Kasus Nike Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kasus perbudakan nike di indonesianike slavery

Citation preview

MAKALAH

Perjuangan Hak Buruh Nike Inc. di Indonesia

Oleh :Alfian Dwi Kurniawan105030300111012

PROGRAM STUDI BISNIS INTERNASIONALFAKULTAS ILMU ADMINISTRASIUNIVERSITAS BRAWIJAYA2012KASUS NIKE INDONESIA

Penyiksaan dan perlakuan tidak sewajarnya dialami sebagian besar buruh kontrak yang bekerja di sembilan pabrik subkontraktor sepatu terkenal Nike di Indonesia. Sejumlah 30 persen pekerja mengaku pernah menyaksikan atau mengalami pelecehan atau penyiksaan, baik secara verbal maupun fisik, termasuk pelecehan seksual.

Para buruh umumnya juga tidak mendapatkan akses ke pelayanan kesehatan yang memadai dan sering dipaksa untuk lembur. Bahkan, dalam beberapa kasus, buruh harus pingsan dulu sebelum diizinkan oleh penyelia atau manajer mereka untuk dibawa ke klinik. Demikian terungkap dari laporan setebal 104 halaman mengenai situasi kerja di kesembilan pabrik, yang dilakukan oleh organisasi nirlaba, Global Alliance for Workers and Communities, yang berbasis di Baltimore, Maryland, AS, dan dipublikasikan. Laporan itu sendiri disusun berdasarkan hasil wawancara dengan 4.450 dari sekitar 115.000 buruh yang kini bekerja di sembilan pabrik Nike di Indonesia. Global Alliance yang dibentuk tahun 1999 merupakan konsorsium yang terdiri dari organisasi publik, swasta, dan nirlaba, termasuk Nike dan Bank Dunia, dan dirancang untuk meningkatkan kesempatan bagi para pekerja pabrik. Studi komprehensif terhadap situasi kerja di sembilan pabrik di Indonesia itu dibiayai oleh Nike. Sejumlah 30 persen buruh mengaku pernah mengalami perlakuan menyimpang secara verbal. Sejumlah delapan persen melaporkan pernah menerima lontaran komentar yang bernada seksual atau pelecehan seksual secara verbal yang tidak mereka sukai. Hampir 2,5 persen buruh bahkan mengaku pernah mengalami pelecehan seksual secara fisik, dalam bentuk sentuhan. Sejumlah buruh juga mengaku pernah memperoleh tawaran hubungan seks dengan iming-iming akan dipekerjakan di dua pabrik oleh penyelia atau manajer mereka. Selain itu, antara satu hingga 14 persen buruh di sembilan pabrik melaporkan pernah mengalami siksaan fisik dari penyelia (line supervisor) atau manajer pabrik. Menurut Pimpinan Dewan Operasi Global Alliance Rick Little, 85 persen pekerja Nike di Indonesia adalah perempuan muda dengan usia rata-rata 23 tahun. Sekitar 40 persen pekerja tersebut berstatus menikah dan hampir separuhnya telah menyelesaikan sekolah lanjutan atas.

Keluhan Upah

Dari penelitian ini juga diketahui bahwa 45 persen dari pekerja tidak puas terhadap fasilitas kesehatan yang tersedia di pabrik. Banyak dari mereka mengaku sulit memperoleh cuti sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan. Sejumlah 96 persen buruh mengaku, meskipun upah mereka di atas tingkat upah minimum regional (UMR), upah tersebut tetap saja tidak bisa menutup biaya hidup mereka yang terus meningkat. Para buruh ini umumnya menginginkan perbaikan upah dan makanan.

Sebuah LSM di AS, Education for Justice mengklaim, pabrik sepatu di Sukabumi yang memproduksi untuk Nike, menyewa pejabat militer berpangkat tinggi untuk mengintimidasi buruh agar mau dibayar di bawah upah minimum.

Ini bukanlah pertama kalinya kontraktor Nike di Indonesia disorot, terkait kesejahteraan buruh. Sebuah pabrik sepatu Nike di Serang, dilaporkanGuardian, tak membayar upah buruh selama 600 ribu jam kerja selama lebih dari dua tahun.

Pabrik tersebut membayar sebesar US$1 juta untuk uang lembur yang tak dibayarkan, setelah mendapat banyak tekanan. Associated Press melaporkan perlakuan buruk juga menimpa buruh pabrik sepatu Converse, juga produk Nike, di Indonesia.

Para buruh menyatakan para pengawas pabrik menampar mereka atau melempar sepatu. Selain menjuluki mereka dengan panggilan seperti anjing atau babi.

Di Indonesia cerita tentang pengeksploitasian Nike terhadap para buruh sudah bukan hal baru lagi. Berdemonya para buruh pabrik PT Hardaya Aneka Shoes Industry (HASI) dan PT Nagasakti Paramashoes Industry (Nasa) yang berjumlah sekitar 14.000 orang pada pertengahan Juli kemarin merupakan kasus yang kesekian kalinya dalam sejarah investasi Nike di Indonesia. Para Buruh yang turun untuk berdemo di kantor Nike Indonesia itu memprotes pemutusan hubungan kerjasama Nike dengan kedua pabrik tersebut. Pemutusan kontrak tersebut akan mengakibatkan 14.000 buruh kedua pabrik tersebut menganggur. Karena sudah sejak beberapa bulan yang lalu Nike mulai mengurangi pesanannya, dengan alasan mutu yang kurang baik dan ketidaktepatan waktu pengiriman.Hal yang jarang kita ketahui tentang merek sepatu yang tergolong mahal ini adalah bagaimana nasib buruh pabrik yang seharinya bisa mengerjakan sepatu dalam jumlah banyak. Gaji sebulan dari buruh pabrik HASI (tidak termasuk lembur) yang sudah bekerja selama 10 tahun sebesar Rp 900.000,- atau sama dengan $97,8 (dengan kurs Rp 9.200/ $1) yang berarti mereka hanya mendapatkan RP 30.000,-/harinya atau setara dengan $ 3,3. Dengan pendapatan harian sebesar $3,3 terebut mereka bisa membuat sejumlah sepatu Nike yang dijual oleh pabrik ke Nike di kisaran $11-$20. Sedangkan untuk satu pasang sepatu Nike bisa dibanderol seharga $60 (Rp 552.000,-). Berdasarkan gambaran tersebut, Nike sudah dipastikan tidak mengahargai buruh dengan sepantasnya. Mengingat dengan gaji Rp 900.000,-/bulan bagi buruh pabrik yang tinggal di Tangerang adalah jauh dari cukup karena harga kebutuhan maupun ongkos transportasi semakin meningkat.

Ancaman PHK

Para buruh kembali dikejutkan dengan adanya ancaman PHK. Perusahaan sepatu Nike memutuskan kontrak dengan dua dari tujuh perusahaan sepatu Indonesia yaitu PT Hardaya Aneka Shoes Industry (Hasi) dan PT. Nagasakti Paramashoes Industri (Nasa). Kabarnya, pemutusan kontrak antara perusahaan Amerika dengan kedua perusahaan yang masing-masing berlokasi di di daerah Tangerang dan Pasir Jaya ini karena kinerja kedua perusahaan itu tidak memuaskan. Kualitas sepatu merek Nike oleh perusahaan milik Hartati Murdaya ini dinilai tidak memenuhi standar mutu. Juga karena tidak mampu mengirim produk sesuai jadwal.

Padahal, kedua perusahaan yang bernaung di bawah bendera Grup Central Cipta Murdaya telah lebih dari 18 tahun memegang lisensi pembuatan sepatu Nike di Indonesia dengan rata rata ekspor sepatu Nike senilai U$D 100 juta per bulan. Dengan demikian, nilai ekspor sebesar itu telah membuatnya sebagai pemasok ketiga terbesar di dunia. Sebaliknya, pemilik kedua perusahaan, Hartati Murdaya, menolak tudingan tersebut karena perusahaannya telah berproduksi sesuai standar. Ia justeru menuding Nike mencari-cari alasan.

Menurut Hartati, kapasitas produksi Hasi dan Nasa sekitar sejuta pasang setahun. Tetapi sejak beberapa tahun terakhir, Nike hanya memberi order sekitar 300 ribu pasang. Dan tiba-tiba sekarang diputus. Kami minta Nike jangan sewenang-wenang. Kalau hanya rugi, itu risiko kami sebagai investor. Tapi ini adalah kebijakan yang tidak etis dalam berbisnis," katanya.Di lain pihak, penghentian order sepatu oleh Nike ini tentunya akan berdampak pada lahirnya sekitar 14 ribu pengangguran baru. Akibatnya, mereka secara serentak mendatangi kantor Nike di gedung Bursa Efek Jakarta untuk melakukan demonstrasi. Mereka menuntut agar Nike tetap membuat sepatu di dua pabrik tempat mereka bekerja.

Nike diminta bertanggung jawab atas nasib karyawan dengan memberi mereka pesangon. Jika tidak, Hartati meminta penghentian order ditinjau kembali atau bisa dilakukan secara bertahap sehingga pihaknya bisa menyiapkan jalan keluar bagi karyawan. Hartati juga mendesak pemerintah memahami kondisi riil. Pemerintah berkepentingan melindungi investor. Tapi harus diingat, Nike itu bukan investor tapi hanya pembeli. Investornya adalah yang membangun pabrik itu, bukan Nike. Jadi nasib pabrik-pabrik itu yang harus diperhatikan.

Terkait masalah itu, melalui menteri Perindustrian, Fahmi Idris, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta agar kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan buruh PT Nasa dan PT Hasi segera diselesaikan dengan mencari jalan keluar yang terbaik. Untuk itu pihaknya telah mengumpulkan sejumlah pihak terkait kasus ini untuk mencari informasi yang benar dan lengkap mengenai kasus ini, dengan mengundang Menteri Perdagangan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) serta pemilik PT Nasa dan PT Hasi, Hartati Murdaya.

Hartati menyatakan selama 18 tahun bekerja sama dengan Nike, pihaknya hanya mengalami keuntungan di lima tahun pertama bahkan harus melakukan subsidi silang dengan perusahaan yang lain. Hartati menyatakan telah menggelontorkan dana sampai US$ 82 juta untuk menutupi kerugian tersebut. Hal itu disebabkan sepatu Nike produksi Hasi dan Nasa hanya dihargai US$ 11-12 per pasang (bukan US$ 11.000 seperti dalam Perjanjian).

Meskipun demikian, Hartati menawarkan solusi kepada Nike Inc untuk mengatasi hal ini. Kalau mau berhenti boleh. Tapi untuk Hasi saya minta waktu 18 bulan. Saya sudah menyediakan lapangan pekerjaan di perusahaan saya yang bergerak di bidang pertanian untuk sebagian karyawan. Untuk Nasa saya minta 40 bulan, setelah itu saya bisa tutup pabrik, ujarnya. Kalau permintaan tersebut tidak dipenuhi, Hartati mengancam akan menutup semua gerai Nike yang berada di bawah grup perusahaannya.

SOLUSI

Peran Pemerintah

Pihak pemerintah mengusulkan adanya beberapa alternatif untuk menanggulangi persoalan buruh. Menteri Perindustrian, Fahmi Idris menyebutkan pemerintah akan meminta Nike untuk berada di Indonesia dan tetap melanjutkan pemesanan produk sepatu di luar PT Hasi dan PT Nasa. Atau pemerintah meminta agar Nike memberikan perpanjangan waktu untuk penghentian pesanan di PT Hasi dan PT Nasa.

Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan, baik Nike maupun PT Hardaya Aneka Shoes Industry dan PT Naga Sakti Parama Shoes Industry sama-sama merasa sebagai pihak yang benar. Untuk itu, kata Fahmi, pemerintah saat ini masih terus memetakan permasalahan antara Nike dan dua perusahaan milik Hartati Murdaya itu.

Pemerintah saat ini sudah memiliki beberapa alternatif untuk menyelesaikan soal buruh Nike yang terancam pemutusan hubungan kerja. Namun masih perlu mengumpulkan informasi secara lengkap dari kedua belah pihak. Pemerintah berharap dapat segera memutuskan masalah ini paling lambat pekan depan.

Sementara itu, buruh PT HASI serta PT NPI menuntut kompensasi jika Nike betul-betul menghentikan pesanan. Mereka juga akan menuntut Hartati Murdaya agar tetap membayar pesangon sebab itu merupakan hak buruh.

Peran Serikat Buruh

Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia PT NASA Sunardi mengatakan, selama hampir 20 tahun memproduksi sepatu Nike mereka selalu membuat sepatu berdasarkan standar baku nike. Manajemen juga selalu mematuhi berbagai peraturan yang diterapkan Nike Incorporated. Karena itu, alasan Nike yang menyatakan produk sepatu yang mereka buat di bawah standar adalah mengada-ada.

Nike memberi waktu sembilan bulan kepada HASI dan NASA mengerjakan order. Bulan ini, NASA masih mengerjakan 654 ribu pasang sepatu. Untuk Agustus turun menjadi 213 ribu pasang sepatu, jauh di bawah kapasitas NASA yang sanggup memproduksi 500 ribu pasang sepatu per bulan. Untuk September, belum diketahui berapa pesanannya. Produksi sepatu Nike terakhir Desember dan eskpor sepatu Nike pada Maret 2008.

Dua hari silam, Hartati Murdaya memberi penjelasan kepada Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Soeparno. Ia meminta Nike memperpanjang pesanan hingga 30 bulan agar tidak terjadi PHK terhadap 14 ribu buruh

Peran Asosiasi Persepatuan

Pada dasarnya, pemerintah melihat persoalan itu hanya kasus bisnis antara kedua belah pihak. Untuk itu, kepedulian pemerintah lebih besar karena melihat dampaknya terhadap para buruh. Hartati pun menilainya sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap Nike.

Tidak hanya pemerintah yang beranggapan demikian. Wakil Sekjen Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Binsar Marpaung membenarkan kalau kasus penghentian pemesanan Nike adalah murni bisnis. Di sisi lain, ia ia mengakui kalau kasus tersebut akan berdampak pada citra industri nasional.

Meskipun demikian, Binsar meminta agar perusahaan tidak mencampuradukkan masalah bisnis dan citra industri sepatu nasional. Indonesia harus mempertahankan nilai ekspor sepatu nasional yang terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan di atas 10%. Dikatakan, pada tahun 2006, nilai ekspor sepatu nasional mencapai US$1,61 miliar atau meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, yakni US$1,42 miliar.

Ketua Umum Aprisindo, Edy Wijanarko, menambahkan, kasus tersebut sangat berpotensi mengganggu stabilitas keamanan dan perekonomian nasional. Aprisindo menyarankan kepada kedua belah pihak agar lebih mendahulukan kepentingan nasional dalam arti luas. Kedua belah pihak bisa saling bertemu dan merundingkan permasalahan bisnis tersebut, sehingga tidak mengganggu industri persepatuan Indonesia. Perundingan diharapkan dapat berjalan terus-menerus sampai ada kesepakatan kedua belah pihak. Aprisindo menyarankan kepada pihak Nike Inc untuk membuka perundingan kembali dan memberikan kelonggaran waktu kepada PT Hasi dan PT Nasa. Sementara itu, pihak PT Hasi dan PT Nasa diharapkan dapat mempersiapkan diri dengan baik sehingga dapat memanfaatkan kelonggaran waktu yang diberikan.

Peran Asosiasi Pengusaha

Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Djimanto menganggap kasus tersebut sebagai kasus yang biasa. Bagi saya, pemutusan kontrak itu adalah hal yang biasa. Kalau ada pemutusan, ya cari order lain, jawabnya sederhana.

Lebih jauh, ia belum bisa membaca latar belakang pemutusan kontrak tersebut karena itu adalah rahasia perusahaan mereka. Tetapi yang jelas,kasus itu adalah terkait hubungan antara kedua belah pihak merupakan urusan bisnis mereka.

Djimanto menyebutkan, meskipun terjadi pemutusan kontrak dengan PT Hasi dan Nasa, namun di Indonesia masih ada lima perusahaan yang masih. Bahkan ada satu perusahaan lagi yang akan menerima order.

Keputusan Akhir

PT Nikomas Gemilang, yang menaungi Nike Indonesia, akhirnya memberikan uang ganti rugi sebesar USD 2 juta untuk para buruh yang dipaksa untuk bekerja lembur.

Disebutkan, sebanyak 4.437 pekerja pabrik akan menerima kompensasi atas kerja lembur mereka selama 2 tahun. Keputusan antara Serikat Pekerja Nasional dan manajemen pabrik itu termasuk (memperhitungkan) 593.468 jam lembur pekerja Nike selama 2 tahun.

Kasus pelanggaran hak buruh oleh PT Nikomas Gemilang, seperti dijelaskan, sebenarnya sudah berlangsung selama 18 tahun. Namun, menurut Keady, isu ini kembali dibuka pada Februari 2011 lalu. Kasus ini dinilai tidak hanya melanggar ketentuan hukum di Indonesia mengenai upah minimum dan lembur, tetapi juga Kode Etik Nike.

Dijelaskan lagi, para pekerja akan menerima kompensasi dalam dua tahap, yaitu 20 Januari dan 5 Februari.

Sementara itu, Bambang Wirahyoso, Ketua Umum SPN, mengaku percaya bahwa kemenangan signifikan ini bisa menularkan semangat kepada gerakan tenaga kerja Indonesia.

Para buruh PT Nikomas Gemilang akan mendapat upah untuk kerja lembur selama dua tahun.

Selama 18 tahun, para buruh dipaksa bekerja satu jam ekstra setiap hari enam hari seminggu tanpa dibayar. Penyelidikan selanjutnya menemukan fakta mencengangkan bahwa 4.437 buruh bekerja lembur selama 600.000 jam tanpa dibayar. Tidak hanya itu, mereka juga mendapat pelecehan baik fisik maupun verbal.

Kemenangan ini sangat monumental karena kini sudah ada contoh kasus yang berhasil. Sayangnya, undang-undang Indonesia hanya mengizinkan perusahaan membayar kompensasi upah selama dua tahun terakhir, meski pun para buruh dicurangi selama 18 tahun.

Sementara itu Nike dalam pernyataan resmi berjanji akan memperbaiki kondisi buruh di pabrik mereka di Indonesia, antara lain dalam bentuk pelatihan untuk manajemen dan karyawan serta pemantauan rutin melibatkan pihak ketiga yang dapat memberikan evaluasi independen terhadap situasi di pabrik.

Seperti diketahui, Nike merupakan perusahaan sepatu, pakaian, dan alat-alat olahraga asal AS yang telah memiliki lebih dari 700 toko di seluruh dunia. Nike memiliki beberapa pabrik di Asia Tenggara, termasuk di China, Taiwan, India, Thailand, Malaysia dan Indonesia.

PT Nikomas sebagai salah satu pabrik Nike Indonesia, selama ini telah mengalami beberapa tuduhan. Antara lain mengenai adanya praktik kerja lembur paksa, upah yang tidak sesuai, serta tindakan pengawas yang melecehkan buruh secara verbal.

Kepala Badan Penanaman Modal (BKPM) M Lutfi menyatakan pemerintah akan menjembatani pertemuan antara Nike Indonesia dengan Centra Cipta Murdaya (CCM) untuk mencari solusi penyelesaian permasalahan yang terjadi.

Lutfi juga mengatakan bahwa pemerintah tidak ingin kedua belah pihak saling mengeluarkan pernyataan yang justru kontraproduktif bagi karyawan Hasi dan Nasa.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, juga mengatakan pemerintah akan mengadakan pertemuan dengan Nike Indonesia. Pertemuan tersebut akan dihadiri Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan Kepala BKPM, Muhammad Lutfi.

Ketua Umum Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Rekson Silaban mengatakan, kedua belah pihak, baik Nike maupun CCM harus berintrospeksi dalam mengahadapi masalah ini.

Hasi dan Nasa harus memperbaiki kualitas kerja dan produk mereka agar memenuhi standar yang ditetapkan Nike. Nike pun harus memenuhi standar yang telah ditetapkan OECD (Organization for Economic Cooperations and Development-organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan).

Rekson juga menyatakan selama ini Nike terkenal sebagai perusahaan yang sangat serakah dan tidak memperhatikan kesejahteraan buruh-buruhnya. Meskipun demikian, Rekson menyarankan buruh-buruh Hasi dan Nasa untuk bernegosiasi dengan pihak Nike demi mendapatkan penyelesaian yang sama-sama diuntungkan (win-win solution). Karena, apabila perusahaan tersebut sampai ditutup, maka buruh sendirilah yang akan rugi, karena seperti dikabarkan bahwa Pemilik PT Hardaya Aneka Shoes Industry (Hasi) dan PT Naga Sakti Parama Shoes Industry (Nasa), Hartati Murdaya yang juga owner CCM Group (grup Centra Cipta Murdaya) mengaku tidak sanggup membayar pesangon 14.000 karyawannya apabila dua pabrik sepatu tersebut jadi ditutup.

LANDASAN TEORI

Puluhan ribu buruh perusahaan sepatu Nike di Indonesia hanya mendapat 2,46 dollar AS per hari (sebelum krisis moneter) dari sekitar 90-100 dollar harga sepasang sepatu Nike. Padahal dalam sehari, mereka bisa menghasilkan sekitar 100 sepatu. Sementara itu, Michael Jordan meraup 20 juta dollar AS per tahun dari iklan Nike. Sementara bos Nike, Philip H. Knight, memperoleh gaji 864.583 dollar dan bonus 787.500 dollar. Tetapi, di belakang mereka ratusan ribu buruh Nike di seluruh dunia tetap kelaparan.

Sepatu Nike telah menjadi gaya hidup bagi kebanyakan orang di dunia. Tidak hanya di Indonesia sebagai produsen terbesar, tidak juga di Amerika Serikat (AS) sebagai pemilik asli perusahaan Nike Inc. Sepasang sepatu Nike bisa berharga lebih dari 100 dollar AS. Dengan posisi ini, Nike jelas mampu mengeruk uang dalam jumlah yang sangat besar. Bahkan Nike mampu membayar Michael Jordan sebesar 20 juta dollar per tahun untuk membantu menciptakan citra Nike. Demikian pula Andre Agassi yang bisa memperoleh 100 juta dollar untuk kontrak iklan selama 10 tahun. Sementara itu bos dan dedengkot Nike Inc, Philip H. Knight, mengantongi gaji dan bonus sebesar 864.583 dollar dan 787.500 dollar pada tahun 1995. Jumlah ini belum termasuk stok Nike sebesar 4,5 biliun dollar.

Namun ternyata nasib bagus mereka tidak diikuti oleh sebagian besar mereka yang bekerja untuk Nike. Seperti digambarkan oleh Bob Herbert di The New York Times. Orang-orang semacam mereka menempati papan teratas dalam bagan yang berbentuk piramida. Sebagian kecil orang-orang Nike menempati posisi empuk dan menjadi kaya raya. Ini merupakan kebalikan dari orang-orang di bawah, yang harus bekerja membanting tulang untuk memproduksi Nike dan terus menghidupi orang semacam Knight, Agassi ataupun Michael Jordan. Kekayaan yang mereka peroleh ternyata didapat dengan menindas sekian banyak buruh di berbagai negara tempat operasi produk Nike, termasuk Indonesia. Merekalah yang menempati posisi mayoritas di papan paling bawah.

Dari harga sepatu sekitar 100 dollar AS tersebut, hanya sekitar 2,46 dollar per hari yang disisihkan untuk buruh di Indonesia. Itupun dihitung sebelum ada krisis moneter. Sementara buruh di Vietnam hanya menerima 1 dollar. Kondisi inilah yang membuat masyarakat AS tidak bangga, bahkan tidak simpati terhadap Nike. Masyarakat AS pun berduyun-duyun menggelar aksi protes. Bahkan sekarang telah muncul gerakan anti-Nike. Aksi protes dan gerakan anti-Nike ini tersebar di beberapa negara bagian AS, bahkan di beberapa bagian di belahan dunia. Di Oregon, tempat kantor pusat Nike Inc, masyarakat tampak tak jenuh-jenuhnya menyatroni Nike Town di jantung kota Portland dan kantor pusat Nike di Beaverton, tak jauh dari Portland. Kota Portland yang selalu tampak adem ayem ini bisa hiruk-pikuk dengan aksi mereka. Portland adalah kota terbesar di negara bagian Oregon, meskipun bukan ibukotanya.

Bagi sebagian besar warga Portland, mereka sudah biasa mendengar berbagai tuduhan terhadap kontraktor Nike di luar negeri ( di luar AS). Mereka dianggap tidak membayar upah buruh dengan layak. Mereka juga dituduh memaksa buruh untuk kerja lembur, mempekerjakan anak-anak, dan sering dengan seenaknya menjatuhkan hukuman ke buruh, meski hanya karena kesalahan kecil. Tetapi tuduhan-tuduhan yang sering dilontarkan lewat surat ke Nike ataupun saat demonstrasi telah berkembang tidak hanya berhenti sampai di aksi protes. Namun telah berkembang menjadi sebuah gerakan anti-Nike dengan seruan boikot terhadap produk Nike.

Citra Iklan

Mungkin sebenarnya Nike tidak sendirian. Banyak perusahaan multinasional lain yang melakukan tindakan sama dengan dengan Nike. Mereka tidak banyak berbicara ketika harus berbicara mengenai buruh. Tetapi mereka akan berbicara lantang kalau kepentingan bisnis mereka terganggu. Namun serangan Nike tampak lebih gencar dibanding perusahaan lain.

Nike bersikap sok suci. Dalam iklan-iklannya, Nike mencitrakan diri lebih suci dibanding lainnya. Dalam iklan-iklannya Nike selalu menggambarkan kepedulian sosialnya. Dalam salah satu iklannya, If You Let Me Play, muncul seorang gadis kecil yang mempromosikan feminisme. Gadis tersebut menyebutkan bahwa Tiger Woods juga mempromosikan hak-hak asasi manusia. Tiger Woods adalah pemain golf dari AS keturunan Afro-Amerika yang baru melambung namanya di percaturan golf internasional. Dalam iklan tersebut Nike juga menyebutkan masih adanya diskriminasi terhadap warga kulit hitam dalam dunia golf. Dalam iklan yang lain, Nike berkhotbah tentang perdamaian dan menentang aksi kekerasan.

Kondisi Buruh Nike di Indonesia

Menurut Portland Jobs with Justice, lebih dari sepertiga produk Nike dihasilkan di Indonesia. Buruh hanya mendapat 2,25 dollar AS dan naik menjadi 2,46 dollar pada April 1997 per hari untuk membuat sekitar 100 sepatu. Dengan upah tersebut, buruh tidak mampu membeli makanan dan mencari tempat berlindung yang cukup. Dalam release yang dikeluarkan Portland Jobs with Justice dikatakan bahwa kalau Anda menjadi buruh Nike di Indonesia berarti Anda dan sekitar 88 persen buruh lainnya mengalami kekurangan makanan yang sehat. Juga berarti harus tinggal di gubug tanpa fasilitas air yang memadai. Buruh harus bekerja 18 jam per hari. Kalau mengeluh, buruh dipecat. Kalau mencoba untuk membentuk organisasi atau bergabung dengan serikat buruh di luar SPSI, maka buruh harus siap dipecat. PJJ menggambarkan bahwa buruh Nike di Indonesia sama sekali tidak punya masa depan.

Apakah pihak Nike diam saja dengan semua serangan tersebut ? Nike mencoba menjelaskan kebijakan mereka. Namun tampaknya, apa yang diomongkan dengan apa yang dilakukan tidak sejalan. Setidaknya ini seperti yang dinilai oleh Bill Resnick dari Portland Jobs with Justice. Nike mengklaim bahwa Nike telah melakukan investasi ke negara-negara sedang berkembang. Pembangunan ekonomi dengan mesin investasi asing seperti Nike ini akan membantu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.

Nike memang berhasil mengembangkan perekonomian Korea Selatan. Tetapi menurut Bill Resnick, ini karena ada pemaksaan dari pemerintah AS untuk membantu mereka. Amerika Serikat punya kepentingan membantu Korsel karena mereka harus bersama menghadapi ancaman dari Korea Utara. Dalam masa Perang Dingin, pengaruh ini masih sangat besar. Sehingga AS banyak membantu Korea Selatan, termasuk menanamkan investasi dan transfer teknologi.

Hal seperti ini tidak terjadi di Indonesia. Meskipun Nike mengatakan bahwa apa yang dia lakukan di Indonesia sama dengan Korsel, namun menurut Bill, kenyataannya tidak. Tekanan buruh di Indonesia telah menyebabkan pemerintah Indonesia mengupayakan untuk menaikkan ketentuan upah minimun. Namun dengan kebijakan baru ini, Nike justru mengancam akan memindah investasinya ke Vietnam. Hal inilah yang ditakuti oleh pemerintah Indonesia. Nike di Indoensia tidak ada bedanya dengan developer United Fruit di Honduras. Jadi, bisnis sepatu tidak ada bedanya dengan bisnis pisang, mobil atau pun microchips. Ketika perusahaan multinasional membayar upah buruh dengan rendah, mengambil keuntungan dari negara kontraktor, dan mendukung pemerintahan yang opresif, kemudian investasi mereka hanya berarti kepedihan dan penghancuran sumber-sumber daya alam.

Klaim lain dari Nike adalah bahwa kontrak-kontrak Nike di negara-negara berkembang selalu tertulis menentang penggunaan buruh anak dan mensyaratkan agar kontraktor mematuhi hukum yang berlaku di negaranya. Namun menurut Resnick, Nike sama sekali tidak menghiraukan pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perusahaan kontraktornya, PT Hardaya Aneka Shoes Industry (HASI) kalau di Indonesia. Apalagi sampai terjadi kolusi antara kontraktor dengan aparat negara untuk menekan dan mengamputasi kekuatan buruh. Nike diam saja. bahkan ketika terjadi penindakan keras dan penangkapan-penangkapan terhadap aktivis buruh oleh aparat, Nike pun tak bergeming. Nike hanya mendesak kontraktor untuk mampu bersaing dengan perusahaan lain dan meningkatkan keuntungan. Nike hanya akan berteriak kalau kepentingannya sudah diutik-utik atau terganggu.

Analisis Teori

Teori MarxDalam hal ini, teori Marx tentang adanya kelas adalah sangat tepat. Posisi perusahaan Nike di indonesia dimana Amerika sebagai pemilik modal mencerminkan kelas borjuis, sedangkan buruh indonesia mencerminkan kaum ploretar. Ketika buruh di indonesia mendemon di perusahaan Nike tersebut, Nike tetap tanpa merasa bersalah mengaku bahwa penghasilan yang didapatkan oleh para buruh adalah penghasilan yang sudah layak. Nike memang tidak akan merasa cemas dengan kehilangan buruhnya ataupun pengunduran diri dari buruhnya. Mengapa? Hal ini tentunya karena Nike mengetahui bagaimana manfaat Nike itu sendiri untuk negara- negara yang sedang berkembang. Tentu ada ketergantungan antara Indonesia dengan Nike. Buruh di Indonesia tentu membutuhkan pekerjaan, sehingga akan berpikir panjang untuk melepaskan pekerjaan mereka di perusahaan Nike.

Teori marx memandang bahwa memang buruh yang tidak memiliki modal mengalami alienansi dengan kaum borjuis. Maka benarlah teori marx ini, bahwa orang- orang yang memiliki saran- sarana produksi akan berada di atas dan dengan sangat mudah menguasai orang yang tidak memilki sarana-sarana produksi tersebut. demonstrasi dengan ketidakadilan yang dirasakan oleh kaum buruh nike di Indonesia seakan membuktikan dari teori marx yang mengatakan bahwa para buruh akan mengalami keterasingan dari pembagian kerja ataupun dari hasil karyanya di suatu perusahaan. Buruh akan merasa terasing dari orang- orang disekitarnya ketika dia menyadari bahwa dia sedang berada dalam keterasingan. Terlebih lagi, demostrasi yang dilakukan oleh para buruh adalah perwujudan dari perjuangan kelas proletar terhadap kelas borjuis.

Kelemahan dari teori marx adalah dengan mengatakan bahwa syarat pembebasan kelas buruh adalah lenyapnya setiap kelas. Harapan Marx terhadap negara sebagai lembaga resmi dari masyarakat sebagai sarana untuk meleyapkan kelas- kelas tersebut adalah terlalu idealis. Setiap negara di dunia ini pun memiliki kepentingan di dalamnya. Dan untuk itu, negara tidak akan mungkin secara damai mau masuk untuk tidak saling merugikan.

Teori Manajemen Klasik Robert Owen (1771-1858)

Owen berkesimpulan bahwa manajer harus menjadi pembaharu (reformer). Beliau melihat peranan pekerja sebagai yang cukup penting sebagai aset perusahaan. Pekerja bukan saja merupakan input, tetapi merupakan sumber daya perusahaan yang signifikan. Ia juga memperbaiki kondisi pekerjanya, dengan mendirikan perumahan (tempat tinggal) yang lebih baik. Beliau juga mendirikan toko, yang mana pekerjanya tidak kesusahan dan dapat membeli kebutuhan dengan harga murah. Ia juga mengurangi jam kerja dari 15 jam menjadi 10,5 jam, dan menolah pekerja dibawah umur 10 tahun.

Owen berpendapat dengan memperbaiki kondisi kerja atau invertasi pada sumber daya manusia, perusahaan dapat meningkatkan output dan juga keuntungan. Disamping itu Owen juga memperkenalkan sistem penilaian terbuka dan dilakukan setiap hari. Dengan cara seperti itu manajer diharapkan bisa melokalisir masalah yang ada dengan cepat.

Jika para manajer lain memusatkan pengembangan teknik, maka Owen mengangap,bahwa investasi terbaiknya adalah para pekerja.Disamping mengembangkan situasi dalam pabriknya,Owen juga membuat sebah prosedur kerja yang dimaksudkan untuk meningkatkan produksi kerja.Owen mendapatkan pendidikannya di sekolah di kotanya dan meniti karir bisnisnya tetap dikotanya. Sejak ia memiliki pabrik di New Lanark, ia melakukan berbagai perbaikan dalam bidang usahanya dengan mengurangi hari kerja buruh, dan menolak mempekerjakan anak-anak dibawah 10 tahun. Di tempat itulah dia menyadari bahwa kemiskinan sangat terlihat jelas, yang kemudian membuat dia bergerak dengan mengadakan perbaikan rumah-rumah buruh, memperhatikan kesejahteraan keluarga dan anak-anak buruh, Di tempat ini pula Owen mulai memunculkan gagasan-gagasan tentang kesejahteraan buruh,dan pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0102/23/UTAMA/peny01.htm Jumat, 23 Februari 2001Penyiksaan Buruh Marak di Pabrik Nike, Nike Berjanji Akan Perbaiki Jakarta, Kompas

Liputan6.com, Jakarta: Nike Diminta Tak Memutuskan Pesanan. (Tim Liputan 6 SCTV)

http://mukhlis-hasyim.blogspot.com/2007/12/nike-hengkang-buruh-kalang-kabut.html

INILAH.COM

Dikdik Hidayat - gatot irawan, Suara Pembaruan, Jakarta

http://www.teamsweat.org/