Kebijakan Perdagangan Dan Kelaparan (Dampak Liberalisasi

Embed Size (px)

Citation preview

Kebijakan Perdagangan dan Kelaparan: Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Hak Atas Pangan Komunitas Petani Padi di Ghana, Honduras dan Indonesia Ditulis oleh Armin Paasch (editor), Frank Garbers dan Thomas Hirsch (FIAN - FoodFirst Information and Action Network) Dilakukan atas permintaan dan dipublikasikan pada bulan Oktober 2007 oleh Ecumenical Advocacy Alliance 150 route de Ferney P.O. Box 2100 CH-1211 Geneva 2 Switzerland T. +41 22 791 6723 F. +41 22 710 2387 www.e-alliance.ch 2007 Ecumenical Advocacy Alliance. Hak cipta milik Ecumenical Advocacy Alliance. Penelitian ini dilakukan dengan lisensi Creative Commons Attribution Non-commercial. Tidak ada ijin lanjutan. Untuk melihat isi lisensi, silakan kunjung http://creativecommons.org/licenses/ by-nc-nd/3.0/ ; atau kirim surat kepada Creative Commons, 171 2nd Street, Suite 300, San Francisco, California, 94105, USA. Anda bebas memfotokopi, mendistribusikan dan menyebarluaskan penelitian ini dengan syarat mencantumkan nama Ecumenical Advocacy Alliance. Desain dan tata letak oleh Gilberto Domingues Lontro dari Ecumenical Advocacy Alliance. Foto halaman muka oleh Paul Jeffrey untuk Ecumenical Advocacy Alliance. Foto sampul belakang oleh Paul Jeffrey dan Justin Coupertino. Edisi Indonesia - Diterjemahkan oleh Indraswari - Editing oleh Tina E.T.V. Napitupulu. Laporan ini tidak mewakili pandangan organisasi/lembaga jaringan Ecumenical Advocacy Alliance. Penulis dapat dihubungi melalui FIAN FIAN International e.V. Willy-Brandt-Platz 5 69115 Heidelberg Germany T. + 49 6221 65300 30 F. + 49 6221 830 545 www.fian.org

KebijaKan Perdagangan dan KelaParanDampak LiberaLisasi perDagangan TerhaDap hak aTas pangan komuniTas peTani paDi Di ghana, honDuras Dan inDonesia

oleh Armin Paasch (editor), Frank Garbers dan Thomas Hirsch

DafTar isiDaftar Singkatan Pendahuluan 1. Hak atas Pangan dalam Era Globalisasi 1.1 Isi Konvenan Internasional tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR)danKewajibanNegaraPeratifikasi 1.2 Kewajiban Lintas Negara (extra territorial obligations) 1.3 Mengedepankan Hak Asasi Manusia 2. Liberalisasi Perdagangan Beras Ancaman bagi Petani Kecil 2.1 Gelombang Impor dan Latar Belakangnya 2.2 Dampak terhadap Petani Kecil 2.3 Kepentingan Konsumen sebagai Legitimasi Liberalisasi 3. Pendekatan dan Metodologi 3.1 Pertanyaan Penelitian 3.2 Ruang Lingkup, Tantangan dan Metodologi 3.3 Tingkat Analisis 3.3.1 Analisis Konteks 3.3.2 Analisis di tingkat komunitas 3.3.3 Analisis Hak atas Pangan 4. Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana 4.1 Pendahuluan 4.2 Konteks: Krisis Produksi Beras dan Latar Belakang Kebijakan Pemerintah 4.2.1 Ledakan dan Krisis Produksi Beras di Ghana 4.2.2 Beras Impor Dumping Menangkap Peluang Pasar 4.2.3 Kebijakan Beras Nasional Dibawah Bayang-bayang IMF 4.3 Studi Kasus: Impor Beras dan Hak atas Pangan di Dalun 4.3.1 Komunitas Dalun 4.3.2 Perkembangan Produksi Padi dan Penghasilan Petani sejak tahun 1999 4.3.3 Potret Kelaparan di Dalun 4.4 Pelanggaran Hak atas Pangan melalui Kebijakan Perdagangan 5. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Studi Kasus Produksi Padi di Honduras 5.1 Pendahuluan 5.2 Konteks 5.2.1 Arrozazo dan Kebijakan Penyesuaian Struktural (Tahun 1991-1998) 5.2.2 Angin topan Mitch dan Dumping: Dua Peristiwa dengan Dampak yang sama (1998-2002) 5.2.3 Antara Hidup dan Mati: Perjanjian Beras dan DR-CAFTA (2003-2006) 5.2.4 Menuju Masa Depan yang Kontradiktif: Perspektif Baru Sektor Biji-bijian? 5.3 Dua Studi Kasus Perihal Harapan dan Kekecewaan Produsen Beras 6 9 11 11 13 16 17 18 23 24 26 26 26 28 28 30 31 32 32 33 33 35 40 47 47 51 56 59 63 63 65 66 68 71 74 74 3

6.

4

7. 8.

9.

5.3.1 Komunitas Guayamn dan Asosiasi Bisnis Petani Kecil EACTSO 5.3.2 Komunitas Guangolola dan Koperasi Regional CARNEL (El Negrito) 5.3.3 Konsekuensi Krisis Beras di Guayamn and Guangolola 5.4 Dampak Krisis Sektor Beras terhadap Hak atas Pangan: Aktor yang terlibat dan tanggungjawabnya 5.4.1 Pemerintah Honduras 5.4.2 Amerika Serikat 5.4.3 World Bank dan IMF Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani di Jawa Barat 6.1 Pendahuluan 6.2 Konteks Politik dan Ekonomi Makro Liberalisasi Pasar Beras di Negara Rawan Pangan 6.2.1 Indonesia 6.2.2 Konteks Kebijakan Nasional 6.2.3 Dampak sosial-ekonomi liberalisasi pasar beras tahun 1997-2001 6.2.4 Dampak yang diharapkan dari kemungkinan penerapan putaran baru liberalisasi perdagangan tahun 2007 6.3 Dampak Liberalisasi Pasar Beras terhadap Empat Komunitas Petani Padi di Jawa Barat 6.3.1 MetodologidanProfilKomunitasPetaniPadi 6.3.2 Ciri-ciri utama pertanian padi di desa-desa yang di teliti 6.3.3 Rantai Produksi 6.3.4 Perubahan yang terjadi sejak liberalisasi pasar pada tahun 1997 6.3.5 Liberalisasi Perdagangan Pandangan Petani 6.3.6 Kemiskinan dan Kerawanan Pangan 6.4 Penilaian dari pandangan Hak Asasi Manusia 6.4.1 Peran dan tanggungjawab pemerintah Indonesia 6.4.2 Peran dan Tanggungjawab Pemenuhan Hak Asasi Manusia IMF dan World Bank 6.4.3 Peran dan kewajiban pemenuhan hak asasi manusia negara lain Ringkasan dan Kesimpulan Daftar Pustaka Bab 1: Hak atas Pangan dalam Era Globalisasi Bab 2: Liberalisasi Perdagangan Beras Ancaman Bagi Petani Bab 3: Pendekatan dan Metodologi Bab 4: Dampak Impor dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana Bab 5: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Studi Kasus Produksi Padi di Honduras Bab 6: Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani Padi di Jawa Barat Lampiran Bab 2: Liberalisasi Perdagangan Beras Ancaman bagi Petani Kecil Lampiran 1: Daftar Tabel dan Gambar Bab 3: Pendekatan dan Metodologi Lampiran 2: Daftar Pertanyaan untuk Analisis Konteks Lampiran 3: Daftar pertanyaan untuk wawancara semi terstruktur Bab 4: Dampak Impor Beras dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Komunitas Dalun, Ghana

75 80 84 85 86 88 89 90 90 91 91 92 99 101 105 105 106 107 108 110 112 113 114 116 117 118 131 131 132 132 132 134 136 138 138 138 138 138 140 143

Lampiran 4: Daftar tabel Lampiran 5: Daftar gambar Lampiran 6: Daftar responden yang diwawancarai Bab 5: Dampak Liberalisai Perdagangan terhadap Hak atas Pangan Studi Kasus Pangan di Honduras Lampiran 7: Daftar tabel Lampiran 8: Daftar gambar Lampiran 9: wawancara Lampiran 10: Satuan berat dan volume Lampiran 11: DR-CAFTA Bab 6: Liberalisasi Pasar Beras Indonesia dan Hak atas Kecukupan Pangan Petani Padi di Jawa Barat Lampiran 12: Daftar Tabel Lampiran 13: Daftar Gambar Lampiran 14: Daftar responden yang diwawancarai

143 143 143 145 145 145 145 146 146 148 148 149 149 5

DafTar singkaTanACAN ACPcountries CEPS AFTA ASG ANAMH AoA BANADESA BIP BULOG CAFTA CARNEL CEPIL CEPAL CESCR CET CIS CSO DFID DR-CAFTA DRI-YORO EAA EACTSO ECOSOC ECOWAS ECOWAS CET EED EPA EPR ERP EU FAPIM Asociacin Campesina Nacional African,CaribbeanandPacificcountries(negara-negara di kawasan Afrika, KaribadanPasifik) Customs, Excise and Preventive Services (Kantor Pelayanan Bea Cukai) ASEAN Free Trade Area (Wilayah perdagangan bebas ASEAN) WTO Agreement on Safeguards (Perjanjian terkait Pengamanan) National Millers Association (Asosiasi Penggilingan Padi Nasional) Agreement on Agriculture (Perjanjian Pertanian dalam WTO) National Agricultural Development Bank (Bank Pembangunan Nasional) Botanga Irrigation Project (Proyek Irigasi Botanga) Badan Urusan Logistik Central American Free Trade Agreement (Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Tengah) Cooperativa Agropecuaria Regional El Negrito Limitada Centre for Public Law Comisin Econmica para Amrica Latina y el Caribe (UN) Committee on Economic, Social and Cultural Rights (Komite PBB untuk hak-hak ekonomi, sosial dan budaya) Common External Tariff (tarif eksternal bersama) Commonwealth of Independent States (Persemakmuran negara-negara merdeka) Civil Society Organisation (organisasi masyarakat sipil) Department for International Development (Departemen Pembangunan Internasional) Dominican Republic-Central America Free Trade Agreement (Perjanjian Perdagangan Bebas Republik Dominika dan Negara-negara Amerika Tengah) Integrated Rural Development Project of Yoro (Proyek pembangunan pedesaan Yoro) Ecumenical Advocacy Alliance Empresa Asociativa de Campesinos de Transformacin y Servicios Otorea UN Economic and Social Council (Badan PBB untuk Ekonomi dan Sosial) Economic Community of West African States (Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat) Common External Tariff for ECOWAS Member States (tarif eksternal bersama bagi negara-negara anggota ECOWAS) German Church Development Service Economic Partnership Agreements (Perjanjian Kerjasama Ekonomi) Effective Protection Rate (Tarif Proteksi Efektif) Economic Recovery Program (Program Pemulihan Ekonomi) European Union (Uni Eropa) Farmers Participation in Irrigation Management (Partisipasi petani dalam manajemen irigasi)

6

FASDEP FIAN FOB FSPI GATT GIDA GDP GKP GLSS GPRS GTLC Ha HIPC HPP ICESCR IFI IGJ IGO IHMA IMF ISODEC JICA KIP LMA LoI MCA MOTI MOFA Mt NAFTA NIB

Food and Agriculture Sector Development Policy (Kebijakan sektor pembangunan pangan dan pertanian) FoodFirst Information and Action Network Free on Board Price (Harga Free on Board Istilah dalam perdagangan untuk menyatakan bahwa barang berpindah dari penjual ke pembeli pada saat pengiriman) Federasi Serikat Petani Indonesia (sekarang SPI Serikat Petani Indonesia) General Agreement on Tariffs and Trade (Perjanjian umum tarif dan perdagangan) Ghana Irrigation Development Authority (Otoritas Pembangunan Irigasi Ghana) Gross Domestic Product (Produk Domestik Bruto) Gabah Kering Panen Ghana Living Standard Survey (Survey standar hidup Ghana) Ghana Poverty Reduction Strategy (Strategi Penurunan Kemiskinan Ghana) Ghana Trade and Livelihoods Coalition (Koalisi perdagangan dan penghidupan Ghana) Hektar Initiative for Highly Indebted Poor Countries (Inisiatif bagi negara-negara miskin dengan hutang tinggi) Harga Pembelian Pemerintah International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan internasional hak-hak ekonomi, sosial dan budaya) International Financial Institutions (Institusi keuangan internasional) Institute for Global Justice Inter-Governmental Organisation (Organisasi antar pemerintah) Honduran Institute of Agricultural Marketing (Institute Pemasaran Pertanian Honduras) International Monetary Fund (Dana Moneter Internasional) Integrated Social Development Centre (Pusat pembangunan sosial) Japan International Cooperation Agency (Badan kerjasama internasional Jepang) Kpong Irrigation Project (proyek irigasi Kpong) Ley de Modernizacin Agrcola Letter of Intent (Surat Perjanjian antara IMF dengan pemerintah) Millennium Challenge Account Ministry of Trade and Industry (Kementrian Perdagangan dan industri) Ministry of Food and Agriculture (Kementrian pangan dan pertanian) ton North American Free Trade Agreement (perjanjain perdagangan bebas Amerika Utara) National Investment Bank

7

NGOs ODA ODI PRGF 8 Rp RtF SAP SDR SEND Foundation SSG STE TNC UNDP USAID US USD USDA VSFC WAMTI WTO

Non-Governmental Organisations (Lembaga swadaya masyarakat) Overseas Development Aid (Bantuan pembangunan luar negeri) Overseas Development Institute (Institut pembangunan luar negeri) Poverty Reduction and Growth Facility (Penurunan kemiskinan dan fasilitasi pertumbuhan) Rupiah Right to Food (hak atas pangan) Structural Adjustment Programmes (program penyesuaian struktural) Special Drawing Rights Social Enterprise Development Foundation of West Africa Special Safeguard Measures (Tindakan-tindakan pengamanan khusus) State Trading Enterprises (Perusahaan dagang negara) Transnational Corporation (Korporasi Transnasional) United Nations Development Programme (Program Pembangunan PBB) United States Agency for International Development (Lembaga Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional) United States (Amerika Serikat) United States Dollars (dolar Amerika) United States Department of Agriculture (Departemen Pertanian Amerika Serikat) Vietnam Southern Food Corporation Wahana Masyarakat Tani Indonesia World Trade Organisation (organisasi perdagangan dunia)

PendahuluanProduksi beras dan kebijakan perberasan memiliki dampak langsung terhadap ketahanan pangan dunia. Beras adalah sumber kalori utama bagi setengah penduduk dunia dan sumber penghasilan utama bagi dua milyar orang. Meskipun hanya 6,5% dari produksi beras dunia yang diperjualbelikan secara internasional, perdagangan internasional beras memiliki dampak serius bagi perkembangan pasar beras domestik. Selama kurun waktu 1983-2003, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organisation - FAO) mencatat 408 kasus impor beras yang melanda 102 negara sebagian besar diAfrika,KepulauanPasifikdanAmerikaTengah.Meskipunbanyakpenelitianmenunjukkanbahwa ketahanan pangan banyak dipengaruhi oleh gelombang impor atau kenaikan impor pada umumnya, relatif sedikit penelitian yang menggali dampak negatif gelombang dan kenaikan tersebut di tingkat mikro yaitu dampak terhadap petani berlahan sempit dalam hal penghasilan, kemiskinan dan kemampuan petani berlahan sempit untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka sendiri. Bahkan, lebih sedikit lagi penelitian yang menganalisis hal yang sama dari perspektif hak asasi manusia. Hak asasi manusia untuk kecukupan pangan adalah hak asasi yang mendasar bagi setiap orang. Hak tersebut tercantum dalam pasal 11 Konvenan Internasional tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights ICESCR). Bagi petani kecil - yang merupakan setengah dari jumlah penduduk dunia yang kelaparan - hak atas pangan juga berarti hak atas sumber daya produktif termasuk kondisi lingkungan yang mendukung yang memungkinkan mereka untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi dirinya sendiri dengan caracara yang bermartabat. Lebih dari 150 negara telah meratifikasi ICESCR dan mereka wajib untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas pangan, bukan hanya bagi warga yang tinggal di dalam wilayah kedaulatan negaranya, namun juga bagi warga negara lain yang hidup di luar wilayah kedaulatan tersebut. Pada tingkat minimal - kebijakan negara termasuk kebijakan perdagangan tidak boleh berdampak negatif bagi (warga) negara lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kebijakan perdagangan beras menimbulkan dampak negatif atau melanggar pemenuhan hak atas kecukupan pangan bagi komunitas penghasil beras di Ghana, Honduras dan Indonesia. Studi ini menganalisis hubungan sebab akibat. Pertama, hubungan antara kenaikan tajam impor beras dengan bencana kelaparan, gizi buruk dan kerawanan pangan. Kedua, hubungan antara kenaikan impor tersebut dengan kebijakan perdagangan dan pertanian tertentu. Analisis meliputi pula faktor terkait seperti bencana alam, peraturan sewa lahan atau akses terhadap infrastruktur. Faktor-faktor tersebut juga mendapat perhatian penting agar analisis pengaruh kebijakan perdagangan (yang menjadi fokus penelitian) tidak terlepas dari konteks. Studi kasus melihat pula sejauh mana tanggung jawab pemerintah (dari ketiga negara yang diteliti), negara lain dan organisasi antar pemerintah (intergovernmental organisations IGOs). Laporan penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab 1 membahas tentang Hak Asasi Manusia atas Kecukupan Pangan dan kewajiban negara dalam era globalisasi. Bab 2 memberikan pengantar singkat tentang ancaman perdagangan internasional beras dan meningkatnya impor terhadap petani kecil penghasil beras. Bab 3 membahas pendekatan dan metodologi yang digunakan dalam studi kasus guna menyelidiki dampak perdagangan internasional dan impor beras terhadap

9

pemenuhan hak atas pangan produsen beras lokal. Bab 4-6 merupakan inti dari penelitian ini dan pemaparan dari studi kasus di Ghana, Honduras dan Indonesia. Dan akhirnya, bab 7 memberikan ringkasan dan kesimpulan penelitian. Laporan penelitian ini disusun atas permintaan Ecumenical Advocacy Alliance (EAA) dan disunting oleh Armin Paasch (FIAN Jerman) bekerjasama dengan Frank Garbers (konsultan independen) dan Thomas Hirsch (FIAN Internasional). Armin Paasch menulis pendahuluan, bab 1 hingga 4 dan bab 7, Frank Garbers mengerjakan bab 5 dan Thomas Hirsch menyusun bab 6. Studi kasus dalam penelitian ini dilakukan dengan kerjasama dan dukungan penuh para pakar dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), petani di ketiga negara yang diteliti dan mitra EAA. Kami hendak mengucapkan terima kasih pada semua LSM tersebut, pihak-pihak yang diwawancarai dalam penelitian ini dan terutama pada semua anggota komunitas berpartisipasi dan pendukung penelitian ini. Untuk studi kasus Ghana kami ingin mengucapkan terima kasih kepada komunitas Dalun dan kepada Bashiru Jumah dari Yayasan Send yang telah membantu sebagai asisten peneliti dalam studi kasus di Dalun dan mengatur pertemuan-pertemuan dengan para petani. Terima kasih pula kami ucapkan kepada Mohammed Issah dan Sidua Hor ( Yayasan Send) yang telah mengorganisasikan pertemuan dengan para pakar dan pejabat pemerintah, serta memberikan masukan penting bagi perbaikan draft penelitian. Untuk studi kasus Honduras, kami mengucapkan terima kasih kepada komunitas Guayamn dan Guangolola, Cooperativa Agropecuaria Regional El Negrito Limitada (CARNEL), Empresa Asociativa de Campesinos de Transformacin y Servicios Otorea (EACTSO), Comisin Cristiana de Desarrollo (CCD) dan FIAN Honduras. Untuk studi kasus Indonesia kami mengucapkan terima kasih kepada komunitas Cikuntul dan Cikalong (keduanya terletak di Kabupaten Karawang), Pinangsari (Kabupaten Subang) dan Samudrajaya (Kabupaten Bekasi), semuanya berlokasi di Propinsi Jawa Barat. Terima kasih kepada tim peneliti atas partisipasinyadalampenelitianinidanataskomentardansaranyangdiberikan,yaituLutfiyahHanim (Institute for Global Justice IGJ), Nanang Hari (Bina Desa), Tina Napitupulu (Bina Desa), Herjuno Ndaru (IGJ) dan Nizwar Syafaat. Terima kasih pula kepada Benny Benyamin (Asian Farmers Regional Network ASFARNET), Isabella Delforge (La Via Campesina), Mohamed Ikhwan (Federation of Indonesian Peasant Union - FSPI), Indera Nababan (PMK HKBP Jakarta), Carla June Natan (Urban Community Mission Jakarta) dan Agusdin Pulungan ( Wahana Masyarakat Tani- WAMTI). Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan saran yang membangun dan sangat berguna bagi perbaikan draft awal laporan penelitian ini yaitu Jean Blaylock, Carolin Callenius, Caroline Dommen, James Harrison, Rogate Reuben Mshana, Danuta Sacher, Jeanette Schade, Britta Schweighfer, Carin Smaller, Sara Speicher, Wolfgang Sterk dan Michael Windfuhr.

10

1. haK atas Pangan dalam era globalisasiTidak ada satupun manusia yang dapat bertahan hidup tanpa makanan. Akses terhadap pangan sehat dalam jumlah cukup merupakan prasyarat dasar bagi manusia agar dapat mengembangkan kapasitas fisik,mental,intelektualdanuntukmenjalanikehidupandenganbermartabat.Olehkarenaitulah maka pangan yang berkecukupan masuk ke dalam hak asasi dasar manusia. Hak asasi manusia atas pangan yang berkecukupan (Human Right to Adequate Food) adalah bagian dari Pasal 25 Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia (General Declaration of Human Rights) yang disusun pada tahun 1948 dan Pasal 11 Konvensi Internasional tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights ICESCR) yang disusun oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Konvensi tersebut berlaku sejak tahun 1976 dan saat ini sebanyak 156 negara telah meratifikasikonvensiini,yangberartibahwasetiappemerintahannegaratersebutwajibmemenuhi hak atas pangan bagi warga negaranya.

11

1.1 isi konvensi inTernasionaL hak hak ekonomi sosiaL Dan buDaya (iCesCr) Dan kewajiban negara peraTifikasiGeneral Comment no 12 Komite PBB untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (UN Committee on Economic, Social dan Cultural Rights CESCR)1 tahun 1999, menyebutkan bahwa Hak atas Kecukupan Pangan adalah sebagai berikut: Suatu kondisi dimana setiap laki-laki, perempuan dan anak, baik secara perorangan atau berkelompok,setiapsaatmemilikiaksessecarafisikdanekonomiuntukmendapatkan pangan yang layak atau cara-cara untuk memperolehnya. General Comment no 12 secara tegas menekankan bahwa hak atas pangan tidak saja meliputi akses terhadap pangan saja tetapi akses terhadap pangan yang layak: Hak atas kecukupan pangan untuk itu jangan diterjemahkan secara sempit dengan mengartikannya sebagai jumlah minimal kalori, protein dan komponen gizi lain. Hak atas kecukupan pangan harus diartikan secara lebih luas. [cetak miring sesuai naskah asli]Paul Jeffrey/EAA 1 CESCR adalah badan PBB yang terdiri dari para pakar independen yang bertugas memantau implementasi hak atas pangan yang terdapat dalam ICESCR. Mereka bertindak atas nama Badan PBB untuk Ekonomi dan Social (UN Economic and Social Council ECOSOC). General Comment yang dipublikasikan oleh CESCR diakui secara luas oleh negara-negara anggota ECOSOC sebagai penjelasan resmi dan seringkali digunakan oleh lembaga peradilan di negara-negara tersebut.

Dampak LiberaLisasi perDagangan TerhaDap hak aTas pangan komuniTas peTani paDi Di ghana, honDuras Dan inDonesia Dalam hal ini hak atas pangan meliputi ketersediaan pangan dalam jumlah/kuantitas dan kualitas memadai untuk memenuhi kebutuhan pangan individu, bebas dari zat-zat berbahaya, dan sesuai dengan budaya lokal; serta akses terhadap pangan tersebut haruslah berkelanjutan dan tidak mengganggu pemenuhan hak asasi manusia yang lain. Dengan kata lain hak atas pangan tidak dapat diartikan secara sempit sekedar untuk menghindari kelaparan. Lebih jauh, General Comment no 12 menekankan saling keterkaitan antara berbagai aspek hak asasi manusia: Akses ekonomi mengandung makna bahwa kemampuan keuangan perorangan atau rumah tangga untuk tetap mendapatkan pangan layak dalam jumlah cukup tidak boleh mengganggu pemenuhan kebutuhan dasar lain. 12 Perjanjianinidiratifikasiolehnegaradalamhaliniadalahpemerintah.Olehkarenaitu,pemerintah menjadi aktor utama yang berkewajiban memenuhi hak atas pangan. Berdasarkan General Comment no 12, negara-negara tersebut memiliki tiga kewajiban yaitu menghormati, melindungi dan memenuhi (hak atas pangan penduduknya). Artinya negara pertama-tama berkewajiban untuk menghormati dan tidak mengganggu atau menghancurkan akses rakyatnya terhadap pangan. Kedua, negara wajib untuk melindungi hak atas pangan rakyatnya dari dampak negatif campur tangan pihak ketiga. Dan terakhir, negara harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada secara maksimal untuk memenuhi hak atas pangan bagi rakyatnya yang sedang mengalami kelaparan. Jelas terlihat bahwa General Comment no 12 juga menyatakan bahwasanya hak atas pangan tidak hanya berarti hak untuk diberi makan melainkan mencakup pula hak untuk mampu mencukupi kebutuhan pangan diri sendiri, termasuk akses terhadap berbagai alat atau cara untuk memperoleh pangan seperti tanah, air atau bibit. Ini berarti bahwa hak atas pangan mewajibkan negara untuk memperkuat akses rakyat dalam memperoleh, memanfaatkan sumberdaya dan cara-cara lain untuk menjamin keberlangsungan kehidupan mereka termasuk ketahanan pangan. Terutama bagi masyarakat pedesaan, akses terhadap sumber daya produktif adalah prasyarat utama bagi pemenuhan hak atas kecukupan pangan. Namun akses terhadap sumber daya saja tidak cukup. Masyarakat harus dimampukan untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri melalui pemanfaatan sumber daya tersebut. Maka, negara harus mengembangkan strategi nasional yang komprehensif, yang jika menurut General Comment no 12 dan Petunjuk Tidak Mengikat Hak atas Pangan (Voluntary Guidelines on the Right to Food) yang diterbitkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organisation - FAO)(FAO,2004)harusmeliputilimaelemenyaitu:1)identifikasi kelompok masyarakat yang rentan kelaparan dan gizi buruk, 2) peninjauan kembali peraturan yangberlakudanidentifikasikebutuhanuntukmelakukanperubahanperaturan,3)rancangandan implementasikebijakanbagiseluruhkelompokrentan,4)pemantauanimplementasidanefektifitas kebijakan terkait, 5) penyediaan mekanisme dan prosedur untuk membantu masyarakat yang kelaparan untuk mendapatkan akses-akses terhadap pemenuhan haknya. Strategi yang dijalankan harus mencakup pada isu-isu kritis dan standar yang terkait dengan semua aspek sistem pangan, termasuk aspek produksi, proses, distribusi, pemasaran dan konsumsi pangan yang aman, juga standar di bidang kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, dan jaminan sosial (UN CESCR 1999, hal. 7). [cetak miring sesuai teks asli] Ini berarti sistem pasar dan perdagangan harus diperhatikan dalam upaya mewujudkan hak atas kecukupan pangan. Dalam hal ini negara berkewajiban menciptakan situasi pasar yang adil yang merupakan salah satu kunci pendukung implementasi hak atas kecukupan pangan.

1. hak aTas pangan DaLam era gLobaLisasi

1.2 kewajiban LinTas negara (extra territorial obligations)Kewajiban negara untuk memenuhi hak asasi manusia, secara tradisional biasanya merujuk hanya pada tanggung jawab negara terhadap masyarakat yang tinggal di wilayah kedaulatan negara tersebut. Ini benar,bahwa negara memang memiliki kewajiban yang lebih kuat terhadap rakyatnya, karena kebijakan dan keputusan yang diambil negara berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan warga yang tinggal di wilayah pemerintahannya. Namun bukan berarti bahwa negara tidak perlu memperhatikan pemenuhan hak atas pangan dan hak asasi lain yang dimiliki oleh masyarakat yang tinggal di negara lain. Apalagi dalam era globalisasi, hubungan ekonomi dan politik internasional semakin intensif. Ambillah contoh, sejak awal 1980an institusi keuangan internasional (international financial institutions IFIs) seperti World Bank (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund IMF) telah memiliki pengaruh yang kuat terhadap kebijakan-kebijakan pertanian yang strategis di tingkat nasional. Kebijakan ekonomi dan perdagangan domestik dibanyak negara telah banyak dibentuk oleh organisasi-organisasi ini, dan semenjak 1995, Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation - WTO) juga turut dalam proses tersebut. Serupa dengan itu, tidak dapat dipungkiri bahwa aktifitas korporasi transnasional (Transnational Corporations TNCs) di bidang pertanian bisa memiliki dampak terhadap pemenuhan hak atas pangan di banyak negara. Sistem hak asasi manusia harus mempertimbangkan fenomena ini dan penting memastikan bahwa peluang suatu negara untuk mengimplementasikan kebijakan hak atas pangan tidak dibatasi oleh negara lain atau oleh organisasi antar pemerintah (intergovernmental organisation IGO). Pandangan bahwasanya hak asasi manusia memiliki dimensi internasional bukanlah hal yang baru. Pasal 2 dari ICESCR menyatakan: Setiapnegarayangmeratifikasikovenaniniberkewajibanmengambillangkah-langkahyang diperlukan - baik secara mandiri dan melalui asistensi ataupun kerjasama internasional khususnya dalam bidang ekonomi dan teknik untuk memaksimalkan sumber daya yang mereka miliki dengan tujuan merealisasikan secara penuh hak-hak yang tercantum dalam konvenan ini melalui cara-cara yang relevan termasuk jika diperlukan mengadopsi langkah-langkah hukum. Pasal 11 hak atas pangan juga menekankan dimensi internasional: Negara-negara terkait akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna memastikan realisasi pemenuhan hak atas pangan, dan memahami pentingnya kerjasama internasional berdasarkan prinsip sukarela [] Menyadari bahwa adalah hak dasar setiap orang untuk bebasdarikelaparanmakanegara-negaraperatifikasikovenanbaiksecaramandirimaupun melalui kerjasama internasional akan mengambil tindakan yang diperlukan, termasuk program-program khusus, untuk merealisasikan pemenuhan hak atas pangan. Dalam General Comment no 12, CESCR menyatakan: Negara-negara terkait berkewajiban mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menghormati pemenuhan hak atas pangan di negara lain, untuk melindungi hak tersebut dan untuk memfasilitasi akses terhadap pangan serta memberikan dukungan yang dibutuhkan. Melalui perjanjian internasional yang relevan negara berkewajiban menjamin bahwasanya hak atas kecukupan pangan terpenuhi sebagaimana mestinya dan mempertimbangkan penggunaan perangkat hukum internasional bagi pemenuhan hak tersebut. Pernyataan di atas dengan jelas menegaskan bahwa di tingkat internasional negara tidak hanya berkewajiban memenuhi hak asasi manusia bagi warga mereka sendiri namun juga bagi warga negara

13

Dampak LiberaLisasi perDagangan TerhaDap hak aTas pangan komuniTas peTani paDi Di ghana, honDuras Dan inDonesia lain dan bahwa dalam berbagai perundingan internasional termasuk perundingan perdagangan semua negara wajib mematuhi ketentuan tersebut. General Comment no 12 secara tersurat menyebutkan kewajiban-kewajiban internasional dengan penekanan khusus pada peran institusi keuangan internasional. Institusi keuangan internasional, terutama IMF dan World Bank seharusnya memberikan perhatian lebih pada perlindungan hak atas pangan dalam kebijakan pemberian pinjaman dan persetujuan kredit serta dalam pelaksanaan perangkat perangkat internasional yang dipakai guna menyelesaikan krisis utang. Kebijakan tersebut harus diterapkan selaras dengan General Comment no 2 alinea 9, pada semua program penyesuaian struktural (structural adjustment) guna memastikan terlindungnya hak atas pangan. Tidak diragukan lagi bahwa hukum internasional telah mengakui keberadaan dimensi internasional hak asasi manusia dan kewajiban negara dalam pemenuhan hak asasi manusia, namun sejauh ini tidak ada pemahaman yang jelas sejauhmana kewajiban tersebut diberlakukan (Coomans 2005:35f ). Pada tahun 2001 dalam rangka memperjelas dimensi internasional hak atas pangan, Bread for the World, German Protestant Asssociation for Cooperation in Development (EED) dan FIAN, bekerjasama dengan para pakar dan pembela hak asasi manusia, mengembangkan konsep Kewajiban Lintas Negara (Extraterritorial States Obligations ETO) ( Windfuhr 2005:24-32). Mengacu pada konsep tersebut, negara juga memiliki kewajiban terhadap hak atas pangan penduduk yang tinggal di luar wilayah kedaulatan mereka. Dengan kata lain negara berkewajiban menghormati, melindungi dan mendukung pemenuhan hak atas pangan di negara lain melalui kebijakan bilateral dan dalam pengambilan keputusan dengan organisasi antar pemerintah. Jika suatu negara tidak mampu berkontribusi dalam mendorong diwujudkannya hak atas pangan di negara lain, maka paling tidak negara tersebut berkewajiban memastikan bahwa kebijakannya tidak melanggar hak atas pangan negara lain. Karena organisasi antar pemerintah seperti World Bank dan IMF tidak turut meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial Budaya, organisasiorganisasi tersebut tidak memiliki kewajiban yang sama untuk mengimplementasikan hak asasi manusia sebagaimana halnya negara yang meratifikasi. Kewajiban untuk memastikan bahwa organisasi antar pemerintah Justin Coupertino/EAA tidak melanggar hak asasi manusia merupakan kewajiban dari negaranegarayangtelahmeratifikasikovenan,sebagaibagiandariperjanjianhakasasimanusia.Namundisisi lain organisasi antar pemerintah tetap harus tunduk pada hukum internasional, termasuk hukum hak asasi manusia, terkait dengan posisi mereka sebagai lembaga legal internasional. Lebih jauh lagi, fakta menunjukkan bahwa dalam penyusunan kebijakan, organisasi antar pemerintah seringkali bertindak sendiri tanpa berkonsultasi dengan negara anggotanya. Inilah sebabnya, mengapa, menurut pendapat para pakar hak asasi manusia dan aktifis LSM, paling tidak organisasi antar pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menghormati dan mempromosikan hak asasi manusia (lihat Windfuhr 2005:25-26 dan Hausmann 2006:8).

14

1. hak aTas pangan DaLam era gLobaLisasi

Interpretasi hukum hak asasi manusia yang disampaikan kalangan LSM mendapatkan dukungan dari para pakar hak asasi manusia. Sigrun Skogly dari Universitas Lancaster yang menyatakan dalam dunia global, pendekatan yang tidak menyeluruh (non global) dalam usaha melindungi hak asasi manusia tidak lagi sesuai. Dasar dari pendekatan hak asasi manusia yang menyeluruh (global) adalah prinsipprinsip universitalitas (universality) hak asasi manusia: Jika kita menyetujui prinsip universal hak asasi manusia, maka [...] kewajiban yang menyertainya harus pula universal. Dengan semangat universalitas (universility) ini pula maka jika hak asasi manusia dilanggar, kita tidak bisa mengatakan bahwa hal tersebut bukanlah pelanggaran, hanya karena pelanggaran itu dilakukan oleh negara lain. Konsep Kewajiban lintas negara telah diperdebatkan para pakar hak asasi manusia dan dari waktu ke waktu konsep tersebut mulai diakui oleh lembaga-lembaga hak asasi manusia PBB (lihat Windfuhr 2005). Jean Ziegler, pelapor khusus (Special Rapporteur) PBB untuk hak atas pangan, dalam laporannya kepada Komisi Hak Asasi Manusia pada Januari 2005, mengeluhkan bahwasanya negaranegara miskin tidak mampu lagi untuk selalu melindungi warga negaranya dari dampak kebijakan yang diambil oleh negara lain. Sejalan dengan konsep yang dikembangkan oleh Bread for the World, EED dan FIAN, Ziegler menyatakan: Setiap negara harus menghormati, melindungi dan mendukung pemenuhan hak atas pangan bagi masyarakat yang tinggal di negara lain, termasuk diantaranya melalui keputusan-keputusan yang diambil oleh negara bersangkutan dalam kaitan dengan peran mereka dalam WTO, IMF dan World Bank. Pemerintah harus memastikan keterkaitan antara kebijakan di tingkat nasional dan internasional dengan menempatkan hak asasi manusia sebagai fokus utama semua kebijakan pemerintah (UN 2005:20). Menurut Ziegler, kewajiban lintas negara untuk menghormati pemenuhan hak atas pangan adalah kewajiban minimal. Kewajiban untuk menghormati tidak menuntut negara terkait untuk menyediakan sumber daya apapun, hanya sebatas tidak mengganggu pemenuhan hak atas pangan di negara lain. Termasuk juga dalam kewajiban ini adalah untuk mundur dari pengambilan keputusan dalam WTO, IMF atau World Bank yang berpotensi melanggar pemenuhan hak atas pangan di negara lain (UN 2005:16). Menghormati kewajiban lintas negara juga berarti bahwa Pemerintah tidak akan memberikan subsidi pada produksi pertanian yang hasilnya nanti akan diekspor ke negara agraris sedang berkembang, karena hal tersebut akan merusak pemenuhan hak atas pangan penduduk negara yang bersangkutan yang ditimbulkan karena hancurnya mata pencaharian mereka dan bahkan menyebabkan mereka tidak mampu untuk membeli makanan meskipun harga yang lebih murah (UN 2005:ibid) Kewajiban lintas negara adalah konsep yang relatif baru dan masih perlu dikaji lebih dalam. Fons Coomans, koordinator dan peneliti senior pada Pusat Hak Asasi Manusia di Universitas Maastricht, menyimpulkan kewajiban internasional untuk menghormati adalah bagian dari hukum hak asasi manusia yang ada saat ini (de lege lata), sedangkan kewajiban untuk melindungi dan memenuhi adalah bagian dari hukum hak asasi manusia yang dalam proses penyusunan (under construction) (de lege ferenda) (Coomans 2005:50). Menurut Coomans, contoh dari keharusan untuk menghormati adalah negara harus mundur dari kegiatan mempromosikan perdagangan dan subsidi produsen (pangan) yang menguntungkan hanya mereka sendiri namun berdampak negatif pada pedagang dan produsen lokal di negara berkembang (Coomans 2005:45). Kewajiban minimal lintas negara untuk menghormati hak atas pangan inilah yang seringkali dilanggar melalui kebijakan perdagangan, sebagaimana akan dibahas dalam studi kasus penelitian ini. 15

Dampak LiberaLisasi perDagangan TerhaDap hak aTas pangan komuniTas peTani paDi Di ghana, honDuras Dan inDonesia

1.3 mengeDepankan hak asasi manusiaDalamhukuminternasionalsangatmungkinterjadikonflikantaraketentuanhukum(legal obligation) darisistemyangberbeda,keadaansepertiinidikenalsebagaikonflikantarrejimhukum(conflict of law regimes). Dalam situasi tersebut negara harus menemukan titik imbang dalam memenuhi kewajibannya mematuhi hukum di tingkat nasional dan internasional. Namun situasi ini seringkali problematis ketika diperhadapkan dengan isu hak asasi manusia (FIAN Internasional 2003). Contoh, pembatasan hak asasi manusia dalam hal kebebasan memilih atau kebebasan berekspresi, tidak dapat dibenarkan demi mencapai pertumbuhan (ekonomi) yang tinggi. Hak asasi manusia tidak dapat dipertukarkan dan untuk itu memiliki kondisi khusus Dalam konferensi PBB tentang hak asasi manusia yang dilakukan di Wina pada tahun 1993, disimpulkan: 16 Hak asasi dan kebebasan dasar manusia adalah hak yang melekat pada setiap manusia sejak ia dilahirkan; adalah tugas utama pemerintah untuk melindungi dan memajukan kedua hak tersebut (UN 1993). Berdasarkan deklarasi Vienna, ketentuan ini berlaku bukan saja bagi hak asasi manusia di bidang sipil dan politik namun juga di bidang sosial. Ketentuan ini ditegaskan dalam Kesimpulan Pengamatan CESCR (Concluding Observations of the CESCR) dalam laporan yang dipresentasikan di Kanada terkait implementasi ICESCR pada tahun 2006, secara khusus mengacu pada ancaman liberalisasi perdagangan: CESCR mengingatkan negara anggota bahwa meskipun liberalisasi perdagangan memiliki potensi menciptakan kemakmuran, liberalisasi semacam itu tidak dapat menciptakan lingkungan yang mendukung bagi terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Untukitumaka,CESCRmerekomendasikanpadanegarayangtelahmeratifikasikovenan untuk mempertimbangkan cara-cara yang mengutamakan hak-hak di dalam perjanjian perdagangan dan investasi dan secara khusus penyelesaian sengketa antara pemerintah dan investor yang diatur dalam bab XI perjanjian bebas Amerika Utara (North American Free Trade Agreement - NAFTA). Sangat jelas bahwa hak asasi manusia harus menjadi perhatian utama dalam perjanjian perdagangan. Dalam negosiasi perjanjian perdagangan, setiap negara berkewajiban memastikan bahwa apapun kebijakan yang diambil tidak boleh membatasi pemenuhan hak atas kecukupan pangan baik di dalam negeri sendiri maupun wilayah di negara lain. Pada saat yang sama, tidak ada perjanjian perdagangan atau persyaratan pemberian pinjaman yang dapat dijadikan pembenaran bagi pelanggaran hak atas pangan. Artinya setiap perjanjian perdagangan dan investasi harus dilakukan dalam cara yang tidak mengarah pada pelanggaran hak atas pangan dan hak asasi manusia yang lain. Bila hal tersebut tidak mungkin dilaksanakan, maka perubahan harus dilakukan terhadap perjanjian tersebut.

2. liberalisasi Perdagangan beras ancaman bagi Petani KecilMenurut FAO, Beras berperan penting bagi ketahanan pangan dunia (FAO 2004:8). Bagi setengah penduduk dunia, beras adalah sumber kalori utama. Hal ini terutama berlaku di negara-negara Asia, di mana selama berabad-abad beras adalah makanan pokok. Demikian pula halnya di belahan dunia lain seperti di sebagian kawasan Afrika, Timur Dekat, Amerika Latin dan Karibia, konsumsi beras meningkat dalam jumlah dan proporsi kalorinya. Pada saat yang sama penanaman padi dan pengolahan makanan berbahan baku beras adalah sumber penghasilan utama dan pekerjaan bagi sekitar dua milyar penduduk dunia. Dalam hal produksi dankonsumsiberas,peranpetanikecilataupetaniberlahansempit,sangatlahsignifikan.Mereka biasanya bekerja di atas lahan seluas kurang dari satu hektar dan sebagian besar adalah perempuan. FAO memperkirakan sekitar 90% beras dunia dihasilkan dan dikonsumsi oleh petani kecil di negaranegara berkembang (FAO, 2004:8). Di berbagai belahan dunia petani kecil ini adalah kelompok yang rentan terhadap kemiskinan dan kerawanan pangan. Dengan demikian keterkaitan antara kesulitan yang dialami produsen beras dengan pemenuhan hak atas pangan adalah nyata. Table 1: Leading Rice-producing, Rice-exporting and Rice-importing Countries in 2005

17

Rank1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

ProducingChina India Indonesia Bangladesh Vietnam Thailand Myanmar Philippines Brazil Japan

ExportingThailand Vietnam India United States Pakistan Egypt China Uruguay Argentina Guyana

ImportingNigeria Philippines Iran Iraq Saudi Arabia Bangladesh China Cte dIvoire Senegal European UnionBased on: FAO 2007b:25.

Berdasarkan data World Bank, volume perdagangan dan konsumsi beras internasional meningkat dua kali lipat sejak tahun 1970an dan 1980an, namun persentase perdagangan internasional beras hanya sebesar 6,5% dari konsumsi beras dunia. Dibandingkan dengan persentase perdagangan internasional untuk komoditas jagung sebesar 12%, gandum 18% dan kedelai 35%, persentase beras sangatlah rendah. Hal ini dikarenakan pemerintah sebagian besar negara (yang penduduknya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok) melakukan intervensi yang diperlukan guna mempertahankan swasembada beras. Kecilnya persentase tersebut juga disebabkan mekanisme proteksi yang

Dampak LiberaLisasi perDagangan TerhaDap hak aTas pangan komuniTas peTani paDi Di ghana, honDuras Dan inDonesia diterapkan negara-negara penghasil dan pengkonsumsi beras utama. Proteksi tersebut terkait dengan pencapaian tujuan kebijakan nasional mereka yaitu ketahanan pangan nasional dan perlindungan harga yang juga berarti perlindungan penghasilan para petani padi. Berdasarkan perhitungan World Bank, bobot rata-rata perdagangan internasional beras (global trade-weighted average tariff) adalah 43,3% ( World Bank 2005:177-179). Cina, India, Indonesia, Bangladesh dan Vietnam adalah lima negara terbesar penghasil dan pengkonsumsi beras. Amerika Serikat menduduki posisi ke-11 sebagai penghasil beras terbesar, namun berada urutan keempat pengekspor beras terbesar dunia. Lebih menakjubkan lagi, Uruguay, Argentina dan Guyana, ketiganya bukan penghasil beras skala besar, namun dalam hal ekspor mereka termasuk dalam 10 negara pengekspor beras terbesar dunia, diikuti oleh negara-negara Uni Eropa di posisi ke-11 (lihat FAO 2007b:25).

18

2.1 geLombang impor Dan LaTar beLakangnyaTerlepas dari relatif rendahnya tingkat kepentingan perdagangan internasional beras, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, tujuan untuk meningkatkan volume perdagangan internasional beras telah mendominasi kebijakan perberasan di tingkat internasional dan nasional di banyak negara. Melepaskan kendali negara atas impor, ekspor dan harga, serta melakukan privatisasi layanan dan badan usaha milik negara, semuanya itu ditujukan untuk meningkatkan perdagangan internasional. Meningkatnya impor beras di negara berkembang menjadi faktor penting bahkan untuk di sebagian negara menjadi faktor terpenting dalam pengembangan pasar dan harga beras nasional. Berdasarkan tindakan-tindakan pengamanan khusus (Special Safeguard - SSG) yang di susun di bawah payung Perjanjian Pertanian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO Agreement on Agriculture AoA), dalam kurun waktu 1982-2003 FAO mencatat 4082 kasus kenaikan impor beras di 102 negara. Jumlah tersebut sedikit lebih rendah dari impor daging sapi (431) dan daging unggas (509)3. Menurut FAO, fenomena yang menonjol adalah kenaikan impor beras yang terkonsentrasi di wilayah atau negara tertentu sepertiAfrikaBarat,AfrikaTengah,TimurTengahdanKepulauanPasifik.Terdapat20negaraAfrika yang mengalami tiga kali atau lebih kenaikan impor beras yang terjadi dalam periode yang relatif singkat yaitu antara tahun 1995-2003 (FAO 2007:2). Penyebab kenaikan impor sangatlah kompleks. Ada berbagai faktor penyebab baik internal dan eksternal dan satu kasus berbeda dengan lainnya. Namun ada tiga faktor yang paling sering menyebabkan gelombang impor atau kenaikan impor pada umumnya yaitu: 1) liberalisasi impor 2) harga rendah pasar dunia 3) hambatan di sisi penawaran di negara-negara pengimpor. Ketiga faktor ini banyak dipengaruhi oleh kebijakan terkait.

2 Tabel 2 yang juga merujuk pada sumber yang sama (FAO) mencantumkan hanya 394 kasus kenaikan impor beras. Perbedaan ini terjadi karena angka 408 adalah jumlah kasus kenaikan impor beras yang terjadi dalam kurun waktu 1982-2003, sedangkan tabel 2 merujuk pada periode 1983-2003 dan tidak menghitung kenaikan yang terjadi pada tahun 1982. 3 SecaraumumFAOmenggunakanterminologigelombangimporberdasarkandefinisiyangtercantumdalamPasal 2 Perjanjian WTO tentang Pengamanan: ketika sebuah produk diimpor ke suatu negara dalam jumlah meningkat, secara mutlak atau relatif dibandingkan dengan produk dalam negeri yang sejenis, dan mengancam atau berpotensi mengancam industri dalam negeri yang menghasilkan produk tersebut. Lebih khusus, FAO mendefinisikan gelombang impor sebagai kenaikan yang terjadi jika dalam kurun waktu satu tahun, impor meningkat sebesar 30% dari rata-rata kenaikan impor dalam tiga tahun berjalan (FAO 2007:2).

2. LiberaLisasi perDagangan beras anCaman bagi peTani keCiL

Table 2: Import surges of rice in developing regions and sub-regions* 1983-2003

RegionTotal in developing regions Africa West Africa Southern Africa East Africa Central Africa North Africa South Asia South East Asia Pacific Islands Near East in Asia Central America/ Caribbean South America

Number of Countries92 49 16 4 17 9 3 7 9 7 5 12 13

Number of Cases394 220 88 16 61 48 7 19 12 40 35 54 14Based on: FAO 2007:2.

19

*Analysis covering 92 countries of the groups of Low-Income Food-Deficit Countries (LIFDC), Least Developed Countries (LDC) and Net Food Importing Developing Countries (NFIDC). Countries in CIS and in Eastern Europe have been excluded, as most were not independent nations until the early 1990s.

1) Liberalisasi impor Faktor penting yang mempengaruhi gelombang impor yang terjadi sejak tahun 1980an adalah liberalisasi impor di negara-negara berkembang yang seringkali terjadi akibat tekanan internasional. Secara khusus, World Bank dan IMF telah mendorong negara berkembang untuk membuka pasar mereka, menghilangkan pembatasan impor non-tarif (non-tariff import barriers) dan memotong cukai impor beras. Penurunan harga beras terutama terjadi pada tahun 1980an dan 1990an sebagai dampak dari program penyesuaian struktural (structural adjustment) yang seringkali menjadi salah satu persyaratan untuk mendapatkan pinjaman. Perjanjian WTO tentang pertanian (AoA) mendukung kebijakan World Bank dan IMF dengan melarang pembatasan non tarif serta mengharuskan negara berkembang menurunkan harga rata-rata produk pertanian sebesar 24% selama kurun waktu 1995-20044. Secara umum dampak buruk AoA terhadap perlindungan pasar beras domestik sudah terbatas. Hal ini disebabkan karena di sebagian besar negara, batas harga beras maksimal (bound tariff) yang diharuskan oleh AoA masih berada di atas harga yang diterapkan saat ini (applied tariff). Namun, negosiasi AoA yang saat ini berlangsung dalam Konferensi Pembangunan Doha dapat dengan cepat memperburuk situasi. Berdasarkan perhitungan Oxfam Internasional, usulan Amerika Serikat untuk membuka akses pasar akan memaksa 25 negara menurunkan harga maksimal beras di negara-negara tersebut lebih rendah dari harga yang diterapkan saat ini. Bahkan usulan dari negara-negara Uni Eropa/G20, yang lebih lunak ketimbang usulan Amerika Serikat, 17 negara tetap harus menurunkan harga beras yang saat ini berlaku.54 Pembatasan harga (binding a tariff) artinya negara menetapkan batas maksimal dimana harga pasar tidak boleh melebihi batas tersebut. Harga yang diterapkan (applied tariff) harus berada di antara titik nol dan batas maksimal tersebut. 5 Kedua usulan (Amerika Serikat dan Uni Eropa/G20) disampaikan pada bulan Oktober 2005.

Dampak LiberaLisasi perDagangan TerhaDap hak aTas pangan komuniTas peTani paDi Di ghana, honDuras Dan inDonesia Belakangan ini perjanjian perdagangan bebas regional dan bilateral, seperti NAFTA dan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Tengah (Central American Free Trade Agreement - CAFTA) memainkan peran penting dalam penurunan harga. Saat ini negosiasi tarif eksternal bersama (Common External Tariff - CET) antara negara anggota Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (Economic Community of West African States - ECOWAS) juga mengancam tingkat harga yang diterapkan di kawasan Afrika, termasuk Nigeria. Negosiasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi (Economic Partnership Agreement - EPA)antaraUniEropadannegara-negaradikawasanAfrika,KaribiadanKepulauanPasifik (ACP) juga akan memberikan tekanan yang cukup berat bagi blok Afrika Barat untuk menurunkan harga. Untuk negara-negara seperti Kenya, hal ini akan meningkatkan impor beras giling dari Amerika dan Asia yang diproses dan diekspor via Inggris. Semua ini akan meningkatkan tekanan impor termasuk impor beras dari Asia yang sudah berlangsung lebih dulu (Oxfam 2005b:31). 20 2) Harga rendah pasar dunia Menurut FAO, dari sisi eksternal, faktor utama yang menyebabkan gelombang impor adalah tingkat harga beras dunia dan tingkat persaingan antara negara pemasok (beras). Contoh antara tahun 2000-2003, harga beras di pasar dunia sangatlah rendah. Dalam kurun waktu tersebut, perdagangan internasional meningkat tajam dan seringkali berdampak terhadap terjadinya gelombang impor, terutama di negara-negara Afrika Barat seperti Kamerun, Pantai Gading dan Ghana. Studi kasus yang dilakukan dibawah proyek FAO tentang gelombang impor beras yang muncul semenjak pertengahan 1990an terjadi terutama ketika harga pasar dunia sedang rendah (FAO 2007:3) Figure 1: FAO Rice Price Index6

1998-2000 = 100140 120 100 80 60 40 20 0 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005

Source: FAO 2007:3.

Rendahnya harga beras dunia terutama disebabkan karena tingginya pasokan beras di pasar dunia. Sebagian hal ini disebabkan oleh besarnya dukungan pemerintah negara-negara maju untuk proses produksi dan ekspor beras. Besarnya dukungan tersebut seringkali menyebabkan produksi yang berlebihan dan meningkatkan dumping beras melalui ekspor ke negara lain. Dumping artinya mengekspor beras dibawah harga pasar dalam negeri atau dibawah harga produksi.76 Indeks harga beras FAO berdasarkan data dari 16 negara pengekspor terbesar. 7 Berdasarkandefinisipasal2.1PerjanjianAntidumping Perjanjian Unum Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade - GATT) suatu produk dikatakan dibuang jika produk tersebut dijual ke negara lain dibawah nilai normal, jika harga ekspor dibawah harga produk sejenis dalam perdagangan normal [...]. Pasal 2.2 membuka peluang perbandingan harga ekspor dengan biaya produksi di negara asal.

2. LiberaLisasi perDagangan beras anCaman bagi peTani keCiL

Pada tahun 2003 pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan US$ 1,3 milyar untuk mensubsidi sektor beras (Oxfam 2005b: 35f.). Berdasarkan data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), 57% pertanian padi di Amerika Serikat tidak akan mampu memenuhi biaya produksi tanpa subsidi, pembayaran kompensasi (counter-cyclical), pinjaman pemasaran (marketing loan) dan sertifikat komoditas (commoditycertificate). Selain dukungan langsung tersebut, pemerintah Amerika Serikat memberikan dukungan lain dalam jumlah yang sangat besar, seperti kredit ekspor kepada petani yang bertujuan agar produk mereka mampu bersaing di pasar internasional. Dukungan ini juga ditambah dengan penawaran dukungan kredit dari perbankan Amerika bagi importir-importir luar negeri yang membeli produk-produk pertanian Amerika Serikat. Jika importir tidak mampu mengembalikan kredit tersebut, negara turun tangan dan dengan demikian mengatasi resiko kerugian yang mungkin menimpa eksportir dalam negeri. Secara keseluruhan antara tahun 2000-2003, rata-rata biaya produksi beras di Amerika Serikat adalah US$ 415 per ton. Pada saat yang sama sebagai hasil dari subsidi pemerintah rata-rata harga ekspor beras Amerika Serikat hanya US$ 274 per ton, atau 34% lebih rendah dari biaya produksi. Praktek dumping beras semacam ini tidak hanya dilakukan Amerika Serikat, melainkan juga Jepang dan Uni Eropa. Praktek tersebut berdampak negatif terhadap harga pasar beras dunia dan menggerogoti penghasilan petani lokal di negara-negara yang dibanjiri beras buangan tersebut. Namun rendahnya harga beras dunia tidak hanya disebabkan praktek dumping. Bahkan pada saat dukungan pemerintah relatif kecil, harga beras ekspor dapat menghancurkan harga dalam negeri di negara-negara penerima beras ekspor tersebut. Salah satu contoh nya adalah Vietnam, yang meski tidaklagimemilikiprogramdukunganproduksiatausubsidieksporyangsignifikantetaplahmenjadi negara pengekspor ketiga terbesar ( World Bank 2005:182). FAO menekankan bahwa perusahaan dagang negara di Cina dan India turut andil dalam depresi harga beras dunia sejak tahun 2000 hingga 2003 akibat dari penjualan kelebihan produksi mereka ke pasar internasional (FAO 2007:3). Terlepas dari apakah praktek dumping dilakukan atau tidak, akibat dari tidak adanya mekanisme perlindungan pasar, ekspor dengan harga rendah memiliki daya hancur yang sama bagi produsen di negara penerima beras ekspor. 3) Bantuan Pangan Dalam situasi ekstrim jika di wilayah tertentu tidak tersedia pangan dalam jumlah cukup dan pasar tidak berfungsi sebagaimana mestinya, bantuan pangan seringkali menjadi komponen penting untuk menjaga ketahanan pangan. Namun jika bantuan pangan tidak dikelola dengan hati-hati, bantuan pangan dapat menimbulkan dampak negatif bagi pasar dan harga di tingkat produsen beras lokal. FAO menyatakan (2005, hal. 9): Bantuan pangan dapat menekan dan membuat tidak stabil harga pasar di negara penerima bantuan. Bantuan pangan yang datang pada saat yang tidak tepat atau tidak tepat sasaran yang akan Table 3: US Rice Exports and Food Aid from 1990 to 2003 (in 1,000 Metric tonnes)

21

Fiscal Year1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

PL 480276.0 210.0 228.5 198.8 222.0 195.8 178.8 114.9 178.3 541.8 208.7 144.3 241.1 262.5

Total Rice Exports2 501.0 2 416.0 2 279.0 2 710.0 2 434.0 3 763.0 2 826.0 2 560.0 3 310.0 3 066.0 3 307.0 3 059.0 3 537.0 4 470.0Source: USDA 2004:108.

Dampak LiberaLisasi perDagangan TerhaDap hak aTas pangan komuniTas peTani paDi Di ghana, honDuras Dan inDonesia mengguncang harga lokal dan menghancurkan penghidupan produsen dan pedagang lokal yang menggantungkan keberlangsungan ketahanan pangannya pada beras lokal. Permasalahan seputar bantuan pangan sangatlah kompleks tetapi banyak masalah yang ada terkait dengan sasaran dari bantuan tersebut. Peng-uang-an bantuan pangan adalah salah satu isu penting ketika hendak memastikan bahwa bantuan tersebut benar-benar mencapai sasarannya yaitu orang yang membutuhkan. Beras bantuan pangan tidak seharusnya berakhir di pasar lokal. Peng-uang-an bantuan pangan adalah permasalahan yang besar bagi program bantuan dari Amerika Serikat Pangan untuk Perdamaian yang bernaung di bawah Hukum Publik nomor 480. Dalam program tersebut, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berbasis di Amerika Serikat diijinkan untuk menjual komoditas pangan di negara berkembang dengan harga rendah, dan menggunakan keuntungan dari penjualan tersebut guna membiayai proyek-proyek mereka. Bantuan pangan yang diuangkan hampir seluruhnya tidak memiliki target semua bantuan tersebut berakhir di pasar lokal - dan tidak ada satupun bantuan yang langsung ditujukan kepada masyarakat yang paling menderita rawan pangan. Pada tahun 1999 ketika beras dalam jumlah besar dikirim dari Amerika Serikat ke Honduras dibawah benderaPangan untuk Perdamaian lebih dari setengah dari bantuan tersebut diuangkan (Barret dan Maxwell, hal. 13). Mengingat besarnya subsidi pemerintah bagi sektor pertanian di Amerika Serikat maka Hukum Publik nomor 480 berpeluang untuk disalahgunakan sebagai instrumen untuk membuang produk pertanian Amerika Serikat melalui mekanisme ekspor (export dumping) dan menjadi satu cara efektif untuk mengatasi masalah kelebihan produksi. Selama sepuluh tahun terakhir, masa dimana tingkat harga rendah, 20% dari impor beras Amerika Serikat adalah dalam bentuk bantuan pangan (Oxfam 2005a:19). 4) Hambatan Di sisi Penawaran Dari sudut negara pengimpor, faktor penting dari meningkatnya atau terjadinya gelompang impor adalah karena produksi beras dalam negeri kurang atau dengan kata lain terdapat kendala di sisi penyediaan. Menghadapi masalah seperti ini, tindakan yang sering diambil pemerintah adalah meningkatkan impor dalam rangka mengisi kesenjangan antara permintaan dan penawaran dan untuk menekan agar harga tetap rendah bagi konsumen. Di banyak negara berkembang hambatan di sisi penawaran adalah masalah utama dan menjadi alasan utama untuk meningkatkan impor. Namun di antara semua hal tersebut lebih penting untuk mengkaji penyebab terjadinya hambatan tersebut. Kadang kala bencana alam atau wabah penyakit dapat menjadi satu satu penyebab terhambatnya persediaan. Namun penyebab utama adalah faktor struktural yaitu berkurangnya dukungan bagi produsen beras di negara berkembang. Pada tahun 1980an dan 1990an dukungan pemerintah bagi produsen beras turun drastis. Dukungan tersebut meliputi subsidi produksi seperti dukungan bibit, pupuk atau peralatan pertanian, penyediaan barang publik (public procurement), jaminan harga dan kredit dengan bunga rendah bagi petani kecil serta pelayanan tambahan lainnya. Sebagian besar pengurangan dukungan ini akibat dari privatisasi yang dilakukan dengan dukungan World Bank dan IMF. FAO menyatakan bentuk lain dari liberalisasi yang sering diasosiasikan dengan program penyesuaian struktural (structural adjustment) kerap berkontribusi terhadap terjadinya gelombang impor akibat dari dampak yang ditimbulkan program tersebut, yaitu berkurangnya dukungan pemerintah terhadap produsen beras dalam negeri (FAO 2007:5). FAO menyebutkan sebagian kecil contoh kasus adalah Honduras, Kamerun dan Tanzania. Kasus Honduras misalnya memperlihatkan bahwa bencana alam seringkali memberi pukulan lebih keras kepada petani padi, karena sebelumnya mereka telah berada dalam posisi lemah akibat program penyesuaian struktural (structural adjustment). Dan pada saat liberalisasi dan bencana alam datang bersamaan, seringkali menjadi hampir tidak mungkin bagi mereka untuk bangkit dari krisis.

22

2. LiberaLisasi perDagangan beras anCaman bagi peTani keCiL

Alasan lain menurunnya dukungan bagi produsen beras adalah pengabaian sektor pertanian, bukan hanya oleh pemerintah negara yang bersangkutan tetapi juga oleh lembaga donor internasional. Antara tahun 1984-2002 total dukungan untuk sektor pertanian turun lebih dari dua per tiga dibandingkan periode sebelumnya. Proporsi bantuan pertanian dari total bantuan donor turun dari 17% pada awal 1980an menjadi 8% pada akhir 1990an (Oxfam 2005b:32). Dalam hal bantuan pembangunan Amerika Serikat, dampak terhadap sektor beras lebih besar dibandingkan sektor lain. Misalnya bantuan Amerika Serikat melalui Millenium Challenge Account (MCA), secara eksplisit meniadakan bantuan produksi beras di negara seperti Ghana. Alasannya adalah produksi beras nasional Ghana akan bersaing dengan ekspor beras Amerika (ke Ghana) dan bantuan terhadap sektor beras Ghana akan bertentangan dengan kepentingan Amerika Serikat di sektor perberasan. Dapat disimpulkan bahwasanya kondisi cuaca pada umumnya dan bencana alam khususnya seperti kekeringan, angin ribut atau gempa bumi dapat berdampak besar terhadap produksi beras dan menyebabkan meningkatnya permintaan impor atau bantuan pangan. Namun dalam jangka panjang akar dari membanjirnya impor adalah kebijakan pertanian dan perdagangan yang diambil negara. Sejak awal 1980an kebijakan liberalisasi telah membuka pasar negara-negara berkembang terhadap serbuan impor baik dari sesama negara berkembang maupun dari negara maju. Kebijakan dumping di negara maju telah menyebabkan kelebihan produksi dan memampukan perusahaan pertanian di negara maju untuk mengekspor beras dengan harga dibawah biaya produksi bahkan dibawah harga pasar dalam negeri mereka. Di sisi lain, sebagian besar negara berkembang secara drastis menurunkan dukungan bagi produsen beras mereka dan dalam banyak kasus hal ini menyebabkan terhambatnya sisi persediaan yang mengakibatkan kesulitan untuk memenuhi peningkatan permintaan beras di dalam negeri. Dalam sebagian besar kasus, kombinasi dari faktor-faktor tersebut menyebabkan bukan hanya meningkatnya kebutuhan impor bahkan menyebabkan terjadinya gelombang impor besarbesaran yang menimbulkan dampak yang sangat membahayakan produksi beras dalam negeri. 23

2.2 Dampak TerhaDap peTani keCiLKetidakadaan data dan faktor-faktor lainnya menyebabkan tidak mudah untuk memperkirakan besarnya dampak gelombang ekspor ini terhadap petani kecil. Namun dalam banyak hal terbukti bahwa serbuan impor telah mengakibatkan tersingkirnya banyak produsen beras dari pasar domestik. FAO menyatakan hal tersebut terjadi di Honduras pada tahun 1991 yang berakibat semakin berkurangnya padi lokal dan sebagai akibatnya petani menjadi tertekan. FAO menambahkan bahwa di negara lain, gelombang impor mengakibatkan turunnya harga dalam negeri yang memukul produsen beras [lokal]. Contohnya di Tanzania, FAO menemukan hubungan berbanding terbalik antara besarnya volume impor dan harga pasar dalam negeri. Namun sungguh mengejutkan, karena kenyataannya informasi yang komprehensif dan akurat tentang dampak serbuan impor atau kenaikan impor pada umumnya terhadap pendapatan dan penghidupan petani kecil masih sangat sedikit. Lembaga internasional seperti World Bank sejauh ini mengabaikan kemungkinan dampak tersebut terhadap permasalahan kemiskinan. Kajian tentang dampak impor terhadap petani kecil lebih banyak dilakukan oleh LSM seperti Action Aid, Christian Aid, Oxfam, Third World Network (TWN) dan lain-lain. Penelitian Oxfam misalnya memberikan banyak bukti bahwa imporsecarasignifikanmenyebabkanmeningkatnyakemiskinanbagipetanikecildiHaiti,Indonesia, Ghana, Honduras dan lain-lain (Oxfam 2005b). Karena 90% produsen beras adalah petani kecil dan seringkali mereka juga adalah kelompok paling miskin di dalam masyarakat, cukup beralasan untuk mengkhawatirkan dampak negatif impor terhadap ketahanan pangan dan hak mereka atas pangan. Ketika petani padi kehilangan akses mereka ke pasar berarti mereka kehilangan sumber utama penghasilan dan mungkin tidak mampu lagi memenuhi

Dampak LiberaLisasi perDagangan TerhaDap hak aTas pangan komuniTas peTani paDi Di ghana, honDuras Dan inDonesia kebutuhan pangan diri sendiri dan keluarganya dalam jumlah cukup setiap saat. Banyak petani kecil akan sangat kesulitan untuk menemukan alternatif sumber penghasilan, bukan hanya dalam jangka pendek namun juga jangka panjang.

2.3 kepenTingan konsumen sebagai LegiTimasi LiberaLisasiArgumen utama yang sering digunakan untuk mendukung kebijakan liberalisasi dan peningkatan perdagangan internasional beras adalah kepentingan konsumen untuk memperoleh harga yang rendah. Jelas bahwa kepentingan konsumen adalah kriteria penting saat menyusun kebijakan perdagangan yang dianggap tepat. Namun patut dipertanyakan apakah liberalisasi adalah cara terbaik untuk membela kepentingan konsumen? Sebagaimana disebutkan terdahulu, di sisi konsumen, kebutuhan beras dengan harga terjangkau tidak melulu dipenuhi melalui impor, namun juga melalui pengembangan proses produksi dan pemasaran dalam negeri. Lebih jauh, berbagai kajian menunjukkan bahwa harga impor yang rendah kadangkala tidak berarti harga yang rendah bagi konsumen karena terkonsentrasinya bisnis beras di tangan segelintir orang. Ambil contoh yang terjadi di Honduras, lima besar importir mengendalikan 60% perdagangan beras. Ketika pasar dibuka, harga impor turun sebesar 40% selama kurun waktu 1994-2000, namun harga konsumen meningkat 12%. Dan akhirnya pembedaan antara konsumen dan produsen di negara berkembang seringkali hanyalah rekayasa (Oxfam 2005b:18). Petani kecil tidak hanya menjadi produsen utama beras dunia namun mereka juga adalah konsumen utama. Terutama di desa-desa miskin, lebih dari 80% produsen beras adalah juga konsumen beras. Pada saat sumber mata pencaharian petani berlahan sempit ini dihancurkan, mereka kehilangan penghasilan yang mereka butuhkan dalam posisi mereka sebagai konsumen. Mereka bahkan mungkin tidak akan mampu membeli beras bahkan jika harga beras lebih murah dari harga sebelumnya. Itulah sebabnya mengapa FAO menekankan bahwa dalam menyusun kebijakan pertanian dan perdagangan, pemerintah harus menimbang dengan cermat agar harga beras terjangkau bagi konsumen dan tetap menguntungkan bagi produsen (FAO 2004:9). Situasi saat ini cenderung mengabaikan kepentingan produsen dan jelas hanya membela kepentingan konsumen. Misalnya World Bank meminta diterapkannya liberalisasi radikal dan ekspansi perdagangan beras dunia. Berdasarkan perhitungan World Bank, liberalisasi total perdagangan beras dunia akan meningkatkan perdagangan beras international sebesar 10-15% dan surplus ekonomi sebesar US$ 7,4 milyar ( World Bank 2005:188 dan 192). Masih menurut World Bank, jika harga ekspor meningkat maka harga impor akan turun drastis dan keduanya berlangsung serempak. Namun World Bank mengakui liberalisasi perdagangan beras tidak menguntungkan semua negara secara sama. Di antara negara-negara pengekspor beras, Cina dan Amerika Serikat adalah dua negara yang paling diuntungkan, diikuti oleh Australia. Di sisi lain negara yang paling dirugikan adalah adalah negara-negara pengimpor beras seperti Turki, negara-negara Timur Tengah seperti Iran, Irak dan Saudi Arabia yang sebelumnya telah membuka pasar dalam negeri mereka terhadap impor beras. Hal ini karena meningkatnya harga ekspor akan langsung tercermin dalam peningkatan harga impor. World Bank juga mengakui bahwa ketidakstabilan harga beras dunia masih akan berlangsung setelah liberalisasi dilakukan dan akan memberikan dampak serius bagi banyak negara miskin. Liberalisasi perdagangan beras dunia akan membuat negara-negara berpenghasilan rendah dan pengimpor beras murni akan semakin tergantung pada perdagangan internasional beras, dan kemungkinan besar akan menurunkan ketahanan pangan dan keamanan politik mereka ( World Bank 2005:192). Keuntungan dari liberalisasi ini terdistribusi secara berbeda antar negara dan juga berbeda antara konsumen dan produsen. Sesungguhnya yang terjadi adalah peralihan uang dalam jumlah besar antara konsumen dan produsen yang berujung pada perolehan keuntungan bersih. Di negara pengimpor, konsumen

24

2. LiberaLisasi perDagangan beras anCaman bagi peTani keCiL

memperoleh US$ 32,8 milyar sedangkan produsen kehilangan US$ 27,2 milyar ( World Bank 2005:192). Dari perspektif hak atas pangan, fenomena tersebut patut dipertanyakan. Dengan menerapkan liberalisasi perdagangan beras, World Bank dengan sadar menerima fakta bahwa jutaan petani kecil di negara-negara pengimpor beras akan kehilangan sumber penghidupan mereka tanpa memberikan alternatif lain yang akan memampukan mereka untuk memenuhi kebutuhan pangan diri sendiri.

25

3. PendeKatan dan metodologiSebagaimana telah dibahas di bab terdahulu, secara umum gelombang dan kenaikan impor telah meningkatkan tekanan bagi petani kecil di banyak negara berkembang dalam dua hingga tiga dekade terakhir. Pada tingkat makro, berbagai kajian menunjukkan bahwa masuknya beras impor membuat produksi beras dalam negeri menurun, baik dalam hal jumlah total dan persentase pasar. Di banyak negara berkembang area penanaman padi berkurang dan banyak petani kecil terpaksa meninggalkan sektor pertanian padi. Penelitian ini juga menumbuhkan keprihatinan bahwa ketahanan pangan akan terkena dampak serius dan terancam oleh gelombang impor beras. Namun memang mengejutkan bahwa sedikit penelitian yang menggali secara mendalam kerugian nyata gelombang impor terhadap sektor perberasan di negara-negara pengimpor dan dampak gelombang tersebut di tingkat mikro yaitu terhadap pendapatan, kemiskinan dan ketahanan pangan petani kecil (Sharma 2005). Lebih sedikit lagi penelitian yang menganalisis dampak tersebut dari perspektif hak asasi manusia terhadap pangan.

26

3.1 perTanyaan peneLiTianTujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat dampak negatif atau terjadi pelanggaran hak atas pangan sebagai dampak kebijakan perdagangan beras tertentu terhadap komunitas penghasil beras di Honduras, Ghana dan Indonesia. Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) Apakah kebijakan perdagangan seperti dumping atau liberalisasi pasar berkontribusi signifikanterhadappeningkatantajamimporberasdiHonduras,GhanadanIndonesia? 2) Apakah impor beras berdampak negatif terhadap pendapatan petani kecil sampai pada kondisi dimana akses mereka terhadap pangan tertutup atau berkurang? 3) Apakah pemerintah Honduras, Ghana dan Indonesia telah melanggar kewajiban hukum untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas kecukupan pangan petani kecil melalui kebijakan pertanian dan perdagangan yang mereka buat? 4) Apakah negara-negara Utara melanggar kewajiban lintas negara dalam menghormati hak atas pangan komunitas penghasil beras di Honduras, Ghana dan Indonesia melalui praktik curang seperti: dumping? atau menekan negara pengimpor atau negara yang berpotensi menjadi pengimpor untuk membuka pasar dalam negeri mereka terhadap impor beras? Atau mengurangi dukungan terhadap petani?

3.2 ruang Lingkup, TanTangan Dan meToDoLogiRuang lingkup penelitian ini meliputi tinjauan makro perkembangan impor beras, produksi beras domestik dan analisis kebijakan beras dalam negeri termasuk kebijakan yang membatasi ekspor atau impor beras. Penelitian ini menganalisis pula kemungkinan praktek dumping yang dilakukan negara asal beras impor dan tekanan yang mungkin dilakukan negara kaya terhadap Honduras, Ghana dan Indonesia melalui perjanjian perdagangan bilateral, multilateral atau perjanjian antar organisasi pemerintah, agar ketiga negara tersebut menerapkan kebijakan perdagangan beras tertentu. Studi kasus dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif untuk membahas dampak meningkatnya

3. penDekaTan Dan meToDoLogi

impor beras terhadap pendapatan, mata pencaharian dan ketahanan pangan komunitas penghasil beras di ketiga negara yang diteliti. Akhirnya penelitian ini ditutup dengan kesimpulan analisis perilaku negara dari perspektif hak asasi manusia atas pangan. Situasi perdagangan bukan faktor tunggal yang mempengaruhi pendapatan dan kondisi pangan petani. Bahkan dalam kasus dimana tingginya impor beras terjadi bersamaan dengan bencana kelaparan yang menimpa petani padi, kelaparan tersebut bukan disebabkan oleh tingginya impor beras. Tidak pula selalu berarti bahwa hak atas pangan telah dilanggar oleh kebijakan perdagangan. Tantangan utama penelitian ini adalah mencoba membuktikan ada tidaknya hubungan sebab akibat, pertama, antara tajamnya kenaikan impor beras dan bencana kelaparan atau gizi buruk di komunitas yang diteliti, kedua, hubungan antara tingginya impor dan kebijakan perdagangan dan pertanian tertentu. Pembuktian hubungan sebab akibat dan pembuktian adanya pelanggaran hak atas pangan mensyaratkan kehati-hatian dalam menilai faktor lain yang mungkin memperburuk akses petani padi terhadap pangan seperti: bencanaalam konflikberdarahatauperang perubahandalamsistemsewatanah memburuknyaaksesterhadapinfrastruktur,inputpertanian,kreditataupelatihan. Jika pada saat bersamaan terjadi perubahan kebijakan perdagangan dan terjadi pula salah satu atau lebihdarifaktordiatas,sertakeseluruhannyasecarasignifikanmenimbulkankerugianbagipetani, maka dalam situasi semacam ini, akan lebih sulit untuk membangun rantai hubungan sebab akibat antara tingginya impor dengan terjadinya kelaparan. Tantangan lain bagi analisis hak asasi manusia adalah untuk membedakan tanggung jawab berbagai negara terhadap kebijakan perdagangan yang diterapkan di ketiga negara yang diteliti. Contohnya, liberalisasi pasar dan penarikan dukungan terhadap sektor perberasan selalu dilakukan oleh pemerintah di negara yang bersangkutan sebagai bagian dari kebijakan nasional mereka. Namun tidak berarti bahwa tanggung jawab dari penerapan kebijakan tersebut berada hanya di tangan mereka saja. Dalam banyak kasus, tanggung jawab juga harus dibebankan kepada organisasi antar pemerintah atau negara lain yang mungkin menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk menekan pemerintah Honduras, Ghana dan Indonesia untuk menerapkan kebijakan tertentu. Hanya jika kita bisa membuktikan hubungan sebab akibat antara kebijakan tersebut dan dampak negatif kebijakan terhadappetanidandenganjelasmengidentifikasitanggungjawabnegaramakakitaakanmampu mengidentifikasiadanyapelanggaranhakataspangan. Dalam analisis ekonomi makro di Ghana dan Honduras kami tidak melakukan penelitian kuantitatif langsung namun lebih pada meninjau ulang data dan penelitian yang telah dilakukan oleh lembaga internasional, LSM dan peneliti independen. Tambahan untuk kasus Indonesia adalah pemanfaatan tabulasi silang dari data yang ada dengan menghubungkan beberapa variabel yang relevan guna menganalisis beberapa problem khusus dan melihat model input-output untuk memperlihatkan dampak liberalisasi perdagangan terhadap stabilitas harga, produksi, konsumsi, ketenagakerjaan dan keuntungan dari pertanian padi. Lebih jauh di ketiga negara yang diteliti, kami mengumpulkan dokumen resmi yang membuka ruang analisis lebih dalam tentang kebijakan perdagangan dan pertanian. Dalam pengumpulan data empiris di komunitas penghasil beras di Honduras, Ghana dan Indonesia, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu wawancara semi terstruktur dengan para pakar, pejabat pemerintah, petani, tokoh masyarakat dan pihak-pihak terkait lain dalam sektor perberasan. Wawancara dilakukan dengan mengacu pada daftar pertanyaan (lihat lampiran 2) yang terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama adalah daftar pertanyaan untuk para pakar dan pejabat pemerintah, bagian keduauntuktokohmasyarakatdanbagianketigauntukpetani.Sebagianpertanyaandimodifikasi selama penelitian berlangsung tergantung informasi dan penekanan atas permasalahan tertentu yang

27

Dampak LiberaLisasi perDagangan TerhaDap hak aTas pangan komuniTas peTani paDi Di ghana, honDuras Dan inDonesia diberikan pihak-pihak yang diwawancarai. Pendekatan kualitatif di tingkat mikro yang dikombinasikan dengan analisis hak asasi manusia adalah inti dan nilai tambah utama dari penelitian ini.

3.3 TingkaT anaLisisBerdasarkan deskripsi sebelumnya pendekatan studi kasus menggunakan tiga tingkat analisis yang tercermin dalam struktur laporan penelitian ini yaitu: 1) Analisis konteks yang meliputi perkembangan perdagangan dan produksi beras di tingkat makro dan kebijakan terkait (termasuk kebijakan yang melibatkan aktor dalam negeri dan luar negeri); 2) Analisis mikro di tingkat komunitas, dan 3) Analisis hak asasi manusia yang mengkombinasikan temuan di tingkat makro dan mikro dan mengevaluasi temuan tersebut dari perspektif Hak asasi manusia atas pangan. Semua analisis tersebut meliputi perilaku negara yang bersangkutan, negara asing dan organisasi antar pemerintah.

28

3.3.1 Analisis KonteksMetodologi yang dibangun dalam proyek FAO tentang gelombang impor (FAO 2005 dan FAO 2006) sangat membantu dalam analisis konteks ekonomi makro di tiga negara yang diteliti. Namun terminologi dan definisi gelombang impor (yang tercantum dalam proyek FAO) tidaklah terlalu relevan dengan tujuan penelitian ini. Pelanggaran hak atas pangan mungkin saja tetap terjadi bahkan dalam kasus dimana kriteria WTO tentang gelombang impor tidak ditemukan. Kami tidak pula harus membuktikan terjadinya pelanggaran tersebut hingga sesuai dengan kriteria yang tercantum dalam Perjanjian WTO tentang Pengamanan (WTO Agreement on Safeguard ASG) sebagaimana dilakukan dalam penelitian FAO. Meski demikian, metodologi yang dibangun FAO untuk menganalisis kemungkinan kerugian yang disebabkan oleh gelombang impor paling tidak sebagian sangat relevan bagi analisis hak asasi manusia dalam kebijakan perdagangan. Terinspirasi dengan metodologi ini, kami mengembangkan daftar pertanyaan untuk menggali data yang digunakan dalam analisis konteks (lihat lampiran 1) yang meliputi aspek-aspek sbb: Impor Dalam rangka memperlihatkan dampak negatif liberalisasi perdagangan (di tingkat makro) harus terdapat kenaikan impor beras yang cukup berpengaruh baik dalam hal volume, nilai, atau kenaikan relatif terhadap produksi dan konsumsi domestik. Dengan demikian diperlukan pengumpulan data dalam hal impor komersial dan impor bantuan pangan dari tiap-tiap negara yang diteliti. Kebijakan-kebijakanpembatasan Kenaikan impor atau bahkan gelombang impor hanya dapat dipertautkan dengan kebijakan liberalisasi perdagangan jika kenaikan dan gelombang tersebut terjadi setelah penerapan kebijakan terkait. Oleh sebab itu diperlukan informasi yang terpercaya dalam hal keberadaan dan pencabutan tindakan proteksi pasar beras, yaitu: tarif impor pelarangan berkala atau tahunan atau kuota tarif lisensi impor persyaratan standar dan teknis tindakan pemulihan perdagangan seperti tindakan pengamanan khusus dalam perjanjian WTO tentang pertanian (AoA) impor minimal atau harga acuan.

3. penDekaTan Dan meToDoLogi

Perjanjianperdaganganeksternaldanpersyaratanyangdiperlukan Butirinisangatpentinguntukmengidentifikasitanggungjawabnegara-negaraselainGhana,Honduras dan Indonesia dalam hal liberalisasi perdagangan dan pelanggaran kewajiban lintas negara dalam pemenuhan hak asasi manusia khususnya hak atas pangan. Sangat penting untuk mengetahui semua perjanjian perdagangan multilateral dan bilateral yang relevan yang ditandatangani oleh negaranegara terkait dan kewajiban-kewajiban yang menyertainya (misalnya pembatasan tariff [bound tariff] sesuai perjanjian WTO tentang pertanian [Agreement on Agriculture AoA]), program penyesuaian struktural (structural adjustment program SAP) dan program-program lain yang terkait dengan perdagangan beras yang oleh IMF dan World Bank dijadikan persyaratan mendapatkan pinjaman. Dumping Kemungkinan pelanggaran kewajiban lintas negara dapat terjadi dalam praktik dumping. Bentukbentuk pelanggaran ini dapat berbentuk pemberian subsidi ekspor beras, program bantuan pangan dan subsidi internal yang pada akhirnya meningkatkan volume ekspor, dan menurunkan harga ekspor. Produksidalamnegeri Di tingkat makro, dugaan terjadinya dampak negatif dari kenaikan impor hanya dapat dibuktikan jika dampak tersebut mengakibatkan penurunan volume dan/atau luasan area produksi lokal, atau paling tidak menghalangi kemungkinan kenaikan produksi (cacat material). Dampak tersebut bervariasi di berbagai wilayah, tergantung dari derajat integrasi pasar, daya saing dan mengalirnya beras impor. Oleh karena itu penelitian ini memerlukan data volume dan luasan area produksi padi berdasarkan wilayah. Impordanhargadalamnegeri Penurunan harga beras di tingkat konsumen dan produsen dalam negeri diduga adalah dampak utama dari gelombang impor. Oleh karena itu penting untuk memiliki data yang memadai tentang perkembangan harga padi dan beras giling impor dan harga lokal komoditas yang sama di tingkat petani, penggilingan padi, grosir dan pedagang eceran. Strukturpasardanpersaingan Penting untuk memasukkan struktur pasar beras sebagai dasar analisis di tingkat mikro. Analisis ini meliputi segmen pasar dan deskripsi pemain utama dalam rantai perdagangan beras dan penguasaan pasar,keterlibatanperusahaandagangnegara,saluranpemasaranberasimpor,danidentifikasipasar dimana produk impor bersaing dengan produk lokal. Biayaproduksidansubsidinegara Dalam rangka membatasi dampak liberalisasi perdagangan, faktor lain harus pula dipertimbangkan antara lain biaya produksi dan subsidi negara. Hilangnya pendapatan (petani) yang mungkin terkait dengan meningkatnya biaya produksi atau berkurangnya subsidi negara. Secara khusus diperlukan data tentang ketersediaan dan besarnya biaya input produksi seperti bibit, pupuk, herbisida, pestisida, irigasi, peralatan/mesin (dan listrik), transportasi (dan bahan bakar), akses terhadap kredit dan suku bunga, subsidi negara dan program dukungan lainnya bagi petani padi. Jelas terlihat tujuan penelitian ini cukup ambisius dan tidak mungkin untuk mendapatkan semua data secara mendalam di ketiga negara yang diteliti. Sebagaimana disebutkan di muka, untuk kasus Honduras dan Ghana kami tidak melakukan analisis kuantitatif melainkan memanfaatkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh FAO dan pihak lain, dilengkapi dengan data dari pemerintah dan organisasi antar pemerintah. Daftar pertanyaan yang digunakan dalam pengumpulan data di ketiga negara yang diteliti digunakan sebagai panduan dalam mengumpulkan data yang relevan juga sebagai panduan bagi perbaikan daftar pertanyaan dalam wawancara semi terstruktur.

29

Dampak LiberaLisasi perDagangan TerhaDap hak aTas pangan komuniTas peTani paDi Di ghana, honDuras Dan inDonesia

3.3.2 Analisis di tingkat komunitasMeskipun analisis makro studi ini tidak seambisius penelitian FAO, namun dalam hal analisis mikro studi ini lebih menantang karena menggali dampak nyata liberalisasi perdagangan terhadap komunitas penghasil beras di ketiga negara yang diteliti. Sampai sejauh ini analisis mikro belum tercakup dalam penelitian FAO, terutama di Honduras dan Ghana. Di tiap negara yang diteliti, masing-masing terdapat satu sampai empat komunitas yang diteliti tergantung situasi setempat. Pemilihan komunitas dilakukan dengan bantuan LSM lokal, organisasi petani dan berdasarkan asumsi terjadinya dampak negatif impor beras terhadap komunitas tersebut. Tujuan utama analisis mikro adalah menggali dampak meningkatnya impor beras terhadap penghidupan dan hak atas kecukupan pangan petani dan keluarganya. 30 Dampak liberalisasi perdagangan digali melalui wawancara semi terstruktur selama sekitar tujuh hari penelitian lapangan di tiap komunitas. Wawancara dalam bentuk diskusi kelompok terfokus dilakukan dengan 15-50 petani. Wawancara perorangan dilakukan dengan tokoh masyarakat, petani dan jika memungkinkan dengan pemilik penggilingan padi dan perempuan pedagang pasar. Di tiap komunitas yang diteliti, minimal lima orang diwawancarai secara perorangan. Mereka dipilih sebagai tindak lanjut diskusi kelompok terfokus dan atas rekomendasi tokoh masyarakat. Dalam rangka mendapatkan data yang representatif, responden dipilih berdasarkan kriteria tertentu seperti gender, usia, dan luas kepemilikan atau pengelolaan lahan. Informasi tentang latar belakang komunitas yang diteliti didapatkan melalui wawancara dengan pemimpin setempat terutama untuk mendapatkan data jumlah penduduk, jumlah petani kecil, infrastruktur yang tersediadansejarahkomunitastermasukkonflikdanbencanaalamyangpernahterjadi.Lebihjauh, wawancara dengan mereka meliputi lembaga sosial dan politik yang ada di komunitas tersebut, sistem penyewaan tanah, organisasi yang ada terkait proses produksi, jenis dan tujuan produksi beras, saluran pemasaran dan dukungan dari pemerintah. Wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang peran beras bagi pendapatan petani kecil dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, juga untuk mendapat gambaran lebih luas tentang masyarakat dalam rangka memastikan bahwa faktorfaktor penting selain situasi perdagangan tercakup dalam analisis secara memadai. Dalam rangka menilai dampak nyata impor terhadap pendapatan petani, bagian yang menentukan dari wawancara baik dengan tokoh masyarakat dan petani kecil difokuskan pada perubahan pola produksi beras - terutama sejak atau selama periode saat impor beras meningkat tajam. Pertanyaan wawancara meliputi perubahan yang terjadi selama kurun tersebut dalam hal volume penjualan padi lokal, harga di tingkat produsen, keuntungan, dan pendapatan produsen. Tantangan analisis di tingkat mikro, sebagaimana halnya di tingkat makro, terletak pada pembuktian adanya hubungan sebab akibat antara impor beras dan dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap petani lokal. Dalam rangka pembuktian tersebut maka sangat penting untuk menganalisis struktur dan saluran pemasaran juga saluran rantai makanan di tingkat lokal dan derajat integrasi pasar petani dan tempat dimana beras lokal dijual. Dampak langsung impor terhadap pendapatan petani hanya dapat diasumsikan terjadi jika beras lokal secara langsung bersaing dengan beras impor. Oleh sebab itupentinguntukmengidentifikasipasarlokaldimanaberasimpordanlokalsama-samadijual,dan menganalisis saluran pemasaran dari tingkat petani melalui pedagang lokal (perempuan pedagang pasar dan lainnya) dan saluran pemasaran dari penggilingan padi ke pasar tradisional atau pedagang eceran. Wawancara dilakukan pula terhadap pemilik penggilingan padi dan perempuan pedagang pasar guna mendapatkan informasi apakah mereka menemukan adanya peningkatan keberadaan beras impor di pasar dimana beras lokal juga dijual, dan apakah penjualan beras lokal menurun sebagai akibatnya dari masuknya beras impor.

3. penDekaTan Dan meToDoLogi

Dalamrangkamengidentifikasiadanyapelanggaranhakataspangan,dampakyangditimbulkanoleh masuknya beras impor harus dilihat sampai pada tingkat dimana ketahanan pangan petani kecil menurun dengan tajam. Jika pendapatan keluarga turun dibawah tingkat tertentu yang berakibat gizi buruk atau berbagai bentuk pelanggaran hak asasi lain sebagaimana tercantum dalam pasal 11 ICESCR, dan jika terbukti bahwa kebijakan tertentu adalah penyebabnya, maka pelanggaran hak atas pangan dapat diasumsikan terjadi. Tugas penting bagi analisis di tingkat mikro adalah untuk menemukan apakah akses terhadap pangan memburuk selama kurun waktu peningkatan impor. Indikator pelanggaran hak atas pangan adalah keluarga petani terpaksa mengurangi kuantitas makan mereka atau terjadi penurunan kualitas pangan karena variasi jenis makan juga terpaksa dikurangi, misalnya pengurangan konsumsi sayuran. Indikator lain yang lebih kuat adalah memburuknya kesehatan keluarga terutama anak-anak, termasuk yang berkaitan dengan kelaparan dan gizi buruk. Hak atas pangan selalu terkait erat dengan hak atas standar hidup yang layak. Ini yang menyebabkan analisis pelanggaran hak atas pangan melibatkan dimensi standar penghidupan yang layak, seperti pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, sandang dan papan. Berdasarkan General Comment no 12 CESCR tentang hak atas kecukupan pangan, biaya yang dikeluarkan oleh rumah tangga untuk memperoleh makanan yang cukup harus berada pada tingkat dimana pencapaian dan pemenuhan kebutuhan pokok lain tidak terancam atau berkurang. 31

3.3.3 Analisis Hak atas PanganAnalisis hak asasi manusia mengkombinasikan temuan makro dan mikro dan mengevaluasinya dari perspektif hak asasi manusia atas pangan. Analisis ini meliputi konteks ekonomi, perilaku negara yang bersangkutan, negara asing dan organisasi antar pemerintah dan dampak yang terjadi di tingkat komunitas. Seperti yang diuraikan sebelumnya, tantangan utama analisis hak asasi manusia adalah membuktikan adanya hubungan sebab antara kebijakan negara dan meningkatnya impor dalam jumlah besar di satu sisi, dan di sisi lain antara peningkatan impor tersebut dengan menurunnya pendapatan dan terjadinya kelaparan atau gizi buruk di komunitas yang diteliti. Analisis hak asasi manusia juga melihat pilihan-pilihan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk mengimplementasikan hak atas kecukupan pangan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Pilihan kebijakan dapat berdampak positif atau negatif terhadap kelompok rentan, dan pemerintah mungkin saja menginvestasikan sumber daya dalam jumlah substansial atau hampir tidak menginvestasikan apapun bagi kelompok tersebut. Tantangan lain adalah untuk membedakan tanggung jawab yang berbeda dari berbagai aktor yangterlibatdalampenerapankebijakanyangdiidentifikasisebagaipenyebabutamakelaparandan gizi buruk. Mengikuti pola yang telah diuraikan di bab 1, analisis hak asasi manusia di ketiga negara meliputi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah negara yang bersangkutan, negara asing dan organisasi antar pemerintah.

4. damPaK imPor beras dan liberalisasi Perdagangan terhadaP haK atas Pangan Komunitas dalun, ghana32

4.1 penDahuLuanHingga beberapa waktu lalu, beras masihlah menjadi komoditas bagi kelompok elit perkotaan, namun permintaan beras di Ghana meningkat tajam selama sepuluh tahun terakhir. Perkembangan ini membuka peluang bagi pertumbuhan produksi beras lokal dan penurunan kemiskinan bagi sekitar 800,000 produsen beras Ghana. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Volume produksi beras lokal justru berkurang, begitu pula dengan luas lahan persawahan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penghasilan petani padi menurun dalam beberapa tahun terakhir ini dan kondisi tersebut sudah dalam taraf yang sangat mengancam situasi kemiskinan dan ketahanan pangan mereka (ActionAid Internasional, 2005). Krisis beras ini memukul keras sebagian penduduk yang miskin dan rentan terhadap kelaparan. Survei standar hidup Ghana menunjukkan bahwa pada tahun 1999, 59,4% penduduk miskin adalah petani dan 70% dari mereka adalah perempuan. Jika di Accra persentase kemiskinan hanya sekitar 2% dari jumlah penduduknya, di pedesaan Savannah angka ini mencapai 70% (lihat UNDP 2005:60). Ada beragam penyebab krisis produksi beras. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa salah satu penyebab utama dari krisis ini adalah meningkatnya impor beras selama periode 1990an dan gelombang impor yang terjadi antara tahun 1998-2003 (FAO 2006). Meningkatnya permintaan dalam negeri direspon oleh pemerintah Ghana dengan membuka keran impor beras terutama dari Amerika Serikat, Vietnam dan Thailand. Akibatnya beras lokal di pasar-pasar di perkotaan Ghana tersingkirkan oleh beras impor. Petani padi di wilayah miskin di Utara Ghana menyaksikan pasar-pasar dijejali beras impor murah dari Amerika Serikat (UNDP 2005:132). Penelitian ini bertujuan menjawab apakah kebijakan perdagangan beras Ghana dan kebijakan yang ada di negara lain telah melanggar hak atas kecukupan pangan petani padi di Desa Dalun yang berada di dekat Ta