113
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 1 KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM KONSEP KUHP 2010 I Nyoman Ngurah Suwarnatha Dosen Kopertis Wilayah VIII dpk pada Universitas Pendidikan Nasional Denpasar <[email protected]> Abstract: The Law No. 3 Year 1997 on Juvenile Court, here in after referred to Juvenile Court Act is alegal policy established by the legislature in order to realize the justice that provides legal protection and best interests of the child. In terms of crime and punishment against children there is a difference in treatment and differences in threat with adults. In 2010 the concept of the Criminal Code criminal type is set wider than the Juvenile Court Act. With the formulation of the concept of the New Penal Code as a national recodification effort in preparing the formulation of the clauses relating to sentencing for the child should be referred to the Juvenile Court Act that will not overlap or contradict each other. Key words: Child; Criminal and Criminalization. Pendahuluan Negara Indonesia merupakan salah satu diantara negara-negara berkembang di dunia. Sebagai negara berkembang, Indonesia melaksanakan pembangunan di segala bidang. Hakikat pembangunan adalah suatu proses perubahan terus-menerus untuk menuju pada suatu peningkatan kehidupan masyarakat. Pembangunan akan menimbulkan perubahan-perubahan baik secara langsung maupun tidak langsung yang berpengaruh terhadap keseimbangan masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib, dan dinamis dalam pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai. 1 Hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan Indonesia tidak hanya mengejar kemajuan sandang, pangan maupun papan atau kepuasan memiliki rasa aman, bebas menyatakan pendapat, memperoleh keadilan, melainkan juga bertujuan untuk keselarasan, keserasian. Antara kedua hal terebut termasuk didalamnya pembangunan dan pembaharuan hukum nasional dan peningkatan kualitas penegakan hukum bagi seluruh masyarakat. 1 St. Harum Pudjiarto RS., 1996, Memahami Politik Hukum di Indonesia (UU No. 3 Tahun 1971), Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 1.

KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 1

KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK

DALAM KONSEP KUHP 2010

I Nyoman Ngurah Suwarnatha

Dosen Kopertis Wilayah VIII dpk pada Universitas Pendidikan Nasional Denpasar

<[email protected]>

Abstract: The Law No. 3 Year 1997 on Juvenile Court, here in after referred to Juvenile Court Act is alegal policy established by the legislature in order to realize the justice that provides legal protection and best interests of the child. In terms of crime and punishment against children there is a difference in treatment and differences in threat with adults. In 2010 the concept of the Criminal Code criminal type is set wider than the Juvenile Court Act. With the formulation of the concept of the New Penal Code as a national recodification effort in preparing the formulation of the clauses relating to sentencing for the child should be referred to the Juvenile Court Act that will not overlap or contradict each other.

Key words: Child; Criminal and Criminalization.

Pendahuluan

Negara Indonesia merupakan salah satu diantara negara-negara berkembang di

dunia. Sebagai negara berkembang, Indonesia melaksanakan pembangunan di segala

bidang. Hakikat pembangunan adalah suatu proses perubahan terus-menerus untuk

menuju pada suatu peningkatan kehidupan masyarakat. Pembangunan akan menimbulkan

perubahan-perubahan baik secara langsung maupun tidak langsung yang berpengaruh

terhadap keseimbangan masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Pembangunan

nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata

materiil dan spirituil yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam

wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan

berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib,

dan dinamis dalam pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.1

Hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan Indonesia tidak hanya mengejar

kemajuan sandang, pangan maupun papan atau kepuasan memiliki rasa aman, bebas

menyatakan pendapat, memperoleh keadilan, melainkan juga bertujuan untuk keselarasan,

keserasian. Antara kedua hal terebut termasuk didalamnya pembangunan dan

pembaharuan hukum nasional dan peningkatan kualitas penegakan hukum bagi seluruh

masyarakat.

1 St. Harum Pudjiarto RS., 1996, Memahami Politik Hukum di Indonesia (UU No. 3 Tahun 1971),

Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 1.

Page 2: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 2

Pembaharuan hukum pidana merupakan permasalahan serius yang dihadapi oleh

bangsa Indonesia terutama dalam mengupayakan terbentuknya hukum pidana nasional

yang sesuai dengan tatanan nilai masyarakat Indonesia dan perkembangan zaman.

Pembaharuan di bidang hukum tidak hanya berarti pembaharuan peraturan

perundang-undangan tetapi juga mencakup pembaharuan sistem hukum secara

keseluruhan, yaitu pembaharuan materi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.

Masalah pembaharuan hukum dan keadilan berkaitan dengan sistem politik, sistem sosial

dan sistem ekonomi.

Hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum yang berdasarkan pada Pancasila,

Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya. Produk hukum nasional masih banyak

memiliki kelemahan-kelemahan karena masih adanya pengaruh-pengaruh politik hukum

kolonial.2

Produk hukum yang dirasakan tidak adil secara yuridis empiris merupakan produk

hukum yang sia-sia, sebab hakekat hukum adalah hukum yang bekerja dalam masyarakat

dan untuk keadilan masyarakat luas. Secara yuridis hukum itu harus sah, karena

keberlakuannya harus didukung oleh masyarakat dan sesuai dengan nilai-nilai dan cita-cita

hidup masyarakat serta memiliki relevansi dengan tradisi hukum masyarakat itu sendiri.

Hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini adalah hukum warisan kolonial

Balanda yang berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia. Dalam konteks

inilah pembaharuan hukum pidana menjadi sangat urgen, yaitu sebagai upaya

menyerasikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kedalam hukum pidana Indonesia.

Urgensi pembaharuan hukum pidana Indonesia juga dikemukakan oleh Sudarto

yang mengemukakan adanya tiga alasan penting dalam rangka penyusunan hukum

nasional yaitu alasan politis, alasan sosiologis dan alasan praktis. Apabila diperinci lebih

lanjut tiga alasan yang dikemukakan oleh Sudarto di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Alasan Politis

Adalah wajar bahwa Indonesia sebagai negara merdeka mempunyai hukum (pidana) yang bersifat nasional, yang didasarkan pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

2. Alasan Sosiologis

Urgensi pembentukan hukum (pembaharuan hukum) (pidana) nasional didasarkan pada keharusan, bahwa hukum nasional itu harus didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri. Hukum nasional haruslah mencerminkan kultur masyarakat Indonesia.

3. Alasan Praktis

2 H. Zainuddin Ali, 2007, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 51.

Page 3: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 3

Alasan ini mengisyaratkan, bahwa hukum nasional itu harus dapat dipahami oleh masyarakatnya sendiri. Alasan ini didasarkan pada kenyataan, bahwa hukum pidana yang sekarang berlaku di Indonesia secara resmi menggunakan bahasa Belanda, sementara dalam perkembangannya sangat sedikit masyarakat (termasuk para penegak hukum) yang mempunyai kemampuan berbahasa Belanda.3

Perlu kiranya digaris bawahi, bahwa sekalipun suatu aturan hukum sudah

memenuhi tuntutan keberlakuan secara yuridis, aturan hukum itu tidak akan dapat berlaku

secara efektif dalam masyarakat apabila tidak memenuhi tuntutan keberlakuan secara

sosiologis dan secara filosofis. Hal ini disebabkan, hukum yang baik sehingga dapat efektif

diterapkan dalam masyarakat selalu menuntut persyaratan keberlakuan secara yuridis,

sosiologis, filosofis dan bahkan secara historis.4

Pembaharuan hukum pidana sebenarnya bukan masalah baru, tetapi dalam situasi

sekarang ini penekanan terhadap kedua masalah tersebut dirasakan sebagai suatu

tuntutan dan harapan masyarakat luas terhadap suatu pembaharuan hukum yang

didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia serta mencerminkan

kultur masyarakat Indonesia. Pembaharuan hukum pidana bukan masalah yang sederhana

karena menyangkut masalah yang sangat luas dan kompleks karena meliputi

pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan, yaitu pembaharuan materi hukum,

struktur hukum, budaya hukum termasuk keseluruhan sistem politik, sosial dan ekonomi

serta pembaharuan etika hukum dan pendidikan ilmu hukum.

Usaha dan kebijakan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana yang lebih

baik pada hakekatnya merupakan tujuan dari upaya penanggulangan kejahatan. Upaya

penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian

dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana. Oleh sebab itu dapat

juga dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari

kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Disamping itu upaya

penanggulangan kejahatan lewat pembentukan undang-undang merupakan bagian integral

dari usaha perlindungan masyarakat (social defence) dan usaha untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat (social welfare). Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana

merupakan bagian dari kebijakan atau politik sosial (social policy).

Makna dan hakekat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar

belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Sehingga atar

3 Tongat, 2001, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Djambatan, Jakarta,

hal. 25-26. 4 Jimly Asshiddiqie, 1996, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang Bentuk-bentuk Pidana

Dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, Angkasa,

Bandung, hal. 160.

Page 4: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 4

belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek

sosio-politik, sosio-filosofik, sosio-kultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya

kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum). Ini berarti, makna

dan hakekat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan berbagai aspek tersebut.

Artinya, pembaharuan hukum pidana juga pada hakekatnya harus merupakan perwujudan

dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek kebijakan yang melatar

belakanginya.5

Pada perkembangan dewasa ini semakin banyak terjadi tindak pidana yang

dilakukan oleh anak-anak secara perorangan maupun secara bersama-sama dilakukan

dengan orang dewasa. Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena banyak anak-anak yang

harus berhadapan dengan proses peradilan. Keberadaan anak-anak dalam tempat

penahanan dan pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa mengakibatkan

anak-anak berada dalam situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. Anak-

anak dalam kondisi demikian disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum (children

in conflict with the law). Anak yang berkonflik dengan hukum dapat didefinisikan sebagai

anak yang disangka, dituduh atau diakui sebagai pelaku tindak pidana yang melanggar

undang-undang hukum pidana.

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia,

merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Selain itu anak sebagai

bagian dari keluarga merupakan buah hati, penerus dan harapan keluarga. Hukum pidana

anak dan pengadilan anak diperlukan sebagai salah satu sarana perlindungan anak yang

terganggu keseimbangan mental dan sosialnya.

Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan bagian integral dari

pembangunan nasional dan juga menjadi sarana tercapainya tujuan pembangunan

nasional, yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang

Dasar 1945 dengan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam ketertiban

pergaulan internasional yang damai, adil dan merdeka.

Kebijakan hukum pidana dan pemidanaan anak diperlukan sebagai upaya

pencegahan dan penanggulangan terhadap terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh

anak.

Pengertian Anak Dalam Hukum Pidana

Ditinjau dari aspek yuridis pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim

diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig / person under age), orang yang

5 Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,

hal. 27.

Page 5: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 5

dibawah umur sering disebut juga anak dibawah pengawasan wali (minderjarig

ondervoordij). Bertitik tolak pada aspek tersebut ternyata dalam Kitab Undang Undang

Hukum Pidana Indonesia tidak ada ketentuan batas usia anak.

Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam ilmu

pengetahuan (the body of knowledge), tetapi dapat ditelaah dari sisi pandang sentralistis

kehidupan. Seperti agama, hukum dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak

semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial.6

Menurut Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU

Pengadilan Anak) dalam Pasal 1 angka 1, yang dimaksud dengan anak adalah

“Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.

Pengertian anak dalam lapangan hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak

yang bermakna penafsiran hukum secara negatif. Dalam arti seorang anak yang berstatus

sebagai subyek hukum yang seharusnya bertanggung jawab terhadap tindak pidana

(strafbaar feit) yang dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata karena kedudukannya sebagai

seorang anak yang berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai seseorang yang

mempunyai hak-hak khusus dan perlu mendapat perlindungan khusus menurut ketentuan

hukum yang berlaku. 7

Pengertian anak dalam hukum pidana lebih mengutamakan pada pemahaman

terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi karena anak berdasarkan kodratnya

mempunyai akal dan fisik yang masih lemah dan di dalam sistem hukum dipandang

sebagai subyek hukum yang dicangkokkan dari bentuk pertanggung jawaban,

sebagaimana layaknya seorang subyek hukum yang normal.

Asas-asas Pengadilan Anak

Asas-asas pengadilan anak meliputi: adanya pembatasan umur anak; pengadilan

anak merupakan kompetensi absolut dari peradilan umum; pengadilan anak memeriksa

anak dalam suasana kekeluargaan; pengadilan anak mengharuskan adanya splitsing

perkara; bersidang dengan hakim tunggal dan hakim anak ditetapkan oleh ketua

Mahkamah Agung RI; penjatuhan pidana yang lebih ringan dari pada orang dewasa;

diperlukan kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuh serta diakuinya pembimbing

kemasyarakatan; adanya kehadiran penasehat hukum; dan penahanan anak lebih singkat

dari pada orang dewasa.

6 Maulana Hassan Wadong, 2000, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo,

Jakarta, hal. 1. 7 Ibid, hal 20.

Page 6: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 6

Dalam ketentuan UU Pengadilan Anak dikenal adanya pembatasan umur untuk

dapat diadili pada sidang anak. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 4 dan Pasal 5

ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak bahwa anak yang telah mencapai

umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum

pernah kawin dapat dihadapkan pada sidang anak. Konkretnya, batas umur minimal

adalah 8 (delapan) tahun dan batas umur maksimal adalah 18 (delapan belas) tahun. Latar

belakang pembentuk undang-undang menentukan batas umur minimum dan maksimum

karena pada umur tersebut secara psikologis anak dapat dianggap sudah mempunyai rasa

tanggung jawab.

Hukum acara pengadilan anak mengacu pada UU No. 8 Tahun 1981 Tentang

KUHAP (Kitab Hukum Acara Pidana) dan oleh karena status pelakunya maka pengadilan

anak adalah kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum. Menurut

Pasal 3 dan Pasal 40 UU Pengadilan Anak, sidang pengadilan anak bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak nakal dan hukum acara

yang berlaku diterapkan pula dalam acara pengadilan anak.

Dalam sidang anak diperlukan pemeriksaan dengan suasana kekeluargaan.

Dengan suasana demikian diharapkan anak dapat mengutarakan perasaannya,

peristiwanya, latar belakang kejadian secara jujur, terbuka tanpa tekanan dan rasa takut.

Menurut Pasal 42 ayat (1) UU Pengadilan Anak penyidik wajib memeriksa tersangka dalam

suasana kekeluargaan dan selanjutnya menurut Pasal 6 UU Pengadilan Anak mengatur

bahwa hakim, penuntut umum, penyidik dan penasehat hukum serta petugas lainnya

dalam sidang anak tidak memakai toga atau pakaian dinas.

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Pengadilan Anak

mengharuskan adanya splitsing perkara, apabila seorang anak melakukan tindak pidana

bersama-sama dengan orang dewasa atau dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia maka anak tersebut harus disidang pada sidang anak dan sidang dewasa

diajukan ke sidang orang dewasa atau mahkamah militer.

Pidana penjara terhadap anak nakal sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 2 huruf

a UU Pengadilan Anak paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum orang dewasa dan

apabila tindak pidana tersebut diancam dengan pidana mati atau seumur hidup maka

pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak itu paling lama 10 (sepuluh) tahun

serta bila anak tersebut belum berumur 12 (dua belas) anak hanya dapat dijatuhi tindakan

berupa menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan

kerja sesuai ketentuan Pasal 24 ayat (1) huruf b UU Pengadilan Anak dan bila anak belum

berumur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati

Page 7: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 7

atau seumur hidup maka anak dijatuhkan salah satu tindakan dari ketentuan Pasal 24 UU

Pengadilan Anak, hal tersebut diatur dalam Pasal 26 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU

Pengadilan Anak.

Menurut Pasal 1 angka 11, Pasal 56 ayat (1), (2) huruf a dan b UU Pengadilan

Anak diperlukan kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuh serta diakuinya

pembimbing kemasyarakatan dalam pengadilan anak.

Dilihat dari redaksional Pasal 51 UU Pengadilan Anak kehadiran penasehat hukum

tidak bersifat imperatif karena tidak ada kata wajib atau harus melainkan berhak

mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum sehingga dalam

prakteknya ditafsirkan sebagai fakultatif. Akan tetapi, dilain pihak apabila kita bertitik tolak

penasehat hukum wajib hadir dalam sidang anak sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat

(1) dan (2), Pasal 58 ayat (1)dan (2) UU Pengadilan Anak yang menentukan pula

kewajiban kehadiran penasehat hukum maka sebenarnya UU Pengadilan Anak

menginginkan eksistensi penasehat hukum secara imperatif.

Ketentuan mengenai penahanan untuk orang dewasa sesuai dengan ketentuan

KUHAP maka penahanan dalam pengadilan anak sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1997

Tentang Pengadilan Anak lebih singkat. Pada pengadilan anak untuk penahanan diatur

melalui ketentuan Pasal 44 sampai dengan Pasal 50 UU Pengadilan Anak.

Jenis Pidana dan Tindakan Bagi Anak Nakal

Berlakunya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak antara lain telah

menetapkan apa yang dimaksud anak. Undang-undang itu berlaku lex specialis terhadap

KUHP (WvS), khususnya berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak.8

Menurut UU Pengadilan Anak terhadap anak nakal dapat dijatuhkan pidana yaitu

pidana pokok dan pidana tambahan atau tindakan. Dalam Pasal 23 ayat (2) UU Pengadilan

Anak beberapa pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal, yaitu pidana

penjara, pidana kurungan, pidana denda atau pidana pengawasan.

Berbeda dengan orang dewasa, pidana penjara bagi anak nakal lamanya ½ (satu

per dua) dari ancaman orang dewasa atau paling lama 10 (sepuluh) tahun. Kecuali itu,

pidana mati dan penjara seumur hidup tidak dapat dijatuhkan terhadap anak. Mengenai

pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana

menurut Pasal 27 UU Pengadilan Anak paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum

ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Seperti pidana penjara dan kurungan maka

8 Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 26.

Page 8: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 8

penjatuhan pidana denda terhadap anak nakal paling banyak juga ½ (satu per dua) dari

maksimum ancamam pidana denda bagi orang dewasa. UU Pengadilan Anak mengatur

pula ketentuan yang relatif baru yaitu apabila pidana denda tersebut ternyata tidak dapat

dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja. Undang-undang menetapkan demikian

sebagai upaya untuk mendidik anak yang bersangkutan agar memiliki ketrampilan yang

bermanfaat bagi dirinya. Mengenai pidana pengawasan dijatuhkan kepada anak yang

melakukan tindak pidana berdasar ketentuan Pasal 30 UU Pengadilan Anak adalah

sebagai berikut: lamanya pidana pengawasan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama

2 (dua) tahun; pengawasan terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah

anak tersebut dilakukan oleh Jaksa; dan pemberian bimbingan dilakukan oleh Pembimbing

Kemasyarakatan.

Dalam Pasal 23 ayat (3) terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana

tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.

Sedangkan beberapa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal dalam Pasal 24

ayat (1) UU Pengadilan Anak adalah mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang

tua asuh; menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan

latihan kerja atau menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial

Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.

Apabila dibandingkan dengan konsep KUHP 2010, maka pengenaan tindakan yang dapat

dikenakan terhadap anak tanpa menjatuhkan pidana pokok berupa pengembalian kepada

orang tua, wali, atau pengasuhnya; penyerahan kepada Pemerintah; penyerahan kepada

seseorang; keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan

swasta; pencabutan surat izin mengemudi; perampasan keuntungan yang diperoleh dari

tindak pidana; perbaikan akibat tindak pidana; rehabilitasi; dan/atau perawatan di

lembaga.9

Aspek Pemidanaan Anak Menurut Konsep KUHP 2010

Batasan usia anak yang dapat dipidana dalam konsep KUHP 200 adalah anak

yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana tidak dapat

dipertanggung jawabkan, sedangkan pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi

anak yang berumur 12 (dua belas) tahun dan maksimum 18 (delapan belas) tahun.

Penentuan batas umur 12 (dua belas) tahun didasarkan pada pertimbangan psikologis

yaitu kematangan emosional, intelektual, dan mental anak. Seorang anak di bawah umur

12 (dua belas) tahun tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Batas umur

maksimum 18 (delapan belas) tahun untuk dapat diajukan ke pengadilan anak, adalah

9 Lihat Ketentuan Pasal 129 ayat (2) RUU KUHP 2010.

Page 9: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 9

sesuai dengan umur kedewasaan anak, agar bagi mereka dapat diterapkan ketentuan

mengenai anak. Batasan usia anak dalam konsep KUHP 2010 berbeda dengan yang diatur

dalam Pasal 1 angka 1 UU Pengadilan Anak, yaitu bahwa anak yang berumur 8 (delapan)

tahun melakukan tindak pidana dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Mahkamah

Konstitusi dalam putusannya menyatakan batas usia anak yang bisa dimintai

pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Mahkamah Konstitusi berpendapat, batas

umur minimal 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan

mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi sejalan dengan yang dicantumkan dalam konsep KUHP

2010 mengenai batas usia anak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban jika

melakukan tindak pidana.

Jenis sanksi yang digunakan dalam konsep KUHP 2010 terdiri dari jenis pidana dan

tindakan. Apabila diperinci, pidana bersifat pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana

pokok bagi anak terdiri dari:10

a. Pidana verbal : 1. pidana peringatan; atau 2. pidana teguran keras;

b. Pidana dengan syarat: 1. pidana pembinaan di luar lembaga; 2. pidana kerja sosial; atau 3. pidana pengawasan;

c. Pidana denda; atau d. Pidana pembatasan kebebasan:

1. pidana pembinaan di dalam lembaga; 2. pidana penjara; atau 3. pidana tutupan.

Sedangkan pidana tambahan terdiri atas:11

a. perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan; b. pembayaran ganti kerugian; atau c. pemenuhan kewajiban adat.

Sanksi tindakan untuk anak dalam hal anak memenuhi ketentuan Pasal 40 konsep

KHUP 2010 yang menyatakan setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana

menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa atau retardasi mental, tidak dapat

dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenakan tindakan; dan

memenuhi ketentuan Pasal 41 konsep KUHP 2010 yang menyatakan setiap orang yang

pada waktu melakukan tindak pidana kurang dapat dipertanggungjawabkan karena

10 Lihat Ketentuan Pasal 116 (1) RUU KUHP 2010. 11 Lihat Ketentuan Pasal 116 (2) RUU KUHP 2010.

Page 10: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 10

menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental, pidananya dapat dikurangi

atau dikenakan tindakan. Tindakan terhadap anak berupa :12

a. perawatan di rumah sakit jiwa, b. penyerahan kepada pemerintah, atau c. penyerahan kepada seseorang.

Tindakan dapat dikenakan terhadap anak tanpa menjatuhkan pidana pokok yang berupa

:13

a. pengembalian kepada orang tua, wali, atau pengasuhnya, b. penyerahan kepada Pemerintah, c. penyerahan kepada seseorang, d. keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan

swasta, e. pencabutan surat izin mengemudi, f. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, g. perbaikan akibat tindak pidana, h. rehabilitasi, dan/atau i. perawatan di lembaga.

Dalam konsep KUHP 2010 jenis pidana diatur secara lebih luas dari pada UU

Pengadilan Anak. Konsep KUHP 2010 mengatur jenis pidana verbal, yaitu jenis pidana

ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan bagi anak. Pidana verbal terdiri

atas pidana peringatan dan pidana teguran keras. Konsep KUHP 2010 juga mengatur

pidana pembinaan di luar lembaga, yaitu memberikan pembinaan kepada anak, baik dalam

rangka penyembuhan karena tidak atau kurang mampu bertanggung jawab pidana

disebabkan sakit jiwa atau retardasi mental ataupun berupa pembinaan lainnya bagi anak

yang sehat jiwanya untuk memperoleh keterampilan yang berguna bagi kehidupannya.

Pidana pembinaan di luar lembaga terdiri dari: mengikuti program bimbingan dan

penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina; mengikuti terapi di Rumah Sakit Jiwa;

atau mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat

adiktif lainnya.

Konsep KUHP 2010 mengatur juga mengenai pidana kerja sosial, ketetuan

mengenai kerja sosial dalam konsep diatur sebagai berikut antara lain usia layak kerja

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; pidana kerja sosial untuk anak

dijatuhkan paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam. Dari

ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa pidana kerja sosial merupakan jenis alternatif

pidana penjara pendek dan denda yang ringan; pidana kerja sosial ini tidak dibayar karena

sifatnya sebagai pidana (work as a penalty) serta mengingat sifatnya sebagai kerja sosial

12 Lihat Ketentuan Pasal 129 (1) RUU KUHP 2010. 13 Lihat Ketentuan Pasal 129 (2) RUU KUHP 2010.

Page 11: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 11

misalnya di rumah sakit, lembaga-lembaga sosial, panti-panti asuhan maka pelaksanaan

pidana kerja sosial ini tidak boleh mengandung hal-hal yang bersifat komersial.14

Mengenai pidana pembinaan di dalam lembaga konsep KUHP 2010 memuat

ketentuan pelaksanaannya, yaitu pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di tempat

latihan kerja atau lembaga pembinaan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun

swasta; namun jika keadaan perbuatan anak membahayakan masyarakat, maka anak

yang bersangkutan ditempatkan dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak; lama pembinaan

dalam lembaga sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun; terhadap pidana ini dapat

pula dikenakan pembebasan bersyarat, yaitu paling lama setelah menjalani ½ (satu per

dua) dari lamanya pembinaan yang ditentukan oleh hakim, dengan syarat berkelakuan

baik. Dalam konsep KUHP 2010 pidana tutupan dapat dijatuhkan kepada anak yang

mendekati umur 17 (tujuh belas) tahun dan belum mencapai umur 18 (delapan belas)

tahun telah ikut dalam kegiatan politik atau tindakan yang berdasarkan keyakinan yang

patut dihormati.

Dalam menyelesaikan perkara anak nakal putusan hakim akan mempengaruhi

kehidupan selanjutnya dari anak yang bersangkutan. Oleh sebab itu hakim harus yakin

benar, bahwa putusan yang diambil akan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk

mengembalikan dan mengantar anak menuju masa depan yang baik untuk

mengembangkan dirinya sebagai warga yang bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga,

bangsa dan negara.15

Sebagai upaya pembinaan dan pemberian bimbingan bagi anak nakal yang telah

diputus oleh hakim, maka anak tersebut ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak.

Di Indonesia, dasar hukum untuk mendirikan lembaga khusus bagi terpidana muda usia

telah ada sejak berlakunya Wetboek van Strafrecht voor Nenderlandsch-Indie pada tanggal

1 Januari 1918.16

UU Pengadilan Anak juga telah mengatur mengenai Lembaga Pemasyarakatan

Anak bahwa anak didik pemasyarakatan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak

yang harus terpisah dari orang dewasa. Selain itu diatur pula mengenai anak yang

ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak berhak memperoleh pendidikan dan

latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Pidana penjara dijatuhkan kepada anak sebagai upaya terakhir. Dalam hal anak

dijatuhkan pidana penjara maka anak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak

14 Barda Nawawi Arief, op. cit. hal. 110-111. 15 Lilik Mulyadi, 2005, Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktik dan Permasalahannya, Mandar

Maju, Bandung, hal. 220. 16 Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, hal. 86.

Page 12: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 12

yang harus terpisah dari orang dewasa untuk mencegah timbulnya pengaruh buruk karena

tercampurnya dengan narapiadana dewasa. Dalam lingkungan penjara yang tercampur

menjadi satu tidak ada kemungkinan untuk mengadakan perbaikan kesusilaan maupun

moral bagi anak pidana.

Penutup

Kelemahan peraturan perundang-undangan yang memberi perlindungan bagi anak

yang dihasilkan oleh badan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi

faktor penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana yang dilakukan

oleh anak. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan yang memberi perlindungan

hukum bagi anak harus selaras dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila dan

Undang Undang Dasar 1945.

Dalam hal pidana dan pemidanaan terhadap anak terdapat perbedaan perlakuan

dan perbedaan ancaman dengan orang dewasa. Hal itu dimaksudkan untuk lebih

melindungi dan mengayomi anak agar dapat menyongsong masa depannya yang masih

panjang. Selain itu, pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada

anak agar melalui pembinaan ia akan memperoleh jati diri untuk menjadi manusia yang

mandiri dan bertanggung jawab.

Kebijakan hukum mengenai anak dalam proses peradilan pidana guna

mewujudkan perlindungan hukum bagi anak maka diperlukan untuk memahami

permasalahannya menurut proporsi yang sebenarnya secara meluas, dimensional dan

terpadu. Sebab kebijakan hukum mengenai anak dalam proses peradilan anak adalah hasil

interaksi dari adanya interrelasi antara fenomena yang saling terkait. Jika akhirnya melalui

putusan hakim anak dinyatakan membutuhkan pemeliharaan dan pembinaan maka

diharapkan ia mendapat fasilitas yang sesuai dengan kebutuhannya.

UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak berlaku lex specialis terhadap

KUHP (WvS), khususnya berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Dalam

konsep KUHP 2010 jenis pidana diatur secara lebih luas dari pada UU Pengadilan Anak.

Konsep KUHP 2010 mengatur jenis pidana verbal, yaitu jenis pidana yang paling ringan

dan tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan bagi anak. Konsep KUHP 2010 juga

mengatur pidana pembinaan di luar lembaga, yaitu memberikan pembinaan kepada anak,

baik dalam rangka penyembuhan karena tidak atau kurang mampu bertanggung jawab

pidana disebabkan sakit jiwa atau retardasi mental ataupun berupa pembinaan lainnya

bagi anak yang sehat jiwanya untuk memperoleh keterampilan yang berguna bagi

kehidupannya.

Page 13: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 13

UU Pengadilan Anak harus menjadi acuan pula dalam perumusan pasal-pasal

dalam konsep KUHP Baru sebagai upaya rekodifikasi hukum nasional yang berhubungan

dengan pidana dan tindakan bagi anak. Dengan demikian tidak akan terjadi tumpah tindih

ataupun saling bertentangan sehingga terciptalah suatu kebijakan hukum pidana yang

dapat memenuhi upaya perlindungan bagi masyarakat dan upaya untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat khususnya bagi anak.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU Ali, H. Zainuddin, 2007, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Arief, Barda Nawawi, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,

Bandung. Asshiddiqie, Jimly, 1996, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang Bentuk-

bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, Angkasa, Bandung.

Mulyadi, Lilik, 2005, Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktik dan Permasalahannya,

Mandar Maju, Bandung. Pudjiarto RS., St. Harum, 1996, Memahami Politik Hukum Di Indonesia (UU No. 3 Tahun

1971), Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta. Soetodjo, Wagiati, 2006, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung.

Tongat, 2001, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,

Djambatan, Jakarta. Wadong, Maulana Hassan, 2000, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak,

Grasindo, Jakarta. Waluyo, Bambang, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dimuat dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668 yang mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1997.

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,

dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209 yang mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 1981.

RUU KUHP 2010

Page 14: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 14

KEWENANGAN GUBERNUR DALAM PEMBATALAN

PERDA KABUPATEN TABANAN

I Made Dedy Priyanto

Fakultas Hukum Universitas Udayana

[email protected]

Abstract: Regional district rules are regulations established by the legislature with the approval of the district with the head of regency. The purpose of this district is the local regulations for the implementation of government affairs in the local area so that in accordance with the state of society. There are local laws that were canceled by the Governor, namely the cancellation regulations area regulations Number 6 Year 2008 About the Use of Intellectual Property Levies Tabanan regency through Governor Decree No. 12 of 2009. However, in principle, district laws can only be canceled by the President through Presidential Regulation.

Key words: cancellation, district laws, Governor.

Pendahuluan

Perda (selanjutnya disebut Perda) merupakan peraturan yang diberlakukan di daerah-

daerah sesuai dengan wilayah. Perda provinsi berlaku untuk tingkat provinsi, sedangkan

Perda kabupaten hanya diberlakukan pada kabupaten. Perda diadakan karena setiap daerah

memiliki perbedaan sumber daya alam, sumber daya manusia, memiliki perbedaan-

perbedaan pola hidup, kebudayaan, dll, sehingga tidak dapat disamakan satu dengan yang

lain dalam hal pengelolaannya. Untuk itulah penyelenggaraan pemerintahan daerah haruslah

disesuaikan dengan daerah masing-masing melalui suatu kebijakan aturan yang sesuai

dengan keadaan daerah setempat, aturan inilah yang disebut dengan Perda.

Perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan

rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah (pasal 1 angka 7 UU No.10

Th.2004). Fungsi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembentukan Perda

adalah sebagai wakil dari rakyat untuk mewakili aspirasi rakyat di daerah. Hal ini demi

menciptakan peraturan yang mencerminkan keadilan, kepastian hukum bagi semua pihak,

baik pemerintah maupun rakyat yang dalam hal ini diwakili oleh DPR.

Pembatalan Perda merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari apabila terjadi

hal-hal yang membuat aturan Perda tersebut harus dibatalkan, misalnya apabila dikaitkan

dengan perundang-undangan yang lebih tinggi ternyata aturan Perda tersebut bertentangan

atau tidak sesuai sehingga menimbulkan pertentangan yang pada akhirnya dapat

mengakibatkan aturan Perda tersebut dapat dibatalkan. Pembatalan Perda kabupaten, secara

Page 15: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 15

normatif dapat dibatalkan oleh Presiden yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 145 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda) dan Pasal 158 ayat (5)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah. Pasal 145 (2) dan (3) UU Pemda menentukan bahwa Perda yang

bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah (sesuai dengan ayat 2 UU Pemda). Keputusan

pembatalan Perda tadi ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh)

hari sejak diterimanya Perda itu oleh Pemerintah (sesuai dengan ayat 3 UU Pemda).

Pada prinsipnya, Perda hanya dapat dibatalkan oleh Presiden melalui Peraturan

Presiden seperti yang telah diatur dengan tegas dan jelas pada pasal 145 ayat (3) UU Pemda.

Pemerintah yang dimaksud dalam pasal 145 UU Pemda ini adalah Presiden. Walaupun

Presiden memberikan kewenangan tersebut pada para Menterinya, selama aturan dalam

Pasal 145 UU Pemda belum direvisi maka tetaplah menjadi kewenangan Presiden. Namun

pada kenyataannya terdapat Perda yang dibatalkan oleh Gubernur.

Pembatalan perda yang dilakukan oleh Gubernur terjadi di Kabupaten Tabanan,

Provinsi Bali yaitu pembatalan Perda Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Retribusi Pemakaian

Kekayaan Milik Daerah Kabupaten Tabanan melalui Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun

2009. Hal ini disebabkan karena Perda ini dinilai tidak sesuai dengan Keputusan Gubernur

Bali Nomor 597/01-A/HK/2008 Tentang Penetapan Evaluasi Rancangan Perda Kabupaten

Tabanan Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Milik Daerah. Hal ini menggambarkan

bahwa Perda harus tunduk kepada Keputusan Gubernur padahal Keputusan Gubernur tidak

termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Pembatalan Perda oleh Peraturan Gubernur ini merupakan suatu masalah normatif

yang sangat menarik untuk dikaji. Karena disatu sisi, Gubernur merupakan “Perpanjangan

tangan” dari Pemerintah Pusat, sehingga dinilai dapat menjalankan kewenangan pemerintah

pusat di daerah, dalam artian Gubernur dapat dilimpahkan kewenangan-kewenangan,

termasuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota, tetapi disisi lain, kewenangan pembatalan

Perda Kabupaten/Kota Tabanan bukanlah kewenangan Gubernur untuk membatalkannya,

karena tidak ada payung hukum yang jelas tentang hal tersebut.

Page 16: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 16

Kewenangan Daerah Otonom

Karena berkaitan dengan otonomi daerah, maka pengkajian mengenai permasalahan

tersebut diawali dengan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan dalam ayat

(1) nya bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan

kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Selanjutnya

disebutkan dalam ayat (2) bahwa “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi daerah”. Hal ini

juga diatur dalam pasal 2 ayat UU Pemda.

Berdasarkan penjelasan pasal 2 ayat (2) UU Pemda, yang dimaksud dengan asas

otonomi dan tugas pembantuan adalah bahwa “pelaksanaan urusan pemerintahan oleh

daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh pemerintah daerah itu sendiri dan dapat

pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota dan desa atau

penugasan dari pemerintah kabupaten/kota ke desa” sehingga berdasarkan pasal ini, dapat

dikatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Tabanan mempunyai wewenang untuk

menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan secara mandiri atau disebut juga dengan

otonomi daerah.

Pengertian otonomi daerah dapat dilihat pada pasal 1 angka 5 UU Pemda yang

menyebutkan otonomi daerah adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Wewenang tersebut mencakup wewenang

untuk mengelola kekayaan milik daerah, khususnya kabupaten tabanan.

Membahas sumber wewenang sangatlah berkaitan erat dengan prinsip

penyelenggaraan pemerintahan yakni prinsip dekonsentrasi, tugas pembantuan dan

desentralisasi karena berdasarkan prinsip dekonsentrasi dan desentralisasi terjadi

pelimpahan dan penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah otonom.

Berdasarkan pasal 1 angka 8 UU Pemda dekonsentrasi adalah “pelimpahan wewenang

pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada

instansi vertikal di wilayah tertentu”. Melalui prinsip dekonsentrasi ini dilakukan

“pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya atau aparatmya di

Page 17: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 17

daerah untuk melaksanakan wewenang tertentu dalam menyelenggarakan urusan pemerintah

pusat di daerah”17

.

Pada hakikatya, alat pemerintah pusat ini, melaksanakan “pemerintahan sentral di

daerah-daerah dan berwenang mengambil keputusan sendiri sampai tingkat tertentu

berdasarkan kewenangannya”18

. Untuk itu alat yang bersangkutan bertanggungjawab

langsung terhadap pemerintah pusat yang memikul semua biaya dan tanggungjawab terakhir

mengenai urusan-urusan dekonsentrasi tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa urusan-

urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh aparat pemerintah pusat (seperti Gubernur) di

daerah tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Dalam penjelasan Peraturan

Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi, ditentukan

bahwa tujuan diselenggarakan dekonsentrasi adalah:

a. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan,

pengelolaan pembangunan, dan pelayanan terhadap kepentingan umum;

b. Terpeliharanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam sistem

administrasi negara;

c. Terpeliharanya keserasian pelaksanaan pembangunan nasional;

d. Terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tugas pembantuan, dalam pasal 1 angka 9 UU Pemda adalah “penugasan dari

Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota

dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas

tertentu”. Dasar pemikiran untuk dilaksanakannya tugas pembantuan ini, karena tidak semua

urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya.

Jadi, beberapa urusan pemerintahan masih merupakan urusan pemerintah pusat, akan tetapi

adalah berat sekali bagi pemerintah pusat untuk melaksanakan urusan yang masih menjadi

wewenangnya berdasarkan dekonsentrasi karena :

Terbatasnya kemampuan perangkat pemerintah pusat di daerah.

Dari segi daya guna dan hasil guna, kurang dapat dipertanggungjawabkan apabila

semua urusan pemerintah pusat di daerah harus dilaksanakan sendiri oleh

aparatnya di daerah karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat

besar jumlahnya.

Dari segi sifatnya, berbagai urusan pemerintah pusat sangat sulit untuk

dilaksanakan dengan baik tanpa keikutsertaan pemerintah daerah.19

17 H. Andi Mustari Pide,1999, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Gaya Media

Pratama, Jakarta, hal. 30. 18 Amrah Muslimin, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, hal. 4. 19 Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, , 1987, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah, PT.

Bina Aksara, Jakarta, hal. 117.

Page 18: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 18

Untuk itulah UU Pemda memberikan kemungkinan/ alternatif bagi penyelenggaraan

pemerintahan di daerah untuk melaksanakannya sesuai dengan asas tugas pembantuan.

Dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang

Penyelenggaraan Tugas Pembantuan ditentukan bahwa tujuan diterapkannya prinsip tugas

pembantuan adalah untuk ”memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan

serta membantu pengembangan pembangunan bagi daerah dan desa”.

Kemudian prinsip yang penting untuk dikaji dalam pembahasan ini adalah

desentralisasi karena prinsip ini menyebabkan adanya daerah otonom dan melalui prinsip ini

dilakukan penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom, khususnya

wewenang untuk mengelola kekayaan milik daerah kabupaten. Secara etimologis istilah

desentralisasi berasal dari bahasa latin yaitu “de = lepas, dan centrum = pusat, sehingga

dapat diartikan melepaskan dari pusat. Dari sudut pandang ketatanegaraan, yang dimaksud

desentralisasi adalah pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah

yang mengurus rumah tangganya sendiri (daerah otonom)”20

.

Berdasarkan pasal 1 angka 6 UU Pemda, daerah otonom merupakan “kesatuan

masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa

sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia”. Penyerahan wewenang ini dimaksudkan “memberikan kesempatan kepada

aparat daerah termasuk wakil-wakil rakyatnya untuk berpartisipasi di dalam merencanakan

dan melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan tanpa harus mendapat arahan dan atau

diarahkan oleh pusat”21

.

Kewenangan untuk mengatur sendiri urusan pemerintahan mengandung makna

bahwa daerah, dengan inisiatif sendiri dapat membentuk peraturan-peraturan yang berwujud

Perda. Hal ini merupakan prinsip otonomi daerah dimana negara dalam hal ini memberikan

kewenangan ke daerah-daerah otonom untuk mengurus sendiri pemerintahannya. Namun

disisi lain, berdasarkan prinsip Negara Kesatuan, maka hanya terdapat satu kekuasaan

pemerintahan yaitu pemerintah pusat, sehingga pemerintah pusat tetap berwenang untuk

turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan

kepentingan umum, hal ini dikenal dengan istilah Freies Ermessen. Berkenaan dengan hal

tersebut, E.Utrecht menyebutkan terdapat tiga kekuasaan pemerintah daerah, yaitu:

20 Abdurrahman, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, PT. Media Sarana Press, Jakarta,

hal. 71. 21 A.W. Widjaja, 1992, Titik Berat Pada Daerah Tingkat II, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 21.

Page 19: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 19

I. Membuat peraturan atas inisiatif sendiri, terutama dalam menghadapi soal-soal

genting yang belum ada pengaturannya, tanpa bergantung pada pembuat undang-

undang pusat;

II. Membuat aturan atas dasar delegasi, karena pembuat undang-undang pusat tidak

mampu memperhatikan tiap-tiap soal yang timbul dalam pergaulan sehari-hari,

sehingga penyesuaian antara peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh

pusat dengan keadaan yang sungguh-sungguh terjadi di masyarakat menjadi tugas

dan tanggung jawab pemerintah daerah.

III. Kewenangan untuk menafsirkan sendiri aturan perundang-undangan yang dibuat

oleh pusat. 22

Dasar pemikiran untuk dilakukan penyerahan wewenang untuk menyelenggarakan

urusan pemerintahan kepada daerah otonom berdasarkan desentralisasi adalah:

a. Kemampuan pemerintah berikut perangkatnya yang ada di daerah terbatas;

b. Wilayah negara sangat luas, terdiri lebih dari 3000 pulau-pulau besar dan kecil;

c. Pemerintah tidak mungkin mengetahui seluruh dan segala macam kepentingan dan

kebutuhan rakyat yang tersebar di seluruh pelosok negara;

d. Hanya rakyat setempatlah yang mengetahui kebutuhan, kepentingan, dan masalah

yang dihadapi dan hanya mereka yang mengetahui bagaimana cara yang sebaik-

baiknya untuk memenuhi kebutuhan tersebut;

e. Dilihat secara hukum, Undang-undang Dasar 1945 pasal 18, menjamin adanya

daerah dan wilayah. Sebagai konsekuensinya pemerintah diwajibkan

melaksanakan asas desentralisasi dan dekonsentrasi.

f. Adanya sejumlah urusan pemerintahan yang bersifat kedaerahan dan memang

lebih berdayaguna dan berhasilguna jika dilaksanakan oleh daerah;

g. Daerah mempunyai kemampuan dan perangkat yang cukup memadai untuk

menyelenggarakan urusan rumah tangganya maka desentralisasi dilaksanakan

dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. 23

Dengan adanya penyerahan urusan pemerintah ini, maka berdasarkan pasal 3ayat (3)

UU Pemda, pemerintah daerah termasuk pemerintah kabupaten Tabanan mempunyai

kewenangan wajib dan pilihan karena dalam pasal ini ditentukan bahwa “Urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah terdiri atas urusan wajib dan

urusan pilihan”. Berdasarkan penjelasan pasal 3 ayat (3) UU Pemda, yang dimaksud dengan

urusan wajib adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan

dasar warga negara antara lain:

a. Perlindungan hak konstitusional;

b. Perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketentraman dan

ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia; dan

22 Ridwan, HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal.16. 23 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1994, Hukum Administrasi Pemerintahan Di

Daerah, Sinar Grafika Jakarta, hal. 33.

Page 20: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 20

c. Pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi

internasional.

Kemudian dalam penjelasan pasal ini juga ditentukan bahwa yang dimaksud dengan urusan

pilihan adalah “urusan yang secara nyata ada di daerah dan berpotensi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah”.

Sehubungan dengan ini dalam pasal 14 ayat (1) UU Pemda ditentukan bahwa urusan wajib

yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan

yang berskala kabupaten/kota meliputi:

a. Perencanaan, dan pengendalian pembangunan;

b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;

d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. Penanganan bidang kesehatan;

f. Penyelenggaraan pendidikan;

g. Penanggulangan masalah sosial;

h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;

i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

j. Pengendalian lingkungan hidup;

k. Pelayanan pertanahan;

l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;

m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;

n. Pelayanan administrasi penanaman modal;

o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Kemudian yang menjadi urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan

berdasarkan ayat (2) pasal ini meliputi “urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan

berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan

dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan”. Dari uraian sebelumnya dapat dikatakan

bahwa retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan merupakan urusan

pilihan bagi Pemerintah Kabupaten Tabanan, sehingga Bupati Kabupaten Tabanan memiliki

kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan sehubungan dengan

retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan. Bersifat pilihan disini

diartikan bahwa seandainya Bupati Kabupaten Tabanan tidak melakukan pungutan retribusi

terhadap kekayaan milik daerah, maka hal tersebut tidaklah serta-merta menjadi

kewenangan Provinsi, melainkan tetap menjadi kewenangan kabupaten karena kekayaan

milik kabupaten, hanya saja rakyat kabupaten tabanan dibebaskan dari pungutan retribusi

tersebut.

Page 21: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 21

Konstruksi Perda

Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa melalui desentralisasi

dilakukan penyerahan urusan pemerintahan kepada pemerintah daerah dengan maksud agar

penyelenggaraan urusan tersebut menjadi efektif dan efisien. Dalam praktek, kedua istilah

ini sering digunakan secara bersama-sama dan terkadang disamakan dengan istilah berhasil

guna dan berdaya guna. Efektif mengandung makna ”terjadinya suatu efek atau akibat yang

dikehendaki”24

. Sehingga, perda Retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten

tabanan dapat dikatakan efektif atau berhasil guna jika urusan tersebut telah dilakukan

sesuai dengan perencanaan misalnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

mendasari pembuatan perda tersebut. Kemudian pada istilah efisiensi yang disebut juga

berdaya guna, terjadi perbandingan antara hasil nyata yang dicapai dengan pengorbanan

yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten tabanan dalam rangka melakukan urusan

terkait dengan Retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan seperti

pengorbanan pikiran, tenaga, waktu, ruang, dan benda termasuk uang. Maksudnya, perda

Retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan akan dikatakan efisien

apabila hasil yang dicapai secara nyata mengorbankan pikiran, tenaga, waktu, ruang, dan

benda/uang yang paling sedikit/ seefisien mungkin.

Prajudi Ato Sudirdjo menyebutkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam

penyelenggaraan pemerintahan yaitu:

(1). Efektifitas, artinya kegiatannya harus mengenai sasaran atau tujuan yang telah

ditetapkan atau direncanakan;

(2). Legimitas, artinya kegiatan administrasi negara jangan sampai menimbulkan

heboh oleh karena tidak dapat diterima masyarakat setempat atau lingkungan yang

bersangkutan;

(3). Yuridikitas, adalah syarat yang menyatakan bahwa perbuatan para pejabat

administrasi negara tidak boleh melawan atau melanggar hukum dalam arti luas;

(4). Legalitas, merupakan syarat yang menyatakan bahwa tidak satupun perbuatan atau

keputusan administrasi negara yang boleh dilakukan tanpa dasar atau pangkal

suatu ketentuan undang-undang (tertulis) dalam arti luas; bila sesuatu dijalankan

dengan dalih “keadaan darurat” maka kedaruratan itu wajib dibuktikan kemudian;

bilamana kemudian tidak terbukti, maka perbuatan tersebut dapat digugat

dipengadilan;

(5). Moralitas, adalah salah satu syarat yang paling diperhatikan oleh masyarakat;

moral dan ethik umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi; perbuatan tidak

senonoh, sikap kasar, kurang ajar, tidak sopan, kata-kata yang tidak pantas, dan

sebagainya wajib dihindarkan;

(6). Efisien, wajib dikejar seoptimal mungkin; kehematan biaya dan produktivitas

wajib diusahakan setinggi-tingginya;

24 Sundarso, 1988, Organisasi dan Metode, Karunika , Jakarta hal. 96.

Page 22: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 22

(7). Teknik dan teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk pengembangan

atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-baiknya. 25

Pembatalan Perda oleh Gubernur ini dimaksudkan demi terciptanya efisiensi waktu,

biaya, serta mengembalikan kewenangan otonomi daerah pada proporsi yang sebenarnya,

dalam artian Perda Kabupaten/Kota dinilai tidak memerlukan Peraturan Presiden dalam

pembatalannya, karena hal tersebut memerlukan banyak biaya, waktu yang panjang, serta

proses yang tidak sederhana. Namun dalam doktrin hukum dikenal asas a contrario actus

yang berarti bahwa suatu peraturan hanya dapat dibatalkan oleh peraturan sejenis atau yang

lebih tinggi. Sementara Peraturan Gubernur tidak dapat dikatakan sebagai peraturan sejenis

atau peraturan yang lebih tinggi sebab Peraturan Gubernur merupakan produk eksekutif

sedangkan Perda merupakan produk hukum legislatif dan eksekutif.

Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang telah ditegaskan sejak negara ini

didirikan (sesuai dengan pasal 1 ayat 3 UUD 1945). Konsekuensi dari penerapan prinsip

negara hukum ini adalah pengaturan seluruh aktivitas masyarakat dalam koridor hukum.

Dalam negara hukum diperlukan pembagian kekuasaan untuk membagi beban kerja dan

tanggung jawab. Montesquieu dalam bukunya yang berjudul De L’esprit Des Lois

mengajarkan bahwa kekuasaan harus dibedakan menjadi tiga yakni:

a. Kekuasaan legislatif atau membuat perundang-undangan yang dipegang oleh

parlemen.

b. Kekuasaan eksekutif yang menjalankan pemerintahan yang dipegang oleh

pemerintah.

c. Kekuasaan yudisial atau kehakiman, yakni badan yang menjalankan hukum yang

telah dibuat oleh parlemen. 26

Kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial ini berada pada level pusat maupun level

daerah. Salah satu kekuasaan yang berada di level daerah adalah kekuasaan dalam

membentuk Perda. Perda merupakan suatu produk hukum yang dibuat bersama oleh badan

legislatif dan eksekutif di daerah. Pengaturan secara normatif mengenai Perda dalam

hierarki Peraturan Perundang-undangan dapat dilihat dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-

undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Perda

yang mengklasifikasikan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

25 Ibid, dikutip dari Prajudi Atmosudirdjo, 1983, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,

hal. 79-80. 26 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori

Pemidanaan & Batas Berlakukan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 170-171.

Page 23: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 23

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden;

e. Perda.

Perda meliputi Perda provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi

bersama dengan gubernur, Perda kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat

daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota serta Peraturan Desa/peraturan yang

setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa

atau nama lainnya. Dalam Stufenbautheorie dikatakan bahwa “peraturan hukum

keseluruhannya diturunkan dari norma yang berada di puncak piramid, dan semakin ke

bawah semakin ragam dan menyebar.”27

Dengan demikian Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden menjadi pedoman dari penyusunan

Perda sehingga Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan tersebut.

Berdasarkan hierarki sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-

undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka

Perda merupakan salah satu bentuk Peraturan Perundang-undangan yang harus disusun

berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik. Adapun

asas-asas tersebut meliputi asas:

a. Yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap

Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan

bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

b. Kejelasan rumusan; Yang dimaksud dengan asas "kejelasan rumusan" adalah bahwa

setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis

penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau

terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak

menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

c. Keterbukaan. Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan" adalah bahwa dalam proses

Pembentukan Peraturan Perundang-Kejelasan tujuan; Yang dimaksud dengan

"kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

d. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; Yang dimaksud dengan asas

“kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis

Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk

Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan

27 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence)

Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 62.

Page 24: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 24

tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh

lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

e. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; Yang dimaksud dengan asas "kesesuaian

antara jenis dan materi muatan" adalah bahwa dalam Pembentakan Peraturan

Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat

dengan jenis Peraturan. Perundang-undangannya.

f. Dapat dilaksanakan; Yang dimaksud dengan asas "dapat dilaksanakan" adalah

bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan

efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara

filosofis, yuridis maupun sosiologis.

g. Kedayagunaan dan kehasilgunaanundangan mulai dari perencanaan, persiapan,

penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian

seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk

memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.

Agar Perda itu berfungsi maka ia harus memenuhi syarat berlakunya hukum sebagai

kaidah yakni:

a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah

yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.

b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya,

kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh

warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan

dari masyarakat.

c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai

positif yang tertinggi. 28

Kewenangan Negara Terhadap Daerah Otonom

Macam-macam urusan pemerintahan membawa konsekuensi pada perlunya

pengaturan. Atas dasar itu pemerintah mau tidak mau harus mengeluarkan peraturan baik

yang sifatnya mengikat secara umum artinya mengikat setiap orang maupun peraturan yang

jangkauan berlakunya hanya mengikat individu-individu.29

Hal inilah yang diistilahkan

sebagai public policy (kebijakan publik). Public policy (kebijakan publik) adalah

serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan

tertentu demi kepentingan masyarakat. Jika suatu pemerintah negara melakukan pelayanan

dengan beorientasi kepada public interest atau public needs maka yang harus dipikirkan

oleh pemerintah itu ialah how to serve the public, sehingga pemerintah itu bertindak sebagai

28 H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94. 29 Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta, hal. 17.

Page 25: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 25

public servant (pelayanan masyarakat) yang menyelenggarakan public service (layanan

publik).30

Kebijakan publik dapat berupa peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi

secara formal dan legal. Setiap peraturan dari tingkat “Pusat” atau “Nasional” hingga tingkat

Desa atau Kelurahan adalah Kebijakan Publik.31

Tiga kelompok kebijakan publik: 32

1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yaitu kelima

peraturan yang disebut diatas

2. Kebijakan publik yang bersifat mesa atau menengah, atau penjelas pelaksanaan.

Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan

Gubernur, Peraturan Bupati dan Peraturan Walikota. Kebijakannya dapat pula

berbentuk Surat Keputusan Bersama atau SKB antar Menteri, Gubernur, dan Bupati

atau Walikota.

3. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan

atau implementasi dari kebijakan diatasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan

yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati dan

Walikota.

Menilik dari adanya pengelompokan kebijakan publik ini maka Peraturan Gubernur

berada pada tingkat menengah. Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16

Tahun 2006 Tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah mengkategorikan

Peraturan Gubernur ini sebagai produk hukum daerah dimana dikatakan bahwa “Produk

hukum daerah adalah Peraturan yang diterbitkan oleh kepala daerah dalam rangka

pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah.” Peraturan Gubernur merupakan produk

hukum yang bersifat mengatur dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik

(good governance). Good governance berkenaan dengan penyelenggaraan tiga tugas dasar

pemerintah yaitu:

1. Menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat (to guarantee the security of all

person and society itself).

2. Mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, sektor swasta dan

masyarakat (to manage an effective framework for the public sector, the private

sector and civil society).

3. Memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang lainnya sesuai dengan kehendak

rakyat (to promote economic, social and other aims in accordance with the wishes of

the population). 33

30 Solly Lubis, 2007, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung, hal. 9. 31 Riant Nugroho D., 2006, Kebijakan Publik Untuk Negara-negara Berkembang Model-model

Perumusan, Implementasi dan Evaluasi, Elex Media Komputindo Gramedia, Jakarta, hal 30-31. 32 Ibid., hal 31.

Page 26: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 26

Untuk mewujudkan good governance ini maka pemerintah wajib mengeluarkan produk

hukum yang menjamin kesejahteraan rakyat.

F.A.M.Stroink dan J.G.Steenbeek menyebutkan bahwa hanya ada dua cara organ

pemerintahan memperoleh wewenang yaitu atribusi dan delegasi. Mengenai atribusi dan

delegasi disebutkan bahwa “atribusi berkenaan dengan penyerahan suatu wewenang baru

sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang dari wewenang yang telah ada (oleh

organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain, jadi delegasi

secara logis selalu didahului oleh atribusi)”.34

Selain itu dalam praktek terjadi pula

pelimpahan wewenang berdasarkan mandat, yaitu pelimpahan kewenangan yang tidak

disertai dengan pelimpahan tanggung jawab, sehingga yang dilimpahkan hanyalah

pekerjaannya saja sedangkan dalam penyelesaian pekerjaan tersebut tetap atas nama

pemberi mandat.

Terkait dengan adanya pembatalan Perda Kabupaten Tabanan Nomor 6 Tahun 2008

Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Milik Daerah Kabupaten Tabanan maka

pembatalan tersebut seharusnya dilakukan melalui Peraturan Presiden karena menjadi

kewenangan Presiden yang didapat secara atributif, yaitu diberikan kewenangan oleh

Undang-undang. Hal ini didasarkan pada Pasal 158 Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah yang dijabarkan

sebagai berikut:

(1) Perda yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota disampaikan kepada

Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja

setelah ditetapkan.

(2) Dalam hal Perda bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan

perundangundangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan

pembatalan Perda dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

(3) Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri

Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 20

(dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Perda sebagaimana dimaksud

pada ayat (1).

(4) Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan,

Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Perda dimaksud

kepada Presiden.

33 Addink Reader dalam H. Muladi, 2009, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam

Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, hal. 67. 34 Ridwan H.R, op.cit, h. 75.

Page 27: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 27

(5) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan

dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak

diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(6) Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan sebagaimana

dimaksud pada ayat (5), Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda

dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda dimaksud.

(7) Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda

sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan

oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan

kepada Mahkamah Agung.

(8) Jika keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikabulkan sebagian atau

seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden

menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

(9) Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda

sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perda dimaksud dinyatakan berlaku.

Dengan demikian pembatalan Perda merupakan kewenangan Presiden yang

ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Walaupun Presiden menyerahkan kewenangan

tersebut pada Menteri Dalam Negeri, namun pada pelaksanaan pembatalan perda haruslah

tetap atas nama Presiden, karena penyerahan kewenangan tersebut hanyalah bersifat mandat.

Sedangkan gubernur tidak memiliki kewenangan dalam pembatalan Perda kabupaten,

dikarenakan kedudukan Gubernur disini bukanlah sebagai perpanjangan tangan/ wakil dari

pemerintah pusat. Selain itu Gubernur tidak dapat menangani pembatalan Perda kabupaten

karena pembatalan perda kabupaten terkait dengan kepentingan umum dari seluruh rakyat di

kabupaten tersebut, sehingga tidak dilimpahkan secara delegasi kepada Gubernur. Retribusi

pemakaian kekayaan milik daerah Kabupaten Tabanan adalah menjadi tanggung jawab

Kabupaten Tabanan karena hal tersebut berdampak lokal, dalam artian dampak yang

ditimbulkan hanyalah dalam lintas batas regional di daerah kabupaten tabanan saja, hal ini

dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, halaman 577 yang membagi urusan pajak dan retribusi

daerah.

Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka hanya ada satu

kekuasaan pemerintahan yang terletak pada pemerintah pusat yang kemudian diberikan

secara desentralisasi dan dekonsentrasi pada daerah. Artinya, sewaktu-waktu kewenangan

daerah dapat ditarik kembali oleh pemerintah pusat sebagai pemegang kewenangan

penyelenggaraan negara. Hal ini dapat dilihat pada pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang

menentukan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan

Page 28: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 28

menurut Undang-undang Dasar” kemudian, terkait dengan pencabutan kewenangan daerah

otonom oleh pusat dapat dilihat pada pasal 6 UU Pemda.

Penutup

Gubernur tidak dapat membatalkan perda kabupaten, karena Gubernur tidak

memiliki kewenangan untuk itu. Kewenangan membatalkan perda merupakan kewenangan

Presiden yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Desentralisasi dan Dekonsentrasi

bukanlah penyerahan kewenangan sepenuhnya terhadap daerah yang dikepalai oleh Kepala

Daerah/ Gubernur.

Pengawasan preventif dan represif terhadap perda hendaknya tetap dilakukan.

Pengawasan preventif berarti pengawasan sebelum perda tersebut diberlakukan sehingga

apabila terdapat hal-hal yang bertentangan dengan pembentukan perda dapat dicegah

pemberlakuannya. Preventif dapat dilakukan dengan merevisi, serta memeriksa/ evaluasi

sebelum perda ditetapkan dalam rapat paripurna. Evaluasi perda dapat dilakukan oleh

Gubernur, dan/atau Menteri Dalam Negeri sebelum perda itu ditetapkan, hal ini akan

mengurangi kerugian yang ditimbulkan apabila setelah ditetapkan, baru diketahui

kejanggalannya.

Pengawasan represif, dilakukan setelah perda ditetapkan/ diberlakukan. Pengawasan

ini dapat dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, yaitu untuk mengetahui apakah perda

tersebut efektif dan efisien untuk diberlakukan, apakah perda tersebut telah memenuhi asas

keadilan dan kepastian hukum, dan faktor-faktor lain untuk menguji keberlakuan perda

tersebut, sehingga apabila perda tersebut tidak layak untuk diterapkan, dapat diajukan

laporan untuk membatalkan perda tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdurrahman, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, PT. Media Sarana

Press, Jakarta.

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence),

Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-

teori Pemidanaan & Batas Berlakukan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada,

Jakarta.

Page 29: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 29

A.W. Widjaja, 1992, Titik Berat Pada Daerah Tingkat II, Rajawali Pers, Jakarta.

Amrah Muslimin, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung.

H. Andi Mustari Pide, 1999, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI,

Gaya Media Pratama, Jakarta.

Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, 1987, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Di

Daerah, PT. Bina Aksara, Jakarta.

Ridwan, HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta.

Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1994, Hukum Administrasi

Pemerintahan Di Daerah, Sinar Grafika Jakarta,.

Sundarso, 1988, Organisasi dan Metode, Karunika, Jakarta.

H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta.

Solly Lubis, 2007, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung.

Riant Nugroho D., 2006, Kebijakan Publik Untuk Negara-negara Berkembang Model-

model Perumusan, Implementasi dan Evaluasi, Elex Media Komputindo Gramedia,

Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian

Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Retribusi Pemakaian

Kekayaan Milik Daerah Kabupaten Tabanan.

Peraturan Gubernur Bali Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pembatalan Perda Kabupaten

Tabanan Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Milik Daerah

Kabupaten Tabanan.

Page 30: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 30

TANGGUNG JAWAB HUKUM DALAM TAHAP PRAKONTRAKTUAL PADA

SENGKETA KONTRAK BISNIS

Emmy Febriani Thalib

Grapari Telkomsel

[email protected]

Abstract: The existence of the "Agreement" or often referred as "contract" in the present much needed by community, especially in the era of globalization. Many people all around the globe making the business as a sector that supports the income of economy, where such bussiness actions are always use a contracts, both nationally and internationally. Legal issues will arise if prior agreement is valid and binding on the parties (negotiation process) one of the parties have committed acts that harm others. What are the forms of liability to such parties in the event of loss if the party who feels aggrieved is entitled to sue for compensation of damages or not.

Key words: precontractual, liability, compensation of damages

Pendahuluan

Hukum kontrak merupakan bidang hukum yang sangat penting di era globalisasi

terutama dalam mendukung kegiatan di sektor perdagangan dan transaksi bisnis

internasional. Dalam konsep kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada Buku III

KUH Perdata tentang Hukum Perikatan mengindikasikan bahwa perjanjian memang

berkaitan dengan masalah Harta Kekayaan (Vermogen). Pengertian perjanjian ini mirip

dengan contract pada konsep Anglo-American yang selalu berkaitan dengan bisnis. Di

dalam pola pikir Anglo-American, perjanjian dalam bahasa Belanda overeenkomst dan

dalam bahasa Inggris disebut agreement yang mempunyai pengertian lebih luas dari

contract, karena mencakup hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk

agreement yang berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedangkan untuk yang tidak

terkait dengan bisnis hanya disebut agreement. 35

Black’s Law mengartikan perjanjian adalah hubungan antara dua orang atau lebih yang

menciptakan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan tertentu (“An

agreement between two or more persons which creates an obligation to do or not to do a

particular thing”). 36

KUH Perdata mengatur syarat sahnya dari suatu perjanjian, seperti yang diatur dalam

pasal 1320 KUH Perdata yaitu:

35 Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Jurnal Yuridika, Vol. 18 No.3, Mei

Tahun 2003, hal. 195-196. 36Huala Adolf, 2006, Dasar-Dasar Hukum Perjanjian Internasional, Rafika Aditama, Bandung, hal.1

Page 31: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 31

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

b. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan

c. Suatu pokok persoalan tertentu

d. Suatu sebab yang halal

Sedangkan menurut sistem hukum Common Law suatu kontrak merupakan bagian dari

hukum privat, khususnya tentang kewajiban (the law of obligation). Suatu kontrak dikatakan

sah menurut Common Law apabila memenuhi unsur-unsur :

a. Merupakan agreement, yang didasarkan adanya offer-acceptance

b.Terdapat an Intention to create legal relation

Para pihak harus sungguh-sungguh menunjukkan bahwa mereka memang

bermaksud membuat ikatan hukum dan menaati serta melaksanakan ikatan

tersebut.

c. Didukung dengan consideration yang cukup37

Menurut Fox sebagaimana dikutip oleh I.B Wyasa Putra, sistem hukum di dunia

didunia seperti tersebut diatas memiliki kesamaan aturan pokok yaitu :38

1) Diakuinya freedom of contract (party autonomy)

2) Diakuinya prinsip pacta sund servanda

3) Diakuinya kekuatan mengikat dari praktek kebiasaan dan

4) Diakuinya prinsip overmacht

Suatu kontrak harus dibuat menurut prosedur dan teknik yang benar. Prosedur yang

benar diperlukan untuk menentukan sahnya kontrak, dan teknik yang benar diperlukan

untuk membuat kontrak yang efektif dan efisien, menjamin kepastian dan keamanan bisnis,

namun tidak mengabaikan fleksibilitas bisnis untuk secara progresif merespon

perkembangan keadaan dan kebutuhan.39

Ruang Lingkup Dalam Tahap Prakontraktual

Tahap prakontraktual pada dasarnya merupakan tahap dimana terjadi penawaran

serta penerimaan, menurut ketentuan UNIDROIT, kata sepakat saja sudah cukup melahirkan

kontrak. Negosiasi merupakan tahapan paling penting dalam proses prakontraktual,

mengingat dalam negosiasi terjadi pertukaran pendapat antara para pihak untuk mencapai

suatu kesepakatan. Dokumen yang penting dalam proses praktontraktual antara lain adalah

nota kesepahaman atau yang biasa disebut dengan MoU sebagai “preliminary agreement”

37Ida Bagus Wyasa Putra, 2005, “Konsep dan Teknik Berkontrak Menurut Tradisi Common Law”,

Seminar ICCD 16 April 38Ibid. 39Ida Bagus Wyasa Putra, 2000, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi Bisnis

Internasional, Refika Aditama, Bandung, hal. 67

Page 32: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 32

atau kesepakatan awal yang berisi kesanggupan para pihak untuk membuat sebuah kontrak

detail. Dokumen yang termasuk kedalam tahapan prakontraktual menurut Ricardo

Simanjuntak antara lain : Memorandum of Understanding, Letter of Intent serta Letter of

Comfort.

Menurut Hikmahanto Juwana, penggunaan istilah MoU harus dibedakan dari segi

teoritis dan praktis. Secara Teoritis, dokumen Mou tidak mengikat secara hukum agar

mengikat secara hukum harus dilanjuti dengan perjanjian.40

. Kesepakatan dalam MoU lebih

bersifat ikatan moral. Beliau menganalogikan MoU sebagai lembaga “pertunangan” bukan

lembaga “perkawinan.” Secara praktis, Hikmahanto Juwana membagi pemahaman MoU

menjadi dua yaitu hanya mengikat secara moral karena harus dilanjuti dengan perjanjian

serta pemahaman bahwa MoU disejajarkan dengan perjanjian.

Munir Fuady mengartikan MoU sebagai perjanjian pendahuluan yang nantinya akan

diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian detail lainnya.41

Seringkali negosiasi bahkan nota

kesepahaman tidak terwujud menjadi sebuah kontrak nyata yang memuat pertukaran hak

dan kewajiban antara para pihak karena masih masuk dalam tahapan prakontraktual.

Tanggung Jawab Hukum Prakontraktual

Permasalahan hukum dalam tahap prakontraktual akan timbul jika sebelum perjanjian

tersebut sah dan mengikat para pihak (proses perundingan) salah satu pihak telah melakukan

perbuatan hukum seperti meminjam uang, membeli tanah walaupun belum ada kesepakatan

final antara para pihak dan apabila telah tertuang dalam nota kesepahaman, yang menjadi

permasalahan apabila salah satu pihak tidak melaksanakan subtansi yang tertuang dalam

nota kesepahaman tersebut yang mengakibatkan kerugian terhadap pihak lain terkait

dengan:

Bagaimana bentuk tanggung jawab para pihak tersebut ketika terjadi kerugian apakah

pihak yang merasa dirugikan tersebut berhak untuk menuntut ganti kerugian ataukah

tidak, sehingga pihak yang merasa dirugikan seharusnya memiliki hak untuk meminta

ganti rugi atas kerugian yang telah ditimbulkan oleh pihak yang lain walaupun masih

dalam tahap prakontraktual.

Apakah yang dapat menjadi dasar gugatan dalam hal terjadi kerugian oleh salah satu

pihak.

40Hikmahanto Juwana, 2002, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta hal. 123 41 Munir Fuady I, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya,

Bandung , hal 91

Page 33: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 33

Sebenarnya telah timbul hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak, hal ini

terutama dalam rangka melaksanakan pinsip itikad baik dan transaksi jujur, seperti yang

tertuang dalam Statute of The International Institute for The Unification of Private Law

(UNIDROIT) terlebih dengan ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2008

tentang Pengesahan Statute of The International Institute for The Unification of Private Law

(Statuta Lembaga Internasional untuk Unifikasi Hukum Perdata) atau yang biasa disebut

dengan UPICCs yang membuka lebar pintu harmonisasi hukum bagi Indonesia dalam

konteks hukum kontrak internasional untuk menghilangkan hambatan pelaksanaan

perdagangan dan transaksi bisnis internasional.

Dalam KUH Perdata hanya disebutkan bahwa suatu persetujuan adalah perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih

(Pasal 1313 KUH Perdata). KUH Perdata sama sekali tidak memperhatikan proses

terjadinya kontrak/perjanjian. Padahal dalam prakteknya suatu kontrak/perjanjian dapat

terjadi apabila didahului dengan adanya kesepakatan dan itu diperoleh melalui proses

negosiasi. KUH Perdata hanya mengatur prinsip itikad baik (good faith) pada saat

pelaksanaan kontrak, padahal sebenarnya dalam tahap negosiasi itupun sudah timbul hak

dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak demi menegakkan prinsip itikad baik

dan transaksi wajar/jujur (good faith dan fair dealing).

Beberapa putusan pengadilan di Indonesia tidak menerapkan asas itikad baik dalam

proses prakontraktual, karena berdasarkan teori klasik jika suatu perjanjian belum

memenuhi syarat hal tertentu, maka belum ada suatu perjanjian sehingga belum lahir

perikatan yang memiliki akibat hukum. Dalam UPICCs, dikenal adanya prinsip larangan

bernegosiasi dengan itikad buruk. Article 2.1.15 UPICCs mengatur larangan negosiasi

dengan itikad buruk, yang menyatakan:

(1) A party is free to negotiate and is not liable for failure to reach an agreement.

(2) However, a party who negotiates or breaks off negotiations in bad faith is liable for

the losses caused to the other party.

(3) It is bad faith, in particular, for a party to enter into or continue negotiations hen

intending not to reach an agreement with the other party.

Dengan demikian tanggung jawab hukum sebenarnya sudah timbul sejak proses

negosiasi atau pra kontraktual yang dalam kontrak internasional biasanya berada dalam

tahapan MOU. Proses negosiasi antara para pihak walaupun belum menimbulkan

kontrak/hubungan hukum antara mereka, namun telah menimbulkan tanggung jawab

hukum, yaitu apabila seseorang membatalkan negosiasi tanpa alasan yang sah atau dengan

Page 34: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 34

kata lain seseorang telah melakukan bad faith dan/atau unfair dealing dalam proses

negosiasi, maka ia dapat dituntut pertanggung jawaban secara hukum.

Menurut Robert S.Summer, bentuk itikad buruk dalam negosiasi dan penyusunan

kontrak mencakup : “Negosiasi tanpa maksud yang serius untuk mengadakan kontrak,

penyalahgunaan privilege untuk menggagalkan negosiasi, mengadakan kontrak tanpa

memiliki maksud utnuk melaksanakannya, tidak menjelaskan fakta material dan mengambil

keuntungan dari lemahnya posisi tawar pihak lain dalam kontrak.”42

Dalam menghadapi kasus tertentu yang belum diatur kejelasannya didalam Undang-

Undang diperlukan cara penyelesaian yang khusus pula. Dapat pula kasus tersebut telah

diatur dalam perundang-undangan, tetapi substansinya terlalu umum dan abstrak. Dalam

keadaan demikian, hakim berfungsi sebagai judges as laws maker.43

Sistem peradilan di Indonesia tidak menganut sistem preseden sebagaimana peradilan

di negara-negara dengan sistem common law, hakim tidak berkewajiban untuk mengikuti

putusan pengadilan sebelumnya. Maka terdapat kemungkinan adanya perbedaan sikap

diantara para hakim dalam menilai atau menyikapi konsep prakontraktual. Terbukti dari

putusan-putusan pengadilan yang lebih mengedepankan teori hukum kontrak klasik dimana

Menurut teori klasik jika perjanjian belum lahir, maka suatu perikatan tidak memiliki akibat

hukum bagi para pihak, akibatnya pihak yang merasa dirugikan karena percaya terhadap

mitra bisnisnya tidak terlindungi dan tidak dapat menggugat ganti rugi.Sementara menurut

teori hukum modern memiliki kecenderungan untuk mengabaikan formalitas kepastian

hukum demi tercapainya keadilan yang substansial.

Di negara-negara maju yang menganut civil law system, pengadilan memberlakukan

asas itikad baik bukan hanya dalam tahap penandatanganan dan pelaksanaan saja tetapi juga

dalam tahap perundingan. Dalam hukum Belgia, Perancis serta Venezuela hubungan

prakontraktual umumnya diletakkan pada perbuatan melawan hukum. Di beberapa Negara

seperti Cheko dan Belanda hubungan kontrak tidak terlalu diperhatikan. Hal yang sama juga

terjadi di Jepang, dalam Yurisprudensi Jepang dijumpai bahwa kadang hubungan hukum

dalam prakontraktual didasarkan pada perbuatan melawan hukum dan kadang pula

didasarkan pada kontrak pendahuluan atau Quasi kontrak44

42Robert S. Summer ,Good Faith in General Contract Law and the Sales Provision of the Uniform

Commercial Code, Virginia Law Review, Virginia, hal 220. 43M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum,Buku I,Citra Aditya

Bhakti, Bandung, hal. 184. 44Ridwan Khairandy, 2004, Itikad Baik Dalam kebebasan Berkontrak, Fakultas Hukum Pascasarjana

Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 15

Page 35: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 35

Pengadilan Negeri di Inggris dan Amerika Serikat telah menerapkan doktrin

Promissory Estoppel, yaitu doktrin yang mencegah seseorang untuk menarik kembali

janjinya dalam hal pihak yang menerima janji tersebut telah melakukan sesuatu perbuatan

atau tidak melakukan satu perbuatan sehingga dia akan menderita kerugian jika pihak yang

memberi janji menarik janji tersebut.45

Di Jerman terdapat suatu doktrin dari seorang sarjana

hukum terkemuka bernama Rudolf von Jhering yaitu Culpa in Contrahendo yang

mengajarkan pihak yang bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pihak

tidak bersalah yang mendasarkan dirinya pada faulty impression of binding contract.46

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan dengan jelas antara perikatan

yang lahir dari undang-undang dengan perikatan yang lahir dari Perjanjian. Akibat Hukum

perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak, karena memang

perjanjian didasarkan atas kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara para pihak yang

membuat perjanjian. Sedangkan akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari undang-

undang mungkin tidak dikehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan hukum dan akibat

hukumnya ditentukan oleh undang-undang.

Gugatan ganti kerugian atas dasar adanya wanprestasi diatur dalam pasal 1236 (untuk

prestasi memberikan sesuatu) dan pasal 1239 KUH Perdata (untuk prestasi berbuat sesuatu).

Wanprestasi (default atau non fulfilment ataupun yang disebut dengan istilah breach of

contract) adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang

dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam

kontrak yang bersangkutan.47

Selanjutnya terkait dengan wanprestasi tersebut pasal 1243 KUH Perdata menyatakan

bahwa :

”Penggantian biaya,rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah

mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya,

tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat

diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya”

Apabila atas kontrak yang disepakati terjadi pelanggaran, maka dapat diajukan gugatan

wanprestasi, karena ada hubungan kontraktual diantara para pihak yang menmbulkan

kerugian dan pihak yang menderita kerugian. Apabila tidak terdapat hubungan kontraktual

45 Suharnoko, 2007, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta, Kencana, hal 11 46 Steven A. Mirmina, 1992, A Comparative Survey of Culpa in Contrahendo Focusing on its Origins in

Roman, German,and French Law as well as its application in American Law, Connecticut Journal on

International Law Vol. 8, hal 81 47 Subekti, Op.Cit, h.45

Page 36: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 36

antara para pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian, maka

dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum.

Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad) sebelum diatur dalam Pasal 1365 BW

diinterpretasi secara sempit hanya sebatas perbuatan melanggar undang-undang

(onwetmatigedaad). Interpretasi ini terkesan sangat formalistik, karena yang dimaksud

dengan perbuatan melanggar hukum hanyalah sebatas yang sudah diatur dalam undang-

undang. Sedangkan di luar pengaturan undang-undang meskipun merugikan orang lain

bukan merupakan perbuatan melanggar hukum.

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,

mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian

tersebut.”

Berdasarkan definisi tersebut diatas, suatu perbuatan dapat dianggap perbuatan melawan

hukum apabila memenuhi unsur-unsurnya yaitu : 48

1. ada perbuatan melawan hukumnya

2. ada kesalahannya

3. ada kerugiannya, dan

4. ada hubungan timbal balik antara unsur 1, 2 dan 3.

Berdasarkan teori klasik jika suatu perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu,

maka belum ada suatu perjanjian sehingga belum lahir perikatan yang memiliki akibat

hukum sehingga gugatan berdasarkan wanprestasi tidak dapat dilakukan.

Akan menjadi berbeda ketika terdapat perjanjian pendahuluan diantara para pihak,

Apabila dalam tahap prakontaktual para pihak telah membuat sebuah nota kesepahaman,

maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama, yang menyatakan bahwa kekuatan mengikat

dan memaksa MoU sama halnya dengan perjanjian itu sendiri. Walaupun secara khusus

tidak ada pengaturan tentang MoU dan materi muatan MoU itu diserahkan kepada para

pihak yang membuatnya serta bahwa MoU adalah merupakan perjanjian pendahuluan,

namun MoU atau nota Kesepahaman tersebut apabila telah memenuhi unsur-unsur dari

pasal 1320 tentang syarat sahnya sebuah perjanjian tersebut mempunyai kekuatan mengikat

dan memaksa bagi para pihak untuk mentaatinya dan/atau melaksanakannya. Dan dapat

digunakan gugatan atas dasar wanprestasi.

48Riduan Syahrani, 1992, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, hal. 273.

Page 37: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 37

Pendapat kedua, dengan menitikberatkan MoU sebagai sebuah perjanjian pendahuluan

sebagai bukti awal suatu kesepakatan yang memuat hal-hal pokok, serta yang harus diikuti

oleh perjanjian lain, maka walaupun pengaturan MoU tunduk pada ketentuan perikatan

dalam KUH Perdata, kekuatan mengikat MoU hanya sebatas moral saja. Dengan kata lain

pula MoU merupakan gentlement agreement.

Jadi dalam hubungan prakontraktual dimana belum terdapat hubungan kontraktual yang

menimbulkan hak dan kewajiban mengikat diantara para pihak, maka gugatan kerugian

dapat didasarkan atas adanya tidakan perbuatan melawan hukum.

Pasal 1365 BW melalui putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, dalam kasus lindenbaum-

cohen memutuskan yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah berbuat atau

tidak berbuat yang : 49

1) melanggar hak orang lain; atau

2) bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; atau

3) bertentangan dengan kesusilaan; atau

4) bertentangan dengan kecermatan yang patut harus diperhatikan dalam lalu lintas

masyarakat terhadap diri dan barang orang lain.

Beberapa putusan pengadilan di Indonesia tidak menerapkan asas itikad baik dalam

proses prakontraktual, karena berdasarkan teori klasik jika suatu perjanjian belum

memenuhi syarat hal tertentu, maka belum ada suatu perjanjian sehingga belum lahir

perikatan yang memiliki akibat hukum. Seperti kasus N.V Aniem melawan Said Wachidin

dalam Putusan No.235/1958 Tanggal 13 Agustus 1958 yang memutuskan bahwa N.V

Aniem sebuah perusahaan yang menyediakan listrik tidak wajib mengalirkan listrik untuk

gedung bioskop milik Said Wachidin, meskipun Said Wachidin telah membayar biaya

pemasangan instalasi listrik.

Karena perjanjian antara Said Wachidin dan N.V Aniem belum memenuhi syarat hal

tertentu, mereka belum sepakat mengenai kilowatt listrik yang harus disalurkan. Said

Wachidin menuntut ganti kerugian atas hal tersebut berupa kehilangan keuntungan yang

diharapkan karena seharusnya tergugat memasok listrik kepada penggugat. Namun gugatan

Said Wachidin telah ditolak oleh Pengadilan Tinggi Surabaya.

Walaupun belum terjadi hubungan kontraktual diantara para pihak tersebut, maka

gugatan atas kehilangan keuntungan yang diharapkan berdasakan pengaturan yang terdapat

dalam KUH Perdata, pihak yang dirugikan tidak dapat melakukan tuntutan ganti rugi.

memang tidak dapat dikabulkan, namun ganti rugi berdasarkan kerugian nyata yang

49 Suharnoko, Op.Cit, hal 121

Page 38: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 38

diderita atas dasar perbuatan melawan hukum dapat dipertimbangkan. Bab I bagian IV Buku

III KUHPerd hanya mengatur tentang penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak

dipenuhinya suatu perikatan, sedangkan dalam hal ini yang ada baru sebatas negosiasi

prakontrak, bukan kontraknya itu sendiri. Sehingga gugatan ganti kerugian atas dasar

wanprestasi tidak dapat dilakukan.

Penafsiran secara luas atas pengertian perbuatan melawan hukum sejalan dengan

perkembangan teori dalam hukum perjanjian atau kontrak bahwa kontrak tersebut harus

dilaksanakan dengan itikad baik yang berarti harus memperhatikan asas kepatutan.

Tujuan gugatan melawan hukum adalah menempatkan posisi penggugat kepada

keadaan semula sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum, sehingga ganti rugi yang

diberikan adalah kerugian yang nyata atau reliance loss dan bukan expectation loss atau

kehilangan keuntungan yang diharapkan.

Penutup

Proses negosiasi antara para pihak walaupun belum menimbulkan kontrak/hubungan

hukum antara mereka, namun telah menimbulkan tanggung jawab hukum, yaitu apabila

seseorang membatalkan negosiasi tanpa alasan yang sah atau dengan kata lain seseorang

telah melakukan bad faith dan/atau unfair dealing dalam proses negosiasi, maka ia dapat

dituntut pertanggungjawaban secara hukum. Dalam hubungan prakontraktual dimana belum

terdapat hubungan kontraktual yang menimbulkan hak dan kewajiban mengikat diantara

para pihak, maka gugatan kerugian dapat didasarkan atas adanya tindakan perbuatan

melawan hukum. Sehingga ganti rugi yang diberikan adalah kerugian yang nyata atau

reliance loss dan bukan expectation loss atau kehilangan keuntungan yang diharapkan.

Pembaruan hukum kontrak atau perjanjian di Indonesia khususnya Buku III tentang

Perikatan merupakan suatu keharusan dalam rangka mendukung dan meningkatkan

pelaksanaan perdagangan dan transaksi bisnis tidak hanya secara nasional, namun juga

internasional. Tidak adanya pengaturan tentang kewajiban prakontraktual dalam Buku III

KUH Perdata. Pengkajian secara menyeluruh dan mendalam ketentuan UPICCs yang telah

diratifikasi melakui Perpres dapat dijadikan rujukan dalam penyusunan KUH Perdata

khususnya terkait dengan pengaturan hukum kontrak dalam konteks perdagangan dan

transaksi bisnis untuk menciptakan kepastian hukum dan melindungi kepentingan nasional.

Page 39: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 39

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Hikmahanto Juwana, 2002, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Lentera Hati,

Jakarta

Huala Adolf, 2006, Dasar-Dasar Hukum Perjanjian Internasional, Rafika Aditama,

Bandung

Ida Bagus Wyasa Putra, 2000, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi

Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung

M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, Buku I,Citra

Aditya Bhakti, Bandung

Munir Fuady I, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra

Aditya, Bandung

Riduan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung:Alumni, 1992

Ridwan Khairandy, 2004, Itikad Baik Dalam kebebasan Berkontrak, Fakultas Hukum

Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta

Robert S. Summer ,”Good Faith in General Contract Law and the Sales Provision of the

Uniform Commercial Code, Virginia Law Review, Virginia.

Suharnoko, 2007, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta, Kencana

PUBLIKASI ILMIAH

Ida Bagus Wyasa Putra, 2005, “Konsep dan Teknik Berkontrak Menurut Tradisi Common

Law”, Seminar ICCD 16 April

Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Kebebasan Berkontrak” Jurnal Yuridika, Vol. 18

No.3, Mei Tahun 2003.

Steven A. Mirmina, 1992, A Comparative Survey of Culpa in Contrahendo Focusing on its

Origins in Roman, German,and French Law as well as its application in American

Law, Connecticut Journal on International Law Vol 8

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R.

Subekti, R Tjitrosudibio, 2007, Cetakan ke XXX, PT. Pradnya Paramita, Jakarta

Konvensi Internasional UNIDROIT (International Institute for the Unification of Private

Law)

Indonesia, Peraturan Presiden mengenai Pengesahan Statute of The International Institute

For The Unification of Private Law, Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2008

tentang Pengesahan Statute of The International Institute For The Unification of

Private Law.

Page 40: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 40

PENGGUNAAN KEKERASAN OLEH POLISI

DALAM PENEGAKAN HUKUM

(Suatu Kajian dalam Perspektif Psikologi Hukum)

I Wayan Suardana

Dinas Kehutanan Provinsi Bali

Abstract This study aims to examine the role of police in law enforcement and limit the use of force in law enforcement by the police is reviewed through the perspective of legal psychology. The police are one component of criminal justice in charge of maintaining security and public order. He also serves as law enforcement. In the process of law enforcement, the police often use violence, but violence can only be used when facing specific threats that endanger the police at the time of performing their duties and that too must be dealt with naturally or by using tools or equipment are balanced. Use of force in law enforcement should be standard on the proportionality, legality, accountability and necessities. Key words: violence, police and law enforcement.

Pendahuluan

Penegakan hukum merupakan hal yang sangat esensial di negara yang berdasarkan

atas hukum. Dalam hal ini negara memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi

bagi para pelanggarnya melalui penegak hukum yang dilegalisasi dengan substansi hukum.

Seorang pakar hukum La Bruyerre, mengatakan “dihukumnya seseorang yang tidak

bersalah, merupakan urusan semua orang yang berpikir. Demikian juga pemeo hukum yang

bunyinya “Under the law, it is better that ten guilty persons escape. than that one innocent

man suffer” (di dalam hukum, adalah lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah,

ketimbang menghukum satu orang yang tidak bersalah).50

Salah satu faktor yang menentukan penegakan hukum adalah penegak hukum. H.

Zainuddin Ali, menyebut penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum

mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Sebab, menyangkut petugas pada strata atas,

menengah dan bawah. Artinya di dalam melaksanakan tugas penerapan hukum, petugas

seyoggianya harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis tertentu yang

mencakup ruang lingkup tugasnya.51

Namun secara implementatif, kekerasan yang

50 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence)

Termasuk Interpretasi Undang-undang Legisprudence, Kencana, Jakarta, hal. 501. 51 H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9.

Page 41: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 41

dilakukan oleh para aparat penegak hukum khususnya polisi masih saja terjadi. Hal ini

menjadi citra buruk bagi institusi kepolisian.

Berdasarkan data yang dilansir Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh dari

Januari-September 2009, berjumlah 7 orang yang terbagi ke dalam beberapa kasus.

Diantaranya penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan, penangkapan

dan pengancaman, dan penangkapan dan penahanan diluar prosedur hukum, dan ancaman.

Sementara kasus-kasus kejahatan berbau politik tak terungkap, seperti kasus pengeboman

kantor partai dan intimidasi yang dialami masyarakat. Bahkan sepanjang bulan Nopember

2009 terjadi 3 kasus tindakan kriminalitas kepada orang asing yaitu kepala palang merah

Jerman, dan penembakan staf bahasa di badan bahasa Universitas Syiah Kuala, sampai saat

seperti menguap ke udara tak terungkap juga aktor sesungguhnya.

Penembakan terhadap para teroris saat penangkapan oleh polisi menjadi isu hukum

yang banyak mendapat perhatian dari pada aktivis HAM. Para aktivis HAM mencatat

peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara. Namun di sisi

lain tindakan represif dari polisi juga direspon positif oleh masyarakat yang semakin tidak

percaya dengan proses peradilan. Dalam hal ini maka harus ditelaah mengenai batasan

penggunaan kekerasan oleh polisi dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.

Peranan Polisi Dalam Penegakan Hukum

Pengertian mengenai polisi dapat dilacak dari Kota “polisi” berasal dari kata politea

atau negara kota, dimana pada zaman Yunani Kuno manusia hidup berkelompok-kelompok,

kelompok-kelompok manusia tersebut kemudian membentuk suatu himpunan, himpunan

dari kelompok-kelompok manusia inilah yang merupakan kota (polis).52

Sesuai dengan

Undang-undang Republik Indonesia No 8 tahun 1981, sistem peradilan pidana di Indonesia

terdiri dari komponen Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Lembaga

Pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum. Sehingga polisi merupakan salah satu

komponen dalam penegakan hukum di Indonesia.

Harus diakui, masalah keamanan merupakan syarat utama mendukung terwujudnya

masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena itu pemeliharaan keamanan

dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan

52 Sidik Soenaryo, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang, hal. 8.

Page 42: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 42

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat yang menjadi sangat penting.

Dengan diundangkannya UU No 2 Tahun 2002 kepolisian diharapkan dapat lebih

memantapkan kedudukan dan peranan serta pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik

Indonesia sebagai bagian integral dari reformasi menyeluruh segenap tatanan kehidupan

bangsa dan negara dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab

berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Efektifitas peran kepolisian sebagai leading actor (aktor penentu) dalam penegakan hukum

akan terus diuji sejalan dengan agenda-agenda pengembangan reformasi Polri.53

Mengenai permasalahan aparat kepolisian di dalam penegakan hukum di tengah

masyarakat guna terciptanya kesan positif dari masyarakat terhadap aparat kepolisian,

Soerjono Soekanto mengatakan “kalau seorang anggota angkatan perang harus senantiasa

siap tempur dan memelihara kemampuan tersebut dengan sebaik-baiknya, maka anggota

polisi harus selalu siap menghadapi masalah-masalah kemasyarakatan yang merupakan

gangguan terhadap keamanan.”54

Kegagalan dalam menanggulangi kejahatan akan

merupakan sasaran kritik dan celaan masyarakat, sedangkan keberhasilan menanggulangi

kejahatan merupakan ancaman serius (baik fisik maupun psikis) terhadap polisi dan

keluarganya.55

Profesionalisme polisi amat diperlukan dalam menjalankan tugas sebagai penegak

hukum, mengingat modus operandi dan teknik kejahatan semakin canggih, seiring

perkembangan dan kemajuan zaman. Apabila polisi tidak profesional maka proses

penegakan hukum akan timpang, akibatnya keamanan dan ketertiban masyarakat akan

senantiasa terancam sebagai akibat tidak profesionalnya polisi dalam menjalankan tugas.

Tugas polisi disamping sebagai agen penegak hukum (law enforcement agency) dan juga

sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (order maintenance officer). Polisi

adalah ujung tombak dalam integrated criminal justice system. 56

53 Asiah Uzia, 2010, “Polisi dan Kekerasan (Refleksi Hari Bhayangkara 1 Juli 2010)”,

http://www.kontras.org/index.php?hal=opini&id=100, diakses pada 4 Januari 2010. 54 Yesmil anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana Konsep, Komponen & Pelaksanaannya

Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, Bandung, hal. 157. 55 Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Refika Aditama, Bandung, hal. 118. 56 Wawasan, 2009, “Profesionalitas Polisi Dalam Penegakan Hukum”,

http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=30772&Itemid=62, diakses

pada 4 Januari 2010.

Page 43: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 43

Untuk meningkatkan kinerja polisi dalam penegakan hukum, maka akhir-akhir ini

didengungkan mengenai reformasi kepolisian. Berbicara reformasi kepolisian ada tiga aspek

utama yang harus dilakukan pembenahan. Pertama, aspek struktural yang meliputi

perubahan kelembagaan kepolisian dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan dan

kedudukan. Kedua, aspek instrumental yang mencakup filosofi, doktrin, kewenangan,

kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek. Dan ketiga, aspek kultural yang meliputi

perubahan manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material, fasilitas dan

jasa, sistem anggaran, dan sistem operasional.57

Batasan Penggunaan Kekerasan Oleh Polisi Dalam Penegakan Hukum

Penyidikan oleh kepolisian merupakan fase yang penting, karena pada saat itulah

Berita Acara Pemeriksaan disusun. Penyidiklah yang pertama kali bertemu dengan

tersangka, saksi, serta korban dan menanyakan kejadian perkara yang mereka alami.

Kesalahan dalam investigasi akan memberikan pengaruh dalam mencapai kebenaran dalam

proses peradilan pidana pada tahap selanjutnya di kejaksaan maupun pengadilan. Seringkali

polisi dalam melakukan investigasi menggunakan cara kekerasan (fisik maupun psikologis),

hal ini justru akan merusak ingatan saksi, korban maupun tersangka. Hal ini senada dengan

pendapat Frank E. Hagan yang mengatakan:

Police response to mass protest has often resulted in an escalation of conflict, hostility

and violence. The police violence during the Democartic National Convention in

Chicago (1968) was not a unique phenemenon. We have found numerous other

instances where violence had been initiated or exacerbated by police actions and

attituted, although violence also has been avoided by judicious planning and

supervision.58

Investigasi proses perkara pidana dapat dilakukan pada tersangka, saksi dan korban

yang dilakukan oleh polisi, selain oleh jaksa maupun hakim. Proses peradilan pidana sangat

menggantungkan pada hasil investigasi pada saksi, karena baik polisi tidak melihat langsung

kejadian perkara. Kapardis59

menyatakan bahwa kebenaran kesaksian dipengaruhi oleh 3

hal, yaitu perhatian, persepsi, memori. Ketika terjadi suatu kejadian perkara, banyak sekali

informasi yang masuk dalam kognisi saksi yang melihat kejadian tersebut. Tidak hanya

informasi tentang perbuatan pelaku kejahatan, namun juga karakteristik pelaku dan situasi

57 Serambi News, 2010, “Polisi dan Harapan Semu Masyarakat”,

http://www.serambinews.com/news/printit/26972, diakses pada 4 Januari 2010. 58 Frank E. Hagan, 1989, Introduction to Criminology Theories, Methods and Criminal Behavior,

Nelson-Hall, Chicago, hal. 291. 59 Kapardis, A. 1997. Psychology and Law, Cambridge University Press, Cambridge.

Page 44: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 44

saat kejadian juga masuk ke dalam kognisi saksi. Informasi yang datang begitu banyak,

sehingga hanya sedikit yang direkam oleh saksi. Terjadi proses seleksi informasi yang

disebut sebagai perhatian. Dalam proses inilah polisi seringkali menggunakan kekerasan

untuk mengorek keterangan dari saksi ataupun tersangka.

Kerja-kerja polisi memang sering dianggap identik dengan kekerasan. Ini tidak

terhindarkan esensi dari pemolisian bukan pada apa yang dilakukan oleh polisi, namun pada

apa yang potensial dilakukan oleh polisi, dalam hal ini potensi penggunaan kekerasan secara

sah. Dalam negara demokrasi, di mana fungsi keamanan nasional berada di bawah

wewenang sipil, polisi menjadi pemegang monopoli kekerasan (monopolists of force),

khususnya kekerasan yang dilakukan terhadap warga negaranya sendiri.

Dalam menjalankan tugas sehari-hari, polisi selalu ditekankan pada satu persepsi

bahwa mereka adalah pemberantas kejahatan yang sedang berada dalam situasi “perang

melawan kejahatan.” Persepsi ini menggiring polisi pada posisi “the invitational edge of

assasination”, dimana praktek tembak di tempat terhadap tersangka yang tidak jarang

mengakibatkan kematian dijustifikasi dengan angapan bahwa mereka “orang jahat” yang

tidak layak hidup.

Dari data yang dikumpulkan oleh Kontras sepanjang bulan Oktober-Desember 2009,

tercatat 22 kasus kekerasan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan polisi, dimana

setengahnya terjadi ada bulan Desember. Kasus itu meliputi aksi tembak di tempat,

penggunaan senjata secara sewenang-wenang, penyiksaan, serta kasus salah tangkap disertai

penganiayaan, di mana perlakuan terhadap polisi yang melakukan pelanggaran berbeda-

beda. Hanya satu kasus yang mengarah pada penyelesaian pidana, sementara sisanya

diselesaikan secara internal kepolisian, melalui sidang etik dan/atau disiplin.

Dalam banyak kondisi, polisi dalam menjalankan tugasnya tidak harus selalu

memerlukan menggunakan kekuatan. Meski penggunaan kekuatan ini sah dilakukan seperti

dalam penangkapan, pencegahan dan dalam menangani insiden-insiden terkait gangguan

ketertiban umum. Kendati sejumlah aturan dan pedoman dalam penggunaan kekuatan telah

dimiliki kepolisian dalam rangka menjalankan kewajibannya, tetapi praktik-praktik

kekerasan berlebihan masih saja terus terjadi. Peristiwa penembakan yang menyebabkan

kematian terhadap Raden, Juni lalu yang diduga mencuri getah milik PT Satya Agung. Juga

peristiwa penembakan yang mengakibatkan luka berat terhadap Muhib Dani, warga

Seuneuam, Nagan Raya yang ditembak aparat Brimob yang melakukan pengamanan di PT

Page 45: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 45

SPS, akhir April lalu. Pada saat itu, korban diketahui tidak dalam posisi mengancam

keselamatan jiwa aparat Brimob dan tidak melakukan perlawanan baik secara fisik maupun

dengan senjata tajam.

Demikian juga dengan penanganan kasus terorisme di Aceh, salah satunya

penyergapan tersangka teroris di Pegunungan Jalin yang mengakibatkan jatuhnya korban

dari masyarakat sipil. Korban diberondong dalam jarak dekat bersamaan dengan tembakan

peringatan. Padahal korban sama sekali tidak membawa senjata apapun. Belum lagi metode-

metode penyiksaan yang dilakukan terhadap para tahanan di kantor-kantor polisi yang

ditujukan untuk mendapatkan keterangan atau pengakuan. Penyiksaan seperti ini seringkali

tidak diketahui publik kecuali bila media massa memberitakannya atau pihak keluarga

korban membuat pengaduan kepada lembaga-lembaga hukum. Polisi seringkali bertindak

semena-mena. Hal ini disebabkan adanya justifikasi tanpa proses hukum oleh kepolisian

bahwa tersangka adalah pelaku.

Meskipun polisi berprestasi dalam mengungkap persoalan terorisme dan kriminalitas

bersenjata api di Aceh melalui kekerasan yang dilakukannya, namun hal tersebut tidak serta

merta mendongkrak citra polisi di tengah masyarakat. Kesan keras dan brutal lebih tampak

menonjol dalam menggambarkan pekerjaan polisi. Penggunaan kekerasan atau kekuatan

berlebihan seolah telah menjadi inti dari polisi dalam menjalankan tugas-tugasnya dalam

masyarakat. Tidak selayaknya pemolisian, yang hanya dibolehkan menggunakan kekuatan

hanya ketika benar-benar dibutuhkan dan sampai sejauh yang dipersyaratkan dalam

Undang-undang.

Kekerasan tentunya hanya dapat digunakan pada saat-saat menghadapi ancaman

tertentu yang membahayakan dirinya dan itupun harus dihadapi secara wajar atau dengan

menggunakan alat-alat atau perlengkapan yang seimbang. Dengan kata lain, kekerasan yang

digunakan bersifat normatif, bukan kekerasan secara emosional, brutal ataupun kejam.

Dalam hal ini penilaian yang cepat oleh polisi tentang suatu sifat dari sebuah resiko dan

sejauhmana ancaman yang terjadi sangat diperlukan, serta bagaimana cara penanganan yang

sesuai untuk mengatasinya sambil memastikan agar korban atau kerusakan yang

ditimbulkan tetap dapat diminimalisir.

Penggunaan kekerasan termasuk dengan senjata api oleh polisi sebenarnya menjadi

dua sisi mata uang. Kekerasan akan menjadi legal ketika pelaksanaannya berpedoman pada

asas legalitas dan asas kewajiban serta kewenangan diskresi kepolisian untuk menilai situasi

Page 46: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 46

yang dihadapi anggota polisi saat itu. Mengenai hal ini Reiss, menyatakan bahwa patokan

yang dapat dipakai sebagai ukuran atau kriteria untuk menilai bahwa kekuasaan dalam

bentuk kekerasan telah terjadi (digunakan) secara tidak pada tempatnya, yaitu:

a. Apabila seorang polisi menyerang seseorang secara fisik dan gagal untuk melakukan

penahanan; penggunaan kekuasaan yang wajar diikuti oleh penahanan;

b. Apabila seseorang warga negara yang pada waktu ditahan tidak melakukan

perlawanan, baik dengan perbuatan maupun kata-kata; kekerasan hanya digunakan

jika diperlukan untuk melakukan penahanan;

c. Apabila seorang polisi, sekalipun pada waktu itu ada perlawanan terhadap usaha

penahan, masih bisa dengan mudah diatasi melalui cara-cara lain;

d. Apabila jumlah polisi yang ada di situ dan bisa membantu dengan cara menggiring

warga negara bersangkutan ke kantor, tempat penahanan atau kamar interogasi;

e. Apabila seseorang ditahan atau diborgol dan tidak berusaha untuk lari atai

melakukan perlawanan dengan kekerasan;

f. Apabila warga negara melawan, tetapi penggunaan kekerasan masih saja

berlangsung, sekalipun orang itu sudah ditundukkan.60

Pada prakteknya, tidak semua tindakan polisi bersifat represif. Banyak tindakan

pemolisian yang dilakukan secara persuasif tanpa kekerasan. Meskipun demikian,

penggunaan kekerasan tetap menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan yang

disahkan oleh undang-undang. Pasal 5 KUHAP menyatakan, polisi karena kewajibannya

berwenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung-jawab, di mana

yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan untuk kepentingan penyelidikan

yang tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; dilakukan atas pertimbangan yang

layak berdasarkan keadaan memaksa; dan menghormati hak asasi manusia.

“Tindakan lain” inilah yang salah satu bentuk pengejawantahannya adalah kekerasan

terhadap orang yang dicurigai atau tersangka. Pasal tersebut memiliki implikasi bahwa

sebuah tindakan (kekerasan) yang dilakukan terhadap tersangka bisa dianggap sah pada satu

situasi, namun bisa pula dianggap sebagai tindak pelanggaran hukum pada situasi yang lain.

Dan di sini penilaian atas sah atau tidaknya tindak kekerasan yang dilakukan baru bisa

dilakukan post-factum. Tindak kekerasan yang excessive ataupun mematikan yang

dilakukan polisi terjadi salah satunya dikarenakan adanya keterbatasan kemampuan untuk

melakukan pendekatan non-represif.

60 Sunarto D.M. “Alternatif Meminimalisasi Pelanggaran HAM Dalam Penegakan Hukum Pidana”,

dalam Muladi, 2009, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan

Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, hal. 139.

Page 47: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 47

Penggunaan kekerasan secara berlebihan yang dilakukan polisi dapat diminimalisir

dengan menyusun aturan yang jelas mengenai prosedur teknis dalam hal melakukan

penangkapan, melakukan pengejaran, menghadapi perlawanan dari tersangka, menghadapi

kerumunan massa (crowd), penggunaan senjata, dan lain-lain. Di samping itu, harus ada

pertanggungjawaban dan pengawasan terhadap tindakan yang diambil oleh polisi. Kontrol

dan review terhadap penggunaan kekerasan ini kemudian harus diikuti dengan penegakan

aturan hukum disiplin dan pidana. Jika penegakan hukum tidak dijalankan ketika terjadi

penggunaan kekerasan yang berlebihan, maka tindak kekerasan semacam itu akan dilihat

sebagai sesuatu yang sah oleh aparat polisi.

Amnesty International dalam laporannya tahun 2004 tentang standar-standar untuk

mencegah penyalahgunaan kekuatan menyebutkan empat prinsip penting HAM dalam

penggunaan kekuatan pada umumnya. Yaitu, proporsionalitas (penggunaan kekuatan yang

seimbang), legalitas (tindakan sah apabila sesuai dengan hukum nasional yang sesuai

dengan standar HAM internasional), akuntabilitas (adanya prosedur dan peninjauan ulang

penggunaan kekuatan) dan nesesitas (digunakan pada tindakan luar biasa dan benar-benar

dibutuhkan). Disebutkan juga, Amnesty International tidak menentang penggunaan

kekuatan yang sah secara sewajarnya oleh polisi. Namun secara khusus negara dan

kepolisian diharuskan untuk terus menerus meninjau kembali masalah etika yang terkait di

dalamnya. Khususnya dalam penggunaan senjata api, harus dilihat terlebih dahulu keadaan

saat polisi diperbolehkan membawa senjata api, kemudian memastikan senjata api

digunakan dengan benar dan menyediakan peringatan yang harus diberikan bila senjata api

harus ditembakkan.

Kapolri juga telah mengatur ulang tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan

kepolisian dengan Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1/2009 yang membagi 6 tahapan

penggunaan kekuatan, yaitu (1) kekuatan yang memiliki dampak deterent/pencegahan, (2)

perintah lisan, (3) kendali tangan kosong lunak, (4) kendali tangan kosong keras, (5) kendali

senjata tumpul atau senjata kimia, dan (6) kendali dengan menggunakan senjata api. Di sini

disebutkan penggunaan senjata api hanya dapat dilakukan sebagai usaha terakhir dan dapat

digunakan jika diperlukan untuk melindungi diri anggota polisi sendiri, orang sekitar yang

tidak bersalah serta untuk memudahkan proses penangkapan. Dan jika diperlukan

menembak, tembakan harus diarahkan pada bagian tubuh yang paling sedikit

Page 48: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 48

mengakibatkan resiko kematian. Karena penangkapan ditujukan untuk membawa tersangka

diadili di pengadilan.

Penutup

Polisi merupakan salah satu komponen dalam penegakan hukum di Indonesia. Karena

itu pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian

yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sebagai syarat utama

mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kekerasan hanya dapat digunakan pada saat-saat menghadapi ancaman tertentu yang

membahayakan diri polisi pada saat menjalankan tugasnya dan itupun harus dihadapi secara

wajar atau dengan menggunakan alat-alat atau perlengkapan yang seimbang. Penggunaan

kekerasan dalam penegakan hukum harus berstandar pada proporsionalitas (penggunaan

kekuatan yang seimbang), legalitas (tindakan sah apabila sesuai dengan hukum nasional

yang sesuai dengan standar HAM internasional), akuntabilitas (adanya prosedur dan

peninjauan ulang penggunaan kekuatan) dan nesesitas (digunakan pada tindakan luar biasa

dan benar-benar dibutuhkan).

Pelaksanaan keamanan dan ketertiban yang merupakan tugas kepolisian memerlukan

keterpaduan dan interkoneksi antara fungsi hukum di satu sisi dan moralitas di sisi lain.

Oleh sebab itu pemahaman mengenai psikologi hukum bagi polisi sangat diperlukan untuk

menentukan tindakan mana yang wajar dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam kerangka

penegakan hukum termasuk dalam penggunaan kekerasan dalam pelaksanaan fungsi

penertiban.

Jika polisi masih juga mengandalkan kekerasan dalam menyelesaikan masalah, maka

kepercayaan terhadap kepolisian akan semakin melemah yang akan berakibat pada sulitnya

polisi menegakkan profesionalitas dan supremasi hukum. Oleh sebab itu pendekatan

persuasif perlu diutamakan dalam penegakan hukum.

Page 49: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 49

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang Legisprudence,

Kencana, Jakarta.

H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Hagan, Frank E. 1989, Introduction to Criminology Theories, Methods and Criminal

Behavior, Nelson-Hall, Chicago.

Kapardis, A. 1997. Psychology and Law, Cambridge University Press, Cambridge.

Muladi, 2009, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif

Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung.

Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Refika Aditama,

Bandung.

Sidik Soenaryo, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang.

Yesmil anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana Konsep, Komponen &

Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran,

Bandung.

INTERNET

Asiah Uzia, 2010, “Polisi dan Kekerasan (Refleksi Hari Bhayangkara 1 Juli 2010)”,

http://www.kontras.org/index.php?hal=opini&id=100, diakses pada 4 Januari 2010.

Serambi News, 2010, “Polisi dan Harapan Semu Masyarakat”,

http://www.serambinews.com/news/printit/26972, diakses pada 4 Januari 2010.

Wawasan, 2009, “Profesionalitas Polisi Dalam Penegakan Hukum”,

http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3

0772&Itemid=62, diakses pada 4 Januari 2010.

Page 50: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 50

THE SERVICE VILLAGE RESPONSIBILITY AGAINST

THE CITY FOREST SUSTAINABLE61

I Wayan Wiasta, I Wayan Gde Wiryawan, I Nyoman Edi Irawan and Dewi Bunga

Faculty of Law Mahasaraswati Denpasar University

[email protected] or [email protected].

Abstract: City forest is one solution to the pollution and environmental damage in the city. City forest has a function in reducing noise, absorb particles that are harmful to health, resulting in water and so on. City forest sustainability depends on the cooperation between government and society. The cooperation is demanded service village responsibility in maintaining and preserving the city forest. The act of destroying the forest that the city will get the sanctions are based on provisions in awig-awig

Key Words: service village, city forest and sustainable.

Introduction

City is the center of living for the community of a state. Such this place gives a great

chance for any body who expects for job, education and better place for recreation. It’s been

predicted in 2020, there will be 60% of the people live in the city. The development of the

city from the former time till today tends to decrease the green space and change the city

appearance. There are many green spaces exchanged into trading zone, dwelling houses,

industrial zone, transportations needs e.g. (roads, bridges, and vehicles terminal) as well as

other cities infrastructures. To stabilize between the city population growth and all of those

environment problems that caused by its crowded needs the ecological concept of city

development.

The ecological concept of city development can be done through the city forest

development. The term of “city forest” is refers to a field that filled by a group of plantation

growth close together in a city territorial, either it grows on government land or proprietary

right land which is defined as the city forest by the authorities as stated in the government

regulation Number 63 year of 2002 concerning the city forest. The policy concerning the

city forest has been regulated in article 9 Law Number 41 year of 1999 concerning Forestry

61 This paper presented at International Seminar on Environmental, Health and Safety Risk in a

Globalizing World Denpasar, Bali 27-28 June 2011.

Page 51: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 51

and related to the Government Regulation Number 63 Year of 2002 concerning the City

Forest. In the matter of the city forest sustainable, the derivation of policy in a form of

policy at a lower government level can be done through the function of the service village62

the principle of the service village philosophy expects the harmony relationship between the

human being and its nature. In consequence of that, the service village has responsibility in

city forest sustainable. So far there some basic problems with cause the quantity and the

quality of the city forest become lower e.g. the conflict of interest concerning the function of

the land. As usually the victory is the interest with the high economic value. Because of that

reason, the city forest hasn’t got high economic value so the land that initially defined as the

city forest or the land that was formerly city forest is changed as the supermarket, real-

estate, offices and others. In this such of problem is needed a complete involvement of the

service village and the service village community to guaranty the city forest sustainable.

The Function of the City Forest to Restore Environment, Healthy and Safety

Environment is a space that occupied by living entities together with invaluable

goods.63

such this description has become essential in the matter of to arrange and to protect

the environment. In order to realize all of those does not only need every national

individual, communities, businesses agencies, and legal agencies but also international bears

a solemn responsibility to do a common effort together in protecting and improving the

environment for present and future generation by developing the ecology concept approach

for the city development.

The development of the city forest can be adopted as one of the solution to restore

performance of the city which has been damaged by disarrangement that tend into

commercial and often neglect the environment sustainable. In the relation of that the central

government has the authority through the local government to define the location for the

city forest development. Defined city forest zone has to be considered with; territorial

measure, the total of the population, the level of the pollution, and the city performance. The

minimum size of a city forest is approximately 0,25 ( twenty fife per one hundred) hectare.

62 Stated in article 1 paragraph (4) Bali Province Government Regulation number 3 the year of 2001

concerning the Service Village, stated that service village is unite of service village community in Bali

Province which have equal tradition of Hindu religion community behavior hereditarily in binding of three

Hindu holy temple with its certain territorial and own property as well as to arrange their own village.

63 Otto Sumarwoto, 1991, Ekologi lingkungan hidup dan pembangunan, Djambatan, hal.48.

Page 52: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 52

The percentage of the measure of a city forest at least 10 % (ten per one hundred) measured

from the city territorial or has to be suitable according to city condition.

The existence of the city forest has given positive contribution in increasing the

quality of environment by carbon diockside absorption through chlorophyll produced by the

city forest vegetation and the help of the sun shine, the formation of oxygen which is needed

for all of the living entities respiration can be formed. Beside of that in the objective of

increasing the quality of the environment can also be helped by keeping the existence of the

green open space.64

The city forests are also functioned to increase and to control the micro

climate and ecstatic value, water absorption, to stabilize the city physic, and to secure the

existence of the various living entities of Indonesia. There are few types of the city forest

can be established such as :

1. Dwelling house city forest type is a city forest that is established on dwelling house

zone functioned as oxygen producer, carbon dockside absorber, water absorber,

wind defender, sound muter. It’s usually dominated with high and tall plantation

combined with smaller bamboo and some grass.

2. Industry type of city forest is a city forest that is established on industry zone and

functioned to minimize the air pollution, and to mute the sound bother.

3. Recreation type of city forest is the forest that is built in a certain zone functioned for

a recreation and beautifulness dominated by beautiful and unique plantations.

4. Uninterrupted type of city forest is a conservation forest to protect all kinds of

protected germ of life

5. Protection type of city forest is a forest to prevent erosion and land sliding, sea water

abrasion, water absorbing zone, increasing land water volume, and others

6. Safety type of city forest is a forest to increase the safety of the traffic by keeping the

existence of the green open space with its plantation

City forest development purposes to keep the sustainable, suitable and the balance of

the city ecosystem such as environment, social and culture. As stated by Supriadi in his

book “The Law of Forestry and The Law of Agriculture in Indonesia”(Hukum Kehutanan

dan Hukum Perkebunan di Indonesia) that the essential function of the city forest is as the

city identity, to develop germ of life, to filter the unnecessary particles e.g. all metals

particles, cement, dust, to mute the sound bother, to minimize the acid rain, to absorb carbon

monocside and carbon diocside, to produce oxygen, to block the wind, to prevent sea water

intrusion, limited production, climate amelioration, to organize the waste, land water

64 Yengyeng Reni Herliani, 2009-01-14,15;26;24, “Penentuan Luas dan Lokasi Hutan Kota

berdasarkan Kebutuhan Oksigen (Studi Kasus di Wilayah Kota Tasikmalaya),

http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-yengyengre-31725

Page 53: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 53

sustainable, birds habitat, reduce the sense of stress, to prevent the sea water abrasion, and

to increase tourism industry.65

There are some forms of the city forest which can be made such as :

a. Green Space Forest.

Street refreshing trees, green space under the electricity’s high power pole, green space

along the trains track. Green space along the river in the city or in the country side shall

be established and developed as a city forest in order to have better benefit and quality

of cities environment. The trees which are planted under the high power of electricity

wire and the telephone wire shall be settled lower than the wires, if there are some

higher trees grow under the dangerous zone shall be arranged to cut regularly.

b. City Garden

Garden by means is the plantation which is planted and arranged in a particular form.

Either some or whole of those trees/plantation are performed by the human being to get

a beautiful certain composition of trees / plantation. Every kinds of plantation have its

own characteristic either in shapes, color or structure. There are some plantations with

small high long trees (candle vine trees), some trees with pyramid leave style (vine

trees) and there are some trees with big round branches on leave and shadow (beringin

tree).

a. Garden And Yard

Kind of plantation which is usually planted in the garden and the yard are the kind of

fruiting trees such as mango, durian, rambutan, guava, orange, coconut and others. Here

are kind of trees that might be also suit for the garden and yard that derived from less

fruiting trees such as vine trees, palm trees, adenium, fillisum, fern (pakis) and many

others.

b. Botanical Garden, rain Forest, Zoo

Botanical garden, Rain Forest, zoo can be classified into the form city garden. The

plantation can be locally plant or the plant from other territorial, either from domestic

area of the state or from foreign country (Soemartono 1983) stated there are some of the

botanical gardens have economic value and there are also some of Botanical gardens

objectified for the research/Study.

c. Protected Forest

The fifth part at the city is a steep standing jungle shall be settled as forest territorial

because such of this territorial is anxious of land sliding. As well as with the beach

territorial which is anxious of sea water abrasion shall settle to be a protected forest.

d. Cemetery and Military Cemetery

Normally in a cemetery are planted some kind of plantations, it seems that as the

manifestation of living person never ended respect to the death person, as long as. Those

trees are still strong standing in that place. Through this personification is drawn. That

the life wire never he ended with the death, in the other way can be stated that the death

is the beginning at the life.66

65 Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

hal.496-506. 66 Departemen Kehutanan, “Hutan Kota”, http://www.dephut.go.id/informasi/hutkot/hutkot.htm#hutkot1

Page 54: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 54

The existence of the city forest is very importance for the human being living

sustainable, but factually the city forest often neglected and the function of it is often also

diverted to other function. The function of the city forest at present is not any more exist,

it’s often used to do irresponsible activities such as: playing foot ball, indecent activities,

baggers and there are some times also filled with advertising banner. The trees of the city

forest are also often used as telephone and electricity wires installations. The unbelievable

activities are some times also done under the trees such as: rubbish burning, knife cut and

unimportant sign of paint. As a unit of customary law community so that the service village

as the first guard in case of giving guaranty of the sustainable and the right function of the

city forest by giving a particular traditional punishment to whom has destroyed the city

forest

The Service Village and City Forest Sustainable

Environment is a public property, so there is no one allowed to pollute it.6

Environment is a public property so there is no body allowed to soil / dirty it.67

To guaranty

the function of environment so the local government and the central government must

commit to hold a responsibility and to apply large scale environment policy and take the

action within their jurisdiction.68

This policy implied to law obligation of the service village

as the lowest level of the government structure in giving guaranty concerning to the

sustainability of the function of environment.

The service village in Bali is formed and based on a living philosophy. This living

philosophy is giving a soul for customary law community of Bali, the philosophy called TRI

HITA KARANA, the philosophy foundation of the service village has long time been adopted

as the philosophy of balance relationship (the balance relationship between the human being

with the God, the principle of sociological balancing or the balance relationship among the

human being, and the balance relationship between human being with its environment).69

Service village is an organization of Bali Hindu community based on a unit of together

living territorial and adopting religions spirit as the foundation of the relationship pattern on

social interaction of Bali’s communities. A service village is consist of 3 (three) elements

67 Sisti Sundari Rangkuti, 2000, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional edisi

kedua, Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 14-15 68 Ida Bagus Wyasa Putra, 2003, Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional,

Refika Aditama, Bandung, hal. 4 69 Tjok Istri Putra Astiti, 2005, Pemberdayaan Awig-Awig Menuju Ajeg Bali, Lembaga Dokumentasi

dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 6

Page 55: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 55

e.g.: (1) element of Parahyangan ( a holy place, it’s normally in the form of holey temple of

Hindu religion); (2) element of Pawongan (humanity, it consists of the village communities

believing in Hindu Religion) and the last one is (3) the element of Palemahan (the village

zone, in the form of territorial/village territorial which is classified into “Karang Ayahan

Desa” (the land completed with the obligation for the villagers) and “Karang Guna Kaya”

(the proprietary right land) which is arranged and regulated in accordance with Hindu

Religion rule.70

In the relevant of the function of “Palemahan” (village territorial), the service village

is obligated to give the guaranty for city forest sustainable. The city forest sustainable needs

synergy between The service Village and the legal village in preserving the environment.

City forest sustainable can not be handled alone by the Government without support and

participation of individuals, groups, and other organizations. To achieve a better result

concerning the city forest sustainable in this case the government through Department of

Forestry of Bali Province has mutually assent to joint with the service village sub-unit

agencies.

The service village as the manifestation of customary agency in the form of

traditional, original, and specific community, a service village is led by an active and

competence chosen figures and having talent concerning the city forest sustainable. It’s

difference to other Province within familiar to administrative village only, but in Bali there

are known two kinds of village namely legal village and service village. Service village is a

unit of territorial which is formed based on equal tradition, cooperative behavior haired

hereditary and bounded by the obligation of the three domestic holy temples namely Pura

Desa (Desa temple), Pura Puseh (Puseh Temple) and Pura Dalem (Dalem temple).10

Service

village functioned traditionally as the manifestation of the customary agency and commonly

called the service village. The structure chart of the service village are : 1) the main service

village council-chamber at the province level; 2) The middle service village council at the

level of regent; 3) and The lowest service village council at the level of district.

Service village has strategic function as the manifestation of Bali customary agency

because of that the service village shall have the total support from all class of society

within based on the concept of TRI HITA KARANA11

the concept of Tri Hita Karana

70

Wayan P. Windia, 2008, Menyoal Awig-Awig Eksistensi Hukum Adat dan Desa Di Bali, Lembaga

Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 48

Page 56: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 56

objectified to create harmony relationship between human being to the almighty God,

harmony relationship to other human being and harmony relationship to the nature. This

type of concept concretely regulated in a written traditional law which is made by the

service village community. such of this concept is also found in two difference researched

villages namely Renon service village and Kesiman Service village. In the written

traditional law of Renon village has explicitly found the Tri Hita Karana Concept is

regulated in article 5 paragraph 3 stated that : “Desa Pakraman Renon ngemanggehang

pamikukuh minekadi Tri Hita Karena manut tatuaning buana agung lan tata cara agama

Hindu” ( Renon Service Village has adopted the concept of Tri Hita Karana in accordance

with the Universe rule and Hindu Religion rule). And in the written traditional law of

Kesiman Service Village explicitly regulated in article 2 paragraph 2 stated that “Desa

Pakraman Kesiman ngemanggehang dasar Tri Hita Karana manut tatwaning Bhuwana

Agung” (Kesiman service Village has adopted the basic concept of Tri Hita Karana in

accordance with The Universe rule).

Specifically, the regulation concerning the Palemahan (environment) or city forest

were not explicitly regulated in both of researched villages but it tends to underline of the

service village responsibility to regulate the benefits of keeping environment sustainable. It

can be perceived in articles 42 till articles 47 Renon Village written traditional law which

regulate the obligation of the community to preserve front house open space and technique

or strategy of planting plant, and in articles 21 of written traditional law of Kesiman Village

stated that every individual or every member of the village is obligated to preserve the sense

of aesthetic on any front house open space.

Although, the regulation concerning the city forest traditionally is still very limited but

the consciousness of the villagers regarding to the important meant of environment

sustainable is very high. Evidently could be seen from the way how was the service village

sub-unit chief together with his members determined a policy concerning the environment

sustainable. There are many service village working programs based on environment. As for

example, Renon Service village has made the program called “ Program Bumi Banten”12

(a

program of preserving the environment with all kinds of plantation which can be used to

support the Hindu religion ceremonial in this village) the village community is

recommended to plant such needed plant on every green open space, it is not only in front

house open space but also along the river, along the road and at any open space in dwelling

Page 57: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 57

house zone, offices, temples, as well as in all of the community building yard. In order to

realize this program The Renon Service Village coordinates with Bali Province

Government, especially in the effort of maintaining the germ of the plantation. And in effort

of preserving, restoring, and developing the village members have been doing twice

cooperative working in a month which taken the time on the first week of the month and the

last week of the month.

The Kesiman Service Village has also defined a program that based on environment, it

can be seen through the establishment of the program “Desa Budaya Kertalangu”13

(a

service village program in the form city Garden) it’s completed with a jogging track, and

many others picnic facilities. It’s located at Banjar Adat Kertalangu and it’ expected to be a

sustainable representative city garden tourists object for ever. This place is built with the

concept of Tri Hita Karana in the form of city garden.

The involvement of the community on both of those programs is begun from the

planning, accomplishing, and controlling. In the matter of controlling both of the village

have formed an officer in charge to prevent and to control of any action that may causes the

destroy of this program. As the executed program by all of the village members so any

action that is deemed as the breach of the tradition law and may caused any damages against

the environment sustainable has been mutually agreed to be given the penalty according to

what has been written in both village traditional law. Either in The Renon Service Village or

the Kesiman service Village written traditional law the penalty given is agreed in the form

of fine, at Renon Village it’s regulated in article 48 and at Kesiman Village it’s regulated in

article 78. By the application of the all of the written traditional law certainties against any

actions that may cause the failure of the environment sustainable program convinced that

shall be more effective, because in general Balinese community circumstances the breach of

the traditional law certainties may cause disharmony between the reality life and the

unreality life. In the relevant of that needs a restoring ceremonial for the disharmony. To

restore the disharmony in the field of the reality life and the disharmony in the field of

unreality life considered as a very heavy punishment by the villagers so the villagers will try

to refrains themselves from traditional illegal actions.

Page 58: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 58

Conclusion

City forest is holding the most important meaning in order to stabilize the city

performance, because of its various functions, such as; to restore and save the micro climate,

to absorb the water and air pollution, to filter the wind, to safe the health, to create the

harmony and the balance of city physic as well to support the living entities sustainable in

Indonesia. To prevent any wrong action against the city forest sustainable, e.g; land function

diversification, irresponsible activities such as playing foot ball under the city forest,

installing banner or any means of electric and telecommunication wires and many others is

absolutely needed the total involvement of the service village in the matter of city forest

sustainable. The service villages in Denpasar city have been doing so many attempts in

order to keep their environment, evidently can be seen on the villages development

program. “The Bumi Banten Program” and “The Desa Budaya Kertalangu Program” as

taken as some examples that recommended and obliged the village members to organize

every open space of land by planting any kinds of plantation to support the Hindu religion

ceremonial activities and to maintain the program based on environment sustainable. In the

attempt of stabilizing and securing the city forest sustainable the service villages in

Denpasar have regulated it in their own written traditional law included the penalty if there

may be any wrong actions that causes the failure of executing their program.

BIBLIOGRAPHY

Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-Awig Menuju Ajeg Bali, Lembaga

Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

Otto Sumarwoto, 1991, Ekologi lingkungan hidup dan pembangunan, Djambatan.

Siti Sundari Rangkuti, 2000, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional edisi

kedua, Airlangga University Press, Surabaya.

Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta.

Windia, Wayan P. 2008, Menyoal Awig-Awig Eksistensi Hukum Adat dan Desa Di Bali,

Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana,

Denpasar.

Wyasa Putra, Ida Bagus, 2003, Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis

Internasional, Refika Aditama, Bandung.

Page 59: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 59

Departemen Kehutanan, “Hutan Kota”,

http://www.dephut.go.id/informasi/hutkot/hutkot.htm#hutkot1

Yengyeng Reni Herliani, 2009-01-14,15;26;24, “Penentuan Luas dan Lokasi Hutan Kota

berdasarkan Kebutuhan Oksigen (Studi Kasus di Wilayah Kota Tasikmalaya),

http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-yengyengre-

31725

Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Law Number 41 year of 1999

concerning Forestry).

Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota.

Government Regulation Number 63 Year of 2002 concerning the City Forest.

Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (Bali Province Government

Regulation number 3 the year of 2001 concerning the Service Village).

Page 60: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 60

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA TERORISME

Made Emy Andayani Citra, Luh Gede Yogi Arthani dan Dewi Bunga

Universitas Mahasaraswati Denpasar

[email protected]

Abstract: Criminal act of terrorism is a global issue with international motives. Each country has its own methods to prevent and eradicate terrorists. Law enforcement in criminal acts of terrorism in Indonesia led to a pattern of radicalism. This is shown by the detention of a suspect or defendant who is cursive. Whereas in the Netherlands, conducted by law enforcement and deradicalism persuasive approach through an approach to religious figures.

Key words : Law enforcement, terrorism and comparative.

Pendahuluan

Teror merupakan fenomena yang cukup tua dalam sejarah kehidupan manusia. Aksi

kekerasan berbau teror dapat ditelusuri dari tulisan Xenophon (431-350) mengenai perang

psikologi, kekerasan bangsa Roma yang terjadi di Spartacus pada tahun 73 M serta sejarah

bagaimana Kaisar Tibeius (14-37 SM) yang berupaya menyingkirkan, membuang,

merampas harta benda dan menghukum lawan-lawan politiknya.71

Aksi-aksi teror ini terus

berkembang dengan metode-metode yang semakin canggih dan jangkauan serta dampak

yang semakin luas. Pada Juli 2008, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI)

Afghanistan di Kabul terkena dampak sampingan ledakan bom mobil bunuh diri di Kedubes

India. Akibatnya, 5 petugas keamanan KBRI tewas dan 2 diplomat luka-luka dan 60% kaca

dan pintu hancur, serta bangunan KBRI di Kabul rusak parah.72

Ancaman akan tindak pidana terorisme juga terjadi terhadap Belanda dalam ajang piala

dunia 2010. Sebelumnya dilaporkan adanya ancaman dari Abdullah Azam Saleh Al-Qahtani

jika pihaknya akan menyerang tim atau fans dari Belanda untuk membalaskan penghinaan

terhadap Islam di beberapa kesempatan. Judith Sluiter, koordinator ofisial keamanan anti-

terorisme Belanda menyatakan ancaman yang dikeluarkan Al-Qahtani harus diwaspadai,

terutama ketika ancaman itu akan diwujudkan di luar negeri.73

71 Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi,

Refika Aditama, Bandung, hal. 48. 72 Bappenas, “Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme”, available from URL:

www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6122/, diakses pada 10 Juni 2010. 73 M Yanuar F, 2010, “Belanda Waspadai Ancaman Teroris Ofisial Keamanan Belanda Mencemaskan

Keselamatan Fans dan Timnas Mereka Selama Berada di Afrika Selatan dari Ancaman Teroris”,

Page 61: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 61

Aksi-aksi teorisme yang terjadi di berbagai negara, merupakan isu global dengan motif-

motif konflik internasional. Sejarah hukum internasional menunjukkan terjadi

internasionalisasi konsep terorisme.74

Internasionalisasi tersebut dapat dilihat melalui

resolusi PBB No. 1368 (2001) pada tanggal 12 September 2001 yang mengakui hak beladiri

individual atau kolektif negara-negara bila ada serangan dari negara lain sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB dan Resolusi PBB No. 1373 (2001) tanggal 22

September 2001 yang berisikan langkah-langkah yang harus diambil negara-negara anggota

untuk memberantas terorisme. Dewan keamanan juga meminta kepada negara-negara

anggota membuat berbagai peraturan untuk memblokir pendanaan aksi-aksi teroris,

membekukan dana-dana yang berhubungan dengan teroris di negara-negara mereka.

Resolusi itu juga mewajibkan negara-negara melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut

dan melaporkan tindakan yang telah diambil kepada Dewan Keamanan.75

Perang terhadap teroris adalah perang yang bersifat low intensity conflict yg harus

dihadapi dengan strategi operasi dan taktik khusus. 76

Oleh sebab itu sangat menarik untuk

membandingkan hukum acara pada penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme di

Belanda dan di Indonesia.

Istilah dan Sejarah Terorisme

Istilah teror dan terorisme mulai muncul dalam kosa kata ilmiah sejak abad ke-18,

namun fenomena yang ditujukannya bukanlah merupakan hal yang baru. Menurut Grant

Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi Terorisme sistematis muncul

sebelum Revolusi Prancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam

suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan

sebagai sistem rezim teror. Kata terorisme berasal dari Bahasa Perancis le terreur yang

semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang

mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000

orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata Terorisme

http://www.goal.com/id-ID/news/1369/piala-dunia/2010/05/20/1933403/belanda-waspadai-ancaman-teroris,

diakses pada 10 Juni 2010 74 Leacock, Charles Clifton, Internationalization of Crime, Journal International Law and Politics, Vol

34., 2001, New York, hal. 263. 75 Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika

Global Edisi Kedua, P.T. Alumni, Bandung, hal. 656. 76 Anonim, “Dilema Perang Melawan Terorisme”, http://blog.re.or.id/dilema-perang-melawan-

terorisme.htm, diakses pada 10 Juni 2010.

Page 62: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 62

dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia.77

Sehingga

dapat dikatakan jika pada awalnya definisi terorisme lebih mengarah pada tindak kekerasan

yang dilakukan oleh atau terhadap negara.

Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan terorisme, satu diantaranya adalah

pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary

Provisions) Act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political

ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of

the public in fear.”78

Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa

yang dimaksud dengan terorisme. Menurut Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana

Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang

dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna

Terorisme tersebut.79

Hal senada juga diungkapkan oleh Walter Lacquer dalam bukunya The

Age of Terrorism yang menyatakan bahwa “tak mungkin ada sebuah definisi yang dapat

mengcover ragam terorisme yang pernah muncul dalam sejarah.80

Sedangkan menurut Brian

Jenkins, terorisme merupakan pandangan yang subjektif.81

Dalam perspektif kekinian, definisi terorisme cenderung merujuk pada definisi yang

dirumuskan oleh PBB, yakni sebagai berikut:

Terorism is an anxiety-inspiring method of repeated violent action, employed by (semi)

clandestine individual, group or state actors for idiosyncratic, criminal or political

reasons, whereby-in contrast to assassination-the direct target s of attacks are not the

main targets. The immediate human victims of violence are generally chosen randomly

(targets of opportunity) or selectively (representative or symbolic targets) from a target

population, and serve as message generators. Threat-and violence-based communication

processes between terorist (organization), (imperiled) victims, and main targets are used

to manipulate the main target (audience(s), turning it into a target of teror, a target of

demands or target of attention, depending on whether intimidation, coercion or

propaganda is primarily sought.82

Terorisme merupakan serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan

membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang,

77 Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi

Indonesia FISIP UI, Vol 2 no III, Desember 2002, hal. 30. 78 Loebby Loqman, 1990, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan

Negara di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 98. 79 Indriyanto Seno Adji, 2010, Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana”

dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, O.C. Kaligis & Associates, Jakarta, hal. 35. 80 Walter Lacquer, 1987, The Age of Terrorism sebagaimana dikutib oleh Philips J. Vermote, hal. 30. 81 Indriyanto Seno Adji, loc.cit. 82 Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan

Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 140.

Page 63: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 63

aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu

tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.83

Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia I, terjadi

hampir di seluruh belahan dunia. Pada pertengahan abad ke-19, terorisme mulai banyak

dilakukan di Eropa Barat, Rusia dan Amerika. Mereka percaya bahwa terorisme adalah cara

yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara

membunuh orang-orang yang berpengaruh. Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi

terorisme Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan

masal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi Terorisme

diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi.84

Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme

(Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), dimana Konvensi ini

mengartikan terorisme sebagai Crimes Against State. Melalui European Convention on The

Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna terorisme mengalami suatu

pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula

dikategorikan sebagai Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan

pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity,

dimana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil.85

Crimes against Humanity masuk

kategori Gross Violation of Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan

sebagai bagian yang meluas/ sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan

secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak

bersalah (public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali.

Peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla jurusan Palembang-Medan pada

tanggal 28 Maret 1981, menjadi "jihad" pertama bagi para pelaku terorisme di Indonesia.

Para pelaku teror adalah kelompok Komando Jihad yang menuntut agar para rekannya yang

ditahan pasca peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat, dibebaskan. Dalam peristiwa

Cicendo, 14 anggota Komando Jihad membantai empat polisi di Kosekta 65 pada 11 Maret

1981 dini hari. Usai peristiwa itu, sejumlah anggota Komando Jihad ditahan dan terancam

83 Redaksi Wikipedia, 2010, “Terorisme”, http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme, diakses pada 10 Juni

2010 84 Ibid. 85 Indriyanto Seno Adji, op.cit., hal. 50

Page 64: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 64

hukuman mati.86

Fase kedua aksi terorisme di Indonesia telah memainkan modernisasi cara-

cara teror, hal ini dilakukan dengan menggunakan bahan peledak dan senjata api.

Bentuk dan Karakteristik Tindak Pidana Terorisme

Bentuk pertama terorisme, terjadi sebelum Perang Dunia II, terorisme dilakukan

dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua terorisme

dimulai di Aljazair di tahun 50-an, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan

yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk

melawan apa yang disebut sebagai Terorisme negara oleh Algerian Nationalist.

Pembunuhan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga

Terorisme muncul pada tahun 60-an dan terkenal dengan istilah “Terorisme Media”, berupa

serangan acak terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas. Bentuk ketiga ini berkembang

melalui tiga sumber, yaitu:

1. kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan tumbuhnya

gerakan-gerakan demokrasi serta HAM.

2. pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fundamentalis agama, radikalis

setelah era perang Vietnam dan munculnya ide perang gerilya kota.

3. kemajuan teknologi, penemuan senjata canggih dan peningkatan lalu lintas.

Namun terorisme bentuk ini dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang ketika itu

sebagian besar buta huruf dan apatis. Seruan atau perjuangan melalui tulisan mempunyai

dampak yang sangat kecil. Akan lebih efektif menerapkan “the philosophy of the bomb”

yang bersifat eksplosif dan sulit diabaikan.

Teror atau terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak

aksi kekerasan, terorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror,

tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan.87

Mengenai motivasi dari aksi terorisme, AA Banyu

Perwita berpendapat bahwa:

Setiap aksi terorisme memiliki motivasi yang berbeda-beda tergantung pada masing-

masing kondisi. Tindakan terorisme dapat didasarkan pada dua motif umum, yaitu

objective driven act dan teror driven act .

Objective driven act berkaitan dengan tindakan terorisme yang didasarkan pada

beberapa permintaan yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Cara yang biasa digunakan

86 Anonim, 2009, “Menyimak Kiprah Terorisme di Indonesia”, http://web.pab-

indonesia.com/content/view/29994/61/, diakses pada 10 Juni 2010. 87 Loudewijk F. Paulus, “Terorisme”, http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_ terorisme#cite _note-0,

diakses pada 10 Juni 2010.

Page 65: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 65

adalah penyanderaan. Bentuk ini memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk

bernegosiasi atau mengubah kebijakannya.

Teror driven act didasarkan pada tindakan balas dendam, atau digunakan juga sebagai

peringatan atau ancaman kekerasan yang akan terjadi jika pemerintah tidak mengubah

kebijakannya. 88

Bila aksi-aksi terorisme modern dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-

kelompok tertentu, dalam perkembangannya adapula yang dinamakan state-sponsored

terorism, yaitu kebijakan dan aksi-aksi yang disponsori atau didukung secara langsung atau

tidak langsung oleh suatu negara.89

Bentuk-bentuk terorisme dapat berupa state sponsored

terorism, yaitu tindakan terorisme yang dilakukan oleh suatu negara untuk mencapai

tujuannya dan privately based terorism, yaitu tindakan terorisme yang dilakukan oleh suatu

kelompok terorisme privat.90

Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang

diharapkan serta dicapai, target-target serta metode terorisme kini semakin luas dan

bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan

kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan

keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind)..91

Terorisme gaya

baru mengandung beberapa karakteristik:

1. ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan.

2. keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat

mungkin.

3. tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap terorisme yang sudah dilakukan.

4. serangan terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan

luasnya seluruh permukaan bumi.92

Berdasarkan matrik perbandingan karakteristik kelompok pengguna tindak

kekerasan guna mencapai tujuannya, dapat disimpulkan ciri - ciri terorisme adalah sebagai

berikut:

1. Organisasi yang baik, berdisiplin tinggi, militan. Organsisasinya merupakan

kelompok - kelompok kecil, disiplin dan militansi ditanarnkan melalui indoktrinasi

dan latihan yang bertahun - tahun.

2. Mempunyai tujuan politik, tetapi melakukan perbuatan kriminal untuk mencapai

tujuan.

88 Anak Agung Banyu Perwita Dan Yanyan Mochamad Yani, op.cit., hal. 141. 89 Boer Mauna, op.cit., hal. 656. 90 Ibid. 91 Mulyana W. Kusumah, Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi Indonesia

FISIP UI, Vol. 2 no III, Desember 2002, hal. 22. 92 Redaksi Wikipedia, 2010, “Sejarah Terorisme, http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_terorisme, diakses

pada 10 Juni 2010.

Page 66: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 66

3. Tidak mengindahkan norma - norma yang berlaku, seperti agama, hukum dan lain-

lain.

4. Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan

rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas. 93

Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Terorisme

Dalam rangka mencegah dan menanggulangi terorisme maka masyarakat

internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan

kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif

terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai terorisme.94

Langkah-langkah konkrit

tersebut dituangkan dalam berbagai perjanjian internasional, instrumen hukum dan

penegakan hukum.

Pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia telah memasuki babak baru

sejak peristiwa bom Bali I, 12 Oktober 2002. Pergerakan ke arah penuntasan kasus semakin

menunjukkan progresitas yang signifikan. Namun hingga kini mata rantai terorisme belum

mampu diputus. Dari segi payung hukum, institusi keamanan nasional mengalami masalah

karena keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum cukup memayungi operasi pencegahan

dalam bentuk operasi intelijen dan tindakan proaktif di awal. Keberadaan unit dan satuan

pencegahan serta penanggulangan terorisme yang tersebar di beberapa institusi juga menjadi

kendala rantai koordinasi yang belum padu di tingkat lapangan.

Diskursus mengenai penegakan hukum dalam tindak pidana terorisme merupakan hal

yang sangat menarik untuk dibicarakan. Interestasi ini diakibatkan karena pertautan antara

karakter extra ordinary crime dari terorisme, diskresi aparat penegak hukum dan

perlindungan HAM dari para pelaku. Pola penegakan hukum dalam tindak pidana terorisme

di Indonesia mengarah pada suatu pola radikalisme. Hal ini ditunjukkan dengan penahanan

tersangka atau terdakwa yang bersifat kursif. Penahanan ini menurut Van Bemmelem

sebagai pedang yang memenggal kedua belahpihak, karena tindakan yang bengis itu dapat

93 Loudewijk F Paulus, Terorisme, , Serial Online STT No. 2289 Volume V Nomor 8 Juli Tahun 2002,

http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=8&mnorutisi=2. diakses pada 10 Juni 2010. 94 Muladi, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal

Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol .2 no III Desember 2002, hal. 1.

Page 67: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 67

dikenakan kepada orang-orang yang belum menerima putusan hakim, jadi mungkin juga

kepada orang-orang yang tidak bersalah.95

Yahya Harahap mengemukakan bahwa masalah penahanan adalah masalah yang

paling esensial dalam sejarah kehidupan manusia. Menurutnya setiap yang namanya

penahanan dengan sendirinya menyangkut nilai dan makna:

1. Perampasan kebebasan dan kemerdekaan orang yang ditahan.

2. Menyangkut nilai-nilai perikemanusiaan dan harkat martabat kemanusiaan.

3. Menyangkut nama baik dan pencemaran atas kehormatan diri pribadi atau tegasnya

setiap penahanan dengan sendirinya menyangkut pembatasan dan pencabutan

sementara sebagian hak-hak asasi manusia.96

Terkait dengan pelaksanaan penahanan bagi tersangka atau terdakwa tindak pidana

terorisme tidak diatur secara limitatif dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15

Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam Pasal 25 ayat (2)

dinyatakan “Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang

untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan.” Pengaturan

mengenai penahanan juga terdapat dalam Pasal 44 a dimana atasan dapat melakukan

penahanan terhadap tersangka anggota bawahannya yang ada di bawah wewenang

komandonya. Mengenai alasan penahanan tidak diatur dalam Undang-undang ini sehingga

pengaturan mengenai alasan penahanan dikembalikan kepada aturan umum dalam KUHAP.

Penahanan hanya dapat dilakukan apabila memenuhi dua syarat yakni syarat objektif

dan subjektif. Syarat objektif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP

menentukan bahwa penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau

terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan

dalam tindak pidana tersebut dalam hal:

a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;

b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal

335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379

a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie

(pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad

Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak

95 Sudibyo Triatmodjo, 1981, Potret Kehidupan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 25. 96 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta, hal. 41.

Page 68: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 68

Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara

Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan

Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran

Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086).

Sedangkan alasan subjektif dari penahanan adalah:

a. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa akan melarikan diri.

b. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa merusak atau menghilangkan barang bukti.

c. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa mengulangi tindak pidana.

Terhadap alasan subjektif ini Andi Hamzah bahwa syarat subjektif ini pada hakikatnya

bukan syarat sahnya penahanan, melainkan hanya merupakan perlunya penahanan.97

Alasan subjektif dalam ketentuan hukum acara pidana di Belanda menentukan alasan

penahanan sebagai berikut:

a. Dimana keadaan tertentu menunjukkan kemungkinan akan larinya tersangka.

b. Dimana keadaaan tertentu membuat alasan penting yang diperlukan untuk merampas

kemerdekaan si pelaku demi kepentingan umum. Keadaan yang dipakai sebagai

alasan penting ditetapkan dengan Undang-undang; risiko dimana tersangka akan

melakukan tindak pidana (delik) yang serius (misdrijf) tidak merupakan dasar yang

kuat.

c. Dimana terdapat petunjuk bahwa tersangka akan merintangi pemeriksaan terkecuali

apabila ia dirampas kemerdekaannya. Tak boleh dilakukan perintah penahanan

hingga enam hari apabila terdapat kecenderungan bahwa tersangka bila dijatuhi

hukuman akan segera memperoleh hukuman penjara yang jangka waktunya lebih

singkat dari pada jangka waktu yang telah dijalani selama dalam penahanan

sementara.98

Bila dibandingkan dengan hukum acara pidana di Belanda, tampaknya terdapat

persamaan dalam hal syarat objektif dan syarat subjektif dari penahanan. Hanya bedanya

bila di dalam KUHAP ditetapkan seseorang dapat ditahan bila melakukan delik yang

diancam pidana minimal 5 tahun atau lebih, sedangkan di Belanda hanya menetapkan

minimal 4 tahun.

Terkait dengan ketentuan mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003

Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme maka ada tersangka atau terdakwa tindak

97 Andi Hamzah, 1983, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 113. 98 M.L.H.C Hulsman, penyadur Soerjono Rirdjosisworo, 1994, Sistem Peradilan pidana Dalam

Perspektif Perbandingan Hukum, Rajawali, Jakarta, hal 166-167.

Page 69: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 69

pidana yang terkait dengan tindak pidana terorisme yang tidak dapat ditahan, kecuali jika

penegak hukum menggunakan alasan subjektif. Hal ini disebabkan karena ada suatu delik

yang ancaman pidananya kurang dari 5 tahun. Tindak pidana dimaksud adalah diatur dalam

Pasal 23 yakni “Setiap saksi dan orang lain yang melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)

tahun.” Adapun substansi dari Pasal 32 ayat (2) tersebut adalah “Dalam penyidikan dan

pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak

pidana terorisme dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang

memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.”

Berbeda dengan Indonesia yang telah memiliki Undang-undang khusus mengenai

terorisme, Belanda justru tidak mempunyai undang-undang khusus mengenai terorisme,

namun sejak dulu bagi delik politik berlaku asas inquisitoir bukan accusatoir.99

Pergeseran

pemberantasan tindak pidana terorisme di Belanda telah mengarah pada upaya-upaya

humanisasi yang ditunjukkan dengan metode pendekatan kepada para pemuka agama Islam.

Penggalian informasi mengenai mata rantai terorisme di Indonesia dilakukan secara

kursif dalam masa penahanan tersangka atau terdakwa. Sedangkan di Belanda, penggalian

informasi dilakukan secara deradikalisme. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan

penahanan sebagai sarana yang terakhir. Kepolisian di Belanda beserta agen-agennya lebih

mengutamakan pola kerjasama dengan Imam dalam memberantas pemasukan aliran garis

keras di sana. Glenn Schoen menerangkan contoh-contoh praktis khas Belanda dalam

aturan-aturan pencegahan terorisme misalnya seorang imam mengetahui seseorang menjadi

radikal. Daripada langsung melapor polisi, ia akan berbicara dulu dengan teman dan

keluarga.100

Langkah-langkah persuasif menjadi kunci utama bagi pemberantasan terorisme di

Belanda dengan sasaran fundamentalisme di kalangan kaum muda. Investigasi melalui cara-

cara persuasif yang dilakukan oleh Belanda hendaknya perlu dipertimbangkan dalam

penegakan hukum di Indonesia. Hal ini dilandasi dari pemikiran bahwa negara hukum

99 Andi Hamzah, 2009, “Pokok-Pokok Pikiran Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara

Pidana”, http://jodisantoso.blogspot.com/2009/01/pokok-pokok-pikiran-rancangan-undang.html, diakses pada

10 Juni 2010.

100 Hans de Vreij, 2010, “Amerika Suka Cara Belanda Berantas Terorisme”, http://www.rnw.nl/bahasa-

indonesia/article/amerika-suka-cara-belanda-berantas-terorisme, diakses pada 10 Juni 2010,

Page 70: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 70

Republik Indonesia adalah suatu negara dengan nurani atau negara yang memiliki

kepedulian (a state with conscience and compassion). Negara hukum Indonesia bukan

negara yang hanya berhenti pada tugasnya menyelenggarakan fungsi publik, bukan negara

‘by job description’, melainkan negara yang ingin mewujudkan moral yang terkandung di

dalamnya. Negara hukum Indonesia lebih merupakan negara ‘by moral.’101

Dapat dikatakan bahwa institusi keamanan nasional secara kemampuan represif

mempunyai keunggulan dibandingkan dengan jaringan terorisme, tetapi sulit untuk

menjangkau pembangunan ideologi dan perkembangan dinamik jaringan terorisme sehingga

pemberantasan akar-akar terorisme belum sepenuhnya berhasil.102

Penegakan hukum secara

radikal hanya akan menghukum teroris yang tertangkap saja, namun tidak mampu menjaring

secara komprehensif mata rantai terorisme. Paham ini juga tidak dapat dihapuskan terorisme

hingga ke akar-akarnya.

Penutup

Ancaman akan tindak pidana terorisme merupakan isu global yang dihadapi oleh

semua negara termasuk Indonesia dan Belanda. Oleh sebab itu diperlukan upaya-upaya

penanggulangan yang holistik dan berhasil guna. Pola penegakan hukum terhadap tersangka

atau terdakwa bersifat radikalisme. Penggalian informasi dan bukti-bukti umumnya

dilakukan melalui penahanan dengan cara-cara yang represif. Hal yang berbeda terjadi di

Belanda dimana pola penegakan hukum dilakukan dengan cara persuasif dan secara

deradikalisme. Pendekatan ini dilakukan dengan kerjasama terhadap tokoh agama Islam

setempat untuk menggali informasi mengenai jaringan terorisme. Cara-cara persuasif dan

deradikalisme terhadap pemberantasan tindak pidana terorisme hendaknya perlu dilakukan

di Indonesia. Hal ini dapat menjadi celah untuk menjaring seluruh mata rantai terorisme

sekaligus dapat menjadi sarana untuk mendidik dan mengembalikan para teroris ke jalan

yang benar.

101 Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing,

Yogyakarta, hal. 92-93. 102 Bapenas, loc.cit.

Page 71: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 71

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Andi Hamzah, 1983, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Banyu Perwita, Anak Agung dan Yanyan Mochamad Yani, 2005, Pengantar Ilmu

Hubungan Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era

Dinamika Global Edisi Kedua, P.T. Alumni, Bandung.

Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi

Informasi, Refika Aditama, Bandung.

Hulsman, M.L.H.C, penyadur Soerjono Rirdjosisworo, 1994, Sistem Peradilan pidana

Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, Rajawali, Jakarta.

Indriyanto Seno Adji, 2010, Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum

Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, O.C. Kaligis & Associates,

Jakarta.

Loebby Loqman, 1990, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap

Keamanan Negara di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta

Publishing, Yogyakarta.

Sudibyo Triatmodjo, 1981, Potret Kehidupan Hukum, Alumni, Bandung.

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini,

Jakarta.

JURNAL

Leacock, Charles Clifton, 2001, Internationalization of Crime, Journal International Law

and Politics, Vol 34., New York.

Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal

Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol 2 no III, Desember 2002, hal. 30.

Muladi, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal

Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III Desember 2002.

Mulyana W. Kusumah, Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi

Indonesia FISIP UI, Vol. 2 no III, Desember 2002.

Page 72: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 72

INTERNET

Andi Hamzah, 2009, “Pokok-Pokok Pikiran Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum

Acara Pidana” http://jodisantoso.blogspot.com/2009/01/pokok-pokok-pikiran-

rancangan-undang.html, diakses pada 10 Juni 2010.

Anonim, “Dilema Perang Melawan Terorisme”, http://blog.re.or.id/dilema-perang-melawan-

terorisme.htm, diakses pada 10 Juni 2010.

_______, 2009, “Menyimak Kiprah Terorisme di Indonesia” http://web.pab-

indonesia.com/content/view/29994/61/, diakses pada 10 Juni 2010

Bappenas, “Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme”, http://www.bappenas.go.id/get-

file-server/node/6122/, diakses pada 10 Juni 2010

Hans de Vreij, 2010, “Amerika Suka Cara Belanda Berantas Terorisme”,

http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/amerika-suka-cara-belanda-berantas-

terorisme, diakses pada 10 Juni 2010.

Loudewijk F. Paulus, “Terorisme”, http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_ terorisme#cite

_note-0, diakses pada 10 Juni 2010.

_____________________, “Terorisme”, Serial Online STT No. 2289 Volume V Nomor 8

Juli Tahun 2002,

http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=8&mnorutisi=2, diakses pada 10

Juni 2010.

M Yanuar F, 2010, “Belanda Waspadai Ancaman Teroris Ofisial Keamanan Belanda

Mencemaskan Keselamatan Fans Dan Timnas Mereka Selama Berada di Afrika

Selatan dari Ancaman Teroris”, http://www.goal.com/id-ID/news/1369/piala-

dunia/2010/05/20/1933403/belanda-waspadai-ancaman-teroris, diakses pada 10 Juni

2010.

Redaksi Wikipedia, 2010, “Terorisme”, http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme, diakses

pada 10 Juni 2010.

_______________, 2010, “Sejarah Terorisme,

http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_terorisme, diakses pada 10 Juni 2010.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang

Hukum Acara Pidana. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76.

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor

45. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284

Page 73: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 73

HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK DALAM MENGATUR

PENGGUNAAN NARKOTIKA DI INDONESIA

I Nyoman Budi Sentana

Bappeda Provinsi Bali

Abstract: Law is an instrument of public policy in regulating the use of narcotics in Indonesia. The use of law as an instrument of public policy here, can be seen from the arrangement of criminalization and decriminalization of drugs, narcotics policies regarding restrictions on the storage, treatment and rehabilitation obligations to users, authorities Indonesia narcotics agency, the decision for drug addicts, the role of communities, the criminal provisions and penalties for the experimental equation and the crime is complete. Institutional policy model used in the formulation of Law Number 35 Year 2009 on Narcotics is expected to make such provision shall be effective through the imposition of sanctions for any violators.

Key words: Law, instrument of public policy and narcotics.

Pendahuluan

Penggunaan narkotika di Indonesia bukanlah suatu tindak pidana dan juga bukan

menjadi suatu hal yang dilarang. Yang menjadi tindak pidana dan dilarang adalah

penyalahgunaan narkotika. Narkotika hanya dapat digunakan untuk terapi kesehatan dan

kepentingan ilmu pengetahuan. Namun kenyataannya banyak terjadi penyalahgunaan

narkotika. Hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Universitas Indonesia

pada 2005 menunjukkan sekitar 1,5 persen penduduk Indonesia atau sekitar 3,2 juta

penduduk sudah menjadi penyalahguna narkoba. Dari 3,2 juta penyalahguna narkotika

tersebut, 800 ribu orang di antaranya menggunakan narkotika dengan jarum suntik dan 60

persen dari jumlah pengguna narkotika dengan jarum suntik tersebut sudah terinfeksi

HIV/AIDS. Setiap tahun sebanyak 15 ribu orang Indonesia juga dilaporkan meninggal dunia

karena overdosis dan terinfeksi HIV/AIDS, artinya setiap hari ada 40 anak bangsa yang

meninggal dunia karena kasus narkotikadan HIV/AIDS.103

Penyalahgunaan narkotika dari tahun ke tahun semakin meningkat. Data dari Badan

Narkotika Nasional Republik Indonesia menyebutkan sejak tahun 2000 sampai dengan

tahun 2004 telah berhasil disita narkotika seperti ganja dan derivatnya sebanyak 127,7 ton

dan 787.259 batang, heroin sebanyak 93,9 kg, morfin sebanyak 244,7 gram, serta kokain

103 Redaksi Kapanlagi.com, 2007, “Lembaga Rehabilitasi Sosial Penyalahguna Narkoba Masih Terbatas”,

http://www.kapanlagi.com/h/0000178692.html, diakses pada 11 Juni 2011.

Page 74: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 74

sebanyak 84,7 kg.104

Hingga tahun 2008 jumlah penyalahgunaan narkotika di Indonesia

mencapai 3,6 juta orang. Jumlah pengguna narkotika ini mengalami lonjakan sejak tahun

2003 dengan capaian 3,2 juta orang per tahunnya. 105

Saat ini peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan sasaran potensial

generasi muda sudah menjangkau berbagai penjuru daerah dan penyalahgunanya merata di

seluruh strata sosial masyarakat. Pada dasarnya narkotika sangat diperlukan dan mempunyai

manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi penggunaan narkotika

menjadi berbahaya jika terjadi penyalahgunaan. Oleh karena itu untuk menjamin

ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan di satu sisi, dan di

sisi lain untuk mencegah peredaran gelap narkotika yang selalu menjurus pada terjadinya

penyalahgunaan, maka diperlukan pengaturan di bidang narkotika.

Untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional maka pemerintah harus

membuat suatu kebijakan untuk memilah-milah mengenai narkotika yang dilarang dan mana

yang diperbolehkan. Selain itu juga menentukan upaya-upaya untuk menanggulangi

perdagangan dan peredaran gelap narkotika serta penyalahgunaannya. Oleh sebab itu

diperlukan hukum sebagai instrumen kebijakan publik dalam mengatur penggunaan

narkotika di Indonesia baik dalam substansi hukum, penegak hukum, sumber daya maupun

organisasi-organisasi yang terkait dengan instrumen tersebut.

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Penyalahgunaan Narkotika

Narkotika baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan

kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung yang mempunyai sifat,

karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi. Narkotika dalam pengertian opium

telah dikenal dan dipergunakan masyarakat Indonesia khususnya wargaTionghoa dan

sejumlah besar orang Jawa sejak tahun 1617. Selanjutnya diketahui bahwa mulai tahun

1960-an terdapat sejumlah kecil kelompok penyalahguna heroin dan kokain. Pada awal

1970-an mulai muncul penyalahgunaan narkotika dengan cara menyuntik. Orang yang

menyuntik disebut morfinis. Sepanjang tahun 1970-an sampai tahun 1990-an sebagian besar

104 Badan Narkotika Nasional Repubhk Indonesia, 2005, Materi Advokasi Pencegahan Narkoba, Jakarta,

hal. 1. 105 TV One, 2009, “BNN: 3,6 Juta Warga Indonesia Gunakan

Narkoba”,http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=Berita&op=index_berita&mn=6&smn=a,

diakses pada 11 Juni 2011.

Page 75: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 75

penyalahguna kemungkinan memakai kombinasi berbagai jenis narkotika (polydrug jser),

dan pada tahun 1990-an heroin sangat populer dikalangan penyalahguna narkotika.

Berbicara tentang kejahatan, maka secara tidak langsung berbicara tentang korban dari

kejahatan tersebut. Rumusan mendasar dari suatu kejahatan adalah adanya pelaku dan

korban kejahatan. Kejahatan adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara

fenomena yang ada dan yang saling mempengaruhi. Berdasarkan definisi kejahatan tersebut,

dapatlah kita ambil suatu kesimpulan, bahwa kejahatan merupakan hasil interaksi manusia.

Para kriminolog sepakat, bahwa kejahatan merupakan produk dari masyarakat. Selama

masyarakat masih mengadakan interaksi satu dengan yang lain selama itu pula kejahatan

akan tetap muncul. Ada korban, ada kejahatan dan sebaliknya, ada kejahatan ada korban.

Rangkaian kata ini menyatakan, apabila terdapat korban kejahatan, jelas terjadi suatu

kejahatan.

Kejahatan dalam arti luas tidak hanya yang dirumuskan dalam undang-undang, tetapi

juga tindakan yang menimbulkan penderitaan dan tidak dapat dibenarkan serta dianggap

jahat oleh masyarakat. Kejahatan dalam arti sempit adalah Mijsdriff atau crime yang

merupakan bagian dari tindak pidana atau delict.

1. Sudut Pandang Hukum Positif

Berbicara tentang hukum positif, maka kita akan menuju kepada suatu norma atau

ketentuan yang berlaku pada suatu waktu tertentu pada wilayah tertentu (ius

constitutum). Di dalam hukum pidana Indonesia, KUHP sebagai hukum positif, yang

menjadi hoeksteen atau poros di ujung adalah pasal 1 ayat 1 KUHP, asas legalitas. Inti

dari pasal tersebut adalah hanya perbuatan yang disebut tegas oleh peraturan

perundang-undangan sebagai kejahatan atau pelanggaran, dapat dikenai sanksi pidana.

Menurut hukum positif, suatu perbuatan dikatakan sebagai suatu perbuatan pidana

atau tindak pidana jika perbuatan tersebut melawan hukum (melanggar undang-

undang) dan terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku tindak pidana tersebut. Jika

unsur melawan hukum dan unsur kesalahan tersebut telah terpenuhi, maka perbuatan

tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana dan pelaku dapat dikenakan

sanksi pidana. Kedudukan korban dalam kejahatan menurut hukum positif tidaklah

mutlak, dalam artian korban bukanlah unsur terpenuhinya rumusan suatu kejahatan

atau tindak pidana.

2. Sudut Pandang Sosiologis

Berbeda halnya dengan sudut pandang hukum positif yang menyatakan, bahwa

kedudukan korban bukanlah unsur mutlak terjadinya kejahatan, pandangan sosiologis

memiliki pandangan yang berbeda. Dalam pandangan sosiologis, korban memilki

posisi yang cukup vital dalam hubungannya dengan kejahatan. Korban adalah salah

satu tolok ukur dalam menentukan kejahatan. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai

kejahatan kalau ada pihak yang dirugikan, dan pihak tersebut disebut dengan korban.

Dalam sudut pandang sosiologis, sebuah perbuatan yang awalnya merupakan

kejahatan bisa berubah menjadi bukan kejahatan, begitu juga sebaliknya. Proses

Page 76: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 76

berubahnya suatu perbuatan dari perbuatan biasa menjadi perbuatan pidana disebut

kriminalisasi, sedangkan proses berubahnya perbuatan pidana menjadi perbuatan biasa

disebut dekriminalisasi. Salah satu faktor yang menyebabkan kriminalisasi atau

dekriminalisasi adalah korban kejahatan. Ketika tidak terdapat korban kejahatan, suatu

perbuatan yang awalnya merupakan tindak pidana bisa berubah menjadi tindak

pidana, begitu juga sebaliknya.

Pada sub pembahasan di atas telah disinggung, bahwa kedudukan korban dalam

kejahatan dapat ditinjau dari dua sudut pandang yaitu, sudut pandang hukum positif dan

sudut pandang sosiologis. Permasalahan kedua yang akan dibahas adalah mengenai

kedudukan korban tindak pidana narkotika dalam perspektif viktimologis. Sellin dan

Wolfgang memberikan kualifikasi jenis-jenis korban kejahatan sebagai berikut:

1. Primary victimization adalah korban individual, jadi korban disini adalah korban

perorangan bukan korban kolektiv atau kelompok;

2. Secondary victimization, maksud dari korban dengan bentuk seperti ini adalah,

korbannya badan hukum atau kelompok;

3. Tertiary victimization yang menjadi korban adalah masyarakat luas, boleh juga

dikatakan, bahwa korbannya abstrak dan tidak berhubungan langsung dengan

kejahatan;

4. Mutual victimization, yang menjadi korban adalah pelaku sendiri, korban tidak

menyadari bahwa dirinya adalah korban dari kejahatan yang dilakukannya sendiri;

5. No victimization, istilah no victimization bukan berarti tidak ada korban. Korban

tetap ada akan tetapi tidak dapat segera diketahui keberadannya atau posisinya

sebagai korban. 106

Berbeda dengan Sellin dan Wolfgang, Stephen Schafer memiliki kriteria tersendiri dalam

membagi korban kejahatan. Pembagian menurut Stephen Schafer adalah sebagai berikut:

1. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan

menjadi korban karena potensial. Untuk itu dari aspek tanggung jawab sepenuhnya

berada di pihak korban;

2. Provocative victims, merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk

memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada

diri korban dan pelaku bersama-sama;

3. Participating victims, hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong

pelaku melakukan kejahatan. Pertanggung jawaban sepenuhnya berada di tangan

pelaku;

4. Biologically weak victims adalah kejahatan karena faktor fisik korban.

Pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena

tidak memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya;

5. Socially weak victims adalah korban yang yang tidak diperhatikan oleh masyarakat

bersangkutan seperti para gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah.

Pertanggungjawabannya terletak pada penjahat atau masyarakat;

106

Diyan, 2009, “Korban Tindak Pidana Narkoba”, http://diyanunlam.blogspot.com/2009/05/korban-

tindak-pidana-narkoba.html, diakses pada 11 Juni 2011.

Page 77: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 77

6. Self victimizating victims adalah korban yang dilakukan sendiri (korban semu).

Untuk itu pertanggung jawabannya terletak pada korban sepenuhnya karena

sekaligus sebagai pelaku;

7. Political victims, adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban

ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali ada adanya perubahan konstelasi

politik.107

Peraturan perundang-undangan yang mengatur narkotika di Indonesia sebenarnya

telah ada sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie,

Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927). Ordonansi ini kemudian diganti dengan

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 26

Juli 1976. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 telah diganti dengan Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 1 September

1997. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang disahkan pada 14

September 2009 merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika. Pemerintah menilai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika

tidak dapat mencegah tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif

maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun secara substansial,

UU Narkotika yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan

UU terdahulu, kecuali penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana

yang berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar.

Kebijakan mengenai pengaturan narkotika di Indonesia memang harus dituangkan

dalam bentuk hukum, hal ini dimaksudkan untuk mencapai kepastian hukum. Adapun

beberapa kebijakan baru yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika adalah:

I. Adanya Pembatasan Penyimpanan Narkotika

Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan narkotika untuk jenis dan

golongan apapun. Pihak yang diperbolehkan melakukan penyimpanan hanya terbatas

pada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan

masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuaan. Hal ini sangat

menyulitkan pengguna narkotika yang sedang melakukan pemulihan, dimana para

pengguna harus mengunjungi tempat-tempat tertentu. Pembatasan ini memungkinkan

para pengguna narkotika untuk mendapatkan narkotika secara ilegal.

II. Pengobatan dan Rehabilitasi

Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika yang

digunakan untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi dengan

107 Ibid.

Page 78: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 78

bukti yang sah. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, para

pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tidak lagi diberikan kebebasan dan

atas kehendak sendiri untuk sembuh. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi social

menjadi kewajiban bagi para pecandu. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika juga mewajibkan pecandu narkotika untuk melaporkan diri mereka

kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis

dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan

keluarga. Rehabilitasi medis dan sosial selain dapat diselenggarakan oleh instansi

pemerintah ataupun masyarakat yang akan diatur dalam peraturan menteri.

III. Kewenangan BNN dan Penyelidikan

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memberikan porsi

besar bagi BNN. Salah satu kewenangan BNN adalah mencegah dan memberantas

penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prusukor narkotika. Selain itu BNN dapat

mempergunakan masyarakat dengan cara memantau, mengarahkan dan meningkatkan

kapasitas mereka untuk melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika

dengan cara memberdayakan anggota masyarakat. Dalam hal melakukan

pemberantasan narkotika, BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan

dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor

narkotika beserta dengan kewenangan yang dimiliki penyelidik dan penyidik seperti

penangkapan selama 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 3×24 jam ditambah

penyadapan. Porsi kewenangan BNN yang terlalu besar seperti dalam penahanan dan

penggeledahan yang tidak dimiliki oleh penyidik kepolisiaan akan menimbulkan

permasalahan secara kelembagaan, dan rasa persamaan hukum bagi tersangka yang

diperiksa di BNN dan kepolisian.

IV. Putusan Rehabilitasi bagi para pecandu Narkotika

Walaupun prinsip dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika adalah melakukan rehabilitasi bagi para pecandu narkotika, tetapi dalam

UU ini masih menggunakan kata “dapat” untuk menempatkan para pengguna

narkotika baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani pengobatan

dan/atau perawatan melalui rehabilitasi. Hakim juga diberikan wewenang kepada

pecandu yang tidak bermasalah melakukan tidak pidana narkotika untuk ditetapkan

menjalani pengobatan dan rehabilitasi.

V. Peran Serta Masyarakat

Selain memberikan kewengan yang besar terhadap penegak hukum, khususnya

BNN, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika juga mewajibkan

masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan

narkotika. Masyarakat dijadikan seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh,

dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut. Dalam

UU ini masyarakat tidak diberikan hak untuk melakukan penyuluhan, pendampingan

dan penguatan terhadap pecandu narkotika. Peran serta masyarakat yang dikumpulkan

dalam suatu wadah oleh BNN dapat menjadi suatu ketakutan tersendiri karena

masyarakat mempunyai legitimasi untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan

narkotika tanpa adanya hak yang ditentukan oleh Undang-Undang.

VI. Ketentuan Pidana

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memiliki

kencederuangan mengkriminalisasi orang, baik produsen, distributor, konsumen dan

Page 79: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 79

masyarakat dengan mencantumkan ketentuan pidana sebanyak 39 pasal dari 150 pasal

yang diatur dalam UU tersebut. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika menggunakan pendekatan pidana untuk melakukan pengawasan dan

pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika. Penggunaan pidana masih dianggap

sebagai suatu upaya untuk menakut-nakuti agar tidak terjadinya penggunaan

narkotika. Hal tersebut didukung dengan diberikannya suatu kewenangan yang besar

bagi BNN yang bermetafora menjadi institusi yang berwenang untuk melakukan

penyadaran kepada masyarakat, melakukan penyelidikan, penyidikan, serta

penuntutan dalam tindak pidana narkotika.

Lebih jauh, menilai ketentuan pidana yang diatur di dalam Undang-undang Nomor

35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sebagai berikut:

a. Tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam Tindak Pidana narkotika

Penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum” dalam beberapa

pasal UU No. 35/2009 dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat

orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niatan melakukan tindak

pidana narkotika, baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuan.

b. Penggunaan sistem pidana minimal

Penggunaan sistem pidana minimal dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika memperkuat asumsi bahwa UU tersebut memang diberlakukan

untuk memidanakan masyarakat yang berhubungan dengan narkotika. Penggunaan

pidana minimal juga akan menutup hakim dalam menjatuhkan putusan walaupun di

dalam prakteknya, hakim dapat menjatuhkan putusan kurang dari pidana minimal dan

hal tersebut diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung.

c. Kriminalisasi Bagi orang tua dan masyarakat

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memberikan ancaman

hukuman pidana (6 bulan kurungan) bagi orang tua yang sengaja tidak melaporkan

anaknya yang menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Meskipun unsur

’kesengajaan tidak melapor’ tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur tersebut

tidak mengecualikan orang tua yang tidak mengetahui bahwa zat yang dikonsumsi

anaknya adalah narkotika. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

juga menuntut agar setiap orang melaporkan tindak pidana narkotika. UU ini

memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun bagi orang yang tidak melaporkan

adanya tindak pidana narkotika. Penerapan pasal ini akan sangat sulit diterapkan karena

biasanya pasal ini digunakan bagi pihak-pihak yang ditangkap ketika berkumpul dengan

para pengguna narkotika. Orang tersebut juga dapat dipergunakan sebagai saksi

mahkota untuk memberatkan suatu tindak pidana narkotika. Pasal ini juga mengancam

para pihak yang mendampingi komunitas pecandu narkotika. Pada ketentuaan peran

serta masyarakat dalam BAB XIII masyarakat tidak diwajibkan untuk melaporkan jika

mengetahui adanya penyalahgunaan narkotika atau peredaran gelap narkotika.

Ketentuan ini menunjukan ketidak singkronan antara delik formal dengan delik

materiil.

d. Persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana selesai

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyamakan

hukuman pidana bagi pelaku tidak pidana selesai dengan pelaku tidak pidana

percobaan. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut

memiliki efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana tersebjut

terjadi, sehingga akibat tindak pidana tersebut tidak selesai, sehingga seharusnya

Page 80: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 80

pemidanaan antara pelaku tidak pidana percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus

dibedakan.108

Perbedaan juga terdapat pada penyisihan barang bukti (BB), yang tadinya hanya boleh

untuk pembuktian dan pengembangan ilmu dan pengetahuan, saat ini bertambah untuk

pendidikan dan latihan. UU ini juga mengatur tentang penguatan lembaga Badan Narkotika

Nasional (BNN) sebagai lembaga pemerintah non-departemen yang memiliki kewenangan

untuk menyelidik, menyidik, mempercepat pemusnahan barang bukti, dan menyadap pihak

yang terkait penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.109

Model Kebijakan Publik Dalam Mengatur Penggunaan Narkotika di Indonesia

Pengaturan mengenai penggunaan narkotika di Indonesia merupakan salah satu

kebijakan dalam hukum pidana. Pola kebijakan sebagaimana yang telah diatur dalam

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah model kebijakan publik

kelembagaan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ciri-ciri dari model kebijakan publik

kelembagaan yakni:

a. Kebijakan publik tersebut di buat oleh pemerintah. Undang-undang Nomor 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika merupakan produk hukum yang dibuat oleh presiden bersama

DPR dimana kedua lembaga negara ini merupakan pemerintah dalam arti luas.

b. Pemerintah melegitimasi kebijakan penggunaan narkotika. Artinya pemerintahlah yang

menyatakan bahwa penggunaan narkotika tidak dilarang, sedangkan yang dilarang

adalah penyalahgunaan narkotika. Pemerintah melegitimasi kebijakan ini dengan

memformulasikan dan menuangkannya dalam bentuk Undang-undang.

c. Legitimisasi tersebut menimbulkan akibat hukum dimana masyarakat secara yuridis

harus menaati ketentuan tersebut. Dan setiap pelanggarannya harus dikenakan sanksi

sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan pidana dalam Undang-undang tersebut.

d. Kebijakan ini berlaku secara universal artinya keberlakuannya mencakup keseluruhan

dan bagi semua orang.

Penutup

Hukum merupakan instrumen dalam kebijakan publik dalam pengaturan penggunaan

narkotika di Indonesia. Penggunaan hukum sebagai instrumen kebijakan publik disini dapat

terlihat dari pengaturan kriminalisasi dan dekriminalisasi narkotika, kebijakan mengenai

108 Totokyuliyanto., “ Catatan terhadap UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

http://totokyuliyanto.wordpress.com/2009/11/10/catatan-terhadap-uu-no-35-tahun-2009-tentang-narkotika/,

diakses pada 11 Juni 2011. 109 Anonim, 2009, “2010, Kejati Baru Terapkan UU No 35/2009”,

http://www.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1780:ruma-maida-borong-11-

nominasi&catid=19:berita-utama&Itemid=66, diakses pada 11 Juni 2011.

Page 81: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 81

pembatasan penyimpanan narkotika, kewajiban pengobatan dan rehabilitasi bagi pengguna,

kewenangan BNN, putusan bagi pecandu narkotika, peran serta masyakat, ketentuan pidana

dan persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana selesai.

Penggunaan hukum sebagai instrumen kebijakan publik yang efektif perlu dilakukan

dengan penggunaan wewenang yang sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, sebab

dalam pengaturan narkotika melalui Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika menumbulkan diskresi yang luas baik diskresi yang dapat dilakukan oleh hakim

maupun BNN sebagai penyidik tindak pidana narkotika.

Model kebijakan publik yang digunakan dalam merumuskan ketentuan mengenai

pengaturan penggunaan narkotika di Indonesia adalah model kebijakan publik kelembagaan

dimana pemerintah menetapkan kebijakan yang harus ditaati oleh masyarakat secara

keseluruhan. Dan atas pelanggaran dari kebijakan tersebut akan dikenakan sanksi. Model

kebijakan kelembagaan yang digunakan dalam perumusan Undang-undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika diharapkan dapat membuat ketentuan tersebut berlaku

efektif melalui penjatuhan sanksi bagi setiap pelanggarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2005, Materi Advokasi Pencegahan

Narkoba, Jakarta.

Anonim, 2009, “2010, Kejati Baru Terapkan UU No 35/2009”,

http://www.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1780:ru

ma-maida-borong-11-nominasi&catid=19:berita-utama&Itemid=66, diakses pada 11

Juni 2011.

Diyan, 2009, “Korban Tindak Pidana Narkoba”,

http://diyanunlam.blogspot.com/2009/05/korban-tindak-pidana-narkoba.html, diakses

pada 11 Juni 2011.

Kapanlagi.com, 2007, “Lembaga Rehabilitasi Sosial Penyalahguna Narkoba Masih

Terbatas”, http://www.kapanlagi.com/h/0000178692.html, diakses pada 11 Juni 2011.

TV One, 2009, “BNN: 3,6 Juta Warga Indonesia Gunakan Narkoba”

http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=Berita&op=index_berita&

mn=6&smn=a, diakses pada 11 Juni 2011.

Totokyuliyanto., “ Catatan terhadap UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”,

http://totokyuliyanto.wordpress.com/2009/11/10/catatan-terhadap-uu-no-35-tahun-

2009-tentang-narkotika/, diakses pada 11 Juni 2011.

Page 82: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 82

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Verdoovende Middelen Ordonnantie (Stbl. 1927 Nomor 278 Jo. Nomor 536).

Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika. Lembaran Negara 1976/37 dan

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086.

Undang-undang Nomor 9 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1997 Nomor 67 dan Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3698.

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 143 dan Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062.

Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1971.

Page 83: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 83

KEBIJAKAN FORMULATIF PIDANA MATI DAN PIDANA

SEUMUR HIDUP DALAM KONSEP KUHP

I Nengah Susrama

Fakultas Hukum Unmas Denpasar

Abstract: Capital punishment and life imprisonment is a kind of criminal sanctions that stipulated in article 10 Criminal Code Concept. Existence of capital punishment and life imprisonment as a kind of criminal sanction cause in the public opinion of the pros and cons of legal expert and in society. One the one hand the sanctions are still considered necessary but on the other side is considered of contrary to the concept of rehabilitation. Capital punishment and life imprisonment are eliminate the human right to l ife. But the sanctions are still retained in the draft criminal code.

Key Words: Policy, capital punishment, life imprisonment and criminal code

concept.

Pendahuluan

Pada dasarnya hukum selalu berkembang. Hukum berkembang mengikuti

perkembangan masyarakat. Suatu peraturan dapat mengalami perubahan, penambahan,

pengurangan dan pembaharuan, karena norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat

mengalami perkembangan atau perubahan.

Sejalan dengan perkembangan dan perubahan tersebut, hukum pidana juga tidak bisa

terlepas dari kondisi yang demikian. Usaha-usaha pembaharuan dalam hukum pidana

khususnya KUMP/WvS telah dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari pakar-pakar

hukum nasional.

Dimulai dari adanya rekomendasi Seminar Hukum Nasional I tahun 1963 yang

menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional selekas mungkin

diselesaikan, maka pada tahun 1964 dibicarakanlah konsep yang pertama. Berturut-turut

kemudian ada konsep 1968, konsep 1971/1972, konsep 1982/1983, yang kemudian menjadi

konsep 1987/1988. Konsep ini pun mengalami pengkajian terus-menerus, sehingga menjadi

konsep 1991/1992.110

Sampai dewasa ini menjadi konsep 1999/2000, yang menjadi dasar

kajian dalam penulisan ini.

110 Barda Nawawi Arief, 1996, Kebijakan Legislative Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana

Penjara, Universitas Dipponegoro, Semarang, hal. 106

Page 84: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 84

Jika nanti konsep 1999/2000, diterima dan dinyatakan berlaku, tentu saja telah

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang disesuaikan dengan falsafah dan kondisi

alam kemerdekaan Indonesia, khususnya mengenai masalah pidana dan pemidanaan yang

terkait langsung dengan masalah hak asasi manusia, yang di Indonesia realisasmya terwujud

melalui ide pemasyarakatan. Namun sering dipertanyakan apakah ia, konsep 1999/2000

khsusnya masalah pidana dan pemidanaan telah menganut falsafah pidana dan pemidanaan

yang dijiwai falsafah bangsa Indonesia. Mempertanyakan hal-hal yang berkaitan dengan

kebijakan legislative khususnya masalah pidana dan pemidanaan adalah suatu yang sangat

penting. Dalam konsep 1999/2000 masih tetap mempertahankan pidana mati (Pasal 80

konsep KUHP) dan pidana seumur hidup (Pasal 64 ayat (1). Bila hal ini dikaitkan dengan

ide pemasyarakatan sebagai realisasi dari pemidanaan, pidana mati dan pidana seumur hidup

nampak kontradiktif (terjadi pertentangan antara norma dengan nilai), oleh karena

bagaimana mungkin orang yang dieksekusi mati atau dipidana seumur hidup dapat

dimasyarakatkan.

Bertolak dari uraian di atas, maka permasalahannya adalah : Mengapa pidana mati

dan pidana seumur hidup masih perlu dipertahankan dalam KUHP mendatang, atau apakah

pidana mati dan pidana seumur hidup tidak bertentangan dengan ide pemasyarakatan?.

Untuk mendapat gambaran yang jelas dan membatasi pembahasan, maka penulis

membatasi pada pertimbangan-pertimbangan tentang dipertahankannya pidana mati dan

pidana seumur hidup tersebut, dalam konsep 1999/2000, dikaitkan dengan konsep

pemikiran tentang ide pemasyarakatan. Dengan demikian kajian disini akan dipokuskan

pada sinkronisasi kebijakan formulasi pidana mati dan pidana seumur hidup dengan ide

pemasyarakatan yang mencakup bagaimana konsep KUHP yang ada mengaturnya dan

bagaimana sebaiknya pidana termaksud diatur.

Penulisan ini bertujuan untuk mendapatkan jawaban mengenai dasar pertimbangan

tentang tetap dipertahankannya pidana mati dan pidana seumur hidup dalam konsep KUHP

1999/2000, mengingat pidana tersebut nampak kontradiktif dengan ide pemasyarakatan.

Dengan demikian penulisan ini akan bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran yang

bersifat teoritis dalam rangka pengembangan studi ilmu hukum pidana, khususnya tentang

penggunaan pidana mati dan pidana seumur hidup, Akhirnya untuk mempermudah

pembahasan dan mendapatkan hasil penulisan yang lebih mendekati keilmiahan, penulis

menggunakan metode pendekatan konsep, dengan bahan hukum primer yaitu konsep

Page 85: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 85

1999/2000, dengan teknik penelusuran kemudian diolah secara sistematis dan disajikan

secara analisis.

Penanggulangan Kejahatan Melalui Sanksi Pidana

Secara yuridis formal jenis pidana ditentukan dalam Pasal 10 KUHP/WvS yang

merupakan produk legislatif pemerintah belanda. Dalam pasal tersebut, jenis pidana mati

ditentukan sebagai pidana pokok. Setalah Indonesia merdeka ketentuan tersebut masih tetap

dipertahankan melalui Undang-Undang No. 1 tahun 1946 dengan beberapa perubahan dan

penyesuaian dengan alam kemerdekaan. Ini pidana mati masih tetap sebagai sarana

penanggulangan kejahatan.

Penologi dalam bentuk sistem pemasyarakatan, perkembangannya tidak mungkin

terhindarkan karena sanksi pidana berat di dalam hukum pidana adalah pidana mati di

samping pidana penjara atau kurungan. Eksistensi, pengaturan, dan pelaksanaan pidana

tersebut, oleh masyarakat dirasakan sudah tidak memadai lagi, namun kenyataannya pidana

mati tidak di hapus sama sekali, pidana tersebut melainkan hanya di sempurnakan atau

penggunaannya sangat eksepsional.

Mengenai persoalan apakah dalam kehidupan masyarakat memang seharusnya ada

pidana, telah dijawab dengan pasti. Dalam kehidupan masyarakat masalah pidana tidak

mungkin dihindarkan, meskipun pemidanaan merupakan alat pertahanan terakhir. Dia

merupakan sarana paling akhir dan merupakan puncak dari upaya-upaya, jika upaya lain

sudah tidak memadai.

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pidana merupakan cara yang

paling tua, setua manusia itu sendiri. Sebagai suatu kebijakan memang ada yang

mempermasalahkan, apakah kejahatan itu perlu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan

dengan sanksi pidana. Sementara ada pendapat bahwa terhadap pelaku kejahatan atau

pelanggar hukum pada dasarnya tidak perlu di kenakan sangsi pidana.

Dasar pemikiran mengenai tidak perlunya pengenaan sanksi pidana adalah adanya

paham determinisme yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas

dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor

biologis, maupun faktor-faktor lingkungan kemasyarakatan. Dengan demikian kejahatan

sebenarnya merupakan manipestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal, oleh karena

itu sipelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat

Page 86: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 86

dikenakan pidana.111

Pandangan determinisme ini kemudian berlanjut pada gerakan modern

mengenai kompanye anti pidana.

Namun bila dikaitkan dengan pendapat Herbert I. Packer, dalam bukunya The

Limits of the Criminal Sanction112

, yang dapat dikonklusikan bahwa sampai dewasa ini

dan di masa yang akan datang kita tidak dapat hidup tanpa pidana, Pidana masih sangat

diperlukan, bahkan di pandang sebagai alat atau sarana terbaik yang tersedia yang kita

miliki untuk menanggulangi masalah kejahatan. Jadi pendapat anti pidana, dalam kontek

pendapat Packer ini nampak kurang tepat, Bahkan Roeslam Saleh mengatakan, pandangan

atau alam pikiran untuk menghapus pidana adalah pandangan keliru.113

Sebagai benang merah dalam kontek pendapat tersebut, pidana mati sebagai salah

satu politik kriminal sampai dewasa ini bahkan yang akan datang nampak masih tetap

dipertahankan. Dalam perkembangannya manfaat dan penggunaan pidana mati tersebut

memang terus dipertanyakan. Ada suatu tendensi dan kesadaran bahwa di satu sisi pidana

mati di tentang karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan jaman, sedangkan

disisi lain pidana mati masih diperlukan sebagai sarana perlindungan masyarakat.

Dilihat dari dimensi politik kriminal, apabila pidana mati tetap dipertahankan

sebagai salah satu sarana penanggulangan masalah kejahatan, maka kebijakan tersebut harus

dilandasi alasan-alasan yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam kontek ini, sebagaimana

dikonklusikan oleh Packer, maka pidana mati akan dapat menjadi penjamin yang utama bagi

perlindungan umat manusia, jika digunakan secara hemat, cermat, dan manusiawi.

Sebaliknya justru akan menjadi pengancam utama bagi umat manusia jika digunakan secara

sembarangan dan sewenang-wenang.

Muladi dalam bukunya Lembaga Pidana Bersyarat, menyebutkan tujuan pemidanaan

adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan social yang diakibatkan oleh tindak

pidana. Hal ini terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan

catatan tujuan yang merupakan titik berat dan bersifat kasuistis. Perangkat tujuan

pemidanaan yang dimaksud terdiri atas : Pencegahan (umum dan khusus) ; perlindungan

masyarakat; memelihara solidaritas masyarakat; pengimbalan/perimbangan.

111 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hal.

150. 112 Herbert L. Packer, 1968, The Limits of The Criminal Sanction, Stanford University, hal. 364-366. 113 Roeslan Saleh, 1978, Stelsel Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 15-16.

Page 87: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 87

Pengaruh langsung dan penjatuhan pidana itu jelas terhadap orang yang dikenai

pidana, tetapi itu baru dirasakan sungguh-sungguh olehnya kalau sudah dilaksanakan secara

efektif. Dengan pemidanaan disini dikehendaki agar terpidana tidak melakukan tindak

pidana lagi. (Sudarto, 1981:83).

Penjatuhan pidana menjadi alternatif dalam rangka mencegah perbuatan melanggar

hukum. Pidana penjara dengan pemenjaraannya dalam bentuk pengisolasian diri di balik

tembok penjara, terlebih pidana mati dan pidana badan ternyata telah mengalami perubahan

seiring dengan kemajuan peradaban suatu bangsa. Penghargaan terhadap citra manusia

menjadi dasar utama memperlakukan sipelaku tindak pidana secara lebih manusiawi.

Di Indonesia, peninjauan kembali terhadap sistem pemidanaan sebagai realisasi

usaha penyesuaian dengan kondisi alam kemerdekaan, telah dilakukan sejak Indonesia

merdeka, dan dalam bidang hukum pidana telah diperkuat berdasarkan Undang-Undang No.

1 tahun 1946.

Memperhatikan sejarah tujuan penjatuhan pidana, nampaknya dari waktu ke waktu

tujuan pemidanaan ditekankan pada aspek yang berlainan. Sebelum pidana penjara dikenai,

orang yang melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat atau komunitas

tertentu dikenakan berupa hukuman badan bahkan sampai hukuman mati.

Pidana Mati dan Pidana Seumur Hidup Dalam Konsep KUHP

Kalau di telusuri sejarah bangsa kita ketika jaman majapahit berjaya, pidana penjara

dan pidana kurungan sama sekali tidak dikenal. Pidana yang dijatuhkan pada orang yang

bersalah adalah : pidana mati, pidana potong anggota yang bersalah, denda dan ganti rugi,

ini sebagai pidana pokok.

Pidana mati paling banyak dijatuhkan, seperti halnya penggunaan pidana penjara dan

kurungan dewasa ini. Bagi orang yang bersalah pidana mati dan denda memberikan kesan

lebih menakutkan dan mengerikan dari pidana penjara dan kurungan. Barang siapa yang

tidak sanggup membayar denda ia harus menjadi hamba atau budak.

Kemudian munculnya ide penggantian hukum, baik hukuman badan maupun

hukuman mati sejalan dengan mengemukannya spirit humanitarianisme pada masa

pencerahan orang-orang mulai menyadari bahwa ada bagian-bagian yang mengerikan dari

perlakuan yang berwenang terhadap para pelanggar. Hal ini dipelopori oleh Voltaire dengan

teman-temannya kaum Encyclopedist dan Beccaria. Sejak itu pula pandangan tentang

Page 88: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 88

bentuk pidana berubah. Pengurungan dipandang sebagai pidana utama, dengan tujuan dapat

menyesali perbuatan yang telah dilakukan, dan insaf atas kesalahannya.

Penetapan sanksi pidana sebagai bagian dari usaha pencegahan dan penanggulangan

kejahatan semula dikenal sebagai sarana untuk balas dendam bagi pelaku kejahatan tanpa

memperhitungkan setimpal atau tidak dengan kejahatan yang dilakukan. Yang terpenting

bagaimana membuat sipelaku menjadi jera dan masyarakat takut berbuat kejahatan.

Kemudian pemikiran kearah perbaikan hidup pelaku kejahatan baru dikenal sejak adanya

teori-teori penjatuhan pidana. Dalam garis besarnya teori-teori penjatuhan pidana dikenal :

1. Teori absolut atau teori pembalasan atau disebut juga teori retributive. Menurut teori

ini, pidana dimaksud untuk membalas kejahatan yang dilakukan seseorang. Jadi pidana

menurut teori ini hanya semata-mata untuk pidana itu sendiri. Adanya pemidanaan

karena adanya pelanggaran. Pemidanaan merupakan tuntutan keadilan dan merupakan

hal yang logis. Pembenaran dari

pemidanaan tersebut terletak pada perbuatan kejahatan itu sendiri. Penganut teori ini adalah seorang pujangga Jerman Immanuel Kant.

2. Teori relatif atau teori tujuan atau disebut juga teori utilitarium. Menurut teori ini dalam

garis besarnya disebutkan tujuan pemidanaan bukanlah memuaskan tuntutan absolut

dari keadilan. Pembalasan itu tidak mempunyai nilai, tetapi mempunyai tujuan tertentu

yang bermanfaat. Pembenaran menurut teori relative terletak pada tujuan pidana yang di

jatuhkan bukan karena orang tersebut jahat melainkan supaya orang tidak lagi

melakukan kejahatan. Tokohnya adalah Bentham.

3. Teori gabungan atau verenigingstheorien. Teori ini bertolak dari teori retribitifn dan

teori utilitarium, yang masing-masing dilandasi oleh pemikiran yang berbeda dalam hal

pemberian pidana. Teori gabungan ini mengkobinasikan kedua teori tersebut. Menurut

penganut teori gabungan bahwa dasar penjatuhan pidana adalah pembalasan, akan

tetapi maksud-maksud lainnya seperti pencegahan, menakutkan, memperbaiki, dan lain-

lainnya tidak boleh diabaikan.

Dari ketiga teori tersebut Indonesia nampaknya menganut teori yang ketiga yaitu

teori gabungan. Pemidanaan dijatuhkan kepada pelaku dengan melihat pada unsur prevensi

dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap-tiap pemidanaan. Pidana adalah

pembalasan tetapi tidak boleh dijatuhkan lebih dari apa yang semestinya, ia harus seimbang

dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukannya. Jadi tujuan pembalasan ataupun

tujuan mempertahankan ketertiban masyarakat keduanya dipandang mempunyai nilai atau

fungsi yang sama.114

114 Soejono, 1996, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 38.

Page 89: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 89

Berdasarkan pandangan tersebut di atas, perancang konsep 1999/2000 telah berusaha

membuat keseimbangan dan sekaligus menjembatani pendapat pro dan kontra mengenai

apakah pidana mati masih diperlukan dan pidana seumur hidup masih perlu dipertahankan.

Pidana mati, walaupun dalam debat panjang telah dipertanyakan apakah pidana mati

masih diperlukan apakah tidak bertentangan dengan ide pemasyarakatan dan sebagainya,

ternyata konsep tetap mencantumkannya walaupun kedudukannya semula sebagai pidana

pokok dalam KUHP digeser menjadi "pidana khusus" atau "eksepsional" (Pasal 61 Konsep)

karena berbagai alasan. Menurut Barda Nawawi Arief, alasan utama dan penggeseran

kedudukan pidana mati itu didasarkan pada pemikiran, bahwa dilihat dari tujuan

pemidanaan dan tujuan diadakannya hukum pidana, maka pidana mati memang pada

hakekatnya bukanlah sarana utama (pokok) untuk mencapai tujuan itu. Dengan kata lain

pidana mati pada hakekatnya bukan sarana utama untuk mengatur dan menertibkan

masyarakat dengan hukum pidana. Pidana mati hanya merupakan sarana perkecualian.

Pemikiran demikian dapat diidentikkan sarana "amputasi" atau Oprasi" di bidang

kedokteran yang pada hakekatnya juga bukan sarana atau obat yang utama, tetapi hanya

sarana/obat terakhir sebagai perkecualian.115

Dalam pasal 80 konsep kembali menekankan sifat kekhususan pidana mati, dengan

menentukan bahwa; pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk

mengayomi masyarakat. Mengingat beratnya pidana mati dan tidak mungkin dapat

diperbaiki lagi apabila ada kekeliruan, maka pelaksanaannya baru dapat dilakukan setelah

presiden menolak permohonan grasi yang bersangkutan (pasal 81 ayat 4). Sebagai pidana

kususnya maka pidana mati diancamkan dan dijatuhkan secara sangat selektif. Dalam

hubungan ini, hakim pertama-tama selalu mempertimbangkan secara mendalam apakah

dalam kasus yang dihadapi dapat diterapkan pidana alternative ; "penjara seumur hidup"

ataupun "penjara 20 (dua puluh) tahun". Dalam hal masih terdapat keraguan mengenai

kemungkinan penggunaan salah satu pidana alternatif tersebut terhadap kasus yang

bersangkutan, maka di buka kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan "pidana mati

bersyaraf'', yakni "penundaan pelaksanaan pidana mati" dengan masa percobaan 10

(sepuluh) tahun (Pasal82 ayat (1). Apabila masa percobaan dapat dilalui dengan baik, maka

pidana mati tersebut dapat diubah menjadi salah satu pidana alternatif (Pasal 82 ayat 2).

115 Barda Nawawi Arief, op.cit., hal. 122)

Page 90: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 90

Disamping itu apabila permohonan grasi terhadap pidana mati ditolak namun eksekusi

pidana mati itu tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun, dan bukan karena terpidana

melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat dirubah menjadi pidana penjara seumur

hidup (pasal 83 Konsep). Pola ini dimaksudkan untuk membatasi pelaksanaan pidana mati

sesuai dengan perasaan keadilan yang berkembang dalam masyarakat.

Meskipun masalah pidana mati dan pidana seumur hidup telah di bahas di muka dan

dasar argumentasinyapun dapat diterima dan dimengerti, tetapi jika di kaji dari dimensi

filsapat pembinaan yang melandasi ide pemasyarakatan, maka masih di cantumkannya

pidana mati dan pidana seumur hidup nampak terjadi "kontrakdiktif” Oleh karena

bagaimana mungkin orang yang di pidana mati dan dipidana seumur hidup dapat diperbaiki

dan menjadi warga yang baik dan berguna dilingkungan sosial masyarakat.

Atau sebaliknya hal yang sama, bila dikaji kebijakan hukum pidana sebagai bagian

dari politik kriminal, dalam tujuannya untuk menciptakan kesejahteraan sosial (social

welfare), yang hanya bertumpu pada cara pembinaan terpidana dan perlindungan

masyarakat, maka akan terjadi kepincangan karena semata-mata akan mengarah pada

pengagungan individu atau individualisasi pidana yang terkesan memanjakan terpidana,

disamping memerlukan infrastruktur dengan biaya yang mahal. Hal yang demikian ini

banyak mendapat kritikan, bagaimana mungkin melakukan pembinaan atau perbaikan jika

terpidana dibiarkan bebas merdeka layaknya seperti orang yang tidak sebagai terpidana. Ide

pemasyarakatan menghendaki pembinaan diarahkan kepada pembinaan dan pembinaan itu

sendiri merupakan bentuk umum untuk perlindungan masyarakat. Dengan demikian

tidaklah mungkin bila unsur retributive harus dihapus sama sekali.

George P. Fletcher mengemukakan, cacat yang cukup serius dari teori perlindungan

masyarakat atau teori konsekuensi untuk perlindungan masyarakat ialah bahwa mereka

(konsekuensialis) menitikberatkan perhatian kepada kebaikan (sprekulatif) yang akan terjadi

dan mengabaikan pengimbalan terhadap si pelanggar.116

Dengan hanya melihat kebaikan

yang akan terjadi dari pidana yang akan dijatuhkan, maka hal ini akan mengalihkan

perhatian hakim dari masa lalu, khususnya pada perbuatan yang dilakukan terdakwa,

Keadaan demikian tidak hanya menyebabkan tidak jelasnya persyaratan yang diperlukan

untuk suatu tindak pidana, tetapi juga lamanya pidana penjara menjadi tidak pasti. Ketidak

pastian itu timbul karena penentuan lamanya pidana penjara yang dianggap patut lebih

116 Ibid., hal. 92.

Page 91: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 91

tergantung dari proyeksi sifat berbahayanya si pelanggar atau pada kebutuhannya untuk

melakukan pembinaan (treatment), dan pada beratnya pelanggaran yang dilakukan. Dengan

demikian menurut Fletcher, tujuan perlindungan masyarakat cendrung untuk menghapuskan

dua prinsip keadilan yang angat penting, yaitu : 1) bahwa hanya orang yang bersalah sajalah

yang seharusnya dipidana, dan 2) bahwa luasnya pemidanaan harus sesuai atau harus

proporsional dengan kejahatan yang dilakukan.117

Dari uraian diatas jelas bahwa apabila tujuan pidana dan hukum pidana harus

diorientasikan pada tujuan perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahtraan social,

maka suatu teori yang hanya melihat salah satu aspek dari tujuan umum tersebut sebenarnya

terlalu bersifat sepihak. Dilihat dari pendirian yang demikian, maka wajarlah apabila

pembuat konsep rancangan KUHP Buku I dalam merumuskan tujuan pemidanaan masih

tetap mencantumkan klasifikasi sanksi pidana dari yang paling ringan sampai yang paling

berat, yaitu pidana mati dan pidana seumur hidup. Jadi perancang konsep berusaha

merumuskan keseluruh aspek dari tujuan umum tersebut baik sebagai tujuan perlindungan

masyarakat maupun sebagai tujuan keadilan. Jadi ide yang mendasarinya adalah ide

keseimbangan.

Apabila dikaitkan dengan ide pemasyarakatan, maka usaha pembuat konsep untuk

mengakomodasi keseluruhan aspek dari tujuan umum pemidanaan termasuk penggunaan

ancaman pidana mati dan pidana seumur hidup harus pula memperhatikan ide

pemasyarakatan dengan sepuluh prinsip pokoknya secara berimbang sehingga tercipta

harmonisasi sistem kebijakan penegakan hukum pidana. Kecuali Yuridis juga psikologis

istilah pidana mati dan pidana seumur hidup dalam konsep nampak kurang sinkron dengan

tujuan pembinaan, yang pada akhirnya timbul kesan bahwa KUHP barupun tidak dapat

meninggalkan faham retributive klasik.

Dilihat dari sejarahnya pembuat konsep nampaknya telah berusaha menjembatani

pendapat pro dan kontra mengenai apakah pidana mati masih diperlukan dan pidana seumur

hidup masih perlu dipertahankan. Ternyata bahwa pidana tersebut dapat bersifat menangkal

(deterrent). Akhirnya pidana mati dan pidana seumur hidup tetap masuk dalam konsep.

Pidana mati dalam konsep diatur secara khusus dan pidana seumur hidup diatur secara

terbatas dan masing-masing selalu diancam secara alternatif. Hal ini dapat dipahami, di

samping sebagai usaha mengkompromikan pendapat pro dan kontra, dalam

117 Ibid.

Page 92: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 92

mempertahankan pidana mati dan pidana seumur hidup pembuat konsep juga berusaha

memasukan ide keseimbangan antara kebijakan normative dengan kebijakan nilai.

Namun demikian bila diperhatikan ketentuan pasal 64 dan pasal 65 konsep yang

mengatur tentang pidana penjara seumur hidup, belum nampak adanya kemungkinan bagi

terpidana seumur hidup untuk mendapat pelepasan bersyarat, setelah sisa pidana dirubah

dan ditetapkan menjadi 15 (lima belas) tahun.

Pasal 64 konsep, menentukan :

(1) Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu.

(2) Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas) tahun

berturut-turut atau paling singkat 1 (satu) hari, kecuali ditentukan minimum kusus.

(3) Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana seumur hidup atau jika ada pemberatan

pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara 15 (lima belas) tahun, maka

pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh) tahun

berturut-turut.

(4) Dalam hal bagaimanapun pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan

lebih dari 20 (Dua puluh) tahun.

Pasal 65 konsep, menentukan :

(1) Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang 10

(sepuluh) tahun pertama dengan berkelakuan baik, maka sisa pidana tersebut dapat

diubah menjadi pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan perubahan pidana sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden.

Dari ketentuan tersebut jelas, walaupun sudah terdapat terobosan dengan adanya

usaha mengubah pidana penjara seumur hidup menjadi pidana paling lama 15 (lima belas)

tahun sesuai dengan ketentuan pasal 65 konsep ayat (1), tetapi tidak ada pengaturan dan/atau

dicantumkannya secara eksplisit, bahwa setelah terpidana seumur hidup mendapat

keringanan tersebut dapat dijamin haknya untuk mendapatkan pelepasan bersyarat,

sebagaimana halnya ketentuan yang terdapat dalam pasal 15 KUHP/WvS. Sedangkan

terhadap pidana mati, pembuat konsep nampak telah berusaha merumuskan ide

keseimbangan antara kebijakan normatif dengan kebijakan nilai dan mengakomodir

pendapat kelompok yang pro dan kontra dipertahankannya pidana mati, sebagaimana telah

di tentukan dalam pasal 80, pasal 81, pasal 82, pasal 83 konsep. Dalam pasal 82 konsep,

misalnya telah ditentukan : pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan

selama 10 (sepuluh) tahun, jika terpenuhi persyaratan yang telah ditentukan (ayat 1). Jika

terpidana selama masa percobaan sebagai dimaksud dalam ayat (1) menunjukkan sikap dan

Page 93: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 93

perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau

pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun (ayat 2). Atau sebaliknya jika selama masa

percobaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) konsep ternyata tidak menunjukan sikap

dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka pidana mati dapat

dilaksanakan sesuai ketentuan (ayat (3).

Jadi dalam hal pidana mati, pembuat konsep terlihat dengan jelas telah menentukan

pidana mati bersyarat sebagai usaha menjembatani pandangan yang pro dan kontra tentang

perlu tidaknya pidana mati. Namun demikian bila dikaji lebih jauh, bahwa jika pidana mati

telah menjadi pidana seumur hidup, dan telah pula menunjukan sikap dan perbuatan yang

baik apakah tidak dapat sisa pidananya dirubah menjadi 15 (lima belas) tahun seperti halnya

pidana seumur hidup. Oleh karena dalam ketentuan pidana mati sebagaimana termaksud

hanya menyatakan; pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana

penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun (Pasal 82 ayat (2), dan Pasal 83 konsep). Jika

tidak dimungkinkan maka kesimpulannya adalah sama yakni keringanan yang diperoleh

dengan menjalani sisa pidana selama 15 (lima belas) tahun untuk pidana seumur hidup dan

pidana seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun untuk pidana mati. Selanjutnya

jika ternyata keringanan yang diberikan terhadap pidana mati dimungkinkan

pelaksanaannya sama seperti pelaksanaan seumur hidup, maka akhirnya permasalahannya

adalah sama yaitu tidak adanya ketentuan secara ekplisit mengatur bagaimana setelah

terpidana mendapat keringanan dapat dijamin haknya untuk mendapatkan pelepasan

bersyarat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketentuan pidana mati dan pidana

seumur hidup dalam konsep meskipun ditentukan secara khusus dan sangat terbatas dan

selalu diancamkan secara alternatif, bila dikaitkan dengan pelaksanaan pidana penjara

dengan system pemasyarakatan, maka eksistensi pidana mati dan pidana seumur hidup

masih tetap mem perlihatkan disharmonisasi pelaksanaan pidana penjara dengan system

pemasyarakatan tersebut.

Penutup

Bertitik tolak dari uraian pembahasan tersebut di atas, akhirnya penulis

menyimpulkan bahwa, dipertahankannya pidana mati dan pidana seumur hidup oleh

perancang, dalam KUHP mendatang adalah suatu kompromi antara pendapat pro dan kontra

Page 94: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 94

mengenai apakah pidana mati masih diperlukan dan pidana seumur hidup masih perlu

dipertahankan. Di samping itu adanya ide keseimbangan antara kebijakan normative dan

kebijakan nilai merupakan dasar bagi perancang konsep. Namun demikian, bila dikaitkan

dengan ide pemasyarakatan, pidana mati dan pidana seumur hidup nampak bertentangan,

karena tidak mungkin orang yang dipidana mati dan di pidana seumur hidup

dimasyarakatkan.

Konsep 1999/2000 nampak sudah cukup maju, namun karena masih

dipertahankannya pidana mati dan pidana seumur hidup, meskipun dengan berbagai

pertimbangan, bila dikaitkan dengan ide pemasyarakatan nampak masih terjadi kontradiktif.

Kecuali yuridis pidana tersebut dimungkinkan untuk dipergunakan, secara psikologis

terkesan belum adanya kesungguhan melakukan perubahan terhadap faham retributive. Oleh

karena itu sebaiknya istilah pidana seumur hidup dapat diganti dengan pidana selama-

lamanya 30 tahun, dan untuk pidana mati dapat diganti menjadi pidana selama-lamanya 50

tahun, dengan kemungkinan ada perubahan peringanan atau pemberatan selama proses

berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan pertimbangan jangka waktu yang lama tentu

dapat menetralisir sifat berbahayanya (jahatnya) pelaku kejahatan. Di samping itu secara

simbolis tidak mengurangi efek yang ditimbulkan oleh pelaku dan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Arief Barda Nawawi, 1996, Kebijakan legislative Dalam Penanggulangan Kejahatan

dengan Pidana Penjara, Universitas Dipponegoro, Semarang.

Muljono Selamet, 1967, Perundang-undangan Majapahit, Bratara Djakarta, Jakarta.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,

Bandung.

Packer Herbert L., 1968, The Limits of The Criminal Sanction, Stanford University.

Saleh Roeslan, 1978, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta Ghalia Indonesia.

Soedarto, 1981, Kapila Selekta Hukum Pidana, Alumni Bandung.

Soejono, 1996, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Rineka Cipta.

Page 95: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 95

PERAN PSIKOLOGI

DALAM INVESTIGASI KASUS TINDAK PIDANA

Oleh : I Made Suryawan, SH., MH

Abstract: Nowadays, the development of psychology is getting faster, which involves almost aspects of human life. Law and psychology are the same based on the material objects which handle the human problems. Especially the relation of psychology in investigating the criminal cases is considered to be studied in order to give some important and wide sights for those who are involved in the criminal law process. It is intended to prove the material truth due to the investigation process by police officers is an important phase, since the report of investigation is arranged at that time.

I.Pendahuluan.

Hubungan antara psikologi dan penegakan hukum telah berkembang dengan pesat

selama tiga puluh tahun terakhir. Seiring denngan makin kuatnya penegakan hukum, para

penegak hukum yang makin terdidik dengan baik dan tuntutan publik terhadap

akuntabilitas, peran dari psikologi bagi konsultan dalam penegakan hukum menjadi makin

meningkat. Keterlibatan psikologi dalam berbagai penegakan hukum dapat dilihat pada

upaya-upaya screening,teknik penanganan situasi krisis dan manajemen stres, maupun

dalam pemeriksaan di depan aparat penegak hukum terhadap yang terkait.

Sejumlah kalangan menilai bahwa kesan penegak hukum di mata masyarakat adalah

mereka yang otoriter, sinis, konservatif secara politik, orang yang secara sosial dan

psikologis tidak sensitif. Jadi penegak hukum adalah merupakan orang-orang yang dicurigai

masyarakat.

Ketika orang mendengar psikologi asosiasinya masih terbatas. Masih berkisar pada

tentang Intelegensi, meramal sifat orang, mengurusi orang gila dan memahaminya. Memang

orang luaran tidak salah menilainya, namun perkembangan psikologi akhir-akhir ini sangat

cepat, meliputi hampir semua aspek kehidupan yang melibatkan manusia. Tidak hanya

luasnya jangkauan yang bisa di garap psikologi, tetapi kajian terhadap berbagai aspek

kehidupan juga makin mendalam.

Di Indonesia, beberapa waktu yang lalu seorang mentri menyatakan pentingnya peran

serta psikologi dalam proses peradilan.

.

Page 96: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 96

Hukum dan psikologi memang berbeda, kalau dilihat dari sudut perbedaannya, namun

adalah sama kalau dilihat dari kesamaannya, objek materinya keduanya adalah sama yaitu

sama-sama menangani masalah manusia.

Berdasarkan alasan tersebut diatas maka penulis mencoba untuk melihat dan mengkaji

hubungan psikologi dalam investasi kasus pidana dengan harapan dapat memberikan

gambaran yang lebih penting dan luas bagi orang-orang yang terlibat dalam proses pidana

agar benar-benar dapat terungkap kebenaran yang materiil.

II.Pentingnya Investigasi Dalam Perkara Pidana.

Moelijatno (1982) memberikan pengertian hukum pidana sebagai keseluruhan hukum

yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

Menentukan perbuatan mana yang boleh dilakukan, yang dilarang, yang

disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa

yang melanggar larangan tersebut.

Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar

larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah

diancamkan,

Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan

apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan itu.

Guna melaksanakan hukum pidana, diperlukan cara-cara yang harus ditempuh agar

ketertiban hukum dalam masyarakat dapat ditegakan. Cara-cara itu disebut sebagai hukum

acara pidana. Tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran

hukum material, yaitu suatu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara

pidana yang menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan

tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran

hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan untuk

menentukan apakah terbukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan orang yang didakwa itu

dapat dipersalahkan (Departemen Kehakiman R.I.1982).

Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia no 8 tahun 1981, sistem peradilan

pidana di Indonesia terdiri dari komponen Kepolisian,Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan

Lembaga Pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum. Investigasi dalam tulisan ini

dapat dilakukan baik oleh kepolisian, jaksa, maupun hakim. Namun proses penyidikan oleh

kepolisian merupakan fase yang penting, karena pada saat itulah Berita Acara Pemeriksaan

Page 97: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 97

disusun. Penyidiklah yang pertama kali bertemu dengan tersangka, saksi, serta korban dan

menanyakan kejadian perkara yang mereka alami. Kesalahan dalam Investigasi akan

memberikan pengaruh dalam mencapai kebenaran dalam proses peradilan pidana pada tahap

selanjutnya di kejaksaan maupun pengadilan. Seringkali polisi dalam melakukan investigasi

menggunakan cara “kekerasan” (fisik maupun psikologis), hal ini justru akan merusak

ingatan saksi, korban maupun tersangka.

Investigasi proses perkara pidana dapat dilakukan pada tersangka, saksi dan korban

yang dilakukan oleh polisi, jaksa maupun hakim. Tulisan ini lebih menitikberatkan pada

saksi, walaupun tidak menutup kemungkinan dapat digunakan pada korban dan tersangka.

Proses peradilan pidana sangat menggantungkan pada hasil investigasi pada saksi, karena

baik polisis, jaksa dan hakim tidak melihat langsung kejadian perkara. Brigham dan

Wolfskeil (dalam Brigham.1991) meneliti bahwa hakim dan juri di Amerika menaruh

kepercayaan 90% terhadap pernyataan saksi, padahal banyak penelitian yang membuktikan

bahwa kesaksian yang diberikan saksi banyak yang bias (Saders & Warnick dikutip oleh

Sanders & Simmons,1983;Goodman,Hahn,Loftus, & Yarmey dikutip oleh

Fisher,dkk,1989). Penrod & Culter (dalam Costanzo, 2004) setiap tahun di Amerika terjadi

hampir 4500 kesalahan kesaksian. Bagaimanapun saksi adalah manusia biasa, maka banyak

hal mempengaruhi ketidaksesuaian antara kesaksian yang diberikan dengan fakta yang

sebenarnya. Ketidaksesuaian ini dapat bersumber pada (Ancok,1995) :

1. Keterbatasan kondisi saksi dalam mengolah, merekam, dan mengingat informasi

2. Bias yang terjadi dalam persepsi penyidik di dalam menilai kebenaran kesaksian

3. Cara penggalian kesaksian oleh penyidik.

III.Peran Psikologis Dalam Investigasi.

Dari paparan di atas, diketahui bahwa memori saksi merupakan sesuatu yang rentan.

Baik pada proses penyimpanan maupun pemunculan kembali banyak faktor yang

mempengaruhinya, sehingga sebenarnya menjadi sesuatu yang sulit untuk memperoleh

100% kebenaran kesaksian. Untuk mengurangi hal-hal yang berpengaruh terhadap

kerentanan memori saksi, diperlukan teknik agar memori saksi dapat dihadirkan secara

maksimal. Dua teknik Interview investigasi yang sering dibicarakan adalah (Kapardis, 1997;

Milne & Bull, 2000, Costanzo, 2004) :

Page 98: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 98

1.Hipnosis

Hipnosis sebenarnya adalah sudah lama digunakan orang, namun karena banyak

terjadi kontroversial maka teknik ini jarang digunakan. Di Indonesia, tidak banyak

psikolog yang ahli dalam menggunakan teknik hipnosis. Mungkin karena pendekatan

Freud tidak terlalu berkembang di Psikologi Indonesia, walaupun sebenarnya di Jerman

pengikut-pengikut Freud cukup berkembang. Oleh karena itu jarang juga psikolog yang

menggunakan teknik ini.

Hipnosis dapat digunakan untuk meningkatkan ingatan saksi maupun korban. Teknik

hipnosis meminta saksi/korban untuk relaks, kemudian ia dalam focus state dan menjadi

sangat patuh terhadap intruksi orang yang menghipnosisnya. Intruksi yang diberikan

adalah meminta saksi/korban untuk kembali mengingat kejadian yang dialaminya. Ia

dibimbing untuk memperhatikan hal-hal detail seperti nomor plat mobil atau wajah dari

pelaku. Saksi biasanya akan mengingat informasi lebih banyak ketika ia dihipnotis

dibanding dalam kondisi tidak terhipnotis. Kondisi ini disebut sebagai hypnotis hypernesia

(suatu kondisi yang merupakan lawan dari amnesia) (Costanzo, 2004).

Hal buruknya dengan hipnosis, walaupun lebih banyak informasi yang muncul tapi

kadang informasi ini belum tentu informasi yang benar dan tepat. Kadang informasi yang

muncul dipengaruhi oleh imajinasi dan fantasi dari saksi. Beberapa penelitian

membuktikan bahwa teknik hipnotis tidak selalu menghasilkan informasi yang akurat

dalam kesaksian (Steblay & Bothwell dalam Costanzo, 2004). Repotnya, walau informasi

yang imajinatif tadi diperoleh melalui hipnotis, namun saksi sangat yakin bahwa hal itu

benar.

Teknik hipnotis ini walau tidak selalu digunakan pada tiap saksi, namun masih

digunakan ketika informasi tentang suatu kejadian tidak ada kemajuan yang berarti.

Seperti suatu kejadian di Choweilla, California (Costanzo, 2004) dimana terjadi

penyanderaan bus sekolah oleh sekelompok orang bertopeng, dan kemudian melepaskan

korban setelah mendapatkan uang. Saksi-saksi yang ada (supir bus dan 26 anak) tidak

memberikan informasi yang berati tentang kejadian sehingga tidak dapat dilacak pelaku

kejadian ini. Ketika dilakukan teknik hipnotis pada supir bis, ia dapat mengingat nomer

plat kendaraan pelaku. Dan ketika dilacak pihak kepolisian ternyata benar.

Saksi/korban yang sangat emosional (malu, marah) sering juga menghilangkan

memorinya, dan mengatakan ia lupa. Dengan teknik hipnotis, ia merasa bebas dan dapat

memunculkan ingatannya kembali (Kebbel & Wagstaff dalam Costanzo, 2004). Jadi

Page 99: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 99

hipnotis oleh ahlinya kadang dapat dilakukan untuk menemukan informasi dalam memori

saksi yang tidak dapat ditemukan dengan teknik lain.

2. Wawancara Kognitif

Teknik ini diciptakan oleh Ron Fisher dan Edward Geiselman tahun 1992. Tujuannya

adalah untuk meningkatkan proses retrievel yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas

informasi dengan cara membuat saksi/korban merasa relaks, dan kooperatif (Costanzo,

2004; Milne & Bull, 2000). Teknik ini juga berusaha mengurangi efek sugesti yang terjadi

pada teknik hipnotis (Costanzo, 2004)

Fisher (dalam costanzo, 2004) dan Milne & Bull, 2000) menyatakan bahwa ada 5

tahap dalam wawancara kognitif. Tahap tersebut adalah :

Tahap I. adalah tahap menjalin rapport (pendekatan) terhadap saksi/korban agar ia tidak

cemas, merasa nyaman, membuat saksi/korban juga menjadi lebih konsentrasi. Pada

tahap awal ini, ia diminta bercerita tentang kejadian tanpa dipotong oleh pewawancara.

Tujuannya adalah tidak ada efek sugesti dari pewawancara.

Tahap II. event intervew similarity,adalah mengembalikan ingatan saksi pada kejadian

yang dialaminya. Ia diminta menutup mata dan membayangkan kejadian yang

dialaminya. Ia diminta untuk membayangkan apa yang dilihat, didengar, pikiran dan

perasaannya (yang relevan) pada saat itu.

Tahap III. melakukan probing ( penggalian informasi secara lebih detail) pada

gambaran dan hal-hal yang disampaikan oleh saksi. Tujuannya agar diperoleh

keyakinan atas hal-hal yang relevan terkait dengan peristiwa itu direcall (diceritakan

kembali) dengan urutan yang berbeda, pertama dari awal sampai akhir. Kemudian dari

akhir hingga awal.

Tahap IV. saksi diminta melihat peristiwa itu dari perspektif yang beda. Misal dari

perspektif pelaku atau perspektif korban. Hasil ini direkam dan dicek ulang lagi pada

saksi jika mungkin ada yang dirasa keliru atau tidak tepat.

Tahap V. Saksi diminta untuk mengingat kembali informasi baru lain yang mungkin

belum dimunculkan. Bisa distimulasi dengan pertanyaan detail tentang wajah, baju,

logat, mobil. Misal wajah pelaku mirip siapa jika menurutmu? Jawaban saksi mungkin

menyebut nama orang terkenal, misal saiful jamil atau Pong Harjatmo. Sebenarnya

bukan itu yang penting, namun saksi perlu ditanya lebih detail. Mengapa mirip Saiful

jamil? Apa ada ciri-ciri khusus? Apa ada kesan khusus yang kau tangkap? Dengan cara

Page 100: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 100

ini saksi akan diminta mengingat kembali informasi lebih detail tentang pelaku yang

mungkin belum dilakukannya.

Secara keseluruhan teknik ini membutuhkan kondisi relaks saksi/korban, memberikan

berbagai kesempatan pada saksi untuk menceritakan kejadian dan tidak menggunakan

pertanyaan yang menuntun atau menekan ( Fisher dalam Costanzo, 2004). Biasanya Polisi

dilatih melakukan interograsi baik pada saksi/tersangka dengan cara wawancara kognitif.

Padahal banyak riset membuktikan bahwa teknik wawancara kognitif dapat meningkatkan

keakuratan kesaksian tanpa melakukan sugesti pada saksi (Costanzo, 2004). Geiselman

(dalam Fisher, Geiselman, Amador, 1989) menemukan bahwa teknik wawancara kognitif

menghasilkan 25-35 % lebih banyak dan akurat dibanding teknik wawancara standar

kepolisian. Mantwill, Kohnken & Ascermann (1995) menemukan wawancara kognitif lebih

menghasilkan banyak informasi dibanding wawancara terstruktur.

Pada saat ini kepolisian di Inggris secara ritun mendapatkan pelatihan teknik intervew

kognitif, sementara kepolisian di Amerika walau tidak rutin namun juga menggunakan

teknik ini (Costanzo, 2004).

IV Penutup

Proses peradilan pidana membutuhkan informasi dari saksi, korban dan tersangka,

karena baik polisi, jaksa maupun hakim tidak melihat sendiri kejadian perkara. Tetapi polisi,

jaksa dan hakim harus membuat keputusan berdasarkan informasi yang ada. Oleh karena itu

peran saksi menjadi penting. Dalam konsep psikologi, memori saksi sangat rentan, karena

banyak faktor yang menyebabkan informasi menjadi kurang akurat. Dibutuhkan teknik

psikologi untuk mengurangi bias informasi yang terjadi. Dua teknik yang biasa digunakan

adalah hipnosis dan wawancara kognitif. Untuk dapat melakukan kedua teknik ini

dibutuhkan ketrampilan, disinilah psikologi forensic diperlukan untuk memberikan

pelatihan ketrampilan tersebut. Teknik ini terutama diperlukan saat penggalian kesaksian

awal (di kepolisian), karena pada saat itulah Berita Acara Pemeriksaan disusun. Hal yang

membuat sulit adalah polisi selama ini sudah terbiasa melakukan interograsi dengan

pertanyaan-pertanyaan yang menuntun dan menekan.

Page 101: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 101

DAFTAR PUSTAKA

Ancok, D. 1995. Nuansa Psikologi Pembangunan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.

Brigham, J.C.1991. Social Psychology.New York : Harper & Collins.

Costanzo, M. 2004. Psychology Applied to law. Singapore : Thomson Wadsworth.

Departemen Kehakiman Republik Indonesia.1982. Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Yayasan Pengayoman.

Fisher, R.P., Amador, M., & Geiselman, R.E. 1989. Field Test of The Cognitive Intervew :

Enhancing the Recollection Of Actual Victims & Witnesses of Crime. Journal of

Applied Psychology,74 (5), 722-727.

Kapardis, A. 1997. Psychogology and Law. Cambridge : Cambridge University Press.

Mantwill, M., Kohnken, G., Aschermann, E. 1995. Effect Of CognitiveIntervew on The

Recall of Familiar and Unfamiliar Events, Journal of Applied Psychology, Vol. 80

(1), 68-78.

Probowati, Y. 2005. Dibalik Putusan Hakim. Kajian Psikologis Hukum dalam Perkara

Pidana. Surabaya : Srikandi

Sanders, G.S., & Simmons, W.L. 1983. Use of Hypnosis to Enhance Eyewitness Testimony :

Does it Work ? Journal of Applied Psychology, vol. 68 (1), 70-77.

Page 102: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 102

KRIMINALISASI SANTET DALAM RANCANGAN KUHP

I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra

Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Bali

Abstract:

Witchcraft is a crime that exists in society due to inflict suffering or death to the victim. This magical act occurred in several countries with different terms.The formulation of the offense of witchcraft had several times entered in the draft Criminal Code and discussed in various national seminars. The criminalization of witchcraft is formulated in the draft Penal Code Article 255. On one side of the criminalization of witchcraft is done because this act has caused a real loss but on the other side's refusal to declare witchcraft as a crime due to the difficulty of proof of this deed. Key words: Witchcraft, criminalization and draft Penal Code.

Pendahuluan

Kejahatan merupakan sebagian dari masalah manusia dalam kehidupan sehari-hari,

oleh karena itu harus juga diberikan batasan-batasan tentang apa yang dimaksud dengan

kejahatan itu sendiri baru kemudian dapat dibicarakan unsur-unsur lain yang berhubungan

dengan kejahatan tersebut, misalnya siapa yang berbuat, sebab-sebabnya dan sebagainya.118

Kejahatan adalah suatu perbuatan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat

dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.119

Secara empiris menurut B. Simandjuntak, definisi kejahatan dilihat dari dua

perspektif, pertama adalah kejahatan dalam perspektif yuridis, kejahatan dirumuskan

sebagai perbuatan yang oleh negara diberi pidana. Pemberian pidana dimaksudkan untuk

mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat perbuatan itu. Kedua, kejahatan

dalam artis (perspektif) sosiologis (kriminologis) merupakan suatu perbuatan yang dari sisi

sosiologis merupakan kejahatan sedangkan dari segi yuridis (hukum positif) bukan

merupakan suatu kejahatan.120

Kejahatan dalam arti yuridis yang dilakukan oleh masyarakat berakibat hukum

terhadap pelakunya berupa penjatuhan sanksi pidana, namun kejahatan dalam arti sosiologis

(kriminologis) tidak dapat dikenakan sanksi pidana. Padahal kejahatan dalam arti sosiologis

(kriminologis) ini juga menimbulkan korban, salah satunya adalah santet.

118 Noach, Simanjuntak.B., dan Pasaribu I.L, 1984, Kriminologi, Tarsito, Bandung, hal. 45. 119 B. Simandjuntak, 1981, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Tarsito, Bandung, hal. 70.

120 Ibid.

Page 103: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 103

Santet adalah “ilmu hitam” yang sangat merugikan dan membahayakan orang lain

yang dapat dilakukan dari jarak jauh maupun jarak dekat yang biasanya sangat berakibat

fatal terhadap si korban, yaitu terjangkitnya penyakit aneh secara mendadak, kegelisahan

tidak menentu karena ditutup mata batinnya, bahkan hingga menyebabkan kematian pada

korban.

Perbuatan magis seperti santet, teluh, sihir, dan guna-guna adalah realitas sosial secara

empiris yang keberadaannya diakui oleh masyarakat. Bahkan, di banyak negara seperti di

Benua Afrika dikenal dengan "The Spirit of African". Di Haiti dikenal dengan Voodoo. Ada

pandangan perbuatan seperti itu merupakan perbuatan yang menakutkan dan jahat. Oleh

karena itu, sekaligus dapat digunakan untuk mencari keuntungan oleh anggota masyarakat

untuk menangkal perbuatan magis itu dan atau untuk melakukan perbuatan magis tersebut

terhadap masyarakat yang percaya terhadap adanya kekuatan magis.

Rumusan mengenai delik santet sudah beberapa kali dimasukkan dalam rancangan

KUHP dan dibahas dalam berbagai seminar nasional. Namun untuk

mengkriminalisasikannya memang agak sulit mengingat sulitnya pembuktian terhadap

perbuatan ini.

Santet Dalam Fenomena Sosial

Sejak masa lampau kemampuan paranormal dan penyembuh alternatif telah dimiliki

oleh nenek moyang tidaklah dapat dipungkiri lagi. Prabujayabaya, Rangga Warsita, dan juga

para wali-wali antara lain Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan Parawali lainnya merupakan

tokoh-tokoh paranormal dan penyembuh alternatif Indonesia yang ternama di samping

tokoh-tokoh lainnya yang tidak dapat ditemukan satu persatu. Kemampuan-kemampuan

paranormal dan penyembuh alternatif tersebut telah diwariskan oleh nenek moyang kepada

anak cucunya hingga saat ini. Pada saat ini budaya berkonsultasi dengan paranormal

merupakan budaya warisan nenek moyang yang masih berlaku hingga saat ini.

Fenomena ini masih diyakini oleh masyarakat, terbukti beberapa media massa yang

jelas dan terang-terangan memuat iklan dengan bahasa yang lebih normatif dengan sebutan

"orang pintar" padahal pada hakekatnya adalah "dukun". Banyak jenis konsultasi

paranormal dan penyembuh alternatif antara lain konsultasi masalah pribadi, meramal nasib,

pengisian azimat untuk kekebalan atau agar berkharisma, penglaris, penyembuhan penyakit,

mencari orang atau barang yang hilang, mencari sumber air atau bahan mineral dan lain-

Page 104: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 104

lain. Bahkan yang sangat ditakutkan sang paranormal melakukan penyimpangan dengan

tenaga supranatural yang dimilikinya melalui praktek santet.

Keberadaan santet sudah ada sejak ribuan tahun lalu, yang selalu sejalan dengan

peradaban umat manusia. Adapun nama lain dari santet di berbagai daerah seperti Jawa

Barat dan Banten = teluh, ganggoang, sogna, Bali = desti, teluh, tenang jana, Sumatera

Barat = biring, tinggam, Irian Jaya (Papua) = suangi, Sumatera Utara = begu, ganjang,

Minahasa = pandot dan masih banyak istilah-istilah lainnya.

Santet merupakan ancaman yang berat dan menimbulkan besarnya kerugian. Tidak

jarang orang yang diberitakan sakit atau bahkan meninggal dunia karena santet. Masyarakat

tentunya yang sangat mengharapkan rasa aman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Romli Atmasasmita yang menyatakan:

Khusunya bagi pihak korban, teluh merupakan suatu malapetaka yang dapat terjadi

setiap saat dan tidak di duga sebelumnya. Bahkan, bagi pihak aparat penegak

hukum, teluh merupakan suatu misteri, karena tidak tampak, tidak terbukti, dan

tidak dapat terdeteksi baik sebelum, pada saat dan sesudah perbuatan teluh itu

dilakukan. Khususnya bagi aparat hukum, teluh merupakan suatu tantangan

sekaligus penghinaan di muka umum terhadap aparat kepolisian karena ia

merajalela tanpa seorang petugas pun dapat menangkap dan mengajukannya ke

muka sidang pengadilan (sekalipun petugas dimaksud sudah mempunyai dugaan

kuat tentang pelakunya). 121

Hukum nasional yang ada saat ini memang tidak cukup untuk menjangkau kejahatan

ini (kejahatan dalam arti sosiologis). Akibatnya pelaku dapat leluasa menggunakan santet

untuk menyerang orang lain.

Tinjauan Psikologi Hukum Terhadap Upaya Kriminalisasi Santet

Hukum pidana Indonesia menganut asas legalitas sebagaimana tercantunm dalam

pasal 1 KUHP. Hal ini dirumuskan di dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Tiada

suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-

undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu”. Tindak Pidana santet adalah suatu

tindakan yang dipandang masyarakat sebagai tindakan yang dapat menimbulkan kerugian

dankeresahan yang berkembang di masyarakat luas, karena tindakan santet itu sendiri dapat

menimbukan akibat yang jelas, yang mana akibat yang ditimbukan dapat dengan konkrit

dan jelas dilihat pada korbannya, yaitu yang dapat berupa timbulnya luka pada korban santet

ataupun hinggga sampai meninggalnya korban tersebut akibat tindak pidana santet tersebut.

121 Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, hal.

89.

Page 105: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 105

Tetapi para pelaku kejahatan yang melakukan santet tidak dapat dijatuhi hukuman atas

dasar pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut. Dan juga tindak pidana santet menemui permasalahan

dalam masalah pembuktian apabila sampai persidangan, dimana santet itu hanya dapat

dibuktikan secara abstrak sedangkan dalam ilmu hukum pembuktiannya harus bersifat

kongkrit atau nyata. Dan juga alat-alat bukti di dalam KUHAP tidak dapat menampung

bukti-bukti dari tindak pidana santet itu sendiri. Sehingga para pelaku tindak pidana santet

dapat berkeliaran bebas.

Kebijakan politik hukum pidana yang masih berlaku sampai dengan saat ini

berhubungan dengan masalah magis itu dapat kita lihat pada Pasal 545 - 547 KUHP. Pasal-

pasal itu selengkapnya berbunyi, Pasal 545 KUHP: "Barangsiapa menjadikan pencariannya

untuk menyatakan peruntungan seseorang, untuk mengadakan peramalan atau penafsiran

mimpi…" Pasal 546 KUHP: "Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan,

membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat-jimat atau

benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib." Pasal 547 KUHP:

"Seorang saksi ketika diminta untuk diberikan keterangan di bawah sumpah menurut

undang-undang dalam sidang pengadilan memakai jimat atau benda sakti…".

Dalam Pasal 545 melarang penjualan benda-benda gaib nyatanya sejak lama benda-

benda gaib tertentu mulai dari keris, batu mirah delima, batu anti tembak, Keong buntet,

rotan nunggal, wesi kuning ramai dicari dan diperjualbelikan dengan harga yang tinggi.

Sedangkan Pasal 547 melarang seseorang untuk mempengaruhi jalannya sidang pengadilan

dengan menggunakan jimat dan mantra.

Pasal-pasal tersebut merupakan delik formil. Tidak diperlukan adanya akibat yang

timbul dari perbuatan magis dan tidak pula diperlukan apakah orang percaya atau tidak

terhadap ada tidaknya kekuatan magis yang ditawarkan. Penekanan pasal tersebut

menyangkut larangan atas profesi atau pekerjaan dari orang yang menyatakan dirinya

mempunyai kekuatan gaib yang bisa memberikan bantuan jasa untuk menimbulkan

kesaktian yang mungkin untuk melakukan perbuatan pidana tanpa bahaya bagi dirinya

sendiri yang tentunya dapat diartikan bahaya bagi orang lain juga mengadakan peramalan

dan peruntungan seseorang.

Memperhatikan pasal-pasal tersebut dan realitas keberadaannya secara empiris, di

mana pada kenyataannya praktik menjual jasa klenik dan peramal bebas berprofesi secara

terang-terangan, bahkan dilakukannya penawaran melalui iklan-iklan di pelbagai surat kabar

dapat diartikan bahwa tujuan politik hukum dari pasal-pasal itu tidak efektif.

Page 106: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 106

Menurut Ronny Nitibaskara dalam bukunya “Teori, Konsep dan Kasus Sihir Tenung

di Indonesia”, Pasal 545 - 547 KUHP tidak mengatur perilaku santet, harus ada

dekriminalisasi atau penghapusan pasal ilmu gaib. Biarlah orang menjual belikan benda

gaib dan sebagainya. Sebab secara kriminologis tidak meresahkan masyarakat. Sebaliknya

harus tetap ada kriminalisasi santet dalam arti melahirkan delik baru karena dampak sosial

yang ditimbulkan merupakan faktor potensial kriminogen yang cukup besar, serta keresahan

masyarakat, main hakim sendiri, pelecehan agama merupakan produk sampingan yang

ditimbulkannya.122

Penyusunan delik santet yang mengacu kepada perumusan yang bersifat materiil sulit

untuk dilakukan karena adanya kendala pembuktian, yang dipidana bukanlah hakekat

penganiayaan atau pembunuhan terselubung dan berencana yang dilakukan oleh tukang

santet melainkan perbuatan-perbuatan mereka yang mengganggu ketertiban umum, karena

perumusan KUHP yang tidak difokuskan kepada perbuatan santetnya tetapi lebih pada

perumusan deliknya.123

Pemerintah telah mencoba untuk melakukan kriminalisasi yang ruang lingkupnya

mengatur mengenai santet dalam pasal 255 Rancangan KUHP. Sehingga dimaksudkan

dapat meminimalis tindakan santet tersebut. Pasal 255 Ayat (1) menyebutkan: "Setiap orang

yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan magis, memberitahukan, menimbulkan

harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena

perbuatannya dapat menimbulkan kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang…".

Memperhatikan Pasal 225 Rancangan KUHP tersebut dapat dikatakan bahwa Pasal

225 Rancangan KUHP hanyalah meneruskan kebijakan politik hukum Pasal 545-547 KUHP

yang lama dengan bahasa yang lebih tegas dan membatasi substansi magis hanya terhadap

perbuatan menawar-nawarkan kemampuan dirinya mempunyai kekuatan magis sebagai

delik formil tanpa mempermasalahkan substansi dengan mengidentifikasi perbuatan dan

akibat dari perbuatan magis sebagai delik materiil.

Bila santet dikriminalisasikan yang akan terjadi adalah tata cara pembuktian dalam

membuktikan bahwa tindakan tersebut benar dilakukan dengan cara melakukan santet.

Antara santet dengan ilmu hukum mempuyai dimensi yang berbeda antara satu dengan yang

lain. Dimana santet merupakan suatu ilmu yang membutuhkan suatu kepastian materiil,

122 Ronny Nitibaskara, 1997, Teori, Konsep dan Kasus Sihir Tenung di Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta, hal. 34 123 Imam Bukhor,---- “Fenomena Hukum Santet dan "Mandulnya" Pasal 545 KUHP Tentang Tukang

Ramal”,:, http://warteg.or.id/v4/cetak.php?id=373 , diakses pada 15 Mei 2011.

Page 107: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 107

sedangkan santet merupakan suatu dimensi yang berada didalam ruang lingkup mistis atau

spiritual yang mana tidak bisa atau sulit didpatkan suatu kebenaran materiil dari tindakan

santet itu sendiri. Karena ilmu hukum yang sifatnya mencari kebenaran materiil tersebut

bisa menjadi celah bagi pihak-pihak tertentu terhadap kriminalisasi tindak pidana santet

yang sifatnya abstrak dan dugaan-dugaan saja.124

Menjadi pertanyaan menarik, perlukah kriminalisasi perbuatan magis tersebut diatur

dalam Rancangan KUHP yang baru. Untuk mendapatkan pertimbangan perlu tidaknya

perbuatan magis dikelompokkan sebagai delik yang merupakan perbuatan kejahatan

berdasarkan tujuan pencegahan terhadap praktik main hakim sendiri oleh anggota

masyarakat terhadap orang yang dituduh sebagai dukun santet dan praktik penipuan dengan

mengaku sebagai orang yang bisa memberi jasa kepada orang lain dengan menimbulkan

kematian karena mempunyai kekuatan magis, dapat dikemukakan beberapa hal yaitu:

a. Perbuatan magis yang dapat disebut sebagai santet, teluh, sihir dan guna-guna adalah

realitas sosial secara empiris sebagai kepercayaan sebagian masyarakat yang tidak dapat

disangkal keberadaannya, namun secara akademis berdasarkan ratio principle masih

dipertanyakan kebenaran keberadaannya untuk dapat dimasukkan ke dalam

undangundang yang akan berlaku sebagai hukum positif.

b. Main hakim sendiri yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap pelaku yang

dianggap sebagai dukun santet yang telah menimbulkan sejumlah besar korban

sesungguhnya merupakan perbuatan melawan hukum dengan kekerasan yang dilakukan

bersama-sama di muka umum yang telah diatur dalam Pasal 170 KUHP yang sekarang

berlaku.

c. Pasal 225 Rancangan KUHP lebih merupakan larangan terhadap menawar-nawarkan

jasa praktik magis seperti yang ada dalam "Kode Etik Komunitas Paranormal" yang

diberlakukan untuk mencegah adanya usaha penipuan terhadap masyarakat dengan cara

memberikan harapan melalui kekuatan magis untuk menimbulkan kematian,

penderitaan mental atau fisik seseorang, sementara tujuan kriminalisasi terhadap

perbuatan menawar-nawarkan jasa praktik magis yang tidak dilengkapi dengan perlu

adanya akibat magis yang timbul karena sulitnya membuktikan perbuatan magis

sebagai suatu kejahatan sebagaimana disyaratkan Pasal 183 KUHAP, yaitu harus

adanya alat bukti yang sah, seperti Keterangan Ahli, Keterangan Saksi atau Korban dan

Keterangan Terdakwa akan lebih tepat apabila ketentuan untuk tujuan kriminalisasi

tersebut dihubungkan dengan Pasal 378 KUHP yang telah merumuskan tentang tindak

pidana penipuan dengan tipu muslihat.

Tujuan Pasal 225 Rancangan KUHP dengan menggunakan bahasa yang lebih baru

dan tegas dapat melengkapi Pasal yang ada dalam KUHP sekarang. Jika mencermati dengan

teliti perbuatan magis berupa santet, sihir, teluh dan guna-guna yang masuk dalam

kelompok ilmu hitam atau black magic kalaupun secara empiris diakui sebagai ada, hal itu

124 Priyonugroho, Raden Vidi Y, Nugroho, F. Hartadi Edy, 2008, Tinjauan Yuridis Tindak Pidana

Santet, Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta.

Page 108: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 108

adalah sarana dalam melakukan kejahatan tidak berbeda dengan sarana lain seperti misalnya

menggunakan pisau/golok atau benda-benda lain sebagai peralatan kerja yang juga bisa

dipakai sebagai sarana kejahatan. Dengan demikian seyogianya yang menjadi kriminalisasi

adalah perbuatan yang merupakan kejahatan, bukan permasalahan sarana yang digunakan

dalam melakukan perbuatan kejahatan itu sebagaimana yang telah diatur secara jelas dalam

Bab III dan IV KUHP tentang Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh.125

Dari sudut kriminologi, santet dapat dikonstantir sebagai perilaku menyimpang, sebab

kniminologi tidak saja mempunyai sasaran penelitian hal-hal yang oleh negara atau hukum

dinyatakan terlarang, tetapi juga tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap tidak disukai,

sekalipun tidak diatur oleh hukum pidana. Kenyataan menunjukkan bahwa masyanakat

memang tidak menyukai kehadiran santet. Terbukti dengan adanya reaksi sosial yang keras.

Kriminalisasi atas norma hukum yang muncul di masyarakat harus dilakukan secara hati-

hati sebelum diadopsi dalam hukum positif di Indonesia.

Jimly Asshiddiqie menanggapi proses penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) baru pengganti KUHP warisan penjajah Belanda yang menyerap norma-

norma hukum yang berkembang di masyarakat, termasuk pengaturan mengenai santet,

kumpul kebo, dan pencabulan. Soal kriminalisasi ini biasanya mana yang menyimpang atau

tidak dasar-dasarnya sudah lengkap dalam sistem hukum kita. Jadi, sebenarnya tidak perlu

ada kriminalisasi baru itu. Kalaupun ada hal-hal baru yang akan dikategorikan sebagai

tindakan kriminal, seperti usulan memasukkan santet sebagai tindakan kriminal, maka hal

itu harus dilakukan secara hati-hati. Karena, tindakan-tindakan semacam santet itu telah

menyangkut hal-hal yang dikhawatirkan atau menimbulkan ketakutan seseorang. Selama ini

santet tidak dikategorikan sebagai tindak kriminal sehingga tidak diatur dalam KUHP atau

hukum positif lainnya. Dengan diadopsi dalam KUHP baru, nantinya santet termasuk tindak

kejahatan. 126

Norma-norma hukum yang muncul di masyarakat sangat baik untuk dipertimbangkan

atau diadopsi dalam hukum posistif di Indonesia agar hukum positif punya basis sosial yang

kuat. Sebab, salah satu syarat hukum yang baik adalah selain punya landasan filosofi yang

benar, sesuai cita-cita kolektif suatu masyarakat, hukum juga harus punya landasan yuridis

125 Gayus Lumbuun,---- “Catatan untuk Tb Ronny Nitibaskara Kriminalisasi Perbuatan Magis dalam

KUHP?”, http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=3153&coid=3&caid=21&gid=1, diakses pada 17

Juni 2011. 126 Media Indonesia, Jumat 3 Oktober 2003, “Pemasukan Santet di KUHP Harus Cermat”,

Page 109: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 109

yang kukuh. Norma hukum yang baik harus punya landasan sosiologis yang kuat, dan

karena itu norma hukum yang baik di masyarakat sebaiknya diadopsi dalam produk hukum

nasional agar hukum nasional bisa berfungsi sebagai norma yang bisa dijadikan pegangan

dalam kehidupan bersama.

Norma hukum yang hidup itu tentunya hasil dari satu proses kajian dan penelitian

mendalam dari masyarakat itu sendiri. Masuknya pasal tentang santet dalam KUHP baru

merupakan hal yang baik. Ketentuan tersebut dapat mencegah masyarakat mempercayai

santet dan mencegah reaksi main hakim sendiri oleh warga terhadap orang yang diduga

dukun santet. 'Dari dulu selalu diributkan, apakah paku, potongan kawat, dan besi yang

ditemukan di tubuh korban santet bisa menjadi bukti, dan bagaimana mencari pelakunya,

akhirnya hanya menjadi fitnah belaka.

Rudy Satriyo pakar hukum pidana dari UI sangat setuju jika pasal tentang santet yang

berbunyi, Barangsiapa yang mengakui mempunyai kemampuan santet, maka akan dipidana,

dimasukkan dalam draf KUHP baru, karena ketentuan itu tidak masuk ke wilayah bukti

materil. Dengan demikian, yang menjadi subjek hukum lebih jelas, yakni orang yang

mempunyai kemampuan atau berprofesi sebagai dukun santet. 'Misalnya ada orang

menyatakan bisa menyantet, maka akan dipidana127

Secara psikologi, kejahatan santet ini meresahkan masyarakat. Hal ini disebabkan

karena pertanggungjawaban pelaku tidak dapat dimintakan. akibatnya masyarakat seringkali

melakukan tindakan main hakim sendiri. Kriminalisasi terhadap santet juga memberikan

perlindungan hukum terhadap orang yang berprofesi sebagai dukun, sebagai mereka

seringkali mendapat fitnah dan penghakiman massa yang tidak manusiawi.

Penutup

Santet merupakan kejahatan dalam arti sosiologi (kriminologi) yang tidak dapat

dipidana menurut hukum positif. Fenomena sosial ini di satu sisi diterima oleh masyarakat

bahkan profesi dukun dikatakan sebagai profesi penjual jasa yang semakin mudah ditemui.

Namun di sisi lain, keberadaan mereka ditolak oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena

dukun tersebut disinyalir sebagai penyebar santet. Kejahatan ini menimbulkan kerugian bagi

korban bahkan menyebabkan kematian namun tidak dapat dipidana.

Kebijakan politik hukum pidana yang masih berlaku sampai dengan saat ini

berhubungan dengan masalah magis itu dapat dilihat pada Pasal 545 - 547 KUHP. Namun

127 Ibid.

Page 110: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 110

pasal tersebut tidak mengatur perilaku santet. Perbuatan santet ini dirasakan sangat

merugikan masyarakat dan bertendensi pada tindakan main hakim sendiri terhadap orang

yang dituduh melakukan santet. Oleh sebab itu kriminalisasi santet dirumuskan dalam Pasal

255 rancangan KUHP.

Santet merupakan fenomena sosial yang bersifat destruktif terhadap keseimbangan,

ketertiban dan keamanan masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan kriminalisasi terhadap

santet. Kriminalisasi terhadap santet memerlukan peranan psikologi hukum dalam

merumuskan delik sebagai suatu rumusan Pasal yang dapat menjaring pelaku. Oleh sebab

itu penyusun KUHP memerlukan pendidikan psikologi hukum.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

B. Simandjuntak, 1981, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Tarsito, Bandung.

Noach, Simanjuntak.B., dan Pasaribu I.L, 1984, Kriminologi, Tarsito, Bandung.

Priyonugroho, Raden Vidi Y, Nugroho, F. Hartadi Edy, 2008, Tinjauan Yuridis Tindak

Pidana Santet, Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta.

Program Studi Magisrer Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2008,

Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi Magister Ilmu

Hukum, Universitas Udayana, Denpasar.

Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama,

Bandung.

Ronny Nitibaskara, 1997, Teori, Konsep dan Kasus Sihir Tenung di Indonesia, Sinar

Grafika, Jakarta.

INTERNET

Gayus Lumbuun,----“Catatan untuk Tb Ronny Nitibaskara Kriminalisasi Perbuatan Magis

dalam KUHP?”,

http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=3153&coid=3&caid=21&gid=1,

diakses pada 17 Juni 2011.

Imam Bukhor, ----“Fenomena Hukum Santet dan "Mandulnya" Pasal 545 KUHP Tentang

Tukang Ramal”, http://warteg.or.id/v4/cetak.php?id=373 , diakses pada 17 Juni 2011.

KORAN

Media Indonesia, Jumat 3 Oktober 2003, “Pemasukan Santet di KUHP Harus Cermat”

Page 111: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 111

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I Nyoman Ngurah Suwarnatha, S.H., LL.M.

Lahir di Denpasar, 17 Maret 1980. Meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum

Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada Tahun 2002. Meraih gelar Master of Law’s di

Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada Tahun 2009. Dosen

Kopertis Wilayah VIII dpk pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Bima dari

Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2010. Dosen Kopertis Wilayah VIII dpk pada

Universitas Pendidikan Nasional Denpasar dari Tahun 2010 sampai dengan sekarang. Saat

ini menjabat sebagai Kepala Sekretariat Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional

(UNDIKNAS) Denpasar dan Kepala Pusat Kajian Konstitusi UNDIKNAS Denpasar. Selain

itu juga aktif sebagai narasumber, peneliti dan penulis di berbagai jurnal ilmiah dan media

cetak. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: [email protected] atau di

blog “hukum” melalui http://ngurahsuwarnatha.blogspot.com, No HP: 082 146 172 000

I Made Dedy Priyanto, S.H., M.Kn.

Penulis dilahirkan di Padang Sambian, Denpasar pada 11 April 1984. Menyelesaikan

pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan meraih gelar Magister

Kenotariatan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sehari-hari penulis mengabdikan

dirinya sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana. Selain itu juga aktif dalam

penelitian, penulisan ilmiah dan berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Beberapa

tulisannya pernah dimuat dalam jurnal ilmiah.

Emmy Febriani Thalib, SH

Dilahirkan di Denpasar 24 Februari 1987. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum

Universitas Udayana pada tahun 2009. Saat ini tengah menyelesaikan pendidikan S2 di

Program Magister Hukum Universitas Udayana. Pernah bekerja sebagai legal staf di

perusahaan Landscaping dan Grapari Telkomsel. Dapat dihubungi melalui

[email protected] dan 0899 316 9989.

I Wayan Suardana, S.H.

Dilahirkan di Bangli pada 22 Oktober 1973. Meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas

Warmadewa pada tahun 1996 dan saat ini sedang menyelesaikan pendidikan Pascasarjana

(S2) konsentrasi Hukum dan Masyarakat di Program Magister Ilmu Hukum Universitas

Udayana, Bali. Pengalaman kerja sebagai Polisi Hutan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali

dimulai pada tahun 1998 yakni sebagai anggota Polisi Hutan pada Satuan Wilayah Bali

Selatan di Prapat Benoa. Pada tahun 2000 menjadi anggota Polisi Hutan Teritorial Resort

Polisi Hutan Penelokan. Empat tahun berikutnya menjabat sebagai Kepala Resort Polisi

Hutan Penelokan, Kitamani. Sejak 2009 hingga kini menjabat sebagai staf bidang

Perlindungan dan Konservasi Alam dan diperbantukan di bidang Fungsional Polisi Hutan

pada Sub Bidang Kepegawaian Dinas Kehutanan Provinsi Bali. Terakhir penulis dipercaya

sebagai sekretaris Tim Kajian Dinas Kehutanan Provinsi Bali dalam menangani sejumlah

kasus kehutanan di Bali. Penulis juga aktif dalam berbagai penulisan ilmiah, konsultasi

masalah hukum kehutanan dan bertindak sebagai narasumber.

Page 112: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 112

I Wayan Wiasta, S.H., M.H.

Dilahirkan di Gianyar, 1 Januari 1957. Beralamat di Jl. Jagaraga, No. 19 Celuk, Sukawati,

Gianyar. Menamatkan pendidikan Strata 1 dan Strata 2 di Fakultas Hukum Universitas

Udayana. Saat ini bekerja sebagai dosen di Universitas Mahasaraswati Denpasar dan

menjabat sebagai wakil dekan I Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar.

Dapat dihubungi melalui Telp./Faks. [email protected]

I Gede Wiryawan, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar. Menamatkan pendidikan S1

di Universitas Atmajaya Yogyakarta dan pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Udayana, saat ini sedang menyelesaikan pendidikan doktoral di Universitas

Brawijaya Malang. Selain mengajar penulis juga aktif dalam kegiatan penelitian dan

pengabdian masyarakat. Penulis juga duduk dalam kepengurusan Dewan Pengupahan

Provinsi Bali.

I Nyoman Edi Irawan S.Pd., S.H.

Mendapatkan gelar sarjana Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati

Denpasar. Selain itu juga mendapatkan gelar sarjana pendidikan. Sehari-hari aktif sebagai

advokat dan legal consultant pada Prasada Bali Law Office. Penulis juga mengabdikan

ilmunya pada dosen di beberapa PTS di Denpasar dan sebagai tenaga pengajar bahasa

Inggris. Penulis dapat dihubungi melalui [email protected].

Dewi Bunga, S.H., M.H.

Dilahirkan di Denpasar, 8 Februari 1987. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum

Universitas Udayana dan S2 di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana dengan

predikat cumlaude. Saat ini bekerja sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas

Mahasaraswati Denpasar, Pusat Kajian Konstitusi dan Grup Riset Guru Besar Universitas

Udayana. Aktif pula sebagai narasumber hukum di pelbagai acara TV dan Radio. Berbagai

tulisannya telah dimuat dalam media cetak, jurnal ilmiah serta diseminarkan baik dalam

skala regional, nasional dan internasional. Pada tahun 2009 penulis pernah mendapatkan

penghargaan pertama dalam Writing Competition Most UNESCO United Nations-LIPI

award. Dapat dihubungi melalui [email protected] atau 081916151963.

Made Emy Andayani Citra

Dilahirkan di Singaraja, 28 Agustus 1964. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum

Universitas Mahasaraswati Denpasar dan S2 pada Program Magister Hukum Universitas

Udayana konsentrasi Hukum Bisnis. Saat ini bekerja sebagai dosen pada Fakultas Hukum

Universitas Mahasaraswati Denpasar dan menjabat sebagai Wakil Dekan II. Aktif pada

bidang penelitian dan pengabdian masyarakat. Pernah mendapatkan penghargaan sebagai

dosen berprestasi baik di lingkungan civitas akademika maupun di tingkat Kopertis Wilayah

VIII. Dapat dihubungi melalui 08123829184.

Ni Luh Gede Yogi Arthani, S.H., M.H.

Dilahirkan di Denpasar, 22 Desember 1980. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum

Universitas Udayana dan S2 pada Program Magister Hukum Universitas Udayana. Saat ini

bekerja sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar. Aktif dalam

bidang pengabdian masyarakat. Dapat dihubungi melalui 081337884882 atau

[email protected].

Page 113: KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK DALAM …unmas-library.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/... · dan dinamis dalam pergaulan dunia yang ... penanggulangan kejahatan lewat pembentukan

JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 113

I Nyoman Budi Sentana, S.H.

Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Bali. Menamatkan pendidikan

sarjana di Fakultas Hukum dan saat ini sedang menyelesaikan pendidikan pascasarjana Ilmu

Hukum di Universitas Udayana Konsentrasi Hukum dan Masyarakat. Dapat dihubungi

melalui 03618539950.

I Nengah Susrama, S.H., M.H.

Dilahirkan di Bitra pada 31 Desember 1960. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas

Hukum Univeritas Mahasaraswati Denpasar dan S2 di Magister Ilmu Hukum Universitas

Indonesia Konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana. Bidang mata kuliah yang

diampu adalah Hukum Pidana dan Ilmu Kewirausahaan di Fakultas Hukum Universitas

Mahasaraswati Denpasar.

I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra

Dilahirkan di Tabanan pada 13 Juni 1968. Saat ini menjabat sebagai Kepala Sub Bidang

Mutasi 1 Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Bali. Sembari melaksanakan tugasnya,

penulis juga sedang menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana (S2) Ilmu Hukum konsentrasi

Hukum dan Masyarakat di Universitas Udayana.