112
KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SAKSI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor : 01/ Pid.Sus/ 2011/ PN.TIPIKOR.Smg.) SKRIPSI Oleh : CATUR DHARMAWAN RISDIYANTO E1A008128 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013

KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SAKSI DALAM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI CATUR.pdf · Bidang Kekhususan : Hukum Acara Pidana Judul Skripsi :KEKUATAN PEMBUKTIAN

Embed Size (px)

Citation preview

1

KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SAKSI

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor : 01/ Pid.Sus/ 2011/

PN.TIPIKOR.Smg.)

SKRIPSI

Oleh :

CATUR DHARMAWAN RISDIYANTO

E1A008128

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2013

2

KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SAKSI

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor : 01/ Pid.Sus/ 2011/

PN.TIPIKOR.Smg.)

Diajukan untuk Pra syarat Skripsi pada Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

SKRIPSI

Oleh :

CATUR DHARMAWAN RISDIYANTO

E1A008128

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2013

i

3

PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI

Skripsi ini disusun oleh :

NAMA : CATUR DHARMAWAN RISDIYANTO

NIM : E1A008128

ANGKATAN : 2008

PROGRAM STUDY : Ilmu Hukum

Bidang Kekhususan : Hukum Acara Pidana

Judul Skripsi :KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SAKSI DALAM

TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Terhadap Putusan

Perkara Nomor : 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.

Smg.)

ISI DAN FORMAT TELAH DISETUJUI

Pada Tanggal, November 2013

Menyetujui,

Pembimbing I/Penguji I Pembimbing II/Penguji II Penguji III

4

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya :

Nama : CATUR DHARMAWAN RISDIYANTO

NIM : E1A008128

Judul Skripsi :KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SAKSI

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi

Terhadap Putusan Perkara Nomor :

01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg)

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya

sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang

lain.

Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas,

maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.

Purwokerto, 4 November 2013

CATUR DHARMAWAN RISDIYANTO

NIM E1A008128

iii

5

MOTTO

"Jadilah seperti karang di lautan yang kuat dihantam ombak

dan kerjakanlah hal yang bermanfaat untuk diri sendiri dan

orang lain, karena hidup hanyalah sekali. Ingat hanya pada

Allah apapun dan di manapun kita berada kepada Dia-lah

tempat meminta dan memohon".

”Bukanlah hidup kalau tidak ada masalah, bukanlah sukses

kalau tidak melalui rintangan, bukanlah menang kalau tidak

dengan pertarungan, bukanlah lulus kalau tidak ada ujian,

dan bukanlah berhasil kalau tidak berusaha”

iv

6

PERSEMBAHAN

Syukur Allhamdulilah Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang

telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga Penulis dapat

menyelesaikan Skripsi.

Skripsi ini ku persembahkan sebagai rasa terimakasihku yang tak

terhingga kepada:

Ayah dan Ibu tercinta yang telah membesarkanku, membimbingku

,mendidikku dan senantiasa mendoakanku dan senantiasa memberikan

dukungan baik moril maupun materil, terimakasih ayah dan ibunda atas

kebaikanmu, sungguh ananda tidak bisa membalasnya tetapi ananda

berusaha selalu jadi yang tebaik untuk ayah dan ibunda.

Selain itu Skripsi ini Ku Persembahkan untuk Tunanganku Tercinta.

Terimakasih untuk Pembimbing Akademik saya,

Bpk Waidin, S.H.

Terimakasih kepada para dosen Pembimbing skripsi

saya, Bpk Pranoto, S.H,.M.H, Ibu Handri Wirastuti

Sawitri, S.H,.M.H, Bpk Dr. Hibnu

Nugroho,S.H,.M.H.

Terimakasih untuk semua teman-teman yang sudah

datang diseminarku. v

7

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulisan skripsi dengan judul

“KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SAKSI DALAM TINDAK

PIDANA KORUPSI (Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor :

01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg)” berhasil diselesaikan.

Penulisan ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak, oleh kerena itu perkenankan

penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Angkasa, S.H,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman.

2. Bapak Sanyoto, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Acara

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;

3. Bapak Pranoto,S.H.,M.H selaku pembimbing utama yang telah

memberikan dukungan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini;

4. Ibu Handri Wirastuti Sawitri,S.H.,M.H selaku pembimbing pembantu

yang telah memberikan dukungan dan bimbingan dalam penulisan skripsi

ini.

5. Bapak Dr. Hibnu Nugroho,S,H.,M,H selaku penguji yang telah

memberikan saran-saran yang bermanfaat bagi penulisan skripsi ini;

6. Bapak Waidin, S.H selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah

memberikan arahannnya dalam akademik;

vi

8

7. Orangtuaku yang telah memberikan kasih sayang dan perhatian yang tiada

henti, terimakasih atas doa, bantuan, dan dukungan sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini;

8. Kakak-kakaku, Anwi Warsito, S.H dan Pamadya Romadhona terimakasih

atas kasih sayang, doa dan dukungannya.

9. Siti Samsunah (Bunda) terimakasih atas segala kasih sayang, doa dan

dukungannya yang selalu diberikan setiap saat.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu dalam penulisan skripsi ini.

Akhir kata, kritik serta saran yang membangun sangatlah penulis harapkan

atas skripsi ini yang penulis sadari sepenuhnya masih jauh dari sempurna.

Semoga skripsi ini dengan segal kekurangan dan kelebihannya dapat

bermanfaat bagi pembaca.

Purwokerto, November 2013

Penulis

Catur Dharmawan Risdiyanto

vii

9

ABSTRAK

Pembuktian mempunyai tujuan untuk mencari dan mendapatkan kebenaran

materiil. Oleh karena itu hakim harus berhati-hati, cermat dan matang dalam menilai dan

mempertimbangkan masalah pembuktian seperti diatur dalam KUHAP. Faktor manusia

merupakan penyebab utama terjadinya Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, hal tersebut

terjadi karena adanya kesempatan dan kurang tanggungjawabnya atas kepercayaan yang

diberikan oleh pemerintah kepada pelaku Tindak Pidana Korupsi tersebut. Hakim dalam

kasus ini menggunakan alat bukti Saksi yang digunakan untuk membuktikan kesalahan

terdakwa atas Tindak Pidana Korupsi yang mengakibatkan kerugian perekonomian

Negara. Alat Bukti Saksi merupakan alat bukti keterangan yang menentukan, dan menilai

apakah tindak pidana itu benar-benar terjadi dan dilakukan oleh terdakwa. Berdasarkan

uraian tersebut maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul

“Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Saksi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Terhadap

Putusan Perkara Nomor: 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg?”

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka disusun pokok

permasalahan, pertama bagaimanakah kekuatan pembuktian alat bukti saksi pada Putusan

perkara Nomor : 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg? kemudian yang kedua bagaimana

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dalam Putusan

perkara Nomor : 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg? Spesifikasi penelitian ini

menggunakan spesifikasi penelitian perskriptif, yaitu suatu penelitian untuk mendapatkan

saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah tertentu,

sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder.

Pertimbangan hakim menilai kekuatan alat bukti saksi dalam Tindak Pidana

Korupsi yang menyebabkan kerugian perekonomian Negara pada putusan Pengadilan

Nomor : 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg? adalah sah karena telah terpenuhinya

syarat formil dan syarat materiilnya sebagai alat bukti saksi dengan keterangan beberapa

Pertimbangan hakim pada Putusan Nomor : 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg. dalam

membuktikan kesalahan terdakwa yaitu dengan terpenuhinya batas minimum pembuktian

menurut Pasal 183 KUHAP yaitu sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah

berupa saksi dan keterangan ahli. Penjatuhan pidana 1 (satu) tahun 9 (sembilan) bulan

kepada terdakwa hanya untuk mempertanggungjawabkan secara yuridis atas Tindak

Pidana Korupsi.

Kata kunci : Pembuktian, keterangan saksi, Tindak Pidana Korupsi.

viii

10

ABSTRACT

Proof has the objective to seek and obtain the material truth. herefore judges must

be cautious, careful and mature in assessing and considering the problems of proof as set

out in the Criminal Procedure Code. he human factor is a major cause of Corruption in

Indonesia, it happens because of the lack of opportunity and the responsibility for

keperayaan diberikaan by the government to the perpetrators of Corruption Act. The

judge in this case using the witness evidence used to prove the guilt of the accused on the

Corruption which resulted in loss of the State's economy. Evidence Witness testimony is

decisive evidence, and assess whether the crime actually occurred and performed by the

defendant. Based on these descriptions, the writer is interested in conducting a study titled

"The Power Proof Evidence Witness In Corruption (Studies on Judgment Case Number:

01/Pid.Sus./2011/PN.TIPIKOR.Smg

Based on the background described above, then composed subject matter, first,

how the strength of evidence in the witness evidence Decision Number :

01/Pid.Sus/2011/PN.Tipikor.Smg? then the second how the judge in imposing criminal

judgement against the defendant in Decision Number :

01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg? This study uses the specification specifications

perskriptif research, is a study to get suggestions on what to do to solve a particular

problem, the source data used in this study is a secondary data source.

Consideration judges assess the strength of evidence in the witness Corruption

causes economic losses in the State Court judgment No.

01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg. is legitimate because it has been the fulfillment of

formal requirements and their material conditions as evidence a witness, with the

description of some judges Considerations in Decision Number :

01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg in proving the guilt of the accused is the fulfillment

of the minimum threshold of proof under Section 183 Criminal Procedure Code that at

least with two valid evidence such as witness and expert testimony. Criminal punishment

1 (one) year 9 (nine) months to the defendant legally accountable only to the Corruption

Keywords: Evidence, witnesses, Corruption.

11

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii

PERNYATAAN ............................................................................................. iii

MOTTO .......................................................................................................... iv

PESEMBAHAN ............................................................................................. v

KATA PENGANTAR ................................................................................... vi

ABSTRAK .................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

B. Perumusan Masalah ................................................................. 5

C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 5

D. Kegunaan Penelitian ................................................................ 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 7

A. Pengertian Hukum Acara Pidana ............................................. 7

B. Tujuan Hukum Acara Pidana .................................................. 9

C. Asas-asas Hukum Acara Pidana .............................................. 10

D. Tindak Pidana Korupsi ............................................................ 18

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ..................................... 18

ix

12

2. Pertanggungjawaban Pidana Pada Perkara Tindak Pidana

Korupsi ............................................................................... 19

3. Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ... 20

E. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Saksi dalam Tindak Pidana

Korupsi .................................................................................... 24

1. Pengertian Pembuktian .................................................... 24

2. Teori Pembuktian ............................................................. 25

3. Alat-Alat Bukti ................................................................. 27

a. Alat Bukti Saksi ........................................................ 27

b. Alat Bukti Keterangan Ahli ....................................... 32

F. Pertimbangan Hakim Dalam Memeriksa Perkara Tindak

Pidana Korupsi ........................................................................ 33

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 37

A. Metode Pendekatan ................................................................. 37

B. Spesifikasi Penelitian ............................................................... 38

C. Jenis dan Sumber Data ............................................................ 38

D. Metode Pengumpulan Data ..................................................... 39

E. Metode Penyajian Data ............................................................ 40

F. Metode Analisis Data .............................................................. 40

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................... 41

A. Hasil Penelitian ........................................................................ 41

B. Pembahasan ............................................................................. 79

x

13

BAB V PENUTUP ....................................................................................... 96

A. Simpulan .................................................................................. 96

B. Saran ........................................................................................ 97

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 98

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindakan kejahatan yang dilakukan oleh manusia harus

dipertanggungjawabkan baik di depan masyarakat maupun Tuhan Yang Maha

Esa. Salah satu bentuk pertanggungjawaban atas tindakan tersebut adalah

melalui hukum. Hukum adalah sekumpulan kaidah-kaidah dan/atau norma-

norma yang berlaku di masyarakat dan digunakan sebagai pedoman tingkah

laku dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Keberadaan hukum sangatlah

penting di dalam suatu negara karena hukum dapat mempengaruhi berbagai

segi kehidupan di dalam suatu masyarakat, bangsa maupun negara. Selain itu,

hukum dapat dipergunakan sebagai pengendalian sosial.

Peraturan hukum pidana harus dijamin pelaksanaannya, agar ditaati

oleh masyarakat. Hukum pidana yang mengandung norma hukum dan sanksi

pidana, diterapkan terhadap barang siapa melakukan perbuatan pidana yang

dilakukan dengan kesalahan yang dapat merugikan atau membahayakan

masyarakat. Hukum pidana tidak dapat dilaksanakan apabila tanpa ada aturan

beracara, yaitu untuk proses perkara pidana dan menentukan suatu keputusan

dengan menjatuhkan sanksi pidana atau keputusan lain, kepada seseorang

yang terbukti atau tidak terbukti melakukan perbuatan pidana dengan

2

kesalahannya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu

dilaksanakan melalui hukum acara pidana.1

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah

kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan

menerapakan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan

tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan

pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari

pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah

dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan2.

Pembuktian merupakan bagian yang terpenting dari keseluruhan

proses Hukum Acara Pidana. Hakim memberikan putusannya berdasarkan

atas penilaiannya terhadap pembuktian. Pembuktian bukanlah sesuatu yang

mudah, bahkan untuk kasus-kasus korupsi, pembuktian masih menjadi

sesuatu hal yang rumit, selain itu juga harus diperkuat dengan adanya alat

bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Pengungkapan dalam tindak pidana korupsi yang mengakibatkan

kerugian perekonomian negara, penyidik menggunakan bukti keterangan

saksi untuk membuktikan bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi yang

1Bambang Poernomo, Pandangan Terhadap Azas-azas umum Hukum Acara Pidana,

Liberty : Jakarta 1982. hal. 2.

2Moch Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Mandiri Maju

:Bandung, 2001, Hal. 1.

3

menyebabkan kerugian perekonomian negara, selain itu juga harus

didasarkan pada persesuaian antara keterangan para saksi dengan barang

bukti yang diajukan di persidangan.

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat,

perkembangannya terus meningkat dari tahun ketahun. Meningkatnya tindak

pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak saja

terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan

berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi merupakan

pelanggaran terhadap hak sosial dan hak ekonomi masyarakat3.

Tahapan penegakkan Hukum Acara Pidana (formil) dalam KUHAP

meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang

pengadilan, pelaksanaan dan pengawasan putusan, serta jika diperlukan maka

dilakukan upaya hukum. Tindakan awal dalam pengungkapan suatu perkara

yang sangat penting adalah diadakannya penyidikan, penyidikan dalam

KUHAP Pasal 1 butir 2.

Adanya Hukum Acara Pidana masyarakat diharapkan dapat

menghayati hak dan kewajibannya untuk meningkatkan pembinaan sikap para

pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-

masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat

3Soejono Karni, 17 April 2010, Perkembangan Korupsi Dan Pemberantasan Korupsi Di

Indonesia, http;// SoejonoKarni.worddoress.com/2010;;04/17/Perkembangan-korupsi-dan

pemberantasan-korupsi-di Indonesia.

4

dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi

terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Putusan di Pengadilan Negeri Semarang terdapat suatu kasus

mengenai Tindak Pidana korupsi yang mengakibatkakan kerugian

perekonomian nasional, kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya,

terbukti melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia.

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dan di tambah dengan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam

Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Drs.

Arief Zainuddin, MM dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 9

(sembilan) bulan serta menjatuhkan pidana denda Rp. 50.000.000,- (lima

puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar

diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

Dari keterangan beberapa saksi maka benar terdakwa Drs. Arief

Zainuddin MM terbukti menggelapkan surat, menyalahgunakan wewenang

dan melakukan tindak pidana korupsi yang bertujuan menguntungkan atau

5

memperkaya diri sendiri dengan cara menjual mobil inventaris Daihatsu

Terios.

Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk mengadakan

penelitian yang berjudul “KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SAKSI

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Terhadap Putusan Perkara

Nomor: 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.SMG).”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis

mengambil pokok permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kekuatan pembuktian alat bukti saksi dalam tindak pidana

korupsi pada Putusan perkara Nomor : 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.

Smg?.

2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memeriksa perkara Tindak Pidana

Korupsi dalam Putusan perkara Nomor: 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.

Smg?.

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti saksi dalam tindak

pidana korupsi pada Putusan perkara Nomor:

01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memeriksa perkara Tindak

Pidana Korupsi dalam Putusan perkara Nomor : 01/Pid.Sus/2011/

PN.TIPIKOR.Smg.

6

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan Hukum

Acara Pidana khususnya dalam kekuatan pembuktian alat bukti saksi

putusan mengenai tindak pidana korupsi.

2. Kegunaan Praktis

a. Diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan bagi

mereka yang bergerak dalam bidang hukum khususnya Hukum Acara

Pidana.

b. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan serta

pengetahuan bagi para pihak yang berkompeten dan berminat pada hal

yang sama.

c. Untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan analissis

penulis, khususnya dalam Hukum Acara Pidana.

d. Untuk memperoleh data yang akan dipergunakan oleh penulis dalam

penyusunan skripsi sebagai syarat dalam mencapai gelar sarjana

dalam Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hukum Acara Pidana

Hukum Acara Pidana merupakan hukum formil, dimana hukum

formil ini bertugas menegakkan hukum meteriil pidana yang telah dilanggar.

Hukum acara pidana sering dianggap sebagai cabang ilmu hukum yang

sempit yang menjadi bagian dan ilmu pengetahuan hukum positif . Bahkan

ada suatu pendapat bahwa hukum acara pidana tidak dapat dipelajari

sebagaimana lazimnya sebagai ilmu karena berkedudukan sebagai hukum

pelengkap terhadap hukum pidana materiil, sedangkan hukum pidana itu

sendiri sekedar sanksi belaka karena berfungsi mempertahankan norma yang

berada diluar hukum pidana atau hukum yang tidak berdiri sendiri.

Hukum Acara Pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana) bertujuan untuk mencari dan mendapatkan kebenaran

materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara

pidana. Memelihara dan mempertahankan tata tertib dan keamanan Negara,

tidak cukup hanya diatur oleh hukum pidana saja. Karena agar pelaku

8

kejahatan dapat diajukan kemuka sidang pengadilan, harus melalui prosedur

tertentu yang diatur oleh peraturan yang tersendiri.4

Tentang ruang lingkup Hukum Acara Pidana, R. Soesilo5 berpendapat

bahwa hukum pidana formil adalah kumpulan peraturan-peraturan yang

mengatur soal-soal sebagai berikut :

a. Cara bagaimana harus diambil tindakan-tindakan jikalau ada

sangkaan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana;

b. Cara bagaimana mencari kebenaran-kebenaran tentang tindak

pidana apakah yang telah dilakukan;

c. Setelah ternyata bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan, siapa

dan cara bagaimana harus mencari, menyelidiki dan menyidik

orang-orang yang disangka bersalah melakukan tindak pidana itu;

d. Cara menangkap, menahan dan memeriksa orang itu;

e. Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa

dan menggeledah badan dan tempat lain serta menyita barang-

barang itu untuk membuktikan kesalahan dari tersangka;

f. Cara bagaimana pemeriksaan didalam sidang pengadilan terhadap

terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana; dan

g. Oleh siapa dan dengan cara bagaimana putusan penjatuhan pidana

itu harus dilakukan dan sebagainya.

Selanjutnya Andi Hamzah6 menyebutkan dalam bukunya :

“Ruang lingkup hukum pidana yang luas, baik hukum pidana

substantif (materiil) maupun hukum acara pidana (hukum pidana

formal) disebut hukum pidana. Hukum acara pidana berfungsi untuk

menjalankan hukum acara pidana substantif (materiil), sehingga

disebut hukum pidana formal atau hukum acara pidana. Hukum

pidana formal (hukum acara pidana) mengatur tentang bagaimana

Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana

4Moch Faisal S, Op.Cit. hlm. 1-2.

5R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar Lengkap Pasal Demi

PasaL. (Politea : Bogor)1983. hal 3 6Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. (Sinar Grafika : Jakarta)

2008. hlm. 2-4.

9

dan menjatuhkan pidana. KUHAP tidak memberikan definisi tentang

hukum acara pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan,

penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya

hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan

lain-lain. Seperti yang telah diuraikan dalam Pasal 1 KUHAP”.

B. Tujuan Hukum Acara Pidana

Tujuan Hukum Acara Pidana secara singkat adalah “Mencari

Kebenaran Materiil”. Hakim untuk menemukan kebenaran materiil itu

dibatasi oleh surat dakwaan jaksa. Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan

hakim tidak hanya terbatas pada surat dakwaan saja. Akan tetapi untuk

memperkuat keyakinannya, hakim dapat meminta bukti-bukti dari kedua

pihak yaitu terdakwa dan penuntut umum, begitu pula dengan saksi-saksi

yang diajukan oleh kedua belah pihak. Tujuan hukum acara pidana mencari

kebenaran, tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban,

ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan di dalam masyarakat.

Tujuan dari Hukum Acara Pidana ialah untuk menemukan suatu

kebenaran, dan berdasarkan kebenaran itu akan diterapkan suatu putusan

hakim yang melaksanakan suatu peraturan hukum pidana.

Menurut pendapat R. Soesilo7:

“Tujuan hukum acara pidana pada hakekatnya memang mencari

kebenaran.Para penegak hukum mulai dan polisi, jaksa, sampai pada

Hakim dalam menyelidik menuntut dan mengadili perkara senantiasa

harus berdasar kebenaran, harus mendasarkan hal-hal yang sungguh-

7R. Soesilo, Op, Cit, Hlm 19

10

sungguh terjadi. Untuk itu dibutuhkan petugas-petugas selain yang

berpengalaman luas, berpendidikan yang bermutu dan berotak yang

cerdas, juga berkepribadian yang tangguh yang kuat mengelakkan

dan menolak segala godaan”

Tujuan Hukum Acara Pidana pada pedoman pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang dikeluarkan

oleh menteri Kehakiman sebagai berikut:

“Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran

yang selangkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan

menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat

dengan tujuan untuk mencarii siapakah pelaku yang dapat didakwakan

melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta

pemeriksaan dan putusan dan pengadilan guna menemukan apakah

terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang

yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.

C. Asas-Asas Hukum Acara Pidana

Dalam Hukum Acara Pidana terdapat ketentuan-ketentuan, asas-asas

yang menjadi dasar yang mengatur. Asas-asas tersebut adalah :

a) Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan

Cepat artinya melaksanakan peradilan diharapkan dapat

diselesaikan dengan sesegera mungkin dan dalam waktu yang

singkat.

Sederhana mengandung arti bahwa dalam menyelenggarakan

peradilan dilakukan dengan simpel, singkat dan tidak berbelit-belit.

Biaya ringan berarti penyelenggaraan peradilan dilakukan dengan

menekan sedemikian rupa agar terjangkau oleh pencari keadilan,

11

menghindari pemborosan, dan tindakan bermewah-mewahan yang

hanya dapat dinikmati oleh yang berduit saja.

Maka dari itu Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yang dianut

di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana sebenarnya merupakan penjabaran dari Pasal 2 ayat (4) Undang-

Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009, yang

menghendaki agar pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia berpedoman

kepada asas cepat, tepat, sederhana dan biaya yang ringan.

Pencantuman peradilan cepat di dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana cukup banyak yang diwujudkan

dengan istilah “segera”. Peradilan cepat merupakan suatu sistem peradilan

untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim,

karena di dalam penahanan terdapat suatu pengekangan yang berupa

kebebasan sehingga dalam hal ini dapat melanggar hak asasi manusia.

M. Yahya Harahap8 berpendapat mengenai asas sederhana dan biaya

ringan ada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana, bahwa :

1. Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti

rugi yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami

kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang

dilakukan oleh terdakwa (Pasal 98);

2. Banding tidak dapat diminta terhadap putusan dalam “acara cepat”

3. Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti

rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai

8 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan Penuntutan) Edisi Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2001), hal. 54.

12

pelaksanaan dari prinsip mempercepat dan menyederhanakan

proses penahanan;

4. Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungsional, nyata-nyata,

memberi makna menyederhanakan penanganan fungsi dan

wewenang penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolak-balik,

tumpang tindih atau overlapping dan saling bertentangan.

b) Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocence)

Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocence) telah

disebutkan dalam Penjelasan Umum butir 3c Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dan Pasal 8 Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu :

Penjelasan Umum Butir 3 Huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 Tentang Hukum Acara Pidana :

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau

dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak

bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan

kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman :

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, dituntut, dan/atu

dihadapkan di muka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah

sampai dengan adanya putusan pengadilan yang menyatakan

kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.

M. Yahya Harahap9 berpendapat bahwa :

“Dapat disimpulkan pembuat undang-undang telah menetapkannya

sebagai asas hukum yang melandasi KUHAP dan penegakan

hukum (law enforce). Dengan asas praduga tak bersalah yang

9Ibid.hal. 40.

13

dianut KUHAP memberi pedoman kepada aparat penegak hukum

untuk menggunakan prinsip akusatur dalam setiap pemeriksaan”

c) Asas Oportunitas

Negara Indonesia mempunyai suatu badan khusus yang diberi tugas

dan wewenang untuk melakukan penuntutan pidana terhadap pelaku tindak

pidana disebut penuntut umum. Penuntut umum itu disebut juga dengan

jaksa. Pengertian mengenai penuntut umum dan jaksa diatur dalam KUHAP

sebagai berikut :

Pasal 6 Huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana :

“Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini

untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Pasal 6 Huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana :

“Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-

undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan

penetapan hakim”.

Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum, sebagai

monopoli artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut

dominus litis di tangan penuntut umum atau jaksa. Dominus berasal dari

bahasa latin, yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta delik yang

diajukan kepadanya. Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan dari

penuntut umum.

14

Pengertian asas oportunitas menurut A. Z Abidin Farid seperti yang

dikutip dalam bukunya Andi Hamzah10

sebagai berikut :

“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum

untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat

seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi

kepentingan umum.”

d) Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum

Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum tercantum dalam

Pasal 153 ayat (3) dan (4).

Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana :

”Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang

dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara

mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.

Pasal 153 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana :

“Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan (3) mengakibatkan

batalnya putusan demi hukum”.

Bambang Poernomo11

, memberikan penjelasan mengenai asas

pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum yang diuraikan sebagai

berikut:

“Menyatakan bahwa sifat terbuka di sidang pengadilan dimaksudkan

agar khalayak ramai dapat mengikuti dan mengawasi jalannya

10

Andi Hamzah, Op.Cit.,hal. 17. 11

Bambang Poernomo, Op. Cit., hal 153.

15

pemeriksaan pengadilan, bukan dalam arti masuknya orang-orang

dalam ruangan pengadilan. Bisa saja terjadi, seseorang yang ingin

mendengarkan pemeriksaan ditolak untuk masuk di ruangan sidang

yang luasnya terbatas, akan tetapi dipersilahkan mengikuti melalui

alat pengeras yang dipasangkan di halaman gedung. Kejadian yang

demikian tidak bertentangan dengan asas Terbuka Untuk Umum”.

Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 195 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana secara tegas merumuskan :

”Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila

diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.

e) Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum

Asas yang umum ini telah dianut oleh beberapa negara. Asas

perlakuan orang sama di depan hukum biasa disebut sebagai equality before

the law. Asas ini secara tegas tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-

Undang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum butir 3 huruf a

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman :

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-

bedakan orang.”

Penjelasan umum butir 3 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana :

“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum tidak

mengadakan perbedaan perlakuan”.

Dari hal tersebut diatas dapat dilihat bahwa di dalam memperlakukan

orang yang berhadapan hukum diperlakukan sama dan tidak dibeda-bedakan

16

antara yang satu dengan yang lain baik antara polisi, jaksa, hakim, gubernur,

pejabat maupun terhadap masyarakat. Sehingga setiap orang dalam

menjalankan hak dan kewajibannya diperlakukan sama di depan hakim.

f) Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan

Tetap

Pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh

hakim karena jabatannya dan bersifat tetap, untuk jabatan ini diangkat hakim-

hakim yang tetap oleh kepala negara. Ini disebut dalam Pasal 31 Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang

merumuskan :

“Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang

diatur dalam Undang-Undang”.

Menurut D. Simons sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi

Hamzah12

, menyatakan sebagai berikut :

“Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di Negara

Belanda yang dahulu juga menganut sistem juri pula, tetapi sejak

tahun 1813 dihapuskan.Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru

sistem itu dari Inggris.Karena banyaknya kelemahan-kelemahan

sistem tersebut maka Jerman juga tidak menganutnya.”

g) Asas Akusator dan Inkusitor (Accusatoir dan Inqusitoir)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

telah menganut asas akusator hal ini telah dibuktikan ketentuan adanya

kebebasan memberi dan mendapatkan nasehat hukum.

12

Andi Hamzah, Op.Cit.,Hal. 22.

17

M. Yahya Harahap13

berpendapat bahwa, asas akusatur atau prinsip

akusator yang menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap

tingkat pemeriksaan:

1. Adalah subjek : Bukan menjadi objek pemeriksaan, karena itu

tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam

kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri,

2. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah

“kesalahan” (tindak pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa.

Kearah itulah pemeriksaan ditujukan.

Kebalikan dari asas akusator adalah asas inkusitor, asas inkusitor

bahwa tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan yang masih dianut

oleh HIR untuk pemeriksaan pendahuluan. Asas inkusitor memandang bahwa

pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting. Oleh karena itu,

pemeriksa berusaha untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka dengan

segala cara baik dengan tindakan kekerasan atau penganiayaan.

Sesuai dengan Hak Asasi Manusia yang telah dianut oleh beberapa

negara secara universal maka asas inkusitor telah ditinggalkan banyak negara,

dan hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum acara pidana

Indonesia

h) Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan

Andi Hamzah14

Berpendapat bahwa Pada pemeriksaan dipengadilan

dilakukan oleh hakim secara langsung kepada tedakwa dan sanksi, berbeda

13

M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hal. 40. 14

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta : Sinara Grafika, 2001, hal

10-23

18

dengan acara perdata dimana terdakwa dapat diwakili oleh kuasanya.

Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, bukan tertulis antara hakim

dan terdakwa, dimana hakim bisa mengorek keterangan lebih jauh baik

kepada terdakwa, maupun kepada saksi-saksi untuk mencari keterangan.

Pengertian dari asas ini bahwa pemeriksaan di sidang pengadilan

dilakukan oleh hakim secara langsung yaitu kepada terdakwa dan para saksi.

Dalam pemeriksaan hukum acara pidana berbeda dengan hukum acara

perdata dimana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan juga

dilakukan secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa.

D. Tindak Pidana Korupsi

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin:

corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat,

badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya

penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfia dari

korupsi dapat berupa :

1. Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan

ketidakjujuran.

2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok

dan sebagainya.

3. Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai

kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.

4. Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan

uang sogok dan sebagainya);

5. Koruptor (orang yang korupsi).

19

Baharuddin Lopa15

mengutip pendapat dari David M. Chalmers,

menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang

menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di

bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa korupsi diartikan:

1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang

secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau

perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau

diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut

merugikan keuangan Negara (Pasal 2);

2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang

lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan

secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian

Negara (Pasal 3).

3. Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal

209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.

2. Pertanggungjawaban Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pertanggungjawaban

pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu:

15

Hartanti Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika, Bumi Aksara Group 2005. Hal 9.

20

1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang

terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan

badan hukum.

2. Pegawai Negeri adalah meliputi :

a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang tentang Kepegawaian;

b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana;

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan

negara atau daerah;

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi

yang menerima bantuan dari keuangan negara atau

daerah; atau orang yang menerima gaji atau upah dari

korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas

dari negara atau masyarakat.

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

3. Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim

terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :

a. Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi

1) Pidana Mati

Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara

melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau

perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang

dilakukan dalam keadaan tertentu.

21

2) Pidana Penjara

a. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua

ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan

hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan

keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat

1)

b. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak

satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap

orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya

karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan

keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)

c. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling

lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit

Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi

setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi

atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding

pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para

saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)

d. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling

lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.

150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling

banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi

setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal

29, pasal 35, dan pasal 36.

3) Pidana Tambahan

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang

tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan

untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,

termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana

korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang

menggantikan barang-barang tersebut.

22

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-

banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak

pidana korupsi.

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu

paling lama 1 (satu) tahun.

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau

penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu

yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada

terpidana.

e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama

dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta

bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk

menutupi uang pengganti tersebut.

f. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang

mencukupi untuk membayar uang pengganti maka

terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak

memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya

sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo

undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana

tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

b. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas

Nama Suatu Korporasi

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda

dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan

pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1) sampai

(5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:

1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau

atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan

penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi

dan/atau pengurusnya.

23

2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila

tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik

berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan

hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi

tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu

korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh

pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat

diwakilkan kepada orang lain.

4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus

korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat

pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa

ke siding pengadilan.

5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap

korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan

menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan

kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau

ditempat pengurus berkantor.

Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi adalah :

1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi;

24

2. Perbuatan melawan hukum;

3. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;

4. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana

yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya

dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang

lain.

E. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Saksi Dalam Tindak Pidana Korupsi

1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam

proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan

nasib terdakwa, maka dari itu apabila hasil pembuktian dengan alat-alat

bukti yang ditentukan Undang-Undang tidak cukup membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa harus

dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa dapat

dibuktikan menggunakan alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-

Undang, maka kepadanya akan dijatuhkan hukuman.

Oleh karena itu hakim harus cermat dan matang dalam

mempertimbangkan nilai pembuktian.

Pembuktian merupakan titik sentral pemerikasaan perkara dalam

sidang pengadilan. Tujuan dari pembuktian itu sendiri adalah untuk

mencari dan mendapatkan kebenaran materiil, bukan untuk mencari

kesalahan seorang.

MenurutYahya Harahap16

:

16

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP jilid II, (Sinar

Grafika : Jakarta) 1985. hlm. 769.

25

“Pembuktian ialah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan

pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-Undang

dan yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan

yang didakwakan kepada terdakwa”.

Pernyataan ini dipertegas dalam penjelasannya yaitu :

“Pembuktian juga merupakan suatu ketentuan yang mengatur alat-

alat bukti yang dibenarkan menurut Undang-Undang dan yang boleh

dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan dari seorang

terdakwa.”17

Yahya Harahap18

juga menyatakan :

“Sehubungan dengan pembahasan sistem pembuktian, ada prinsip

yang sangat perlu untuk dibicarakan, yakni masalah asas minimum

pembuktian. Minimum pembuktian yang dianggap cukup memadai

untuk membuktikan kesalahan terdakwa, sekurang-kurangnya atau

paling sedikit dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah. Jelasnya,

untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus merupakan:

a. Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah

dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan

ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut harus saling

bersesuaian, saling menguatkan, dan tidak saling bertentangan

antara satu dengan yang lain;

b. Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu merupakan

keterangan dua orang saksi yang saling berkesesuaian dan

saling menguatkan, maupun penggabungan antara keterangan

seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal keterangan

keduanya saling berkesesuaian”.

2. Teori Pembuktian

MenurutYahya harahap19

, Ilmu Hukum Acara Pidana dikenal ada

beberapa teori sistem pembuktian, yaitu :

a. Conviction-in Time

Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seseorang

terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan”

17

Ibid. 18

M. Yahya Harahap, Op. cit. hlm. 262-263. 19

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal 277-278.

26

hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian

kesalahan terdakwa. Darimana hakim menarik dan

menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi masalah dalam

sistem ini.

b. Conviction- Raisonee

Sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap

memegang peranan peranan penting dalam menentukan salah

tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini,

faktor faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem

pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa

tanpa batas, maka dalam sistem ini keyakinan hakim harus

didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib

menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari

keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya keyakinan

hakim dalam sistem ini harus dilandasi reasoning atau alasan-

alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasar

alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai

dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima

akal. Tidak semata-mata atas alasan keyakinan yang tertutup

tanpa uraian alasan yang masuk akal.

c. Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif

Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif merupakan

pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian

menurut keyakinan atau conviction-in time. Keyakinan hakim

dalam sistem ini, tidak ikut berperan menurut salah atau

tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip

pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-

undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa

semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”.

Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian

menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan

terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim.

d. Pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif

(Negatief Wettelijk Stelsel)

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif

merupakan teori antara pembuktian menurut undang-undang

secara positif dengan pembuktian menurut keyakinan atau

conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang

secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem

yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari

keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-

undang secara negatif “menggabungkan” ke dalam dirinya

secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan

sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.

27

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia mengikuti

Prinsip dari teori pembuktian Negatief Wettelijk seperti yang dimaksud

dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman juncto Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Dalam sidang pembuktian, hakim wajib menganut sistem pembuktian

berdasarkan Undang-Undang negatif (negatifef wetterlijk). Hal ini sesuai

Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana, yang merumuskan sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

3. Alat Bukti

Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan mengenai alat

bukti yang sah yaitu:

a. Keterangan Saksi

b. Keterangan Ahli

c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan Terdakwa

a. Keterangan saksi

Keterangan Saksi adalah suatu alat bukti dalam perkara pidana yang

berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia

28

dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan

alasan dari perbuatannya itu.

Pengertian keterangan saksi dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat (27)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana sebagai berikut :

“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara

pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu

perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia

alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”

Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup, hal ini terdapat

pada prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana. Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan

kesalahan seorang terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-

kurangnya dengan dua alat bukti. Keterangan seorang saksi saja, baru

bernilai sebagai satu alat bukti yang harus ditambah dan dicukupi dengan

alat bukti lain. Jadi, bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai

alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau “unus

testis nullus testis“.

Kemudian, dasar pertimbangan kebenaran keterangan saksi. Seorang

hakim berpegang pada empat hal yang tercantum dalam Pasal 185 ayat (6)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang

29

Hukum Acara Pidana. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dasar pertimbangan

kebenaran keterangan saksi tidak termasuk pertimbangan (BAP) dan pada

waktu persidangan.

Pasal 185 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan :

“Adapun dalam menilai kebenaran seorang saksi, hakim harus

dengan sungguh-sungguh memperhatikan :

1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;

2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan

keterangan yang tertentu;

4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada

umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu

dipercaya”.

Hakim wajib menganut sistem pembuktian berdasarkan Undang-

Undang negatif (negatief wetterlijk), yaitu menggunakan dua alat bukti yang

sah menurut Undang-Undang. Hal ini sesuai Pasal 183 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,

yang merumuskan sebagai berikut :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Sebagaimana menurut D. Simons yang dikutip oleh Andi Hamzah20

mengatakan bahwa :

20

Ibid. Hal. 252.

30

“Teori berdasar keyakinan hakim yang didasarkan kepada keyakinan

hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan

perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan

dimungkinkan tanpa didsarkan kepada alat-alat bukti dalam Undang-

Undang”.

Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti

yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada

perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.

Hampir semua perkara pidana, selalu bersandar pada pemeriksaan saksi.

Sekurang-kurangnya, di samping pembuktian dengan alat bukti lain, masih

diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Maka dari itu

untuk menjadi seorang saksi harus memenuhi syarat materiil dan formil.

Menurut ketentuan Pasal 1 butir 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang

dimaksud dengan saksi adalah:

“Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyididkan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana

yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 butir 27 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana, yang dimaksud dengan keterangan saksi adalah:

“Salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang merupakan

keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia

dengar sendiri, yang ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan

menyebut alasan dari pengetahuannya ini”.

31

a) “Yang ia dengar”, bukan hasil cerita atau hasil pendengaran orang

lain. Harus langsung secara pribadi didengar oleh saksi sendiri

tentang peristiwa pidana.

b) “Yang ia lihat sendiri”, berarti pada waktu kejadian ataupun

rentetan peristiwa pidana yang terjadi, sungguh-sungguh

disaksikan oleh mata kepala sendiri.

c) “Ia alami sendiri”, biasanya saksi yang seperti ini adalah orang

yang menjadi korban peristiwa pidana tersebut. Terutama dalam

bentuk-bentuk peristiwa pidana kejahatan perkosaan maupun

kejahatan penganiayaan, korban yang dapat dijadikan sebagai

saksi utama dari peristiwa pidana yang bersangkutan.21

Selain syarat materiil seperti yang diuraikan diatas, hukum acara

mengatur syarat lain yang disebut syarat formil, yaitu Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana mengatur para pihak yang tidak dapat

didengar keterangannya sebagai saksi dan dapat mengundurkan diri

sebagai saksi. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 168 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana :

“Kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini, maka tidak dapat

didengar katerangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi” :

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau

kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-

sama sebagai terdakwa.

21

M. Yahya Harahap ,Op. Cit, hlm 145.

32

b. Saudara dan terdakwa atau yang bérsama-sama sebagal terdakwa,

saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai

hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa

sampal derajat ketiga

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang

bersama-sama sebagai terdakwa.

Kemudian saksi wajib disumpah. Hal ini sesuai dengan Pasal 160

ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana :

“Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucap sumpah atau

janji menurut agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan

keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang

sebenarnya”.

Andi Hamzah22

mengatakan bahwa :

“Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucap

janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi

hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan

hakim”.

b. Keterangan Ahli

Menurut Andi Hamzah23

, bahwa keterangan ahli yaitu:

Pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan

yang telah dipelajarinya tentang sesuatu apa yang diminta

pertimbangannya, oleh karena itu sebagai seorang saksi ahli seseorang

dapat didengar keterangannya mengenai persoalan tertentu yang menurut

pertimbangan hakim orang itu mengetahui bidang tersebut secara khusus.

22

Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 263. 23

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), Hal.

282

33

Keterangan ahli diatur dalam Pasal 186 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

“Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang

pengadilan”

Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang

memiliki keahilan khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat

terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan

ahil maupun keterangan saksi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana dinyatakan sebagai alat bukti yang sah.

Akan tetapi keterangan saksi dan ahli yang diberikan tanpa disumpah tidak

mempunyai kekuatan pembuktian melainkan hanya dapat dipergunakan

untuk menambah atau menguatkan keyakinan hakim.

F. Pertimbangan Hakim Dalam Memeriksa Perkara Tindak Pidana

Korupsi

Dalam Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan

penjelasan tentang hakim,yakni : Hakim adalah pejabat peradilan negara yang

diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Kata “mengadili”

didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 9 KUHAP, adalah serangkaian tindakan

hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan

asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.

34

Hakim adalah profesi yang menentukan seorang pencari keadilan

untuk mendapatkan keadilan terhadap peristiwa yang terjadi padanya. Untuk

memberikan keadilan seorang hakim dalam proses peradilan melakukan

tindakan.

Tindakan pertama yang dilakukan oleh hakim adalah menelaah

tentang peristiwa yang diajukan kepadanya. Setelah itu memberikan

pertimbangan atas peristiwa itu serta menghubungkannya dengan hukum

yang berlaku, untuk selanjutnya memberikan suatu kesimpulan dengan

menyatakan suatu hukum terhadap peristiwa hukum melalui putusan hakim24

.

Putusan hakim merupakan puncak dari peradilan yang memberikan

dampak kepada pihak yang berperkara ataupun pencari keadilan. Seorang

hakim dalam memutus sebuah perkara mempertimbangkan layak atau

tidaknya terdakwa dijatuhi pidana oleh seorang hakim didasarkan oleh

keyakinan hakim dan sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua) alat bukti yang

sah, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana. Dalam Passal tersebut tidak hanya hakim dan keyakinannya

yang berperan dalam persidangan, namun juga adanya alat bukti untuk

menggali kebenaran materiil.

Kebenaran materiil yang dicari dalam proses peradilan pidana melalui

beberapa tahapan. Dalam tahapan tersebut agenda sidang pembuktian

mencerminkan peristiwa yang terjadi berdasarkan alat bukti yang dihadirkan

di sidang peradilan oleh jaksa penuntut umum dan atau penasihat hukum.

24

Saleh, K .Wantjik. 1977. Kehakiman dan Peradilan. Jakarta: Ghalia Indonesia, Hal. 39.

35

Pada tahap pembuktian, hakim dapat melihat dari alat bukti yang dihadapkan

pada hakim dan hakim berhak menilai dari keterangan dan barang bukti.

Ketentuan Pasal 180 KUHAP menyatakan bahwa dalam hal jika diperlukan

untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan,

hakim ketua sidang dapat meminta bantuan keterangan ahli dan dapat pula

meminta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.

Keyakinan hakim ini dapat mendasari hakim dalam pertimbangan

hukum untuk memutus sebuah perkara pidana khususnya perkara tindak

pidana korupsi, namun dalam hal pertimbangan hukum dalam format putusan

pemidanaan yang tertera dalam Pasal 197 KUHAP tidak memuat adanya

keyakinan hakim dituliskan dalam pertimbangan hukum. Sehingga

dikhawatirkan dalam membuat putusan pemidanaan terhadap perkara tindak

pidana korupsi hakim hanya mengikuti kehendak dari hakim ketua atau ada

hakim yang hanya ikut memberikan suara dalam pertimbangan hukum

putusan pemidanaan. Hal tersebut berpotensi menimbulkan putusan yang

kurang sesuai dengan rasa keadilan yang diharapkan oleh masyarakat.

Hakim wajib menganut sistem pembuktian berdasarkan Undang-

Undang negatif (negatief wetterlijk), yaitu menggunakan dua alat bukti yang

sah menurut Undang-Undang. Hal ini sesuai Pasal 183 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,

yang merumuskan sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar

terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

36

Sebagaimana menurut D. Simons yang dikutip oleh Andi

Hamzah25

mengatakan bahwa :

“Teori berdasar keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada

keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah

melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini,

pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti

dalam Undang-Undang”.

Dalam pemeriksaan saksi pada Putusan Nomor :

01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg, hakim mendasarkan pada sistem

pembuktian berdasar Undang-Undang secara negatif. Keyakinan hakim tetap

ada tetapi bukan atas keyakinan itu saja yang menjadi pembuktian final.

Keyakinan hakim menjadi dasar pertimbangan untuk menilai apakah alat-alat

bukti yang ditentukan undang-undang sudah terpenuhi.

Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang

paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara

pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua

perkara pidana, selalu bersandar pada pemeriksaan saksi. Sekurang-

kurangnya, di samping pembuktian dengan alat bukti lain, masih diperlukan

pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

25

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, Hal. 252

37

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data

sekunder, sehingga penelitian yang digunakan adalah dengan

pendekatan yuridis normatif, 26

yaitu penelitian yang difokuskan untuk

mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum

positif27.

Amiruddin dan Zaenal Asikin28

menyatakan bahwa :

“Pada penelitian seperti ini seringkali hukum dikonsepkan

sebagai sesuatu yang tertulis di dalam perundang-undangan

(Law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau

norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang

dianggap pantas”.

Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah

metode penelitian hukum Normatif karena dalam penelitian ini

menganalisis secara normatif Putusan Nomor : 01/Pid.Sus/2011/

26

Ronny Hanityo Soemitro, 1994, metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia

Indonesia, Jakarta, hal.9 27

Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.,(Malang;

Bayumedia Publishing),hal. 295. 28

Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali

Pers, Jakarta, hal.118

38

PN.TIPIKOR. SMG atas terdakwa Drs Arief Zainuddin apakah telah

benar dalam amar putusasnnya.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

spesifikasi penelitian deskripstif. Menurut Soerjono Soekanto29

dalam buku Pengantar Penelitian Hukum dijelaskan sebagai berikut:

“Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan

untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia,

keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan

keadaan objek masalahnya tanpa bermaksud mengambil

kesimpulan yang berlaku umum.”

Selain itu pengertian deskriptif Menurut Bambang Soenggono,

yaitu penelitian yang menggambarkan keadaan obyek yang akan

diteliti.30

Dalam hal ini penulis mencoba menggambarkan analisa

terhadap Putusan Nomor : 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.SMG atas

terdakwa Drs. Arief Zainuddin baik dalam segi kwalifikasi tindak

pidana, pertimbangan hakim, fakta persidangan dan lainnya.

3. Jenis dan Sumber Data

Pada penulisan ini sumber data yang diperlukan adalah data

sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder.

Dari bahan hukum tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

29

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), hal.10. 30

Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,

hal.35.

39

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang kekuatan

hukum mengikat. Bahan hukum primer yang digunakan dalam

penelitian ini terdiri dari peraturan perundang-undangan yaitu

Undang-Undang Nomor s8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan isinya tidak

mengikat, terdiri dari pustaka di bidang ilmu hukum, penelitian di

bidang ilmu hukum, jurnal hukum, artikel ilmiah, laporan hukum,

berita, eksaminasi publik dan semua publikasi baik dari media

cetak maupun elektronik.

4. Metode Pengumpulan Data

Sumber data diperoleh dengan melakukan Inventarisasi perundang-

undangan dokumen resmi dan literatur, kemudian dicatat berdasarkan

relevansinya dengan pokok permasalahan untuk kemudian dikaji

sebagai suatu kajian yang utuh.

40

5. Metode Penyajian Data

Data yang disajikan berbentuk teks naratif yang disusun secara

sistematis. Maksudnya adalah keseluruhan data primer yang diperoleh

akan dihubungkan dengan data sekunder yang didapat serta

dihubungkan satu sama lain dengan pokok permasalahan yang diteliti

sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.

6. Metode Analisis Data

Metode analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis

kualitatif yaitu data yang diperoleh akan dianalisis dengan

menjabarkan dan menginterpretasikan data yang berlandaskan pada

teori-teori ilmu hukum (Theoritical Interpretation) yang ada.31

Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan sebagai jawaban

terhadap permasalahan yang diteliti.

31

Ronny H. Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia,

hal.93.

41

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Studi Kasus tentang Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Saksi dalam

Tindak Pidana Korupsi terhadap Putusan Nomor:

01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg yang dilakukan di wilayah hukum

Pengadilan Negeri Semarang, diperoleh data berdasarkan buku-buku literatur

dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pokok

permasalahan. Berdasarkan Studi Kasus tersebut maka diperoleh data-data

sebagai berikut:

1. Duduk Perkara

Pada Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor:

01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg telah dilakukan tindak pidana karena

melakukan tindakan yang dapat merugikan perekonomian bangsa dan negara

oleh terdakwa AZ selaku Pegawai Negeri Sipil, NIP. 195806071988031005,

diangkat sebagai Sekretaris Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Kota

Semarang oleh Walikota Semarang dengan Surat Keputusan Walikota

Semarang Nomor : 821.2/30/2008, tanggal 30 Desember 2008. Sebagai

Sekretaris BPPT Kota Semarang Terdakwa diserahi sebuah kendaraan

(mobil) dinas, operasional berupa Daihatsu Terios, Merk/Type F70ORG-TS,

tahun pembuatan 2008, tahun perakitan 2008, warna hitam, Nomor Polisi H-

42

9530-RS sesuai dengan Berita Acara Serah Terima Kendaraan Dinas Roda

Empat Nomor : 024/I, tanggal 05 Januari 2009 ditandatangani oleh Saksi MS

dan terdakwa AZ yang berisi bahwa saksi MS jabatan Kepala BPPT Kota

Semarang selaku Pihak Pertama menyerahkan mobil dinas kepada terdakwa

AZ jabatan Sekretaris BPPT Kota Semarang sebagai Pihak Kedua untuk

digunakan sebagai kendaraan operasional Sekretaris BPPT Kota Semarang

berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Pada hari yang sudah tidak dapat diingat lagi pada bulan Mei 2010

Terdakwa meminjam BPKB Kendaraan (Mobil) Dinas Operasional tersebut

kepada saksi H selaku Kasubag Umum BPPT kota Semarang dengan alasan

BPKB tersebut akan diserahkan ke Bagian Rumah Tangga Pemerintah Kota

Semarang oleh Terdakwa untuk perpanjangan pajak kendaraan, kemudian

pada bulan Mei sampai awal bulan Juni 2010 bertempat dirumah Terdakwa

telah membuat sendiri Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman

Modal, Pemberdayaan BUMD dan Aset Daerah (BKPMDA) Kota Semarang

Sekarang Berubah menjadi BPPT Kota Semarang Nomor : 024.2/127/1 Juni

2008 tentang Pelepasan Mobil Daihatsu Terios dengan identitas Nomor Polisi

H-9530-RS yang selanjutnya menjadi hak milik Terdakwa AZ dengan Berita

Acara Serah Terima mobil tanggal 31 Juli 2008 yang menerangkan saksi HK

jabatan Kepala BPPT Kota Semarang telah menyerahkan sebuah mobil

Daihatsu Terios Nomor Polisi H-9530-RS beserta BPKB nya kepada

Terdakwa AZ dan sebuah tanda terima uang Rp. 80.000.000,- (Delapan Puluh

43

Juta Rupiah) tanggal 1 Juni 2008 dari Terdakwa guna membayar mobil

Daihatsu Terios dengan Nomor Polisi H-9530-RS.

Setelah surat-surat selesai dipalsukan maka terdakwa mengendarai

mobil dinas yang sudah berplat hitam menuju ke Kendal dengan maksud

untuk mencari pinjaman uang sebesar Rp. 30.000.000,- (Tiga Puluh Juta

Rupiah) dengan jaminan BPKB kendaraan dinas operasional Daihatsu Terios

Nomor Polisi H-9530-RS tersebut. Sesampainya di Kendal Terdakwa

bertemu dengan Saksi HR di Kendal dan Terdakwa mengutarakan niatnya

untuk mencari pinjaman kemudian saksi HR menyarankan terdakwa untuk

bertemu dengan Saksi MM selaku Pemilik Showroom BB Motor yang ada di

Kendal, kemudian Terdakwa menemui saksi MM bersama dengan saksi HR,

setelah mereka bertemu dan mencapai kesepakatan dan terdakwa diberi

pinjaman sebesar Rp. 100.000.000,- dari Showroom BB Motor dengan syarat

Mobil Daihatsu Terios berserta STNK dan BPKB nya ditinggal di Showroom

BB Motor sebagai jaminan.

Pada hari itu Terdakwa diberi uang Rp. 45.000.000,- oleh saksi MM

sebagai uang muka Pembelian Mobil Daihatsu Terios tersebut dan dibuatkan

kwitansi pembayaran pertanggal 5 Juni 2010 dengan catatan mobil akan

diambil setelah 1 bulan terhitung mulai tanggal 5 Juni 2010 dengan catatan

jika tidak diambil syah menurut jual beli.

Pada hari senin 7 Juni 2010 dilakukan pembayaran lagi oleh saksi

MM kepada Terdakwa sebesar Rp. 55.000.000,- dan dibuatkan kwitansi

tanggal 7 Juni 2010 sebesar Rp. 100.000.000,- guna pembayaran satu buah

44

mobil Daihatsu Terios dengan catatan mobil akan diambil setelah satu bulan

terhitung mulai tanggal 5 Juni 2010 dan jika tidak diambil syah menurut jual-

beli sehingga total pembayarannya sebesar Rp. 100.000,000-. Bersamaan

dengan diterimanya uang dari saksi MM maka Mobil Daihatsu Terios Nomor

Polisi H-9530-RS menyertakan Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi

Penanaman Modal Pemberdayaan BUMD dan Aset-aset Daerah (BKPMDA)

Kota Semarang Nomor : 024.2/127 tanggal 1 Juni 2008 tentang pelepasan

Mobil Daihatsu Terios dengan identitas Nomor Polisi H-9530-RS yang

selanjutnya menjadi hak milik terdakwa dan Berita Acara serah terima mobil

tanggal 31 Juli 2008. Oleh karena tidak mengindahkan ketentuan yang diatur

dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Dakwaan

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka Terdakwa didakwa

melakukan Tindak Pidana Korupsi dengan dakwaan kombinasi / Alternatif

Komulatif dengan membuktikan dakwaan yang dikomulatifkan yaitu dakwaan

pertama kesatu melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun

1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dan kedua melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3. Pembuktian

Pembuktian di persidangan memeriksa beberapa alat bukti yaitu:

45

a. Keterangan Saksi

Keterangan saksi yang intinya menerangkan sebagai berikut:

1. Saksi ke-1 (MS)

Masdiana Safitri, SH menjabat sebagai Kepala Badan Pelayanan

Perijinan Terpadu (BPPT) Kota Semarang sejak tanggal 31 Desember 2008

sampai sekarang. Terdakwa saat itu menjabat sebagai Sekretaris Badan

Pelayanan dan Perijinan Terpadu (BPPT), dengan adanya kasus ini terdakwa

sekarang dinonaktifkan.

Sebagai Sekretaris BPPT Terdakwa mendapat fasilitas mobil operasional

sekretariat berupa mobil Daihatsu Terios Nomor Polisi H-9530-RS, warna

hitam dengan plat nomor warna merah, sebelum saksi menjabat sebagai

Kepala BPPT Kota Semarang, mobil Daihatsu Terios tersebut sudah

digunakan oleh Terdakwa tetapi tidak ada serah terimanya.

Pada tanggal 5 Januari 2009 saksi membuat Berita Acara Serah Terima

Kendaraan Dinas Roda Empat Nomor : 024/I yang isi nya adalah Saksi

selaku Kepala BPPT Kota Semarang menyerahkan mobil dinas Daihatsu

Terios Nomor Polisi H-9530-RS kepada Terdakwa selaku Sekretaris BPPT

Kota Semarang dengan ketentuan :

1. Tidak boleh memindah tangankan atau meminjamkan/ menjual

kendaraan roda empat tersebut kepada pihak lain ;

2. Tidak boleh menggunakan kendaraan roda empat tersebut untuk

kepentingan pribadi;

46

3. Jika diperlukan unutk kepentingan dinas sanggup menyerahkan

kendaraan dinas tersebut ;

4. Berkewajiban memelihara kendaraan dinas tersebut ;

Mobil operasional Sekretaris BPPT Kota Semarang tersebut yang

bernomor polisi H-9530-RS tersebut telah dijual oleh Terdakwa kepada

seseorang di Kendal antara bulan Juni tahun 2010, Saat bulan Juni 2009

tersebut Terdakwa jarang datang ke kantor dan pada bulan Juni 2009 mobil

dinas operasional Daihatsu Terios H-9530-RS juga tidak pernah ada di

kantor, Saksi membuat Surat Teguran ke I tanggal 10 Agustus 2010 dan Surat

Teguran Ke II tanggal 20 Agustus 2010, untuk mengklarifikasi alasan

Terdakwa tidak masuk kantor dan untuk mengklarifikasi pemakaian mobil

dinas Daihatsu Terios H-9530-RS yang tidak semestinya. Terhadap Surat

Teguran tersebut,Terdakwa menjelaskan bahwa mobil Daihatsu Terios

tersebut telah dijual kepada orang Kendal dan Sampai sekarang mobil dinas

tersebut belum dikembalikan oleh Terdakwa;

Penjualan atau penghapusan suatu mobil dinas harus sesuai dengan

prosedur yang ada dan juga harus melalui ijin serta permohonan dari

Pemerintah Kota Semarang di bagian perlengkapan, Mobil dinas yang bisa

dihapuskan atau dilelang adalah mobil yang usianya sudah tua dan tidak bisa

diperbaiki lagi atau biaya perawatannya mahal, sedangkan mobil dinas

Daihatsu Terios H-9530- RS masih berusia muda karena diadakan pada

tahun 2008, Mobil dinas tersebut diberikan kepada jabatannya bukan orang

perseorangan, Kepada yang diserahi mobil dinas tersebut diserahkan mobil

47

dan STNKnya saja, sedangkan BPKBnya disimpan di Sub Bagian Umum,

Menurut peraturan terbaru, BPKB disimpan di Bagian Rumah Tangga Setda

Kota Semarang.

Setelah ada pemberitaan tentang mobil dinas di surat kabar, saksi dilapori

oleh Sub Bagian Umum bahwa BPKB mobil Daihatsu Terios H-9530-RS

dipinjam oleh Terdakwa dengan alasan untuk perpanjangan STNK dan untuk

diserahkan ke Bagian Rumah Tangga Setda, Pengadaan mobil dinas yang

dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal, Pemberdayaan

BUMD & Aset Daerah (BKPMPB&A) Kota Semarang yang sekarang

berubah nama menjadi BPPT Kota Semarang adalah Daihatsu Terios Nomor

Polisi H-9530- RS, Saksi meminta Terdakwa untuk membawa mobil dinas ke

kantor, tapi Terdakwa berbelit-belit bilang kalau mobil ada di bengkel,

setelah ada klarifikasi terdakwa mengaku kalau mobil dijual di Kendal,

perbuatan Terdakwa menjual mobil dinas tersebut melanggar Klausul yang

ada pada Berita Acara Serah Terima Kendaraan Dinas Roda Empat Nomor :

024/I , tanggal 5 Januari 2009, Mobil dinas tersebut merupakan aset

Pemerintah Kota Semarang sehingga Negara telah dirugikan, Terhadap

keterangan saksi tersebut Terdakwa menyatakan benar dan tidak ada

tanggapan.

2. Saksi-2 (HK)

Saksi saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman

Modal Pemberdayaan BUMD dan Aset Daerah (BKPMPB&A) Kota

Semarang dari bulan April 2007 sampai dengan bulan Desember 2008,

48

Terdakwa AZ saat itu juga menduduki jabatan sebagai Sekretaris

BKPMPB&A, Mulai Januari 2009 BKPMPB&A berubah menjadi BPPT,

selanjutnya saksi diganti oleh Saksi MS sebagai Kepala BPPT kota Semarang

dan Terdakwa juga masih menjabat sebagai Sekretaris BPPT, Pada tahun

2008 BKPMPB&A pernah mengadakan pengadaan mobil dinas operasional

jenis Daihatsu Terios Nomor Polisi H-9530-RS, dengan sistem lelang, saksi

menyerahkan mobil dinas tersebut kepada Kepala Bidang Pengawasan Sdr,

Kartono untuk kendaraan operasional, STNK dan BPKB mobil dinas tersebut

atas nama Pemerintah Kota Semarang dan warna Tanda Nomor Kendaraan

surat :

a. Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal

Pemberdayaan BUMD dan Aset Daerah Kota Semarang Nomor :

024.2 / 127 tentang Pelepasan Mobil Daihatsu Terios dengan

identitas Nomor Polisi H-9530-RS yang selanjutnya menjadi Hak

Milik AZ tanggal 1 Juni 2008 ;

b. Berita Acara Serah Terima Mobil dari Saudara kepada AZ tanggal

13 Juli 2008;

c. Kwitansi Tanda Terima uang sebesar Rp.80.000.000 ,00 (delapan

puluh juta rupiah ) dari AZ untuk pembayaran Mobil Daihatsu

Terios No. Pol H-9530- RS ;

Tandatangan yang ada pada surat-surat tersebut bukan tanda tangan

saksi, Saksi juga pernah ditelepon oleh Terdakwa yang mengatakan terdakwa

minta maaf kepada saksi karena terdakwa telah memalsukan tandatangan

49

Saksi, Pada saat itu BPKB Mobil Daihatsu Terios No. Pol . H-9530-RS

dipegang oleh Kasubag Umum (Sdr. Bachtiar Effendi).

Tahun 2009 ada ketentuan dari Sekretariat Daerah Kota Semarang, maka

semua Aset Daerah termasuk BPKB Mobil tersebut harus diserahkan dan

disimpan dibagian Rumah Tangga Pemerintah Kota Semarang.

3. Saksi-3 (H)

Saksi adalah Kasubag Umum dan Kepegawaian pada BBPT Semarang

sejak bulan Januari 2009, sedangkan terdakwa merupakan atasan atasan

langsung saksi yaitu sebagai sekretariat BPPT Kota Semarang, sebagai

sekretaris BPPT Kota Semarang Terdakwa memperoleh fasilitas berupa mobil

operasional Daihatsu Terios H-9530-RS warna hitam plat nomor warna merah

STNK dan BPKB atas nama Pemerintah Kota Semarang, Mobil tersebut

pengadaan tahun 2008 oleh BKPMPB&A dan terdaftar dalam infentaris BPPT

Kota Semarang Nomor urut 211.

Pada akhir tahun 2009 saksi menerima BPKB kendaraan Dinas Daihatsu

Terios H-9530- RS dari saksi Bachtiar Effendi (Kasubag Umum BPPT yang

lama), Saksi pada awal tahun 2010 membuatkan konsep Berita Acara

Penyerahan Kendaraan Dinas Roda Empat dari Ibu Masdiana sebagai Kepala

BPPT kepada terdakwa AZ selaku Sekretaris BPPT dan melaporkan kepada

Terdakwa selaku atasan langsung mengenai BPKB Kendaraan Dinas Daihatsu

Terios H-9530-RS sekarang disimpan oleh saksi, Saksi meminta pendapat,

apakah BPKB tersebut tetap disimpan saksi atau diserahkan ke Bagian Rumah

Tangga Pemerintah Kota Semarang.

50

Sekitar bulan Mei 2010 Terdakwa meminta BPKB Kendaraan Dinas

Daihatsu Terios H-9530-RS kepada saksi dengan alasan akan diserahkan ke

bagian Rumah Tangga Pemerintah kota Semarang dan akan digunakan untuk

perpanjangan pajak STNK, Saksi mau menyerahkan BPKB kendaraan tersebut

karena Terdakwa selaku atasan langsung, dan Terdakwa juga beralasan BPKB

akan diserahkan ke Bagian Rumah Tangga Pemkot Semarang serta untuk

perpanjangan pajak STNK mobil, Saksi sebagai Kasubag Umum pernah

menanyakan kepada Terdakwa tentang keberadaan BPKB mobil tersebut dan

keberadaan mobil tersebut karena mobil dinas Daihatsu Terios jarang ada

dikantor BPPT Kota Semarang, Terdakwa saat itu juga Menerangkan

mengenai BPKB sudah diserahkan ke Bagian Rumah Tangga Pemerintah Kota

Semarang sedangkan mobil dinas tersebut berada di bengkel.

Saksi pernah melaporkan kepada Kepala BPPT Kota Semarang setelah

masalah mobil dinas tersebut muncul di Koran, Kendaraan dinas Daihatsu

Terios H-9530-RS tersebut sampai sekarang belum dikembalikan oleh

Terdakwa ke BPPT Semarang, menurut informasi dari atasan saksi, mengenai

mobil tersebut telah dijual kepada seseorang di Kendal.

4. Saksi-4 (BE)

Terdakwa merupakan Sekretaris BPPT Kota Semarang yang sebelumnya

bernama Badan Koordinasi Penanaman Modal Pemberdayaan BUMD dan Aset

Daerah (BKPMPB&A)

Pada saat itu Saksi selaku Kasubag Umum dan kepegawai pada Badan

Koordinasi Penanaman Modal Pemberdayaan BUMD dan Aset Daerah

51

(BKPMPB&A) sejak tahun 2002 sampai akhir 2008, Saksi telah dimutasikan

sebagai Kasubbid Pemberdayaan BUMD pada BPPT semarang dan Saksi

diganti oleh Sdr. Hartuti.

Pada tahun 2008 BKPMPB&A mengadakan Pengadaan Mobil Dinas

merek Daihatsu Terios Nomor Polisi H-9530-RS warna hitam dengan cara

lelang umum, setelah proses lelang tersebut kemudian surat-suratnya keluar

maka mobil tersebut saksi serahkan selaku Kasubag Umum kepada Sdr.

Kartono selaku Kabid Pengawasan BPPT Semarang pada tanggal 12 Desember

2008, dengan Berita Acara Serah Terima atas Perintah kepala BKPMPB&A.

Mobil tersebut digunakan untuk kendaraan operasional kantor Kepala Bidang

Pengawasan BPPT Kota Semarang, dan memang mobil tersebut boleh dibawa

pulang.

Pembiayaan Operasional semua kendaraan dinas dilakukan oleh

Pemerintah kota Semarang, misalnya perpanjangan STNK, Ganti Oli serta

service, Mobil dinas tersebut diserahkan kepada Sdr. Kartono selaku Kabid

Pengawasan beserta STNK nya, sedangkan BPKB kendaraan tidak diserahkan

karena disimpan diSub Bagian Umum BPPT Kota Semarang, BPKB memang

tidak diperkenankan untuk diserahkan kepada Pengguna Mobil, saksi

mengetahui mobil dinas Terios tersebut ternyata dipakai oleh Terdakwa sejak

akhir Desember 2008, tetapi Saksi itidak mengetahui alasannya, pikiran saksi

karena Terdakwa memiliki jabatan Eselon III a sedangkan Sdr.Kartono

memiliki jabatan Eselon III b.

52

Pada bulan Desember 2009 BPKB kendaraan operasional tersebut saksi

serahkan kepada Sdr.Hartuti selaku Kasubag Umum BPPT yang baru

menggantikan Saksi bertempat di BPPT Kota Semarang, pada pertengahan

tahun 2010 Saksi tidak melihat mobil operasional tersebut berada dikantor

BPPT dan tidak pernah dipakai oleh Terdakwa, dengan tidak ada mobil dinas

tersebut maka operasional BPPT Kota Semarang terganggu, sesuai peraturan

internal ada ketentuan bahwa mobil operasional tidak boleh dipindah

tangankan, dijual, atau digadaikan.

5. Saksi-5 (K)

Mobil dinas yang dipakai terdakwa awalnya dipakai oleh Kasubag Umum,

kemudian diserahkan kepada saksi pada tanggal 12 Desember 2008, untuk

kendaraan operasional saksi selaku Kabid Pengawasan BPPT Kota Semarang,

bahwa saksi memakai mobil dinas Daihatsu Terios H-9530-RS tersebut hanya

15 hari kemudian mobil dinas tersebut diminta oleh Terdakwa selaku

Sekretaris BPPT. Saksi menyerahkan mobil dinas tersebut dengan Berita Acara

Serah Terima tanggal 30 Desember 2008 yang ditandatangani oleh Saksi dan

Terdakwa , saat itu Kepala BKPMPB&A Kota Semarang sedang cuti ibadah

haji.

Saksi mengetahui yang ditunjuk sebagai Pejabat sementara Kepala

BKPMPB&A adalah dari luar BKPMPB&A, mobil tersebut saksi serahkan

kepada Terdakwa tidak melalui Kepala atau Kasubag Umum karena

pemahaman saksi , mengenai Jabatan Terdakwa Eselon III a sedangkan Saksi

Eselon III b, karena itu ketika Terdakwa meminta mobil dinas tersebut, saksi

53

langsung menyerahkan, dan saksi hanya diberikan kendaraan operasional

Toyota Kijang Kapsul yang sebelumnya dipakai oleh Terdakwa. Pada awal

bulan Agustus 2010 Saksi dipanggil oleh Kepala BPPT Kota Semarang (Ibu

Masdiana) di ruangan beliau bersama dengan Kepala Bidang yang lainnya ,

kemudian diberitahukan mengenai mobil dinas Daihatsu Terios telah

digadaikan oleh Terdakwa AZ.

Saat rapat pemanggilan tersebut Terdakwa tidak ikut dalam ruangan itu

karena terdakwa tidak masuk kantor, setelah 1 (satu) minggu ada utusan dari

Showroom “BB” yang datang menghadap Kepala BPPT Kota Semarang untuk

mengklarifikasi masalah mobil tersebut, saat mengklarifikasi Saksi dan

Terdakwa AZ ikut didalam ruangan Kepala BPPT dan saat itu diperoleh

informasi bahwa mobil dinas Daihatsu Terios Nomor Polisi : H-9530-RS

tersebut telah dijual oleh Terdakwa AZ ke Showroom BB Kendal seharga

Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah),

Saat itu juga Terdakwa AZ membenarkannya dan bersedia untuk

mengembalikan mobil tersebut sekitar 1 minggu, tetapi sampai sekarang mobil

tersebut belum dikembalikan oleh Terdakwa, saksi melihat terakhir mobil

dinas Daihatsu terios No.Pol. H-9530-RS tersebut telah dipakai oleh AZ ke

Kantor sekitar bulan Juni 2010, saat Kepala BKPMPB&A Kota Semarang

sedang cuti ibadah haji , Terdakwa menjabat sebagai PLH Kepala

BKPMPB&A Kota Semarang berdasarkan memo kepala kepada Walikota.

54

6. Saksi-6 (Mohamad Muslich)

Saksi bekerja sebagai Pengelola Showroom BB Motor Kendal bergerak

dibidang jual-beli mobil yang terletak di Jalan Raya Soekarno Hatta Nomor

106 Kendal, terhitung sejak 2006 sampai saat ini.

Saksi bertemu dengan Terdakwa AZ pada hari Sabtu tanggal 05 Juni 2010,

dan ketika itu saksi berada di showroom BB Motor-Kendal, Kemudian datang

karyawan bernama Dudek Ardian bersama orang yang mengaku bernama Heri

dan Terdakwa AZ yang intinya menawarkan mobil Daihatsu Terios, warna

hitam, Nomor Polisi : H-9530-RS, pada saat itu Dudek Ardian menawarkan

kepada Saksi, mobil merek Daihatsu Terios berasal dari Lelang Mobil di

Pemkot Semarang. Nomor Polisi H-9530-RS, plat sudah hitam, BPKB komplit,

di lengkapi surat lelang, slip gaji, KTP atas nama Drs. Arief Zainuddin, MM,

Sdr. Heri meyakinkan saksi yang pokoknya menyatakan AZ sebagai orang

yang dapat dipercaya dan Terdakwa AZ meyakinkan saksi juga yang intinya

mobil tersebut tidak bermasalah.

Saat itu Terdakwa memakai baju dinas dan Terdakwa juga menunjukan

dan menyerahkan Surat sebagai pemenang lelang mobil Daihatsu Terios,

BPKB Asli, STNK asli , Berita Acara Serah Terima kepada Terdakwa, dan

KTP asli Terdakwa, serta slip gaji, mobil menggunakan plat hitam, sedangkan

BPKB dan STNK atas nama Pemerintah Kota Semarang, Tedakwa juga

meyakinkan mengenai mobil tidak ada masalah, dan Saksi juga yakin karena

Terdakwa memakai baju dinas dan penampilannya meyakinkan, Awalnya

Terdakwa meminta untuk dipinjami uang sebesar Rp. 30.000.000,- ( tiga puluh

55

juta rupiah ) dengan jaminan BPKB Mobil tersebut, saksi saat itu tidak mau

dengan permintaan tersebut karena di Showroom BB Motor tidak ada sistem

seperti itu, lalu saksi menawarkan kalau mau mobil dan surat-suratnya

ditinggal.

Saksi menyetujui penawaran itu dengan harga disepakati Rp.

100.000.000,- (seratus juta rupiah), selanjutnya pada saat itu akan dibayar dulu

sebesar Rp. 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah) sedangkan sisanya

sebesar Rp. 55.000.000, - ( lima puluh lima juta rupiah) diserahkan kepada

Terdakwa pada tanggal 07 Juni 2010, setelah uang Rp.45.000.000,- (empat

puluh lima juta rupiah ) tersebut saksi serahkan kepada Terdakwa lalu

dibuatkan kwitansi sebesar Rp.45.000.000, - (empat puluh lima juta rupiah )

dengan catatan “unit akan diambil setelah 1 bulan, terhitung mulai tanggal 5

Juni 2010, dan apabila tidak diambil, sah menurut jual beli”.

Maksud catatan tersebut mengenai terdakwa diprioritaskan untuk membeli

kembali mobil dalam jangka waktu 1 bulan, dan mobil tersebut tidak akan

dijual kepada orang lain selama 1 bulan, dan apabila dibeli kembali oleh

Terdakwa maka saksi akan diberi keuntungan, Kemudian pada tanggal 7 Juni

2010 dilakukan pembayaran Rp.55.000.000,- (lima puluh lima juta rupiah)

kepada Terdakwa dan diberi kwitansi pembayaran tertulis Rp.100.000 .000,-

(seratus juta rupiah) dan juga diberi catatan“unit akan diambil setelah 1 bulan,

terhitung mulai tanggal 5 Juni 2010, dan apabila tidak diambil, sah menurut

jual beli”.

56

Ternyata sampai dengan 1 (satu) bulan mobil tersebut tidak dibeli lagi oleh

Terdakwa, kemudian mobil tersebut dijual oleh Saksi kepada saksi S orang

Kendal seharga Rp.126.000..000,- (seratus dua puluh enam juta rupiah), mobil

tersebut beserta surat-suratnya sekarang sudah disita oleh Kejaksaan Negeri

Semarang, Saksi juga merasa rugi karena saksi harus mengganti mobil kepada

saksi S, karena mobil Daihatsu terios tersebut disita oleh Kejaksaan.

7. Saksi-7 (DA)

Pada tanggal 5 Juni 2010 terdakwa AZ datang ketempat saksi bekerja di

Showroom BB Motor Jl. Soekarno Hatta N0. 106 Kendal bersama dengan

Saksi HR untuk menawarkan sebuah mobil Daihatsu Terios warna hitam

Nomor Polisi H-9530-RS.

Saat itu Terdakwa AZ mengatakan mau pinjam uang sebesar

Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan jaminan BPKB mobil Daihatsu

terios tersebut, tetapi saksi mengatakan tidak bisa, karena Showroom tidak

melayani seperti model itu, Terdakwa AZ kemudian mengatakan bagaimana

kalau mobil ini dijual Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah ) selanjutnya saksi

menghubungi saksi MM (Mamad) selaku yang memegang peranan di

Showroom BB Motor.

Setelah itu saksi dan saksi MM mengecek kondisi mobil beserta

kelengkapan berkas-berkasnya berupa BPKB, STNK, berkas lelang, surat

pelepasan dari kantor Pemkot Semarang kepada terdakwa AZ yang menurut

saksi asli semua, setelah melihat surat-surat tersebut kemudian saksi

57

menyetujui harga Rp.100.000 .000,- (seratus juta rupiah ) untuk mobil

Daihatsu Terios tersebut, setelah ada kesepakatan antara saksi dan Terdakwa

AZ maka terjadi pembayaran dan karena saat itu hari Sabtu tanggal 5 Juni 2010

tidak bisa mengambil uang di Bank, maka dibayar terlebih dahulu sejumlah

Rp.45.000.000 ,- (empat puluh lima juta rupiah) , pada hari Senin tanggal 7

Juni 2010. Sdr. Mamad memberikan uang lagi kepada saksi sebesar

Rp.55.000.000 ,- (lima puluh lima juta rupiah) untuk pembayaran kekurangan

jual / beli mobil Daihatsu Terios tersebut. Saksi bersama saksi HR

menghubungi Terdakwa dan diminta oleh Terdakwa bertemu di Kantor BPPT

Kota Semarang, tetapi ketika bertemu Terdakwa mengatakan agar ketemu di

rumah Terdakwa saja , sesampainya di rumah Terdakwa kemudian Terdakwa

mengajak agar pembayaran dilakukan di rumah saksi HR di daerah Kendal

saja. Saksi bersama saksi HR dan Terdakwa menuju ke rumah Heri di kendal ,

dan kemudian saksi menyerahkan uang Rp.55.000.000 ,00 kepada Terdakwa

untuk kekurangan pembayaran mobil Daihatsu terios tersebut , setelah

menyerahkan uang tersebut , maka dibuatkan kwitansi pembayaran sebesar

Rp.100.000.000,- guna pembayaran Mobil Daihatsu terios H-9530-RS, dan

pada kwitansi diberi catatan mengenai “unit akan diambil setelah1 bulan ,

terhitung mulai tanggal 5 Juni 2010, dan apabila tidak diambil , sah menurut

jual beli ” dan uang diterima oleh Terdakwa.

Mobil tersebut dibawa ke Showroom BB Motor dengan menggunakan Plat

Hitam No. Pol H-9530-RS, sedangkan STNK dan BPKB memang menyatakan

Warna Tanda Nomor Kendaraan Bermotor / TNKB Merah, tetapi pada saat itu

58

terdakwa AZ menyertakan Surat Keputusan Pelepasan Mobil , dan Berita

Acara Serah Terima Mobil serta Tanda Terima Pembayaran dari terdakwa AZ

kepada Bendahara , dari situ saksi percaya mengenai mobil tersebut memang

sudah dilelang dan pemenangnya adalah Sdr. AZ. Saksi kenal dengan Heri

tetapi tidak akrab dan kenal hanya sebatas makelaran mobil saja yang sering

menawarkan/memberitahu kalau ada orang mau jual mobil hasil lelang.

8. Saksi ke-8 (S)

Pada hari senin tanggal 12 Juli 2010 saksi bersama dengan Haji Achmad

Ikhsan datang ke Showroomn BB Mobil Kendal dan ditawari mobil Daihatsu

Terios warna hitam Nomor Polisi : H-9530-RS (Plat Hitam),

Saksi tertarik dan nego harga dengan Muhamad Muslih yang disepakati

harga Rp.140.000 .000,- (seratus empat puluh juta rupiah) dengan perjanjian

Velg mobil diganti Racing, Pajak STNK diperpanjang dan Cat yang lecet

diperbaiki Saksi memberikan uang muka Rp.5.000.000,- ( lima juta rupiah ) di

tambah mobil saksi yang Mitsubishi L-300 warna putih harus ditinggal di

Showroom BB Motor, kemudian saksi MM mengatakan mobil Daihatsu Terios

akan diantar ke rumah saksi sekitar Pukul 14.00 WIB, dan selanjutnya saksi

pulang.

Hari berikutnya saksi datang lagi ke Showroom BB Motor menyerahkan

uang Rp.48.000.000,- dan 1 (satu) unit mobil L-300 milik saksi yang dihargai

Rp.70.000.000 ,- oleh BB Motor, kemudian saksi menyerahkan uang lagi

Rp.3.000.000,- sehingga jumlah uang yang diserahkan oleh saksi ke BB Motor

untuk membayar Mobil Daihatsu Terios tersebut sejumlah Rp.126.000 .000,-

59

Mulai saat terdakwa membeli mobil tersebut sampai dengan menggunakan

mobil tersebut, saksi tidak pernah diperlihatkan BPKB dan STNK mobil oleh

pihak Showroom BB Motor denan alasan surat-surat masih diurus untuk balik

nama dan perpanjangan pajak, dalam keseharian untuk menggunakan mobil

Daihatsu Terios tersebut Saksi hanya diberi Surat Tilang oleh Saksi MM.

Tanggal 9 Nopember 2010 Saksi bermaksud memperbaiki plat mobil yang

diikat dengan kawat diganti dengan baut, tapi saat mengencangkan baut

ternyata cat plat mobil Daihatsu terios tersebut terkelupas dan kelihatan warna

dasarnya adalah merah kemudian Saksi menaruh curiga dan was- was apakah

mobil tersebut platnya merah. Tanggal 10 Nopember 2010 Saksi segera

mengembalikan mobil Daihatsu terios tersebut ke Shoowroom BB Motor dan

bertemu dengan saksi MM, tetapi tidak mau menerima pengembalian mobil

tersebut dengan alasan mau pergi keluar kota dan mobil agar dibawa kembali

ke rumah. Saksi sering menghubungi Saksi MM, menanyakan tentang status

mobil tersebut dan akan mengembalikan mobil tersebut tetapi tidak pernah

ketemu, saksi baru mengetahui mengenai mobil tersebut adalah milik

Pemerintah Kota Semarang dan plat mobilnya masih berwarna merah setelah

saksi didatangi oleh Penyidik dari Kejaksaan Negeri Semarang di rumah saksi

untuk melakukan penyitaan mobil Daihatsu Terios Nomor Polisi H-9530-RS

tersebut pada hari Jum’at tanggal 29 Nopember 2010 di rumah saksi.

9. Saksi ke 9 (ABL)

Jabatan saksi saat ini sebagai Kepala Bagian Rumah Tangga dan Santel

Sekretariat Daerah Kota Semarang sejak 14 Oktober 2010 Tugas pokok dan

60

tanggung jawab Saksi adalah : Memelihara sarana transportasi dan

penyimpanan dokumen kepemilikan kendaraan dinas (BPKB) , baik mobil

ataupun motor . Mengelola sandi dan telekomunikasi di Gedung Balai kota,

Gedung Pandanaran, dan Gedung Juang, serta di rumah dinas Walikota dan

Wakil Walikota . Pasal 25 ayat (2) Peraturan Walikota Semarang Nomor : 19A

Tahun 2009 tanggal 15 September 2009, menyatakan: “Dokumen kepemilikan

kendaraan dinas milik Pemerintah Daerah disimpan oleh Bagian Rumah

Tangga dan Santel Sekretariat Daerah” .

Berdasarkan Rekapitulasi Kendaraan Dinas Roda 4 Pemerintah Kota

Semarang hingga akhir bulan Oktober 2010, Bagian Rumah Tangga dan Santel

Sekretariat Daerah Kota Semarang, tidak pernah menyimpan BPKB mobil

dinas merek Daihatsu Terios Nomor Polisi : H-9530-RS tersebut karena belum

diserahkan oleh BPPT Kota Semarang sebagai Instansi yang melaksanakan

pengadaan mobil dinas merek Daihatsu Terios Nomor Polisi : H9530-RS

tersebut. Saksi pernah meminta BPKB mobil Daihatsu Terios No Pol H-9530-

RS ke BPPT Kota Semarang pada bulan Februari 2010 dan pada bulan

Nopember 2010 tetapi pihak BPPT tidak pernah menyerahkan.

b. Keterangan Terdakwa

Menurut Terdakwa AZ Bahwa Terdakwa adalah Pegawai Negeri Sipil,

sejak Tahun 1987 Terdakwa diangkat sebagai CPNS bertugas di Sekretariat

Daerah Kota Semarang, Pada Tahun 2004 Terdakwa diangkat menjadi

Sekretaris BKPMPB&A Kota Semarang, Pada tahun 2009 sampai sekarang

diangkat menjadi Sekretaris BPPT Kota Semarangoleh Walikota Semarang

61

sebagai SekretarisBPPT, Terdakwa membawahi Kasubag Keuangan,

Kepegawaian, dan Bagian Umum.

Kewenangan Terdakwa dalam bidang keuangan dan barang yaitu :

perencanaan keuangan di BPPT Kota Semarang, mengusulkan kepada Kepala

tetapi Terdakwa tidak mempunyai kewenangan memutus. Fasilitas yang

diperoleh dari Pemerintah Kota Semarang sebagai Sekretaris BPPT Kota

Semarang yaitu Mobil Dinas, yang digunakan untuk operasional tugas sebagai

Sekretaris BPPT Kota Semarang, yaitu Mobil Toyota Kijang Kapsul.

Kemudian pada tanggal 30 Desember 2008 Terdakwa memperoleh

fasilitas mobil dinas Daihatsu Terios warna Hitam Nomor Polisi H-9530-RS

(Plat Merah), beserta STNKnya, mobil dinas tersebut Terdakwa terima dari

Sdr. Kartono (Kabid Pengawasan BPPT Kota Semarang), dan ada Surat

Penyerahannya. Kemudian pada tanggal 5 Januari 2009 Terdakwa

menandatangani Berita Acara Serah Terima Kendaraan Dinas Nomor : 024/I

antara Terdakwa dengan Masdiana Safitri sebagai Kepala BPPT Kota

Semarang.

Tanggung jawab Terdakwa sebagai pemegang Mobil Dinas yaitu tertuang

dalam Berita Acara Serah Terima Kendaraan DinasNomor : 024/I yaitu :

1) Tidak boleh memindah tangankan atau meminjamkan/menjual kendaraan

dinas tersebut;

2) Tidak boleh menggunakan kendaraan dinas untuk kepentingan pribadi;

3) Apabila dibutuhkan untuk kepentingan dinas, sanggup menyerahkan

kendaraan dinas tersebut;

62

4) Wajib memelihara, menjaga keamanan dan keutuhan kendaraan dinas

tersebut;

Sekitar bulan Mei 2010Terdakwa minta BPKB kepada Saksi Hartuti

(Kasubag Umum BPPT) dengan alasan BPKB akan diserahkan ke Bagian Rumah

Tangga Pemerintah Kota Semarang dan akan dipergunakan untuk memperpanjang

pajak STNK mobil. Terdakwa membuat sendiri Surat Keputusan Kepala Badan

Koordinasi Penanaman Modal, Pemberdayaan BUMD dan Aset Daerah Kota

Semarang Nomor :024.2 / 127 tentang Pelepasan Mobil Daihatsu Terios dengan

Identitas Nomor Polisi H-9530-RS yang selanjutnya menjadi hak milik Saudara

AZ tanggal 1 Juni 2008 dan Berita Acara Serah Terima Mobil tanggal 31 Juli

2008 antara Dra Harini Krisniati MM dengan Saksi, Serta Terdakwa lampirkan

pula Tanda Terima pembayaran Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah)

tanggal 1 Juni 2008 dari Terdakwa kepada Bendahara BKPMPBA kota

Semarang( Ir.Endang Saptorini ).

Terdakwa juga yang menandatangani sendiri tanda tangan yang ada di

dokumen palsu tersebut, pada tanggal 5 Juni 2010 terdakwa bermaksud pinjam

uang Rp.30.000.000,- ( tiga puluh juta ) dengan jaminan BPKB mobil dinas

tersebut, dengan perantara saksi HERI (alamat Perumahan Patebon Asri 7.B

Kendal) tersebut, selanjutnya ditunjukan ke BB Motor yang berada di Jl.Sukarno

Hatta 106 Kendal, keinginan Terdakwa untuk pinjam uang tersebut sangat sulit

dan kemudian melalui lobi-lobi Sdr. Heri dengan Staf BB Motor (Sdr. Ardian)

tersebut hasilnya disampaikan kepada Terdakwa.

63

Terdakwa dapat dipinjami Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dengan

jaminan BPKB, STNK dan Mobil harus ditinggal, Terdakwa menyetujui

kesepakatan tersebut, Terdakwa juga menyampaikan mengenai mobil dinas

tersebut tidak boleh dijual kepada orang lain karena mobil tersebut masih plat

merah serta BPKB beridentitas juga dengan Plat merah, pada saat itu mobil

Daihatsu Terios plat Nomor Polisi H-9530-RS warna merah tetapi dicat sendiri

oleh Terdakwa menggunakan plat hitam, setelah terjadi kesepakatan antara

Terdakwa dengan pihak BB Motor lalu Terdakwa menerima uang pembayaran

mobil tersebut sebesar Rp.45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah), lalu

dibuatkan kwitansi sebesar Rp.45.000.000,- dengan catatan “unit akan diambil

setelah 1 bulan, terhitung mulai tanggal 5 Juni 2010, dan apabila tidak diambil,

sah menurut jual beli.

Pada tanggal 7 Juni 2010 Terdakwa menerima pembayaran

Rp.55.000.000,00 dari pihak BB Motor untuk pembayaran mobil Daihatsu Terios

H-9530- RS di rumah Saksi Heri, oleh pihak BB Motor tersebut dibuatkan

kwitansi sebesar Rp.100.000.000,00 dengan catatan “unit akan diambil setelah 1

bulan, terhitung mulai tanggal 5 Juni 2010, dan apabila tidak diambil, sah menurut

jual beli, awalnya Terdakwa meminta pembayaran dikantor, tetapi tidak jadi

kemudian Terdakwa minta di Rumah terdakwa dan tidak jadi lagi, kemudian

Terdakwa meminta pembayaran di rumah saksi Heri di Kendal, uang tersebut

dipinjam oleh Saksi Heri Rp. 40.000.000,- dan sampai sekarang belum

dikembalikan.

64

Sampai sekarang mobil tersebut tidak dibeli lagi oleh Tedakwa, Terdakwa

menggunakan uang tersebut untuk membayar hutang-hutang Terdakwa yang saat

itu uang hutang tersebut digunakan untuk bisnis Terdakwa yang telah ditipu

orang, terdakwa menjual mobil tersebut ke Kendal karena pada awalnya ingin

pinjam uang dengan jaminan mobil tersebut dan Terdakwa juga mempunyai

kenalan orang di Kendal yang bernama Nasuha, sebelum Terdakwa menerima

penyerahan mobil Daihatsu Terios No Pol H-9530-RS dari Kartono, terdakwa

memintanya kepada Kartono agar mobil tersebut dipakai oleh Terdakwa

sedangkan Kartono memakai mobil dinas yang dipakai oleh Terdakwa yaitu

Toyota Kijang Kapsul.

Pada saat itu Terdakwa menjadi PLH Kepala BPPT Kota Semarang,

karena kepala BPPT sedang pergi ibadah Haji, sebagai PLH Terdakwa

mempunyai kewenangan seperti Kepala terkecuali masalah dengan keuangan

Pembagian/pendistribusian mobil dinas di BPPT Semarang termasuk dalam

wewenang dari Sekretaris BPPT Kota Semarang, Uang Rp.100.000.000,-(seratus

juta rupiah) yang diterima oleh Terdakwa dari penjualan mobil tersebut telah

digunakan oleh Terdakwa untuk membayar hutang sebanyak Rp. 60.000.000,-

(enam puluh juta rupiah) dan Rp.40.000.000,- (empat puluh juta rupiah)

digunakan atau dipinjam oleh saksi Heri.

Terdakwa mengaku bersalah, khilaf, dan menyesal serta berjanji tidak

akan mengulangi perbuatannya lagi.

65

c. Keterangan Ahli

Telah didengar keterangan ahli, yaitu YS yang memberikan keterangan

pada pokoknya sebagai berikut :

1. Saksi bertugas sejak Januari 2010 sebagai Kasi Standarisasi Perdagangan

pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Semarang dengan tugas

pokok melakukan pengujian mutu barang yang ada dipasaran ;

2. Cara penghitungan harga mobil bukan baru yaitu apabila mobil tersebut

masih diproduksi oleh pabrik maka harga mobil pada daftar harga

(Pricelist) dari produsen dengan dihitung penyusutan harganya sebesar

10% pertahun;

3. Besar penyusutan 10 % tersebut adalah berdasarkan perkiraan dan survey

lapangan;

4. Berdasarkan hitungan ahli, harga mobil dinas Merek Daihatsu, Model/type

Terios TS/F700RG, tahun pembuatan 2008, warna hitam, isi silinder 1945

cc, yaitu Harga PriceListx Penyusutan = Rp153.400.000,00 x 20% =

Rp.124.320.000,00 (seratus dua puluh empat juta tiga ratus dua puluh ribu

rupiah).

4. Tuntutan Penuntut Umum

Berdasarkan uraian dalam dakwaan tersebut di atas, Penuntut Umum

menuntut Terdakwa AZ dengan tuntutan yang pada intinya sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa AZ tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana

sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Pertama Primer melanggar

Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU. RI. Nomor 31 Tahun 1999 tentang

66

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan di

tambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

2. Membebaskan terdakwa AZ dari Dakwaan Pertama Primer;

3. Menyatakan terdakwa AZ terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana ”Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu Korporasi menyalahgunakan wewenang, kesempatan

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat

merugikan keuangan Negara“sebagaimana diatur dan diancam pidana

dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

dan di tambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana yang didakwakan

dalam Dakwaan Pertama Subsider ;

4. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AZ dengan pidana penjara selama

2 (dua) tahun dikurangi selama terdakwa di tahan, dengan perintah supaya

terdakwa tetap di tahan di Rutan Kedungpane Semarang;

5. Menjatuhkan pidana denda terhadap terdakwa AZ dengan denda sebesar

Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda

tersebut tidak dibayar oleh terdakwa maka terdakwa harus menjalani

pidana kurungan selama 3 ( tiga ) bulan;

67

6. Menyatakan Barang Bukti berupa :

a. 1 (satu) unit Mobil Daihatsu TERIOS, Merek/Type F70ORG-TS,

tahun pembuatan 2008, tahun perakitan 2008, warna hitam, nomor

rangka MHKG2CJIJ8K005689, nomor mesin DAM0418, nomor

polisi H-9530-RS ;

b. 1 (satu) buah BPKB Mobil Daihatsu Terios, Merek/ Type

F70ORG-TS, tahun pembuatan 2008, tahun perakitan 2008, warna

hitam, nomor rangka MHKG2CJIJ8K005689, nomor mesin

DAM0418, nomor polisi H-9530-RS, nama pemilik Pemerintah

Kota Semarang ;

c. 1 (satu) buah STNK Mobil Daihatsu TERIOS, Merek/ Type

F70ORG-TS, tahun pembuatan 2008, tahun perakitan 2008, warna

hitam, nomor rangka MHKG2CJU8K005689, nomor mesin

DAM0418, nomor polisi H-9530-RS atas nama Pemerintah Kota

Semarang ; Dikembalikan ke Pemerintah Kota Semarang ;

d. Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal

Pemberdayaan BUMD dan Aset Daerah Kota Semarang Nomor :

024.2 / 127 tentang Pelepasan Mobil Daihatsu Terios dengan

identitas Nomor Polisi H-9530-RS yang selanjutnya menjadi Hak

Milik terdakwa AZ tanggal 1 Juni 2008 ;

e. Berita Acara Serah Terima Mobil kepada AZ tanggal 31 Juli 2008;

68

f. Tanda Terima uang sebesar Rp.80.000.000 , - (delapan puluh juta

rupiah) dari terdakwa AZ untuk pembayaran Mobil Daihatsu

Terios No. Pol .H-9530RS ;

g. Kwitansi Pembayaran mobil Daihatsu Terios H-9530-RS dari

Dudek Adrian / Muslich kepada terdakwa AZ sebesar Rp.

100.000.000 , - (seratus juta rupiah), dibuat di Kendal pada

tanggal 7 Juni 2010 ;

h. Berita Acara Serah Terima Kendaraan Dinas Roda Empat , tanggal

5 Januari 2009 dari Masdiana Safitri SH (Kepala BPPT Kota

Semarang) kepada AZ (sekretaris BPPT KotaSemarang) , berupa

Kendaraan Daihatsu TERIOS, Merek/ Type F70ORG-TS, tahun

pembuatan 2008, tahun perakitan 2008, warna hitam, nomor

rangka MHKG2CJIJ8K005689, nomor mesin DAM0418, nomor

polisiH-9530- RS ;

i. Surat Penyerahan mobil dinas Daihatsu Terios , Nomor Polisi H-

9530-RS dari Bachtiar Effendi S.Sos, kepada Kartono S.Sos,

tanggal 12 Desember 2008 ;

j. Surat Penyerahan mobil dinas Daihatsu Terios Nomor Polisi H-

9530-RS dari Kartono S.Sos kepada terdakwa tanggal 30

Desember 2008 ; Tetap terlampir dalam berkas ;

7. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp.5.000,- (lima ribu rupiah).

69

5. Putusan Pengadilan

a. Dasar Pertimbangan Hakim

Berdasarkan alat-alat bukti yang telah diajukan Jaksa Penuntut Umum

dapat dibuktikan sebagaimana dinyatakan dalam tuntutannya, maka Majelis

Hakim dalam musyawarahnya mempertimbangkan sebagai berikut:

Terdakwa didakwa melanggar dakwaan pertama kesatu dalam Dakwaan

Pertama Primer, unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi adalah :

1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi;

2. Perbuatan melawan hukum;

3. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;

1) Unsur kesatu dan ketiga “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi yang dapat menimbulkan kerugian keuangan Negara

atau perekonomian”

Majelis hakim menyatakan pendapatnya sebagai berikut :

Memperkaya adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud

menambah kekayaan, sehingga timbul suatu keadaan bertambahnya

kekayaan.

Di persidangan tidak terdapat bukti yang diajukan oleh Penuntut

Umum, yang dapat membuktikan berapa kekayaan diri Terdakwa atau

kekayaan orang lain atau kekayaan suatu korporasi sebelum Terdakwa

melakukan perbuatan dan berapa kekayaan diri Terdakwa atau kekayaan

orang lain atau kekayaan suatu korporasi sesudah Terdakwa melakukan

70

perbuatan oleh karena itu tidak dapat diketahui apakah diri Terdakwa atau

orang lain atau suatu korporasi bertambah kaya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka unsur “memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” tidak terbukti.

Salah satu unsur tindak pidana dalam dakwaan Pertama Primer

tidak terbukti , maka Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana

dalam dakwaan Pertama Primer , dan oleh karena itu Terdakwa harus

dibebaskan dari dakwaan Pertama Primer tersebut ; Menimbang,

selanjutnya Pengadilan akan mempertimbangkan dakwaan Pertama

Subsidair , yaitu Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana tersebut

dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang memiliki unsur-unsur

sebagai berikut :

1. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi ;

2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang

ada padanya karena jabatan atau kedudukan ;

3. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara ;

2) Unsur “kesatu” “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi”

Perbuatan “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi “ adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.

71

“Kesengajaan” tersebut haruslah meliputi tujuan menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau korporasi , dengan demikian menguntungkan diri sendiri , atau

orang lain , atau suatu korporasi adalah kehendak dan juga tujuan dari Terdakwa,

Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, keterangan Terdakwa dalam

hubungannya satu dengan yang lain, serta barang bukti yang diajukan di

persidangan yang saling berkesesuaian, diperoleh fakta-fakta hukum sebagai

berikut; Terdakwa AZ menjabat sebagai Sekretaris BKPMD&A Kota Semarang

telah mendapat fasilitas kendaraan operasional Daihatsu Terios H-9530-RS, yang

diterima pada tanggal 5 Januari 2009 dari Kepala BPPT Kota Semarang saksi MS

dan dibuatkan Berita Acara Serah Terima Kendaraan Dinas Roda Empat, Pada

awal bulan Mei 2010 Terdakwa meminta BPKB Kendaraan Daihatsu Terios

tersebut dari Kasubag Umum BPPT Kota Semarang oleh saksi H dengan alasan

untuk diserahkan ke Bagian Rumah Tangga Setda Kota Semarang dan untuk

perpanjangan pajak STNK, Sudah ada niat dari Terdakwa untuk mempergunakan

BPKB tersebut untuk mencari pinjaman uang dan BPKB tersebut dijadikan

jaminan. Pada bulan Mei 2010 telah membuat sendiri secara melawan hukum

surat- surat antara lain :

a . Surat Keputusan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal , Pemberdayaan

BUMD dan Aset Daerah (BKPMD&A) Kota Semarang (sekarang berubah

menjadi BPPT Kota Semarang) Nomor :024.2 / 127, tanggal 1 Juni 2008 tentang

Pelepasan Mobil Daihatsu Terios dengan Identitas Nomor Polisi H-9530-RS yang

selanjutnya menjadi hak milik terdakwa AZ;

72

b. Berita Acara Serah Terima Mobil tanggal 31 Juli 2008 yang menerangkan

bahwa Dra. Harini Krisniati , MM, jabatan Kepala BKPMDA Kota Semarang

telah menyerahkan sebuah mobil Daihatsu Terios Nomor Polisi H-9530-RS

beserta BPKBnya kepada terdakwa AZ jabatan Sekretaris BKPMDA Kota

Semarang ;

c . Tanda Terima uang Rp.80.000.000 , - (delapan puluh juta rupiah) tanggal 1

Juni 2008 dari terdakwa AZ guna membayar Mobil Daihatsu Terios dengan

Nomor Polisi H-9530-RS. Terdakwa juga menandatangani sendiri tanda tangan

Saksi HK sebagai Kepala BKPMD&A Kota Semarang dan memalsukan tanda

tangan Bendahara BKPMD&A Ir. Endang Saptorini, bahwa pada tanggal 5 Juni

2010 terdakwa menjual Kendaraan Dinas Operasional Sekretaris BPPT Kota

Semarang No.Pol H-9530-RS tersebut ke Showroom BB Motor Kendal seharga

Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), dari penjualan tersebut telah dibayar oleh

Showroom BB Motor pada tanggal 5 Juni 2010 sebesar Rp. 45.000.000,00 dan

pada tanggal 7 Juni 2010 sebesar Rp.55.000 .000 ,00 (lima puluh lima juta

rupiah);

Uang tersebut digunakan oleh Terdakwa untuk membayar hutang-

hutangnya dan menurut keterangan terdakwa uang tersebut dipinjam oleh Saksi

HR sebesar Rp.40.000.000,- (empat puluh juta rupiah), showroom BB Kendal

menjual lagi mobil tersebut kepada Saksi S dengan harga Rp.140.000.000,-

(seratus empat puluh juta rupiah).

Berdasarkan fakta-fakta tersebut maka Terdakwa telah terbukti melakukan

serangkaian perbuatan dengan maksud dan tujuan memperoleh keuntungan untuk

73

diri sendiri dengan mendapatkan uang sejumlah Rp.55.000.000,- ( lima puluh

lima juta rupiah), saksi HR memperoleh keuntungan yaitu mendapatkan uang

pinjaman dari Terdakwa sebesar Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan

Showroom BB Kendal mendapatkan keuntungan selisih harga beli dari Terdakwa

dan menjual kepada Saksi S, sebesar Rp.40.000.000,- (empat puluh juta rupiah).

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka menurut Pengadilan unsur

“dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi” telah terbukti.

3) Unsur “kedua” Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;

Berdasarkan keterangan saksi-saksi dibawah sumpah, keterangan ahli, dan

keterangan terdakwa dipersidangan, serta adanya barang bukti didalam perkara

ini, maka telah terungkap fakta-fakta sebagai berikut :

a. Terdakwa AZ adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sebagai

CPNS pada tahun 1987;

b. Pada tahun 2004 Terdakwa diangkat sebagai Sekretaris

BKPMD&A Kota Semarang yang mempunyai tugas dan

kewenangan dalam bidang keuangan dan barang yaitu :

perencanaan keuangan di BPPT Kota Semarang, mengusulkan

kepada Kepala tetapi Terdakwa tidak mempunyai kewenangan

memutus, juga mempunyai tugas mendistribusikan Kendaraan

Operasional Dinas BKPMD&A Kota Semarang;

74

c. Pada akhir tahun 2008 terdakwa ditunjuk sebagai PLH Kepala

BKPMD&A Kota Semarang karena Kepala sedang cuti untuk

melaksanakan ibadah haji ;

d. Terdakwa sebagai PLH mempunyai tugas dan tanggung jawab

seperti Kepala BKPMD&A Kota Semarang kecuali untuk masalah

keuangan;

e. Pada tanggal 30 Desember 2010 Terdakwa sebagai PLH Kepala

BKPMD&A Kota Semarang dan sebagai Sekretaris BKPMD&A

Kota Semarang meminta kepada Kabid Pengawasan BKPMD&A

Kota Semarang untuk bertukar Kendaraan Dinas Operasional

Daihatsu Terios No Pol. H-9530-RS yang dipakai oleh Saksi

Kartono dengan Kendaraan Dinas yang dipakai terdakwa yaitu

Toyota Kijang Kapsul ;

f. Setelah dilakukan serah terima dan dibuatkan Berita Acara Serah

terima antara Terdakwa dengan Kartono pada tanggal 30 Desember

2008;

g. BKPMD&A Kota Semarang berubah menjadi BPPT Kota

Semarang dan Terdakwa tetap menjabat sebagai Sekretaris BPPT

Kota Semarang;

h. Pada tanggal 5 Januari 2009 Terdakwa menerima Penyerahan

Kendaraan Dinas Roda Empat dari Kepala BPPT Kota Semarang

(Masdiana Safitri ) ;

75

i. Penyerahan tersebut dibuatkan Berita Acara Serah Terima

Kendaraan Dinas Roda Empat yang didalamnya terdapat Klausula

:

1). Tidak boleh memindahtangankan atau meminjamkan/menjual

kendaraan roda empat tersebut kepada pihak lain ;

2).Tidak boleh menggunakan kendaraan roda empat tersebut untuk

kepentingan pribadi ;

3). Apabila dibutuhkan untuk kepentingan dinas, sanggup

menyerahkan kendaraan roda empat tersebut ;

4). Wajib memelihara, menjaga keamanan dan keutuhan kendaraan

roda empat tersebut

j. Pada awal bulan Mei 2010 Terdakwa meminta BPKB Kendaraan

Daihatsu Terios tersebut dari Kasubag Umum BPPT Kota

Semarang (Dra Hartuti) dengan alasan untuk diserahkan ke Bagian

Rumah Tangga Setda Kota Semarang dan untuk perpanjangan

pajak STNK ;

k. Pada bulan Mei 2010 telah membuat sendiri secara melawan

hukum Surat Keputusan kepala Badan Koordinasi Penanaman

Modal, Pemberdayaan BUMD dan Aset Daerah (BKPMD&A)

Kota Semarang (sekarang berubah menjadi BPPT Kota Semarang)

Nomor : 024.2 /127 tanggal 1 Juni 2008 tentang Pelepasan Mobil

Daihatsu Terios dengan Identitas Nomor Polisi H-9530-RS yang

selanjutnya menjadi hak milik terdakwa AZ Berita Acara Serah

76

Terima Mobil tanggal 31 Juli 2008 yang menerangkan Dra.

HARINI KRISNIATI , MM, jabatan Kepala BKPMDA Kota

Semarang telah menyerahkan sebuah mobil Daihatsu Terios

Nomor Polisi H-9530-RS beserta BPKBnya kepada terdakwa AZ

jabatan Sekretaris BKPMDA Kota Semarang dan sebuah Tanda

Terima uang Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) tanggal

1 Juni 2008 dari terdakwa AZ guna membayar Mobil Daihatsu

Terios dengan Nomor Polisi H-9530-RS, terdakwa juga

menandatangani sendiri tandatangan Saksi HK sebagai Kepala

BKPMD&A Kota Semarang dan memalsukan tandatangan

Bendahara BKPMD&A Ir. Endang Saptorini ;

l. Pada tanggal 5 Juni 2010 terdakwa menjual Kendaraan Dinas

Operasonal Sekretaris BPPT Kota Semarang No.Pol. H-9530-RS

tersebut ke Showroom BB Motor Kendal seharga Rp.100.000.000,-

(seratus juta rupiah).

MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa AZ tidak terbukti melakukan tindak pidana tersebut

dalam dakwaan pertama primer ;

2. Membebaskan terdakwa dari dakwaan pertama primer tersebut ;

3. Menyatakan Terdakwa AZ telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana “KORUPSI”;

4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa AZ oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 1 (satu) tahun dan 9 (sembilan) bulan serta menjatuhkan pidana

77

denda Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila

denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 ( tiga )

bulan ;

5. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;

6. Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan Rumah Tahanan

Negara di Semarang ;

7. Memerintahkan agar barang bukti berupa :

a. 1 (satu) unit Mobil Daihatsu TERIOS, Merek/ Type F70ORG-TS, tahun

pembuatan 2008, tahun perakitan 2008, warna hitam , nomor rangka

MHKG2CJIJ8K005689, nomor mesin DAM0418, nomor polisi H-9530-RS ;

b. 1 (satu) buah BPKB Mobil Daihatsu TERIOS, Merek/ TypeF70ORG-TS, tahun

pembuatan 2008, tahun perakitan 2008, warna hitam, nomor rangka

MHKG2CJIJ8K005689, nomor mesin DAM0418, nomor polisi H-9530-RS,

nama pemilik Pemerintah Kota Semarang ;

c. 1 (satu ) buah STNK Mobil Daihatsu TERIOS, Merek/ TypeF70ORG-TS,

tahun pembuatan 2008, tahun perakitan 2008, warna hitam, nomor rangka

MHKG2CJU8K005689, nomor mesin DAM0418, nomor polisi H-9530-RS atas

nama Pemerintah Kota Semarang, dikembalikan ke Pemerintah Kota Semarang ;

Barang bukti berupa :

a. Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Pemberdayaan

BUMD dan Aset Daerah Kota Semarang Nomor : 024.2 /127 tentang Pelepasan

78

Mobil Daihatsu Terios dengan identitas Nomor Polisi H-9530-RS yang

selanjutnya menjadi Hak Milik terdakwa AZ tanggal 1 Juni 2008 ;

b. Berita Acara Serah Terima Mobil kepada terdakwa AZ tanggal 31 Juli 2008 ;

c. Tanda Terima uang sebesar Rp.80.000 .000 , - (delapan puluh juta rupiah) dari

AZ untuk pembayaran Mobil Daihatsu Terios No.Pol. H-9530-RS ;

d. Kwitansi Pembayaran Mobil mobil DaihatsuTerios H-9530-RS dari Dudek

Adrian /Muslich kepada AZ sebesar Rp. 100.000.000 , - (seratus juta rupiah ),

dibuat di Kendal pada tanggal 7 Juni 2010 ;

e. Berita Acara Serah Terima Kendaraan Dinas Roda Empat, tanggal 5 Januari

2009 dari Masdiana Safitri SH (Kepala BPPT Kota Semarang) kepada AZ

(sekretaris BPPT Kota Semarang), berupa Kendaraan Daihatsu Terios, Merek/

Type F70ORG-TS, tahun pembuatan 2008, tahun perakitan 2008, warna hitam,

nomor rangka MHKG2CJIJ8K005689, nomor mesin DAM0418, nomor polisi H-

9530-RS ;

f . Surat Penyerahan mobil dinas DaihatsuTerios, Nomor Polisi H-9530-RS dari

Bachtiar Effendi S.Sos, kepada Kartono S.Sos, tanggal 12 Desember 2008 ;

g. Surat Penyerahan mobil dinas Daihatsu Terios Nomor Polisi H-9530-RS dari

Kartono S.Sos kepada terdakwa AZ tanggal 30 Desember 2008; tetap terlampir

dalam berkas ;

8. Membebankan biaya perkara sebesar Rp.5.000 , - ( lima ribu rupiah ) kepada

Terdakwa ;

Demikian diputus dalam rapat musyawarah Majelis Hakim Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Semarang. Pada Hari SENIN

79

tanggal 07 MARET 2011 oleh SUGENG HIYANTO, SH, MH, Ketua Majelis

Hakim ; H.MARSIDIN NAWAWI, SH, MH. dan ASMADINATA, SH,

M.Hum, Para Anggota Majelis Hakim. Putusan tersebut diucapkan dalam

persidangan yang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis

Hakim dan Para Anggota Majelis Hakim tersebut dengan dibantu oleh RC.

HELMY

HARTANDYA, SH, Panitera Pengganti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada

Pengadilan Negeri Semarang, dengan dihadiri oleh Penuntut Umum pada

Kejaksaan Negeri Semarang dan Terdakwa serta Penasihat Hukum Terdakwa.

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil studi kasus terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi, di

wilayah hukum Pengadilan Negeri Semarang dalam Putusan Nomor

01/PID.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg.

1. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Saksi dalam tindak pidana korupsi

pada putusan perkara Nomor : 01/ Pid.Sus/ 2011/ PN.TIPIKOR.Smg

Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang

pengadilan. Tujuan dari pembuktian itu sendiri adalah untuk mencari dan

mendapatkan kebenaran materiil, bukan untuk mencari kesalahan seseorang.

MenurutYahya Harahap32

:

“Pembuktian ialah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan

pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-Undang dan

yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa”.

32

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP jilid II, (Sinar

Grafika : Jakarta) 1985. hlm. 769.

80

Pernyataan ini dipertegas dalam penjelasannya yaitu, bahwa :

“Pembuktian juga merupakan suatu ketentuan yang mengatur alat-alat

bukti yang dibenarkan menurut Undang-Undang dan yang boleh

dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan dari seorang

terdakwa.”33

Yahya Harahap34

juga menyatakan :

“Sehubungan dengan pembahasan sistem pembuktian, ada prinsip yang

sangat perlu untuk dibicarakan, yakni masalah asas minimum pembuktian.

Minimum pembuktian yang dianggap cukup memadai untuk membuktikan

kesalahan terdakwa, sekurang-kurangnya atau paling sedikit dibuktikan

dengan dua alat bukti yang sah. Jelasnya, untuk membuktikan kesalahan

terdakwa harus merupakan:

a. Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi

ditambah dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk,

dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut

harus saling bersesuaian, saling menguatkan, dan tidak

saling bertentangan antara satu dengan yang lain;

b. Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu merupakan

keterangan dua orang saksi yang saling berkesesuaian dan

saling menguatkan, maupun penggabungan antara

keterangan seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal

keterangan keduanya saling berkesesuaian”.

Menurut Pasal 1 butir (26) KUHAP merumuskan :

“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidik, penuntutan dan pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia

dengar sendiri, ia lihat, dan ia alami sendiri.”

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia mengikuti Prinsip

dari teori pembuktian Negatif Wettelijk seperti yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juncto

33

Ibid. 34

M. Yahya Harahap, Op. cit. hlm. 262-263.

81

Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana.

Dalam sidang pembuktian, hakim wajib menganut sistem pembuktian

berdasarkan Undang-Undang negatif (negatifef wetterlijk). Hal ini sesuai Pasal

183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, yang merumuskan sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang

paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana

yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua perkara

pidana, selalu bersandar pada pemeriksaan saksi. Sekurang-kurangnya, di

samping pembuktian dengan alat bukti lain, masih diperlukan pembuktian dengan

alat bukti keterangan saksi. Maka dari itu untuk menjadi seorang saksi harus

memenuhi syarat materiil dan formil.

Menurut ketentuan Pasal 1 butir 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang dimaksud dengan

saksi adalah:

“Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,

penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan

sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Aturan mengenai pembuktian saksi terdapat dalam Pasal 185 ayat 1

sampai 7 KUHAP. Keterangan saksi yang dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP ini

82

adalah saksi sebagai alat bukti yang dihadirkan dalam sidang pengadilan agar

hakim dapat menilai keterangan-keterangan saksi, yang ditinjau dari sudut dapat

atau tidak dipercaya, berdasarkan tinjauan terhadap pribadi, gerak-geriknya dan

yang lain-lain.

Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan disumpah agar

mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan nantinya dapat dijadikan

pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana. Disebutkan dalam

Pasal 160 ayat (3) KUHAP bahwa saksi wajib untuk disumpah atau janji dalam

setiap akan dimintai keterangannya di persidangan sesuai dengan agamanya

masing-masing.

Kemudian lafal sumpah atau yang diucapkan berisi bahwa saksi akan

memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang

sebenarnya yang dilakukan sebelum saksi memberikan keterangannya dalam

persidangan dan jika dalam keadaan perlu oleh hakim pengadilan sumpah atau

janji ini dapat diucapkan sesudah saksi memberikan keterangannya sesuai dengan

Pasal 160 ayat (4), jika saksi yang dihadirkan tidak disumpah karena permintaan

sendiri atau pihak yang lain tidak bersedia saksi untuk disumpah karena saksi

ditakutkan akan berpihak pada salah satu pihak, maka keterangan dari saksi

tersebut tetap digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai tambahan

alat bukti sah yang lain. Selain itu saksi yang karena jabatannya tidak dapat

menjadi saksi akan tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka dapat

diperiksa oleh hakim akan tetapi tidak disumpah karena itu merupakan

perkecualian relatif karena menyimpan rahasia jabatan. Saksi yang dihadirkan

83

diharapkan sudah dewasa sehingga keterangannya bisa dipercaya dan dapat

dipertanggung jawabkan.

Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan pengadilan

saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah maka saksi tersebut

dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan hakim ketua sidang, paling

lama penyanderaan adalah empat belas hari (Pasal 161 KUHAP).

Pengertian umum keterangan saksi ada dalam Pasal 1 butir 27 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan sebagai berikut :

"Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang

berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pengetahuannya itu".

Dengan demikian kesaksian yang didengar dari orang lain atau biasa disebut

dengan "testimonium de auditu" bukan merupakan keterangan saksi. Begitu pula

pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan

merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5) Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana).

Dari penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 KUHAP dihubungkan dengan

Pasal 135 ayat (1) KUHAP dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

a. Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya sendiri dalam

peristiwa pidana yang terjadi atau di luar dari yang dilihat dan

dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang

diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman sadar

mengenai suatu peristiwa pidana terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai

sebagai alat bukti. Keterangan semacam ini tidak memiliki kekuatan nilai

pembuktian.

b. Testimonium de auditu keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil

pendengarannya dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat

84

bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulang

dari yang didengarnva dari orang lain, keterangan saksi seperti ini tidak

dapat dianggap sebagai alat bukti.

c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran bukan

merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185

ayat (5) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Oleh karena itu

setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi

harus dikesampingkan dari pernbuktiandalammembuktikan kesalahan

terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan

pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.35

Mengenai keterangan saksi de auditu ini, Mr. S.M. Amin dalam bukunya

"Hukum Acara Pengadilan Negeri" telah memberikan penjelasan sebagai berikut :

"Kesaksian de auditu adalah keterangan tentang kenyataan-kenyataan, dan

hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami bukan oleh saksi sendiri akan

tetapi keterangan-keterangan yang disampaikan oleh orang lain kepadanya

mengenai kenyataan-kenyataan dan hal-hal yang didengar, dilihat atau

dialami sendiri oleh orang lain tersebut".36

Tidak setiap orang dapat menjadi saksi dalam persidangan, selain karena

ketidak cakapannya menjadi saksi, yang tidak dapat menjadi terutama karena

mempunyai hubungan dekat dengan terdakwa karena cenderung tidak bernilai

obyektif dan cenderung membela terdakwa, diantaranya :

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah

sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai

terdakwa;

35

M. Yahya Harahap.Op.cit.Hal. 266. 36

Leden Marpaung.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi.Sinar

Grafika. Jakarta. 1994. Hal. 33.

85

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara

ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena

perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-

sama sebagai terdakwa;

d. Orang yang mempunyai hubungan pekerjaan, harkat, martabat, atau

jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia yang ditentukan Undang-

Undang;

Kemudian dalam Pasal 171 KUHAP ditentukan saksi yang tidak disumpah

yaitu :

a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah

kawin;

b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.

Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur

lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila

meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut

psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna

dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam

memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai

petunjuk saja.

Keterangan saksi agar menjadi kuat maka harus dihadirkan saksi lebih dari

seorang dan minimal ada dua alat bukti karena keterangan dari seorang saksi saja

tanpa ada alat bukti yang lain tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa benar-

86

benar bersalah terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya (unus testis nullus

testis).

Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang

didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi sudah cukup untuk

membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal

itu, telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence

yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa.

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185

ayat (2) adalah :

1) Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus

didukung oleh dua orang saksi;

2) Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian

tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang

lain.37

Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam

pemeriksaan perkara pidana. Dalam pasal 185 ayat (6) untuk menilai kebenaran

keterangan saksi hakim harus memperhatikan:

a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya;

b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;

c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan

yang tertentu;

d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya

dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Saksi adalah suatu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan

dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri dan ia alami

sendiri dengan menyebutkan alasan dari perbuatannya itu.

Pengertian keterangan saksi dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat (27) Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana sebagai berikut :

37

Ibid. Hal.288.

87

“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana

yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu perkara pidana

yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan

menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”

Kekuatan pembuktian keterangan saksi dalam Putusan PN. Semarang

Nomor: 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg merupakan alat bukti yang sah dan

hakim bebas memakai sebagai alat bukti saksi untuk dasar pertimbangan hukum

bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana yakni pidana penjara selama 1

(satu) tahun 9 (sembilan) bulan terhadap terdakwa AZ dan membayar denda Rp.

50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut

tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

Berikut merupakan keterangan dari saksi-saksi yang memberikan

keterangannya tentang terdakwa : Saksi ke-1 (Masdiana Safitri, SH) Masdiana

Safitri, SH menjabat sebagai Kepala Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT)

Kota Semarang sejak tanggal 31 Desember 2008 sampai sekarang. Terdakwa saat

itu menjabat sebagai Sekretaris Badan Pelayanan dan Perijinan Terpadu (BPPT),

dengan adanya kasus ini terdakwa sekarang dinonaktifkan. Saksi-2 (Dra. Harini

Krisniati, MM) Saksi saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi

Penanaman Modal Pemberdayaan BUMD dan Aset Daerah (BKPMPB&A) Kota

Semarang dari bulan April 2007 sampai dengan bulan Desember 2008. Saksi-3

(Dra. Hartuti) Saksi adalah Kasubag Umum dan Kepegawaian pada BBPT

Semarang sejak bulan Januari 2009, sedangkan terdakwa merupakan atasan atasan

langsung saksi yaitu sebagai sekretariat BPPT Kota Semarang. Saksi-4 (Bachtiar

Effendi) Terdakwa merupakan Sekretaris BPPT Kota Semarang yang sebelumnya

bernama Badan Koordinasi Penanaman Modal Pemberdayaan BUMD dan Aset

88

Daerah (BKPMPB&A). Saksi-5 (Kartono) Mobil dinas yang dipakai terdakwa

awalnya dipakai oleh Kasubag Umum, kemudian diserahkan kepada saksi pada

tanggal 12 Desember 2008, untuk kendaraan operasional saksi selaku Kabid

Pengawasan BPPT Kota Semarang. Saksi-6 (Mohamad Muslich) Saksi bekerja

sebagai Pengelola Showroom BB Motor Kendal bergerak dibidang jual-beli mobil

yang terletak di Jalan Raya Soekarno Hatta Nomor 106 Kendal, terhitung sejak

2006 sampai saat ini. Saksi ke 7 (Dudek Ardian) Pada tanggal 5 Juni 2010

terdakwa Arief Zainuddin datang ketempat saksi bekerja di Showroom BB Motor

Jl. Soekaro Hatta N0. 106 Kendal bersama dengan Sdr. Heri untuk menawarkan

sebuah mobil Daihatsu Terios warna hitam Nomor Polisi H-9530-RS. Saksi ke 8

(Sodikin) Pada hari senin tanggal 12 Juli 2010 saksi bersama dengan Haji

Achmad Ikhsan datang ke Showroomn BB Mobil Kendal dan ditawari mobil

Daihatsu Terios warna hitam Nomor Polisi : H-9530-RS (Plat Hitam). Saksi ke 9

(Drs. A Bambang Lenggono, Msi) Jabatan saksi saat ini sebagai Kepala Bagian

Rumah Tangga dan Santel Sekretariat Daerah Kota Semarang sejak 14 Oktober

2010 Tugas pokok dan tanggung jawab Saksi adalah : Memelihara sarana

transportasi dan penyimpanan dokumen kepemilikan kendaraan dinas (BPKB) ,

baik mobil ataupun motor.

Syarat Formil

Perihal syarat formil ini dalam praktik asasnya bahwa keterangan saksi

harus diberikan dengan di bawah sumpah/janji menurut cara agamanya masing-

masing. Hal ini sesuai dengan Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana :

89

“Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucap sumpah atau janji

menurut agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan

keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya”.

Apabila keterangan seorang saksi tanpa sumpah meskipun sesuai satu

sama lain bukanlah merupakan alat bukti, akan tetapi, jikalau keterangan tersebut

selaras dengan saksi atas sumpah, keterangannya dapat dipergunakan sebagai alat

bukti sah yang lain (Pasal 185 ayat (7) KUHAP).

Asas “Unus testis nullus testis” yang terdapat dalam Pasal 185 ayat (2) yaitu:

“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa

terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Isi

Pasal ini menjelaskan bahwa satu alat bukti tidak dapat membuktikan

bahwa terdakwa bersalah.

Syarat Materiil

Perihal syarat materiil dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1 angka 27

jo Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang ditentukan bahwa:

Pasal 1 angka 27 KUHAP merumuskan :

“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di

sidang pengadilan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,

ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dan

pengetahuannya itu”.

Pasal 185 ayat (1) KUHAP “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa

yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”.

Dengan demikian, jelaslah sudah terhadap pendapat maupun rekaan, yang

diperoleh dan hasil pemikiran saja dan beredar di luar persidangan, bukan

merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5) KUHAP).

2. Pertimbangan Hakim Dalam Memeriksa Perkara Tindak Pidana Korupsi

Putusan Nomor: 01/Pid.Sus./201/PN.TIPIKOR.Smg.

90

Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana, merumuskan sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Dalam Pasal 1 Angka 8 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan penjelasan

tentang hakim, yakni : Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi

wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Kata “mengadili” didefinisikan

dalam Pasal 1 Angka 9 KUHAP, adalah serangkaian tindakan hakim untuk

menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,

jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang

diatur dalam Undang-Undang ini.

Hakim adalah profesi yang menentukan seorang pencari keadilan untuk

mendapatkan keadilan terhadap peristiwa yang terjadi padanya. Untuk

memberikan keadilan seorang hakim dalam proses peradilan melakukan tindakan.

Tindakan pertama yang dilakukan oleh hakim adalah menelaah tentang peristiwa

yang diajukan kepadanya.

Setelah itu memberikan pertimbangan atas peristiwa itu serta

menghubungkannya dengan hukum yang berlaku, untuk selanjutnya memberikan

suatu kesimpulan dengan menyatakan suatu hukum terhadap peristiwa hukum

melalui putusan hakim.38

38

Saleh, K .Wantjik. 1977. Kehakiman dan Peradilan. Jakarta: Ghalia Indonesia, Hal. 39.

91

Putusan hakim merupakan puncak dari peradilan yang memberikan

dampak kepada pihak yang berperkara ataupun pencari keadilan. Seorang hakim

dalam memutus sebuah perkara mempertimbangkan layak atau tidaknya terdakwa

dijatuhi pidana oleh seorang hakim didasarkan oleh keyakinan hakim dan

sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua) alat bukti yang sah, ketentuan ini terdapat

dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam pasal

tersebut tidak hanya hakim dan keyakinannya yang berperan dalam persidangan,

namun juga adanya alat bukti untuk menggali kebenaran materiil.

Kebenaran materiil yang dicari dalam proses peradilan pidana melalui

beberapa tahapan, dalam tahapan tersebut agenda sidang pembuktian

mencerminkan peristiwa yang terjadi berdasarkan alat bukti yang dihadirkan di

sidang peradilan oleh jaksa penuntut umum dan atau penasihat hukum. Pada tahap

pembuktian, hakim dapat melihat dari alat bukti yang dihadapkan pada hakim dan

hakim berhak menilai dari keterangan dan barang bukti. Ketentuan Pasal 180

KUHAP menyatakan bahwa dalam hal jika diperlukan untuk menjernihkan

duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat

meminta bantuan keterangan ahli dan dapat pula meminta agar diajukan bahan

baru oleh yang berkepentingan.

Keyakinan hakim ini dapat mendasari hakim dalam pertimbangan hukum

untuk memutus sebuah perkara pidana khususnya perkara tindak pidana korupsi,

namun dalam hal pertimbangan hukum dalam format putusan pemidanaan yang

tertera dalam Pasal 197 KUHAP tidak memuat adanya keyakinan hakim

dituliskan dalam pertimbangan hukum. Sehingga dikhawatirkan dalam membuat

92

putusan pemidanaan terhadap perkara tindak pidana korupsi hakim hanya

mengikuti kehendak dari hakim ketua atau ada hakim yang hanya ikut

memberikan suara dalam pertimbangan hukum putusan pemidanaan. Hal tersebut

berpotensi menimbulkan putusan yang kurang sesuai dengan rasa keadilan yang

diharapkan oleh masyarakat.

Hakim wajib menganut sistem pembuktian berdasarkan Undang-Undang

negatif (negatief wetterlijk), yaitu menggunakan dua alat bukti yang sah menurut

Undang-Undang. Hal ini sesuai Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang merumuskan :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Sebagaimana menurut D. Simons yang dikutip oleh Andi Hamzah39

mengatakan bahwa :

“Teori berdasar keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada

keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah

melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan

dimungkinkan tanpa didsarkan kepada alat-alat bukti dalam Undang-

Undang”.

Penyelesaian perkara di sidang pengadilan disamping hakim harus tetap

berpedoman pada keadilan, bebas, dan berusaha menghindari faktor-faktor yang

mempengaruhi kebebasan hakim dalam memeriksa perkara dan kemudian

mengambil keputusan. Hakim harus bersifat jujur dan obyektif dengan kata lain

hakim tidak memihak.

39

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), Hal.

252

93

Menurut Martiman Prodjohamidjojo40

Pasal 183 KUHAP mengandung

unsur:

1. Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

2. Dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin bahwa:

a. Tindak pidana terjadi.

b. Terdakwa telah bersalah.

Keyakinan hakim dalam memeriksa perkara Tindak Pidana Korupsi yang

kemudian menjatuhkan putusan ini diperoleh dari Keterangan saksi yang saling

bersesuaian satu sama lain serta alat bukti berupa keterangan saksi, keterangan

terdakwa dan keterangan ahli.

Sebelum menjatuhkan putusan maka hakim perlu mempertimbangkan

beberapa aspek. Pengertian pertimbangan hakim sendiri adalah pendapat

mengenai baik dan buruk dalam menjatuhkan putusan.

Penjatuhan putusan oleh hakim di pengadilan tergantung dari hasil

mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat

dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti di dalam pemeriksaan

dalam sidang pengadilan.

Pengertian putusan pengadilan dirumuskan dalam Pasal 1 butir 11

KUHAP yang merumuskan :

“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam

sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau

40

Martiman Prodjohamidjojo. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti.Jakarta. Ghalia

Indonesia. 1983.Hal. 20 .

94

lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur

dalam Undang-Undang ini.”

Menurut Soedirjo41

, keputusan dan penetapan adalah tindakan hakim

untuk menyelesaikan perkara. Keputusan diambil umumnya setelah mengadakan

sidang, sedang penetapan diberikan tanpa melalui sidang pemeriksaan.

Sedangkan menurut Laden Marpaung42

, putusan adalah hasil kesimpulan

dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai semasak-masaknya yang

dapat berbentuk tertulis ataupun lisan. Ada juga yang mengartikan putusan atau

vonis sebagai vonis tetap (definitif), mengenai kata “putusan” yang

diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang

pengadilan.

Putusan perkara Nomor: 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg merupakan

bentuk putusan pemidanaan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 193 ayat (1)

KUHAP menyebutkan bahwa penjatuhan putusan pemidanaan terhadap seorang

terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan.

Berdasarkan Undang-Undang secara negatif yang dianut oleh KUHAP

serta berdasarkan alat bukti yang sah, maka hakim memberikan keputusan dalam

perkara ini bagi terdakwa AZ dengan hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun 9

(sembilan) bulan karena terdakwa telah terbukti melanggar Pasal 3 Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 perubahan dari Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan melanggar

pasal tersebut terdakwa AZ dapat dijerat pidana penjara paling lama 6 (enam)

tahun.

41

Soedirjo.Kasasi Dalam Perkara Pidana (Sifat dan Fungsi).Ahliyah. Jakarta.1981.

Hal.29. 42

Laden Marpaung.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi.Sinar

Grafika. Jakarta. 1994.Hal.36.

95

Putusan perkara pidana No: 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg, dengan

penjatuhan pidana 1 (satu) tahun 9 (sembilan) bulan penjara serta menjatuhkan

pidana denda Rp.50.000.000 , - ( lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan

apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3

(tiga) bulan dinilai sudah sesuai dengan kealpaan yang dilakukan oleh terdakwa

sebagai Pegawai Negeri Sipil, karena sudah memenuhi rasa keadilan bagi semua

pihak, baik pihak terdakwa maupun pihak korban. Hakimpun dalam menjatuhkan

putusan mempertimbangkan akibat dari putusan tersebut, jangan sampai dengan

putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa menjadikan keluarga terdakwa menjadi

sengsara ataupun terlantar karena terdakwa merupakan tulang punggung keluarga.

\

96

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil Studi Kasus dan pembahasan terhadap Putusan

Pengadilan Negeri Semarang Nomor: 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg, maka

dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Saksi dalam Perkara Pidana Nomor:

01/Pid. Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg adalah merupakan alat bukti yang sah

dan hakim bebas memakai sebagai alat bukti saksi untuk dasar

pertimbangan hukum bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana

terhadap terdakwa AZ. Hampir semua perkara pidana selalu bersandar pada

pemeriksaan saksi, sekurang-kurangnya disamping dengan alat bukti lain

masih diperlukan pembuktian dengan alat bukti berupa keterangan saksi,

maka dari itu untuk menjadi seorang saksi harus memenuhi syarat formil

dan syarat materiil.

2. Pertimbangan Hakim tersebut didasarkan pada :

Dasar pertimbangan hukum hakim dalam Pengadilan Negeri Semarang

dalam menjatuhkan pidana dalam Putusan perkara Nomor :

01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg dilihat dari perbuatan terdakwa secara

sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dan di tambah dengan Undang-Undang Nomor 20

97

Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana yang

didakwakan dalam Dakwaan Pertama Subsider.

Batas minimum pembuktian menurut Pasal 183 KUHAP yaitu berupa

keterangan saksi, keterangan Terdakwa dan keterangan Ahli, selain itu

diperkuat dengan barang bukti berupa 1 (satu) unit Mobil Dhaihatsu Terios

dengan No. Pol. H-9530-RS sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa

terdakwa melakukan Tindak Pidana Korupsi yang bertujuan memperkaya

diri sendiri dan berakibat merugikan negara dan oleh karenanya terdakwa

dijatuhi pidana penjara 1 (satu) tahun 9 (sembilan) bulan serta menjatuhkan

pidana denda Rp.50.000.000 , - ( lima puluh juta rupiah),dengan ketentuan

apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama

3 (tiga) bulan.

B. Saran

Alangkah lebih baiknya jika Pemerintah membuat pengaturan yang lebih lanjut

dan lebih terperinci mengenai kewenangan pejabat, agar tidak melakukan

penyalahgunaan wewenang jabatannya, sehingga tidak merugikan perekonomian

negara. Hendaknya para hakim untuk bekerja lebih lugas, lebih tegas, dan lebih

cermat dalam memutus segala bentuk tindak pidana yang mengandung unsur

korupsi agar mendapat hukuman yang seberat-beratnya. Para jaksa boleh saja

menuntut hukuman seberat-beratnya kepada terdakwa. Namun, pada akhirnya

para hakimlah yang menjatuhkan vonis hukuman.

98

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur :

Bambang Poernomo, 1982 , Pandangan Terhadap Asas-asas umum

Hukum Acara Pidana, Liberty : Jakarta.

Moch Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan

Praktek, Mandiri Maju : Bandung.

Soejono Karni. 17 April 2010, Perkembangan Korupsi Dan

Pemberantasan Korupsi Di Indonesia.

R.Soesilo, 1983, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta

Komentar Lengkap Pasal demi Pasal, Pelita : Bogor.

Andi Hamzah, 2008 , Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar

Grafika,Jakarta.

Harahap M Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan) Edisi Kedua, (Jakarta :

Sinar Grafika, 2001).

Hartanti Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika, Bumi

Aksara Group 2005.

Andi Hamzah, 2002 , Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta.

Saleh, K . Wantjik. 1977. Kehakiman dan Peradilan. Jakarta: Ghalia

Indonesia

Ronny Hanityo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan

Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum

Normatif, Bayumedia Publishing, Malang.

Amirruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian

Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Bambang Sunggono, 2006 , Metode Penelitian Hukum, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta.

Ronny H. Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta,

Ghalia Indonesia.

99

Laden Marpaung.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana

Ekonomi.Sinar Grafika. Jakarta. 1994.

Andi Hamzah, 2001, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi,

Sinar Grafika: Jakarta.

Harahap M, Yahya. 2001, Pembahasam Permasalahan dan

Penerapan KUHAP (Jilid II), Jakarta : Pustaka Rini.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

,Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

,Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman.

C. Sumber Lain

Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor :01/Pid.Sus/2011/PN.

TIPIKOR.Smg.