang sering dibuat oleh penari adalah

bentuk tanda tambah (+), yang terjadi dari proses perpindahan maju, mundur, ke kiri dan ke

kanan oleh penari. Hal ini dapat diketahui suatu simbol yang sangat kuno dan tua sekali

dalam peradaban manusia, yang mengandung makna empat penjuru mata angin yang dalam

bahasa setempat disebut dengan masyrik, maghrib, paksina dan daksina, yang berarti arah

yang menunjukan Timur, Barat, Utara, dan Selatan. Kemudian juga bentuk lingkaran, yang

terjadi pada saat penari berjalan mengelilingi panggung, yang mengandung makna dalam,

yakni adanya alam semesta ini pada tatanan satu dengan yang lain saling bergantungan, dan

perlambang satu kesatuan yang utuh, meskipun terjadi beragam sistem yang ada di alam

semesta ini.

Kostum yang digunakan penari laki-laki adalah baju kuning lengan panjang berwarna

kuning hijau, dimana kuning merupakan warna keramat bagi masyarakat Banjar. Ada pula

laung (tutup kepala) yang juga berwarna kuning dengan runtaian bunga melati yang

disematkan di kiri dan kanan sisi depan laung. Selain itu juga selendang berwarna hijau yang

menyimbolkan kesuburan.

Adapun kostum yang digunakan oleh penari perempuan tidak banyak perbedaan

dengan kostum penari laki-laki, yang membedakan hanya menggunakan baju kurung sisit

berwarna kuning pula dan tapih bahalai.

20

Musik iringan yang digunakan dalam tari Topeng Banjar adalah Gamelan Banjar.

Gamelan Banjar terdiri dari dua tipe, yaitu tipe keraton yang terbuat dari perunggu, dan tipe

rakyat yang terbuat dari besi baja. Gamelan yang berkembang sampai sekarang adalah

gamelan tipe rakyat, sedangkan gamelan kraton sudah hampir punah, karena mendapatkannya

cukup sulit, dimana harus didatangkan langsung dari Jawa, dan harganya pun cukup mahal.

Adapun perangkat gamelan Banjar, antara lain: Sarun (saron), Sarantam (sarentem), Dawu

(bonang), Kanung (kenong), Babun (gendang), Agung halus (gong kecil), Agung ganal (gong

besar) dan Kangsi.

Melodi yang dimainkan menggunakan tangga nada salendro Banjar. Penabuh yang

memainkan gamelan Banjar ini terdiri dari 9 sampai 10 orang. Musik iringan yang digunakan

pada setiap tari topeng itu berbeda-beda sesuai karakter topeng yang dibawakan. Namun

secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam sub-sub lagu Ayakan, Mirung, Pangkur,

Jangklung, Jajaka, Liung, Peperangan Lima, dan lain-lain.

Selain itu, menurut informasi yang didapat dari berbagai sumber, konon di Desa

Banyiur Luar pernah hidup dan berkembang komunitas panjapinan pertama di Banjarmasin.

Japin adalah tari pesisir Banjar. Hal tersebut sedikit banyaknya telah mempengaruhi tari

topeng yang berkembang di sana, sehingga untuk tari topeng dengan karakter perempuan

menggunakan gerakan dan iringan musik japin, seperti tari Topeng 7 Bidadari. Fenomena ini

menjadikan penambahan dan pengurangan perangkat musik, yakni: 1 buah babun, 1 buah

agung, 1 buah piul (biola), 1 buah tarbang (rebana besar), 1 buah kangsi.

Kelengkapan yang digunakan dalam pergelaran tari Topeng Banjar dalam upacara

Manopeng di Desa Banyiur Luar, Banjarmasin ini cukup banyak, selain topeng-topeng yang

akan dipergelarkan. Membuat sesajian pun juga ada aturannya, yaitu yang boleh membuat

sesajian ini adalah wanita yang masih suci atau tidak dalam keadaan kotor (seperti halnya

menstruasi) dan sesajian ini sering dikerjakan oleh kaum wanita saja yang rata-rata sudah

berumur atau tua, karena upacara ini bersifat sakral maka dari itu semuanya harus bersih

termasuk orang yang membuat perlengkapan dan sesajian dalam upacara topeng ini.

Pembagian sesajian ke dalam beberapa nyiru tersebut disesuaikan dengan tingkatan

tinggi rendahnya kedudukan roh-roh halus. Tingkat-tingkat menyajikan sesajian itu

disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan tersebut yang dikenal dengan istilah “Naik”, yang

berarti jumlah yang harus disajikan per-item-nya, seperti:naik 9 untuk Sangkala; naik 7 untuk

Tumenggung; naik 5 untuk Panji; naik 3 untuk Pantul dan Tambam.

Sebelum memulai acara tidak lupa juga bagi warga juriyat panopengan untuk

menyediakan piduduk supaya bagi yang terlibat terhindar dari gangguan yang bersifat jahat,

21

sehingga tidak menimbulkan bahaya. Menurut kepercayaan roh-roh halus yang datang pada

saat pelaksanaan bukan hanya yang diundang oleh tokoh panopengan saja, namun banyak

roh-roh halus lain yang tidak diundang pun yang datang dengan berbagai macam sosok, ada

yang baik dan yang jahat. Oleh karena itulah disediakan piduduk agar yang jahat tidak

mengganggu pelaksaan upacara maupun penonton yang ada disana.

Parapen merupakan tempat membakar kemeyan dan dupa. Fungsinya untuk

memanggil roh-roh halus untuk datang selain dengan do’a-do’a yang dibacakan oleh juru

kunci panopengan, sebab roh-roh halus menyukai aroma wewangian dari dupa dan kemenyan

tersebut.

Tapung tawar merupakan sesuatu untuk menghilangkan atau menghindarkan dari hal-

hal yang tidak baik pada diri seseorang atau benda atau sesuatu yang dianggap tidak baik.

Tapung tawar berupa campuran banyu (air) kembang, kemeyan, baras kuning (beras yang

dicampur dengan parutan kunyit), minyak likat baboreh (sejenis minyak kental dari bunga-

bungaan yang dimasak dengan lilin dan minyak wangi). Ada pula daun pucuk nyiur (kelapa)

dibentuk dan diikat yang digunakan untuk mamapai (memercikan) air tapung tawar tadi.

Selain itu ada perapen didalamnya berisi harang (arang) yang telah dibakar, kemudian

ditaburi dupa dan ditambahkan kemenyan.

Topeng-topeng, wayang, sesajen empat puluh satu macam, piduduk dan penari

ditapungtawari dan diasapi dengan parapen sebelum acara pertunjukan tari topeng di mulai.

Tapung tawar juga merupakan properti penari Topeng Sangkala saat mengobati juriyat

panopengan yang sakit atau untuk menapungtawari orang yang ingin dijauhkan dari bala dan

menapunggtawari air kembang yang direbutkan masyarakat sekitar saat akhir acara.

Di samping topeng di atas terdapat pula beberapa benda pusaka, seperti keris tiga

buah dan tombak, wayang, kambang barenteng, mayang ma’urai, janur yang dianyam yang

menjadi kelengkapan upacara ini. Semua benda pusaka ini pada waktu pelaksanaan upacara

sudah dibersihkan dan diletakan bersama sesaji yang dikelilingi empat sudut tombak pusaka

peninggalan tersebut.

Upacara Manopeng di Desa Banyur Luar ini dilaksanakan setiap tahun sekali,

tepatnya setiap bulan Muharram/setelahnya atau saat turun bulan, karena pada bulan itu

merupakan habis katam (setelah panen padi). Tanggal pelaksanaan tidak ditentukan, namun

pada umumnya upacara selalu dilaksanakan setiap malam senin (minggu malam). Konon

menurut wawancara hal itu merupakan permintaan dari roh halus diwaktu dulunya.

Kemudian mengapa diadakan pada malam hari, sebab menurut kepercayaan bahwa malam

hari tersebut bersifat dinginan (dingin).

22

Ada beberapa tahapan dalam pelaksanaan upacara ini. Diawali dengan malabuh dan

mawajik oleh 5 orang dari juriyat panopengan pada hari Jum’at. Malabuh adalah ritual

melabuhkan sesajian ke sungai dimana daerah sekitar mereka berhuni, yakni aliran sungai

Martapura. Ini bertujuan untuk memberi makan kepada makhluk halus yang ada di sungai

agar tidak mengganggu juriyat dan kampung mereka berhuni. Ritual ini dilaksanakan pada

pagi hari setelah subuh sehari sebelum upacara ritual Manopeng. Setelah malabuh, 5 orang

tadi akan memakan wajik (makanan tradisional dari beras ketan, santan dan gula merah)

secara bersama-sama dan harus habis pada saat itu juga.

Pada hari Sabtu pagi dilakukan persiapan-persiapan seperti membuat anyaman-

anyaman janur, membangun panggung dan lain sebagainya. Pada Minggu pagi dilakukan

pembersihan topeng. Siang hari hingga sore dilaksanakan pembuatan wadai-wadai 41 macam

untuk sesajian dan penyusunan kelengkapan upacara di atas panggung.Sore harinya setelah

shalat Ashar dimulai pengasapan topeng, wayang dan pusaka-pusaka dengan diiringi musik

gamelan Banjar. Konon prosesi ini merupakan prosesi awal pemanggilan roh-roh juriyat

untuk datang ke tempat upacara. Ketika masuk waktu maghrib, semua kegiatan dihentikan

dan disambung lagi setelah shalat Isya. Dimulai dari tari topeng 7 bidadari hingga terakhir

tari Tambam dan Pantul untuk menuju tari Topeng Sangkala.

Pada hari Senin, tepatnya setelah shalat Subuh dilaksanakan upacara terakhir, yakni

mambulikakan. Upacara ini dilakukan untuk mengantar kembali para roh yang telah diundang

untuk kembali ke alamnya masing-masing. Upacara ini tidak lagi diiringi gamelan Banjar,

namun diiringi alat musik tarbang (terbang) dan piul (biola) sembari juru kunci membaca

do’a-do’a. Setelah itu semua yang ada di panggung berdo’a bersama dan memakan sesajian

yang disediakan. Berharap kegiatan yang dilakukan ini akan menjaga kedamaian semesta dan

selalu mendapat perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Upacara Manopeng dulunya sangat tertutup, dimana hanya diadakan oleh juriyat

panopengan saja di dalam rumah keluarga besar H. Andin Ujang (Alm) di Kampung Banyiur

Luar No.63 RT.10 (yang sekarang RT.12), Kelurahan Basirih, Kecamatan Banjar Selatan

(yang sekarang Banjarmasin Barat), Kota Banjarmasin. Hal itu dikarenakan kesakralan

upacara tersebut. Namun seiring perjalanan waktu, anak cucu semakin bertambah dan

keadaan rumah pun tidak memungkinkan untuk ditinggali lagi karena sudah tua, maka

disepakati untuk mengadakan upacara di luar. Rumah yang rusak itu dirobohkan dan dibuat

panggung untuk melaksanakan pergelaran tari Topeng dalam upacara Manopeng.

23

PENUTUP

Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya tari Topeng

Banjar merupakan kesenian asimilasi budaya yang ada di Kalimantan Selatan, yakni budaya

animisme dari suku Dayak, budaya Hinduisme dan Budhaisme dari masuknya kerajaan-

kerajaan dari daerah Jawa dan Sriwijaya, serta budaya Islam dari suku Melayu dan pedagang-

pedagang Arab yang melahirkan suku Banjar seperti sekarang ini.

Tari Topeng Banjar yang merupakan bagian dari upacara ritual masyarakat

panopengan Desa Banyiur Luar yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali yang sudah

dilaksanakan secara turun-temurun selama bertahun-tahun pada bulan Muharram dan selalu

dilaksanakan pada minggu malam.Tujuan dari upacara ritual ini adalah memberi makan pada

roh-roh halus, terutama Sangkala yang bisa membuat bala kepada para juriyat panopengan.

Pada ritual ini dilaksanakan pelabuhan sesajian ke sungai, membersihkan dan mengasap

topeng, wayang serta pusaka dengan parapen, yang kemudian dipertunjukan tari-tari topeng

yang ada. Dari topeng 7 Bidadari, topeng Panji, topeng Patih, topeng Tumenggung, topeng

Lambang Sari, topeng Pantul dan Tambam hingga topeng Sangkala yang dipercaya dapat

memberikan keselamatan dan menyembuhkan penyakit non medis. Upacara Manopeng ini

diakhiri dengan perebutan air yang ada di dalam tajau oleh masyarakat sekitar dan

pengembalian roh-roh yang telah diundang subuh hari besoknya serta membaca do’a selamat

bersama-sama hingga memakan bersama sesajian yang telah disediakan.

Tari Topeng Banjar yang ada di Desa Banyiur Luar ini memiliki keunikan, dimana

tari topeng yang merupakan tari klasik Banjar yang notabenenya merupakan peninggalan

keraton Banjar berakulturasi dengan budaya Melayu, sehingga melahirkan beberapa tari

topeng yang menggunakan gerak khas japin. Memang tidak semua, hanya tari topeng dengan

karakter perempuan seperti tari tari Topeng 7 Bidadari. Maka iringannya pun tidak

menggunakan gamelan Banjar, tetapi menggunakan tarbang (terbang) dan piul (biola)

dengan irama japin 4/4. Adapun gerak khas lain yang selalu muncul dalam setiap tari topeng

Banjar, seperti kijik, lagoreh, lu’lu, tumpang daun, jumanang, sembah, sisilau dengan iringan

musik utama gamelan Banjar.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. (2002). Pokoknya Kualitatif. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.

Corson, Richard. (1975). Stage Make Up. [edisi kelima]. Englewood Cliffs, New Jersey:

Prientice-Hall

24

Disporabudpar. (2009). Sekilas Tentang Seni Tradisi Kalimantan Selatan. Banjarmasin:

Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata bekerja sama dengan UPTD

Taman Budaya Prop. KalSel.

Fitriana, Yola dkk. (2018). Bentuk Penyajian Tari Ratib Saman dalam Tepung Tawar di Dusun

Sebadi Kabupaten Sambas. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Khatulistiwa. Vol. 7, No.

11, November, 2018 (hlm. 1-9).

http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/view/29832/75676579294

Hendra, Doni Febri. (2018). Tari Inla Membangkit Nilai Spiritualitas Manusia dengan

Pendekatan Etnokoreologi. Jurnal Pendidikan dan Kajian Seni. ISSN Online: 2528-

2387, Vol. 3, No. 2, (hlm. 149-165).

http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/JPKS/article/view/4578

Hoed, B. H. (2011). Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. [Edisi kedua]. Depok: Komunitas

Bambu.

Ideham, M. S. dkk. (2005). Urang Banjar Dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Badan

Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan dan Pustaka

Banua.

Maman, M. (2012). Topeng Banjar. Banjaramasin: UPT Taman Budaya KalSel,

Disporabudpar Prop. KalSel bekerjasama dengan Pustaka Banua.

Maman, M. (2011). Lamut. Banjarbaru: Skripta Cendikia.

________. (2012). Topeng Banjar. Banjaramasin: UPT Taman Budaya KalSel,

Disporabudpar Prop. KalSel bekerjasama dengan Pustaka Banua.

________. (2012). Wayang Gung Kalimantan Selatan. Banjarmasin: UPT Taman Budaya

KalSel, Disporabudpar Prop. KalSel bekerjasama dengan Pustaka Banua.

Masunah, Juju dan Tati Narawati. (2012). Seni dan Pendidikan Seni. Bandung: Pusat Artikel

dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional (P4ST) UPI.

Narawati, Tati. (2003). Wajah Tari Sunda dari Masa ke Masa. Bandung: P4ST UPI (Pusat

Artikel dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional Universitas Indonesia).

_______. (2009). Etnokoreologi sebagai Disiplin Kajian Tari. Dalam Pidato Pengukuhan

Prof. Dr. Tati Narawati, M. Hum sebagai Guru Besar dalam bidang Pendidikan

Seni pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia.

Bandung: UPI.

Restela, Rika & Tati Narawati. (2017). Tari Rampoe sebagai Cerminan Karakteristik

Masyarakat Aceh. Panggung Jurnal Seni Budaya. ISSN Online: 2502-3640, Vol.

27, No. 2, (hlm.187-200).

25

https://jurnal.isbi.ac.id/index.php/panggung/article/view/260/259

Soenarto, dkk. (1977/1978). Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Kalimantan Selatan.

Banjarmasin: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Kalimantan

Selatan.

Wahyudi, Ayu Vinlandari dkk. (2018). Penanaman Nilai-Nilai Kasundaan Berbasis

Pembelajaran Tari Pakujajar di SMP Negeri 5 Sukabumi. Panggung Jurnal Seni

Budaya. ISSN Online: 2502-3640, Vol. 28, No. 2, (hlm. 133-146).

https://jurnal.isbi.ac.id/index.php/panggung/article/view/462/pdf

Wahyudianto. (2006). Karakteristik Ragam Gerak dan Tata Rias-Busana Tari Ngremo

Sebagai Wujud Presentasi Simbolis Sosio Kultural. Imaji Jurnal Seni dan

Pendidikan Seni. ISSN Online: 2580-0175, Vol. 4, No. 2, Agustus 2006, (hlm.

124-144). https://journal.uny.ac.id/index.php/imaji/article/view/6707/5763