188
Kaya Proyek Miskin Kebijakan Editor: Sutoro Eko Krisdyatmiko o E E d itor : Su t or ko Kr isd y atm iko Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa "Kaya proyek, miskin kebijakan", demikianlah tema buku ini untuk mengatakan hiruk-pikuk pembangunan desa di Indonesia yang sudah dirayakan selama empat dekade terakhir. Betapa tidak? Orang tidak lagi mampu menyebut nama-nama proyek pembangunan desa serta menghitung berapa jumlah proyek dan anggaran yang dikucurkan ke desa. Tetapi apa hasilnya? Hasilnya adalah proyek berkelanjutan yang setiap proyek menyampaikan laporan tentang cerita sukses. Tetapi, kenyataannya tidak seperti yang tercantum dalam laporan proyek. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa proyek itu berkonotasi negatif, ia tidak identik dengan rente dan bagi-bagi duit untuk para pelaksana, identik juga dengan "menarik sapi kurus" dengan "tali besar dan panjang". Rakyat desa, ibarat sapi, tetap saja kurus alias miskin, sementara tali (biaya operasional) terlalu besar alias terjadi inefisiensi. Buku ini hadir sebagai review atas kebijakan desa di Indonesia. Subtansinya berkehendak dari sisi pilihan paradigma, disain kelembagaan, tindakan para aktor pembangunan, alokasi anggaran dan seterusnya.Tidak sekedar membongkar, tetapi juga memsang kembali. Setelah ditunjukkann balada ekploitasi dan marginalisasi desa, kemudian ditawarkan gagasan alternatif dengan mengusung pembangunan desa yang berkelanjutan (sutanable rurual development). Dalam konteks ini, perlu ditegaskan bahwa pembangunan desa lebih dari sekedar penanggulangan kemiskinan, bukan pula memberikan layanan sosial (pendidikan dan kesehatan) dan merubah wajah fisik desa, tetapi juga mencakup aspek politik, seperti desentralisasi dan demokrasi desa. Desentralisasi dimaksudkan sebagai bentuk sumber daya ekonomi dan politik dari supra desa ke desa, sehingga menciptakan kemandirian dan keadilan bagi desa. Demokrasi ditujukan untuk membuat akuntabilitas pemerintahan desa serta membangun kedaulatan rakyat di aras desa. Pemerintahan desa berkelanjutan juga pararel dengan culturally based development atau indigoneous development yang peka pada aspek kearifan lokal. 9 799798 138460 ISBN 979-81384-6-5

Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Embed Size (px)

DESCRIPTION

buku ini membahas tentang kebijakan pembangunan desa di Indonesia yang mencoba membongkar kegagalan pembangunan dengan menunjukan sisi-sisi kelemahan dari sisi pilihan paradigma, disain kelembagaan, tindakan para aktor pembangunan, alokasi anggaran dst.

Citation preview

Page 1: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Editor: Sutoro EkoKrisdyatmiko

o EEditor: Sutor

koKrisdyatm

iko

Membongkar Kegagalan

Pembangunan Desa

"Kaya proyek, miskin kebijakan", demikianlah tema buku ini untuk mengatakan hiruk-pikuk pembangunan desa di Indonesia yang sudah dirayakan selama empat dekade terakhir. Betapa tidak? Orang tidak lagi mampu menyebut nama-nama proyek pembangunan desa serta menghitung berapa jumlah proyek dan anggaran yang dikucurkan ke desa. Tetapi apa hasilnya? Hasilnya adalah proyek berkelanjutan yang setiap proyek menyampaikan laporan tentang cerita sukses. Tetapi, kenyataannya tidak seperti yang tercantum dalam laporan proyek. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa proyek itu berkonotasi negatif, ia tidak identik dengan rente dan bagi-bagi duit untuk para pelaksana, identik juga dengan "menarik sapi kurus" dengan "tali besar dan panjang". Rakyat desa, ibarat sapi, tetap saja kurus alias miskin, sementara tali (biaya operasional) terlalu besar alias terjadi inefisiensi.

Buku ini hadir sebagai review atas kebijakan desa di Indonesia. Subtansinya berkehendak dari sisi pilihan paradigma, disain kelembagaan, tindakan para aktor pembangunan, alokasi anggaran dan seterusnya.Tidak sekedar membongkar, tetapi juga memsang kembali. Setelah ditunjukkann balada ekploitasi dan marginalisasi desa, kemudian ditawarkan gagasan alternatif dengan mengusung pembangunan desa yang berkelanjutan (sutanable rurual development). Dalam konteks ini, perlu ditegaskan bahwa pembangunan desa lebih dari sekedar penanggulangan kemiskinan, bukan pula memberikan layanan sosial (pendidikan dan kesehatan) dan merubah wajah fisik desa, tetapi juga mencakup aspek politik, seperti desentralisasi dan demokrasi desa. Desentralisasi dimaksudkan sebagai bentuk sumber daya ekonomi dan politik dari supra desa ke desa, sehingga menciptakan kemandirian dan keadilan bagi desa. Demokrasi ditujukan untuk membuat akuntabilitas pemerintahan desa serta membangun kedaulatan rakyat di aras desa. Pemerintahan desa berkelanjutan juga pararel dengan culturally based development atau indigoneous development yang peka pada aspek kearifan lokal.

9 799798 138460

ISBN 979-81384-6-5

Page 2: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Editor: Sutoro EkoKrisdyatmiko

o EEditor: Sutor

koKrisdyatm

iko

Membongkar Kegagalan

Pembangunan Desa

"Kaya proyek, miskin kebijakan", demikianlah tema buku ini untuk mengatakan hiruk-pikuk pembangunan desa di Indonesia yang sudah dirayakan selama empat dekade terakhir. Betapa tidak? Orang tidak lagi mampu menyebut nama-nama proyek pembangunan desa serta menghitung berapa jumlah proyek dan anggaran yang dikucurkan ke desa. Tetapi apa hasilnya? Hasilnya adalah proyek berkelanjutan yang setiap proyek menyampaikan laporan tentang cerita sukses. Tetapi, kenyataannya tidak seperti yang tercantum dalam laporan proyek. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa proyek itu berkonotasi negatif, ia tidak identik dengan rente dan bagi-bagi duit untuk para pelaksana, identik juga dengan "menarik sapi kurus" dengan "tali besar dan panjang". Rakyat desa, ibarat sapi, tetap saja kurus alias miskin, sementara tali (biaya operasional) terlalu besar alias terjadi inefisiensi.

Buku ini hadir sebagai review atas kebijakan desa di Indonesia. Subtansinya berkehendak dari sisi pilihan paradigma, disain kelembagaan, tindakan para aktor pembangunan, alokasi anggaran dan seterusnya.Tidak sekedar membongkar, tetapi juga memsang kembali. Setelah ditunjukkann balada ekploitasi dan marginalisasi desa, kemudian ditawarkan gagasan alternatif dengan mengusung pembangunan desa yang berkelanjutan (sutanable rurual development). Dalam konteks ini, perlu ditegaskan bahwa pembangunan desa lebih dari sekedar penanggulangan kemiskinan, bukan pula memberikan layanan sosial (pendidikan dan kesehatan) dan merubah wajah fisik desa, tetapi juga mencakup aspek politik, seperti desentralisasi dan demokrasi desa. Desentralisasi dimaksudkan sebagai bentuk sumber daya ekonomi dan politik dari supra desa ke desa, sehingga menciptakan kemandirian dan keadilan bagi desa. Demokrasi ditujukan untuk membuat akuntabilitas pemerintahan desa serta membangun kedaulatan rakyat di aras desa. Pemerintahan desa berkelanjutan juga pararel dengan culturally based development atau indigoneous development yang peka pada aspek kearifan lokal.

9 799798 138460

ISBN 979-81384-6-5

Page 3: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

KAYA PROYEKMISKIN KEBIJAKAN

Page 4: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa
Page 5: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

KAYA PROYEKMISKIN KEBIJAKAN

Membongkar KegagalanPembangunan Desa

Editor :Sutoro Eko & Krisdyatmiko

Penulis:Abdur RozakiArie Sujito

Bambang HudayanaHenry SiahaanKrisdyatmikoSunaji Zamroni

SuparjanSutoro Eko

Titok Hariyanto

Page 6: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

KAYA PROYEKMISKIN KEBIJAKANMembongkar Kegagalan Pembangunan Desa

xvi+336 hlm; 14,5 X 21 cmISBN : 979-81384-6-5

Cetakan 1, Maret 2006

Editor : Sutoro Eko & KrisdyatmikoPra Cetak : Wibowo & Machmud (IRE Press)Tata Letak : Candra_coretCover : Adrozen Ahmad

© 2006 Institute for Research and Empowerment (IRE) YogyakartaAll rights reserved. Dilarang memperbanyak atau mengutip dalam bentuk dancara apapun, baik dengan cara mekanik atau elektronik, termasuk mengkopi,atau dengan cara information storage and retrieval system, tanpa izin tertulis dariIRE Yogyakarta.

IRE YogyakartaDusun Tegalrejo RT01/RW09, Desa Sariharjo, NgaglikJl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,5 Sleman Yogyakarta 55581Telp./fax. 062-274-867686E-mail: [email protected] http://www.ireyogya.org

Page 7: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pengantar Editor

Membongkar KegagalanPembangunan Desa

Sutoro Eko &Krisdyatmiko

“Kaya proyek, miskin kebijakan”, demikianlah pandanganumum kami untuk mengatakan hiruk-pikuk pembangunan desadi Indonesia yang sudah dirayakan selama empat dekade terakhir.Betapa tidak? Orang tidak lagi mampu menyebut nama-namaproyek pembangunan desa serta menghitung berapa jumlah proyekdan anggaran yang dikucurkan ke desa. Tetapi apa hasilnya? Hasilnyaadalah proyek berkelanjutan yang setiap proyek menyampaikanlaporan tentang cerita sukses. Tetapi kenyataannya tidak sepertiyang tercantum dalam laporan proyek. Sudah menjadi pengetahuanumum bahwa proyek itu berkonotasi negatif, ia identik denganrente dan bagi-bagi duit untuk para pelaksana, identik juga dengan“menarik sapi kurus” dengan “tali besar dan panjang”. Rakyat desa,ibarat sapi, tetap saja kurus alias miskin, sementara tali (biayaoperasional) terlalu besar alias terjadi inefisiensi.

“Kaya proyek, miskin kebijakan” identik dengan kegagalanpembangunan desa. Banyak data yang menunjukkan bukti-buktikegagalan itu, meski para pelaksana pembangunan akan menolakkeras istilah kegagalan. Pembangunan yang sudah berjalan selama

Page 8: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

vi

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

empat puluh tahun memang telah mendongkrak mobilitas sosialorang-orang desa, sekaligus mengubah wajah fisik desa menjadilebih maju, tetapi mobilitas sosial itu bukanlah transformasi sosialyang mampu mendongkrak human well being masyarakat desa.Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan tidak serta-merta memperkuat fundamental ekonomi, karena menurutpenilaian para ekonom yang kritis, Indonesia hanya mampumembangun gelembung ekonomi yang rentan terhadapperubahan ekonomi global. Ekonomi rakyat, yang tentu sangatdekat dengan kehidupan masyarakat desa, tidak tumbuh secarakuat. Masyarakat desa selalu menghadapi kerentanan (sosial,ekonomi dan politik) karena hadirnya regulasi pemerintah, proyekpembangunan, masuknya modal, arus globalisasi, involusipertanian, kelangkaan sumberdaya, serangan wabah penyakit,kemiskinan, pengangguran, urbanisasi, serangan hama, bencanadan sebagainya.

Mengapa gagal? Secara umum kami hendak mengatakanbahwa kegagalan pembangunan desa terletak pada miskinnyakebijakan. Kebijakan secara filosofis mengandung komitmenpolitik, keberpihakan pada desa, pilihan paradigma yang tepat,kebajikan menghargai orang desa dan mendongkrak human wellbeing orang desa, program-program aksi yang relevan dengankonteks lokal, dan seterusnya. Pembangunan yang sudah berjalanselama empat dasawarsa terakhir tentu jauh dari spirit itu.Pembangunan tidak berorientasi pada pembebasan sepertidianjurkan oleh Amartya Sen, tetapi ia justru hadir dalam bentukserangkaian proyek menghabiskan uang yang memiskinkankebijakan. Jika dibaca melalui cara pandang ekonomi-politik(struktural), kegagalan pembangunan desa itu karena ketimpanganposisi-peran antara negara, modal dan masyarakat. Negara danmodal sangat dominan, sementara masyarakat dalam posisi mar-ginal. Formasi negara sangat kuat dan dominan, tetapi kapasitasnyasangat rapuh. Birokrasi negara menjadi ajang rente, proyek danelite capture yang memiskinan rakyat desa.

Page 9: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pengantar Editor

vii

Bongkar PasangBuku ini hadir sebagai review atas kebijakan pembangunan

desa di Indonesia. Kami hendak membongkar kegagalanpembangunan, dengan menunjukkan sisi-sisi kelemahan dari sisipilihan paradigma, disain kelembagaan, tindakan para aktorpembangunan, alokasi anggaran dan seterusnya. Namun kamitidak sekadar membongkar, tetapi juga memasang kembali. Setelahkami menunjukkan balada eksploitasi dan marginalisasi desa dalambab 1, kami menawarkan gagasan alternatif dalam bab 2, denganmengusung pembangunan desa yang berkelanjutan (sustainablerural development). Dalam konteks ini, kami tegaskan bahwapembangunan desa lebih dari sekadar penanggulangankemiskinan, bukan pula memberikan layanan sosial (pendidikandan kesehatan) dan merubah wajah fisik desa. Menurut AndrewShepherd (1998), pembangunan desa merupakan upaya perbaikankesempatan dan kualitas hidup (well-being) individu maupunrumah tangga , khususnya rakyat miskin di desa yang tertinggaljauh akibat proses pertumbuhan ekonomi. Mengikuti paradigmasustainable livelihood, pembangunan desa sebenarnya merupakanproses mengubah penghidupan masyarakat desa dari kondisi yangrentan (vulnerable) menjadi berkelanjutan (sustainable) denganmengembangkan aset yang ia miliki dan dinamika yang adamenjadi mampu ditransformasikan. Penghidupan masyarakatadalah suatu kemampuan daya hidup yang dimiliki baik itu secaramaterial dan sosial, yang diwujudkan dalam berbagai kegiatanguna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pembangunan desa bersifat multidimensional: mengarahpada perbaikan layanan sosial, membuka kesempatan bagi rakyatdesa menggali pendapatan dan pembangunan ekonomi desa,perbaikan infrastruktur fisik, memperkuat kohesi sosial dankeamanan fisik komunitas warga desa, memperkuat kapasitas desamengelola pemerintahan dan pembangunan, membuat demokrasidalam proses politik di desa, serta mengatasi kerentanan (sosial,ekonomi dan politik) masyarakat desa. Konsep ini menaruh

Page 10: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

viii

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

perhatian pada proses memfasilitasi perubahan di komunitas desayang memungkinkan rakyat miskin di desa memperoleh lebih,meningkatkan investasi bagi dirinya sendiri dan komunitasnya,meningkatkan kepemilikan rakyat desa merawat infrastruktur danlain-lain. Pembangunan desa berkelanjutan juga paralel denganculturally based development atau indigenous development yang pekapada aspek kearifan lokal. Tentu pembangunan desa tidak bekerjadalam ruang yang hampa politik. Komitmen, perencanaan,pendanaan maupun partisipasi merupakan pilihan dan sekaligusproses politik. Karena itu, pembangunan desa tidak hanyamencakup aspek ekonomi dan layanan sosial, tetapi jugamencakup aspek politik, seperti desentralisasi dan demokrasi desa.

Bab 3 hingga bab 8 menjabarkan lebih lanjut kerangka kerjayang sudah kami bangun dalam bab 2. Bab 3 membicarakantentang penguatan ekonomi kerakyatan, tentu dimulai daritrajektori sejarah dan pembongkaran sistem ekonomi kapitalisyang bekerja di Indonesia. Di catatan akhir, bab inimenyampaikan dua hal penting. Pertama adalah pemerintah harusmenelorkan kebijakan yang populis sehingga bangunan kebijakanekonomi pada masa kini sebagaimana tertuang dalam RPJMNharus diformulasikan kembali. Kedua adalah munculnya gerakansosial dalam masyarakat untuk merespon globalisasi denganmendorong kemandirian ekonomi yang menghargai kekuatan daridalam diri masyarakat. Agenda ini mempuyai potensi energi yangkuat karena hampir 90% unit usaha ekonomi berasal darikelompok usaha skala kecil.

Bab 4 berbicara tentang pembaharuan pembangunanpertanian, mengingat pertanian merupakan sektor utama dalamkehidupan masyarakat desa, serta menjadi isu krusial dalampembangunan desa berkelanjutan. Alternatif penting untukpembangunan pertanian berkelanjutan bukan hanya revitalisasipertanian yang berorientasi pada pertumbuhan-kemakmuran,tetapi juga harus melancarkan pembaharuan agraria untukmencapai keadilan.

Page 11: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pengantar Editor

ix

Bab 5 berbicara pada sektor politik, yakni village governancereform melalui desentralisasi, otonomi dan demokrasi desa.Keduanya merupakan tujuan dan fondasi politik bagi pengelolaanpembangunan desa yang berkelanjutan. Pembangunan desamenuju human well being masyarakat desa tentu juga dilandasiprinsip kemandirian, keterbukaan, partisipasi, kapasitaspemerintahan desa dan lain-lain. Kami mempunyai keyakinanbahwa desa harus “dibela” dengan desentralisasi, sekaligus harus“dilawan” dengan demokratisasi. Desentralisasi dimaksudkansebagai bentuk pembagian sumberdaya ekonomi dan politik darisupradesa kepada desa, sehingga menciptakan kemandirian dankeadilan bagi desa. Demokrasi ditujukan untuk membuatakuntabilitas pemerintah desa serta membangun kedaulatan rakyatdi aras desa.

Jika bab 3 dan 4 berbicara tentang sisi ekonomi dan bab 5berbicara tentang sisi politik pembangunan desa, maka bab 6 berbicaratentang pembangunan sosial. Pembangunan sosial, yang paling dasar,adalah berupaya memberikan palayanan sosial dasar (pendidikan,kesehatan, perumahan dan lain-lain). Pada level yang lebih tinggipembangunan sosial berupaya untuk menjawab kerentanan sosialmasyarakat, mengubahnya menjadi ketahanan sosial dan integrasi sosialsecara berkelanjutan, atau sering disebut dengan social sustainability.Ujung-ujungnya pembangunan sosial adalah mencapai kesejahteraansosial (social welfare). Secara khusus bab 6 berbicara tentangpengembangan sistem jaminan sosial bagi masyarakat desa, sebagaibentuk jaminan dasar bagi kesejahteraan sosial.

Perencanaan dan pengganggaran merupakan dimensi pentingdalam pembangunan desa, yang diungkap dalam bab 7. Sejauhini desa hanya jadi obyek perencanaan, hanya menjadi bagiansubordinat dari perencanaan pembangunan nasional dan daerah,sekaligus tidak mempunyai anggaran yang memadai. Negara tidakadil dalam membagi uang kepada desa. Pembangunan desa selamaini lebih banyak mengandalkan swadaya masyarakat yang ternyatamengandung eksploitasi terhadap masyarakat. Karena itu dalam

Page 12: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

x

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

bab ini kami mengusung gagasan perencanaan desa (village selfplanning) sesuai dengan batas-batas kewenangan desa, dankemudian didukung dengan alokasi anggaran melalui skemaalokasi dana desa (ADD) dari pemerintah.

Akhirnya, pembangunan desa tidak hanya berorientasi fisik-material, tetapi juga harus menyentuh manusia, rakyat dankomunitas. Karena itu dibutuhkan pemberdayaan masyarakat,yakni membangkitkan potensi hingga memperkuat kekuasaankelompok-kelompok marginal seperti perempuan, petani, nelayan,dan kelompok-kelompok lainnya. Partisipasi (voice, akses dankontrol) masyarakat, terutama kaum marginal, dalampembangunan desa merupakan kesempatan yang paling konkretuntuk penguatan pemberdayaan. Selain itu pemberdayaan jugamembutuhkan sentuhan revitalisasi budaya masyarakat desa, yaknimelalui penguatan kesadaran kritis masyarakat sertapengembangan institusi dan media pembelajaran budaya desayang handal. Revitalisasi budaya tidak berarti menghidupkankembali secara utuh budaya lama orang desa tersebut, melainkanmererproduksinya sesuai dengan konteks kekinian. Dengandemikian, revitalisasi nilai egalitarian dan ekonomi moral,misalnya, tidak berhenti pada praktik gotong-royong, melainkanharus dikembangkan ke arah usaha yang lebih menjawabkemiskinan dan lemahnya suara orang desa terhadap kebijakannegara dan perluasan pasar.

Penghargaan dan Terima KasihBuku ini diangkat dari pengalaman IRE mengawal Program

Prakarsa Pembaharuan Pemerintahan dan Pembangunan Desa.Banyak individu dan lembaga yang memberikan kontribusiterhadap buku ini. Kami menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada Yayasan Tifa di Jakarta atas dukungan pendanaankepada kami untuk keperluan penelitian dan penulisan buku ini.

Banyak individu yang secara langsung maupun tidak langsungmemberi kontribusi terhadap penulisan buku ini. Para penulis (Arie

Page 13: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pengantar Editor

xi

Sujito, Bambang Hudayana, AAGN Ari Dwipayana, HenrySiahaan, Suparjan, Abdur Rozaki, Sunaji Zamroni dan TitokHariyanto) yang telah bekerja menulis lembar demi lembar sehinggamenjadi naskah buku ini. Temuan lapangan dari para peneliti(Supardal, Erwin Razak, Faturochman, Hesti Rinandari, Parwotodan Abdur Rozaki) tentu sangat berharga sebagai bahan untukpenulisan buku ini. Kerja keras juga dilakukan oleh dapur pro-gram dan penyedia data seperti Vitrin Haryanti, Azhari Cahyo Edidan M. Zainal Anwar. Sementara para tim penasihat (HeruNugroho, Suraya Affif dan Pratikno) memberikan banyak gagasanalternatif dan kritik yang cerdas terhadap substansi program. Kepadamereka kami sampaikan penghargaan dan terima kasih.

Buku ini tidak bakal lahir kalau tidak didukung oleh timadministrasi dan IRE Press, seperti Sukasmanto, Rino Haniasti, IpangSuparmo, Triyanto, Hadi Wibowo dan Mahmud NA. Kamimenyampaikan terima kasih kepada mereka atas kerja keras mereka.

Page 14: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa
Page 15: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Daftar Isi

Pengantar EditorMembongkar Kegagalan Pembangunan Desa ........... vDaftar Isi ................................. xii

Bab 1Balada Eksploitasi dan Marginalisasi Desa ............. 1Negara Masuk Desa ........................... 1Kapitalisasi dan Marginalisasi Desa ................ 10Krisis Otonomi dan Demokrasi Desa ............... 26Kegagalan Pembangunan Desa ................... 36Mengapa Gagal? ............................ 43

Bab 2Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa ......... 49Review Paradigma ........................... 50Pembangunan Desa Berbasis Masyarakat? ............ 62Pembangunan Desa Berkelanjutan ................. 72Penutup .................................. 86

Bab 3Keluar dari Jerat Eksploitasi dan Ketidakberdayaan EkonomiDesa .................................... 93Perlakukan dan Kebijakan Rezim Negara terhadapPerekonomian Desa Masa Kerajaan ................ 97

Page 16: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

xiv

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Masa Penjajahan ........................... 101Masa Orde Lama ........................... 106Masa Orde Baru ........................... 1091. Pertanian Pangan ......................... 1102. Perkebunan Rakyat ........................ 1163. Industri Pedesaan ......................... 122Era Globalisasi............................. 126Tuntutan SAP dan Dampaknya terhadap EkonomiKerakyatan ............................... 128Masa Reformasi: Agenda RPJMN ................ 1331. Revitalisasi Pertanian ..................... 1342. Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur ..... 1373. Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil danMenengah ............................ 139

4. Pembangunan Pedesaan ................... 142Menuju Revitalisasi Ekonomi Desa Berkeadilan ....... 1441. Pembaharuan Agraria ..................... 1472. Industrialisasi pedesaan ................... 1483. Koperasi dan UKM ...................... 149

Catatan Akhir ............................. 150

Bab 4Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian ....... 151Balada Pertanian ........................... 159Menuju Pembaharuan........................ 168Revitalisasi Pertanian......................... 172Pembaharuan Agraria ........................ 178Pelaksanaan Land Reform di Beberapa Negara (Itali, Mesir,India dan Jepang)........................... 192

Bab 5Desentralisasi, Otonomi dan Demokratisasi Desa ...... 195Review Regulasi............................ 196Desentralisasi dan Otonomi Desa ................ 214

Page 17: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Daftar Isi

xv

Demokratisasi Desa ......................... 223Bab 6Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial ......... 231Pembangunan Sosial ......................... 232Tentang Jaminan Sosial ....................... 236Persoalan Jaminan Sosial ...................... 239Jaminan Sosial Pada Masyarakat Desa .............. 243Sistem Jaminan Sosial bagi Masyarakat Desa ......... 247Penutup ................................. 250

Bab 7Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Desa .... 253Regulasi dan Sistem Perencanaan Partisipatif ......... 260Berbagai Distorsi Perencanaan Daerah ............. 268Perencanaan Desa........................... 273Penganggaran Pembangunan Desa ................ 281

Bab 8Pemberdayaan Masyarakat Desa ................. 293Potret Ketidakberdayaan ...................... 293Tentang Pemberdayaan ....................... 300Dimensi dan level pemberdayaan ................ 311Pemberdayaan Sebagai Komoditas ............... 314Partisipasi Masyarakat ........................ 318Pemberdayaan Dari Sisi Budaya ................. 322

Daftar Pustaka ............................ 327

Page 18: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa
Page 19: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa
Page 20: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Bab 1Balada Eksploitasi dan

Marginalisasi Desa

Desa tidak bisa dipahami secara romantis sebagai tempatyang adem-ayem (harmonis) tanpa masalah. Sejak dulu, desa (yangmempunyai penduduk dan tanah beserta sumberdaya alamnya)menjadi medan tempur yang paling dekat antara negara, modaldan masyarakat. Interaksi secara konfliktual antara tiga aktor initentu menciptakan balada eksploitasi dan marganilisasi terhadapdesa. Bab ini akan membicarakan tema ini lebih jauh.

Negara Masuk DesaDesa adalah lingkaran sosial masyarakat yang memiliki

‘jarak sosial’ tertentu dengan lingkaran pengelola kekusaandi tingkat pusat. Dikatakan demikian karena hampir setiapproses pengelolaan kebijakan publik menafikan adanyaketerlibatan dan keikutsertaan masyarakat yang hidup dipedesaan. Jakarta sebagai simbol utama kekuasaan pusat ituseolah hanya memiliki ikatan formal hukum kuasa atas suatukawasan tanpa memperhatikan dimensi budaya yang telah

Page 21: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

2 3

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

berurat akar dan membatin di dalam kehidupan masyarakatlokal. Ironisnya, adanya jarak sosial itu tidak diobati dengankebijakan politik yang makin lebih mendekatkan, tetapimelumat habis dengan menciptakan negaranisasi atas desaatau adat.

Berbagai potensi budaya, pranata sosial dan kearifan lokal yangdimilikinya ditaklukkan melalui represi, dan hegemoni.Kemajemukan budaya diseragamkan dan masyarakatnya dipaksakanmasuk ke dalam wadah tunggal bentukan negara. Pemimpin budayadipisahkan dengan masyarakatnya digantikan oleh kepemimpinansosial yang dibentuk oleh kekuatan negara. Berbagai produkpembangunan tak lagi membutuhkan partisipasi dan apirasimasyarakat, tetapi cukup dipandu dari atas yang dilanjutkan untukdilaksanakan oleh para agen-agen negara di desa. Desa danmasyarakatnya benar-benar dijadikan obyek, bukannya subyekpolitik. Di sinilah konstruksi negara atas desa itu dimulai.1

Pertama, dengan mengkonstruksikan desa sebagai obyekmaka desa ditempatkan sebagai kawasan yang dikendalikansecara politik yang tak lagi memiliki kebebasan menjalankanpilihan-pilihan sosial atas penghidupannya. Sampai-sampaiada ungkapan menarik yang terlontar dari orang desa dalamsuatu pelatihan pengelolaan pemerintahan desa, bunyinyademikian, “Kalau mata air itu diambil oleh Jakarta, tapi kalauair mata diberikan pada kami orang desa”. Ungkapan inimenjelaskan betapa rakus dan serakahnya Jakarta, sehinggakalau urusan yang mengandung kenikmatan dilahapnya,sekalipun harus meninggalkan penderitaan warga desa. Banyakcontoh yang dapat membenarkan ungkapan ini, seperti padakasus eksploitasi tambang emas di dusun Buyat oleh PT.Newmont beberapa waktu lalu. Di sana Jakarta dan kekuatanglobal bersatu padu mengambil kekayaan alam, sementarawarga Buyat hidup dengan penderitaan oleh penyakit

minamata akibat pencemaran lingkungan yang ditimbulkanoleh proses eksploitasi alam PT.Newmont. Negara yangdirepresentasikan oleh kebijakan di Jakarata itu, bukannyamelindungi warganya yang terancam punah, tapi berkelitmembela sang modal.

Bila di masa pergerakan kemerdekaan desa diposisikan sebagaisubyek politik, orang desa dikonstruksikan sedemikian rupa agarmemiliki semangat juang yang tinggi untuk mengusir penjajahdan meraih kemerdekaan maka di masa pembangunan, khususnyadi era Orde Baru, desa diposisikan sebagai obyek politik. Sebagaiobyek politik, ia tidak memiliki voice (suara) dalam mengungkapkanaspirasi dan kebutuhan yang terbaik menurut dirinya. Apa yangterbaik menurut pemerintah (pusat—daerah) adalah terbaik untukdirinya. Tak ada kesempatan dan waktu untuk menolaknya, karenasetiap kebijakan yang telah digariskan mengandung arti perintahdan setiap perintah harus dilaksanakan. Menolak perintah samahalnya dengan membangkang atau melawan pemerintah yang “sah”dan sangsi pun dengan semena-mena dapat diberikan pada siapapunyang dianggap sebagai pembangkang.

Kedua, sebagai dampak lain posisi sebagai obyek, desaditempatkan sebagai arena membuang bantuan. Dalam arti,banyak sekali program-program bantuan pembangunanpemerintah — tidak sedikit dari bantuan itu diperoleh denganhutang dari negara donor — yang masuk ke desa. Bantuanpembangunan itu lebih nyaring slogannya dibandingkan realisasidan hasilnya. Misalnya, bantuan raskin (beras untuk rakyatmiskin), Kredit Usaha Tani (KUT), Jaring Pengamanan Sosial (JPS),dan sejenisnya. Berbagai program bantuan yang bunyi teksnyadiperuntukkan untuk memberdayakan orang miskin di pedesaanitu, tidak mampu menuai hasil yang mengembirakan. Progamitu selain memang tidak sampai menyentuh sasaran yang dituju,aroma korupsinya menyebar kemana-mana. Korupsi programbantuan itu umumnya melibatkan para pejabat pemerintah, pusatsampai desa dan para elite sosial desa sendiri. Bahkan program1 Lihat, Abdur Rozaki dan Sutoro Eko, (eds)., Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa

(Yogyakarta: IRE Press, 2005).

Page 22: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

4 5

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

yang terbaru dan canggih pun—selalu dipuja kesuksesannya olehpemerintah—seperti Program PengembanganKecamatan (PPK)dan Program Pengembangan Kawasan Perkotaan (P2KP) tidaksedikit yang menuai kritik dan kekecewaan masyarakat

Tiadanya hasil yang maksimal dari berbagai programbantuan pada desa itu, karena memang tidak melibatkanpartisipasi masyarakat desa. Disain perencanaan danpengelolaannya dibuat dan ditentukan oleh para elitepemerintahan dan pelaksanaanya oleh aparat birokrasi yangberada dibawahnya sehingga tata kelolanya cenderungdilakukan secara tertutup, hanya sekedar memenuhi prosedur,rentan manipulasi dan tingkat akuntabilitasnya begitu rendahsehingga menimbulkan lingkaran praktek korupsi yang dariatas hingga aparat yang dibawah. Banyaknya bantuan yangmasuk ke desa menjadi bancakan yang membikin gemukbirokrasi, dan makin memiskinkan orang desa. Seperti bantuanraskin, yang seharusnya dibagikan secara gratis kepada rakyatmiskin di desa, justru beras itu dijual oleh lurah desa bersamaperangkatnya.

Oleh para pejabat pemerintah, desa benar-benarditempatkan sebagai keranjang sampah pembangunan.Berbagai jenis dan model bantuan pembangunan hampirsemuanya masuk ke desa. Namun berbagai bantuan itu masihtetap saja membuat orang desa miskin, hidupnya serbamelarat. Mereka umumnya menghadapi kesulitanmemperoleh sandang pangan yang layak karena harga pupukterus melambung tinggi, memiliki keterbatasan dalammembiayai pendidikan dan kesehatan anak-anaknya, terutamaketika biaya pendidikan dan kesehatan itu makin melambungtinggi dan tidak lagi berpihak pada si miskin. Bantuankesehatan gratis dan obat generik bagi si miskin hanyalah‘sorga telinga’, yakni hanya enak di dengar, tapi pahitdirasakan. Bahkan di arena pedesaan dan atau juga dikomunitas adat yang dilanda konflik berkepanjangan sampai

menimbulkan pengungsian, konflik itu dipolitisasi sebagaiajang bisnis pejabat. Bantuan untuk korban pengungsimilyaran rupiah dikorupsi, sampai-sampai munculsinyalemen berikut ini, “kalau pejabat memperoleh superkijang, sedangkan pengungsi hanya memperoleh supermi”.

Bila dilihat dengan seksama adanya berbagai programbantuan yang mengalir ke desa sebenarnya merupakan jebakanyang sangat mematikan otonomi desa. Program bantuan tidakmeningkatkan kapasitas dan kemandirian (otonomi) desa, tetapijutsru menciptakan ketergantungan abadi desa terhadap bantuanpemerintah supradesa. Bantuan juga menghancurkan ketahanansosial masyarakat desa, yang sudah lama ditopang dengan swadayadan gotong royong. gotong-royong tidak lagi secara otentikmencerminkan partisipasi dan solidaritas sosial masyarakat desa,melainkan sebagai bentuk mobilisasi (jika bukan paksaan)pemerintah desa terhadap warganya untuk mendukung program-program pembangunan yang sudah dirancang dari atas.2 Salahsatu kasus yang menyolok adalah kebiasaan pemerintah supradesadan pemerintah desa “menguangkan” gotong-royong dan swadayake dalam penerimaan desa (APBDes). Padahal menurut asal-usulnya gotong-royong adalah bentuk modal sosial, bukan modalfinansial sebagaimana telah dimanipulasi oleh pemerintah.

Di zaman Orde Baru, berbagai program departemen umumnyajuga mengatasnamakan gotong-royong sebagai bentuk keswadayaanmasyarakat desa. Banyak proyek yang turun dari atas dengan jumlahpendanaan yang kecil, kemudian dengan bantuan gotong royongmasyarakat dapat menghasilkan pembangunan fisik yangmengagumkan. Pada hampir semua proyek pembangunan prasaranaphisik kontribusi gotong royong selalu jauh lebih besar ketimbangsumbangan dana dari pusat. Dana dari pusat hanya untuk memancingpartisipasi masyarakat yang bila dijabarkan dalam nilai uangjumlahnya selalu (jauh) lebih besar dibanding dengan dana dari pusat

2 Lihat, Rita Abrahamsen, Sudut Gelap Kemajuan; Relasi Kuasa dalam WacanaPembangunan,Penerbit Lafadl: Yogyakarta, 2005., hal.120.

Page 23: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

6 7

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

itu. Di era Orde Baru, laporan mengenai banyaknya hasilpembangunan fisik yang ditopang swadaya masyarakat lewat gotongroyong sering diklaim sebagai keberhasilan pemerintah. Potretdemikian masih dilanjutkan seperti dalam program pendukungpemberdayaan masyarakat dan pemerintah daerah (P2MPD).

Ketiga, desa dikonstruksikan sebagai kepanjangan tangannegara (miniatur pemerintah). Jauh sebelum negara lahir, desasemula adalah sebuah komunitas yang memilki struktur, nilai dantata sosial tersendiri dalam mengelola kehidupan sosialkomunitasnya. Tak jarang dalam konteks ini desa dianggap memilikiself governing community. Potret sebagai self governing community inilebih terasa lagi kalau kita melihat praktek masyarakat adat di luarJawa, seperti di Bali, tata kelola komunitas lokalnya disebut desaPakraman, di Kalimantan Binua atau kampoeng, di Sumatera Baratdikenal dengan Nagari dan seterusnya. Dengan dikeluarkannyaUndang-Undang Pemerintahan Desa (UUPD) No.5/ 1979, semuastruktur dan identitas lokal itu hancur luluh lantah, meminjamistilah Yando Zakaria, mengalami abih tandeh. Melalui regulasi itunegaranisasi terjadi dan mencapai puncaknya.

Hasil pengamatan Yunus Ukru, seperti dikutip Zakaria (2002:25) di Maluku akibat perbelakukan UU itu menyebabkanmasyarakat adat (1) terjadinya proses manipulasi dan kooptasi olehkekuatan politik yang lebih besar terhadap raja sebagai kepalawilayah adat dengan menempatkan kepala desa sebagai penguasatunggal, (2) terjadinya praktek sentralisme yang membatasi otonomilembaga-lembaga adat tradisional sebagai salah satu pilar utamakehidupan social politik, ekonomi dan budaya sehari-hari antarakelompok masyarakat adat selama ini, (3) krisis kepemimpinantradisional, karena dipangkasnya akses ekonomi politik mereka danperannya hanya difungsikan dalam uparaca atau ritual adat. Krisisini membuat warga kehilangan referensi dalam kehidupan sosial,digeser dengan hadirnya aparat engara di desa.

Dengan dipangkasnya kepemimpinan lokal dari komunitasdan struktur kelembagaannya, dan diseragamkannya struktur

kelembagaan local melalui birokratisasi desa yang dilakukan olehpemerintah pusat maka berakhir sudah entitas desa atau adatsebagai self governing community. Mengapa? Karena desa kiniditempatkan secara hierarkhis sebagai bagian dari strukturpemerintahan yang berada di bawahnya. Kepala desa sekalipundipilih oleh masyarakat, eksistensinya di desa adalah sebagaiaparatur negara atau aparatur pemerintah yang peran dankinerjanya di desa hanyalah menjalankan perintah yangditentuntan oleh atasannya apakah itu bupati atau camat. Lembaga-lembaga komunitas lokal dimatikan eksistensinya,yang ada hanyalah lembaga bentukan negara seperti LembagaKetahanan Masyarakat Desa (LKMD), PKK dan dasawisma sertalembaga keagamaan lainnya yang kesemua wadah itu telahmengalami kooptasi oleh negara. Dalam suatu lokakarya yangdigelar STPMD-APMD Yogyakarta di bulan September 2002,seorang kepala desa di kabupaten Bantul Yogyakarta memberikantestimoni, bahwa dirinya dan calon lurah lainnya pernah disumpahdan di-litsus oleh penguasa lokal (camat, polsek dan koramil)sewaktu mau mencalonkan sebagai lurah untuk setia mendukungGolkar dan Orde Baru. Adanya sumpah setia ini sekaligusmenandai bahwa bagi lurah kepetingan warga adalah nomorsekian, yang paling utama adalah kesetian pada rezim.

Bentuk yang paling konkret dari bekerjanya mesin-mesinbirokrasi dari praktek negaranisasi desa adalah adanya upacarabendera yang di ritualisasi dalam bentuk perayaan, terutama dibulan agustus(an). Pemberlakuan wajib KTP, dan surat kelakuanbaik (SKKB) dan atau surat keterangan catatan kepolisian (SKCK)yang dikeluarkan oleh kelurahan/desa, kecamatan dan kepolisianbagi warga, terutama ketika akan melamar pekerjaan atau terlibatdalam urusan publik lainnya. Berbagai urusan administratif itudalam banyak hal membuat posisi lurah desa dipentingkansehingga secara politis dapat memanipulasi masyarakat untuktunduk dan patuh. Selain urusan itu, dapat pula mengerukkeuntungan ekonomis atas masyarakat (Atnlov, 2002).

Page 24: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

8 9

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Keempat, adanya stigmatisasi dan steriotip atas masyarakat desa.Peristiwa kelabu pada bulan September 1965 merupakan peristiwapolitik di lingkaran kekuasaan yang ledakannya melibatkan rakyatsebagai korban. Di dalam peristiwa itu banyak sekali masyarakatpedesaan yang tidak tahu menahu duduk perkaranya harus menjadikorban. Tidak hanya dalam hitungan ribuan, tapi sudah dalamhitungan jutaan nyawa manusia hilang sia-sia (Cribb, 1990).Peristiwa itu menciptakan efek trauma yang luar biasa bagi orangdesa, terutama karena tingkat kesadisan dan kekerasan olahpembunuhannya. Pasca peristiwa itu negara melembagakan adanyastigmatisasi atas masyarakat yang dianggap keluar dari ‘disiplin’kewarganegaraan yang digariskan. Seperti adanya sebutan kiri, ataukomunis terhadap warga yang mencoba bersikap kritis dan menolakpembangunanisme. Contoh kasus adalah warga Kedung Omboyang desanya ditenggelamkan oleh proyek pembuatan waduk, yangnasibnya hingga kini tak kunjung usai.

Stigmatisasi kiri dan cap komunis selalu dilakukan olehnegara untuk melakukan kontrol atas tindakan masyarakat desa,terutama ketika terjadi konflik pertanahan atau demonstrasi petaniketika akan memperjuangkan ha-haknya yang dirampas. Bahkanhingga di alam reformasi ini pun aparatus negara dan paraanteknya sengaja menghebus-hembuskan anasir PKI ini padamasyarakat untuk menciptakan efek traumatis sehinggamemberikan kemudahan bagi aparat negara melakukan kontroldan mengendalikan tindakan masyarakat. Seperti baru-baru initerjadi di sepanjang jalan dari Jogja menuju kearah kabupatenPurworejo dan jalan-jalan di desa-desa di kabupaten Bantul,terpampang di tengah jalan spanduk bertuliskan “Awas BahayaLaten Komunis”, “Komunis Akan Bangkit Lagi” dan seterusnya.Di sini masyarakat desa yang selama ini sudah menjadi korban,kemudian dikorbankan kembali untuk mengingat sesuatu yangtidak pernah diketahuinya. Efek dari konstruksi stigmatis ini bagi(orang) desa sangat mengerikan, karena bila cap itu menempeleksistensi akan dipojokkan dan diasingkan oleh lingkungan

masyarakat yang sudah mengalami kontaminasi oleh konstruksinegara atas cap kiri dan komunis itu.

Selain stigmatisasi, negara juga menghadirkan konstruksisosial yang bersifat steriotip atas masyarakat desa. Seperti steriotipbahwa orang desa itu lembek, tidak punya daya berkompetisi,kalau berdiskusi nglantur karena tidak memahami persoalan, tidaksiap kalau diberi kewenangan dan seterusnya. Pernah sewaktu kamimengunjungi seorang Bupati di salah satu kabupeten di JawaTengah, untuk membangun kemitraan dengan desa, iamengatakan: “Berdiskusi dengan orang desa dalam waktu 10 hari,hasilnya sama aja dengan berdiskusi dengannya selama 2 hari”.

Kira-kira maksud perkataan ini antara lain; orang desa itu kalaudiajak berdiskusi suka muter-muter, berdiskusi dengan orang desatidak perlu butuh waktu lama karena hasilnya akan sama, orangdesa itu tidak rasional dan dapat memahami masalah secara benardan berdiskusi dengan orang desa dalam waktu yang lama itu tidakefisien dan hanya membuang waktu. Jadi pendeknya, perkataanbupati ini adalah upaya melanggengkan steriotip atas desa. Lebihparah lagi konstruksi yang stigmatis itu menimpa pula masyarakatadat, untuknya negara pernah memberikan sebutan pada merekasebagai masyarakat primitif, belum beradab, terbelakang dan takberpendidikan serta sebutan citra negatif lainnya (Maunati, 2004).

Permainan konstruksi dan citra diri yang negatif melaluireproduksi stigma dan streotip yang dilakukan oleh negara atasmasyarakat desa dan adat berujung pada proses pengisolasianpolitik dan ekonomi masyarakat. Akses masyarakat lokal menjadidibatasi dan tidak memiliki keleluasaan untuk membangun danmemberdayakan dirinya secara mandiri karena selalu mendapatkancontrol melalui stigmatisasi kultural tersebut. Bahkan dalamkonteks kebudayaan, masyarakat lokal ini kemudian kehilangankepercayaan diri untuk mengembangkan identitas kebudayaannyaataupun ketika berhadapan dengan kekuatan dari luar. Apalagikalau kekuatan itu datangnya dari negara sendiri. Mereka biasanyaakan ciut dan kehilangan prakarsa dan inisiatif lokalnya.

Page 25: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

10 11

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Kapitalisasi dan Marginalisasi DesaOrde Baru dilahirkan dalam suasana perang dingin yang

memanas antara blok timur yang komunis dan blok barat yangkapitalis, Soeharto memilih patron politiknya ke barat karena ituia melakukan politik pembangunan yang mengadopsi paradigmadevelopmentalism, wajah baru kapitalisme (Faqih;1998). Strategipembangunanisme ini dijalankan dengan mengikatkan diri dengankapitalisme internasional melalui agen-agennya, seperti World Bank(WB), International Monetary Fund (IMF), International Group forGovernment of Indonesia (IGGI) yang saat ini diganti CGI.

Untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, Orde Barumenggunakan politik otoritarian melalui berbagai regulasi represifyang membatasi kebebasan politik warganya seraya membuatregulasi yang mendorong tumbuhnya Penaman Modal Asing(PMA). Sektor utama yang menjadi pusat perhatiannya adalahpenguatan sektor industri dengan menjadikan sektor pertaniansebagai pendukung utamanya. Pertanian diletakkan sebagaisubsistem dari sektor industri ini. Akibatnya sektor industri begitumuda masuk dan merajalela di desa, sebaliknya produksi yangdihasilkan melalui produk pertanian di desa kalah kompetitif dantidak mampu bersaing dengan produk industri yang memperolehsubsidi besar-besaran dari pemerintah. Kapitalisasi, dalam artimodal industri yang masuk ke desa ini kemudian menyebabkandua hal. Pertama, matinya modal produk pertanian karena kalahbersaing dengan industri pabrik, seperti harga pupuk yangmelambung tinggi sehingga membuat biaya produksi lebih mahaldari pada hasil yang diperoleh. Kedua, modus konsumsi. Orangdesa kini terperangkap dengan aneka produksi industri yangmembanjiri desa sehingga meningkatkan konsumsi orang desadengan segala aspek ketergantungannya.3

Selain itu sistem ekonomi uang (monetisasi) telah merubahwajah asli desa. Di desa-desa, terutama yang berdekatan dengankecamatan, saat ini dapat dengan mudah kita temui institusi-

institusi finansial/keuangan seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI).Fenomena ini menunjukkan bahwa saat ini desa telah mengalamidualisme finansial ekonomi, yaitu institusi finansial formal daninformal. Institusi formal adalah yang terintegrasi penuhkapitalisme global, sementara yang informal dapat berupa rentenir(lintah darat), tengkulak, tuan tanah, dan bahkan bisa berupakoperasi simpan pinjam yang mengatasnamakan petani. Adaindikasi yang menarik bahwa keberadaan institusi informal justrumemperkuat praktek institusi formal. Orang desa yang tidak melekhuruf dan minim pengetahuan tentu saja akan lari kepada renteniruntuk memperoleh pinjaman uang (bahkan sekarang dapat berupabarang), padahal rentenir itu mungkin mempunyai pinjaman kebank. Dengan kata lain, ada hubungan tidak langsung antarabank dan nasabah melalui institusi finansial informal di desasehingga sangat susah untuk menolak realisasi globalisasi.

Blue print kekalahan manusia petani ini diawali Orde Barudengan melakukan perubahan total atas program land reform(reformasi agraria), yang di masa Orde Lama (Orla) pengaturanatas tanah ini menjadi focus yang sentral untuk mengatasikesenjangan antara petani yang kaya dan miskin di desa. Selainitu ada pula program pembatasan terhadap pemilik tanah (borjuislokal) untuk mengatasi petani yang kehilangan aksesnya atas tanahsehingga semua petani memiliki tanah. Sebab antara petani dengantanahnya memiliki makna yang penting dan keduanya tidak dapatdipisahkan. Bahkan di masa Orla, terdapat pengadilan land re-form untuk mengatasi sengketa pertanahan. Sayang kelahiran OrdeBaru menghapus semua itu. Program land reform hanya ditempatkan pada urusan teknis birokrasi yang meniadakanpartisipasi masyarakat. Agen Orde Baru membuat kepanitiandalam pengaturan agraria mulai di tingkatan menteri sampaidengan birokrasi kelurahan atau desa (Fauzi, 1999).

Di sinilah petaka dan konflik itu muncul. Terutama yangdialami oleh masyarakat adat yang sama sekali tidak mengenalsistem birokrasi Orde Baru dengan menjadikan kepala desa sebagai

3 Lihat Majalah Flamma,Edisi 13/Vol.8/2003, diterbitkan oleh IRE Yogyakarta.

Page 26: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

12 13

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

ujung tombak birokrasi dan pengaturan sosial menghadaibenturan dengan kenyataan masyarakat adat yang struktur, sistem,nilai kepatuhan kepada tokoh adat secara paksa digeser agarmenjadi patuh kepada kepala desa. Peralihan dari tokoh adatsebagai pemegang otoritas sosial, dan pengaturan pertanahankemudian hak itu digantikan dengan kepala desa yang perannyatidak mengakar dan kinerja berdasarkan birokrasi pemerintahbukannya nilai-nilai adat. Akibatnya banyak sekali perpindahan,pencaplokan bahkan penjarahan atas tanah adat yang dilakukanoleh pengusaha, birokrasi pusat atau pun desa. Apalagi pemerintahmemberikan Hak Pengusa Hutan (HPH) pada investor danpengusaha nasional.

Sumber daya alam masyarakat lokal disedot keluar gunamenciptakan kemakmuran bagi para pengusaha dan penguasa.Habitat masyarakat lokal berteduh dan berlindung dihancurkanoleh berbagai penebangan hutan yang tidak lagi mematuhui etikalingkungan. Kearifan lokal yang dimiliki mereka secara berlahanmulai menepis seiring dengan makin kuatnya orientasi bisnis danpengejaran keuntungan ekonomis yang dilakukan pemerintah danpengusaha. Secara perlahan masyarakat lokal itu mengalamimarginalisasi. Di sini akan diketengahkan pengalaman masyarakatadat di Riau yang tidak pernah dilibatkan dalam proses menentukanlahan dan penentuan status kepemilikan lahan yang dilakukan olehpengusaha HPH yang hanya berkoordinasi dengan kepala desa.

“……apabila perusahaan itu beroperasi, selalulah diprotesoleh masyarakat tempatan yang merasa hak-hak merekadiambil secara semena-mena, termasuk hasil hutan yangmenjadi sumber nafkahnya. Padahal, pihak perusahaan yanghampir seluruhnya berasal dari daerah Riau sejak awal,kebanyakan tidak mengetahui adanya hak-hak wilayah atauhak-hak adat tempatan, karena perizinan mereka mintakepada pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku. Kalau punada yang mengetahui adanya hak-hak adat, mereka pura-pura tidak tahu, apalagi bila ditanyakan absahannya pada

pihak pemerintah selalu mendapat jawaban yang tidak pastiatau bahkan dikatakan tidak ada, dan tuntutan pemerintahitu hanya ‘mengada-ada’ saja. Akibatnya, masyarakat terusmenuntut hak-haknya (dikutip dari Zakaria, Abih Tandeh,2002: 154).

Begitu pula yang dialami masyarakat adt di Sumbawa NTB.Yani Sagaroa, dari Lembaga Olah Hidup (LOH) Sumbawa,mengungkapkan bahwa hak-hak tenurial adat mulai dipangkasoleh investor dan negara. Hak-hak tenurial adalah hak masyarakatadat untuk menguasai, memiliki, memanfaatkan dan mengelolasumber-sumber agraria dalam teritori persekutuannya berdasarkanhukum adat. Hak tenurial bersama dan hak tenurial individu;hak tenurial bersama adalah hak bersama masyarakat adat sebagaisuatu persekutuan atas tanah, hutan, air, dan semua unsur lainnyayang terkandung didalamnya. Hak ini dikenal dengan nama-nama berbeda diberbagai persekutuan masyarakat adat sepertiulayat di Minangkabau, Tanah Kobisu di Sumba, Suf dan Susidi Timor, Dea Leo di Rote dan Larlamat di Sumbawa. Hak te-nurial individu adalah hak seseorang atau satu keluarga atassumber-sumber agraria dalam satu teritori tertentu.

Hak Tenurial bersama dan individu yang ada di Sumbawaseperti contoh penguasaan hutan di Juru Mapin (tempatpemeriharaan Durian) dan Tongo (Tanah Jalit atau tempatpemeliharaan Enau dan tumbuhan lainnya). Tanah jalit di Tongodalam sengketa, penguasaan tanah ini berdasarkan ketentuan lokalsaat itu (sebelum RI lahir), Masyarakat Tongo menguasai hutandengan kearifan lokalnya tidak merusak, sewaktu di berlakukanUU Kehutanan, tidak ada persoalan dengan aktivitas masyarakatdalam memanfaatkan hutan, tetapi saat negara memberikan kontrakpertambangan kepada Newmont masyarakat Tongo tersingkir daritanah leluhurnya, negara dan Newmont tidak mau bertanggungjawab. Masih banyak contoh lain dalam persoalan yang hampirsama seperti P. Moyo, HTI Moyo hulu dan hilir, termasuk yang

Page 27: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

14 15

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

terakhir tanah Tanjung Pengamas, konflik tapal batas hutan,seharusnya negara menyelesaikan dulu klaimnya terhadap tanah-tanah yang pernah dikuasai oleh masyarakat adat, tapi yang terjadiadalah tindakan refresif negara dengan menggunakan aparatnyamenyingkirkan bangsa sendiri dari tanah leluhurnya.

Kapitalisasi dan marginalisasi desa tidak hanya terjadi dalambentuk penguasaan hutan dan tambang yang dekat denganmasyarakat lokal, tetapi juga hadir dalam bentuk alih fungsi darilahan pertanian menjadi rumah-rumah mewah, penanaman hutanbeton, pengembangan mall atau pasar-pasar modern, pariwisatadan lain-lain. Fenomena pengalihfungsian lahan dan sumberdayadaerah dari kegiatan pertanian menjadi arena untuk kegiatanpertokoan berkapasitas besar seperti mall (super dan hipermarket),perumahan-perumahan elit di Yogyakarta merupakan bagian gerakdan gelombang pasang kapitalisasi di daerah. Dalam hal ini eratkaitannya dengan kebijakan pemerintah daerah. Mengutippernyataan Bupati Sleman, Ibnu Subiyanto, bahwa maraknyadeveloper yang membangun perumahan kelas menengah danmewah di Sleman sejak dua tahun terakhir ini memang disengajadan direkomendasi oleh pemerintah daerah (Pemda). Ia, sebagaibupati, bahkan memberi ruang gerak leluasa bagi developer untukterus membangun perumahan kelas menengah dan mewah diSleman. Alasan mendasarnya, dengan membangun rumah kelasmenengah dan mewah, setoran pajak ke pemerintah juga ikutmeningkat.4 Kebijakan bupati tersebut memang sangatmerangsang para investor untuk berlomba-lomba membangunperumahan secara masif. Berdasarkan data Dinas Pemukiman dan

Prasarana Wilayah DIY 2002, pembangunan perumahan diSleman telah mencapai 388.196 unit. Hingga pertengahan Juni2003 saja, jumlah rumah yang dibangun sudah 201.626 unit.

Pengadaan perumahan mewah semacam ini, yang selaludibangun dengan dalih penarikan pajak bagi daerah, makin terasadampak-dampaknya negatifnya.5 Sebut saja misalnya, gencarnyaekspansi pembangunan perumahan di Yogyakarta bagian utaradiduga mengancam eksistensi desa wisata di Kabupaten Sleman.Muncul kekhawatiran, jika pembangunan perumahan yang tidaksejalan dengan konsep pembangunan desa wisata danlingkungannya akan menghilangkan otentisitas desa sebagai desawisata. Pembangunan baru yang dibangun sekarang ini diKabupaten Sleman, lebih berkiblat pada perumahan modern yangmenonjolkan bentuk serta tampilan luar yang sama sekali laindan tidak berhubungan dengan kosep desa wisata yangdikembangkan dengan basis kultural.6 Kepala Dinas Pemukiman,Prasarana Wilayah dan Perhubungan Kab. Sleman, Yuni Zaffria,mengatakan secara normatif hal-hal mengenai lokasi danpembangunan suatu perumahan telah diatur melalui PeraturanDaerah (Perda). Namun, menurutnya, seringkali dalamimplementasi di lapangan terjadi pelanggaran-pelanggaran yangdilakukan para developer perumahan ketika mereka mengajukanpermohonan untuk membangun.7

4 "Bila pajak meningkat, saya berjanji akan memberikan kompensasi kepada masyarakat denganmembangun infrastruktur yang memberi peluang ekonomi bagi rakyat Sleman,” kata Ibnu. (“Janjiyang Tak Kunjung Terbukti… “Kompas Jogja 16 Februari 2005). Ironisnya, kepemilikan rumahmewah dengan disain ekskulusif itu sebagian besar dikuasai oleh para pengusaha kaya atau pejabatdari kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Yang menarik dari pernyataan Ibnu Subiyanto diatas, ternyata justeru sumbangan pendapatan asli daerah (PAD) terbesar di Sleman bukan berasaldari sektor perumahan sebagaimana harapan bupati, melainkan oleh pajak daerah yaitu hotel,restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, pengambilan dan pengolahan bahan galian, pemanfaatanair bawah dan permukaan, dan parkir, yang sebesar Rp 24.9 miliar di tahun 2003. Sedangkan,PAD yang di dapat dari sektor PBB tahun 2003 hanya mencapai Rp 13 miliar saja.

5 Banyak pihak menilai developer terkesan seenaknya membangun rumah kelas menengah danmewah di Sleman tanpa memerhatikan kelestarian lingkungan. Heru Nugroho, Dosen SosiologiUGM, berpendapat, selama ini disadari atau tidak rakyat Sleman hanya menjadi penonton saja atassemua hasil pembangunan di Sleman. Rumah-rumah mewah di Sleman hanya menjadi ajanguntuk berinvestasi untuk masyarakat kaya di luar Sleman, bahkan sebagian dari pembeli rumahmewah itu adalah para koruptor dari luar daerah yang menginvestasikan kekayaan mereka. MenurutHeru, janji Ibnu untuk mengentaskan kemiskinan lewat pembangunan rumah mewah sebenarnyacukup baik, dengan asumsi bahwa setoran pajak Pemkab Sleman juga ikut meningkat. Hanya,selama ini Heru belum melihat bahwa janji Ibnu itu betul-betul terbukti. Ditambahkan, banyakmasyarakat lokal Sleman hingga kini tetap marjinal atau terpinggirkan. “Jadi, kondisi itu tidakmengubah apapun. Pembangunan itu tidak menghasilkan multiplier effect bagi masyarakat lokal,mengingat kawasan perumahan mewah hanya bersifat eksklusif saja. Masyarakat lokal, palingbanter hanya jadi pembantu pada majikan pemilik rumah mewah itu,” kata Heru Nugroho.

6 Pernyataan Silih Warni (Pengelola Desa Wisata Kalidobo), kecamatan Pakem-binangun.(“Pembangunan Perumahan Ancam Desa Wisata”, Kompas Jogja, Rabu, 11 Agustus 2004).

7 " Pembangunan Perumahan Ancam Desa Wisata”, Kompas Jogja, Rabu, 11 Agustus 2004.

Page 28: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

16 17

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Perayaan kapitalisasi di daerah tentu menyandarkanpemanfaatan topangan peran investor atau kalangan swasta. Baikdari pengusaha lokal, nasional maupun internasional, sebagaimanadiskemakan dalam kebijakan daerah. Argumen mendasarnyakarena keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah, makainvestor keberadaannya dianggap vital. Sebut saja misalnya, pemdaDIY, khususnya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah(Bappeda) beserta Bidang Investasi, menyadari bahwaperkembangan perekonomian daerah tidak hanya ditentukan olehsumber daya daerah yang bersifat lokal, tetapi sangat dipengaruhipula oleh kapital dan pasar global. Dalam kacamata mereka,konteks globalisasi, pasar bebas, dan otonomi daerah, peluangekonomi suatu daerah akan semakin ditentukan oleh usaha-usahadaerah itu sendiri dalam menangkap aliran kapital yang semakincair, tak terbatas, namun juga tak menentu.8

Pada tahun 2005, Pemprov DIY menargetkan investasi yangmasuk mencapai Rp 3,5 triliun. Angka tersebut meningkat 16,7persen dibandingkan dengan 2004 yang besarnya sekitar Rp 3triliun, sedangkan Rp 2.469,52 pada tahun 2003. Sebagian besarinvestasi yang ditargetkan tersebut masih akan terpusat di wilayahSleman dan Kota Yogyakarta. Dalam kacamata Pemda DIY,daerah-daerah lain masih dianggap mempersulit proses

perijinannya. Sebagaimana diungkap Bambang SP (SekretarisDaerah DIY), dalam kondisi demikian, beberapa Perda yangsifatnya menghambat investasi akan diinjau ulang. Prinsip Pemda,investor harus dipermudah sehingga tidak ada keluhan karenalambatnya proses perijinan dan cenderung birokratis.9

Pemberian ruang gerak yang besar pada para investor atau bantuan“utang” dari modal asing untuk pembangunan di Yogyakarta jugakian meningkat tajam. Misalnya saja, Bank Dunia (World Bank) akanmemberikan bantuan kepada Pemprov DIY berupa block grant danpinjaman lunak sebesar Rp 2,7 triliun. Dana itu digunakan untukpembangunan transportasi, pertanian, industri, wisata, dan infrastrukturyang berwawasan regional.10 Kecenderungan keinginan daerah untukmengakses “bantuan” berupa hutang dari manapun asalnya ini jugadilakukan, atau menjadi trend dikalangan pemda-pemda lain dalamrangka mempercepat pelaksanaan pembangunan. Hanya saja, kucuranbantuan dana pembangunan ini, sebagaimana terjadi di Yogyakartatidak pernah menjadi bagian perdebatan publik yang serius. Misalnyasaja menyangkut partisipasi dalam perencanaan pembangunan, kontrolatas penggunaan anggaran sampai dengan akuntabilitas.

Gambaran kebijakan semacam ini, yang menjadi gejalaumum di berbagai daerah, tentu mengingatkan terjadinyapergeseran peran negara dalam pembangunan, sebagaimana

8 Usaha-usaha pengembangan perekonomian daerah Yogyakarta berorientasi luas dan keluar (outlook).Disebutkan oleh Bayudono, Kepala Bappeda DIY, Pemprov DIY telah membuat Rencana AksiStrategis Pengembangan Perekonomian (RASPP) DIY yang terdiri dari dua dokumen rencana (1)RASPP itu sendiri dan (2) Outline Business Plan(OBP) DIY yang menjadi panduan investasiekonomi di DIY. Kedua dokumen tersebut disusun dengan bantuan perusahaan dan konsultandari Amerika. OBP memuat usulan-usulan proyek yang difokuskan pada sektor swasta. Kedepan, perkembangan perekonomian daerah akan dipelopori pihak swasta dan masyarakat.Pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator, regulator, dan katalisator saja. PengembanganPerekonomian Daerah; “Tak Lepas dari Kapital dan Pasar Global”. (KR, Jum’at 10 Desember2004). Terkait dengan paradigma baru pembangunan Propinsi DIY, menurut Wakil Gubernur,diharapkan pencapaian kesejahteraan masyarakat, juga akan mewarnai pembangunan DIY kedepan. Sehingga masalah kemiskinan dapat diatasi atau paling tidak jumlah keluarga miskindapat dikurangi secara signifikan. Selain itu lanjut Wagub, secara politis kondisi Yogyakartarelatif lebih stabil dan kondusif dibandingkan dengan Propinsi lainnya, sehingga sangatmenguntungkan karena dapat membuat investor tertarik untuk menanamkan modalnya danhingga saat ini ada 83 program yang dapat dipilih oleh investor, 10 program diantaranya sudahdalam taraf pembuatan MOU. (Sub.Bid.Pemberitaan, www.pemda-diy.go.id. 17 Juni 2005).

9 (“DIY targetkan Investasi Senilai Rp. 3,5 Triliun”, Kompas Jogja, 16 Desember 2004).Mudrajad Kuncoro, Dosen FE UGM, mengungkapkan selain karena perda-perda yang dinilaibermasalah, keengganan sejumlah investor menanamkan investasinya keturunan DIY, jugakarena banyaknya pungutan-pungutan di daerah (pajak, retribusi, dan sumbangan pihakketiga). Tiga orang pengusaha asal China yang didampingi dua orang pengusaha dari Jakarta,menemui Bupati Kulon Progo Toyo Santoso Dipo. Ketiga pengusaha tersebut bermaksudmenanam investasinya dalam bidang penambangan pasir besi. (“Investor China Temui BupatiKulon Progo”, Kompas Jogja,Selasa, 15 Maret 2005.)

10 Sekretaris Daerah Provinsi DIY, Bambang SP, seusai bertemu dengan Konsultan Senior BankDunia untuk Wilayah Asia Tenggara Dr Iwata dan Kumazawa Zen di Kepatihan, menjelaskanbahwa saat ini Pemprov mengusulkan program pembangunan yang akan ditangani melaluibantuan dan pinjaman itu. “Pinjaman itu lunak, hanya dengan bunga 0,75 persen per tahun,”katanya. Disebutkan Bambang, dana block grant dan pinjaman lunak itu akan digunakan untukpembangunan Bandara Adisutjipto, jaringan jalan lintas selatan, jalan tol, jalur kereta api doubletrack, pembangunan kawasan Malioboro dan Keraton Yogyakarta, transportasi perkotaan,pengembangan riset kampus, promosi wisata, pengembangan industri kerajinan, dan pembangunangerai investasi. (“Bank Dunia Bantu DIY 2,7 Triliun”, Kompas Jogja, Rabu, 29 Juni 2005).

Page 29: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

menjadi kecenderungan model neo-liberalisme. Oleh perspektifini, negara diharamkan untuk campur tangan mengurusimasyarakat dan pasar. Asumsinya, jika intervensi negara terusdilakukan (pengalaman negara otoritarian) menyebabkanmasyarakat tergantung dan pasar menjadi tidak sehat. Hipotesisini memang logis, dan secara linier diandaikan diantara tigakekuatan tersebut (negara, pasar dan masyarakat lokal) menjadiseimbang. Namun persoalannya adalah, apakah kemungkinaninteraksi ketiganya yang batasi oleh aturan main (rule of the game),akan berkorelasi positif terhadap menguatnya rakyat (masyarakatsipil) itu sendiri? Ini sangat meragukan. Mengingat, untuk kasusIndonesia semenjak berakhirnya kekuasaan otoritarian orde baru(negara), masyarakat harus berhadapan dengan kekuatan dahsyatyakni market, di rezim neo-liberal.11

Pada mulanya negara merupakan pihak yang memilikitangggung jawab besar sekaligus penentu dalam kebijakanpembangunan. Tetapi kini bergeser, justru negara hanyaditempatkan sebagai fasilitator dan regulator terbatas, sementarajusteru kekuatan pasar atau swasta (dalam kaitan ini para inves-tor) lebih besar dalam menentukan atau mempengaruhi kemajuanekonomi. Pemerintah, dimaknai bukan sebagai solusi terhadapproblem yang dihadapi, melainkan justru sebagai akar masalahkrisis.12 Karena itu pada masa ini berkembang pesat “penyesuaianstruktural”, yang lahir dalam bentuk deregulasi, debirokratisasi,privatisasi, pelayanan publik berorientasi pasar. Perspektif inipulalah yang menjadi dasar kuat pengembangan watak neoliberalisme yang diadaptasi oleh daerah. Berkembangnya isu-isubaru tersebut menandai kemenangan paham neo-liberal yang sejaklama menghendaki peran negara secara minimal.13

Belakangan sejumlah kasus proyek pengadaan pembangunanmall di Yogyakarta memunculkan persoalan-persoalan sosial danmarginalisasi. Problem mutakhir tercatat misalnya, mencuatnyamasalah pendirian “Saphir Square” di Kota Yogyakarta yang banyakmengandung problem environment. Kontroversi berkisar tentanggugatan warga Demangan (masyarakat sekitar kompleks pertokoan)pada awal tahun 2005 lalu yang merasa terganggu akibatpembangunan mall. Warga menilai akibat langsung keadaanlingkungan dari kegiatan pertokoan besar itu sangat dirasakanmereka. Apalagi, pembangunan mall tersebut dikhabarkan belummendapatkan surat ijin analisis mengenai dampak lingkungan(amdal) tentang kelayakan sebuah kegiatan bisnis besar dilingkungan masyarakat. Padahal amdal merupakan prasyarat utamapembangunan besar atau bisnis dengan menghitung tingkat risiko.

Kenyataannya, proyek tersebut tetap diteruskan oleh de-veloper, setelah ada nota dari salah seorang pejabat di propinsi,meskipun belum mengantongi surat amdal. Praktik penyalahguna-an kewenangan dan tindak pelanggaran prosedur dalam kebijakanpembangunan masih kental terjadi. Protes-protes masyarakat terusbermunculan karena mereka merasa dirugikan. Hingga kini, posespenyelesaian sengketa ini belum berakhir, padahal pembangunanterus dilakukan. Gugatan masyarakat semacam ini juga terjadi dilingkungan pembangunan “Plaza Ambarukmo”, Sleman. Para wargasekitar pembangunan mall protes karena banyak rumah merekarusak (retak-retak) akibat pembangunan mall tersebut, serta polusiyang makin mengganggu warga. Atas kenyataan ini, para senimanYogyakarta bereaksi mengenai eksistensi mall yang sedang dibangunitu, karena secara kultural dianggap menggeser struktur bangunanHotel Ambarukmo yang dianggap bersejarah itu. Sejauh ini,perdebatan mengenai dampak sosial apalagi kultural-sejarah, dan

11 Pemikiran kritis mengenai globalisasi, atau istilah lain dengan imperialisme, dapat dlihat padaJames Petras dan Henry Veltmeyer, 2001, opcit. Bisa juga lihat Oscar Lovontaine dkk, ShapingGlobalisation, jawaban kaum sosialis demokrat atas neoliberalisme, Yogyakarta, Jendela, 2000.

12 Jon Pierre dan Guy Peters, Governance, Politics and the State (London: MacMillan Press, 2000).13 Jika ditarik dalam level yang makro perkembangan ekonomim politik internasional, di sektorpolitik, dunia internasional menyaksikan gelombang demokratisasi yang sebagian besarmerupakan mainstream neo-liberal. (Francis Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme dan

Demokrasi Liberal, Qalam, Yogyakarta, 2001). Baca juga Markoff, John, Waves of Democracy,social movement and political change, Thousand Oaks, Sage Publication, 1996. (Terj.Gelombang Demokrasi Dunia, gerakan sosial dan perubahan politik, CCSS-Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 2002, disunting oleh Heru Nugroho).

Page 30: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

20 21

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

partisipasi dalam kebijakan tidak memperoleh ruang yang besar,karena selalu terkikis oleh spirit ekonomi. Hal inilah bagian dariproses distorsi makna pembangunan, yang menyebar di daerah.Kecenderungannya, pemda lebih melayani hasrat akumulasikeuntungan ekonomi yang pragmatis tanpa memperhitungkanaspirasi masyarakat para korban pembangunan. Sebuah kenyataanironis, yang selalu mengingatkan kita pada model-modelpembangunan di jaman orde baru yang berwatak represif daneconomy orientation. Pemda, nampaknya lebih mempertimbangkankepentingan investor atau para pengusaha nyang menanamkanmodal, dibanding mempertimbangkan nilai etis pembangunanyakni mendasarkan nilai kemanusiaan dan pembebasan daribelenggu kemiskinan.14

Cara pandang pemerintah daerah yang mengejarkeuntungan ekonomi dalam menjalankan kebijakan pem-bangunan, memang mengundang resiko yang tidak ringan.Percepatan kapitalisasi di Yogyakarta ini, juga berkonsekuensilogis pada kondisi lahan-lahan produktif pertanian di desa, yanglama-kelamaan makin menyusut. Estimasi makro yang terjadisejauh ini menunjukkan bahwa implikasi project pembangunanmall besar serta perumahan real estate di Yogyakarta yakniterkikisnya lahan-lahan produktif para petani yang selama iniberfungsi untuk kegiatan pertanian berubah fungsi menjadi malldan perumahan. Data Dinas Pertanian DIY menyebutkan,Sleman merupakan kabupaten yang mengalami penyusutanlahan sawah tertinggi dari seluruh kabupaten/kota di DIY. Padaperiode 1991-2002, total penyusutan sawah di Sleman mencapai2.218 hektar. Data pendukung dari BPS DIY menyebutkan,85 persen dari total angka penyusutan lahan sawah, kini beralih

fungsi menjadi bangunan rumah.15 Pembangunan rumah diSleman sesuai data Dinas Pemukiman dan Prasarana WilayahDIY 2002, mencapai 388.196 unit. Hingga pertengahan Juni2003 saja, jumlah rumah yang dibangun sudah 201.626 unit.16

Demikian pula pada tingkat propinsi. Meningkatnyajumlah penduduk dan berkembangnya daerah perkotaan diDIY mengakibatkan luas lahan sawah di provinsi tersebutmulai menyusut 0,42 persen selama periode 2000-2001.Penurunan luas lahan sawah terjadi di seluruh wilayah DIYdengan jumlah penurunan tertinggi terjadi di wilayah KotaYogyakarta yang mencapai 7,74 persen. Saat ini, Provinsi DIYmemiliki luas lahan sawah 58.608 hektar atau 18,4 persendari luas total wilayah DIY yang mencapai 318.580 hektar(ha).17 Luas lahan di Kabupaten Sleman antara tahun 2003-2004, menyusut sekitar 110 hektar. Penyusutan diakibatkanalih guna jadi ladang, dan area bangunan. Petani mengeluhkanbangunan di sekitar lahan yang menghalangi sinar matahariyang seharusnya menyinari sawah. Staf Dinas Pertanian dan

14 Mengenai kritik atas pembangunan dapat dibaca Wolfgang Sach, Kritik atas Pembangunanisme,telaah kritis pengetahuan sebagai alat penguasaan, CPSM, Jakarta, 1995, atau kajian makromodel-model pembangnan karakter pertumbuhan yang selalu menyembunyikan bebn kemiskinandalam Bjorn Hettne, Ironi Pembangunan di Negara Berkembang,Jakarta, 1985.

15 Dalam konteks kebijakan pembangunan daerah di Yogyakarta, Komisi VI DPR PertanyakanArah Pembangunan DIY ke depan, apakah mempertahankan tradisi sebagai kota budaya, pariwisata,dan pendidikan, atau menjadi kota modern yang berorientasi pasar dan industri. Pertanyaan itumuncul seiring dengan menguatnya peran pemodal besar di DIY yang ditandai oleh pertumbuhanmall dan pusat perbelanjaan. Sebagaimana diungkapkan oeh anggota Komisi VI DPR, AriaBima, yang menanyakan seputar kekhasan DIY mengenai aspek budaya dan pariwisata yang saatini kalah dominan dibandingkan aspek ekonomi bisnis. Aria menilai perkembangan Yogyakartasaat ini cenderung didominasi oleh tarikan investor, bukan lagi oleh kekhasan budaya lokal yangsebenarnya memiliki nilai jual sektor pariwisata. Menguatnya modal-modal besar dari luar,nilainya tidak memberi pengaruh bagi perkembangan sektor ekonomi UKM, seharusnya pemprovmemiliki perhatian pada sektor UKM sebagai penopang industri pariwisata, bukannya mengundanginvestor besar. Hal ini kemudian ditanggapi oleh Kepala Bappeda DIY, Bayudono, bahwa arahpembangunan DIY dirancang untuk memadukan unsur tradisional dan modern. Artinya,pembangunan infrastruktur sebagai fasilitas modern, tanpa meninggalkan khazanah budayaYogyakarta sebagai pusat pertumbuhan ekonomi wilayah selatan juga diharapkan tetap menjadikota budaya, pariwisata, dan kota pendidikan. Jadi meskipun pembangunan DIY berorientasipada pertumbuhan dan modernisasi, hal itu bisa dikawinkan dengan kekhasan budaya setempat.Aria memprediksi, jika pembangunan DIY tidak mempunyai desain jelas, maka karakter khasdaerah akan hilang, DIY bakal jadi “hutan mall”, sehingga tak beda dengan kota-kota besar lain.Padahal nilai jual pariwisata tak ditentukan oleh modernisasi belaka. (“Komisi VI DPR PertanyakanArah Pembangunan DIY”, Kompas Jogja. April 2005).

16 (Kompas Jogja, 16 Februari 2005)17 (KOMPAS, kamis, 10 April 2003)

Page 31: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

22 23

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Kehutanan Sleman, Dra Siti Rumanah, menyatakan tiaptahunnya lahan pertanian di Sleman menyusut sekitar 0,5persen. Sebelum tahun 2003, penyusutan lahan terjadi sekitar50 hektar tiap tahun.

Dalam prosesnya, percepatan dan ekspansi pambangun-an ekonomi bermodal besar itu ternyata secara sistematik kianmemarginalisasi ekonomi desa yang selama ini masih bergerakdalam lintasan informal18 dan tradisional. Akibat re-strukturisasi ekonomi daerah (diciptakannya pusat-pusatpertumbuhan ekonomi di kota dengan mendaptasi gayapertokoan besar) telah menggeser peran ekonomi tradisionaldi pedesaan, dan sektor informal di perkotaan. Sektor-sektorekonomi mikro yang selama ini sebagai tulang punggungpenggerak ekonomi rakyat makin kedodoran, karena dipaksaoleh kekuatan negara dan komprador agar berintegrasi dalamarena pasar terbuka. Berbagai regulasi yang melandasikebijakan publik produk pemda dan DPRD sebagian besarberorientasi pada penciptaan persaingan ekonomi denganlogika pasar.

Maraknya pembangunan mall, di mata masyarakatekonomi ke bawah, justru dipertanyakan kemanfaatan secarameluas. Mall, berkenaan hubungan antara ekonomi kecil danekonomi bermodal besar, justru melahirkan ketimpangan. Mallmenyodot keuntungan pedagang kecil, dan mengalir ke su-permarket-supermarket itu. Menyimak data AC Nielsen,kontribusi penjualan pasar tradional memang terus merosot.Bila pada 2002, dominasi penjualan di segmen pasar inimencapai 75%, maka pada tahun lalu turun menjadi hanya70%.19 Dengan demikian pasar tradisional juga kian

tersingkirkan.20 Maka tidak heran jika mulai muncul sengketadan resistensi para pedagang tradisional yang telah lamaberhuni di pasar-pasar desa atau perkampungan. Bahkan yangmakin dirasakan para pedagang, model restrukturisasi pasartradisional yang dibangun “atas nama kelayakan” jugamelahirkan persoalan baru, karena makin mahalnya pengelolaanpasar bergaya modern itu dan akibatnya harga sewa tidakterjangkau oleh pedagang.21

Kecenderungan merosotnya keuntungan yang diperolehpara pedagang pasar tradisional, sebagai akibat ekspansi pasarmodern seperti supermarket makin dirasakan.22 Sejumlah buktimengenai penurunan keuntungan kegiatan ekonomi tradisionalpedesaan23, sebagian besar bersumber karena terabsorbsi olehaktivitas industri kota (pusat pertumbuhan daerah). Sebutlahkasus di Jakarta, delapan pusat pasar sudah menghentikanaktivitas (tutup) atau sekitar 400 kios di Jakarta setiap tahunterpaksa tutup. Secara nasional sekitar delapan persen dari to-

18 Sektor informal, termasuk PKL, terbukti mampu menyerap tenaga kerja yang besar. Padatahun 1999, pekerja sektor informal di Sleman mencapai 56,8 persen, Kulon Progo (81,7),Bantul (63,7), Kota Yogyakarta (52,6). Sedangkan tahun 2002, pekerja sektor informal diSleman sekitar 43,5 persen, Kulon Progo (72,3), Bantul (53,7), Gunung Kidul (82,5), KotaYogya (38,6). (Kompas Jogja, 4 April 2005)

19 (www.bisnis.com. Rabu, 15 Juni 2005)

20 (Kompas Jogja, 4 April 2005)21 Konflik pembangunan di Pasar Rejodani Sariharjo Ngaglik, Sleman melibatkan pengusaha, pemerintahdesa dan pedagang. Pertemuan antara Persatuan Pedagang Pasar Rejodani (P3R), pengembang CVSarana Mandiri, Pemerintahan Desa Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, belummenghasilkan kesepakatan mengenai harga kios. “Yang diinginkan oleh pedagang adalah keputusanharga itu dihasilkan oleh persetujuan BPD (Badan Perwakilan Desa), pemerintah desa (pemdes), danpengembang. Selama ini, harga selalu ditentukan sepihak oleh pengembang. Jika harga sudah disepakatioleh ketiga pihak, baru itu mengikat dan kami bersedia mematuhinya,” ujar Uki Sukiman, KetuaP3R. (“Pedagang Rejodani Tetap Tolak Harga Kios”, Kompas Jogja, Jum’at, 8 April 2005).

22 Persatuan Pedagang Kaki Lima Sleman (PPKLS) tercatat 12 paguyuban dengan 500 PKL. PPKLSmempertanyakan tentang iuran retribusi yang tak jelas larinya. Jumlah PKL pada malam hari diSleman 2000 pedagang. Dengan retribusi rata-rata Rp 1000 per PKL per malam, sebulan terkumpulRp 60 juta. Pendapatan itu bisa lebih besar jika ditambah PKL siang. Secara kasar jumlah PKL diSleman sekitar 5000 pedagang.22 Padahal sejauh ini, sektor informal, termasuk PKL, terbuktimampu menyerap tenaga kerja yang besar. Pada tahun 1999, pekerja sektor informal di Slemanmencapai 56,8 persen, Kulon Progo (81,7), Bantul (63,7), Kota Yogyakarta (52,6). Sedangkantahun 2002, pekerja sektor informal di Sleman sekitar 43,5 persen, Kulon Progo (72,3), Bantul(53,7), Gunung Kidul (82,5), Kota Yogya (38,6). (Kompas Jogja. kamis, 30 Juni 2005)

23 Pemkot Yogyakarta menjamin pengembangan seluruh pasar tradisional yang lebih nyaman.Pasar tradisional23 diharapkan mendukung ikon kota pariwisata semakin melekat padaYogyakarta. Sebanyak 31 pasar akan mendapat program pengembangan, seperti pengubinandan pengatapan, sehingga pasar-pasar tradisional akan bebas dari becek, bocor, dan kumuh.23

Sementara itu Sekretaris Bapeda Propinsi DIY Drs. Tavip dalam paparannya menjelaskan,bahwa berbagai hal mengenai potensi DIY dan peluang usaha, serta kiat-kiat dalam meningkatkan

Page 32: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

24 25

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

tal 13 ribu pasar tradisional juga harus tutup.24 Di Bekasi,dari 10 pasar yang berada di bawah kendali Pemerintah Kota(Pemkot) Bekasi, tiga di antaranya terancam tutup (SinarHarapan 03/02/05).25

Sebaliknya, raksasa ritel hypermarket yang tiga tahun lalubaru membukukan pangsa penjualan 3%, secara berturut turunnaik pada 2003 menjadi 5%, dan tahun lalu melonjak menjadi7%.26 Termasuk hypermarket, beberapa peritel modern mencakupsupermarket, factory outlet, hingga minimarket, mampu memacupertumbuhan penjualan barang konsumsi Indonesia hingga 17%.Padahal, pertumbuhan pada tahun sebelumnya hanya 14%. Angkaini merupakan tertinggi di kawasan Asean.27

Jika kondisi di atas dibiarkan, delapan tahun ke depanseluruh pasar tradisional di Indonesia akan mati. Sekitar 12,6juta pedagang pasar tradisional ditambah masing-masing rata-rata dua pegawai dan empat anggota keluarga terancam kehilanganmata pencaharian dan jatuh ke dalam kemiskinan absolut. Iniberarti, sekitar 118,2 juta rakyat Indonesia yang hidupnya sudahsulit akan jatuh lebih dalam ke jurang kemiskinan.28 Inilahpersoalan mendasar yang harus dijawab, ditengah harapan untukmelakukan desentralisasi kebijakan sementara paradigmapembangunan masih mendasarkan pada pertumbuhan tanpapemerataan. Bahkan saat ini kian susut dan menghilang dimensietis nilai-nilai humanistik sebagai basis pijak dalam pembangunansebagaimana selalu dipromosikan dalam arus perubahan.

Itulah beberapa cerita problem baru kapitalisasi dengandampak baru marginalisasi. Ibarat kolonialisme gaya baru di araslokal yang menunggangi kebijakan otonomi daerah. Skenariokapitalisme dengan masih berkutat pada sangkar besi per-

tumbuhan, menumpangi gerak dan tuntutan liberalisasi politikmengalami distorsi. Jika kita kontradiksikan dengan pendapatkalangan pendukung teori dependensi, bahwa demokrasi yangberkiblat pada paham liberalis yang dtunggangi kapitalisme itu,yang sementara ini sangat digandrungi banyak negara-negaraindustri maju, hanya khusus terjadi di tahap awal kapitalisme,yakni abad 18 19 di Eropa Barat. Karena itu, relevansi bagikehendak menciptakan kesejahteraan warga di Negara-negaraDunia Ketiga menjadi patut dipertanyakan. Pengalaman sejarahmengenai ekspansi modernisasi yang “dipaksakan” ke Negara-negara Dunia Ketiga atau pemerintahan post-kolonial, hanyalahmenjadi cara baru penggalian kubur bagi kemerosotan strukturaldirinya ketika harus berhadap-hadapan dengan negara maju.29

Seperti halnya, kontekstualisasi skenario liberal yang lebihdilandasi disain kapitalisme itu, yang secara struktural nyata-nyatamemiliki derajat perbedaan yang signifikan dengan keadaan yangada di Indonesia. Kecenderungan yang tengah terjadi saat iniadalah munculnya ancaman baru ketidakmampuan memenuhipenyesuaian struktural yang termaktub dalam “jurus kaum neoliberal”, yang bersumber karena ketidaktepatan strategi ketikaharus diterapkan secara ‘terpaksa’ di negara-negara Dunia Ketiga.30

Pengalaman sejarah mengenai ekspansi modernisasi yang“dipaksakan” ke Negara-negara Dunia Ketiga atau pemerintahanpost-kolonial, hanyalah menjadi cara baru penggalian kubur bagikemerosotan struktural dirinya ketika harus berhadap-hadapandengan negara maju.31 Seperti halnya, kontekstualisasi skenarioliberal yang lebih dilandasi disain kapitalisme itu, yang secarastruktural nyata-nyata memiliki derajat perbedaan yang signifikandengan keadaan yang ada di Indonesia. Nah, pemerintah daerahnampaknya tengah asyik merayakan praktik kolonisasi itu denganresiko marginalisasi masyarakat kelas bawah, dalam semestapembicaraan ini adalah komunitas ekonomi tradisional desa.

pembangunan yang dilakukan DIY menuju Pemerintahan yang katalistik dan masyarakat yangkompetitif, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bagi keluarga miskin.

24 (http://news.antara.co.id. 6 Juni 2005)25 (http://urbanpoor.or.id. 6 Februari 2005)26 (www.bisnis.com. Rabu,15 Juni 2005)27 (www.bisnis.com. Rabu,15 Juni 2005)28 (www.majalahsaksi.com. Sabtu, 7 Mei 2005)

29 Hettne, 1985, op cit30 Petras, James dan Veltmeyer, Henry, Imperialisme Abad 21, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002.31 Hettne, 1985, op cit; Sugihardjanto dkk, Globalisasi perspektif sosialis, Cubuc, 2001.

Page 33: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

26 27

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Krisis Otonomi dan Demokrasi DesaOtonomi desa yang dikenal sebagai otonomi asli mengalami

krisis yang serius ketika negara dan modal masuk ke desa.Kebijakan dan pengaturan negara terhadap desa sama sekali tidakmenghormati eksistensi desa dan tidak dimaksudakan untukmemperkuat posisi, kemampuan, dan kemandirian desa. Di masaOrde Baru, berbagai kebijakan dan pengaturan terhadap desa,seperti UU No. 5/1979, secara menyolok mengedepankankorporatisasi politik untuk menciptakan stabilitas politik desa,memperkuat birokratisasi dan kontrol politik untuk membuatloyalitas pemerintah desa, membuka ruang-ruang bagi penetrasimodal ke desa, serta “membuang” berbagai bantuan ke desa yangterkesan sangat populis.

Ada sejumlah bukti empirik krisis otonomi desa akibat darinegaranisasi dan kapitalisasi ke desa. Pertama, hilangnya kontroldesa atas property right (terutama tanah) sehingga menghancurkankedaulatan rakyat desa. Sebagian besar tanah dikuasai oleh negara.Negara tidak mengindahkan prinsip-prinsip negara kesejahteraan(welfare state) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945,tetapi justru bertindak sebagai komprador yang memberi lisensiterhadap para pejabat, keluarga pejabat, orang-orang kaya maupunpemilik modal untuk menguasai tanah rakyat. Akibatnya terjadilahmarginalisasi dan pemiskinan terhadap rakyat desa.

Di Delanggu Klaten pada tahun 1970-an akibat petani tidakmau mengikuti program perkebunan inti rakyat (PIR) benihpadinya dibakar oleh pemerintah. Padahal benih di Delangu kalaitu merupakan benih padi yang paling unggul dari benih padiyang ada di tanah air. Tapi sejak peristiwa pembakaran kala itu,dan pemaksaan terhadap petani dalam program PIR, benih ituhilang sampai dengan saat ini. Begitu pula dengan adanya lisensiHPH, banyak sekali pola pengobatan tradisional masyarakat adatyang ‘diputus’ aksesnya karena hutannya sudah dikuasaipengusaha. Padahal di dalam hutan itu banyak sekali tumbuh-tumbuhan hayati yang dapat dipergunakan untuk aneka jenis

pengobatan. Kini akses rakyat itu makin dibatasi seperti denganadanya proyek TNGM (Tanam Nasional Gunung Merapi) diYogyakarta, yang konon kabarnya akan dijadikan oleh pengusahaasing sebagai laboratorium untuk memproduksi berbagai jenisobat-obatan dari tanaman yang tumbuh di hutan tersebut.

Kedua, hancurnya basis sosial (kepemimpinan, pranata sosial,organisasi lokal, dan sebagainya) otonomi desa. Di Jawa, konsep“pamong desa” digantikan dengan “perangkat desa” yang harusmenjalankan tugas-tugas birokratisasi dari negara. Kepala desa,misalnya, tidak lagi menjadi pemimpin masyarakat desa,melainkan berubah menjadi bawahan camat dan bupati. Di LuarJawa, para penghulu adat dibuat minggir dan digantikan olehperangkat desa, yang kemudian membuat dualismekepemimpinan dalam desa adat, yakni antara kepala desa danpenghulu adat. Sederet pranata sosial (yang sangat berguna untukmenciptakan keseimbangan, keteraturan dan keberlanjutan dalampengelolaan barang-barang publik dan relasi sosial) mengalamikehancuran karena digantikan dengan peraturan negara yangdibuat secara seragam dan sentralistik. Di sisi lain, berbagaiorganisasi tradisional lokal yang sudah lama tumbuh, digantikandengan organisasi korporatis yang seragam hasil bentukan negara.Hancurnya organisasi lokal asli ini telah mengakibatkan lunturnyakerjasama dan solidaritas sosial, hilangnya kemampuan lokalmengelola konflik, serta memudarnya swadaya masyarakat lokal.

Demokrasi desa telah mengalami kemunduran serius setelahkolonialisasi, negaranisasi dan pembangunanisasi masuk desa. Kitasering mendengar cerita-cerita romantis bahwa desa merupakanbasis dan benteng terakhir demokrasi ketika demokrasi nasionaltelah mati. Orang Minangkabau misalnya, selalu membanggakanbahwa nagari di sepanjang masa selalu merawat demokrasikomunitarian melalui tradisi musyawarah untuk pengambilankeputusan secara kolektif. Banyak orang sering mengemukakanbahwa sisa-sisa demokrasi masih terpelihara di desa Jawa,sebagaimana ditunjukkan dengan sejumlah indikator: pemilihan

Page 34: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

28 29

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

langsung kepala desa, tradisi forum-forum RT sampai rembugdesa sebagai arena pembuatan keputusan kolektif yang demokratis,terjaganya solidaritas komunal (gotong royong) antarwarga, wargamasyarakat yang saling hidup damai berdampingan, dan sekarangtumbuh badan perwakilan desa yang dipilih secara demokratis Wadah dan praktik demokrasi telah hilang sama sekali dizaman Orde Baru. UU No. 5/1979 merupakan bentuk regulasiyang mujarab untuk menghilangkan demokrasi desa. Demokrasidalam Pilkades hanya tampak di permukaan, sebab proses elektoralselalu memperoleh pengawalan yang ketat oleh pemerintahsupradesa. Melalui penelitian khusus (litsus) yang ganas, pihakkabupaten (Kantor Sospol) hanya meloloskan para kandidat kadesyang telah terbukti mengabdi kepada pembangunan dan Golkar,maupun mereka yang betul-betul dinyatakan “loyal” padapemerintah. Di sisi lain, semua lembaga desa terkorporatisasi dandiintervensi oleh pemerintah supradesa. Lembaga MusyawarahDesa (LMD) termasuk di dalamnya. LMD, tempat musyawarahsegelintir elite desa ini, bukanlah lembaga demokrasi perwalianpara elite yang sempurna, melainkan lembaga korporatis di desa,yang dikendalikan oleh kepala desa. Keanggotaan LMD tidakdirekrut dengan proses pemilihan yang melibatkan masyarakat,melainkan hanya ditunjuk langsung oleh kades. Dalam prakteknya,LMD menjadi lembaga yang menjustifikasi kebijakan dari atasyang dikendalikan kades, serta bekerja tanpa berbasis padakepentingan masyarakat.

Kisah dominasi elite desa yang lebih berorientasi padapemerintah supradesa merupakan pertanda substantif bahwademokrasi desa telah terjadi kemunduran yang luar biasa. YumikoM. Prijono dan Prijono Tjiptoherijanto, dalam bukunya Demokrasidi Pedesaan Jawa (1983), mengkaji tentang fenomena kemundurandemokrasi desa sepanjang dekade 1960-an hingga 1970-an.Keduanya menunjukkan dua kata kunci dalam demokrasitradisional desa yang dulu pernah hidup: gotong royong danmusyawarah. Tetapi, mereka mencatat bahwa demokrasi desa

rupanya telah mengalami kemunduran karena perubahan sosial-ekonomi dan pergeseran kepemimpinan kepala desa. Merekamencatat beberapa bukti kemunduran demokrasi desa di eramodern. Pertama, lurah (kepala desa) tidak lagi menggunakancara demokrasi, tidak lagi menjadi “bapak” bagi rakyatnya, kadeslebih menjadi administrator ketimbang menjadi pemimpin.Kedua, pertumbuhan penduduk telah menyebabkan keterbatasantanah sehingga tidak ada lagi pemerataan dan kepemilikan tanahsecara komunal. Ketiga, masuknya partai-partai politik ke desayang menyebabkan berubahnya struktur kekuasaan desa. Keempat,kemunduran demokrasi tradisional juga disebabkan oleh polarisasipasca kemerdekaan, konflik mengenai land reform, pembangunandesa, yang semuanya menimbulkan perubahan fungsi ekonomikades dan keikutsertaan masyarakat dalam proses politik danpembangunan desa.

Secara substantif UU No. 5/1979 mengandung sentralisasi-negaranisasi dalam konteks hubungan desa dengan negara(supradesa), dan otoritarianisme-korporatis di dalam internalpemerintahan desa. Desa bukanlah unit yang otonom sepertihalnya daerah, tetapi hanya organisasi pemerintahan terendahyang dikendalikan negara (the local state government) melalui tangancamat. Negara betul-betul masuk ke desa. Kepala desa bukanlahpemimpin masyarakat desa, melainkan sebagai kepanjangan tanganpemerintah supra desa, yang digunakan untuk mengendalikanpenduduk dan tanah desa.

UU No. 5/1979 menegaskan bahwa kepala desa dipiliholeh rakyat melalui demokrasi langsung. Ketentuan pemilihankepala desa secara langsung itu merupakan sebuah sisidemokrasi (elektoral) di aras desa. Di saat presiden, gubernurdan bupati ditentukan secara oligarkis oleh parlemen, kepaladesa justru dipilih secara langsung oleh rakyat. Karena itukeistimewaan di aras desa ini sering disebut sebagai bentengdemokrasi di level akar-rumput. Tetapi secara empirik praktikpemilihan kepala desa tidak sepenuhnya mencerminkan

Page 35: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

30 31

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

kehendak rakyat karena hampir tidak people choice sejak awalsampai pemilihan (voting). Pilkades selalu sarat dengan rekayasadan kontrol pemerintah supradesa. Dalam studinya di desa-desa di Pati, Franz Husken (2001) menunjukkan bahwapilkades selalu diwarnai dengan intimidasi terhadap rakyat,manipulasi terhadap hasil, dan dikendalikan secara ketat olehnegara. Bagi Husken, pilkades yang paling menonjol adalahsebuah proses politik untuk penyelesaian hubungan kekuasaanlokal, ketimbang sebagai arena kedaulatan rakyat.

Cacat demokrasi desa tidak hanya terlihat dari sisi pilkades,tetapi juga pada posisi kepala desa. UU No. 5/1979 menobatkankepala desa sebagai “penguasa tunggal” di desa. Desa dibuatsebagai “negara kecil”, yang berarti dia diposisikan sebagai wilayah,organ dan instrumen kepanjangan tangan negara yang memangtersusun secara hirarkhis-korporatis, bukan sebagai tempat bagiwarga untuk membangun komunitas bersama. Desa bukanlahlocal-self government melainkan sekadar sebagai local-state govern-ment. Kepala desa adalah kepanjangan tangan birokrasi negarayang menjalankan perintah untuk mengendalikan wilayah danpenduduk desa. Karena itu Hans Antlov (2002) menyebutnyasebagai negara masuk desa. Kepala desa mengendalikan seluruhhajat hidup orang banyak, dia harus menhetahui apa saja yangterjadi di desa, termasuk selembar daun yang jatuh dari pohon diwilayah yurisdiksinya. Ken Young (1993) bahkan lebih sukamenyebut kepala desa sebagai “fungsionaris negara” ketimbangsebagai “perangkat desa”, karena dia lebih banyak menjalankantugas negara ketimbang sebagai pemimpin masyarakat desa.

UU No. 5/1979 sebenarnya juga mengenal pembagiankekuasaan di desa, yakni ada kepala desa dan Lembaga MusyawarahDesa (LMD). Pasal 3 menegaskan, pemerintah desa terdiri darikepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). LembagaMusyawarah Desa adalah lembaga permusyawaratan ataupemufakatan yang keanggotaannya terdiri atas Kepala-kepalaDusun , Pimpinan Lembaga-lembaga Kemasyarakatan, dan

pemuka-pemuka masyarakat di esa yang bersangkutan (Pasal 17).Meski ada pembagian kekuasaan, tetapi LMD tidak mempunyaikekuasaan legislatif yang berarti. LMD bukanlah wadahrepresentasi dan arena check and balances terhadap kepala desa.Bahkan juga ditegaskan bahwa kepala desa karena jabatannya (exofficio) menjadi ketua LMD (Pasal 17 ayat 2).

Jika di desa, kepala desa menjadi penguasa tunggal, tetapikalau dihadapan supradesa, kepala desa hanya sekadar kepanjangantangan yang harus tunduk dan bertanggungjawab kepadasupradesa. Menurut UU No. 5/1979 Kepala Desa diangkat dandiberhentikan oleh Bupati /Walikotamadya Kepala Daerah TingkatII atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I (pasal 6 dan 9),untuk masa jabatan selama 8 tahun, dan dapat dipilih kembaliuntuk satu masa jabatan berikutnya (pasal 7). Kepala Desamenjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinanpemerintahan desa yaitu menyelenggarakan rumah tangganyasendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggung jawabutama dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatandalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintah desa, urusanpemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman danketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yangberlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotongroyong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan pemerintahandesa. Dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajibanpimpinan pemerintah desa, Kepala Desa bertanggung jawabkepada pejabat yang berwenang mengangkat melalui Camat; danmemberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut kepadaLembaga Musyawarah Desa (Pasal 10).

Sebagian besar kepala desa bukanlah pemimpin masyarakatyang berakar dan legitimate di mata masyarakat meski secara fisikdekat dengan rakyat, melainkan menjadi bagian dari birokrasinegara yang mempunyai segudang tugas kenegaraan: menjalankanbirokratisasi di level desa, melaksanakan program-programpembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada

Page 36: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

32 33

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

masyarakat, serta melakukan kontrol dan mobilisasi warga desa.Jika pemerintah desa menjadi sentrum kekuasaan politik, makakepala desa merupakan personifikasi pemerintah desa. Semua matadi desa ditujukan kepada kepala desa secara personal. Karena itukepala desa selalu sensitif terhadap legitimasi. Legitimasi berartipengakuan rakyat terhadap kekuasaan dan kewenangan kepaladesa untuk bertindak mengatur dan mengarahkan rakyat. Tetapilegitimasi tidak turun dari langit begitu saja. Kepala desa yangterpilih secara demokratis belum tentu memperoleh legitimasiterus-menerus ketika menjadi pemimpin di desanya. Legitimasimempunyai asal-usul dan sumbernya. Legitimasi kepala desabersumber pada ucapan yang disampaikan, nilai-nilai yang diakui,serta tindakan yang ia setiap hari. Umumnya kepala desa yakinbetul bahwa pengakuan rakyat sangat dibutuhkan untukmembangun eksistensi dan menopang kelancaran kebijakanmaupun tugas-tugas yang dia emban, meski setiap kepala desamempunyai ukuran dan gaya yang berbeda-beda dalammembangun legitimasi. Tetapi, kepala desa umumnyamembangun legitimasi dengan cara-cara yang sangat personalketimbang institusional. Kepala desa dengan gampang diterimasecara baik oleh warga bila ringan tangan membantu danmenghadiri acara-acara privat warga, sembada dan pemurah hati,ramah terhadap warganya, dan lain-lain (IRE, 2003; AAGN AriDwipayana dan Sutoro Eko, 2003).

Kepala desa selalu tampil dominan dalam urusan publik danpolitik, tetapi dia tidak mengembangkan sebuah tatapemerintahan yang bersendikan transparansi, akuntabilitas, dayatanggap, kepercayaan dan kebersamaan. Yang terjadi adalahsebaliknya: penundukan secara hegemonik terhadap warga, karenakepala desa merasa dipercaya dan ditokohkan oleh warga. Kepaladesa punya citra diri benevolent atau sebagai wali yang sudahdipercaya dan diserahi mandat oleh rakyatnya, sehingga kadestidak perlu bertele-tele bekerja dengan semangat partisipatif dantransparansi, atau harus mempertanggungjawabkan tindakan dan

kebijakannya di hadapan publik. Sebaliknya, warga desa tidakterlalu peduli dengan kinerja kepala desa sebagai pemegangkekuasaan desa, sejauh sang kepala desa tidak mengganggu perutdan nyawa warganya secara langsung. Warga desa, yang sudahlama hidup dalam pragmatisme dan konservatisme, sudah cukuppuas dengan penampilan Kades yang lihai pidato dalam berbagaiacara seremonial, yang populis dan ramah menyapa warganya,yang rela beranjangsana, yang rela berkorban mengeluarkan uangdari kantongnya sendiri untuk kepentingan umum, yangmenjanjikan pembangunan prasarana fisik dan seterusnya.Masyarakat tampaknya tidak mempunyai political space yangcukup dan kapasitas untuk voice dan exit dari kondisi strukturaldesa yang bias elite, sentralistik dan feodal.

Sebagai miniatur negara Indonesia, desa menjadi arena politikpaling dekat bagi relasi antara masyarakat dengan pemegangkekuasaan (perangkat desa). Di satu sisi, para perangkat desamenjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai segudangtugas kenegaraan: menjalankan birokratisasi di level desa,melaksanakan program-program pembangunan, memberikanpelayanan administratif kepada masyarakat, serta melakukankontrol dan mobilisasi warga desa. Tugas penting pemerintah desaadalah sebagai kepanjangan tangan birokasi pemerintah denganmemberi pelayanan administratif (surat-menyurat) kepada warga.Sudah lama birokratisasi surat menyurat itu mereka anggap sebagaipelayanan publik, meskipun hal itu yang membutuhkan adalahnegara, bukan masyarakat. Semua unsur pemerintah desa selaluberjanji memberikan “pelayanan prima” 24 jam nonstop. Karenaitu kepala desa senantiasa siap membawa tas kecil dan stempeluntuk meneken surat yang dibutuhkan warga masyarakat. “Kalauada warga mengetuk pintu rumah jam dua pagi tetap saya layani”,demikian tutur seorang kepala desa.

Di sisi lain, karena dekatnya arena, secara normatifmasyarakat akar-rumput sebenarnya bisa menyentuh langsungserta berpartisipasi dalam proses pemerintahan dan pembangunan

Page 37: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

34 35

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

di tingkat desa. Para perangkat desa selalu dikonstruksi sebagai“pamong desa” yang diharapkan sebagai pelindung dan pengayomwarga masyarakat. Para pamong desa beserta elite desa lainnyadituakan, ditokohkan dan dipercaya oleh warga masyarakat untukmengelola kehidupan publik maupun privat warga desa. Dalampraktiknya antara warga dan pamong desa mempunyai hubungankedekatan secara personal yang mungkin diikat dengan talikekerabatan maupun ketetanggaan, sehingga kedua unsur itusaling menyentuh secara personal dalam wilayah yang lebih privatketimbang publik. Batas-batas urusan privat dan publik di desasering kabur. Sebagai contoh, warga masyarakat menilai kinerjapamong desa tidak menggunakan kriteria modern (transparansidan akuntabilitas), melainkan memakai kriteria tradisional dalamkerangka hubungan klientelistik, terutama kedekatan pamongdengan warga yang bisa dilihat dari kebiasaan dan kerelaanpamong untuk beranjangsana.

Akuntabilitas publik sebenarnya merupakan isu yang sangatpenting bagi demokrasi pemerintahan desa. Tetapi secara empirikakuntabilitas tidak terlalu penting bagi kades. Ketika kadessudah memainkan fungsi sosialnya dengan baik, maka kadescenderung mengabaikan akuntabilitas di hadapan masyarakat.Ia tidak perlu mempertanggungjawabkan program, kegiatan dankeuangannya, meski yang terakhir ini sering menjadi problemyang serius. Proses intervensi negara ke desa dan integrasi desake negara menjadikan kades lebih peka terhadap akuntabilitasadministratif terhadap pemerintah supra desa ketimbangakuntabilitas politik pada basis konstituennya.

Lemahnya transparansi adalah problem lain yang melengkapilemahnya akuntabilitas pemerintah desa, yang bisa dilihat darisisi kebijakan, keuangan dan pelayanan administratif. Kebijakandesa umumnya dirumuskan dalam kotak hitam oleh elite desatanpa melalui proses belajar dan partisipasi yang memadai.Masyarakat desa, yang menjadi obyek risiko kebijakan, biasanyakurang mengetahui informasi kebijakan dari proses awal.

Pemerintah desa sudah mengaku berbuat secara transparan ketikamelakukan sosialisasi (sebuah istilah yang sangat populer di matabirokrasi Indonesia) kebijakan (yang hampir final) kepada wargamasyarakat. Tetapi sosialisasi adalah sebuah proses transparansiyang lemah, karena proses komunikasinya berlangsung satu arahdari pemerintah desa untuk memberi tahu (informasi) dan bahkanhanya untuk meminta persetujuan maupun justifikasi dari warga.Warga tidak punya ruang yang cukup untuk memberikan umpanbalik dalam proses kebijakan desa.

Pengelolaan keuangan dan pelayanan juga sedikit-banyakbermasalah. Keuangan desa identik dengan keuangan kepala desa.Kecuali segelintir elite, warga masyarakat tidak memperolehinformasi secara transparan bagaimana keuangan dikelola, seberapabesar keuangan desa yang diperoleh dan dibelanjakan, ataubagaimana hasil lelang tanah kas desa dikelola, dan seterusnya.Masyarakat juga tidak memperoleh informasi secara transparantentang prosedur dan biaya memperoleh pelayanan administratif.

Lemahnya praktik-praktik demokrasi desa di atas dibungkusdalam kultur dan struktur kekuasaan desa yang paternalistik-klientelistik. Kultur kepamongan yang klientelistik melekat betulpada pemerintah desa. Pamong desa berarti harus bisa menjadipengayom, pelindung, panutan, teladan, murah hati, ringantangan, dan seterusnya. Intikator kinerja menurut versi masyarakatitu tidak menjadi masalah sejauh tidak bersentuhan denganmasalah kekuasaan, kekayaan dan barang-barang publik. Tetapiberurusan dengan pemerintahan dan birokrasi negara, dimensikekuasan dan kekayaan itu tidak bisa diabaikan oleh pemerintahdesa dan masyarakat. Pemerintah desa yang mengelola kekuasaandan kekayaan dalam bingkai birokratisasi negara justrumenyebabkan pergeseran makna pamong desa: dari pamong desayang populis dan egaliter menjadi perangkat desa yang birokratis.Pamong tidak lagi berakar dan berpihak kepada masyarakat,melainkan telah menjadi tangan-tangan negara yang membenanidan mengendalikan masyarakat.

Page 38: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

36 37

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Kegagalan Pembangunan DesaPembangunan adalah sebuah mantra dan ikon dominan Orde

Baru yang dia gunakan untuk merajut legitimasi di hadapanrakyatnya. Melalui skema “pembangunan nasional”, negaramenjadi aktor utama yang menanam investasi (kebijakan danpendanaan) pembangunan desa secara besar-besaran, membuatperencanaan (master plan) pembangunan secara sentralistik-teknokratis dengan format GBHN dan Repelita, sertamenggunakan mesin birokrasi-militer yang besar untukmengendalikan dan melaksanakan berbagai programpembangunan desa. Di atas kertas, investasi pembangunan desamempunyai sederet tujuan yang sangat mulia: mendistribusikanlayanan sosial, meningkatkan kemampuan lembaga-lembaga desadan sumberdaya manusia, mendorong swadaya dan gotong royongmasyarakat, menanggulangi kemiskinan desa, membukakesempatan kerja, meningkatkan taraf hidup masyarakat sertameningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Pembangunan desa yang berorientasi pada pertumbuhanekonomi memang telah menciptakan mobilitas sosial dan angka-angka statistik yang meningkat dan menggembirakan. Mobilitassosial bisa kita ukur dari indikator perubahan wajah fisik desa,perbaikan perumahan penduduk, peningkatan derajat pendidikan,perubahan struktur okupasi, perbaikan sarana dan prasaranatransformasi penduduk desa, peningkatan kepemilikanperlengkapan modern (televisi, motor, mobil, telepon selular,parabola, mesin cuci, lemari es, dan masih banyak lagi).

Dari data BPS dapat dicatat bahwa pembagian pendapatanantargolongan penduduk pada tahun 1990 cenderung membaikdibanding tahun 1978. Perbaikan dalam pembagian pendapatanantarkelompok penduduk ditunjukkan oleh menurunnya koefisienGini dari 0,38 pada tahun 1978 menjadi 0,32 pada tahun 1990.Angka ini menggambarkan membaiknya pembagian pendapatan.Penyebab utama membaiknya pembagian pendapatan adalahmeningkatnya persentase pendapatan yang diterima oleh

kelompok penduduk berpendapatan rendah terutama di daerahperdesaan yang merupakan daerah pemusatan penduduk miskin.Persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok pendudukberpendapatan rendah di daerah perdesaan naik dari 19,88% padatahun 1978 menjadi 24,41% pada tahun 1990, dan 25,13%pada tahun 1993. Dengan demikian penduduk pedesaan turutmenikmati hasil dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Namun pada tahun 1996 dan 1999 yang mencerminkansebelum dan pada saat dampak krisis ekonomi, indeks Ginimeningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal ini berartikesenjangan antargolongan pendapatan cenderung meningkatterutama di daerah perkotaan. Faktor penyebab utama adalahmenurunnya persentase pendapatan yang diterima oleh 40 persenkelompok berpendapatan rendah, dan meningkatnya persentasependapatan yang diterima oleh 20 persen kelompok berpendapat-an tinggi. Kondisi ini mencerminkan paradoks pembangunan.Di satu sisi berbagai hasil pembangunan telah dicapai sehinggajumlah penduduk miskin berkurang. Di sisi lain, kesenjangancenderung meningkat sehingga perlu dipecahkan.

Tantangan utama untuk mengurangi kesenjanganpendapatan antargolongan penduduk adalah meningkatkanproduktivitas dan pendapatan kelompok masyarakat ber-pendapatan rendah, yaitu buruh tani, petani berlahan sempit,nelayan, buruh nelayan, perambah hutan, masyarakat terasingdan mereka yang putus sekolah, serta tenaga kerja dengan upahrendah di daerah perkotaan. Disamping itu perlu dilakukanpenciptaan lapangan kerja baru, perluasan kesempatan kerjayang produktif, serta penentuan sistem pemberian imbalan/upah yang layak.

Dari hasil pendataan BPS tahun 1994 diketahui bahwajumlah desa tertinggal tercatat 22.094 desa. Jumlah desa tertinggalyang berada di daerah perkotaan adalah 1.143 desa (16,4%) dandi daerah pedesaan 20.951 desa (35,8%). Persebaran desatertinggal menurut pulau menunjukkan bahwa di Sumatera

Page 39: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

38 39

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

terdapat 7.197 desa tertinggal, dan di Jawa 6.329 desa tertinggal.Jumlah desa tertinggal yang berada di Maluku dan Papuasebanyak 2.656 desa, dan Kalimantan sebanyak 2.537 desa.Sedangkan jumlah desa tertinggal di Bali, Nusa Tenggara danTimor Timur sebanyak 1.158 desa, dan sebanyak 2.217 desatertinggal terdapat di Sulawesi. Berbagai program pembangunanprasarana dan sarana perdesaan telah dilakukan sehingga jumlahdesa tertinggal berkurang.

Statistik pertanian 2003 juga memperlihatkan peningkatanjumlah rumah tangga petani dari 20,8 juta pada tahun 1993menjadi 25,6 juta pada tahun 2003. Peningkatan yang samajuga terjadi pada populasi petani gurem (pemilik lahan kurangdari setengah hektar), yakni sejumlah 10,8 juta (1993) menjadisejumlah 13,7 juta (2003). Angka 13,7 juta itu tersebar 74,9%di Jawa dan 25,1% di luar Jawa (Bustanul Arifin, 2005). Sejak1980-an pemerintah sudah mencanangkan proyek swasembadaberas, tetapi proyek ini menderita kegagalan, terbukti beberapatahun terakhir Indonesia melakukan impor beras dari negeri-negerilain. Banyak orang sedih, begitu ironisnya Indonesia, sebuahnegeri agraris yang besar tetapi melakukan impor beras. Setiaphari kita mendengar jeritan petani tentang gagal panen,menurunnya harga gabah, serta meningkatnya harga bibit danpupuk. Para petani di sektor lain (tembakau, jeruk, apel, kakao,cengkeh, lada, mangga, dan lain-lain) selalu tidak berdaya bilabernegosiasi harga dengan para cukong pemilik modal.

Kesenjangan antargolongan penduduk mempunyai kaitanerat dengan kesenjangan ­pengembangan kegiatan antarsektorekonomi. Kantong kemiskinan sebagai pemusatan pendudukmiskin umumnya di sektor pertanian sehingga pengembangansektor pertanian sangat penting dalam penanggulangankemiskinan. Dari segi penyerapan tenaga kerja, sektor pertanianmasih memegang peranan penting dalam menyerap tambahanangkatan kerja dalam jumlah yang cukup besar dan menampungpenganggur akibat krisis ekonomi.

Kenyataan menunjukkan bahwa pembangunan sektorpertanian belum optimal yang disebabkan oleh ketidakmerataaninvestasi. Alokasi kredit perbankan berdasar­kan sektor kegiatanekonomi menunjukkan bahwa pada tahun 1985 sektor pertanianmemperoleh kredit sebesar 8% dari seluruh kredit, sektor industri34%, sektor perdagangan sekitar 32%, sektor jasa 17%, dan sektor-sektor lainnya sekitar 7%. Pada tahun 1995 alokasi kredit untuksektor pertanian turun menjadi 6,62%, kredit sektor jasa 28,38%,sektor industri pengolahan menjadi 30,73%, dan selebihnya lain-lain. Pada tahun 1998 dan 1999 dan 2000 alokasi kredit untuksektor pertanian meningkat menjadi di atas 10%. Hal inimenyiratkan adanya kesadaran untuk membangun pertaniansebagai landasan pemulihan ekonomi.

Tetapi ledakan pertumbuhan dan mobilitas sosial itu belummenjadi fondasi yang kokoh bagi human well being, kesejahteraandan keadilan di desa. Ketimpangan jauh lebih besar dan seriusketimbang kemajuan dan kemakmuran yang dihasilkan olehpembangunan. Mungkin argumen ini masih prematur, sehinggabutuh penelitian yang lebih mendalam. Tetapi setidaknya kitabisa menunjukkan sederet bukti tentang lemahnya kesejahteraandan keadilan bagi masyarakat desa. Setiap hari kita prihatin denganbalada yang menimpa para petani, mayoritas penghuni desa.

Desa sudah lama tidak menjanjikan penghidupan yangberkelanjutan bagi penduduk. Kita tidak bisa menghitung lagiberapa besar penduduk desa yang tidak merasa at home di desa.Laju urbanisasi penduduk desa memadati kota-kota besar, sebagaipemasok buruh murah, pedagang kaki lima (sektor informal) ataumenjadi kaum miskin kota. Hidup sebagian dari mereka di kota-kota besar selalu tidak berdaya dan rentan karena setiap saat harusberhadapan dengan penggusuran. Hampir setiap pemerintahdaerah (apalagi pemerintah DKI Jakarta) bersikeras melancarkanpengaturan untuk melakukan penggusuran terhadap parapedagang kaki lima maupun kaum miskin kota, karena dianggapmenganggu keamanan, ketertiban dan keindahan kota.

Page 40: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

40 41

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Di tempat lain, setiap hari, kita juga prihatin dengan kondisiribuan bahkan jutaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) – yang berasaldari desa — yang menjadi tenaga buruh murah di negeri-negerilain. Kisah-kisah kekerasan (pemerkosaan, penyiksaaan,penindasan, penipuan, pemerasan, pengusiran dan lain-lain)terhadap TKI oleh majikan atau bahkan oleh petugas imigrasimaupun para preman, selalu kita dengar setiap hari. Ketikanaskah ini ditulis, kita menyaksikan dengan telanjang betapaganasnya pengusiran pemerintah Malaysia terhadap lebih dariseratus ribu TKI haram (ilegal). Sebagian dari mereka yangsinggah di Batam, Kuala Tungkal atau Nunukan pun segeradihalau oleh petugas. Pemerintah betul-betul kedodoran dalammemberikan perlindungan terhadap TKI dan tunggang-langgangdalam berdiplomasi mengatasi masalah TKI.

Kemiskinan kebijakan yang diderita pemerintah (tetapi parapejabatnya kaya-raya) paralel dengan kemiskinan yang dideritarakyat kebanyakan. Hingga saat ini kemiskinan masih terlihat dimana-mana, di desa, di kota, dan di lingkungan sekitar kita. Jumlahpenduduk miskin dan tingkat kemiskinan di Indonesia telahmengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1970,sekitar 68% penduduk Indonesia dikategorikan miskin. Berbagaiupaya pembangunan selama lebih dari dua dekade berhasil menekanpersentase penduduk miskin menjadi 11% pada tahun 1996.Namun jumlah penduduk miskin kembali meningkat setelah krisisekonomi di pertengahan tahun 1997. Menurut BPS, pada bulanAgustus 1999 jumlah orang miskin menjadi 47,9 juta orang(23,4% dari total penduduk). Sekitar 15,6 juta orang berada dikawasan perkotaan, dan 32,3 juta orang di pedesaan. Pada tahun2002 angka kemiskinan mengalami peningkatan, tercatat sejumlah25,08 juta (21,1%) penduduk pedesaan yang tergolong sebagaikaum miskin. Di samping itu masih ada sekitar 25% pendudukIndonesia diperkirakan rentan terhadap kemiskinan. Hal ini berartihampir separuh penduduk Indonesia dapat dikategorikan sebagaimiskin atau rentan terhadap kemiskinan. Krisis ekonomi telah

menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan atau mengalamipenurunan pendapatan, khususnya di sektor formal, industri dankonstruksi. Upah di perkotaan juga lambat dalam menyesuaikankenaikan harga bahan makanan dan kebutuhan dasar lainnya karenaadanya devaluasi dan inflasi.

Pemerintah memang menanam investasi dana yang besaruntuk membiayai pembangunan desa, mulai dari Inpres Desa,Pengembangan Kawasan Terpadu, Inpres Desa Tertinggal,maupun proyek-proyek sektoral yang dikendalikan oleh semuadepartemen di Jakarta, kecuali Departemen Luar Negeri.Memang kita tidak bisa menghitung lagi berapa besar danayang mengalir dari pemerintah, tetapi banyak orang, termasukProfesor Mubyarto, sangat yakin bahwa dana pemerintah untukkepentingan rakyat kecil jauh lebih kecil ketimbang danarekapitalisasi perbankan selama krisis ekonomi dalam beberapatahun terakhir. Berdasarkan kalkulasi statistik, Inpres Bandesselama 30 tahun tidak mencapai angka 3 trilyun rupiah padahaluntuk menjangkau rakyat desa yang berjumlah 60% dari to-tal penduduk Indonesia, sementara pemerintah mengucurkanhampir 1000 trilyun rupiah untuk keperluan rekapitalisasiperbankan. Ini memperlihatkan ketimpangan danketidakadilan sosial, sekaligus menggambarkan betapalemahnya komitmen politik pemerintah terhadap kaum mar-ginal. Ketika Adi Sasono menjabat Menteri Koperasi danUKM, tentu sangat paham tentang ketidakadilan itu, sehinggadia melahirkan kebijakan Kredit Usaha Tani (KUT) secarabesar-besaran untuk mendukung petani. Tetapi kebanyakanekonom neoklasik dan neoliberal mengecam keras bahwakebijakan Adi Sasono yang pro petani itu merupakan kebijakanugal-ugalan yang bisa mengganggu stabilitas makro ekonomi.Karena pengaruh kuat para ekonom neoklasik dan neoliberal,kebijakan ekonomi pemerintah yang pro rakyat miskin terlihatsangat lemah. “Pemerintah tidak bakal turun tangan kalau adapeternak lele yang bangkrut, tetapi pemerintah pasti campur tangan

Page 41: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

42 43

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

serius pada kasus Texmaco”, demikian ungkap SuwarsonoMuhammad, seorang ekonom kritis dari FE-UII Yogyakarta.

Dalam konteks ekonomi nasional yang dikuasai oleh oligarkhidan komprador, maka kebijakan pembangunan pedesaan tidaklebih dari sekadar “politik etis”, yang menempatkan desa sebagaiobyek kebijakan dan tempat membuang bantuan. Berbagaiproyek fisik berskala besar (transportasi, waduk, taman nasional,dan lain-lain) sering dilakukan tanpa konsultasi dengan rakyatsetempat, sehingga menimbulkan masalah yang serius. ProyekWaduk Kedung Ombo, misalnya, telah memberikan keuntunganbesar bagi pemodal maupun pejabat pemerintah, tetapi proyekitu mengharuskan penggusuran rakyat setempat tanpamemperhatikan ganti rugi yang manusiawi.

Di sisi lain, pemerintah tidak ikut turun tangan seriusterhadap agenda pembangunan yang masuk ke pemukimanpenduduk desa. Pemerintah menyerahkannya sebagai domainswadaya dan gotong-royong masyarakat. Setiap pemerintahmengucurkan bantuan desa selalu diberikan pesan bahwa “bantuan”bukanlah komponen utama untuk pembiayaan pembangunan desa,melainkan sebagai dana stimulan untuk mendorong swadaya dangotong-royong masyarakat setempat. Berbagai pihak, termasukpemerintah, selalu menegaskan bahwa swadaya merupakan esensidan basis otonomi asli desa. Saya setuju dengan pendapat ini, sebabsejak dulu swadaya menjadi pilar utama yang dimiliki desa sebagaiself-governing community. Tetapi ketika negara dan pembangunanmasuk ke desa, yang terjadi adalah eksploitasi terhadap swadayauntuk membangun sarana fisik desa, sebagaimana pemerintahkolonial Belanda menerapkan kerja rodi kepada penduduk setempatuntuk membangun prasarana transportasi. Karena sudah adaswadaya, maka pemerintah tidak merasa perlu mengalokasikananggaran yang memadai dan berkeadilan kepada desa. Anggarannegara lebih banyak digunakan untuk membiayai kebutuhan ru-tin birokrasi negara, membangun kota dan mensubsidi orang-or-ang kaya yang menguasai perusahaan-perusahaan besar.

Mengapa Gagal?Kita sudah lama mengenal pendekatan struktural untuk

memahami kemiskinan, tetapi pendekatan yang terus-menerusdisuarakan oleh akademisi kritis dan aktivis ini tidakditransformasikan menjadi kebijakan. Menurut pendekatanstruktural, rendahnya kesejahteraan-keadilan dan tingginyakemiskinan bisa dibaca dari konteks relasi antara negara, modal(kapital) dan masyarakat (termasuk kaum miskin). Kita bisamelihat secara kritis atas ketimpangan posisi dan peran para aktoritu dalam proses pemerintahan, pembangunan dankemasyarakatan di level desa. Tabel 1 menggambarkan secaragamblang bagaimana ketimpangan posisi-peran para aktor (negara,kapital dan masyarakat) dalam proses transformasi ekonomi-politik(negaranisasi, pembangunan, kapitalisasi/industrialisasi dantransisi desentralisasi-demokratisasi).

IRE (2005) memperlihatkan secara gamblang bagaimanaterjadinya missink link antara tranformasi politik dan transformasiekonomi, dalam konteks relasi antara negara, kapital danmasyarakat, sehingga tidak menimbulkan perubahan mendasarmenuju kesejahteraan, kemandirian dan keadilan bagi masyarakatdesa. Pertama, transformasi ekonomi (pembangunan dankapitalisasi) berjalan secara cepat tanpa diimbangi dengantransformasi politik (desentralisasi dan demokratisasi). Ekonomitumbuh semakin liberal (yang melibatkan modal dan pasar secarabebas), tetapi liberalisasi politik di sektor nagara dan masyarakattidak terjadi. Di sektor politik, yang terjadi adalah rekayasa politik(melalui negaranisasi) untuk mengendalikan dan melemahkanmasyarakat, sementara negara membuat kebijakan dan regulasiyang sangat menguntungkan pemodal.

Kedua, proses transformasi ekonomi-politik didominasi olehnegara dan kapital, sementara masyarakat desa berada dalam posisimarginal. Semua hal masuk ke desa, baik negara maupun kapital,tetapi politik lokal tidak boleh masuk ke desa. Masyarakat hanyamenjadi obyek negaranisasi oleh negara dan eksploitasi ekonomi

Page 42: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

44 45

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

oleh kapital. Pemilik modal tumbuh menjadi aktor yang otonom,kuat dan mampu mengendalikan negara, setidak-tidaknya parapejabat negara yang berlaku sebagai komprador. Dengan kekuatanmodal dan proteksi negara, pemilik modal bisa mengendalikantanah dan penduduk desa. Negaranisasi telah membuat negaramenjadi kuat dan mencengkeram masyarakat desa, tetapi kapasitasnegara menjadi sangat lemah, terutama kapasitasnya dalammengontrol modal dan melindungi masyarakat.

Ketiga, karena ketimpangan peran aktor, dan sekaligus karenatidak adanya transformasi politik yang masuk ke desa, maka lajukapitalisasi di desa sama sekali tidak memberikan kontribusiterhadap penguatan basis ekonomi dan otonomi desa. Negaranisasidan kapitalisasi hanya memperkaya pemilik modal, pejabatpemerintah dan elite desa.

Keempat, di era reformasi juga terjadi missink link antaratransformasi ekonomi dan transformasi politik (desentralisasi dandemokratisasi). Kapitalisasi desa tetap berjalan terus, tetapi erareformasi sekarang memperlihatkan kian melemahnya negaranisasi,serta melemahnya kapasitas negara (weak state), sekaligusbangkitnya desentralisasi dan demokratisasi yang mulaimemperkuat desa dan masyarakat.

Kelima, transformasi ekonomi melalui pembangunan tanpagovernance reform atau transformasi politik (desentralisasi dandemokratisasi) tidak hanya menciptakan ketimpangan ekonomi,tetapi juga membuat masyarakat desa (bahkan orang luar yangterdidik) pragmatis terhadap pembangunan dan konservatifterhadap politik. Pembangunan secara pragmatis dipahami sebagaipembangunan fisik dan ukuran-ukuran material, tanpamemperhatikan aspek martabat dan kedaulatan rakyat. Martabatdan kedaulatan mudah sekali digadaikan dengan uang. Sebagaicontoh, ketika ada investor masuk desa, warga masyarakatmengatakan bakal memperoleh “rezeki besar” karena bisa menjualtanah dengan harga tinggi, tetapi ketika harapan ini tidakterpenuhi atau ketika kapitalisasi merugikan masyarakat, maka

mereka baru melakukan perlawanan. Seharusnya kontrol danperlawanan ini dilakukan sejak awal sebelum kapitalisasimenggurita dan mendatangkan risiko buruk bagi masyarakat.

Arus desentralisasi dan demokratisasi merupakan ciri khasutama perubahan politik di era reformasi, menyusul runtuhnyarezim Orde Baru. Demokratisasi telah membangkitkan demokrasilokal serta menyebarkan euforia dan liberalisasi politik sampai kelevel desa, sehingga mengurangi cengkeraman negaranisasi dansemakin memperkuat masyarakat. Desentralisasi juga membukaruang otonomi lokal (daerah dan desa), sekaligus mengurangidominasi pemerintah pusat dan memperkuat daerah.

Tetapi arus desentralisasi dan demokratisasi belum mampumenjadi fondasi yang kokoh bagi demokrasi lokal, demokrasiekonomi, perbaikan pelayanan publik, kemandirian masyarakatdesa dan lain-lain. Formasi negara yang hirarkhis-sentralistik-korporatis mulai melemah, tetapi kapasitas (regulasi, kebijakan,maupun redistribusi sosial) justru sangat melemah atau seringdisebut soft state atau weak state. Meski terjadi krisis, kapitalisasitetap jalan terus, antara lain karena subsidi pemerintah terhadappengusaha besar, tetapi mereka juga menghadapi ketidakpastianhukum dan risiko politik yang besar dalam mengembangkaninvestasi. Sementara percepatan laju liberalisasi politik tidakdisertai dengan menguatnya kapasitas mengelola demokrasi,sehingga di banyak tempat muncul konflik horizontal berbasispolitik identitas yang sempit.

Mengapa arus desentralisasi dan demokratisasi masih rapuh?Banyak penjelasan yang bisa kita kemukakan. Pertama, terjadinyalocal capture terhadap demokrasi lokal dan otonomi daerah oleholigarki elite. Banyak kebijakan daerah yang tidak berbasispartisipasi, sementara para elite lokal mendominasi proses politik,distribusi sumberdaya ekonomi, dan bahkan melakukan korupsiberjamaah. Menurut laporan Indonesian Corruption Watch(ICW), DPRD, Kepala Daerah dan birokrasi daerah merupakantiga aktor pertama-utama yang melakukan korupsi terhadap

Page 43: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

46 47

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

anggaran daerah. Kedua, pemerintah daerah tidak memahamimakna otentik otonomi daerah untuk rakyat, melainkan justrutampil sebagai predator baru. Banyak daerah yang sangat sibukberupaya meningkatkan PAD dengan cara meningkatkan obyekdan tarif pajak maupun retribusi daerah, tetapi upaya ini belumdisertai dengan perbaikan pelayanan publik. Komite PemantauPelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), misalnya, sudahmelaporkan lebih dari 1000 Perda “bermasalah” yang orientasinyauntuk meningkatkan pajak dan retribusi daerah, tetapi justrumenghambat dunia usaha dan merugikan kepentingan publik.Di banyak daerah warga masyarakat sangat mengeluh karenaotonomi daerah justru diikuti dengan meningkatnya pungutanpajak dan retribusi yang semakin memberatkan.

Tabel 1Kaitan antara aktor dan proses transformasi

ekonomi-politik desa

Ketiga, otonomi daerah yang diterapkan bukan menjadimilik masyarakat daerah, melainkan hanya otonomi dalam

birokrasi (autonomy within bureuacracy). Implementasi dan tujuan-tujuan mulia desentralisasi, terutama perbaikan pelayanan publik,menghadapi kendala serius dari birokrasi pemerintah daerah.Birokrasi warisan Orde Baru ini patologis, terlalu besar, tidakrasional, inefisien, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak becus,dan seterusnya. Banyak pemeo tentang birokrasi yang munculdari masyarakat: “birokrasi tidak boleh salah, tetapi boleh bohong”,“birokrasi lebih banyak menghabiskan daripada menghasilkan”,“birokrasi selalu melakukan hal yang salah dengan cara yangbenar”, dan lain-lain. Banyak bukti untuk menunjukkan pemeoitu. Secara individual gaji (kesejahteraan) pegawai memang rendah,tetapi secara makro sekitar 60%-70% anggaran negara maupundaerah digunakan untuk belanja rutin (terutama gaji) pegawai.Sisanya, sebesar 30%-40%, digunakan untuk alokasi proyekpembangunan yang sejak dulu selalu rawan dengan kebocorandan praktik korupsi.

Keempat, desentralisasi belum memberikan sentuhan yanglebih bermakna terhadap desa (sebagai basis kehidupanmasyarakat akar rumput), sehingga desa tetap merana dan mar-ginal. Desentralisasi di Indonesia berpusat dan berhenti dikabupaten/kota. Desa tidak memperoleh tempat yang terhormatdalam desentralisasi, meski secara historis desa merupakan self-governing community yang sangat tua sebelum NKRI lahir. Desaselalu menjadi medan tempur antara pendukung sentralisasidengan pejuang desentralisasi dan otonomi desa. Pendukungsentralisasi (yang mencakup pemerintah pusat, kalangannasionalis kolot, dan akademisi modernis-konservatif) selamaini memandang desa dengan sebelah mata, menjadikan desasebagai obyek kebijakan dan pembangunan, atau secara kasar,desa adalah tempat membuang bantuan. Program bantuanpembangunan terus mengalir ke desa, tetapi kualitas hidupmasyarakat desa tidak mengalami kemajuan yang signifikan.Program itu hanya “proyek” berburu harta, bukan sebuah upayapembaharuan secara berkelanjutan yang didasarkan pada

Aktor Transformasi Negara Kapital Masyarakat Desa

Negaranisasi Negara otoriter,

birokratis, sentralistik, represif dan dominan

Kapital memperoleh keuntungan politik:

lisensi, kepastian, keamanan, stabilitas.

Masyarakat desa terpinggirkan. Desa

mengalami krisis demokrasi dan otonomi

Pembangunan

Negara dominan dalam perencanaan,

implementasi dan mobilisasi.

Pemodal memperoleh kuntungan proyek dari skala kecil sampai besar

Masyarakat adalah obyek penerima dan sering

menjadi korban pembangunan. Swadaya

dan gotong-royong dieksploitasi untuk

mendukung pembangunan.

Kapitalisasi/ Industrialisasi

Negara menjual regulasi & lisensi serta melindungi

pemilik kapital. Para komprador memperoleh

keuntungan upeti.

Pemodal memperoleh keuntungan ekonomi dan politik yang sangat besar.

Masyarakat hanya memperoleh trickle down

effect dari kapitalisasi, tetapi terpinggirkan dan

terjadi ketimpangan.

Transisi desentralisasi dan demokrasi

Negara membuka ruang desentralisasi dan

demokratisasi. Tetapi kapasitas negara justeru

tampak melemah.

Pemodal menghadapi ketidakpastian hukum-

politik dan tantangan dari masyarakat.

Masyarakat memperoleh ruang politik yang kian terbuka. Tetapi transisi

belum membawa transformasi ekonomi-

politik secara mendasar.

Page 44: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

48 49

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Bab 2Pembaharuan Paradigma

Pembangunan Desa

“Saya tidak tahu paradigma pembangunan desa. Bikinpusing. Sekarang saya butuh kebijakan yang konkret dan mudahsaya pahami”, demikian ungkap Sukro Harjono, seorangfungsionaris Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia, padasebuah kesempatan. Paradigma memang membikin pusing dansulit untuk dipahami oleh orang awam. Tetapi secara tidak sadarorang-orang desa mesti terkenda dampak paradigma yang didesainoleh pemerintah dalam melancarkan pembangunan desa.Bagaimanapun pembangunan desa bukan sekadar masalah teknis-administratif yang digerakkan oleh birokrasi bersama swadayamasyarakat, tetapi ia selalu dibimbing oleh paradigma. Bagaimanaarah pembangunan desa, siapa yang terlibat dalam pembangunandesa, dan apa yang dikerahkan oleh pembangunan desa sungguhsangat ditentukan oleh pilihan paradigma. Jika kondisi desamengalami marginalisasi, pemiskinan dan involusi tentu karenakekeliruan paradigma yang dipilih oleh pemerintah.

Karena itu pembaharuan pembangunan desa tidak cukuphanya, misalnya, dengan cara memperbaiki perencanaan desa

komitmen serius pada desa. Desa menjadi tempat tanpa harapan,tanpa usaha, tanpa menjanjikan penghidupan yangberbelanjutan. Orang desa tidak merasa at home tinggal di desa,melainkan berduyun-duyun (urbanisasi) ke kota untuk mencarisumber kehidupan yang menjanjikan.

Dalam konstitusi, eksistensi desa tidak memperolehpengakuan secara terhormat. Para pendukung sentralisasi selalumemberhalakan NKRI, dengan argumen ortodoks bahwakonstitusi tidak mengakui otonomi desa, bahwa desa merupakanbagian dari yurisdiksi kabupaten/kota. Otonomi desa, tuturmereka, justru akan menimbulkan masalah baru bagi otonomidaerah karena secara riil desa tidak punya sumberdaya, desa tidaksiap. Argumen tentang NKRI mereka sebenarnya tidak bermaknadan menyebalkan. NKRI sering hanya digunakan untuk tamengsentralisasi, seraya menjadikan desa sebagai obyek. Berbagaikelemahan (kebodohan, keterbelakangan, ketertinggalan danketidaksiapan) yang melekat pada daerah dan desa selama inisebenarnya akibat dari sentralisasi NKRI.

Page 45: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

50 51

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

secara partisipatif atau membuat tindakan konkret di aras lokal.Pembaharuan paradigma pembangunan desa sangat dibutuhkandengan tujuan untuk memutus mata rantai marginalisasi, involusidan pemiskinan desa. Paradigma merupakan kata kunci utamayang menjadi pandu arah pemikiran, tindakan dan kebijakanpemerintah terhadap pemerintahan dan pembangunan desa.Karena itu, kami menaruh concern pertama pada paradigma dalampenyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa, meskiaspek tata kelola, sistem, komitmen, perilaku dan implementasimenjadi variabel vital yang tidak bisa diabaikan. Dalam kontekspemerintahan dan pembangunan desa, paradigma menjadi panduarah dalam menentukan arah dan tujuan pembangunan desa,posisi dan peran negara, posisi dan peran pemerintah daerahmaupun desa, penempatan partisipasi masyarakat, skemapengelolaan sumberdaya lokal, dan seterusnya.

Review ParadigmaPerjalanan selama empat puluh tahun terakhir, paradigma

pemerintah dalam mengelola pemerintahan dan pembangunandesa tampaknya dipengaruhi oleh banyak sisi. Pertama, warisankebijakan ekonomi-politik kolonial yang memadukan pendekatandominatif, eksploitatif dan politik etis pada desa, sekaligusmembiarkan “kerja rodi” pada orang desa. Kedua, warisan spiritsentralisme dan birokratisme dalam penyelenggaraanpemerintahan. Ketiga, sumbangan berbagai aktor, mulai darimiliter, ilmuwan-teknokrat sampai dengan lembaga-lembagainternasional terutama Bank Dunia. Militer tentu saja merupakanaktor utama yang merakayasa korporatisme negara dan “massamengambang” sebagai bagian penting pencipataan stabilitaspolitik dan ketahanan wilayah. Para ilmuwan-teknokrat, yangumumnya berhaluan positivisme, ikut menyumbang proyekmodernisasi desa, yang ternyata menghancurkan berbagai kearifanlokal dan ketahanan sosial. Sedangkan lembaga internasional,seperti Bank Dunia, mempunyai kontribusi besar mendesain

paradigma dan model pembangunan desa, seraya mengucurkanhutang luar negeri kepada pemerintah Indonesia.

Mari kita cermati perjalanan paradigma dan modelpembangunan desa di Indonesia selama 40 tahun terakhir yangdidisain secara terpusat dan teknokratis oleh Bank Dunia. Selama20 tahun (1970-an hingga 1990-an), Bank Dunia menerapkanmodel pembangunan desa terpadu (integrated rural development– IRD). IRD, yang dipengaruhi oleh modernisasi(developmentalisme), secara substantif mengusung beberapakeyakinan. Pertama, IRD berupaya memacu pertumbuhanekonomi desa di sektor pertanian melalui Revolusi Hijau, yaknidengan cara menyediakan paket lintas sektoral sistem pertanianterpadu dan diversifikasi tanaman, dengan didukung olehpenyuluhan, pelatihan, pelayanan sosial, dan proyek-proyekinfrastruktur desa. Kedua, pembangunan dipimpin oleh negara(state led development). Negara berposisi kuat dan berperan aktif,tentu dengan model birokrasi yang hirarkhis dan terpusat,melancarkan pembangunan desa: perencanaan, pendanaan,pemberian bantuan, distribusi sosial dan lain-lain. Ketiga, trans-fer pengetahuan dan teknologi dari negara-negara maju. Keempat,menempatkan masyarakat sebagai penerima manfaat (beneficia-ries). Kelima, otoritarianisme ditolerir sebagai harga yang harusdibayar karena pertumbuhan. Waktu itu justru ada keyakinankuat bahwa otoritarianisme justru lebih cocok sebagai prasyaratdan prakondisi untuk melancarkan pertumbuhan ekonomi.

Berbagai program pembangunan desa, baik sektoral maupunspasial, mengalir ke desa dengan dipimpin oleh negara (state leddevelopment). Pada awal tahun 1970-an, negara yang didukungoleh Bank Dunia maupun pendukung developmentalisme,menerapkan pembangunan desa terpadu (integrated rural devel-opment-IRD) untuk menjawab ketertinggalan, kebodohanmaupun kemiskinan desa, sekaligus menciptakan wilayah danpenduduk desa yang modern dan maju. Sebagaimanadirumuskan oleh Bank Dunia, IRD mengambil strategi

Page 46: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

52 53

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

pertumbuhan dan berbasis-wilayah, terutama wilayah desa.Program IRD secara tipikal menekankan peningkatanproduktivitas pertanian sebagai basis pendapatan orang desa,sekaligus mengedepankan kontribusi yang terpadu (sinergis)pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, pelatihan danperbaikan infrastruktur pedesaan. Program IRD ditempuhmelalui pendekatan perencanaan terpusat (central planning)dengan tujuan agar keterpaduan berbagai sektor dapat tercapai.

Dengan diilhami oleh IRD itu, pemerintah Orde Barumembuat cetak biru (master plan) pembangunan nasional secaraterpusat, teknokratis dan holistik, yang dikemas dalam GBHNmaupun Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Masterplan itu selalu mengedepankan dua sisi pembangunan, yakni sisisektoral yang mencakup semua sektor kehidupan masyarakat dansisi spatial/ruang yang mencakup pembangunan nasional, daerahdan desa. Dalam konteks ini pembangunan desa ditempatkansebagai bagian integral dari pembangunan nasional, ia bukan sebagaibentuk local development apalagi sebagai indigenous development yangmemperhatikan berbagai kearifan lokal. Semua departemen, kecualiDepartemen Luar Negeri, mempunyai program pembangunan yangmasuk ke desa. Sebenarnya sudah hampir lengkap apa yangdilakukan negara, dan pengalaman yang sama sebenarnya jugaditempuh oleh negara-negara lain di belahan dunia. Sekarang punpemerintah tidak pernah berhenti melancarkan proyekpembangunan desa. Ketika naskah buku ini ditulis, pemerintahmengucurkan dana kompensasi pengurangan subsidi bahan bakarminyak (BBM) sebesar Rp 250 juta per desa per tahun kepadasejumlah 12.834 desa tertinggal untuk memperbaiki prasarana fisik.

Karakter pembangunan desa yang terpadu, berbasis wilayahpedesaan dan dirancang secara terpusat sangat terlihat dalampengertian pembangunan desa versi pemerintah. Departemen DalamNegeri waktu itu merumuskan pembangunan desa sebagai berikut:

Pembangunan Desa adalah suatu usaha pembangunan darimasyarakat pada unit Pemerintahan yang terendah yang harus

dilaksanakan dan dibina terus menerus, siste­matis dan terarahserta sebagai bagian penting dalam usaha yang menyeluruh.Agenda ini dibagi menjadi tujuan jangka pendek dan jangkapanjang. Tujuan Jangka Pendek: Untuk meningkatkan tarafpenghidupan dan kehidupan rakyat khususnya di desa desayang berarti mencipta­kan situasi dan kekuatan kekuatan dankemampuan desa dalam suatu tingkat yang lebih kuat dan nyatadalam pembangunan pembangunan berikut-nya. SedangkanTujuan Jangka Panjang: Mewujudkan masyarakat adil danmakmur berdasarkan Pancasila yang diridloi oleh Tuhan YangMaha Esa. Dalam hubungannya dengan sasaran pembangunanmasya­rakat desa, ditujukan untuk menaikkan produksi yangpotensial yang dimiliki oleh desa, meningkatkan kesejahteraandalam rangka pembangunan ekonomi. Kegiatan dan tindakanyang lebih intensif dan tera­rah daripada pembangunanmasyarakat desa. Cara tersebut akan mewujudkan pula nilaiekonomi riil yang bebas di segala penghidupan dan penentubagi suksesnya pembangunan nasional.

Para ilmuwan konservatif pun kemudian mengikuti garispembangunan yang sentralistik dan berorientasi pada per-tumbuhan itu. Pembangunan Desa, menurut para ilmuwankonservatif, adalah pembangunan yang dilaksana­kan di desa secaramenyeluruh dan terpadu dengan imbalan yang serasi antarapemerintah dan masyarakat dimana pemerintah wajibmemberikan bimbingan sedang masyarakat memberikanpartisipasinya dalam bentuk swakarsa dan swadaya gotong royongmasyarakat pada setiap tahap pembangunan yang diinginkan(C.S.T. Kansil, 1983 dan BN Marbun, 1988).

Dengan demikian pembangunan desa terpadu jugaditempuh dengan pendekatan yang sinergis antara peranpemerintah (yang membuat perencanaan dan pendanaan secarasentralistik) dengan swadaya (bukan partisipasi) masyarakat. Peranpemerintah itu diwujudkan dengan menjalankan Inpres BantuanDesa (Bandes), kemudian disusul dengan Inpres-inpres lainnya

Page 47: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

54 55

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

seperti Inpres Daerah, SD, kesehatan, jalan, reboisasi dan lain-lain. Pada tahun 1969, bantuan desa senilai 100 ribu rupiah danmeningkat terus sampai dengan 10 juta rupiah pada akhir-akhirhayat Orde Baru (1999), menyusul lahirnya desentralisasi melaluiUU No. 22/1999. Bantuan desa tentu bukanlah treatmentterhadap desentralisasi dan pemerintahan desa, melainkan sebagaisolusi atas pembangunan desa. Pemberian bandes pada tahappertama (Pelita I) berdasarkan pada Keputusan Presiden RepublikIndonesia No. 16/1969 tertanggal 26 Februari 1969, yangkemudian ditindaklanjuti dengan surat bersama Mendagri danMenteri Keuangan, serta di-update terus-menerus setiap tahunmelalui Surat Menteri Dalam Negeri, sebagai petunjuk pelaksanadan petunjuk teknis pengelolaan bantuan pembangunan desa.

Ketika Inpres Desa dilancarkan pertama kali, ada tiga argumenresmi yang melandasinya. Pertama, kondisi desa-desa di seluruhIndonesia sebelum dilaksanakannya Repelita sangat memprihatin-kan, terutama keadaan prasarana desa yang meliputi prasaranaproduksi, perhubungan, pemasaran dan sosial yang jumlahnyasangat terbatas. Kedua, banyak masalah yang dihadapi oleh desaterutama di desa-desa pedalaman yang sulit komunikasinya,rendahnya tingkat pengetahuan dan keterampilan, fasilitaskesehatan dan kebersihan yang tidak memadai, dan kelemahandalam sosial budayanya, administrasi, rendahnya managemen danpengawasan. Ketiga, sejarah telah membuktikan bahwa perananmasyarakat desa sangat besar dalam rangka mempertahankankemerdekaan. Potensi swadaya gotong royong masyarakat desa yangsangat besar ternyata merupakan modal yang nyata dalammemelihara ketahanan nasional, sekaligus potensi yang perludirangsang untuk mensukseskan pembangunan.

Semangat pertumbuhan dan pemerataan tercantum secaraeksplisit dalam kerangka tujuan bantuan pembangunan desa.Pertama, mendorong, menggerakkan dan meningkatkan swadayagotong royong masyarakat dalam pembangunan desa. Kedua,mengusahakan agar pemerintah desa dan semua lembaga yang

ada seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD),Lembaga Musyawarah Desa (LMD), Pembinaan KesejahteraanKeluarga (PKK) dan lembaga-lembaga lainnya dapat berfungsisebagaimana mestinya. Ketiga, menumbuhkan, mengembangkandan meningkatkan Lumbung Desa/Prekreditan Desa denganmendorong swadaya masyarakat, yang selanjutnya untukmenanggulangi kerawanan pangan dan menunjang upayapencapaian swasembada pangan serta mengatasi kelangkaanpermodalan di desa. Keempat, meningkatkan pertumbuhan danperkembangan usaha-usaha ekonomi pedesaan ke arah kehidupanberkoperasi dalam rangka meningkatkan pendapatan. Kelima,meningkatkan kemampuan dan keterampilan masyarakat agarberpikir dinamis dan kreatif yang dapat menumbuhkan prakarsadan swadaya masyarakat yang pada hakekatnya merupakan usahaekonomi masyarakat pedesaan sehingga mampu berproduksi,mampu mengolah dan memasarkan hasil produksinya serta dapatmenciptakan dan memperluas lapangan kerja di pedesaan.

Tetapi rupanya tujuan bandes itu berubah-ubah dari tahunke tahun. Sampai tahun 1980-an, tujuan penciptaan lapangankerja di pedesaan masih sangat ditekankan, tetapi memasukitahun 1990-an bersamaan dengan Program IDT (1994/1995)dan perubahan dari pembangunan desa menjadi pembangunanmasyarakat desa, tujuan penciptaan lapangan kerja itudihilangkan. Pada tahun 1997, muncul surat Mendagri No.412.6/1237/SJ, yang mengedepankan beberapa tujuan bandesyang agak berbeda dengan tujuan-tujuan sebelumnya. Pertama,mendorong, menggerakkan dan meningkatkan swadaya gotongroyong serta untuk menumbuhkan kreativitas dan otoaktivitasmasyarakat dalam pembangunan desa dengan memanfaatkansumberdaya alam yang ada secara optimal. Kedua, meningkatkankemampuan sumberdaya manusia (SDM) baik aparat maupunmasyarakat desa antara lain melalui kegiatan LatihanPengembangan Pembangunan Desa Terpadu yang juga melatihKPD, serta memajukan dan mengembangkan peranan wanita

Page 48: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

56 57

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

dalam pembangunan masyarakat desa. Ketiga, meningkatkanfungsi dan peranan kelembagaan masyarakat di desa yangmencakup LKMD dan LMD. Keempat, membangun,mengembangkan dan memeratakan serta memelihara prasaranadan sarana pendukung di pedesaan. Kelima, mengembangkanekonomi rakyat di pedesaaan lewat pengembangan usahaekonomi produktif dalam rangka peningkatan produksi danpemasaran barang dan jasa masyarakat pedesaan.

Mengapa terjadi pergeseran tujuan bandes dari 1980-an ke1990-an? Apakah tujuan yang digariskan pada tahun 1970-ansampai 1980-an sudah membuahkan hasil secara optimal?Bagaimana proses, hasil dan manfaat program bandes yang sudahberjalan selama 30 tahun (1969 sampai 1999)? Apakah waktu30 tahun tidak cukup untuk mendobrak transformasi desa secaramendasar menuju kesejahteraan dan kemandirian masyarakat desa?

Serangkaian pertanyaan itu mungkin terlalu besar untukdiajukan. Bagaimanapun bandes adalah sebuah investasipemerintah yang terlalu kecil bila dibandingkan dengan investasipembangunan sektoral. Lagipula investasi yang masuk desa tidakhanya melalui pemerintah, tetapi juga melalui pemodal denganskema industrialisasi maupun privatisasi. Oleh karena itu, adabegitu banyak variabel dan aktor yang sangat menentukantransformasi ekonomi-politik desa, termasuk menentukan jalandesa menuju kesejahteraan, keadilan dan kemandirian. Jikakesejahteraan, keadilan dan kemandirian sampai sekarang belumberpihak kepada desa, sementara pembangunan desa sudahdijalankan selama tiga dasawarsa, berarti investasi yang ditanamoleh pemerintah dan pemodal mengandung banyak kekeliruan,baik dari sisi perspektif, pendekatan, disain kebijakan, maupunimplementasi di lapangan. Meskipun demikian, penilaianterhadap bandes bisa kita lakukan dengan memperhatikan aspekdisain, tujuan, manfaat, dan hasil-hasilnya.

Sejauh dokumen resmi dari Departemen Dalam Negeri yangkami pelajari, sampai sekarang belum ada dokumen evaluasi

terhadap program Bandes yang komprehensif, kritis danmendalam. Pada tahun 1998, Ditjen PMD Depdagri bekerjasamadengan sejumlah perguruan tinggi (UI, IPB, UNBRAW danUNHAS) melakukan penelitian evaluasi terhadap kinerja dandampak bantuan desa. Secara akademik banyak cerita dan datamenarik yang dihasilkan oleh penelitian itu, tetapi hal itu tidakmencerminkan sebuah evaluasi yang komprehensif di seluruhdaerah, melainkan hanya berbentuk penelitian yang mengambilbeberapa daerah sampel. Orang sering bertanya, apakah hasil risetselalu menjadi pijakan bagi inovasi kebijakan, atau hanya menjadidokumen administratif proyek yang memenuhi meja kerjabirokrasi dan perguruan tinggi. Tampaknya Inpres bandes berjalansecara rutin seperti halnya mekanisme kerja birokrasi, dan secaraberkala (karena tradisi Asal Bapak Senang yang tidak jujur) pihakpelaksana selalu menampilkan banyak cerita sukses di tingkat desa,terutama cerita mengenai prestasi menggalang swadaya masyarakatdan capaian proyek prasarana fisik yang bisa dilihat secara langsungdengan mata-kepala.

Kita sering mendengar cerita sukses pembangunan desa yangdijalankan dan disiarkan oleh pemerintah. Setiap tahun, tepatnyatanggal 16 Agustus, presiden selalu menyampaikan pidatokenegaraan yang berisikan banyak cerita sukses program-programpembangunan, termasuk program pembangunan desa melaluiInpres Bandes. Meskipun ditemukan banyak kelemahan dankegagalan, di setiap tahun pemerintah selalu menunjukkan sederetcerita sukses program bantuan desa, baik dari sisi manfaat danhasilnya. Pemerintah menggambarkan volume keluaran proyek-proyek bantuan desa yang digunakan untuk membangun berbagaiprasarana: produksi (bendungan, irigasi, waduk, bronjong, dll);perhubungan (jalan, jembatan, gorong-gorong, dll); pemasaran(pasar, kios, lumbung, dll); sosial (gedung serba guna, lapangan,tempat ibadah, siskamling, dll). Seperti biasa pemerintah selalumenampilkan target-target kuantitatif yang fantastis. Pada tahunpertama (1969/70), ada sejumlah 86.009 volume proyek yang

Page 49: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

58 59

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

dihasilkan, terdiri dari 38.778 volume proyek sarana produksi;32.344 volume sarana perhubungan; 10.083 sarana pemasaran;dan 4.804 sarana sosial. Kalau jumlah desa pada tahun itu sebesar44.478, berarti volume 4 (empat) jenis proyek itu belummenjangkau secara merata ke seluruh desa. Lonjakan volume proyekterjadi pada tahun 1982/83, yakni sejumlah 232.921 proyek.Angka ini barangkali sudah mampu menjangkau secara merata keseluruh desa yang jumlahnya 64.650. Tetapi data yang pasti belumjelas, apakah setiap proyek mampu menjangkau ke setiap desa. Yangjuga perlu dicermati, ternyata memasuki dekade 1980-an, sebagianbesar proyek Inpres Desa dilarikan ke pembangunan ataupeningkatan prasarana sosial (gedung serba guna, tempat ibadahdan poskamling), sementara proyek-proyek untuk pendukungpeningkatan ekonomi produktif (prasarana produksi dan pemasaran)cenderung berkurang. Sejak 1986/87, sebagian dana bandesdialokasikan untuk mendukung sarana ekonomi sepertipengembangan simpan pinjam, dana bergulir dan koperasi. Semuaini merupakan bentuk “katup pengaman” di tingkat lokal danpemerataan akses penduduk terhadap modal kecil.

Inpres Desa telah berhasil berbagai sarana fisik desa yang bisadilihat secara langsung dengan mata. Akan tetapi mengukur dampakbantuan Inpres pada berbagai tingkat pemerintah, termasuk desa,terasa lebih sulit, meski tidak disangsikan lagi peranan pentingyang dimainkan bantuan ini dalam mewujudkan jaringan jalanyang lebih di pedesaan di seluruh pelosok Indonesia. Pihak swastamenyambut perbaikan ini dengan menyediakan alat yang murahdan cepat berupa bus mini atau dalam istilah populernya adalahColt. Dibandingkan dengan jumlah bus yang hanya 20.000 padatahun 1968, dan 200.000 jenis-jenis mobil lainnya, pada tahun1985 jumlah bus di Indonesia mencapai 230.000 dan jumlah mobilpenumpang hampir mencapai satu juta unit. Selain itu, jumlahtruk dan mobil angkut yang lain mengalami kenaikan dari 93.000menjadi 844.000. Jasa angkutan yang meningkat di berbagaitempat, sekaligus masuk ke pelosok desa, tentu menciptakan jalur

transportasi dan pemasaran yang lebih baik, membuka lapanganpekerjaan, meningkatkan pendapatan para petani dan pedagangkecil di desa yang setiap hari mereka bisa memanfaatkan pasar yangada (Nick Devas, dkk, 1989).

Dalam setiap tahun pidato kenegaraan Presiden RI, ada tigahal penting tentang manfaat dan hasil yang dipersembahkan olehInpres Desa. Pertama, Inpres Desa telah dapat mendorong berbagaijenis usaha swadaya dan gotong royong masyarakat, sehinggabesarnya sumbangan swadaya dan bantuan pemerintah secarabersama-sama terus berkembang dalam mendukungpembangunan desa. Kedua, Inpres Desa telah mendukungpeningkatan fungsi LMD, LKDM, PKK, dan juga KPD. Ketiga,Inpres Desa telah meningkatkan berbagai prasarana dan saranadesa, sehingga kemampuan berproduksi penduduk pedesaanmeningkat, perhubungan dalam desa maupun antardesa semakinbaik dan lancar, pemasaran hasil-hasil produksi semakin baik, danpelayanan sosial semakin berkembang. Dengan kalimat lain, InpresDesa telah memberikan sumbangan besar terhadap peningkatantaraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa.

Jika laporan-laporan resmi selalu menunjukkan banyak ceritasukses yang luar biasa, banyak penelitian independenmemperlihatkan analisis dan temuan-temuan kritis. Contohnyaadalah penelitian independen tim Universitas Indonesia (UI),Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Syah Kuala, Universi-tas Brawijaya (UNBRAW) dan Universitas Hasanuddin yangbekerjasama dengan Depdagri dan BAPPENAS, tahun 1998,setahun sebelum Inpres Desa berakhir. Tim penelitian UI danSyah Kuala di Aceh, misalnya, mengambil sejumlah kesimpulanberdasarkan temuan di lapangan. Pelaksanaan Inpres Desa memangmempunyai sejumlah dampak positif: (1) memotivasi warga desauntuk melaksanakan pembangunan desa; (2) mempercepat lajupembangunan desa; (3) telah dapat dibangun prasarana dansarana sosial-ekonomi secara lebih baik; (4) berkembangnya kapital(modal) milik desa; dan (5) pengembangan SDM lembaga

Page 50: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

60 61

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

pemerintahan desa. Namun di balik cerita positif itu, InpresDesa juga mengandung sejumlah dampak negatif. Pertama,tujuan peningkatan partisipasi belum tercapai sepenuhnya karenaadanya kebijakan pemerintah atasan yang tidak memberikan iklimuntuk pengembangan partisipasi. Kedua, pengelolaan(perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan pelaporan)Inpres Desa belum berjalan secara optimal. Pada tahapperencanaan, misalnya, kelemahan terlihat dari minimnyaketerlibatan (partisipasi) masyarakat dalam menyusun DaftarUsulan Rencana Proyek (DURP). Ketiga, munculnya rasa kurangpercaya warga desa terhadap pemerintah atasan karena adanya“potongan-potongan” atas dana Inpres secara liar dan tidak bisadipertanggungjawabkan. Keempat, terbukanya kesempatan bagipenguasa tingkat atasan untuk mengambil keuntungan-keuntungan demi kepentingannya melalui pengadaan barang-barang tertentu yang didistribusikan secara seragam kepada desa.Kelima, melemahnya swadana masyarakat desa untukberpartisipasi dalam pembangunan, karena adanya anggapanbahwa dana pembangunan sudah tersedia dari atas. Keenam,belum dapat meningkatkan pendapatan warga desa. Meski telahtersedia berbagai prasarana dan kapital desa, tetapi masih banyakwarga desa yang hidup dalam keadaan miskin.

Proyek pembangunan desa bukan sekadar proyek InpresBandes. Proyek sektoral lain dengan berbagai bentuk Inpres jugamasuk ke ranah desa. Jika Inpres Bandes merupakan stimulan untukmemobilisasi swadaya masyarakat, berbagai proyek sektoralmerupakan bentuk tanggungjawab negara secara langsung terhadapdesa. Pemerintah mengalokasikan bantuan khusus yang ditanganisecara terpusat dan langsung oleh departemen-departemen, yangdi daerah dibantu oleh instansi vertikal (dekonsentrasi). Dana inimisalnya mencakup: Bantuan Inpres Sekolah Dasar; Bantuan InpresKesehatan; Bantuan Inpres Penghijauan dan Reboisasi; sertaBantuan Inpres Panjang Jalan dan Jembatan. Dana pertama dankedua ini memang dimasukkan dalam ABPD (budgeter), tetapi

pemerintah daerah tidak mempunyai keleluasaan mengelola danajenis kedua (spesific grant) karena mekanisme pengelolaan dana inisudah ditentukan secara terpusat di Jakarta. Pemerintah melaluidepartemen melancarkan program-program pembangunan desasecara sektoral dengan skema perencanaan terpusat dan pendanaansendiri dari pusat. Dana ini dikelola sendiri oleh departemen, yangtidak dimasukkan dalam APBD (nonbudgeter). Pemerintah daerah,desa dan masyarakat setempat hanya sebagai sebagai kelompokpenerima manfaat program terpusat itu, bukan sebagai partisipan(subyek) yang menentukan sendiri arah dan kebutuhanpembangunan. Karena itu, program-program yang digerakkan olehpusat ini sering tidak sesuai atau salah sasaran serta tidakmenumbuhkan kepemilikan dan tanggungjawab lokal. Pemerintahjuga menjalin kolaborasi secara bilateral maupun dengan lembaga-lembaga donor (misalnya Bank Dunia dan Bank PembangunanAsia) untuk melancarkan pembangunan desa. Sebagai programkolaboratif, lembaga-lembaga atau negara pemberi utang tersebutjuga terlibat secara langsung merumuskan blue print danimplementasi pembangunan desa di lapangan.

Namun model IRD itu mengandung berbagai kelemahandan menabur banyak kegagalan, meski pada umumnya wajah fisikdesa-desa di Indonesia telah berubah lebih baik sejak 1970-an.Pertama, pola pembangunan yang sentralistik telah memperlemahkapasitas pemerintah daerah dan desa, sekaligus menciptakanketergantungan desa dan daerah kepada pemerintah pusat. Kedua,pola modernisasi dan transfer teknologi secara seragam telahmenumpulkan kreativitas lokal dan membunuh kearifantradisional yang dimiliki masyarakat desa. Ketiga, bersamaandengan tatakelola pembangunan yang buruk (miskin transparansidan akuntabilitas), pembangunan desa menciptakan tradisi“proyek”, rente dan korupsi dalam tubuh birokrasi. Keempat, polapembangunan sungguh miskin semangat pemberdayaan danpartisipasi masyarakat. Kelima, otoritarianisme memangmenciptakan stabilitas politik jangka pendek, tetapi hal itu telah

Page 51: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

62 63

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

menumpulkan semangat kewargaan (hak dan kewajiban warga).Di sisi lain, meski ada keterpaduan antarsektor dalam

pembangunan desa, tetapi secara konseptual dan empirikpembangunan desa tidak terkait dan tidak terpadu denganpembangunan makro dan pembangunan perkotaan. Pemerintahlebih mengutamakan pembangunan perkotaan (urban bias) dansektor industri untuk melakukan akumulasi kapital, sehinggapilihan ini menyebabkan desa kedodoran dengan pertumbuhankota, menimbulkan arus urbanisasi secara besar-besaran, sertaketimpangan antara industri dan pertanian. Pertanian, yangmenjadi basis penghidupan masyarakat desa, justru jauh tertinggaldibanding dengan industri, sementara industri yangdikembangkan tidak mempunyai linkage dengan pertanian.Kebijakan pembangunan yang bias industri-kota inipun sungguhmengabaikan aspek keberlanjutan dan kearifan lokal. Pemanfaatansumberdaya alam dan lingkungan untuk mencapai peningkatankekayaan fisik jangka pendek tanpa pengelolaan untuk menopangdan memperbesar hasil hasil sumberdaya ini, denganmenimbulkan kehancuran lingkungan dan pengurasan basissumber­daya alami secara cepat. Efisiensi satuan satuan produksiskala besar yang saling tergantung dan didasarkan pada perbedaankeuntungan internasional, dengan meninggalkan keanekaragamandan daya adaptasi dari satuan satuan skala kecil yang diorganisasiguna mencapai swadaya lokal, sehingga menghasilkanperekonomian yang tidak efisien dalam hal energi, kurang dayaadaptasi dan mudah mengalami gangguan yang serius karenakerusakan atau manipulasi politik dalam sistem itu.

Pembangunan Desa Berbasis Masyarakat?Kritik secara parsial terhadap IRD sebenarnya telah bertebaran

pada dekade 1980-an. Model pembangunan desa yang berpusatpada pertumbuhan yang sangat dominan pada dekade 1970-an,yang kemudian lahir model pembangunan yang bertumpu padakebutuhan dasar. Kedua model ini ternyata gagal meningkatkan

keberdayaan rakyat desa, sehingga muncul model “PembangunanBerpusat pada Rakyat (PBR) ke permukaan. Model ini merupakankoreksi total terhadap pendekatan “Pembangunan Berpusat padaPertumbuhan” (PBP). David Korten (1988), misalnya, menyebutciri ciri PBR sebagai berikut: (1) logika yang dominan dariparadigma ini adalah logika mengenai suatu ekologi manusia yangseimbang; (2) sumber daaya utama berupa sumber sumber dayainformasi dan prakarsa kreatif yang tak habis habisnya; dan (3)tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia yang didefinisikansebagai perwujudan yang lebih tinggi dari potensi manusia.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Korten (1988: 374),paradigma ini memberi peran kepada individu bukan sebagaiobyek, melainkan sebagai aktor “yang menetapkan tujuan,mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan proses yangmempengaruhi kehidupannya.” Sebagai konsekuensi lebih lanjut,pembangunan yang berpusat pada rakyat memberikan nilai yangsangat tinggi pada inisisatif lokal dan sistem sistem untukmengorganisasi diri sendiri melalui satuan satuan organisasionalyang berskala manusiawi dan komunitas komunitas yang mandiri.

Model pembangunan yang berpusat pada rakyat atau manusiapunya perbedaan fundamental di dalam karakteritik dasarnyadibandingkan dengan strategi pertumbuhan atau strategi kebutuhandasar yang selama ini mendominasi agenda pembangunan di DuniaKetiga, termasuk Indonesia. Moeljarto Tjokrowinoto (1987) jugamemberikan deskripsi mengenai ciri ciri pembangunan yang berpusatpada rakyat (manusia) seperti di bawah ini:

Prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk me-menuhi kebutuhan masyarakat tahap demi tahap harusdiletakkan pada masyarakat sendiri. Meskipun pelbagaiketentuan secara formal telah mengatur bottom upplanning, di dalam realitanya, LKMD lebih berfungsisebagai implementor proyek proyek sektoral dan regional.

Fokus utamanya adalah meningkatkan kemampuanmasyarakat untuk mengelola dan memobilisasikan sumber

Page 52: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

64 65

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

sumber yang terdapat di komunitas untuk memenuhikebutuhan mereka. Apa yang terjadi pada saat ini, arusdana yang relatif lancar membatasi upaya untukmengidentifikasi dan menggali sumber itu. Counter fundbantuan desa, dan akhir akhir ini “simpedes”, mungkinmenuju ke arah identi­fikasi dan mobilisasi sumber tadi.Akan tetapi hal ini tidak boleh merupakan adhocracy, akantetapi harus melembaga.

Pendekatan ini mentoleransi variasi lokal dan karenanya,sifatnya flexible menyesuaikan dengan kondisi lokal.

Di dalam melaksanakan pembangunan, pendekatan inimenekankan pada proses social learning yang di dalamnyaterdapat interaksi kolaboratif antara birokrasi dankomunitas mulai dari proses peren­canaan sampai evaluasiproyek dengan mendasarkan diri saling belajar.

Proses pembentukan jaringan (networking) antara birokrasidan lembaga swadaya masyarakat, satuan satuan organisasitradisional yang mendiri, merupakan bagian integral daripendekatan ini, baik untuk meningkatkan kemampuanmereka mengi­dentifikasi dan mengelola pelbagai sumber,maupun untuk menjaga keseimbangan antara strukturverti­kal maupun horizontal. Melalui proses networkingini diharapkan terjadi simbiose antara struktur strukturpembangunan di tingkat lokal.

Maka, dasar interpretasi pembangunan yang berpusat padarakyat adalah asumsi bahwa manusia adalah sasaran pokok dansumber paling strategis. Karena itu, pembangunan juga meliputiusaha terencana untuk meningkatkan kemampuan dan potensimanu­sia serta mengerahkan minat mereka untuk ikut serta dalamproses pembuatan keputusan tentang berbagai hal yang memilikidampak bagi mereka dan mencoba mempromosikan kekuatanmanusia, bukan mengabadikan ketergantungan yang menciptakanhubungan antara birokrasi negara dengan masyarakat. Proposisi

itu mengindikasikan pula bahwa inti PBR adalah pemberdayaan(empowerment) yang mengarah pada kemandirian masyarakat desaumumnya. Penekanan pada pemberdayaan dan kemandirian inidengan sendirinya dimensi partisipasi masyarakat menjadi sangatpenting dalam proses pembangunan desa. Melalui partisipasi itukemampuan masyarakat dan perjuangan mereka untukmembangkitkan dan menopang pertumbuhan kolektif menjadikuat. Tetapi partisipasi di sini bukan hanya berarti keterlibatanmasyarakat dalam pelaksanaan pembangunan atau masyarakathanya ditempatkan sebagai “obyek”, melainkan harus diikutiketerlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan atau prosesperencanaan pembangunan desa, atau masyarakat jugaditempatkan sebagai “subyek” utama yang harus menentukanjalannya pembangunan. Karena itu PBR menilai tinggi danmempertimbangkan inisiatif dan perbedaan lokal.

Pada tahun 1990-an muncul paradigma Penghidupan DesaBerkelanjutan. Paradigma Penghidupan Desa Berkelanjutan(sustanaible rural livelihood) memahami penghidupan masyarakatdesa dari kondisi yang rentan (vulnerable) menjadi berkelanjutan(sustainable) dengan mengembangkan aset yang ia miliki dandinamika yang ada menjadi mampu ditransformasikan.Penghidupan masyarakat adalah suatu kemampuan daya hidupyang dimiliki baik itu secara material dan sosial, yangdiwujudkan dalam berbagai kegiatan guna memenuhi kebutuhanhidupnya. Chambers, R. dan G. Conway (1992)mengungkapkan betapa pentingnya mengaitkan kepentinganpenghidupan masyarakat dengan pembangunan berkelanjutanyang tertuang dalam tulisannya “Sustainable Rural Livelihoods:Practical Concepts for 21st Century”. Gagasan dalam tulisantersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh para penelitidi Institute of Development Studies menjadi lebih praktis dilapangan di sejumlah negara.

Belakangan DFID (Department for International Development)tertarik untuk mengembangkan secara praktis dan menyebarluaskan

Page 53: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

66 67

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

salah satunya dengan membuat buku petunjuk praktis mengenaiSustainable Livelihood Guidance Sheet. Dalam buku itu dikembangkansuatu kerangka memahami penghidupan berkelanjutan: bagaimanasuatu kondisi penghidupan masyarakat rentan dapatditransformasikan menuju berkelanjutan. Dengan mengkaji asetpenghidupan yang secara diagramatis berbentuk pentagonmengisyaratkan bahwa aset itu tidak hanya berujud material fisik,namun juga aset sosial, finansial, natural maupun human, dalam halini manusia dan lingkungannya dipandang secara holistik.

Konsep dasar pengembangan sustainable livelihood sebagaiberikut. Pertama, masyarakat sebagai pusat semua kegiatanpembangunan (people-centered). Menempatkan masyarakat sebagaipusat kepentingan, berarti semua pemahaman, analisis dan prosesperencanaan dan perubahan berangkat dari masyarakat sendiri.Kedua, pendekatan menyeluruh berangkat dari pemahaman dankepentingan masyarakat (holistic). Berbagai faktor hambatan danpeluang perlu difahami dalam kontek pengetahuan dankemampuan masyarakat, agar dapat dikembangkan nanti solusimaupun pengembangan oleh masyarakat pula. Ketiga, mengingatbahwa kehidupan itu dinamis, maka kita tidak dapat hanyamemotret sesaat keadaan yang terjadi (dynamic). Karena itupengembangan sustainable livelihood dipandang perlu diikutiprosesnya dan perubahan yang terjadi, sehingga penting untukdikembangkan proses monitoring dan pembelajaran olehmasyarakat maupun pihak-pihak yang terkait dalampengembangan tersebut. Keempat, pendekatan ini lebih melihatbagaimana kekuatan dapat dibangun daripada menganalisiskebutuhan (building on strengthts). Kekuatan yang dibangunberarti pengakuan pada kemampuan masing-masing orang untukberkembang dengan memperkuat jaringan sosialnya agar mampusecara individu maupun kolektif mengatasi permasalahan,menghilangkan kendala dan membangun potensi untuk mencapaitujuan. Kelima, adanya keterkaitan makro dan mikro dalam prosesperubahan dan pengembangan (macro-micro link). Pendekatan

ini berupaya untuk menjembatani jurang teori dan praktekmaupun kebijakan makro dan kegiatan mikro. Disini diperlukanpemahaman oleh individu dan komunitas mengenai apa yangterjadi dalam kontek makro yang mempengaruhi kehidupannya,dan demikian pula sebaliknya. Keenam, pendekatan inimemperhatikan kelangsungan dan keberlanjutan suatu proses danhasil dalam suatu siklus yang diharapkan tidak terputus ataumengalami goncangan yang menyebabkan terjadi keruntuhan ataukemunduran. Proses dan hasil yang diharapkan adalah melakukantransformasi dari kondisi yang rentan menuju peningkatan yangberkelanjutan (sustainable).

Bagaimana konsep dan pendekatan sustainable livelihood inidapat dikembangkan di desa di Indonesia? Pendekatan inisesungguhnya merupakan proses evolusi dari pembelajaranpraktek pembangunan desa pada beberapa dekade lalu. Perubahanini merupakan cara untuk memperbaiki pendekatan sebelumnyadan juga memberikan penajaman substansi bahwa masyarakatadalah pelaku utama pembangunan. Tabel berikut ini dapatmenunjukkan bagaimana evolusi pendekatan pembangunan desaterpadu (integrated rural development – IRD) yang berkembangtahun dekade 1970an dan secara praktis banyak dikembangkandi Indonesia pada dekade 1980an, menjadi pendekatanpenghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood – SL) yangmuncul pada akhir dekade 1990an.

Dalam praktek, perubahan pendekatan semacam ini seringtidak begitu terasa. Apa sesungguhnya beda antara keduanyadalam wujud fisik dan pembangunan materi yang terlihat. Tetapibila dipahami sungguh besar perbedaannya dalam jiwa, sikap danperilaku tata cara pembangunan. Pendekatan sustainable liveli-hood melihat kompleksitas aset individu dan komunitas di desa,demikian pula melihat bagaimana dinamika terjadi dalam prosesperubahan dan transformasi.

Bisa jadi satu individu atau kelompok masyarakat meresponlebih cepat dibanding yang lain, oleh karena itu keberagaman

Page 54: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

68 69

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

kegiatan yang berbasis pada penguatan masing-masing karaktermenjadi penting. Oleh karena itu pendampingannya dilakukandengan membangun kekuatan individu dan kelompok gunamengembangkan potensinya, dan dengan demikian mampuuntuk mengatasi masalahnya sendiri dan mengembangkannyauntuk mencapai tujuan.

Dibandingkan pendekatan pembanguna desa terpadu yangmemfokuskan pada analisis struktur dan wilayah, makapendekatan penghidupan berkelanjutan lebih berbasis padamasyarakat dengan segala kekuatan dan keterbatasannya. IRDlebih menggarap “transformasi desa” dengan membanguninfrastruktur dan ekonomi yang banyak dirancang olehkebijakan makro pemerintah, sedangkan SL bertumpu pada“transformasi masyarakat” dengan memperkuat kemampuanmasyarakat mengelola aset penghidupannya agar dapatditransformasi olehnya.

Perubahan mikro di desa dapat mempengaruhi perubahanmakro, demikian pula sebaliknya. Respon terhadap krisis makroekonomi, telah direspon dengan oleh masyarakat desa denganberbagai macam cara dan proses yang beragam. Seperti uraianpendahuluan diatas, kiranya menarik untuk dilakukan kajian dantindakan pengembangan masyarakat dengan menggunakanpendekatan sustainable livelihood ini.

Pada saat yang sama, Bank Dunia juga melakukan otokritikdan revisi terhadap IRD, yang kemudian melahirkanpembangunan desa berbasis masyarakat (community based ruraldevelopment - CBRD). CBRD mengusung beberapa keyakinan.Pertama, belajar dari program bantuan (utang) yang sarat dengankorupsi birokrasi pada tahun-tahun sebelumnya, Bank Duniamendisain tentang minimalisasi negara dalam pelaksanaanpembangunan desa. Ini berbeda dengan state led developmentsebelumnya. Kedua, CBRD menekankan partisipasi masyarakatmulai dari perencanaan hingga pelaksanaan program. Masyarakatyang merancang kebutuhan sendiri, sedangkan negara bertugas

sebagai fasilitator dan administrator. Ketiga, CBRD memberi ruangketerlibatan (involvement) unsur-unsur masyarakat sipil sepertiNGOs maupun konsultan pembangunan dalam pelaksanaan. Iniyang sering disebut dengan liberalisasi sektor ketiga. Keempat,CBRD juga mengundang elemen swasta untuk terlibatmelaksanakan proyek-proyek pembangunan desa. Kelima, CBRDmengusung model kemitraan antarsektor atau antaraktor dalampengelolaan pembangunan desa. Kelima, CBRD memasukkanunsur-unsur good governance (transparansi, akuntabilitas danpartisipasi) sebagai spirit dan kerangka kerja pembangunan desa.

Bagaimana berbagai cara pandang baru itu diterapkan di Indo-nesia? Memasuki tahun 1990-an, pemerintah telah mengubah ikon“pembangunan desa” menjadi “pembangunan masyarakat desa”, laludi era reformasi memunculkan ikon baru tentang “pemberdayaanmasyarakat desa”. Perubahan ini juga diikuti dengan perubahannomenklatur sebuah Direktorat Jenderal di Depdagri, dari DitjenPembangunan Desa menjadi Ditjen Pembangunan Masyarakat Desa,dan yang terakhir menjadi Ditjen Pemberdayaan Masyarakat danDesa. Perubahan ikon dan nomenkltatur kelembagaan memangsedikit-banyak disertai dengan perubahan cara pandang. Ikon bangdesyang digunakan sampai dekade 1980-an lebih mengutamakanpembangunan desa sebagai wilayah dan unit adminitratif, tetapisetelah berubah menjadi pembangunan masyarakat desa, fokuspembangunan ditujukan pada manusia, masyarakat dan institusi desa.Sejak dekade 1990-an, pembangunan masyarakat desa juga diarahkanuntuk pengembangan sumberdaya manusia (SDM) desa, baikpemerintah desa, lembaga-lembaga desa, maupun elemen-elemenmasyarakat desa.

Pada saat yang sama, tepatnya mulai 1993, muncul kebijakanbaru di bidang pengentasan kemiskinan melalui Program InpresDesa Tertinggal (IDT), yang titik pandangnya berbeda dengankebijakan sebelumnya yang sepenuhnya dikendalikan birokrasidan menganggap masyarakat bodoh. Karena itu, semangat IDTmemang sedikit-banyak dipengaruhi oleh semangat pemberdayaan

Page 55: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

70 71

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

manusia. Pada prinsipnya di dalam Inpres Desa Tertinggal ituterkandung tiga pengertian dasar, yaitu: (1) sebagai pemicugerakan nasional penanggulangan kemiskinan; (2) sebagai strategidalam peningkatan pemerataan melalui pembangunansumberdaya manusia di pedesaan; dan (3) sebagai upaya konkretmengembangkan usaha usaha ekonomi rakyat dengan pemberianbantuan berupa modal kerja sebesar Rp 20 juta untuk setiap desatertinggal (Mubyarto, 1994). Bantuan modal tersebutdirencanakan diberi­kan tiga tahun berturut turut dengan harapansetelah tiga tahun, melalui bimbingan dan pembinaan khusus,sehingga diharapkan masyarakat desa tertinggal dapat mencapaitahap kemandirian di masa yang akan datang.

Sasaran IDT adalah meningkatnya partisipasi danproduktivitas penduduk miskin dalam pembangunan Nasional.Sasaran semacam ini dicapai melalui berbagai kegiatan untukmengembangkan dan memperkuat kemampuan penduduk miskindalam meningkatkan taraf hidupnya. Kegiatan utamanya adalahpeningkatan kemampuan penduduk miskin, yang antara lainberupa akses terhadap permodalan dan pasar, penguasaanteknologi, dan pengelolaan usah produktif. Selain itu dilakukanjuga perbaikan kondisi fisik pedesaan melalui koordinasipelaksanaan berbagai program pembangunan sektoral, sehinggatercipta kondisi yang menjamin kelangsungan upayapenggulangan kemiskinan. Pelaksanaan program IDT mencakuplima aspek yaitu pengembangan sumber daya manusia,penyediaan modal kerja, penciptaan peluang dan kesempatanberusaha, pengembangan kelembagaan penduduk miskin, dansistem pelayanan kepada penduduk miskin yang sederhana danefisien. Kelima aspek tersebut tidak saja berpengaruh terhadapkelang­sungan upaya pengentasan kemiskinan, tetapi jugamerupakan faktor penentu tingkat manfaat dan dampak programIDT terhadap penigkatan kesejahteraaan penduduk miskin.

Bagaimana implementasi dan capaian-capaian pem-bangunan masyarakat desa (PMD) dan program IDT? Meski

PMD mengusung cara pandang baru, tetapi implementasi dilapangan tetap sama saja. Pembangunan desa, sampai sekarang,masih tetap dimaknai dan dipraktikkan sebagai proyek pengadaandan perbaikan sarana fisik, bukan pembangunan masyarakat ataumanusia. “Membangun fisik” sampai sekarang telah mendarahdaging sebagai cara pandang dan kultur pembangunan di kalanganmasyarakat. Kalau ada mahasiswa KKN datang ke desa, misalnya,maka para elite desa sudah membuat daftar pembangunan fisikyang bisa dikerjasamakan dengan mahasiswa KKN. MahasiswaKKN betul-betul dikerjain oleh elite desa, karena merekamengganggap bahwa KKN harus meninggalkan “kenangan” baikdalam bentuk plangisasi, neonisasi, jalan, gapura, dan lain-lain.

Di sisi lain, meski paradigma pembangunan desa di ataskertas sudah berubah, tetapi struktur dan kultur (sikap danperilaku) birokrasi belum berubah. Budaya proyek dan korupsitetap mewabah dalam birokrasi yang menghancurkan cita-citaideal sebuah kebijakan, termasuk program IDT. Budaya ituternyata juga direproduksi di masyarakat. Masyarakat memperolehkesempatan “menjarah” kalau ada dana yang langsung ke orangper orang. Kondisi local capture inilah yang menjadi salah satupenyebab gagalnya program IDT. Di masyarakat, sampai-sampaiIDT diplesetkan menjadi Iki Duit Turahan (Ini Uang Sisa), yangartinya dana IDT itu dijarah habis-habisan oleh penggunanyatanpa bisa dipertanggungjawabkan, sebagaimana dana KreditUsaha Tani (KUT) yang dilancarkan pada masa pemerintahanHabibie. Akhirnya bisa dikatakan, sebagus apapun konsep,paradigma, kebijakan dan program, tetapi kalau komitmenpolitiknya sangat lemah serta tradisi penyerobotan (capture) masihterpelihara di kalangan birokrasi dan masyarakat, maka semuanyamesti amburadul.

Program Pengembangan Kecamatan (PPK) merupakanaplikasi CBRD yang dijalankan oleh kerjasama pemerintah In-donesia dengan Bank Dunia. Bank Dunia terlibat secara dominatifmendisain rancang-bangun PPK sekaligus mendanai proyek besar

Page 56: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

72 73

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

itu dengan skema utang (bukan grant). Berbeda dengan modelbantuan pembangunan sebelumnya, PPK mengalokasikan danasekitar Rp 1 milyar per kecamatan atau sekitar Rp 80 juta hinggaRp 100 juta per desa dalam wilayah kecamatan itu. Dana itudialokasikan langsung ke level desa dan ke masyarakat, dengandukungan para fasilitator yang diambil dari praktisi NGOs (bukanNGOs secara kelembagaan) maupun praktisi pembangunan. Dimasing-masing level pemerintahan dibentuk sekretariat bersamaantara pemerintah dan Bank Dunia, yang bertugas melakukanfasilitasi, supevisi, dan administrasi. Peran negara, termasuk dalamhal ini adalah pemerintah daerah, tidak terlalu besar. Peran yanglebih besar justru dimainkan oleh para konsultan provinsi,konsultan kabupaten, fasilitator kecamatan dan fasilitator desa,dimana mereka ditempatkan sebagai “tukang” oleh Bank Duniauntuk menjalankan tugas-tugas lapangan.

CBRD dengan skema PPK memang lebih maju ketimbangmodel bantuan pembangunan sebelumnya. Tetapi PPK sebegitujauh meminggirkan negara dan tidak dipadukan dengan agendadesentralisasi maupun perencanaan daerah. Bahkan sering munculkritik bahwa PPK itu ibarat menarik “sapi kurus” dengan “talibesar”, mengingat dana operasional untuk administrasi danfasilitasi sangat besar bila dibandingkan dengan dana programuntuk masyarakat.

Pembangunan Desa BerkelanjutanState led development model Orde Baru maupun minimalist state

ala CBRD yang sekarang tentu bukanlah pilihan yang tepat untukmembingkai pembangunan desa. Dalam konteks ini hendakmengusung model pembangunan desa berkelanjutan (sustainablerural development – SRD) yang dipadukan dengan regional rural de-velopment (RRD) atau decentralized rural development (DRD). SRDberupaya mengubah arah dan tujuan pembangunan desa, sedangkanRRD berupaya memperbaharui tatakelola pem-bangunan desa yangsentralistik menuju pembangunan desa yang terdesentralisasi.

Mainstream pembangunan desa yang selama iniberkembang terutama terfokus pada penanggulangan(pengurangan) kemiskinan melalui penyediaan infrastrukturfisik, peningkatan pertumbuhan melalui produksi pertanian danpenyediaan layanan sosial (pendidikan dan kesehatan). Dalamkonteks ini, kami tegaskan bahwa pembangunan desa lebih darisekadar penanggulangan kemiskinan, bukan pula memberikanlayanan sosial (pendidikan dan kesehatan) dan merubah wajahfisik desa. Menurut Andrew Shepherd (1998), pembangunandesa merupakan upaya perbaikan kesempatan dan kualitas hidup(weSll-being) individu maupun rumah tangga , khususnya rakyatmiskin di desa yang tertinggal jauh akibat proses pertumbuhanekonomi. Mengikuti paradigma sustainable livelihood,pembangunan desa sebenarnya merupakan proses mengubahpenghidupan masyarakat desa dari kondisi yang rentan (vulner-able) menjadi berkelanjutan (sustainable) dengan me-ngembangkan aset yang ia miliki dan dinamika yang ada menjadimampu ditransformasikan. Penghidupan masyarakat adalahsuatu kemampuan daya hidup yang dimiliki baik itu secaramaterial dan sosial, yang diwujudkan dalam berbagai kegiatanguna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pembangunan desa bersifat multidimensional: mengarahpada perbaikan layanan sosial, membuka kesempatan bagirakyat desa menggali pendapatan dan pembangunan ekonomidesa, perbaikan infrastruktur fisik, memperkuat kohesi sosialdan keamanan fisik komunitas warga desa, memperkuatkapasitas desa mengelola pemerintahan dan pembangunan,membuat demokrasi dalam proses politik di desa, sertamengatasi kerentanan (sosial, ekonomi dan politik) masyarakatdesa. Konsep ini menaruh perhatian pada proses memfasilitasiperubahan di komunitas desa yang memungkinkan rakyatmiskin di desa memperoleh lebih, meningkatkan investasi bagidirinya sendiri dan komunitasnya, meningkatkan kepemilikanrakyat desa merawat infrastruktur dan lain-lain.

Page 57: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

74 75

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Tentu pembangunan desa tidak bekerja dalam ruang yanghampa politik. Komitmen, perencanaan, pendanaan maupunpartisipasi merupakan pilihan dan sekaligus proses politik. Karenaitu, pembangunan desa tidak hanya mencakup aspek ekonomidan layanan sosial, tetapi juga mencakup aspek politik. Bagaimanadimensi politik bekerja dalam konteks pembangunan desa? Belajardari banyak literatur maupun pengalaman di banyak negara,pembangunan desa (yang mencakup dimensi sosial, ekonomi danpolitik) mengarah pada sejumlah agenda strategis:a. Membangun infstruktur fisik desa, yang mencakup jalan,

irigasi, listrik, jaringan komunikasi, air dan sanitasi,perumahan desa. Infrastuktur desa ini merupakan fasilitaspublik paling dasar yang memungkinkan warga desamelakukan mobilisasi fisik, menjalin komunikasi, mengairilahan, menjalin transaksi ekonomi, menikmati hidup sehatdan nyaman.

b. Membangun keberlanjutan sosial (social sustainability), yaknimembangun keamanan dan ketahanan sosial warga dankomunitas desa dari berbagai aspek sosial, ekonomi, politik,budaya dan hukum yang membuat kerentanan bagi mereka.Selama ini warga desa sangat rentan dengan banyak hal:eksploitasi tengkulak, penipuan tenaga kerja, lemahnyakepastian hukum mengenai kepemilikan tanah, peredarannarkoba, sengketa tanah, eksploitasi terhadap anak danperempuan, serangan penyakit menular, putus sekolah, butahuruf, kematian ibu dan bayi, konflik sosial, dan seterusnya.Pembangunan sosial desa tentu harus mencakup aspek-aspekini. Bagaimanapun keamanan dan ketahanan sosialmerupakan prakondisi bagi pembangunan sosial danekonomi di desa. Dalam konteks ini, membangunkeberlanjutan sosial mencakup: pemberian jaminan hak-hak bagi anak dan perempuan; kepastian hukum mengenai pemilikan tanah,

perlindungan terhadap kelompok-kelompok lemah

(lansia, penyandang cacat, buruh tani, anak yatim piatu,dan lain-lain),

Pelayanan kesehatan desa (pengurangan kematian ibu danbayi, pengurangan penyakit menular, penyediaan layanankesehatan, kemudahan akses terhadap layanan kesehatan,dan lain-lain).

Pelayanan pendidikan (penyediaan fasilitas pendidikan,wajib belajar, kemudahan askes pendidikan, penguranganbuta huruf dan anak putus sekolah, dan lain-lain).

Akses informasi warga terhadap hukum dan layanan sosial.

c. Membangun ekonomi dan penghidupan desa, yang mencakuppenyediaan lapangan pekerjaan dan menggali pendapatanmasyarakat dengan memanfaatkan aset-aset desa maupunbantuan pendanaan dari pihak luar desa (pemerintah, bank,NGO, pengusaha, dan lain-lain). Sasaran ini antara lainmencakup:

Pengembangan ekonomi desa: pertanian, perkebunan,kehutanan, perikanan, pariwisata, industri desa, dan lain-lain.

Pengembangan usaha-usaha kecil dan menengah desa. Penyediaan pasar desa. Pemberian layanan bagi kelompok tani kecil. Pengelolaan sumberdaya alam bersama masyarakat

setempat. Optimalisasi pengelohan dan pemasaran hasil-hasil

pertanian. Dukungan finansial bagi usaha desa, kelompok tani,

perempuan, dll. Pelibatan kelompok-kelompok atau organisasi masyarakat

dalam menggarap proyek-proyek desa berskala kecil.d. Membangun demokratisasi desa. Ini merupakan aspek politik

dalam pembangunan desa, yang mencakup upaya-upayamememperkuat akuntabilitas pemimpin desa, transparansi

Page 58: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

76 77

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

pengelolaan kebijakan dan anggaran desa, responsivitaspemimpin dan kebijakan desa, serta partisipasi masyarakatdalam pengelolaan pembangunan. Demokratisasi dimaksud-kan untuk mencegah dominasi elite desa dalam pembuatankeputusan maupun penguasaan sumberdaya lokal,mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan berbagai lapisanmasyarakat (terutama kelompok-kelompok marginal) kedalam kebijakan pembangunan desa, serta mengkondisikanpengelolaan pembangunan yang lebih adil dan merata. Tanpaada demokrasi, maka yang terjadi adalah dominasi elite,korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, marginalisasi kelompok-kelompok yang lemah, ketidakadilan dan seterusnya.Pengalaman di desa selama ini memperlihatkan fenomenaini dengan jelas, sehingga demokratisasi merupakan politicalspace yang harus dibangun di desa. Beberapa aspekdemokratisasi antara lain:

Pemilihan kepala desa secara langsung. Keberadaan wadah perwakilan rakyat desa yang dipilih

secara demokratis dan yang bekerja secara akuntabel,aspiratif dan representatif.

Penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel,transparan dan responsif.

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pemerintahandan pembangunan, termasuk dalam perencanaananggaran desa.

Terbukanya ruang publik di desa. Akses informasi. Tersedianya organisasi-organisasi atau forum-forum warga

sebagai wadah untuk partisipasi.

e. Membangun kapasitas institusional desa dalam perencanaandan pelaksanaan. Kapasitas lokal merupakan tujuan dansekaligus prakondisi desentralisasi dari pusat ke lokal. Di satusisi, desentralisasi berupaya memperkuat prakarsa dan

kapasitas lokal sehingga bisa menopang kemandirian lokal,dan di sisi lain, otonomi lokal akan berjalan dengan baik danmencapai keberhasilan apabila ditopang dengan kapasitas lokaldalam mengelola pemerintahan dan pembangunan. Dalamkonteks ini ada sejumlah kapasitas institusional desa yangperlu diperkuat dalam rangka pembangunan desa. Pertama,kapasitas regulasi (mengatur). Kapasitas regulasi adalahkemampuan desa mengatur kehidupan desa beserta isinya(wilayah, kekayaan, dan penduduk) dengan peraturan desa,berdasarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat.Pengaturan bukan semata-mata bertujuan untuk mengambilsesuatu (melakukan pungutan), tetapi begitu banyakpengaturan yang berorientasi pada pembatasan kesewenang-wenangan, perlindungan, pelesatarian, pembagiansumberdaya (jabatan desa, kekayaan desa, pelayanan publik),pengembangan potensi desa, penyelesaian sengketa, danseterusnya. Berbagai macam peraturan desa pada prinsipnyadimaksudkan untuk menciptakan ketertiban, keamanan,keseimbangan, keadilan, keberlanjutan dan lain-lain. Kedua,kapasitas ekstraksi. Kapasitas ekstraksi adalah kemampuanmengumpulkan, mengerahkan dan mengoptimalkan aset-asetdesa untuk menopang kebutuhan (kepentingan) pemerintahdan warga masyarakat desa. Paling tidak, ada enam aset yangdimiliki desa: (a) Aset fisik (kantor desa, balai dusun, jalandesa, sarana irigasi, dll); (b) Aset alam (tanah, sawah, hutan,perkebunan, ladang, kolam, dll); (c) Aset manusia(penduduk, SDM); (d) Aset sosial (kerukunan warga,lembaga-lembaga sosial, gotong-royong, lumbung desa,arisan, dll); (e) Aset keuangan (tanah kas desa, bantuan darikabupaten, KUD, BUMDes dan (f) Aset politik (lembaga-lembaga desa, kepemimpinan, forum warga, BPD, rencanastrategis desa, peraturan desa, dll). Untuk meningkatkankemampuan ekstraksi ini memang tidak mudah, tetapi jugatidak terlalu sulit. Yang jelas tidak semuanya padat modal,

Page 59: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

78 79

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

atau butuh dana besar. Umumnya langkah awal peningkatankemampuan ekstraksi dimulai dengan analisis potensi desa(termasuk pemetaan tata ruang desa) yang kemudiandirumuskan menjadi rencana strategis desa. Rencana strategismencakup tentang visi desa, yang kemudian dijabarkanmenjadi rangkaian kebijakan, program dan kegiatan. SeorangLurah Desa yang diberi mandat selama lima tahun memangbukan semata-mata untuk membangun praja tetapimenghadapi tantangan yang berat, yaitu bagaimana dankemana desa akan dibawa selama lima tahun? Apakah PakLurah sudah cukup puas karena bersedia memberikanpelayanan kepada masyarakat nonstop selama 24 jam, atausudah sangat puas karena peranannya sebagai “ujung tombak”dan “ujung tombok”? Tentu saja tidak. Termasuk dalamkapasitas ekstraksi adalah kemampuan pemimpin, terutamakepala desa, melakukan konsolidasi (merapatkan barisan)terhadap berbagai aktor, baik BPD, lembaga desa, tokohmasyarakat dan warga masyarakat. Kalau Lurah Desa danBPD masih saja ribut, maka tidak bakal membawapemerintahan dan pembangunan secara efektif, apalagimembawa visi-misi besar desa. Karena itu berbagai unsurdesa itu harus membangun kesepahaman, keterbukaan,kemitraan, kebersamaan, saling mengisi untuk mengawal visi-misi desa jangka panjang. Ketiga, kapasitas distributif.Kapasitas distributif adalah kemampuan pemerintah desamembagi sumberdaya desa secara seimbang dan merata sesuaidengan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Contoh yangpaling nyata dalam hal ini adalah kemampuan pemerintahdesa merancang APBDES, terutama dalam hal pengeluaran(alokasi). Umumnya pemerintah desa mempunyai kapasitasdistributif yang masih sangat lemah, karena sebagian besaralokasi keuangan desa digunakan untuk belanja rutinperangkat desa, sementara dana pembangunan masih sangatminim. Sudah minim, itu pun lebih banyak dialokasikan

untuk pembangunan fisik, sementara yang untuk alokasiekonomi produktif sangat terbatas. Keempat, kapasitasresponsif. Kapasitas responsif adalah kemampuan untuk pekaatau memiliki daya tanggap terhadap aspirasi atau kebutuhanwarga masyarakat untuk dijadikan sebagai basis dalamperencanaan kebijakan pembangunan desa. Kemampuan iniharus ditempa terus, sebab selama ini agenda perencanaanpembangunan desa cenderung berangkat dari kepentinganelite desa. Kelima, kapasitas jaringan dan kerjasama. Kapasitasjaringan adalah kemampuan pemerintah dan wargamasyarakat desa mengembangkan jaringan kerjasama denganpihak-pihak luar dalam rangka mendukung kapasitasekstraktif. Asosiasi kepala desa atau forum BPD, misalnya,bisa digunakan sebagai wadah untuk membangun kerjasamaantardesa. Demikian juga kerjasama dengan perguruan tinggimaupun LSM.

f. Membangun modal sosial masyarakat desa. Modal sosial seringdipahami sebagai struktur (organisasi lokal atau wadah) untukmengembangkan norma-norma sosial (kerjasama,kepercayaan, solidaritas, swadaya, dan lain-lain) bagimasyarakat. Pembangunan desa tentu harus diorientasikanjuga untuk mengembangkan modal sosial ini, sebagai basispartisipasi dan kemandirian masyarakat desa. Mengapa?Pertama, negara tidak mungkin mampu menyediakan seluruhlayanan sosial kepada seluruh warga masyarakat karenaketerbatasan dan kelangkaan. Kedua, sebagai self-governingcommunity desa sudah lama memiliki kekuatan modal sosial,misalnya dalam bentuk organisasi lokal, gotong-royongmaupun swadaya masyarakat untuk menopang dan bahkanmembiayai urusan-urusan publik yang tidak dijangkaunegara. Karena itu upaya membangun modal sosial desamencakup beberapa hal penting: Keberadaan organisasi-organisasi lokal desa yang bekerja

secara efektif sebagai wadah kerjasama dan partisipasi

Page 60: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

80 81

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

masyarakat desa. Bekerjanya gotong-royong dan swadaya masyarakat desa.Dengan demikian, pembangunan desa tidak hanya sekadarmerubah wajah fisik desa, tetapi juga harus mampuemberdayakan organisasi-organisasi lokal desa dan memperkuattradisi gotong-royong dan swadaya masyarakat desa.

SRD dan RRD secara umum mengusung beberapakeyakinan: (a) Pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan;(b) Proses keterlibatan warga yang marginal dalam pengambilankeputusan; (c) menonjolkan nilai-nilai kebebasan, otonomi, hargadiri; (d) negara membuat lingkungan yang memungkinkan; (e)pengembangan institusi lokal untuk ketahanan sosial; (f)penghargaan terhadap kearifan dan teknologi lokal; pengembanganteknologi secara partisipatoris; (g) penguatan institusi untukmelindungi aset komunitas miskin; (h) Organisasi belajar non-hirarkis; (i) Peran negara yang aktif responsif: menyiapkan kerangkalegal yang kondusif, membagi kekuasaan, memberikan jaminandistribusi sosial, mendorong tumbuhnya institusi-institusimasyarakat; (j) peran pemerintah daerah yang aktif dan responsif;(k) pemerintahan yang desa yang otonom dan berkapasitas; serta(l) pemerintahan desa yang demokratis.

Pembangunan desa berkelanjutan juga memperhatikan aspeklocal development, indigenous development atau culturally based de-velopment. Konsep-konsep ini menganjurkan bahwa pembangunandesa harus peka pada konteks lokal serta mampu mendongkrakprakarsa lokal. Kembali ke dalam ‘pelukan’ komunitas ataumembangkitkan ‘daulat komunitas’ tampaknya mulai menjadipilihan para kreator dan aktifis masyarakat lokal di Indonesiaketika berhadap dengan negara yang lebih berpihak pada kekuatanpasar. Seperti yang dituturkan oleh Zukri Saad, Staf ahli NagariKoto Gadang Sumatera Barat, dalam penuturun-nya kembali kenagari sudah menjadi sikap ideologis untuk tidak menjadikanadat hanya sebagai simbol tapi bangkit berkembang pada sesuatu

yang lebih substantif. Langkah untuk menuju perwujudan ituadalah melalui proses-kreatif yang intensif sampai menemukanpola dan rumusan yang lebih kongkret. Ia menuturkan dalamproses membangun tata kelola pemerintahan dan pembangunanbagi peningkatan kualitas kesejahteraan warga nagari, inisiatif danprakarsa lokal dikembangkan. Sebaliknya pola-pola penciptaanketergantungan atas peran pemerintah berlahan mulaiditinggalkan.1

Dalam penuturan Zukri, dengan berbekal pada hukum adattren investasi dengan pola penguasaan tanah adat untuk kegiatanusaha ekonomi yang berkembang di dalam masyarakat Indonesia,untuk kasus Sumatera Barat (Sumbar), khususnya Nagari KotoGadang hal itu sulit untuk diberlakukan dan akan menuai resistensikalau pemerintah mencoba memaksakan. Upaya untuk melindungitanah adat begitu kuat. Bukan berarti warga nagari menolak investasidan modal besar masuk, namun cara mereka membangun kegiatanekonomi bukan berarti harus menghilangkan kearifan lokalmasyarakat setempat. Menurut pengakuan Zukri, banyakpengusaha Singapura dan Malaysia yang mau membeli tanah diSumatera Barat untuk kegiatan ekonomi namun ditolak masyarakatkarena berupaya menghilangkan apa yang selama ini menjadikearifan lokal masyarakat, yakni melindungi tanah agar warga tetapberakar di dalam kultur masyarakatnya. Apa yang dilakukan olehmasyarakat Sumbar mungkin dapat disepandankan sebagai caramembangun ‘daulat komunitas’ karena dengan adat dan prakarsalokalnya, mereka membangun harga diri dan kapasitasmengembangkan dinamika sosial disaat berkontestasi dengankepentingan pemerintah dan pasar.

Ideologi pasar memang selalu berupaya merontokkan otonomikomunitas atau daulat komunitas dengan cara pengkondisian kedalam proses individualisasi, kapitalisasi sehingga masyarakatmengalami fragmentasi dan pragmatisasi. Proses demikian1 IRE Yogyakarta, Proceeding Loka Karya Nasional, Prakarsa Pembaharuan Tata KelolaPemerintahan dan Pembangunan, tanggal 27-29 Desember 2005, diselenggarakan oleh IRE danYayasan Tifa.

Page 61: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

82 83

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

diasumsikan hukum pasar akan menggantikan hukum komunitasatau kearifan lokal masyarakat. Dalam konteks inilah individunantinya tidak dapat lagi berlindung dalam prinsip-prinsip hukumadat atau komunalitas warga. Pengalaman Sumatera Barat sangatbermanfaat dijadikan pelajaran bahwasannya pelaksanaandesentralisasi dan otonomi daerah dijadikan sebagai peluang untukmenata ulang komunitas berbasis tradisi, membangun kembaliharga diri dan local wisdom bukan untuk menjual aset hanya sebatasmengejar pendapatan daerah. Tata kelola pemerintahan danpembangunan berbasis tradisi dan komunitas akan lebihmempermudah pembangunan berpihak pada komunitas warga,tidak membuatnya teralienasi. Komunitas dengan pasar dan negaradapat ‘duduk’ dengan penuh setara, dan menacari dan menemukankeseimbangan dalam meraih keuntungan pembangunan secara adil.

Bila di Sumbar daya dobrak lokal ini dibangun dengan berbasistradisi dan komunitas, di tempat lainnya ada juga yang melakukannyadengan proses inisiasi bermula dari seorang diri. Seperti yang dilakukanoleh Mbah Suko, seorang petani asal Sawangan Magelang yang pernahmeraih Kehati Award tahun 2001. Sejak tahun 1974, ia tetap bertahanmenggunakan pola pertanian alamiah (baca: organik) meskipun iadicerca dengan umpatan kolot oleh sesama petani lainnya dan dihardikoleh negara dengan stigmatisasi ikut organisasi terlarang (OT) di KTP-nya karena menolak program revolusi hijau. Ia terus bertahan memilihtetap menanam varietas padi lokal mentik wangi, ketan kutuk danrojo lele di tengah arus pertanian modern yang menggunakan varietasunggul, pupuk an-organik dan pestisida.2

Menurut penuturan Mbah Suko, banyak petani yangterpaksa mengikuti arus perubahan yang diterapkan oleh kebijakanpemerintah menuju swasembada beras dengan meninggalkanpertanian tradisional, termasuk menghilangkan varietas lokal. Padimentik wangi pada tahun 1980 sempat hilang dari peredaran.Mbah Suko terus mencari benih padi itu sampai menemukannyadi Dlingo Boyolali, itu pun hanya sebanyak dua ons. Tekanan

negara dan pasar—pemilik modal besar menciptakan jeratankemiskinan petani. Padahal sebenarnya petani bisa mandiri dandapat keluar dari jebakan ini dengan menerapkan pertanian yangterintegrasi dengan perternakan. Benih dibuat sendiri, pupukkompos diolah dari kotoran ternak. Seperti yang dilakukan olehBaharuddin ketua LSM Qurrotun Tayyibah di Salatiga. Ia membuatpupuk kompos dari kotoran ternak dan dipergunakan pula sebagaienergi listrik untuk menerangi rumahnya.

Prakarsa lokal yang dikembangkan oleh Mbah Suko atauBaharuddin di atas sebagai cara membangun kembali bentengpertahanan pangan agar masyarakat tidak terjebak ke dalam sistempertanian yang tidak memberikan keuntungan secara ekonomis,ekologis dan budaya. Mereka mengembangkan itu bukan sesuatuyang baru karena sebenarnya sudah berasal dari sistempengetahuan yang sejak dulu pernah tumbuh di dalammasyarakat. Cara bertani yang an-organik dan pola pengintegrasianbertani dengan berternak di masa lalu sudah menjadipemandangan yang dengan mudah dilihat di masyarakatpedesaan. Realitas itu berlahan mulai tak begitu menampak lagikarena pola pertanian organik lebih populer. Kini ketika sistembertani masyarakat sudah terjebak ke dalam sistem pertanianorganik yang dikonstruksi oleh negara dan pasar apa yangdikembangkan oleh Mbah Suko dipandang sebagai pola pertanianalternatif yang sangat relevan dan dibutuhkan.

Kembali ke alam, kembali ke basis tradisi local wisdommasyarakat tidak mudah tidak saja kerena kekuatan pasar dannegara belum berpihak, di dalam masyarakat sendirimengembalikan kesadaran kritis juga tidak sesederhana yangdibayangkan. Masyarakat petani yang sudah lama dimarginalisasidan mengalami keterjajahan secara sosial dan mental perludisentuh kesadaran kritisnya agar sadar dan bangkit mengolahpotensi yang dimilikinya. Bila kesadaran kritis ini mulai menyebarmaka akan melahirkan tindakan kritis seperti yang dilakukan olehMbah Suko itu. Hanya dengan kesadaran kritis, bukan kesadaran

2 Lihat Surat kabar harian Kompas, 31 Desember 2005.

Page 62: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

84 85

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

magis transformasi sosial dapat dilakukan. Inisiatif lokal atauprakarsa lokal yang dilakukan oleh para aktifis lokal di atas bilaberkembang menjadi kesadaran kolektif maka akan menjadipotensi besar dalam mendorong perubahan dan perbaikan didalam masyarakat Indonesia yang tengah tertatih-tatih mengatasikesulitan sosial ekonominya.

Inisiatif dan prakarsa lokal yang bertumbuh harus terusdidorong agar berkembang sehingga tidak mandeg di tengahjalan. Bila terjadi kemandegan proses kreatif prakarsa lokal samasaja dengan kematian demokrasi yang berujung pada kematiankewarganegaraan (citizenship) dalam tata kuasa negara danmasyarakat. Untuk memelihara spirit dan semarak prakarsalokalitas dibutuhkan proses pelembagaan. Tanpa ada prosespelembagaan prakarsa lokal ini akan mudah disingkirkan ataudisapu bersih oleh proses sosial dan politik di tingkatan negaradan pasar. Prakarsa atau inisiatif lokal hanya akan menjadigagasan spontan dan tidak akan berkembang menjadi kekuatansosial bila tidak ada proses pelembagaan. Apalagi di masa depan,tantangannya begitu jelas, seperti yang diurai diatas, betapamesin-mesin pasar global begitu dasyat dalam menciptakanpraktek ekonomi yang tak lagi bersahabat dengan ekonomiberbasis komunitas, dan local wisdom. Modal sosial di tingkatlokal harus terus digerakkan agar tumbuh saling percaya,solidaritas sosial yang menguat sehingga apa yang disebut sebagaicivic cummunity dan civic engagement oleh Putnam dapatmengakar di tengah masyarakat.3

Beberapa langkah menuju proses pelembagaan gagasan bagiberkembangnya inisiatif dan prakarsa lokal ini adalah sebagaiberikut. Pada tingkatan masyarakat. Pertama, perlunya penguatankesadaran kritis di tingkatan warga untuk membangun tata kelolasosial ekonomi berbasis komunitas, kearifan lokal dengan terusmelepaskan berbagai proses ketergantungan sosial, politik danekonomi dari kekuatan negara dan pasar bila kebijakan dan

programnya hanya mengejar keuntungan ekonomi semata. Kedua,mengupayakan secara terus menurus tindakan berproduksi secaralebih dominan dibandingkan dengan berkonsumsi, atau membuatpola keseimbangan keduanya. Pengetahuan dan ketrampilan lokalyang selama ini menjadi ekonomi komunitas perlu terusdikembangkan, jangan jangan sampai pudar eksistensinya. Ketiga,perlunya ditumbuhkan beragam arena mediasi sebagai ruangproses belajar bersama yang menumbuhkan spirit, kecerdasan dankomitmen bagi penguatan kemandirian komunitas. Ketiga halini akan membuat inner forcing lokalitas itu tumbuh danbermekaran sehingga nantinya terus berupaya memperkuatintegrasi sosial dan harga diri (dignity) dalam jalinan kerjasamasosial yang makin humanis.

Sedangkan di tingkatan eksternal, hal yang perlu didorongadalah Pertama, negara harus responsif dalam membuat regulasidan kebijakan yang memperhatikan nilai-nilai dan kearifan lokal.Kedua, perlunya negara untuk melakukan berbagai caramemandirikan komunitas (respect resilence). Tidak dominatif yangkemudian membuat inisiatif warga melemah. Ketiga, menghargaihak-hak sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal. Kontrak sosialnegara dengan rakyatnya adalah upaya untuk senantiasa memberiperlidungan dan pelayanan sebaik mungkin atas seluruh lapisanwarganya. Ketika warganya menghadapi problem sosial yang rumitdan kompleks dan tak mampu mengatasi dengan segala potensiyang ada, negara harus cepat hadir menolong dan memberikanbantuan danm perlindungan. Bukannya ikut memperlemahdengan cara mencari keuntungan sendiri atau berada di barisankepentingan yang membela pasar.

Kalau dilihat dari berbagai praktek sosial yangberkembang, sekalipun rakyat dihadapkan pada kesulitan sosialyang kompleks akibat tekanan struktur ekonomi politik, geliat rakyatuntuk memunculkan inisiatif dan prakarsa masih terus tumbuh.Sekalipun inisiatif itu begitu beragam. Adanya kalanya inisiatif danprakarsa lokal itu muncul sebatas bertahan agar dapat survive.

3 Robert Putnam, Making Democracy Work, Princenton University Press, Princenton, 1993.

Page 63: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

86 87

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Namun terkadang juga ‘radikal’, dalam arti prakarsa yang didalamnya mengandung visi perubahan di masa depan yang strategis.Dalam konteks ini tak jarang ketegangan dan benturan kepentinganantara masyarakat dengan negara atau pasar muncul kepermukaan.

PenutupBerbagai paradigma baru pembangunan desa yang telah

dibahas di atas tentu menyajikan perspektif alternatif dan kritis,yang berupaya membawa isu-isu keberlanjutan dan menempatkanrakyat sebagai posisi subyek dalam pembangunan desa. Keyakinanyang berpihak pada desa ini sudah diterima secara luas olehpemerintah, akademisi, lembaga-lembaga internasional sebagaiperspektif baru dalam pembangunan desa, apalagi belajar daripengalaman masa lalu, pembangunan desa terpadu yangdilaksanakan secara sentralistik oleh pemerintah di desa telahmenemui kegagalan. Baik pemerintah maupun lembaga-lembagainternasional yang bekerja di Indonesia memang sudah melakukanperubahan karitatif dalam hal strategi/pendekatan pembangunandesa yang berupaya menempatkan posisi rakyat pada posisi subyek,misalnya sebagaimana tergambar dalam program-program IDT,PPK, P2MPD, dan lain-lain.

Tetapi ada sejumlah kelemahan yang perlu dicermati.Pertama, pembangunan desa yang berpusat pada rakyat adalahsebuah konsep akademik yang masih sebatas jargon, yang belumbisa dioperasionalkan secara konkret. Konsep ini sangat mujarabuntuk melakukan kritik model pembangunan yang berorientasipada pertumbuhan dan digerakkan pemerintah, tetapi secaraempirik konsep itu belum bisa dioperasionalkan secara konkretdan mampu menyentuh rakyat. Raksasa birokrasi yang sentralistikdan hirarkhis menjadi sebuah kendala besar untuk wewujudkanpembangunan desa yang berpusat pada rakyat.

Kedua, sasaran pembangunan desa masih terfokus padapenanggulangan kemiskinan melalui investasi infrastruktur danpemberian layanan sosial. Lebih parah lagi, di tingkat lokal,pembangunan desa dipahami dan dipraktikkan sebagai

pembangunan fisik semata. Selama ini tidak ada analisiskomprehensif yang dilakukan terhadap dampak intervensipemerintah, sebab yang lebih banyak dilakukan adalahmenghitung anggaran yang telah dikeluarkan pemerintah besertalembaga donor untuk membiayai pembangunan desa, bukan padaefisiensi, efektivitas dan keberlanjutan hasil-hasil pembangunandesa. Program-program pembangunan desa selama ini lebihmemperhatikan kuantitas jumlah “yang dapat diberikan” (deliv-erable) pemerintah, ketimbang memperhatikan pencapaiandampak kualitatif yang penting terhadap rakyat desa, misalnyaprogram-program yang memperbaiki kualitas hidup rakyat desamelalui pemerintahan lokal yang otonom dan demokratis (demo-cratic self-government).

Ketiga, sasaran pembangunan desa di atas tidak dipadukandengan agenda desentralisasi dan penguatan demokrasi lokal.Pemerintah pusat merumuskan sendiri secara sentralistik blue printdan pendanaan pembangunan desa pada penanggulangankemiskinan melalui investasi infrastruktur dan pemberian layanansosial. Pendanaan yang mengalir dari Jakarta itu tidak dimasukkanke dalam anggaran daerah, apalagi anggaran desa (APBDes), yangsudah direncanakan sendiri di tingkat lokal. Dengan demikian,dana yang datang dari pusat adalah dana proyek yang bersifatnonbudgeter, sehingga dana itu di tingkat lokal berada di luarperencanaan dan pemerintah lokal tidak perlu membuatakuntabilitas kepada publik. Karena program pembangunan desayang terpusat itu tidak diintegrasikan dalam skema desentralisasi,maka yang terjadi adalah ketergantungan pemerintah lokal (daerahdan desa) pada program bantuan dari pusat, serta melemahkankemampuan dan responsivitas lokal dalam melancarkan program-program pembangunan desa dalam kerangka desentralisasi secaramandiri dan sesuai dengan preferensi lokal. Dalam benak pikiranpejabat daerah, pembangunan desa adalah “proyek-proyek”peningkatan prasarana fisik desa, kegiatan penyuluhan maupunpenyaluran bantuan-bantuan karitatif (sedekah) kepada rakyat desa.

Page 64: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

88 89

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Dengan alasan klasik, minimnya dana, pemda mengaku tidakmampu membuat kebijakan pembangunan desa yang komprehensif.Tetapi kalau kita lihat struktur APBD di banyak kabupaten/kota,anggaran pembangunan desa jauh lebih kecil dibanding denganprogram pengawasan dan pembinaan aparatur pemerintah, apalagikalau dibandingkan dengan belanja pegawai. Sementara, karenalemahnya agenda demokratisasi (akuntabilitas, transparansi danpartisipasi) dalam pembangunan desa, telah membuat proyek-proyek pembangunan itu digerogoti oleh praktik-prakti korupsipejabat lokal (local capture), sering tidak tepat sasaran pada rakyatdesa yang miskin, melemahkan modal sosial masyarakat desa, sertamembuat erosi kepemilikan lokal terhadap hasil-hasil pembangunansehingga sisi keberlanjutan sangat lemah.

Berangkat dari sejumlah kritik di atas, kami hendak menawar-kan model alternatif pembangunan desa, yang di dalamnya hendakmenawarkan reorientasi sasaran pembangunan desa, keterpaduanantara program pembangunan desa dengan desentralisasi dandemokrasi lokal, disain dan proses pembangunan desa berbasismasyarakat, dan aspek keberlanjutan pembangunan desa. Meskipunmodel pembangunan desa berbasis masyarakat kini telah menjadimainstream, namun bukan berarti bahwa masyarakat desa bekerjasendirian dan pemerintah lepas tanggungjawab. Bagaimanapunpembangunan desa berbasis masyarakat harus dipadukan dengandesentralisasi, sebab desentralisasi ini adalah bentuk kebijakanafirmatif yang mengedepankan kepedulian, pemerataan dan keadilankepada desa.

Tabel 2 di bawah merupakan rangkuman model alternatifpembangunan desa yang kami tawarkan. Pembangunan desa lebihdari sekadar penanggulangan kemiskinan, bukan pula mem-berikan layanan sosial (pendidikan dan kesehatan) dan merubahwajah fisik desa. Pembangunan desa bersifat multidimensional:mengarah pada perbaikan layanan sosial, membuka kesempatanbagi rakyat desa menggali pendapatan dan pembangunan ekonomidesa, perbaikan infrastruktur fisik, memperkuat kohesi sosial dan

keamanan fisik komunitas warga desa, memperkuat kapasitas desamengelola pemerintahan dan pembangunan, membuat demokrasidalam proses politik di desa, serta mengatasi kerentanan (sosial,ekonomi dan politik) masyarakat desa. Konsep ini menaruhperhatian pada proses memfasilitasi perubahan di komunitas desayang memungkinkan rakyat miskin di desa memperoleh lebih,meningkatkan investasi bagi dirinya sendiri dan komunitasnya,meningkatkan kepemilikan rakyat desa merawat infrastruktur danlain-lain. Mengikuti paradigma sustainable livelihood, pem-bangunan desa sebenarnya merupakan proses mengubahpenghidupan masyarakat pedesaan dari kondisi yang rentan (vul-nerable) menjadi berkelanjutan (sustainable) dengan mengembang-kan aset yang ia miliki dan dinamika yang ada menjadi mampuditransformasikan.

Tabel 2Model Pembangunan Desa Terpadu Yang Berkelanjutan

No Item Gambaran 1 Fokus Sasaran Membangun infrastruktur desa

Membangun keberlanjutan sosial Membangun ekonomi lokal dan penghidupan desa. Membangun kapasitas institsional desa. Membangun demokrasi desa. Membangun modal sosial.

2 Pilihan Desentralisasi

Politik: pembagian kewenangan dan tanggungjawab kepada desa untuk mengelola pelayanan publik dasar.

Pembangunan: kewenangan desa untuk membuat perencanaan sendiri (village-self planning).

Fiskal: alokasi dana perimbangan desa untuk membiayai urusan pemerintahan dan pembangunan. Juga taxing power bagi desa.

Pusat dan Provinsi UU pemerintahan daerah yang menegaskan

desentralisasi desa. Kebijakan dan anggaran nasional yang afirmatif dan

responsif terhadap desa. Visi besar, koordinasi, fasilitasi, dan supervisi terhadap

kabupaten/kota Kabupaten/Kota

3 Skema Desentralisasi

Page 65: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

90 91

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Ilustrasi dalam tabel 2 di atas bisa ditransformasikan menjadibagan 1 berikut ini.

Bagan 1Skema pembangunan desa terpadu yang berkelanjutan

Pada prinsipnya tujuan jangka panjang pembangunan desaadalah mencapai kesetaraan (gender dan kelas), kesejahteraanmasyarakat, keadilan dan kemandirian desa. Untuk mencapaitujuan jangka panjang ini, maka perlu dibuat desain dan prosesyang kondusif. Kami menawarkan disain pembangunan desa yangbersifat desentralistik, berbasis masyarakat dan demokratis. Disainini diharapkan dapat membangun proses pembangunan desa yangmemungkinkan pencapaian dampak antara: mobilisasisumberdaya secara efektif, terbangunnya proses demokrasi(akuntabilitas dan partisipasi), meningkatnya kapasitasinstitusional desa, dan terbangunnya modal sosial. Jika dampakantara ini berjalan dengan baik, maka akan mencapai hasil-hasilpembangunan yang diharapkan: efektivitas, responsivitas dankeberlanjutan. Efektivitas berarti bahwa enam fokus sasaranpembangunan desa berproses secara dinamis dan secara bertahapmeraih capaian-capaian positif sesuai dengan yang ditargetkan.Responsivitas berarti kepekaan atau keseriusan pemerintah (desa,

kabupaten/kota Kabupaten/Kota Rencana strategis pembangunan desa. Perencanaan sektoral terpadu yang partisipatif Alokasi dana desa Kebijakan dan anggaran yang afirmatif dan responsif. Fasilitasi dan supervisi terhadap desa. Desa: Village self-planning. Rencana strategis desa Mengelola pelayanan dasar APBDES terpadu (anggaran budgeter)

4 Pembangunan berbasis masyarakat

Perencanaan partisipatif APBDES Partisipatif Partisipasi Keterlibatan organisasi masyarakat. Swadaya masyarakat

5 Demokrasi Pembangunan Desa

Kebijakan dan regulasi desa yang aspiratif dan responsif Kepeminmpinan dan pemerintahan yang demokratis

(akuntabel, transparan dan responsif). Lembaga perwakilan yang demokratis Partisipasi Masyarakat

6 Dampak antara Mobilisasi sumberdaya, tumbuhnya proses demokrasi, kapasitas instituional Bangkitnya modal sosial

7 Hasil-hasil Efektivitas, Responsivitas, Keberlanjutan 8 Tujuan Ideal

Jangka Panjang Kesetaraan, Kesejahteraan, Keadilan, Kemandirian

9 Agenda Strategis dan Daya Dukung

Dukungan komitmen politik tingkat tinggi Komunikasi, pembelajaran dan pelatihan bagi

stakeholders desa Memperbaiki mekanisme kontrol komunitas dan

keterlibatan stakeholders. Perencanaan berbasis data riset. Memperkuat organisasi berbasis komunitas Meningkatkan kapasitas teknis semua stakeholders Mendorong inovasi melalui perencanaan yang fleksibel Merampingkan dan mendesentralisasikan proses

persetujuan dan pengeluaran Mempergunakan prosedur proyek yang jelas dan

menyederhanakan proses. Mengatur monitoring dan evaluasi program Menciptakan saluran informasi Mengembangkan dan meneruskan strategi ke luar

Mengembangkan dan meneruskan strategi ke luar bantuan eksternal.

Pengembangan strategi pengelolaan keuangan yang sehat

N o Item Gambaran 1 Fokus Sasaran M embangun infrastruktur desa

N o Item Gambaran 1 Fokus Sasaran M embangun infrastruktur desa

Page 66: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

92 93

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

daerah dan pusat) maupun organisasi lokal menjalankan perannyamasing-masing dan sekaligus tanggap terhadap tuntutanmasyarakat lokal. Keberlanjutan diindikasikan dengan stabilitaspolitik, kecukupan pendanaan dan fleksibilitas institusionalpengelola pembangunan desa.

Desain beserta hasil-hasilnya di atas bisa berjalan denganbaik bila ditopang dengan sejumlah agenda strategis dan dayadukung yang kondusif:

Dukungan komitmen politik tingkat tinggi Komunikasi, pembelajaran dan pelatihan bagi stakeholders

desa Memperbaiki mekanisme kontrol komunitas danketerlibatan stakeholders.

Perencanaan berbasis data riset. Memperkuat organisasi berbasis komunitas Meningkatkan kapasitas teknis semua stakeholders Mendorong inovasi melalui perencanaan yang fleksibel Merampingkan dan mendesentralisasikan proses

persetujuan dan pengeluaran Mempergunakan prosedur proyek yang jelas danmenyederhanakan proses.

Mengatur monitoring dan evaluasi program Menciptakan saluran informasi Mengembangkan dan meneruskan strategi ke luar

bantuan eksternal. Pengembangan strategi pengelolaan keuangan yang sehat

Bab 3Keluar dari Jerat Eksploitasi danKetidakberdayaan Ekonomi Desa

Era reformasi yang lahir sejak 1998 dengan diawali oleh krisisekonomi 1997 dan tumbangnya rezim Orde Baru seharusnyamembawa agenda untuk menyelesaikan masalah ekonomi desayang tidak pernah terpecahkan secara tuntas sejak masa penjajahanhingga masa kini. Bahkan era reformasi itu sepertinya terbuaioleh derap globalisasi yang justru mengancam orang desa menujumasa depan yang tidak pasti. Secara umum, nasib orang desapasca keruntuhan Orba tetap sebagai peasant yaitu suatu kategoriuntuk menyebut kelompok-kelompok masyarakat yangmenggantungkan hidupnya dari usaha skala kecil di sektorekonomi pertanian, perikanan, kerajinan dan perdagangan yangrawan terjerumus ke dalam kemiskinan, ketertinggalan danketidakberdayaan.1 Peasant juga meliputi orang desa yang1 Definisi peasant ini diramu dari Nash (1966), Sahlins 91974) Wolf (1983) dan Scott (1983).Nash memberikan tekanan bahwa ekonomi peasant merupakan usaha skala kecil dandiselenggarakan oleh individu atau keluarga, Sahlins dan Wolf memberikan tekanan pada

Page 67: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

94 95

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

mengandalkan hidupnya dari tenaganya karena tidak lagi memilikitanah dan modal yang memadai sehingga hidupnya menjadiburuh tani atau pabrik di kota tetapi tidak meninggalkan desanyasebagai sumber penghidupannya. Peasant juga identik denganpelaku ekonomi yang usahanya untuk menyambung hidupdansering terjepit dengan kemiskinan.2 Sistem ekonomi peasant terusmenerus menghadapi ketidakpastian untuk menjaminkelangsungan hidup keluarganya, dan ancaman itu telah membuatmereka mengembangkan strategi yang berseberangan denganbisnis kapitalistik. Scott (1980) mengambarkan strategi hidupmereka berorientasi pada “dahulukan selamat” (safety first), yangmendahulukan keamanan konsumsi minimum keluarga daripadarasionalisasi produksi. Wolf (1983) mendahului pendapatnyadengan melihat kaum tani miskin biasanya melakukan kerja ekstrawalaupun menurut perhitungan kapitalistik kerja ekstra itu sudahtidak efisien dan ekonomis. Dalam istilah Chayanov kerja ekstraitu merupakan suatu bentuk eksploitasi diri (self exploitation).

Dalam kajian antropologi ekonomi, desa sering dimaknaimemiliki sistem ekonomi sendiri. Desa identik dengan sistemekonomi peasant yang pengertiannya dekat dengan prakapitalisatau subsisten, sedangkan kota identik dengan kapitalis. Dikotomiseperti itu mempunyai landasan empiris, meskipun bisamenyesatkan jika tidak dikritisi. Dalam sistem prakapitalis, paraprodusen tidak berorientasi pada pasar, sehingga tidakmempertimbangkan rugi-laba atas input dan output produksiyang dikelolanya (Chayanov, 1980). Produsen baru menjualproduksinya ketika terjadi surplus atau harus membeli barangdan jasa yang tidak bisa dihasilkan sendiri. Karena kuatnya

solidaritas sosial dalam masyarakat, kebutuhan-kebutuhan hidupyang tidak dapat dipenuhi oleh rumah tangganya bisa juga diatasidengan mengembangkan pertukaran sosial antar warga sepertigotongroyong, sambatan, sumbang-menyumbang dan sebagainya.Sistem prakapitalis itu berbeda dengan kapitalis karena dalamsistem ekonomi yang kedua ini, pengusaha selalu berorientasimencapai keuntungan, dan akan menutup usahanya ketikakomoditasnya tidak laku.

Apabila sistem ekonomi prakapitalis berjalan secara tertutuptanpa intervensi dari luar, masalah yang dihadapi para produsenadalah berkaitan dengan ketersediaan alat-alat produksi utamanyatanah, tenaga kerja, dan mekanisme kelembagaan dalam masyarakatuntuk menjamin terjadinya pertukaran sosial baik dalam bentukresiporsitas dan redistribusi (Hudayana, 1991). Umumnya desayang masih bersifat prakapitalis murni itu tidak menghadapimasalah karena sumberdaya tanah dan tenaga kerja tersedia sertamemiliki tradisi dan institusi resiprositas dan redisribusi yang bisaefektif menjalankan fungsi untuk menciptakan masyarakat sejahtera(welfare society). Akan tetapi, hampir tidak ada desa yang tertutupdengan sistem ekonomi subsisten3 murni. Keberadaan desa padamasa lalu hingga pada masa kini selalu bersentuhan dengan agennegara dan kapitalis yang mempengaruhi berjalannya rodaekonominya. Bahkan fenomena yang tidak bisa dipungkiri adalahkebanyakan ekonomi prakapitalis berbaur dengan kapitalis danmenghasilkan pola ekonomi peasant yang usahanya cenderungbersifat menyambung hidup (subsistensi) walaupun dikelola denganmelakukan transaksi pasar.

Dalam banyak studi yang memakai pendekatan ekonomi politik,gejala subsistensi muncul sebagai akibat dari meluasnya ekspansinegara dan ekonomi kapitalis (Wolf, 2002). Ekspansinyamemandulkan ekonomi desa sehingga melahirkan kaum peasant yangrentan terhadap kemiskinan dan mudah untuk terus menerus dihisap

lemahnya ekonomi petani karena rendahnya kontrol terhadap tanah sehingga menghadapiproblem kelangkaan tanah dan lemahnya posisi relasi dengan kekuatan eksternal seperti negaradan pasar, Scott memberikan tekanan sebagai orang desa yang usahanya berorientasi untukmenyambung hidup sehingga dekat dengan kemiskinan.

2 Wahono (1999:21) mencatat bahwa kaum peasant itu selalu menghadapi defisit anggaranrumah tangga per bulan. Dapat diibaratkan bahwa kaki mereka berjalan di dua titian jembatanpanjang yang terpisah sehingga sulit bergerak maju apalagi lari kecang karena akan mudahtergelincir masuk ke jurang.

3 Subsisten artinya menghasilkan produksi untuk kebutuhan sendiri, sedangkan subsistensiartinya menghasilkan produksi untuk mempertahankan hidup.

Page 68: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

96 97

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

oleh ekonomi kapitalis. Oleh karena itu, untuk memberdayakanekonomi desa, jalan keluar yang harus dilakukan adalah membangunpemerintahan yang populis sehingga bisa mengembangkan programyang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa serta mengendalikanekspansi ekonomi kapitalis secara jitu.

Masalah utama dalam policy paper ini adalah mengapa dalamjenjang sejarah yang panjang sejak masa penjajahan hingga kinipeasant di Indonesia tetap hidup dalam subsistensi, dan bagaimanamenjawab masalah marginalisi ekonomi desa pada masa kini.Pertanyaan ini relevan untuk mengritisi kebijakan negara danekspansi pasar ke dalam ekonomi desa. Pertanyaan itu juga relevanuntuk merumuskan agenda pemberdayaan ekonomi desa di erareformasi. Agenda ini penting jika menyadari bahwa sebagian besarpenduduk Indonesia yaitu sekitar 60 % tinggal di pedesaan danmereka ini umumnya kaum peasant. Di tengah merebaknyaglobalisasi agenda itu perlu dirumuskan dengan tepat dan jika tidakmaka reformasi yang mempromosikan demokrasi dan desentralisasiakan kehilangan maknanya dan bahkan reformasi itu malah bisamenjadi ancaman baru bagi kaum peasant di pedesaan.

Untuk menyumbangkan gagasan bagi agenda pemberdayaanekonomi desa, policy paper ini akan mencermati tiga hal. Pertama:perlakuan dan kebijakan negara terhadap ekonomi desa dandampaknya terhadap berkembangnya ekonomi peasant sebagaistrategi menyambung hidup; dan relasi yang timpang antarasektor ekonomi peasant dengan ekonomi kapitalis. Kedua: langkahstrategis menuju penguatan ekonomi desa. Untuk mengkajimasalah yang pertama, paper ini akan menyimak tiga rezim yangberpengaruh besar terhadap ekonomi peasant yaitu rezim kerajaanpra penjajahan, rezim penjajah Belanda, Orde Lama (Orla), OrdeBaru (Orba), globalisasi, dan reformasi.

Tinjauan ekonomi peasant secara historis itu perlu untukmenemukan benang merah sekaligus mengingatkan bahwa dalamjangka panjang masalah yang dihadapi peasant terus berantai danmenumpuk sehingga perlu dilakukan agenda yang serius untuk

menanganinya. Pemetaan secara historis itu juga untukmenggugah ingatan tentang masalah ekonomi desa yangmengalami keterpurukan dan ancaman yang sangat berbahayadari berbagai rezim yang mengatasnamakan diri sebagai juruselamat orang lemah.

Untuk mengkaji hubungan yang timpang, paper inimencermati sektor usaha tani pangan, perkebunan rakyat, danindustri pedesaan dan ancaman globalisasi. Adapun untukmerumuskan strategi keluar dari berbagai bentuk ketidakberdayaansebagai akibat dari hubungan yang timpang itu, policy paper iniakan menyimak berbagai langkah yang ideal seperti reformasi agraria,penguatan modal sosial dan industralisasi pedesaan.

Perlu dikemukakan bahwa argumen-argumen tentangmasalah dan solusi yang berkaitan dengan ekonomi desa padapolicy paper ini tidak dibangun dari fakta empiris yang berbentukangka-angka statistik yang sering mengundang perdebatan padalevel teknik pengukuran, pengumpulan dan analisis data, melainandibangun dari perspektif ekonomi politik yang melihat bahwaakses dan kontrol orang desa sebagai pelaku ekonomi menjadivariabel yang penting untuk memahami kekuatannya yangtercermin pada mode dan relasi produksi yang dijalankan. Angkastatistik yang disajikan dalam policy paper ini lebih ditempatkansebagai ilustrasi untuk mendukung gagasan tersebut.

Perlakukan dan Kebijakan Rezim Negara terhadap PerekonomianDesa Masa Kerajaan

Konsep Sahlins (1974:3) tentang ekonomi peasant merujukpada adanya kepentingan pihak supra desa untuk mengontrolsumberdaya ekonominya. Peasant dibedakan dengan masyarakatsuku tradisional karena peasant merupakan produsen yang tidakmenguasai sepenuhnya atas tanah pertaniannya, sedangkan sukutradisional menguasainya. Hilangnya atau berkurangnya kontrolpeasant atas tanah bisa disebabkan oleh berbagai masalah sepertifragmentasi tanah sebagai akibat pertumbuhan penduduk, tetapi

Page 69: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

98 99

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

juga bisa langsung atau tidak langsung oleh hadirnya negara yangmengontrol atas kepemilikan dan pemanfaatannya. Di Indone-sia, negara yang pertama melakukan kontrol atas tanah adalahkerajaan-kerajaan Hindu yang hidup pada abad ke 5 sampaidengan 14 Masehi, baru kemudian disusul kerajaan Islam, danpenjajah Belanda dan khususnya Orba.

Pada masa kerajaan kuno itu, desa di dalam wilayah negaramempunyai corak sebagai komunitas peasant. Kaum tani bekerjatidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, tetapi jugauntuk kebutuhan pemerintah kerajaan penguasa. Raja berkuasaatas tanah yang menjadi wilayahnya, sehingga para petani adalahpenggaduh atas tanahnya itu. Oleh karena itu, petani baik secaraindividual atau kelompok wajib membayar pajak, upeti danbulubekti (hadiah wajib) dan berbagai kewajiban lainnya kepadaraja melalui institusi dalam komunitasnya dan kerajaan.

Kerajaan dibangun dengan memakai sumberdaya desa, dankarenanya raja sangat berkepentingan mengontrol mode ekonomidi desa. Raja memposisikan diri sebagai gusti dan orang desahambanya, dan melalui hubungan patronase, raja menciptakanketergantungan orang desa dengan dirinya. Sebagai patron, rajamemerakan diri sebagai pelindung dan menjalankan fungsiredistributif untuk mendorong pemerataan dan keadilan. Akantetapi, relasi antar desa dengan kerajaan bersifat timpang, desamenjadi sapi perahan bagi keberlanjutan ekonomi kerajaan. Untukmenjamin hubungan itu tetap lestari sehingga desa tidakmelakukan perlawanan, maka raja menciptakan sistempenundukan dengan ideologi, kekerasan dan program yangpersuasif. Pada masa kerajaan Mataram Hindu, misalnya, munculprogram pembentukan desa perdikan (sima). Program ininampaknya menjadi agenda penting kerajaan terbukti hampir90 % prasasti tentang kerajaan pada abad ke 7-10 menceritakanberdirinya sima sebagai hadiah kepada orang desa karena telahmengabdi kepada raja (Haryono, 2000). Desa perdikan artinyadibebaskan dari tanggungjawab untuk mengabdi kepada raja

dengan membayar pajak, dan kewajiban lainnya. Munculnya desa-desa perdikan ini menandakan bahwa raja mendorong desa-desauntuk berlomba-lomba mengabdi kepadanya, bukan harusdipahami sebaliknya bahwa raja berbaik budi karena ekonomikerajaan sepenuhnya tergantung kepada desa.

Masa kerajaan kuno itu menandakan bahwa satu sisi desadiintegrasikan ke dalam ekonomi negara, tetapi sisi lain desasebagai sebuah koloni yang diatur untuk menghasilkan alat-alatproduksi yang dipakai untuk kemajuan ekonomi negara. Kontrolterhadap sumberdaya desa dilakukan melalui tiga cara. Pertama:kerajaan menempatkan organ pemerintah ke desa denganmengangkat elite desa sebagai kepanjangan tangan dari negara,atau mengirimkan elite pusat ke desa guna melakukan kontrollangsung. Kedua: membangun ideologi ketundukan untukmemposisikan negara sebagai penguasa yang diterima secarakultural dalam arti kehadirannya sangat bernilai dan karenannyaharus dijunjung tinggi oleh setiap warga. Ketiga: negaramenjalankan fungsi redistribusi yang memobilisasi sumberdayadesa ke kerajaan, dan sebaiknya kerajaan menfasilitasi berbagaikebutuhan desa sehingga desa dalam posisi yang bergantungdengan kerajaan.

Pola relasi kerajaan dan desa itu terus berlanjut ketikakerajaan di Jawa bercorak Islam dan kemudian mereka beradadalam cengkeraman penjajahan sebagaimana terjadi diKasunanan dan Kasultanan Yogyakarta. Kerajaan memilikiwilayah yang otonom dari campur tangan langsung pemerintahjajahan (vorstenlanden) sehingga desa tetap diperlakukan sebagaisumberdaya untuk mendanai pemerintahan. Di setiap desaterdapat tanah apanage yang luas dan kebanyakan petanibergantung pada tanah itu untuk bisa hidup. Pihak kerajaanmenggunakan tanah apanage sebagai tanah jabatan yang dapatdisamakan dengan gaji (Suhartono, 1991:16).

Mereka yang memegang lungguh (patuh) adalah para birokratkerajaan, dengan hak menikmati tanah itu ketika memegang

Page 70: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

100 101

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

jabatan dalam kerajaan. Patuh itu mengangkat seorang bekel yangdipercaya untuk mengerjakan lungguh. Bekel ini bisa bertindaksebagai lurah atau diatasnya dan meminta kepada petani untukbercocoktanam di tanah lungguh. Hasil panen dibagi menjaditiga, 2/5 untuk patuh, dan 2/5 lagi untuk petani penggarap dan1/5 untuk bekel (Suhartono, 1991:16). Penyerahan pajak petanidengan menggaduh tanah apanage itu memberatkan petanisehingga ekonomi desa tidak bisa berkembang karena petani tidakmungkin memiliki surplus produksi. Petani bahkan masihdibebani kewajiban untuk berbakti kepada patuh dan bekel untukmemberikan sumbangan dalam bentuk barang dan tenaga kerjaguna keperluan pribadi tuannya.

Dalam perkembangannya, ketika proses komersialisasiekonomi muncul, banyak tanah apanege disewakan ke perkebunanpartikelir, dan tanah apanage yang digarap petani dikenakan pajaksebagai kata lain dari bagi hasil, dan besarnya pajak seringmemberatkan petani (Suhartono, 1991:22). Sebagai contoh diSurakarta pada tahun 1888, petani dengan lahan setengah bauhanya bisa memperoleh panenan senilai f. 50,- dan pekarangandengan nilai f 30,- tetapi harus membayar pajak senilai f 80,-dan kalau ia harus membayar pajak polisi senilai f 40,- dansumbangan lainnya senilai f 50,- maka dengan kata lain petaniminus f. 10,- setahunnya.

Di dalam desa yang tanahnya disewakan kepada perkebunanpartikelir, pola hubungan produksi antar petani denganperkebunan juga tidak berubah membaik. Dengan dikontrakkankepada perkebunan partikelir oleh kerajaan, petani juga terikatmelakukan hubungan patronase dengan para elite desa yangmenjadi kepanjangan tangan pemerintah, dan kepada para pemilikperkebunan. Para elite desa dan para mandor perkebunan bekerjasama untuk memanfaatkan tanah apanage bagi kemajuanperkebunan ,dan pihak perkebunan dapat melakukan kontrak kerjayang memberatkan petani. Kontrak itu tidak dilakukan secaraindividual melainkan secara komunal yang diwakili oleh mereka

yang menjadi penguasa di desanya. Dengan demikian petani tidakbisa melawan atau menolak ketika ikatan komunal di desanyamasih kuat. Dalam kasus perkebunan tebu, petani diwajibkanuntuk menyerahkan tanahnya dan bekerja di perkebunan denganupah yang rendah (Geertz, 1976). Dalam studinya tentangagroindustri dan dampak negatifnya terhadap ekonomi petaniSuhartono (1991:24) menyimpulkan:

Pergantian patron dari para katuh ke agroindustri tidakmenurangi beban dan tekanan kepada petani, tetapi justrusebaliknya. Berbagai macam kerja wajib, penyerahan wajib,dan sejenisnya baik kualitas dan kuantitasnya justeru lebihbanyak dipaksakan oleh agroindustri. Konsekuensi lain daripergantian patron adalah kerugian petani yang semakinbanyak. Dengan kata lain, ekstrasi dan eksploitasi terhadappetani makin mendalam. Di sisi lain agroindustri mendapatkeuntungan dengan cara yang tidak fair artinya petani tidakdiberi imbalan yang seimbang…. Lagi pula agroindustrimencaplok hampir semua milik petani.

Dengan adanya eksploitasi yang berlebihan itu, petanisepertinya tidak melakukan resistensi. Dalam tesis Scott (1983)petani hanya akan melakukan resistensi ketika sudah melintasibatas toleransi. Akan tetapi, kekuasaan kerajaan yang kukuh, danpekerbunan besar yang dilindungi oleh negara melaluiseperangkat aturan hukum yang represif dan tidak adanya alternatiflain kecuali mengalah dan mengikat pinggang, maka praktikeksploitasi itu sepertinya bisa diterima petani.

Masa PenjajahanMemasuki masa penjajahan, mula-mula Belanda menempatan

desa seperti kerajaan Hindu di Jawa. Mulai tahun 1602, lewat VOCBelanda memberlakukan sistem leveransi atau penyerahan wajibdan kontingensi kepada raja dan bupati yang ditaklukan, yaituproduk-produk komoditas untuk pasar di Eropa. Kewajiban itu

Page 71: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

102 103

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

dibebankan kepada para petani seperti kewajiban berbakti kepadaraja dalam sistem feodal (Fauzi, 1999:23). Bentuk eksploitasi itupada tahun 1799 diubah dengan memakai sistem pajak, tetapiketika tidak efektif maka Belanda kemudian memberlakukan sistemtanam paksa (1830-1870). Sejalan dengan berkembangnyaliberalisme, Belanda memperkenalkan politik perkebunan danmemberlakukan UU Agraria 1870 yang membuka peluangmasuknya perkebunan partikelir di tanah jajahan.

Meskipun mirip dengan penguasa kerajaan, eksploitasi yangdilakukan penjajah terhadap ekonomi desa bisa berjalan maksimalkarena menggunakan cara modern yaitu melalui birokrasi yangkokoh (Lihat juga Suhartono, 2002:1). Belanda memakai elitepribumi untuk memobilisasi tanam paksa ke desa, dan yangmenanggung beban ini adalah para petani. Dengan tanam paksa,pemerintah memperoleh keuntungan ganda, satu sisi ia tidak perluterjun langung ke desa sehingga efisien, dan sisi lain bisamemperoleh dua macam keuntungan. Pertama: mendapatkankomoditas gratis dari petani sebagai bagian dari kewajiban desauntuk membayar pajak yang bisa dijual dengan harga yang tinggikarena pasar di eropa relative baik. Kedua memperoleh keuntunganyang besar dari berdagang yaitu membeli komoditas yangmerupakan bagian yang diterima petani dengan harga yang rendahuntuk dijual ke eropa sesuai dengan harga pasar. Praktik tanampaksa ini memberatkan ekonomi petani, karena merupakan bentukeksploitasi dan penjajah dalam waktu yang sama tidak melakukanredistribusi surplus produksinya ke desa.

Peran negara sebagai agen yang mengontrol sistem produksirakyat kemudian dihapus setelah lahirnya era perkebunan besar.Para pengusaha partikelir Belanda membuka perkebunan di tanahnegara, apanage dan bahkan tanah rakyat. Tidak terkecuali merekamenggunakan tenaga rakyat sebagai kuli kontrak dengan upahyang rendah. Petani juga didorong untuk menyewakan tanahnyasambil bekerja di perkebunan seperti dalam kasus industri gula.Tidak ketinggalan, era perkebunan ini juga ditandai oleh

meluasnya perdagangan komoditas oleh pihak swasta danmembuka akses bagi petani untuk memasarkan komoditasnyawalaupun dalam kontrol sektor kapitalis itu.

Hadirnya perkebunan besar merupakan ancaman baruekonomi desa karena terbukti banyak memakan tanah yang secaratadisional merupakan cadangan nafkah para warga desa walaupunbelum dikelola secar intensif seperti tanah bero dan hutan.Penggunaan tanah rakyat itu dilandasi dari hasil survei yangmendalam yang kemudian menjadi acuan dalam penyusunan UUAgraria 1870. Pemerintah Hindia Belanda dengan UU inimengambil alih sebagian besar kepemilikan tanah di desa kecualiyang merupakan milik perorangan. Hal ini karena dalam UUAgraria 1870, tanah desa yang berupa hutan dan tanah lahankering yang diberokan diklaim sebagai tanah negara, dan tanahtersebut kemudian diberikan kepada perusahaan partikelir. Diluar Jawa UU ini masih mengakui tanah ulayat, tetapi hutanlindung menjadi milik negara. Kebijakan itu menyebabkan petaniJawa yang sudah menunjukkan gejala lapar tanah yang ditandaioleh munculnya kategori buruh tani dan petani kecil menjadisemakin rendah aksesnya untuk mendapatkan lahan denganmembuka hutan dan ladang. Masuknya bisnis perkebunan itutelah mengurangi areal tanah rakyat, di Jawa mengambil sekitar9,47 %, dan di Sumatra Timur sekitar 26,35 % (Fauzi, 1999).

Masuknya perkebunan besar dalam ekonomi petani telahdikaji Geertz dengan menelorkan tesisnya tentang involusipertanian (agricultural involution) dan kemiskinan terbagi (sheredproverty). Sistem perkebunan ini bukan membuka prosestransformasi ekonomi subsisten ke komersial, melainkan justrumemempertahankan pola ekonomi subsisten dalam arti petanibergantung pada produksi subsisten untuk menyambung hidup,dan menyediakan tanah dan tenaga yang murah bukan melaluitransaksi pasar tetapi melalui penyerahan wajib. Dengan demikian,ekonomi perkebunan kapitalistik itu bisa berkembang karenamengeksploitasi ekonomi orang desa yang bersifat subsistensi.

Page 72: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

104 105

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Tesis involusi pertanian dan kemiskinan terbagi itumenegaskan bahwa orang Jawa menjadi miskin bukan mengisolasidiri dari ekonomi kapitalis, tetapi karena dieskploitasi olehnya.Situasi itu membuat orang Jawa mempertahankan ekonomikomunalistik untuk bisa survive, dalam arti mereka menyelamatkankebutuhan hidupnya melalui praktik pertukaran sosial komunualseperti gotongroyong, sambatan dan berbagi rejeki dalamkekurangan. Dalam jangka panjang involusi pertanian itumenjebak orang desa untuk memecahkan masalah ekonomidengan cara ke dalam bukan ke luar sehingga merekamempertaruhkan komunitas dengan komunalisme dansumberdaya tanahnya untuk terus-menerus menanggung masalahkepadatan penduduk, dan kemiskinan.

Analisis Geertz tentang involusi pertanian melalui studikomperatif dengan menyimak kasus Jepang menunjukkan bahwamasalahnya terletak pada kebijakan negara. Di Jepang, RestorasiMeiji menjadi alternatif bagi petani untuk keluar dari pertaniantidak bisa menampungnya karena kepadatan penduduk. Meijimembuka industrialisasi yang menampung penduduk desadengan melakukan urbanisasi. Pada awalnya pertaniandimanfaatkan untuk menopang pengembangan industrialiasidengan dikorbankan sebagai penyedia kebutuhan pangan yangmurah. Namun kemudian, pada gilirannya pertaniandiberdayakan sehingga memberikan sumber penghidupan yanglayak baik bagi kaum tani pada umumnya.

Tesis Geertz itu berseberangan dengan tesis Boeke (1983) yangmenelorkan teori dualisme ekonomi. Boeke menganggap bahwamasyarakat pribumi yang hidup dalam ekonomi prakapitalis tidakberubah banyak ketika Belanda mendatangkan ekonomi kapitalis.Boeke memandang bahwa orang desa belum siap memasuki sistemekonomi kapitalis, dan kedua sektor ekonomi itu secara nyata terpisah.Nampaknya Boeke tidak menyadari bahwa sistem ekonomi prakapitalisjuga dipertahankan oleh Belanda dengan memaksa orang desa hidupdalam subsistensi. Belanda tidak membuka proses industrialisasi seperti

Kaisar Meiji dalam menyelesaikan masalah ekonomi desa. Belandabaru mengembangkan industrilasisasi terutama sejak tahun 1930-an,dan pilihan jatuh ke sektor industri skala guna mencegah masuknyabarang-barang impor dari Jepang yang telah mulai masuk ke Eropa.Oleh karena itu, pada periode tersebut, sektor industri skala besartumbuh pesat dengan menyerap tenaga kerja dari 1.5 juta pada tahun1929 menjadi 2.58 juta pada tahun 1930. Industrialisasi itu samasekali tidak menyerap tenaga kerja desa dan mendorong industrialisasidi kalangan kaum pribumi (Panders, 1984).

Secara umum dapat disimpulkan bahwa praktik penjajahandengan mengembangkan tanam paksa, perkebunan partikelir, danberbagai bentuk usaha non-farm di pedesaan tidak membawaproses penguatan ekonomi petani, tetapi sebaliknya justrumenghisap dan menjauhkannya dari kemungkinan berkembangmenjadi usaha ekonomi formal. Wolf (2000:153) melukiskantidak danya kontrol atas mode produksi yang dikembangan padamasa penjajahan Belanda:

The conquerors occupied the land and proceeded to organizelabor to produce crops and goods for sale in newly establishedmarkets. The native peasantry did not command the requisiteculturally developed skills and resources to participate in thedevelopment of large scale enterprises for profit… Therefore,the peasantry was forced to supply labour to the newenterprises but barred from direct participation in theresultant return. …Moreover the conquerors also seizedcontrol of large scale trade and depredated the nativepopulation of direct access to resources of wealth acquiredthrough trade….

Eksploitasi ekonomi desa yang berlebihan dari jaman tanampaksa sampai perkebunan besar telah menimbulkan kemiskinanyang luar biasa. Kalangan oposisi di Belanda kemudianmendorong agar dilakukan politik etis untuk meningkatkankesejahteraan masyarakat pribumi. Namun demikian, politiketis ini dengan berbagai programnya di bidang irigasi, kesehatan,

Page 73: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

106 107

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

pendidikan dan infrastruktur tidak membawa perubahan yangberarti terhadap struktur ekonomi desa yang terperangkap kedalam ekonomi peasant. Data tahun 1925 mengungkapkanbahwa jumlah petani miskin yang meliputi Tuna Kisma danburuh tani mencapai sekitar 65 % dari seluruh penduduk desa(Mayer Rennet dalam Fauzi, 1999:45).

Studi Penders tentang kemiskinan endemik di Bojonegoro JawaTimur menjelaskan kegagalan dari politik etis ini yang antara lainterletak pada tidak adanya upaya melakukan tranformasi ekonomidesa yang marginal. Ia melihat bahwa masalahnya terletak padafakta bahwa orang desa sudah amat miskin karena tanah garapannyasempit, upah buruh rendah dan akses ke pekerjaan non-farm amatterbatas. Akibatnya, berbagai terapi mengangkat pelayanan publikdi bidang kesehatan, pendidikan dan perbaikan sarana ekonomitidak membawa perubahan yang signifikan, dan tetap saja merekaterjerumus kembali ke jurang kemiskinan ketika muncul banjir,kekeringan dan mewabahnya penyakit malaria. Ia menyayangkanbahwa pemerintah tidak melakukan tranformasi ekonomi desadengan memberikan akses menuju ekonomi pasar, dan tidak adanyasuatu tranformasi dari partanian ke industri.

Masa Orde LamaSetelah memploklamasikan kemerdekaan 1945, Indone-

sia masih harus berjuang mempertahankannya, dan perjuanganini baru berhasil setelah pengakuan kedaulatan 1949.Perekonomian desa mendapat perhatian dalam panggungkekuasaan sejak pemilu 1955 karena desa terbukti sangatpotensial bagi partai politik untuk membangun basis massanya.Partai-partai politik berlomba-lomba untuk memperolehdukungan dari warga desa dengan menyebarkan pahamnya.Perjuangan untuk membela desa pun ditampilkan dan Sensus1960 memberikan fakta yang mengundang simpati kalanganpolitisi untuk menyuarakan kepentingan desa.

Hasil Sensus Penduduk 1960 mengemukakan bahwa

desa telah mengalami kelangkaan tanah dan gejala inidijadikan komoditas partai politik untuk mendekatkangerakan mereka dengan kepentingan petani. Rata-ratakepemilikan tanah pun merosot, jika pada tahun 1930 rata-rata rumah tangga memiliki 0.75 hektar, pada tahun 1960berkurang menjadi 0.50 hektar. Gejala kelangkaan tanah itudipahami oleh sebagai akibat dari adanya tuan-tuan tanahyang mengancam akses petani kecil untuk bisa hidup layak.PKI, misalnya, dengan getol mengungkapkan tentang bahayadari tuan tanah sebagai salah satu “setan desa”. KampanyePKI untuk mengganyang setan desa agak terlambat karenarespon partai politik lain begitu cepat sehingga dalam masapemerintahan Sukarno lahir itu UU tentang Pokok-PokokAgraria tahun 1960.

UU Pokok Agraria ini mengamanatkan tanah untukkesejahteraan petani dan karenanya diberlakukan programlandreform, bagi hasil penggarapan tanah secara adil danperlindungan tanah untuk kepentingan pertanian daripadakepentingan lainnya. Akan tetapi, program landreform itu belumsempat diimplementasikan, karena kekuasaan Presiden Sukarnomenghadapi krisis ekonomi dan rawan konflik kekerasan sehinggajatuh pada tahun 1965, dan lahirlah Orba pada tahun 1967dibawah Presiden Suharto yang mengangkat industrialisasi sebagaiagenda untuk menjawab masalah keterpuruan ekonomi.

Selain ditandai oleh munculnya keberpihakan terhadappetani, masa Orla juga ditandai oleh merebaknya koperasi sebagaigerakan ekonomi kerakyatan. Ketika meraih kemerdekaan,koperasi sudah dijadikan sebagai cita-cita untuk menjadi sokoguru ekonomi Indonesia sebagaimana tertuang dalam penjelasanpenjelasan pasal 33 UUD 1945:

Dalam pasal 33 tercamtum dasar demokrasi ekonomi,produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawahpemimpin atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan

Page 74: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

108 109

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

kemakmuran perorangan. Sebab itu perekonomian disusunsebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi(Lihat Baswir, 2004:259).

Penjelasan pasal 33 UUD 1945 itu menegaskan bahwademokrasi ekonomi itu identik dengan ekonomi kerakyatan yangmengutamakan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuranindividu (Baswir, 2004:159). Koperasi mempunyai sistem nilaiyang berseberangan dengan bisnis kapitalistik karenamengedepankan prinsip kesukarelaan dan terbuka, demokratis,pembagian keuntungan secara adil sesuai dengan partisipasianggota, dan pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modaldan kemandirian (Baswir, 2004:273).

Ketika masa kekuasaan Sukarno itu, koperasi sebagaigerakan ekonomi kerakyatan berkembang karena sektor ekonomikapitalis belum mengontrol negara secara masif seperti sekarangini. Partai politik pun mempromosikan koperasi sebagai suatugerakan yang didekatkan dengan ideologinya. Pada tahun 1950-an, PNI memperjuangkan lahirnya UU No 79/1958 tentanperkumpulan koperasi, sedangkan periode 1960-1965 gerakankoperasi didekati oleh PKI (Kamaralsyah dkk dalam Baswir,2004:277). Jumlah koperasi pun meningkat oleh adanya partipolitik yang simpatik dengan perjuangannya, bila tahun 1959ada 16.600 unit, maka pada tahun 1965 menjadi 70.000 unit(Chaniago dalam Baswir, 2004: 277). Namun demikian, jumlakkoperasi menurun seiring dengan tumbangnya Orla. Jika tahun1966 mencapai 73,400 unit, pada tahun 1968 merosot menjadi14.800 unit (Baswir, 2004:278). Penyusutan ini terjadi disamping karena melakukan pembersihan koperasi dari anasir PKI,pemerintah juga menjinakkan koperasi ke dalam korporatismenegara seperti yang diberlakukan terhadap partai-partai politikdan organisasi-organisasi massa lainnya.

Koperasi pada masa Orla sebenarnya telah berkembangmenuju ke cita-cita proklamasi, dan membuktikan bahwa mereka

bisa berkembang tanpa korpratisme negara. koperasi pada masaOrla yang relatif dekat dengan gerakan ekonomi kerakyatan bentukusahanya pun bergerak ke bidang kredit dan produksi. Akantetapi, pada masa Orba, koperasi dipakai untuk kepentinganmembangun korporatisme. Akibatnya, koperasi bukan suatugerakan masyarakat yang pluralis dan mandiri, dan melainkanbisnis dari golongan fungsional, utamanya ABRI yangmemanfaatkan UU koperasi untuk melebarkan sayap bisnisnyadengan memperoleh fasilitasi dari negara. Bedanya lagi, banyakkoperasi yang dibangun pemerintah utamanya KUD tidak populardan populis bagi petani. Koperasi pada masa orba pun beradadadalam posisi marginal, dalam arti walaupun jumlah koperasimeningkat, tetapi karena bangunan ekonomi mengedepankanusaha skala besar, maka koperasi hanyalah varian yang tidak begitupenting dalam ekonomi nasional. Hal ini nampak dariperbandingan asetnya. Pada tahun 1993, BUMN, memiliki as-set Rp. 269 triliun (53,8 %) konglomerasi Rp. 277,0 triliun(45,4 %) dan koperasi Rp. 4,0 triliun (0,8 %), sehingga koperasisangat jauh tertinggal dari kelompok usaha yang lain (Baswir,2004:285).

Masa Orde BaruSelama lebih dari 30 tahun (1967-1998) rezim Orba yang

otoritarian dan sentralistik melakukan perombakan ekonomi desasecara masif. Jika Belanda mengerem laju ekonomi desa yangprakapitalis dan subsisten dalam proses tranforrmasi ekonomikapitalis, Orba justru mendorong dengan cepat sehinggabangunan ekonomi desa hampir seluruhnya tidak bisa terpisahkandengan ekonomi kapitalis. Setiap sektor yang merepresetasikanhajat hidup masyarakat desa, seperti pertanian, dan perkebunanrakyat serta industri skala kecil menjadi kepanjangan tangan daribisnis kapitalisis. Ketiga sektor ekonomi itu bisa survive karenamenggunakan input produksi seperti bibit, pupuk, obat-obatanpertanian, bahan pakaian, makanan, minuman, dan lainnya dari

Page 75: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

110 111

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

sektor ekonomi kapitalis dengan dibayar mahal karena outputproduksinya harus dijual dengan harga yang relatif rendah.Penduduk desa yang tidak tertampung di ketiga sektor itu jugabekerja utuk melayani sektor ekonomi kapitalis dengan menjadipedagang kecil untuk memasarkan barang- barang produk industri.Dengan kata lain, Orba merombak ekonomi desa ke dari subsistenke komersial, walaupun komersialisasi ekonomi yang berlangsungitu memperkuat bangungan ekonomi kapitalistik.

Pengembangan struktur ekonomi kapitalis dipacu denganmodal pinjaman luar negeri, investasi asing dan dana pemerintahyang disalurkan melalui program-programnya yang memberikanprioritas kepada sektor kapitalis untuk menikmatinya. Akibatnya,dalam jangka panjang, sektor kapitalis tumbuh dan mengusai rodaekonomi nasional, dan mendominasi sektor ekonomi kerakyatanyang menampung banyak tenaga kerja. Ketimpangan ini membuatsektor ekonomi kerakyatan menghadapi beban yang besar, satu sisiharus bersaing tetapi sekaligus bergantung dengan sektor ekonomikapitalis, dan sisi lain antar para pelakunya saling berebut aksespasar sehingga usahanya pun mengalami proses involusi.

Kontrol dan ekspansi sektor kapitalis ke dalam ekonomikerakyatan dan dampaknya dapat disimak dengan jelas pada pertanianpangan, perkebunan rakyat dan industri pedesaan. Ketiga sektor itusepertinya tumbuh karena menampung banyak tenaga kerjadibandingkan dengan sektor kapitalis yang bergerak di industri skalabesar. Akan tetapi, jika disimak dari segi mode produksinya, merekabukan sebuah bisnis kapitalis, melainkan dekat dengan usaha ekonomisubsisten yang rawan dengan eksploitasi dan ancaman pasar.

1. Pertanian PanganSejak Pelita I hingga Pelita III, Orba dengan gencar

mempromosikan program RH guna mencapai ketahanan pangannasional (Tjondronegoro, 2002). Program ini sekaligus dimaksudkanuntuk meningkatkan pendapatan dan lapangan pekerjaan di sektorpertanian. Dengan RH itu sepertinya pemerintah berusaha

memecahkan masalah sempitnya lahan usaha tani melaluiintensifikasi pertanian dengan paket penerapan teknologi modernyaitu penggunaan bibit unggul, obat-obatan, pestisida, pengairanyang baik ditambah manajemen usaha yang rasional.

Secara sepintas RH sepertinya akan menyelesaikan masalahyang dihadapi kaum tani di penghujung tahun 1960-an yangditandai oleh rendahnya produktivitas usaha tani yang mengancamkemiskinan dan kelaparan. Pada tahun itu jumlah orang miskinmencapai 60 % dari seluruh penduduk Indonesia sehingga RHdiharapkan dapat menjadi jalan keluar untuk meningkatkanproduksi pertanian, pendapatan dan kesempatan kerja di pedesaan.RH dimobilisasi oleh pemerintah dengan menggerakkan aparaturnegara sehingga petani terbujuk dan terpaksa petani untukmengadopsi usaha tani modern ini. Perubahan pun dengan cepatterjadi. Produksi gabah meningkat drastis dari 2.5 ton per hektarmenjadi 5 ton, dan bakan bisa ditingkatkan lagi setelah memakaiformula baru yang disebut Intensifikasi Khusus (Insus) danSuprainsus. Tidak hanya itu siklus bercocoktanam juga meningkatkarena perbaikan irigasi yang semula tanah hanya bisa ditanamisatu kali lalu naik menjadi dua kali setiap tahunnya dan bahkanada yang mencapai tiga kali. Belakangan karena intensitaspenanaman meningkat dengan disertai resiko penyebaran hamamaka siklusnya dikurangi dan pemerintah memperkenalkanintensifikasi tanaman palawija (Fox, 1993).

Studi tentang RH menemukan berbagai dampak yangmengancam ekonomi peasant. Mengikuti para peneliti yangberkeblat pada pendekatan neopopulis dan ekonomi politik, RHmemberikan peluang yang lebih strategis bagi petani lapisanmenengah ke atas untuk mengakumulasi kapital (Husken, 1989;Hart, White, Turton 1989). Petani kecil dan gurem tertinggaldalam proses adopsi teknologi modern itu dan peningkatanproduksinya tidak menutup kebutuhan subsistensinya.Akibatnya, petani menengah ke atas yang proporsinya kecil didesa bisa memanfaatkan akumulasi kapitalnya untuk memperluas

Page 76: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

112 113

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

tanah-tanah yang dikuasainya. Dampak dari ketimpangan aksesdi dalam memanfaatkan RH itu adalah terjadinya akumulasikapital di kalangan petani menengah ketas dengan luas lahan 0.5hektar ke atas. Akumulasi ini meningkatkan akses merekamengakumulasi tanah pertanian. Ini terbukti bahwa pada rumahtangga petani yang mengusai kurang 0.5 hektar berkurang, danyang mengusai 0.5 hektar bertambah. Pada sensus penduduk1973, jumlah petani lahan sempit verus petani lahan luas luasadalah 45,64 versus 44,44 %; tetapi pada tahun 1993 berubahmenjadi 41,87 versus 58,13 % (Wahono,1999: 26-27).

Para pengamat bahkan dampak lebih lanjut dari ekspansiKapitali di sektor pertanian itu. Pertama, RH tidak menjajikankesempatan kerja yang luas. Dengan mengadopsi RH, rasionalisasidilakukan oleh para petani dari lapisan menengah atas dengancara mengurangi tenaga kerja. Berbagai bentuk rasionalisasi itumisalnya merebaknya praktik tebasan, penggunaan traktor, sabitdaripada ani-ani untuk memanen padi dan mesin huller gunamenggantikan teknik tradisional. Rasionalisasi juga dilakukandengan mengkomersialkan hasil ikutan pertanian sepertimenggunakan jerami sebagai upah panen bagi petani guremmenggantikan bawon atau upah (Hudayana, 1996).

Janji RH untuk meningkatkan produksi melalui penerapanpanca usaha tani, perluasaan kesempatan kerja dan pendapatanlebih bersifat retorika. RH malah menimbukan masalah baru bagiorang desa dalam mencari nafkah.

Pertama: rasionalisasi ekonomi telah mengubah hubungankerja agraris yang menguatkan posisi tawar petani lapisan atasdan mendepak petani lapisan bawah khususnya buruh tani keluardari sektor pertanian. Mereka ini kemudian melakukan urbanisasiyang dimanfaatkan oleh sektor ekonomi kapitalis untukmendapatkan tenaga yang murah. Pertama: mereka masuk ke sektorinformal sebagai pedagang kaki lima, bakul, pedagang keliling,warung yang menyalurkan produk industri besar seperti makanan,pakaian dan obat-obatan. Kedua, para pelaku di sektor informal

juga menyediakan produk jasa yang murah kepada buruh pabirikdan pekerja berdasi, misalnya kasus warung Tegal yang menjajakanmakanan dengan harga yang murah. Ketiga: orang desa itu bekerjadi pabrik-pabrik dengan upah harian yang rendah sehingga merekatetap bergantung dengan desanya, bahkan menyedot sebagiansumberdaya ekonomi di desa untuk dibawa ke kota agar bisabertahan hidup.

Kedua: usaha tani dengan RH lebih berfungsi melayanipemerintah dan di dalamnya juga sektor bisnis kapitalis daripadamenguatkan kekuatan ekonomi desa. Kegagalan RH mengangkatnasib petani kecil terjadi karena pemerintah tetap mengendalikanberas sebagai instrumen untuk mendukung kestabilan nasionaldan menopang industrialisasi di perkotaan. Kenaikan produksitidak mengangkat kesejahteraan petani secara sungguh-sungguhkarena harga gabah dikendalikan oleh pemerintah. Harga inputproduksi juga semakin lama semakin mahal sehingga keuntunganusaha tani semakin mengecil (Wahono, 1999:20).

RH bukanlah sebuah program yang populis. Pemerintahlebih berkepentingan untuk menciptakan ketahanan pangan, danmenjamin seluruh masyarakat memperoleh beras murah. Setiaptahun pemerintah menentukan harga gabah yang sebenarnyamemberikan keuntungan yang rendah kepada produsen beras.Akibatnya, mereka yang memperoleh keuntungan adalah justruorang yang bekerja di luar sektor pertanian, yaitu PNS, buruhpabrik yang upahnya rendah. Ini berarti sektor industri kapitalisdiuntungkan dengan kebijakan pemeritah tersebut, dan merekabisa terus memberikan upah yang rendah karena buruh masihbisa membeli beras yang murah. Pemerintah memang memberikankompensasi dengan menyediakan subsidi pertanian, tetapi hargapupuk dan obat-obatan yang cenderung naik tidak diikuti secarasetimpal dengan naiknya harga gabah, sehingga keuntungan usahatani relatif rendah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jikaKredit Usaha Tani (KUT) tidak menarik bagi petani untukmeningkatkan produksi dan seringkali KUT sendiri macet karena

Page 77: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

114 115

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

beban ekonomi petani tidak dapat diselesaikan dengan modeproduksi yang dikendalikan negara seperti itu.

Ketiga: dengan kontrol harga input dan ouput pertanianyang memberikan margin keuntungan yang rendah, maka petanimenengah ke atas juga tidak bisa memberikan upah yang layakkepada para buruh tani. Mereka cenderung melakukan rasionalisasiyang mengancam buruh tani dengan memberikan upah yangrendah. Banyak tulisan yang mengungkapkan bahwa upah buruhtani naik, tetapi kenaikan itu karena banyaknya buruh tani yangkeluar mencari kerja di kota.

Keempat: petani harus membayar mahal untuk meraihkeuntungan kecil karena menggunakan input kimiawi yangmerusak ekologis, dan akibatnya untuk bisa berproduksi merekatidak mempunyai pilihan kecuali justru memperbesar penggunaanpupuk dan pestida yang juga berbahaya bagi kesehatan manusia.

Kelima: komersiliasasi pertanian itu tidak mendorongtumbuhnya sektor non-farm di desa. Surplus produksi yang diraiholeh para petani kelas atas bisa ditanamkan di sektor pertanianmaupun non-farm, tetapi karena keuntungan yang diraih rendah,maka kalau pun ditanamkan di sektor non-farm bukan menjadiusaha yang handal. Sebagaimana nanti dibicarakan mengenaiindustrialisasi pedesaan, sektor non-farm justru mengalamiancaman involutif karena begitu banyak orang yang berebutpekerjaan ini sehingga menimbulkan persaingan yang ketat ditengah ancaman ekspansi industri skala besar.

Dengan adanya RH ekonomi desa sepertinya membaik, or-ang bisa makan, tetapi cerita busung lapar masih juga bergemabahkan di masa reformasi. Wahono (1999:29) mencatat bahwaRH itu telah melepaskan orang desa dalam perangkap involusi,tetapi masuk ke perangkap kapitalisme. Orang desa dengan RHkeluar dari kemiskinan absolut, tetapi sesungguhnya tetapi beradadalam kemiskinan struktural. Sebelum RH berlangsung,persentase orang desa yang miskin mencapai 60 %, dan angka inisecara berangsur-angsur berkurang sampai 15 % pada tahun 1997,

tetapi ketika rezim krisis ekonomi terjadi kaum miskin di desameningkat mencapai angka 60 % lagi.

Kerja keras petani dan modal kerja yang dikeluarkan tidaksebanding dengan keuntungan yang diperolehnya. Pemerintahmengontrol harga beras agar murah. Memang benar bahwa hargaberas yang murah dibutuhkan juga oleh mayoritas para petanigurem dan buruh tani yang masih kekurangan pangan dariproduksi subsistennya. Namun kebijakan mengontrol harga sepertiitu bersifat deskrimintif karena diberlakukan hanya kepadaprodusen pangan, bukan kepada produsen barang di sektorindustri. Logikanya jika petani diajak melakukan rasionalisasi danmasuk dalam ekonomi kapitalistik, maka harga beras biar diatursediri oleh pasar sehingga terbuka kemungkinan bagi petani untukmendapatkan harga tinggi. Apabila harga tinggi, makakesejahteraan petani kecil dan buruh tani terangkat karena upahjuga meningkat. Demikian juga, petani kelas menengah ke atasakan berpeluang menginvestasikan keuntungannya di sektor non-farm yang membuka kesempatan kerja baru di desa. Apa yangterjadi adalah upah buruh tani dan pendapatan petani rendahdan mereka kemudian tetap terancam keamanan subsistensinya.

Ketika Indonesia mencapai swasembada beras (1980-1985), ekonomi desa tidak membaik. Sumber masalahnya adalahnilai tukar produk pertanian rendah. Selain itu, swasembadapangan hanya berlaku sebentar, dan Indonesia kembali menjadiimportir beras, dan pada tahun 1998 angkanya pun mencapai9 % dari total suplai, sama seperti 1965 menjelang lahirnyaOrba (Wahono, 1999:15). Kegagalan mempertahankanswasembada pangan karena dua alasan pokok. Pertama: RHmengalami titik jenis untuk meningkatkan produktivitas panenmelalui peningkatan asupan, dan intensifikasi yang berlebihandengan menggunakan pestida dan pupuk unorganik telahmenimbulkan biaya kerusakan lingkungan yang tinggi (Wahono,1999:19). Kedua, pemerintah tidak membuka akses petanimenentukan harga gabah. Jika harga beras tidak dikontrol

Page 78: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

116 117

Kaya Proyek Miskin Kebijakan

pemerintah, maka proses pengembangan sawah menjadi sesuatuyang menarik bagi petani baik di Jawa dan luar Jawa.

Pelajaran yang dipetik dari Orba di bidang pertanian panganitu menggambarkan bahwa desa sebagai basis ekonomi kaum tanidiposisikan sebagai alat negara untuk kepentingan bisniskapitalistik. Dengan RH, petani justru berkorban ganda, satusisi mereka bekerja keras menerapkan sistem pertanian modernyang kapitalistik tetapi dibayar degan harga yang murah melaluikontrol harga gabah yang rendah. Sisi lain jika mereka terdepakdi sektor pertanian sebagai akibat dari adanya rasionalisasiekonomi, mereka lari ke kota guna bekerja di sektor industri denganupah yang rendah.

Dengan jatuhnya rezim Orba, maka rezim reformasi mewarisitanggungjawab untuk menyelesaikan masalah pertanian panganyang menjadi sumber kelangsungan hidup peasant. Tantanganpertama adalah bagaimana agar petani berani dan aman jika bisakeluar dari RH, dan masuk ke dalam sistem pertanian yang ramahlingkungan. Kedua: bagaimana agar pertanian bukan lagi sebagaisektor yang dikolonisasi oleh sektor industri sehingga usaha tanibisa memberikan kehidupan yang layak.

2. Perkebunan RakyatPerkebunan rakyat muncul dalam ekonomi desa pada masa

penjajahan yang dimulai pada jaman tanam paksa hinggaperkebunan partikelir. Berbagai jenis tanaman komoditasdiperkenalkan pada masa tanam paksa untuk kepentinganperdagangan di Eropa maupun dalam negeri seperti kopi,tembakau, cengkeh, karet, panili, indigo dan sebagainya. Akantetapi, pada masa penjajahan itu posisi perkebunan rakyat tidaksebaik dengan perkebunan besar yang mempunyai kekuatankapitalnya untuk menghasilkan komoditas ekspor. Perkebunanrakyat itu diusahakan oleh semua kelompok petani dari lapisanatas sampai ke bawah. Kendati demikian, usaha perkebunan rakyatitu sama seperti pertanian pangan bagi petani kecil merupakan

kegiatan ekonomi untuk menyambung hidup. Tidak ketinggalansebagai sebuah komoditas yang tidak diprioritaskan untukkebutuhan sendiri, maka perkebunan rakyat sejak kelahirannyadidesain menghasilkan komoditas untuk pasar. Karakter tanamanperkebunan seperti itu membuat petani harus mempunyai aksespasar dengan memiliki modal yang kuat, organisasi yang kredibeldan dan informasi pasar yang terbuka. Apabila tidak memilikinyamaka kerja keras petani mengelola tanaman perkebunan justrutidak menuai keuntungan yang setimpak karena yangmenikmatinya justru pedagang besar dan pihak pemilk industriseperti dalam kasus tembakau dan cengkeh.

Sejarah ekonomi perkebunan memang cenderungmembelenggu nasib petani untuk tidak bisa menjadi pekebunbesar atau paling tidak memperoleh penghasilan yang layak. Hargaatas bebagai jenis komoditas sering fluktuatif mengancamkeamanan subsistensi petani kecil (Scott, 1983). Menghadapiresiko itu, maka petani tidak berani memperluas lahannya untukkomoditas perkebunan, dan sebagian tanahnya untuk tanamanpangan. Pilihan ini justru menguntungkan para tengkulak danpedagang besar. Mereka bisa mengatur harga karena petani tetapmenanam walaupun harga rendah. Di tingkat desa pun paratengkulak bisa mengatur harga yang rendah karena lemahnyapermodalan sehingga pembelian produk dari petani bisadibayarkan setelah barang terjual ke penampung seperti kasuskopi, tembakau dan lainya. Lemahnya akses ke pasar itu membuatpetani juga tidak bisa meningkatkan kualitas produksinyasehingga komoditas perkebunan rakyat tidak kompetitif.

Kebijakan pemerintah terhadap perkebunan rakyat tidakmenelorkan kemajuan bagi masa depan kaum tani. Orbamemperkenalkan varitas unggul dan menyebarkan tanaman baruke berbagai daerah. Melalui Departemen Pertanian dan Perkebunan,petani diperkenalkan karet, cacao, kayu manis, panili, dan lainnya.Namun demikian, berbeda dengan usaha tani pangan, dalam halbudidaya perkebunan pemerintah kurang memberikan perhatian

Page 79: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

yang besar dalam bentuk fasilitasi dan subsidi. Tanaman perkebunanrakyat hampir sepenuhnya dikembangkan oleh petani denganmenyesuaikan potensi ekologinya. Mereka, misalnya, menjadiprodusen tembakau karena daerahnya cocok untuk tanaman ini.Mereka ini juga mempunyai kesadaran yang kuat untukmembudidayakan tanaman baru jika memang harganya baik dipasar. Hal ini bisa dijelaskan dengan fakta bahwa para peladangsudah lama menanam karet tanpa dorongan yang kuat daripemerintah karena menjadi komoditas yang laku di pasar (Dove,1985). Mereka kini memberikan sumbangan devisa yang besar baginegara melalui usaha budidaya karet alam. Oleh karena itu, kebijakantentang tataniaga yang melindungi kepentingan petani menjadisangat penting bagi keberlanjutan usaha perkebunan rakyat.

Dalam mengendalikan tataniaga komoditas perkebunanrakyat, pemerintah berpihak kepada sektor swasta kapitalis. Halini nampak secara eksplisit dalam kasus cengkeh. Sejak lamacengkeh menjadi komoditas yang penting di dalam negeri sebagaibagian dari komponen rokok keretek. Harga cengkeh relatif tinggidan membuat petani terpesona dan mengembangkan tanamanini. Akan tetapi, kebutuhan cengkeh dalam negeri yang kurangdan impor cengkeh dimungkinkan, membuat harga cengkeh bisajatuh di pasar dalam negeri. Situasi itu memberikan kesempatanbagi pengusaha untuk mempengaruhi kebijakan tata niaga yangmenguntungkan dirinya. Pada masa Orde Baru lahir tata niagacengkeh yang diberikan kepada BPPC (Badan Penyangga danPemasaran Cengkeh) yang pemiliknya adalah Tomy Suharto anakpresiden. Dengan adanya BPPC ini pemerintah mengeluarkandana yang besar agar badan ini bisa memiliki modal kerja untukmembeli cengkeh. Namun yang terjadi adalah harga cengkehtidak berpihak kepada petani bahkan menghancurkan usahatanaman ini. Banyak petani yang gulung tikar dan tanaman inipun ditelantarkan sampai kemudian komoditas ini tidak pupulerdi kalangan petani. Setelah rezim Orba tumbang harga cengkehsempat melambung, tetapi tidak lagi dapat dinikmati para petani

kecil yang sudah tidak lagi menanamnya.Kebijakan pemerintah di bidang pengembangan perkebunan

besar juga secara nyata mememperlihatkan bahwa Orba lebihberpihak kepada bisnis kapitalistik skala besar. Denganmemprioritaskan perkebunan besar, maka pemerintah membuka kraninvestasi asing dan dalam negeri untuk menambah devisa. Sementaraitu BUMN perkebunan besar yang dimiliki sebagai hasil darinasionalisasi pada era Sukarno dijadikan sumber pendapatan negaratidak memberikan nilai tambah bagi kemajuan perkebunan rakyat.

Dengan menfokuskan pada pengembangan perkebunanbesar, Orba sama seperti Belanda yakni memberikan akses bagipemodal untuk melakukan investasi di tanah yang diklaim sebagaimilik negara. Untuk mendukung investasi itu, pemerintahmengabaikan UU Pokok Agraria yang pro dengan kepentinganpetani, dan sebagai gantinya melahirkan berbagi produk undang-undang yang menfasilitasi merebaknya investasi di bidangperkebunan besar seperti UU tentang investasi, kehutanan,pertambangan dan perkebunan.

Selama masa kekuasaan orba, banyak tanah negara dipakaiuntuk perkebunan besar daripada untuk perkebunan rakyat. Jatahyang diberikan kepada rakyat adalah untuk lahan transmigrasi,tetapi sudah menjadi cerita bersambung bahwa transmigrasi seringidentik dengan pemindahan kemiskinan dari Jawa ke luar Jawa.

Perkebunan besar sepertinya menjajikan kesempatan parapetani berpartisipasi dalam pengelolaan produksi karenadikembangkan dengan pola PIR. Ide dari PIR adalah melibatkanmasyarakat sebagai produsen yang menyerahkan pengelolaantanamannya kepada pihak plasma. Petani mempunyai kewajibanuntuk menanggung biaya pengelolaannya. Dalam praktiknya,perusahaan juga mengelola lahan sendiri untuk menjaminkeberlanjutan produksi. Dengan pola PIR itu petani sepertinyamemiliki akses untuk menguasai lahan dan tanaman, tetapimanagemen PIR bisa mengancam akses petani untukmendapatkan keuntungan yang adil. Dalam prakteknya, mereka

Page 80: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

sepenuhnya bergantung kepada perusahaan yang dapat mengaturbiaya produksi dan pemasaran. Petani tetap saja berjarak denganperusahaan, dan kerja di perusahaan jauh lebih baik posisinyadaripada sebagai petani.

Selama periode Orba, PIR yang berkembang terutama adalahkelapa sawit. Di Sumatra dan Kalimantan, investasi sawit sangatmasif dan memasuki wilayah masyarakat adat. Kehadiran PIR ituternyata menimbulkan berbagai masalah yang mengancamekonomi perkebunan rakyat. (Flurus, 1999)

Pertama: PIR menggunakan tanah-tanah negara yangsebenarnya masih dipertanyakan keabsahannya karena masihdiklaim sebagai milik masyarakat adat baik sebagai milikperorangan maupun kelompok (tanah ulayat). Masalah inimencuat pada masa Orba tetapi penduduk tidak bisa melakukanperlawanan. Baru kemudian pada masa reformasi tuntutan untukmengembalikan kembali tanah ulayat itu muncul.

Kedua: PIR sawit berpotensi menimbulkan degradasikelestarian lingkungan. Sawit tidak sesuai dengan ekologi dibeberapa daerah khususnya di Kalimantan. Sawit menghendakisistem tanam monokroping sehingga tidak menyerap banyak airdan dalam jangka panjang mengancam terjadinya banjir.Belakangan terbukti bahwa musibah banjir muncul di kawasanperkebunan kelapa sawit seperti di Landak Kalimantan Barat.

Ketiga: ekspansi sawit mengancam karet alam. Masyarakatlokal sudah terbiasa mengembangkan karet yang ditanam secaratumpangsari dengan tanaman pangan dan kayu-kayuan yangsekaligus menjadi sumber pengahasilan. Dengan sistemtumpangsari, tanah terjaga dari terik sinar matahari dan menyerapbanyak air yang ditumpahkan oleh curah hujan yang tinggi didaerah lintas katulistiwa itu.

PIR pada masa Orba itu hampir mirip dengan perkebunanpartikelir pada masa Belanda. Kemiripan terletak padakecenderungan perkebunan besar itu didesain menjadi bisniskapitalistik dengan menggunakan tenaga kerja dan tanah petani

yang diberi imbalan murah. Dengan cara itu perkebunan besarbisa beroperasi mengembangkan bisnisnya. Tidak dapatdipungkiri bahwa nasib petani di daerah PIR meningkat.Namun tidak semua petani lokal menikmatinya. Hal ini karenacukup banyak petani yang menikmatinya adalah pendatang.Kehadiran PIR itu juga telah menimbulkan kesenjanganekonomi antar rakyat yang bekerja di dalam perkebunan denganmereka yang tetap hidup sebagai peladang.

Kini nasib PIR sawit di beberapa daerah, khususnya diKalimantan Barat harus menghadapi situasi yang sulit. Masyarakatadat semakin berani untuk menuntut atas kepemilikan tanah yangdipakai untuk lahan perkebunan. Tuntutan ini dilakukan denganserius melalui agenda aksi yang bisa membuat perusahaan harusberunding dengan warga dan mencari jalan keluar agar warga bisamendapatkan haknya tanpa menghancurkan bisnisnya. Akan tetapi,dengan adanya tuntutan itu ketegangan terus terjadi di wilayahperusahaan dan pada masa kini telah mengancam produksi.

Dengan berbagai kebijakan yang tidak responsif terhadapkepentingan petani yang mengusahakan perkebunan, makadampaknya adalah munculnya kesenjangan ekonomi antarpetani dengan pengusaha yang menguasai tata niaga sertayang memanfaatkan komoditas ini bagi input industrinyaseperti industri rokok. Selama ini petani tembakau tidak bisabangkit mengembangkan bisnisnya bukan semata-matakarena tanah garapannya sempit. Harga tembakau misalnyalebih berpihak kepada pedagang dan pabrik rokok. Pemerintahlebih sering menaikkan harga cukai rokok guna meningkatkanpendapatan negara. Sementara konsumsi rokok di masyarakattinggi, nasib petani tidak membaik4.

3. Industri Pedesaan

4 Di era reformasi ini muncul beberapa kali demonstrasi petani tembakau di Temanggung JawaTengah untuk menuntut kenaikan harga tembakau. Namun demikian, perdagangan tembakautetap saja dimonopoli oleh para pedagang dan perusahaan rokok itu sendiri.

Page 81: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Sensus penduduk tahun 2000 memperlihatkan bahwa sektorindustri semakin penting dalam perekonomian Indonesia. Jumlahunit usaha yang bergerak di sektor industri tercatat sebanyak39.73 juta dan sebanyak 99,97 % merupakan usaha ekonomirakyat atau sering disebut usaha ekonomi mikro, kecil danmenengah, dan sisanya sebanyak 0,3 % merupakan industri skalamenengah dan besar.

Di sektor industri pengolahan, nampak bahwa industrirumah tangga (IRT) dan industri kecil sangat dominan. Sensus1990 mengungkapkan bahwa jumlah unit industri menengahdan besar hanya 0,8 %, sedangkan lainnya adalah industri kecil6,2 % dan IRT 93,0 %; sementara itu, persentase tenaga kerja diindustri menengah ke atas 32,7 % dan industri kecil 14,9 %sedangkan rumah tangga adalah 52,4 % (BPS dalam Baswir,2004:73). Angka itu menjelaskan bahwa IRT dan industri kecilmenjadi tumpuhan hidup sebagian besar tenaga kerja Indonesianon-farm. Akan tetapi, mengapa selama 30 tahun Orbamembangun industrialisasi, justru jumlah industri skala kecil amatbanyak, sebaliknya industri skala besar amat sedikit. Apa yangterjadi di Indonesia adalah mirip seperti di negara-negaraberkembang yang cenderung hanya mengadopsi model-modelpembangunan dari Barat dengan perhatian utama pada industri-industri skala besar yang bersifat padat modal dan berteknologitinggi (Dewayanti dan Chotim, 2004:3).

Industri kecil dan IRT identik dengan industri pedesaan,walaupun industri skala mikro itu juga muncul di perkotaan.Keduanya tumbuh tetapi tidak berkembang menjadi basisekonomi yang bisa memberikan penghasilan yang tinggi danberkelanjutan. Banyak industri kecil yang tumbuh dan kemudiangulung tikar karena besarnya persaingan di antara mereka.Keberadaan mereka juga tergantung dari derap ekspansi industribesar. Sebagai contoh banyak kerajinan rumah tangga dari bambo,tanah liat dan kayu gulung tikar setelah munculnya industribarang-barang dari bahan plastik, dan besi. Industri skala mikro

itu hanya bisa tumbuh dalam kerangka melayani industri skalabesar yang menyediakan bahan-bahan setengah jadi, misalnyabahan konveksi dan peralatan dari besi dan sebagainya. Akan tetapi,ketika industri skala kecil ini dirambah oleh industri skala besar,maka tidak akan bisa bertahan dan kemudian gulung tikar.

Merebaknya industri pedesaan sebenarnya lebih tepatdipahami sebagai upaya orang desa ke luar dari sektor pertaniantetapi tidak bisa masuk ke kota karena rendahnya akses bekerja diindustri skala besar. Mereka tidak keluar dari desa karena sektorinformal sudah involutif dengan ditandai oleh berjubelnyapedagang kaki lima yang berebut pembeli dengan keuntunganyang rendah (Dieter-Evers, 1983).

Industri pedesaan yang tumbuh sejak Orba sampai sekarangmemperlihatkan ciri yang khas yakni merupakan industri skalakecil. Sebagai industri rumah tangga, ia dikerjakan oleh anggotakeluarga dan hampir jarang yang menambah tenaga dari luar.Adapun industri kecil menggunakan tenaga dari luar denganjumlah 5 orang ke bawah.

Mengikuti hasil penemuan para peneliti, karakter dariindustri pedesaan seperti itu memiliki managemen usaha dansekaligus masalah yang spesifik, yaitu:

1. Industri pedesaan merupakan usaha keluarga, sehinggabukan merupakan sebuah bisnis kapitalis. Di sini tidakterjadi pemisahan yang tegas antara aset bisnis dengankekayaan keluarga. Polanya mirip dengan usaha tanisubsisten tetapi orientasinya telah bergerak ke pasar untukmencari keuntungan.

2. Dengan modal yang kecil, maka yang diandalkan industripedesaan adalah produktivitas dan ketrampilan tenagakerjanya. Modal ini bisanya berasal dari tabungan keluargadan lainnya tetapi kebanyakan bukan dari dana pinjamanlembaga keuangan formal.

3. Memakai sistem kerja dan upah bersifat informal dan adakecenderungan diberlakuan sistem upah harian dan

Page 82: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

borongan.4. Umumnya memakai input produksi dari sumberdaya alamsetempat atau bahan mentah yang diperoleh dari pasarlokal walaupn jga menggunakan input dari luar yangdiproduksi oleh industri skala menengah dan besar.

5. Hasil produksi dipasarkan di lingkungan setempat danjika dijual ke luar desa, masih di wilayah kabupatennya.

Dengan lima ciri itu, industri pedesaan bisa tumbuh denganbertumpu pada kekuatan dari dalam. Lima ciri itu mengungkapkanbahwa orang desa telah mengembangkan pekerjaan di luar pertaniandengan menggunakan aset milik sendiri. Mereka mengandalkantenaga dari dalam keluarga yang sering tidak dihitung sebagaipengeluaran. Dengan cara itu maka usahanya bisa dikelola denganbiaya rendah. Akan tetapi, dengan lima ciri itu sekaligus iamenghadapi masalah di kemudian hari ketika ekspansi industriskala besar dan globalisasi masuk ke pedesaan

Dengan sistem kerja informal, maka penggunaan buruhbukan menjadi beban yang berat bagi IRT dan industri kecilsejauh upahnya rendah, para buruh menempatkan pekerjaannyasebagai sambilan, lebih baik daripada menjadi buruh di kotakarena tidak meninggalkan rumahnya atau merupakan satu-satunya yang bisa dilakukan. Sistem kerja informal itu positif itujuga sesuai dengan kebutuhan buruh miskin karena di dalamnyaterdapat suatu hubungan patronase yang berfungsi sebagai jaringpengaman sosial (social safety net).

Industri pedesaan juga bisa tumbuh karena menggunakanbahan baku yang murah, dan ini diperoleh di wilayahnya.Banyak juga industri pedesaab itu yang mengandalkan bahanbaku dari produk pertanian dan sumberdaya alam yang tersediadi wilayahnya. Memang tidak dipungkiri bahwa telah munculbanyak jenis industri pedesaan yang menggunakan bahan bakudari luar bahkan produk ekspor untuk kerajinan tangan,makanan dan sebagainya. Akan tetapi, faktor bahan baku daridesa masih penting terutama untuk menjamin biaya produksi

bisa dikurangi.Dari segi pemasaran, nampak bahwa industri pedesaan pal-

ing potensial melayani kebutuhan masyarakat di wilayahnya. Halini karena mereka bisa menekan biaya pemasaran, walaupun seringkali pemasaran memang dilakukan oleh mereka sendiri. Umumnyamereka melayani kebutuhan orang desa dan kota dari lapisanmenengah ke bawah. Bata, batako, gamping dan kebutuhanbangunan rumah menjadi contoh bahwa kerajinan tersebutberlokasi di desa, dikelola dan dipasarkan sendiri oleh orang desa.

Dewasa ini, industri pedesaan sepertinya tidak bisa bangkitmenjadi produsen yang melayani masyarakat lapisan menengahke atas dan memiliki pangsa pasar yang luas. Hal ini karenapersaingan internal di kalangan para produsen sangat tinggi. Tidakterkecuali, mereka itu bisa hidup karena usahanya tidak terekspansioleh bisnis kapitalistik sehingga muncul pemisahan antar produkindustri kapitalis di kota dengan industri pedesaan. Apabilausahanya sampai terekspansi, maka kemungkinan akan gulungtikar. Ini misalnya terjadi masa tahun 1970-an dan 1980-an,ketika lahirnya industri massal peralatan rumah tangga dari plastikyang menggilas kerajinan rakyat dari tembikar, kayu, dan bambu.

Nampaknya industri pedesaan bisa hidup bertahan karenamemiliki segmen pasar dari kalangan menengah ke bawah. Halini terlihat dari kasus industri konveksi di Kecamatan WediKlaten (Purwanto, 2004). Pangsa pasar konveksi Wedi sampaiseluruh wilayah Indonesia tetapi di tengah persaingan yangsemakin ketat, konsumennya adalah penduduk pedesaan yangmembutuhkan pakaian yang murah untuk pakaian seragamsekolah dan pakaian sehari-hari. Keunggulan yang dimiliki dariindustri konveksi di Wedi ini adalah kemampuannya beradaptasidalam menghadapi persaingan yang ketat. Para pengusaha yangmengelola industri kecil dan menengah di Wedi itu mengambilpilihan pada pembuatan pakaian murah untuk kelas menegahke bawah, ketika pakaian untuk kelas menengah atas sudahdikembangkan oleh industri skala besar dengan jaringan pasar

Page 83: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

yang kukuh di sektor formal.Di pedesaan, IRT telah menjadi kepanjangan dari proses

pencarian nafkah kaum peasant yang mengalami titik jenuh didalam menggantungkan nasibnya dari sektor pertanian. Nasib parapeasant yang bekerja di industri pedesaan itu mirip juga denganpara buruh dari desa yang bekerja di industri perkotaan. Merekamenghadapi ketidakpastian bekerja dan mendapatkan penghasilanyang layak. Situasi ini menggambarkan bahwa mereka dalam posisiyang lemah ketika memasuki pekerjaan non-farm karena sektor iniberada dalam bayang-bayang ekspansi industri kapitalis.

Memasuki krisis ekonomi 1997, banyak pengamatmenyatakan bahwa IRT dan industri kecil relatif bisa survive.Meskipun demikian, jika gejala itu benar, maka menandakanbahwa mereka telah memiliki kemampuan beradaptasimenghadapi situasi yang sulit pada masa orba dengan dihadapkanpada ancaman pasar yang selalu diekspansi industri besar. Namunperlu dimenerti bahwa ketika industri kapitalis mengalamikelesuan sebagai dampak dari krisis ekonomi 1997, makasesungguhnya industri pedesaan terkena imbasnya. Hal ini karenabanyak orang desa yang kehilangan pekerjaannya di kota lalukembali ke desanya, dan mereka ini masuk ke industri skala kecil.

Pada masa yang akan datang dengan laju pertumbuhanpenduduk yang rendah pun, industri pedesaan itu akanmenghadapi situasi yang sulit. Satu sisi ia hidup karena belumdigusur oleh ekspansi industri kapitalis dan sisi lain parapengusahanya terus bertambah dan bersaing sendiri sehinggaprosesnya akan melahirkan gejala eksploitasi terhadap buruh untukmenekan harga barang agar laku di pasar.

Era GlobalisasiJatuhnya Orba menjadi pelajaran penting dalam

mengembangkan ekonomi Indonesia ke depan. Pertumbuhanmemang penting, tetapi pemerataan jauh lebih penting. Tidakkalah penting juga bangunan ekonomi bukan menggunakan

fondasi hutang luar melainkan pada potensi dari dalam negeridengan menggerakkan ekonomi kerakyatan. Masa Orba ditandaioleh keperpihakan pemerintah terhadap sektor ekonomi kapitalisyang berorintasi pada akumulasi kapital yang masif gunamenghasilkan devisa, tetapi tidak banyak menyerap tenaga kerjadan bahkan mengerogoti keuangan negara dan menggilassumberdaya ekonomi kerakyatan.

Orba itu sendiri meletakkan fondasi yang kuat terhadap prosesglobalisasi. Dengan neoliberalisme, globalisasi meniadakan perannegara, menyerahkan kemakmuran kepada pasar, mengedepankanprivatitasi dan membuka seluas-luasnya pelaku ekonomi untukmengatur bekerjanya pasar bebas. Dengan bergabung menjadi aggotaWTO (World Trade Organization) Orba memilih pasar bebas untukdaripada melanjutkan perannya mengatur ekonomi yang belumterselesaikan pada masa kekuasaanya kepada agen kapitalis global.Kegagalan Orba dalam melakukan pembangunan ekonomi yang proglobalisasi tidak menjadi pelajaran yang berharga bagi rezim reformsi.Bahkan rezim reformasi itu juga tidak berseberangan dengan rezimneoloberalisme, dengan mengimplementasikan rekomendasi IMFuntuk memulihkan ekonomi dan menjamin bergeraknya pasar bebas.

Tuntutan SAP dan Dampaknya terhadap Ekonomi Kerakyatan

Page 84: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Keterangan: Isi pasal-pasal SAP dikutip dari Munder, Barker danKorten (2003: 10-12), sedangkan dampak dari SAP diramupenulis dari berbagai sumber.

Dengan rekomendasi IMF dan Bank Dunia, Indonesia

menjalankan program penyesuaian struktural (Structural AdjustmentProgram atau SAP), dan isinya dengan jelas menyeret Indonesiauntuk membuka kran pasar bebas, dengan dampak yang seriuspada ekonomi nasional khususnya di sektor ekonomi kerakyatan.Program ini untuk menyelaraskan dengan agenda WTO.

Dengan mengikuti WTO, para petani kecil dan gurem akanmenghadapi kehancuran usahanya (JHatami dan Hanin, 1999:62-72). Pertama: hal ini karena dihapuskannya subsidi produksi danekspor secara pelan tetapi pasti. Pengurangan subsidi akan membuatpetani semakin rendah daya saingnya dan bahkan memasuki jurangkehancuran. Kedua: karena adanya penghapusan tarifikasi yangbiasanya dipakai untuk melindungi petani domestik denganmemungut tarik atas produksi impor. Dengan penghapusan tarifmaka akan menggilas produk lokal yang semakin mahal karenaberkurangnya subsidi. Ketiga, diberlakukannya Agreement on Agri-culture (AOA) yang mengharuskan produk yang diekspor memenuhistandar kualitas. Keempat: pengakuan terhadap patenisasi produk-produk pertanian artinya memberikan hak terhadap pemegang hakpaten atas temuannya untuk mengontrol pemasaran produk yangmenggunakan hak patennya. Aturan AOA ini membuat petani-petani di negara berkembang harus membayar biaya yang relatifberat untuk mengadopsi teknologi produksi seperti pembelian bibitunggul dan asupan lainnya.

Ancaman globalisasi terhadap merosotnya ekonomi petanibukan sebuah hipotesis lagi melainkan sebuah fakta yangmerisaukan. Hal itu bisa disimak dalam buku berjudul“Globalisasi, Kemiskinan dan Ketimpangan” 2003 editan Munder,Barker dan Korten dengan kata pengantar I. Wibowo. Dalambeberapa artikel pada buku itu diungkapkan paling tidak tigaancaman bagi petani.

Pertama: ancaman pengangguranDi bawah prigram SAP, banyak negara sedang berkembangmengespor berbagai produk pertanian yang serupa, bahkankerapkali sama ke negara-negara industri. Ini juga terjadipada bahan tambang. Akibatnya, ketersediaan barang

No. Pasal dalam SAP Dampak terhadap Ekonomi Kerakyatan 1. Penghapusan tarif-tarif yang

membantu industri-industri lokal agar tetap mampu bertahan hidup berhadapan dengan perusahaan-perusahaan besar.

a. SDA dan bahan baku industri kecil dicaplok industri besar dan asing

b. Merosotnya akses pasar produk pertanian karena menurunnya permintaan sebagai akibat hancurnya industri skala kecil.

2. Penghapusan berbagai peraturan di dalam negeri yang mungkin dapat menghabat atau terlalu banyak mengatur masuknya investasi luar negeri.

a. Kehancuran industri skala kecil karena daya saingnya rendah.

b. Kehancuran pertanian pangan sebagai usaha tani keluarga karena lemah permodalan dan daya saingnya.

3. Penghapusan kontrol harga - bahkan berkenaan dengan kebutuhan pokok seperti pangan dan air sekalipun- tetapi secara tidak adil mewajibkan pemberlakukan kontrol atas upah.

a. Meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok yang mengancam kelaparan dan kemiskinan

b. Eksploitasi buruh di sektor industri kapitalis global

4. Pengurangan secara drastis berbagai pelayanan sosial dan badan-badan yang menjalankannnya seperti pelayanan kesehatan dan perawatan medis, pendidikan bantuan pangan dan bantuan usaha kecil, angkutan, sanitasi, air, pelatihan kerja dan lain-lain.

a. Privatisasi pelayanan pubik sebagai bisnis kapitalistik yang mengancam kesejahteraan sosial.

b. Ketergantungan masyarakat lapisan bawah yang besar terhadap sektor swasta untuk memperoleh kebutuhan dasar yang dibeli dengan harga yang mahal.

5. Penghancuran secara agresif atas program-program rakyat yang menjadi sarana bagi bangsa-bangsa untuk bisa mencapai kemandirian dalam hal kebutuhan pokok seperti pangan, angkutan, industri besar, dan sumber daya dasar.

a. Hilangnya kemandirian civil society sebagai kekuatan yang mengontrol dan mengimbangi sektor swasta.

b. Hilangnya dukungan negara untuk menguatkan ekonomi nasional dan kerakyatan.

6 Perubahan-perubahan yang dipaksakan secara cepat atas perekonomian dalam negeri untuk menekankan produksi ekspor yang biasanya dikelola tanpa ketatalaksanaan langsung dari para investor asing dan korperasi global.

a. Membuka investasi asing skala besar untuk menghasilkan devisa dengan mengganti komoditas yang tidak bisa meng akses ke perdagangn global.

b. Hancurnya sektor ekonomi kerakyatan seperti yang tidak efisien menghasilkan devisa dan akses ke perdagangan global.

Page 85: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

berlimpah, sementara harga eskpor bahan baku jatuh, danyang lebih parah lagi adalah hilangnya maa pencaharianbanyak orang. Demikian pula ketika IMF melakukankebijakan mendevaluasikan mata uang nasional, maka impor-inpor (yang mencakup sumberdaya energi dan mesin-mesin)menjadi mahal. Begitu pula dengan berbagai industridomestik yang bergantung pada abhan impor kian terhimpit.Efeknya lebih bayak pekerja kemudian terpaksadiberhentikan. Lebih jauh, kebijakan IMF menaikkan sukubunga telah menghalangi usaha skala kecil dalammendapatkan modal, baik untuk mempertahankan maupunmengembangkan usahanya. Akibatnya usaha mereka terhentidi tengah jalan dan banyak pekerja kehilangan pekerjaan(Canvanagh, Retalack dan Awlch, 2003:84)

Kedua: Ancaman kelaparan dan keterpurukan.Karena program IMF itulah, subsidi untuk bahan-bahanpokok juga dihapuskan termasuk di antaranya adalah pangandan asupan pertanian seperti pupuk. Alhasil, harga pupukdi pasaran melonjak drastik. Inilah persoalan pelik yangtengah dihadapi petani. Persoalan mereka pun tambahdirunyamkan dengan diterapkannya devaluasi mata uangsebagaimana didesakkan oleh IMF. Akibatnya barang barangimpor menjadi mahal. Di Carakas tahun 1989, misalnya,terjadi kenaikan harga roti 200 %, meletuslah huru hara.Aparat keamanan melepaskan tembakan hingga menewaskan1.000. orang. (Canvanagh, Retalack dan walch, 2003:88)

Ketiga: Kehilangan akses pasar dan tanahDi India, menurut perkiraan pemerintah, di setiap tahunnyalebih dari dua juta petani gurem dan marginal, kinikehilangan tanahn dan menjadi terasing dan tercebur daritanah mereka sendiri…..Kecenderungan tersebut bisa mulaidilacak dari kuatnya pengaruh aktivitas impor. Pada agustus1999, misalnya, kebijakan liberalisasi impor biji kedelai danminyak kedelai di India teah mengakibatkan impor-imporkedelai yang mendapat subsidi itu membajiri pasar di India.

Total keseluruhan impor itu bertambah tiga juta ton dalamsatu tahun (meningkat 60 % dari tahun tahun sebelumnya)dan harganya pun mencapai hampir 1 milyar dollar. Selamasatu masa tanam saja, harga-harga langsung merosot drastis,lebih dari dua pertiganya. Ini membuat jutaan petaniprodusen biji kacang kaangan untuk minyak kehilangan pasarmereka. Dengan demikian prakts, mereka tidak mampumenutup seluruh biaya yang telah mereka keluarkan selamamasa tanam (Mittal, 2003:123)

Dengan berlakunya ketentuan WTO itu pertanian di Indo-nesia setelah 1997, maka nasib kaum tani Indonesia sangat terancammaut. Setiawan (2003:89-99) mengambarkan ancaman maut itu:

Dampak uatama setelah Indonesia menjadi bagian dari rezimWTO terletak pada kebijakan. Kini Indonesia sudah tidakpunya lagi pilihan kebijakan (policy option). Kebijakan yangada hanya satu yaitu liberalisasi ekonomi ke arah pasar bebasseturut resep yang diberikan oleh WTO. … Ini berartiIndonesia harus membuka pasar domestiknya seluas-luasnyakepada produk luar negeri…. Sejak 1997 diterapkan liberalisasipangan dan penyingkiran BULOG, liberalisasi pupuk melaluipenyingkiran PUSRI, dan penghapusan tariff bea masukhingga 0%..... Pemain pertanian kini beraliharipetani kepedagang dan importer besar yang bermain di pasa komoditasinternasional dengan mengorbankan petani, juga pertanianakan dikuasai perusahaan internasional dan agribusnis raksasa.

Petani yang survive adalah yang menempati lapisanmenengah ke atas. Akan tetapi posisi mereka sulit karena dayasaingnya rendah jika dibandingkan dengan petani dari negaramaju. Mereka dituntut untuk bisa bersaing dengan mengadopsiteknologi agribisnis tetapi dalam jangka panjang usahanya bisagulung tikar ketika produk-produk dari luar masuk ke dalam negeridengan kualitas yang baik dan harganya murah. Fenomena itusudah kelihatan dalam kasus merebaknya buah dari Cina, Thai-land, dan negara berkembang lainnya serta negara maju seperti

Page 86: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Australia. Pilihan yang muncul di Indonesia untuk mengatasipersiangan itu justru membuka masuknya investasi dari luar, danpetani diajak untuk menyewakan tanah dan menyumbangkantenaganya. Dengan cara itu petani pendapatannya akan naik,tetapi tidak mengusai lagi produksi yang dkelolanya. Akan tetapimasalahnya akan lebih serius karena ke depan dengan dibukanyakran privatisasi sebagai agenda pasar bebas, maka gejala munculnyapelepasan tanah dari para petani dalam negeri kepada investorakan terjadi, sebagaimana telah terjadi untuk kasus pelepasan tanahuntuk kompeks industri dan pemukiman.

Di bidang industri skala kecil, ancaman globalisasi amat serius.Pertama: selama ini produk industri skala kecil adalah jago dikandangnya sendiri, dan memperoleh segmen pasar untuk golonganmenengah ke bawah yang daya belinya relatif rendah. Dengankualitas yang rendah, maka industri skala kecil itu akan berhadapandengan produk-produk dari luar yang lebih berkualitas dandipastikan akan merebut segmen pasarnya. Kedua: industri skalakecil yang bersifat menyambung hidup pasti akan mengalamikesulitan untuk meningkatkan kualitas produksinya. Hal ini karenaakses ke lembaga keuangan rendah sebagai akibat dri keterbatasanagunan dan rendahnya keuntungan usaha. Selain itu, mereka jugaharus mempunyai keunggulan komperatif dan ini hanya bisaditampilkan jika memiliki produk yang khas sehingga mempunyaisegmen pasar yang luas atau tetap, misalnya kerajinan souveniruntuk industri pariwisata. Akan tetapi, jika gagal maka tidakmustahil akan dibanjiri pula oleh munculnya produk kerajinandari luar utamanya dari Cina yang berpengalaman menyuplai sou-venir wisata di beberapa kota di Eropa.

Masalah yang dihadapi industri pedesaan bertambah dalammendapatkan bahan baku. Mereka akan mendapatkan harga yangmurah karena tidak diberlakukannya lagi tarif ekspor. Namunkebutuhan bahan baku dari dalam negeri juga akan sulit dipenuhiketika bahan baku itu oleh produsennya cenderung dijual ke luarnegeri yang memberikan harga yang menawan. Kasus ini sudah

dialami oleh kerajinan kulit, ketika pemerintah membebaskan kraneskpor kulit mentah sehingga para perajin kesulitan mendapatkannya.Kesulitan ini diperparah ketika impor daging sapi melonjak danpeternak sapi kelimpungan dan berkuranglah gairah untukmeningkatkan jumlah ternak sapinya. Dengan demikian, pasar bebasserba tidak menguntungkan bagi industri kecil dan rumah tanggabaik karena harus menghadapi persaingan di dalam memasarkanproduknya maupun mendapatkan bahan baku.

Masa Reformasi: Agenda RPJMNDerap globalisasi kurang ditangkap oleh pemerintah era

reformasi, khususnya pada masa Presiden Susilo BambangYudoyono sebagaimana terlihat pada lampiran PeraturanPemerintah Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana PembangunanJangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 (baca: RPJMN).Meskipun berupa rencana yang belum diimplementasikan secarautuh karena pemerintahannya belum genap satu tahun, patutdimaknai sebagai sebuah respon pemerintah terhadappermasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia, dan dalam konteksini adalah masalah ekonomi pedesaan dalam konteks globalisasi.

Apabila dicermati, format RPJMN meskipun lebih baik dariGBHN pada masa Orba karena berani mengungkapkan sejumlahmasalah secara rinci, secara umum memperlihatkan kemiripan. Halini nampak dari kecenderungan RPJMN kehilangan fokuspembangunan, karena hampir semua masalah mendapat perhatiandan semuanya berorientasi pada pertumbuhan, tanpa menegaskanpentingnya pemerataan. Perhatian RPJMN trhadap ekonomi desadengan segala kekurangannya nampak dalam bab 19 tentangrevitalisasi pertanian, bab 18 tentang peningkatan daya saing industrimanufaktur, 20 tentang pemberdayaan koperasi dan usaha morko,kecil dan menengah, serta bab 25 tentang pembangunan pedesaan.

1. Revitalisasi Pertanian

Page 87: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Sektor pertanian dalam RJPMN meliputi pertanian pangan,agro-industri atau agribisnis, dan perikanan. Isu yang dilontarkandalam menyimak sektor pertanian adalah sbb:

1. Kesejahteraan petani dan nelayan masih rendah dan tingkatkemiskinan relatif tinggi.

2. Lemahnya lembaga dan posisi tawar petani yang berakibatpada panjangnya tata niaga dan belum adilnya pemasaran.

3. Lahan pengusahaan petani semakin sempit sehinggapendapatan yang diperoleh tidak mencukupi kebutuhandan kurang mendorong upaya peningkatan produksi.

4. Akses petani ke sumberdaya produksif termasuk permodalandan layanan usaha masih sangat terbatas.

5. Masih rendahnya sistem teknologi dan diseminasi teknologipengolahan produk pertanian dan perikanan dan berakibatpada produktivitas nilai tambah produk pertanian danperikanan.

6. Perikanan budidaya yang belum optimal yangmengakibatkan rendahnya produktivitas.

7. Ketidakseimbangan pemanfaatan stok ikan antar kawasanperairan laut dan terjadinya kerusakan lingkungan ekosistemlaut dan pesisir yang menyebabkan rendahnya produktivitasnelayan dalam kegiatan perikanan tangkap.

8. Rendahnya nilai hasil hutan non-kayu yang sebenarnyaberpotensi untuk meningkatkan pendapatan petani danmasyarakat sekitar hutan.

9. Pemanfaatan hutan melebihi daya dukung sehinggamembahayakan pasokan air yang menopang keberlanjutanproduktivitas hasil pertanian.

10.Di bidang pangan masih dihadapi masalah tingginyaketergantungan pada beras dan rentannya ketahanan pangandi tingkat rumah tangga.

Sepuluh masalah itu sebenarnya merujuk pada masalah yangdihadapi oleh ekonomi kerakyatan yang identik dengan ekonomidesa. Akan tetapi, RJPMN tidak memberikan labelisasi ekonomi

kerakyatan dan karenanya tidak membangun analisis yangmenempatkan sembilan masalah itu sebagai akibat dari masalah besar,yaitu selama ini negara cenderung memprioritaskan pengembanganekonomi kapitalitik. Rendahnya kesejahteraan petani, kapasitasorganisasi, akses ke teknologi, modal, tataniaga, produktivitas hasilnon-hutan, dan over ekspoitasi atas sumberdaya hutan sertaketergantungan pada beras harus dilihat sebagai konsekuensi darikebijakan pemerintah masa lalu yang membuat petani berada dalamekonomi peasant. Dengan demikian sepulh masalah itu merupakanakibat dari masalah struktural, bukan kultural.

Jika masalah struktural yang terjadi, maka berarti masalah itusudah muncul pada jaman Orba, dan masalah ini terjadi karenapemerintah Orba lebih berpihak kepada sektor kapitalis yangmemarginalisasi ekonomi kaum tani. Dengan demikian, kalauformulasi masalah petani merujuk pada kegagalan pemerintah orbadalam menciptakan pemerataan, maka problem marginalisasipertanian hanya bisa diselesaikan dengan melakukan perombakanstruktural pada sistem ekonomi nasional, termasuk di dalamnyasektor pertanian. Selain itu, dengan adanya kecenderungan bahwaIndonesia telah terjerumus ke dalam bagian agenda pasar bebas,maka berbagai arah kebijakan dan program revitalisasi pertanianbisa dipastikan tidak akan mampu menyelesaikan sembilan masalahtersebut dengan hanya mengedepankan pertumbuhan ekonomimelalui (1) penguatan SDM, kelembagaan pertanian dan pedesaan(2) ketahanan pangan, dan (3) daya produktivitas, produksi dandaya saing, dan (4) pemanfaatan hutan dalam kerangka diversifikasipangan dan hasil hutan non-kayu secara berkelanjutan.

Empat arah kebijakan itu memang diperlukan, khususnyatentang kelembagaan pertanian dan pedesaan sebagai bagianpenting dalam kerangka revitalisasi pertanian yang lebih partisipatif.Walaupun demikian, kiranya perlu disimak bahwa agenda ketahananpangan akan berantakan ketika Indonesia kemudian masuk kekancah pasar bebas. Sebagaimana terjadi di India, petani kecil yangmengadopsi bibit modern tidak mempunyai akses pasar, dan mereka

Page 88: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

kebanjiran kedelai impor yang harganya murah. Sementara itudengan pasar bebas ketahanan pangan pun bisa merapuh ketikadengan bebasnya eksportir menjual produk hasil bumi dalam negerike luar demi atas nama devisa dan harga yang baik walaupun didalam negeri terjadi kelangkaan.

Dalam RPJMN, pemerintah akan memperhatikan masalahpemenuhan hak atas tanah (Halaman 157). Beberapa programnyadisebutkan tentang (1) penataan, penguasaan, pemilikan,penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berkadilan,berkelanjutan dan menunjung supremasi hukum, dan pembelaterhadap tanah absentia dan perkebunan sesuai dengan undang-undang pokok agraria, fasilitasi dan perlindungan hak atas tanahbagi kelompok rentan, dan jaminan kompensasi terhadapkelompok rentan yang terkena penggusuran (RPJMN, 2005: 157-158). Program itu sepertinya bisa diterjemahkan sebagai agendareformasi agraria. Akan tetapi, tanpa dirumuskan secara tegas,maka program itu hanyalah sebuah pernyataan kepedulianterhadap masalah pertanian yang diderita petani. Program itusampai sekarang belum juga menjadi agenda kerja yang nyatasehingga hanya baik di tingkat konsep dasar. Idealnya, misi daripembaruan agraria adalah untuk melindungi tanah-tanahpertanian yang menjadi hajat hidup orang desa dari ekspansikapitalis global. Dengan landreform itu maka pertanian dapatdikelola lebih produktif dan efisien sehingga tidak harusdikomoditikan sebagai faktor produsi yang dikuasai oleh pihakluar tetapi oleh pihak petani sendiri.

Untuk menjamin usaha tani menjadi sektor yang produktifdan memberikan penghasilan yang berkelanjutan, pemerintahjuga harus berani mengangkatnya sebagai program prioritas.Namun dalam RPJMN begitu banyak program yang akan digarappemerintah, dan sebagian dari program itu justru tidak sejalandengan upaya penguatan ekonomi petani. Dikawatirkan bahwadengan programnya yang begitu banyak, pemerintah kehilangankepekaan terhadap kepentingan orang desa. Di bidang investasi,

misalnay pemerintah didorong untuk memacu laju investasi danekspor dan dikawatirkan pemerintah justru mempermudahinvestasi di sektor-sektor yang merupakan hajat hidup pendudukdesa. Sebagai contoh, ancaman serius dari negara maju untukmenolak ekspor kakau dari Indonesia dengan kualitasnya rendah,justru diselesaikan dengan pengembangan perkebunan besar yangberteknologi tinggi dan membuka masuknya investasi kakau yangmematikan produksi rakyat.

Apabila pasar bebas menjadi acuan, maka pemerintah harusmemastikan bahwa pajak usaha tani pun harus diminimalisasi, danmemangkas berbagai bentuk tata niaga yang panjang, danmendorong organisasi petani sebagai kekuatan di dalammenentukan harga di pasar. Dalam RPJMN bab 16 bagianpenanggulangan kemiskinan, pemerintah memang berjanji untukmelakukan penguatan lembaga petani (RPJMN, 2005:163).Apabila agenda ini benar-benar akan dilakukan maka sudah saatnyaorganisasi petani yang kritis justru diangkat menjadi mitrapemerintah dan didorong untuk mempunyai kapasitas dan jaringanyang kuat di tingkatnasional dan global sehingga kehadirannyaberpengaruh baik ke dalam maupun ke luar Indonesia.

2. Peningkatan Daya Saing Industri ManufakturDalam bab 18 RPJMN diagendakan pengembangan industri

manufaktur guna meningkat daya saingnya. Ini artinya industridalam negeri diharapkan mempunyai akses tidak hanya di pasarinternasional tetapi juga nasional. Bab ini mengungkapkan begitubanyak masalah yang dihadapi sektor industri manufaktur,terutama sejak krisis ekonomi. Disebutkan dalam RPJMN(2005:185) bahwa:

Meskipun permasalahan pernurunan daya saing ini berawalsebelum krisis ekonomi1997, perkembangan industri sangatmemburuk setelah krisis tahun 1997. Banyak pengamatmengindikasikan terjadinya “deindustrialisasi”. Gejala ini

Page 89: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

ditunjukan dengan mengamati perkembangan tingkatrealisasi kapasitas produksi (utilisasi kapasitas), jumlahperusahaan, dan indeks produksi….. Dalam periode 1996-2002, jumlah industri skala sedang dan besar menurun 1.800unit usaha atau sekitar 8 % dari 22.997 unit usaha yng adapada tahun 1996. Sementara itu indeks produsksi industripengolahan berskala besar dan sedang juga mengalamipenurunan cukup signifikan sekitar 15 %, dari 126,54 %pada tahun 1997 menjadi 100,29 % pada tahun 2002.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa permasalahan tentangindustrialisasi di Indonesia dialamatkan pada industri skala besardan menengah. Formulasi masalah seperti itu menunjukkan bahwapemerintah masih memandang sebelah mata atas kehadiran dariindustri skala kecil. Dalam RPJMN misalnya disebutkan:

Industri skala menengah (20-99 orang tenaga kerja), skalakecil (5-19 orang tenaga kerja) dan industri rumah tangga(1-4 orang tenaga kerja) memperkerjakan dua pertiga tenagakerja manufaktur di Indonesia. Namun demikian, segmenindustri ini menyumbang hanya 5-6 % dari total nilai tambahmanufaktur. Industri kecil dan menengah terkonsentrasi disubsektor makanan dan kayu…

Pemerintah tidak menggarisbawahi bahwa industri skala kecilitulah yang menghidupi kebanyakan tenaga kerja. Kutipan diatas mengisyaratkan juga bahwa pemerintah tidak menyadaribahwa rendahnya produksi yang dihasilkan oleh industri skalamenengah dan kecil itu merupakan akibat dari kecenderunganmenganakemaskan industri skala besar yang padat modal.Akibatnya, industri skala menengah dan kecil termarginalisasi danhanya menyumbangkan 5-6 % dari total nilai tambah manufaktur.Krisis ekonomi adalah sebagai akibat dari pemusatan investasi keindustri skala besar yang bertumpu pada modal asing dan orientasike eskpor. Dengan demikian, perhatian pemerintah reformasiseharusnya menghargai pentingnya industri skala menengah dan

kecil sebagai penyerap tenaga kerja yang besar dan karena ituprogramnya justru dialamatkan ke kelompok ini, terutamaindustri kecil dan IRT.

Dalam mencanangkan program pengembangan industri,pemerintah memang masih mengutamakan penguatan industriskala besar, dengan kepentingan meningkatkan daya saing ekspor.Untuk memperkuat struktur dan daya saingnya, pemerintahmemang memprogramkan pengembangan industri kecil danmemengah (IKM), tetapi tidak untuk IRT. Program itudiharapkan dapat mengangkat IKM menjadi basis industrinasional dengan mencangkan empat strategi. Pertama:mengembangan sentra industri dengan 10 subsektor yangdiprioritaskan. Kedua: pengembangan industri terkait dan industripenunjang IKM. Ketiga: perkuatan alih teknologi dengan forkuspada subsektor prioritas. Keempat: pengembangan dan penerapanlayanan informasi (RPJMN, 2005:193).

3. Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan MenengahDalam RPJMN, usaha mirko, kecil dan menengah (UMKM)

dan koperasi dilihat sebagai sektor ekonomi yang mempunyaipotensi untuk mengangkat taraf hidup rakyat banyak. Sektor inibahkan disebut mencerminkan kehidupan sosial ekonomisebagian besar rakyat Indonesia. Pujian lain terhadap sektor inipun tersaji dalam RPJMN (2005:2009):

Produk Domestik Broto (PDB) UMKM pada taun 2003tercatat sebesar 4,6 % atau tumbuh lebih cepat daripadaPDB nasional yang tercatat sebesar 4.2 %. Sementara padatahun yang sama, jumlah UMKM adalah 42,4 juta unit usahaatau 99,9 % dari seluruh unit usaha yan bagian terbesarnyaberupa usaha skala mikro, UMKM tersebut menyerap lebihdari 79,0 juta tenaga kerja atau 99,5 % dari jumlah tenagakerja, meliputi usaha mikro dan kecil sebanyak 70,3 jutatenaga kerja dan usaha menengah sebanyak 8,7 juta tenaga

Page 90: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

kerja. UMKM berperan besar dalam penyediaan lapangankerja

Di dalam menformulasikan masalah UMKM, RPJMN tidakmembidikan perhatian pada kurangnya kebijakan yang repsonsifterhadap kepentingan para pelakunya. Msalah yang disajikansebenarnya masih pada tingkat ideitifikasi isu strategis sepertirendahnya produktivitas sehingga menimbulkan sekesangan yanglebar antar setor usaha mikro, menengah dan besar, terbatasnyaakses kepada sumberdaya produktif seperti permodalan, teknologi,informasi dan pasar, masih rendahnya kualitas kelembagaan danorganisasi koperasi, tertinggalnya kinerja dan kurang baiknyacitra koperasi, dan kurang kondusifnya iklim usaha. Masalah itujika disimak sesungguhnya merupakan akibat dari kebijakannegara selama ini yang condong menganakemaskan usaha ekonomiskala besar, dan hilangnya fungsi koperasi sebagai gerakan ekonomikerakyatan pada era Orba.

Lemahnya dalam menformulasikan masalah UMKM ituberimplikasi terhadap sasaran, dan arah kebijakan, dan program-programnya. Pada sasaran, RPJMN menekankan padapeningkatan produktivitas UMKM guna mendorong per-tumbuhan ekonomi, eskpor dan semangat kewrawusahan sertapeningkatan kelembagaan koperasi. Adapun pada arah kebijakanmerujuk pada upaya meningkatkan pertumbuan ekonomi, dayasaing dan khususnya untuk usaha mikro adalah pada peningkatanpendapatan; peningkatan akses pada sumberdaya produktif ,memperluas kesempatan berusaha, dan meningkatkankemampuan UMKM untuk memiliki daya saing terhadap produkimpor, dan khusus untuk koperasi adalah membenahikelembagaan dan organisasi koperasi, networking organisasikoperasi sampai dengan kemandirian gerakan koperasi.

Semua arah kebijakan itu sepertinya akan memangkatUMKM menjadi masa depan bagi kalangan masyarakat lapisanbawah tidak terkecuali penduduk pedesaan. Masalahnya adalahmengapa titik berat sararan dan arah kebijakan tidak dirumuskan

dalam kerangka memastikan bahwa ke depan UMKM memangmenjadi solusi untuk meningkatkan kemandirian ekonominasional. Jika pilihan itu yang diambil maka sasaran dan arahkebijakan akan merujuk pada reformasi ekonomi nasional yangmempromosikan penguatan UKMN daripada usaha skala besar.Dari program-program yang dipromosikan, RPJMN semakin jelastidak mmberikan jawaban atas masa depan UMKM yang nantinyaakan bersaing produk impor sebagai konsekuensi dari pasar bebas.

Program RPJMN di bidang UMKM adalah (1) penciptaaniklim usaha, (2) pengembangan siste pendukung usaha, (3)pengembangan kewirausahaan dan keunggulan komperatif usahakecil menengah , pemberdayaan usaha slama mmikro, dan (4)peningatan kualitas kelembagaan koperasi. Tanpa mencurgai apakahpemerintah memiliki anggaran dan keseriusan meng-implementasikan program-program tersebut, masalah yangdihadapi UMKM itu akan terus mencuat. Mereka terus tumbuhdi tanah air karena keterbatasan lapangan kerja di sektor usahaekonomi kapitalistik sakala besar dan kemudian mereka salingbersaing sendiri untuk bisa survive dan celakanya mereka bersama-sama akan digilas oleh industri kapitalis global yang masuk ke In-donesia dengan melalui pasar bebas. Oleh karena itu, jika pro-gram-program tersebut bisa terwujud dan membawa hasil, tetapitidak menjawab masalah yang serius itu. Dengan demikian,UMKM yang telah dipuji sebagai penerap tenaga kerja terbesarseharusnya mendapat perhatian yang serius dengan memberikanperlindungan yang luar biasa dan memberikan akses mereka dalammengambilan keputusan kebijakan poitik. Tanpa memiliki organisasiyang handal dan mempunyai kapasitas untuk berpartispasi dalammembuat keputusan politik, maka UMKM tidak bisa berbuat apa-apa ketika mereka tergilas oleh arus global.

4. Pembangunan PedesaanRPJMN memberikan perhatian pada pembangunan

pedesaan dengan merumuskan sebelas masalah penting, yaitu (1)

Page 91: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

terbatasanya lapangan kerja yang berkualitas, (2) lemahnyaketerkaitan kegiatan ekonomi baik secara sektoral maupun spasial,(3) timbulnya hambatan distribusi dan perdagangan antardaerah,(4) tingginya resiko kerentanan yang dihadapi petani dan pelauusaha di pedesaam , (5) rendahnya aset yang dikuasai masyarakatpedesaam , (6) rendahnya tingkat prasarana dan sarana pedesaam, (7) rendahnya kualitas SDM di pedesaam yang sebagian besarberketrampilan rendah (low skilled), (8) meningkatnya konversilahan pertanian subur dan beririgasi teknis bagi peruntukan lain,(9) meningkatnya degradasi sumberdaya alam dan lingkunganhidup, (10) lemahnya kelembagaan organsasi berbasis masyarakat,dan (11). lemahnya koordinasi lintas bidag dalam pengembangankawasan. Dari sisi cakupan masalah, nampak RJPMN telahmengidentikasi secara mendalam dan kesebelas masalah itumengggabarkan masalah yang muncul dalam ekonomi peasant.Masalahnya RPJMN itu tidak merformulasikan masalah-masalahtersebut dalam merangka konseptual yang ditandai oleh adanyapenelasan teoritik dan empiric. Jelas bahwa masalahmasalah itubersumber dari kebijakan negara selama ini yang memprioritaskanpembangunan di wilayah perkotaan dan berorientasi padapengembangan sektor ekonomi kapitalis. oleh karena itu, desadalam posisi tertinggal dan trmarginalisasi, dan bila keadilanditegakkan maka sudah sasatnya pembangunan mengambil baisdi kawasan pedesaan.

Dilihat dari sisi programnya, RJPMN mengamanatkan limaagenda besar yang dirinci ke dalam agenda kecil. Kelima agendabesar itu adalah, (1) peningkatan keberdayaan masyarakatpedesaam , (2) pengembangan ekonomi lokal, (3) peningkataninfrastruktur pedesaam , dan (4) peningkatan kualitas SDM, dan(5) perlindungan dan konservasi SDA. Dari segi muatanprogramnya itu, nampaknya pembangunan pedesan akanmemecahkan masalah yang telah diperbicangkan di muka dalammenelaah tentang marginalisasi ekonomi desa. Dengan programyang pertama, RPJMN akan melakukan reformasi agaria

sebagaimana diusung oleh kalangan akademisi dan LSM yangpeka terhadap masalah ekonomomi petani, dan akan dilakukanpenembangan lembaga perlindungan petani dan pelaku usahaekonomi pedesaan. Masalahnya perlindungan semacam apa yangakan dipromosikan jika Indonesia sekarang ini sudah masuk kedalam bagian dari pasar bebas.

Program pengembangan ekonomi lokal juga bisamemberikan jawabab atas marginalisasi ekonomi petani. Namunmasalahnya harus dicermati. RPJMN tidak memberikan detailpermasalahannya, dan agenda yang diusung dikawatirkan justrumemperlas ekspansi kapitalis ke dalam ekonomi kerakyatan.Kekawatiran itu terlihat dari butir-butir kegiatan yang akandilakukan misalnya mengembangkan kawasan agropolitan,meningkatakan pengembangan agribisnis, pengembangan budayakewirausahaan, pengembangan jaringan kerjasama, perluasanpasar dan promosi produk pedesaan, dan lainnya. Kegiatanitujika tidak disubsidi atau dianggarkan secara maksimal oleh negaraakan membuka kran masuknya investasi asing yang menggeserkemandirian ekonomi pedesaan. Selama ini ekonomi desa bisasurvive di tengah kemiskinan karena para produsennya masihmemegang asset produksi yang penting yaitu tanah dan hasilnyawalaupun nilai tukarnya rendah.

Program terkait infrastruktur pedesaam , peningkatankualitas SDM dan perlindungan dan konservasi SDA merupakanagenda yang penting ke depan. Akan tetapi rogram ini akan baikjika menformulasikan cita-citnya secara lebih konkrit sehinggabukan sebuah retorika. Jelas bahwa infratruktur pedesaan sangattidak menunjang kemajuan ekonomi dan kesejahteraanmasyarakat. Tidak ketingagalan juga SDM orang desa yang rela-tive rendah, penduduk desa yang tamat SMP ke atas baru 23 %dan jauh tertinggal dari penduduk kota sekitar 52 % (RPJMN,2004:255). Dalam kaitannya dengan SDA,m kerusakan sudahbegitu banyak dan akarnya adalah ekksploitasi hutan, air danmineral yang berlebihan dari sektor swasta kapitalis. kalau

Page 92: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

fakatanya memang demikian maka berarti jika melindungikepentingan penduduk desa, maka pemerintah pun membatasiekspansi kapitalis ke desa dengan regulasi. Akan tetapi rtegulasiitu akan problematis dengan agenda pasar bebas. Dengandemikian perlu dilakukan kajian dan langkah serius agar semuagagasan dan program pembangunan pedesaan itu benar-benardapat dimplementasikan. Pesimistik nampaknya tidak bisadihindari karena dikawatirkan RJPMN itu merupakan sebuahgagasan besar yang tidak konsisten dengan pilihan Indonesiamasuk ke dalam kancah pasar bebas yang justru difasilitasi denganmelakukan berbagai deregulasi dan privatisasi yang mengundanginvestor dari luar untuk menggeser otonomi para produsen yangjustru telah dimiskinan oleh kebijakan negara selama ini misalnyadalam kasus petani cengkeh dan tembakau.

Menuju Revitalisasi Ekonomi Desa BerkeadilanDiskusi di muka mengingatkan bahwa selama lebih dari 13

abad, desa mengalami proses eksploitasi dari kekuatan supra desasehingga mebentuk corak ekonomi subsistensi. Secara tipikal, corakekonomi subsistensi itu adalah sebagai berikut:1. Secara umum, perekonomian desa merupakan usaha skala

kecil di bidang pertanian pangan, non-pangan, perdagangan,dan industri yang terbentuk melalui proses sejarah yangpanjang, dimulai abad ke 7 sampai dengan abad 21 sekarangini. Usaha skala kecil itu dikelola secara informal oleh rumahtangga dan orientasinya bersifat menyambung hidup.

2. Walaupun perekonomian desa berubah orientasiproduksinya dari sifat subsisten yaitu memproduksi baranguntuk keperluan sendiri ke sifat komersial yaitu diperdagangkanke pasar, mereka tidak berevolusi menjadi sebuah sektorekonomi kapitalis. Sektor-sektor ekonomi di pedesaanmengalami proses marginalisasi karena diekspolitasi oleh rezimnegara dan pasar yang mengakibatkan unit usahanya skalakecil, informal dan bersifat menyambung hidup.

3. Proses marginalisasi itu dibentuk oleh negara dan rezimkapitalis sebagai kekuatan supradesa yang mempunyaipower politik dan ekonomi yang besar, dan desadikendalikan sebagai koloni yang menghasilkan tenaga dankomoditas murah, atau sebagai sumber pajak dari negaradengan menfasilitasi masuknya sektor swasta memanfaatkanpotensi yang dimilki oleh desa atau hadirnya bisnis kapitalisyang mengontrol bekerjanya mode produksi dalamperekonomian desa yang semakin tergantung pada pasar.

4. Hampir semua agenda komersialisasi ekonomi danpeningkatan produksi pertanian dengan dalih mengangkatekonomi desa tidak berbuah, kecuali justru meningkatkanancaman ekonomi desa menuju ketidakberdayaan. Hal ininampak sejak tanam paksa, perkebunan besar, revolusi hijausampai dengan pasar bebas. Asumsi-asuimsi bahwa ekonomidesa membaik karena masuknya mode produksi kapitalisdan kebijakan negara yang mendukungnya berpijak darikerangka berfikir sepihak dari rezim penguasa dan pasar.Memang dengan adanya komersialisasi ekonomi, uangmasuk ke desa dan meningkatkan kapital serta investasi,tetapi desa tetap saja tertinggal dan dalam cengkeramanrezim ekonomi pasar yang mengendalikan mode produksidi desa. Tidak ketinggalan, terdapat kecenderungan bahwadengan semakin terbukanya ekonomi desa maka semakintergantung dengan kekuatan eksternalnya.

5. Proses marginalisasi membuat ketergantungan desa denganrezim negara dan kapitalis dan ketergantungan itu sekaligusdiikuti dengan eksploitasi sehinga perekonomian desamenanggung beban yang besar. Pertama: kelangkaansumberdaya alam dan tanah sebagai factor produksi yangpenting bagi keberlanjutan dan perkembangan ekonomidesa. Kedua: berjubelnya penduduk dengan SDM danmodal yang rendah sebagai elemen yang penting untukmengangkat mereka dalam relasi produksi yang menentukan

Page 93: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

pendapatan. Ketiga: lemahnya dan tidak adanya akeses pasardalam sistem ekonomi yang dikontrol oleh rezim negaradan kapitalis sehinga walaupun orang desa menyelenggarkanusahanya sendiri, tetapi pada dasarnya mereka seperti buruhyang nasibnya bergantung pada kebaikan majikan.

6. Era globalisasi merupakan ancaman serius karena semakinberkurang peran negara dalam menjalankan fungsi untukmenciptakan kemakmuran. Rezim pasar global akanmenggerogoti SDA dan tanah desa dan sekaligus menggilasproduksi petani, dan pengrajin dengan produk agribisnis danindustri yang murah sehingga ancaman hilangnya pekerjaandan potensi untuk berkembang mengemuka di pedesaan.

7. Untuk mengantisipasi globalisasi yang memarginalisasisektor-sektor ekonomi kerakyatan, maka pemerintah hrusberani menjalankan kebijakan yang populis. RPJMN bukanjawaban untuk menyelesaikan masalah ekonomi Indonesia,khususnya sektor ekonomi kerakyatan. RPJMN harus secarakritis menyikapi masalah marginalisasi ekonomi kerakyatansebagai akibat dari kebijakan negara era Orba yang pro sektorekonomi kapitalis dan pasar bebas, dan keengganan untukmelakukan pembahruan agrarian serta industrialisasi dipedesaan, dan pengembangan gerakan koperasi.Berpijak dari catatan kritis itu, maka agenda penguatan

ekonomi desa harus mengubah paradigma pembangunanekonomi, dan agenda dalam RPJMN. Orde reformsi harus beranimelakukan perlawanan terhadapan neoliberalisme melaluiberbagai langkah yang strategis, yang meliputi: pembaharuanagraria; penguatan industri rumah tangga dan kecil danpengembangan koperasi.

1. Pembaharuan AgrariaNampaknya masalah yang dihadapi petani akan teratasi jika

pemerintah mendorong terjadinya transformasi ekonomipertanian yang bisa memberikan hidup layak kepada kaum tani

dengan mengembangkan skema pembaharuan agraria yangresponsif terhadap globalisasi. Pembaharuan agaria ini dilakukandengan cara:

1. Melakukan penataan ulang sistem produksi pertanianpangan melalui program landreform.

2. Menjamin usaha tani bisa memberikan nafkah yang layakdan berkelanjutan.

3. Menjamin petani memiliki organisasi yang kuat sehinggabisa mengontrol kebijakan publik di bidang ekonomi.

Gagasan di atas bukan sesuatu yang baru, tetapi telah menjadiperhatian para penggerak pembaharuan agraria. UU No. 5/1960tentang Pokok-Pokok Agraria sebenarnya mengamanatkandilakukannya landreform agar setiap keluarga petani dijamin untukmengelola tanah pertanian dengan luas yang memenuhi standarminimum dan maksimum sehingga bisa diperoleh penghasilan yanglayak dan bisa mengembangkan usaha yang rasional, produktif, efisiendan mampu mengkases pasar. Dengan landreform, maka akan banyakpetani gurem atau buruh tani yang meninggalkan usaha taninya,karena tanahnya diserahkan untuk dioleh oleh petani yang lebihpotensial. Namun pemerintah harus juga menjamin mereka ini bisaberganti profesi dengan penghasilan yang layak. Dengan demikian,tugas pemerintah adalah membuka pekerjaan kepada kaum tani yangmemang tidak bisa mengelola sendiri usaha taninya karena sempitnyalahan. Tenaga kerja desa yang tidak tertampung dalam sektorpertanian, karena kelangkaan tanah dapat dicarikan solusinya di sektorekonomi pedesaan yang juga memerlukan pembaharuan dandukungan yang serius dari pemerintah.

Landreform diikuti pula dengan regulasi yang menjaminusaha tani bisa memberikan penghasilan yang layak danberkelanjutan. Oleh karena itu semua produk hukum yangmembelenggu usaha tani ke arah kemandirian harus digantidengan yang justru menfasilitasinya. Pemerintah harus dikawaldan dikontrol oleh kelompok petani yang kuat udi dalam

Page 94: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

emngimpleemhtasikan dua agenda di atas. Tanpa memilikiorganisasi yang kuat, maka apa yang terjadi adalah pada masaorba, di mana kaum tani berkelompok untuk mengabsahkankebijakan pemerintah yang tidak pupulis. Dengan memilikiorganisasi yang kuat itu pula kaum tani bisa mempunyai bar-gaining posision yang kuat terhadap berbagai stakeholders.

2. Industrialisasi pedesaanAgenda utama mempromosikan industrialisasi pedesaan

adalah mengangkat IRT dan kecil sebagai sumber kehidupan yanglayak. Agenda itu harus menjadi program nasional yang mengurasenergi sehingga ke depan bisa menjamin bahwa desa menjadikekuatan ekonomi nasional, bukan lagi industri skala besar yangdaya serap tenaga kerjanya rendah.

Pasar bebas menjadi ancaman serius bagi industri pedesaandan negara harus berani mengabil keputusan politik untukmelindungi kepentingan penduduk yang selama ini terlantarkandan terkesploitasi. Negara harus menjamin bahwa IRT danindustri kecil bukan jago kandang, tetapi mempunyai peluanguntuk mengakases pasar regional, nasional dan global. Langkahitu bisa dirintis dengan menguatkan kelembagaan IRT di araslokal untuk menyatukan barisan mereka dalam mengelolaproduksi, dan pemasaran. Selama ini, banyak IRT bekerja sendiri-sendiri tanpa bergabung membangun kekuatan bersama gunamenghadapi pasar. Kerjasama antar IRT itu hanya akan tumbuhjika muncul dukungan regulasi yang meempunyai akses terhadapproduk pertanian dan bahan baku yang berada di wilayahnyadengan memberikan regulasi yang ketat terhadap masuknyaekaspansi pasar ke desa

Ancaman globalisasi tidak bisa dihidari jika Indonesia sepakatmasuk pasar bebas. Namun demikian, langkah strategis harusdilakukan pemrintah untuk menjamin bahwa industri kecil bukanterperosok ke dalam bisnis yang terus menerus menyambunghidup dan orang desa sebagai pelakunya mengeksploitasi diri

dengan bekerja ekstra dan banting harga produksinya untuksekedar bisa bertahan. Pilihan yang bisa dilakukan olehpemerintah adalah membuat industri pedesaan mempunyai dayasaing yang tinggi sehingga didorong melakukan rasionalisasiproduksi tanpa harus menghadirkan investor asing yang justrumenjadi ancaman selama ini.

3. Koperasi dan UKMMewujudkan kembali koperasi sebagai gerakan ekonomi

kerakyatan seperti pada masa Orla dan UKM kiranya bisa lebihrelevan bagi pemerintah untuk menyiapkan masa depan ekonomiIndonesia. Sebagai gerakan ekonomi kerakyatan, koperasi akanmelaju sebagai kekuatan ideologis dan massa yang mampumengontrol kinerja pemerintahan apakah berpihak dengan merekaatau kepada bisnis kapiatlistik. Dengan jumlah UKM yang begitubesar maka mereka bisa membentuk koperasi dan sekaligus melaluigerakan koperasi mereka ini bisa membangun ikatan ideologis dankepentingan yang sama untuk mengembangkan aktivitas ekonomiyang produktif dan efisien dan bertumpu pada kemandirian.

Catatan AkhirBab ini telah mereview dan membangun ingatan mengenai

betapa panjangnya derita dan ketidakadilan yang dialami olehorang desa karena hampir setiap rezim negara dan pasar selalumenggerogoti ekonominya. Pada masa kini derita itu akansemakin parah karena merebaknya globlisasi yang memberiperan yang besar dalam mengatur secara langsung ekonomidomestik. Globalisasi menjadi ancaman yang paling serius bagimasa depan usaha skala kecil yang menyerap 90-an % tenagakerja di sektor ekonomi.

Di dalam cengkeraman globalisasi itu, negara dan masyarakat

Page 95: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

harus mengambil sikap tegas untuk menyiasatinya. Pertama adalahpemerintah harus menelorkan kebijakan yang populis sehinggabangungan kebijakan ekonomi pada masa kini sebagaimanatertuang dalam RPJMN harus diformulasikan kembali. Keduaadalah munculnya gerakan sosial dalam masyarakat untukmerespon globalisasi dengan mendorong kemandirian ekonomiyang menghargai kekuatan dari dalam diri masyarakat. Agendaini mempuyai potensi energi yang kuat karena hampir 90 %unit usaha ekonomi berasal dari kelompok usaha skala kecil.

Bab 4Menuju Pembaharuan

Pembangunan Pertanian

Pada masa Orde Baru, kebijakan pembangunan berorientasipada upaya mengatasi krisis ekonomi dan kemiskinan yangdianggap mendesak. Kebijakan-kebijakan pembangunan itukemudian diprioritaskan dan difokuskan pada usaha menekaninflasi, memperbaiki sarana dan prasarana, menggalakkanpenanaman modal, meningkatkan ekspor, meningkatkanswasembada pangan serta mencukupi sandang dan papan untukkesejahteraan rakyat.1

Awal perubahan kebijakan pemerintah secara menyeluruhtersebut terjadi pada pembentukan kabinet pertama orde barutahun 1968 yang disebut Kabinet Pembangunan. Perubahan didalamnya termasuk perubahan peran hukum dari peran legitimasi

1 Masalah utama yang dihadapi saat itu adalah kekurangan produksi pertanian. Secara keseluruhanproduksi pertanian mengalami hal serupa dan sebagai prioritas penanganan pada masa-masaitu adalah masalah kebutuhan pokok yaitu tanaman pangan, khususnya beras. Uaraian lengkaptentang ini bisa lihat Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, Mec, Agribisnis Berbasis Peternakan,kumpulan pemikiran, Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB, 1998 hal. 3.

Page 96: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

152 153

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

revolusi nasional melawan neo-kolonialisme dan neo-imperialismepada masa orde lama ke peran sebagai sarana pembangunan.2

Perumusan ketentuan-ketentuan hukum sebagai ungkapankebijakan dan itikad adalah suatu spekulasi ideal yang belumbanyak berhadapan dengan masalah-masalah lapangan. Di tataranini, banyak praktek dilaksanakan dengan memaksakanpenyimpangan-penyimpangan3. Berbagai penyimpangan tersebutmelahirkan berbagai peristiwa yang disebut legal-gaps. Para ahlidan penegak hukum kemudian harus menghadapi masalah sosial,ekonomi, politik yang mempersulit penjabaran dan implementasipengukuhan cita-cita negara berdasarkan hukum.

Orde Baru kemudian menekankan fungsi hukum sebagaialat rekayasa sosial (laws as a tool for social engineering) kebijakan-kebijakan pemerintah yang memprioritaskan pertumbuhaninfrastruktur ekonomi dan politik. Prioritas tersebut berdampakpada pengalahan dan pemingiran hukum bila aturan-aturantersebut dianggap mengancam kelancaran dan kelanjutanpembangunan ekonomi orde baru. Pada akhirnya Orde Baru jauhlebih buruk dari pendahulu yang dikritiknya. Sebab selamamenggenggam kekuasaan, Orde Baru telah membuktikan dirinyasebagai pemuja kekerasan dalam mencapai tujuan4.

Contoh-contoh legal gaps dan hukum sebagai alat rekayasasosial dapat dilihat pada beberapa kebijakan/UU berikut. Pada UUNo. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman yangmerupakan bagian dari pengaturan tentang Pertanian, arah dansubstansi kebijakan ini disebutkan di dalam pasal 2 dan 3. Pasal 2berbunyi sistem budi daya tanaman sebagai bagian pertanianberasakan manfaat, lestari dan berkelanjutan.

Dilanjutkan pada pasal 3 menyebutkan bahwa sistem budidaya tanaman bertujuan:

a. Meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasiltanaman guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang,papan, kesehatan, industri dalam negeri dan memperbesarekspor

b. Meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petanic. Mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha

dan kesempatan kerja

Juga pada UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan Pasal 2menyebutkan “Pembangunan pangan diselenggarakan untukmemenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaatsecara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidakbertentangan dengan keyakinan masyarakat”. Pasal 3menyebutkan bahwa “Tujuan pengaturan, pembinaan, danpengawasan pangan adalah:

a. Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan,mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia;

b. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur danbertanggung jawab; dan

c. Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yangwajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Dari dua pasal pada UU No. 7 tahun 1996 ini terlihat secarajelas spirit/semangat Negara untuk berpihak kepada masyarakat.Di sini nampak bahwa Negara menomorsatukan masyarakat,kendati bunyi kedua pasal ini cukup normatif. Begitupun denganpartisipasi masyarakat, disebutkan di dalam Pasal 51 dan pasal52. Pasal 51 “Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperanseluas-luasnya dalam mewujudkan perlindungan bagi orangperseorangan yang mengkonsumsi pangan, sesuai denganketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya sertaperaturan perundang-undangan lain yang berlaku”. SementaraPasal 52 adalah sebagai berikut “Dalam rangka penyempurnaan

2 Bambang Warih Koesoema, Indonesia: Jejak “Neo Liberal” dan Krisis Ekonomi (makalah), 20053 Boedi Wijardjo dan Herlambang Perdana, Reklaiming dan Kedaultan Rakyat, YLBHI danRaca Institute, Juli 2001, hal 4-6

4 sejak awal rezim orde baru di bawah ketiak Suharto mulai mengendalikan panggung kekuasaandi republik ini, ratusan ribu nyawa manusia harus melayang sebagai tumbal pengelolaankonfliknya. Uraian lengkapnya bisa dilihat di Julie Southwood and Patrick Flanagan, Indonesia:Law, Propaganda and Teror, Zed Press, London, 1983 hal. 1. Dalam buku tersebut menjelaskantentang jumlah korban (500.000 orang) yang tidak berdosa pada saat paska terjadinya kuppada tahun 1965 sebagaimana dikutip oleh Boedi Wijardjo dan Herlambang Perdana, op.cit.

Page 97: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

154 155

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

dan peningkatan sistem pangan, masyarakat dapat menyampaikanpermasalahan, masukan, dan atau cara pemecahan mengenai hal-hal di bidang pangan”.

Contoh selanjutnya pada pengalahan dan peminggiranhukum adat yang berakibat pada pengabaian hak-hak masyarakatadat atas sumber-sumber agraria. Oleh karena sumber-sumberagraria merupakan modal yang dapat dieksploitasi untukkepentingan pertumbuhan ekonomi, maka negara memaksamenguasainya5. Penguasaan tersebut dimaksudkan untukmendapatkan kebebasan mengatur peruntukan danpemanfaatannya. Untuk itu berbagai undang-undang kemudiandirancang dan diberlakukan guna mengesahkan pengalihan hak-hak tenurial adat menjadi hak Negara. Pengalihan tersebutdidasari anggapan bahwa negara Indonesia adalah peleburan danperwujudan dari organisasi, sistem dan kaidah-kaidah berbagaikelompok masyarakat adat yang tersebar di wilayah Indonesia.Anggapan tersebut telah menyebabkan pemaksaan penerapanhukum nasional di wilayah-wilayah teritorial persekutuanmasyarakat adat. Pemaksaan inilah yang kemudian menyulutsengketa-sengketa agraria antara Negara dengan berbagaipersekutuan masyarakat adat di Indonesia.

Orde Baru terbukti telah gagal melaksanakan amanat pasal33 ayat (3)UUD 1945, yakni untuk mensejahterakan rakyatsemesta. Kegagalan ini disebabkan rejim Orde Baru hanya bekerjauntuk kepentingan atau orientasi komunitas elit politik dankroninya bukan untuk basis rakyat. Dengan kata lain, bumi, airdan kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia dipergunakansebesar-besarnya untuk kemakmuran konglomerat (kaum borjuasi)dan pejabat-pejabat Negara beserta alat-alat represifnya yakni militerdan para preman yang bekerja untuk mengamankan asset-asetmereka. Rakyat yang seharusnya dilindungi dan dibela untukmempertahankan dan memperjuangkankan hak-haknya malah

diintimidasi, diteror, ditangkapi, dianiaya dan ditembaki, dengandalih atas nama pembangunan, devisa negara, serta demi persatuandan kesatuan (stabilitas nasional) dan masih banyak stigma lainnya.6

Akibat yang ditimbulkan kemudian adalah terjadinya prosespemiskinan besar-besaran di pihak rakyat, baik pemiskinan ekonomi,politik, dan social budaya. Meningkatnya angka urbanisasi yang disertaipengangguran di seluruh pelosok wilayah Indonesia, berkembangbiaknya masyarakat miskin kota, semakin meningkatnya petani tanpatanah karena semakin langkanya lahan pertanian.7 Dalam kurun waktuyang tidak terlalu lama, akibat pergeseran akses sumberdaya alam,mayoritas rakyat Indonesia akan mengalami pemiskinan strukturalyang pada gilirannya rakyat tak berdaya sama sekali.

Bagaimana dengan kebijakan pemerintah SBY-Kalla? Marikita melihat kembali soal arah dan substansi kebijakan pemerintahsaat ini menurut RPJMN 2004-2009. Menurut RPJMN(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2004-2009Pemerintah, sasaran akhir dari revitalisasi pertanian adalah tingkatpertumbuhan sektor pertanian rata-rata 3,52 persen per tahundalam periode 2004-2009 dan meningkatnya pendapatan dankesejahteraan petani. Sasaran tersebut antara lain:

a). Meningkatnya kemampuan petani untuk dapatmenghasilkan komoditas yang berdaya saing tinggi

b).Terjaganya tingkat produksi beras dalam negeri dengantingkat ketersediaan minimal 90% dari kebutuhandomestic, untuk pengamanan kemandirian pangan

c). Diversifikasi produksi, ketersediaan dan konsumsi panganuntuk menurunkan ketergantungan pada beras

d).Meningkatnya ketersediaan pangan ternak dan ikan daridalam negeri

e). Meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap proteinhewani yang berasal dari ternak dan ikan

5 Boedhi Wijardjo dan Dadang Trisasongko, RUU Perkebunan: Melestarikan Eksploitasi danKetergantungan, Kesatuan Aksi untuk Hak-Hak Petani (KUHAP), RACA Institute, hal. 16

6 Boedhi Wijardjo dan Dadang Trisasongko, ibid, hal 16-177 KOMPAS, 9 April 2005

Page 98: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

156 157

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

f). Meningkatnya daya saing dan nilai tambah produkpertanian dan perikanan

g). Meningkatnya produksi dan ekspor hasil pertanian danperikanan

h).Meningkatnya kemampuan petani dan nelayan dalammengelola sumberdaya alam secara lestari danbertanggungjawab

i). Optimalnya nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayuj). Meningkatnya hasil hutan non kayu 30 % dari produksi

tahun 2004k). Bertambahnya hutan tanaman minimal seluas 5 juta hektar

dan penyelesaian penetapan kesatuan pemangkuan hutansebagai acuan pengelolaan hutan produksi.

Sementara di tingkat arah kebijakan, revitalisasi pertanianditempuh dengan empat langkah pokok, yaitu peningkatankemampuan petani dan penguatan lembaga pendukungnya,pengamanan ketahanan pangan, peningkatan produktifitas,produksi, daya saing dan nilai tambah produk pertanian danperikanan, serta pemanfaatan hutan untuk diversifikasi usaha danmendukung produksi pangan dengan tetap memperhatikankesetaraan gender dan kepentingan pembangunan berkelanjutan.

Kebijakan dalam peningkatan kemampuan petani dannelayan serta pelaku pertanian dan perikanan lain serta penguatanlembaga pendukungnya, diarahkan untuk:

a) Revitalisasi penyuluhan dan pendampingan petani,termasuk peternak, nelayan, dan pembudidaya ikan.

b) Menghidupkan dan memperkuat lembaga pertanian dipedesaan untuk meningkatkan akses petani dan nelayanterhadap sarana produktif, membangun delivery systemdukungan pemerintah untuk sector pertanian, danmeningkatkan skala penguasahaan yang dapat meningkat-kan posisi tawar petani dan nelayan.

c) Peningkatan kemampuan/kualitas SDM pertanian

Kebijakan dalam pengamanan ketahanan pangan diarahkanuntuk :

a). Mempertahankan tingkat produksi beras dalam negeridengan ketersediaan minimal 90% dari kebutuhandomestic, agar kemandirian pangan nasional dapatdiamankan

b).Meningkatkan ketersediaan pangan ternak dan ikan daridalam negeri. Kebijakan pengembangan peternakandiarahkan untuk meningkatkan populasi hewan danproduksi pangan hewani dari produksi dalam negeri agarketersediaan dan keamanan pangan hewani dapat lebihterjamin untuk mendukung peningkatan kualitas SDM

c). Melakukan diversifikasi pangan untuk menurunkanketergantungan pada beras dengan melakukan rekayasasocial terhadap pola konsumsi masyarakat melalui kerja samadengan industri pangan, untuk meningkatkan minat dankemudahan konsumsi pangan alternative.

Kebijakan dalam peningkatan produktifitas, produksi, dayasaing dan nilai tambah produk pertanian dan perikanan diarahkanuntuk:

a). Peningkatan pemanfaatan sumber daya perikanan dalammendukung ekonomi dan tetap menjaga kelestariannyamelalui: Penataan dan perbaikan lingkungan perikanan budi daya Penataan industri perikanan dan kegiatan ekonomimasyarakat di wilayah pesisir

Perbaikan dan peningkatan pengelolaan sumber dayaperikanan tangkap, terutama di wilayah ZEEI

Pengembangan perikanan samudra dan bioteknologiperikanan

Penigkatan peran aktif masyarakat dan swasta dalampengelolaan sumberdaya perikanan

Peningkatan kualitas pengolahan dan nilai tambah produk

Page 99: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

158 159

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

perikanan melalui pengembangan teknologi pascatangkap/panen

Percepatan peningkatan produk perikanan budidaya Peningkatan kemampuan SDM, penyuluh danpendamping perikanan

Penguatan sistem kelembagaan, koordinasi, danpengembangan peraturan perundangan sebagaiinstrument penting untuk mempertegas pengelolaansumberdaya perikanan yang ada.

b).Pengembangan usaha pertanian dengan pendekatankewilayahan terpadu dengan konsep pengembanganagrobisnis. Pendekatan ini akan meningkatkan kelayakandalam pengembangan/skala ekonomi, sehingga akan lebihmeningkatkan efisiensi dan nilai tambah serta mendukungpembangunan pedesaan dan perekonomian daerah.

c). Penyusunan langkah-langkah untuk meningkatkan dayasaing produk pertanian dan perikanan, misalnya dorongandan insentif untuk peningkatan pasca panen dan pengolahanhasil pertanian dan perikanan, peningkatan standar mutukomoditas pertanian dan keamanan pangan, melindungipetani dan nelayan dari persaingan tidak sehat.

d).Penguatan sistem pemasaran dan manajemen usaha untukmengelola resiko usaha pertanian serta untuk mendukungpengembangan agroindustri.Selain RPJMN 2004-2009, Presiden juga mencanangkan

konsep revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan pada 11Juni 2005 di Jawa Barat. Menimbang kedua konsep diatasmemang secara konsep Pemerintah telah cukup responsif dan biladilaksanakan secara konsisten diharapkan dapat memperbaiki danmencerahkan masa depan pertanian bahkan menggerakkan rodaperekonomian keseluruhan. Tetapi sejauh mana pelaksanaankonsep itu dilaksanakan?

Balada PertanianIndonesia adalah negara agraris. Namun sebutan tersebut

berlawanan dengan kenyataan yang ada sampai dengan saat ini.Pertanian sebagai sektor yang menyokong sebutan bumi agraris,masih terhalang beragam persoalan. Misalnya kesejahteraan petaniyang terus melorot, kran impor produk pertanian yang terusmembanjir, lahan pertanian yang tergusur, pupuk yang langkadan mahal di pasar, dan banyak lagi. Pendek kata inilah paradoksagraris bumi nusantara.

Data berikut mungkin bisa menunjukkan paradoks itu.Pada puncak krisis ekonomi 1998-1999, penduduk miskin In-donesia mencapai sekitar 24% dari jumlah penduduk, atauhampir 40 juta orang. Pada 2002, angka tersebut sudah turunmenjadi 18%, dan menjadi 14 % pada tahun 2004. Dalamsebuah kesempatan, Menteri Pertanian KIB, AntonApriyantono menyebutkan bahwa sektor pertanian nasionalmengalami sebuah dilema. Di satu sisi memerlukanpeningkatan produksi pertanian khususnya bahan panganuntuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk yangberkisar 1,6% per tahun, tetapi di sisi lain, pesatnyapertumbuhan penduduk tersebut secara langsung berpengaruhterhadap meningkatnya kebutuhan lahan untuk pemukimanatau perumahan. Hasilnya lahan pertanian makin tersudut,luruh, digantikan batu dan beton8.

Merujuk pada data BPS pada 2003, tercatat luas lahan sawahyang sudah beralih fungsi mencapai 676.014 hektar. Berarti sudahmendekati 8% dari luas baku lahan sawah dengan distribusidaerah terkonversi terluas meliputi Jawa Timur 77.638 ha, danKalimantan Barat 49.125 ha. Padahal pada kurun 1983-1993,alih fungsi lahan sawah berkisar 400 ribu ha.9

Angka-angka tersebut tidak bisa dilirik sebelah mata. Di balikderetan angka tersebut, terdapat ancaman terhadap ketahanan

8 Swara otonomi Tahun II-No.14, Februari 2003

Page 100: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

160 161

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

pangan nasional dan kerusakan lingkungan. Dan faktanya,beragam aturan yang diluncurkan untuk menangkal konversilahan, ambruk dalam pelaksanaan. Gejala penyudutan sektorpertanian sebenarnya bukan barang baru. Riwayatnya bisaditelusuri ke belakang. Masih menurut Anton Apriyantono, padajaman orde baru, sektor pertanian hanya diposisikan sebagaipendukung sektor lain. Akhirnya terjadilah bias kebijakan. Sebagaicontoh kebijakan produk pertanian murah dan pembatasan eksporproduk pertanian, tak pelak lagi membuat petani mati kutu.

Alhasil Product Domestic Bruto (PDB) pertanian merosotmenjadi 17% pada tahun 2000-an, dari 60% pada 1960-an.10

Penurunan PDB ini juga menjalar pada menurunnya lapangankerja pertanian dalam persentase yang sama. Tetapi di sisi lainmemang mesti diakui, tidak ada satu Negara pun dapat mencapaifase perekonomian maju tanpa diawali fase tinggal landas sektorpertanian.11 Lantas mesti diamini juga bahwa tidak ada satuNegara pun dapat mencapai kemakmuran ekonomi jika masihdidominasi pertanian (budi daya). Kemakmuran rakyat hanyadapat terwujud bila kita berhasil mengelola transformasi strukturekonomi dari agraris ke industri, jasa, dan informasi.

Seiring dengan banyaknya rumah tangga di Indonesia,jumlah Rumah Tangga Pertanian (RTP) berdasarkan hasil sen-sus pertanian 2003 naik, dari 20,8 juta RTP pada 1993 menjadi25,6 juta RTP pada 2003. Rata-rata pertambahan, 2,10 % pertahun. Sementara jumlah petani gurem, yang mengelola lahanusaha kurang dari 0,5 ha per kepala keluarga, pada 1993mencapai 10,8 juta RTP dan pada 2004 sebesar 13,7 juta RTP.Dari jumlah tersebut, Pulau Jawa mendominasi jumlah petaniguram sebanyak 69,8% pada 1993 dan 74,9% pada 2004.Sisanya adalah di luar Jawa.12

Sementara itu, penduduk yang bekerja di sektor pertaniansebanyak 39,75 juta. Komposisinya berdasarkan tingkatpendidikan, tidak tamat SD 35,71%, tamat SD 45,54%, tamatSMP 13,08%, tamat SMA 9,5%, tamat D1-D3 0,13 % dansarjana 0,17%.13 Data ini mengungkapkan betapa sektorpertanian nasional lebih banyak dikelola oleh para petani guremdan berpendidikan rendah. Dalam bahasa yang senada, dari YLKImenyebutkan ada tiga jenis persoalan yang membuat petanimiskin, yaitu miskin pengetahuan, materi, dan akses.

Dominasi Pulau Jawa juga merambah pada produksi pangannasional. Pulau Jawa memberikan kontribusi bagi produksi padisebanyak 56%, jagung 60%, kedelai 70%, daging sapi 62%,daging ayam 70%, telur ayam 50%, susu 90% dan tebu 67%.14

Besarnya alih fungsi lahan di pulau Jawa membahayakanketahanan pangan nasional, sehingga perlu pembukaan arealpertanian di luar Jawa untuk mengatasi bahaya tersebut.

Melongok profil pertanian, tidak bisa dilepaskan juga dariketersediaan infrastruktur pertanian yang mendukung prosesproduksi. Beberapa infrastruktur yang mesti tersedia, di luar lahansawah, antara lain air, jalan pertanian, gudang pertanian, kiossarana produksi, pasar pertanian, lumbung desa pertanian, danrumah potong hewan. Selain itu tak bisa dilupakan ketersediaanjalan desa, prasarana telekomunikasi, dan pelabuhan. Datamenyebutkan, untuk jaringan irigasi telah dibangun seluas 5,7juta ha. Sekitar 1,5 juta ha dari jumlah itu mengalami kerusakan.Sementara jumlah kelembagaan petani Pemakai Air Irigasi (P3A)tercatat ada 43 ribu unit P3A yang telah terbentuk di seluruhIndonesia, namun baru 20% yang masuk kategori sudahberkembang. Untuk infrastruktur lain pun masih mengalamipersoalan, seperti jalan yang rusak, gudang pertanian yang tidakrepresentatif, pasar pertanian yang minim fasilitas dan sebagainya.

9 Media Indonesia, 22 Desember 200410 op. cit.11 Sri Hartati Samhadi, op. cit, KOMPAS, 16 Agustus 200212 Media Indonesia, ibid

13 ibid14 ibid

Page 101: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

162 163

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Kondisi pertanian yang masih lesu itu masih ditambahdengan membanjirnya impor dan komoditas baik yang secaralegal maupun ilegal masuk ke Indonesia. Salah satu yang bisadicermati adalah laporan dari para pedagang beras yangmengungkapkan ada sekitar 30-40 ribu beras illegal yang masukke Indonesia setiap bulannya. Beras-beras ilegal tersebut masukmelalui perbatasan seperti di Tanjung Balai Asahan, JanjungBalai Karimun, Batam.

Berdasarkan analisa impor produk pertanian, diketahuibahwa pada pasca krisis saat ini (2000-2003) volume impormencapai 13,0 juta ton per tahun. Hal ini berarti lebih tinggidibanding pada masa krisis (1998-1999) bahkan pada masasebelum krisis. Pada masa sebelum krisis (1995-1997) volumeimpor rata-rata 10,9 juta ton per tahun, dan di masa krisis (1998-1999) sebesar 12,4 juta ton per tahun.15

Masalah sulitnya membangun pertanian di negeri ini jugadiwarnai dengan berjibakunya pemerintah untuk memodifikasimekanisme pembiayaan sektor pertanian. Sejarah merekam, pada1960 diluncurkan program kredit BIMAS. Total dana yangdisediakan untuk subsidi selama kurun 1967-1970 hinggamusim tanam 1984-1985 mencapai 636,7 miliar. Di akhir, danayang tak dikembalikan mencapi Rp 20 miliar. Kemudianberjalan pola kredit usaha tani (KUT) sejak 1985. Realisasipenyaluran dana sebesar Rp 272,5 miliar per tahun. Al hasil,pada periode 1999-2000, total kredit macet KUT mencapai84,4% dari total dana tersalur, yaitu 1,2 triliun. Dengandemikian selama KUT disalurkan total kredit macet sebesar 7,7triliun.16 Selain dua pola tersebut, pernah diluncurkan jugakredit ketahanan pangan (KKP) dan skim kredit agrobisnis (SKA)yang masih berjalan hingga hari ini.

Dari berbagai hal yang sudah diungkapkan di atas, dicatatlangkah-langkah politik pertanian yang mesti dirintis oleh

pemerintah, yaitu usaha berswasembada, menjadi eksportirpangan, perluasan areal pertanian, perluasan areal pengusahaan(KK petani), pengurangan jumlah petani, peningkatan kualitasproduk, diversifikasi pangan, pengembangan industri pertaniandan membuat desa menjadi unit ekonomi yang kuat.

Demikian semrawutnya dan ketiadaan visi jangka panjangpemerintah terhadap pembangunan ekonomi negara ini membuatpertanian kemudian terpuruk dan peran sektor pertanian dalamperekonomian tak lebih dari sekedar pengganjal atau pelengkapbagi sektor lain17. Sehingga tidak heran dalam satu dekade terakhir,sebagian besar pertanian mengalami kemerosotan kinerja danpetaninya mengalami pemiskinan secara dramatis. Sementaraketergantungan pada impor pangan dan produk pertanian lainmeningkat tajam. Bahkan Indonesia sempat menjadi penerimabantuan pangan terbesar dunia pada masa krisis. Sebuah kondisiyang sangat ironis ketika dibandingkan dengan Indonesia padatahun 1980-an yang sempat menjadi negara swasembada berasdan pemberi bantuan pangan untuk negara lainnya.

Kebijakan di sektor pertanian semakin tidak konsisten dantidak berkelanjutan, bahkan tidak mempunyai dampak yangsignifikan terhadap kesejahteraan petani yang sebagian besarhidup di desa. Mulai tahun 1984 kebijakan pembangunanekonomi meninggalkan sektor pertanian, dengan memacupertumbuhan industri pengolahan, yang penuh ketergantunganpada impor. Kebijakan baru ini ditopang pula oleh kebijakanpembangunan yang bias perkotaan (urban bias development),termasuk kebijakan perdagangan dan nilai tukar yang sangatmelindungi sektor industri. Alokasi anggaran untuk sektorpertanian menurun drastis. Pembangunan infrastrukturpedesaan dan di luar Jawa diabaikan demi memacupembangunan infrastruktur perkotaan dan di Jawa.Pembangunan pertanian sendiri mulai dilepas untuk didominasi

15 ibid16 ibid 17 Sri Hartati Samhadi, “Sektor Pertanian Dianaktirikan“, KOMPAS, 16 Agustus 2002.

Page 102: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

164 165

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

oleh perusahaan besar terutama di bidang perkebunan,peternakan dan perikanan, dimana pembangunan pertanianharus melibatkan rakyat berupa PIR dengan ketentuan 60%areal dimiliki oleh plasma. Pada paket deregulasi tahun 1990-an areal menjadi 100% bisa dimiliki dan dikuasai olehperusahaan besar dan malah boleh 100 % modal asing.Kebijakan ini keliru, karena memarjinalisasi hak masyarakat danmenumbuhkan “enclave” kemakmuran warga perusahaan ditengah kemiskinan masyarakat pedesaan.

Di lain pihak, 5 perusahaan perkebunan swasta besarmenguasai lebih dari satu juta hetar lahan perkebunan. Semuanilai tambah jatuh pada perusahaan besar di Jakarta, sedangkanmasyarakat lainnya di daerah hanya menerima UMR danpemerintah daerah menerima PBB yang sangat rendah. Kebijakanini merupakan kesalahan strategi pembangunan, yang harusdiubah dengan memberikan penguasaan dan pengelolaansumberdaya domestik pada petani dan masyarakat pedesaan secaraberkeadilan. Pertumbuhan pertanian mulai menurun yangmencapai puncaknya ketika impor beras menjadi 6 juta ton tahun1998 (25% beras yang ada di pasar dunia) terbesar dalam sejarah.

Dalam krisis ekonomi 1997-1999 pertumbuhan sektorpertanian masih positif dimana ekonomi nasional terjadi kontraksiyang cukup besar. Sektor pertanian dan pedesaan menjadipenyelamat kesempatan kerja dampak krisis ekonomi, disertaidengan menurunnya produktivitas tenaga kerja dan kembalimembengkaknya kemiskinan pedesaan menjadi 27% tahun 1998.Kontribusi sektor pertanian pada pendapatan devisa meningkatdengan drastis. Krisis ekonomi menyadarkan akan berbagaikekeliruan pembangunan ekonomi nasional setelah tahun 1984.Ekonomi nasional harus dibangun dengan memanfaatkan secaraoptimal sumberdaya domestik (sumberdaya alam dan tenaga kerja)secara berkeadilan. Pembangunan tersebut harus melibatkan secaraaktif masyarakat dalam perekonomian (“ekonomi kerakyatan”)disertai desentralisasi manajemen pembangunan.

Sejak 1970-an pemerintah telah menjalankan proyekswasembada beras dengan kerangka Revolusi Hijau, termasukmenggelar proyek lahan sejuta gambut di Kalimantan untukmendukung swasembada beras itu. Tetapi proyek ini menderitakegagalan, terbukti beberapa tahun terakhir Indonesia melakukanimpor beras dari negeri-negeri lain. Banyak orang sedih, begituironisnya Indonesia, sebuah negeri agraris yang besar tetapimelakukan impor beras. Pada skala mikro, para petani kecil hanyamampu hidup secara subsisten, yang menggunakan hasil-hasilpertanian hanya cukup (bahkan cenderung kurang) untukmenghidupi kebutuhan sehari-hari. Setiap hari kita mendengarjeritan petani tentang gagal panen, menurunnya harga gabah,serta meningkatnya harga bibit dan pupuk. Output yangdihasilkan sering tidak sepadan dengan input yang dibelanjakan.Para petani di sektor lain (tembakau, jeruk, apel, kakao, cengkeh,lada, mangga, dan lain-lain) selalu tidak berdaya bila bernegosiasiharga dengan para cukong pemilik modal. Cindelaras (sebuahNGO di Yogyakarta yang concern pada pemberdayaan petani didesa), misalnya, pernah menemukan data penelitian bahwa parapetani di desa tidak mampu menghadapi laju konsumsi yang jauhlebih cepat-besar ketimbang kemampuan produksi mereka.Banyak petani terpaksa menjual alat-alat produksi (sawah,pekarangan dan ternak piaraan) untuk membayar konsumsi(misalnya sekolah dan kesehatan) yang harganya melambungtinggi karena terjadi komersialisasi.

Di sektor pertanian betul-betul terjadi destruksi baik darisisi sumber daya, sistem produksi, dan sistem pemasaran (GatotIrianto, 2004). Degradasi sumber daya tanah, air, dan iklim akibatpenghancuran dan pembabatan hutan serta buruknyaimplementasi rencana tata ruang oleh pemodal kuat dan pejabatdengan argumen devisa adalah ilustrasi konkret terjadinyadestruksi sumber daya. Degradasi sumber daya yangberkepanjangan menyebabkan investasi dan teknologi yangdiimplementasikan dalam sistem produksi, seperti peningkatan

Page 103: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

166 167

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

mutu intensifikasi (PMI), introduksi padi tipe baru, crops live-stock (CLS), belum dapat meningkatkan produksi pertaniannasional secara signifikan karena peningkatan itu baru proporsionaluntuk mengompensasi dampak degradasi sumber daya.

Degradasi sistem produksi antara lain hadir dalam bentuk:(1) lemahnya sistem dan mekanisme pengawasan distribusi saranapertanian, (2) tidak fokusnya perencanaan sumber daya manusiapertanian (3) menurunnya luas garapan dan meningkatnya jumlahpetani, dan (4) dicabutnya fasilitas kredit dan subsidimenyebabkan posisi sektor pertanian terus terpuruk. Kelangkaanpupuk yang terus berulang terutama saat awal tanam dengandurasi, frekuensi, dan distribusi yang terus meluas merupakanbukti-bukti konkret bahwa barisan oknum produsen pupuk dandistributor secara sistematis tega dan sengaja memanfaatkanketerbatasan serta ketidakberdayaan petani untuk mengerukkepentingan pribadi.

Kualitas sumber daya manusia pertanian yang tidak mampumengantisipasi tantangan sistem produksi yang semakin meningkatmenyebabkan nisbah pendapatan bersih (net benefit ratio) sistemproduksi pertanian terus melemah. Dampaknya, generasi mudaberpendidikan kurang tertarik memasuki pasar tenaga kerja sektorpertanian. Sebaliknya, tenaga kerja dengan pendidikan terbatas danketerampilan rendah dengan daya saing rendah terus membanjirisektor pertanian, sampai melebihi kapasi-tas tampungnya.Implikasinya, luas pemilikan lahan dan garapan per kepala keluargamenurun sehingga secara ekonomis efisiensi budidaya terus merosotdan pendapatan petani sangat sulit ditingkatkan.

Pemiskinan petani diakselerasi dengan program ketahananpangan nasional yang mewajibkan petani untuk mengusahakanpadi tanpa jaminan harga yang memadai. Berbeda kondisinyadengan negara-negara maju di Eropa, seperti Perancis, Spanyol,dan Jerman. Luas garapan rata-rata untuk lahan terus meningkat,bahkan untuk tanaman pangan dapat mencapai 600 hektar,dengan jumlah petani terus menurun karena lapangan kerja

nonpertanian berkembang seiring dengan pertumbuhan lapangankerja. Perubahan ini memungkinkan terjadinya percepatan secaraalamiah dalam mekanisasi pertanian dan adopsi teknologi majuuntuk meningkatkan efisiensi sistem produksi. Keunggulankomparatif dan kompetitif petani di negara maju didukungsubsidi harga komoditas, bahan bakar, dan sarana pertanian sertaproteksi impor komoditas sejenis atau komplementernya.Sementara pemerintah Indonesia atas perintah IMF, CGI, ADB,World Bank, terpaksa harus mencabut berbagai subsidi danfasilitas kredit yang telah diberikan pemerintah selama ini denganargumen antisipasi perdagangan bebas.

Di sektor pemasaran, Departemen Perindustrian danPerdagangan melakukan diskriminasi secara sistemis terhadapsektor pertanian. Padahal, secara faktual petani Indonesia dengankeragaman iklim menurut ruang dan waktu dapat memproduksiapa saja, kapan saja, serta berapa saja untuk pemenuhan keperluandalam negeri maupun ekspor. Nilai tambah sektor pertaniandalam mendukung perekonomian nasional dan menghasilkandevisa seolah ditenggelamkan begitu saja dan dipandang sebelahmata dibandingkan dengan komoditas tekstil dan elektronik yangpadat modal dan teknologi.

Komitmen politik pemerintah melindungi komoditasstrategis yang diproduksi di dalam negeri terlihat sangat payah.Maraknya penyelundupan komoditas strategis seperti gula danberas merupakan bukti-bukti konkret yang tidak terbantahkan.Menyedihkan lagi, pejabat terkait seperti bea dan cukai, kepolisian,dan Deperindag menganggap penyelundupan merupakanpersoalan biasa. Memalukan memang, tetapi itulah faktanya.Pemerintah juga tidak mampu menyediakan pasar komoditasbuah-buahan yang secara teoretis daya saingnya tinggi dan pangsapasarnya terbuka. Arus barang dan jasa perdagangan sektorpertanian yang terus dihancurkan ini menyebabkan nilai tukarkomoditas pertanian semakin terpuruk dibandingkan denganharga kebutuhan sehari-hari.

Page 104: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

168 169

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Menuju PembaharuanTidak dapat disangkal bahwa struktur perencanaan bidang

pertanian di Indonesia ini masih tersekat-sekat. Pertanian masihdikategorikan terpisah dengan peternakan, perikanan,perkebunan, dst. Bahkan pertanian hanya dijadikan salah satusektor saja. Defenisi pertanian masih diartikan sebagaipersawahan/perladangan saja (pertanian dalam arti sempit).Pendekatan pembangunan yang digunakan masih parsial, tidakterintegrasi, simultan, komprehensif dan belum terarah denganmodel pendekatan yang mampu merekatkan semua bidang terkaitke dalam suatu strategi pembangunan yang utuh dan menyeluruh.

Dalam aspek mikro masih terdapat berbagai kelemahandan hambatan yang berarti yang harus disesuaikan dandiperbaiki agar tujuan pembangunan dapat tercapai denganbaik. Disadari atau tidak, paradigma pembangunan di masa lalutelah menyebabkan struktur perencanaan yang tidak terpadudan struktur ini justru memperlemah daya saing pertanian18.

Misalnya pada sektor peternakan, sektor yang tersekat-sekatini dicirikan oleh penguasaan subsistem agribisnis hulu-budidaya-hilir oleh pelaku yang berbeda-beda, bertindak sendiri-sendiri, tidak ada kaitan organisasi fungsional di antara ketigasubsistem agribisnis, adanya asosiasi pengusaha di hulu (GPMT,GPPUI, ASOHI, dll) dan di hilir (ASPIDI, AFINDO, dll) yangcenderung berfungsi sebagai kartel. Tipe agribisnis peternakanyang tersekat-sekat ini makin diperparah oleh pengelolaandepartemen teknis dan non teknis yang cenderung ego sektoral,sehingga konsistensi kebijaksanaan antara departemen yangmenangani agribisnis berbasis peternakan (departemenPertanian, Departemen Perindustrian dan Perdagangan,Departemen Transmigrasi dan Pemukinan Perambah Hutan,Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil) padakenyataannya sulit diwujudkan. Struktur agribisnis peternakan

yang tersekat-sekat ini menciptakan persoalan margin ganda danmasalah transmisi harga dalam berbagai bentuknya, yang sangatmemperlemah daya saing agribisnis peternakan itu sendiri, yangsecara tidak langsung berakibat pada petani19.

Bagaimana dengan nasib petani dengan modelpembangunan yang tidak terintegratif seperti yang disebutkandi atas? Pola dan struktur kelembagaan ekonomi dan sosial petanisepertinya belum mampu memberikan perbaikan dan peningkatanpendapatan rakyat kecil secara berarti di wilayah pedesaandibanding perusahaan swasta. Petani akan selalu menerimapendapatan yang relatif kecil dan kehidupan ekonominya jugatidak mengalami perubahan yang cukup berarti.20

Padahal lingkungan ekonomi baik eksternal maupun inter-nal yang dihadapi oleh pertanian dalam arti luas ini mengalamiperubahan dan pergeseran yang mendasar dan menyeluruh.Perekonomian dunia yang mengarah kepada liberalisasiperdagangan, globalisasi ekonomi, dan industrialisasi peternakanmembawa konsekuensi menyatunya pasar produk peternakan,mobilitas sumberdaya peternakan antara Negara dan antar kawasanekonomi dan meningkatnya intensitas dan cakupan kompetisi.Berbagai perkembangan domestik membawa implikasi padapeningkatan tuntutan akan jumlah, kualitas, keragaman, danatribut kesehatan produk pertanian, peternakan dan perikanan.Dalam lingkungan dan iklim seperti ini maka yang menjadi katakunci untuk memanfaatkan peluang adalah peningkatan dayasaing global. Dan untuk mencapai daya saing global ini,pendekatan pembangunan dengan paradigma lama perludikembangkan dan disesuaikan dengan kompleksitas persoalaneksternal kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembangunanagribisnis berbasis pertanian, peternakan dan perikanan akan dapatbertahan (survive) dan berkembang bila dilakukan perubahan yangsistematis dan integratif dalam paradigma pembangunannya.

18 Bungaran Saragih, op.cit., hal. 3.

19 ibid.20 Bandingkan Samsul Hadi, Pengambilalihan Tanah pada Era Otonomi Daerah, Swara OtonomiTahun III-No.23 Februari 2004.

Page 105: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

170 171

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Oleh karena itu agar dapat bersaing secara global, diperlukankerja sama tim yang harmonis. Untuk membangun kerja samatim yang harmonis selain memerlukan ketrampilan kerja (on-jobskill) juga diperlukan wawasan yang luas tentang perilakuagribisnis berbasis pertanian, peternakan dan perikanan baik aspekmikro, makro maupun global (micro-macro-global behaviour).21

Bila pembangunan dengan berbagai pendekatan ini dapatdiwujudkan maka sebagai bangsa kita dapat bersaing secara glo-bal pada era globalisasi ekonomi. Setiap perubahan lingkunganekonomi akan direspon secara cepat mulai dari hulu hingga hilir.Dan yang paling penting adalah setiap pertumbuhan ekonomiyang relatif cepat di wilayah perkotaan atau di negara-negara maju,akan meningkatkan permintaan pada produk. Peningkatanpermintaan ini akan menarik perkembangan berbagai sektor inihingga ke hulu. Hanya dengan itu manfaat ekonomi yang adaakan dapat dinikmati oleh petani di pedesaan.

Itu berarti aktor terdepan adalah pelaku yang berada diwilayah administratif kabupaten dan kota. Petani yang ada didaerah tersebut merupakan pelaku yang secara langsungberhadapan dengan era perdagangan bebas. Oleh sebab itu, pemdakabupaten/kota memiliki tanggungjawab yang besar dalammempersiapkan sektor-sektor ini menghadapai era perdaganganbebas. Keseriusan pemda kabupaten/kota dalam mempromosikansektor-sektor ini agar memiliki daya saing, akan sangat menentukansejauh mana peluang pasar yang ada dapat dimanfaatkan olehagribsinis berbasis pertanian, peternakan dan perikanan.

Kenyataan bahwa produk berbagai sektor ini sangatberkembang menjadi suatu agribisnis yang melampaui batas-bataswilayah administratif, memerlukan koordinasi dan kesamaan visiantara pemda kota dengan pemda Kabupaten. Secara tradisional,subsistem agribisnis hilir berkembang di wilayah perkotaan (kota),sementara subsistem agribisnis hulu berkembang di wilayahpedesaan (wilayah kabupaten).

Sekali lagi untuk mengembangkan suatu agribisnis yangberdaya saing, diperlukan pengelolaan yang integratif.Subsistem agribisnis hulu dan budidaya yang umumnya beradadi wilayah pedesaan (kabupaten) hanya mungkin berkembangpesat bila ditarik oleh subsistem agribisnis hilir yang beradadi wilayah perkotaan. Demikian juga sebaliknya, subsistemagribisnis hilir di wilayah perkotaan akan mampu berkembangdan berdaya saing bila didukung oleh subsistem budidaya danagribisnis hulu. Dengan perkataan lain, agribisnis yang berbasispertanian, peternakan, dan perikanan yang berkembangmelampaui batas wilayah administratif pemerintahan,menuntut koordinasi dan kesamaan visi dari organisasipemerintahan yang terlibat di dalamnya.

Tetapi selain menuntut pengelolaan yang integratif, bentukketerlibatan Negara dalam hal ini, Pemda Kabupaten/Kota, dalamsektor-sektor ini perlu disesuaikan dengan perkembangan yangada. Dengan berlangsungnya liberalisasi ekonomi, bentuk-bentuksubsidi layanan inseminasi buatan dan kesehatan produk secarabertahap perlu dihapus atau diminimumkan, denganmenumbuhkembangkan kemampuan swadaya dalam agribisnisberbasis ketiga sektor tersebut. Demikian juga retribusi ataubentuk pungutan lainnya, perlu dihilangkan. Karenanya peranPemda saat ini adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi upayapembenahan diri agar siap menghadapi era perdagangan bebas.

Bantuan pemerintah ke depan lebih ditujukan petani danusaha kecil yang masih tertinggal dan belum mampu berkembangdengan kemampuan sendiri. Untuk mempercepat moderenisasiekonomi petani dan usaha kecil, Pemda perlu mendampingi danmenguatkan mereka dengan mendorong pengembangan kapasitasekonomi rakyat/petani baik dengan aliansi strategis, maupunusaha patungan dengan BUMD dan swasta. Apalagi sekarangdengan adanya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang PemerintahanDaerah, kepada desa juga diberikan kesempatan untuk melakukankerja sama dengan desa atau daerah lainnya serta peluang untuk

21 Bungaran Saragih, op. cit., hal. 67.

Page 106: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

172 173

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

membuka BUMDes. Dengan itu pendapatan penduduk dapatditingkatkan di satu sisi dan dapat pula mendiversifikasikankomoditas dan produk pangan di pihak lain

Oleh karena itu, di masa yang akan datang, kita perlumengembangkan konsep swasembada pangan untuk mengurangitekanan terhadap beras yang selama ini kita andalkan karenabelum terintegrasinya program berbagai sektor yang sebenarnyasaling mendukung dan memiliki keterkaitan yang erat. Kalau dimasa lalu, perhatian kita termasuk Pemda Kabupaten/Kota masihdiutamakan pada komoditas beras. Sebagian besar sumberdayapemda dialokasikan pada komoditas beras, dalam mencapaiswasembda beras. Pengalaman menunjukkan bahwa mem-pertahankan swasembada beras sebagai cara mencapai swasembadapangan, ternyata sangat sulit dan membutuhkan korbanan yangbesar.22

Revitalisasi PertanianMelalui RPJMN pemerintah tengah mempromosikan

revitalisasi pertanian, dibawah rubrik Revitalisasi Pertanian,Perikanan, dan Kehutanan untuk lima tahun ke depan. RPPKmerupakan program menyeluruh untuk memberdayakankehidupan ekonomi petani dan masyarakat desa, dengan tujuanmengurangi kemiskinan dan pengangguran serta meningkatkanpertumbuhan pertanian rata-rata 3,5 persen per tahun.Pemberdayaan petani dan masyarakat desa itu akan dilakukanmelalui sejumlah langkah dan kebijakan, di antaranya mulai daripembangunan infrastruktur pedesaan dan infrastruktur dasarseperti pembangunan dam, saluran irigasi, jembatan, kelistrikanserta pencanangan kebijakan umum pertanahan dan tata ruangpertanian, pengembangan agribisnis, kebijakan ketahanan panganhingga kemungkinan pemberian insentif bagi industri pertaniandan perdagangan. Dalam rangkaian revitalisasi pertanian,

pemerintah mencanangkan sejumlah kebijakan umum pertanahandan tata ruang pertanian, Agustus 2005. “Kita ketahui, tata ruangpertanian semakin sedikit, apalagi di Jawa karena lahannya banyakdijadikan perumahan, industri, dan lainnya. Kita harap, tahun2025 kita akan mempunyai 15 juta hektar tanah pertanian abadi,”demikian ungkap Menko Perekonomian (Kompas, 13 Mei 2005).

Agenda revitalisasi pertanian sebenarnya meneruskan agendayang sudah berjalan sebelumnya, terutama ketahanan pangan danpengembangan agribisnis. Dalam rangka memacu pertumbuhandi sektor pertanian, pengembangan agribisnis (termasukagroindustri) menjadi salah satu kegiatan unggulan (a leadingsector) pembangunan ekonomi nasional dalam berbagai aspek yangluas (Bungaran Saragih, 2002). Agribisnis diyakini pendukungnyasebagai baru melihat sektor pertanian, sebab selama Orde Barudapat dikatakan bahwa pertanian dipandang secara sangat sempit;semata-mata hanya melihat sub sistem produksi atau usahataninyasaja. Cara pandang yang lama ini telah berimplikasi yang kurangmenguntungkan bagi pembangunan pertanian (dan pedesaan)yakni: pertanian dan pedesaan hanya sebagai sumber produksiprimer yang berasal dari tumbuhan dan hewan tanpa menyadaripotensi bisnis yang sangat besar yang berbasis (derived) produk-produk primer tersebut.

Agribisnis adalah pertanian yang memiliki organisasi danmanajemen secara rasional, dirancang untuk mendapatkan nilaitambah komersial yang maksimal dengan menghasilkan barangdan jasa yang diminta pasar. Oleh karena itu dalam agribisnis,proses transformasi material yang diselenggarakan tidak terbatashanya pada budidaya proses biologik dari biota (tanaman, ternakdan ikan) tetapi juga proses pra usaha tani, pasca panen,pengolahan dan niaga secara struktural diperlukan untuk posisitawar (bargaining) di pasar.

Dalam perekonomian Indonesia, agribisnis secara empirikmempunyai peranan yang sangat penting sehingga mempunyainilai strategis. Hal ini disebabkan karena: 1) Mayoritas rumah

22 Bungaran Saragih, ibid. 67.

Page 107: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

174 175

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

tangga penduduk dan angkatan kerja mengusahakan agribisnis(75 %) bekerja di bidang agribisnis, 2) Agribisnis menyumbangpendapatan nasional terbesar yaitu sebesar 60–70%, 3)Kandungan impor dalam agribisnis rendah, 4) Agribisnis sebagaisalah satu sumber devisa, karena sebagian besar devisa non migasberasal dari agribisnis, 5) Kegiatan agribisnis bersifat lebih ramahterhadap lingkungan, 6) Agribisnis off-farm merupakan industriyang lebih mudah diakses oleh petani dalam rangka transformasistruktural, 7) Agribisnis merupakan kegiatan usaha penghasilmakanan pokok dan kebutuhan pokok lainnya, 8) Agribisnisbersifat labor intensive, 9). Agribisnis mempunyai efek multiplieryang tinggi, 10) Agribisnis bertumpu pada sumber daya yangdapat diperbaharui. Di samping itu, agribisnis merupakantumpuan utama dalam pemulihan ekonomi dari krisis ekonomiyang berkepanjangan.

Buku ini tidak menyangkal kebenaran dan sumbanganberharga revitalisasi pertanian (ketahanan pangan danpengembangan agribisnis). Tetapi buku ini dan juga banyakkalangan telah menyampaikan sejumlah catatan kritis terhadapagenda revitalisasi pertanian. “Revitalisasi pertanian tanpakeberpihakan kepada petani hanya akan menjadi utopia dan jar-gon yang menggantung tinggi di langit”, demikian ungkappengamat pertanian, Toto Subandriyo (Kompas, 10 Juni 2005).

Sebagian kalangan mengatakan bahwa agenda revitalisasipertanian memunculkan harapan baru bagi dunia pertanian yangselama ini tidak memperoleh perhatian serius dari pemerintah.Naik Sinukaban (2005), misalnya, menaruh harapan sekaligusmemberikan usulan agar revitalisasi pertanian menjadi lebihbermakna. Pertama, revitalisasi pertanian harus didasarkan padakonsep penggunaan sumber daya secara berkelanjutan (sustain-able agriculture development) sehingga sumber daya tersebut dapatdigunakan oleh manusia untuk kehidupannya secara terus-menerus. Revitalisasi pertanian harus dapat menciptakan kondisipertanian yang mampu mewujudkan tiga indikator pem-

bangunan berkelanjutan secara simultan, yaitu pendapatan yanglayak bagi setiap petani (petani tanaman, petani ikan, petaniternak, buruh tani/pekerja di daerah pertanian), agroteknologiyang diterapkan tidak menimbulkan kerusakan sumber daya(degradasi), serta dapat diterima (acceptable) dan dikembangkan(replicable) oleh petani dengan pengetahuan dan sumber dayalokal yang mereka miliki. Ketiga indikator pembangunanberkelanjutan itu harus dapat diwujudkan secara simultan danakuntabel dalam perencanaan revitalisasi pertanian. Kedua,dalam revitalisasi pertanian harus ada perubahan/pembaruanmendasar, kalau bukan membalik arus pembangunan darimengutamakan target nasional menjadi mengutamakankepentingan petani dan kelestarian penggunaan sumber dayaalam. Dalam mengutamakan kepentingan petani, harus adaprogram yang jelas untuk meningkatkan produktivitas melaluipemilihan dan penanaman komoditas yang sesuai/cocok denganfaktor biofisik daerah. Dengan demikian komoditas yangdikembangkan adalah komoditas yang unggul dan cocok di suatudaerah (site specific) dan laku di pasar, baik pasar lokal, nasional,maupun regional/internasional.

Tetapi di bali harapan itu, banyak juga kalangan yang masihbertanya besar dan menyampaikan kritik pada agenda itu. HarianKompas (17 Mei 2005), misalnya, menegaskan bahwa revitalisasipertanian tidak akan bisa berjalan apabila hanya menjadi pekerjaanDepartemen Pertanian, apalagi jika diwujudkan dalam bentukproyek-proyek semata. Pengamat pertanian, Bustanul Arifin(2005a), misalnya, menunjukkan setidaknya tiga kendala dalamagenda revitalisasi pertanian. Pertama, kendala strategis, bahwadokumen revitalisasi pertanian tidak diperkuat dengan perangkatperundang-undangan yang agak mengikat, baik dalam bentukperaturan pemerintah (PP) maupun peraturan presiden (perpres).Kedua, kendala fungsional. Memerhatikan pendekatan strategirevitalisasi pertanian ini yang terkesan sektoral, apalagi subsektoralpertanian, perikanan, dan kehutanan yang hanya berbasis

Page 108: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

176 177

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

administrasi pemerintahan. Ketiga, kendala yang bersifat operasionaldi lapangan, termasuk bagaimana implementasi yang dijalankanbirokrasi dan pendanaan agenda besar revitalisasi pertanian.

Kritik yang lebih serius muncul dari kalangan pemikir danpejuang pembaharuan agraria. Mereka pertama-tama menyorotibahwa kebijakan revitalisasi pertanian muncul hampir bersamaandengan keluarnya Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentangPengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untukKepentingan Umum, yang salah satu pasalnya memberikewenangan kepada Presiden mencabut hak penguasaan atas tanahyang dimiliki seseorang atau sekelompok orang demi kepentinganumum. Kalangan pemerhati masalah agraria berpendapatperaturan presiden (perpres) itu akan memicu berbagai konflikdi masyarakat. Tanpa ketentuan yang memberi kewenangan bagiPresiden untuk mencabut hak atas tanah saja, hingga Agustus2003 tercatat 575 kasus konflik agraria di perkebunan. Itu hanyamenyangkut tanah untuk areal perkebunan, belum lagi untuksektor lain. Dari konflik agraria di perkebunan tersebut, 350 kasusterjadi di perkebunan negara dan 225 kasus melibatkan swasta.Sebagian besar soal hak atas penguasaan tanah.

Berbagai kalangan menilai bahwa Perpres itu menjustifikasitindakan represif dan perampasan hak-hak rakyat, bertentangandengan semangat revitalisasi pertanian, tidak pro rakyat, dan tidakpeka terhadap tuntutan pembaharuan agraria, karena itu ia harusdilawan dan dibatalkan. “Perpres ini lebih buruk dari peraturanserupa sebelumnya, yakni Keppres No. 55/1993, serta menafikanTAP MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agrariadan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Perpres ini bukannyamenyelesaikan konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alamyang terjadi selama ini. Tetapi, justru bakal menambah konflikbaru. Kebutuhan masyarakat untuk diselesaikannya persoalanagraria dijawab pemerintah dengan peraturan yang lebih represif,serta meniadakan prinsip kesetaraan, keadilan, demokrasi, danhak asasi manusia”, demikian ungkapan sikap politik Wahana

Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).Begitu Perpres diluncurkan gelombang aksi kolektif yang

menentangnya berkobar di berbagai tempat. Di Palu, puluhantukang becak dan aktivis yang tergabung dalam Koalisi LSM KotaPalu, turun ke jalan menuntut pencabutan perpres tersebut(Kompas, 29/6/05). Di Yogyakarta, pada hari yang sama, puluhanmassa dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) berunjukrasa di depan gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),Jalan Malioboro, serta di simpang-empat depan Kantor Pos BesarYogyakarta. mereka menilai Perpres Nomor 36 Tahun 2005merupakan kebijakan yang tidak melindungi dan menghormatihak rakyat atas tanah. Di Pontianak, Presiden Presiden SusiloBambang Yudoyono disambut dengan aksi unjuk rasa mahasiswa.Ratusan mahasiswa yang berunjuk rasa itu menuntut agarpresiden mencabut Peraturan Presiden (Perpres) No 36 tahun2005 tersebut (Suara Pembaharuan 23/6/05). Di Jakarta, sekitar3000 orang yang tergabung Koalisi Rakyat Tolak Perpres 36/2005 menggelar aksi massa bersama, dengan menyampaikan sikapdan tuntutan sebagai berikut:

1. Mendesak Mahkamah Agung untuk membatalkan PerpresNo. 36 Tahun 2005.

2. Mendesak Kapolri untuk mengusut tuntas tindakan brutalaparatnya terhadap petani Tanah Awu, Lombok Tengah, NusaTenggara Barat, pada tanggal 18 September 2005.

3. Segera hentikan proyek-proyek pembangunan dengan dalihkepentingan umum yang akan menggusur rakyat daritanahnya.

4. Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untukbersama-sama menolak Perpres 36/2005 dan membangunpos-pos penolakan mulai dari tingkat kampung hingganasional.

5. Mendesak SBY-Kalla segera merealisasikan janjinya untukmenjalankan reforma agraria yang berpihak kepada rakyat,

Page 109: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

178 179

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

termasuk menyelesaikan konflik agraria dan melegalisasitanah-tanah yang sudah dikuasai rakyat.Kisah-kisah itu menggambarkan bahwa revitalisasi pertanian,

seindah apapun tujuannya, tengah menghadapi pertanyaan dangugatan yang serius. Problemnya bukan sekadar bagaimanamerawat ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis, tetapijuga persoalan sengketa agraria yang selalu merugikan rakyat petani.Bisa jadi revitalisasi pertanian (tanpa spirit pembangunanpertanian berkelanjutan dan keberpihakan pada petani) hanyaakan mendulang kegagalan program revolusi hijau. Bahkan Kompas(31 Mei 2005) menilai bahwa revitalisasi pertanian tanpareformasi agraria hanya akan mengulangi kesalahan di masa laludan meninggalkan “bom waktu” munculnya konflik baru diseputar masalah agraria.

Pembaharuan AgrariaBuku ini tidak menegasi gagasan dan kebijakan revitalisasi

pertanian yang berorientasi pada pertumbuhan. Negeri butuhpenyelesaian secara struktural di bidang agraria, melaluipembaharuan (reformasi) agraria untuk menciptakan kedaulatanrakyat petani dan keadilan sosial, yang selama ini telah hilangkarena negaranisasi dan kapitalisasi.

Kita memang harus kembali ke khittah pendirian RepublikIndonesia. Salah satu nilai pokok kaidah fundamental negaramengamanatkan bahwa negara Republik Indonesia bertujuan untukmewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Penjabaran dari prinsip ini tercantum dalam pasal 33 UUD 1945(ayat 1, 2, dan 3). Kesemuanya ini merupakan pilar-pilar demokrasiyang mendasari mekanisme perekonomian dan penyelenggaraanpembangunan. Amanat konstitusi tersebut dijabarkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam GBHN 1993diamanatkan bahwa pembangunan ekonomi harus selalu mengarahkepada mantapnya sistem ekonomi nasional berdasarkan Pancasiladan UUD 1945 yang disusun untuk mewujudkan Demokrasi

Ekonomi yang harus dijadikan dasar pelaksanaan pembangunanyang memiliki ciri-ciri antara lain: (a) Perekonomian disusun sebagaisebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (b) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajathidup orang banyak dikuasai oleh negara; (c) Bumi, air dan kekayaanalam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-pokokkemakmuran rakyat dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuksebesar-besar kemakmuran rakyat; (d) Sumber-sumber kekayaandan keuangan negara digunakan demi kemakmuran rakyat; …..dan seterusnya (GBHN 1993).

Konteks nilai-nilai tersebut mempertegas bahwa “DalamDemokrasi Ekonomi yang berdasarkan Pancasila harusdihindarkan hal-hal antara lain : (a) Sistem free fight liberalismyang menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsalain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan danmempertahankna kelemahan struktural ekonomi nasional danposisi Indonesia dalam perekonomian dunia; (b) Sistem etatismdalam arti bahwa negara beserta aparatur ekonomi negara bersifatdomian, mendesak dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor negara; (c) persaingan tidak sehatserta pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dansebagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikanmasyarakat dan bertentangan dengan “cita-cita keadilan sosial”.

Pembaruan agraria merupakan kata-kata kunci pada masa-masadekade 1950-1960an di berbagai negara. Semua badan internasionaldan semua perdebatan di sekitar pembangunan, membahas danmemperdebatkan soal ini; dan hampir semua negara mau tidakmau mencoba menyelenggarakan program tersebut, baik itu padatingkat kebijakan, operasionalisasi, ataupun hanya sebagai retorika.Salah satu dorongan terhadap dijalankannya Pembaruan Agrariapada saat itu terutama karena adanya persaingan dan pertentangandi antara kubu negara-negara Blok Barat dan Blok Timur. Dengandemikian perdebatan di seputar Pembaruan Agraria ini sebenarnyadiwarnai juga oleh aspek ideologis.

Page 110: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

180 181

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Sebagai bentuk respons atas berkembangnya developmen-talisme, pada bulan Juli 1979, Konferensi Dunia tentangPembaruan Agaria dan Pembangunan Pedesaan (World Confer-ence on Agrarian Reform and Rural Development atau WCARRD)digelar oleh FAO, yang diharappkan mampu memperbaikikeadaan. Terutama WCARRD menyimpulkan bahwapertumbuhan ekonomi semata tidaklah mencukupi, dan harusdidukung oleh pemerataan dan partisipasi rakyat. Program aksinyamenyatakan bahwa perbaikan yang berkelanjutan dari pedesaanmemerlukan akses yang merata atas tanah, air dan sumberdayaproduktif lainnya, serta keikutsertaan kaum miskin desa dalamkekuasaan ekonomi dan politik serta dalam sistem produksi dandistribusi.

Pembaharuan agraria tentu merupakan alternatif atas kapitalisasidesa yang selama ini menimbulkan pemiskinan rakyat desa. Istilahpembaruan agraria sudah menjadi kata kunci yang menonjoldiperdebatkan di berbagai negara sejak dekade 1950-an. Makna’agraria’ bukan sekadar ’tanah’ atau ’pertanian’. Secara etimologis,’agraria’ berasal dari kata ’ager’ (dalam bahasa Latin), yang berarti’pedusunan’, ’bukit’ dan ’wilayah’. Ini menunjukkan arti yang lebihluas dari sekadar ’tanah’, karena mencakup wilayah yang didalamnyaterdapat berbagai macam tumbuhan, air, sungai, bahkan tambang,perumahan terutama manusia. Konotasi tekanan pada ’tanah’ lebihdisebabkan karena di jaman Romawi Kuno, konsep tentang’lingkungan’, ’sumberdaya alam’, ’pertambangan’, belum dikenalsebab kegiatan manusia yang dominan saat itu adalah berburu dihutan atau bertani menghasilkan pangan. Jika mengacu pada UUPA1960, maka yang dimaksud dengan agraria di Indonesia adalahlebih dari sekadar tanah, tetapi mencakup “Bumi, Air, Ruang Angkasadan Kekayaan Alam yang Terkandung Di dalamnya”. Denganpengertian ini, maka hukum agraria serta pengertian agraria di Indo-nesia merupakan pengertian yang lebih luas, jauh lebih luas daripadahukum pertanahan, karena meliputi juga hukum perairan,keruangkasaan, pertambangan, perikanan, dan sebagainya.

Pembaruan agraria diartikan sebagai upaya perubahan atauperombakan sosial yang dilakukan secara sadar, gunamentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yanglebih sehat dan merata bagi kesejahteraan masyarakat desa.Seringkali pembaruan agraria juga diartikan sebagai land reformdalam arti luas. Dengan kata lain, pembaruan agraria adalahmerupakan upaya pemerintah yang bekerjasama denganmasyarakat untuk mengubah struktur penguasaan tanah,memperbaiki tata guna tanah dan kekayaan alam yangmenyertainya, dengan memperbaiki jaminan kepastianpenguasaan tanah bagi rakyat yang memanfaatkan tanah dansumberdaya alam yang menyertainya. Jadi pada dasarnyapembaruan agraria merupakan upaya pembaruan sosial. Dengandemikian pembaruan agraria dapat dikonsepsikan sebagai “upaya-upaya yang dilakukan oleh negara dan masyarakat dalam merubahhubungan-hubungan sosial agraria dan bentuk-bentukpenguasaan tanah dan sumber daya alam ke arah keadilan danpemerataan, melalui mekanisme dan sistem politik yangdemokratis dan terbuka, bagi sebesar-besarnya kemakmuran dankesejahteraan rakyat”. Pengertian ini tidak sekadar perubahan daripenguasaan tanah dan hubungan-hubungan sosial yang ada didalamnya, tetapi pembaruan agraria harus pula mengakuikeberadaan tanah-tanah masyarakat adat, agar tanah-tanah adattidak dengan mudah dikuasai oleh negara dan pemilik modal.Pengakuan akan tanah-tanah adat merupakan hal yang sangatpenting dalam pembaruan agraria, sehingga kiranya sangat perludiadakan pengaturan yang khusus mengenai hal tersebut.

Tujuan yang hendak dicapai pembaruan agraria adalahkeadilan agraria, yaitu keadaan dimana: (1) Tidak adanyakonsentrasi yang berarti dalam penguasaan dan pemanfaatantanah beserta kekayaan alam yang menjadi hajat hidup orangbanyak; (2) Terjaminnya kepastian hak penguasaan danpemanfaatan rakyat setempat terhadap tanah dan kekayaan alamlainnya; dan (3) Terjaminnya keberlansungan dan kemajuan

Page 111: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

182 183

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

sistem produksi rakyat setempat yang menjadi sumberpenghidupan mereka.

Tataran implementasinya, agenda Pembaruan Agrariamencakup: Orientasi Produksionis dengan Transformasi Struktural(redistribusionis) maupun Jastifikasi Yang Komprehensif. Pada tataranimplementasi, istilah land reform sering dipadankan dengan agrar-ian reform (pembaruan agraria). Maka dalam praktiknya konsepland reform telah diperluas cakupannya untuk menekankan peranstrategis dari tanah dan pertanian dalam pembangunan. Olehkarenanya, konsep reforma agraria, yakni merujuk pada penataanstruktur agraria secara cepat yang mencakup sistem penguasaantanah, skala operasi usahatani, ketentuan-ketentuan penyakapan,kelembagaan kredit pedesaan, pemasaran dan pendidikan, danintroduksi teknologi (Tuma, 2003).

Menurut Wiradi (2000) istilah land reform, atau tepatnyaredistrubutive land reform, merupakan penataan kembali sebaranpenguasaan tanah yang mencakup dua aspek, yakni tenure reformdan tenancy reform. Aspek pertama dengan redistribusi lahan, yangmeliputi pemecahan dan penggabungan satuan-satuan usahatanidan perubahan skala pemilikan. Sedang tenancy reform berartiperbaikan dalam hal perjanjian sewa, bagi hasil, gadai dansebagainya tanpa harus mengubah distribusi pemilikan. Dalamkonsepsi ini, maka konsolidasi lahan juga dimasukkan dalampengertian redistributive land reform yang mengisyaratkan pulakepada upaya menyatukan pemilikan tanah yang letaknyaterpencar-pencar (fragmentasi) menjadi satu hamparan solid, yangdapat dilakukan dengan cara tukar-menukar. Redistrubutive landreform ini dalam perkembangannya disertakan pula langkah-langkah komplementer seperti penyediaan kredit, pendidikan danlatihan, teknologi, penyuluhan, penyesuaian pasar, dan sebagainya.Dengan paket lengkap inilah maka konsep land reform kemudianmemperoleh konseptualisasi baru yang lebih luas dankomprehensif sehingga secara populer diberi pengertian yang samadengan istilah agrarian reform atau pembaruan agraria.

Menurut Michael Lipton (1974), Agrarian Reform/LandReform merupakan sebuah kebijakan pemerataan, setidaknya didalam keinginan; yang terdiri dari (1) pengambilalihan tanahsecara paksa, biasanya (a) oleh negara, (b) dari para tuan tanahbesar, dan (c) dengan penggantian yang parsial; (2) Pengembanganpertanian dari tanah-tanah tersebut bagi semakin besarnyakemanfaatan hubungan antara manusia dengan tanahnyadibandingkan dengan sebelum adanya pengambil-alihan tersebut.Terutama dikenali dua cara land reform, yaitu pembagian tanah(distributivist) dan kolektivisasi (collectivist). Selain land reform, jugaada bentuk-bentuk upaya pembaruan lain yang juga berkaitan,yaitu (1) pembaruan penyakapan (tenancy reform), (2)pemindahan dan pembukaan tanah baru (settlement schemes), (3)bantuan khusus bagi petani kecil, dan (4) pajak tanah progresif.

Menurut Cohen, istilah land reform biasanya dipakai dalampengertian yang terbatas, yaitu perubahan dalam penguasaantanah, terutama redistribusi dalam kepemilikan tanah, sehinggadapat mencapai tujuan pemerataan lebih besar. Sementara ituagrarian reform, sebagaimana yang biasa digunakan oleh PBB,dipakai dalam pengertian yang luas, yaitu dalam mencapai tujuanpemerataan dan produksi yang lebih tinggi. Selain itu jugaditerapkan bagi pemanfaatan tenaga kerja secara lebih baik dansumbangan yang meningkat dari sektor pertanian terhadap upayaindustrialisasi. Karena itu Cohen mengartikan agrarian reformsebagai “berbagai upaya yang luas dari pemerintah yang mencakupberbagai macam kebijakan pembangunan” melalui cara-cara: (1)peraturan redistribusi tanah, (2) upaya-upaya menumbuhkanproduktivitas, (3) kredit kelembagaan, (4) pajak pertanahan, (5)peraturan mengenai penyakapan dan upah, dan (6) pemindahandan pembukaan tanah baru.

Perspektif lain menekankan program reforma agraria sebagaiproses transformasi struktur sosio-agraria menuju kondisi yang lebihberkeadilan. Menurut perspektif ini, makna reforma agraria harusmelibatkan upaya-upaya yang sekaligus “mengkombinasikan faktor-

Page 112: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

184 185

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

faktor teknis untuk meningkatkan produksi dengan faktor perbaikankerangka kerja kelembagaan agar menguntungkan bagi lapisanterendah masyarakat pedesaan. Salah satu faktor kelembagaan ituadalah sistem atau susunan penguasaan tanah. Ini perlu mendapatperhatian yang serius, sebab usaha peningkatan produksi dalamsusunan penguasaan tanah yang timpang tidak akan dapatmemperbaiki kehidupan sebagian besar rakyat desa.

Mengingat hal ini semua, maka pelaksanaan pembaruanagraria pada intinya ada transformasi struktur sosio agraria melaluiredistributive land reform menjadi suatu yang sangat penting yangtidak dapat di tawar-tawar. Ada dua alasan mendasar untukmeyakinkan keharusan reform agraria secara komprehensif, yaknialasan keadilan dan alasan ekonomi.

Kedua alasan ini saling terkait. Alasan keadilan menekankanbahwa distribusi lahan yang egaliter akan memberikan peluangyang sama untuk berkembang bagi pemilik melalui persaingan.Artinya, seleksi alamiah memang akan terjadi melalui prosespersaingan, tetapi titik tolaknya harus berangkat dari peluangyang sama. Kesamaan peluang ini hanya dapat dicapai melaluikondisi “keadilan agraria”, yaitu keadaan di mana ketimpanganstruktur agraria dapat diatasi serta hak penguasaan danpemanfaatan tanah dan kekayaan alamnya oleh petani terjamindan terlindungi.

Dari paparan di ats menjadi jelas bahwa distribusi yang adilatas akses lahan akan menciptakan bukan saja keadilan sosial, tetapijuga pembangunan pertanian dan pedesaan yang berkelanjutan,dan akhirnya perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Olehkarena itu, menjadi tuntutan besar bagi negara untukmewujudkan agenda penataan struktural tersebut di atas demiterwujudnya cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indone-sia, seperti yang diamanatkan dalam Sila ke lima Pancasila yaituKeadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia maupun amanatpasal 33 UUD 1945. Negara harus memainkan peran yang besardalam upaya-upaya menjalankan pembaruan agraria ini. Agenda

perombakan tanah atau land reform di Indonesia didasarkan duaundang-undang utama. Pertama adalah Undang-UndangPerjanjian Bagi Hasil/UUPBH (Undang-Undang Nomor 2/1960),yang dirancang untuk mengatur hubungan antara tuan tanahdan penyewa tanah, untuk melindungi penyewa tanah yang lemahmenghadapi tuan tanah yang kuat, dan memberi perangsangkepada penyewa untuk meningkatkan produksi.

Undang-undang kedua, Undang-Undang Pokok Agraria/UUPA (No.5/1960), jauh lebih luas jangkauannya. Memangundang-undang ini dimaksudkan sebagai landasan dari seluruhprogram baru perundang-undangan agraria. Dengan undang-undang ini, pemerintah bermaksud menyelaraskan situasiagraria dengan falsafah Indonesia modern, prinsip-prinsipPancasila dan apa yang disebut kebijaksanaan Manipol-USDEKyang diumumkan Presiden Soekarno dalam PidatoKenegaraannya pada tanggal 17 Agustus 1959. Sasaranhukumnya adalah untuk meletakkan dasar bagi terciptanyastruktur hukum yang dapat diterima secara nasional untukurusan agraria, untuk menghilangkan rintangan menujupenyatuan dan penyederhanaan dalam bidang hukum, danuntuk menetapkan pedoman guna menentukan hak atas tanahbagi seluruh rakyat.

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) membatalkanperaturan tentang tanah dari perundang-undangan kolonial,seperti Undang-undang Agraria 1870, Dekrit Agraria 1870, danberbagai deklarasi mengenai tanah, air dan sumber daya alam. Iamerupakan perombakan total dari sistem agraria warisanpenjajahan Belanda. Hak milik perorangan atas tanah bagi merekayang berkewarganegaraan Indonesia diakui, akan tetapi persainganbebas dalam hal penjualan dan pengalihan tanah tidak diizinkan.Atas dasar prinsip bahwa tanah mempunyai fungsi sosial, undang-undang ini menggariskan bahwa penggunaan dan penjualan tanahperlu memperoleh persetujuan masyarakat seperti yang diwakilioleh administrasi kota atau desa. Secara umum Undang-Undang

Page 113: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

186 187

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Pokok Agraria juga mencakup prinsip dasar berikut ini:1. Tanah pertanian adalah untuk petani penggarap;2. Hak utama atas tanah, misalnya hak milik pribadi adalah

khusus untuk warga negara Indonesia;3. Pemilikan guntai (absentee) tidak dibenarkan, kecuali bagi

mereka yang bertugas aktif dalam dinas negara dan dalamhal pengecualian lain;

4. Petani-petani yang ekonominya lemah harus dilindungiterhadap mereka yang kedudukannya lebih kuat.23

Untuk menjamin petani atas pemilikan tanah yang luasnyacukup bagi kelangsungan hidupnya, undang-undang menetapkanbatas minimum dua hektar atas sawah berpengairan maupun atastanah kering bagi setiap keluarga inti. Di lain pihak, ditetapkansuatu batas maksimum untuk mengawasi pemilikan tanah luasyang berlebihan. Dalam hal ini mesti diingat, perjuangan untukmengubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi yang sungguh-sungguh bersifat nasional sangat erat berkaitan dengan perjuanganagraria, yang tujuan langsungnya adalah pelaksanaan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil dan Undang-Undang Pokok Agraria.

Tetapi di sepanjang Orde Baru, pembaharuan agraria dan UUPAtidak dijalankan oleh pemerintah. Namun UUPA masih tertera dalamundang-undang dan tidak pernah diubah atau dicabut. Untukmengubah akan terlalu sulit, dan pencabutan itu akan menimbulkankeributan karena untuk merumuskan hukium itu dibutuhlan waku10 tahun dan hukum itu merupakan perundang-undangan yangmembanggakan dan mencerminkan kekuatan ideologi nasionalis padawaktu itu. Yang terjadi adalah penyiasatan hukum itu dengandigunakannya hukum kehutanan, pertambangan, dan penggunaantanah yang baru yang sangat memudahkan eksploitasi sumber-sumberalam bagi kepentingan swasta.

Pada tahun 1978, Laporan Sementara yang disusun bersamaditingkat Kementerian tentang pembaruan agraria berusahamenegaskan kembali tanah dan memperbaiki hubungan yang lebihsetara dengan pedesaan. Laporan itu mengusulkan pembaruanstruktural untuk menangani ketidakadilan yang makin besar darikepemilikan dan kontrol tanah di Indonesia. Rekomendasinyasejumlah 30 juga mengusulkan penelitian tentang penggunaantanah oleh masyarakat adat Indonesia dan hukum adat yangberhubungan dengan tanah (Sumitro 1978; 50-51). Tidak satupun rekomendasi untuk melaksanakan Hukum Dasar Agraria itudilaksanakan. Seorang ahli sosiologi pedesaan Indonesia yangterkenal manyimpulkan bahwa “Laporan Sementara itu tidaksegera berpengaruh dalam perumusan kebijakan yang sebenarnyatentang masalah tanah. (Tjondronegoro 1991: 28). Laporan ituhanyalah berupa pernyataan dalam GBHN 1978 yang berbunyi“penataan kembali penggunaan tanah, kontrol tanah dan hak milikatas tanah harus dilaksanakan” (WHITE DAN Waradi 1984; v).Enam tahun kemudian, dalam lokakarya internasional tentangbagaimana struktur agraria dapat dibuat agar dapat mempertinggipenelitian lebih lanjut dengan topik-topik seperti kondisikelembagaan bagi pembaruan agraria, kredit pedesaan, organisasipetani, dan registrasi serta pembagian tanah(White dan Wiradi1984; 75-85). Rekomendasi ini pun tidak diindahkan karenaberlimpahnya janji-janji kebijakan yang memudahkan tersedianyasumber-sumber alam Indonesia bagi investasi modal skala besar.

Karena itu, tuntutan akan pembaharuan agragria terus-menerus disuarakan oleh elemen-elemen masyarakat. KonsorsiumPembaruan Agraria (KPA) merupakan elemen gerakan sosial yangterus menerus melakukan perjuangan pembaharuan agraria. KetikaAbdurrahman Wahid menjadi presiden RI (1999-2001),sebenarnya sudah cukup peka merespons desakan pembaharuanagraria, sebagaimana tercermin pada lahirnya TAP MPR No.IX/MPR/2001 mengenai Pembaruan Agraria dan PengelolaanSumberdaya Alam. Dalam pasal 2 TAP MPR No.IX/MPR/2001

23 Selo Soemardjan, “Land Reform di Indonesia”, dalam buku Dua Abad Penguasaan Tanah:Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, disunting oleh Sediono M.P.Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi. Jakarta: Gramedia, 1984, halaman 106-107.

Page 114: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

188 189

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

disebutkan “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yangberkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaanpemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumberdaya agraria,dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindunganhukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indone-sia”. Bahkan di pasal 6 pada TAP di atas juga dinyatakan sebagaiberikut “Menugaskan DPR RI bersama Presiden RI untuk segeramengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria danpengelolaan sumbersaya alam serta mencabut, mengubah dan ataumengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannyayang tidak sejalan dengan Ketetapan ini”

Namun TAP MPR ini hanya berhenti menjadi museum yangmati, hanya sekadar formalisme. TAP MPR sampai sekarangbelum diiakui dengan UU baru yang berpihak kepadapembaharuan agraria. Di tempat lain, justru muncul kebijakanmaupun tindakan-tindakan negara yang jauh dari semangatpembaharuan agraria. Di pusat, sebagai contoh terkini adalahlahir Perpu I/2004 mengenai ijin penambangan di hutan lindungyang diikuti dengan lahirnya Keputusan Presiden No 41/2004tentang penetapan 13 perusahaan yang diizinkan melakukanpenambangan. Di banyak daerah lahir pula beberapa Perda yangmenegasikan hak-hak masyarakat adat, seperti Perda KabupatenMamasa No. 4/2004 tentang Pembentukan Badan PerwakilanDesa, Lembaga Kemasyarakatan, Pemberdayaan danPengembangan Adat Istiadat di Desa dan Kelurahan, atau PerdaKabupaten Sanggau No. 4/2002 tentang Pemerintahan Kampungyang kemudian diikuti dengan tuntutan hukum adat olehmasyarakat kepada eksekutif dan legislatif di kabupaten itu. DiWonosobo, pemerintah pusat berkeberatan dengan skemapengelolaan hutan sebagaimana diatur dalam Perda PSDHBM(Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat) yangdisusun oleh badan legislatif, eksekutif bersama masyarakat.Rekeyasa politik yang menghambat perda ini telah muncul sejaklahirnya SK Gubernur Jawa Tengah yang materinya menguatkan

kebijakan PHBM Perhutani di wilayah Propinsi Jawa Tengah,sampai pada surat No. 1665/Menhut–11/2002 tertanggal 11September yang intinya adalah permintaan Menteri Kehutanankepada Menteri Dalam Negeri agar membatalkan perda terkaitdengan alasan bertentangan dengan UU No. 41/1999 tentangKehutanan dan PP No.25/2000 tentang Kewenangan Pemerintahdan Pemerintah Propinsi sebagai Daerah Otonom.

Pembaharuan agraria tampaknya membutuhkan upaya-upaya radikal, sebagaimana terjadi di banyak negeri lain. Taiwandan Korea Selatan adalah contoh kuat tentang bagaimanapembaharuan agraria dapat mengeluarkan energi bagipembangunan. Mereka mempunyai kondisi yang hampir idealbagi pembaharuan agraria secara radikal setelah Perang DuniaKedua. Pertama, kepergian kolonialis Jepang meninggalkan bidangtanah kosong yang luas, tersedia bagi tahap awal pembaharuantanah pasca-perang. Kedua, ancaman revolusi komunismemberikan pemacu untuk pembaharuan tanah sebagai sebuahbenteng melawan Komunisme. Faktor ketiga yang memfasilitasipembaharuan adalah bahwa rezim baru berhutang sedikit kepadapara elite pemilik tanah yang ada sebelumnya. Taiwan diperintaholeh Kuomintang dari China daratan, melakukan land reformdengan sedikit dukungan para elite lokal. Di Korea Selatan,kepemimpinan politik baru relatif tidak dibebani oleh hubunganpolitik yang ada, karena ia mulai berakar dengan kekosongan yangditinggalkan oleh Jepang dan kekacauan dari Perang Korea.Selanjutnya, kelas pemilik tanah Korea secara luas tidak dipercayalagi oleh kerjasama yang dirasakan mereka dengan kolonialisJepang. Dengan bantuan aktif dari Amerika serikat, kedua negaraitu mendesain pembaharuan yang imajinatif dan berhasil.

Pembaharuan agraria juga dilaksanakan di sejumlah negarasejak 1940-an, tentu dengan model yang berbeda-beda. Tabel4.1, misalnya, menggambarkan pengalaman pembaharuan agrariadi empat negara (Itali, Mesir, India dan Jepang. Pada umumnyaland reform dilakukan secara radikal. Pengalaman di sejumlah

Page 115: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

190 191

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

negara, dampak dari kesamaan peluang dalam hal distribusi lahanyang egaliter menunjukkan adanya dampak ekonomi dari jaminanakses yang adil terhadap penguasaan aset. Akses pada lahan inidapat memberi kontribusi pada ketahanan pangan dan statusgizi rumahtangga yang lebih baik. Jaminan akses terhadap tanahjuga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi danpengurangan kemiskinan melalui investasi. Jaminan akses terhadapaset secara adil juga membawa dampak pada stabilitas sosial danpolitik Bukti-bukti menunjukkan bahwa dalam masyarakat dimana penguasaan aset sejak awalnya sangat tidak adil, kemampuanmasyarakat untuk terlibat dalam tindakan kolektif yang optimalsecara sosial juga terganggu. Partisipasi dalam proses pengambilankeputusan secara demokratis rendah sehingga banyakmenghilangkan potensi kekuatan rakyat. Jika isu-isu mengenaiakses atas tanah ini tidak ditangani sejak dini, dapat meningkatdan menjadi konflik lebih luas yang berdampak timbulnyaberbagai kerusakan sosial ekonomi.

Sebaliknya, distribusi yang adil dalam pemilikan aset terbuktitelah memberi kontribusi yang signifikan kepada indikator-indikator pembangunan manusia. Pengalaman di Cina, India danFilipina, para penerima manfaat program land reform telahmemiliki kemampuan yang lebih besar pada pendidikan anak-anaknya dibandingkan mereka yang tidak menerimanya.

Pembaharuan tanah memfasilitasi pertumbuhan asosiasipembangunan horisontal dalam komunitas Korea Selatan danTaiwan. Sebagaimana disebutkan di atas, Wang (1981)menekankan bahwa kekuatan pembangunan perdesaan KoreaSelatan yang cepat dihasilkan oleh pembaharuan agraria,ditingkatkan lebih jauh oleh akses yang sama terhadappendidikan dasar. Membuat hubungan sosial dalam masyarakatlebih egalitarian adalah sebuah prasyarat penting terhadappenggunaan komunitas lokal yang imajinatif dalam memantaupara pegawai irigasi lokal di Korea Selatan dan Taiwan (Wade,1997). Perubahan sama dalam ekonomi politik hubungan

komunitas yang menyertai pembaharuan agrariadidokumentasikan-dengan baik dalam gerakan koperasi Tai-wan. Koperasi didirikan di Taiwan di bawah Jepang, tetapimereka berkembang setelah pembaharuan agraria menjadiorganisasi pembangunan yang lebih aktif. Dengan bantuanpemerintah, organisasi petani tumbuh subur, membantupetani untuk menyatukan tabungan mereka, memperbaikiirigasi dan memperoleh teknologi baru, dan over timemengembangkan industri perdesaan (Ranis dan Stewart,1993). Manfaat pembaharuan agraria yang paling pentingadalah bahwa ia meletakkan dasar-dasar bagi pemerintahanyang lebih inklusif dan membangun. Sebagaimana Harriss(1999) tunjukkan, daerah-daerah India yang di dalamnyastruktur kekuasaan agraria tradisional yang diubahmemperlihatkan hasil (outcomes) pembangunan yang lebih baik.Studi menunjukkan bahwa pembaharuan sewa menyewa Ben-gal Barat telah membawakan banyak perubahan positif, danmembantu penduduk kasta-rendah merasa bahwa pemerintahlokal tidak lagi diserobot oleh elite lokal.

Agenda pembaruan agraria menjadi suatu hal yang tidakbisa di tawar-tawar lagi supaya transformasi agraria yang lebihbaik dapat terwujud. Melalui pembaruan agraria ini kehidupandan kegiatan pedesaan akan ditransformasikan dalam semuaaspeknya, yaitu aspek ekonomi, sosial, budaya, kelembagaan,lingkungan dan kemanusiaan. Dengan transformasi ini makapembaruan agraria diharapkan akan menghapus kesenjanganantara sektor pertanian dengan sektor ekonomi lainnya danantara penduduk desa dengan kota dalam hal kesempatan dantingkat kehidupannya.

Page 116: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

192 193

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Tabel 4.1Pelaksanaan Land Reform di Beberapa Negara

(Itali, Mesir, India dan Jepang)

Sumber: KPA, 2001.

Pembaruan agraria niscaya akan melenyapkan dualismeantara sektor pertanian dengan non-pertanian, atara sektor yangteknologinya maju dengan yang teknologinya rendah. Dengandemikian akan terjadi peningkatan mobilitas tenaga kerja dalammenanggapi tuntutan ekonomi dan pembangunan. Dengan katalain, pembaruan agraria akan mengantarkan pada transisi daristruktur “agraris tradisional” menjadi suatu struktur hubungandi mana sektor pertanian terintegrasi ke dalam pilar-pilar ekonomilainnya, lebih produktif, dan kesejahteraan rakyat meningkat.Alhasil, redistribusi tanah melalui land reform merupakanprakondisi untuk memasuki sistem ekonomi modern yangberkeadilan. Tanpa redistribusi tanah, ekonomi modern yangdihasilkan bersifat cacat dan menimbulkan kontradiksi-kontradiksi. Konflik kelas sosial akan semakin menajam, tidakada tingkat konsumsi yang tinggi, demikian pula tidak adatabungan masyarakat karena mayoritas penduduk desa hidupdalam subsistensi. Ditambah lagi oleh kenyataan bahwa tanpaland reform maka tidak akan tumbuh demokrasi di tingkat desa.

Demikian pula, melalui pembaruan agraria akan terwujuddemokrasi ekonomi, sekaligus menghasilkan demokrasi politik.Tumbuhnya ekonomi rakyat akan menghasilkan kreativitas danpengorganisasian secara mandiri. Pembaruan agraria juga akanmenghasilkan deferensiasi pembagian kerja masyarakat.Deferensiasi akan menghasilkan juga berbagai profesi danpekerjaan; yang selanjutnya akan menciptakan asosiasi dankelembagaan baru dalam masyarakat. Dengan sendirinya ini akanmenciptakan aspirasi dan penyaluran politik. Politik adalahcerminan dari deferensiasi kelas-kelas sosial dan pengelompokanmasyarakat yang semakin majemuk. Pada akhirnya hal ini akanmenumbuhkan tatanan masyarakat sipil yang sehat dan kuat.

NEGARA MULAI TAHUN

OBJEK LAND

REFORM

PROGRAM/ INSTRUMEN CARA/METODE

Itali 1946 Tanah pemilikan luas, tetapi tidak digarap dan sedikit menghasilkan

penitaan tanah dari kaum tuan tanah

distribusi tanah pengembangan tanah program pemindahan keluarga pembukaan tanah pertanian

melalui peningkatan dan pembaruan tanah

1.pembelian tanah dari pemiliknya berdasarkan harga menurut pajak

2.penerima tanah membayar harga asal ditambah 42% biaya peningkatan unit pertanian. 58% dibiayai oleh dana publik

Mesir 1953 1. tanah penguasaan publik

2. tanah yang telah digarap

3. penguasaan tanah berskala besar (>200 acre)

4. tanah bekas milik keluarga kerajaan tanpa kompensasi

redistribusi tanah pengaturan penyakapan resettlement penetapan upah minimum bagi

buruh tani penyediaan kredit pertanian penguatan koperasi pertanian penataan kampung reklamasi tanah pantai dan tanah

padang pasir

1.dijual kepada penggarap biaya 40% dari bantuan Amerika

2 + 3. kompensasi sebesar 70 kali dari pajak tahunan, dengan obligasi selama 30 tahun

4. penyitaan dan setelahnya menjualnya kepada penggarap sebelumnya berdasarkan biaya yang keluar plus 15% tanah non-kerajaan, selama masa 30 tahun

India (contoh di Uttar Pradesh)

1952 tanah tuan tanah (zamindari)

program penghapusan zamin dari pengurangan bagian penyakapan

tuan tanah menjadi 1/3 atau ¼ atau kurang

distribusi tanah

lewat kompensasi pembayaran yang rendah dan pemberian tanah kecil

Jepang 1945 tanah penyakapan

distribusi tanah 1.sebagian besar tanah penyakapan diberikan kepada penggarap aktual melalui pembelian oleh pemerintah dan penjualan kembali

2.tanah dijual kepada penggarap pada harga fix berdasarkan harga dan sewa sebelum perang

Page 117: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Bab 5Desentralisasi, Otonomi dan

Demokratisasi Desa

Desentralisasi & otonomi desa dan demokratisasi desamerupakan dua isu krusial dalam pembaharuan pemerintahandesa (village governance reform). Keduanya merupakan tujuan danfondasi politik bagi pengelolaan pembangunan desa yangberkelanjutan. Pembangunan desa menuju human well beingmasyarakat desa tentu juga dilandasi prinsip kemandirian,keterbukaan, partisipasi, kapasitas pemerintahan desa dan lain-lain. IRE mempunyai keyakinan bahwa desa harus “dibela” dengandesentralisasi, sekaligus harus “dilawan” dengan demokratisasi.Desentralisasi dimaksudkan sebagai bentuk pembagiansumberdaya ekonomi dan politik dari supradesa kepada desa,sehingga menciptakan kemandirian dan keadilan bagi desa.Sedangkan demokrasi dimaksudkan untuk membuat akuntabilitaspemerintah desa serta kedaulatan rakyat di aras desa.

Otonomi dan demokrasi desa tentu mengandung budayapolitik seperti nilai-nilai dan sikap-sikap mandiri, terbuka,partisipatif dan seterusnya. Akan tetapi penguatan otonomi dandemokrasi pertama-tama membutuhkan reformasi kebijakan

Page 118: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

196 197

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

(policy reform) secara nasional, mengingat kebijakan inimengandung arah, penempatan posisi desa dalam formasi negara,serta disain kelembagaan desentralisasi dan demokrasi desa. Karenaitu, bab ini hendak membongkar berbagai regulasi yang mengaturdesentralisasi dan demokrasi desa, sekaligus memberikan gagasanalternatif untuk pembaharuan kedepan.

Review RegulasiDalam bab pertama, otonomi dan demokrasi desa mengalami

krisis yang serius antara lain akibat dari regulasi Orde Baru, baikUU No. 5/1974 maupun UU No. 5/1979. Keduanya mengalamikebangkitkan setelah Indonesia masuk ke era reformasi, yaknisetelah keluarnya UU No. 22/1999. UU No. 22/1999 memangtidak secara eksplisit mengenal desentralisasi desa, tetapi paraperumusnya, misalnya M. Ryaas Rasyid, menegaskan bahwasemangat dasar UU No. 22/1999 adalah memberikan pengakuanterhadap keragaman dan keunikan desa (atau dengan nama lain)sebagai self-governing community, yang tentu saja merupakanmanifestasi terhadap makna “istimewa” dalam Pasal 18 UUD1945. Pemaknaan baru ini berbeda dengan semangat dan disainyang tertuang dalam UU No. 5/1979, yang hanya menempatkandesa sebagai unit pemerintahan terendah di bawah camat. Secarapolitik UU No. 5/1979 bermaksud untuk menundukkan desadalam kerangka NKRI, yang berdampak menghilangkan basisself-governing community.

Dengan berpijak pada semangat pengakuan itu, UU No.22/1999 mendefinisikan desa sebagai berikut: “Desa atau yangdisebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalahkesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untukmengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempatberdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakuidalam sistem pemerintahan nasional dan berada di DaerahKabupaten”. Rumusan ini merupakan lompatan yang luarbiasa bila dibandingkan dengan rumusan tentang desa dalam

UU No. 5/1979. Secara normatif UU No. 22/1999menempatkan desa tidak lagi sebagai bentuk pemerintahanterendah di bawah camat, melainkan sebagai kesatuanmasyarakat hukum yang berhak mengatur dan menguruskepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak asal-usuldesa. Implikasinya adalah, desa berhak membuat regulasi desasendiri untuk mengelola barang-barang publik dan kehidupandesa, sejauh belum diatur oleh kabupaten. Dalam Pasal 105,misalnya, ditegaskan: “Badan Perwakilan Desa bersama denganKepala Desa menetapkan Peraturan Desa”. Ini artinya, bahwadesa mempunyai kewenangan devolutif (membuat peraturandesa) sekaligus mempunyai kekuasaan legislatif untukmembuat peraturan desa itu.

Lompatan lain yang tampak dalam UU No. 22/1999 adalahpelembagaan demokrasi desa dengan lahirnya Badan PerwakilanDesa (BPD) sebagai pengganti Lembaga Musyawarah Desa (LMD).Pasal 94 UU No. 22/1999 menegaskan: “Di Desa dibentukPemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakanPemerintahan Desa”. Sedangkan Pasal 104 menegaskan: BadanPerwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsimengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampungdan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasanterhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

BPD menjadi arena baru bagi kekuasaan, representasi dandemokrasi desa. BPD dilahirkan sebagai bentuk kritik terhadapLMD. Pembentukan BPD melibatkan secara terbatas partisipasimasyarakat. Ia menjadi sebuah arena demokrasi perwakilan yanglebih baik ketimbang LMD. Berbeda dengan LMD masa laluyang ditunjuk oleh lurah, BPD sekarang dipilih dengan melibatkanmasyarakat. Jika dulu LMD merupakan lembaga korporatis yangdiketuai secara ex officio dan didominasi oleh kepala desa, sekarangkepala desa ditempatkan sebagai eksekutif sementara BPD sebagaibadan legislatif yang terpisah dari kepala desa.. Lahirnya BPDtelah membawa pergeseran kekuasaan yang lebih jelas antara kepala

Page 119: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

198 199

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

desa sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan BPD sebagaipemangku lembaga legislatif. Paling tidak ada tiga domainkekuasaan kepala desa yang telah dibagi ke BPD: (1) pembuatankeputusan dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes) yang dikerjakanbersama-sama antara lurah dan BPD; (2) pengelolaan keuanganyang melibatkan BPD seperti penyusunan APBDES danpelelangan tanah kas desa; (3) rekrutmen perangkat desa yangdulu dikendalikan oleh lurah dan orang-orang kecamatan maupunkabupaten sekarang dikendalikan oleh BPD. Bahkan kontrol BPDterhadap kepala desa sudah dijalankan meski kontrol itu masihterbatas pada LPJ dan ia belum terlembaga kepada masyarakat.

Sumbangan BPD terhadap demokrasi desa memang sangatberagam. Ada yang positif ada pula yang negatif. Kehadiran BPDjelas membuka ruang kontrol dan keseimbangan kekuasaan didesa. Bagi lurah yang mempunyai sense of legitimacy merasa lebihringan menanggung beban psikopolitik dalam membuatkeputusan, setelah ditopang partnership dengan BPD. Sebabkeputusan desa yang dulu dimonopoli oleh lurah, sekarang bisadibagi kepada BPD yang memungkinkan tekanan-tekanan publikkepada lurah semakin berkurang, dan dengan sendirinya akanberalih juga kepada BPD. Di banyak desa, yang paling menyolok,kehadiran BPD telah membuat “hati-hati” lurah dalambertinndak, sehingga sekarang banyak lurah yang bekerja lebihtransparan dan bertanggungjawab.

Namun, di banyak tempat, hadirnya BPD tidak memberikansumbangan bagi pelembagaan demokrasi desa secara matang,dewasa dan santun, melainkan menjadi sumber masalah barukarena peran lembaga perwakilan itu yang “kebablasan” danmenimbulkan pertikaian dengan pemerintah desa. Banyak kepaladesa yang melaporkan (wadul) bahwa dirinya digencet oleh “BadanProvokasi Desa”. Di sebuah desa, misalnya, selepas lurah desamengundurkan diri karena bermasalah, tidak ada warga yangsanggup mencalonkan diri sebagai kepala desa karena trauma yangmendalam kepada sepak terjang BPD. Di sisi lain, di mata kades,

BPD sering melanggar batas-batas kekuasaan dan kewenanganyang telah digariskan dalam regulasi. Sekarang lurah menghadapitekanan dan instruksi dari atas (kabupaten), gencetan dari samping(Badan Perwakilan Desa, BPD) dan tuntutan dari masyarakat.Tetapi hubungan konfliktual antara pemerintah desa dan BPDitu lambat laun mulai mencair, setidaknya mulai tahun ketiga.Di banyak desa, hubungan antara pemerintah desa dan BPDmulai terbangun trust dan kemitraan yang lebih baik.

Meski membuka perubahan yang luar bisa, tetapi UU No.22/1999 tetap memiliki sejumlah keterbatasan, terutama kalaudilihat dari sisi desain desentralisasi. Melalui UU No. 22/1999pemerintah hendak menyerahkan sepenuhnya persoalan desakepada kabupaten/kota. Kehendak inilah yang membuat rumusanUU No. 22/1999 memberikan “cek kosong” pengaturan desakepada kabupaten/kota. UU No. 22/199 hanya memberikandiktum yang sifatnya makro dan abstrak dalam hal desentralisasikewenangan kepada desa. Di satu sisi ini adalah gagasan subsidiarityyang baik, tetapi pemerintah tampaknya tidak mempunyai konsepsiyang memadai (jika tidak bisa disebut kurang mempunyaikomitmen serius) untuk merumuskan disain desentralisasi danotonomi desa. Sebagaimana ditunjukkan oleh Selo Sumardjan(1992), pemerintah sebenarnya mengalami kesulitan dalammengatur otonomi desa, sejak awal kemerdekan, khususnya sejak1965. Jika dilihat dari sisi hukum ketetanegaraan, pemberian cekkosong kepada kabupaten sangat tidak tepat, sebab yang melakukandesentralisasi adalah negara, bukan kabupaten/kota.

UU No. 22/1999 membuat kabur (tidak jelas) posisi desakarena mencampuradukkan antara prinsip self-governing com-munity (otonomi asli) dan local-self government(desentralisasi) tanpa batas-batas perbedaan yang jelas (SutoroEko, 2004). Pengakuan desa sebagai self-governing commu-nity (otonomi asli) lebih bersifat simbolik dan nostalgia,ketimbang substantif. Setelah UU No. 22/199 dijalankan,tidak serta-merta diikuti dengan pemulihan otonomi asli desa,

Page 120: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

200 201

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

terutama otonomi dalam mengelola hak ulayat desa adat.Menurut UU No. 22/1999, kewenangan Desa mencakup: (1)kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa;(2) kewenangan yang oleh peraturan perundang-perundanganyang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah;dan (3) Tugas Pembantuan dari Pemerintah, PemerintahPropinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten.

Ayat (1) menunjukkan bahwa desa memiliki kewenanganasli yang tidak boleh diintervensi oleh pemerintah supradesa.Namun hal ini dalam kenyataannya tidak jelas kewenangan yangdimaksud, sehingga desa tetap saja tidak mempunyai kewenanganyang benar-benar berarti (signifikan) yang dapat dilaksanakansecara mandiri (otonom). Kewenangan yang selama ini benar-benar dapat dilaksanakan di desa hanyalah kewenangan yang tidakmempunyai kontribusi yang signifikan terhadap kehidupanmasyarakat desa itu sendiri.

Kewenangan asli tersebut sebenarnya yang menjadi pertandabagi desa sebagai kesatuan masyarakat hukum atau desa sebagaisubyek hukum yang otonom. Tetapi, sekarang, kewenangangenerik bukan hanya susah untuk diingat kembali, tetapi sebagianbesar sudah hancur. Komunitas adat (desa adat) yang palingmenderita atas kehancuran kewenangan generik. Adat telahkehilangan eksistensinya sebagai subyek hukum untuk mengelolaproperty right. Banyak tanah ulayat yang kemudian diklaimmenjadi milik negara. Ketika desa dan adat diintegrasikan kedalam negara, maka negara membuat hukum positif yang berlakusecara nasional, sekaligus meniadakan hukum adat lokal yangdulunya digunakan untuk mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri. Sengketa hukum dan agragia antara negaradengan adat pun pecah dimana-mana yang sampai sekarang sulitdiselesaikan secara karitatif karena posisi (kedudukan) desa adatyang belum diakui sebagai subyek hukum yang otonom. Ditingkat lokal juga sering terjadi dualisme antara kepala desa denganpenghulu adat atau sering terjadi benturan antara “desa negara”

dengan “desa adat” yang menggelar sengketa dalam halpemerintahan, kepemimpinan, aturan dan batas-batas wilayah.

Titik krusial lain adalah perubahan dari kewenanganmengatur dan mengurus “rumah tangga sendiri” menjadikewenangan mengatur dan mengurus “kepentingan masyarakatsetempat” sebagaimana terumuskan dalam UU No. 22/1999.Kalau hanya sekadar kewenangan mengelola “kepentinganmasyarakat setempat”, kenapa harus diformalkan dalam UU,sebab selama ini masyarakat sudah mengelola kepentingan hidupsehari-hari mereka secara mandiri. Tanpa pemerintah dan UUsekalipun masyarakat akan mengelola kepentingan merekasendiri. Dimata para kepala desa, mengurus dan melayanikepentingan masyarakat setempat sudah merupakan kewajibandan tanggungjawab mereka sehari-hari.

Ayat (2) menunjukkan betapa desa hanya akan memperolehkewenangan sisa dari kewenangan pemerintah supradesa(otonomi residu). Sementara pada ayat (3) sebenarnya bukanlahtermasuk kategori kewenangan desa karena tugas pembantuanhanyalah sekedar melaksanakan tugas tertentu yang disertaipembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusiadengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya danmempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Dengandemikian makna tugas pembantuan bukanlah merupakankewenangan desa tetapi sekedar sebagai pelaksana dari sebuahkegiatan yang berasal dari pemerintah supradesa.

Karena itu kritik dan tuntutan terhadap revisi UU No. 22/1999 terus mengalir. Umumnya suara desa menuntut agar revisiUU No. 22/1999 lebih mempertegas dan memperjelas kewenangandesa, termasuk pembagian kewenangan secara proporsional antarapusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa. Para pemimpin lokalbergolak mengkritisi sejumlah kelemahan yang terkandung dalamUU No. 22/1999. Mereka antara lain mengatakan bahwa UU 22tidak memberikan pengakuan secara tegas dan jelas tentangkedudukan desa dan otonomi desa; yang justru menempatkan desa

Page 121: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

202 203

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

di bawah kabupaten sehingga ada kecenderungan pemindahansentralisasi dari pusat ke kabupaten. Kewenangan desa yang tercantumdalam UU No. 22/1999 mereka nilai sebagai “kewenangan kering”atau “kewenangan air mata” yang hanya memberikan beban beratkepada desa. Karena itu, kepala desa dan Badan Perwakilan Desa(BPD) masing-masing membentuk asosiasi untuk menyuarakantentang revisi UU No. 22/1999 yang berorientasi pada pemberianotonomi yang lebih besar serta pembagian kewenangan dan keuangankepada desa yang lebih berimbang.

Aksi kolektif para pemimpin desa kian diperkuat olehdukungan advokasi para akademisi, NGO maupun lembaga-lembaga donor internasional. Melalui proses pembelajaran danpengorganisasian, kerja-kerja kelompok intermediary ini semakinmemperluas dan mengeraskan “suara desa” untuk memperkuatotonomi desa. Mereka yakin betul bahwa penguatan otonomidesa mempunyai beberapa tujuan: memberikan pengakuanterhadap lokalitas yang eksistensinya jauh lebih tua ketimbangNKRI; membawa negara lebih dekat pada rakyat desa;membangkitkan potensi dan prakarsa lokal; menciptakanpemerataan dan keadilan; memberdayakan kekuatan rakyat padalevel grass root; memperbaiki kualitas layanan publik yang relevandengan preferensi lokal; dan lain-lain.

Arah dan substansi revisi UU No. 22/1999 telah lamadiperdebatkan namun tidak terbangun visi bersama untukmemperkuat otonomi daerah, karena fragmentasi kepentingan.Pemerintah mempunyai kehendak kuat untuk merevisi karenaUU No. 22/1999 dinilai melenceng jauh dari prinsip NKRI.Pemerintah kabupaten/kota sangat risau dengan intervensiJakarta dan kontrol yang berlebihan oleh DPRD. Pihak desa(kepala desa dan BPD) telah lama mengusulkan revisi karenaUU No. 22/1999 tidak memberikan ruang bagi desentralisasikewenangan dan keuangan untuk mendukung otonomi desa.Pihak LSM terus-menerus melakukan kajian dan kritik terhadapUU No. 22/1999, tetapi yang paling krusial di mata mereka

adalah lemahnya jaminan legal partisipasi masyarakat danlemahnya komitmen pada pembaharuan desa.

Tahun 2002 pemerintah, khususnya Depdagri, telahmenyiapkan naskah revisi UU No. 22/1999. Tetapi naskah ituditentang keras oleh daerah, LSM dan akademisi karena tidakpunya semangat memperkuat desentralisasi, bahkan lebihbernuansa resentralisasi. Rencana itu akhirnya gagal. Mulaipertengahan 2003 rencana revisi muncul kembali. DPR telahmengambil inisiatif menyusun naskah revisi, tetapi fokus merekahanya pemilihan kepala daerah secara langsung serta posisi danperan DPRD. Pemerintah, melalui Depdagri, menyiapkannaskah yang jauh lebih lengkap untuk melakukan perombakantotal terhadap UU No. 22/1999. Tahun 2004 upaya pemerintahdan DPR melakukan revisi semakin intensif. Tetapi proseskelahiran RUU dan pembahasannya sangat tertutup. PansusDPR-RI memang membuka konsultasi publik untukmembicarakan RUU, tetapi proses ini sangat terbatas, elitis,oligarkhis, dan dijadikan sebagai alat justifikasi bahwa RUUsudah dikonsultasikan dengan publik. Perumusan RUU ternyatatidak ditempuh melalui perdebatan pemikiran yang mendalamdan komprehensif yang melibatkan partisipasi masyarakat secaraluas, yang memungkinkan terjadi proses akomodasi antara suarapusat dengan suara lokal. Berbagai pihak di luar pemerintahpusat dan DPR (LIPI, koalisi NGO, APKASI, ADEKSI, AsosiasiBPD, Asosiasi Kepala Desa, FPPM, FPPD, Aliansi MasyarakatAdat Nusantara, kalangan akademisi, dan lain-lain) terus-menerus menyampaikan usulan perbaikan baik langsungmaupun melalui media, tetapi DPR tidak memberikan responssecara serius dan tidak mengakomodasi suara mereka. DPR samasekali juga tidak memiliki kepekaan terhadap dinamika lokaldan suara desa yang perlu diakomodasi. Secara empirik DPRdan Presiden mengambil keputusan yang sangat strategis, yaitumengesahkan UU No. 32/2004, dalam tempo yang singkat,tergesa-gesa, di saat masa kerja mereka hampir habis.

Page 122: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

204 205

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Proses maupun substansi UU No. 32/2004 secara menyolokgagal menjembatani perbedaan pandangan dari berbagai pihak,yang sebaliknya justru membuahkan kemenangan bagi kekuatannasionalis kolot dan pemerintah pusat terhadap daerah dan desa.Kami menilai bahwa substansi UU 32 cenderung menjauh dariUU No. 22/1999 yang bersifat devolutif-liberal, dan sebaliknya,semakin mendekat pada UU No. 5/1974 yang bersifatsentralistik-otokratis-korporatis. UU No. 32/2004 tidakdimaksudkan untuk memperkuat desentralisasi dan demokrasilokal, sebaliknya malah hendak melakukan resentralisasi,neokorporatisme dan rebirokratisasi terhadap daerah-desa.

Proses perumusan dan kelahiran UU No. 32/2004 secaramenyolok jauh dari proses kontrak sosial dan partisipasimasyarakat. Pansus DPR-RI memang membuka konsultasipublik untuk membicarakan RUU, tetapi proses ini sangatterbatas, elitis, oligarkhis, dan dijadikan sebagai alat justifikasibahwa RUU sudah dikonsultasikan dengan publik.Perumusan RUU ternyata tidak ditempuh melalui perdebatanpemikiran yang mendalam dan komprehensif yangmelibatkan partisipasi masyarakat secara luas, yangmemungkinkan terjadi proses akomodasi antara suara pusatdengan suara lokal. Berbagai pihak di luar pemerintah pusatdan DPR (LIPI, koalisi NGO, APKASI, ADEKSI, AsosiasiBPD, Asosiasi Kepala Desa, FPPM, FPPD, Aliansi MasyarakatAdat Nusantara, kalangan akademisi, dan lain-lain) terus-menerus menyampaikan usulan perbaikan baik langsungmaupun melalui media, tetapi DPR tidak memberikanrespons secara serius dan tidak mengakomodasi suara mereka.DPR sama sekali juga tidak memiliki kepekaan terhadapdinamika lokal dan suara desa yang perlu diakomodasi. Secaraempirik DPR dan Presiden mengambil keputusan yang sangatstrategis, yaitu mengesahkan UU No. 32/2004, dalam tempoyang singkat, tergesa-gesa, di saat masa kerja mereka hampirhabis. Karena tidak berbasis pada kontrak sosial, maka secara

moral dan politik, kami menilai bahwa UU No. 32/2004tidak legitimate dan tidak aspiratif.

Secara substantif, UU No. 32/2004 menciptakan kemunduranotonomi dan demokrasi desa. UU No. 32/2004 tidak mempunyaisemangat menghormati eksistensi desa. Para pembuatnya tidakmemperhatikan suara desa yang menuntut penghormatan, keadilan,pemerataan, kesejahteraan, dan kemandirian desa. Substansi UU No.32/2004 cenderung menjauh dari UU No. 22/1999 yang bersifatdevolutif-liberal, dan sebaliknya, mendekat pada UU No. 5/1974yang bersifat sentralistik-otokratis-korporatis. UU ini juga mengawalikemunduran desentralisasi, otonomi dan demokrasi desa. Setidaknyaada empat isu pokok yang memperlihatkan kemunduran itu.

Pertama, desentralisasi dan otonomi daerah. Desa benar-benar hilang dari peta desentralisasi di Indonesia. UU No. 32/2004 tidak mengenal otonomi desa, melainkan hanya mengenalotonomi daerah. Dalam ketentuan umum ditegaskan: “Otonomidaerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonomuntuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahandan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturanperundang-undangan”. Lebih lanjut ditegaskan: “Daerahotonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakathukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenangmengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentinganmasyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkanaspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan RepublikIndonesia”. Sedangkan desentralisasi adalah penyerahanwewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomuntuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalamsistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kedua, posisi dan kewenangan desa yang merupakan duapoin kritis dalam otonomi desa. Kedudukan (posisi) desamenunjukkan eksistensi desa dalam susunan ketatanegaraanrepublik Indonesia. Baik UUD 1945 maupun UU No. 32/2004tidak secara eksplisit menyebutkan otonomi desa. Pasal 2 UU

Page 123: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

206 207

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

No. 32/2004 menegaskan: “Negara Kesatuan Republik Indone-sia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itudibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyaipemerintahan daerah”. Ini artinya negara hanya dibagi menjadidaerah, yang kemudian daerah ditetapkan menjadi daerah otonom(local self government). Negara hanya mengakui keberadaan desa,tetapi ia tidak membagi kekuasaan dan kewenangan(desentralisasi) kepada desa. Seperti dalam UU sebelumnya, desahanya menjadi bagian dari pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 200 ayat (1), menyatakan “Dalam pemerintahan daerahkabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri daripemerintah desa dan badan permusyawaratan desa” Penggunaanistilah “dibentuk” ini menegaskan bahwa pemerintah desamerupakan sub sistem atau bagian dari pemerintah kabupaten/kota, karenanya ia menjalankan sebagian kewenangan pemerintahkabupaten/kota. Dalam undang-undang ini desa merupakansatuan pemerintah yang ada dalam pemerintah kabupaten/kota.Ini berbeda dengan istilah yang digunakan dalam Pasal 18 ayat(1) UUD 1945 yang menyatakan “Negara Kesatuan RepublikIndonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsiitu dibagi atas kabupaten dan kota.......”. Pemakaian istilah“dibagi atas daerah-daerah” menunjukkan selain menghormatidaerah otonom juga menegaskan adanya hubungan pemerintahpusat dan daerah bersifat hirarkhis dan vertikal. Dengan demikianada perbedaan model hubungan pusat dan daerah berdasarkanPasal 18 UUD 1945 dengan model hubungan Kabupaten/kotadengan desa berdasar UU No. 32/2004.

Pengakuan NKRI pada keberadaan desa dituangkan dalambentuk pengertian desa: “Desa atau yang disebut dengan namalain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukumyang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengaturdan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalamsistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Klausul ini berupaya melokalisir desa hanya sebagai subyekhukum yang mengelola kepentingan masyarakat setempat, bukanurusan atau kewenangan pemerintahan, seperti halnya daerah. Desasudah lama mengurus sendiri kepentingan masyarakat, untuk apafungsi ini harus diakui oleh UU. Tanpa diakui oleh UU sekalipun,desa sudah mengurus kepentingan masyarakat setempat. Klausulitu juga menegaskan bahwa negara hanya “mengakui” keberadaandesa, tetapi tidak “membagi” kekuasaan pemerintahan kepada desa.Desa hanya diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum berdasarkanasal-usul dan adat-istiadat (self governing community), bukandisiapkan sebagai entitas otonom sebagai local self government.

UU No. 32/2004 memberikan definisi secara “standar”mengenai wewenang untuk mengelola “urusan” pemerintahandesa. Kewenangan direduksi menjadi urusan. Menurut pasal 206ada empat urusan pemerintahan desa: (a) urusan yang sudah adaberdasarkan hak asal-usul desa; (b) urusan yang menjadikewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannyakepada desa; (c) tugas pembantuan dari Pemerintah, provinsi,dan/atau pemerintah kabupaten/kota; dan (d) urusan lainnya yangoleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa.

Kewenangan desa yang terbatas tentu akan memperlemahotonomi desa. Berbagai perangkat konstitusi dan UU belummemberikan ruang bagi desentralisasi dan otonomi desa.Otonomi desa (termasuk di dalamnya property right) belumdiakui oleh negara. Desa hanya diakui sebagai kesatuanmasyarakat hukum yang berwenang mengatur dan menguruskepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul danadat-istiadat setempat. Rumusan ini mengandung sejumlahproblem. Pertama, kewenangan asal-usul dan adat-istiadatumumnya sudah hancur dan tinggal kenangan karena masuknyaintervensi negara dan eksploitasi modal, yang kemudianmembuat masyarakat lokal (adat) kehilangan kepemilikan, hargadiri dan identitas lokal. Yang masih sedikit tersisa hanya ritualadat yang sama sekali tidak berhubungan dengan kewenangan

Page 124: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

208 209

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

pemerintahan. Bagi elemen-elemen masyarakat lokal,kewenangan asal-usul sangat susah dirumuskan atau hanyasekadar “kewenangan kering” yang tidak mempunyai implikasiterhadap kewenangan desa (atau nama lain) untuk membuatkeputusan lokal yang mengikat masyarakat setempat danmengendalikan (atau memanfaatkan) sumberdaya lokal. Kedua,karena desentralisasi dan otonomi daerah hanya sampai dikabupaten/kota, maka desa tidak lagi memperoleh pembagiankewenangan yang memadai dari pemerintah supradesa.Penyerahan kewenangan kepada desa hanya tergantung pada“baik budi” bupati. Ketiga, UU 32/2004 tidak mengedepankanprinsip subsidiarity kepada desa, sebuah prinsip penting dalamdesentralisasi (penggunaan kewenangan dan pengambilankeputusan secara lokal), yang memungkinkan penguatanprakarsa dan akuntabilitas lokal. UU ini lagi-lagi memberikancek kosong kepada Peraturan Pemerintah dan Perda untukmenjadikan desa sebagai obyek pengaturan.

Ketiga, demokrasi dalam konteks susunan pemerintahandesa. Salah satu tujuan besar desentralisasi politik ataupembentukan pemerintahan lokal yang otonom adalahmembangun demokrasi lokal atau pemerintahan lokal yangdemokratis (democratic local governance). Demokrasi lokalberbicara tentang pemerintahan yang akuntabel, transparan,responsif dan partisipatif. Keberadaan lembaga perwakilansebagai wadah representasi rakyat merupakan arena untuk checks& balances agar prinsip-prinsip demokrasi bisa berjalan,sekaligus menghindari penyalahgunaan kekuasaan kepala desa.

UU No. 32/2004 justru menciptakan kemunduran bagidemokratisasi di tingkat desa. Para perumusnya begitu khawatirdengan kuatnya keberadaan Badan Perwakilan Desa (BPD) yangyang menimbulkan hubungan konfliktual dengan kepala desaserta merosotnya kekuasaan dan kewibawaan kepala desa. Merekayakin betul bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)yang kuat dan integratif membutuhkan hadirnya kekuasaan

eksekutif yang powerful dan berwibawa di hadapan lembagalegislatif dan rakyat.

UU No. 32/2004 sengaja mengganti sistem perwakilan(representasi) dalam bentuk BPD dengan sistempermusyawaratan dalam bentuk Badan Permusyawatan Desa(disingkat Bamusdes). Pasal 210 menegaskan: “Anggota badanpermusyawaratan desa adalah wakil dari penduduk desabersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah danmufakat”. “Yang dimaksud dengan “ wakil ” dalam ketentuanini adalah penduduk desa yang memangku jabatan seperti ketuarukun warga, pemangku adat, dan tokoh masyarakat lainnya”.Klausul “wakil” dan “musyawarah” itu harus dicermati secarakritis. Keduanya menegaskan bahwa Bamusdes mewadahi parapemuka masyarakat desa tanpa harus dipilih melalui sistemketerwakilan, seperti keberadaan LMD yang lalu.

Di desa sering muncul distorsi dalam musyawarah untukmenentukan siapa pemuka masyarakat yang dilibatkan dalamBamusdes. Distorisnya adalah “penunjukan” secara elitis terhadappemuka masyarakat yang dianggap “dekat” kepala desa. Akibatnyaadalah ketiadaan akses rakyat biasa (ordinary people) untukberpartisipasi sebagai anggota Bamusdes. Fungsi Bamusdes jugadikebiri, yaitu hanya menetapkan perdes bersama kepala desa,menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Fungsi kontroldihilangkan, sehingga memperlemah check and balances dalampemerintahan desa.

Sisi yang lain adalah akuntabilitas kepala desa.Pertanggungjawaban kepala desa ditemukan di dalam penjelasanumum: “Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepadarakyat Desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melaluiCamat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajibmemberikan keterangan laporan pertanggungjawabannya dankepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokokpertanggung jawabannya.....”

Page 125: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

210 211

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Rangkaian kalimat itu sangat membingungkan. Kamimemahami klausul itu menegaskan bahwa akuntabilitas kepaladesa bukan kepada rakyat (sebagai konstituen), tetapi kepadabupati/walikota melalui camat sebagai pemerintah “atasan”.Pemindahan akuntabilitas ke bawah menjadi ke atas itulah yangkami sebut sebagai resentralisasi, serta mereduksi prinsipsubsidiatity dan proses demokrasi lokal. Subsidiarity mengajarkanbahwa pengambilan keputusan, penggunaan kewenangan,akuntabilitas, maupun penyelesaian masalah sebaiknya dilakukandi level lokal. Sedangkan demokrasi lokal mengajarkan bahwaakuntabilitas pejabat politik seharusnya disampaikan kepadakonstituen pemilihnya, bukan ditarik ke atas.

Dalam lingkungan struktur-kultur politik yang masih birokratisdan klientelistik, akuntabilitas vertikal ke atas justru akan membuatkepala desa kurang akuntabel dan responsif kepada masyarakat,melainkan akan lebih loyal (tunduk) pada kekuasaan di atasnya.Dalam praktik bisa jadi kepala daerah akan menghindar dari desakanrakyat dan akuntabilitas publik, sebab dia sudah merasa cukupmenyampaikan pertanggungjawaban ke atas. Akuntabilitas ke atasjelas mengurangi makna desentralisasi, otonomi dan eksistensi desa,dan mereduksi proses pembelajaran demokrasi di level desa.

Keempat, birokrasi desa. Perangkat desa yang diaturberdasarkan UU No 32/2004 sangat berbeda dengan pengaturandalam UU No. 22/1999. Perangkat desa berdasarkan UU No. 32/2004 terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. UUNo. 32/2004 mengamanatkan sekretaris desa diisi dari pegawainegeri sipil yang memenuhi persyaratan. Dalam penjelasan jugaditegaskan: “Sekretaris desa yang ada selama ini yang bukan PegawaiNegeri Sipil secara bertahap diangkat menjadi pegawai negeri sipilsesuai peraturan perundang-undangan”. Dengan demikian, ada duakemungkinan: Men-Sekdes-kan PNS, atau Mem-PNS-kan Sekdes.

Ketentuan baru tersebut memang dilematis. KeberadaanSekdes yang berstatus PNS memungkinkan pelayanan (baca:penjagaan) di kantor desa lebih terjamin. Tetapi ketentuan ini

adalah bentuk birokratisasi yang mempunyai risiko buruk bagipemerintahan desa. Sesuai dengan konteks lokal, sekdes besertaperangkatnya adalah pamong desa, yang tidak hanyamenjalankan fungsi-fungsi administratif secara ketat, tetapi jugamenjalankan fungsi sosial yang harus siap selama 24 jam sehari.Selama ini sekdes direkrut secara lokal, serta bertanggungjawabsecara tunggal kepada kepala desa. Kalau sekdes PNS, maka diamempunyai tanggungjawab dan loyalitas ganda, yakni kepadakepala desa dan kepada birokrasi pembina PNS di atas desa.Birokratisasi ini bisa membawa pamong desa kearah birokrasiyang lebih kompleks dan menjauhkan pamong desa darirakyatnya serta mengubah orientasi pengabdian sekdes. Di sisilain, sekdes PNS ini juga akan membuat kecemburuan sosial dikalangan perangkat desa yang lain, bahkan bagi kepala desasendiri. Kalau kecemburuan sosial ini terjadi, maka efektivitaspelayanan administratif (sebuah argumen yang dikedepankanoleh perumusnya) akan terdistorsi secara serius.

Isu Sekdes-PNS memang menimbulkan masalah serius,bahkan membuat Departemen Dalam Negeri sangat kedodorandalam menyusun Peraturan Pemerintah mengenai PemerintahanDesa. Pengangkatan Sekdes menjadi PNS jelas berbenturan denganUU Kepegawaian, sekaligus menimbulkan beban kepegawaiandan anggaran yang sangat berat. Di aras lokal isu Sekdes-PNS inijuga menimbulkan masalah. Pemerintah daerah umumnyamenghadapi kesulitan tentang hal ini. Setiap kali saya berkunjungke daerah, pejabat bagian Pemerintahan Desa selalu mengajakdiskusi mengenai masalah ini, dan tidak ditemukan jawaban yangmemadai, kecuali menunggu instruksi dari atas. Di aras desa,masalah menjadi lebih keras. Peraturan belum juga dilaksanakan,sudah terajdi benturan antara kepala desa, sekdes dan perangkatdesa lain. Para kepala desa umumnya merasa keberatan dan iri,sekaligus bertanya kenapa yang di-PNS-kan hanya sekdes. Sikapyang sama juga muncul dari perangkat desa lain; mereka jugamenuntut agar bisa di-PNS-kan seperti Sekdes. Para sekdes,

Page 126: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

212 213

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

awalnya sangat bergembira, begitu mendengar dan membacaamanat dalam UU No. 32/2004. Mereka tidak lama lagi bakaldiangkat menjadi PNS. Tetapi ternyata implementasinya tidaksecepat yang mereka harapkan. Karena itu mereka bersuara kerasmenuntut agar pemerintah segera mengangkat mereka menjadiPNS. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sekdes menghimpunkekuatan mereka menjadi asosiasi untuk memperjuangkan aspirasimereka. Ribuan anggota asosiasi sekdes pernah ramai-ramaimendatangi Depdagri, yang intinya mereka menuntut pemerintahagar mereka segera diangkat menjadi PNS.

Kelahiran Peraturan Pemerintah No. 72/2005 juga tidak serta-merta menyelesaikan masalah-masalah itu. Akan tetapi PP tersebutdisambut dengan gugatan oleh para asosiasi kepala desa yangtergabung dalam Parade Nusantara. Parade bersikap bahwa keduaregulasi itu tidak aspiratif dan mereka menuntut kepada pemerintahagar keduanya direvisi. UU 32 Tahun 2004, bagi Parade Nusantaradinilai hanya kemunduran karena sangat sedikit mengakomodasimasalah-masalah yang mengatur pemerintahan desa. Juga terdapatbanyak pembatasan hak desa, seperti hak politik perangkat desa, masajabatan kepala desa yang sebelumnya diatur dalam UU No 5 Tahun1979 selama delapan tahun dan bisa dipilih kembali, kemudianberubah menjadi enam tahun. Sudir mengatakan, nasib kepala desasejak Orde Lama hingga era reformasi sekarang ini tidak berubah.Mereka tidak pernah menjadi subjek, tetapi selalu menjadi objekpemerintahan. Padahal, tuturnya, mereka adalah ujung tombakpemerintahan di tataran paling bawah. Ironisnya lagi nasib merekasama sekali tidak diperhatikan oleh pemerintah. Dia mengungkapkan,hidup para kepala desa sangat tragis. Banyak kepala desa danperangkat desa yang tidak mendapat honor. Bahkan untuk memilihkepala desa mereka menggunakan uang dari saku sendiri. Terkaitdengan itu, mereka meminta supaya pemilihan kepala desamenggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).“Bagaimana rakyat bisa maju kalau kepala desa dan perangkat desanyasaja tidak diperhatikan nasibnya,” ucapnya. Selain itu, lanjutnya,

hingga kini belum ada satu pun UU yang mengatur tentang kepaladesa. Selama ini, seperti UU No 22 Tahun 1999 tentang OtonomiDaerah yang kemudian diubah dengan UU Pemda bukanlah UUtentang kepala desa. Meskipun di dalam UU tersebut ada pasal yangmengatur tentang kepala desa, tetapi jumlahnya sangat sedikit.Pengaturan soal kepala desa dalam UU Pemda itu pun banyak yangrancu. Karena itu mereka menuntut supaya sejumlah pasal yangmengatur tentang kepala desa dalam UU tersebut direvisi. Diamemberi contoh, pasal 112 UU Pemda yang menentukan bahwabiaya kegiatan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerahdibebankan kepada APBD. Mereka menuntut supaya pasal iniditambah dengan biaya pemilihan kepala daerah dan wakil kepaladaerah serta kepala desa dibebankan kepada APBD.

Pada tanggal 8-9 Maret 2006 sekitar 7 ribu anggota Parademenggelar aksi kolektif di Jakarta mendatangi DPD, DPR,Mendagri dan Istana Presiden. Mereka menuntut diperbolehkanmenjadi pengurus parpol; minta masa jabatan diperpanjang darienam tahun menjadi 10 tahun; dana perimbangan dinaikkan dari10 persen menjadi 20 persen; biaya pilkades dibebankan padaAPBD, Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya diangkatmenjadi PNS, perbaikan kesejahteraan. Pada tanggal 3 April 2006mereka datang kembali ke Jakarta mendatangi Mahkamah Agunguntuk menyampaikan uji materi terhadap UU No. 32/2004 danPP No. 72/2005.

Ketika aksi kolektif tengah berlangsung, sikap pro dan kontrabermunculan. Beberapa politisi dengan cepat memberikandukungan pada mereka. Soal keinginan para kades menjadipengurus parpol, Golkar dan PDIP menyatakan setuju. Kadesdinilai boleh menjadi pengurus parpol karena mereka bukan PNS,sehingga tak boleh mendapat perlakuan diskriminatif. SementaraMenteri Dalam Negeri bersikap defensif pada demo Parade, bahkandia mengusir kadesa agar segera pulang kembali ke desanyamasing-masing untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.Karena sikapnya ini, Parade malah menyampaikan suara yang keras

Page 127: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

214 215

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

menuntut mundur Mendagri. Melihat kondisi ini, Presidenmeminta agar Mendagri memberi tanggapan yang positif padatuntutan kades. Karena itu pada tanggal 17 Maret 2006,Mendagri mengeluarkan Surat Edaran Nomor 140/537/SJtentang pemantapan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, yangmeliputi petunjuk tentang:

1).Perda harus melalui konsultasi publik dengan PemerintahanDesa.

2).Kepala Desa dapat ditunjuk sebagai penjabat Kepala Desa(bersamaan dengan pemberhentiannya sebagai KepalaDesa).

3).Pelaksanaan Alokasi Dana Desa sesuai dengan PP Nornor72 Tahun 2005.

4).Penyediaan Biaya Pilkades dalam APBD Kab/Kota.5).Peningkatan penghasilan tetap dan tunjangan lainya bagi

Kepala Desa dan Perangkat Desa minimal sama denganUMR Kabupaten/Kota.

6).Pengaturan dalam Perda Kab/Kota tentang pengangkatanSekdes PNS oleh Sekda atas usul dari Kepala Desa.

7).Melibatkan Kades dalam seluruh pembangunan Desayang dananya berasal dari APBN, APBD dan Pembiayaanlainnya.

Lagi-lagi kebijakan pemerintah pusat itu memberi bebanyang berat kepada pemerintah kabupaten/kota. Padahalkabupaten/kota sudah betul-betul kedodoran menghadapi desa,sehingga kenapa mereka mendorong dan bahkan memberi bekalkepada anggota Parade Nusantara untuk melakukan aksi kolektifdi Jakarta. Kebijakan pusat itu jelas darurat, dan karena itumembutuhkan reformasi yang menyeluruh.

Desentralisasi dan Otonomi DesaOtonomi desa adalah kemandirian desa. Semua pihak pasti

sepakat atas definisi dan semangat itu. Frasa kemandirian desa

memang tampak begitu indah, tetapi sebenarnya mengandungparadoks dan jebakan. Mengapa? Setiap orang pasti mempunyaitafsir dan cara pandang yang berbeda-beda untuk memaknaikemandirian desa. Kalangan yang berhaluan lokalis dan romantiscenderung memahami bahwa kemandirian desa merupakanmasalah internal desa, rumah tangga “sendiri”, yakni kemampuanmengelola maupun membiayai pemerintahan, pembangunan dankemasyarakatan dengan bertumpu pada hasil sumberdaya lokal,swadaya dan gotong-royong masyarakat, atau yang sering disebutsebagai Pendapatan Asli Desa (PADes). Kalau bantuan pemerintahlebih besar ketimbang PADes, kata cara pandang lokalis-romantis,berarti otonomi desa gagal dilaksanakan dan desa tergantung padapemerintah supradesa. Kelemahan mendasar konsepsi lokalisadalah bahwa otonomi desa lebih dipandang sebagai kewajibandan tanggungjawab, bukan sebagai hak.

Pemerintah sebenarnya mempunyai cara pandang yanghampir sama dengan cara pandang lokalis-romantis. Tetapi yangberbeda, pemerintah mengadopsi argumen lokalis-romantis ituuntuk keperluan mempertahakan sentralisme. Para pejabatsupradesa selalu mengatakan bahwa kekuatan penopangkemandirian desa adalah swadaya dan gotong-royong yang sudahlama dipelihara di desa. Karena itu mereka selalu mendorong agarmasyarakat desa terus-menerus meningkatkan swadaya dangotong-royong, sebab bantuan terbatas yang diberikanpemerintah bukanlah komponen utama pembangunan desa,melainkan sebagai insentif atau stimulan untuk swadaya. Iniadalah jebakan yang eksploitatif. Dengan melakukan eksploitasiterhadap swadaya, pemerintah tidak merasa perlu membagikekuasaan dan sumberdaya yang menjadi domainnya kepada desa.

Kami tentu tidak menafikan swadaya masyarakat. Swadayamasyarakat berarti solidaritas sosial dan bagian dari modal sosialyang telah lama menjadi penyangga penghidupan berkelanjutan(sustainable livelihood) masyarakat desa. Tetapi otonomi dankemandirian desa lebih dari sekadar swadaya. Kemandirian

Page 128: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

216 217

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

bukanlah “kesendirian”, dan otonomi desa bukan masalah inter-nal desa. Otonomi desa tidak bakal lepas dari konteks relasi antaradesa dengan supradesa, sebab desa menjadi bagian dari negarayang juga menjalankan sejumlah kewajiban yang dibebankan olehnegara. Karena itu, lebih sekadar swadaya, otonomi desamerupakan persoalan pemertaan dan keadilan hubungan antaranegara dan desa. Desa, khususnya pemerintah desa, mempunyaihak bila berhadapan dengan negara, sebaliknya ia mempunyaikewajiban dan tanggungjawab kepada masyarakat desa.

Melampaui batas-batas lokalitas internal desa, otonomidesa mengandung prinsip keleluasaan (discretionary),kekebalan (imunitas) dan kapasitas (capacity). Keterpaduanantara keleluasaan dan kapasitas bakal melahirkankemandirian desa, yakni kemandirian mengelola pemerintah-an, mengambil keputusan, dan mengelola sumberdaya lokalsendiri yang sesuai dengan preferensi masyarakat lokal.Kemandirian merupakan kekuatan atau sebagai sebuahprakondisi yang memungkinkan proses peningkatkan kualitaspenyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa,pengembangan prakarsa dan potensi lokal, pelayanan publikdan kualitas hidup masyarakat desa secara berkelanjutan.

Keleluasaan merupakan sebuah isu krusial dalam konteksrelasi antara pemerintah, daerah dan desa. Ketika format relasipusat-daerah-desa bersifat sentralistik, hirarkhis, korporatis danbirokratis, maka desa tidak bakal mempunyai keleluasaan.Keleluasaan juga tidak bakal muncul kalau terjadi intervensi pusatterhadap daerah, sehingga keleluasaan identik dengan “kebebasandari” atau kekebalan (imunitas) desa “dari” campur tangan(intervensi) pemerintah supradesa. Pengalaman Orde Baru denganUU No. 5/1979 memperlihatkan secara gamblang bahwa desasama sekali tidak mempunyai keleluasaan karena ketatnyasentralisasi dan intervensi. Sekarang, di era reformasi, UU No.22/1999 sedikit banyak memberikan garansi formal dan ruangbagi tumbuhnya keleluasaan desa mengelola rumah tangganya

sendiri, meskipun dalam banyak hal pemerintah masih seringmelakukan intervensi terhadap desa.

Keleluasaan desa bisa didongkrak bila desa mempunyaisejumlah kewenangan yang diberikan pemerintah melalui skemadesentralisasi politik. Untuk membangun otonomi desa,desentralisasi harus didorong sampai ke level desa dimanadistribusi kewenangan tidak berhenti sampai ke level kabupatennamun perlu juga distribusi kewenangan hingga ke tingkat desa.Tetapi, sayangnya, desa hampir hilang dari peta desentralisasi diIndonesia. Dalam Undang-undang, desentralisasi hanya sebataspembagian kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah, bukankepada desa. Para ahli hukum yang berhaluan formalis pun jugatidak mau menggunakan istilah desentralisasi desa, sebab posisidesa dalam ketatanegaraan RI bukan penerima desentralisasi.Seorang pakar hukum dari Universitas Brawijaya, Ibnu Tricahyo,selalu mengatakan bahwa kebijakan yang berorientasi padapembagian kewenangan dan keuangan kepada desa sebenarnyamerupakan kebijakan parsial, sehingga advokasi otonomi desaharus dilakukan dengan cara mempertegas pengaturan konstitusiatas kedudukan desa dalam ketatanegaraan Republik Indonesia.Kedudukan desa itu, tutur Ibnu, harus otonom di hadapan negara,bukan sekadar subsistem dari pemerintahan kabupaten.

Kami berpendapat bahwa mendongkrak keleluasaan maupunmembagi kewenangan kepada desa tidak harus dilakukan secaramaksimalis seperti usulan Ibnu Tricahyo. Kami menganut carapandang inkrementalis. UU No. 22/1999 sebenarnya mulaimenegaskan desa sebagai local-self government, meski tidak secaraekspliti disebut sebagai otonom, seperti halnya daerah otonomdi atas desa. Pengembangan otonomi desa, terutama penguatanlocal-self government desa, tidak harus dilakukan secara maksimalisdengan melakukan amandemen konstitusi yang menegaskankedudukan desa sebagai entitas otonom, melainkan dengan carabertahap membagi kewenangan dan keuangan kepada desa. Padasaat yang sama, pihak pemerintah supradesa perlu mendorong

Page 129: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

218 219

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

subsidiarity serta memfasilitasi capacity building dan supervisi agarpemerintah desa secara bertahap mampu mengembangkankapasitas mengelola kewenangan dan keuangan, sertabertanggungjawab dalam pengelolaan pelayanan publik.

Pembagian kewenangan menjadi kunci untuk membuatotonomi desa. Kewenangan sering dipahami sebagai hak legalsecara penuh untuk bertindak mengatur dan mengelola rumahtangganya sendiri. Ada pula yang memahami bahwa kewenanganadalah kekuatan formal perangkat negara untuk mengambilkeputusan yang bersifat mengikat dan memaksa terhadap warganegara. Kewenangan juga bisa dipahami sebagai instrumen ad-ministratif untuk mengelola urusan. Menurut ketentuan formal,kewenangan desa adalah hak dan kekuasaan pemerintahan desadalam rangka otonomi desa, yang artinya hak untuk mengaturdan mengurus kepentingan masyarakat sesuai kondisi dan sosialbudaya setempat. Dengan demikian, kewenangan akanmemperkuat posisi dan eksistensi subyek pemilik kewenanganitu untuk menjadi subyek hukum yang leluasa dan otonom dalammengambil keputusan. Kewenangan akan membuat otonomi, danbahkan skala yang lebih tinggi akan membuat kedaulatan. Karenakewenangan mempunyai implikasi yang serius, misalnyapengaturan dan pemaksanaan terhadap warga, maka pemegangkewenangan tersebut harus bertanggungjawab terhadap pemberimandat atau obyek yang terkena kewenangan.

Penerapan kewenangan akan terbentang mulai daripembuatan keputusan, pelaksanaan, dan kontrol atas keputusantersebut dalam rangka membuat peraturan (regulasi) sendiri yangmengikat, mengelola (merencanakan, mengumpulkan, membagi,merawat, dan seterusnya) dan mengambil atau memanfaatkanbarang-barang atau aset publik (warga, jabatan, wilayah, tanah,urusan tugas, hutan, laut, uang, dan lain-lain) dalam lingkupyurisdiksinya. Menurut studi Ari Krisna M. Tarigan dan TataMustasya (2003) kewenangan desa berpusat pada kewenangandesa untuk mengelola sumberdaya alam dan sumberdaya

ekonomi untuk kesejahteraan warganya dan mendistribusikan-nya secara adil kepada semua kelompok, termasuk kelompokmarginal. Konsekuensi dari kewenangan ini, desa memilikipendapatan yang bersumber dari sumberdaya lokal setempat,sehingga diperlukan adanya pengembangan model perimbangankeuangan antara kabupaten dan desa.

UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 sebenarnya telahmerumuskan tiga kewenangan utama yang diberikan kepadadesa, yakni: (1) kewenangan yang sudah ada berdasarkan hakasal-usul Desa; (2) kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah danPemerintah; dan (3) Tugas pembantuan dari Pemerintah,Pemerintah Provinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten kepadaDesa disertai dengan pembiayaan, saran dan prasarana, sertasumber daya manusia. Tetapi rumusan ini masih sangat abstrak,yang menimbulkan banyak tafsir secara liar. PP No. 76/2001telah mencoba menjabarkan rumusan kewenangan desa dalamUU No. 22/1999, tetapi juga belum clear dan juga belumdigunakan sebagai referensi oleh kabupatan untuk membuatPerda tentang kewenangan desa. Direktorat JenderalPemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen DalamNegeri, juga telah membuat Manual Pemerintahan Desa yangdi dalamnya berisi begitu banyak kewenangan desa. Manualyang dikeluarkan tahun 2003 ini sebenarnya relatif clear, tetapiia hanya sebatas panduan untuk pelatihan bagi perangkatkabupaten, bukan regulasi yang mengikat kabupaten.

Sebagai langkah awal untuk pemetaan, kami mengidentifikasiada empat tipe kewenangan desa. Pertama, kewenangan generikatau kewenangan asli, yang sering disebut hak atau kewenanganasal-usul yang melekat pada desa sebagai kesatuan masyarakathukum. Kewenangan inilah yang sering disebut sebagai propertyright komunitas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganyasendiri (R. Yando Zakaria, 2000), atau yang sering disebut sebagaiwujud otonomi asli. Ada beberapa jenis kewenangan generik yang

Page 130: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

220 221

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

sering dibicarakan: kewenangan membentuk dan mengelola sistempemerintahan sendiri; kewenangan mengelola sumberdaya lokal(tanah kas desa, tanah bengkok, tanah ulayat, hutan adat, dll);kewenangan membuat dan menjalankan hukum adat setempat;kewenangan mengelola dan merawat nilai-nilai dan budaya lokal(termasuk adat-istiadat); kewenangan yudikatif atau peradilankomunitas (community justice system), misalnya dalam halpenyelesaian konflik lokal yang bukan kriminal (Sutoro Eko, 2004).

Kewenangan generik sebenarnya merupakan indikator desasebagai kesatuan masyarakat hukum atau desa sebagai subyekhukum yang otonom. Desa-desa di Jawa, misalnya, mempunyaikewenangan mengelola tanah kas desa maupun tanah bengkoksecara mandiri untuk membiayai penyelenggaraanpemerintahan desa. Sementara desa-desa adat di Luar Jawaumumnya mempunyai hukum adat atau pranata sosial untukmengatur pemerintahan maupun hubungan sosial sertamengelola sumberdaya lokal (tanah, tumbuhan, sungai, hutan,dan lain-lain). Mengatur berarti membuat dan melaksanakanperaturan yang memaksa dan mengikat warga, ataumenentukan batas-batas yang boleh dilakukan dan yang tidakboleh dilakukan oleh warga. Di nagari, misalnya, mempunyaiaturan hukum adat yang sangat kuat dalam hal pengelolaan(terutama aturan tentang pembatasan penjualan) tanah pusako.Masyarakat adat Atoni Meto di Nusa Tenggara Timur jugamempunyai aturan yang kuat dalam mengelola kayu cendana.Kayu cendana boleh ditebang kalau umurnya sudah tua danharus ditebang dengan upacara adat. Suku Amungme diTimika (Papua) juga mempunyai hukum adat untuk merawatsecara seimbang dan keberlanjutan terhadap S-3 (sungai, sam-pan dan sagu). Sungai tidak boleh dikotori, sagu tidak bolehditebang sembarangan. Tentu saja masih banyak aturan hukumadat yang mengatur masalah pemerintahan, pengelolaansumberdaya, hubungan sosial, dan seterusnya. Pada prinsipnyaaturan lokal itu dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan

dan keberlanjutan hubungan antarmanusia dan hubunganantara manusia dengan alam dan Tuhan.

Tetapi, sekarang, kewenangan generik bukan hanya susahuntuk diingat kembali, tetapi sebagian besar sudah hancur.Komunitas adat (desa adat) yang paling menderita atas kehancurankewenangan generik. Adat telah kehilangan eksistensinya sebagaisubyek hukum untuk mengelola property right. Banyak tanah ulayatyang diklaim menjadi milik negara. Ketika desa dan adatdiintegrasikan ke dalam negara, maka negara membuat hukumpositif yang berlaku secara nasional, sekaligus meniadakan hukumadat lokal yang dulunya digunakan untuk mengatur dan mengurusrumah tangganya sendiri. Sengketa hukum dan agragia antaranegara dengan adat pun pecah dimana-mana yang sampai sekarangsulit diselesaikan secara karitatif karena posisi (kedudukan) desaadat yang belum diakui sebagai subyek hukum yang otonom. Ditingkat lokal juga sering terjadi dualisme antara kepala desa denganpenghulu adat atau sering terjadi benturan antara “desa negara”dengan “desa adat” yang menggelar sengketa dalam halpemerintahan, kepemimpinan, aturan dan batas-batas wilayah.

Desentralisasi politik desa tentu harus memberikan pengakuandan sekaligus melakukan pemulihan terhadap sejumlah kewenangangenerik yang sudah lama dimiliki desa. Salah satu yang krusial untukdirevitalisasi adalah peneguhan entitas lokal sebagai kesatuanmasyarakat hukum yang mempunyai hak-hak kepemilikan, terutamatanah dan hukum adat. Penyatuan antara desa negara dengan desaadat menjadi sangat penting, yang kemudian ditetapkan batas-bataswilayah dan kewenangan lokal. Jika problem generik ini sudah cleardengan format “desa baru” (yang mempunyai batas-batas wilayahdan kewenangan secara jelas), maka langkah berikutnya adalahmelakukan distribusi kewenangan kepada desa.

Kedua, kewenangan devolutif, yaitu kewenangan yangmelekat kepada desa karena posisinya sebagai pemerintahan lokal(local-self government), meski desa belum diakui sebagai entitasotonom seperti kabupaten/kota. Desa, sebagai bentuk

Page 131: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

222 223

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

pemerintahan lokal (local-self government) sekarang mempunyaiperangkat pemerintah desa (eksekutif) dan Badan PerwakilanDesa (BPD sebagai perangkat legislatif) yang mempunyaikewenangan untuk membuat peraturan desa sendiri. Di masaOrde Baru di bawah UU No. 5/1979, kewenangan devolutifdalam hal pembuatan Perdes ini tidak dimiliki oleh desa. Adasejumlah kewenangan desa yang bisa dikategorikan sebagaikewenangan devolutif:

Penetapan bentuk dan susunan organisasi pemerintahandesa;

Pencalonan, pemilihan dan penetapan Kepala Desa; Pencalonan, pemilihan, pengangkatan dan penetapan

perangkat desa; Pembentukan dan penetapan lembaga masyarakat; Penetapan dan pembentukan BPD; Pencalonan, pemilihan dan penetapan angota BPD; Penyusunan dan penetapan APBDes; Penetapan peraturan desa; Penetapan kerja sama antar desa; Penetapan dan pembentukan Badan Usaha Milik Desa

(BUMDES);

Penetapan kewenangan devolutif sebenarnya sudahmerupakan kemajuan yang cukup signifikan, meskipun dalampraktiknya masih banyak masalah yang muncul. Contohnyaadalah penetapan jumlah BPD, rekrutmen perangkat, dan SOTdesa. Sekian jumlah kewenangan itu bila dilaksanakan denganbaik oleh desa, tentu, akan secara bertahap menempa ke-mampuan dan kemandirian desa. Ke depan ada pula gagasankewenangan devolutif yang perlu dilembagakan di desa, yaknimembuat desa sebagai entitas pembangunan yang otonom,sehingga desa secara otonom bisa membuat perencanaan danpembiayaan pembangunan berdasarkan preferensi lokal. Inilahyang kami sebut sebagai local-self planning, sebagai alternatif

atas bottom-up planning yang selama ini diterapkan di daerah,tetapi penuh dengan masalah dan distorsi.

Ketiga, kewenangan distributif, yakni kewenanganmengelola urusan (bidang) pemerintahan yang dibagi (bukansekadar delegasi) oleh pemerintah kepada desa. Jika mengikutiUU No. 22/1999, kewenangan distributif ini disebut sebagai“kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yangberlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah”, yangdalam pratiknya sering dikritik sebagai “kewenangan kering”karena tidak jelas atau “kewenangan sisa” karena desa hanyamenerima kewenangan sisa (karena semuanya sudah diambilkabupaten/kota) yang tidak jelas dari supradesa.

Keempat, kewenangan dalam pelaksanaan tugaspembantuan. Ini sebenarnya bukan termasuk kategorikewenangan desa karena tugas pembantuan hanya sekadarmelaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, saranadan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajibanmelaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkankepada yang menugaskan. Titik kewenangannya justru bersifat“negatif”, yaitu kewenangan desa menolak tugas pembantuan bilatidak disertai pendukungnya.

Demokratisasi DesaSejak paradigma pembangunan desa yang berbasis pada

rakyat, demokrasi merupakan elemen sangat penting, sebagaibagian dari proses pembangunan, sekaligus sebagai alat dantujuan pembangunan desa. Rakyat dalam konteks ini menempatiposisi sentral (subyek) dalam pembangunan, mulai dariperencanaan sampai dengan evaluasi pembangunan. Mengapademokrasi penting dalam pembangunan desa? Pertama,pembangunan desa tentu bukan sekadar masalah teknis danekonomis, tetapi juga terkait dengan masalah politik. Berbagaiagenda dalam pembangunan desa (prioritas program, pelibatanstakeholders, alokasi anggaran dan lain-lain), merupakan pilihan

Page 132: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

224 225

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

dan keputusan politik. Agar keputusan politik tersebut aspiratif,akomodatif, dan tepat sasaran, maka dibutuhkan prosesdemokrasi di dalamnya. Kedua, pembangunan desa merupakanbidang governance, yang dikelola dengan melibatkan pemerintahdesa dan unsur-unsur masyarakat. Pembangunan tentu bukanhanya menjadi domain pemerintah desa, meskipun iamempunyai kewenangan dan tanggungjawab terbesar, tetapi jugaharus melibatkan stakeholder di luar pemerintah. Keterlibatan(partisipasi) itulah yang kita sebut dengan demokrasi. Ketiga,berdasarkan pengalaman selama ini, pembangunan desa bekerjatanpa melalui proses yang demokratis, melainkan didominasioleh elite desa. Keputusan-keputusan politik yang pentingmengenai agenda pembangunan desa ditentukan secara terbatasoleh elite-elite desa. Yang lebih menyolok lagi, dominasi elitedesa itu selama ini menghasilkan manipulasi dan korupsiterhadap sumberdaya desa, yang kemudian menciptakanketidakadilan dan kemiskinan.

Bagaimana disain dan proses demokratisasi dalam kontekspembangunan desa? Di setiap desa sudah lama ada pemilihankepala desa secara demokratis, juga sudah ada tradisi musyawarahyang terbatas untuk pengambilan keputusan. Demokrasi lebihdari itu. Pemerintahan yang demokratis (democratic governance)mengajarkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan berawal “dari”partisipasi masyarakat, dikelola secara akuntabel dan transparan“oleh” wakil-wakil yang dipercaya masyarakat, serta dimanfaatkansecara responsif “untuk” kebutuhan masyarakat. Dalammemahami demokrasi desa, kita tidak boleh terjebak padaseremonial, prosedur dan lembaga yang tampak di permukaan.Prosedur dan lembaga demokrasi memang sangat penting, tetapitidak mencukupi. Yang lebih penting dalam demokrasi adalahproses dan hubungan antara rakyat secara substantif. Pemilihankepala desa juga penting tetapi yang lebih penting dalam prosespolitik sehari-hari yang melibatkan bagaimana hubungan antarapemerintah desa, perwakilan desa (BPD) dan masyarakat. Dalam

konteks ini, saya memahami dam meletakkan demokrasi (yangrelevan dengan konteks desa) ke dalam empat ranah utama:pengelolaan kebijakan atau regulasi desa; kepemimpinan danpenyelenggaraan pemerintahan desa; perwakilan rakyat.

Sebuah kebijakan (peraturan desa) yang demokratis apabilaberbasis masyarakat: berasal dari partisipasi masyarakat, dikelolasecara bertanggungjawab dan transparan oleh masyarakat dandigunakan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat. Darisisi konteks, peraturan desa berbasis masyarakat (demokratis)berarti setiap perdes harus relevan dengan konteks kebutuhandan aspirasi masyarakat. Dengan kalimat lain, perdes yangdibuat memang dimaksudkan untuk menjawab kebutuhanmasyarakat, bukan sekadar merumuskan keinginan elite desaatau hanya untuk menjalankan instruksi dari pemerintahsupradesa. Dari sisi kontens (substansi), prinsip dasarnya bahwaperaturan desa lebih bersifat membatasi yang berkuasa dansekaligus melindungi rakyat yang lemah. Paling tidak, perdesharus memberikan ketegasan tentang akuntabilitas pemerintahdesa dan BPD dalam mengelola pemerintahan desa. Dipandangdari “manfaat untuk rakyat”, perdes dimaksudkan untukmendorong pemberdayaan masyarakat: memberi ruang bagipengembangan kreasi, potensi dan inovasi masyarakat;memberikan kepastian masyarakat untuk mengakses terhadapbarang-barang publik; memberikan ruang bagi partisipasimasyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan desa.Sedangkan untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan,perdes harus bersifat membatasi: mencegah eksploitasi terhadapsumberdaya alam dan warga masyarakat; melarang perusakaanterhadap lingkungan, mencegah perbuatan kriminal; mencegahdominasi suatu kelompok kepada kelompok lain, dan seterusnya.

Sesuai dengan logika demokrasi, perdes berbasis masyarakat(demokratis) disusun melalui proses siklus kebijakan publik yangdemokratis: artikulasi, agregasi, formulasi, konsultasi publik,revisi atas formulasi, legislasi, sosialisasi, implementasi, kontrol

Page 133: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

226 227

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

dan evaluasi. Dalam setiap sequen ini, masyarakat mempunyairuang (akses) untuk terlibat aktif menyampaikan suaranya.

Pemerintahan di Indonesia telah lama tidakmenumbuhkan kultur leadership yang transformatif, melainkanhanya menumbuhkan budaya priyayi, perhambaan,klientelisme, birokratis dan headship. Masalah ini merupakantantangan serius bagi pembaharuan kepemimpinan dankepemerintahan desa. Kepemimpinan di desa tidak bisa lagidimaknai sebagai priyayi benevolent dan kepemimpinanbirokratis, melainkan harus digerakkan menuju kepemimpinantransformatif. Yaitu para pemimpin desa yang tidak hanya rajinberanjangsana, melainkan para pemimpin yang mampumengarahkan visi jangka panjang, menggerakan komitmenwarga desa, membangkitkan kreasi dan potensi desa.

Pemerintah desa, tentu, tidak lagi merupakan institusitradisional yang dibingkai dengan tradisi komunalisme.Pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi negara modern yangbertugas mengelola barang-barang publik, termasuk melakukanpungutan pajak pada warga masyarakat. Sebagai institusi mod-ern, pemerintah desa tidak cukup hanya memainkan legitimasisimbolik dan sosial, tetapi harus membangun legitimasi yangdibangun dari dimensi kinerja politik dan ekonomi. Legitimasiini harus melewati batas-batas pengelolaan kekuasaan dankekayaan secara personal di tangan kepala desa, serayadilembagakan dalam sistem yang impersonal.

Legitimasi pemerintah desa mau tidak mau harus disandarkanpada prinsip akuntabilitas, transparansi dan responsivitas. Pertama,akuntabilitas menunjuk pada institusi dam proses checks and bal-ances dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas jugaberarti menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumberdaya atau kewenangan yang digunakan. Pemerintah desa disebutakuntabel bila mengemban amanat, mandat dan kepercayaan yangdiberikan oleh warga. Secara gampang, pemerintah desa disebutakuntabel bila menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, tidak

melakukan penyimpangan, tidak berbuat korupsi, tidak menjualtanah kas desa untuk kepentingan pribadi, dan seterusnya.

Kedua, transparansi (keterbukaan) dalam pengelolaankebijakan, keuangan dan pelayanan publik. Transparansi berartiterbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadapsetiap informasi mengenai kebijakan, keuangan dan pelayanan.Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arusinformasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan dapatdipantau atau menerima umpan balik dari masyarakat.Transparansi tentu mengurangi tingkat ketidakpastian dalamproses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan desa,termasuk alokasi anggaran desa. Sebagai sebuah mediaakuntabilitas, transparansi dapat membantu mempersempitpeluang korupsi di kalangan pamong desa karena terbukanyasegala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.

Ketiga, responsivitas atau daya tanggap pemerintah desa.Pemerintah desa dan BPD harus mampu dan tanggap terhadapaspirasi maupun kebutuhan masyarakat, yang kemudian dijadikansebagai preferensi utama pengambilan keputusan di desa.Responsif bukan hanya berarti pamong desa selalu siap-sediamemberikan uluran tangan ketika warga masyarakatmembutuhkan bantuan dan pelayanan. Responsif berartimelakukan artikulasi terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat,yang kemudian mengolahnya menjadi prioritas kebutuhan danmemformulasikannya menjadi kebijakan desa. Pemerintah desayang mengambil kebijakan berdasarkan preferensi segelintir eliteatau hanya bersandar pada keinginan kepala desa sendiri, berartipemerintah desa itu tidak responsif. Apakah betul pembangunanprasarana fisik desa merupakan kebutuhan mendesak (prioritas)seluruh warga masyarakat? Apakah rumah tangga miskinmembutuhkan jalan-jalan yang baik dan rela membayar pungutanuntuk proyek pembangunan jalan? Karena itu, pemerintah desabisa disebut responsif jika membuat kebijakan danmengalokasikan anggaran desa secara memadai untuk mengangkat

Page 134: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

228 229

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

hidup rumah tangga miskin ataupun mendukung peningkatanekonomi produktif rumah tangga.

Demokrasi mengajarkan bahwa kekuasaan pemerintahanharus disebarkan ke dalam lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.Di desa, selain ada kepala desa yang dipilih secara langsung, jugaada lembaga perwakilan rakyat, yang menurut UU No. 22/1999disebut sebagai badan perwakilan desa (BPD), sebuah lembagalegislatif desa yang menggantikan lembaga korporatis lama, yakniLembaga Musyawarah Desa. BPD adalah aktor yang melakukankontrol untuk mewujudkan akuntabilitas pemerintah desa. Dalammelakukan kontrol kebijakan dan keuangan, BPD mempunyaikewenangan dan hak untuk menyatakan pendapat, dengarpendapat, bertanya, penyelidikan lapangan dan memanggil pamongdesa. Ketika ruang BPD ini dimainkan dengan baik secara imper-sonal, maka akan memberikan kontribusi yang luar biasa terhadapakuntabilitas pemerintah desa. Meskipun tidak ditegaskan dalamperangkat peraturan, menurut standar proses politik, masyarakatjuga mempunyai ruang untuk melalukan kontrol dan memintapertanggungjawaban pemerintah desa. Pemerintah desa, sebaliknya,wajib menyampaikan pertanggungjawaban (Laporan Pertanggung-jawaban- LPJ) tidak hanya kepada BPD, melainkan juga kepadamasyarakat. Ketika kepala desa keliling beranjangsana ke berbagaikomunitas tidak hanya digunakan untuk membangun legitimasisimbolik, tetapi juga sebagai arena untuk menyampaikanpertanggungjawaban kepada warga.

Keberadaan BPD bisa disebut demokratis bila memenuhikriteria sebagai berikut:

Representatif, artinya BPD tidak hanya wadah bagi elitedesa, melainkan lebih mewakili berbagai kelompok sosialyang ada di desa: buruh tani, nelayanan, perempuan,pemuda, dan lain-lain.

Aspiratif, artinya BPD secara proaktif menjaring aspirasimasyarakat sebagai bahan masukan bagi perumusankebijakan dan Perdes.

Menjalankan kontrol secara efektif terhadappenyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.

Apa relevansi desentralisasi-demokratisasi itu bagipembangunan desa? Apakah keduanya mampu memberikankontribusi terhadap kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatdesa? Demokratisasi desa, bagi kami, bukan sekadar untukmenjawab masalah kemunduran demokrasi desa di masa lalu, tetapijuga mengedepankan sejumlah relevansi ke depan. Pertama,demokratisasi desa hendak membuat pemerintah desa lebihakuntabel, transparan dan responsif dalam mengelola kebijakan dankeuangan desa. Kalau prinsip-prinsip ini tidak ada di desa, makakebijakan dan keuangan desa akan berjalan apa adanya secara ru-tin, atau malah bisa terjadi kasus-kasus bermasalah yang merugikanrakyat desa. Sudah banyak contoh membuktikan bahwa kepala desabermasalah dan akhirnya digulingkan oleh rakyatnya sendiri karenatidak ada demokrasi di desa. Dengan demikian, demokrasimerupakan kekuatan baru untuk pembaharuan pemerintahan desaagar pengelolaan barang-barang publik desa (jabatan, kebijakan,keuangan, sumberdaya alam, dan lain-lain) dikelola dengan baikuntuk kepentingan rakyat. Kedua, demokrasi bakal membuka ruangbagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintahdesa maupun pemerintah yang lebih tinggi. Aspirasi adalah fondasikeadulatan rakyat yang sudah lama diamanatkan dalam konstitusi.Ketiga, demokrasi menjadi arena untuk mendidik mental dankepribadian rakyat agar mereka lebih mampu, mandiri, militandan mempunyai kesadaran kritis tentang pengelolaan barang-barangpublik yang mempengaruhi hidup mereka. Pendidikan danpembelajaran ini penting, mengingat masyarakat cenderungpragmatis secara ekonomi dan konservatif secara politik, akibat daripendidikan politik yang kurang sehat dan pola pembangunan yangmengutamakan orientasi material. Keempat, demokratisasi tentumerupakan upaya jangka panjang dan berkelanjutan untukmendorong kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat desa. DalamPancasila sudah lama ditegaskan bahwa ketuhanan, kemanusiaan,

Page 135: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

kebangsaan, kerakyatan (demokrasi) dan kesejahteraan-keadilanmerupakan nilai-nilai dasar yang tidak bisa dipisahkan. Secaraempirik, lemahnya kesejahteraan-keadilan selama ini terjadi karenamiskinnya kerakyatan (demokrasi). Otoritarianisme yang konondiyakini secara global sebagai prakondisi politik bagi pertumbuhanekonomi dan pendalaman kapitalisme, secara hisoris, hanyamembuahkan kemakmuran yang semu dan timpang, artinya tidakseluruh lapisan masyarakat punya kesempatan untuk menikmatikemakmuran. Sebaliknya, secara filosofis dan teoretis, demokrasimemungkinkan proses identifikasi dan formulasi kebutuhan rakyatsehari-hari untuk ditransformasikan menjadi kebijakan yangberorientasi kepada rakyat, sehingga pada gilirannya proses ini akanmendongkrak kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat.

Bab 6Pembangunan Sosial

Melalui Jaminan Sosial

Mencermati proses pembangunan di Indonesia yang sudahberlangsung lebih dari 4 dasawarsa ternyata belum berhasilmeningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata. Kondisikesejahteraan masyarakat dewasa ini masih diwarnai oleh tingginyaangka kemiskinan, angka pengangguran, angka putus sekolah,meningkatnya kasus anak kurang gizi/gizi buruk yang dapatditemukan hampir di seluruh daerah di Indonesia, sampai padamasalah korban bencana alam yang memakan korban yangjumlahnya tidak sedikit. Pada tahun 2004 yang lalu, sekitar 30hingga 40 juta angkatan kerja menganggur atau bekerja secara tidakteratur. Laporan yang dikeluarkan Biro Pusat Statistik (Desember2004) menunjukkan bahwa 37,4 % warga Negara Indonesiamengalami kemiskinan absolute (dibawah garis kemiskinan).Laporan yang sama juga menyebutkan adanya 20 % yang lain yangsangat rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan1. Kondisi tersebut,1 James Midgley, Pembangunan Sosial : Perspektif Pembangunan Dalam Kesejahteraan SosialDiperta

Page 136: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

232 233

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

mengisyaratkan bahwa strategi pembangunan nasional selama inibelum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara merata.

Kemiskinan akan menyebabkan kehidupan masyarakatrentan terhadap berbagai macam perubahan yang terjadi.Kenaikan harga BBM yang diikuti dengan kenaikan harga bahanpokok dan kenaikan tarif transportasi, yang sebentar lagi akandiikuti dengan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) jelas akanmempersulit kehidupan masyarakat kecil. Menghadapi realitastersebut, pemerintah sering kelihatan gagap dan tidak siap,sehingga ketika ada kasus yang muncul di masyarakat pemerintahcenderung bersifat (defend) dengan mencari-cari kelemahan daripihak lain, entah data yang diekspos oleh media masa tidakvalid, pers terlalu mendramatisir keadaan atau alasan lain yangterkadang justru tidak merespon masalah yang sedang dihadapi.Akibatnya, penanganan masalah tersebut tidak segera dapatdilakukan secara baik (sistematis).

Pembangunan SosialPembangunan sosial, yang paling dasar, adalah berupaya

memberikan palayanan sosial dasar (pendidikan, kesehatan,perumahan dan lain-lain). Pada level yang lebih tinggipembangunan sosial berupaya untuk menjawab kerentanan sosialmasyarakat, mengubahnya menjadi ketahanan sosial dan integrasisosial secara berkelanjutan, atau sering disebut dengan socialsustainability. Ujung-ujungnya pembangunan sosial adalahmencapai kesejahteraan sosial (social welfare).

Di Indonesia, istilah kesejahteraan sosial dikenal secara luasoleh masyarakat dan juga sudah ditetapkan dalam konstitusi.Didalam UUD 1945, kesejahteraan sosial menjadi judul khususBab XIV yang didalamnya memuat Pasal 33 tentang sistemperekonomian dan Pasal 34 tentag tanggung jawab negaraterhadap kelompok lemah (fakir miskin dan anak terlantar) serta

sistem jaminan sosial. Ini berarti, pemikiran sosialisme dankesejahteraan sosial sebenarnya merupakan platform sistemekonomi dan sistem sosial di Indonesia, sehingga kalau mau jujur,Indonesia sebetulnya merupakan negara yang menganut paham“negara kesejahteraan” (welfare state) dengan model “negarakesejahteraan partisipatif” (participatory welfare state) yang dalamliteratur pekerjaan sosial dikenal dengan istilah pluralismekesejahteraan (welfare pluralism). Model ini menekankan bahwanegara harus tetap ambil bagian dalam penanganan masalah sosialdan penyelengaraan sosial (sosial security), meskipun dalamoperasionalnya tetap melibatkan masyarakat.

Sampai sekarang Undang-Undang No 6/1974 tentangketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial belum jugadihapus. UU ini misalnya merumuskan kesejahteraan sosial sebagaisuatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupunspiritual yang diliputi oleh rasa kerselamatan, kesusilaan danketenteraman lahir dan batin yang memungkinkan bagi setiapwarga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknyabagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menunjang tinggihak-hak atau kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.

Secara umum, istilah kesejahteraan sosial sering diartikansebagai kondisi sejahtera (konsep pertama), yaitu suatu keadaanterpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yangbersifat mendasar seperti makan, pakaian, perumahan,pendidikan dan perawatan kesehatan. Pengertian itumenempatkan kesejahteraan sosial sebagai tujuan (end) suatukegiatan pembangunan. Sebagai contoh, tujuan pembangunanadalah untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosialmasyarakat. Kesejahteraan sosial dapat juga didifinisikan sebagaiarena atau domain utama tempat berkiprah pekerjaan sosial.Sebagai analogi, kesehatan adalah arena tempat dokter berperanatau pendidikan adalahn arena dimana guru melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Pemaknaan kesejahteraan sosial sebagai

Departemen Agama RI, 2005, hal ix.

Page 137: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

234 235

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

arena menempatkan kesejahteraan sosial sebagai sarana atauwahana atau alat (means) untuk mencapai tujuan pembangunan(Edi Suharto, 2005).

Makna kesejahteraan sosial juga mengarah pada segenapkegiatan pengorganisasian dan distribusi pelayanan sosial terhaapkelompok masyarakat, terutama kelompok yang kurang beruntung(disadvantaged groups) atau kaum marginal. Penyelenggaraanberbagai skema perlindungan sosial (sosial protection) baik yangbersifat formal maupun informal merupakan contoh aktifitaskesejahteraan sosial. Perlindungan yang bersifat formal adalahberbagai skema jaminan sosial (sosial security) yang diselenggarakanoleh negara yang umumnya berbentuk bantuan sosial (socialassisstence) dan asuransi sosial (sosial insurance), semisal tunjanganbagi orang cacat atau miskin (sosial benefits atau doll), tunjanganpengangguran (unemploymenmt benefits), tunjangan keluarga (fam-ily assistance yang di Amerika dikenal dengan nama TANF atauTemporary Assisstence for Needy Families). Beberapa skema yangdapat dikategorikan sebagai perlindungan sosial informal antaralain usaha ekonomi produktif, kredit mikro, arisan dan berbagaiskema jaring pengaman sosial (social safety nets) yangdiselenggarakan oleh masyarakat setempat, organisasi sosial lokal,atau lembaga swadaya masyarakat (Edi Suharto, 2005).

Berbagai isu itulah yang menjadi titik perhatianpembangunan sosial atau pembangunan kesejahteraan sosial.Pembangunan sosial adalah usaha yang terencana dan melembagayang meliputi berbagai bentuk intervensi sosial dan pelayanansosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah danmengatasi maslah sosial, serta memperkuat institusi-institusisosial. Tujuan pembangunan sosial adalah meningkatkan kualitashidup manusia secara menyeluruh yang mencakup: (1)Peningkatan standar hidup, melalui seperangkat pelayanan sosialdan jaminan sosial segenap lapisan masyarakat, terutamakelompok-kelompok masyarakat yang kurang beruntung danrentan yang sangat memerlukan perlindungan sosial; (2)

Peningkatan pemberdayaan melalui penetapan sisten dankelembagaan ekonomi, sosial dan politik yang menunjang hargadiri dan martabat manusia; dan (3) Penyempurnaan kebebasanmelalui perluasan aksesibilitas dan pilihan-pilihan kesempatansesuai dengan aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan.

Orientasi pembangunan sosial itu menjadi mainstream secaraglobal. Pembangunan sosial tidak hanya menjadi sebuah dimensidalam pembangunan, tetapi juga menjadi cara pandang alternatifdalam pembangunan (yang umumnya dimaknai sebagaipembangunan ekonomi) untuk mencapai human well being rakyat.Ketika para kepala negara di belahan dunia berkumpul diCopenhagen 1995 dalam World Summit on Social Development,mereka merumuskan tujuan secara bersama: memperkuattindakan nasional untuk mempromosikan pembangunan sosialdan sebuah komitmen global kepada pembangunan berkelanjutan.Mereka membangun komitmen untuk mengurangi kemiskinan,meningkatkan tenaga kerja yang produktif, mengurangipengangguran dan memperkuat integrasi sosial.

Pembangunan sosial, seperti halnya pembangunan manusia(human development) yang diusung oleh UNDP, sebenarnyajuga sebagai bentuk alternatif atas pembangunan yang selamaini lebih mengutamakan pembangunan ekonomi. Ada keyakinanyang kuat bahwa human well being tidak semata diukur daripertumbuhan ekonomi (material) tetapi juga diukur denganindikator-indikator kesejahteraan sosial. Karena itupembangunan sosial juga hendak mengatasi korban-korbanpembangunan ekonomi yang berideologi developmentalismeseperti ketimpangan sosial, kemiskinan, pengangguran,penggusuran, maupun berbagai kerentanan sosial yang lain.

Spirit pembangunan sosial itu juga sangat mewarnai sejumlahkeyakinan dalam Millenium Development Goals (MDG) yangtelah disepakati oleh para pemimpin negara di belahan dunia.MDG menjadi sebuah manifesto pembangunan yang mengusungbeberapa agenda strategis: (1) pengurangan kemiskinan yang

Page 138: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

236 237

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

ekstrim; (2) mencapai pendidikan dasar universal; (3)mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan; (4)mengurangi kematian bayi; (5) memperbaiki kesehatan ibu; (6)mengurangi HIV/AIDS; (7) memastikan keberlanjutanlingkungan; dan (8) mengembangkan sebuah kemitraan globaluntuk pembangunan.

Tentang Jaminan SosialSalah satu strategi penanggulangan masalah kemiskinan yang

erat dengan perspektif pembangunan sosial adalah jaminan sosial(social security). Setiap orang, kaya maupun miskin, tinggal di desaataupun di kota, senantiasa dihadapkan pada pada risiko yangmengancam kehidupannya setiap saat. Jaminan sosial atauperlindungan sosial adalah skema yang dirancang secara terencanaoleh pemerintah maupun masyarakat yang dimaksudkan untukmemberikan perlindungan kepada warga masyarakat dari berbagairesiko dalam kehidupannya, baik resiko yang timbul dari dirinya(kecelakaan, sakit, meninggal dunia), maupun yang timbul darilingkungannya (menganggur, bencana alam, kemiskinan, dansebagainya).2 Oleh karena itu setiap warga masyarakat berhakuntuk mendapatkan jaminan sosial baik yang diselenggarakan olehpemerintah, swasta maupun oleh masyarakat itu sendiri.

Secara konseptual, perlindungan sosial mencakup:1. Bantuan sosial. Skema jaminan sosial (social security) yang

berbentuk tunjangan uang, barang, atau pelayanankesejahteraan yang umumnya diberikan berdasarkan “testkemiskinan” tanpa memperhatikan kontribusi sebelumnya(prior contribution). Tunjangan kesejahteraan bagi keluargamiskin, penganggur, anak-anak, penyandang cacat, lanjutusia merupakan beberapa contoh bantuan sosial.

2. Asuransi sosial. Skema jaminan sosial yang hanya diberikankepada para peserta sesuai dengan kontribusinya, yakniberdasarkan premi atau tabungan yang dibayarkannya.Sistem asuransi kesehatan dan pensiun adalah dua bentukasuransi sosial yang banyak diterapkan di banyak negara.

3. Kebijakan-kebijakan pasar kerja (labour market policies).Pekerjaan adalah bentuk perlindungan sosial yangberkelanjutan. Kebijakan pasar kerja merupakan kebijakanpublik untuk meregulasi dunia kerja yang dapatmenstabilkan hukum penawaran dan permintaan kerja, sertamelindungi tenaga kerja dari risiko-risiko di tempat kerja.Kebijakan ini umumnya terdiri dari kebijakan pasar kerjaaktif (penciptaan kesempatan kerja, peningkatan kapasitasSDM, mediasi antara pemberi dan pencari kerja) dankebijakan pasar kerja pasif (perbaikan sistem pendidikan,penetapan standar upah minimum, pembayaran pesangonbagi yang terkena PHK, keamanan dan keselamatan kerja).

4. Mekanisme dan Jaring Pengaman Sosial BerbasisMasyarakat. Sejak berabad-abad lalu, Indonesia sudah kayadengan budaya dan inisiatif lokal dalam merespon masalahdan kebutuhan rakyat kecil. Di pedesaan dan perkotaan,terdapat kelompok arisan, raksa desa, beas perelek,siskamling, kelompok pengajian, kelompok dana kematianyang secara swadaya, partisipatif, egaliter menyelenggarakanpelayanan sosial (Edi Suharto, 2005).

Menurut World Bank (1991), jaminan sosial dapatdipahami sebagai tindakan publik, termasuk yang dilakukan olehmasyarakat untuk melindungi kaum miskin dan lemah dariperubahan yang merugikan dalam standar hidup, sehinggamereka memiliki standar hidup yang dapat diterima3. Perubahanbesar yang mempunyai dampak pada kehidupan bangsa dan

2 Edy Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis PembangunanKesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal 152-154.

3 Asep Saefuddin, dkk, Menuju Masyarakat Mandiri : Pengembangan Model Sistem KeterjaminanSosial, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003, hal 18.

Page 139: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

238 239

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

tingkat kesejahteraan rakyat adalah gelombang globalisasi danproses demokratisasi. Memang tidak dapat disangkal bahwaglobalisasi di datu sisi membawa perbaikan ekonomi yang efisiendan kompetitif dalam pasar internasional bagi negara-negaramaju. Negara-negara yang sedang berkembang dikhawatirkanjustru akan menjadi semakin terpinggirkan oleh kekuatan modalbesar yang sebagian besar dimiliki oleh negara-negara maju.Kekahawatiran tersebut nampaknya cukup beralasan, semenjakarus globalisasi bergulir, banyak negara-negara berkembangjustru semakin tidak mampu bersaing dengan negara-negaramaju. Di tingkat internal negara-negara sedang berkembangterjadi dikotomi yang semakin melebar antara sektor ekonomimodern dengan sektor ekonomi tradisional. Sektor ekonomitradisional semakin tidak mendapatkan tempat dalam kompetisipasar, padahal sebagian besar masyarakat Indonesia masihmenekuni sektor tersebut. Implikasi yang muncul kemudianadalah terjadinya kesenjangan ekonomi yang semakin tajamantara kelompok masyarakat yang berpenghasilan tinggi dengankelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah. Kondisitersebut jelas telah menyebabkan penduduk miskin terperangkapdalam kehidupan yang sangat rentan.

Sementara itu, gelombang demokratisasi di era informasitelah merubah tatanan sosial yang sebelumnya masih berbasispada ikatan-ikatan sosial dan moral menjadi tatanan sosial yanglebih berbasis pada rasionalitas. Norma-norma sosial yang berlakuselama periode sejarah tertentu diguncang oleh kemajuanteknologi dan ekonomi, dan masyarakat harus berusahamenyesuaikan norma-norma yang ada dengan kondisi baru.4

Persoalannya kemudian adalah apakah masyarakat mampumenghadapi perubahan besar yang terjadi dewasa ini? Mampukahtatanan sosial baru melindungi nasib masyarakat kelas menengahke bawah yang tinggal di daerah pedesaan agar tetap dapat sur-

vive di tengah perubahan? Adakah potensi sosial yang dapatdikembangkan untuk memberikan jaminan sosial secaraberkesinambungan kepada masyarakat yang tinggal di pedesaan?

Persoalan Jaminan SosialPada dasarnya setiap negara dan masyarakat akan berusaha

untuk meraih kesejahteraannya dengan berbagai upaya sesuaidengan pendekatan pembangunan yang dianutnya. Di negara-negara Skandinavia (Denmark, Swedia dan Norwegia), EropaBarat, Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat, sistemjaminan sosial merupakan cerminan dari komitmen negaramenjalankan sistem negara welfare state, artinya negara berperanbesar dalam usaha kesejahteraan sosial dengan segala varian danmodelnya. Menurut Cheyne (1998) dan Pierson (1991) untukmembangun sistem jaminan sosial yang baik mensyaratkan adanyapembangunan ekonomi dan sosial yang kuat serta sistemperpajakan yang menjangkau hampir seluruh warga negara,transparan, dan akuntabel memungkinkan negara-negarapenganut sistem welfare state menjalankan sistem jaminan sosial5.

Sejauh ini, dalam pembangunan sosial di Indonesia dikenaldua pendekatan, pendekatan residual dan pendekatan institusional.Pendekatan residual merekomendasikan bahwa sumber-sumberterbatas yang ada di masyarakat ditargetkan kepada lapisanmasyarakat yang paling membutuhkan6, Sedangkan pendekataninstitusional lebih menekankan pada keterlibatan besar pemerintahdalam semua aspek kesejahteraan sosial7. Dijelaskan lebih lanjutbahwa, kedua pendekatan tersebut memang mempunyai perbedaandalam hal kebijakan pengalokasian sumber-sumber dana untukusaha kesejahteraan sosial, namun sebenarnya keduanyamenempatkan intervensi sosial sebagai subordinat daripembangunan ekonomi dan, dalam hal pendanaan, keduanya secara

4 Francis Fukuyama, The Great Disruption : Human Nature and the Reconstitution of SosialOrder, terjemahan Goncangan Besar : Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, Penerbit PTGramedia Pustaka Utama, Jakarta 2005, hal 15.

5 Edy suharto, Konsepsi dan strategi Jaminan Sosial, Contens © 2003, www.policy.hu\suharto6 Dalam istilah yang sering digunakan oleh Departemen Sosial dikenal sebagai “penyandangmasalah sosial”

7 James Midgley op cit hal 1

Page 140: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

240 241

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

pasif bergantung kepada perekonomian. Namun keduanya dianggapkurang peduli dalam menciptakan sumber-sumber dana itu.

Konsekuensi dari kedua pendekatan tersebut, dapat dilihatpada upaya-upaya penanggulangan masalah sosial-ekonomi yangsudah dilaksanakan oleh pemerintah selama ini lebih bersifatparsial. Pembangunan sosial tidak terintegrasi denganpembangunan ekonomi, sehingga pelaksanaan jaminan sosial tidakdapat berjalan berkesinambungan. Bahkan ada kecenderunganmasyarakat lebih percaya kepada lembaga-lembaga swasta daripada lembaga-lembaga yang secara resmi dibentuk olehpemerintah untuk menyalurkan bantuan dalam menanganiberbagai masalah sosial-ekonomi masyarakat. Realitas tersebutmenunjukkan bahwa pembangunan sosial dan kebijakan sosialdi Indonesia tidak didasarkan pada kerangka teoritik yang kuat.Artinya, pemahaman terhadap masalah sosial sering didominasioleh teori-teori yang sedang mengalami perkembangan padaperiode waktu tertentu.

Sering dijumpai kebijakan sosial dianalisis secara terpisahdari proses sosio-kultural sebagai perangkat pranata sosial mandiriyang tidak berkaitan dengan proses-proses yang biasa terjadi dalamsistem sosial dan politik tempat kebijakan itu disusun untukmelayani sistem tersebut.8 Kondisi demikian, mengakibatkanupaya penanganan masalah sosial menjadi bersifat karitatif dantidak efektif, sehingga tidak mengherankan jika tidak dapatmencapai sasarannya.

Pandangan yang berkembang dan mendasari perumusankebijakan sosial cenderung menempatkan masalah sosial sebagaibagian yang terpisahkan dari sistem sosial, ekonomi dan politik,sehingga program-program penanganan sosial lebih bersifatpragmatis. Sementara menurut teori-teori mengenai masyarakat,munculnya masalah sosial dan kemiskinan tidak dapat dilepaskandari sistem sosial, ekonomi dan politik yang dianut oleh negara

tersebut. Pandangan dari para ilmuwan sosial tentang organisasikemasyarakatan dan pembagian kekuasaan politik serta ekonomiakan mempengaruhi penjelasan yang diberikannya mengenai sifatmasalah-masalah sosial dan tanggapan pemerintah yangberbentuk kebijakan sosial yang dirumuskan.

Secara historis, jaminan sosial di Indonesia mulaidikembangkan ketika semangat welfare state diadopsi dalam UUD1945 yang mengamanatkan kewajiban negara untuk memberikanjaminan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Akantetapi, meski bangunan ketatanegaraan berpihak pada ideologinegara kesejahteraan, namun pelaksanaan usaha-usahakesejahteraan sosial tidak mampu memberikan perlindungan secaramerata. Dalam realisasinya praktek pembangunan di bidangkesejahteraan sosial yang dilakukan oleh pemerintah mulaidikembangkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor4 Tahun 1965 Tentang Pemberian Bantuan Penghidupan OrangJompo, Undang-undang RI Nomor 6 tahun 1974 tentangKetentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, UU RI nomor4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

Selain itu, hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945secara lebih tegas memposisikan peran negara yang cukupdominan dalam penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial.Dalam pasal 28, dijelaskan secara tegas “bahwa setiap orang berhakatas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinyasecara utuh sebagai manusia yang bermartabat, dan dalam pasal34 dinyatakan bahwa negara mengembangkan sistem jaminansosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yanglemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat manusia.Demikian juga, dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SistemJaminan Sosial Nasional secara tegas juga dijelaskan bahwa fakirmiskin dan orang tidak mampu dijamin oleh pemerintah melaluikepesertaannya dalam program jaminan sosial yang iurannya akanditanggung oleh pemerintah untuk tahap awal, sedangkan untuktahap berikutnya akan diatur melalui peraturan pemerintah.

8 Vic George and Paul Wilding, Ideologi dan Kesejahteraan Sosial, Penerbit Pustaka UtamaGrafiti, Jakarta, 1992.

Page 141: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

242 243

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Dengan demikian, negara sebagai penyelenggara sistempemerintahan mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahtera-an warganya. Jika ada warga yang tidak mampu masuk ke dalammekanisme pasar, maka negara harus menyantuninya. Apabilaada warga masyarakat yang tidak mampu mengakses fasilitaskesehatan, pendidikan, cacat, menganggur, mengalami ketuaan,terkena bencana alam/sosial, maka negara mempunyai peranandominan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Haldemikian, dilakukan dalam upaya mewujudkan keadilan sosialsecara merata kepada warga negara.

Dalam perkembangannya, usaha-usaha kesejahteraan sosialbukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat,tetapi swasta mempunyai peran dalam kegiatan-kegiatan jaminansosial. Dewasa ini, terdapat beberapa penyelenggara asuransi(jaminan sosial) di Indonesia, yaitu PT Taspen, PT Asabri, PTAskes, dan PT Jamsostek. Anggota diwajibkan untuk membayarpremi melalui pemotongan gaji pegawai tersebut semasa aktifbekerja. Di sektor swasta muncul beragam lembaga yangmenawarkan program asuransi mulai dari auransi pendidikan,kesehatan, sampai pada asuransi kematian. Pada kelompok yangterakhir ini, biasanya hanya dapat diikuti oleh masyarakat darikalangan menengah ke atas, hal ini disebabkan karena premi yangharus dibayarkan cukup tinggi. Dengan demikian, hanyamasyarakat yang bekerja di sektor formal seperti PNS, karyawanswasta yang dapat mengakses sistem asuransi di atas, sementaramasyarakat miskin tidak dapat mengaksesnya. Dengan kata lain,meskipun keberadaan lembaga-lembaga asuransi di atasmerupakan suatu kemajuan, akan tetapi perlu diingat bahwamasih banyak segmen penduduk lain yang seharusnya menerimajaminan sosial sesuai dengan kondisi yang dimilikinya.

Di sisi lain, sebenarnya dalam masyarakat sejak dulu sudahtumbuh semacam jaminan sosial yang bersifat informal dantermanifestasikan ke dalam beberapa tradisi yang didasarkan padaprinsip gotong royong, seperti solidaritas sesama warga untuk

membantu orang yang sedang kesusahan. Namun demikian,sistem jaminan sosial yang dibangun atas dasar gotong-royongtersebut tidak akan mampu mengatasi berbagai persoalan dankebutuhan manusia yang semakin kompleks dan membutuhkanbiaya yang besar. Berangkat dari situasi inilah, yang menjadi alasanmengapa pemerintah perlu segera untuk merealisasikanpembentukan sistem jaminan sosial.

Pada tataran empirik, jika menilik kondisi sosial-ekonomimasyarakat Indonesia saat ini yang tidak menentu, maka memangakan sulit mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Jumlah angkakemiskinan dan pengangguran yang terus bertambah, ke-timpangan ekonomi yang cukup mencolok, harga-hargakebutuhan ekonomi yang terus meningkat sejalan dengan adanyakenaikan harga BBM pada beberapa waktu yang lalu, jelas akanmenambah tingkat kerentanan kehidupan masyarakat. Bahkankini, terdapat kecenderungan pemerintah dihadapkan pada situasiyang cukup sulit untuk mengurusi permasalahan sosial yangberkembang di masyarakat. Meskipun harus diakui bahwa, selamaini pemerintah sudah berupaya keras untuk memberikan jaminankepada masyarakat melalui berbagai macam program seperti JPS,Raskin, Kartu Sehat, dan program-program yang lainnya, namunefektivitasnya masih rendah.

Jaminan Sosial Pada Masyarakat DesaDi Indonesia, sistem jaminan sosial (tradisonal) sudah ada

sejak jaman dulu dan berkembang di masyarakat. Jaminan sosialtersebut mengalami perubahan sesuai dengan perkembanganmasyarakat. Dalam konteks ini, jaminan sosial dipahami sebagailembaga sosial yang dibangun berdasarkan pada kepedulianbersama untuk mengatasi persoalan sosial ekonomi yang dihadapioleh masyarakat.9 Namun demikian, karena gencarnya

9 Heru Nugroho, Social Security and Outside Involment in Financial Self-Help Organization inYogyakarta, Comments paper for H.B. Lont, Workshop on Social Security And Social policyIn Java, Yogyakarta, August 5-7, 1997

Page 142: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

244 245

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, telah merubahlembaga-lembaga sosial di tingkat masyarakat, termasuk lembagajaminan sosial. Saat ini lembaga jaminan sosial yang berbasis padakekuatan lokal mulai pudar dan digantikan oleh lembaga jaminansosial modern. Tradisi gotong royong yang didasarkan pada prinsipsaling peduli, saling membantu seperti sambatan, gugur gunung,ronda malam, lumbung desa, dan lain-lain dalam beberapa dekadeterakhir mulai menghilang di masyarakat dan fungsinya digantikanoleh lembaga sosial yang bersifat modern. Hal ini sejalan dengankebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.

Tradisi yang didasarkan pada nilai-nilai kebersamaan dankepedulian ini bukan hanya berkembang di Jawa, tetapi jugadapat ditemukan di daerah lain di Indonesia, seperti mapalus diMinahasa, huyula di Gorontalo, mapaluse di Sangihe Talaud,moposad di Bolaang Mongondow, dan beberapa istilah lain yangada di berbagai daerah di Indonesia. Tradisi ini berkembangdalam sebuah institusi yang ada di masyarakat. Dalammasyarakat di daerah pedesaan, keberadaan institusi ini menjadibasis dalam kehidupan bersama. Prinsip memberi pada anggotayang kekurangan, membantu yang sedang terkena musibah ataukemalangan diyakini sebagai sebuah nilai dasar yang mampumenjaga kesinambungan kehidupan masyarakat pedesaan,karena nilai tersebut menjiwai hubungan-hubungan sosial yangada dalam masyarakat.

Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa peran institusisosial dalam melayani anggota masyarakat, khususnya anggotamasyarakat yang menyandang masalah sosial masih sangatterbatas dan sifatnya masih insidentil. Institusi sosial yangmenjadi embrio bagi sistem jaminan sosial tradisional adalahperkumpulan atau kerukunan-kerukunan yang memilikikegiatan pokok mengurusi pengumpulan dana kematian yangmempunyai lingkup yang sangat terbatas (lingkungan RT, RWatau dusun/kampung). Sedangkan untuk masalah sosial lainnya,belum ada institusi sosial yang menanganinya, kalaupun ada

masih sangat terbatas. Institusi lain yang sering dijumpai dalammasyarakat pedesaan adalah jimpitan (iuran rutin yangdibayarkan oleh warga masyarakat yang biasanya dalam bentukberas atau uang yang dilakukan pada waktu ronda malam).Materi atau dana yang terkumpul biasanya dipakai untukkeperluan bersama seperti untuk membiayai pembangunan ditingkat lokal, masih sangat jarang aliran dana yang diorientasikanuntuk kegiatan kesejahteraan sosial. Padahal, lembaga sosial ditingkat lokal tersebut mempunyai potensi untuk menanganimasalah kesejahteraan sosial apabila diberdayakan dengan baik.

Berbeda dengan kondisi masyarakat yang tinggal di daerahperkotaan, lembaga sosial yang mempunyai fungsi untukmemberikan perlindungan sosial biasanya tidak mempunyaistruktur organisasi yang jelas untuk mengelola dan memfasilitasijaminan sosial bagi anggota masyarakatnya. Tidak seperti bentuk-bentuk jaminan sosial sebagaimana yang ada dalam masyarakatmodern. Strategi desentralisasi dapat dilakukan dalam jangkapanjang. Pemerintah atau negara dapat merumuskan kerangkaregulasi yang jelas, Lembaga swasta atau privat dapat mengisigap atau kekosongan apabila diperlukan10. Sementara lembaga-lembaga sosial lainnya dapat memberikan kontribusi di antaraperan yang dilakukan oleh negara dan swasta.

Sementara itu, selama ini program-program peningkatankesejahteraan sosial yang dilakukan oleh pemerintah cenderungdilakukan dengan membentuk lembaga baru yang terkadang tidakmempunyai basis yang mengakar di masyarakat dan orientasikegiatannya lebih bersifat ”keproyekan” sehingga ketika “proyek’tersebut berakhir maka berakhir pula kegiatan tersebut. Ada satuprogram yang dikembangkan oleh pemerintah yang bertujuanuntuk menanggulangi kemiskinan yang secara konseptual cukup

10 Sonke Schmidt, Social Security In Developing Countries : basic Tenets and fields of StateIntervention, in Social (In)Security and Poverty, As Global Issues, Conference in Preparation ofthe UN World Summit on Social Development, Copenhagen, Maastricht, 4&5 March 1994,page 95.

Page 143: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

246 247

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

bagus, namun masih belum mencapai target sebagaimana yangdiharapkan. Program tersebut menggunakan pendekatan Tridaya(ekonomi, sosial dan fisik). Dalam pendekatan sosial lebihdiorientasikan pada pemberdayaan potensi yang ada dalammasyarakat untuk menangani upaya kesejahteraan sosial. Salahsatu program di bidang sosial, dilakukan dengan memberikandana stimulan yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakatsetempat melalui lembaga yang dikembangkan di tingkat lokal.Pada awalnya, umumnya yang terjadi di beberapa daerah dipakaiuntuk menyantuni orang jompo, anak drop out sekolah, fakirmiskin, dan anak yatim piatu. Namun demikian, programtersebut di beberapa daerah di Jawa juga belum dapat berjalansecara berkesinambungan.

Salah satu kekurangan dari berbagai macam program yangberorientasi pada peningkatan kesejahteraan sosial yang dilakukanoleh pemerintah adalah belum terintegrasikannya lembaga lokalyang sebenarnya sudah ada dan berkembang dalam masyarakat.Bahkan ada kecenderungan lembaga-lembaga sosial yangsebenarnya mempunyai potensi untuk menangani kegiatankesejahteraan sosial menjadi tidak berkembang atau mati.

Berangkat dari kondisi tersebut, kiranya sudah saatnyastrategi pembangunan di bidang kesejahteraan sosial dalammasyarakat desa perlu mempertimbangkan dan melibatkankeberadaan lembaga sosial di tingkat lokal. Strategi ini dapatdilakukan dengan memberdayakan potensi lembaga sosial lokaldengan berbagai macam aktivitas seperti pelatihan ataupunpendampingan. Strategi ini dapat berhasil apabila ada dukungandari pemerintah baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat.Pemerintah daerah perlu mengembangkan program-program yangberorientasi pada pengembangan kapasitas kelembagaan bagilembaga sosial di tingkat lokal. Sedangkan pemerintah pusat perlumengembangkan pendekatan pembangunan yang mengintegrasi-kan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan sosialsebagai satu kesatuan dan tidak terpisahkan.

Sistem Jaminan Sosial bagi Masyarakat DesaSelaras dengan implementasi otonomi daerah, maka

pemerintah pusat sebenarnya perlu mendelegasikan kepadamasing-masing daerah untuk menyelenggarakan sistem jaminansosial di daerah. Selain akan meringankan beban yang harusditanggung oleh pemerintah pusat, maka penyelenggaraan sistemjaminan sosial akan lebih dapat menyesuaikan dengan karakteristikmasing-masing daerah. Dengan demikian, program jaminan sosialakan berbeda-beda di masing-masing daerah tergantung padaprioritas kebutuhan/persoalan yang dihadapi oleh masyarakat,karena pada dasarnya implementasi otonomi daerah padahakekatnya dimaksudkan untuk membuka peluang bagiterwujudnya keadilan dan kesejahteraan sosial secara meratakepada segenap lapisan masyarakat.

Pengembangan sistem jaminan sosial di daerah perludiintegrasikan dengan pembangunan ekonomi daerah danberbagai program bantuan sosial yang diselenggarakan olehpemerintah daerah. Pembangunan ekonomi dengan pembangunansosial hendaknya perlu dilihat sebagai satu kesatuan. Selama ini,pandangan yang berkembang seolah-olah hanya pembangunanekonomi saja yang akan meningkatkan kesejahteraan rakyat.Implikasi yang muncul adalah pelaksanaan program-programjaminan sosial yang masih bersifat parsial dan karitatif serta belumdidukung oleh kebijakan sosial yang mengikat. Melaluiterintegrasinya sistem jaminan sosial dengan pembangunanekonomi dan program bantuan sosial diharapkan penyelenggaran-nya akan lebih efisien dan terarah.

Pengembangan sistem jaminan sosial di daerah, padahakekatnya berkaitan dengan kemampuan untuk memobilisasidana secara berkelanjutan. Sesuai dengan karakteristik masyarakatpedesaan yang masih mempunyai ikatan sosial yang relatif masihkuat, maka sistem jaminan sosial hendaknya didasarkan padaprinsip solidaritas sosial diantara para pesertanya, sehingga setiappeserta ikut berperan sesuai dengan kemampuannya untuk

Page 144: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

248 249

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

memenuhi kebutuhan kesejahteraan sosial. Sistem jaminan sosialmerupakan mekanisme untuk memberi fungsi sosial dana-danadari masyarakat yang mampu, tanpa merugikan masyarakat yangmampu itu sendiri, antara lain melalui mekanisme asuransi sosial.Dengan kata lain, sistem jaminan sosial merupakan instrumenmobilisasi dana masyarakat untuk membiayai kesejahteraanmasyarakat, dan sistem ini menghendaki pendekatan yangkomprehensif dimana penyelenggaraan kesejahteraan bagi orangmiskin sebaiknya harus diintegrasikan dengan penyelenggaraankesejahteraan bagi orang yang tidak miskin.

Dalam rangka melaksanakan program jaminan sosial di daerahagar terarah dan tepat sasaran, maka perlu mempertimbangkanaspek sosial, ekonomis maupun politis. Pertimbangan sosialmencakup aspek-aspek kondisi sosial dan karakteristik budayamasyarakat setempat. Pertimbangan ekonomis menyangkutkeberlanjutaan masing-masing program. Sedangkan pertimbanganpolitis terutama menyangkut penerimaan masyarakat, pengaturan,dan penegakan hukum serta keterkaitannya dengan berbagai sektor.Namun demikian, dalam kaitannya dengan pertimbangan politisini, hendaklah dihindari pertimbangan politik yang berlebihansebab hal tersebut justru akan menghambat implementasi darisistem jaminan sosial.

Sistem Jaminan Sosial yang diselenggarakan hendaknyamencakup berbagai bidang baik jaminan sosial dalam bidangkesehatan, kecelakaan kerja, jaminan sosial hari tua dan kematiandan korban bencana. Selain itu tidak menutup kemungkinanadalah program jaminan pengangguran dan tunjangan keluarga.Mengingat jumlah pengangguran pada masyarakat desa saat inicukup besar, maka pemberian jaminan sosial terhadap parapenganggur menjadi sangat strategis untuk diselenggarakan.Jaminan sosial yang diberikan pada kelompok ini dapat berupapemberian kesempatan kerja (padat karya) sebagaimana pernahdilakukan pada masa Orde Baru, ataupun pemberian pelatihanyang berorientasi pada peningkatan pendapatan (income generat-

ing) bagi tenaga kerja setengah pengangguran. Bidang jaminansosial ini hendaknya dibuat secara bertahap, dengan mem-pertimbangkan urgensi kemanfaatan serta perkembangan sosialekonomi masyarakat.

Belajar dari kegagalan berbagai program bantuan sosial yangdilakukan oleh pemerintah, seperti program IDT, KUT, JPS, BLTdan program-program sejenis lainnya, hendaknya mendorongpemerintah daerah untuk mencari alternatif program baru yanglebih relevan. Selain sering salah sasaran dan banyak kredit macet,maka bantuan dana yang diberikan cenderung banyak yangdigunakan untuk kepentingan konsumtif. Berbagai bantuan sosialtersebut, sebenarnya akan lebih efisien dan bermanfaat ketikadisalurkan dengan mekanisme sistem jaminan sosial yang berbasispada lembaga di tingkat lokal. Meskipun masih sangat terbatas,model semacam ini sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakatuntuk memecahkan masalah-masalah sosial ekonomi denganmengandalkan berbagai kemampuan yang dimiliki olehmasyarakat setempat. Model ini mengisyaratkan pentingnyapenguatan lembaga sosial di tingkat masyarakat agar mempunyaikepedulian terhadap penanganan masalah sosial-ekonomi dasarkemampuannya sendiri melalui sebuah sistem jaminan sosial yangdikelola oleh dan untuk masyarakat.

Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah denganmenggabungkagn dana-dana yang dikumpulkan oleh masyarakatdengan dana alokasi bantuan sosial yang dikelola oleh pemerintah(dana-dana pemerintah yang sebelumnya dialokasikan dalambentuk-bentuk program bantuan kredit), yang kemudiandikonversikan sebagai iuran sistem jaminan sosial bagi masyarakatyang tidak mampu. Dana ini dapat dikelola oleh sebuah lembagayang dikembangkan di tingkat daerah (lembaga semacam BadanPenyelenggara Jaminan Sosial) yang berfungsi untuk mengeloladana jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan masyarakat.Implementasi model tersebut dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga sosial yang ada di setiap desa. Mekanisme ini tentunya

Page 145: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

250 251

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

akan lebih banyak membantu masyarakat ketika menghadapi resiko-resiko ekonomi yang tidak terduga. Pada sisi lain, sistem jaminansosial memungkinkan pemberian perlindungan terhadapmasyarakat secara berkelanjutan. Hal ini tentunya, berlainan denganberbagai program bantuan dari pemerintah, seperti program JaringPengaman Sosial (JPS), Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan pro-gram-program lain yang cenderung bersifat insidental.

PenutupDalam kehidupan masyarakat yang serba tidak menentu

seperti yang terjadi pada saat ini, jaminan sosial dapat menjadisebuah kebijakan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraansosial. Sistem jaminan sosial yang kuat dan mendapat dukungandari berbagai pihak akan dapat memberikan perlindungan danjaminan kepastian kelangsungan kehidupan masyarakat,khususnya bagi kelompok masyarakat yang rentan terhadapperubahan sosial, ekonomi dan politik. Untuk menciptakan sistemjaminan sosial yang kuat dan efektif, pemerintah harus berperanlebih dominan, terutama dalam merumuskan kebijakan yang lebihmakro – kebijakan pembangunan sosial yang terintegrasikandengan pembangunan ekonomi. Tanpa itu semua, sebaik apapunkebijakan sosial tidak akan efektif.

Dalam konteks otonomi daerah, pemerintah daerahmempunyai otoritas yang lebih besar untuk mengatur kebijakanpembangunan. Kebijakan pembangunan sosial di daerah harusmenjadi bagian integral dengan pembangunan ekonomi daerah.Pemerintah daerah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial(Bapel) dituntut untuk lebih kreatif dalam memanfaatkan potensimasyarakat guna mewujudkan jaminan sosial yang kuat yangberbasis pada potensi lokal. Melalui pendekatan tersebut,diharapkan program jaminan sosial akan dapat berkembang danberkesinambungan. Dalam konteks ini, keputusan politikpemerintah daerah menjadi kunci keberhasilan program jaminansosial, mengingat program jaminan sosial di tingkat masyarakat

tidak mungkin berhasil tanpa dukungan politikdan dukungandana dari pemerintah daerah. Sumber-sumber dana yang dapatdimobilisir untuk mendukung program jaminan sosial dapat digalidari masyarakat maupun dari pemerintah melalui alokasi danadari APBD yang proporsional. Pada tataran praksis, strategi yangdapat dilakukan adalah dengan mengembangkan lembaga lokaldan memberdayakan masyarakat melalui pelatihan danpendampingan (advokasi) terhadap lembaga-lembaga di tingkatlokal yang mempunyai potensi untuk mengelola jaminan sosialyang ada dalam masyarakat. Tanpa adanya komitmen pemerintahuntuk berpihak pada masyarakat miskin, niscaya keadilan dankesejahteraan sosial dapat diciptakan.

Page 146: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Bab 7Perencanaan dan Penganggaran

Pembangunan Desa

Gagasan “membawa perencanaan pembangunan ke desa” inimuncul sebagai refleksi atas distorsi dan kegagalan sistemperencanaan partisipatif. Keberadaan regulasi yang menjaminbekerjanya sistem perencanaan dan penganggaran partisipatif,ternyata belum mampu menyediakan ruang partisipasi rakyat(desa) dalam makna sesungguhnya. Dalam proses perencanaandan penganggaran daerah, pendekatan partisipasi masihterpinggirkan oleh derasnya arus pendekatan teknokrasi danpolitik. Penerbitan suatu regulasi alih-alih menjernihkankerumitan rute penyusunan perencanaan dan penganggaran,justeru kehadirannya terkadang tumpang tindih atau tidak sinkrondengan regulasi yang lain. Implikasinya bagi pemerintah daerahsemakin tidak jelas dalam memastikan rujukan hukumnya,termasuk bias dalam menerapkan pendekatan teknokrasi,pendekatan politik dan pendekatan partisipasi. Dalam sistemdistortif seperti ini, status rakyat (desa) masih tetap berstatus

Page 147: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

254 255

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

sebagai penonton, menjadi obyek perencanaan dan terus dibajaksuaranya oleh para elit (capture by elite). Pendekatan partisipasihanya dipakai untuk prosedur proses perencanaan, terkait denganprogram dan besaran anggaran tetap menjadi domainnyateknokrasi birokrasi serta politiknya legislatif. Seperti apa deskripsipersoalan distorsi dalam perencanaan dan penganggaranpartisipatif ini di daerah? Bagaimana merealisasikan gagasan untuk“membawa perencanaan pembangunan ke desa” di tengah praktikdistortif perencanaan pembangunan daerah?

Untuk menunjukkan persoalan perencanaan pembangunanyang terus terjadi di daerah sampai saat ini, beberapa suara orangdesa yang terekam dalam penelitian Tim IRE berikut ini mungkinbisa mewakilinya. Sekitar dua tahun yang lalu, warga yangmayoritas etnis dayak di Desa Perjiwa Kabupaten KutaiKertanegara, menyaksikan “drama pembangunan” yangmenyakitkan. Secara tiba-tiba, aparat pemerintah desa danperwakilan sebuah perusahaan tambang, mendatangi warga desasatu per satu. Mereka datang untuk urusan pembebasan tanah,yang segera akan dikeruk untuk mendapatkan batu bara. WargaDesa Perjiwa tentu faham, kalau tanah mereka menyimpan batubara. Tetapi mengapa mereka tidak diajak merencanakanpengambilan dan pengelolaan batu bara itu? Kesal dan marah,tetapi mereka tidak punya pilihan lain kecuali menyerahkantanahnya ke perusahaan tambang. Setelah dua tahun berlalu,mereka tetap warga Perjiwa yang miskin, meski dollar di depanmata dan negara kaya menyelimutinya. Wajah kesal dan marahpun diperlihatkan oleh Sardjono di ujung tenggara KabupatenGunungkidul. Tokoh Desa Songbanyu ini geram terhadap perilakunegara dan investor. Desa Songbanyu yang memiliki pantai Sadengdan sarang burung walet ini ternyata tidak bisa berbuat banyakkecuali hanya menjadi penonton pembangunan. Lalu lalang in-vestor memanen sarang walet dan mengangkut hasil tangkapanikan laut di pantai Sadeng, hanya meninggalkan bau ikan dandebu kendaraan. Wacana otonomi desa yang beberapa kali dia

dengar dari orang kota, tidak ada gambaran dalam kesehariannyadi desa. Gugatan Sardjono pun meledak, “jika otonomi desa itu ada,mengapa kami hanya menonton ikan laut dan sarang burung waletyang setiap hari diangkut ke kota?” Mata hatinya terasa perih ketikaharus menerawang balik mengingat kehidupan para leluhurnyayang menjalani hidup di desanya dengan gemah ripah loh jinawi,thukul kang sarwo tinandur, tata titi tentrem, karta raharja.1

Persoalan perencanaan pembangunan seperti apa yang bisaditunjukkan dari penggalan kisah menyedihkan dua desa di Jawadan luar Jawa tersebut? Kisah itu menunjukkan bahwa dalampengelolaan sumberdaya publik (tambang batu bara, sarangburung walet, potensi ikan laut), rakyat lokal (desa) tidak diberiruang untuk berpartisipasi (memperjuangkan kepentingannyadan menegosiasikan gagasannya). Fenomena ini menegaskan bahwaruang partisipasi dalam perencanaan pembangunan di level lokalhanyalah semu, yang berarti kepentingan pemerintah masihmendominasi arah dan orientasi pembangunan. Jika ditarik kedalam konsepsi pendekatan partisipasi yang mengartikan adanyaruang publik terbuka dan adil, fenomena di Desa Perjiwa danDesa Songbanyu tersebut menunjukkan adanya ruang publik yangtertutup dan tidak adil. Kisah desa yang menjadi penonton ataseksplorasi resorsis publik miliknya, desa yang terus menerusmenjadi obyek kebijakan kabupaten dan supra kabupaten, sertakisah suara orang desa yang dibajak oleh kepentingan para elitdesa dan supra desa juga ditemukan di daerah lain. Syarifudinyang tinggal di Desa Momundowu Kabupaten Konawemengisahkan tentang dibuangnya suara orang desa dalamperencanaan pembangunan daerah. Kejengkelan H. Marlin danSukanah di Kabupaten Lombok Timur yang mempersoalkandominannya Tuan Guru dalam proses perencanaan pembangunandesa, menambah kisah terlumatnya suara orang desa. DominasiTuan Guru di Lombok Timur merupakan representasi praktik

1 Idiom Jawa ini sering dipakai untuk menggambarkan romantisme desa yang tanahnya subur,tanaman tumbuh hijau, relasi sosial yang teratur , aman dan harmoninya selalu terjaga.

Page 148: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

256 257

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

pembajakan oleh elit desa (capture by elite). Begitu pun yangmenimpa orang desa di Solok Sumatera Barat. Dominannya paraninik mamak, cerdik pandai dan ulama dalam perencanaanpembangunan Nagari Kinari, menyebabkan suara anak nagarisetempat (orang desa) menjadi senyap tak bersuara. Desa-desa diSumba Timur NTT pun tetap dijadikan obyek kebijakankabupaten, meski Program Penguatan dan Pengembangan Desamenuju Desa Mandiri (P3DM) yang didisain kabupatenbernuansa pemihakan kepada desa. Bahkan yang terjadi diKabupaten Sumenep, suara orang desa tersandera olehdominannya Klebun (kepala desa) dalam banyak hal tentangpembangunan desa.

Rekaman suara beberapa desa tersebut memperlihatkanbahwa sistem perencanaan pembangunan dan penganggaran yangtelah memasukkan pendekatan partisipasi, ternyata masihmenimbulkan distorsi. Distorsi tersebut muncul sebagai dampakdari kerangka hukum yang masih membingungkan. Selain itudistorsi juga terjadi karena pemakaian basis argumentasi yang biasdalam penerapan pendekatan partisipasi. Munculnya distorsi jugakarena pemahaman konsepsi partisipasi yang tidak tuntas dikalangan birokrasi, politisi dan masyarakat sipil. Implikasi dariadanya distorsi-distorsi tersebut bagi desa adalah seranganpenundukan yang datangnya secara sistematis, baik dari luar desamaupun dari para penghuninya sendiri. Penundukan yangdilakukan oleh orang dari luar desa dapat melalui pemaksaan sahberupa regulasi negara, kebijakan maupun program pembangunanpemerintah supradesa, atau pun berbagai kegiatan yang memakaiskema bantuan. Orang luar desa yang menggenggam modal punbisa menundukkan desa melalui institusi negara, regulasinya,programnya atau pun alat – alat kekuasaannya. Dalam perspektifmarxian, kondisi desa seperti inilah yang selalu dikhawatirkan,karena negara yang menguasainya pada dasarnya hanyamerepresentasikan kelas borjuasi kapitalis. Penundukan desa yangdilakukan oleh orang dalam, pada prinsipnya adalah bentuk

penyanderaan atau pembungkaman suara politik ekonomi desayang justeru dilakukan oleh para elitnya, baik formal maupunnon formal. Perilaku elit desa ini pada intinya hanyalah upayamereka menggapai rente ekonomi, politik dan sosial dari negara,investor dan warga di sekitarnya2.

Kita akhirnya mengetahui bahwa praktik perencanaanpembangunan sejauh ini lebih menonjolkan aspek teknokrasi-birokratis yang rumit, dimana hanyalah kalangan birokrasi yanglebih memahami dan berketerampilan. Kita pun juga memahamibahwa perencanaan pembangunan selama ini ternyata tetapberwatak oligarkhis dan elitis, yang menyebabkan pembangunanserta pelayanan publik di level lokal mengalami involusi. Pendekkata, praktik perencanaan pembangunan yang dipraktikkan selamaini justeru bertubrukan dengan prinsip-prinsip demokrasirepresentatif3. Mengapa praktik perencanaan partisipatif belumnyambung dengan prinsip-prinsip demokrasi? Menjawabpertanyaan ini adalah menunjukkan bukti kegagalan demokrasirepresentatif dalam memerankan partai politik, lembagaperwakilan dan prosedur pemilihan sebagai media partisipasi wargadalam pengelolaan negara. Regulasi dan sistem perencanaanpartisipasi yang dieksperimentasikan selama lima tahun inimengasumsikan dapat terselenggara melalui lembaga danmekanisme perwakilan. Kebijakan pembangunan nasionalmendapatkan partisipasi warga dari DPR dan mekanismeMusrenbang yang berjenjang dari desa ke Jakarta. Perencanaanpembangunan daerah juga mempercayakan partisipasi warga

2 Penundukan oleh elite desa ini terasa sekali melalui rekaman hasil penelitian Tim IRE (2005)di Lombok Timur (aktornya Tuan Guru), di Solok Sumbar (para aktornya niniak mamak,cerdik pandai, alim ulama), dan di Sumenep (dilakukan oleh Klebun). Kisah penundukkanpara elit kepada warga miskin juga dikemukakan oleh John Gaventa dalam ilustrasinyamengenai proposisi “menghubungkan rakyat dengan kelembagaan” yang dia peroleh kisahnyadari hasil studi Voices of the Poor. Lebih jelas mengenai tulisan John Gaventa ini, lihat dalamGaventa, John.2005. “Enam Proposisi menuju Tata Pemerintahan Daerah Partisipatoris”,dalam Bahagijo dan Tagatora, Orde Partisipasi, Jakarta: Perkumpulan Prakarsa.

3 Penjelasan mengenai model-model perencanaan pembangunan yang selaras dengan desentralisasidan demokrasi maupun yang bertubrukan, bisa dibaca lebih lanjut dalam buku “PrakarsaDesentralisasi dan Otonomi Desa” yang diterbitkan oleh IRE Yogyakarta (2005: 37-50).

Page 149: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

258 259

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

melalui DPRD dan mekanisme Musrenbang dusun, desa,kecamatan dan kabupaten. Semua kandas. Karena lembaga danmekanisme partisipasi yang dijalankan melalui logika demokrasirepresentatif mengalami pembajakan, reduksi dan distorsi yangdilakukan oleh para teknokrat dan politisi. Dalam pengertian iniberarti sistem desentralisasi dan otonomi daerah yang berpijakdalam logika demokrasi liberal atau demokrasi perwakilan, rentanterhadap kegagalan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa persoalandistorsi perencanaan partisipatif adalah persoalan penerapan sistemdemokrasi. Persoalan sistem demokrasi juga berimplikasi padasistem desentralisasi dan otonomi daerah. Tanpa sistem demokrasiyang tepat dan kuat dalam mempraktikkan desentralisasi danotonomi daerah, rakyat desa hanyalah korban dari “perayaankemenangan elit daerah”. Penerapan sistem demokrasi yang tepatdan kuat pun tanpa sistem desentralisasi dan otonomi daerahhanya akan melestarikan jarak antara negara dengan rakyatnya.Oleh karena itu, kami meyakini bahwa sistem desentralisasi harusberdampingan hidup dengan demokrasi. Sehingga untukkepentingan perencanaan pembangunan dan penganggaran daerahyang partisipatif, harus memastikan dulu konsepsi tentang relasidesa-kabupaten. Pijakan kami dalam konsepsi relasi tersebut adalahajaran desentralisasi, otonomi dan demokrasi lokal (desa). Konsepsiitu mengajarkan desentralisasi politik, desentralisasi pembangunandan desentralisasi keuangan guna menyambung relasi desa-kabupaten, (IRE, 2005).

Bingkai relasi desa-kabupaten ini harus clear terlebih dahulu,sehingga kita bisa melangkah mantap memasuki ranahkewenangan pembangunan kabupaten dan desa. Pengalamandesentralisasi dan otonomi daerah telah memberikan gambaranbahwa daerah telah memiliki keleluasaan menjalankanperencanaan pembangunan daerah. Regulasi pusat yang mengaturperencanaan pembangunan pun secara jelas telah memberi ruangbagi daerah. Jika ditelusuri dari berubahnya watak negara dalammendisain perencanaan pembangunan ini, setidaknya diketemu-

kan dua penjelasan. Pertama, perubahan itu sebagai efek lanjutandari diterapkannya sistem desentralisasi dan otonomi daerah.Dalam analisis ini, jika kebijakan radikal desentralisasi danotonomi daerah kita fahami sebagai “akal-akalan” pemerintah pusatkepada daerah karena ketika itu pusat menghadapi krisis politikdan ekonomi, maka perubahan sistem perencanaan pembangunjuga tidak lebih hanya sebagai “pelepas dahaga” di masa eforiademokrasi4. Kedua, perubahan sistem perencanaan pembangunan(partisipatif) yang terjadi merupakan rentetan dari tekanan “Pro-gram Penyesuaian Struktural” (Structural Adjusment Programme)yang dibawa oleh IMF pasca penandatanganan letter of Intent yangdilakukan Soeharto pada medio tahun 1997. Tekanan global inimemang mendikte negara ini untuk menerapkan prinsip-prinsiptrasparansi dan partisipasi dalam segala hal, termasuk partisisipasidalam perencanaan pem-bangunan. Jika dua penjelasan ini benaradanya, pertanyaan menarik untuk dielaborasi lebih dalam lagiadalah; Sejauh mana kerangka hukum dan sistem perencanaanpembangunan partisipatif itu memihak kepada kepentinganrakyat? Apakah kerangka hukum dan sistem perencanaanpembangunan partisipatif memberikan keuntungan bagi desa?Pertanyaan ini pada dasarnya untuk menunjukan bahwa kerangkahukum dan sistem perencanaan pembangunan partisipatif telahmengalami kegagalan dalam mewujudkan target subtantifnya.Berangkat dari kegagalan inilah kami menawarkan gagasan tentangvillage self planning atau membawa (kembali) perencanaanpembangunan ke desa.

4 Kebijakan radikal desentralisasi dan otonomi daerah oleh Pratikno, (2003; 27-45) dipahamisebagai pilihan yang tidak pernah final atau bisa dibaca sebagai suatu spekulasi yang dilakukanpemerintah pusat di tengah tekanan krisis politik dan ekonomi serta ancaman dari daerah.Implikasi dari pemahaman seperti ini adalah sistem politik demokrasi, sistem pemerintahandesentralisasi dan otonomi daerah sangat rentan terhadap subyektifitas pemerintah pusat yangpada akhirnya nanti bisa diputar balik kembali ke sistem yang lebih menjamin kepentinganpolitik ekonomi mereka. Terbitnya UU No 32/2004 yang menarik kembali prinsip-prinsipdesentralisasi dan otonomi daerah menjadi bukti dari pemahaman di atas.

Page 150: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

260 261

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Regulasi dan Sistem Perencanaan PartisipatifUpaya intervensi pemerintah pusat melalui perangkat

regulasi dalam mengkampanyekan pendekatan partisipatif,ternyata tetap mengkandaskan nasib rakyat desa untuk tetapdijadikan obyek teknokrasi dan politik perencanaan maupunpenganggaran daerah. Kita pun kemudian dipaksa untukmerefleksikan wacana people centered development dan communitybased development. Wacana ini merupakan paradigma baruperencanaan pembangunan, yang turunannya adalah modelperencanaan bottom up planning dan participatory planning. Secaraprinsip paradigma baru ini menempatkan masyarakat sipil sebagaiaktor utama dalam suatu proses perencanaan pembangunan danpenganggarannya. Hal ini menegaskan bahwa formulasi kebijakanpublik yang partisipatif ini berlangsung dalam ruang masyarakatsipil, dimana dalam ruang ini mereka leluasa mengorganisirpartisipasi, mengagregasi kepentingan, menentukan preferensi danmenetapkan delegasi maupun mekanisme monitoring danevaluasi. Sedangkan peran pemerintah dan legislatif lebih banyakpada fungsi fasilitasi data, informasi, dan asistensi teknis sertamenjalankan mandat keputusan sesuai dengan kesepakatan. Dalamkonsepsi ini sebenarnya yang dipentingkan dalam pendekatanpartisipasi adalah kemauan pemerintah untuk memberikan ruangpublik kepada rakyat atau desa secara terbuka dan adil sehinggamemungkinkan keleluasaan dan kemandirian dalampembangunan bisa tercipta, (Suhirman, 2005;144).

Sistem perencanaan partisipatif (participatory planning) yangmeletakkan kebutuhan rakyat sebagai fokus pembangunan (peoplecentered development), semakin mendapat legitimasi dalam sistemtata pemerintahan Indonesia. Legitimasi itu nampak nyata melaluidukungan regulasi yang bermunculan dalam dua tahun terakhir.Dalam kajian mengenai kerangka hukum perencanaan danpenganggaran partisipatif, Suhirman (2005; 124) menemukanempat (4) regulasi yang menopang sistem perencanaanpembangunan partisipatif sejauh ini, yaitu :

1. UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara(terutama pasal 17-20)

2. UU No 25 Tahun 2004 Tentang Sistem PerencanaanPembangunan Nasional (terutama pasal 21-27)

3. UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah(terutama pasal 150-154 dan 179-199)

4. UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan DanaPemerintah Pusat dengan Daerah (terutama pasal 66-68)

Regulasi-regulasi di atas diformulasikan dari lembaga yangberbeda, yang berarti berbeda pula dalam semangat pengaturan-nya. Regulasi keuangan negara (UU No 17/2003) diformulasikanoleh departemen keuangan untuk menjamin terselengaranyaprofesionalitas penggunaan anggaran negara. Regulasi sistemperencanaan pembangunan nasional (SPPN) diformulasikan olehBappenas untuk menciptakan mekanisme perencanaanpembangunan yang optimum dalam pengelolaan sumber dayapublik. Sedangkan dua regulasi terakhir yakni UU No 32/2004dan UU No 33/2004 diformulasikan oleh Depdagri untukmemastikan proses integrasi perencanaan model bottom up plan-ning dari desa sampai ke pusat.

Temuan kajian yang dilakukan oleh Suhirman (2005; 126-128), menunjukkan bahwa antara UU No 25/2004 dengan UUNo 32/2004 ada beberapa hal yang tidak sinkron. Pertama,mengenai status hukum dokumen Rencana Pembangunan JangkaMenengah Daerah (RPJMD). Menurut UU No 25/2004 statushukum RPJMD cukup ditetapkan dengan Peraturan KepalaDaerah, namun UU No 32/2004 memerintahkan agar statushukum RPJMD ditetapkan melalui Peraturan Daerah. Perbedaandalam perintah hukum ini, memicu konflik penafsiran antarakepala daerah dengan DPRD. Kedua, perbedaan dalammendefinisikan RKPD. Menurut UU No 25/2004 RKPDmerupakan Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang cukupditetapkan dengan Peraturan Kepala daerah. Sedangkan RKPDmenurut UU No 32/2004 diartikan sebagai Rencana Kerja

Page 151: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

262 263

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Pembangunan daerah yang menuntut penetapan hukumnyadalam bentuk Perda. Perbedaan dalam mendifiniskan dankonskuensi pengaturannya ini jelas akan memicu konflik antarakepala daerah dengan DPRD. Terlebih jika dikaitkan dengan faktaselama ini bahwa suatu peraturan identik dengan proyekpenganggaran, maka bisa dipastikan medan konflik semakinterbuka dengan adanya sumbu pemicu yang nampak jelas ini.Ketiga, wilayah pengaturan tata cara penyusunan dokumenperencanaan pembangunan daerah. Menurut pasal 27 ayat 2 UUNo 25/2004, tatacara penyusunan dokumen RPJPD, RPJMD,RKPD, Renstra-SKPD dan Renja-SKPD diatur lebih rinci lagioleh pemerintah daerah, karena pemerintah pusat melalui PPhanya akan mengatur tatacara penyusunan dokumen perencanaanpusat. Perintah berbeda diberikan oleh UU No 32/2004 (pasal154), dimana semua tahapan, tatacara penyusunan, pengendaliandan evaluasi diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah (PP).Namun perintah itu ternyata tidak dijalankan, karena PP No 72/2005 tentang desa (terutama pasal 63-66 tentang perencanaanpembangunan desa) tidak rinci dalam mengatur tahapan maupuntatacara penyusunan dokumen perencanaan pembangunan desa.

Selain merunut beberapa hal yang tidak sinkron antarregulasi seperti di atas,5 untuk kepentingan suatu analisis kebijakandapat pula merunut riwayat pengaturannya (munculnya regulasi).Sistem perencanaan pembangunan orde baru yang sentralistis dantop down sandaran hukum terakhirnya memakai Permendagri No9/1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan danPengendalian Pembangunan Daerah (P5D). Permendagri inimenerjemahkan perintah UU No 5/1974 Tentang pemerintahDaerah, Keppres dan Kepmendagri tentang pembentukanBappeda. Payung hukum ini masih terus dipakai oleh rejimHabibie dan Abdurrahman Wahid, dan baru berubah haluan

ketika era Megawati mengeluarkan UU No 17/2003 TentangKeuangan Negara. Regulasi keuangan negara ini menjadi titikbalik sistem perencanaan pembangunan dan penganggaran, karenadalam pasal 17-20 regulasi ini mengatur rute penganggarandaerah yang harus dimulai dari merumuskan Rencana KerjaPemerintah Daerah (RKPD) kemudian dijadikan rujukan untukKebijakan Umum Anggaran (KUA) dan berakhir padaditetapkannya dokumen APBD. Arah subtansi penganggarandaerah ini tidak sinkron lagi dengan arah perencanaanpembangunan yang diatur melalui Permendagri No 9/1982. Olehkarena itu, untuk mengisi kevakuman payung hukum yangkoheren dengan kerangka hukum keuangan negara, Mendagri HariSabarno mengeluarkan SE Mendagri Nomer 050/987/SJtertanggal 5 Mei 2003 perihal Pedoman Penyelenggaraan forumKoordinasi Pembangunan Partisipatif.

Meski telah mengusung semangat demokrasi, partisipasi,kemitraan, transparansi dan akuntabilitas (sesuai semangat UUNo 17/2003), dalam implementasinya gagasan ini banyakmengalami reduksi makna dan bahkan beragam distorsi. Sampaikemudian Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Mendagribersepakat mengeluarkan SE Bersama No.1354/M.PPN/03/2004, 050/744/SJ perihal Pedoman Pelaksanaan ForumMusrenbang dan Perencanaan Partisipatif Daerah. SE Bersamaini muncul sebagai respon pemerintah pusat terhadap suara-suara daerah yang masih simpang siur dalam menempuh ruteperencanaan pembangunan, perencanaan kerja pemerintah danperencanaan penganggarannya. Karena derajat hukum SE Bersamaini lemah, padahal tuntutan payung hukum perencanaanpembangunan dan penganggaran banyak disuarakan daerah, makakeluarlah Peraturan Pemerintah (PP) No 20/2004 tentangRencana Kerja Pemerintah pada bulan Agustus 2004, yangkemudian disusul dengan terbitnya UU No 25/2004 TentangSistem Perencanaan Pembangunan Nasional pada bulan Oktober2004. Seolah kejar setoran, UU No 32/2004 tentang

5 Tentang sketsa kerancuan diantara 4 kerangka hukum ini, secara mendalam dapat ditemukandalam tulisan Suhirman di buku Orde Partisipasi (2005), dalam Majalah Lesung (2005) dantulisannya dalam makalah yang disampaikan di forum Lokakarya Nasional kebijakan partisipatifuntuk pelayanan publik di Solo Tahun 2005.

Page 152: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

264 265

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Pemerintahan Daerah dan UU No 33/2004 tentang PerimbanganKeuangan antara Pusat dengan Pemerintahan Daerah yangnotabenenya menggantikan regulasi otonomi daerah (UU No221999 dan UU No 25/1999), ditetapkan pula oleh PresidenMegawati di bulan Oktober 20054.

Sampai dengan berakhirnya pemerintahan Megawati,perencanaan pembangunan dan panganggaran daerah telahditopang oleh 4 kerangka hukum. Dengan demikian pemerintahanSBY-Kalla ini tinggal menerbitkan regulasi teknis melalui PP,Keppres, Permendagri dan regulasi daerah. Namun karena terjaditarik menarik antara kepentingan pusat dengan daerah, regulasiteknis yang dibutuhkan tidak kunjung terbit. Pihak Mendagrijusteru rajin mengeluarkan SE yang sifatnya hanya merespon secaraparsial mengenai pemberdayaan masyarakat desa, peralihansekretaris desa yang akan diisi oleh PNS, tuntutan ADD danpenegasan posisi netral kepala desa dalam Pilkadal. Muara tarikmenarik ini berakhir pada akhir tahun 2005 denganditetapkannya PP No 72/2005 tentang Desa. PeraturanPemerintah (PP) ini relatif komplit menjawab ketidakpastianpayung hukum mengenai desa, termasuk juga persoalanperencanaan pembangunan desa (Pasal 63-66) dan Alokasi DanaDesa (Pasal 68 ayat 1 huruf c). Merunut kelahiran kerangkahukum tentang sistem perencanaan pembangunan danpenganggaran seperti dialurkan di atas, penting sebagai bahananalisis kebijakan perencanaan pembangunan. Analisis lebihdiarahkan untuk melacak basis argumentasi yang dipakai dalammemformulasikan kebijakan.

Jika melihat runutan kelahiran kebijakan regulasi sepertidiulas di depan, nampak sekali bahwa titik balik perubahan justerudimulai dari terbitnya SE Mendagri No 050/987/SJ. Meski SuratEdaran (SE) bukan instrumen hukum yang wajib dipatuhi,namun subtansi dalam SE Mendagri No 050/987/SJ ini benar-benar mengoreksi subtansi Permendagri No 9/1982 yangmencerminkan model perencanaan terpusat (top down planning).

Subtansi SE Mendagri tersebut tidak sekedar melegalkan modelbottom up planning, namun lebih jauh lagi mendorongdipraktekkannya model participatory planning untuk menembusdistorsi pembangunan yang selama ini terjadi. Ada dua basisargumentasi yang bisa dicandera dari kemunculan gagasanperencanaan pembangunan partisipatif ini. Pertama, argumentasiyang basisnya dibangun atas tekanan dari skenario global tentanggood governance (mensyaratkan partisipasi, transparansi danakuntabilitas). Argumentasi ini terasa sekali karena yangmemunculkan gagasan ini adalah Departemen Dalam Negeri yangpada saat itu masih menjalankan sistem perencanaan pembangun-an model P5D sesuai Permendagri No 9/1982. Kedua,argumentasi kebijakan tersebut berbasis tuntutan dari suara-suaradaerah yang menghendaki desentralisasi pembangunan. Sistempemerintahan desentralisasi dan otonomi daerah ternyatamemunculkan kesadaran orang daerah akan pentingnya suatuperencanaan pembangunan yang partisipatif, berbasis kebutuhandaerah dalam skema people centered development 6.

Bagaimana implikasi dari dua basis argumentasi tersebutterhadap jalannya perencanaan pembangunan dan penganggaranpartisipatif di daerah? Meski teks normatif dokumen hukum dansistem perencanaan yang ditawarkan telah membuka ruangpartisipasi publik, faktor kuatnya mindset pendekatan tekno-birokratis dan politik akhirnya meninggalkan prinsip-prinsippartisipatif. Kalangan birokrasi baik di Bappeda maupun SatuanKerja Perangkat Daerah (SKPD) masih menganggap bahwa dalammenyusun dokumen perencanaan dan penganggaran yangdipentingkan proses teknokrasinya di kalangan mereka dan paraahli, bukan proses partisipasi yang melelahkan dan dianggap

6 Jika dua basis argumentasi kebijakan perencanaan pembangunan partisipatif ini diletakkandalam konteks teori kebijakan publik, penjelasan Merilee S. Grindle dan John W. Thomas(1991; 96) dalam bukunya “Public choices and Policy Change” meletakkan dua argumentasiseperti itu dalam empat kriteria pilihan untuk formulasi kebijakan. Empat kriteria yangberpengaruh dalam argumentasi kebijakan itu adalah tekanan internasional, pertimbangan stabilitaspolitik, implikasi birokrasi dan pertimbangan teknis adminsitrasi. Dua argumentasi dalam SEMendagri itu termasuk dalam empat kriteria pilihan kebijakan model Grindle dan Thomas.

Page 153: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

266 267

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

bertele-tele. Sikap ortodoksi kalangan birokrasi seperti ini masihbanyak terjadi di daerah. Salah satunya seperti diketemukan timIRE di Kabupaten Gunungkidul. Dalam menjalankanMusrenbang dari level dusun, desa sampai dengan Musrenbangdi tingkat kabupaten, partisipasi warga dimaknai dalam bentukformal prosedural. Partisipasi formal prosedural yang dipraktikkanmeyakini bahwa kalau Musrenbang digelar dengan menghadirkanseluruh stakehoders maka bobot dokumen perencanaan yangdihasilkan bisa dikatakan partisipatif.

Padahal sering sekali hasil-hasil Musrenbang desa ketikadibawa ke Musrenbang kecamatan menjadi hilang tidak dibahas,karena yang muncul dalam pembahasan Musrenbang kecamatanadalah pikiran camat, para delegasi desa, SKPD kecamatan danjuga anggota DPRD dari Dapel setempat yang menjadi tamukehormatan. Suara orang desa dari Gunungkidul berikut inimenarik dicermati, “saya kalau diundang Musrenbang ke kantordesa malas datang karena musyawarahnya dikuasai para pamongdan tokoh masyarakat. Sudah begitu tidak jelas apakah yang diusulkannanti mendapat pendanaan dari kabupaten atau justeru lenyap tidakjelas nasibnya. Tetapi jika diundang oleh fasilitaor desa proyek P2KPsaya pasti datang, karena musyawarahnya mau mendengar suaraorang kecil dan pendanaannya sudah pasti ada dan nominalnyajuga diketahui.” Suara ini memperlihatkan dis-trust orang desapada mekanisme perencanaan dan penganggaran melaluiMusrenbang yang dijalankan pemerintah, tetapi sebaliknya diamempercayai mekanisme perencanaan dan penganggaran yangdijalankan oleh World Bank melalui proyek P2KP. Inti persoalanbagi orang desa seperti ini adalah keterbukaan dan keadilan dalamproses musyawarah, serta adanya kepastian perencanaan danpenganggaran. Tidak hanya di level desa, reduksi dan distorsipartisipasi juga terjadi dalam Musrenbang di level kabupaten.Kejadian mislink antara hasil Musrenbang desa, kecamatan denganyang dibahas di Musrenbang kabupaten setiap tahunnya selaluterjadi. Bukannya tanpa disadari, beberapa penelitian dan studi

yang menemukan persoalan mislink ini sudah banyak dilakukan,tetapi rekomendasi tersebut tidak dijalankan.

Kusutnya praktik perencanaan dan penganggaran daerahyang bolak-balik setiap tahun tidak kunjung berubah sepertiterjadi di Gunungkidul ini, terjadi karena beberapa faktor.Pertama, faktor regulasi yang masih tidak sinkron dan konsistenantara regulasi satu dengan lainnya. Jika UU No 25/2004 danUU No 32/2004 secara jelas telah membuka ruang partisipasidalam prose penyusunan dokumen perencanaan danpenganggaran, UU No 17/2003 justru tidak jelas mengaturmengenai partisipasi. Regulasi keuangan negara ini lebihberorientasi pada proses tekno-birokratisnya yang sering dijadikanpijakan para birokrat untuk meninggalkan proses partisipasi. Dilain pihak, perbedaan pengaturan antara UU N0 25/2004 danUU No 32/2004 semakin membingungkan daerah. Kalaumengikuti UU No 25/2004 proses perencanaan dan penganggrandaerah cenderung menjadi domainnya eksekutif, tetapi menurutUU No32/2004 proses perencanaan daerah itu menjadidomainnya eksekutif dan legislatif. Sementara itu prinsipperencanaan partisipasi meyakini bahwa proses perencanaan danpenganggaran menjadi domainnya masyarakat sipil. Mana yangmau diikuti? Kedua, pendekatan partisipasi yang terperangkapdalam sistem perencanaan sektoral dan terintegrasi secara nasional.Sistem perencanaan pembangunan nasional yang didisain olehUU No 25/2004 telah mengintrodusir pendekatan partisipatoris,berbasis keruangan (spatial) dan menempatkan dalam kerangkaotonomi daerah. Tetapi disisi lain, disain perencanaan yangdisusun oleh UU No32/2004 masih cenderung sektoral danmengintegrasikan proses perencanaan daerah kepada pemerintahpusat. Hal ini yang menjadi “celah” pemerintah untuk terusmenerus memerankan kapasitas teknokrasinya secara sektoral ditengah arus pendekatan partisipatoris yang memihak padaperencanaan secara keruangan (spatial).

Page 154: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

268 269

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Berbagai Distorsi Perencanaan DaerahDesentralisasi masih jauh dari optimal. Tujuan perbaikan

pelayanan publik dan kesejahteraan masih jauh dari optimal, antaralain karena anggaran daerah sebagian besar dikonsumsi oleh pejabatdan birokrasi daerah. Meski di atas kertas perencanaan daerahbersifat desentralistik (dari bawah) dan partisipatif melalui wadahMusrenbang, tetapi praktiknya tidak mencerminkan prinsip-prinsipitu. Belajar pada pengalaman ada sejumlah keterbatasan dan distorsidalam perencanaan dari bawah yang justru membuat desentralisasi,partisipasi dan otonomi desa tidak bermakna.

Pertama, fokus pembangunan desa hanya sekadarpembangunan sarana fisik, yang berarti bahwa perencanaan yangberjalan di tingkat desa kurang partisipatif dan responsif terhadapberbagai kebutuhan masyarakat di luar sarana fisik. Target ataucapaian membangun desa dalam orientasi pembangunan fisikdikarenakan indikator kemajuan desa yang diukur olehpemerintah supradesa berdasarkan kriteria kelengkapan sarana,prasarana infrastruktur dan kelengkapan administrasi di desa.Artinya, desa dikatakan maju oleh pemerintah bila desa menjadiinstitusi yang tunduk untuk kepanjangan kepentingan birokrasidan memperlancar proyek-proyek pembangunan fisik.

Kedua, perencanaan pembangunan di tingkat desa masihbelum partisipatif karena rendahnya partisipasi masyarakat desadalam menentukan kebijakan pembangunan. Peran elite desa yangmengklaim mewakili aspirasi masyarakat masih mendominasikekuatan dalam menentukan kebijakan pembangunan desa. Polainteraksi antara masyarakat sipil dalam partisipasinya untukmenentukan kebijakan pembangunan masih bias satu arah, dimanabudaya ewuh pakewuh dan patron-client masih terasa menjadipatologi sosial. Sekarang istilah partisipasi stakeholders begitupopuler diadopsi oleh pemerintah sebagai sebuah pendekatanpartisipatif dalam pembangunan. Di desa, istilah itu juga cukupakrab diungkapkan para elite desa. Tetapi stakeholders yang terlibatdalam perencanaan pembangunan masih berkutat pada aktor

pemerintahan desa dan lembaga-lembaga formal di tingkat desa(lurah, BPD, PKK, LPMD, RT, dan RW). Keterlibatan organisasi-organisasi sektoral, organisasi kemasyarakatan yang lain, dankelompok perempuan masih sangat terbatas.

Ketiga, proses pelembagaan demokrasi di desa dalammelaksanakan kebijakan pembangunan masih lemah walaupunkepemimpinan kekuasaan di desa telah mengalami prosesdemokratisasi. Adanya BPD di desa sebagai mitra kerja pemerintahdesa masih belum bisa bekerja secara optimal, efektif dan efisien.Lemahnya pelembagaan demokrasi di desa lebih cenderungdisebabkan keterpustusan hubungan antara lembaga pengambilkebijakan (pemerintah desa dan BPD) pada masyarakat yangdiwakilinya sehingga pada sisi akuntabilitas publik dantransparansi, kebijakan ini sulit untuk dipertangunggjawabkansecara terbuka pada masyarakat. Selain itu, hubungan antarapemerintah desa dan Baperdes masih diwarnai oleh konflik antarpersonal akibat dendam politik masa lalu yang diperankan kembalidalam arena pemerintahan desa.

Keempat, terjadinya distorsi penentuan skala prioritaspembangunan baik di level desa maupun di kabupaten. Dalampraktiknya sering terjadi benturan antara kebutuhan masyarakatdesa, keinginan elite desa yang terfokus pada pembangunan fisikdan kehendak kabupaten yang sudah direncanakan lebih duludalam dalam propeda. Lebih celaka lagi, distorsi prioritaspembangunan sering terjadi karena agenda pembangunan hanyamerupakan jabaran dari kehendak populis seorang bupati.

Kelima, proses perencanaan dari bawah selalu terdistorsi olehgejala proseduralisme. Artinya perencanaan partisipatif yangbertingkat dari bawah memang tidak dihayati dan dilaksanakansecara otentik dan bermakna atau “murni dan konsekuen”,melainkan hanya prosedur yang harus dilewati. Sebagai prosedurformal, perencanaan dari bawah sebenarnya hanya sebagai alatjustifikasi untuk menunjukkan kepada publik bahwa perencanaanpembangunan yang dilalui oleh pemerintah kabupaten telah

Page 155: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

270 271

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

berangkat dari bawah (dari desa) dan melibatkan partisipasimasyarakat. Yang terjadi sebenarnya adalah perencanaan yangtidak naik (mboten up) ke kabupaten, dan program-programkabupaten yang turun ke desa ternyata juga tidak mengalamipemerataan. Banyak desa yang kecewa karena setiap tahunmembuat perencanaan tetapi ternyata programnya tidak turun.Akibatnya di banyak desa skema perencanaan tahunan itucenderung diabaikan oleh masyarakat desa ketika ProgramPengembangan Kecamatan (PPK) yang secara riil membawa pro-gram dan dana langsung masuk ke desa, tanpa melalui skemaperencanaan daerah.

Keenam, keterbatasan dan kemampuan desa dalammelaksanakan pembiayaan pembangunan. Adanya politikanggaran pembangunan yang ditetapkan Kabupaten terhadap desamasih bersifat bias kepentingaan politik pembangunan dankebaikan hati para elite Kabupaten. Indikator yang bisa digunakanuntuk mengukur bias politik Kabupaten adalah ditetapkannyaperda No. 16 Tahun 2000 tentang APBDes (Anggaran Pendapatandan Belanja Desa) pada pasal 3 ayat 3 dinyatakan bahwa APBDesdisusun selambat-lambatnya 30 hari setelah ditetapkannyaAPBD. Ketentuan ini secara jelas tidak membuka proses partisipasidalam menentukan politik anggaran pembangunan di tingkatkabupaten. Proses penyusunan APBDes yang dilakukan setelahpenetapan APBD menyebabkan perencanaan pembangunan desamengalami “ketergantungan” yang kuat terhadap kabupaten.

Ketujuh, perencanaan dari bawah yang memadukanpendekatan sektoral dan pendekatan spasial sungguh fatal. Out-put perencanaan daerah sebenarnya bias sektoral, yang dikuasaioleh dinas-dinas teknis kabupaten, tetapi proses perencanaannyaditempuh melalui pendekatan spasial dari desa. Proses inimempunyai problem pada level skala. Skala kemampuanmasyarakat desa tentu hanya sebatas pada yurisdiksi desa yangsetiap hari mereka lihat. Masyarakat desa tentu tidak mempunyaikapasitas yang memadai untuk menjangkau masalah dan data

tentang isu-isu sektoral yang lebih besar di luar jangkauankewenangan desa. Karena itu perencanaan daerah yang biassektoral sebenarnya bukan berangkat dari partisipasi masyarakatdesa, melainkan dirumuskan secara teknokratis oleh Bappeda danDinas-dinas teknis. Akar masalah dari semua ini adalahketidakjelasan pembagian kewenangan kabupaten dan desa,sekaligus desa belum ditempatkan sebagai entitas yang mengelolasendiri perencanaan pembangunan. Dengan kalimat lain, sejauhini kita baru mengenal perencanaan daerah, tetapi belum mengenalperencanaan desa yang berhenti di level desa.

Kedelapan, idealisme perencanaan dari bawah juga terdistorsioleh tradisi klientelisme, patronase atau hubungan-hubunganpersonal melalui lobby yang tidak bisa dipertanggungjawabkansecara terbuka. Relasi personal yang terjalin antar elite desa,khususnya kepala desa dengan beberapa pejabat di tingkatkabupaten telah membuka peluang terjadinya transaksi proyek-proyek pembangunan atau mekanisme tawar menawar antar per-sonal di antara mereka yang kemudian ditindaklanjuti denganmenetapkan kebijakan proyek-proyek pembangunan pemerintahdaerah melalui institusi dimana para elite ini bekerja di wilayahnyamasing-masing. Faktor lainnya adalah kekuatan inisiatif dan lobbykebijakan yang dimiliki personal kepala desa yang mampumelampaui batas kemampuan, kompetensi dan kompetisi dengankepala desa lainnya. Artinya, ada kepala desa yang memlikikemampuan lobby kuat untuk berkompetisi mendapatkan proyekpembangunan diluar mekanisme formal kebijakan pembangunan.

Hilangnya usulan desa untuk memperoleh program bantuanpembangunan dari pihak kabupaten atau pemerintah pusatsebenarnya ada dua alasan. Pertama, karena sistem atau mekanismeperencanaan pembangunan daerah yang tidak partisipatif, di manasebenarnya pada tingkat desa hingga kecamatan, mekanisme usulanpembangunan sudah bisa dikatakan partisipatif, namun padatingkat Musrenbang di Kabupaten, suara desa dalam mengajukanusulan proyek pembangunan seakan-akan menguap dan tidak ada

Page 156: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

272 273

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

jejaknya. Di tingkat Musrenbangda, usulan yang lebih dominandan lebih banyak diterima adalah usulan sektoral atau usulandari dinas/instansi terkait langsung dengan proyek-proyekpembangunan. Dinas/instansi bisa mempunyai peran ganda,salah satu sisi sebagai perencana program atau proyek-proyekpembangunan, tetapi pada sisi lainnya dinas/instansi bisa menjadipelaksana proyek-proyek pembangunan sekaligus eksekutor untukmengevaluasinya. Peran ganda inilah yang memungkinkanterjadinya pemenangan kompetisi antara usulan sektoral/Dinasdengan usulan desa. Namun pada prakteknya, usulan pem-bangunan lebih banyak didominasi oleh Dinas/instansipemerintah daerah.

Kedua, desa dan masyarakat desa tetap dijadikan sebagaiajang proyek bantuan pembangunan, dimana pemerintah sengajameletakkan desa pada posisi intstitusi yang “tidak mampu”melaksakan pembangunan. Alasan menempatkan desa sebagaiintstitusi yang tidak mampu sebenarnya hanyalah klaimpemerintah kabupaten untuk tetap memiliki alasan mendominasidesa dan mencengkeram desa. Posisi desa sebagai institusi yangkalah telah memantapkan “ketergantungan” desa terhadapkabupaten. Desa dalam posisi ini adalah sebagai sebuah entitasadministratif yang perlu didengarkan saja dan dilibatkan sebataskelengkapan formalitas prosedural perencanaan pembangunanyang ada di tingkat Kabupaten. Mekanisme pelibatan desa hanyasebatas di Musrenbang Kecamatan, namun ketika memasuki tahapdi tingkat Kabupaten, suara, akses dan kontrol desa terhadapusulan yang masuk ke arena Musrenbang tidak bisa mereka aksesdengan baik., artinya pada sisi partisipasi, akuntabilitas publikdan transparansi perencanaan pembangunan masih jauh daristandar kelayakan. Masyarakat desa dan pemerintah desa selamaini ketika menjalankan mekanisme perencanaan pembangunandaerah hanya sebatas mengajukan daftar usulan keinginan. Ataulebih tepatnya dikatakan proses partisipasi pembangunan yangditekankan dan diamanatkan dalam UU hanya sebatas mekanisme

keterlibatan. Semangat partisipasi, akuntabilitas publik dantransparansi kebijakan pembangunan secara tegas tidak diikutidengan semangat desentralisasi, dimana masyarakat danpemerintah desa secara tegas diberi hak dan wewenang untukmerencanakan pembangunan hingga melakukan kontrol terhadappembangunan yang ada di desa maupun di tingkat Kabupaten.

Perencanaan DesaBagian tulisan yang disampaikan di atas memperlihatkan

bahwa ruang perencanaan dan penganggaran daerah yang telahmemakai pendekatan partisipatoris dan menempatkan secaraotonom (decentralized planning), ternyata masih disandera olehpemikiran-pemikiran tekno-birokratis yang sektoral dansentralistis. Penyenderaan ini menjadi penyebab direduksinyaprinsip-prinsip partisipasi dan juga terdistorsinya mekanismeperencanaan dan penganggaran yang partisipatif. Implikasipenyenderaan ini bagi desa adalah hilangnya kesempatan untukmerencanakan pembangunan dan memperoleh anggaran yangpasti untuk desa. Jalan keluar dari sandera tekno-birokratis iniharus ditempuh dengan cara merebut ruang perencanaanpembangunan dan penganggaran agar kembali memihak ke desa.

Kerangka konsep perencanaan terdesentralisasi (decentral-ized planning) atau perencanaan devolutif pada prinsipnyamenjalankan mekanisme perencanaan secara keruangan (spatialplanning). Dalam spatial planning ini masing-masing daerahotonom mendapatkan keleluasaan, kemandirian dan jaminanpenganggaran untuk merencanakan pengelolaan sumber dayapublik yang dimilikinya. Dalam pengertian seperti ini yang telahmenikmati spatial planning adalah kabupaten/kota, terutamaselama era otonomi daerah seperti sekarang ini. Kenikmatan dalammenjalankan spatial planning ini seharusnya dibagi juga kepadadesa, namun selama ini praktiknya kabupaten tidak berbagi“kenikmatan” kepada desa. Yang dilakukan kabupaten malahmenyandera desa dalam proses perencanaan dan penganggaran,

Page 157: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

274 275

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

sebagaimana dulu di era orde baru dia diperlakukan yang samaoleh pemerintah propinsi dan pusat. Mengapa kabupaten dapatmenyendera desa? Pertama, karena desa masih dipersepsikansebagai domain kekuasaan kabupaten. Cara pandang inimerupakan bagian dari pemikiran yang menempatkan otonomidaerah berhenti di kabupaten, tidak dilanjutkan ke desa. Meskidesa didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yangotonom, namun keberadaannya tetap di bawah kekuasaan NKRI(dalam hal ini kabupaten)7. UU No 25/2004 pun meletakkandesa dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah sebagaisubordinasi dari kabupaten. Artinya, setelah orang desa selesaibermusyawarah mengenai perencanaan pembangunan desanya,hasilnya mesti “diperiksakan” dan “diserahkan nasibnya” kepadabudi baik orang-orang di kabupaten. Inilah yang menyebabkanperencanaan daerah/perencanaan terdesentralisasi yang dijalankankabupaten tidak membawa perbaikan secara signifikan bagi desa.

Kedua, fragmentasi dan hegemoni yang dialami orang desa.Di tengah kaburnya posisi desa di era otonomi daerah ini, orangdesa pun mengalami fragmentasi dan hegemoni yang hebat dalammenanggapi perilaku kabupaten. Alih-alih bernegosiasi danmemperjuangkan kepentingan desa, dalam banyak kasus orangdesa justeru larut dalam skema bantuan dan stimulan yangdilancarkan kabupaten. Kondisi desa yang seperti ini menjadilunak untuk terus menerus disandera kabupaten, sehingga masadepan desa ada dalam genggaman kabupaten. Dua kondisi yangtengah dialami desa ini harus segera diakhiri. Pengalaman NagariKoto Gadang yang berhasil menemukan kedaulatannya, memilikikeleluasaan dan kemandirian untuk memikirkan sumberdayanagarinya, menjadi pelajaran yang harus diikuti oleh orang-or-ang desa dan kabupaten. Meski pun ada yang ditolak dari carabersikap Nagari Koto Gadang, yaitu sikapnya yang mandiri dalamarti kesendirian dan membiarkan tidak berperannya negara. BagiIRE, konsepsi kemandirian desa bukan berarti kesendirian dalam

mengelola sumber daya publiknya yang menegasikan peran negara,tetapi kemandirian dalam arti memiliki kedaulatan, keleluasaandan kepastian memiliki dukungan panganggaran untuk mengelolasumber daya publiknya. Pengertian inilah yang kami maksudkansebagai desentralisasi dan otonomi desa, termasuk pemahamanmengenai perencanaan desa secara mandiri (village self planning).

Kalau demikian pengertiannya, lalu kepada siapa ruangperencanaan pembangunan dan penganggaran desa itu kita re-but? Seperti ditegaskan di depan, dalam era perencanaan devolutifseperti sekarang ini yang baru “menikmati” adalah kabupaten.Oleh karena kita meletakkan pengertian perencanaan devolutifitu adalah perencanaan daerah dan juga perencanaan desa, makaruang perencanaan desa itu harus direbut dari genggaman tangankabupaten. Mengapa kepada kabupaten? Sebab semua regulasitentang sistem perencanaan pembangunan dan penganggarandaerah (UU No 17/2003, UU No 25/2004, UU No 32/2004,UU No 33/2004) mempercayakan nasib desa kepada kabupaten.Desa menjadi memiliki kemandirian ataukah sebaliknya menjadidesa yang selalu tersandera, itu karena ulah kabupaten. Momen-tum untuk merebut ruang perencanaan dan penganggaran desadari kabupaten menjadi terbuka luas seiring dengan dipastikannyadesa mendapatkan alokasi dana desa dari minamal 10 persen DAUyang diterima kabupaten. Kepastian ini diperoleh melalui PP No72/2005 terutama pasal 68 ayat 1 huruf c, “bagian dari danaperimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima olehKabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus),yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yangmerupakan alokasi dana desa”. Melalui skema ADD yang telahjelas payung hukum dan disainnya ini, gagasan membawa(kembali) perencanaan pembangunan ke desa bisa direalisasikanoleh kabupaten maupun desa.

Desa bisa dikatakan memiliki otonomi bila dia mempunyaikewenangan dan keleluasaan penuh merencanakan pembangunansesuai dengan otoritas dan yurisdiksi yang dibagi melalui

7 Periksa kembali UU No 32/2004 Bab I Pasal 1 mengenai difinsi desa.

Page 158: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

276 277

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

desentralisasi politik. Otonomi pembangunan ini bisa terjadi bilaada devolusi perencanaan desa, yakni perencanaan yang berhentidi desa (village self planning). Perencanaan desa bukanlahperencanaan daerah yang berada di desa, melainkan sebagai sebuahsistem perencanaan yang berhenti di tingkat desa atau dikelolasendiri (self-planning) oleh desa serta berbasis pada masyarakatsetempat. Perencanaan desa ini tentu bukan prakarsa yangprematur tetapi berangkat dari konteks bottom up planning yangbermasalah, serta mempunyai sejumlah tujuan. Pertama,memotong mata rantai prosedur perencanaan bertingkat (bottomup) yang sarat dengan distorsi dan manipulasi yang justru tidakmemberdayakan desa. Kedua, membawa perencanaan betul-betuldekat pada masyarakat di desa sehingga agenda pembangunandesa menjadi lebih partisipatif dan reponsif pada kebutuhanmasyarakat. Ketiga, membuat proses subsidiarity dalampembangunan bekerja di level desa, sehingga bisa memperkuattanggungjawab, membuka proses pembelajaran dan membangkit-kan prakarsa-potensi lokal. Keempat, devolusi perencanaan desaakan lebih efektif menempa keleluasaan, kapasitas dan kemandiriandesa dalam menjalankan urusan pemerintahan, pembangunan dankemasyarakatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatsetempat. Kelima, membuat kepastian pelayanan publik danpemerataan pembangunan sampai ke level desa yang dekat denganrakyat. Keenam, menciptakan produktivitas, efisiensi dan efektivitaspembiayaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan desa.

Dalam konteks ini kami mengusulkan model atau formatperencanaan desa yang mengandung sejumlah ciri khas:

1. Perencanaan desa merupakan sistem perencanaan sendiri(self-planning) yang meng-cover urusan-urusanpembangunan dan pemerintahan yang menjadi kewenangandan tanggungjawab (domain) desa. Sebagai contoh adalahkewenangan mengelola jalan kampung, penerangan desa,sampah, keamanan kampung, drainase, kuburan,pengelolaan air lahan pertanian, pengelolaan unit

pengelolaan jasa alat mesin pertanian, fasilitasi organisasitani desa, pengembangan badan usaha milik desa,pemberdayaan lembaga kemasyarakatan, dan masih banyaklagi. Jika kewenangan bidang-bidang pembangunan danpemerintahan ini sudah dibagi kepada desa, makaselanjutnya desa berwenang membuat sendiri perencanaanatas pengelolaan bidang-bidang itu.

2. Kewenangan yang sudah dibagi ke desa, dan kemudian dicoverdengan perencanaan desa, membutuhkan dukungan danaalokasi desa (ADD) dari kabupaten. Ini bukan meminta-mintaatau membuat ketergantungan, tetapi ADD merupakan hakdesa dan kewajiban kabupaten, yang digunakan untukmembiayai perencanaan pembangunan desa.

3. Perencanaan desa dibuat dalam bentuk rencana strategissebagai rencana jangka panjang, rencana pembangunanjangka menengah, dan rencana pembangunan tahunan.

4. Perencanaan desa merupakan sistem yang terpadu dandibuat sistem budgeter (budgetary system) di desa melaluiskema APBDes. Artinya, kecuali perencanaan sektoralkabupaten maupun pelaksanaan tugas-tugas pembantuan(yang menjadi domain pemerintah supradesa), program-program pembangunan yang bersifat spasial dan berbasisdesa sebaiknya diintegrasikan secara terpadu dalamperencanaan desa dan dana program-program itudimasukkan ke dalam APBDes (budgetary system). Integrasisecara terpadu ini mempunyai beberapa tujuan. Pertama,menghindari terjadinya “dualisme” perencanaan danpengelolaan pembangunan, sebagaimana desa mengelolaperencanaan rutin serta agenda pembangunan lainnya (PPK,PEMP, P2MD, P3DT, dan lain-lain) yang berada di luarsistem anggaran desa. Dalam praktiknya perencanaan rutinjustru sering terbengkalai karena kurang memiliki kepastiandana, sementara program-program luar itu memasok danayang lebih besar dan lebih pasti. Kedua, desa akan lebih

Page 159: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

278 279

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

fokus merencanakan dan melaksanakan pembangunan sesuaidengan kebutuhan masyarakat setempat.

5. Perencanaan desa dikelola untuk merespons secara dekat-langsung berbagai kebutuhan masyarakat desa serta diprosessecara partisipatif. Forum Musrenbangdes, LPMD, RT, RW,kelompok tani, kelompok perempuan, karang taruna,kelompok keagamaan an lain-lain merupakan arena yangnyata untuk mewadahi proses perencanaan partisipatif didesa. Di internal desa, partisipasi pembangunanmensyaratkan adanya pelembagaan yang demokratis dalamstruktur pengambilan kebijakan desa. Kinerja lembagaeksekutif (pemerintah desa) dan lembaga legislatif desa(BPD) hendaknya diatur dalam sebuah relasi yang mampumendorong proses demokrasi di desa. Begitu pula peranmasyarakat sipil di desa tetap saja diberikan arena untukmengembangkan suara, akses dan kontrol mereka terhadapjalannya pemerintahan dan pembangunan desa.

6. Perencanaan desa tidak perlu dibawa atau diusulkan naikke atas, misalnya untuk memperoleh persetujuan.Rakorbang di kabupaten tidak lagi digunakan untukmenilai, menyeleksi atau menyetujui usulan dari desa.Dalam konteks perencanaan desa, kabupaten bertugasmelakukan pembinaan, fasilitasi dan supervisi.

7. Tanggungjawab perencanaan desa diletakkan di tingkat desa,bukan kepada kabupaten. Desa cukup menyampaikandokumen-dokumen perencanaan dan pelaksanaannyakepada kabupaten sebagai bahan untuk melakukanpembinaan, fasilitasi dan supervisi.

Jika sebagian domain pembangunan daerah didevolusikanke desa, yang kemudian menjadi domain perencanaan desa,apakah perencanaan daerah tidak diperlukan lagi untuk mengcoverdesa? Perencanaan desa sebenarnya hanya memindahkan sebagiankecil domain perencanaan daerah, agar perencanaan desa lebihefektif, responsif dan parsifipatif. Bagaimanapun domain

perencanaan desa jauh lebih kecil ketimbang domain perenanaandaerah karena perbedaan kewenangan dan kapasitas. Perencanaandaerah tetap bisa menggunakan skema perencanaan sektoral danperencanaan terpadu, yang keduanya tetap dikelola dengan prosesbottom up dan partisipatif. Kebutuhan masyarakat akan pelayananpublik strategis yang tidak mampu dicover oleh perencanaan desabisa diajukan desa agar masuk menjadi perencanaan daerah. Dalamkonteks ini, kecamatan bisa berperan lebih optimal, terutamamelakukan koordinasi perencanaan daerah yang melibatkanpartisipasi desa dan untuk penentuan skala prioritas. Usulankecamatan yang berbasis desa ini dibawa ke musrenbangda ditingkat kabupaten. Musrenbang kabupaten, seperti biasanya,dimaksudkan untuk menentukan skala prioritas dan rencanatahunan, yang tentu saja harus diproses secara partisipatif dantransparan agar tidak terjadi distorsi dan manipulasi.Musrenbangda kabupaten menjadi media utama konsultasi publikbagi segenap pelaku pembangunan daerah untuk menetapkanprogram dan kegiatan daerah serta rekomendasi kebijakan gunamendukung implementasi program/kegiatan tahun anggaranberikutnya. Kegiatan musrenbangda sendiri bisa dibagi menjadidua tahapan, yaitu par-musrenbangda dan kegiatan musrenbangdasendiri. Kegiatan pra-musrenbangda bertujuan untuk melakukaninventarisasi, verifikasi, pengolahan dan penyajian informasi atasusulan berbagai sumber dari musrenbang kecamatan sehinggamenjadi dokumen pendukung yang layak untuk dibahas dalammusrenbangda kabupaten.

Sementara mengenai penguatan partisipasi masyarakat dalamperencanaan desa dan perencanaan daerah, maka kamimengusulkan sejumlah skema, yaitu melalui skema Musrenbangdan skema perencanaan sektoral. Musrenbang tahunan atau limatahunan memang penting dan sebagai jalur utama untukmengambil keputusan akhir tentang perencanaan desa danAPBDes. Tetapi Musrenbang selalu bersifat korporatis (tunggaldan hanya melibatkan institusi formal yang diakui negara), kurang

Page 160: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

280 281

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

mencakup isu-isu sektoral yang lebih luas, serta tidak cukupmencakup segmen-segmen masyarakat secara partisipatif.

Kami sama sekali tidak ingin meniadakan Musrenbang for-mal di aras desa, tetapi agar arena itu menjadi lebih bermakna,maka pelaksanaan Musrenbang desa kami introdusir denganmodel rembug desa. Model rembug desa adalah mekanismemusyawarah rakyat desa yang berakar dari tradisi desa masa lalu.Kami meyakini bahwa model rembug desa akan menjaminrepresentasi segmen masyarakat yang terlibat, alur pelaksanaanMusrenbangdes, agenda yang dimusyawarahkan, dan caramengelola forum. Fokus utama inisiasi model rembug desa iniadalah untuk memastikan berlangsungnya perencanaan desa secarapartisipatif, transparan dan akuntabel. Artinya, Musrenbang desaformal yang selama ini terjadi lebih banyak mengagendakanperencanaan daerah dan berlangsung kurang partisipatif.

Upaya kami memisahkan perencanaan desa dan perencanaandaerah dapat ditempuh melalui dua skema pengembangan protoconstituency group (PCG). Pertama, skema pengembangan protoconstituency group (PCG) berbasis spasial. Skema ini akan kamieksperimentasikan melalui pilot project model rembug desa dibeberapa desa (3-4 desa) di suatu daerah pemilihan terpilih. Modelrembug desa akan kami tawarkan kepada pemerintah desa, BPD,dan kelompok masyarakat sipil desa untuk diadopsi menjadi modelpelaksanaan Musrenbang desa. Pasca Musrenbang desa tersebutnanti dibentuk kelompok kerja, yang beranggautakan perwakilandari elemen masyarakat desa yang hadir di forum tersebut.Kelompok desa inilah yang kami sebut sebagai proto constituencygroup (PCG) berbasis spasial.

Kedua, skema pengembangan proto constituency group (PCG)berbasis sektoral. Skema ini akan kami eksperimentasikan melaluipengorganisiran organisasi-organisasi sektoral di tingkatkabupaten. Mereka akan kami fasilitasi untuk bertemu danmembentuk forum antar organisasi sektoral. Forum sektoral inilahyang akan kami dorong sebagai proto constituency group (PCG)

berbasis sektoral. Dalam forum sektoral ini terdiri dari perwakilanorganisasi sektor yang eksis di kabupaten Bantul dan Kebumen.Forum sektoral inilah yang akan kami dorong untuk terlibat aktifdalam proses perencanaan dan penganggaran daerah.

Penganggaran Pembangunan DesaSejauh ini ada berbagai skema keuangan (pendanaan) untuk

membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan desa,yakni skema bantuan sebagai bentuk stimulan kepada desa, skemaakselerasi untuk percepatan pembangunan desa, skema swadayamasyarakat dan skema alokasi dana desa (ADD). Skema akselerasisangat dibutuhkan untuk mempercepat berbagai bentuk investasipembangunan desa, tetapi yang lebih fundamental desamembutuhkan alokasi dana desa (ADD), sebab keuangan desamerupakan bagian yang tidak terpisahkan dari desentralisasi danotonomi. Dengan skema desentralisasi, desa tentu mempunyai“hak” atas uang (hasil kekayaan, pajak, dan retribusi) yang dikelolapemerintah, sekaligus mempunyai kewenangan untuk menggalisumber-sumber keuangan dan mengelola keuangan secaraotonom. Desentralisasi juga menganjurkan tentang perimbangankeuangan antara pusat, daerah dan desa. Keuangan yang dikelolaitu menurut skema desentralisasi digunakan untuk membiayaikewenangan dan tanggungjawab pemerintah desa dalam mengaturdan mengurus desa.

Kombinasi antara bantuan-stimulan dan swadaya masyarakatmenjadi sumber utama penganggaran pembangunan desa. Istilahsubsidi dan bantuan terlalu menonjol yang mencerminkanketidakseimbangan dan ketidakadilan. Daerah dan desa tidakmempunyai hak dan otoritas yang memadai atas uangdikumpulkan oleh pemerintah pusat, kecuali hanya menerima“baik budi” dari pemerintah. Meski timpang, bantuan untukdaerah tetap ada formula baku yang digunakan, misalnya InpresDati I dan Inpres Dati II (sebagai bentuk bantuan umum)bervariasi sesuai dengan jumlah perkapita atau jumlah pendudukdaerah. Sedangkan bantuan untuk desa tidak mempunyai for-

Page 161: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

282 283

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

mula seperti formula untuk bantuan daerah. Sebelum UU No.5/1979 lahir, pemerintah pusat sudah menyalurkan InpresBantuan Desa secara merata kepada setiap dan seluruh desa, mulaidari angka 100 ribu rupiah pada tahun 1969 hingga 10 jutarupiah pada tahun 1999. Jika daerah menerima SDO untuk gajipegawai, desa tidak memperoleh subsidi. Penghasilan perangkatdesa selalu mengandalkan hasil kekayaan desa yang jumlahnyasangat terbatas. Memang ada bentuk-bentuk lain subsidi daripusat dan daerah kepada desa, tetapi tidak ada dasar pijakankebijakan yang memadai dan sejauh ini tidak ada data yangmemadai untuk disajikan. Desa di masa Orde Baru sebenarnyajuga memperoleh “sebagian” kecil dari Pajak Bumi dan Bangunan(PBB), tetapi ini bukan formula bagi hasil melainkan hanyasekadar ongkos (biaya) penarikan PBB yang dibayarkan kepadaperangkat desa, sehingga tidak masuk dalam APPKD.

Orang-orang yang berhaluan romantis-lokalis, bahkankalangan yang antinegara, sangat senang dengan kekuatan swadayamasyarakat. Bagi mereka, swadaya masyarakat merupakan buktinyata bahwa desa mempunyai “otonomi asli” atau betul-betulmandiri alias tidak tergantung pada negara. Orang yang lain bilangbahwa swadaya merupakan bentuk konkret modal sosial, sebuahaset utama yang dimiliki kaum marginal. Kalangan yang antinegarapun berujar bahwa swadaya masyarakat merupakan wujud nyatamodel pembangunan yang berbasis masyarakat (community baseddevelopment), sebuah model alternatif atas pembangunan yangdipimpin negara (state led development) maupun pembangunanyang digerakkan pasar (market driven development).

Kalau kami berpendapat lain. Swadaya justru menimbulkanbalada dan jeratan, seperti pedang bermata dua, keduanya sama-sama membunuh, yakni membunuh negara dan masyarakat.Membunuh negara artinya menyingkirkan peran dan tanggung-jawab negara dalam mengurus pelayanan publik. Membunuhmasyarakat artinya swadaya merupakan bentuk eksploitasi terhadapmasyarakat, jika tidak bisa dibilang sebagai bentuk pemiskinan.

Mengapa demikian? Setiap komunitas pasti punya modalsosial dalam bentuk organisasi, kerjasama dan solidaritas untukmenjaga ketahanan lokal. Di pedesaan Jawa misalnya, dikenalistilah sambatan sebagai bentuk kerjasama atau tolong-menolonguntuk keperluan privat, serta gotong-royong sebagai bentukkerjasama untuk mengurus keperluan bersama (keamanan,kebersihan, lingkungan, dll). Tetapi sejak republik inimenggalakkan pembangunan, pemerintah mulai memperkenal-kan istilah swadaya untuk memanfaatkan sekaligus mengambilalih tradisi gotong-royong itu guna mendukung proyek-proyekpembangunan. Dengan alasan keterbatasan dana, pemerintahtidak perlu bertanggungjawab mengurus jalan desa/kampung,melainkan diserahkan kepada masyarakat. Pemerintah juga punyaalasan bahwa menanggung pembiayaan jalan desa/kampungseratus persen berarti menciptakan kemalasan dan ketergantunganmasyarakat. Karena itu pemerintah menciptakan skema stimulandan swadaya. Bantuan stimulan umumnya bernilai lebih sedikitketimbang kontribusi swadaya masyarakat. Anehnya komposisiyang eksploitatif ini dianggap pemerintah sebagai sebuahkeberhasilan pembangunan.

Uang negara bukan tidak cukup untuk mengurus jalankampung yang dekat dengan komunitas. Kesalahan dasarnyaterletak pada kebijakan (pembangunan dan keuangan) yang bias:lebih condong ke kota ketimbang ke desa, konsentrasi ke sektoralketimbang spasial, pembesaran pada pembangunan ekonomiketimbang pembangunan sosial dan pelayanan publik, sertaalokasi dana jauh lebih besar pada kebutuhan birokrasi negaraketimbang masyarakat.

Mari kita lihat data. Di Indonesia dikenal pembagian jalanyang hirarkhis, yakni jalan negara yang dibiayai oleh APBN, jalanprovinsi dibiayai APBD provinsi, dan jalan kabupaten dibiayaiAPBD kabupaten. Penerimaan APBN dan APBD bersumber padadevisa, pajak dan retribusi. Lalu juga ada jalan desa yang dibiayaidengan APBDes, yang sebagian besar penerimaannya berasal dari

Page 162: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

284 285

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

swadaya masyarakat langsung. Fakta juga menunjukkan bahwalebih dari 60 persen APBD digunakan untuk membiayai belanjakepala daerah, DPRD dan jajaran birokrasi daerah, sedangkanmasyarakat memperoleh kurang dari 40 persen. Berdasarkanperhitungan kasar, para punggawa yang berjumlah sekitar 3%(dari total penduduk) mengkonsumsi 60% APBD, sedangkan97% warga hanya mengkonsumsi 40%.

Data itu memperlihatkan bahwa negara adalah untuknegara. Negara bukan untuk masyarakat. Negara mencakuppemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Kalau berbicaraanggaran, negara menganggap desa dan masyarakat adalahkomponen lain di luar APBN dan APBD. “APBD itu sangatterbatas untuk membiayai kebutuhan kabupaten, kok dimintasebagian oleh desa”, demikian ungkap seorang pejabat kabupatensuatu ketika. Tetapi kalau berbicara politik, negara sangatberkepentingan menciptakan dominasi dan kontrol atasmasyarakat dan desa. Apalagi para politisi yang selalu rajinberkunjung dari komunitas ke komunitas atau dari desa ke desa,si saat menjelang pesta demokrasi.

Di aras lokal, swadaya menciptakan konstruksi sosial yangtimpang antara elite dan massa, sekaligus membangunkebudayaan politik yang hegemonik. Para elite lokal umumnyamengajarkan tentang kesabaran, kepatuhan dan kerelaan berkorbanuntuk kepentingan bersama, kepada warga biasa. Mereka selalumenyerukan tentang arti penting swadaya masyarakat dalampembangunan sebagai bentuk partisipasi dan kerelaan berkorbanuntuk keperluan bernegara dan bermasyarakat. Mereka punyaajaran-ajaran itu, seraya memobilisasi masyarakat, karenaumumnya hidup mereka lebih mapan ketimbang warga biasa.Proses pendidikan politik yang hegemonik ini menciptakanstruktur kesadaran bahwa swadaya merupakan bentuk kewajibanyang lumrah, meski dibalik itu terdapat eksploitasi yang serius.

Mobilisasi dukungan swadaya di aras lokal sebenarnya tidakberjalan secara mulus dan otentik. Kebanyakan warga merasa

terpaksa dalam membayar swadaya, agar mereka tetap dianggapsebagai warga yang lumrah dalam bermasyarakat. Jika mereka tidakbersedia mendukung swadaya maka akan dituding sebagai orangyang tidak lumrah oleh pemimpin dan tokoh masyarakat.

Tidak banyak pihak yang memandang kritis terhadapswadaya masyarakat. Beberapa bulan lalu kami pernah berdiskusidengan Bupati Gunungkidul, Suharto, yang ternyata pekaterhadap persoalan eksploitasi atas swadaya masyarakat. Berikutini tuturnya: “Di Gunungkidul pendekatan stimulan kami cermatijustru memberatkan rakyat desa. Semakin banyak stimulan yangdiberikan ke desa, maka semakin berat beban rakyat desa. Rakyatakan menjual gaplek atau barang lain untuk mengimbangi stimulan.Masalahnya terletak pada kesenjangan antara kota-desa dan antarasektoral-wilayah. Pembangunan lebih berorientasi pada sektor danlebih banyak di kota. Karena itu, mulai sekarang, kami sudahmencanangkan keseimbangan pembangunan. Desa kami perhatikansecara serius. ADD akan kami berikan kepada desa sebagai bentukalokasi yang menjadi hak desa dan insentif kepada desa”.

Pelajaran buruk mengenai swadaya masyarakat itu mau tidakmau mengharuskan pembaharuan relasi negara dan masyarakatdalam pembangunan, pelayanan publik dan penganggaran. Kitamemiliki negara (state) tetapi miskin kenegaraan (stateness), adagovernment tetapi miskin governance. Pemerintah sangat senangdan lihai “mengatur” dengan cara membuat banyak peraturan,tetapi gagal dalam “mengurus” pembangunan dan pelayananpublik untuk kesejahteraan. Dengan kalimat lain, pemerintahkaya akan “peraturan”, tetapi miskin “kebijakan”. Setiap haripemerintah mengeluarkan perizinan dan surat-surat resmi (IMB,izin usaha, regristrasi organisasi, nomor wajib pajak, KTP, SIM,SBKRI, akta kelahiran, dan lain-lain) yang harus dimiliki wargauntuk keperluan pengendalian, tetapi terlampau miskin dalammenjalankan kebijakan untuk menyejahterakan rakyat.

Selain itu, pembangunan desa juga membutuhkan desentrali-sasi keuangan ke desa, selain didukung dengan program-program

Page 163: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

286 287

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

akselerasi dari atas. Desentralisasi keuangan desa yang dicitakanadalah penyerahan keuangan yang dimiliki kabupaten kepada desabeserta wewenang pengelolaannya. Kampanye mempraktekkandesentralisasi keuangan desa, sebenarnya bisa juga dimaknaisebagai momentum untuk menata keuangan desa agar lebihakuntabel, responsif, transparan dan partisipatif. Momentum inikongruen dengan dorongan desentralisasi desa yang juga kencangdisuarakan. Desentralisasi desa adalah momentum orang desaberkonsolidasi dan membangun kesadaran masyarakat untukmandiri (berotonomi). Konsolidasi desa dijalankan untuk menatakelembagaan demokrasi desa dan inventarisasi potensi-potensidesa. Penataan kelembagaan dan inventarisasi potensi desa,bermakna strategis dalam rangka menjemput desentralisasikeuangan yang akan diberikan oleh pemerintah kabupaten. Apakonskuensinya? Konskuensinya bagi pemerintah desa, harus maumelibatkan stakeholders desa dalam proses politik anggararan desa.Pelibatan stakeholders ini penting sebagai manifestasi daripemahaman bahwa persoalan Anggaran Pendapatan dan BelanjaDesa (APBDes) merupakan public goods desa yang membutuhkansuatu kebijakan publik dari otoritas desa.

Cita-cita ideal tadi dapat terpenuhi, ketika desa memilikisumber keuangan yang jelas dan pasti. Sumber keuangan bisadidapatkan dari internal potensi desa (mengelola tanah kas desa,sumber daya alam desa, pungutan desa/pologoro) dan dari eksternaldesa (bantuan keuangan pemerintah, bagi hasil, danaperimbangan). Dengan sumber keuangan yang jelas dan ditambahdengan kewenangan yang leluasa untuk mengelolanya, aspekpelayanan serta kesejahteraan rakyat desa akan lebih terjamin.Namun persoalannya adalah sumber keuangan mereka (PADes)rata-rata kecil, hanya mampu untuk operasional pemerintahansehari-hari. Sementara sumber pendapatan dari bantuan keuanganatau transfer dana dari pemerintah kabupaten tidak pasti, jumlahdan waktunya. Dilema seperti inilah yang kemudianmenempatkan metode ADD itu mendesak dijalankan oleh

pemerintah kabupaten. Metode ADD memiliki makna dan arahtujuan serta manfaat yang lebih reformatif dalam kerangka relasikabupaten dengan desa.

Kebijakan perimbangan keuangan pusat-daerah tampaknyamemberikan momentum dan pelajaran yang sangat berharga.Pelajaran penting pertama adalah meluasnya kritik dan tinjauanterhadap konsep “bantuan”, terutama yang mengalir ke desa.Bantuan mengandung ketidakjelasan, ibarat sedekah, yangtergantung pada “kebaikan hati” pemerintah yang memberibantuan. Bantuan tidak menegaskan “kewajiban” pemerintah dan“hak” desa. Karena itu wacana yang tersebar luas adalahmenggantikan konsep “bantuan” menjadi “alokasi”. KalanganNGO, termasuk FPPM, ketika melakukan advokasi revisi UU No.22/1999, mengusulkan perubahan klausul bantuan menjadialokasi. Konsep alokasi memberikan batas-batas yang jelas dantegas tentang “kewajiban” pemerintah dan “hak” desa. Belajar daripengalaman ini, sekaligus mereplikasi Dana Alokasi Umum(DAU), beberapa kabupaten mengambil prakarsa kebijakanAlokasi Dana Desa. Kabupaten Solok adalah perintis yangmemperkenalkan model Alokasi Dana Umum untuk Nagari(DAUN), kemudian disusul oleh beberapa kabupaten lainnya.

Metode ADD yang selama 4 tahun terakhir dijalankan olehbeberapa kabupaten, dimaknai dari berbagai sudut pandang.Hasil penelitian yang dilakukan tim peneliti ForumPengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) tentang ADD padatahun 2004 ini berhasil mengidentifikasi beberapa temuan.Kabupaten Lima Puluh Kota misalnya, menempatkan maknaADD sebagai instrumen untuk mengembalikan romantismepengelolaan nagari (self governing community) di masa lalu. Adajuga kabupaten yang memaknai ADD dalam konteks menjalankansemangat desentralisasi dan otonomi daerah (misalnya KabupatenMagelang, Tuban, Selayar). Eksperimentasi yang dilakukan olehKabupaten Jayapura lain lagi, perimbangan dana kepada desa/kampung dijalankan melalui konsep Program Pemberdayaan

Page 164: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

288 289

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Distrik/kecamatan (PPD), yaitu memberikan transfer dana sebesarRp 1 Milyar kepada setiap distrik/kecamatan. Kebijakan PPD inidimaknai dalam kerangka otonomi khusus Papua yang inginmewujudkan masyarakat yang mandiri dalam memenuhikebutuhan dasarnya. Kemandirian dalam memenuhi kebutuhandasarnya itu oleh Kabupaten Jayapura dijalankan melaluimekanisme local self planning yang berbasis di tingkat distrik/kecamatan (Sutoro Eko dan Ismail, 2004).

Berbagai pemaknaan kebijakan ADD yang telah dijalankan,sesungguhnya memiliki tujuan besar yang kurang lebih sama,yaitu merombak ortodoksi pemerintah kabupaten dalammemberikan kewenangan, pelayananan dan bantuan keuangankepada pemerintahan di level bawahnya (desa). Pola kebijakanpemerintahan kabupaten yang semula dominan dan sentralistis,melalui metode ADD ini berubah menjadi partisipatif, responsifdan dijalankan melalui asas desentralisasi. Melalui ADD inidiharapkan desa mendapatkan “barokah” dari desentralisasi, yaitumemiliki keleluasaan dalam mengelola keuangan desa,membelanjakan, mengelola, dan mengawasinya. Keleluasaan yangdiperolehnya ini diharapkan pula akan mewujudkan kualitaspelayanan publik yang lebih baik dan menstimulasi tercapainyakesejahteraan rakyat desa. Dengan tujuan seperti ini, ada beberapamanfaat dari pelaksanaan metode ADD yang bisa dikemukakan.

Pertama, pengurangan disparitas kapasitas keuangan antardesa. Sebagaimana halnya dengan manfaat yang diperolehkabupaten melalui metode DAU, maka desa pun melalui ADDini diharapkan memiliki kapasitas keuangan yang kuat sehinggadisparitas/kesenjangan kapasitas keuangan antar desa bisadiminimalisir. Disparitas kapasitas keuangan ini menjadi realitasyang terjadi di banyak kabupaten, sehingga berdampak kepadakesenjangan pelayanan publik yang diterima oleh rakyat dimasing-masing desa. Untuk meminimalisir disparitas ini, makadalam metode ADD yang dijalankan pemerintah kabupaten,idealnya ada suatu formulasi yang mencerminkan alokasi dana

yang bersifat pemerataan (standar minimal pemberihan danakepada desa) dan alokasi dana yang mencerminkan rasa keadilan(sesuai dengan indikator variabel yang dimiliki). Melalui aspekalokasi dana minimal dan variabel ini, kapasitas keuangan masing-masing desa tidak akan mengalami kesenjangan yang lebar.

Kedua, pemerataan pelayanan publik. Rentang wilayahsuatu kabupaten yang begitu luas, sering menjadi persoalan dalammemberikan pelayanan kepada publik. Pada masa pemerintahanOrde Baru atau kebijakan pemerintahan kabupaten kepada desayang masih sentralistis, persoalan cakupan wilayah yang luas inimenyebabkan pelayanan publik yang bias kota. Desa-desa yangjauh dari pusat kota kabupaten jauh pula aksesnya terhadapfasilitas pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan,transportasi dan pasar. Pada sisi yang lain, rentang wilayah yangluas dan metode sentralisasi di tingkat pemerintah akanmenimbulkan biaya operasional tinggi, baik bagi masyarakatmaupun pemerintah. Pelayanan di bidang catatan sipil (aktekelahiran, kematian, perpindahan) misalnya, harus dikelola olehpemerintah kabupaten dan kecamatan yang disampingmemerlukan biaya administrasi serta transportasi yang cukuptinggi, hasil catatan/registrasi sering tidak akurat dan bahkan tidakreliable bagi perencanaan pembangunan daerah maupun nasional.Melalui ADD ini diharapkan desa akan membangun fasilitaspelayanan kesehatan, pendidikan dan pasar di tingkat lokal desasesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Artinya kalau suatu desatidak memerlukan sekolahan SD/SMP/SMA karena bergabungdengan beberapa desa lainnya, desa bersangkutan mengalihkanpenyediaan fasilitas yang lainnya atau untuk meningkatkanpelayanan publik yang bersifat non fisik. Kedekatan pelayanandengan kebutuhan publik ini bisa memecah persoalan inefisiensidan efektifitas anggaran pemerintah yang selama ini banyakmenguap untuk urusan birokrasi. Melalui ADD inipunsebenarnya bisa dijadikan momentum untuk merombakkewenangan negara dalam hal catatan sipil. Kebijakan pemerintah

Page 165: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

290 291

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Kabupaten Lima Puluh Kota yang menyerahkan pengurusan KTPdan pernikahan kepada pemerintahan lokal (nagari), dapat menjadibahan diskursus reformasi catatan sipil di Indonesia.

Ketiga, memperluas ruang partisipasi. Kebijakanpemerintahan yang state centered approach diyakini oleh banyakahli kebijakan publik sebagai penyebab miskinnya partisipasimasyarakat dalam program-program pembangunan. Partisipasimasyarakat muncul ketika contect and content kebijakan berdekatandengan apa yang dibutuhkan masyarakat serta prosesnyamemberikan ruang luas bagi partisipasi publik. Metode ADDyang menyerahkan pemanfaatan dan pengelolaan-nya kepadamasyarakat desa, memang sengaja menghendaki keterlibatan/partisipasi masyarakat desa di dalam proses perencanaan,pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pembangunan desa. MelaluiADD, kebijakan pelayanan publik didisain menggunakan societycentered approach, dimana proses kebijakan datang dari masyarakatbukan dari negara lagi. Proses partisipasi selama ini sering direduksimaknanya oleh negara, seperti dalam proses perencanaanpembangunan dan RAPBD, dimana masyarakat dilibatkan dalamprosedur Musrenbang dusun sampai kabupaten, tetapi pada saatpenentuan program dan alokasi anggaran peran serta partisipasimasyarakat ditiadakan. Teknis prosedural partisipasi diciptakan,namun aspek subtansi yang strategis partisipasi ditinggalkan. Kedepan, ADD harus dapat menjawab tantangan perencanaanpembangunan yang bisa memverifikasi masalah internalitas desadan eksternalitas desa. Dalam konteks ini gagasan mengenaipendekatan keruangan (spacial planning approach), prinsipsubsidiaritas dan perencanaan mandiri di tingkal lokal (local selfplanning) menemukan relevansinya. Bisa dikatakan bahwa ADDmenjadi salah satu alternatif untuk mengurai stagnasi partisipasidalam perencanaan pembangunan di daerah.

Keempat, menjamin transparasi dan akuntabilitas.Pengelolaan anggaran daerah dan desa selama ini ditempatkandalam suatu wilayah yang tabu dan sakral bagi publik. Pandangan

ini jelas merupakan konstruksi politik dari negara yang totaliter.Dalam era demokratisasi dan otonomi daerah, persoalan anggaranpublik merupakan poin krusial bagi negara. Negara tidak lagimenempatkan anggaran publik dalam wilayah sakral yang takterjangkau, tetapi harus meletakkan secara transparan kepadapublik. Transparansi anggaran ini tidak hanya untuk APBD tetapijuga untuk APBDes. Sumber pendapatan APBD dari mana dandibelanjakan untuk apa saja. Demikian juga apakah APBDes telahmencantumkan sumber pendapatan dari perimbangan danakabupaten (ADD), PADes, bantuan keuangan lainnya dan kemanasaja anggaran itu didistribusikan. Mekanisme transparansi dapatditempuh melalui pelibatan seluruh stakeholders desa dalam setiaptahapan proses perencanaan APBDes atau pun bisa ditempuhmelalui publikasi secara luas dokumentasi proses perencanaanmendapatkan sumber keuangan desa dan arah distribusi yangakan dilakukan. Melalui keterbukaan sikap otoritas pemerintahandesa dan dokumen anggaran yang menjadi milik publik ini,diharapkan menjadi mekanisme kontrol publik terhadappemerintahan. Mekanisme kontrol inilah yang akan menggirngbagi siapa pun yang mengelola anggaran publik dapat dimintaiakuntabilitasnya.

Kelima, sebagai prakarsa untuk kemandirian desa.Kemandirian desa akan cepat terwujud melalui kapasitas keuangandesa yang kuat, mampu memberikan pelayanan yang mendekatikebutuhan publik, membuka ruang partisipasi dalam proseskebijakannya, serta menciptakan kondisi governance yang terbukadan akuntabel. Atau bisa disimpulkan bahwa kemandirian desaatau otonomi desa akan terwujud ketika pemerintah kabupatenmau dan mampu membuat kebijakan keuangan desa melaluimetode ADD yang adil, transparan, menjamin tercapainyadesentralisasi dan otonomi desa.

Page 166: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Bab 8Pemberdayaan Masyarakat Desa

Pembangunan desa yang berkelanjutan juga harusmenyentuh manusia, rakyat dan masyarakat. Sentuhan terhadapmanusia inilah yang disebut dengan pemberdayaan. Di Indone-sia, pemberdayaan menjadi istilah mutakhir yang menggantikanpembinaan dan pengembangan masyarakat. Bab ini akanmengupas makna dan relevansi pemberdayaan masyarakattersebut. Sebelum masuk kesana, akan diawali dulu dengan potretketidakberdayaan masyarakat desa.

Potret KetidakberdayaanSecara ekonomi politik dan budaya, masyarakat desa tidak

berdaya. Siapa kelompok masyarakat grass root atau kelompok yangtermarginalkan tersebut? Pada umumnya mereka adalah kelompokyang miskin secara ekonomis, seperti: petani, buruh, nelayan,pedagang kecil dan sejenisnya. Kemiskinan ekonomis merekaterkait dengan kemiskinan struktural dan budaya kemiskinan yangmereka kembangkan. Selain itu, kaum perempuan di desa jugamenjadi salah satu bagian kelompok yang tidak berdaya.

Page 167: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pemberdayaan Masyarakat Desa

294 295

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Kelompok-kelompok masyarakat tersebut nyaris tidakpernah terakomodasi gagasan, kepentingan, dan kebutuhannya.Mereka tidak memiliki akses terhadap pembuatan keputusan didesa, akses terhadap pelayanan sosial, akses terhadap anggarandan lain sebagainya. Keseharian mereka disibukkan dengan duniamereka sendiri yang sulit dan melelahkan. Akibatnya, merekaterbiasa diam saja (culture of silent) atas segala yang terjadiberkaitan dengan pengelolaan desa. Mereka pun tidak memilikikepedulian untuk mengontrol berbagai hal yang sebenarnyaberkaitan dengan kehidupan mereka. Pendek kata, kelompokmarginal ini tidak memiliki acces-voice-control.

Proses erosi, involusi dan marginalisasi budaya desa merupakanancaman serius bagi masa depan orang desa. Erosi budaya desaadalah lunturnya budaya lokal karena munculnya budaya baru,tetapi keberadaan dari budaya baru itu belum bisa diterimasepenuhnya dan bahkan bisa mendistorsi bekerjanya budaya lamauntuk memenuhi kebutuhan hidup warganya. Sementara itu,involusi diartikan mandegnya proses evolusi budaya secara linearyang membawa perubahan tranformatif ke arah yang lebih baikdan mampu menjawab masalah-masalah baru yang lebih kompleks.Adapun marginalisasi artinya keberadaan budaya lokal tidak lagimenjadi sebuah kekuatan untuk memberdayakan, melainkan justrumenjadi beban bagi orang desa untuk melestarikan.

Negaranisasi, kapitalisasi, globalisasi, materialisasi maupunliberalisasi yang masuk ke desa telah menimbulkan krisis budayaorang desa, yakni menimbulkan budaya ketidakberdayaan ataubudaya kemiskinan. Menurut teori budaya kemiskinan, orangmenjadi miskin karena mentalitas budayannya seperti boros, tidakbervisi kedepan, bertingkahlaku emosional daripada rasional,bermental meminta, fatalistik dan berbagai atribut yangmenyebabkan mereka tidak mempunyai kemandirian, kerja kerasdan dapat diajak bekerjasama untuk meningkatkan kemajuansosial-ekonomi. Oscar Lewis, pencetus teori budaya kemiskinanpada tahun 1950-an, tidak memungkiri kebenaran kemiskinan

struktural. Dalam kajian Lewis, kemiskinan budaya muncul dariteralienasinya orang-orang di lingkungan slum dan getto darikehidupan kota yang dikendalikan oleh kelas menengah diperkotaan. Alineasi sosial-budaya itu telah membentuk sub-kulturkaum slum yang tipikal sehingga berbeda dengan sub-kulturkaum menengah perkotaan yang bersifat modernis. Kemiskinanbudaya merupakan bagian dari sub-kultur kaum miskin di daerahperkotaan, dan sub-kultur ini tereproduksi terus menerus sehinggamenjadi suatu orientasi nilai dan mentalitas hidup orang miskindari generasi ke generasi walaupun secara material mereka mungkinpenghasilannya relatif lebih baik. Pelajaran yang dipetik darikerangka berpikir Lewis itu adalah “meningkatkan kesejahteraanorang miskin tidak akan berhasil jika mentalitas miskinnya tidakdirombak”. Kalaupun pendapatannya naik, kaum miskin akantetap konsumtif. Bahkan program itu akan terancam gagal karenamungkin mereka akan berperilaku oportunitis negatif denganmenghabiskan dana bantuan dan mungkin menggelapkannya.Pelajaran yang lainnya adalah “jika sekedar memberi uang kepadakaum miskin, maka justru akan menjadikan mereka semakin sukabergantung, dan pada gilirannya akan merampok”.

Berbeda dengan kaum miskin di perkotaan, kaum miskin dipedesaan tidak mengalami alineasi sosial-budaya. Namun penyebabkemiskinan masih dapat juga dikaitkan dengan mentalitas budayakarena secara teoritik kebudayaan muncul dan dikembangkan olehmanusia untuk memecahkan masalah. Kaum miskin denganketerbatasan material dan akses dalam ruang publik pasti mempunyaisuatu cara-cara tertentu baik yang bersifat simbolik maupun empirisyang dapat menyebabkan mereka tetap survive atau berakibat merekatetap miskin. Dalam kehidupan petani di Asia Tenggara, misalnya,budaya menghamba menjadi cara petani memperoleh kesempatanbekerja dari petani kaya dan santunan dari mereka di saat menderita.

Mentalitas budaya kaum miskin yang menyebabkanmereka terjerumus dalam kemiskinan patut dicermati ketikaakan menggalang program pemberdayaan ekonomi. Para praktisi

Page 168: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pemberdayaan Masyarakat Desa

296 297

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

bahkan sudah menemukan formula. Pertama, kemiskinan telahmenyebabkan kaum miskin tidak berdaya untuk berjuang sendirimengatasi kemiskinan, sehingga dalam meningkatkankesejahteraannya mereka patut didampingi dan dilindungi. For-mula ini dilakukan oleh pemerintah dan LSM dengan cara tidakhanya memberikan bantuan modal, tetapi bantuan pengetahuandan ketrampilan serta berbagai regulasi yang memberikan aksesyang mudah bagi mereka untuk memperoleh kredit, bahan bakudan pasar. Formula itu dipilih karena mereka telah lama terbiasadengan budaya bergantung dan cenderung bersikap konservatifdan sangat hati-hati dalam menyikapi plihan hidup yang baruguna menghadapi resiko. Dalam bahasa James Scott, mentalitasmereka itu sama seperti petani miskin di Asia tenggara yangmenekankan pada “dahulukan selamat” (safety first) sehinggamereka cenderung menolak setiap inovasi yang dapat membawarisiko besar. Bertahan dengan sauana miskin lebih disukaidaripada jatuh melarat.

Kedua, para praktisi menyadari pentingnya modal sosial bagipenguatan kaum miskin karena modal sosial yang baik dapatmenunjang kesejahteraan kaum miskin di kiemudian hari. Modalsosial adalah jaringan sosial sesama kaum miskin untuk bahu-membahu mengentaskan kemiskinan dengan memanfaatkansolidaritas sosial untuk mengatasi keterbatasan modal material.Grameen Bank menginisiai penguatan modal sosial kaum miskindi Banglades dengan membentuk kelompok kaum miskin untukbersama-sama memecahkan kemiskinan: kredit dari GrameenBank dapat dikelola dengan baik oleh setiap anggota karenadikenakan aturan bahwa anggota yang menunggak kredit akanmenyebabkan anggota yang lain sulit mendapatkan kredit sertabantuan yteknis lainnya. Formula kedua ini satu sisi untukmemnfaatkan secara positif kebiayaan orang miskin salingberbantung dengan sesamanya, dan sisi lain menghilangkanbudaya oportunis negatif pada diri individu kaum miskin yangkarena didesak oleh kemiskinan sehingga berani mengorbankan

kepercayaan dari pihak luar. Para peneliti world Bank kinimerekomendasikan penguatan modal sosial karena dapatmenjamin kredit yang mereka cucurkan dapat kembali danberbuah dengan baik.

Ketiga, para praktisi menyadari tentang kuatnya sistemsosial-kultur lokal sebagai kekuatan yang mengontrol perilakuorang miskin, sehingga program pemberdayaan harus mampumerombaknya. Di Bangladesh, sistem sosial-kultur lokal itutereproduksi di dalam faksi-faksi keagamaan. Orang-orang miskinmenemukan dunianya dengan cara menceburkan diri ke dalamfaksi-faksinya, dan mereka itu begitu fanatisnya dengan faskinya.McGregor menemukan orang miskin enggan mengambil kreditmurah dari pemerintah karena akan kehilangan patron dari faksinyayang menyediakan modal dan pemasaran kerajinannya. Orangmiskin mau berkorban tenaga dan uangnya demi kebesaranfaksinya. Sementara itu, ada faksi yang memanfaatkan kredit bukanuntuk kepentingan ekonomi tetapi jutsru untuk menggalangkebesaran faksinya walaupun anggotanya rata-rata miskin.Fenomena di atas memperlihatkan bahwa orang miskin telahmenggunakan cara-cara yang bersifat simbolik dan sosial untukmengatasi atau melupakan kemiskinan yang dideritanya..

Persoalan kemiskinan sebagai produk dari sistem sosio-kultural lokal nampaknya masih relevan untuk dicarikan solusinyamengingat kaum miskin berada dalam hegemoni sistem sosial-kultural lokal. Mereka sejak lahir telah menginternalisasikan sistemsosial dan kultural lokal sehingga alam pikirannya tidak pernahkritis dengannya. Dewasa ini, masih begitu banyak kaum miskindi pedesaan Jawa. Walaupun kemiskinan struktural pasti menjadipenyebab utama dari kemiskinan yang mereka derita, tetapikemiskinan budaya juga sangat relevan untuk menjelaskanmengapa mereka tidak bangkit melakukan perlawanan terhadapketidakadilan sosial. Selama orang desa masih memahami bahwakemiskinan adalah cobaan yang harus diterima dengan sabar,mengutamakan mengikat pinggang daripada kerja keras dan

Page 169: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pemberdayaan Masyarakat Desa

298 299

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

melakukan protes sosial, memandang kejayaan ekonomi adalahtakdir dan ujian, maka sulit kemiskinan struktural menjadi suatukesadaran kristis bagi kaum miskin. Belajar kebudayaan adalahmembuat kristis terhadap pikiran dan tingkahlaku budayanyasendiri yang mengantarkan pada pencerahan.

Budaya kemiskinan (ketidakberdayaan) dalam masyarakatdesa bisa kita temukan dalam bentuk cara pandang orang luarmaupun cara pandang mereka sendiri yang tidak berdaya terhadapberbagai sisi kehidupan. Pertama, cara pandang pragmatis. Banyakorang mengatakan secara pragmatis dan dangkal bahwa orang desatidak butuh politik, demokrasi dan otonomi, melainkan hanyabutuh pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan (SPP).Orang desa tidak butuh politik, tapi butuh sembako. Politik,demokrasi dan otonomi daerah hanya wacana yang didramatisiroleh kalangan kelas menengah kota. Sejauh mana logika dan carapandang pragmatis ini bisa dipertanggungjawabkan? SPP tentumenjadi kebutuhan dasar setiap orang. Tetapi seakan-akan SPPhanya merupakan persoalan sinterklas dan derma yang bekerja diruang hampa politik. SPP adalah persoalan politik, persoalankebijakan. Beras mengandung nilai politik. Indonesia sebenarnyamerupakan negeri yang kaya-raya untuk memenuhi SPP bagirakyatnya, tetapi persoalan ketimpangan yang tidakmemungkinkan pembagian SPP secara merata. Para ekonommisalnya, menghitung bahwa 20% rakyat Indonesia menguasai80% kekayaan sementara 80% rakyat Indonesia hanya bisamenikmati 20% kekayaan. Otonomi daerah sebenarnyadimaksudkan untuk menjawab ketimpangan tersebut. Tetapisayangnya, kekayaan di daerah dikuasai dan dikorup oleh segelintirelite lokal. Otonomi daerah tidak didukung demnokrasi yang baik,sehingga memindahkan korupsi ke daerah dan memperpanjangkesulitan pemenuhan kebutuhan SPP rakyat daerah. Pemerintahtidak mempunyai komitmen dan kebijakan politik yangdemokratis untuk menjawab kebutuhan SPP rakyat Indonesia.Karena itu persoalan politik, demokrasi dan otonomi daerah

bukanlah wacana yang didramatisir oleh kelas menengah kota,tetapi sebagai rangkaian komitmen, kebijakan politik dan gerakanbersama untuk mendukung pemenuhan SPP rakyat.

Demokrasi sebenarnya bukanlah sesuatu yang ngayawarabagi orang desa, tetapi menjadi sesuatu yang sudah melekat dalamkehidupan sehari-hari (everyday life) masyarakat desa. Selama erareformasi, kita menyaksikan begitu maraknya protes masyarakatterhadap kepala desa bermasalah. Mereka menuntut supaya kepaladesa lebih bertanggungjawab, memperhatikan nasib rakyat, tidakkorup, tidak makan uang rakyat dan lain-lain. Semua tuntutanitu adalah nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi. Dikampung dalam arena RT, kebiasaan demokrasi dipraktikkan(meski tidak sempurna) dengan kebiasaan pelaporan, rembugan,keterbukaan dan sebagainya. Ketika ada masalah muncul, wargamasyarakat menuntut agar para pengurus RT selalu berembugdengan warga, mengelola dana secara transparan, danmempertanggungjawabkan keuangan yang telah digunakan.

Kedua, budaya ketergantungan. Secara empirik budayaketergantungan menjadi cirikhas yang menonjol di desa. Setiappejabat pemerintah yang datang ke desa pasti akan dimintaibantuan. Kalau Bupati datang misalnya, para pamong desa danmasyarakat sangat sibuk menghias diri, menggelar “karpet merah”dan mengeluarkan sebanyak mungkin bondho desa untukpasugatan. Apa yang dilakukan ini tentu butuh dana yang tidaksedikit. Setelah berdialog masyarakat desa akan meminta daftarbantuan pada bupati. Kenapa harus meminta bantuan, kenapadana yang digunakan untuk upacara itu tidak digunakan untukmemenuhi kebutuhan sendiri?

Para pamong desa bisa tersinggung kalau desanya dikatakanmiskin, karena kemiskinan ini bisa menjadi indikator kegagalankinerja pamong. Tetapi kalau tahu akan ada bantuan, sepertiIDT dan KUT misalnya, para pamong akan cepat melaporkankondisi masyarakat yang serba kekurangan dan perlumemperoleh bantuan. “Daftar kemiskinan” akan disiapkan

Page 170: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pemberdayaan Masyarakat Desa

300 301

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

dengan baik, serta memasukkan keluarga (rumah tangga) yangsebenarnya tidak tergolong sebagai keluarga miskin. Perliku iniyang sering membuat program bantuan, mulai dari IDT, KUT,JPKM maupun BLT (yang sekarang tengah berjalan) sering“salah sasaran”. Dengan demikian, isu kemiskinan desa selaludimanipulasi menjadi komoditas politik, termasuk sebagaisenjata untuk meminta bantuan.

Di sisi lain, setiap kampus yang menggelar kuliah kerja nyatadi desa, pasti elite desa selalu mengajukan sekian banyak “daftarkebutuhan” agar memperoleh bantuan dari para mahasiswa KKN.Para pemong desa juga sering meminta pada perguruan tinggi,agar membawa KKN ke desanya. Kebiasaan inilah yang membuatKKN menjadi karitatif, tidak peka pada krisis sosial, danmenciptakan ketergantungan. Kalau LSM datang, masyarakat desapasti meminta bantuan dan bimbingan secara berkelanjutan untukmeningkatkan kesejahteraan mereka. LSM, seperti halnya kampus,karena “iba”, malah keliru dalam menempuh jalan, yaknimengambil alih peran masyarakat, sehingga memeliharaketergantungan masyarakat desa pada orang luar.

Tentang PemberdayaanIstilah pemberdayaan (empowerment) menjadi sangat populer

akhir-akhir ini menggantikan istilah pembangunan (development),seolah-olah pembangunan adalah sesuatu yang jahat danpemberdayaan merupakan obat mujarab untuk menyembuhkankejahatan pembangunan. Kondisi ini dilatarbelakangi kegagalankonsepsi pembangunan, yang pada awalnya berorientasi padapembangunan ekonomi, dalam menjawab problema kemiskinandi beberapa negara sedang berkembang. Ketika developmentdianggap gagal, maka orang menjadi alergi menggunakanterminologi ini dan digantikan dengan empowerment.

Ketika di era 80-an David Corten menyampaikangagasannya tentang pembangunan yang berpusat pada manusia(people centered development/PCD), orang sudah terlanjur benci

dengan segala sesuatu yang berbau development, sehingga ideCorten ini tidak bertahan dan digantikan oleh empowerment.Padahal, konsepsi Corten tentang PCD ini sangat berdekatandengan ide empowerment.

Bagi John Friedman (1992), empowerment bukan lawandari development melainkan salah satu varian dari pembangunanyang disebutnya sebagai alternative development. Tetapi, konsepFriedman tentang pembangunan alternatif juga didasari kegagalanpembangunan model pertumbuhan ekonomi dalam pengentasankemiskinan maupun keberlanjutan lngkungan.

Pemberdayaan mencakup dua aspek, to give or authority todan to give ability to or enable. Dalam pengertian pertama,pemberdayaan dimaknai sebagai upaya memberi kekuasaan,mengalihkan kekuatan dan mendelegasikan otoritas ke pihak lain.Sementara dalam pengertian yang kedua, pemberdayaan dimaknaisebagai upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan.

Empowerment juga dapat mudah dimaknai dari kata poweryang melekat di dalamnya. Power sebagai “kekuasaan” terkaitdengan pengertian pertama dan power dalam arti “kekuataan”terkait dengan pengertian kedua. Jikalau empowerment dimaknaisebagai upaya mendelegasikan otoritas/kekuasaan pada pihaklain berarti sebelum kegiatan pemberdayaan dilakukan adamonopoli kekuasaan pada seseorang atau sekelompok orangsehingga perlu dilakukan redistribusi kekuasaan agar masing-masig pihak berdaya atau memiliki posisi tawar (bargaining po-sition) yang setara. Seiring dengan proses ini, perlu dilakukanpula peningkatan kapasitas, baik capacity maupun institutionalbuilding, agar masyarakat makin berdaya.

Konsep pemberdayaan dapat ditelusuri kembali pada gerakanhak-hak sipil dan feminis (Riger, 1981; Swift dan Levin, 1987),pada ideologi aksi sosial 1960-an (Alinsky, 1971), pada pandanganmenolong-diri sendiri 1970-an (Gutierrez, 1990; Gibson, 1991;Eng et al., 1992; Wallerstein, 1992; Rissel, 1994), dan pada filsafatpendidikan (Freire, 1970; 1973; 1996). Pada tahun 1980-an konsep

Page 171: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pemberdayaan Masyarakat Desa

302 303

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

tersebut diangkat lebih jauh sebagai sebuah teori pokok psikologimasyarakat (misal Rappaport, 1981; Chavis dan Wandersman,1990). Pemberdayaan menjadi penting bagi psikologi masyarakatkarena ia mengakui pribadi sebagai seorang warga negara dalamsebuah lingkungan sosial juga politik. Pada tahun 1990-an idepemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian dari gerakan umumyang sedang tumbuh ke arah kontrol warga negara yang lebih besarpada banyak bidang kehidupan: kedokteran, pendidikan kesehatan,gerakan self-help, lingkungan fisik, panti asuhan, dan sebagainya(misal Israel et al., 1994; Rissel, 1994).

Tidak ada sebuah pengertian maupun model tunggalpemberdayaan. Pemberdayaan dipahami sangat berbeda menurutcara pandang orang maupun konteks kelembagaan, politik, dansosial-budayanya. Ada yang memahami pemberdayaan sebagaiproses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan,memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawahterhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektorkehidupan. Ada pihak lain yang menegaskan bahwapemberdayaan adalah proses memfasilitasi warga masyarakat secarabersama-sama pada sebuah kepentingan bersama atau urusan yangsecara kolektif dapat mengidentifikasi sasaran, mengumpulkansumber daya, mengerahkan suatu kampanye aksi dan oleh karenaitu membantu menyusun kembali kekuatan dalam komunitas.Ada juga yang memahami pemberdayaan secara makro sebagaiupaya mengurangi ketidakmerataan dengan memperluaskemampuan manusia (melalui, misalnya, pendidikan dasar umumdan pemeliharaan kesehatan, bersama dengan perencanaan yangcukup memadai bagi perlindungan masyarakat) dan memperbaikidistribusi modal-modal yang nyata (misal lahan dan aksesterhadap modal). Pendekatan semacam ini membawakemungkinan meningkatkan the poverty-reducing development ef-fectiveness of growth-inducing policies dan investasi.

Pemberdayaan masyarakat menurut Zimmerman danRappaport (1988) berarti self and political efficacy, kompetensi

yang dirasakan, locus kontrol, dan keinginan untuk mengkontrol.Karakteristik ini adalah unsur-unsur pemberdayaan masyarakat,yang dalam studi ini disempurnakan dengan karakteristikberikut: Pemberdayaan masyarakat berarti pencapaianpemerataan sumberdaya (Katz, 1984; Rappaport et al., 1984;Rissel, 1994), kemampuan mengidentifikasi persoalan dalammasyarakat dan solusinya (Braithwaite, 1989), partisipasi yangmeningkat dalam kegiatan masyarakat (Chavis dan Wandersman,1990; Florin dan Wandersman, 1992), tingkat pemberdayaanpsikologi yang meningkat di kalangan anggota masyarakat(Wallerstein, 1992), perbaikan mata pencaharian sebagai akibatkegiatan masyarakat (Chavis dan Wandersman, 1992), rasamasyarakat yang lebih kuat diantara anggota masyarakat (Chavisdan Wandersman, 1990), kemampuan untuk membuat analisiskritis tentang dunia (Wallerstein, 1992), identifikasi diri merekasendiri (dengan orang lain) sebagai anggota masyarakat(Wallerstein, 1992), perbaikan kualitas hidup masyarakat dankeadilan sosial (Wallerstein, 1992), tindakan politik (Rissel, 1994;Minkler, 1994) yang berarti tindakan politik dalam kesehatan,dan kemampuan mengorganisir diri mereka sendiri untukmengelola persoalan masyarakat, prakarsa dan partisipasi dalampembuatan keputusan juga dalam perencanaan atau komitelainnya, keberhasilan dalam redistribusi sumberdaya atau dalampembuatan keputusan (Rissel, 1994), juga kontrol atas kesehatan(Zimmerman, 1990b) dan nasib (Wallerstein, 1992). MenurutZimmerman (1990b) masyarakat mempunyai kontrol ataskesehatan ketika orang telah belajarbagaimana mengelola waktu,mengorganisir diri mereka sendiri dan mengidentifikasi penyediasumberdaya, (bagiamana) bekerja dengan orang lain untuktujuan umum, dan (bagaimana) memahami faktor-faktor yangmempengaruhi pembuatan keputusan.

Pemberdayaan juga menyatakan partisipasi yang lebih besardalam proses pembangunan. Terdapat kesepakatan pentingbahwa pendekatan semacam itu memberi ruang kaum miskin

Page 172: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pemberdayaan Masyarakat Desa

304 305

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

lebih bebas membuat keputusan ekonomis, meningkatkanefektivitas pembangunan di tingkat lokal dipandang dari segiperencanaan, pelaksanaan, dan hasil. Suatu pemogokan khususcontoh dari akibat positif memberdayakan masyarakat dalamcara ini datang dari Cina. Dua perbaikan utama Cina, gerakanWirausaha Desa & Perkotaan dan Sistem PertanggungjawabanRumah tangga, meningkatkan keikutsertaan dan kebebasanpenduduk miskin untuk membuat pilihan ekonomis di daerahpedesaan, melepaskan kekuatan wirausaha orang-orang Cina dandengan demikian membantu Cina mencapai pertumbuhankeberpihakan kepada orang miskin (pro-poor) yang cepat. Jumlahpenduduk miskin di Cina pedesaan turun dari 250 juta padatahun 1979, tahun pertama perbaikan, menjadi 34 juta padatahun 1990, dengan kurang lebih setengah dari penurunan ituterjadi antara tahun 1978 dan 1985.

Pemberdayaan merupakan nilai hakiki; dan juga memilikinilai instrumental. Pemberdayaan bersangkut paut (relevant) padatingkat perseorangan dan kolektif, dan boleh jadi (berhubungandengan) ekonomi, sosial atau politik. Karena itu, John Friedmann(1992) mengidentifikasi pemberdayaan dalam tiga cakupan:sosial, psikologis dan politik. Istilah pemberdayaan dapatdigunakan untuk mensifati hubungan dalam rumah tangga atauantara penduduk miskin dan pelaku lain pada tingkat global.Terdapat perbedaan-perbedaan gender yang penting dalampenyebab, bentuk, dan akibat dari pemberdayaan atauketidakberdayaan. Karenanya, jelas terdapat banyak definisipemberdayaan yang mungkin, termasuk definisi hak-hak dasar.

Dalam pengertian paling luas, pemberdayaan merupakanperluasan kebebasan akan pilihan dan tindakan. Ini berartipeningkatan kekuasaan seseorang, pengendalian sumber daya dankeputusan yang mempengaruhi kehidupan seseorang. Ketikamasyarakat mengadakan pilihan nyata, mereka menambahmeningkatnya pengendalian hidup mereka. Pilihan pendudukmiskin sangat dibatasi baik oleh dua-duanya kekurangan modal

dan ketidakberdayaan mereka merundingkan hubungan yanglebih baik bagi diri mereka dengan berbagai macam lembaga,formal dan informal dua-duanya. Atas dasar ini, Deepa Narayan(2002) dari Bank Dunia mendefinisikan pemberdayaanmerupakan perluasan modal dan kemampuan (assets and capa-bilities) penduduk miskin untuk ambil bagian, berunding dengan,mempengaruhi, mengawasi, dan menguasai lembaga-lembaga yangbertanggung jawab yang mempengaruhi hidup mereka. Usaha-usaha yang berhasil untuk memberdayakan penduduk miskin,meningkatkan kebebasan mereka atas pilihan dan tindakan dalamkeadaan yang berbeda, sering memakai empat unsur: asksesterhadap informasi, keterlibatan dan keikutsertaan,pertanggungjawaban dan kemampuan organisasi lokal.

Belajar dari peta di atas, kami memahami pemberdayaan(masyarakat desa) dengan beberapa cara pandang. Pertama,pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisiberdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerimamanfaat (beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihakluar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek(agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri.Berbuat secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggungjawabnegara. Pemberian layanan publik (kesehatan, pendidikan,perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada masyarakat tentumerupakan tugas (kewajiban) negara secara given. Masyarakat yangmandiri sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitasmengembangkan potensi-kreasi, mengontrol lingkungan dansumberdayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri, danikut menentukan proses politik di ranah negara. Masyarakat ikutberpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan.

Kedua, titik pijak pemberdayaan adalah kekuasaan (power),sebagai jawaban atas ketidakberdayaan (powerless) masyarakat. Ilmusosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan denganpengaruh dan kontrol. Pengertian ini berasumsi bahwa kekuasaansebagai suatu yang tidak berubah atau tidak dapat dirubah.

Page 173: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pemberdayaan Masyarakat Desa

306 307

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada pengertian diatas.Kekuasan tidak vakum dan terisolasi, kekuasaan senantiasa hadirdalam konteks relasi antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasisosial. Karena itu kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapatberubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti itu, pemberdayaansebagai sebuah proses perubahan memiliki konsep yang bermakna.Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaansangat tergantung pada dua hal: (1) Bahwa kekuasaan dapatberubah, jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidakmungkin terjadi denga cara apapun; dan (2) bahwa kekuasaan dapatdiperluas. Konsep ini menekankan pengertian kekuasaan yang tidakstatis, melainkan dinamis (Edi Suharto, 2005).

Dilihat dari perspektif kekuasaan, pemberdayaan bertujuanmeningkatkan kekuasaan kelompok-kelompok yang lemah atautidak beruntung (Jim Ife, 1995). Pemberdayaan adalah sebuahproses yang membuat orang menjadi cukup kuat untukberpartisipasi dalam berbagai pengontrolan atas danmempengaruhi terhadap kejadian-kejadina serta lembaga-lembagayang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekannkanbahwa orang memperoleh ketrampilan, pengetahuan dankekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dfankehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parros, 1994).Pemberdayaan menunjukkan pada usaha pengalokasian kembalikekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin,1987). Pemberdayaan adalah suatu cara mengarahkan rakyat,organisasi dan komunitas agar mampu menguasai (atau berkuasaatas) kehidupannya (Rappaport, 1984).

Menurut Jim Ife (1995: 61-64), pemberdayaan memuat duapengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaandiartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam artisempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan aktor atas:

Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatanhidup: kemampuan dalam membuat keputusan-keputusanmengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan.

Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukankebutuhan selaras dengan aspirasi dan kehendaknya.

Ide atau gagasan: kamampuan mengekspresikan danmenyumbangkan gagasan dalam suatu forum secara bebasdan tanpa tekanan.

Lembaga-lembaga: kemmapuan menjangkau, mengguna-kan dan mempengaruhi pranata-pranata masyarakat,seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan, dankesehatan.

Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumbersumber formal, informal dan kemasyarakatan.

Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan danmengelola mekanisme produksi, distribusi sertapertukaran barang dan jasa.

Reproduksi: kemampuan mengelola proses kelahiran,perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi.

Dengan berpijak pada perspektif kekuasan, pemberdayaanmenunjuk pada kemampuan orang, khusunya kelompok rentandan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuandalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga merekamemiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja “bebas untuk”(freedom for) mengemukakan pendapat atau bebas berorganisasi,melainkan juga “bebas dari” (freedom from) kelaparan, kemiskinan,kebodohan dan keterbelakangan; (b) menjangkau sumber-sumberproduktif yang memungkunkan mereka dapat meningkatkanpendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yangmereka perlukan; dan (c) partisipasi (voice, akses dan kontrol)dalam proses pemerintahan (governance), pembangunan, maupunkeputusan-keputusan (baik dari komunitas maupun negara) yangmempengaruhi mereka.

Ketiga, pemberdayaan terbentang dari proses sampai visiideal. Dari sisi proses, masyarakat sebagai subyek melakukantindakan atau gerakan secara kolektif mengembangkan potensi-kreasi, memperkuat posisi tawar, dan meraih kedaulatan. Dari

Page 174: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pemberdayaan Masyarakat Desa

308 309

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

sisi visi ideal, proses tersebut hendak mencapai suatu kondisidimana masyarakat mempunyai kemampuan dan kemandirianmelakukan voice, akses dan kontrol terhadap lingkungan,komunitas, sumberdaya dan relasi sosial-politik dengan negara.Proses untuk mencapai visi ideal tersebut harus tumbuh daribawah dan dari dalam masyarakat sendiri. Namun, masalahnya,dalam kondisi struktural yang timpang masyarakat sulit sekalimembangun kekuatan dari dalam dan dari bawah, sehinggamembutuhkan “intervensi” dari luar. Hadirnya pihak luar(pemerintah, NGOs, organisasi masyarakat sipil, organisasi agama,perguruan tinggi, dan lain-lain) ke komunitas bukanlah mendikte,menggurui, atau menentukan, melainkan bertindak sebagaifasilitator (katalisator) yang memudahkan, menggerakkan,mengorganisir, menghubungkan, memberi ruang, mendorong,membangkitkan dan seterusnya. Hubungan antara komunitasdengan pihak luar itu bersifat setara, saling percaya, salingmenghormati, terbuka, serta saling belajar untuk tumbuhberkembang secara bersama-sama.

Keempat, pemberdayaan terbentang dari level psikologis-personal (anggota masyarakat) sampai ke level strukturalmasyarakat secara kolektif. Zimmerman dan Rappaport membagipemberdayaan pada tingkat psikologi dan masyarakat.Pemberdayaan psikologi meliputi dimensi kepribadian (personal-ity dimension), pemahaman (cognitive dimension), dorongan (mo-tivational dimension), dan keadaan (contextual dimension). Dimensipersonalitas pemberdayaan didefinisikan sebagai kepercayaan diridan self-efficacy yang diperkuat, locus kontrol internal (menunjukpada harapan seseorang bahwa dia dapat menggunakan kontrolterhadap lingkungannya), kontrol kesempatan (terdiri dari gagasanbahwa sesuatu bukan merupakan akibat dari kesempatan tetapihasil dari tindakan individu sendiri, yang dia dapatmengkontrolnya), keyakinan orang lain sangat kuat (yang dalamstudi ini termasuk perasaan menjadi lebih kuat dalam sebuahkelompok atau sebuah masyarakat daripada sendirian), ideologi

kontrol (terdiri dari gagasan bahwa orang pada umumnya danterutama diri sendiri dapat mempengaruhi sistem sosial danpolitik). Definisi dimensi personalitas pemberdayaan psikologidisempurnakan dalam studi ini dengan karakteristik seperti rasaempati dan variabel emosi lain (misal rasa pemenuhan hidup,belajar untuk mengetahui diri sendiri melalui partisipasi dalamkehidupan kelompok dan masyarakat) (Wallerstein, 1992).

Dimensi kognitif pemberdayaan psikologi yang didefinisikanoleh Zimmerman dan Rappaport (1988) meliputi self-efficacy(terdiri dari keyakinan mampu mengorganisir dan melaksanakanjalannya tindakan yang diperlukan untuk menghadapi situasiprospektif dan yakin mampu mengatur motivasi seseorang, prosespemikiran, tahap-tahap emosi dan lingkungan sosial jugapencapaian perilaku, juga keyakinan pada kemampuan seseorangmengatasi kesulitan-kesulitan yang melekat dalam mencapaitingkat pencapaian perilaku khusus), harapan self-and politicalefficacy (terdiri dari keyakinan bahwa orang mempunyai keahliandan kemampuan untuk mencapai tujuan termasuk perbaikankeahlian dan pengetahuan yang dirasakan melalui partisipasidalam tindakan masyarakat), political efficacy (terdiri dari keyakinanbahwa adalah mungkin untuk mempengaruhi proses politik danpembuatan keputusan masyarakat) dan rasa political efficacy(meliputi perasaan bahwa tindakan politik individu sungguhmempunyai, atau dapat mempunyai, pengaruh kuat pada prosespolitik, yaitu, bahwa ia bermanfaat untuk melakukan kewajibansipil orang. Ia adalah perasaan bahwa perubahan politik dan sosialadalah mungkin, dan bahwa warga negara perorangan dapatmemainkan peran dalam mengadakan perubahan ini).

Dimensi motivasi meliputi keinginan untuk mengkontrollingkungan, kewajiban sipil atau rasa keharusan sipil yang terdiridari keyakinan bahwa orang harus ikut serta dalam proses politiksebagai sebuah pertanggungjawaban terhadap orang lain. Ia adalahperasaan bahwa diri sendiri dan orang lain harus ikut serta dalamproses politik, tanpa memperhatikan apakah aktivitas politik itu

Page 175: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pemberdayaan Masyarakat Desa

310 311

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

dilihat sebagai bermanfaat atau efektif. Ia meliputi perhatianterhadap kepentingan umum dan rasa terhubungkan dengan or-ang lain dan rasa kepentingan dan maksud sebab akibat.

Dimensi kontekstual meliputi keterlibatan orang dalamtindakan kolektif (Rappaport, 1985) untuk melakukan kontroldalam lingkungan sosial dan politik, persepsi tentang kemampuanorang untuk mempunyai pengaruh ekologi dan budaya(Zimmerman, 1990b), kesadaran budaya seseorang yangmeningkat (Zimmerman, 1990b; Wallerstein, 1992; Israel et al.,1994), dan kesadaran tentang persoalan masyarakat yangmeningkat (Freire, 1970; Hart dan Bond, 1995). Tabel 7.1menampilkan pemetaan pemberdayaan dari dua sisi: dimensi(yang terbagi menjadi psikologis dan struktural) dan level (per-sonal dan masyarakat). Pemberdayaan psikologis-personal berartimengembangkan pengetahuan, wawasan, harga diri, kemampuan,kompetensi, motivasi, kreasi, dan kontrol diri individu.Pemberdayaan struktural-personal berarti membangkitkankesadaran kritis individu terhadap struktur sosial-politik yangtimpang serta kapasitas individu untuk menganalisis lingkungankehidupan yang mempengaruhi dirinya. Pemberdayaanpsikologis-masyarakat berarti menumbuhkan rasa memiliki,gotong rotong, mutual trust, kemitraan, kebersamaan, solidaritassosial dan visi kolektif masyarakat. Sedangkan pemberdayaanstruktural-masyarakat berarti mengorganisir masyarakat untuktindakan kolektif serta penguatan partisipasi masyarakat dalampembangunan dan pemerintahan.

Kami menganggap pemberdayaan dari sisi struktural-masyarakat merupakan arena pemberdayaan yang paling krusial.Mengapa? Kami yakin betul bahwa pemberdayaan tidak bisa hanyadiletakkan pada kemampuan dan mental diri individu, tetapi harusdiletakkan pada konteks relasi kekuasaan yang lebih besar, dimanasetiap individu berada di dalamnya. Mengikuti pendapat MargotBreton (1994), realitas obyektif pemberdayaan merujuk padakondisi struktural yang mempengaruhi alokasi kekuasaan dan

pembagian akses sumberdaya di dalam masyarakat. Dia jugamengatakan bahwa realitas subyektif perubahan pada level individu(persepsi, kesadaran dan pencerahan), memang penting, tetapisangat berbeda dengan hasil-hasil obyektif pemberdayaan:perubahan kondisi sosial. “Setiap individu tidak bisamengembangkan kamampuan dirinya karena dalam masyarakatterjadi pembagian kerja yang semu, relasi yang subordinatif, danketimpangan sosial”, demikian tulis Heller (1994: 185). BahkanJames Herrick (1995) menegaskan bahwa pemberdayaan yangmenekankan pada pencerahan dan emansipasi individu tidak cukupmemadai memfasilitas pengembangan kondisi sosial alternatif.

Tabel 7.1 Dimensi dan level pemberdayaan

Sumber: Sutoro Eko, Reformasi Politik dan Pemberdayaan Masyarakat(Yogyakarta: APMD Press, 2004).

Pendekatan yang kami pakai untuk membuat pemetaanpemberdayaan di atas terutama diilhami oleh karya Freire,Zimmerman, Rappaport, Wallerstein, Rissel, Chavis, dan Minkleret al. Alat dan indikator pengukuran dikembangkan terutamadengan referensi pada Zimmerman dan Rappaport, yang jugapenting dalam pengertian pemberdayaan sebagai sebuah proses

Level/Dimensi Psikologis Struktural Personal Mengembangkan

pengetahuan, wawasan, harga diri, kemampuan, kompetensi, motivasi, kreasi, dan kontrol diri.

Mendongkrak atau merebut kekuasaan, membangkitkan kesadaran kritis individu terhadap struktur sosial-politik yang timpang serta kapasitas individu untuk menganalisis lingkungan kehidupan yang mempengaruhi dirinya.

Masyarakat Menumbuhkan rasa memiliki, gotong rotong, mutual trust, kemitraan, kebersamaan, solidaritas sosial dan visi kolektif masyarakat.

Mengorganisir masyarakat untuk tindakan kolektif serta penguatan partisipasi dalam pembangunan dan pemerintahan.

Page 176: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pemberdayaan Masyarakat Desa

312 313

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

yang terdiri dari aspek psikologi dan aspek masyarakat, dua-duanya. Penyesuaian pemberdayaan terhadap pendidikankesehatan dan peningkatan kesehatan bersandar terutama padakarya Wallerstein. Model pemberdayaan dan tahap-tahappengembanganya didasarkan pada Rissel, pengakuan rasamasyarakat sebagai sebuah katalis pemberdayaan pada Chavis,dan penerapan metodologi Freire dalam settings pemeliharankesehatan pada Minkler et al.

Definisi Zimmerman dan dan Rappaport tentangpemberdayaan dipilih sebagai dasar mendefinisikan pemberdayaandalam studi ini. Definisi Zimmerman dan Rappaport kemudiandilengkapi oleh karakteristik pemberdayaan yang dikemukakanoleh beberapa pengarang lain. Menurut Zimmerman danRappaport pemberdayaan adalah sebuah konsepsi yangmenghubungkan kekuatan dan kompetensi individu, natural help-ing systems, dan perilaku proaktif terhadap permasalahan kebijakansosial dan perubahan sosial. Pemberdayaan adalah sebuah proses,yang dengan proses itu, individu maupun komunitas memperolehpenguasaan dan kontrol atas hidup mereka sendiri dan partisipasidemokratis dalam kehidupan masyarakat mereka.

Berdasarkan skema itu, pemberdayaan mencakup tigadimensi yang meliputi kompetensi kerakyatan, kemampuansosiopolitik dan kompetensi partisipatif (Edi Suharto, 2005).Untuk mengetahui foks dan tujuan pemberdayaan secaraoperasional, maka perlu diketahui berbagai indikator keberdayaanyang dapat menunjukkan seseorang atau komunitas berdaya atautidak. Dengan cara ini kita dapay melihat ketika sebuah programpemberdayaan sosial diberikan, segenap upaya dapatdikonsentrasikan pada aspek-aspek apa saja dari sasaran perubahan(misalnya keluarga miskin) yang perlu dioptimalkan. Keberhasilanpemberdayan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan merakayang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan akseskesejahteraan dan kemampuan kultur dan politis. Ketiga aspektersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu:

‘kekuasaan di dalam’ (power within), ‘kekuasaan untuk’ (powerto), ‘kekuasaan atas’ (power over) dan ‘kekuasaan dengan (powerwith). Berikut ini sejumlah indikator pemberdayaan:

1. Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi keluar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar,fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tangga.Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampupergi sendirian.

2. Kemampuan membeli komoditas kecil: kemampuan individuuntuk membeli barang-baranmg kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak goring, bumbu); kebutuhan dirinya(minyak rambut, shampo, rokok, bedak). Individu dianggapmampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapatmembuat keputusan sendiri tanpa meminta ijinpasangannya, terlebih jika ia dapat membeli barang-barangdengan menggunakan uangnya sendiri.

3. Kemampuan membeli komoditas besar: kemampuanindividu untuk membeli barang-barang sekunder atautersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah,pakaian keluarga. Seperti halnya indikator diatas, pointtinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuatkeputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya, terlebihjika ia dapat membeli dengan uangnya sendiri.

4. Terlibat dalam membuat keputusan-keputusan rumahtangga: mampu membuat keputusan secara sendiri maupunbersama suami/istri mengenai keputusan keluarga, misalnyamengenai renovasi rumah, pembelian kambing untukternak, memperoleh kredit usaha.

5. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanyamengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang(suami, istri, anak, mertua) yang mengambil uang , tanah,perhiasan dari dia tanpa ijinnya, yang melarang mempunyaianak, atau melarang bekerja di luar rumah.

Page 177: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pemberdayaan Masyarakat Desa

314 315

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

6. Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salahseorang pegawai pemerintah desa/kelurahan, seoranganggota DPRD setempat, nama presiden, mengetahuipentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.

7. Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seseorangdianggap ‘berdaya’ jika ia pernah terlibat dalam kampanyeatau bersama orang lain melakukan protes, misalnyaterhadap suami yang memukul isteri; isteri yangmengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang tidak adil;penyalahgunaan bantuan sosial; atau penyalahgunaankekuasaan polisi dan pegawai pemerintah.

8. Jaminan ekonomi dan kotribusi terhadap keluarga: memilikirumah, tanah, aset produktif, tabungan. Seseorang dianggapmemiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebutsecara sendiri atau terpisah dari pasangannya (Edi Suharto,2005).

Pemberdayaan Sebagai KomoditasDemam pemberdayaan melanda di mana-mana. Pemerintah

yang semula selalu mengumandangkan jargon-jargon pembangunan,ikut-ikutan putar haluan ke istilah pemberdayaan, baik di levelkelembagaan maupun program.

Nomenklatur lembaga-lembaga pemerintah yang dahulunyaberbunyi pembangunan diganti dengan pemberdayaan. Secarakebetulan, keduanya berawalan huruf “P” sehingga mempermudahperubahannya tanpa mengganti singkatannya. Sebagai contoh,Balai Pembangunan Masyarakat Desa Departemen Dalam Negeri,sekarang telah diubah menjadi Balai Pemberdayaan MasyarakatDesa. Di Desa, lembaga Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK)diubah menjadi Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga.

Tetapi, apakah perubahan nama kelembagaan ini diiuktidengan perubahan secara substansial terhadap paradigma dan tatakelola atas kinerja lembaga-lembaga pemerintah?. Jawabannyabisa ditinjau dari dua sisi. Pertama, bagaimana pemerintah

memaknai konsep pemberdayaan; dan kedua, bagaimana lembaga-lembaga tersebut dikelola oleh pemerintah.

Ada berbagai macam pemaknaan konsep pemberdayaan olehpemerintah. Pemerintah Kota Yogyakarta, menggabungkankegiatan pemberdayaan dengan kesejahteraan sosial denganmewadahinya dalam Dinas Kesejahteraan Sosial danPemberdayaan Masyarakat. Dari dinas ini kita memperolehpembelajaran bahwa pemberdayaan masih dipahami sebatas upayapeningkatan kesejahteraan sosial masyarakat. Pemberdayaanditempuh dengan cara memberi kesejahteraan pada masyarakat,dan selama ini peningkatan kesejahteraan senantiasa dikaitkandengan kegiatan charity. Dalam konteks ini, masyarakat yang telahsejahtera secara ekonomis berarti telah berdaya. Padahal, kalaukita kembalikan pada makna hakiki dari pemberdayaan,persoalannya tidak sebatas pada perut saja, tetapi bagaimanamasyarakat memiliki acces-voice-dan control.

Kebijakan kelembagaan yang lebih kontroversial lagiditempuh oleh Pemda Kulonprogo Yogyakarta yangmenggabungkan Dinas Kependudukan dan PemberdayaanMasyarakat, Kantor Catatan Sipil, dan BKKBN menjadi satuwadah Dinas Kependudukan, Catatan Sipil, KeluargaBerencana dan Pemberdayaan Masyarakat. Entah bagaimanajalan pikiran segenap jajaran eksekutif dan legislatif dikabupaten ini dengan kebijakan ini. Kalau alasannya adalahdebirokratisasi, mengapa pilihan penggabungan beberapa unitpemerintahan ini demikian anehnya, menggabungkankegiatan-kegiatan keadminitrasian penduduk denganpemberdayaan masyarakat.

Di tingkat provinsi, DPRD Provinsi Sumatera Selatan dalamsidang paripurna pada tanggal 21 Nopember 2005 memutuskanterbentuknya Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Badan inidibentuk dengan maksud untuk lebih memudahkan koordinasidengan Kabupaten/Kota tentang pemberdayaan masyarakat desayang meliputi koordinasi di bidang kebijaksanaan pelaksanaan

Page 178: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pemberdayaan Masyarakat Desa

316 317

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

ketahanan masyarakat, sosial budaya masyarakat, usaha ekonomimasyarakat, pemanfaatan sumber daya alam, pemanfaatanteknologi tepat guna dan lain sebagainya yang menyangkutkebijaksanaan pemberdayaan masyarakat pedesaan. Sekali lagikita melihat tidak adanya kajian bahwa persoalan ketidakberdayaanmasyarakat desa adalah masalah struktural.

Euforia pemberdayaan juga melanda program-programpemerintah. Sebagaimana telah disinggung di atas, KabupatenKutai Kertanegara (Kuker) Kalimantan Timur memiliki programGerbang Dayaku yang merupakan singkatan dari “GerakanPembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Kutai Kertanegara”.Isu Pemberdayaan yang diusung dalam program ini ternyata hanyasebatas jargon yang populer di level nasional namun kenyataanlapangan belum memberdayakan masyarakat Kuker.

Di level pedesaan, isu kelembagaan terkait denganpemberdayaan dapat ditinjau dari perubahan nama lembagakorporatis di desa. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD)diganti dengan Lembaga Pemberdayaan Masyrakat Desa (LPMD)dan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) diganti denganPemberdayaan Kesejahteran Keluarga (PKK). Tetapi sekali lagi,apakah perubahan nama dengan mengakomodasi konseppemberdayaan ini juga dapat memberdayakan masyarakat desa ?.

Di desa, lembaga kemasyarakatan yang diakui olehpemerintah desa adalah lembaga-lembaga korporatis negara ini.Dalam Perda Kabupaten Sleman Nomor 3 tahun 2004 disebutkanbahwa jenis lembaga kemasyarakatan desa adalah: LPMD, PKK,dan Karang Taruna. Di Kabupaten Jombang, berdasarkan PerdaNomor 16 tahun 2002 lembaga-lembaga yang digolongkan padalembaga kemasyarakatan desa adalah PKK, Rukun Tetangga (RT),Rukun Warga (RW), dan Gerakan Pembinaan Generasi Muda(GPGM). Dari kedua contoh Perda Kabupaten ini dapat diketahuibahwa pemerintah masih sebatas mengakui keberadaan lembaga-lembaga korporatis yang sebenarnya telah terbukti gagal dalammemberdayakan masyarakat desa.

Pengalaman masa lalu membuktikan bahwa lembagakorporatis negara hanya menjadi ajang kumpul-kumpul wargadesa, tanpa banyak memberi andil pada kedewasaan politik warga.Kaum muda desa yang idealnya menjadi agen perubahan di desakarena pemikiran-pemikiran mereka yang progresif, justrumengalami depolitisasi dalam wadah Karang Taruna. Merekaterjebak dalam kegiatan-kegiatan yang bernuansa fun seperti olahraga, rekreasi, dan lain sejenisnya. Kalau toh ada variasi kegiatanlain, tidak pernah menyentuh ranah politik.

Hal yang sama dialami oleh kaum perempuan desa dalamwadah PKK. Di tengah gencarnya wacana dan aksi pemberdayaanperempuan, ibu-ibu justru dijejali dengan semangat domestifikasiperempuan. Bagimana tidak, kegiatan PKK senantiasa berkutatdi seputar rumah tangga dan dapur, seperti penyuluhan caraperawatan rumah, kursus memasak dan lain sejenisnya yang padaintinya mendidik kaum perempuan desa untuk menjadi iburumah tangga yang baik.

Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yangdibentuk sebagai media partisipasi dan aspirasi masyarakat desa,khususnya dalam pembangunan desa, ternyata juga lebih kuatorientasinya pada pemerintah daripada ke warga desa. Kepala desaex oficio ketua LKMD menjadi masalah yang paling krusial. Belumlagi hak prerogatif Kades dalam menentukan anggota LKMDberakibat kepengurusan LKMD diisi oleh orang-orang yang secarapolitis sejalan dengan Kades sehingga tidak muncul dinamikadan perdebatan dalam merumuskan pembangunan desa. Para elitLKMD-lah yang mendominasi keputusan-keputusan yang terkaitdengan pembangunan desa, warga desa hanya

Dalam realitasnya, lembaga-lembaga kemasyarakatan di desadapat berbentuk : (a)forum Desa, (b)organisasi-organisasi profesidan kegemaran di desa, (c) lembaga-lembaga adat dan lembaga-lembaga sosial budaya serta keagamaan, (d) perkumpulan-perkumpulan, (e) cabang atau unit organisasi lain di luar desa,(f)sebutan -sebutan lain yang diakui oleh masyarakat desa.

Page 179: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pemberdayaan Masyarakat Desa

318 319

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Lembaga yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat inimemiliki energi yang ampuh sebagai wahana pemberdayaanmasyarakat. Namun sayang, pemerintah hanya memandangsebelah mata, lembaga korporatis negara selalu diutamakan.Alokasi dana kelembagaan dalam Anggaran Pendapatan danBelanja Desa (APBDes) ditujukan ke sana. Padahal, dari tigacontoh di atas menunjukkan bahwa lembaga korporatis negarasebenarnya tidak berorientasi pada pemberdayaan masyarakat desa.

Partisipasi Masyarakat

Pemberdayaan dalam konteks pemerintahan danpembangunan desa yang paling konkret adalah partisipasimasyarakat. Partisipasi adalah persoalan relasi kekuasaan, atau relasiekonomi-politik, yang dianjurkan oleh demokrasi. Partisipasi wargamasyarakat berada dalam konteks governance, yakni relasi antaranegara (pemerintah) dan masyarakat (rakyat). Negara adalah pusatkekuasaan, kewenangan dan kebijakan yang mengatur (mengelola)alokasi barang-barang (sumberdaya) publik pada masyarakat. Didalam masyarakat terdapat hak sipil dan politik, kekuatan massa,kebutuhan hidup, dan lain-lain. Dengan demikian, partisipasiadalah jembatan penghubung antara negara dan masyarakat agarpengelolaan barang-barang publik membuahkan kesejahteraan danhuman well being (Sutoro Eko, 2004).

Partisipasi dalam governance berhubungan kuat dengangagasan mengenai pembuatan-keputusan interaktif, di manawarga, pengguna, kelompok kepentingan dan organisasi publikdan swasta yang mempunyai risiko dalam sebuah keputusandilibatkan dalam persiapannya. Ia dimaksudkan menciptakandukungan bagi usulan kebijakan, memperbaiki kualitaskeputusan dengan mengerahkan keahlian dan pengetahuaneksternal, dan meningkatkan legitimasi keputusan demokratis(Klijn dan Koppenjan 2000). Dari sudut pandang negara,demokrasi mengajarkan bahwa partisipasi sangat dibutuhkanuntuk membangun pemerintahan yang akuntabel, transparan,

dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Tiadanyapartisipasi hanya menabur pemerintahan yang otoriter dankorup. Dari sisi masyarakat, partisipasi adalah kuncipemberdayaan. Partisipasi memberikan ruang dan kapasitasmasyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak mereka,mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peranmasyarakat serta membangun kemandirian masyarakat.

Partisipasi yang dimaksudkan dalam hal ini bukan hanyaketerlibatan warga masyarakat dalam pemilihan kepala desa danpemilu setiap lima tahun sekali. Partisipasi pada konteks ini adalahketerlibatan warga masyarakat secara aktif terkait denganpembangunan dan pemerintahan desa. Secara teoretis, partisipasiadalah keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan keikutsertaan(involvement). Keduanya mengandung kesamaan tetapi berbedatitik tekannya. Inclusion menyangkut siapa saja yang terlibat,sedangkan involvement berbicara tentang bagaimana masyarakatterlibat (Deepa Narayan, 2002). Keterlibatan berarti memberiruang bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses politik, terutamakelompok-kelompok masyarakat miskin, minoritas, rakyat kecil,perempuan, dan kelompok-kelompok marginal lainnya.

Secara substantif partisipasi mencakup tiga hal. Pertama, suara(voice) setiap warga mempunyai hak dan ruang untukmenyampaikan suaranya dalam proses pemerintahan. Pemerintah,sebaliknya, mengakomodasi setiap suara yang berkembang dalammasyarakat yang kemudian dijadikan sebagai basis pembuatankeputusan. Kedua, akses, yakni setiap warga mempunyaikesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi pembuatankebijakan, termasuk akses dalam layanan publik dan akses padaarus informasi. Ketiga, kontrol, yakni setiap warga atau elemen-elemen masyarakat mempunyai kesempatan dan hak untukmelakukan pengawasan (kontrol) terhadap jalannya pemerintahanmaupun pengelolaan kebijakan dan keuangan pemerintah.

Di desa, sebenarnya banyak arena politik yang menjadi tempatpartisipasi. Musbangdes, misalnya, menjadi arena strategis bagi

Page 180: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pemberdayaan Masyarakat Desa

320 321

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

partisipasi karena proses perencanaan pembangunan itu merupakanarena interaksi antara pemerintah desa, BPD, lembaga-lembaga desadan masyarakat dalam mengambil keputusan politik. Namun,seperti diuraikan dalam bab sebelumnya, Musbangdes selaludidominasi oleh elite dan kurang partisipatif. Karena itu kamimengusulkan beberapa agenda penting untuk memperkuatpartisipasi masyarakat dalam Musbangdes beserta pelaksanaandan evaluasinya.

Pertama, mendorong kesadaran dan kapasitas kritis berbagaiorganisasi lokal terhadap isu-isu pemerintahan dan pembangunan,termasuk Musbangdes. Kesadaaran dan kapasitas kritis tentu bisaditempa melalui pembalajaran lokal, sebelum warga masuk kedalam forum warga, misalnya melalui diskusi di setiap ruangpublik yang ada (warung, pos kamling, sungai, sawah, hutan,dan sebagainya). Di Sumatara Barat, misalnya, warung (lapau)selalu digunakan sebagai tempat bagi warga untuk mendiskusikanmasalah-masalah publik, atau untuk melihat pemerintah di sianghari dan membicarakan pemerintah di malam hari.

Kedua, memahami dan meneliti konteks politik dankultural yang di dalamnya partisipasi terjadi. Partisipasi tidakdapat terjadi dalam sebuah ruangan hampa, tetapipembangunan dan kemajuannya akan dipengaruhi oleh berbagaimacam faktor yang melekat pada konteks. Oleh karena itu,waktu seharusnya dibuat tersedia, pada permulaan perencanaan,membutuhkan upaya identifikasi dan anilisis faktor-faktor yangdapat mempengaruhi proses. Dalam hal ini, terutama untukpara katalis partisipasi, sebuah analisis stakeholder adalah sebuahlangkah pertama yang sangat berguna.

Ketiga, akses dan arus informasi yang terbuka merupakanrujukan pengetahuan bagi warga untuk berpartipasi. Yang pal-ing dasar informasi memberi pasokan pengetahuan untukberpartisipasi. Informasi adalah kekuatan. Warga yangberpengetahuan adalah lebih berpendidikan untuk mengambilkeuntungan kesempatan, mengakses pelayanan, menggunakan

hak-haknya, berunding dengan efektif, membuat pelakupemerintah dan non-negara bertanggung jawab (accountable).Tanpa informasi yang bersangkut paut (relevant), tepat padawaktunya, dan tersajikan dalam bentuk yang dapat dipahami,tidak mungkin bagi warga desa mengambil tindakan efektif. Yanglebih advanced partisipasi akan jauh lebih kuat dan bermakna,bahkan menghindari stigma “asal bunyi”, jika ditopang olehinformasi yang memadai. Bagaimanapun partisipasi bukan hanyapersoalan “siapa” yang dilibatkan, atau “bagaimana” proses danmekanisme partisipasi, tetapi juga harus mencakup “apa” yangakan dibawa dalam berpartisipasi. Keterbukaan informasi itumemang tidak mudah, karena pemegang kebijakan biasanyaenggan berbagi informasi secara transparan. Karena itudibutuhkan katalis-katalis lokal, termasuk BPD dan tokohmasyarakat, yang proaktif menjembatani arus informasi antarawarga dan pemerintah desa.

Keempat, proses yang bersifat deliberatif dan inklusif sangatdipengaruhi oleh penguasaan dan keterampilan menggunakan berbagaimetode dan teknik partisipasi. Metode partisipasi yang efektif, yangsesuai dengan kebutuhan situasi, sangat diperlukan agar partisipasiyang berjalan menjadi suatu proses yang kreatif, produktif dan sekaligusmemberdayakan. Proses yang deliberatif dan inklusif juga menuntutperubahan peran perencana dan policy analist, atau para kataliskomunitas menjadi lebih sebagai perantara, negosiator dan mediator.Mereka harus memahami masalah dan melihat peluang untuk masadepan melalui pandangan multipihak. Tantangan yang terbesar dalamproses partisipasi adalah bagaimana suara mereka yang tertinggal dapatdidengar dan mempengaruhi keputusan yang diambil.

Kelima, dalam tahap persiapan perencanaan program, harussecara jelas dipahami bahwa proses partisipatif tidak perlumengikuti petunjuk struktural dan linear. Partisipasi tidak harusdilihat hanya sebagai sebuah input ke dalam sebuah programatau kebijakan, tetapi sebagai sebuah prinsip operasionalmendalam yang seharusnya menyokong semua kegiatan. Partisipasi

Page 181: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pemberdayaan Masyarakat Desa

322 323

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

harus hakiki terhadap pembangunan dan tidak hanya sebuahkegiatan yang digunakan dari waktu ke waktu untukmembangkitkan kepentingan beneficiaries.

Pemberdayaan Dari Sisi BudayaAspek budaya juga penting untuk diberdayakan. budaya

merupakan sumber nilai, etos, moral dan pengetahuan yangtertanam dalam sistem simbol, bahasa, ideologi, tradisi dan adat-istiadat dan menjadi acuan masyarakatnya di dalam bersikap danbertingkahlaku sosial-politik dan ekonomi. Oleh karena itu, perlumengkaji dan merevitalisasi nilai-nilai budaya desa agar sejalandan bahkan mempercepat agenda pemberdayaan masyarakat desadi bidang sosial-politik dan ekonomi. Sebagai identitas kolektif,budaya merupakan sumberdaya masyarakat yang bisa dipakaisebagai kekuatan bersama untuk mengembangkan modal sosialyang handal guna mencapai kemandirian masyarakat di berbagaibidang kehidupan. Di sisi lain, budaya desa sedang mengalamiproses kemunduran sehingga mengancam eksistensi orang desadi berbagai bidang kehidupan. Kini budaya desa didorong untukmemasuki proses perubahan dari budaya lokal ke global, budayaagraris ke industri dan budaya tradisional ke modern, tetapi gejalayang muncul bukan subuah proses kemajuan melainkankemunduruan yang disebut sebagai erosi, involusi danmarginalisasi budaya. Akibatnya, orang desa pun mengalamiketerpurukan. Di bidang ekonomi, orang desa dekat dengankemiskinan, mempunyai prinsip ekonomi moral tetapi tidak bisamembawa kemajuan ekonomi. Di bidang sosial, solidaritas orangdesa yang tinggi kemudian merapuh, dan diikuti denganmeningkatnya kekerasan horizontal yang mengancam nilai-nilaikesetiakawanan. Di bidang politik, orang desa hampir selalumenjadi komoditas politik, tetapi tidak bisa memiliki akses dankontrol yang kuat dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Ada beberapa agenda strategis yang terkait denganpemberdayaan budaya masyarakat desa. Pertama, pengembangan

wacana kritis. Agenda ini mengajak orang desa untuk mencermatiberbagai sisi positif dan negatif, kekurangan dan kelebihan atasberbagai praktik budaya yang menentukan posisi mereka dalamkehidupan sosial-politik dan ekonomi. Dengan wacana kritis ini or-ang desa memiliki kesadaran kritis tentang budaya lokal yangsepatutnya direvitalisasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhanmereka di dalam menyonsong perubahan politik, sosial dan ekonomi.Sebaliknya, mereka juga bisa memiliki kesadaran kritis tentang budayalokal yang harus ditinggalkan, dan menyeleksi budaya baru dari luaryang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Pengembangan wacana kritis itu dapat dilakukan denganmencermati kemrosotan hidup orang desa di bidang sosial, politikdan ekonomi, dan mempertanyakan sumber masalahnya yangberkaitan dengan praktik-praktik budaya yang dijalankan danketidakberdayaan untuk meninggalkan praktik-praktik budayatersebut. Dengan demikian, maka orang desa diajak untukmencermati pentingnya reformasi budaya sebagai jalan keluaruntuk keluar dari kemerosotan hidup.

Kedua, pengembangan institusi dan media pembelajaranbudaya desa yang handal. Selama ini kegagalan orang desamerevitalisasi budaya lokal berkaitan dengan lemahnya institusiyang mereka miliki. Dalam tradisinya mereka biasanya belajarbudaya secara informal dengan menggunakan tradisi lesan melaluimedia kesenian rakyat dan interaksi sosial keseharian di dalamkeluarga dan komunitas. Mereka belajar melalui praktik hidup dandalam jangka panjang proses internalisasi terbentuk. Namundemikian, dengan derasnya arus budaya dari luar lambat atau cepatmereka juga mengenal dan bisa menerimanya. Arus budaya dariluar itu ditanamkan dan dilembagakan melalui institusi dan me-dia massa yang bersifat formal seperti sekolah, media cetak danelektronik. Pembelajaran budaya seperti itu nampaknya bisa bekerjasecara efektif. Oleh karena itu, sudah saatnya para pembaharu desamelembagakan pengembangan budaya desa secara formal. Langkahstrategis yang bisa dilakukan antara lain sebagai berikut. Pertama:

Page 182: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Pemberdayaan Masyarakat Desa

324 325

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

mendokumentasikan dan menyebarluaskan secara tertulis dan vi-sual mengenai berbagai bentuk budaya lokal yang memiliki kearifanyang tinggi. Kedua: mengembangkan mata pelajaran dfi sekolahtentang kearifan budaya lokal. Ketiga: pengembangan forum diaras komunitas yang bergerak untuk merevitalisasi budaya lokalyang kearifannya tinggi.

Ketiga, revitalisasi budaya. Revitalisasi budaya tidak berartimenghidupkan kembali secara utuh budaya lama orang desatersebut, melainkan mererproduksinya sesuai dengan kontekskekinian. Dengan demikian, revitalisasi nilai egalitarian danekonomi moral, misalnya tidak berhenti pada praktik gotong-royong, melainkan harus dikembangkan ke arah usaha yang lebihmenjawab kemiskinan dan lemahnya suara orang desa terhadapkebijakan negara dan perluasan pasar. Revitalisasi kearifan ekologismisalnya tidak mengembalikan praktik perladangan yang sudahtidak adaptif lagi pada masa kini karena rusaknya ekosistem,melainkan pada pengembangan prinsipnya yang dapat dituangkandalam konsep hutan kerakyatan.

Revitalisasi budaya sebagai suatu reproduksi budaya lamaagar lebih handal untuk menjawab kehidupan kekinian dapatmengarah pada berbagai bentuk. Pertama, peningkatan fungsipositif suatu praktik budaya desa. Sebagai contoh upacara bersihdesa diikuti dengan festival kesenian rakyat, pasar desa, rembugdesa dan sebaginya. Dengan multi fungsi ini maka akan terjadiakumulasi kekuatan tradisi budaya tersebut. Kedua, peningkatanfungsi budaya desa menuju kemandirian masyarakat. Budayadapat dipahami sebagai praktik produksi dan konsumsi, sehinggamengembalikan budaya desa sama artinya meningkatkankemandirian masyarakat dalam berproduksi dan berkonsumsi.Berbagai bentuk makanan desa jika dihidupkan sama artinyamengembalikan pengetahuan lokal yang fungsional untukmembendung kebiasaan konsumsi produk makanan dari luarsehingga terwujudlah peluang menuju kemandirian ekonomi.

Ketiga, peningkatan dan tranformasi fungsi budaya desasebagai kekuatan kolektif dan modal sosial. Mendorong spiritegalitarian menjadi gotong-royong, dan praktik gotongroyongyang bergerak pada pembangunan fisik ke pembangunan ekonomimerupakan upaya mewujudukan budaya desa sebagai modal sosialyang produktif. Langkah itu misalnya dilakukan denganmelembagakan kegiatan arisan, usaha ekonomi koperasi.

Keempat, meningkatkan identitas dan kebanggaan atasbudaya desa. Marginalisasi budaya desa terjadi ketika orang desaterasing dengan budayannya. Oleh karena itu revitalisasi budayadimulai juga dengan mendorong semua pihak bisa menikmatidan mengapresiasi budaya mereka. Langkah seperti ini misalnyadilakukan dengan mengadakan lomba apresiasi dan inovasi budayadesa, dan festival rakyat. Keduanya akan menumbuhkankepercayaan dan kebanggan orang desa danterhadap budayannya.Bahkan festival rakyat itu bisa membangun kebersamaan danmembuka akses bagi segala lapisan untuk menikmati,menginternalisasikan dan dan mempromosikan produk budayamereka ke publik yang luas. Contoh pesta dan festival rakyat inimisalnya tradisi karapan sapi di Madura dan festifal Reog diPonorogo Jawa Timur yang memberikan nilai tambah bagikepercayaan diri masyarakat lokal memanfaaatkan budayanyauntuk membangun identitas dan corak ekonomi kerakyatannya.

Page 183: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Daftar Pustaka

Antlov, Hans. 2002. Negara Dalam Desa, Yogyakarta: LAPERAPustaka Utama.

Antlov, Hans dan Sven Cederroth (eds.), 2002. KepemimpinanJawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.

Arai, Susan. 1997, “Empowerment: From the Theoritical to thePersonal”, Journal of Leisurability, Vol. ,24, No. 1,Winter.

Arifin, Bustanul. 2005a, “Kendala dan Solusi AlternatifRevitalisasi Pertanian”, Kompas, 16 Juli.

Arifin, Bustanul. 2005b, Ekonomi Kelembagaan Pangan, Jakarta:LP3ES.

Ashley, C. and D Carney. 1999, Sustainable Livelihoods: Lessonsfrom Early Experience, London: DFID.

Bachrach, P. and Botwinick, A., 1992. Power and Empowerment.Philadelphia: Temple University Press.

Bachriadi, Dianto. (dkk) 1997, Perubahan Politik, Sengketa danAgenda Pembaharuan Agraria di Indonesia “ReformasiAgraria”, Jakarta: Konsursium Pembaharuan Agrariadan Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UniversitasIndonesia.

Bachriadi, Dianto dkk (ed). 1997, Reformasi Agraria: PerubahanPolitik, Sengketa dan Agenda Pembaruan Agraria diIndonesia, Bandung: KPA dan FE UI.

Bachriadi, Dianto. 1998, Merana di Tengah Kelimpahan:Pelanggaran HAM Pada Industri Pertambangan di In-donesia, Jakarta: ELSAM.

Baswir, Revrisond. 2004. Drama Ekonomi Indonesia. Belajar dariKegagalan Orde Baru, Yogyakarta: Kreasi wacana.

Bebbington, A., 1999. Capitals and Capabilities: A Framework

Page 184: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Daftar Pustaka

328 329

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

for Analysing Peasant Viability, Rural Livelihoods andPoverty. World Development, 27.

Carney, D. (ed.) (1998), Sustainable Rural livelihoods: What Con-tribution Can We Make? London: DFID.

Chamber, Robert. 1987, Pembangunan Desa Dari Belakang,Jakarta: LP3ES.

Chamber, Robert. 1995, “Poverty and Livelihood”, IDS Discus-sion Papers, 347.

Chamber, Robert dan Gordon Conway 1992, Sustainable RuralLivelihood: Practical Concepts for the 21th Centrury,IDS Discussion Papers, 296.

Craig, G. and Mayo, M. (eds), (1995), Community Empower-ment, London: Zed Books.

Dewayanti, Ratih dan Erna Ermawanti Chotim. 2004.Marjinalisasi Dan Eksploitasi Perempuan Usaha Mikrodi Pedesaan Jawa. Bandung: Akatiga.

DFID 1999, Sustainable Livelihoods Guidance Sheets, London:DFID

Dwipayana, AAGN dan Sutoro Eko (eds.) 2003, MembangunGood Governance di Desa, Yogyakarta: IRE Press.

Eko, Sutoro. 2004 Reformasi Politik Dan PemberdayaanMasyarakat, Yogyakarta: APMD Press.

Eko, Sutoro. 2005, Menggantang Asap?: Kritik dan Refleksi GerakanKembali ke Nagari, Yogyakarta: IRE Press.

Eko, Sutoro. (ed.) 2005. Manifesto Pembaharuan Desa, Yogyakarta:APMD Press.

FAO, 1984. Studies on Agrarian Reform and Rural Poverty, Rome:FAO.

Fauzi, Noer. 1999. Petani & Penguasa, Dinamika Perjalanan PolitikAgraria Indonesia. Yogyakarta: Insist dan KPA

Friedmann, J. 1992, Empowerment: The Politics of Alternative De-velopment, Cambridge MA & Oxford UK: Blackwell.

Freire, P. 1970, Pedagogy of the Oppresed, New York: The Con-tinuum Publishing.

Freire, P. 1973, Education for Critical Consciousness, New York:Seabury Press.

Florus, paulus dan Edi Peterbang. 1999. Panen Bencana KelapaSawit. Pontianak: Institute Dayakologi.

Fukuyama, Francis. (1995), Trust: The Social Virtues and the Cre-ation of Prosperity, New York: The Free Press.

Fukuyama, Francis. 2005. The Great Disruption: Human Natureand the Reconstitution of Sosial Order, terjemahanGoncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru,Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gaventa, John. 2005. “Enam Proposisi menuju Tata PemerintahanDaerah Partisipatoris”, dalam Bahagijo dan Tagatora,Orde Partisipasi, Jakarta: Perkumpulan Prakarsa.

Geertz, Clifford. 1976. “Kata Pengantar” dalam Clifford Geertz.Involusi Pertanian. Proses Perubahan Ekologi di Indone-sia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

George, Vic and Paul Wilding. 1992, Ideologi dan KesejahteraanSosial, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Gibson, CH. 1991, “A Concept Analysis of Empowerment”, Jour-nal of Advanced Nurse, 16.

Grindle, Merilee S. and. Thomas, John W., 1991, Public choicesand Policy Change: The Political Economy of Reform inDeveloping Countries, Baltimore and London: TheJohns Hopkins University Press, Page 96.

Hart, Gillian, A Turton, and B. White (1989). “Ļntroduction” inG. Hart, A. Turton and B. White, eds. Agrarian Trans-formations, Local Process and the State in Southeast Asia.Berkely: University of California Press.

Haryono, Timbul. 1999.”Sang Hyang Wates dan Sang HyangKulumpang: Penetapan Sima pada Masa KerajaanMataram Kuno”. Humaniora..

Hayami, Y dan Masao Kikuchi. 1983. Asian Village at the Cross-roads. Tokyo: University of Tokyo Press.

Hudayana, Bambang.1996. The Impact of Green Revolution on

Page 185: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Daftar Pustaka

330 331

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Livestock Raising. A Thesis. Canberra: Faculty of Arts,Australian National University.

Husken, Frans. 1998, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman,Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa, 1830-1980, Jakarta:Grasindo

International Forum on Globalization. 2003. GlobalisasiKemiskinan dan Ketimpangam. Yogyakarta: Cindelaras.

Ife, Jim. 1995, Community Development: Creating CommunityAlternatives, Vision, Analysis and Practise, Australia:Longman.

IRE, 2003, Pembaharuan Pemerintahan Desa, Yogyakarta: IREPress.

IRE, 2005, Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, Yogyakarta:IRE Press.

Irianto, Gatot. 2004, “Destruksi Sistemis Sektor Pertanian”,Kompas, 11 Juni

Jhatami, Hira dan Lutfiyah Hanin. 1999.”Petani dan Pertaniandi Era WTO. Wacana. No. IV: 60-75.

Kartohadikoesoemo, Soetardjo. 1984, Desa, Jakarta: Balai Pustaka.Konsorsium Pembaruan Agraria, (2001), Konsep Pembaruan

Agraria: Sebuah Strategi Pembangunan YangBerorientasikan Pada Kesejahteraan Rakyat, Bandung:KPA.

Korten, David C. 1988, “Kerangka Kerja Perencanaan UntukPembangunan Yang Berpusat-Pada-Rakyat”, dalamDavid C. Korten dan Sjahrir, (eds.), PembangunanBerdimensi Kerakyatan, Jakarta: Yayasan Obor Indo-nesia.

Korten, David C. dan Sjahrir, (eds.) (1988), PembangunanBerdimensi Kerakyatan, Jakarta: Yayasan Obor Indo-nesia.

Korten, David. C. (1990), Getting to the 21st Century, Connecti-cut: Kumarian Press, Inc.

Koesoema, Bambang Warih. 2005. Indonesia: Jejak “Neo Liberal”

dan Krisis Ekonomi (makalah).Lehmann, D. (ed.), 1974, Agrarian Reform and Agrarian Reform-

ism, London: Faber& Faber.Lipton, M. 1974, “Toward a Theory of Land Reform”, dalam

David Lehmann (ed.), Agrarian Reform and AgrarianReformism, London: Faber& Faber.

Lipton, M. 1977, Why Poor People Stay Poor: A Study of UrbanBias in World Development, Cambridge: Harvard Uni-versity Press.

Lucas, Anton dan Carol Warren 2000, Pembaruan Agraria DalamEra Reformasi”, dalam Chris Manning dan Peter vanDiermen (eds.), Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-aspek Sosial Reformasi dan Krisis, Yogyakarta: LKiS.

Midgley, James. 2005. Pembangunan Sosial: PerspektifPembgangunan Dalam Kesejahteraan Sosial, Jakarta:Diperta Departemen Agama RI.

Mubyarto, (1982), Moral Ekonomi Pancasila, Jakarta: YayasanIdayu.

Mubyarto (2002), “Reformasi Agraria: Menuju PertanianBerkelanjutan”, Jurnal Ekonomi Rakyat, Th. I, No. 8,Oktober.

Mubyarto (2003b), “Tantangan Ilmu Ekonomi DalamMenanggulangi Kemiskinan”, Jurnal Ekonomi Rakyat,Maret.

Mubyarto (2003c), “Mengembangkan Ekonomi Rakyat SebagaiLandasan Ekonomi Pancasila”, Jurnal Ekonomi Rakyat,Tahun II, No. 8, November.

Narayan, Deepa, et. al. (2000), Voice of the Poor, Washington D.C:World Bank.

Narayan, Deepa. et. al. (2002), Empowerment and Poverty Reduc-tion: A Sourcebook, Washington D.C: PREM WorldBank.

Nelson, N dan Susan Wright, (eds.) (1995), Power and Partici-patory Development: Theory and Practice, London: In-

Page 186: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Daftar Pustaka

332 333

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

termediate Technology Publications.Petras, James dan Veltmeyer, Henry, Imperialisme Abad 21, Kreasi

Wacana, Yogyakarta, 2002.Penderds, C.M.L. 1984. Bojonegoro 1900-1942. a Story of En-

demic Poverty in North-East Java-Indonesia. Jakara:Gunung Agung.

Priyadi, Sugeng. 2001. “Perdikan Cahyana”. Humaniora. Vol.XIII. No. 1/2001. Hal.: 98-99.

Pratikno, 2003, “Desentralisasi, Pilihan yang Tidak Pernah Fi-nal”, dalam Jim Schiller (Eds.), Jalan terjal ReformasiLokal: dinamika Politik di Indonesia, Yogyakarta: Pro-gram Pascasarjana Politik Lokal dan Otonomi DaerahUGM.

Putnam, Robert. 1993, Making Democracy Work: Civic Traditionsin Modern Italy, Princeton: Princeton University Press.

Rappaport, J. 1981, “ In Praise of Paradox: A Social Policy ofEmpowerment Over Prevention”, American Journal ofCommunity Psychology, 9.

Rappaport, J. 1985, “The Power of Empowerment Language,Journal of Social Policy, 16.

Rappaport, J. 1987, “The Term of Empowerment/Exemplar ofPrevention: Toward a Theory for Community Psychol-ogy”, American Journal of Community Psychology, 15.

Rappaport, J. C. Swift dan R. Hess 1984, Studies in Empower-ment: Steps Toward Understanding and Action, NewYork: Hawoth.

Rauch, Theo., Matthias Bartels dan Albert Engel, 1998, RegionalRural Development: A Regional Response to Rural Pov-erty, Wiesbaden: GTZ dan BMZ.

Reid, Norman, 1999. “Community Empowerment: A New Ap-proach for Rural Development”, Rural DevelopmentPerspectives, vol. 14, no. 1

Riger, S. 1981, “Toward A Community Psychology of Empower-ment”, Community Psychology Newsletter, 14.

Rissel, C. (1994), “Empowerment: The Holy Grail of HealthPromotion”, Journal of Health Promotion, 9.

Sahdan, Gregorius (ed.), (2005), Transformasi Ekonomi-PolitikDesa, Yogyakarta: APMD Press.

Sahlins, Marshall. 1974. Stone Age Economics. London: TavistockPublication.

Saefuddin, Asep dkk, 2003. Menuju Masyarakat Mandiri:Pengembangan Model Sistem Keterjaminan Sosial,Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Saragih, Bungaran. 1998. Agribisnis Berbasis Peternakan, Kumpulanpemikiran, Bogor: Pusat Studi Pembangunan LembagaPenelitian IPB.

Schmidt, Sonke. 1994, Social Security In Developing Countries: Basic Tenets and Fields of State Intervention, in So-cial (In)Security and Poverty, As Global Issues, Con-ference in Preparation of the UN World Summit onSocial Development, Copenhagen, Maastricht, 4&5March 1994

Scott, James C. 1980. Moral Ekonomi Petani.PemberontakanPetani di Asia Tenggara Jakarta: LP3ES

Sen, Amartya. 1999, Development as Freedom. New York: KnopfBooks.

Setiawan, Bonnie. 2003. “Antara Doba dan Cancun: CengkeramanNeoliberal pada tubuh WTO. Dalam I Wibowo danFrancis Wahono (eds.) Neoliberalisme. Yogyakarta:Cindelaras.

Shepherd, A. 1998. Sustainable Rural Development, MacmillanPress, London.

Singh, Naresh dan Vangile Titi, 1995, (eds.), Empowerment To-wards Sustainable Development, Halifax: Fernwood andZed.

Sinukaban, Naik. 2005, “Revitalisasi Pembangunan Pertanian”,Kompas, 14 Juni.

Soemardjan, Selo. 1992, “Otonomi Desa: Apakah Itu?”, Jurnal

Page 187: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Daftar Pustaka

334 335

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Ilmu-ilmu Sosial, No. 2.Subandriyo, Toto. (2005), “Revitalisasi Pe(r)tani(an)”, Kompas,

10 Juni.Sumawinata, Sarbini. (2004), Politik Ekonomi Kerakyatan, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.Suharto, Asep. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan

Rakyat, Kajian Strategis Pembangunan KesejahteraanSosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung: Refika Aditama.

Suhartono. 19991.”Agroindustri dan Petani: Multi Pajak diVorstenlanden 1850-1900”, Prisma. April 1991: 15-26.

Tjokrowinoto, Moeljarto. (1987), Politik Pembangunan,Yogyakarta: Tiara Wacana.

Tjondronegoro, Sediono M. P. dan Gunawan Wiradi et,al.1993.Dua Abad Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanahdi Jawa dari Masa ke Masa”. Jakarta: Yayasan Obor.

Torquist, Olle. “Notes on the State and Rural Change in RuralJava”, dalam Arief Budiman (ed). State and Civil Soci-ety in Indonesia. Clyton: Monash University.

Wahono, Francis. 1999.”Revolusi Hijau: Dari Perangkap Involusike Perangkap Globalisasi.” Wacana. No. IV:9-46.

Wijardjo, Boedi dan Herlambang Perdana, 2001, Reklaiming danKedaultan Rakyat, YLBHI dan Raca Institute, Juli.

Wilk, Ricard. 1996. Economies & Culture. Foundation EconomicAnthropology. Colorado: Westview Press.

Wolf, Eric. 1983. Petani: Suatu Tinjauan Atropologis. Jakarta:Rajawali.

Wolf, Eric, 2002. Pathways of Power, Building an Anthropology ofthe Modern World. London: University of CaliforniaPress.

Wulandari, D, dkk. 2000. Kisah-Kisah Perjuangan Hak RakyatAtas Tanah ”Di Atas Tanah Kami, Kami bebasMenentukan”. Bandung: Konsorsium PembaruanAgraria.

Zakaria, Yando. (dkk.), 2001, Mensiasati Otonomi Daerah DemiPembaharuan Agraria. ELSAM dan LAPPERA,Yogyakarta.

Zakaria, Yando. 2001, Abih Tandeh, Masyarakat Desa di BawahOrde Baru, Jakarta: ELSAM.

Zakaria, Yando. 2004, Merebut Negara, Yogyakarta: Karsa danLAPERA Pustaka Utama.

Zimmerman, MA 1990a, “Toward a Theory of Learned Hope-fulness: A Structural Model Analysis of Participationand Empowerment”, Journal of Personality, 1.

Zimmerman, MA 1990b, “Taking Aim on Empowerment Re-search: On the Distinction Between Individual andPsychological Concepts”, American Journal of Commu-nity Psychology, 18.

Zimmerman, MA dan J. Rappaport 1988, “Citizen Participa-tion, Perceived Control and Psychological Empower-ment”, American Journal of Community Psychology, 16

Page 188: Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa