KANKER REKTUM

Embed Size (px)

Citation preview

REFERAT KANKER REKTUM

DISUSUN OLEH :Ni Putu Surya Diana0961050128

Pembimbing :dr. Henry Boyke Sitompul, Sp.B

BAGIAN BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA PERIODE 18 NOVEMBER 2013 18 JANUARI 2014 JAKARTA

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat-Nya saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul Kanker Rektum. Tugas referat ini saya buat dengan tujuan sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah serta bertujuan agar para dokter muda mengetahui dan memahami tentang materi ini lebih mendalam.

Saya ucapkan banyak terimakasih kepada kedua orangtua saya, yang selalu mendukung saya dalam segala kondisi yang saya alami dalam menjalankan kepaniteraan ini, juga kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan referat ini, khususnya dr. Henry Boyke Sitompul, Sp.B yang telah berkenan membimbing dan menguji referat ini.

Akhir kata saya mohon kritik dan saran yang membangun untuk Penulis pada khususnya dan kemajuan dunia kedokteran pada umumnya.

Jakarta, Desember 2013

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar iDaftar Isi ii

BAB I PENDAHULUAN 1BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3II. 1 Anatomi Rektum 3II. 2 Embriologi Rektum 5II. 3 Histologi Rektum 7II. 4 Fisiologi Rektum 7II. 5 Etiologi Dan Faktor Resiko Kanker Rektum 8II. 6 Patofisiologi Kanker Rektum 14II. 7 Gejala Klinis & Stagging 15II. 8 Pemeriksaan Fisik 21II. 9 Pemeriksaan Penunjang 22II. 10 Penatalaksanaan 29II. 11 Prognosis 33BAB III PENUTUP 34

Daftar Pustaka iii

BAB IPENDAHULUAN

I.1Latar BelakangKanker adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan pembagian sel yang tidak teratur dan kemampuan sel-sel ini untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak teratur ini menyebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembagian sel dan fungsi lainnya.Kanker rektum merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas saluran cerna dimana kanker tersebut menyerang kolon dan rektum. Lebih dari 60% tumor kolorektal berasal dari rektum. Kanker rektum merupakan salah satu jenis kanker yang tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia, namun penyakit ini bukan tidak dapat disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara dini, maka kemungkinan untuk sembuh dapat mencapai 50%.Pada tahun 2009 diperkirakan 40.870 kasus baru dari kanker rektum di Amerika Serikat (23.580 kasus pada laki-laki, 17.290 kasus pada wanita). Selama pada tahun yang sama, diperkirakan 49.920 orang meninggal karena rektm dan kolon. Kanker kolorektal menduduki peringkat keempat dari kanker yang paling sering terjadi dan kedua penyebab kematian. Di Amerika Serikat, kematian akibat kanker kolorektal telah menurun selama 30 tahun terakhir, penurunan ini karena diagnosis dini melalui pemeriksaan dan pengobatan yang lebih baik..Insidensi kanker rektum di Indonesia cukup tinggi, demikian juga dengan angka kematiannya. Pada tahun 2002, kanker rektum menduduki peringkat ketiga dari semua kasus kanker. Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus kanker rektum dimana data dari Departemen Kesehatan didapati angka 1,8 per 100.000 penduduk.Diagnosis kanker rektum pada umumnya tidaklah sulit, namun kenyataanya penderita sering terdiagnosis pada stadium lanjut sehingga pembedahan kuratif seringkali tidak dapat dilakukan. Padahal jika penderita telah terdeteksi secara dini menderita kanker rektum sebelum stadium lanjut, kemungkinan untuk sembuh dapat mencapai 50%. Pemeriksaan colok dubur sebenarnya merupakan sarana diagnosis yang paling tepat, dimana 90% diagnosis kanker rektum dapat ditegakkan dengan colok dubur. Namun pada kenyataanya hanya sekitar 13% dokter Puskesmas dan dokter umum yang melakukan colok dubur dengan keluhan BAB berdarah.Tingginya angka kematian akibat kanker rektum mendorong upaya untuk menurunkan angka kematian tersebut. Upaya yang mungkin dilakukan adalah dengan deteksi kanker rektum secara dini. Dari hasil penelitian, 58,9-78,8% penderita kanker rektum stadium dini dapat bertahan hidup dalam 5 tahun dan angka ini akan berkurang seiring dengan meningkatnya stadium. Pada penderita kanker rektum stadium akhir, angka kemungkinan bertahan hidup dalam 5 tahun hanya sebesar 7% saja.Oleh karena hal tersebut, penyusun mengambil judul Kanker Rektum sebagai judul referat dengan tujuan untuk menambah pengetahuan tentang kanker rektum sehingga dokter-dokter terkhusus dokter muda dapat mengenali penyakit ini dan dapat menanganinya sesuai kompetensinya.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

II.1ANATOMI REKTUM

Secara anatomis, rektum berada setinggi vertebrae sakrum ketiga sampai ke garis anorektal. Secara fungsional dan endoskopis, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan spinchter. Bagian spinchter atau disebut juga annulus hemoroidalis dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fascia coli dari fascia supra ani. Bagian ampula terbentang dari vertebrae sakrum ketiga sampai diafragma pelvis pada insersio muskulus levator ani. Panjang rektum sekitar 10-15 cm dengan keliling 15 cm pada bagian rectosigmoid junction dan 35 cm pada bagian yang terluas yaitu ampula. Pada manusia, dinding rektum terdiri dari 5 lapisan, yaitu mukosa yang tersusun oleh epitel kolumner, mukosa muskularis, submukosa, muskularis propia, dan serosa.

Gambar 1. Anatomi Rektum

Vaskularisasi daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior, media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior (arteri rektal superior) merupakan kelanjutan dari arteri mesenterika inferior. Arteri hemoroidalis media (arteri rektal media) merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Arteri hemoroidalis inferior (arteri rektal inferior) merupakan cabang dari arteri pudenda interna. Gambar 2. Vaskularisasi Arteri Rektum

Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis interna dan berjalan ke arah kranial ke dalam vena mesenterika inferior untuk selanjutnya melalui vena lienalis dan menuju vena porta. Vena ini tidak memiliki katup sehingga tekanan dalam rongga perut atau intra abdominal sangat menetukan tekanan di dalam vena tersebut. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke vena pudenda interna yang kemudian melalui vena iliaka interna dan menuju sistem vena cava. Gambar 3. Vakularisasi Vena RektumPembuluh limfe daerah anorektum membentuk pleksus halus yang mengalirkan isinya menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir ke kelenjar limfe iliaka. Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat mengakibatkan limfadenopati inguinal. Pembuluh rekrum di atas garis anorektum berjalan seiring dengan v. hemoroidalis seuperior dan melanjut ke kelenjar limfe mesenterika inferior dan aorta. Persarafan rektum terdiri dari sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3, dan 4 yang berfungsi mengatur emisi air mani dan ejakulasi. Sedangkan untuk serabut parasimpatis berasal dari sakral 2, 3, dan 4 yang berfungsi mengatur fungsi ereksi penis dan klitoris serta mengatur aliran darah ke dalam jaringan. Hal ini menjelaskan terjadinya efek samping dari pembedahan pada pasien-pasien dengan kanker rektum, yaitu disfungsi ereksi dan tidak dapat mengontrol buang air kecil. Gambar 4. Persyarafan Rektum

II.2 EMBRIOLOGI REKTUM

Akibat pelipatan mudigah ke arah sefalokaudal dan lateral, sebagian dari rongga yolk-sac yang dilapisi oleh endoderm masuk ke dalam mudigah untuk membentuk usus primitif. Dua bagian lain dari rongga yang dilapisi oleh endoderm ini, yolk sac dan alantois tetap berada di luar mudigah.Dibagian sefalik dan kaudal mudigah, usus primitif membentuk sebuah saluran buntu, masing-masing adalah usus depan (foregut) dan usus belakang (hind gut). Bagian tengah, usus tengah (mid gut), untuk sementara tetap berhubungan dengan yolk sac melalui duktus vitelinus atau yolk stalk. Usus depan terletak kaudal dari tabung faring dan berjalan ke kaudal sejauh tunas hati. Usus tengah dimulai dari sebelah kaudal tunas hati dan meluas ke pertemuan dua pertiga kanan dan sepertiga kiri kolon transversum pada orang dewasa. Usus belakang berjalan dari sepertiga kiri kolon transversum hingga ke membrana kloakalis.Usus belakang menghasilkan sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens, kolon sigmoideum, rektum, dan bagian atas kanalis analis. Bagian terminal usus belakang masuk ke dalam daerah posterior kloaka, kanalis anorektalis primitif; alantois masuk ke dalam bagian anterior, sinus urogenitalis primitif. Kloaka itu sendiri adalah suatu rongga yang dilapisi oleh endoderm dan dibungkus di batas ventralnya oleh ektoderm permukaan. Batas antara endoderm dan ektoderm ini membentuk membrana kloakalis. Suatu lapisan mesoderm, septum urorektale, memisahkan regio antara alantois dan usus belakang. Septum ini berasal dari penyatuan mesoderm yang menutupi yolk sac dan alantois di sekitarnya. Seiring dengan pertumbuhan mudigah dan berlanjutnya lipatan di kaudal, ujung seprum urorektale akhirnya berada dekat dengan membrana kloakalis, meskipun kedua struktur tidak pernah berkontak.Pada akhir miniggu ketujuh, membrana kloakalis pecah, menciptakan lubang anus untuk usus belakang dan lubang ventral untuk sinus urogenitalis. Di antara keduanya, ujung septum urorektale membentuk badan perineal. Pada saat ini, proliferasi ektoderm menutup bagian paling kaudal kanalis analis. Selama minggu ke sembilan, regio ini mengalami rekanalisasi. Karena itu, bagian kaudal kanalis analis berasal dari ektoderm dan diperdarahi oleh arteri rektalis inferior, cabang dari arteri pudenda interna. Bagian kranial kanalis analis berasal dari endoderm dan diperdarahi oleh arteri rektalis superior, suatu lanjutan dari arteri mesenterika inferior. Taut antara regio endoderm dan ektoderm kanalis analis ditandai oleh linea pektinata, tepat di bawah kolumna analis. Di garis ini, epitel berubah dari epitel silindris menjadi epitel gepeng berlapis.

II.3HISTOLOGI REKTUM

Histologi potongan melintang melalui rektum bagian atas tampak serupa dengan kolon, lapisan dindingnya sama, termasuk unsur-unsur dalam lapisan. Kecuali lapisan otot longitudinal yang mengelilingi lumen.Epitel permukaan lumen dilapisi sel-sel silindris dengan mikrovili dan sel goblet. Kelenjar intestinal, sel lemak dan limfonoduli di lapisan lamina propria serupa dengan yang ada di kolon, namun kelenjar-kelenjarnya lebih panjang, lebih rapat, dan terutama terdiri atas sel goblet. Di bawah lamina propria terdapat mukosa muskularis otot polos.Lapisan memanjang pada rektum bagian atas dan kolon bersifat sementara. Lapisan ini berpusatkan submukosa dan ditutupi mukosa. Lapisan transversal permanen rektum, jika terlihat pada sediaan mengandung serat otot polos lapisan sirkular dalam muskularis eksterna. Lipatan memanjang permanen terdapat pada rektum bagian bawah.yaitu saluran atau liang anus.Dianataa kedua lapisan otot terdapat ganglia parasimpatis pleksus mesenterikus Auerbach. Adventisia menutupi bagian rektum dan serosa menutupi sisanya. Banyak pembuluh darah terlihat di submukosa dan adventisia. Gambar. Rektum Dalam Potongan Melintang

II.4FISIOLOGI REKTUM

Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena feses disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan feses masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar. Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, seringkali material akan dikembalikan ke usus besar dimana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.Sewaktu gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rektum, terjadi peregangan rektum yang kemudian merangsang reseptor regang di dinding rektum dan memicu refleks defekasi. Refleks ini disebabkan oleh sfingter anus internus (yang terdiri dari otot polos) untuk melemas dan rektum serta kolon sigmoid untuk berkontraksi lebih kuat. Apabila sfingter anus eksternus (yang terdiri dari otot rangka) juga melemas, terjadi defekasi. Karena otot rangka, sfingter anus eksternus berada di bawah kontrol kesadaran. Peregangan awal dinding rektum menimbulkan perasaan ingin buang air besar. Jika keadaan tidak memungkinkan defekasi, defekasi dapat dicegah dengan penguatan kontraksi sfingter anus eksternus secara sengaja walaupun terjadi refleks defekasi. Apabila defekasi ditunda, dinding rektum yang semula teregang akan perlahan-lahan melemas dan keinginan untuk buang air besar mereda sampai gerakan massa berikutnya mendorong lebih banyak feses ke dalam rektum, yang kembali meregangkan rektum dan memicu refleks defekasi. Selama periode non aktif, kedua sfingter anus tetap berkontraksi untuk menghasilkan tidak terjadinya pengeluaran feses.Apabila terjadi, defekasi biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunter yang melibatkan kontraksi simultan otot-otot abdomen dan ekspirasi paksa dengan glotis dalam posisi tertutup. Manuver ini menyebabkan peningkatan tekanan intra-abdomen yang membantu pengeluaran feses.

II.5 ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO KANKER REKTUM

1. Polip Konsep tentang kanker kolorektal merupakan perkembangan dari polip pertama kali dideskripsikan oleh Duke pada tahun 1926. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, formasi adenoma, perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna dan invasif kanker. Waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan polip menjadi kanker itu sekitar 5-10 tahun. Kebanyakan adenoma tetap jinak, namun, jenis histologis, ukuran polip, dan bukti adanya displasia berhubungan dengan transformasi menjadi kanker. Data dari National Polyp Study dan St. Marks Hospital menunjukkan hampir 75-85% adenoma adalah adenoma tubular; 8-15% tubulovillous; dan 5-10% adalah villous. Adenoma tubular biasanya membentuk tangkai sedangakan adenoma villous mempunyai dasar yang luas. Hanya 1% polip yang diameternya kurang dari 1 cm menunjukan transformasi menjadi ganas, sedangkan 50% polip yang diameternya lebih dari 2 cm melindungi daerah dari karsinoma.

2. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease2.1 Ulseratif KolitisUlseratif kronis merupakan faktor resiko yang jelas untuk kanker kolorektal sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Resiko perkembangan kanker pada pasien berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ilseratif kolitis. Resiko kumulatif sebesar 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan resiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kronis dengan menggunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat esensial untuk semua pasien yang didiagnosis dengan displasia yang berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada pergumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi anatomi.2.2 Crohns DiseasePasien yang menderita Crohns Disease mempunyai resiko tinggi untuk menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kronis. Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada Crohns Disease sekitar 20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty dimana biopsi dari dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien dengan Crohns Disease

3. Faktor Genetik3.1 Riwayat KeluargaSekitar 15 % dari seluruh kanker rektum muncul pada pasien dengan riwayat kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada keluarganya.

3.2 Herediter Kanker KolorektalAbnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosis dari sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada dari seluruh kanker kolon dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma yang besar. Dua sindrom yang utama dari sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu Familial Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer (HNPCC).

3.3 FAP (Familial Adenomatous Polyposis)Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC yang berlokasi pada kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring kepada kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada usia 40 sampai 50 tahun. Pada FAP yang telah berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak untuk dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat dan ketika hal itu terjadi, direkomendasikan untuk melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan endoskopi pada bagian yang tersisa. Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda kecuali terdapat terlalu banyak polip yang dapat ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan elektif harus sedapat mungkin dihindari ketika memungkinkan. Screening untuk polip harus dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP yang diberi 400 mg celecoxib, dua kali sehari selama enam bulan mengurangi rata-rata jumlah polip sebesar 28%. Tumor lain yang mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma papillary thyroid, sarcoma, hepatoblastomas, kanker pankreas, dan medulloblastoma otak. Varian dari FAP termasuk Gardners Syndrome dan Turcots Syndrome.

3.4 HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer)Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynchs sindrom I dan II. Dua generasi multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada usia yang muda ( 45 tahun), dengan predominan lokasi kanker. Abnormalitas genetik ini terdapat pada mekanisme mismatch repair yang bertanggung jawab pada defek eksisi dari abnormal repeating sequences dari DNA yang dikenal sebagai mikrosatelit (mikrosatelite instability). Retensi dari squences ini mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator yang dikarakteristikan oleh frekuensi DNA dan replikasi error (RER + Phenotype) dimana predisposisi tersebut menyebabkan seseorang memiliki multitude dari malignasi primer. Pasien dengan HNPCC mungkin juga memiliki adenomasebaceous, dan carsinoma sebaceous) dan multipel keratocanthoma, termasuk kanker dari endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung, dan traktus biliaris. Jika dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal, tumor pada HNPCC seringkali poorly differentiated dengan gambaran mukosa dan signet-cell, reaksi yang mirip dengan Crohns Disease (nodul limfoid, germinal centers, yang berlokasi pada perifer infiltrasi kanker koloraktal), kehadiran infiltrasi limfosit diantara tumor. Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada HNPCC, pada keadaan ini adenoma kolon yang berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3 tahun, bila dibandingkan dengan proses pada rata-rata kanker kolorektal yang membutuhkan waktu 8-10 tahun.Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker kolorektal pada usia yang sangat muda dan sreening harus dimulai pada usia 20 tahun atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang pertama kali terdiagnosis kanker kolorektal yang berhubungan dengan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang didiagnosis menderita kanker kolorektal yang berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang didiagnosis menderita kanker kolorektal pada usia 44 tahun, dibandingkan dengan pasien kontrol yang menderita kanker kolorektal pada usia 68 tahun. Prognosis dari pasien HNPCC terlihat lebih baik daripada pasien dengan sporadik kanker kolon. Dari penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan HNPCC kurang mendapat manfaat dari adjuvant kemoterapi berdasarkan kombinasi fluorourasil dari pada pasien tanpa kelainan ini.

4. DietMasyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging, dan diet rendah serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah mengkonsumsi diet yang berenergi tinggi yang mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis keduanya adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan tersebut, dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari bukti teraktifitasnya enzim COX2 dan stress oksidatif dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya adenomadan aberrant crypt foci. Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kolorektal.

5. Gaya HidupPria dan perempuan yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai resiko tiga kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan resiko dua setengah kali untuk 7000 kematian karena kolorektal di Amerika dihubungkan dengan pemakaian rokok. Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal. Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktivitas, obesitas, dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan, pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara obesitas dan aktivitas fisik menunjukkan penekanan pada aktivitas prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan resiko kanker kolorektal. The Nurse Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara aktivitas fisik dengan terjadinya adenoma yang dapat diartikan penurunan aktivitas fisik akan meningkatkan resiko terjadinya adenoma.6. UsiaProporsi dari semua kanker pada usia lanjut (65 tahun) laki-laki dan perempuan adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria usia lanjut hampir 7 kali (2158 pe 100.000 orang per tahun) dan pada perempuan berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 tahun). Resiko dari kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan usia, terutama pada laki-laki berusia 50 tahun atau lebih dan hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun. Lima puluh lima persen kanker terdapat pada usia 65 tahun, angka insiden 19 per 100.000 populasi yang berumur kurang dari 65 tahun dan 337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun.

Kriteria tingkat risiko pada individu dengan riwayat keluarga penderita kanker kolon dan rektum (Kriteria Amsterdam):Tingkat RisikoKriteria

TinggiPaling sedikit 3 anggota keluarga menderita kanker kolon rektum atau paling sedikit 2 generasi. Satu dari anggota keluarga telah menderita dibawah usia 50 tahun salah satu anggota yang didiagnosis adalah silsilah pertama dari keluargaDitemukannya pembawa (carier) gen HNPCCAnggota keluarga yang tidak diuji

Sedang Seorang anggota keluarga silsilah pertama menderita kanker kolon rektal pada usia