27
Memahami Keadilan Hukum Tuhan dalam Qisas dan Diyat Oleh: Ahmad Bahiej * Abstrak Qisas-diyat merupakan salah satu aturan dalam syari’at Islam mengenai hukum pidana dan berlaku bagi tindak pidana-tindak pidana yang berkaitan dengan pembunuhan dan penganiayaan. Allah mengatur secara khusus mengenai tindak pidana ini dalam al-Qur'an dengan beberapa hikmah yang terkandung, antara lain terjaminnya kehidupan ekonomi keluarga korban, menghilangkan budaya ketidakadilan yang dalam al-Qur'an dicotohkan dengan pembebasan budak, hubungan muslim dan non-muslim, dan adanya alternatif pemidanaan. Kata kunci: qisas, diyat, fiqh, hikmah A. Pendahuluan Qisas-diyat merupakan salah satu aturan dalam syari’at Islam mengenai hukum pidana dan berlaku bagi tindak pidana-tindak pidana yang berkaitan dengan pembunuhan dan penganiayaan. Qisas yang berasal dari bahasa Arab al-qisās bermakna an yaf’ala bil-fā’il mi£la mā fa’ala 1 yang berarti melakukan seperti apa yang telah dilakukan pelakunya. Sedangkan diyat yang berasal dari bahasa Arab ad-diyat (singular) atau diyāt (plural) adalah bentuk ma¡dar (bentuk jadian) dari wadā yang berarti mā yu’ta in al-māl badala an-nafs al-qatīl (harta yang diberikan sebagai ganti * Dosen Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. 1 Luis Ma’luf, Al-Munjid fī al-Lugah wa al-I'lām, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), hlm. 631.

Keadilan Qisas Diyat

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Keadilan Qisas Diyat

Memahami Keadilan Hukum Tuhan dalam Qisas dan Diyat

Oleh: Ahmad Bahiej*

Abstrak

Qisas-diyat merupakan salah satu aturan dalam syari’at Islam mengenai hukum

pidana dan berlaku bagi tindak pidana-tindak pidana yang berkaitan dengan

pembunuhan dan penganiayaan. Allah mengatur secara khusus mengenai tindak pidana

ini dalam al-Qur'an dengan beberapa hikmah yang terkandung, antara lain

terjaminnya kehidupan ekonomi keluarga korban, menghilangkan budaya ketidakadilan

yang dalam al-Qur'an dicotohkan dengan pembebasan budak, hubungan muslim dan

non-muslim, dan adanya alternatif pemidanaan.

Kata kunci: qisas, diyat, fiqh, hikmah

A. Pendahuluan

Qisas-diyat merupakan salah satu aturan dalam syari’at Islam mengenai hukum

pidana dan berlaku bagi tindak pidana-tindak pidana yang berkaitan dengan

pembunuhan dan penganiayaan. Qisas yang berasal dari bahasa Arab al-qisās bermakna

an yaf’ala bil-fā’il mi £la mā fa’ala1 yang berarti melakukan seperti apa yang telah

dilakukan pelakunya. Sedangkan diyat yang berasal dari bahasa Arab ad-diyat

(singular) atau diyāt (plural) adalah bentuk ma¡dar (bentuk jadian) dari wadā yang

berarti mā yu’ta in al-māl badala an-nafs al-qatīl (harta yang diberikan sebagai ganti

* Dosen Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga

Yogyakarta dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. 1 Luis Ma’luf, Al-Munjid fī al-Lugah wa al-I'lām, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), hlm. 631.

Page 2: Keadilan Qisas Diyat

dari jiwa yang terbunuh). Bentuk asli dari ad-diyat adalah al-wad³. Huruf ta’ digunakan

sebagai ganti dari huruf wau yang dibuang sebagaimana dalam kata ‘iddat.2

Dalam beberapa segi, aturan mengenai qisas-diyat ini mempunyai beberapa

keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh aturan-aturan jarimah lain, seperti dalam

hudud maupun ta'zir. Keunikan-keunikan itu antara lain adalah, pertama, posisi qisas-

diyat dalam hukum pidana Islam. Dalam literatur-literatur fiqh disebutkan bahwa aturan

mengenai qisas-diyat ini tidak termasuk ke dalam pembahasan mengenai hudud, namun

berdiri sendiri sebagai cabang dari jinayat (hukum pidana Islam).

Kedua, aturan-aturan mengenai qisas-diyat dalam al-Qur’an lebih banyak dari

pada aturan-aturan jarimah yang lain. Paling tidak ada lima ayat al-Qur’an yang

membahas mengenai qisas-diyat ini.3 Ketiga, sanksi pidana bagi jarimah qisas-diyat

lebih komprehensif dan menyediakan berbagai macam alternatif pidana bagi pelakunya.

Pidana dengan berbagai alternatif ini tidak dikenal dalam bentuk jarimah-jarimah yang

lain, khususnya dalam jarimah hudud.

B. Potret Historis Pidana Qisas-Diyat Pra Islam

Sebelum datangnya Islam, sanksi pidana pembunuhan dikenal dalam beberapa

bentuk. Bagi kaum Yahudi diberlakukan pidana qisas yang telah ditetapkan dalam kitab

sucinya, Taurat. Sedangkan kaum Nasrani hanya diberlakukan diyat. Namun pada masa

Arab Jahiliyyah, berlaku hukum pembalasan yang berdasar pada kebiasaan-kebiasaan

mereka.4 Sebagai gambaran Bani Nazir yang memposisikan derajatnya lebih tinggi

daripada Bani Quraizah beranggapan bahwa jika ada anggota Bani Nazir yang

2 Ibid., hlm. 895. 3 Ayat al-Qur'an yang dijadikan dalil penetapan sanksi qisas-diyat terdapt dalam surat al-Baqarah

ayat 178-179, Surat an-Nisa ayat 92 dan 93, serta Surat al-Maidah ayat 43. 4 Wahbah az-Zuhaily, At-Tafsīr al-Munīr fī al-'Aqīdah wa asy-Syarī'ah wa al-Minhāj, (Beirut: Dar

al-Fikr al-Mu'ashir, 1991), Jilid I-II, hlm. 105.

Page 3: Keadilan Qisas Diyat

membunuh salah seorang anggota Bani Quraizah, maka tidak dibalas dengan pidana

mati (qisas), namun cukup dibayar dengan denda seratus wasaq kurma.5

Syari’at Nabi Musa mengenai qisas tersebut dituangkan dalam Kitab Keluaran

Pasal 21:

“Sesungguhnya barangsiapa memukul manusia dan (mengakibatkan manusia itu) mati, maka ia harus dibunuh. Dan jika orang laki-laki berlaku aniaya terhadap laki-laki lain sehingga ia membunuhnya secara licik, maka engkau harus mengambil dari mazbah-ku agar orang itu dibunuh. Barangsiapa memukul ayah dan ibunya, maka ia harus dihukum mati. Jika terjadi penganiayaan, maka balaslah jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, gigi dengan gigi, tangan dengan tangan, kaki- dengan kaki, luka dengan luka, relah (dibalas) dengan rela”.6 Dalam syari’at Nabi Isa sebagian berpendapat bahwa hukuman mati bagi

pembunuh tidak ada dasarnya sama sekali. Mereka berargumen dengan kitab kelima

yang memuat sabda Nabi Isa:

“Janganlah engkau membalas kejahatan dengan kejahatan, akan tetapi jika seseorang menempeleng pipi kananmu maka berilah juga pipi kirimu. Dan (jika) ada orang yang memusuhimu dan mengambil bajumu, maka berikanlah baju itu kepadanya. Dan (jika) ada orang yang menghinamu satu mil, maka pergilah bersamanya sejauh dua mil”.7 Pendapat ini didukung oleh asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Um yang menyatakan

bahwa bagi kaum Injil (Nasrani) diwajibkan memaafkan pembunuh dan tidak

membunuhnya.8 Sebagian yang lain berpendapat bahwa syari’at Nabi Isa mengenal

adanya pidana mati dengan berdasar pada apa yang telah diucapkan oleh Nabi Isa:

5 Al-Imam al-Jalil al-Hafiz ‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il ibn Katsir, Tafsir al-Qur’ān al’Adzīm

Jilid I, (ttp.: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tth.), hlm. 209. Sebagai gambaran, 1 wasaq sama dengan 60 gantang. Jika 1 gantang sama dengan 3,125 kg maka Bani Nazir kurang lebih membayar 18.750 kg (18,75 ton) kurma kepada Bani Quraizah. Namun sebaliknya, jika anggota Bani Quraizah membunuh salah seorang anggota Bani Nazir, maka Bani Quraizah diwajibkan membayar denda dua kali lipat, yaitu sebanyak 200 wasaq (± 37,5 ton) kurma. Sebagai standar ukuran perbandingan ini, penulis mengambil kesebandingan ukuran wasaq dan gantang dalam Adib Bisri, Kamus Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hlm. 778 dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hlm. 291.

6 As-Sayyid as-Sabiq, Fiqh as-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), II: 431. 7 Ibid. 8 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang,

tth.), hlm. 279.

Page 4: Keadilan Qisas Diyat

“Aku tidak datang untuk menghapuskan an-namūs (aturan hukum yang telah ada sebelumnya), namun aku datang untuk menyempurnakannya”.9 Hal ini berarti syari’at Nabi Isa tidak menghapuskan syari’at Nabi Musa dalam

kitab Taurat yang diturunkan lebih dahulu, namun lebih pada penyempurnaan.

Pandangan demikian juga selaras dengan al-Qur’an dalam surat Ali Imran ayat 50.

Adanya setting historis atas ketentuan qisas bagi pelaku pembunuhan baik di

masa Arab Jahiliyyah, maupun ketentuan qisas bagi kaum Yahudi dan Nasrani dapat

ditarik benang merah hubungan antara syari’at Islam tentang qisas-diyat dengan pidana

yang dikenal pada masa pra-Islam. Dengan adanya ketentuan qisas-diyat dalam al-

Qur’an, Allah menghapuskan sistem pemidanaan Jahiliyyah yang tidak adil dalam

tindak pidana pembunuhan. Di samping itu, Allah juga menyempurnakan syari’at Islam

sebagai syari’at agama samawi terakhir dengan menetapkan berbagai macam alternatif

pemidanaan bagi pelaku pembunuhan sebagai bentuk keringanan dan rahmat. Dzālika

takhfīfun min rabbikum wa rahmah.

C. Implikasi Ketentuan Qisas-Diyat dalam al-Qur’an

Semua fuqaha sepakat bahwa pembunuhan merupakan hal yang haram dilakukan

dan memiliki implikasi di dunia dan akhirat. Di akhirat pelaku pembunuhan (sengaja)

mendapatkan balasan sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nisa ayat 93, yaitu

dimasukkan dan disiksa ke dalam neraka Jahanam, dimurkai serta dikutuk oleh Allah.

Bahkan sebagaimana disebutkan oleh Ibn Katsir, membunuh seseorang dengan sengaja

merupakan dosa besar yang dalam beberapa ayat al-Qur'an disejajarkan dengan dosa

9 As-Sayyid as-Sabiq, Fiqh as-Sunnah…, II: 432.

Page 5: Keadilan Qisas Diyat

syirik.10 Namun demikian, para ulama berbeda pendapat mengenai dapat diterima atau

tidaknya taubat seseorang yang telah membunuh dengan sengaja.11

Sedangkan bentuk hukuman pembunuhan di dunia adalah sebagaimana telah

disebutkan dalam Surat al-Baqarah ayat 178 dan 179, yaitu:

a. diberikan sanksi pidana qisas yang setara kepada pelaku pembunuhan tersebut; atau

b. membayar diyat (ganti rugi) kepada keluarga korban dengan syarat keluarga korban

memberikan maaf kepada pelaku pembunuhan.

Surat an-Nisa ayat 92 menjelaskan tentang pembunuhan yang dilakukan tanpa

adanya unsur kesengajaan. Sanksi pidana bagi pembunuhan tidak sengaja adalah

memerdekakan hamba sahaya (budak) yang beriman sebagai kaffarah (penebus dosa)

serta diwajibkan membayar diyat atau ganti rugi kepada keluarga korban. Terdapat dua

kategori sanksi pidana dalam ayat pembunuhan tidak sengaja ini, yaitu:

a. jika korban adalah dari kaum mukmin, namun bermusuhan dengan pelakunya,

maka pidana hanya berupa kaffarah yaitu memerdekakan hamba sahaya.

b. jika korban adalah orang kafir yang telah ada perjanjian damai dengan kaum

mukmin, dikenakan pidana ganda, yaitu membayar diyat atau ganti rugi kepada

keluarga korban serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin sebagai

kaffarah-nya.

Ditinjau dari segi ilmu u¡ul al-fiqh, kebanyakan aturan-aturan pidana dalam al-

Qur’an, termasuk di dalamnya aturan mengenai qisas dan diyat, masuk dalam kategori

lafdz yang khafi, dzahir, dan nass. Lafaz khafi adalah lafdz yang maknanya terang tapi

10 Al-Imam al-Jalil al-Hafiz ‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il ibn Katsir, Tafs³r al-Qur’ān al’Adzīm,

(ttp.: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tth.), I: 535. 11 ‘Ali ash-Shabuni, Rawāi' al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur'ān, (Damaskus: Maktabah

al-Ghazali, tth.), I: 504-505. Lihat juga Al-Imam al-Jalil al-Hafiz ‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il ibn Katsir, Tafsīr al-Qur’ān al’Adzīm…, I: 536.

Page 6: Keadilan Qisas Diyat

tidak jelas cakupan kategori dan kriterianya, sementara lafdz dzahir adalah lafaz yang

maknanya segera dipahami tetapi pemahaman itu tidak sesuai dengan konteks kalimat

dan lafdz nass adalah lafaz yang maknanya terang yang sesuai dengan konteks kalimat.

Ketiga lafaz tersebut masih mungkin untuk ditafsiri, ditakwil dan dapat menerima

naskh.12 Dalam ushul fiqh untuk memperjelas dan menemukan makna yang tepat dari

tiga jenis lafaz tersebut masih memerlukan pentakwilan dan ijtihad.

Sebagai gambaran, lafdz “al-qatlā” dalam surat al-Baqarah ayat 178 merupakan

lafdz dalam kategori khafi, dalam arti bahwa maknanya terang yaitu “pembunuhan”

namun belum jelas mengenai cakupan kategori dan kriterianya. Misalnya kemudian

muncul pertanyaan, siapa yang membunuh? siapa yang dibunuh? Bagaimana cara

membunuhnya?. Contoh lain adalah pembayaran diyat. Al-Qur'an hanya menyebutkan

kewajiban membayar diyat jika si pembunuh dimaafkan atau jika terjadi pembunuhan

yang tidak disengaja. Berapa besar jumlah yang harus dibayarkan dan siapa yang

berkewajiban membayar tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qur'an.

Oleh karena itu kemudian para fuqaha’ menetapkan hukum Islam dengan dasar

beberapa hadis Nabi yang menjelaskan lebih lanjut mengenai ketentuan qisas-diyat

dalam al-Qur’an, serta berusaha melakukan ijtihad apabila jawaban dari persoalan yang

ditanyakan tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hadis. Namun yang muncul kemudian

adalah adanya perbedaan penafsiran karena masing-masing fuqaha' (baca: mazhab atau

aliran dalam hukum Islam) memiliki pandangan dan dasar sendiri.

Apabila keluarga korban atau wali terbunuh memberikan maaf kepada pelaku

pembunuhan, maka si pelaku diwajibkan membayar diyat dengan jumlah tertentu. Para

12 Ali Hasaballah, Ushūl al-Tasyri’ al-Islāmi, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971), hlm. 263-268.

Page 7: Keadilan Qisas Diyat

fuqaha berbeda pendapat mengenai jumlah diyat yang harus dibayarkan kepada

keluarga korban. Selengkapnya, jumlah diyat berdasarkan pembagian jenis pembunuhan

menurut ulama fiqh dapat dilihat dalam tabel berikut.13

Tabel 1. Jumlah Diyat Berdasarkan Pembagian Jenis Pembunuhan Menurut Beberapa Ulama Fiqh

Imam Pembagian Jenis Pembunuhan dan Jumlah Diyatnya

'Amd Syibh al-'amd

(Mugaladzah)

Khata'

25 onta bintu

makhadz 25 onta bintu labun 25 onta hiqqah 25 onta jadza'ah

30 onta hiqqah 30 onta jadza'ah

20 onta bintu makhadz 20 onta ibnu labun 20 onta bintu labun 20 onta hiqqah 20 onta jadza'ah

Malik

Total 100 onta Total 60 onta Total 100 onta

Mugaladzah Mukhafafah

'Amd Syibh al-'amd Khata' 30 onta hiqqah

30 onta jadza'ah 40 onta khālifah

20 onta bintu

makhadz 20 onta bintu labun 20 onta ibnu labun 20 onta hiqqah

20 onta jadza'ah

asy-Syafi'i

Total 100 onta Total 100 onta

'Amd Syibh al-'amd

(Mugaladzah)

Khata'' Hanafi

- 25 onta bintu

makhadz 25 onta bintu labun 25 onta hiqqah

25 onta jadza'ah

20 onta ibnu

makhadz 20 onta bintu

makhadz 20 onta bintu labun 20 onta hiqqah

20 onta jadza'ah

13 Diolah kembali dari Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 322-325.

Page 8: Keadilan Qisas Diyat

- Total 100 onta Total 100 onta

Keterangan :

Ibnu Makhadz : onta jantan berumur satu tahun masuk dua tahun.

Bintu Makhadz : onta betina berumur satu tahun masuk dua tahun. Ibnu Labun : onta jantan berumur dua tahun masuk tiga tahun. Bintu Labun : onta betina berumur dua tahun masuk tiga tahun Hiqqah : onta yang berumur tiga tahun masuk empat tahun.

Jadza'ah : onta yang berumur empat tahun masuk lima tahun. Khālifah : onta yang sedang bunting.14

Menurut Imam Hanafi, jenis diyat hanya ada dua macam yaitu diyat kesalahan

dan diyat syibh al-'amd (menyerupai kesengajaan). Diyat kesengajaan tidak ada karena

untuk setiap pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja harus dilaksanakan qisas

kecuali jika dimaafkan oleh keluarga korban. Hal ini didasarkan hadis Nabi yang

diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Abbas bahwa "bagi kesengajaan adalah qawad, dan

tidak ada ganti rugi padanya".15 Dalam menentukan diyat kesalahan, Imam Hanafi

mendasarkan diri pada hadis at-Turmudzi "Rasulullah menetapkan dalam hal diyat

kesalahan adalah 20 bintu makhadz, 20 ibnu makhadz, 20 bintu labun, 20 jadza'ah, dan

20 hiqqah".16

Hadis yang mempunyai sanad Ali bin Sa'id al-Kindi al-Kufi, Ibnu Abi Zaidah, al-

Hajjāj, Zaid bin Hubair, Hasyf bin Malik, dari Abdullah bin Mas'ud ini merupakan

hadis marfu'.

Namun demikian, pendapat Imam Hanafi ini berbeda dengan perkataan Ali bin

Abi Thalib mengenai diyat kesalahan yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Ali

berkata, "(Diyat) dalam (pembunuhan karena) kesalahan adalah seperempatan, 25

hiqqah, 25 jadza'ah, 25 bintu labun, 25 bintu makhadz." 17 Hadis ini berasal dari

14 Al-Hafidz Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hlm. 384-385. 15 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 324. 16 At-Turmudzi dalam Mausū'ah al-Hadits asy-Syarīf, Edisi Kedua, Global Islamic Software

Company, 1991-1997, CD ROM, hadis nomor 1307. 17 Al-Hafidz Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hlm. 384, hadis nomor 4552.

Page 9: Keadilan Qisas Diyat

Hannād, Abu al-Ahwash, Abi Ishaq, 'Ashim bin Dhamrah. Perkataan sahabat Ali

tersebut di atas juga berbeda dengan hadis riwayat Abu Dawud yang lain, yaitu hadis

yang bersanad dari Muhammad bin al-Mutsanna, Muhammad bin Abdullah, Sa'id,

Qatadah, Abdi Rabbih, Abi 'Iyadh dari Utsman bin 'Affan dan Zaid bin Tsabbit bahwa

"(Diyat) dalam (pembunuhan karena) kesalahan adalah 30 hiqqah, 30 bintu labun, 20

ibnu labun, 20 bintu makhadz."18

Adanya ketentuan dalam kedua hadis ini yang berbeda karena kedua-duanya

berhenti kepada sahabat-sahabat Nabi, yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan dan

Zaid bin Tsabit. Dalam ilmu hadis, berhentinya sanad hadis kepada sahabat Nabi

disebut dengan hadis mauquf.

Disebabkan adanya perbedaan dalam dasar atau dalil diyat kesalahan ini, maka

muncullah perbedaan di antara para fuqaha dalam menetapkannya. Jika dikembalikan

kepada al-Qur'an, persoalan ini juga tidak selesai karena al-Qur'an tidak menyebutnya

secara terperinci. Oleh karena itu, dipilihlah ketentuan-ketentuan yang lebih kuat, yaitu

ketentuan sebagaimana yang dipegangi oleh ulama Hanafi. Hadis yang diriwayatkan

oleh Abdullah bin Mas'ud adalah hadis yang marfu' yang tentunya lebih kuat daripada

hadis yang mauquf.

Masalah jumlah diyat mugaladzah (berat) juga terdapat beberapa hadis yang

berbeda. Tabel berikut ini menggambarkan perbedaan-perbedaan tersebut.19

Tabel 2. Perbedaan Jumlah Diyat Mugaladzah dalam Beberapa Riwayat

Perawi Jumlah Diyat Keterangan Abu Dawud dari Utsman bin Affan dan

40 jadza'ah bunting 30 hiqqah

18 Ibid, hadis nomor 4554. 19 Diolah kembali dari Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 326-327.

Page 10: Keadilan Qisas Diyat

Zaid bin Tasbit 30 bintu labun Abu Dawud dari Abdullah bin Umar, Ibnu Majah Asy-Syafi'I

100 onta, 40 di antaranya bunting

Diyat khata' syibh al-'amd

Abu Dawud dari Ashim bin Dhamrah

33 hiqqah 33 jadza'ah 34 berumur 2 tahun penuh 1 khilfah

'Alaqamah dan al-Aswad dari Abdillah

25 hiqqah 25 jadza'ah 25 bintu labun

25 bintu makha«

Syibh al-'amd

Mengenai ada atau tidaknya jenis diyat syibh al-'amd para fuqaha juga berbeda

pendapat. Namun yang paling kuat adalah pendapat yang meniadakan adanya syibh al-

'amd. Argumentasi yang digunakan dalam menolak adanya syibh al-'amd adalah

sebagai berikut.

a. Banyak ulama-ulama hadis, seperti Abu Umar bin Abd al-Bar, Ibnu Rusyd,

menganggap bahwa hadis-hadis tentang syibh al-'amd adalah hadis yang lemah

karena bersifat mudztharib.20 Sedangkan Imam Malik menentang adanya syibh al-

'amd dan menyatakan bahwa syibh al-'amd adalah batil, kecuali dalam kasus

pembunuhan ayah terhadap anaknya.

b. Dalam al-Qur'an, hanya diatur mengenai pembunuhan yang sengaja (surat al-

Baqarah 178) dan pembunuhan yang tidak sengaja (surat an-Nisa 92). Oleh karena

itu, hadis tentang syibh al-'amd tidak dapat dijadikan dalil atau hujjah dan batal

secara hukum.

20 Dalam ilmu hadis hadis mudtharib adalah mā ukhtulifa fī sanadihi aw fī matnihi aw fīhimā

biziyādah aw naq¡ ma'a 'adami imkāni al-jam'i aw at-tarjīhi (hadis yang diperselisihkan dalam sanad atau matannya, atau kedua-duanya sebab adanya tambahan atau pengurangan dengan tidak adanya kemungkinan untuk disatukan atau ditarjihkan.Hafidz Hasan al-Mas'udi, Minhah al-Mugits fī 'Ilm Mustalah al-Hadis, penerjemah Aziz Masyhuri, (Solo: Ramadhani, 1997), hlm. 51.

Page 11: Keadilan Qisas Diyat

Argumentasi ini membawa implikasi juga kepada jumlah diyat kesengajaan. Diyat

kesengajaan yang didasarkan dan disamakan dengan diyat syibh al-'amd sebagaimana

dikemukakan Imam asy-Syafi'i juga disangsikan kebenarannya. Hal ini dikarenakan

hadis tentang diyat syibh al-'amd diriwayatkan dari Amr bin Syu'aib ditolak oleh

beberapa ahli hadis, seperti Jalaluddin as-Suyuthi dan Ibnu Hibban.21

Dengan demikian, hadis yang dijadikan dalil dalam aturan mengenai diyat

kesengajaan tinggal hadis yang bersumber dari Ibnu Syihab sebagaimana yang

dipegangi Imam Maliki dalam Muwatha'-nya yaitu bahwa "Yahya telah menceritakan

dari Malik, sesungguhnya Ibnu Syihab berkata tentang diyat kesengajaan jika diterima

(maafnya) adalah 25 bintu makhadz, 25 bintu labun, 25 hiqqah, dan 25 jadza'ah." 22

Jika diperhatikan sanadnya, jelas hadis ini hadis mursal atau terputus, yaitu tidak

disebutkan nama sahabat terakhir yang berhubungan dengan Rasulullah secara

langsung. Dengan demikian tidak terdapat hadis yang ¡ahih atau pun yang marfu' yang

menyatakan tentang diyat kesengajaan. Menurut Abu Tsaur dan Ibnu Rusyd

sebagaimana dikutip oleh Haliman23, karena ketiadaan hadis yang ¡ahih atau marfu'

tentang diyat kesengajaan ini berarti diyat kesengajaan disamakan dengan diyat

kesalahan.

Pembayaran diyat pada dasarnya diberikan dalam bentuk hewan onta. Hal ini

dikarenakan pada waktu itu onta merupakan harta yang cukup berharga. Akan tetapi

beberapa hadis menunjukkan adanya kebolehan membayar diyat dalam bentuk uang.

Imam asy-Syafi'i dan Imam Malik menetapkan diyat bisa digantikan dengan uang

21 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 328. 22 Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tanwīr al-Hawālik Syarh 'alā Muwata' Mālik,

(Beirut: Dar al-Fikr, tth.), hlm. 59. 23 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 329.

Page 12: Keadilan Qisas Diyat

12.000 dirham. Hadis Abu Dawud dari Ibnu Abbas menunjukkan keterangan tersebut,

yaitu "sesungguhnya seorang laki-laki dari Bani 'Adi dibunuh, maka Nabi menetapkan

diyatnya 12.000".24

Pandangan ini berbeda dengan Imam Hanafi yang menetapkan diyat sebesar

10.000 dirham. Pandangan ini didasarkan pada hadis Abdullah bin Umar bahwa Nabi

telah memutuskan mengenai diyat terbunuh dengan 10.000 dirham.25

Selanjutnya Imam asy-Syafi'i, Imam Malik, dan Imam Hanafi mempunyai

pendapat yang sama dalam hal pembayaran diyat dapat diangsur selama tiga tahun.26

Malik dalam Muwatha' menyebutkan dasar hadisnya bahwa "Yahya telah menceritakan

kepadaku dari Malik bahwa dia (Malik) mendengar bahwa diyat dipotong (dicicil)

dalam tiga tahun atau empat tahun. Malik berkata, "Tiga adalah (pendapat) yang lebih

kusukai dalam masalah ini (cicilan)". 27

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

pertama, jumlah diyat pembunuhan kesengajaan disamakan dengan diyat pembunuhan

karena kesalahan merupakan pendapat yang terkuat di antara pendapat yang lain.

Kedua, diperbolehkan bentuk diyat hewan (onta) digantikan dengan bentuk uang dan

dilakukan dengan cara angsuran. Jika jumlah diyat diambil dari pendapat Hanafi yang

berjumlah 100 onta dan digantikan uang, maka penentuannya didasarkan pada harga

onta pada masa itu, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin al-Khathab.28

D. Rekonstruksi dan Reaktualisasi Hukum Islam tentang Qisas-Diyat

24 al-Hafidz Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hlm. 383, hadis nomor 4546. 25 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 330. 26 Ibid., hlm. 331. 27 Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tanwīr al-Hawālik…, hlm. 59. 28 Al-Hafidz Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hlm. 382, hadis nomor 4542. Jika harga seekor onta

sekarang adalah 2250 riyal dan kurs rupiah terhadap riyal adalah Rp. 2.500,- maka seekor onta kurang lebih berharga Rp. 5.625.000,00. Dengan demikian diyat yang harus dibayarkan 'aqilah (keluarga pelaku tindak pidana) dalam masalah pembunuhan tidak sengaja kepada keluarga korban kurang lebih sebesar Rp. 562.500.000,00 (setengah milyar lebih).

Page 13: Keadilan Qisas Diyat

Sering kali terdapat anggapan bahwa hukum Islam identik dengan syari'at Islam.

Di sini tidak ada pemisahan antara hukum Islam (fiqh) yang merupakan hasil ijtihad

para ulama dengan syari'at Allah yang identik dengan wahyu. Hal ini berimbas pada

adanya anggapan bahwa hukum Islam (fiqh) bersifat absolut dan suci, yang tidak bisa

menerima perubahan dan pengembangan.29 Intelektual Islam sekaliber Muhammad

Muslehuddin pun menganggap bahwa hukum Islam adalah "sistem hukum buatan

Tuhan".30

Pengaburan istilah antara hukum Islam, syari'ah Islam, dan fiqh pada hakikatnya

tidak ada masalah. Namun pengaburan esensi dan posisi antara hukum Islam, yang

identik dengan fiqh karena merupakan hasil ijtihad manusia, dengan syari'ah yang

identik dengan wahyu, yang berada di luar jangkauan manusia, harus diletakkan pada

posisi sebenarnya.31 Dengan demikian akhirnya disadari bahwa karena hukum Islam

merupakan hasil ijtihad fuqaha maka adalah wajar jika fuqaha dalam menetapkan

ijtihadnya dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti sosial dan politik.

Oleh karena itu, dalam melakukan ijtihad mengenai qisas-diyat para fuqaha

kadangkala, bahkan dapat dikatakan sering, mempunyai hasil yang berbeda-beda,

seperti yang telah diungkapkan di awal. Satu ulama pun kadangkala mempunyai

pandangan yang berbeda karena dipengaruhi oleh faktor sosial dan politik.32

Bagi masyarakat muslim, perbedaan-perbedaan di antara para fuqaha itu bukan

menjadi masalah yang besar. Justru sebaliknya menunjukkan adanya kekayaan wacana

hukum dalam Islam, sehingga masyarakat muslim pada suatu tempat dan pada suatu

29 Qodry Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum

Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 47-48. 30 Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan

Sistem Hukum Islam, penerjemah Yudian Wahyudi Asmin, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. ix. 31 Qodry Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional…, hlm. 49. 32 Sebagai contoh adalah qaul qadim dan qaul jadid-nya Imam asy-Syafi'i. Zaitunah Subhan,

Tafisr Kebencian: Studi Bias Gender dalam Qur'an, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 9.

Page 14: Keadilan Qisas Diyat

waktu bebas memilih antara pendapat-pendapat itu yang sesuai dengan kondisi

sosialnya atau melakukan rekonstruksi reaktualisasi sendiri dengan dasar nilai-nilai

kebenaran Islam.

Terdapat beberapa persoalan dalam hukum Islam tentang qisas-diyat yang telah

dikemukakan para fuqaha. Jika persoalan ini dicermati berdasarkan ukuran kondisi

sosial dan politik negara-negara modern dan pluralis, maka muncullah aturan-aturan

hukum Islam yang bias. Persoalan-persoalan itu antara lain diuraikan di bawah ini.

1. Kedudukan Perempuan

Dalam memahami surat al-Baqarah ayat 178 bahwa "… perempuan (dibalas)

dengan perempuan…" para fuqaha berbeda pendapat. Al-Hasan, Atha, dan Ali bin Abi

Thalib berpendapat bahwa berdasarkan ayat ini seorang laki-laki tidak dipidana mati

sebab membunuh perempuan.33 Pendapat ini jelas mengandung pengertian yang bias

jika dilihat dengan kaca mata keadilan gender. Dalam hal ini, perempuan "dihargai"

separo dari laki-laki.

Pendapat ini dibantah oleh jumhur al-'ulama yang menyatakan bahwa dalam

konteks pembunuhan perempuan oleh laki-laki maka dasar hukum yang digunakan

adalah surat al-Maidah ayat 45 " … jiwa dibalas dengan jiwa…". Ayat ini menjelaskan

"jiwa" secara umum, artinya baik laki-laki maupun perempuan. Di samping itu jumhur

al-'ulama berpegangan juga pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan

Ibnu Majah bahwa "orang-orang Islam darahnya sama".34

Bias gender demikian juga muncul dalam masalah diyat. Berdasarkan hadis dari

Mua'z, Kahalani dan Syaukani menyebutkan bahwa Nabi menetapkan diyat perempuan

33 Al-Imam al-Jalil al-Hafiz ‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il ibn Katsir, Tafsīr al-Qur’ān

al’Adzīm…, I: 210. 34 Al-Hafidz Abu Dawud, Sunan Abi Dāwud, hlm. 637, hadis nomor 2751, dan Ibnu Majah, Sunan

Ibnu Mājah, dalam Mausū'ah al-Hadits asy-Syarīf, hadis nomor 2673.

Page 15: Keadilan Qisas Diyat

adalah separuh dari diyat laki-laki. Menurut Kahalani hadis ini ijma'. Asy-Syafi'i,

Hadawiyah, dan Hanafiyah mendasarkan dalil ini untuk menentapkan bahwa diyat

penganiayaan perempuan setengah diyat laki-laki.35

Adanya pertentangan dalam masalah matan atau isi dan logika pada beberapa

hadis tentang diyat perempuan yang diriwayatkan oleh orang yang sama terdapat dalam

kitab Muwata' Imam Malik. Dalam bab 'aql al-mar'ah disebutkan hadis berikut.

و حدثين حيىي عن مالك عن حيىي بن سعيد عن سعيد بن املسيب أنه كان يقول تعاقل املرأة الرجـل إىل

ثلث الدية إصبعها كإصبعه وسنها كسنه وموضحتها كموضحته ومنقلتها كمنقلته و حدثين عن مالـك

املـرأة أـا عن ابن شهاب وبلغه عن عروة بن الزبري أما كانا يقوالن مثل قول سعيد بن املسيب يف

تعاقل الرجل إىل ثلث دية الرجل فإذا بلغت ثلث دية الرجل كانت إىل النصف من دية الرجل قال مالك

وتفسري ذلك أا تعاقله يف املوضحة واملنقلة وما دون املأمومة واجلائفة وأشباههما مما يكون فيـه ثلـث

. 36الرجلالدية فصاعدا فإذا بلغت ذلك كان عقلها يف ذلك النصف من عقل

Sedangkan dalam bab ma jā'a fī 'aql al-ashābi' Imam Malik menyebutkan hadis

Sa'id bin al-Musayyib yang lain sebagai berikut.

و حدثين حيىي عن مالك عن ربيعة بن أيب عبد الرمحن أنه قال سألت سعيد بن املسيب كـم يف إصـبع

إصبعني قال عشرون من اإلبل فقلت كم يف ثالث فقال ثالثون املرأة فقال عشر من اإلبل فقلت كم يف

من اإلبل فقلت كم يف أربع قال عشرون من اإلبل فقلت حني عظم جرحها واشتدت مصيبتها نقـص

عقلها فقال سعيد أعراقي أنت فقلت بل عامل متثبت أو جاهل متعلم فقال سعيد هي السـنة يـا ابـن

.37أخي

35 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 317. 36 Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tanwīr al-Hawālik…, hlm. 61. 37 Ibid., hlm. 65.

Page 16: Keadilan Qisas Diyat

Berdasarkan hadis yang pertama, perempuan dapat menerima diyat 1/3 dari diyat

laki-laki. Jika diyat tersebut melebihi 1/3 diyat laki-laki maka perempuan menerima 1/2

diyat laki-laki. Oleh karena itu, kesimpulannya adalah jika diyat empat jari laki-laki

adalah 100 ekor onta, maka diyat perempuan adalah 1/3-nya, yaitu 33 ekor onta.

Namun hal ini berbeda dengan matan hadis kedua bahwa diyat empat jari

perempuan adalah 20 ekor onta. Di samping itu, dalam hadis kedua tersebut Sa'id bin al-

Musayyib menetapkan diyat empat jari perempuan lebih kecil daripada tiga jari

perempuan. Ketika ditanyakan tentang hal itu Sa'id bin al-Musayyab tidak menyebukan

dasar hukumnya dan hanya menyebutkan bahwa ini adalah sunnah.

Beberapa hadis yang berisi tentang diyat perempuan di atas justru menimbulkan

kekaburan persoalan walaupun hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh satu orang

perawi, yakni Malik dari Sa'id bin al-Musayyib. Bahkan ditinjau dari logika, matan

hadis ini terasa saling bertentangan. Posisi atau kedudukan hadis-hadis itu pun mursal.

Oleh karena itu lebih tepat kiranya dikembalikan kepada al-Qur'an. Ternyata ayat-

ayat tentang qisas-diyat dalam al-Qur'an sama sekali tidak membedakan antara laki-laki

dan perempuan. Ayat-ayat yang lain pun sama sekali tidak membedakan posisi

perempuan terhadap laki-laki, apalagi merendahkan "harga" wanita terhadap laki-laki.

Bahkan secara tegas disebutkan dalam surat an-Nahl ayat 97 bahwa ganjaran tergantung

pada perbuatan dan keimanannya, bukan pada jenis kelaminnya.

"Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan jiwa dalam syari'at adalah

sama, baik laki-laki dan perempuan. Hal ini diakui oleh asy-Syafi'i dalam qaul jadīd-

Page 17: Keadilan Qisas Diyat

nya bahwa qisas berlaku antara laki-laki dan perempuan, dan sebaliknya.38 Demikian

pula disebutkan dalam hadis riwayat Abu Dawud yang telah disebutkan di muka bahwa

al-muslimūn tatakāfa'u dimā'uhum.

2. Kedudukan Non Muslim

Kedudukan non muslim mendapatkan perhatian sendiri dari para fuqaha. Jumhur

ulama, yakni Imam Maliki, Imam asy-Syafi'i, dan Imam Hanbali berpendapat bahwa

seorang muslim tidak dihukum mati karena membunuh orang kafir.39 Yang termasuk

da;a, kategori orang kafir adalah orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi, kafir dzimmi,

mu'ahad, dan mustakmin.40

Sedangkan ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa seorang muslim yang

membunuh orang kafir tetap dipidana mati. Demikian pula sebaliknya. Argumentasi

ulama-ulama Hanafiyyah adalah:41

1. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 178 hanya mewajibkan hukum bunuh

bagi pembunuhan. Ketentuan ini bersifat umum, baik muslim maupun dzimmi.

Sedangkan ayat "orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba,

dan perempuan dengan perempuan…" dimaksudkan untuk menghilangkan

tindakan berlebihan sebagaimana yang berlaku pada zaman Jahiliyyah.

38 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 321. 39 Al-Imam al-Jalil al-Hafiz ‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il ibn Katsir, Tafsīr al-Qur’ān al’Azīm, I:

210; ‘Ali ash-Shabuni, Rawāi' al-Bayān…, I: 174. 40 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 310. Ali ash-Shabuni menjelaskan dasar

pemikiran jumhur ulama ini bahwa pertama, firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 178 menjelaskan mengenai kesepadanan pidana qisas, termasuk masalah ideologinya. Kedua, adanya dalil hadis dari Ali bin Abi Thalib sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhāri, at-Turmudzi, an-Nasā'i, Abu Dāwud, Ibn Mājah, dan Ahmad, bahwa Rasulullah bersabda "seorang muslim tidak akan dibunuh karena (membunuh) orang kafir". Ketiga adanya dalil 'aqli bahwa orang kafir sama seperti binatang karena kekufurannya yang melampaui batas sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Anfal ayat 55. Lihat ‘Ali ash-Shabuni, Rawāi' al-Bayān…, I: 174-175.

41 ‘Ali ash-Shabuni, Rawāi' al-Bayān…, I: 175-177.

Page 18: Keadilan Qisas Diyat

2. Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 45 bersifat umum berkenaan dengan

hukuman qisas umat terdahulu. Syari'at umat terdahulu juga berlaku bagi umat

Islam selama tidak ada ketentuan nas yang menghapusnya.

3. Firman Allah dalam surat al-Isra' ayat 33 bahwa "…barang siapa dibunuh secara

zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli

warisnya…" ini pun juga bersifat umum untuk semua orang yang terbunuh, baik

muslim maupun dzimmi.

4. Hadis riwayat Baihaqi dari Abdurrahman bin al-Bilmani bahwa Rasulullah pernah

membunuh seorang muslim karena membunuh kafir dzimmi, kemudian Rasulullah

bersabda "aku menghormati orang yang memenuhi tanggunganku".

5. Kesepakatan ulama yang mewajibkan hukum potong tangan bagi muslim yang

mencuri barang milik orang kafir dzimmi. Oleh karena itu, persamaan ini berlaku

juga bagi qisas. Kehormatan darah adalah lebih besar daripada hartanya.

Adanya pendapat Imam Hanafi yang berbeda dengan fuqaha demikian tentunya

tidak terlepas dari setting sosiologis tempat kediaman Imam Hanafi. Imam Hanafi

tinggal di Kuffah Irak, yang notabene adalah kota besar dengan kehidupan keagamaan

yang beragam (majemuk). Oleh karena itu, Imam Hanafi lebih toleran dalam

memandang hubungan Islam dengan non Islam. Sebagai hasil ijtihadnya, beliau juga

tidak memasukkan riddah (murtad) sebagai tindak pidana hudud sebagaimana pendapat

fuqaha lainnya.42

Aspek kedua yang membedakan Imam Hanafi dengan imam-imam madzhab yang

lain adalah sistem ijtihad. Ijtihad Imam Hanafi didasarkan kepada al-Qur'an, Sunnah,

ijma', qiyas, istihsan, dan 'urf. Akan tetapi karena beliau menetapkan syarat yang sangat

ketat bagi diterimanya hadis maka dalam realitasnya perbandingan penggunaan volum

42 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘alā al-Mazhab al-‘Arba’ah, (Beirut: Dar al Fikr, tth.), hlm. 8-9.

Page 19: Keadilan Qisas Diyat

dalil-dalil itu adalah al-Qur'an, qiyas, ijma', hadis, istihsan dan terakhir 'urf. Imam

Hanafi lebih banyak/besar mempergunakan qiyas daripada hadis. Kemungkinan ini juga

tak lepas dari jarak kota Kuffah di Irak yang jauh dari kota Madinah, sebagai kota

sumber perawi dan ahli hadis.

Visualisasi penggunaan dalil Imam Hanafi digambarkan sebagai berikut.43

Sistem ijtihad yang dipakai Imam Hanfi tersebut juga tidak terlepas dari peran

gurunya. Guru beliau pada tingkat pertama adalah Hammad bin Sulaiman. Hammad

berguru pada Ibrahim an-Nakha'i. Sedangkan an-Nakha'i adalah murid 'Alaqamah bin

Qais an-Nakha'i. Ketiga-tiganya adalah tokoh ahl ar-ra'yi pada masa tabi'in. 'Alaqamah

merupakan murid Abdullah bin Mas'ud, salah seorang tokoh ahl ar-ra'yi di kalangan

sahabat Nabi.44 Oleh karena itu wajarlah apabila Imam Hanafi memiliki kecenderungan

memperbesar qiyas sebagai bentuk ar-ra'yi (pendapat) daripada hadis.

Di negara-negara modern yang masyarakatnya lebih plural/majemuk dan

hubungan antara Islam dengan non Islam terjalin dengan harmonis, sebagaimana di

Indonesia, ketentuan sebagaimana pendapat Imam Hanafi lebih dapat diterima. Oleh

karena itu, perlu kiranya dilakukan redefinisi mengenai kedudukan non muslim dalam

konsep hukum tata negara Islam dan hukum internasional Islam yang selama ini telah

43 Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian

Ilahi Press, 1998), hlm. 74. 44 Ibid, hlm. 75.

Al-Qur'an

Qiyas

Ijma'

Hadis Istih san

Page 20: Keadilan Qisas Diyat

dihasilkan oleh para fuqaha. Konsep fiqh klasik mengenai dar al-¥arb dan dar al-Islām

pun perlu dikoreksi kembali agar sesuai dengan tata kehidupan modern yang

harmonis.45

Dalam masalah qisas-diyat sendiri, al-Qur'an tidak secara tegas membedakan

antara orang Islam dengan non Islam. Aturan dalam al-Qur'an itu berbicara mengenai

pembunuhan secara umum. Dalil hadis riwayat Bukhari yang digunakan ber-¥ujjah

adanya perbedaan antara muslim dan non muslim sebagaimana disebutkan ash-Shabuni

bersifat mauquf, yakni berhenti pada sahabat Ali bin Abi Thalib.

"Telah menceritakan kepadaku Shadaqah bin al-Fadhl, telah menceritakan kepadaku Ibnu 'Uyainah, telah menceritakan kepadaku Mutharrif, ia berkata, "Saya mendengar asy-Sya'bi berkata, "Saya mendengar Abu Juhaifah berkata,

"Saya bertanya kepada Ali ra«iyallāhu 'anhu, "Apakah dalam dirimu ada sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur'an?". Abu Juhaifah berkata dalam kesempatan lain, "Apa yang tak ada pada manusia?". Ali menjawab, "Demi Dzat yang menciptakan biji, ruh, dan jiwa, tidak ada dalam diriku kecuali apa yang ada dalam al-Qur'an, kecuali Allah memberikan kefahaman kepada hamba-Nya tentang kitab-Nya dan

apa yang ada dalam ¡ahīfah." Saya (Abu Juhaifah) bertanya, "Apa yang ada dalam

¡ahīfah?". Ali menjawab, "Pembayaran denda, pembebasan tawanan, dan seorang muslim tidak akan dibunuh karena (membunuh) orang kafir." Sangat jelas bahwa hadis ini berisi pembicaraan Abu Juhaifah dengan Ali bin Abi

Thalib, bukan sabda Nabi sendiri. Hadis yang menyebutkan bahwa "seorang muslim

tidak akan dibunuh karena (membunuh) orang kafir" sebagai sabda Nabi secara

langsung adalah hadis yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi, Ahmad, dan Ibnu Majah.

Sanad hadis tersebut adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Perawi dan Sanad Hadis Lā yuqtalu muslim bikāfir

Perawi Sanad At-Turmudzi Isa bin Ahmad

Ibnu Wahb Usamah bin Zaid Amr bin Syua'ib

45 Qodry Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional…, hlm. 37.

Page 21: Keadilan Qisas Diyat

Syu'aib bin Muhammad Abdullah bin Amr bin al-Ashi

Ibnu Majah Hisyam bin Amr Hatim bin Ismail Abdurrahman bin Ayyas Amr bin Syu'aib Syu'aib bin Muhammad Abdullah bin Amr bin al-Ashi

Ahmad Husain bin Muhammad dan Hasyim bin Qasim Muhammad bin Rasyid al-Khuza'i Sulaiman bin Musa Amr bin Syua'ib Syu'aib bin Muhammad Abdullah bin Amr bin al-Ashi

Tampak dalam tabel itu seorang sanad hadis bernama Amr bin Syu'aib. Padahal

sebagaimana telah dipaparkan di muka bahwa para ahli hadis seperti Jalaluddin asy-

Suyuthi dan Ibnu Hibban menyangsikan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin

Syu'aib.46

Adanya ketentuan hukum Islam yang intoleran juga muncul dalam ketentuan

mengenai diyat orang non muslim menurut ulama klasik. Menurut Imam Malik diyat

orang non muslim adalah setengah dari diyat muslim. Sedangkan Imam asy-Syafi'i

berpendapat diyat orang Yahudi dan Nasrani adalah 1/3, dan diyat orang Majusi adalah

1/5. Berdasarkan hadis-hadis yang dijadikan dalil argumentasi dalam masalah ini

ternyata terdapat beberapa titik masalah, antara lain munculnya perbedaan jumlah diyat

non muslim dan adanya nama sanad Amr bin Syu'aib. Sedangkan hadis riwayat Baihaqi

baik dari az-Zuhri, Ikrimah, ataupun dari Ibnu Umar justru menetapkan jumlah diyat

yang sama.47 Oleh karena itu, perselisihan ini selayaknya dikembalikan kepada

46 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 328-329. 47 Ibid., hlm. 312-315.

Page 22: Keadilan Qisas Diyat

ketentuan al-Qur'an yang tidak membedakan secara tegas perbedaan diyat muslim

dengan non muslim, sebagaimana pendapat Hanafiyyah.

E Hikmah Ketetapan Qisas-Diyat

Pada dasarnya ayat-ayat qisas-diyat dalam al-Qur'an adalah untuk mengajak

kepada kemurahhatian dan mengurangi kekejaman dan pembalasan yang diberlakukan

pada masa pra-Islam. Syarī’ah Islam kemudian datang untuk mengajarkan persamaan

(equality) dan kemurahhatian (mercy) dengan menetapkan bahwa pembunuhan dibalas

dengan pembunuhan (qisas) dan penganiayaan dibalas dengan penganiayaan. Namun

jika pembunuh dimaafkan, dengan membayar diyāt yang reasonable, maka hal itu

adalah lebih baik.48 Selain itu, qisas sebagai hukuman yang tertinggi, disyaratkan

dengan ketat dan harus dipastikan bahwa si pembunuh melakukannya dengan sengaja

dan memenuhi unsur kesalahan. Jika terdapat keraguan (doubt/asy-syubhat) dalam

pelaku atau dalam pembuktiannya, maka qisas tidak dapat dilakukan.49

48 Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam…, hlm. 88. 49 Ibid.

Page 23: Keadilan Qisas Diyat

Sebagaimana dijelaskan oleh al-Jurjawi bahwa hikmah adanya hukuman qisas-

diyat adalah keberlangsungan hidup manusia di dunia, tindakan preventif agar manusia

tidak saling membunuh yang akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat, serta

menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.50 Sementaara itu, hikmah diyat

adalah demi kepentingan kedua belah pihak. Dari pihak pembunuh, dengan membayar

denda secara damai kepada pihak keluarga korban, dia akan merasa aman dan akan ada

kesempatan untuk bertaubat kembali ke jalan yang benar karena merasakan berharganya

kehidupan. Sementara bagi keluarga korban, diyat yang diterima secara damai akan

dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan hidupnya dan meringankan sedikit

kesedihannya.

Allah mensyari'atkan qisas untuk menjaga darah dan jiwa manusia serta

menghilangkan dendam dan fitnah di antara umat manusia.51 Dengan diberlakukannya

qisas, maka jiwa seseorang terlindungi karena orang yang akan membunuhnya --dengan

mengetahui adanya ancaman pidana mati-- akan mengurungkan niatnya. Di samping itu,

calon pelakunya juga akan terlindungi jiwanya karena mengurungkan niatnya untuk

membunuh. Oleh sebab itu dalam ayat "walakum fi al-qisās hayātun…" terkandung

makna kehidupan yang sangat luas, yaitu bagi orang yang akan dibunuh, pembunuh,

keturunan-keturunannya serta masyarakat secara luas. Ayat "walakum fi al- qisās

hayātun…" juga terkandung makna tujuan pemidanaan, yakni demi terciptanya

kemaslahatan. Qisas bukan bertujuan untuk melakukan penyiksaan terhadap pelaku.

Dengan demikian Allah tidak berfiman "walakum fi al-qi¡ā¡ intiqāmun…" (Dan dalam

qisas terdapat (makna) penyiksaan bagimu).52

50 Al-Jurjawi, Hikmah at-Tasyri' wa Falsafatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), hlm. 346. 51 ‘Ali ash-Shabuni, Rawāi' al-Bayān…, I: 175. 52 Ibid., hlm. 176.

Page 24: Keadilan Qisas Diyat

Bersamaan dengan ditetapkannya pidana qisas bagi pelaku pembunuhan, Allah

mensyari'atkan juga pemaafan kepada pelaku. Hal ini berarti qisas bukanlah pidana

yang bersifat mutlak, namun sebaliknya bersifat relatif dengan bergantung pada

pemaafan dari pihak keluarga korban. Dengan demikian syari'at Islam sangat

memperhatikan eksistensi pihak keluarga korban sebagai pemutus ada tidaknya qisas.

Selanjutnya, jika qisas dimaafkan maka pelaku diwajibkan untuk membayar diyat

sebagai bentuk ganti rugi atas kematian korban. Pembayaran diyat sebagai ganti rugi ini

memiliki makna yang sangat baik, karena kebutuhan ekonomi keluarga korban tidak

lepas dari perhatian oleh syari'at Islam. Pentingnya diyat ini sangat dirasakan apabila

korban adalah orang yang bertanggung jawab atas nafkah keluarganya. Walaupun

dalam kajian fiqh seperti yang telah diungkapkan di awal bahwa jumlah diyat menjadi

titik perbedaan di antara fuqaha, namun dapat diambil kesimpulan bahwa kesemuanya

menetapkan diyat dalam jumlah yang sangat besar. Hal ini tentu untuk menjamin

kelangsungan hidup kelaurga korban pada masa-masa selanjutnya.

Ketentuan bagi pembunuhan yang dilakukan tanpa adanya kesengajaan,

sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam surat an-Nisa ayat 92, menyuguhkan

beberapa hikmah. Pertama, walaupun tidak ada pidana qisas, diyat tetap harus

dibayarkan kepada keluarga korban karena bagaimanapun juga akibat pembunuhan itu

berimplikasi pada kehidupan ekonomi keluarga korban. Apalagi jika korban adalah

orang yang berkewajiban menyokong ekonomi keluarga, seperti ayah atau suami. Untuk

itu, jaminan kelangsungan ekonomi harus tetap ada bagi keluarga korban.

Kedua, di samping pembayaran diyat, Allah juga mensyari'atkan pidana kaffarat

atau penebusan dosa atas pembunuhan itu. Bentuk kaffarah adalah pembebasan budak

perempuan. Dengan kaffarah ini secara tak langsung Allah tidak menyetujui adanya

Page 25: Keadilan Qisas Diyat

perbudakan di kalangan muslim dan hendak menghapuskannya. Cara penghapusan

perbudakan oleh Allah ini tidak dilakukan dengan serta merta, namun secara tadrij

(bertahap) karena perbudakan sudah sangat membudaya sejak jaman Jahiliyyah sampai

Islam datang. Di samping itu, bentuk kaffarah ini sangat strategis dan memenuhi aspek-

aspek keadilan dalam upaya penghapusan perbudakan di kalangan muslim, yaitu

memerdekakan budak perempuan yang mukmin. Kaum perempuan, termasuk budak,

dipandang lemah dalam hal fisik dan sering kali mengalami eksploitasi fisik dan seks

dari majikannya.

Ketiga, adanya pidana yang berbeda bagi muslim diukur ada tidaknya permusuhan

di antara pembunuh dengan korbannya. Jika tidak ada permusuhan antara kaum

pembunuh dengan korbannya, walaupun antara orang Islam dengan orang non-Islam

(yang telah ada perjanjian damai) maka pidana lebih berat, yaitu dengan membayar

diyat kepada keluarga korban dan membebaskan seorang budak perempuan mukmin.

Sedangkan jika terjadi pembunuhan tak sengaja antara kaum mukmin yang bermusuhan,

maka pidananya lebih ringan yaitu hanya membayar kaffarah dalam bentuk

membebaskan seorang budak perempuan mukmin. Ketentuan seperti ini menunjukkan

bahwa derajat hubungan antara orang muslim dengan non muslim --jika ada perjanjian

damai, termasuk di dalamnya kafir dzimmi-- adalah lebih mulia di sisi Allah, sehingga

Allah menentukan pidana yang lebih berat (diyat dan kaffarah). Sebaliknya, jika

hubungan antara muslim satu dengan muslim yang lain tidak harmonis, sehingga

muncul permusuhan, maka oleh Allah diletakkan dalam derajat yang rendah. Oleh

karena itu jika terjadi pembunuhan tak sengaja antara muslim dengan muslim lain,

namun karena di antara keduanya ada permusuhan maka Allah memberikan pidana

yang lebih ringan yaitu hanya berupa kaffarah (pembebasan budak) tanpa adanya diyat

Page 26: Keadilan Qisas Diyat

bagi keluarga korban. Secara tak langsung, Allah memberikan hikmah agar setiap

pemeluk agama terhadap pemeluk agama lain hidup dalam keharmonisan.

Keempat, salah satu bentuk keringanan Allah terhadap hamba-Nya dalam masalah

pembunuhan tak sengaja ini adalah ditetapkannya pidana puasa bagi pelaku yang tidak

mampu membayar diyat atau membayar pembebasan budak. Bentuk alternatif

pemidanaan ini menunjukkan fleksibelitas syari'at Islam. Jika seorang terpidana tak

mampu untuk membayar diyat atau membayar pembebasan budak, maka alternatif

terakhir adalah diwajibkan berpuasa sebagai bentuk penggemblengan pribadi. Oleh

karena bertujuan penggemblengan pribadi ini, maka wajar jika periode puasa yang

ditetapkan melebihi puasa Ramadlan dengan pelaksanaan yang berturut-turut.

F Penutup

Keadilan Allah sangat tampak dalam syari'at Islam tentang qisas-diyat. Sistem

pemidanaan akibat pembunuhan, baik yang sengaja maupun yang tidak sengaja,

sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur'an menunjukkan kekayaan hikmah

yang terkandung di dalamnya. Selain itu, ijtihad para fuqaha untuk mengaplikasikan

aturan-aturan qisas-diyat dengan bersumber pada al-Qur'an dan hadis menunjukkan

keanekaragaman dalam hukum Islam. Semuanya bertujuan agar hukum Islam yang

bersumber dari al-Qur'an dan hadis itu tetap bisa save di muka bumi. Oleh karena itu,

perlu kiranya usaha yang tak henti dari para ahli hukum Islam untuk menggali hikmah

atau nilai-nilai filosofi syari'at Islam dalam al-Qur'an dan hadis, tak terkecuali syari'at

Islam tentang qisas dan diyat, agar keadilan Allah dapat terwujudkan di muka bumi.

Insya Allah.

Page 27: Keadilan Qisas Diyat

Daftar Pustaka

Azizy, Qodry, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi antara Hukum Islam dan

Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002. Bisri, Adib, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999. Bukhari, al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-,

Sahih al-Bukhāri, Beirut: Dar al-Fikr, tth. Dawud, al-Hāfidz Abu, Sunan Abi Dāwud, Beirut: Dar al-Fikr, 1994. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:

Balai Pustaka, 1997. Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, Jakarta: Bulan

Bintang, tth.

Hasaballah, Ali, Usul al-Tasyri’ al-Islāmi, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971. Ibn Katsir,al-Imam al-Jalil al-Hafiz ‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il, Tafsīr al-Qur’ān

al’Adzim, ttp.: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tth. Jaziri, Abdurrahman al-, al-Fiqh ‘alā al-Mazhab al-‘Arba’ah, Beirut: Dar al Fikr, tth.

Jurjawi, al-, Hikmah at-Tasyri' wa Falsafatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, tth. Ma’luf, Luis, Al-Munjid fī al-Lugah wa al-I'lām, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986.

Mas'udi, Hafidz Hasan al-, Minhah al-Mugits fī 'Ilm Mustalah al-Hadits, Penerjemah Aziz Masyhuri, Solo: Ramadhani, 1997.

Mausū'ah al-Hadits asy-Syarīf, edisi kedua, Global Islamic Software Company, 1991-1997, CD ROM.

Mudzhar, Atho, Membaca Gelombang Ijtihad, antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.

Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Penerjemah Yudian Wahyudi Asmin, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.

Sabiq, As-Sayyid as-, Fiqh as-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1977.

Shabuni, ‘Ali ash-, Rawāi' al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur'ān, Damaskus: Maktabah al-Ghazali, tth.

Subhan, Zaitunah, Tafisr Kebencian: Studi Bias Gender dalam Qur'an, Yogyakarta: LkiS, 1999.

Suyuthi, al-Imam Jalaluddin Abdurrahman as-, Tanwīr al-Hawālik Syarh 'alā Muwata' Mālik, Beirut: Dar al-Fikr, tth.

Zuhaily, Wahbah az-, At-Tafsīr al-Munīr fī al-'Aqīdah wa asy-Syarī'ah wa al-Minhāj, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir, 1991.