39
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH Agar diperoleh pemahaman yang baik tentang Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah, berikut ini dijelaskan terlebih dahulu bagaimana pengertian,ciri dan fase dari sebuah Kebijakan Publik. 1. Pengertian, Ciri dan Fase Kebijakan Publik a. Pengertian Kebijakan Publik Berkaitan dengan definisi Kebijakan Publik, terdapat banyak batasan dan definisi yang bisa didapatkan dari literaratur- literatur ilmu politik maupun administrasi. Namun banyaknya pendapat tersebut tidaklah berarti telah memberikan makna yang simpang siur atau pertentangan persepsi tentang Kebijakan Publik. Perbedaan justeru terjadi hanya pada kedalaman analisis di dalam merumuskan batasan-batasan Kebijakan Publik itu sendiri. Kendati pada kenyataannya bahwa definisi atau batasan sedemikian banyaknya, namun untuk keperluan analisis didalam tulisan ini akan dikemukakan berapa saja dari pendapat-pendapat para ahli tersebut, diantaranya adalah Robert Eyestone (Winarno,1989) yang berpendapat bahwa secara luas Kebijakan Publik itu dapat didefinisikan sebagai berikut : Public Policy is the relationship of a governments unit to its Environment (Kebijakan Publik adalah hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya). Konsep ini memiliki kelemahan karena mengandung pengertian yang demikian luasnya dan sangat tidak kongkrit karena tidak memuat secara spesifik bagaimana hubungan yang dimaksud. Batasan lain tentang Kebijakan Publik ini diberikan secara simpel oleh Thomas R.Dye

Kebijakan pemekaran

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: Kebijakan pemekaran

KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH

Agar diperoleh pemahaman yang baik tentang Implementasi Kebijakan

Pemekaran Daerah, berikut ini dijelaskan terlebih dahulu bagaimana

pengertian,ciri dan fase dari sebuah Kebijakan Publik.

1.      Pengertian, Ciri dan Fase Kebijakan Publik

a. Pengertian Kebijakan Publik

Berkaitan dengan definisi Kebijakan Publik, terdapat banyak batasan dan

definisi yang bisa didapatkan dari literaratur-literatur ilmu politik maupun

administrasi.

Namun banyaknya pendapat tersebut tidaklah berarti telah

memberikan makna yang simpang siur atau pertentangan persepsi

tentang Kebijakan Publik. Perbedaan justeru terjadi hanya pada

kedalaman analisis di dalam merumuskan batasan-batasan Kebijakan

Publik itu sendiri. Kendati pada kenyataannya bahwa definisi atau batasan

sedemikian banyaknya, namun untuk keperluan analisis didalam tulisan

ini akan dikemukakan berapa saja dari pendapat-pendapat para ahli

tersebut, diantaranya adalah Robert Eyestone (Winarno,1989) yang

berpendapat bahwa secara luas Kebijakan Publik itu dapat didefinisikan

sebagai berikut :

Public Policy is the relationship of a governments unit to its

Environment (Kebijakan Publik adalah hubungan suatu unit pemerintah

dengan lingkungannya). Konsep ini memiliki kelemahan karena

mengandung pengertian yang demikian luasnya dan sangat tidak kongkrit

karena tidak memuat secara spesifik bagaimana hubungan yang

dimaksud. Batasan lain tentang Kebijakan Publik ini diberikan secara

simpel oleh Thomas R.Dye (Winarno,1989) yang mendefinisikan Kebijakan

Publik sebagai berikut : Public Policy is whatever governments chose to do

or not to do (Kebijakan Publik adalah apa saja yang ditetapkan oleh

Pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan). Sekalipun batasan ini

dirasakan agak tepat, akan tetapi batasan ini tidak cukup mengakui

bahwa mungkin terdapat adanya perbedaan yang signifikan antara apa

yang diputuskan oleh Pemerintah untuk dilakukan dan apa yang

sebenarnya dilakukan oleh Pemerintah.

Page 2: Kebijakan pemekaran

Kemudian Charles O. Jones di dalam bukunya An Introduction to the

Study of Public Policy, mengemukakan pendapat H. Hugh Heclo sebagai

berikut: Policy is course of action intended to accomplish some end

(Kebijakan Publik adalah suatu arah kegiatan yang tertuju kepada

tercapainya beberapa tujuan).

Kemudian ia juga mengungkapkan bahwa :

A policy may usefully be considered as a course of action or inaction

rather than specific decisions or action, and such a course has to be

perceived and indentified by the analys in question.

(Sebuah Kebijakan Publik akan lebih cocok dilihat sebagai suatu arah

tindakan atau tidak dilakukannya tindakan, daripada sebagai sekedar

suatu keputusan atau tindakan belaka).

Selain Thomas R.Dye dan H. Hugh Heclo yang telah memberikan

rumusan Kebijakan Publik yang hampir senada, masih menurut Jones

(1996), ada juga para ahli-ahli lain yang memiliki pendapat yang senada

yaitu Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt, pendapat mereka adalah :

Policy is defined as a standing decision characterized by behavioral

consistency and repetitiveness on the part of both those who makes it and

those who abide by it.

(Kebijakan didefinisikan sebagai suatu keputusan yang siap

dilaksanakan dengan ciri adanya kemantapan prilaku dan berulangnya

tindakan, baik oleh mereka yang membuatnya maupun oleh mereka yang

harus mematuhinya).

Kemudian James E. Anderson (1975) dengan mengutip pendapat Carl J.

Friedrich memberikan definisi Kebijakan sebagai berikut:

Public Policy is a proposed course of action af a person, group, or

government within a given environment providing obstacles and

opportunities wich the policy was proposed to utilized and overcome in a

effort to reach a goal or relized an objective or a purposed.

(Kebijakan Publik adalah suatu arah tindakan yang diusulkan pada

seseorang, golongan atau pemerintah dalam suatu lingkungan dengan

halangan-halangan dan kesempatan-kesempatannya, yang diharapkan

Page 3: Kebijakan pemekaran

dapat memenuhi dn mengatasi halangan tersebut dalam rangka mencpai

suatu cita-cita atau mewujudkan kehendak serta suatu tujuan tertentu).

Dari definisi beserta keterangan yang dikemukakan oleh Carl J.Fredrich

itu, maka James E.Anderson menyimpulkan suatu konsep Kebijakan Publik

adalah sebagai berikut:

Public Policy is a purposive course of action, followed by an actor or a set

of actors in daling with a problem or metter of concern..

(Kebijakan Publik adalah suatu arah tindakan yang bertujuan, yang

dilaksanakn oleh pelaku atau pelaku kebijakan didalam mengatasi suatu

masalah atau urusan-urusan yang bersangkutan).

Agak berbeda dari definisi-definisi yang dikemukakan Anderson

terdahulu dimana penekanannya pada pembuat kebijakan, maka Dimock

and Dimock dalam bukunya yang berjudul Public Administration

mengarahkan perhatian atau fokus definisinya pada pendapat dan

keinginan rakyat. Ia memberikan definisi Kebijakan Publik sebagai berikut:

Public Policy is the reconciliation and crystallization of the views and

wants of many people and groups in the body social.

(Kebijakan Publik adalah perpaduan dan kristalisasi daripada pendapat-

pendapat dan keinginan-keinginan banyak orang dan golongan-golongan

dalam masyarakat).

Dari berbagai definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan

tersebut diatas maka sementara dapat disimpulkan bahwa Kebijakan

Publik memiliki dimensi yang luas sehingga menjadi sangat dinamis dan

dapat diadakan pengembangan lebih lanjut. Oleh karena itu, di dalam

suatu penelitian tertentu Kebijakan Publik dapat saja didudukkan sebagai

variabel terikat (Dependent Variable) dan sebagai variabel bebas

(Independent Variable).

Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa makna dan hakekat Public Policy

atau Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang ditetapkan oleh

Pejabat Pemerintah atau pihak yang berwenang dengan tujuan untuk

memenuhi kepentingan rakyat (public Interest). Dimana kepentingan

rakyat itu merupakan keseluruhan yang utuh dari perpaduan dan

Page 4: Kebijakan pemekaran

kristalisasi pendapat-pendapat, keinginan-keinginan dan tuntutan–

tuntutan dari rakyat.

b. Ciri-ciri Kebijakan Publik

Ciri-ciri khusus yang melekat pada Kebijakan Publik bersumber pada

kenyataan bahwa kebijakan tersebut dirumuskan yang oleh David Easton

(Wahab,2002) disebut sebagai orang-orang yang memiliki wewenang

dalam sistem politik, yaitu para tetua adat, ketua suku, eksekutif,

lagislator, para hakim, para administrator, para monarkhi dan lain

sebagainya. Mereka inilah yang menurut Easton, merupakan orang-orang

yang dalam kesehariannya terlibat dalam urusan-urusan politik dalam

sistem politik dan dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai

pihak yang paling bertanggung jawab berkaitan dengan keputusan atau

Kebijakan Publik tertentu.

Berkaitan dengan pendapat Easton di atas, Solichin A. Wahab di dalam

bukunya Analisis Kebijaksanaan (2002) mengemukakan beberapa ciri dari

Kebijakan Publik sebagai berikut pertama,

Kebijakan Publik adalah tindakan yang mengarah pada tujuan daripada

prilaku atau tindakan yang serba kebetulan, artinya bahwa kebijakan

publik adalah tindakan yang direncanakan.

Kedua, Kebijakan Publik pada hakekatnya terdiri atas tindakan-

tindakan yang saling berkait dan berpola, yang mengarah pada tujuan

tertentu yang dilakukan oleh Pejabat-Pejabat Pemerintah dan bukan

merupakan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri. Misalnya saja

kebijakan publik tidak hanya mencakup keputusan untuk membuat

Undang-Undang di dalam bidang-bidang tertentu melainkan diikuti

dengan keputusan-keputusan yang bersangkut paut dengan implementasi

dan atau pemaksaan pemberlakuannya.

Ketiga, Kebijakan Publik bersangkut paut dengan apa yang senyatanya

dilakukan oleh Pemerintah di dalam bidang-bidang tertentu, misalnya di

dalam mengatur pola hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di dalam

kerangka Otonomi Daerah, industri dan perdagangan, mengendalikan

inflasi, dan lain sebagainya. Keempat, Kebijakan Publik mungkin

Page 5: Kebijakan pemekaran

berbentuk positif dan mungkin pula berbentuk negatif. Dalam bentuknya

yang positif, kebijakan publik mungkin akan mencakup beberapa bentuk

tindakan pemerintah yang dimaksudkan untuk memberikan pengaruh

tertentu. Sementara di dalam bentuknya yang negatif, kebijakan publik

meliputi keputusan-keputusan Pejabat

Pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan tindakan apapun

dalam masalah-masalah dimana campur tangan pemerintah justeru

sebenarnya sangat diperlukan

Kongkritnya adalah bahwa dengan kebijakannya itu Pemerintah

dapat saja menempuh suatu kebijakan yang sangat liberal, atau cuci

tangan sama sekali, baik untuk sebagian atau seluruh sektor kehidupan

masyarakat.

c. Fase-Fase Kebijakan Publik

Jika Kebijakan Publik dipandang sebagai suatu proses, maka pusat

perhatian pasti akan tertuju pada siklus kebijakan. Pada umumnya siklus

kebijakan terdiri dari beberapa fase, dan fase-fase tersebut adalah

Formulasi, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan (Putra,2001).

Agak sedikit berbeda dengan pendapat diatas, William N.Dunn di dalam

bukunya Analisis Kebijakan Publik (terjemahan Muhadjir Darwin dkk;2000)

menyebutkan fase-fase kebijakan publik adalah sebagai berikut:

Proses analisis Kebijakan adalah serangkaian aktifitas intelektual yang

dilakukan didalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis.

Aktifitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan yang

divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung dan

diatur menurut waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi

kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.

Masih menurut Dunn, Tahapan atau fase-fase di dalam analisis

Kebijakan Publik mencerminkan aktifitas yang terus berlangsung yang

terjadi sepanjang waktu, setiap tahap selalu berkaitan dengan tahap

berikutnya. Tahap Terakhir kebijakan (Penilaian Kebijakan) dikaitkan

dengan Tahap Pertama (Penyusunan Agenda), atau di tengah dalam

Page 6: Kebijakan pemekaran

aktifitas yang tidak linear.

Dari kedua pendapat ahli tentang fase-fase Kebijakan Publik tersebut

dapat dijelaskan bahwa kedua pendapat tersebut masing – masing

menempatkan implementasi sebagai salah satu fase yang penting di

dalam studi Kebijakan Publik.

2.    Pengertian Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah

Betapapun pentingnya tahapan implementasi kebijakan, fakta telah

membuktikan bahwa baru pada dasa warsa terakhir ini saja (mulai tahun

1973) para ahli ilmu sosial mulai menyadari dan memberikan perhatian

secara serius tentang Implementasi Kebijakan dan menerimanya sebagai

bagian integral dari keseluruhan proses formulasi Kebijakan.

Untuk memperoleh batasan tentang implementasi kebijakan Pemekaran

Daerah perlu diketahui beberapa pengertian tentang implementasi

Kebijakan Publik secara umum.

Sehubungan dengan batasan Implementasi Kebijakan Publik ini, seorang

ilmuwan dari Harvard University, Merilee S.Grindle (1980) menyatakan

bahwa :

Implementasi Kebijakan Publik sesungguhnya bukanlah sekedar

bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan

politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi,

melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan

siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan.

Bahkan Udoji (Wahab,2002) dengan tegas juga memberikan pendapat

tentang betapa pentingnya Implementasi Kebijakan. Ia mengatakan

bahwa Implementasi Kebijakan Publik adalah :

The execution of policies is as important if not more important than policy-

making. Policies will remain dreams or blue print file jackets unless they

are implemented.

(Pelaksanaan Kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin

jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan.

Kebijakan-Kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus

yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak dimplementasikan).

Page 7: Kebijakan pemekaran

Sebagai bahan perbandingan, William N.Dunn (2000) memberikan definisi

Implementasi Kebijakan Publik sebagai :

Implementasi Kebijakan berarti pelaksanaan dan pengendalian arah

tindakan kebijakan dalam jangka waktu tertentu sampai dicapainya hasil

kebijakan. Implementasi Kebijakan pada dasarnya merupakan aktivitas

praktis yang dibedakan dari formulasi kebijakan yang bersifat teoritis.

Jadi Dunn menempatkan Implementasi sebagai konsep yang harus

dibedakan namun dianggap sama pentingnya dengan kegiatan formulasi

kebijakan, jika formulasi kebijakan adalah kegiatan dalam konteks teoritis

maka implementasi kebijakan adalah kegiatan dalam konteks praktis.

Kemudian Pressman dan Wildavsky dalam bukunya Implementation yang

diterbitkan pada tahun 1973 (Wahab,2002), yang digelar sebagai

pencetus konsep Implementasi Kebijakan Publik menyatakan bahwa

sebuah kata kerja mengimplementasikan itu sudah sepantasnya terkait

langsung dengan kata benda kebijakan. Sehingga kedua pelopor studi

implementasi ini berpendapat bahwa untuk melaksanakan kebijakan perlu

mendapatkan perhatian yang seksama, oleh karena itu adalah keliru jika

menganggap bahwa proses tersebut dengan sendirinya akan berlangsung

mulus.

Agak mirip dengan pandangan kedua ilmuwan di atas, Van Meter dan Van

Horn (1978) merumuskan proses Implementasi Kebijakan Publik sebagai :

Those actions by public or private individuals (or groups) that are directed

at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions

(Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh/pejabat-pejabat (atau

kelompok-kelompok) pemerintah atau swasta yang diarahkan pada

tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan

kebijakan)

Jadi Van Meter dan Van Horn melihat Implementasi Kebijakan Publik

sebagai suatu aktifitas yang real dan kongkrit, bukan menyangkut teori-

teori tertentu saja, jadi senada dengan yang dikemukakan oleh Dunn.

Masih berkaitan dengan konsep teoritik Implementasi Kebijakan Publik,

Walter William seperti yang dikutip Charles O.Jones (1996) menyatakan

bahwa :

Page 8: Kebijakan pemekaran

Masalah yang penting dalam implementasi kebijakan adalah hal

memindahkan suatu keputusan ke dalam kegiatan atau pengoperasian

dengan cara tertentu. Dan cara tersebut adalah bahwa apa yang

dilakukan memiliki kemiripan nalar dengan keputusan tersebut, serta

berfungsi dengan baik di dalam lingkup lembaganya. Hal terakhir

mengandung pesan yang lebih jelas dibandingkan dengan kesulitan

dalam menjembatani jurang pemisah antara keputusan kebijakan dan

bidang kegiatan yang dapat dikerjakan.

Dari dimensi yang lain, berikutnya Daniel A.Mazmanian dan Paul

A.Sabatier (1981) menjelaskan makna Implementasi Kebijakan ini dengan

mengatakan bahwa :

Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program

dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian

implementasi kebijakan, yaitu kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan

yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan publik ,

yang mana mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikan

maupun akibat atau dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-

kejadian.

Pendapat kedua ilmuwan ini menggambarkan bahwa proses

Implementasi Kebijakan Publik sesungguhnya tidak hanya menyangkut

prilaku badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk

melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok

sasaran, melainkan menyangkut pula jaringan kekuatan-kekuatan politik,

ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat

mempengaruhi prilaku dari semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya

berpengaruh terhadap dampak baik yang diharapkan (intended) maupun

yang tidak diharapkan (negative effect). Di dalam pendapat ini juga

terlihat bahwa antara apa yang disebut sebagai Perumusan Kebijakan dan

Implementasi Kebijakan tidak dianggap sebagai suatu proses yang

terpisah.

Menurut Agus Dwiyanto (1995), Implementasi Kebijakan Publik

Page 9: Kebijakan pemekaran

mempersoalkan proses Implementasi Kebijakan Pemerintah. Jadi

pertanyaan yang akan dijawab oleh studi ini adalah mengapa suatu

Kebijakan Publik gagal mencapai tujuannya. Dengan demikian studi ini

berusaha mengungkapkan proses implementasi dan faktor-faktor yang

mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan implementasi suatu Kebijakan

Publik.

Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ilmuwan

tadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Implementasi

Kebijakan Pemekaran Daerah adalah aktifitas-aktifitas praktis yang

dilakukan secara sistematis untuk menerapkan keputusan-keputusan

yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam rangka Pembentukan Daerah

suatu daerah tertentu dengan proses Pemekaran Daerah.

B. Substansi Kebijakan Pemekaran Daerah.

1. Pemekaran Daerah

Analisis tentang wilayah atau daerah belum banyak ditemukan di

dalam literatur-literatur Ilmu Sosial sehingga di ditemukan sedikit

kesulitan di dalam merumuskan konsep-konsep teoritik tentang Daerah.

Kemudian antara sebutan Daerah dan Wilayah tidak berhasil ditemukan

adanya perbedaan, bahkan kedua sebutan ini sering dipertukarkan di

dalam pemakaian sehari-hari. Oleh para ahli, batasan mengenai ilmu

wilayah diartikan sebagai berikut :

Ilmu wilayah adalah suatu ilmu yang mempelajari wilayah terutama

sebagai suatu sistem, khususnya yang menyangkut hubungan interaksi

dan interpendensi antara subsistem utama, ekosistem dengan sub sistem

utama sosial sistem, serta kaitannya dengan wilayah-wilayah lainnya

dalam membentuk suatu kesatuan wilayah guna pengembangan

termasuk penjagaan kelestarian wilayah tersebut (Sutami,1997).

Lebih lanjut beberapa ahli mendefinisikan wilayah sangat berbeda

satu sama lain karena kepentingan dan latar belakang yang berbeda pula.

Sebagaimana dikutip oleh Hadi Sabari (2000) dari beberapa pakar berikut

ini : misalkan saja T.J.Wofter yang mengatakan bahwa :

suatu wilayah adalah daerah tertentu yang di dalamnya tercipta

Page 10: Kebijakan pemekaran

homogenitas struktur dan sosial sebagai perwujudan kombinasi antara

faktor-faktor lingkungan dan demografi.

Kemudian R.S. Platt yang berpendapat bahwa :

suatu wilayah adalah daerah tertentu yang keberadaannya dikenal

berdasarkan homogenitas umum baik atas dasar karakter lahan maupun

huniannya. Selanjutnya P. Vidal dela Blache, bahwa :

wilayah adalah tempat (domain) tertentu yang di dalamnya terdapat

banyak sekali hal yang berbeda beda, namun secara artifisial bergabung

bersama-sama, saling menyesuaikan untuk membentuk kebersamaan.

Berikutnya A.J. Herbertson, yang mengartikan :

wilayah sebagai bagian dari bagian yang tertentu dari permukaan bumi

yang mempunyai sifat khas tertentu sebagai akibat dari adanya

hubungan-hubungan khusus antara komplek lahan, air, udara, tanaman,

binatang dan manusia sendiri.

Taylor yang melihat wilayah dari penampakan karakteristik memberikan

batasan wilayah yaitu :

Sebagai suatu daerah tertentu di permukaan bumi yang dapat dibedakan

dengan daerah tetangganya atas dasar kemampuan karakteristik atau

properti yang menyatu.

Dari batasan dan pengertian yang diberikan oleh para Ahli diatas,

maka dapat dikelompokkan adanya 3 pandangan tentang wilayah yaitu

dari sudut pandang Humaniora (kemanusiaan), natural fenomena (gejala

alamiah) dan geographycal fenomena (gejala geografi). Dengan demikian,

dari pandangan-pandangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa

perwilayahan adalah usaha untuk membagi-bagi permukaan bumi atau

bagian dari permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula

dengan kriteria seperti administratif, politik, ekonomi, sosial, kultural,

fisik, geografis dan sebagainya. Selanjutnya perwilayahan tersebut

membentuk organisasi dan kelembagaan dengan program berbagai

variabelnya antara lain kepemimpinan, doktrin, program, sumber-sumber

daya (Alam dan manusia) dan struktur intern lainnya (Eaton,1986)

Sedangkan menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Page 11: Kebijakan pemekaran

tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksudkan dengan Daerah

adalah :

Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tententu

berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah bertujuan untuk mendorong pemberdayaan

masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas masyarakat serta

mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jadi

intinya adalah memberikan kewenangan kepada Daerah Otonom untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakatnya yang sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan.

Dengan demikian pemikiran yang mendasari lahirnya Undang-

Undang tentang Otonomi Daerah ini adalah :

a. Dalam rangka memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk

menyelenggarakan otonomi daerah.

b. Penyelenggaraan otonomi daerah dilakukan dengan prinsip demokrasi,

peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, kemandirian, menjaga

keserasian hubungan dengan Pemerintah Pusat serta memperhatikan

potensi dan keberagaman daerah.

c. Guna menghadapi persaingan global, jadi Daerah diberikan

kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab (Gaffar, 2002).

Berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah tersebut sudah barang tentu

menyebabkan terjadinya perubahan yang fundamental terhadap elemen-

elemen Pemerintahan Daerah serta memerlukan penataan-penataan yang

sistematis.

Elemen-elemen utama yang membentuk Pemerintah Daerah itu

adalah :

a. Adanya urusan otonomi yang merupakan dasar dari kewenangan

daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri,

Page 12: Kebijakan pemekaran

b. Adanya kelembagaan yang merupakan pewadahan dari otonomi yang

diserahkan kepada Daerah,

c. Adanya personil (pegawai daerah) untuk menjalankan urusan otonomi,

d. Adanya sumber keuangan untuk pembiayaan pelaksanaan otonomi,

e. Adanya unsur perwakilan rakyat yang merupakan perwujudan

demokrasi di daerah,dan

f. Adanya manajemen pelayanan umum (public service).

Tujuan-tujuan yang ingin diperoleh dari adanya penataan tersebut terdiri

dari :

a. Tujuan utama yaitu bagaimana dengan penataan kewenangan,

kelembagaan, personil, keuangan, perwakilan dan manajemen urusan

otonomi tersebut akan dapat memberdayakan Pemerintah Daerah agar

mampu menjalankan tugasnya sebagai Daerah Otonom dengan baik

(Gaffar, 2002).

b. Tujuan politis yaitu memposisikan Pemerintah Daerah sebagai

instrumen pendidikan politik ditingkat lokal yang secara agregat akan

menyumbangkan pendidikan politik secara nasional sebagai elemen dasar

menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa. Pemberian Otonomi dan

pembentukan institusi Pemerintah Daerah akan mencegah terjadinya

sentralisasi dan mencegah kecenderungan sentrifugal dalam bentuk

pemisahan diri (Smith, 1985).

c. Tujuan administratif yaitu mengisyaratkan Pemerintah Daerah akan

mencapai efisiensi dan efektifitas dalam menjalankan tugas pokok dan

fungsinya dalam artian bertindak dan menggunakan dana publik tidak

boros yang pada gilirannya dalam pemilihan umum yang akan datang

tidak lagi mendapat mandat untuk menjalankan amanah masyarakat

(Gaffar, 2002).

Dari uraian diatas tersirat bahwa dimungkinkan adanya pembentukan

daerah otonom yang baru, diantaranya yang ditempuh melalui cara

pemekaran daerah. Pemekaran Daerah sendiri dimaksudkan adalah

dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui :

(1)peningkatan pelayanan kepada masyarakat; (2)percepatan

Page 13: Kebijakan pemekaran

pertumbuhan kehidupan demokrasi; (3)percepatan pelaksanaan

pembangunan perekonomian daerah; (4)percepatan pengelolaan potensi

daerah; (5)peningkatan keamanan dan ketertiban; serta (6)peningkatan

hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah (PP Nomor 129 Tahun

2000).

Selanjutnya di dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah R.I Nomor 129 Tahun

2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran,

Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, yang dimaksud dengan

Pemekaran Daerah adalah Pemecahan Daerah Propinsi, Daerah

Kabupaten, dan Daerah Kota menjadi lebih dari satu Daerah.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Pemekaran Daerah

merupakan tuntutan atau aspirasi sebagian besar masyarakat tertentu

untuk memisahkan diri dari daerah induknya, kemudian membentuk

suatu daerah baru baik itu Propinsi, Kabupaten atau Kota dengan

pertimbangan dan alasan-alasan tertentu sesuai peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Jadi Pemekaran Daerah lebih terarah pada

keinginan atau aspirasi masyarakat.

2. Substansi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tentang

Pemekaran Daerah.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pemekaran

Daerah di Kabupaten Aceh Barat adalah landasan hukum pelaksanaan

pemekaran daerah, dimana Kabupaten Aceh Barat dimekarkan menjadi 3

Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Barat sebagai induk, Kabupaten Aceh

jaya dan Kabupaten Nagan Raya sebagai Kabupaten yang baru.

Undang-Undang ini mengatur beberapa hal pokok , yaitu:

a) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 dikeluarkan dengan

pertimbangan adanya perkembangan dan kemajuan di bidang

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten Aceh

Barat serta segenap kemampuan sumber daya yang ada (ekonomi,

Page 14: Kebijakan pemekaran

potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas

daerah dan lain-lain),

b) Pembentukan Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Nagan Raya

sebagai hasil pemekaran Kabupaten Aceh Barat dimaksudkan agar dapat

mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan,

pembangunan, dan kemasyarakatan, serta memberikan kemampuan

dalam pemanfaatan potensi daerah,

c) Pengaturan secara jelas tentang batas-batas daerah serta ibukota, baik

ibu kota Kabupaten maupun Kecamatan,

d) Kewenangan Kabupaten-Kabupaten yang baru terbentuk mencakup

seluruh kewenangan bidang pemerintahan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan,

e) Untuk Kabupaten yang baru terbentuk, Pembentukan DPRD sudah

harus dilaksanakan paling lambat 6 bulan setelah peresmian Kabupaten,

f) Untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten yang

baru terbentuk, Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati yang definitif sudah

harus dilaksanakan paling lambat dalam waktu 1 tahun setelah peresmian

Kabupaten,

g) Sebelum terpilihnya Bupati dan Wakil Bupati yang definitif, maka

diangkat Penjabat Bupati oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden,

h) Untuk kelengkapan perangkat pemerintahan di Kabupaten yang baru

maka dibentuk Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas-Dinas

Kabupaten dan Lembaga-Lembaga teknis lainnya,

i) Berkaitan dengan sumber daya, serah terima sumber daya dari

Kabupaten Induk kepada Kabupaten-Kabupaten yang baru terbentuk

segera dilaksanakan. Sumber-sumber daya tersebut dapat berupa

Pegawai Negeri, barang milik/ asset daerah, Badan Usaha Milik Daerah,

dokumen atau arsip maupun utang-piutang,

j) Biaya yang diperlukan untuk kelancaran penyelenggaraan

pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat

sebelum ditetapkannya APBD di Kabupaten yang baru maka dibebankan

kepada APBD Kabupaten Induk,

k) Sebelum Kabupaten yang baru terbentuk menetapkan Peraturan

Page 15: Kebijakan pemekaran

Daerah dan Keputusan Kepala Daerah sebagai pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2002, maka yang berlaku adalah Peraturan

Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Kabupaten induk (Kabupaten Aceh

Barat).

3.      Indikator Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah.

Berdasarkan beberapa substansi pokok yang diatur di dalam Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2002 tersebut di atas, penulis dapat merinci

beberapa indikator pokok yang dapat dijadikan tolok ukur implementasi

Undang-Undang tentang Pemekaran Daerah Kabupaten Aceh Barat,

yaitu :

a) Diresmikannya Kabupaten dan dilantiknya Penjabat Bupati paling

lambat 1 bulan setelah UU Nomor 4 Tahun 2002 diundangkan.

b) Terbentuknya Organisasi Perangkat Daerah,

c) Terbentuknya DPRD paling lambat 6 bulan setelah peresmian

Kabupaten,

d) Terpilihnya Bupati dan Wakil Bupati yang definitif paling lambat 1 tahun

setelah peresmian Kabupaten,

e) Terlaksananya serah terima Asset Daerah dari Pemerintah Daerah

Kabupaten Induk kepada Kabupaten yang baru paling lambat 1 tahun

setelah peresmian Kabupaten,

Implementasi Undang-Undang dimaksud dianggap terlaksana

sebagaimana mestinya apabila semua indikator-indikator di atas telah

dapat dilaksanakan, demikian pula sebaliknya.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Pemekaran Daerah

Eugene Bardach di dalam bukunya yang sangat provokatif yaitu The

Implementation Game (Jones,1996) mengatakan bahwa :

Adalah cukup sulit untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum

yang kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya

dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakkan

bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya.

Page 16: Kebijakan pemekaran

Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk dan cara yang

memuaskan semua orang termasuk mereka yang dianggap sebagai klien.

Disini Bardach bermaksud melukiskan kesulitan-kesulitan dalam mencapai

kesepakatan di dalam proses kebijakan publik dan menerapkan kebijakan

tersebut. Hal ini terlihat pada pelaksanaan kerja serta pemindahan dari

tujuan yang disepakati ke proses pencapaian tujuan tersebut.

J ones sendiri menilai bahwa dalam Implementasi Kebijakan,

pergeseran atau pemindahan yang dimaksudkan oleh Bardach tadi

merupakan salah satu masa tenggang yang populer dalam proses

Kebijakan Publik, yaitu pergeseran dari aspek politik ke aspek

administrasi. Dengan demikian cukup penting untuk diakui bahwa tidak

ada gambaran yang jelas tentang kebijakan umum di dalam praktek. Pada

bagian akhir dari penjelasannya, Bardach juga mengatakan bahwa proses

kesepakatan untuk menyetujui suatu program tertentu jarang

memecahkan masalah yang memuaskan bagi setiap orang.

Hogwood dan Gunn (Wahab,2002) secara garis besar menjelaskan bahwa

kegagalan suatu kebijakan (policy failure) dapat dikelompokkan menjadi

dua katagori. Pertama, yaitu tidak terimplementasikannya kebijakan itu

(non implementation gap) dan Implementasi Kebijakan yang tidak berhasil

(unsuccesfull implementation). Tidak terimplementasinya kebijakan

berarti bahwa suatu kebijakan tidak berjalan sesuai dengan harapan,

bahkan bisa diakibatkan karena pihak-pihak yang bertanggung jawab

dalam implementasi tidak bersedia bekerjasama, atau sedemikian

luasnya jangkauan yang ingin dicapai oleh kebijakan.

Masih menurut Hogwood dan Gunn, agar Implementasi Kebijakan

dapat dilaksanakan dengan baik maka harus memperhatikan faktor-faktor

berikut ini yaitu:

(1)kondisi eksternal yang dihadapi organisasi dan instansi pelaksana tidak

akan menimbulkan gangguan dan kendala;

(2)untuk melaksanakan kebijakan harus tersedia waktu dan sumber-

sumber yang memadai; (3)keterpaduan antar sumber daya yaitu

Page 17: Kebijakan pemekaran

manusia, dana dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya; (4)kebijakan yang

di implementasikan harus didasari hubungan kausalitas yang erat;

(5) hubungan kausalitas harus bersifat langsung dan hanya sedikit mata

rantai penghubungnya; (6)hubungan saling ketergantungan harus kecil;

(7)pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan;

(8)tugas-tugas harus terperinci dan ditempatkan pada urutan yang tepat;

(9)komunikasi dan koordinasi yang sempurna dan

(10)pihak-pihak yang memiliki wewenang dapat menuntut dan

memperoleh kepatuhan kewenangan.

Menurut Mazmanian dan Sabatier (Wahab,2002) dalam rangka

memformulasikan penelitian tentang Implementasi Kebijakan hal

terpenting adalah merancang dan mengidentifikasikan variabel-variabel

yang dianggap penting, kemudian menetapkan varibel mana yang paling

mempengaruhi dalam menentukan berhasil atau gagalnya suatu

kebijakan. Masih menurut kedua ahli tadi, Sabatier dan Mazmanian

(Wibawa,1994),

bahwa variabel-variabel yang dapat mempengaruhi berhasil atau

gagalnya suatu kebijakan adalah sebagai berikut :

(1)mudah atau tidaknya masalah yang akan dikerjakan;

(2)kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat

proses implementasi kebijakan; (3)pengaruh langsung berbagai variabel

politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam

keputusan tersebut.

Kemudian mereka juga mengidentifikasikan variabel-variabel yang

mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu :

(a)variabel kemampuan landasan hukum (peraturan) terhadap

implementasi struktur; dan

(b)variabel non peraturan yang mempengaruhi implementasi kebijakan.

Variabel kemampuan landasan hukum (peraturan) terhadap implementasi

struktur meliputi:

Page 18: Kebijakan pemekaran

(1)kejelasan dan konsistensi sasaran;

(2)sumber daya keuangan;

(3)keterpaduan dari teori kausal yang memadai;

(4)integrasi hierarkis dengan dan antar lembaga pelaksana;

(5)peraturan keputusan dari agen pelaksana;

(6)rekruitmen dari pejabat pelaksana;

(7)akses formal ke luar. Sedangkan variabel non peraturan yang

mempengaruhi jalannya implementasi kebijakan meliputi : (1)kondisi

sosial ekonomi dan teknologi;(2) perhatian media terhadap masalah;

(3)dukungan publik; (4)sikap dan sumber daya kelompok sasaran utama;

(5)dukungan kewenangan; (6)komitmen dan kemampuan pejabat

pelaksana.

Van Meter dan Van Horn (Wahab,2002) menjelaskan ada beberapa

variabel bebas yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan

yaitu:

(1)ukuran dan tujuan kebijakan;

(2)sumber-sumber kebijakan;

(3)ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana dan

(4) lingkungan ekonomi, sosial dan politik.

Gagal atau berhasilnya implementasi suatu kebijakan menurut Edward III

(1980) ditentukan oleh 4 faktor, yaitu:

(1)komunikasi;

(2)sumber-sumber daya;

(3)disposisi dan

(4)struktur birokrasi.

Selanjutnya G.Shabbir Chemma dan Dennis A. Rondinelli (Wibawa,1994)

mengungkapkan ada 4 variabel besar yang mempengruhi berhasil dan

gagalnya implementasi kebijakan yaitu: Pertama, kondisi lingkungan

meliputi :

(a)model politik;

(b)struktur pembuatan kebijakan;

(c)karekteristik struktur kekuatan lokal;

Page 19: Kebijakan pemekaran

(d)kendala sumber daya,

e)faktor sosio kultural; (

f)kecukupan infrastruktur fisik. Kedua, hubungan antar organisasi

meliputi:

(a)kejelasan dan konsistensi terhadap tujuan kebijakan; (b)hubungan

antar dinas yang seimbang; (c)standarisasi perencanaan, anggaran,

implementasi dan prosedur evaluasi, (d)keakuratan, konsistensi dan

kualitas komunikasi antar organisasi dan(e) kefektifan jaringan untuk

mendukung kegiatan kebijakan (program).

Ketiga, sumberdaya organisasi yang meliputi:

(a)sejauhmana organisasi mengontrol sumberdana; (b)kecukupan alokasi

budget dengan program; (c)ketepatan waktu penerimaan budget;

(d)dukungan kepemimpinan politik lokal; (e)dukungan dan kepemimpinan

politik nasional dan (f)komitmen birokrasi pada tingkat nasional.

Sedangkan variabel yang keempat adalah karekteristik dan kemampuan

agen pelaksana meliputi: (a)teknik,manajerial dan keahlian politik para

staf; (b)kemampuan untuk mengkoordinasikan dan mengontrol

keputusan; (c)dukungan dan sumberdaya agen politik; (d)komunikasi

internal organisasi; (e)hubungan agen pelaksana dan terget group; (f)

hubungan agen pelaksana dengan organisasi non pemerintah lainnya;

(g)kualitas kepemimpinan agen pelaksana; (h)komitmen para staf untuk

melaksanakan program dan (i)lokasi agen pelaksana dalam sistem

administrasi.

Yang terakhir adalah pendapat Merilee S.Grindle (1980), Ia

mengidentifikasi dua hal yang sangat menentukan keberhasilan dalam

Implementasi Kebijakan, yaitu Isi Kebijakan dan Konteks dari

Implementasi itu sendiri. Dua hal itu kemudian dirinci menjadi :

a. Isi Kebijakan (Content of Policy) yang terdiri dari :

1) kepentingan siapa yang terlibat,

2) macam-macam manfaat,

3) sejauhmana perubahan akan diwujudkan,

4) tempat pembuatan kebijakan,

5) siapa yang menjadi implementatornya, dan

6) sumberdaya yang tersedia/disediakan.

Page 20: Kebijakan pemekaran

b. Konteks Implementasi (Context of Implementation) yang terdiri dari:

1) kekuasaan, kepentingan, dan strategi para aktor yang terlibat,

2) karateristik lembaga dan rejim, dan

3) sesuai dengan kaidah dan tingkat responsif.

Kesimpulan yang dapat diambil dari apa yang disampaikan oleh Grindle

ini adalah bahwa keberhasilan dari Implementasi Kebijakan ditentukan

oleh banyak hal, terutama yang menyangkut kepentingan-kepentingan

yang terlibat didalamnya. Sebuah Kebijakan yang sederhana tentu saja

tidak melibatkan kepentingan banyak orang dan kelompok masyarakat

sehingga pada akhirnya tidak akan membawa perubahan besar.

Sebaliknya semakin melibatkan banyak kepentingan, maka keterlibatan

seseorang atau kelompok dalam Implementasi Kebijakan tersebut akan

sangat tergantung pada apakah kepentingannya terlindungi atau bahkan

orang atau kelompok tersebut akan memperoleh manfaat yang besar

atau tidak. Kalau kepentingannya terlindungi, maka dia akan berusaha

untuk terlibat secara aktif dalam Implementasi Kebijakan karena

bagaimanapun juga maanfaatnya pasti akan sampai kepada yang

bersangkutan.

Berikutnya yang terakhir adalah pendapat Maarse (Tobing;1978)

yang mengemukakan bahwa implementasi suatu kebijakan publik

dipangaruhi oleh 4 faktor, yaitu : Pertama adalah isi kebijakan yang harus

dilaksanakan, Kedua adalah tingkat informasi dari aktor-aktor yang

terlibat dalam implementasi, Ketiga adalah banyaknya dukungan bagi

kebijakan yang dilaksanakan, dan Keempat adalah potensi serta sumber

daya seperti waktu, uang dan tenaga manusia.

Berdasarkan model-model Implementasi Kebijakan Publik yang

dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut diatas, dapat disimpulkan

bahwa terdapat banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi

implementasi Kebijakan Publik. Terdapat beberapa persamaan dan

perbedaan dalam pengelompokkan variabel antara pakar yang satu

dengan pakar lainnya. Namun tesis ini tidaklah bermaksud untuk

membahas adanya perbedaan dan persamaan tersebut. Tetapi yang

penting adalah bahwa dengan model-model tersebut telah diperoleh

gambaran yang jelas bahwa terdapat banyak faktor atau variabel yang

mempengaruhi implementasi kebijakan.

Page 21: Kebijakan pemekaran

Di dalam hal penggunaan model, Santoso (Alfian dkk:1988)

mengemukakan bahwa karya-karya atau buah pikir para pakar kebijakan

belum ada yang menyinggung kasus Indonesia secara khusus, maka

beberapa variabel dari model-model yang dikembangkan para pakar

kebijakan mungkin relevan dan mungkin saja tidak relevan untuk

mengkaji proses implementasi kebijakan di Indonesia.

Hampir senada dengan pendapat Santoso tadi, Wibawa (1994)

mengemukakan bahwa seluruh model-model implementasi kebijakan

jangan diaplikasikan secara mentah-mentah, melainkan dapat disesuaikan

dengan kebutuhan studi implementasi.

Selanjutnya dapat disimpulkan pula bahwa semua pendapat para

ilmuwan tersebut memiliki kebenaran-kebenaran, hanya saja apabila

dilihat dari tingkat relevansi dengan konteks atau aspek tertentu yang

akan dianalisis maka masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

Oleh karena itu perlu dilakukan seleksi terhadap variabel-variabel yang

tepat dan memiliki tingkat kesesuaian atau relevansi yang tinggi dengan

penelitian ini sehingga diperoleh hasil penelitian yang akurat tentang

faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat.

Setelah diadakan penyeleksian tingkat kesesuaian atau tingkat

relevansi terhadap faktor-faktor tersebut di atas maka diperoleh variabel-

variabel yang dapat mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pemekaran

Daerah di Kabupaten Aceh Barat adalah sebagai berikut :

1. Substansi Kebijakan Pemekaran Daerah,

2. SDM Implementator Kebijakan Pemekaran Daerah,

3. Struktur Birokrasi Komite Pemekaran Daerah,dan

4. Kondisi Lingkungan (kondisi sosial ekonomi dan sosial politik).

Berikut ini secara teoritik akan dijelaskan keempat faktor yang

mempengaruhi implementasi kebijakan tersebut, yaitu :

1.      Substansi Kebijakan Pemekaran Daerah

Dari berbagai pendapat para ilmuan yang telah disebutkan terdahulu

yaitu pada bagian faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi

Kebijakan Publik dapat dinilai bahwa hampir semua ahli (kecuali Edward

Page 22: Kebijakan pemekaran

III) sependapat jika kejelasan isi atau substansi sebuah Kebijakan Publik

sangat mempengaruhi dan menjadi salah satu faktor yang sangat penting

didalam proses implementasi sebuah kebijakan publik. Karena pada

kenyataannya banyak kasus yang disebabkan oleh permasalahan

ketidakjelasan substansi menyebabkan para stakeholders dan pejabat

pelaksana di lapangan menemukan kendala-kendala di dalam

mengimplementasikan sebuah kebijakan publik. Demikian pula

masyarakat sebagai kelompok sasaran (target group) tidak selalu dengan

serta merta menerima dan memberikan dukungannya terhadap sebuah

kebijakan publik yang diintervensikan kepada mereka. Artinya bahwa

bukan tidak mungkin apabila masyarakat akan memberikan reaksi atau

respon untuk tidak menerima atau tidak mendukung kebijakan publik

tertentu karena interpretasi mereka terhadap substansi kebijakan. Bahkan

pada stadium lanjut, substansi kebijakan publik tersebut dapat dianggap

sebagai potensi masalah atau konflik yang baru.

Untuk menemukenali substansi atau isi Kebijakan Publik, Samodra

Wibawa dalam tulisannya yang berjudul Evaluasi Kebijakan Publik (1994)

menjelaskan bahwa :

Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen

dasar, yaitu tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dan cara mencapai

sasaran tersebut. Komponen yang terakhir biasanya belum dijelaskan

secara rinci, dan oleh karena itulah birokrasi harus menterjemahkan

sebagai program-program aksi dan proyek. Didalam “cara” tersebut

terkandung beberapa komponen kebijakan yang lain, yaitu siapa

pelaksana atau implementatornya, berapa besar dan darimana dana

diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan

atau bagaimana sistem manajemennya, dan bagaimana keberhasilan

atau kinerja kebijakan diukur.

Pada bagian selanjutnya ia juga mengatakan bahwa :

………komponen ketiga dari suatu kebijakan yaitu cara adalah merupakan

komponen yang berfungsi untuk mewujudkan dua komponen yang

pertama yaitu tujuan dan sasaran khusus.

Page 23: Kebijakan pemekaran

Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Riswanda Imawan

(1999) dengan mengutip pendapat William Dunn dan Samuel Patterson

dkk mengatakan bahwa rumusan sebuah kebijakan publik yang baik

selalu berisi dua hal yaitu tujuan kebijakan dan cara mencapai tujuan

kebijakan tersebut.

Berdasarkan pendapat dua ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

komponen utama yang mengisi sebuah Kebijakan Publik adalah tujuan

dan cara mencapai tujuan tersebut.

Jadi kejelasan isi atau substansi kebijakan sebagai faktor yang

mempengaruhi implementasi kebijakan Pemekaran Daerah di Kabupaten

Aceh Barat mengandung dua hal pokok yaitu :

a) Kejelasan tentang Tujuan Kebijakan Pemekaran Daerah.

Bahwa sebuah kebijakan yang baik harus memuat tujuan yang hendak

dicapai dengan diimplementasikan kebijakan tersebut secara jelas, baik

itu tujuan jangka pendek atau jangka panjang ataupun tujuan yang

bersifat sempit dan luas. Adanya kejelasan tujuan ini kian menjadi sangat

penting bila dikaitkan dengan ragam interpretasi yang bakal muncul baik

di kalangan pelaksana kebijakan (implementator) maupun masyarakat

(target group) ketika kebijakan diimplementasikan. Kejelasan tujuan

kebijakan selain akan menghilangkan keragu-raguan bahkan

kemungkinan kesalahan dikalangan pejabat pelaksana, juga akan

meningkatkan dukungan di kalangan masyarakat Kabupaten Aceh Barat.

b) Kejelasan tentang Cara Mencapai Tujuan Kebijakan Pemekaran Daerah.

Bahwa sebuah kebijakan publik yang baik juga memuat cara mencapai

tujuan kebijakan secara jelas, dan ini berkaitan dengan beberapa hal,

yaitu :

1) Kejelasan tentang pelaksana atau implementator kebijakan Pemekaran

Daerah: hal ini sangat penting karena kejelasan implementator akan

menghilangkan kemungkinan stagnasi atau bahkan kemungkinan

overlapping dalam penanganan implementasi kebijakan publik,

Page 24: Kebijakan pemekaran

2) Kejelasan tentang dana atau anggaran yang disediakan untuk

mengimplementasikan kebijakan Pemekaran Daerah: banyak kasus

kebijakan yang telah membuktikan bahwa aspek dana atau anggaran

sangat diperlukan di dalam implementasi kebijakan publik. Kejelasan

tentang dana atau sistem insentif tertentu akan dapat menggerakkan

upaya pencapaian tujuan kebijakan menjadi lebih efektif,

3) Kejelasan tentang proses atau tahapan pelaksanaan kebijakan

Pemekaran Daerah: hal ini juga sangat vital karena akan dapat

menghilangkan kemungkinan overlapping di dalam realisasi tujuan

kebijakan, selanjutnya yang terakhir adalah

4) Kejelasan tentang bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan itu

diukur: dalam sebuah kebijakan yang baik hal ini biasanya ditandai

dengan dimuatnya tenggang waktu, output secara fisik maupun non fisik

sebagai ukuran pencapaian tujuan kebijakan.

2. SDM Implementator Kebijakan Pemekaran Daerah

Sumber Daya Manusia mempunyai peran penting di dalam Implementasi

Kebijakan Publik karena fakta menunjukkan bahwa bagaimanapun jelas

dan konsistennya ketentuan serta bagaimanapun akuratnya dalam

memfungsikan aturan tersebut jika personil yang bertanggungjawab

melaksanakan kebijakan (implementator) kurang memiliki sumber daya

untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan

tersebut tidak akan bisa efektif. Hal ini seperti dikemukakan oleh Edward

III (1980) yang mengatakan :

No matter how clear and consistent implementation orders are and no

matter how accurately they transmitted, if the personnel responsible for

carrying out policies lack the resources to do an effective job,

implementation will not be effectively.

Yang dimaksudkan dengan Sumber Daya yang terpenting di dalam

implementasi kebijakan antara lain adalah menyangkut staf yang harus

mempunyai keahlian dan kemampuan melaksanakan tugas, perintah dan

anjuran atasan (pimpinan). Aspek ini biasanya disebut dengan aspek

kualitas Sumber Daya Manusia.

Disamping itu harus ada pula ketepatan dan kelayakan antara jumlah staf

Page 25: Kebijakan pemekaran

yang dibutuhkan dengan keahlian yang harus dimiliki sesuai dengan

tugas-tugas yang akan dikerjakan. Aspek ini biasanya dikenal dengan

aspek kuantitas Sumber Daya Manusia. Hal ini seperti yang diutarakan

juga oleh Edward III (1980) sebagai berikut:

Important resources include staff of the proper size and with the

necessary experties ; relevant and adequate information on how to

implementation policies and on on the compliance of others involved in

implementation; the authority to ensure that policies are carried out as

they are intended; and fasilities (including buildings, equipment, land, and

supplies) in which or with which to provide services. Insufficient resources

will mean that laws will be not enforce, servis will not be provide, and

reasonable regulations will not be developed.

Berdasarkan pendapat ilmuwan diatas, mengingat bahwa aspek manusia

adalah yang terpenting dari semua jenis sumber daya, maka di dalam

penelitian ini hanya dibatasi pada faktor Sumber Daya manusia saja. Oleh

karena itu faktor Sumber Daya Manusia implementator kebijakan

Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat dibagi kepada dua bidang

kajian secara teoritik, yaitu berkaitan dengan kualitas SDM dan kuantitas

SDM aparat pelaksana (implementator) kebijakan seperti yang telah

dijelaskan di atas.

Jika tingkat kemampuan yang didasarkan tingkat pendidikan dan

pengalaman serta penguasaan tugas-tugas yang dimiliki oleh Aparat

Implementator dijadikan fokus pembahasan pada aspek Kualitas Sumber

Daya manusia, maka pembahasan yang menyangkut jumlah aparat

pelaksana (implementator) yang dibutuhkan oleh seperangkat organisasi

yang dibentuk untuk mengimplementasikan kebijakan tertentu dijadikan

fokus pembahasan pada aspek yang kedua, yaitu kuantitas Sumber daya

Manusia.

3. Struktur Birokrasi Komite Pemekaran Daerah

Organisasi sebagai wadah berhimpun orang-orang yang sehaluan dan

setujuan harus mampu menampung berbagai pikiran dan keinginan

Page 26: Kebijakan pemekaran

orang-orang tersebut, sehingga wadah itu tetap utuh tidak pecah belah.

Fungsi organisasi sebagai wadah erat kaitannya dengan bentuk dan

susunannya yang harus merupakan kerangka kerja. Dari perkembangan

organisasi dengan berfungsi sebagai wadah tidak cukup memenuhi

tuntutan keadaan yang makin dinamis dan kompleks. Peranan organisasi

tidak hanya sekedar sebagai tempat atau wadah, tetapi telah bertumbuh

menjadi alat, yaitu alat untuk mencapai tujuan tertentu. Hal tersebut

seperti diutarakan oleh Warsito Utomo (2003), yaitu sebagai berikut :

Apabila organisasi berperan sebagai wadah, maka akan bersifat statis,

tetapi sebagai alat maka organisasi akan berperan aktif. Dengan demikian

organisasi memiliki beberapa syarat penting yaitu susunan organisasi,

susunan personalia, sistem pembagian kerja dan pertanggungjawaban.

Karena tujuan dirumuskannya sebuah kebijakan publik adalah ingin

mencapai sesuatu tujuan tertentu, maka sudah barang tentu untuk

mengimplementasikan kebijakan publik diperlukan sebuah organisasi.

Oleh karena itu implementasi kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari

organisasi atau struktur birokrasi.

Berkaitan dengan hal tersebut, Jones (1996) menyatakan bahwa

Kebijakan Publik jarang berjalan swalaksana (self-executing), sedangkan

organisasi diperlukan agar pekerjaan dapat dilaksanakan.

Kemudian hal senada juga diungkapkan oleh Edward III (1980) bahwa :

Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan

cukup dan para pelaksana (implementators) mengetahui apa dan

bagaimana cara melakukannya, serta mereka mempunyai keinginan

untuk melakukannya, implementasi kebijakan bisa saja belum efektif,

karena adanya ketidakefisienan struktur birokrasi. Struktur Birokrasi ini

mencakup aspek-aspek seperti, struktur organisasi, pembagian

kewenangan, hubungan antar unit-unit organisasi.

Dua pendapat ahli di atas sudah cukup mewakili pendapat bahwa

sedemikian pentingnya sebuah organisasi untuk mengimplementasikan

suatu Kebijakan Publik. Di dalam pembahasan aspek struktur Birokrasi

Komite Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat, ada dua hal penting

yang dapat dijadikan fokus pembahasan yaitu berkaitan dengan Struktur

Page 27: Kebijakan pemekaran

Organisasi dan Tata Kerja Organisasi. Struktur dimaksudkan sebagai

susunan bagan-bagan atau komponen-komponen yang menunjukkan

departementasi dan spesialisasi, sedangkan Tata Kerja dimaksudkan

sebagai susunan Tugas Pokok dan Fungsi dari masing-masing komponen

yang dibentuk.

4. Kondisi Lingkungan (Kondisi Sosial Ekonomi dan Sosial Politik di

Kabupaten Aceh Barat)

Kecuali Edward III, semua ilmuwan sependapat bahwa kondisi eksternal

kebijakan publik yaitu berupa kondisi lingkungan sosial ekonomi dan

sosial politik sangat mempengaruhi penerapan sebuah kebijakan publik.

Hal ini sangat beralasan disebabkan kondisi politik dan perkembangan

ekonomi ini berkaitan dengan kesiapan lingkungan terhadap perubahan

yang akan muncul sebagai konsekwensi dari dimplementasikannya

sebuah Kebijakan Publik, apalagi kebijakan tersebut akan membawa

perubahan yang sangat signifikan bagi lingkungan itu.

Selain itu, kondisi sosial ekonomi dan sosial politik juga berkaitan dengan

kesiapan lingkungan apabila diikutsertakan sebagai aktor didalam

implementasi Kebijakan Publik. Di dalam penelitian ini, mungkin

pertanyaan yang sangat relevan diajukan untuk faktor ini adalah seberapa

jauh kondisi ekonomi dan politik di Kabupaten Aceh Barat memberikan

“ruang gerak” yang cukup atau menciptakan kondisi yang kondusif bagi

penerapan Kebijakan Pemekaran Daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson,J.E. 1979, Public Policy Making, Nelson : London.

Bobrow,D.B dan Dryek,J.S. 1985, Policy Analysis by Design, University of

Pittsburg Press.

Darwin,M. Teori Organisasi Publik, Magister Administrasi Publik-UGM:

Yogyakarta.

Dunn,W.N. 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik (terjemahan/

Penyunting Muhadjir Darwin dkk), Gadjah Mada University Press.

Dwiyanto,A. 1995, Prinsip-Prinsip Administrasi Publik, Magister

Administrasi Publik -UGM: Yogyakarta.

Dye,T.R. 1978, Understanding Public Administration, University Of

Page 28: Kebijakan pemekaran

Islabama Press.

………… 1978, Understanding Public Policy, Prentice Hall-Engelwood Cliffts

: N.J.

Eaton,J.W. 1986, Pembangunan Lembaga dan Pembangunan Nasional :

dari konsep ke aplikasi, UI-Press : Jakarta.

Edward,G.C. 1980, Implementating Public Policy, Congressional Quarterly

Press : Washington.

Gaffar,A. 2000, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka

Pelajar: Yogyakarta.

………… dkk, 2002 Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka

Pelajar: Yogyakarta.

Grindle,M.S. 1980, Politics and Policy Implementation in the Third World,

Princetone University Press.

Hoogerwerf,A. 1983, Overheidsbeleid (terjemahan RLL Tobing 1985),

Erlangga:Jakarta.

Islamy,M.I, 1998, Agenda Kebijakan Administrasi Negara, Universitas

Brawijaya: Malang.

……………, 1997, Prinsip-prinsip Perumusan kebijakan Negara, Bumi

Aksara: Jakarta.

……………, 1984, Materi Pokok Kebijakan Publik, Universitas Terbuka,

Karunika: Jakarta.

Jones,C.O. 1996, An Introduction to the Study of Public Policy, Belmont

CA : Wadsworth.

Mazmanian,D dan Sabatier,P.A. 1981, Effective Policy Implementation,

Lexingtone Mass DC : Heath.

Moleong,J.L, 2001, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Posdakarya,

Bandung.

Nihin,H.A.Dj. 2000, Berbagai Keadaan dan Penyikapannya, Khadik :

Jakarta.

Pressman,J.L dan Wildavsky,A. 1984, Implementation, University of

California : Berkeley.

Putra,F. 2001, Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik : Pustaka

Pelajar,Yogyakarta.

Page 29: Kebijakan pemekaran

Sabari,H. 2000, Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Santoso,A. 1988, Pelaksanaan Kebijakan Publik kasus Bima dan KUD,

dalam masa depan kehidupan politik di Indonesia, Editor Alfian dan

Nazarudin Syamsuddin, Rajawali:Jakarta.

Singarimbun,M dan Effendi,S. 1987, Metode Penelitian Survai, LP3ES :

Jakarta.

Smith,B.C. 1985, Decentralization: The Territorial Dimension of the State,

George Allen & Unwin : London.

Sugiono. 2001, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta : Bandung.

Syafei,I.K dkk.1997, Ilmu Administrasi Publik, Rineka Cipta : Jakarta.

Wahab, S.A. 2002, Analisis Kebijaksanaan. Bumi Aksara: Jakarta.

Wibawa,S. 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, Raja Grafindo Persada :

Jakarta.

…………… 1994, Kebijakan Publik, Proses dan Analisis, Intermedia :

Jakarta.

Winarno,B. 1989, Teori Kebijaksanaan Publik, Pusat Antar Universitas

Studi Sosial : Yogyakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang

Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 Tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2002 Tentang

Pemekaran Daerah di Kabupaten Aceh Barat.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2000 Pedoman

Organisasi Perangkat Daerah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 Tentang

Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran,Penghapusan dan

Penggabungan Daerah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2003 Pedoman

Organisasi Perangkat Daerah.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2001 Tentang

Penetapan Jumlah dan Tata Cara Pengisian Keanggotaan DPRD Provinsi

dan Kabupaten/Kota yang baru dibentuk setelah Pemilu 1999.

Page 30: Kebijakan pemekaran

Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Tata

Cara Pengucapan Sumpah/Janji Pelantikan Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah.

Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 5 tahun 2000 tentang

Perubahan atas Kepmendagri Nomor 2 Tahun 2000 Tentang Pedoman

Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengesahan, dan Pemberhentian Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Keputusan Menteri Dalam Negeri R.I Nomor 12 Tahun 2001 Tentang

Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Jumlah dan Tata Cara Pengisian

Keanggotaan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang baru dibentuk

setelah Pemilu 1999.

Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 35 Tahun 2002 Tentang

Penetapan Jumlah Penduduk dan Jumlah Kursi Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Di Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dibentuk setelah

Pemilihan Umum 1999.