41
KEBUDAYAAN LOKAL BANYUMAS Introduction dari sebuah Kajian Tentang Identitas Oleh: Yusmanto

Kebudayaan Lokal Banyumas

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kebudayaan Lokal Banyumas

KEBUDAYAAN LOKAL BANYUMAS

Introduction dari sebuah Kajian Tentang Identitas

Oleh: Yusmanto

Page 2: Kebudayaan Lokal Banyumas

NEGERI CAWAN

Banyumas adalah sebuah kawasan berbentuk cawan dengan dikelilingi gunung-gunung:

• Gunung Slamet di sebelah utara• Gunung Sindoro dan Sumbing di sebelah timur• Pegunungan Kendheng di sebelah barat dan

selatan.

Page 3: Kebudayaan Lokal Banyumas
Page 4: Kebudayaan Lokal Banyumas

MASA PRASEJARAH

Pada awal peradaban wilayah Banyumas diperkirakan berupa rawa-rawa dengan sebuah aliran sungai (Serayu) yang menerabas pegunungan Kendheng dan mengalir ke laut selatan. Masyarakatnya tinggal secara terpisah-pisah, dibatasi oleh hutan, gunung, sungai, rawa, dan semak belukar.

Peninggalan-peninggalan yang tersisa di antaranya situs Batur Agung di wilayah Kecamatan Kedungbanteng dan situs Datar di wilayah Kecamatan Sumbang. Kedua situs ini terdapat di wilayah perbukitan yang bukan merupakan wilayah rawa.

Page 5: Kebudayaan Lokal Banyumas

MASA KLASIKMasa klasik adalah istilah arkeologis untuk menyebut masa persebaran Hindu-Budha di wilayah nusantara. Pada masa klasik di Pulau Jawa berdiri berbagai kerajaan: Mataram Kuno, Kalingga, Kediri, Singasari, Majapahit, Galuh, dan Pejajaran.

Wilayah Banyumas tidak pernah berada di bawah kekuasaan secara langsung dari kerajaan-kerajaan besar tersebut. Hal tersebut diperkirakan karena wilayah ini terdapat di “wilayah antara” dari kerajaan-kerajaan besar di sisi timur (Mataram Kuno, Kalingga, Kediri, Singasari, dan Majapahit) maupun kerajaan-kerajaan besar di sisi barat (Galuh dan Pejajaran).

Page 6: Kebudayaan Lokal Banyumas

MASA ISLAM

Islam masuk ke wilayah Banyumas melalui dua cara, yaitu melalui jalur struktural (pemerintahan) dan non-struktural. Melalui jalur struktural terjadi pada masa pemerintahan Kadipaten Pasir dipimpin oleh Adipati Banyak Blanak. Utusan dari Demak bernama Syeh Makdum Wali diterima dengan baik oleh pihak Pasir. Bahkan Adipati Banyak Blanak ikut berperan dalam proses Islamisasi sampai ke daerah Krawang (arah barat) dan Ponorogo dan sekitarnya hingga wilayah pantai selatan (arah timur). Berkat perannya itu Adipati Banyak Blanak mendapat beberapa anugrah:

Page 7: Kebudayaan Lokal Banyumas

• Wilayah kekuasaan mulai dari Tugu Mangangkang (Sindoro-Sumbing) hingga Udhug-udhug Karawang (sisi timur sungai Citarum).

• Diberi gelar Kanjeng Adipati Mangkubumi.• Kadipaten Pasir lestari sebagai daerah perdikan, yaitu

sebagai daerah otonom dan tidak berkewajiban menyetorkan pajak.

Atas perannya itu Adipati Banyak Blanak mendapat tiga anugrah dari Kerajaan Demak:

Page 8: Kebudayaan Lokal Banyumas

Penyebaran Islam melalui jalur non-struktural dilakukan oleh para ulama yang terjun langsung ke masyarakat dari satu daerah ke daerah lain. Masyarakat Banyumas menyebutnya sebagai kaum maulana.

Salah satu ulama terkenal yang menyebarkan Islam sampai wilayah Banyumas adalah Sunan Panggung yang konon merupakan salah satu murid Syeh Siti Jenar dengan ajaran tasawufnya. Landmark yang masih bisa dijumpai sampai saat ini adalah adanya Masjid Saka Tunggal di Cikakak Kecamatan Wangon.

Page 9: Kebudayaan Lokal Banyumas

MASA KOLONIAL

Ketika wilayah pusat-pusat kekuasaan di nusantara telah dikuasai oleh Belanda, Portugis, dan Inggris, wilayah Banyumas tidak tersentuh atau setidak-tidaknya tidak menjadi wilayah kekuasaan yang diperhitungkan.

Pada masa kolonial, wilayah Banyumas justru menjadi wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan Jawa, yaitu mulai Kerajaan Pajang, Mataram, hingga Surakarta-Yogyakarta.

Page 10: Kebudayaan Lokal Banyumas

Wilayah Banyumas mulai secara resmi menjadi kekuasaan Belanda baru dimulai pasca perang Diponegoro tahun 1830. Kasunanan Surakarta Hadiningrat sebagai pihak yang kalah perang berkewajiban membayar pampasan perang kepada Belanda, maka diserahkannyalah wilayah Dulangmas (Kedu, Magelang, Banyumas).Pada tahun 1830 mulailah diterapkan sistem cultuurstelsel yang memanfaatkan wilayah Banyumas sebagai kawasan emas hijau, berupa hasil bumi yang dijadikan sebagai sumber pendapatan Belanda di nusantara.

Page 11: Kebudayaan Lokal Banyumas

• Cultuurstelsel (harafiah: Sistem Kultivasi) yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa, adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.

• Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.

Page 12: Kebudayaan Lokal Banyumas

Sistem ini berhasil luar biasa. Antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah dan kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.

Wilayah Banyumas pun menjadi ladang yang sangat subur bagi pendapatan Belanda, yaitu mampu memberikan 30% dari seluruh penerimaan Oost Indische di nusantara.

Page 13: Kebudayaan Lokal Banyumas

• Pemerintahan, diserahkan kepada trah ningrat yang tetap lestari dijadikan sebagai bagian dari kekuasaan Kraton Surakarta Hadiningrat dan Yogyakarta Hadiningrat.

• Ekonomi, diserahkan kepada Tionghoa. Pemerintah Hindia-Belanda membangun rumah-rumah sewa dan pasar untuk tempat usaha dagang bagi kaum Tionghoa.

• Tenaga kerja pertanian dan buruh, diserahkan kepada pribumi. Sejak diterapkannya sistem tanam paksa banyak di antara pekerja dari Banyumas dijadikan sebagai kuli kontrak (welver kontrak atau disingkat werk) disebar ke berbagai daerah atau negara seeperti Deli (Sumatra Utara), Melayu, bahkan Suriname.

Di wilayah Banyumas Pemerintah memetakan tiga kekuatan yang sangat berpengaruh bagi perkembangan masyarakat Banyumas:

Page 14: Kebudayaan Lokal Banyumas
Page 15: Kebudayaan Lokal Banyumas

APA YANG DIMAKSUD DENGAN KEBUDAYAAN?

Menurut Koentjaraningrat (1990:181) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sangsakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, rasa dan karsa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. Semua itu merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

Page 16: Kebudayaan Lokal Banyumas

Clifford Geertz: kebudayaan merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan.

E. B Taylor: kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

J.J. Honigmann membedakan adanya tiga gejala kebudayaan, yaitu: (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifact.

Page 17: Kebudayaan Lokal Banyumas

Tujuh Unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat:• Bahasa • Sistem Pengetahuan • Organisasi Sosial • Sistem Peralatan Hidup dan

Teknologi • Sistem Mata Pencaharian • Sistem Religi • Kesenian

Page 18: Kebudayaan Lokal Banyumas

Pergulatan kehidupan suatu kelompok masyarakat membentuk suatu kekuatan yang terpancar dalam berbagai dimensi, mulai dari pola pikir, pandangan terhadap kekuatan adikodrati dan alam, cara bertindak, hingga hal-hal fisik. Semua itu menjadi penanda eksistensi masyarakat yang bersangkutan yang membedakannya dengan kelompok masyarakat lainnya. Kekuatan kedirian semacam ini direpresentasikan melalui berbagai media, baik secara fisik maupun non-fisik. Inilah sesungguhnya substansi dari identitas kebudayaan bangsa-bangsa yang tertuang di dalam wujud kearifan lokal (local geniuous).

IDENTITAS KEBUDAYAAN

Page 19: Kebudayaan Lokal Banyumas

Judith Starkey:Karakteristik umum dan gagasan-gagasan dapat menjadi penanda yang jelas bagi identitas kebudayaan, tetapi secara esensial ditentukan oleh perbedaan: kita merasakan menjadi milik kelompok, dan kelompok mendefinisikan dirinya sendiri sebagai sebuah kelompok, dengan mencatat dan menunjuk perbedaan penting dengan kelompok dan kebudayaan yang lain.

Esensi dari konsep yang ditawarkan Judith Starkey adalah pada perasaan seorang individu sebagai bagian integral dari kebudayaan miliknya serta kemampuan kebudayaan mendefinisikan dirinya sendiri sebagai sebuah sistem yang berbeda dengan kebudayaan yang lain.

Page 20: Kebudayaan Lokal Banyumas

Berdasarkan pendapat Judith Starkey tersebut maka terdapat dua hal penting yang secara bersama-sama berperan bagi hadirnya identitas kebudayaan Banyumas:

• Pertama, kemampuan masyarakat Banyumas mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian kebudayaan Banyumas. Hal ini dapat dilihat dari pola pikir, pola rasa dan tindakan atau aktivitas dalam kehidupan sehari-hari yang mencerminkan dirinya adalah orang Banyumas.

• Kedua, kemampuan kebudayaan Banyumas sebagai suatu obyek sekaligus subyek yang dinamis di tengah pergulatan interaksi kebudayaan. Hal terakhir ini dapat dilihat dari karakter, kekhasan dan atau ciri khusus di dalam aspek-aspek tertentu dari kebudayaan Banyumas yang dapat dijadikan sebagai pembeda dengan ragam kebudayaan lain. Kedua hal tersebut secara bersama-sama menunjukkan karakteristik umum dan gagasan-gagasan yang dengan jelas menjadi penanda bagi munculnya identitas.

Page 21: Kebudayaan Lokal Banyumas

Masyarakat pendukung kebudayaan Banyumas adalah kaum penginyongan, yakni kalangan masyarakat kecil yang umumnya hidup di lingkungan pedesaan. Di dalam diri mereka tersimpan ide-ide atau gagasan-gagasan, cara bertindak serta totalitas pengalaman empirik tentang hidup. Dalam kehidupan masyarakat Banyumas, baik sistem gagasan, tindakan maupun hasil karya manusia tersebut merupakan bagian terpenting bagi munculnya karakter individu yang secara umum memiliki kesamaan antara yang satu dengan lainnya. Ketika individu-individu itu bergabung menjadi kelompok, maka secara sadar maupun tak sadar akan membentuk suatu karakter yang berlaku secara umum. Inilah yang kemudian melahirkan identitas kebudayaan Banyumas.

Page 22: Kebudayaan Lokal Banyumas

Di sisi lain kebudayaan Banyumas yang terbentuk dari sebuah tradisi kerakyatan secara umum memiliki karakter khas sebagai kebudayaan wong cilik. Pada kebudayaan Banyumas dengan jelas dapat dilihat akar kerakyatan sebagai kekuatan utama pembentuk kebudayaan itu. Dengan kata lain esensi kebudayaan Banyumas adalah nafas kerakyatan. Semua itu mampu menjadi satu-kesatuan kekuatan yang berhasil menjadi pembeda dengan kebudayaan Jawa (kraton). Oleh karena itu sekalipun kebudayaan Banyumas masuk dalam ranah kebudayaan Jawa, akar kerakyatan di dalamnya hadir sebagai pembeda yang sangat tegas dengan ciri adiluhung pada kebudayaan Jawa (kraton).

Page 23: Kebudayaan Lokal Banyumas

GELIAT KEBUDAYAAN PINGGIRAN

Dalam konteks perkembangan kebudayaan Jawa, Banyumas seringkali dipandang sebagai wilayah marginal (Koentjaraningrat, 1984) yang berkonotasi kasar, tertinggal dan tidak lebih beradab dibanding dengan kebudayaan yang berkembang wilayah negarigung (pusat kekuasaan kraton) yang dijiwai oleh konsep adiluhung. Kebudayaan Banyumas hadir sebagai kebudayaan rakyat yang berkembang di kalangan rakyat jelata yang jauh dari hegemoni kehidupan kraton.

Page 24: Kebudayaan Lokal Banyumas

Kebudayaan Banyumas terbentuk dari perpaduan antara unsur-unsur kebudayaan Jawa lama dengan pola kehidupan masyarakat setempat. Dalam perjalanannya kebudayaan Banyumas dipengaruhi oleh kultur Jawa baru, kultur Sunda, kultur Islami, dan kultur Barat. Khasanah budaya ini tumbuh berkembang di kampung-kampung, dusun-dusun atau dukuh-dukuh, sebagai wujud local genious dan menjadi bagian integral dari kehidupan komunitas wong cilik.

Kebudayaan Banyumas berlangsung dalam pola kesederhanaan, dilandasi oleh semangat kerakyatan, cablaka (transparency), exposure (terbuka) dan dibangun dari masyarakat yang berpola kehidupan tradisional-agraris. Kecenderungan demikian terutama disebabkan oleh karena wilayah Banyumas merupakan wilayah pinggiran dari kerajaan-kerajaan besar tempo dulu. Perkembangan kebudayaan di daerah ini secara umum berlangsung lebih lambat dibanding dengan kebudayaan yang hidup di lingkungan kraton sebagai pusat kekuasaan raja.

Page 25: Kebudayaan Lokal Banyumas

Letak geografis Banyumas yang berada di daerah perbatasan sebaran budaya Jawa dan Sunda telah memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap pertumbuhan kebudayaan Banyumas. Kedua kebudayaan ini mengalami akulturasi yang demikian kental yang bermuara pada terbentuknya ragam budaya tersendiri yang justru berbeda dengan kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda yang notabene adalah kebudayaan induknya. Pada berbagai aspek dapat dilihat dengan jelas lekatnya percampuran antara kedua kutub budaya tersebut di dalam budaya Banyumas.

Page 26: Kebudayaan Lokal Banyumas

SPIRIT PENGINYONGAN DI TENGAH HEGEMONI KRATON

Dalam kehidupan masyarakat Banyumas, istilah penginyongan atau disebut juga pekulaan merupakan pengakuan secara sadar tentang “siapa saya”. Pengakuan demikian bukan dalam situasi kejiwaan yang jumawa dan tinggi hati, melainkan ungkapan sadar untuk mengakui diri sebagai masyarakat lumrah, orang kebanyakan, wong cilik, tidak menempatkan diri dalam posisi lebih unggul dibanding dengan orang atau kelompok lain. Ada nuansa kegetiran, kekalahan dan kepasrahan di sana. Situasi demikian sangat jauh berbeda dengan “keakuan” yang lebih berkonotasi “inilah saya”; situasi psikologis yang hanya dialami oleh orang-orang yang tengah dalam keadaan menang, memiliki pengaruh dan kekuasaan atau memiliki posisi lebih unggul dibanding pihak lain; keadaan seseorang yang mencitrakan kualitas diri yang hebat, yang agung, yang berpengaruh.

Page 27: Kebudayaan Lokal Banyumas

Penginyongan bagi orang Banyumas adalah sebuah konsep hidup yang berisi cara berpikir orang Banyumas di tengah kehidupan sosial yang heterogen. Ada dua sikap dasar di balik makna kata penginyongan. Pertama, sikap merendah, tidak ngungkul-ungkuli (tidak memandang diri sendiri lebih unggul dibanding orang lain), sikap semadya (tidak lebih unggul, tapi juga tidak rendah). Kedua, sikap jujur, mengakui hal-hal umum yang melekat pada dirinya baik berupa kekurangan maupun kelebihan. Dengan kedua sikap ini, maka kaum penginyongan dapat lepas dari kebohongan dan kamuflase untuk menutupi kelemahan diri. Mereka lepas dari hidup “seolah-olah”; seolah-olah hebat, seolah-olah menang, seolah-olah kaya, seolah-olah kuasa dan seterusnya.

Page 28: Kebudayaan Lokal Banyumas

Konsep penginyongan merupakan wujud resistensi masyarakat Banyumas terhadap hegemoni kekuasaan kerajaan-kerajaan besar pada masa lalu baik kerajaan-kerajaan Jawa maupun kerajaan-kerajaan di tanah Pasundan. Hal ini karena hegemoni kekuasaan kerajaan-kerajaan besar itu berimbas pada dua hal penting, yaitu kekuasaan secara teritorial dan secara kultural.

Kekuasaan secara teritorial terhadap Banyumas sebenarnya baru dimulai pasca Demak yang ditandai Banyumas menjadi bagian dari wilayah kekuasaan dari kerajaan Pajang. Namun demikian kekuasaan secara kultural sudah terjadi sejak lama, yaitu sejak Majapahit atau bahkan mungkin jauh sebelum itu. Kekuasan secara kultural inilah yang paling memiliki dampak bagi pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Banyumas.

Page 29: Kebudayaan Lokal Banyumas

Penginyongan dalam tataran konsep lahir menjadi bentuk resistensi terhadap keberadaan priyayi di Banyumas. Kehadiran kebudayaan kraton di Banyumas menyisakan tradisi priyayi yang menganggap diri mereka sebagai kelompok yang lebih santun, lebih beradab dan lebih unggul dibanding dengan wong cilik. Hal ini mengakibatkan geliat wong cilik untuk mampu eksis di tengah jagad sesrawungan (pergaulan). Mereka pun mengukuhkan jatidiri sebagai sebuah komunitas masyarakat yang memiliki wewaton atau paugeran (konvensi), adat dan tradisi yang berbeda dengan kaum priyayi.

Page 30: Kebudayaan Lokal Banyumas

Konsep penginyongan menjadi spirit yang mendasari setiap gerak langkah seseorang ketika ia menyadari dirinya sebagai orang Banyumas. Mereka menyadari sebagai kaum yang kalah, terjajah, terbelakang, dan kurang informasi. Di sisi lain mereka sadar bahwa mereka memiliki warisan nenek-moyang yang harus mereka jadikan sebagai wewaton dalam hidup. Dua hal inilah yang tak terjamah oleh hegemoni kraton. Bahwa kekalahan dan keterjajahan dapat menyulut api semangat untuk berjuang (struggle) serta mampu survive di segala macam situasi dan kondisi.

Page 31: Kebudayaan Lokal Banyumas

Semua itu terangkum dalam wujud tokoh Bawor dalam pakeliran wayang kulit purwa. Bawor dikenal sebagai tokoh punakawan yang lugas, berani dan jujur (cablaka). Semua itu merupakan sikap batin yang senantiasa ditunjukkan melalui sikap lahir selama mengikuti para ksatria yang menjadi tempat mengabdi. Dalam menjalankan tugasnya sebagai punakawan, Bawor senantiasa memberikan saran dan tuntunan bagi bendara-nya agar mampu menjalankan peran dan tugasnya sebagai pembela kebenaran dan keadilan. Ia tidak segan-segan mengingatkan, apabila bendara yang diikutinya melakukan kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir, berbicara, bersikap dan bertindak yang akan menodai citranya sebagai seorang ksatria.

Page 32: Kebudayaan Lokal Banyumas

MEMBEBASKAN DIRI DARI IMPERIUM KEBUDAYAAN

Salah satu persoalan yang sangat pelik dalam perkembangan sejarah kebudayaan Banyumas adalah wilayah ini begitu lama mengalami masa-masa keterjajahan. Tragisnya lagi, imperialisme di Banyumas tidak sekedar dilakukan oleh bangsa-bangsa Barat pada masa kolonialisme, tetapi juga oleh bangsa sendiri pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Jawa. Paling tidak semenjak era Pajang, Banyumas mulai berada di bawah kekuasaan kerajaan Jawa, yang berlangsung hingga era Mataram dan era Surakarta-Yogyakarta.

Page 33: Kebudayaan Lokal Banyumas

Penjajahan budaya lebih berupa penguasaan psikologis untuk kepentingan kekuasaan raja. Penguasaan secara psikologis ini berimbas pada hampir seluruh sisi kehidupan; fisik-mental. Wilayah Banyumas selain dikuasai dari sisi kewilayahan dan ekonomi, juga dikuasai dari sisi kehormatan, harkat dan martabat kemanusiaan, ideologi, hingga harapan hidup. Sultan Agung di Negeri Mataram memberikan sanepa bagi orang Banyumas sebagai “kebo cinancangan dhadhung adi” (kerbau yang diikat dengan tali berkualitas bagus). Perumpamaan tersebut memiliki makna, apabila orang Banyumas diberi cukup makan dan dipiara dengan baik, maka akan dengan mudah ditaklukkan. Bagi mereka yang menganut sinkretisme, perumpamaan tersebut diterima dengan baik sebagai sebuah realita yang tidak dapat disangkal. Namun, bagi sebagian sesepuh yang merupakan intelektual lokal, perumpamaan demikian adalah sebuah penghinaan Mataram terhadap Banyumas dalam arti yang sesungguhnya.

Page 34: Kebudayaan Lokal Banyumas

Masyarakat Banyumas merasakan betapa kuatnya kekuasaan kraton telah menempatkan Banyumas dalam posisi yang lemah. Semua itu dapat bermakna sebagai usaha pembedaan kelas dan pembodohan. Namun demikian, umumnya mereka tidak memiliki kekuatan untuk melawan kekuasan Mataram. Perasaan menderita dan terjajah telah mendarah-daging, menjadi memori otak kecil yang tergambar melalui perilaku bawah sadar dalam kehidupan sehari-hari. Orang Banyumas umumnya memiliki ciri nrima ing pandum (menerima semua keadaan yang menimpa dirinya), apatis (masa bodoh), dan tidak suka melawan kekuasaan.

Page 35: Kebudayaan Lokal Banyumas

Di kalangan masyarakat Banyumas sendiri kemudian tumbuh dua kelompok masyarakat. Kelompok pertama adalah kelompok priyayi yang terdiri dari para ambtenaar (pegawai pemerintah) dan para trahing aluhur (keturunan ningrat). Mereka adalah kelompok minoritas yang umumnya memegang kendali sistem kehidupan yang dianut bersama, memiliki tempat tinggal yang strategis, dekat dengan fasilitas umum seperti pasar, balai desa dan sekolah. Kalangan kelompok priyayi memiliki pola hidup yang teratur, hidup sehat, berpendidikan serta pola tindakan dan tutur kata halus yang mengacu pada budaya tinggi.

Kelompok kedua adalah wong cilik atau kaum penginyongan yang terdiri dari buruh tani, petani kecil, dan para pedagang. Mereka adalah kelompok mayoritas yang mendiami wilayah-wialayah pinggiran dan cenderung berada dalam posisi siap diperintah oleh kaum priyayi. Kalangan kaum penginyongan cenderung hidup sederhana, apa adanya dan lebih mengutamakan kebersamaan dalam suasana hidup yang berdiri sama tinggi duduk sama rendah.

Page 36: Kebudayaan Lokal Banyumas

Orang Banyumas memiliki sikap yang khas, yaitu pinter madani awake dhewek (pintar mencela diri sendiri). Di daerah ini banyak terdapat ungkapan-ungkapan yang dimaksudkan untuk madani. Misalnya: anak turune si kemrunggi (orang yang dalam hidupnya senantiasa merugikan orang lain), anak turune wong gelung unthil (keturunan orang kecil/rakyat kebanyakan), balung cilik (orang yang memiliki kekuatan terbatas sehingga tidak mampu melakukan hal-hal besar) dan lain-lain. Ungkapan-ungkapan semacam ini ditujukan untuk diri sendiri yang bertujuan untuk menyadari ketidakmampuan dan kekurangannya di dalam pergaulan sosial.

Page 37: Kebudayaan Lokal Banyumas

Di tengah kuatnya pengaruh imperialisme budaya itu, di Banyumas justru lahir banyak aktivitas estetik yang langsung maupun tidak langsung menjadi media ungkap dalam upaya membebaskan diri dari peristiwa imposisi tersebut. Di dalam musik calung, misalnya, tersirat adanya usaha masyarakat Banyumas menjadi dirinya sendiri, tanpa diliputi perasaan tertekan atau terancam oleh pihak luar. Kenyataan demikian dapat menjadi sarana uji kebenaran pendapat Ernst Cassier (1987:240) yang menyatakan bahwa seni merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling hakiki yang menjadikan manusia merasa lebih hidup. Dengan kesenian pula manusia dapat lepas dari beban hidup yang senantiasa menimpa dirinya. Orang Banyumas bisa saja apatis, nglenggana atau nrima ing pandum atau minder terhadap keadaan yang menimpa dirinya. Tetapi semua itu tidak tampak pada tampilan musiknya. Calung justru tampil begitu dahsyat, dengan irama dan tempo yang dinamis, atraktif dan semangat.

Page 38: Kebudayaan Lokal Banyumas

Farida (1994:25) mengemukakan bahwa dalam pembentukan jatidiri seseorang dipengaruhi berbagai macam pengalaman yang dijumpai dalam kehidupannya. Dalam hal ini ada faktor-faktor determinan (penentu) yang berpengaruh terhadap timbulnya motivasi bagi perilaku seseorang yang dapat digolongkan tiga determinan perilaku, yaitu: (1) determinan yang berasal dari lingkungan; (2) determinan yang berasal dari dalam diri sendiri; dan (3) determinan yang merupakan nilai dari obyek. Determinasi yang berasal dari lingkungan dapat dilihat pada perkembangan kebudayaan asing yang merambah ke wilayah sebaran kebudayaan Banyumas. Determinasi yang datang dari dalam diri sendiri terjadi karena adanya harapan, emosi, insting, keinginan, dan lain-lain. Adapun determinasi yang merupakan nilai dari obyek dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu berasal dari dalam diri individu seperti dijumpai pada kepuasan kerja, tanggung jawab, disiplin; dan berasal dari luar individu seperti halnya yang dijumpai ketika seseorang mengharapkan perolehan status dan uang.

Page 39: Kebudayaan Lokal Banyumas

Usaha membangkitkan kembali identitas Banyumas tidak lain adalah membangkitkan totalitas karakter yang tinggal menetap di dalam setiap diri pribadi masyarakat Banyumas dalam konteks kebudayaan dan peradaban masa kini dan masa yang akan datang. Nilai-nilai budaya sebagaimana tercermin melalui ide-ide, tindakan-tindakan maupun hasil karya dari tindakan-tindakan diharapkan dapat ditampakkan pada ‘tampilan perwajahan’ yang dapat diketahui kehadirannya melalui panca indera serta keseluruhan karakter yang lebih bersifat psikologis. Dengan demikian Banyumas sebenarnya bukan sekedar menunjuk wilayah, tetapi juga manusia, sekaligus mind set manusia yang menghuni wilayah tersebut.

Page 40: Kebudayaan Lokal Banyumas

Pada masa sekarang ini, wujud identitas kebudayaan Banyumas yang hendak direngkuh kembali merupakan perpaduan antara konsep lama dan konsep kekinian. Konsep lama terdiri dari spirit Banyumas yang tidak lain adalah spirit masyarakat penginyongan yang tercermin pada semangat kerakyatan yang dibangun dari pola kehidupan tradisional-agraris. Sedangkan semangat kekinian dijiwai oleh nilai-nilai modernisme yang berakar pada konsep berpikir yang rasional, efektif, efisien dan terstruktur. Semua itu diarahkan pada terciptanya kebudayaan Banyumas yang mengindonesia serta berorientasi ke depan sebagai sebuah kelompok masyarakat yang berbudaya dan bermartabat dengan tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal yang merupakan warisan nenek-moyang yang telah menjadi pedoman hidup secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Page 41: Kebudayaan Lokal Banyumas

SEKIAN