20
TINJAUAN PUSTAKA Bakso Daging. Menurut SNI-01-3819-1995 (BSN 1995b) bakso daging adalah produk makanan berbentuk bulat atau lainnya yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Daging yang dapat digunakan untuk membuat daging diantaranya daging sapi, daging babi, daging kelinci, daging ayam, daging ikan, udang dan cumi (Sunarlim 1992). Bakso yang populer dan digemari sebagai makanan jajanan di Indonesia adalah bakso yang dibuat dari daging sapi. Kandungan gizi daging sapi yang tinggi protein dan kaya asam amino esensial, asam lemak, vitamin dan mineral diharapkan menjadikan bakso sapi dapat menjadi sumber gizi bagi masyarakat khususnya anak-anak dan remaja. Mineral yang banyak terdapat dalam daging sapi antara lain kalsium, fosfor, besi, natrium, dan kalium, sedangkan vitaminnya antara lain vitamin A, C, D, tiamin, riboflavin, piridoksin, sianokobalamin, niasin dan asam pantotenat (Muchtadi dan Sugiyono 1989). Kandungan protein bakso menurut SNI minimal 9,0% b/b dan lemak maksimal 2,0% b/b. Nilai gizi bakso ditentukan oleh kandungan dagingnya dibandingkan dengan bahan pengisi (pati) nya. Semakin tinggi kadar dagingnya maka nilai gizinya semakin baik. Bakso yang baik, kandungan patinya tidak boleh lebih dari 15% dari berat daging. Kandungan pati akan mempengaruhi mutu dan harga bakso tersebut (Winarno 1997). Hasil penelitian Anindita (2003) pada pedagang bakso di Desa Babakan dan Kelurahan Cibadak Bogor didapat bahwa kandungan protein bakso sapi yang dibuat sendiri oleh pedagang 75,0% di bawah nilai SNI sedangkan kandungan lemaknya seluruhnya di atas SNI. Bakso biasanya dijual dalam bentuk butiran untuk diolah kembali menjadi aneka jenis masakan, atau dijual dengan campuran mie dan kuah ditambah sayuran, bumbu, saos tomat dan sambal yang siap disantap oleh pembeli. Karakteristik bakso yang disukai konsumen adalah rasanya gurih (sedang, agak asin, mempunyai rasa daging yang kuat), beraroma daging rebus, tekstur empuk dan agak kenyal, berwarna abu-abu pucat, berbentuk bulat dan berukuran 3-5 cm

KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

5

TINJAUAN PUSTAKA

Bakso Daging.

Menurut SNI-01-3819-1995 (BSN 1995b) bakso daging adalah produk

makanan berbentuk bulat atau lainnya yang diperoleh dari campuran daging

ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau

tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Daging yang dapat

digunakan untuk membuat daging diantaranya daging sapi, daging babi, daging

kelinci, daging ayam, daging ikan, udang dan cumi (Sunarlim 1992).

Bakso yang populer dan digemari sebagai makanan jajanan di Indonesia

adalah bakso yang dibuat dari daging sapi. Kandungan gizi daging sapi yang

tinggi protein dan kaya asam amino esensial, asam lemak, vitamin dan mineral

diharapkan menjadikan bakso sapi dapat menjadi sumber gizi bagi masyarakat

khususnya anak-anak dan remaja. Mineral yang banyak terdapat dalam daging

sapi antara lain kalsium, fosfor, besi, natrium, dan kalium, sedangkan vitaminnya

antara lain vitamin A, C, D, tiamin, riboflavin, piridoksin, sianokobalamin, niasin

dan asam pantotenat (Muchtadi dan Sugiyono 1989). Kandungan protein bakso

menurut SNI minimal 9,0% b/b dan lemak maksimal 2,0% b/b. Nilai gizi bakso

ditentukan oleh kandungan dagingnya dibandingkan dengan bahan pengisi (pati)

nya. Semakin tinggi kadar dagingnya maka nilai gizinya semakin baik. Bakso

yang baik, kandungan patinya tidak boleh lebih dari 15% dari berat daging.

Kandungan pati akan mempengaruhi mutu dan harga bakso tersebut (Winarno

1997). Hasil penelitian Anindita (2003) pada pedagang bakso di Desa Babakan

dan Kelurahan Cibadak Bogor didapat bahwa kandungan protein bakso sapi yang

dibuat sendiri oleh pedagang 75,0% di bawah nilai SNI sedangkan kandungan

lemaknya seluruhnya di atas SNI.

Bakso biasanya dijual dalam bentuk butiran untuk diolah kembali menjadi

aneka jenis masakan, atau dijual dengan campuran mie dan kuah ditambah

sayuran, bumbu, saos tomat dan sambal yang siap disantap oleh pembeli.

Karakteristik bakso yang disukai konsumen adalah rasanya gurih (sedang, agak

asin, mempunyai rasa daging yang kuat), beraroma daging rebus, tekstur empuk

dan agak kenyal, berwarna abu-abu pucat, berbentuk bulat dan berukuran 3-5 cm

Page 2: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

6

(Andayani 1999). Cara paling mudah untuk menilai mutu bakso menurut

Wibowo (1999) adalah dengan menilai mutu sensorisnya. Ada lima parameter

utama yang perlu dinilai, yaitu penampakan, warna, bau, rasa dan tekstur, seperti

yang tercantum pada Tabel 1 .

Tabel 1. Kriteria mutu sensoris bakso daging.

Parameter Kriteria

Penampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan cemerlang, tidak kusam, sedikitpun tidak tampak berjamur atau berlendir.

Warna Cokelat muda cerah atau sedikit kemerahan atau cokelat muda agak keputihan atau abu-abu. Warna tersebut merata tanpa warna lainnya yang mengganggu.

Bau Bau khas daging segar rebus dominan tanpa bau tengik, masam (basi) atau busuk. Bau bumbu cukup tajam.

Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu cukup menonjol tetapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa asing yang mengganggu.

Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat atau membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah berair dan tidak rapuh.

Sumber : Wibowo (1999).

Menurut Sunarlim (1992) bahan baku untuk pembuatan bakso terdiri dari

bahan utama yaitu daging dan bahan tambahan yaitu bahan pengisi (tepung-

tepungan), garam, es atau air es, bumbu-bumbu seperti lada dan bahan penyedap.

Daging yang baik untuk dibuat bakso adalah daging yang sesegar

mungkin, yaitu segera setelah pemotongan tanpa mengalami proses penyimpanan

(Sunarlim 1992). Komponen daging yang penting dalam pembuatan bakso

adalah protein. Daging segar yang belum mengalami rigor mortis lebih disukai

oleh para pedagang daripada daging yang sudah dilayukan atau daging beku.

Daging segar mengandung protein aktin dan miosin yang belum berikatan (bebas)

sehingga dapat diekstrak dalam jumlah banyak. Sebagaimana diketahui bahwa

protein aktin dan miosin merupakan protein yang mudah larut dalam larutan

garam encer (Muchtadi dan Sugiyono 1989). Pada proses penggilingan

daging, protein-protein ini akan terekstrak dan akan membentuk emulsi dengan

Page 3: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

7

bahan-bahan lainnya. Semakin tinggi kadar protein yang bebas semakin baik

emulsi yang dihasilkan (Sunarlim 1992).

Bahan pengisi yang digunakan biasanya tepung berkadar protein rendah

seperti tapioka atau sagu aren. Fungsi bahan pengisi adalah : (1) memperbaiki

daya ikat air, (2) meningkatkan stabilitas emulsi (3) mengurangi penyusutan

selama pemasakan, (4) memperbaiki sifat fisik dan cita rasa (5) mengurangi

biaya produksi. Bahan tambahan yang terbanyak digunakan adalah air dalam

bentuk es yaitu banyaknya kira-kira 15% dari berat daging. Fungsi es adalah

untuk mempertahankan suhu daging tetap rendah selama penggilingan dan

pembuatan adonan (emulsifikasi) (Sunarlim 1992).

Penambahan garam dapur (NaCl) bertujuan untuk : (1) memberi cita rasa

produk, (2) pelarut protein aktin, (3) sebagai pengawet karena dapat mencegah

pertumbuhan mikroba (4) meningkatkan daya ikat air (Wilson et al. 1981).

Proses pembuatan bakso pada prinsipnya dibagi menjadi empat tahap

yaitu (1) tahap penghancuran daging dengan alat atau tangan, (2) tahap

penambahan bahan-bahan lainnya seperti tepung, es, bumbu-bumbu dan garam

sehingga membentuk adonan, (3) tahap pencetakan bakso dan (4) tahap

pemasakan dengan cara merebus dalam air mendidih (Pandisurya, 1983).

Untuk menghasilkan bakso yang kering, kesat dan kenyal biasanya

ditambahkan bahan tambahan makanan. Para pembuat bakso komersial biasa

menambahkan boraks ke dalam adonan bakso dengan kadar 0,1 – 05 % dari berat

adonan (Winarno 1997). Beberapa pembuat bakso menambahkan bahan pemutih

titanium oksida (TiO) untuk menghindari bakso yang berwarna gelap. Pada tahap

perebusan biasanya ditambahkan tawas pada air rebusan agar bakso bertekstur

kesat dan tidak lengket (Anindita 2003).

Bakso yang dibuat oleh pedagang bakso rumahan menggunakan daging

sapi yang dibeli di pasar. Daging ini kemudian dibawa ke tempat penggilingan

daging di pasar untuk dijadikan adonan bakso. Tempat penggilingan daging

tersebut juga menyediakan bahan tambahan pembuatan bakso seperti bumbu-

bumbu, pati, bahan tambahan makanan, es batu, serta mie dan sayuran. Setelah

itu adonan bakso dibawa pulang ke rumah, kemudian dibentuk menjadi bulatan

Page 4: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

8

bakso, direbus, didinginkan dan dijual atau disimpan (Anindita 2003). Diagram

alur proses pembuatan bakso sapi secara garis besar dapat dilihat pada gambar 1.

1. DAGING SAPI

2. STANDARISASI

3. PENGHANCURAN KASAR

4. PENCAMPURAN DAN PENGGILINGAN (Es, bahan pengisi, bumbu-bumbu, garam, BTM)

5. PEMBENTUKAN BULATAN BAKSO

6. PEREBUSAN 70O

7. PEREBUSAN 100

C, 10 MENIT (hingga naik ke permukaan)

O

8. PENDINGINAN DAN PENYIMPANAN

Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan bakso sapi pada pedagang bakso (Surjana 2001).

C, 10-15 MENIT (hingga bakso matang)

Proses 1-4 dilaksanakan di tempat penggilingan daging di pasar

Proses 5-8 dilakukan di rumah

Page 5: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

9

Bahan Tambahan Makanan

Bahan tambahan makanan adalah bahan yang tidak digunakan sebagai

makanan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas makanan, mempunyai

atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan

untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada saat pengolahan,

penyiapan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk

memperbaiki penampakan, cita rasa , tekstur atau sifat penyimpanannya (BSN

1995a). Bahan tambahan makanan yang diizinkan yang dapat digunakan pada

makanan terdiri dari golongan antioksidan, antikempal, pengatur keasaman,

pemanis buatan, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi, pemantap, pengental,

pengawet, pengeras, pewarna, penyedap rasa dan aroma, penguat rasa dan

sekuestran. Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah

atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap makanan

yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pengawet kimia adalah semua bahan

yang bila ditambahkan pada pangan dapat mencegah atau menghambat kerusakan

kimia maupun biologis makanan. Pengemulsi, pemantap dan pengental adalah

bahan makanan tambahan yang dapat membantu terbentuknya atau memantapkan

sistem dispersi yang homogen pada makanan. Garam dapur, gula cuka, rempah

atau minyak rempah tidak termasuk pengawet kimia (BSN 1995a).

Bahan tambahan makanan (Food Additives) diklasifikasikan berdasarkan

fungsinya, yaitu sebagai pengawet (preservatives), memperbaiki atau menjaga

nilai nutrisi makanan, menambah atau memberi warna makanan, menambah atau

memberi aroma makanan, memperbaiki tekstur makanan dan membantu pada

prosesing makanan (Branen dan Haggerty 2002).

Pengawet makanan digunakan untuk mencegah atau mengurangi

kerusakan biologis dan kimia pada makanan. Untuk mencegah kerusakan kimia

terdiri dari antioksidan ( mencegah autooksidasi dari pigmen, lemak, vitamin

dan aroma), senyawa antibrowning (mencegah pencoklatan secara enzimatis

maupun non enzimatis) dan senyawa antistaling (mencegah perubahan tekstur),

sedangkan untuk mencegah kerusakan secara biologis dikenal sebagai

antimikroba. Dalam memilih bahan antimikroba yang akan digunakan sebagai

pengawet makanan harus memperhatikan beberapa faktor, yaitu spektrum

Page 6: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

10

aktivitas antimikroba, sifat fisika-kimia dan komposisi makanan yang

diawetkan, jenis dan proses pengawetan serta sistem penyimpanan yang

digunakan (Davidson dan Branen 2005).

Pemakaian pengawet pada bakso pada umumnya bertujuan untuk

memperpanjang masa simpan dengan cara mengurangi atau menghambat

perkembangan mikroorganisme. Bahan pengawet yang diperkenankan dipakai

pada bakso adalah asam sorbat, kalium sorbat, asam propionat, kalsium dan

natrium propionat, asam benzoat, natriumbenzoat, kalium sulfit, natrium dan

kalium bisulfit, silikon dioksida, asam sitrat dan nitrium karbonat, dan bahan

pengemulsi yang dianjurkan adalah Sodium Tripolyphosphate (Surjana 2001).

Beberapa senyawa kimia yang diizinkan sebagai bahan antimikroba pada

makanan di negara-negara Uni Eropa dan tercantum dalam Codex Alimentarius

(Tabel 2).

Tabel 2. Peraturan perizinan penunjukkan Food Antimicrobial di Uni Eropa (E Numbers) dan dalam Codex Alimentarius (INS Numbers)

Senyawa Nomor E / INS Senyawa Nomor E / INS Sorbic acid K sorbate Ca sorbate Benzoic acid Na benzoate K benzoate Ca benzoate Ethyl paraben Na Ethyl paraben Propyl paraben Na propyl paraben Methyl paraben Na methyl paraben Sulfur dioxide Na sulfite Na hydrogen sulfite Na methbisulfite K methbisulfite Ca sulfite Ca hydrogen sulfite K hydrogen sulfit Niasin

200 202 203 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 226 227 228 234

Natamycin Dimethyl dicarbonate K nitrit Na nitrite Na nitrate Ka nitrat Acetic acid K acetate Na acetate Na diacetate Ca acetate Lactic acid Propionic acid Na propionate Ca propionate K propionate Boric acid Na tetraborate Na lactate K lactate Ca lactate

235 242 249 250 251 252 260 261 262 262 263 270 280 281 282 283 284 285 325 326 327

Sumber : Verbrugen 2002

Page 7: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

11

Boraks (Na2B4O7.10H2O)

Boraks (Natrium tertaborat, Na2B4O7.10H2O) merupakan kristal lunak

yang mengandung unsur boron, tidak berwarna, tidak berbau dan mudah larut

dalam air. Bila terekspos di udara kering dan hangat sering dilapisi serbuk warna

putih seperti kapur. Natrium tetraborat mengandung sejumlah Na2B4O7 yang

setara dengan tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari 105,0 %

Na2B4O7.10H2O. Larutan boraks bersifat basa terhadap fenolftalein, mudah larut

dalan air mendidih dan dalam gliserin; tidak larut dalam etanol (Ditjen POM

1995).

Boron adalah unsur mineral alam yang terdapat pada kulit bumi dalam

jumlah relatif kecil, yaitu kurang dari 10 ppm (Woods, 1994). Konsentrasi pada

air laut berkisar antara 0,5 – 9,6 ppm dengan rata-rata 4,6 ppm, sedangkan pada

air tawar berkisar antara <0,01 – 1,5 ppm. Di alam boron tidak ditemukan

bebas tetapi selalu berikatan dengan oksigen, biasanya sebagai asam (boric acid,

H3BO3) atau garamnya yang disebut borates misalnya Natrium tetraborat

(Na2B4O7.10H2

O O O O O

O) atau yang dikenal dengan boraks.

Asam borat dan garamnya (utamanya boraks atau sodium tetraborat)

secara luas digunakan pada industri gelas, fiberglass, porselin, enamel, keramik

glasur dan meta alloy. Senyawa ini juga digunakan sebagai fire retardant, pupuk,

bahan laundry, herbisida dan insektisida (USEPA-IRIS 2004)

B B B B O O Na Na

Gambar 2. Rumus bangun Boraks-anhidrat (Na2B4O7)

Page 8: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

12

Tabel 3. Sifat fisik dan kimia Boron dan beberapa senyawanya

Boron Asam borat Boraks Boraks anhidrat Boron oksida

Nomor registrasi CAS

7440-42-8 10043-35-3 1303-96-4 1330-43-4 1303-86-2

Rumus molekul B H3BO

Na3

2B4O7.10H2Na

O 2B4O B7 2O3

Berat Molekul 10,81 61,83 381,43 201,27 69,62

% Boron 100 17,48 11,34 21,49 31,06

Bentuk fisik Kristal hitam atau kuning-coklat, serbuk amorf

Putih atau tdk berwarna, kristal granur atau serbuk

Putih atau tdk berwarna, kristal granur atau serbuk

Putih atau tdk berwarna, granul bening

Putih atau tdk berwarna, granul bening

Gaya berat spesifik (@ 20o

2,34 C)

1,51 1,73 2,37 2,46

Titik lebur (o 2300 C) pd ruang tertutup

171 >62 t.a.d t.a.d

Titik lebur (o 2300 C) bentuk kristal

450 742 742 450

Kelarutan dlm air (%w/w) Tdk larut

4,72 @ 20oC 27,53@ 100o

4,71 @ 20C

oC 65,63 @ 100o

2,48 @ 20C

oC 34,5 @ 100o

Cepat terhidrasi mjd asam borat

C

Tekanan uap (mm Hg)

1,56 x.10-5 atm @ 2140o t.a.d C t.a.d t.a.d t.a.d

Sumber : USEPA-IRIS 2004.

Boraks dapat berubah dengan mudah menjadi asam borat atau borate

(H3BO3) bila dilarutkan dalam air. Boraks ada dalam tubuh sebagai asam borat.

Pemakaian boron per oral diserap dengan mudah (> 90% ) di dalam saluran

pencernaan manusia sebagai asam borat dan cepat terdistribusi melalui cairan

tubuh secara difusi pasif ke dalam jaringan lunak dan tulang. Ratio asam borat

dalam darah dan jaringan lunak adalah 1 : 1 dan ratio dalam darah dan tulang

adalah 1 : 4 (Murray 1998). Boron (asam borat) tidak diakumulasi dalam

jaringan lunak hewan dan manusia. Penelitian pada tikus menunjukan akumulasi

boron 3000 sampai 9000 ppm pada tulang setelah waktu 1 minggu, kemudian

menurun menjadi 10% setelah 8 minggu dan hanya 3 kali levelnya dari kelompok

Page 9: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

13

kontrol 32 minggu setelah pemberian dihentikan (Chapin et al. 1997).

Akumulasi boron pada tulang mungkin ada hubungannya dengan manfaat asam

borat dalam kaitannya dengan metabolisme kalsium (Devirian dan Volpe 2003).

Ekskresi asam borat terutama melalui ginjal dan asam borat adalah satu-

satunya senyawa yang dapat diidentifikasi dalam urin dan ditemukan dalam

jumlah > 90% dari total boron yang dikonsumsi (WHO 1998). Asam borat

diekskresi dari tubuh bersama urin dengan recovery rate antara 84% (Samman

et al. 1998) dan 92% dalam 96 jam (Schou et al. 1984). Waktu paruh untuk

eliminasi asam borat adalah sekitar 21 jam pada pemberian intra vena (Jansen

et al. 1984a) maupun oral (Jansen et al. 1984b).

Asam borat adalah asam lemah dengan nilai pKa = 9,2 dan terutama

berada dalam bentuk tidak terdisosiasi (undissociated acid) yaitu H3BO3 dalam

larutan air pada pH fisiologis, seperti halnya garam borat (Woods 1994). Nilai

pKa suatu asam adalah nilai pH dimana konsentrasi molekul asam yang

terdisosiasi dan yang tidak terdisosiasi berada dalam jumlah yang seimbang.

Ketika pH turun, konsentrasi asam yang tidak terdisosiasi akan meningkat. Asam

kuat memiliki nilai pKa rendah ( ≤ 1) dan asam lemah memiliki nilai pKa tinggi

(Brown dan Booth 1991).

Asam lemah yang berfungsi sebagai pengawet adalah yang tidak

terdisosiasi pada kondisi pH dari makanan. Aktifitas antimikrobialnya tidak

hanya disebabkan oleh konsentrasi H+, tetapi juga karena efek penghambatan dari

asam tidak terdisosiasi atau anionnya. Dalam bentuk tidak terdisosiasi beberapa

asam lemah bersifat lipofilik, sehingga dapat dengan mudah menembus membran

sel mikroba. Di dalam sel mikroba, asam akan terdisosiasi karena pH intraseluler

lebih tinggi (bersifat basa) dari pada pH ekstraseluler, dan akan terjadi

peningkatan H+ yang tidak terkendali di dalam sitoplasma sel sehingga terjadi

pengasaman dan menghambat metabolisme dan transport intraseluler (Davidson

et al. 2005; Brown dan Booth 1991). Untuk mencegah penurunan pH

sitoplasma sel, maka mikroorganisme berusaha mengeluarkan proton-proton

hasil disosiasi tersebut ke luar sel. Untuk mengeluarkan proton dari dalam sel

dibutuhkan energi, sehingga pertumbuhan mikroorganisme menjadi terhambat

bahkan berhenti sama sekali (Fardiaz 1992).

Page 10: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

14

Dosis letal akut boraks atau asam borat pada manusia adalah 15 -20 gram

untuk dewasa , 5 – 6 gram untuk anak-anak dan 2 – 3 gram untuk bayi (setara

dengan 2,6 – 3,5 gram boron untuk dewasa). Keracunan akut pada dosis

5 mg/kg/hari ditandai dengan dermatitis, alopesia, anoreksia dan indigesti,

sedangkan keracunan akut pada dosis tinggi ditandai dengan mual, muntah, diare,

sakit kepala, rush di kulit, desquamasi, kerusakan ginjal, stimulasi syaraf pusat

diikuti dengan depresi, ataksia, konvulsi dan kematian dalam 5 hari akibat

kegagalan sirkulasi (Ellenhorn 1997, EGVM 2003). Keracunan akut boron

menyebabkan gangguan ginjal dengan gejala mulai dari adanya sedimen pada urin

sampai kepada proteinuria, oligouria, anuria dan azotemia (Pahl et al 2005)

Keracunan kronis dosis tinggi terutama dapat diamati pada hewan percobaan.

Gangguan reproduksi dilaporkan terjadi pada anjing, tikus, mencit dan kelinci

berupa atrofi testis, gangguan pembentukan sperma, hilangnya sel benih dan

perubahan morfologi sperma epididimis. Pengaruh terhadap pertumbuhan antara

lain penurunan berat badan fetus, malformasi kardiovaskuler fetus, malformasi

skelet, malformasi susunan syaraf pusat, termasuk pembesaran ventrikel lateral

otak, hidrosefalus dan peningkatan resorpsi. Efek tersebut terlihat pada dosis > 10

mg boron/kg/hari (Ellenhorn 1997, EGVM 2003).

Produk pestisida yang mengandung boraks dan asam borat banyak

digunakan sebagai insektisida, fungisida dan herbisida. Sebagai insektisida

boraks dan asam borat merupakan racun perut untuk semut, kecoa, ngengat dan

rayap dan menyebabkan kerusakan eksoskeleton. Sebagai herbisida boraks

menghambat fotosintesis tanaman dan sebagai fungisida digunakan sebagai

pengawet kayu untuk menghambat pertumbuhan jamur dengan mencegah

produksi konidia atau spora aseksual. Asam borat dan boraks adalah juga

merupakan bahan tetap pada produk-produk pestisida sebagai sekuestran atau

pengikat bahan logam (USEPA 2008). Toksisitas boraks dan asam borat pada

beberapa hewan coba dapat dilihat pada Tabel 4.

Page 11: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

15

Tabel 4. Toksisitas akut boraks dan asam borat

Jenis uji coba Hasil Kategori Toksisitas

Asam Borat (Boric Acid)

Toksisitas akut oral/tikus

LD50 jantan = 3.450 mg/kg LD50 betina

III = 4.080 mg/kg Toksisitas akut oral/anjing beagle LD50 III > 631 mg/kg

Toksisitas akut kulit/kelinci LD50 III > 2 g/kg

Toksisitas akut inhalasi/tikus LD50 II > 0,16 mg/L

Toksisitas akut mata/kelinci

Iritasi konjuktiva, sembuh dlm 4 hari III

Iritasi akut kulit/ kelinci Iritasi III

Boraks (Sodium tetraborate decahydrate)

Toksisitas akut oral/tikus

LD50 jantan = 4.550 mg/kg LD50 betina

III = 4.980 mg/kg Toksisitas akut oral/anjing LD50

III > 974 mg/kg

Toksisitas akut kulit/kelinci LD50 III > 2.000 mg/kg

Toksisitas akut mata/kelinci Korosif I

Iritasi akut kulit/ kelinci Non-iritasi IV

Sumber : US EPA (2008)

Toksisitas akut yang disebabkan oleh boraks pada pemakaian peroral dan

topikal (kulit) dikategorikan ke dalam Toksisitas Tingkat III (toksisitas sedang),

sedangkan efek iritasi boraks pada mata dikategorikan sebagai Toksisitas

Tingkat I (toksisitas tinggi) (USEPA 2008). Boraks diserap dengan cepat dan

sempurna oleh tubuh dan tidak mengalami metabolisme ataupun akumulasi

kecuali dalam jumlah kecil dapat dideposit di tulang. Penelitian pada manusia

menunjukan bahwa lebih dari 90% boraks yang termakan oleh manusia

dieliminasi dalam waktu 4 hari melalui urin, feses dan sedikit melalui keringat.

Mengkonsumsi borat dalam waktu yang lama akan diakumulasi di testes dan

menyebabkan atrofi. Pengamatan selama dua tahun pada manusia yang minum

air dengan kandungan boron tinggi mengurangi jumlah sperma dan menurunkan

libido (Sheftel 2000).

Page 12: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

16

Lowest Observed Adverse Effect Levels (LOAELs) adalah level terendah

boron (asam borat) yang memberikan efek negatif yang dapat diamati, dan

Observed Adverse Effect Levels (NOAELs) adalah level boron (asam borat) yang

memberikan efek negatif yang tidak dapat diamati. Nilai LOAELs dan NOAELs

pada beberapa hewan coba dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. LOAELs dan NOAELs boron (asam borat) pada perkembangan dan reproduksi

Jenis Hewan

LOAELs (mg/kgbb/hr)

NOAELs (mg/kgbb/hr) Efek Negatif Referensi

Tikus 79 43 Gangguan perkembangan

Heindel et al. 1992

Tikus besar

26 52

- 26

Hambatan pengeluaran sperma Atrofi testis

Ku et al. 1993

Tikus besar

50 25 Aplasia tubular germinal

Lee et al. 1979

Tikus besar

13,3 9,6 Penurunan BB fetus Price et al 1996a

Tikus besar

25 12,9 Gangguan perkembangan tulang rusuk XIII

Price et al. 1996a (phase II)

Kelinci 43,8 21,9 Malformasi fetus Price et al. 1996b

Tikus besar

58,5 17,5 Penurunan berat testis, atrofi testis, peningkatan berat otak/tiroid

Weir dan Fisher 1972

Anjing 29,0 8,75 4,4 3,6

Atrofi testis

Weir dan Fisher 1972 . EGVM 2003

Sumber : Health Canada (2007) Boraks dalam bentuk tidak murni (dikenal sebagai air bleng, garam bleng

atau pijer) sejak lama telah digunakan masyarakat untuk pembuatan gendar nasi

atau kerupuk gendar yang secara lokal di beberapa daerah di Jawa disebut Karak.

Disamping itu boraks ternyata digunakan untuk industri makanan lainnya, seperti

pembuatan mie, lontong, ketupat, bakso, pempek, bahkan juga untuk pembuatan

kecap Berbeda dengan pembuatan karak, konon pembuatan mie pabrik dan

makaroni biasanya menggunakan asam borat murni (Winarno 1997). Pemakaian

air bleng atau garam bleng membuat tekstur makanan menjadi kenyal.

Page 13: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

17

Pada beberapa pembuat bakso komersial, penambahan boraks 0,1 – 0,5 % dari

berat adonan menghasilkan bakso yang kering, kesat dan tekstur yang kenyal

(Surjana 2001). Senyawa asam borat yang terdapat pada boraks memiliki sifat

antiseptik, yaitu bersifat mencegah pertumbuhan mikroorganisme, oleh karena itu

boraks juga digunakan pada makanan untuk tujuan sebagai pengawet terhadap

pembusukan atau kerusakan akibat aktifitas mikroorganisme. Pengawetan bakso

daging dengan boraks untuk penyimpanan pada suhu kamar telah dilakukan oleh

industri bakso kecil dan menengah (Anindita 2003). Penelitian yang

dilakukan Novita (2003) pada pabrik bakso di Kota Tangerang menunjukkan

bahwa semua pabrik bakso yang diperiksa positif menggunakan boraks dengan

kandungan tertinggi 0.731 ppm dan terendah 0,197 ppm

Cemaran Mikroba

Pengujian mikrobiologik pada pangan, baik pada bahan baku, selama

proses maupun pada produk akhir, dilaksanakan dalam rangka pengawasan

keamanan dan kualitas pangan. Pengujian mikrobiologik bertujuan untuk

mengetahui jumlah mikroorganisme, keberadaan mikroorganisme tertentu,

jumlah mikroorganisme indikator, jumlah mikroorganisme patogen tertentu dan

keberadaan mikroorganisme patogen tertentu (Lukman 2004).

Perkembangan mikroorganisme bahan pangan dipengaruhi oleh faktor-

faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu faktor yang ada pada bahan

pangan tersebut, yaitu : pH, aktivitas air (Aw), potensial oksidasi-reduksi, nutrisi,

antimikroba dan struktur biologis. Faktor ekstrinsik yaitu faktor yang berada di

luar bahan pangan tersebut, yaitu : temperatur, kelembaban relatif, ketersediaan

oksigen dan proses pengolahan (Sanjaya et al. 2007).

1. Coliform dan Escherichia coli

Coliform atau bakteri bentuk koli adalah bakteri berbentuk batang, tidak

berspora, bersifat aerob atau fakultatif anaerob, gram negatif memfermentasi

laktosa dengan membentuk asam dan gas pada suhu 35oC dalam 48 jam. Pada

media Endo Agar membentuk koloni gelap dengan kilau logam. Bakteri Coliform

Page 14: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

18

termasuk ke dalam famili Enterobactericeae yang terdiri dari empat genera, yaitu

Citrobacter, Enterobacter, Escherichia dan Klebsiella (Jay et al 2005).

Coliform umumnya ditemukan pada saluran pencernaan manusia dan

hewan. Selain itu mungkin juga ditemukan di tanah, air dan tumbuhan. Coliform

sering digunakan sebagai mikroorganisme indikator sanitasi, terutama dalam

pengujian kualitas air dan untuk menilai sanitasi pada industri pengolahan pangan.

Selain itu Coliform sering digunakan sebagai indikator keberadaan

mikroorganisme patogen. Coliform dibagi menjadi Coliform fecal dan non-fecal.

Salah satu Coliform fecal adalah Escherichia coli (Lukman 2004). Keberadaan

E. Coli pada makanan menunjukan adanya penggunaan air yang terkontaminasi

oleh feses hewan atau manusia (Todar 2008).

Escherichia coli termasuk dalam grup Enterobacteriaceae, bersifat Gram

negatif, aerob atau fakultatif anaerob, berbentuk kokoid atau kokus kadang motil

dan tidak membentuk spora. Semua spesies memfermentasi glukosa dengan

membentuk asam dan gas, mereduksi nitrat dan nitrit, oksidase positif dan

katalase positif. Bakteri ini hidup normal sebagai mikroflora pada saluran

pencernaan manusia dan hewan berdarah panas, terutama di usus besar, walaupun

beberapa spesies bisa terdapat di organ lain, pada tanaman dan tanah dan beberapa

spesies adalah patogen (Bell dan Kyriakides 2002).

Escherichia coli merupakan bakteri fecal indicator yang digunakan untuk

mendeteksi adanya kontaminasi oleh feses pada air dan mendeteksi keberadaan

pathogen usus. Kriteria sebagai fecal indicator adalah : (1) bakteri ini hanya

terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan, (2) harus ditemukan dalam

jumlah yang sangat banyak di dalam feses, (3) harus memiliki daya tahan hidup

yang tinggi pada lingkungan di luar usus, (4) relatif mudah diisolasi dan

dideteksi meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit (Jay et al. 2005).

Makanan yang sering terkontaminasi bisanya adalah daging ayam, daging

babi, daging sapi, makanan hasil laut, telur dan produk olahan telur, sayuran, buah

dan sari0 buah. E. coli merupakan bakteri yang sensitif terhadap panas, dapat

tumbuh pada suhu antara 10 – 40oC dengan suhu optimum 37oC. Pertumbuhan

optimum pada pH 7,0-7,5 dan Aw minimum 0,96. Untuk mencegah

Page 15: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

19

pertumbuhannya sebaiknya makanan disimpan pada suhu rendah di bawah 10oC

(Fardiaz 1987).

Strain E. coli patogen penyebab gastroenteritis adalah serotipe O157:H7.

Strain ini banyak ditemukan dalam saluran intestin sapi, tumbuh optimal pada

suhu 100C – 420C pH > 5 dan Aw 0,92 (Cramer 2006). Strain E. coli serotipe

O157:H7 sering dikaitkan dengan kejadian gastroenteritis akibat mengkonsumsi

daging sapi terkontaminasi. Berdasarkan bukti epidemiologi dan hasil survey

pada sapi diketahui bahwa sapi adalah reservoar paling penting bagi patogen

penyebab food-borne disease ini (Gonzales 2005). Berdasarkan gejala dan

sifat penyakitnya serta grup serologinya dikenal 5 grup virulen E. Coli, yaitu

enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), enteropathogenic

E. coli (EPEC), enteroaggregative E. coli (EAEC) dan enterohaemorrhagic E.

coli (EHEC) (Jay et al. 2005).

Faktor-faktor yang dihubungkan dengan resiko infeksi E. coli

yaitu : adanya kontaminasi bahan baku oleh kotoran hewan; makanan dibuat tidak

melalui proses pemasakan; makanan terkontaminasi setelah matang; dijual

sebagai menu siap saji dan kontak dengan orang atau hewan sakit

(Bell dan Kyriakides 2002). Ternak sapi merupakan reservoar utama E. coli

diantaranya daging mentah (Bach et al. 2002).

2. Salmonella ssp

Salmonella adalah bakteri dari famili Enterobacteriaceae berbentuk batang

halus, bersifat Gram negatif tidak membentuk spora dan umumnya motil,

aerob/anaerob fakultatif, memfermentasi glukosa, umumnya tidak memfermentasi

laktosa. Salmonella tumbuh pada suhu 2-47oC dengan pertumbuhan cepat pada

25-43o

Habitat normal adalah saluran gastrointestinal mamalia, reptil, burung dan

insekta (Jay et al. 2005). Walaupun merupakan bakteri usus, Salmonella

C, tahan pada pH 4 – 8 dan Aw 0,94 serta bertahan hidup pada pembekuan

(Cramer 2006). Genus Salmonella terdiri dari dua spesies yaitu Salmonella

enterica dan Salmonella bongori. S. enterica mempunyai 6 sub spesies dan

tidak kurang 2449 serovar sedangkan S. bongori mempunyai 20 serovar (D’aoust

2001).

Page 16: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

20

ditemukan secara luas di lingkungan seperti di peternakan, pembuangan

kotoran manusia dan tempat-tempat yang terkontaminasi oleh feses

(Wray et al. 2003).

Kejadian salmonellosis pada manusia sering berkaitan dengan kejadian

salmonellosis pada hewan. Salmonella merupakan patogen saluran pencernaan

yang potensial dan menyebabkan foodborne illness. Pangan dapat bertindak

sebagai perantara terutama bahan pangan asal hewan di Amerika Serikat seperti

daging ayam, telur, daging sapi, daging babi, susu , jus buah dan sayuran

(Patterson dan Isaacson 2003).

Salmonella dapat menimbulkan sindrom penyakit berbeda pada manusia,

yaitu typhoid fever, bacteriemia dan enterocolitis. Typhoid fever disebabkan oleh

S. enterica serotipe Typhi dan Paratyphi A, B dan C, bacteriemia disebabkan

oleh S. enterica serotipe Dublin dan Cholerasuis dan enterocolitis disebabkan

oleh paling tidak 5 seritipe, yaitu S. enterica serotipe Typhimurium,

S. enterica serotipe Enteritidis, S. enterica serotipe Hiedelberg,

S. enterica serotipe Newport dan S. enterica serotipe Hadar (Rabsch et al.

2003).

Salmonella memiliki kemampuan bertahan hidup pada kondisi buruk (suhu

tinggi), pH suboptimal dan nutrisi sedikit sehingga menjadi tantangan dalam

keamanan pangan. Kemampuan salmonella untuk tumbuh pada suhu lemari es

(4-10oC) merupakan hal yang harus diperhatikan dalam penyimpanan makanan.

Makanan yang mudah rusak harus segera didinginkan segera setelah dimasak dan

disimpan pada tempat yang berbeda dengan bahan makanan mentah di lemari es.

Salmonella dihambat pertumbuhannya dengan NaCl > 3%. Peningkatan suhu

pada kisaran 10-30oC akan meningkatkan toleransi organisme terhadap garam dan

asam. Salmonella tumbuh pada pH 3,6-9 (optimum pada pH netral) dan aw

Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif berbentuk shperic atau

coccoid, tidak membentuk spora, berukuran kecil + 1 mikrometer dan sering

berkelompok membentuk seperti anggur, memfermentasi karbohidrat, katalase

0,93

(D’aoust. 2001).

3. Staphylococcus aureus

Page 17: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

21

positif, tumbuh pada temperatur 440F – 1150F, pH 5,2 dan Aw 0,86. Koloni pada

media tumbuh biakan memproduksi pigmen kuning (Sutherland dan Varnam

2002 dan Cramer 2006). Kemampuan tumbuhnya pada media yang

mengandung 3,5 M NaCl dan bertahan hidup pada Aw < 0,8 menjadi problem

penting karena mikroorganisme lain tidak mungkin tumbuh atau terhambat

tumbuh pada kondisi tersebut sehingga tidak ada kompetisi (Naim 2004).

Staphylococcus aureus normal terdapat pada permukaan kulit seperti pada

hidung, ketiak, daerah inguinal dan perineal. Lebih kurang 30% orang sehat

membawa bakteri ini pada kulit dan rongga hidungnya. Sumber pencemaran

makanan yang paling penting dari bakteri ini adalah discharge hidung dan

tenggorokan, luka pada kulit, bisul dan jerawat dari orang yang menangani

makanan (Sutherland dan Varnam 2002). Beberapa hewan domestik merupakan

sumber bakteri ini , misalnya streptococcal mastitis pada sapi perah , dimana susu

yang dihasilkan bila dikonsumsi atau diolah menjadi keju dapat menyebabkan

intoksikasi (Jay et al. 2005).

Staphylococcus aureus pada bahan pangan dan olahannya dapat mengancam

kesehatan masyarakat karena beberapa galur dapat memproduksi enterotoksin

yang dapat menyebabkan keracunan pangan (staphylococcal food poisoning).

Keracunan oleh enterotoksin terjadi termakannya racun yang disintesa oleh kuman

selama tumbuh dalam makanan. Enterotoksin yang diproduksi oleh

Staphylococcus aureus pada makanan akan bertahan dalam makanan serta tidak

rusak oleh pemanasan karena toksin ini lebih tahan panas dibandingkan sel

bakterinya. Keberadaan kuman ini pada bahan makanan menandakan

penanganannya yang kurang baik dan kurang higienis oleh manusia.

Keracunan karena kuman ini lebih banyak disebabkan oleh daging yang telah

dimasak. Staphylococcus menghasilkan sebelas macan toksin, yaitu A, B, C1, C2,

C3

Manusia dapat mencemari bahan makanan atau olahannya melalui tangan,

pakaian atau alat-alat yang dipergunakan. Staphylococcus hidup optimal dan

dapat memproduksi toksin pada suhu 35-37

, D, E, F, G, H dan I. Enterotoksin A dan D dihasilkan pada saat fase

logaritmik dan enterotoksin B dan C dihasilkan pada akhir fase logaritmik sampai

awal fase stasioner (Sutherland dan Varnam 2002).

oC, tetapi beberapa spesies dapat

Page 18: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

22

tumbuh pada 10-45o

Praktek higiene dan sanitasi pada pengolahan pangan mencakup penerapan

pada personal, bangunan, peralatan, proses produksi, penyimpanan dan distribusi

(Luning et al. 2003). Dalam sistem jaminan keamanan pangan, penerapan praktek

C dengan pH optimaum 7-7,5. Keracunan pangan terjadi

apabila kandungan Staphylococcus aureus dalam jumlah besar pada makanan dan

menghasilkan toksin (Doyle 1989).

Higiene dan Sanitasi Pangan

Higiene pangan menurut Codex Alimentarius Commission (CAC) adalah

semua kondisi dan tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan

kelayakan makanan pada setiap tahap dalam rantai makanan. Keamanan pangan

(food safety) adalah jaminan agar makanan tidak membahayakan konsumen pada

saat disiapkan dan atau dimakan menurut penggunaannya, sedangkan kelayakan

pangan (food suitability) adalah jaminan agar makanan dapat diterima untuk

konsumsi manusia menurut penggunaannya (FAO-WHO 1997).

Menurut UU RI No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, sanitasi pangan adalah

upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembangbiaknya

jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan

bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia, sedangkan

keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah

pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat

mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.

Keamanan bahan pangan harus diperhatikan mulai dari tahap budidaya

hingga pangan tersebut siap disantap (safe from farm to table). Penerapan sistem

keamanan pangan pada setiap tahap produkasi harus dilakukan dengan baik agar

pangan yang dikonsumsi benar-benar aman. Pada tahap budidaya perlu

diterapkan Good Farming Practices (GFP), selanjutnya pada tahap pascapanen

dilakukan Good Handling Practices (GHP). Pada tahap pengolahan penerapan

Good Manufacturing Practices (GMP) atau Good Hygienic Practices (GHP)

sangat diperlukan, sedangkan pada tahap distribusi harus diterapkan Good

Distribution Practices (GDP) agar produk pangan sampai ke konsumen dalam

keadaan aman (Djaafar dan Rahayu 2007).

Page 19: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

23

higiene sanitasi merupakan persyaratan dasar mutlak. Adanya cemaran

mikroorganisme pada pangan asal hewan umumnya terkait dengan praktek

higiene sanitasi yang kurang baik selama proses penyediaan pangan tersebut.

Untuk menciptakan pangan asal hewan yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh,

Halal) maka perlu penerapan sistem jaminan keamanan dan mutu pangan asal

hewan pada setiap tahapan dalam mata rantai penyediaannya secara bertahap,

terencana dan berkesinambungan.

Sistem jaminan keamanan pangan yang telah dikenal adalah sistem Hazard

Analysis Critical Control Points (HACCP), yaitu suatu sistem yang menjamin

keamanan pangan dengan melakukan analisa terhadap kemungkinan terjadinya

bahaya (hazard) pada sistem produksi, serta tindak pengawasan terhadap titik

kendali kritis (CCP). Sistem HACCP yang didasarkan pada ilmu pengetahuan

dan sistematika, mengidentifikasi bahaya dan tindakan pengendaliannya untuk

menjamin keamanan pangan. HACCP adalah suatu piranti untuk menilai bahaya

dan menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan

daripada mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir. Setiap sistem

HACCP mengakomodasi perubahan seperti kemajuan dalam rancangan peralatan,

prosedur pengolahan atau perkembangan teknologi. Pengendalian bahaya-bahaya

(Hazards) dalam sistem HACCP dilaksanakan dengan penerapan dan pengawasan

higiene dan sanitasi (GMP dan SSOP) yang dituangkan dalam SOP (BSN 1998).

Pendekatan HACCP terdiri atas tujuh prinsip, yaitu :

1. Analisis potensi bahaya , bertujuan untuk mengidentifikasi bahaya pada

setiap tahapan produksi, menyeleksi bahaya atas dasar analisa resiko dan

mengembangkan tindakan pencegahan / pengendalian (preventive / control

measure).

2. Penentuan titik kendali kritis (CCP), untuk mengendalikan bahaya-bahaya

tersebut terutama pada tahapan dengan tingkat bahaya sedang dan tinggi.

3. Penetapan batas kritis, yaitu batasan yang digunakan untuk menjamin

proses yang berlangsung menghasilkan produk yang aman.

Page 20: KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58790/4/Bab II... · pengawet, pengeras, pewarna, ... atau minyak rempah tidak termasuk pengawet

24

4. Penetapan sistem pemantauan, yaitu pemantauan terhadap CCP, apakah

terjadi hilang kendali dan penyimpangan pada CCP. Pemantauan harus

bersifat efektif dan mampu mendeteksi dengan cepat adanya penyimpangan

CCP.

5. Penetapan tindakan koreksi, jika hasil pemantauan pada CCP menyimpang

atau mengarah kepada penyimpangan (out of control) melampaui batas

kritis.

6. Penetapan prosedur verifikasi, meliputi uji dan prosedur untuk memastikan

bahwa sistem HACCP terpelihara dan berjalan dengan efektif. Langkah ini

juga dapat menunjukan jika rencana HACCP memerlukan modifikasi.

7. Penetapan dokumentasi dan penyimpanan dokumen untuk keperluan audit.

dan inspeksi.

Untuk menjamin pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal dalam

rangka mewujudkan kesehatan dan ketentraman batin masyarakat, setiap unit

usaha pangan asal hewan wajib memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi

pangan asal hewan. Bagi setiap unit usaha pangan asal hewan yang telah

memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi diberikan sertifikat kontrol veteriner .

Sertifikat Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan yang

selanjutnya disebut Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah sertifikat sebagai

bukti tertulis yang sah telah dipenuhinyan persyaratan higiene sanitasi sebagai

kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal hewan pada unit usaha pangan

asal hewan. Unit usaha pangan asal hewan yang wajib memiliki NKV adalah

Rumah Pemotongan Hewan, Rumah Pemotongan Unggas, Rumah Pemotongan

Babi, usaha budidaya unggas petelur, usaha pemasukan, usaha pengeluaran, usaha

distribusi, usaha ritel dan usaha pengolahan pangan asal hewan. Kebijakan

pembinaan dan pengawasan keamanan pangan asal hewan adalah penerapan

sistem jaminan keamanan pangan pada unit usaha pangan asal hewan secara

bertahap mulai dari penerapan praktek higiene sanitasi, pemberian NKV dan

penerapan sistem HACCP (Ditkesmavet 2006).