103
KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. - Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Roshfi Roshifah 11140340000199 PROGRAM STUDI ILMU AL-Q’N DN FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2018 M

KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW.

-

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Roshfi Roshifah

11140340000199

PROGRAM STUDI ILMU AL-Q ’ N D N

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2018 M

Page 2: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …
Page 3: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …
Page 4: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …
Page 5: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

ii

ABSTRAK

ROSHFI ROSHIFAH, Keluhuran Akhlak Rasulullah Perspektif Tafsir Sufi

Sahl al-Tustarī.

Skripsi ini membahas tentang penafsiran ayat-ayat tentang keluhuran

akhlak Rasulullah menurut interpretasi seorang sufi yaitu Sahl Tustarī dalam

kitabnya Tafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm atau lebih dikenal dengan Tafsīr al-Tustarī.

Dimulai dari interpretasi manifestasi akhlak, karakteristik akhlak, hingga jaminan

seseorang yang mengimplementasikan akhlak.

Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka (Library

Research). Sumber data dalam penelitian ini adalah penafsiran ayat al-Qur’an

yang ditulis oleh Sahl Tustarī yang berjudul Tafsīr al-Qur’an al-‘Adzim (Tafsīr

Tustarī) dan sumber data sebagai komparasi dari penafsiran Sahl yaitu Tafsīr al-

Tabarī Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl ai al-Qur’an. Sedangkan untuk pengolahan

data penulis menggunakan deskriptif-analitis.

Penelitian ini menyimpulkan, bahwa keluhuran akhlak Nabi Muhammad

memiliki koherensi di dalam al-Qur’an, maksudnya telah dilegitimasi dan

memiliki keterkaitan sehingga tidak melewati batas yang telah ditetapkan di

dalam al-Qur’an, diantaranya karakteristik keluhuran akhlak Nabi Muhammad

adalah bersikap lemah lembut, memaafkan kesalahan, bermusyawarah, dan

tawakkal kepada Allah. Sedangkan akhlak yang wajib bagi seorang muslim untuk

diaktualkan diantaranya: berakhlak adil, berakhlak ihsan, tolong-menolong

kepada kerabat ketika diberikan rezeki lebih, menjauhi perkara keji, larangan

berbuat mungkar (maksiat), larangan berbuat dengki dengan pihak lain.

Kata kunci: Akhlak, Sufi, Sahl al-Tustari.

Page 6: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

iii

KATA PENGANTAR

الحمد لله الذي خلق كل شيئ قادر على كل شيئ

Segala puji milik Allah SWT yang selalu memberikan kepada kita semua

rahmat, semoga kita selalu istiqamah menjadi seorang hamba yang selalu patuh

kepada-Nya. Sholawat untuk Nabi Muhammad SAW, sebagai ayah yang tidak

lelah dalam berjuang, seorang pemimpin yang diberi gelar al-Āmin, untuk

memperjuangkan agama Allah, semoga kita diberikan Syafa’at (pertolongan)

dikemudian nanti.

Sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi dan mencapai gelar Strata

Satu (S1) di Universitar Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta adalah membuat

karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Berbagai hambatan selama menyusun

skripsi, karena masih kurang pengetahuan untuk menyelesaikannya,

Alhamdulillah dengan izin Allah dengan niat dan tekad yang sungguh, dapat

menyelesaikan tugas akhir ini.

Kendati demikian, ini semua tidak terlepas dari dukungan dan banyak

pihak. Oleh karenanya, penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-

dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta.

2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.

3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. Sebagai Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an dan

Tafsir.

4. Dra. Banun Binaningrum, M.Pd Sebagai Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an

dan Tafsir.

5. M. Anwar Syarifuddin, MA. sebagai Dosen Pembimbing skripsi yang selalu

meluangkan waktu dan pikirannya selama menjadi pembimbing, terimakasih

banyak semoga menjadi amal jariyah.

6. Dr. H. Masykur Hakim, MA, Ph.D sebagai Dosen Pembimbing Akademik.

7. Kepada seluruh Dosen-dosen Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Prof. Dr. H. Said

Agil Husin Al Munawar M.A., Prof. Dr. H. Zainun Kamaluddin Fakih M.A,

Page 7: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

iv

Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar M.A, dan semuanya yang pernah mengajar

saya dari semester I-VII, Jazākumullah Wanafa‘anā bi ‘Ulūmihim.

8. Terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua Heri Sunarya dan

Cici Hardiani, yang selalu mendoakan, memberi nasehat, dukungan, dan

memperhatikan kesehatan. Semoga Allah senantiasa melindungi dan

mengampuni kesalahan.

9. Feni Arifiani saudara sekaligus orangtua kedua yang selalu memberi

dukungan dari awal kuliah perkuliahan hingga sekarang.

10. Seluruh Sahabat-sahabat Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2014, teman

seperjuangan, teman untuk berdiskusi. Semoga Allah memberikan keberkahan

dalam pertemuan kita.

11. Sahabat seperjuangan, Aal, Idzni, Fau dan Inun. Teman yang selalu

mendengarkan keluh kesah setiap harinya. Semoga tali silaturrahmi kita tidak

pernah terputus dan semoga Allah memberikan keberkahan dalam pertemuan

kita.

12. Dayu Aqraminas yang selalu meluangkan waktunya dan memberi dukungan

dari awal hingga akhirnya skripsi ini selesai.

13. Teman KKN 059, sebulan kita mengabdi semoga menjadi amal kebaikan kita

dan menjadi keberkahan untuk mereka.

14. Kepada teman-teman yang selalu memberikan arahan dan dukungan,

terimakasih semua semoga Allah membalas dengan kebaikan pula. Āmīn Ya

Rabba al-‘Alamīn.

Sekali lagi, terimakasih dukungan dan bantuannya semoga menjadi amal

kebaikan untuk kita semua.

Ciputat, 28 November 2018

Roshfi Roshifah

11140340000199

Page 8: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

v

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 158/1987 dan 0543 b/U/1987, Tanggal

22 Januari 1988.

A. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan

alif tidak dilambangkan ا

ba‟ b be ب

ta‟ t te ت

sa‟ ṡ es (dengan titik di atas) ث

jim j je ج

ha‟ ḥ ha (dengan titik di bawah) ح

kha‟ kh ka dan ha خ

dal d de د

zal ż zet (dengan titik di atas) ذ

ra‟ r er ر

zai z zet ز

sin s es س

syin sy es dan ye ش

sad ṣ es (dengan titik di bawah) ص

dad ḍ de (dengan titik di bawah) ض

ta‟ ṭ te (dengan titik di bawah) ط

za‟ ẓ zet (dengan titik di bawah) ظ

ain „ koma terbalik di atas„ ع

gain g ge غ

fa f ef ف

qaf q qi ق

kaf k ka ك

lam l el ل

mim m em م

nun n en ن

wawu w we و

ha‟ h ha ه

hamzah ‟ apostrof ء

ya y ye ي

Page 9: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

vi

B. Konsonan Rangkap Karena Syaddah Ditulis Rangkap

ditulis muta‘aqqidin متعقدين

ditulis ‘iddah عدة

C. Ta’ Marbutah

1. Bila dimatikan ditulis h

ditulis hibbah هبة

ditulis jizyah جزية

(Ketentuan ini tidak diberlakukan terhadap kata-kata Arab yang sudah

terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti shalat, zakat, dan sebagainya,

kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).

Bila diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah,

maka ditulis dengan h.

ditulis karāmah al-auliyā كرامة الأولياء

2. Bila ta‟ marbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan ḍammah,

ditulis t

ditulis zakātul fitri زكاة الفطر

D. Vokal Pendek

kasrah ditulis i

__ fathah ditulis a

ḍammah ditulis u ___ۥ__

E. Vokal Panjang

fathah + alif ditulis ā

ditulis jāhiliyah جا هلية

fathah + ya‟ mati ditulis ā

ditulis yas` ā يسعى

kasrah + ya‟ mati ditulis ī

ditulis karīm كريم

ḍammah + wawu mati ditulis ū

Page 10: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

vii

F. Vokal Rangkap

fathah + ya‟ mati ditulis ai

ditulis bainakum بينكم

fathah + wawu mati ditulis au

ditulis qaulun قول

G. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan dengan

Apostrof

ditulis a’antum أأنتم

ditulis u‘iddat أعد ت

ditulis la’in syakartum لئن شكرتم

H. Kata Sandang Alif + Lam

a. Bila diikuti huruf Qamariyyah

ditulis al-Qur’ān القرأن

ditulis al-qiyās القياس

b. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggandakan huruf

Syamsiyyah yang mengikutinya serta menghilangkan huruf l (el)-nya

’ditulis as-samā السماء

ditulis asy-syams الشمس

I. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat

Ditulis menurut bunyi pengucapannya dan menulis penulisannya

ditulis żawī al-furūd ذوي الفوض

ditulis ahl as-sunnah أهل السنة

Page 11: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ i

ABSTRAK .......................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... v

DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................. 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................... 5

D. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 6

E. Metode Penelitian................................................................................ 10

F. Sistematika Penulisan ......................................................................... 12

BAB II SAHL IBN ‘ABDULLAH AL-TUSTARĪ SEBAGAI MUFASSIR

SUFI

A. Biografi Sahl Ibn ‘Abdullah al-Tustarī .............................................. 14

B. ar a- ar a Sahl al-Tustarī ................................................................ 23

C. rofil Tafsir Sahl al-Tustarī Tafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm) ................. 24

D. Ajaran-ajaran Tasawwuf Sahl al-Tustarī ........................................... 26

1) Maqamat dan Ahwal ..................................................................... 26

2) ons psi isti r Muhammad ................................................ 34

3) Prinsip Penafsiran Sufi Sahl al-Tustarī ......................................... 38

a. Pandangan Sahl al-Tustarī t ntang uz l al-Qur’an ons p

Qalbu Muhammad) ................................................................ 38

b. Pembagian Isi Kandungan al-Qur’an .................................... 39

c. Empat Tingkat Makna dalam Menafsirkan Al-Qur’an ......... 39

BAB III DISKURSUS TENTANG AKHLAK DALAM AL-QUR’AN ........ 42

A. Definisi Akhlak dan Pendapat Ulama ................................................ 42

B. Pembagian Akhlak ............................................................................. 48

Page 12: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

ix

C. Keluhuran Akhlak Rasulullah dalam al-Qur’an ................................. 51

D. Pembinaan Akhlak Mulia Misi Utama Kerasulan Muhammad SAW 58

BAB IV INTERPRETASI SAHL AL-TUSTARI TENTANG KEAGUNGAN

AKHLAK NABI MUHAMMAD SAW DALAM AL-QUR’AN .................... 64

A. Nabi Muhammad Berakhlak dengan al-Qur’an ................................. 64

B. Manifestasi Adab al-Qur’an ............................................................... 67

C. Karakteristik Akhlak Rasulullah SAW. .............................................. 72

D. Beberapa Maqamat dari Contoh Akhlak Nabi SAW. ......................... 76

BAB V PENUTUP .............................................................................................. 86

A. Kesimpulan ......................................................................................... 86

B. Saran ................................................................................................... 87

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... x

Page 13: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembinaan akhlak memiliki peran penting bagi umat muslim dalam

mendapatkan kehidupan yang sejalan dengan nilai-nilai luhur dan norma yang

ada. Ilmu Akhlak menjadi ilmu wajib untuk dipahami sebagai pedoman dalam

kehidupan bermasyarakat, terutama di era modern ini.1 Islam menjadikan akhlak

sebagai ruh ajarannya, karena agama tanpa adanya akhlak bagaikan jasad yang

tidak bernyawa. Pembinaan akhlak yang mulia juga menjadi salah satu misi

utama yang dibawa oleh Nabi Muhammad untuk membina kembali akhlak

manusia yang telah runtuh sejak ditinggalkan oleh para nabi terdahulu, mulai dari

aspek penyembahan yang telah menyeleweng hingga memiliki moralitas yang

menopang untuk tidak keluar dari norma-norma agama.

Sebagai contoh teladan, akhlak Nabi Muhammad merupakan budi pekerti

yang dibentuk oleh pemahaman dan penghayatan beliau terhadap ayat-ayat al-

Qur‟an yang diturunkan kepadanya, dan bukan sekedar karakter alamiah yang

yang bersumber dari keagungan jiwa dan prilaku baik yang tumbuh murni dari

kedalaman hati dan sanubarinya. Setiap ayat-ayat al-Qur‟an mengandung nilai-

nilai pembinaan akhlak yang luhur. Sesuatu apapun yang baik menurut al-Qur‟an

dan as-Sunnah, maka itulah yang baik untuk dijadikan pegangan dalam

1 Nurul Hidayati Rofiah “Desain Pengembangan Pembelajaran Akidah Akhlak Di

Perguruan Tinggi” dalam Jurnal Fenomena, Vol 8, No 1 (2016), h. 57.

Page 14: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

2

kehidupan sehari-hari. Begitupun sebaliknya, sesuatu apapun yang buruk

menurut al-Qur‟an dan as-Sunnah, maka umat Islam yang berpegang kepada al-

Qur‟an sudah sepantasnya menjauhinya. Maka akhlak disebut juga sebagai

“agama” (Islam) dan pondasi hukum-hukum Allah. Hal tersebut sebagaimana

dikatakan oleh al-Fairuzzabadi, “Ketauhilah, agama pada dasarnya adalah akhlak.

Barang siapa memiliki akhlak mulia, kualitas agamanya pun mulia. Agama

diletakkan di atas empat landasan akhlak utama, yaitu: kesabaran, memelihara

diri, keberanian, dan keadilan”.2

Nabi Muhammad merupakan contoh terbaik sebagai pembangun akhlak

dan perilaku manusia termasuk di era modern ini. Sebagaimana di dalam hadis

yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, Rasulullah SAW bersabda:3

م مكارم الخلق )رواه احمد( انما بعثت لتم

“Sesungguhnya aku diutus (Muhammad) untuk menyempurnakan akhlak.”

(H.R. Ahmad).4

Hadis tersebut menunjukkan bahwa betapa pentingnya Akhlak dalam

kehidupan manusia di dunia ini. Runtuhnya akhlak pada zaman jahiliyyah,

disebabkan perangai atau tabiat umat yang terdahulu, seperti tradisi meminum

arak, membunuh, membuang anak, melakukan kedzaliman sesuka hati,

menindas, mendzalimi kaum yang lebih rendah, dan lain lain. Hal tersebut juga

2 Rosihon Anwar, Akidah Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 11.

3 Nur Khasanah, “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Dalam Buku: Kick Andy Kumpulan

Kisah Inspiratif 2” (Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan S1 IAIN Surakarta, 2013), h.

14. 4 Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, (Digital Library: Maktabah Syamilah), no. 4801.

Page 15: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

3

masih dapat dilihat fenomenanya pada zaman sekarang, mengingat nilai moral

manusia yang semakin menurun seiring berkembangnya kemajuan zaman.

Berbagai macam tindakan kriminal mulai menyebar di masyarakat. Mulai dari

penganiayaan, pencurian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, tawuran

antar pelajaran atau penduduk, hingga tumbuh suburnya praktik KKN, dan masih

banyak lagi, menjadi bukti lemahnya iman dan rendahnya nilai-nilai moral

manusia.5

Berbicara mengenai akhlak tentunya tidak terlepas dari pembahasan

tentang tasawuf. Karena pada dasarnya kajian tasawuf merupakan suatu gerakan

yang memiliki tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.6 Oleh karena itu,

untuk memperbaiki dan mencapai akhlak yang baik diperlukan proses-proses

yang dilakukan oleh para pengamal tasawuf atau ahli sufi. Hal tersebut dapat

menjadi solusi bagi permasalahan seputar kerusakan moral di era modern ini.

Di dalam al-Qur'an sendiri, banyak sekali membahas tentang Akhlak. Di

antaranya bisa ditemukan dalam beberapa surah, yaitu: Q.S. Al-Qalam [68]: 4,

Q.S. An-Nahl [16]: 90, dan Q.S. Ali Imran [3]: 159. Dari ayat ini memberikan

informasi, bahwa Manusia bahkan Nabi-pun dituntut memiliki akhlak yang mulia

dan pada ayat-ayat ini juga bisa digali kembali informasi yang bisa menambah

wawasan dengan cara melihat interpretasi dari kalangan sufi yang juga

mempunyai otoritas dalam bidang penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an.

5 Johan Istiadie & Fauti Subhan “Pendidikan Moral Perspektif Nasih Ulwan”, Jurnal

Pendidikan Agama Islam, Vol 1, No 1 (2013), h. 50. 6 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisime dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h.

56.

Page 16: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

4

Pembahasan skripsi ini akan mengambil data utamanya dari Tafsir Sahl

al-Tustar , yang memiliki keserasian di dalam keilmuan mufassirnya di bidang

tasawuf, yang kemudian juga memiliki otoritas dalam menafsirkan ayat-ayat al-

Qur‟an, tidak hanya yang berkenan dengan Tauhid sebagai sendi agama, tetapi

juga menggali signifikansi khlak yang mulia. Sahl al-Tustar juga merupakan

salah satu sufi yang paling alim, zuhud, wara‟ serta ahli ibadah di zamannya.

Selain menjadi seorang sufi ia juga merupakan seorang mufasir al-Qur‟an.7 Al-

Tustar hidup pada abad ke-3 Islam, yaitu masa klasik Islam yang banyak

melahirkan ulama-ulama besar dalam beragam bidang keilmuan Islam.8 Banyak

karya-karya yang dihasilkan, salah satunya adalah karyanya yang paling terkenal

yaitu kitab Tafsi r al-Qur‟an al-Adzi m yang merupakan kitab primer yang

digunakan penulis sebagai penafsiran ayat-ayat akhlak di atas.

Tafsi r al-Qur‟an al-Adzi m atau yang lebih dikenal dengan Tafsir al-

Tustar ini merupakan kitab tafsir pertama dengan corak penafsiran sufi.9 Tafsir

ini memiliki ciri penafsiran yang khas dengan dalil-dalil penafsiran sufi yang

lurus. Karena pengarangnya sendiri merupakan seorang yang terkemuka dalam

kepribadian sufi yang berdasarkan syari‟at dan mengikuti jejak Rasulullah

SAW.10

7 M. nwar Syarifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl al-Tustari”, dalam Jurnal

Studi al-Qur‟an (JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 136. 8 Baihaki, “Penafsiran yat-ayat Nur dalam Tafsir al-Qur‟an al-`Adzim karya Sahl bin

` bdullah al Tustari” (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam S1 UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2014), h. 24. 9 M. nwar Syarifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl al-Tustari”, dalam Jurnal

Studi al-Quran (JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 136. 10

Baihaki, “Penafsiran yat-ayat Nur dalam Tafsir al-Qur‟an al-`Adzim karya Sahl bin

` bdullah al Tustari” (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam S1 UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2014), h. 25.

Page 17: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

5

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Permasalahan mengenai akhlak tentunya sangat luas terutama jika

dikaitkan dengan latar belakang di atas, sehingga tidak mungkin semuanya dapat

terselesaikan dan terjangkau. Oleh karena itu menghindari kemungkinan

terjadinya kesalahpahaman dan penafsiran yang berbeda, maka perlu adanya

pembatasan masalah, sehingga persoalan yang diteliti menjadi jelas. Dengan hal

ini penulis membatasi ruang lingkup dan fokus masalah yang diteliti sebagai

berikut:

1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang digunakan adalah Tafsir al-Tustar (Tafsīr al-

Qur‟an al-„Adzīm).

2. Objek Penelitian

Dari sekian banyak penulisan ilmiah tentang Tafsir al-Tustar (Tafsīr al-

Qur‟an al-„Adzīm), penulis membatasi dengan membahas tentang

interpretasi Sahl Tustar mengenai ayat-ayat Akhlak Rasulullah dan

Manifestasi adab di dalam al-Qur‟an.

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana keluhuran

Akhlak Rasulullah SAW. digambarkan dalam Tafsir Sufi Sahl al-Tustar ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Dalam suatu penelitian atau kajian tentu mempunyai tujuan yang

mendasari tulisan ini, yaitu sebagai berikut :

Page 18: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

6

1. Memahami gambaran tentang makna ayat-ayat al-Qur‟an yang

memiliki signifikansi tentang ajaran Akhlak yang mulia dalam kitab

Tafsir Sahl al-Tustari>.

2. Dengan memahami keluhuran akhlak Rasulullah yang digambarkan di

dalam al-Qur‟an, maka diharapkan melalui skripsi ini didapatkan

solusi bagi problem degradasi moral di era modern ini.

Sedangkan kegunaannya, yaitu sebagai berikut :

1. Dengan adanya kajian ini, dapat menambah wawasan keilmuan

khususnya dalam bidang tafsir, ilmu tasawuf, dan kajian akhlak secara

umum.

2. Dengan adanya kajian ini penulis berharap mudah-mudahan dapat

dijadikan sebagai kontribusi penulis bagi pengembangan literatur di

bidang kajian tafsir sufi sehingga mendorong tumbuhnya penelitian-

penelitian untuk mengkaji masalah tersebut lebih lanjut.

D. Tinjauan Pustaka

Sebelum mengadakan penelitian, maka meninjau kepustakaan perlu

dilakukan agar menjadi jelas sejauh mana pembahasan pustaka tersebut. Selain

itu agar penelitian ini terhindar dari plagiasi.

Telaah pustaka yang akan dibahas yaitu literatur-literatur yang membahas

seputar akhlak dan Sahl al-Tustari. Adapun beberapa literatur yang membahas

Sahl al-Tustari, diantaranya:

Page 19: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

7

Literatur berupa skripsi dengan judul “Penafsiran Ayat-ayat N r dalam

Tafsir al-Qur‟an al-`Adzim karya Sahl bin `Abdullah al Tustari>” yang ditulis

oleh Baihaki. Penelitian tersebut membahas penafsiran Sahl al-Tustari> terhadap

ayat-ayat Nu>r dan menjelaskan pola Sahl al-Tustari> dalam menafsirkannya.

Dari beberapa macam ayat n r yang dipaparkan oleh Sahl, hanya ditemukan

delapan makna n r di dalam kitab tafsirnya, dan terbagi menjadi dua bagian:

Pertama, tafsir terkait ayat-ayat yang secara langsung memuat redaksi al-n r di

dalamnya. Kedua, tafsir tentang n r dalam ayat-ayat yang tidak memuat redaksi

al-n r. Dengan dua ragam penafsiran yang diberikan Sahl, yaitu esoteris dan

eksoteris. Adapun delapan makna n r tersebut diantaranya: cahaya keimanan,

cahaya al-Qur‟an/agama Islam, cahaya hati orang-orang beriman, cahaya

keimanan yang menyelamatkan dari api neraka, cahaya kenabian Nabi

Muhammad, karunia orang beriman di surga, relasi antara n r dan n r, dan n r

Muhammad. Dari kedelapan makna n r tersebut, terdapat salah satu yang

mendapat perhatian lebih, yaitu makna n r yang terdapat dalam QS. l-N r

35, yang diartikan dengan n r Muhammad.

Adapun skripsi yang ditulis oleh Muh. Ainul Fiqih, dengan judul “Makna

Ikhlas Dalam Tafsir al-Tustari Karya Sahl Ibn „Abdullah al-Tustari>”.

Penelitian tersebut membahas makna serta kriteria mengenai tema Ikhlas dengan

penafsiran Sahl al-Tustari>. Pandangan al-Tustar tantang makna ikhl ṣ dalam

kitab Tafsīr al-Qur‟an al-„Aẓīm adalah keadaan hati yang hanya memfokuskan

pandangan kepada Allah SWT. dan menyadari bahwa ketidak adaan kemampuan

diri dalam keadaan apapun. Sahl membagi orang yang ikhl ṣ dalam tiga kriteria,

Page 20: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

8

pertama, muḥsin yaitu orang yang memurnikan aganyanya hanya kepada Allah

yang berupa agama Islam dan menjalankan syariat-syariat yang telah

ditetapkannya dengan baik; kedua, muṣliḥ yaitu orang yang selalu membaguskan

hati atau jiwanya hanya kepada Allah dan meninggalkan segala sesuatu yang

selain-Nya; ketiga, munīb yaitu orang yang memurnikan hatinya hanya kepada

Allah dengan cara menunggalkan Allah dan selalu ingat kepada-Nya dalam setiap

tingkah lakunya.

Adapun literatur berupa jurnal dengan judul “Otoritas Penafsiran Sufistik

Sahl al-Tustari>” yang ditulis oleh M. Anwar Syarifuddin dalam Jurnal Studi al-

Qur‟an. Penelitian tersebut membahas kehidupan Sahl al-Tustari> meliputi

biografi, pendidikan perjalanan hidup, serta karya-karyanya. Selain itu penelitian

tersebut juga membahas metode serta isi penasfsiran Sahl al-Tustari>. Otoritas

Sahl dalam bidang tasawuf, di mana kisah perjalanan hidupnya mengutamakan

gaya hidup zuhud dan latihan spiritual yang keras sebagai ciri khas aliran sufi

Basrah merupakan gambaran yang sangat jelas dan tidak diragukan lagi bahwa ia

adalah seorang sufi sejati. Sahl berupaya memadukan kekuatan argumentasi

tradisional yang didapatkan selama pendidikan di Tustar dengan kekuatan logika

rasional dan kaidah-kaidah bahasa yang berlaku di Basrah.

Adapun literatur yang membahas seputar Akhlak, diantaranya:

Literatur berupa jurnal dengan judul “Pendidikan Moral Perspektif Nasih

Ulwan” yang ditulis oleh Johan Istiadie dan Fauti Subhan. Penelitian tersebut

membahas pendidikan moral menurut pendapat Nasih Ulwan dan relevansinya

Page 21: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

9

dalam menjawab problematika manusia di era modern. Nasih Ulwan berpendapat

bahwa pendidikan moral merupakan serangkaian prinsip dasar moral dan

keutamaan sikap serta watak yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh

anak sejak masa pemula hingga ia siap mengarungi lautan kehidupan. Persoalan

di era modern dapat diidentifikasi persoalan fisik dan psikis. Persoalan yang

bersifat fisik mengarah pada pengkondisian manusia sebagai objek dari segala

produk iptek yang dihasilkan di era modern. Sementara persoalan yang bersifat

psikis mengarah pada pendangkalan nilai moral-spiritual akibat dari dominasi

produk keilmuan dan teknologi modern yang bersifat sekuler.

Adapun jurnal yang ditulis oleh Yasir Abdul Rahman, dengan judul

“Berakhlak dengan Allah: Allah Sebagai Layanan Prima”. Penelitian tersebut

membahas bagaimana kita berakhlak dengan Akhlak Allah. Di antara sifat

Akhlak Allah, manusia dapat meniru sifat-sifat tersebut, dan adapun beberapa

sifat Allah yang tidak dapat dijangkau oleh manusia. Di dalam penelitian tersebut

juga membahas berbisnis di era modern dan relevansinya dengan Allah yang

maha sempurna dalam melayani hajat manusia.

Adapun skripsi yang ditulis oleh Ulfatun Nikmah dengan judul “Konsep

Pendidikan Akhlak Menurut Syaikh Musthafa Al-Ghalayaini dalam „Idhotu An-

Nasyiin”. Penelitian tersebut membahas mengenai pendidikan serta Akhlak pada

zaman sekarang dan membahas pendidikan menurut Syaikh al-Ghalayaini

sebagai solusi. Pendidikan menurut al-Ghalayaini merupakan usaha menanamkan

akhlak terpuji dalam jiwa anak-anak. Konsep yang dibangun dari pendidikan

Syaikh Musthafa al-Ghalayaini dalam kitab „Idhotun Nasyīn, dapat dilihat dari

Page 22: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

10

beberapa kriteria sifat-sifat yang harus dimiliki oleh anak didik yaitu, pertama,

sebagai anak didik harus berani maju ke depan; Kedua, anak didik harus

mempunyai sifat dermawan; Ketiga, anak didik harus mempunyai rasa kesabaran;

Keempat, keikhlasan; Kelima, mempunyai kemuliaan jiwa.

Penelitian diatas berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh

peneliti nantinya. Dari sekian banyaknya penelitian mengenai akhlak peneliti

membatasi penelitian ini dengan membahas “Keluhuran akhlak Rasulullah

SAW.” sementara penelitian sebelumnya belum ada yang membahas mengenai

tema tersebut, terutama di dalam tafsir sufi Sahl al-Tustari. Adapun penelitian

yang membahas mengenai akhlak, penelitian tersebut hanya fokus terhadap salah

satu keluhuran akhlak Rasulullah SAW., yaitu Ikhl ṣ.

E. Metode Penelitian

Penulis menguraikan dengan metode yang dipakai adalah penelitian yang

tercakup di dalamnya jenis penelitian, sumber data, dan metode pengolahan data

serta analisis data.

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kepustaan (Library Research),

yaitu penelitian yang dilakukan dengan jalan mempelajari, menelaah dan

memeriksa bahan-bahan kepustakaan yang mempunyai relevansi dengan

materi pembahasan. Kajian dalam penelitian ini dilakukan dengan menelusuri

dan menelaah terutama Tafsir al-Tustarī Karya Sahl Ibn „ bdullah al-

Tustari>, serta buku-buku serta literatur-literatur yang terkait.

Page 23: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

11

2. Sumber Data

Penelitian ini termasuk kepada penelitian kepustakaan, maka data-data

akan diperoleh dari sumber-sumber literer, yaitu data yang diperoleh dari

sumber-sumber data tertulis seperti kitab Tafsir al-Tustarī dan juga literatur-

literatur lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Data yang dikumpulkan

dalam penelitian ini terbagi menjadi dua macam, yaitu sumber data primer

dan sumber data sekunder.

Sumber data primer merupakan sumber data yang berkaitan dengan

pokok pembahasan. sumber data tersebut adalah kitab Tafsir al-Tustarī karya

Sahl al-Tustar . dapun sumber data sekunder adalah data yang materinya

tidak langsung mengenai masalah yang diungkapkan. Sumber data sekunder

yang digunakan oleh penulis diantaranya, kitab Tafsir Jami‟ al-Bay n fi

Ta‟wil al-Qur‟an karya Ibn Jar r al-Thabar dan kitab al-Tafsīr wa al-

Mufassir n karya al-Dzahabi, serta kitab-kitab atau literatur-literatur lain

berupa tulisan dalam bentuk jurnal ataupun artikel yang berkaitan dengan

kajian yang penulis teliti dan daat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

3. Metode Pengumpulan

Pengumpulan data dalam sebuah penelitian adalah cara yang digunakan

untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian melalui prosedur

yang sistematik dan standar. Sedangkan data dalam penelitian adalah semua

bahan keterangan atau informasi mengenai suatu gejala atau fenomena yang

ada kaitannya dengan riset penelitian.11

11

Tatang M. Arifin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: Rajawali Press, 1995), h. 3.

Page 24: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

12

Data-data yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penelitian ini diperoleh

dengan menggunakan metode dokumenter yang diterapkan untuk menggali

berbagai naskah-naskah yang terkait dengan objek penelitian ini.

4. Analisis Data

Agar mendapatkan bahasan yang akurat, maka untuk mendapatkan data

yang diperoleh, penulis menggunakan metode analisis data yang bersufat

deskriptif-analitis, yaitu penelitian yang menuturkan dan menganalisa

panjang lebar, yang pelaksanaannya tidak hanya terbatas pada pengumpulan

data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi data.12

Pada bagian ini penulis

akan menganalisa interpretasi akhlak dalam kitab al-Tustari.

5. Teknik Penulisan

Penulisan skripsi ini menggunakan pedoman penulisan skripsi

berdasarkan keputusan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No. 507 Tahun

2017. Dengan terjemah ayat al-Qur‟an berdasarkan mushaf yang ditaṣḥīḥ

oleh Departemen Agama RI. Transliterasi yang digunakan mengikuti

Pedoman Transliterasi Arab-Latin Keputusan Bersama Menteri Agama dan

Menteri P dan K No. 158 Tahun 1987 Nomor: 0543b/u/1987 dengan

pengecualian pada kosakata yang sudah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia,

nama orang juga penyebutan nama surah dalam al-Qur‟an.

F. Sistematika Penulisan

Sebagaimana layaknya sebuah penelitian ilmiah, maka penelitian ini

penulis susun dengan sistematika sebagai berikut:

12

Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tehnik (Bandung:

Tarsito, 1994), h. 45.

Page 25: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

13

Bab I merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan

pustaka, metode penelitian dan penulisan serta sistematika penulisan.

Bab II membahas tentang tinjauan umum biografi Singkat Sahl al-Tustari,

serta memaparkan karya-karya dan filologi tafsir al-Qur‟an al- dz m, murid-

murid yang pernah berguru dengan Sahl Tustari, dan Prinsip penafsiran Sahl

Tustar yang terdiri dari konsep Nuz l al-Qur‟an, Isi kandungan al-Qur‟an, dan

makna-makna di dalam al-Qur‟an.

Bab III membahas tentang diskursus umum tentang Akhlak, diantaranya

membahas definisi Akhlak dan pendapat ulama, pembagian Akhlak, keluhuran

akhlak Rasulullah dalam al-Qur‟an, dan pembinaan Akhlak Mulia kerasulan

Muhammad saw.

Bab IV yaitu menjadi bab inti penulisan yang membahas interpretasi Sahl

al-Tustari terhadap ayat-ayat keluhuran Akhlak Rasulullah, meliputi: Muhammad

beradab al-Qur‟an, manifestasi adab dalam al-Qur‟an, karakteristik akhlak

Muhammad dan beberapa maqamat dari contoh akhlak Rasulullah.

Bab V menjadi akhir pembahasan yaitu penutup meliputi kesimpulan dan

saran.

Page 26: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

14

BAB II

SAHL IBN ‘ABDULLAH AL-TUSTARĪ SEBAGAI MUFASSIR SUFI

A. Biografi Sahl Ibn ‘Abdullah al-Tustarī

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī merupakan seorang „alim sufi, dan ahli di

bidang ilmu teologi (kalām), juga di bidang ilmu ikhlas, ilmu akhlak, serta ilmu

riyāḍah (melatih jiwa). Ia memiliki nama lengkap Abū Muhammad Sahl b.

„Abdullah b. Yūnus b. „Isa b. „Abdullah b. Rafī‟ al-Tustarī.1 Ia juga biasa

dipanggil dengan nama sandarannya al-Tustarī.2

Al-Tustarī lahir pada tahun 200 H/815 M di Tustar3 yang terletak di salah

satu daerah di Ahwaz (Ahvaz),4 Khuzistan,

5 sebelah barat Iran. Pada tahun 261

H/874 M, ia terpaksa harus hijrah ke Bashrah6 hingga ia meninggal di sana pada

tahun 283 H/896 M.7

1 Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad sil „U ūn

al-Sūd (D r al-Kutub al-„Ilmi ah, airūt-Liban n, 2007), h. 3. 2 Gerhard Bowering, The Mystical Vision of Existence in Classical Islam: The Qur‟anic

Hermeneutics of The Sufi Sahl At-Tustari (New York: De Gruyter, 1979), dalam M. Anwar

S arifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl at-Tustari>”, dalam Jurnal Studi al-Qur‟an (JSQ),

Vol. II, No. 1 (2007), h. 7. 3 Tustar adalah salah satu kota benteng kuno di Persia. Kota tersebut terletak di wilayah

Khuzistan, sekitar 92 km jaraknya dari ibukota (Ahvaz). Kota ini dihuni oleh 89.255 penduduk

pada tahun 2005. Dalam https://ms.m.wikipedia.org/wiki/Shushtar diakses pada 16 November

2018, pukul 15.55 WIB. 4 Ahwaz (Ahvaz) merupakan ibukota provinsi Khuzistan. Kota ini terletak di sebelah

selatan Iran dengan jumlah penduduk sebanyak 1.425.891 pada tahun 2008. Dalam

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ahvaz diakses pada 16 November 2018, pukul 15.49 WIB. 5 Khuzistan (Persia) merupakan satu dari 30 provinsi di Iran dan terletak di bagian barat

negara tersebut. Provinsi ini dihuni oleh 4.345.607 jiwa pada tahun 2005, dengan luas wilayah

64.055 km². Dalam https://id.m.wikipedia.org/wiki/Provinsi_Khūzest n diakses pada 16

November 2018, pukul 15.28 WIB. 6 Bashrah merupakan kota terbesar kedua di Irak. Terletak di sebelah selatan pertemuan

Sungai Eufrat dan Sungai Tigris. Kota ini dibangun pada zaman Umar bin Khattab, tahun 14 H.

Bangunan dan tata letak kota ini di desain oleh Utbah bin Ghazwan al-Mazini. Kota ini terletak

sekitar 545 km ke arah selatan dari Baghdad dan dekat dengan pesisir pantai Teluk Arab. Dalam

“Ensiklopedia Islam- ashrah” dalam https://yufidia.com/bashrah/ diakses pada 16 November

2018, pukul 16.15 WIB. 7 Heri MS Faridy dkk. (ed.), Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1048.

Page 27: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

15

Belum ada kepastian mengenai tahun lahir al-Tustarī. Ada beberapa

pendapat mengenai tahun kelahirannya, dan beberapa sumber mengatakan

bahwa al-Tustarī lahir pada tahun 200 H/815 M atau pada tahun 203 H/818 M.

Beberapa sarjana Barat seperti Louis Massignon dan Fuat Sezgin berpendapat

kelahiran al-Tustarī pada tahun 203 H/818 M.8 Sementara A.J. Arberry dan Ibn

Khallikan berpendapat bahwa tahun lahir al-Tustarī pada 200 H/815 M.

Sama dengan tahun lahir al-Tustarī, belum ada kepastian mengenai tahun

wafatnya. Ada beberapa pendapat mengenai tahun wafatnya al-Tustarī. Ada

yang mengatakan ia wafat pada tahun 282 H.9 Bahkan ada pula yang

berpendapat dengan selisih yang lumayan jauh dari kebanyakan pendapat yaitu

293 H. Ibn al-„Im d al-Hanbalī10

mengatakan bahwa Abū Muhammad Sahl b.

„Abdullah al-Tustarī meninggal pada tahun 283 H, yaitu ketika ia berumur 80

tahun. Dan pendapat tersebut adalah yang paling tepat.

Al-Tustarī mendapatkan pengajaran pertama mengenai tasawuf dari

pamann a ang sekaligus menjadi gurun a bernama Muhammad b. Saww r.11

Al-Tustarī bercerita dalam kisahn a, “Di saat berusia tiga tahun, aku bangun

malam menunggu shalat pamanku, Muhammad b. Saww r. Paman selalu

beribadah sepanjang malam. Kadang-kadang ia berkata kepadaku, „Hai Sahl

kamu pergi saja dan tidurlah. Hatiku terganggu karenamu‟!”. Ketika usianya

dirasa sudah tepat, suatu hari barulah pamannya bermaksud mengenalkan ajaran

8 M. Anwar S arifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl at-Tustari”, dalam Jurnal

Studi al-Qur‟an (JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 136. 9 Heri MS Faridy dkk. (ed.), Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1048.

10 Ibn al-„Im d al-Hanbali memiliki nama lengkap Abu al-Falah Abd al-Hayy ibn Ahmad

ibn Muhammad. Ia wafat pada tahun 1089 H., pada usia 58 tahun. Di antara karya-karyanya adalah

Syadzara>tu al-Dzahab. Dalam Dr. Musthafa Murad, Kisah Hidup Ali Ibn Abi Thalib, Terj. Dedi

Slamet Riyadi, (Jakarta: Zaman, 2007), h. 224. 11

Ya an Mul ana, “Konsep Mahabbah Imam al-Tustarī (200-283 H.)”, dalam jurnal

Syifa al-Qulub, Vol. I, No. 2 (2017), h. 3.

Page 28: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

16

tasawuf kepada al-Tustarī dengan bertan a, “Apakah kamu dapat mengingat

Tuhan ang menciptakanmu?”, al-Tustarī menjawab, “ agaimana caran a agar

aku mengingat-N a?”, pamann a pun menjawab, “Ucapkanlah tiga kali dalam

hatimu tanpa menggerakkan lidahmu saat menjelang tidur malam, Allah

bersamaku, Allah melihatku, Allah mengawasiku.”, ia pun menuruti perintah

pamannya.12

Pada awalnya ia melakukannya sebanyak tiga kali selama tiga

malam, kemudian bertambah menjadi tujuh kali pada setiap malam, dan

bertambah lagi menjadi sebelas kali setiap malam, hingga akhirnya ia merasakan

di dalam hati manisnya pengalaman dalam berdzikir.13

Pengajaran yang diberikan pamannya tersebut dapat mempermudah al-

Tustarī dalam membiasakan dirin a untuk berdzikir. Mulai dari ang terendah

hingga melekat di dalam hatinya. Perintah untuk berdzikir mulai dari bilangan

terendah yaitu tiga kali, kemudian tujuh kali, hingga sebelas dalam semalam

secara bertahap hal tersebut dapat mempermudah proses transformasi dari suatu

pembiasaan yang ringan hingga pembiasaan yang lebih utama.14

Selama beberapa tahun proses dzikir tersebut berjalan hingga rasa manis

dan nyaman yang masuk ke dalam hatinya semakin terasa hingga tingkat yang

paling dalam. Kemudian pamann a Muhammad Saww r, berkata “Hai Sahl,

barang siapa yang merasa Allah selalu bersamanya, selalu melihatnya, dan selalu

memperhatikannya, apakah dia akan sanggup untuk berbuat maksiat kepada-

12

M. Anwar S arifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl at-Tustarī”, dalam Jurnal

Studi al-Qur‟an (JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 137. 13

Ya an Mul ana, “Konsep Mahabbah Imam al-Tustarī (200-283 H.)”, dalam jurnal

Syifa al-Qulub, Vol. I, No. 2 (2017), h. 3. 14

Ya an Mul ana, “Konsep Mahabbah Imam al-Tustarī (200-283 H.)”, dalam jurnal

Syifa al-Qulub, Vol. I, No. 2 (2017), h. 3.

Page 29: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

17

Nya? Maka jauhilah maksiat”.15

Setelah mendengar pernyataan pamannya

tersebut ia pergi berkhalwat (menyepi). Akan tetapi, orangtuanya

menghendakinya untuk pergi ke madrasah. Mengetahui hal itu, al-Tustarī

berbicara kepada orangtuanya bahwa ia takut dengan bersekolah konsentrasi

yang ia miliki akan kacau. Sehingga orangtuanya membuat perjanjian dengan

gurunya untuk belajar di madrasah selama satu jam saja, dan selebihnya ia akan

melanjutkan kegiatannya semula (menyepi).16

Dengan syarat tersebut, al-Tustarī

mulai belajar dan menghafal al-Qur‟an di madrasah pada usia enam atau tujuh

tahun. Dan sejak saat itu pula al-Tustarī terus menerus berpuasa (saum ad-dahr)

dan hanya dengan sepotong roti yang ia makan saat itu, hingga umurnya dua

belas tahun.17

Sejak saat itu, kecenderungan al-Tustarī terhadap jalan hidup sufi ang ia

pilih semakin kuat. Hal tersebut ditandai dengan persoalan-persoalan rumit yang

muncul di kepala hingga mengganggu pikirannya,18

saat umurnya tiga belas

tahun. Tak seorang pun mampu menjawab persoalan tersebut, sehingga ia

meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk pergi ke Bashrah untuk

memecahkan masalah yang menimpanya. Setelah orang tuanya mengizinkan, ia

pun pergi ke Bashrah menemui orang-orang pintar berharap menemukan

jawaban atas persoalan yang ada di kepalanya. Akan tetapi, tidak ada satupun

15

Ya an Mul ana, “Konsep Mahabbah Imam al-Tustarī (200-283 H.)”, dalam jurnal

Syifa al-Qulub, Vol. I, No. 2 (2017), h. 3. 16

Heri MS Faridy dkk. (ed.), Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1048-

1049. 17

Al-Qusyairi, Ar-Risalati Al-Qusyairiyyah, Abdul Halim Mahmud, ed., (Dar al-Kutub

al- Haditsah, 1385 H), h. 499. 18

M. Anwar S arifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl at-Tustari”, dalam Jurnal

Studi al-Qur‟an (JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 138.

Page 30: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

18

yang mampu memecahkan masalahnya.19

Ibn „Arabi menjelaskan bahwa

persoalan ang dihadapi Sahl adalah ken ataan tentang “sujudn a hati” (sujūd

al-qalb).

Selanjutnya ia pergi ke pulau Abadan20

dan bertemu dengan ulama

bernama Abū Hamzah b. „Abdullah al-„Abbad nῑ, kemudian al-Tustarī bertan a

kepadanya mengenai beberapa masalah dan ia mendapatkan jawaban yang

memuaskan dari Hamzah.21

Munawi dalam kitabnya Kawākib al-Durriya

berdasarkan sebuah riwayat yang diambil dari Ibn „Arabi menjelaskan

bagaimana dialog yang terjadi dalam pertemuan al-Tustarī dengan Hamzah al-

`Abbad nī pada tahun 216 H/ 831 M22

. Munawi mengatakan bahwa ketika al-

Tustarī sampai di Pulau `Abbad n ia bertan a kepada Hamzah, “Wahai S ekh!

Apakah hati selalu bersujud?” Hamzah menjawab, “Ya, selaman a!”. Atas dasar

jawaban sederhana inilah al-Tustarī kemudian merasakan bahwa dirin a telah

menemukan jawaban yang ia inginkan selama ini. Ia kemudian memutuskan

untuk tinggal bersama Hamzah di gubuk (ribat) pertapaannya. Gubuk tersebut

merupakan gubuk yang cukup terkenal sebagai persinggahan beberapa tokoh

terkenal sepanjang sejarah, diantaranya23

Muq til b. Sulaim n (w. 150 H/767

19

Heri MS Faridy dkk. (ed.), Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1049. 20

Abadan adalah sebuah wilayah di atas laut Persia, berdekatan dengan Bashrah dari arah

Timur sedikit ke Selatan. Telah berkata al-Shahghani, “Abadan adalah pulau ang dikelilingi oleh

dua cabang sungai Tigris di laut Persia”. Dalam Imam al-Ghazali, Rahasia Haji: Imam al-Ghazali,

Terj. Mujiburrahman, (Jakarta: Turos Pustaka, 2017), h. 33. 21

Ya an Mul ana, “Konsep Mahabbah Imam al-Tustarī (200-283 H.)”, dalam jurnal

Syifa al-Qulub, Vol. I, No. 2 (2017), h. 4. 22

Gerhard Bowering, The Mystical Vision of Existence in Classical Islam: The

Qur‟a>nic Hermeneutics of The Su>fi Sahl At-Tustari (New York: De Gruyter, 1979), dalam M.

Anwar S arifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl at-Tustari>”, dalam Jurnal Studi al-Qur‟an

(JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 47. 23

M. Anwar S arifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl at-Tustarī”, dalam Jurnal

Studi al-Qur‟an (JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 138-139.

Page 31: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

19

M)24, Hamm d b. Sal mah (w. 167 H/784 M)

25, Wakī‟ b. al-Jarr h (w. 197

H/812 M)26

, Sula m n al-Dar nī (w. 215 H/830 M)27, ishrī al-H fī (w. 227

H/841 M)28, Sarī al-Saqatī (w. 251 H/865 M)

29, dan „Abd al-Rahīm al-Istakhrī

(w. ±300 H/912 M).

Setelah beberapa lama tinggal di Bashrah, lalu ia pun kembali ke Tustar

dan uang yang ia miliki hampir habis dan hanya tersisa satu dirham. Uang

tersebut ia belikan gandum biji yang kemudian ia giling sendiri menjadi tepung.

24

Muqâtil b. Sulaim n merupakan mufassir yang memiliki banyak kontroversi pada

masanya. Ia hidup pada masa berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah dan pada masa awal

pemerintahan ani Abasi ah. Ia memiliki kar a tafsir ang dikenal dengan nama “Tafsir

Muqatil”. Kitab tafsir tersebut banyak diperdebatkan oleh para ulama, sehingga belum beredar luas

di pasaran. Ia termasuk ke dalam kelompok S i‟ah Zaidi ah (S i‟ah ang dianggap lebih dekat

dengan sunni), yang merupakan minoritas pada saat itu, sehingga penafsirannya tentang keesaan

dianggap menyimpang oleh mayoritas penganut muktazilah saat itu. Dalam “Kajian Kritis Atas

Tafsir Muqatil Kar a Muqatil bin Sulaiman” https://iatbajigur.wordpress.com/2017/03/26/kajian-

kritis-atas-tafsir-muqatil-karya-muqatil-bin-sulaiman-w-105-h-767-m/ diakses pada 25 Oktober

2018 pukul 00.41 WIB. 25

Hamm d b. Sal mah b. Dinar merupakan seorang ahli nahwu (tata bahasa Arab) dan

juga ahli dalam bidang fiqih. Ia juga merupakan ahli hadis yang dinilai kuat dan terpercaya dalam

hujjahnya. Banyak para ulama yang memujinya, sehingga ia mendapat gelar “Al-Imam Al-

Qudwah” dan “Syaikh al-Islam”. Tetapi, di usia tuanya ia mengalami kecacatan dalam

hafalannya. Dalam Mahmud bin Abdul Malik al-Zughbi, Wafat Saat Sholat: 73 Kisah Kematian

yang Indah, Terj. Yusni Amru & Fuad Nawawi, (Jakarta: Noura Books, 2014) h. 13-15. 26

Wakī‟ b. al-Jarr h adalah seorang ahli dan penghafal hadis. Ia juga dikenal sebagai ahli

ibadah, wira‟i, ban ak shalat, ibadah malam, dan tahajud. Ahmad bin Hanbal, berkata, “... di

samping menghafal babnyak hadis, beliau juga mempelajari fiqih sekaligus memperbaikinya.

Ditambah lagi, ia adalah seorang yang wira‟i dan sungguh-sungguh menekuni ibadahnya, serta

memiliki jiwa ang khus uk”. Dalam Ahmad Musthafa ath-Thahthawi, Shalat Orang-Oramg

Shaleh, Terj. SABDA, (Jakarta: Penerbit Republika, 2005), h. 141. 27

Sula m n al-Dar nī memiliki nama lengkap Abu Sulaiman Abdurrahman bin Athiyah

Al-Darani. Ia merupakan salah seorang pembesar sufi Islam dan menjalani kehidupan zuhud,

wara‟, men ibukkan diri dengan perkara-perkara agama, dan menjauhkan diri dari dunia. Dalam

Abu Abdirrahman Al-Sulami, Tasawuf: Buat Yang Pengen Tahu, Terj. Faisal Saleh, (Jakarta:

Penerbit Erlangga, 2007), h. 89. 28

ishrī al-H fī memiliki nama lengkap ishrī ibn al-Harits ibn Abd ar-Rahman ibn

„Atha‟ ibn Hilal ibn Mahan ibn Abdullah. Ia merupakan ulama ang paling terkenal dari golongan

salaf.kerakwaan, keilmuan, kezuhudan dan sikap wara‟ yang ada pada dirinya telah mencapai

tingkatan paling atas. Ia juga memiliki tiga saudara yang memiliki sifat yang sama dengan dirinya.

Dalam Al-Qusyairi, Ar-Risalati Al-Qusyairiyyah, Abdul Halim Mahmud, ed., (Dar al-Kutub al-

Haditsah, 1385 H), h. 404. 29

Sarī al-Saqatī memiliki nama lengkap Abu al-Hasan Sari bin Mughallis as-Saqati>. Ia

merupakan paman dari tokoh sufi terkemuka al-Junayd dan murid dari Ma‟ru>f karkhi>. Dalam

kitabnya, al-Qusyairi mengatakan bahwa ia memiliki sifat wara‟ dan pemahaman yang baik

tentang sunnah dan tauhid. Begitupun as-Sulami mengatakan bahwa ia sufi yang pertama kali

mengajarkan kebenaran mistik (tauhid) di Baghdad. Dalam M. Anwar S arifudin, “Early Sufi: Sari

al-Saqati” https://ulumulquran2010.wordpress.com/2012/05/06/early-sufi-sari-al-saqati/ diakses

pada 29 Oktober 2018, pukul 16.27 WIB.

Page 32: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

20

Kemudian dari tepung itu ia buat roti. Setiap malam menjelang fajar, ia

melakukan sahur dengan meminum air putih, terkadang ia juga memakan

sepotong roti yang beratnya kira-kira satu ons dan ia memakannya tanpa lauk,

bahkan tanpa bumbu ataupun garam. Maka dengan cara tersebut uang yang ia

miliki cukup untuk kebutuhan hidupnya selama satu tahun.30

Setelah itu al-Tustarī bertekad untuk melaksanakan puasa selama tiga hari

tiga malam, kemudian lima hari lima malam, kemudian tujuh hari tujuh malam,

hingga duapuluh lima hari duapuluh lima malam. Ia melakukan puasa tersebut

selama duapuluh tahun.31

Setelah itu, ia melakukan beberapa perjalanan ke

berbagai daerah selama beberapa tahun, termasuk perjalanannya menunaikan

ibadah haji ke Mekkah pada tahun 219 H/834 M. Di dalam kitabnya al-Luma‟ fi

al-Tashawwuf, Sarr j mengomentari mengenai ibadah haji yang dilakukan oleh

al-Tustarī han a dilakukan sekali dalam seumur hidupn a, sehingga Sarr j

menyebutnya dengan sebutan haji Islam (hajj al-Islam). Hal tersebut menandai

perbedaannya dengan para sufi lain yang lazimnya melakukan ibadah haji

berkali-kali selama hidupnya.32

Selain Abu Hamzah dan Muhammad bin Saww r pamannya, Dzu> an-

Nu>n al-Misri juga mempun ai pengaruh penting bagi al-Tustarī, terutama

dalam mengajari tentang tawakkal kepada Allah. Pengaruh yang diberikan oleh

Dzu> an-Nu>n al-Misri yang cukup dominan terlihat pada tumbuhnya sikap

30

Heri MS Faridy dkk. (ed.), Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1049. 31

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al- Azīm, tahqiq Taha `Abd al-

Rauf Sa`d & Sa`d H{asan Muh}ammad `Ali (Kairo: Dar al-H{aram Lit-Turas}, 2014), h. 67.

Dalam Ya an Mul ana, “Konsep Mahabbah Imam al-Tustarī (200-283 H.)”, dalam jurnal Syifa al-

Qulub, Vol. I, No. 2 (2017), h. 4. 32

M. Anwar S arifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl at-Tustari”, dalam Jurnal

Studi al-Qur‟an (JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 139.

Page 33: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

21

hormat al-Tustarī terhadap beliau sebagai teman sejawatn a, ang bagi sebagian

kalangan disebut juga sebagai guru bagi al-Tustarī, sebagaimana sikap ang

ditunjukkan al-Tustarī yang enggan menerima murid hingga Dzu> an-Nu>n al-

Misri meninggal dunia pada tahun 246 H/861 M.33

Pemikiran Sahl al-Tustari dapat digolongkan sebagai aliran pemikiran

sunni yang moderat. Al-Tustari memadukan aspek naqli dengan rasio, atau

antara riwayat dan pemahaman ijtihadi, dalam sebuah harmoni pemikiran yang

padu. Hal tersebut bisa dilihat dalam metode penuangan gagasan-gagasan

mistiknya, seperti dalam penafsiran simboliknya yang masih menyertakan

makna harfiah sebagai landasan pokok bagi proses analogi yang diambil. Upaya

al-Tustarī untuk terus mencari harmoni antara tradisi yang diwarisi melalui

proses ta‟lim yang didapat dari guru pertamanya, yakni pamannya Muhammad

bin Sawwa>r, dipadukan dengan kerangka berpikir rasional yang didapatkan

dari pengaruh Dzū al-Nun al-Misri, serta iklim akademik Basra yang rasional.34

Sebagai ahli sufi al-Tustari mempunyai banyak murid dari tokoh-tokoh

ternama tasawwuf. Murid-murid Sahl terbagi menjadi dua kategori. Pertama,

murid-murid yang mengabdi dan tinggal bersama Sahl dalam jangka waktu

tertentu, diantaranya:35

1. Al-Husayn Ibn Mansur al-Halla>j yang merupakan sufi yang paling

terkenal. Ia tinggal bersama Sahl selama dua tahun dari tahun 260 H/873

33

M. Anwar S arifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl at-Tustari>”, dalam Jurnal

Studi al-Qur‟an (JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 140. 34

M. Anwar S arifuddin, “Memaknai Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam

Ontologi Mistik Sahl Ibn „Abd Allah al-Tustari”, dalam Jurnal Refleksi, Vol. 11, No. 2 (2009), h.

1. 35

M. Anwar S arifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl at-Tustarī”, dalam Jurnal

Studi al-Qur‟an (JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 144-145.

Page 34: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

22

M hingga tahun 262 H/875 M, dan pada saat itu ia berumur 16 tahun.

Dikatakan oleh Massignon, bahwa terdapat beberapa bukti mengenai

pengaruh spiritual Sahl terhadap al-Halla>j, diantaranya, kesamaan

mengenai disiplin puasa, kesamaan jumlah rakaat (400) shalat dalam

sehari semalam, dan kesamaan ajaran tentang yaqi>n yang dinisbatkan

kepada keduanya.

2. Muhammad Ibn Sa>lim al-Basri> juga merupakan sufi terkenal. Ia juga

merupakan murid Sahl yang paling dipercaya, karena telah mengabdi

selama 60 tahun dan tidak pernah berguru kepada selain Sahl. Ia dengan

anaknya Abu> al-Hasan Ahmad bin Sa>lim merupakan pendiri aliran

Sa>limiyyah, sebuah tarikat sufi yang dominan di Basrah setelah wafatnya

Sahl. Aliran sufi Sa>limiyyah tersebut mengadopsi metode pendidikan

yang diterapkan oleh Sahl sebagai pangkal genealogi tarikat.

3. Abu> Muhammad Ahmad Ibn Muhammad Ibn al-Husayn al-Jurayri.

Selain menjadi murid Sahl, ia juga menjadi murid al-Junayd yang

merupakan pendiri kelompok sufi Baghdad. Sulami menyebutkan bahwa

al-Jurayri menggantikan al-Junayd sebagai imam majelis, karena

keshahihannya dan kesempurnaan tasawwufnya.

4. Abu> al-Hasan „Ali> Ibn Muhammad al-Muzayyin juga merupakan murid

dari al-Junayd. Ia diakui sebagai anggota lingkaran sufi Baghdad, dan ia

digelari sebagai guru yang paling wara‟ dan seorang mistik terbaik.

Kedua, murid-murid yang dikutip di dalam karya al-Tustari dan yang

dikutip di dalam sumber-sumber lain yang memiliki kaitan dengan riwayat

mengenai al-Tustari yang disebutkan bersama mereka, diantaranya: Abu> „Abd

Page 35: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

23

al-Rahman bin Ahmad al-Marwazi>, Ahmad bin Mata>, Abu al-Hasan „Umar

bin Wa>shil al-Anba>ri>, dan Abu> Yu>su>f Ahmad bin Muhammad bin Qays

al-Sijzi>, Isha>q bin Ahmad dan al-Muqhi>, Abu Bakr Muhammad bin al-

Husayn al-Jawra>bi>, Abu> Muhammad bin Yah a> bin Abi> adr, „Abbas bin

Ahmad, Abu> Muhammad bin Suhayb, Abu> Bakr Muhammad bin al-Mundzir

al-Ha>jimi>, Abu> al-Hasan al-Nuhha>s, Abu> al-Fadhl al-S i>ra>zi>, Ja‟far

bin Ahmad, Abu> akr Ahmad bin Muhammad bin Yu>suf, „Ali bin Ahmad bin

Nu>h al-Ahwazi, Abu Bakr al-Ju>ni>, „Ali Ja‟far bin Ya‟qu>b al-Tsaqafi>,

Ibra>hi>m al-Barji>, Abu> Bakr al-Da nu>ri>, Abu> as r „Isa> bin Ibrahim

bin Distaku>ta>, Abu> al-„Abba>s al-Khawwa>sh, Abu „Ali> Muhammad bin

al-Dhahha>k bin „Umar.

B. ar a- ar a Sahl al-Tustarī

Tidak hanya mampu mengusai di bidang ilmu, tetapi beliau juga aktif

menulis untuk mewariskan sejumlah khazanah keilmuan yang berbentuk buku-

buku dalam berbagai macam materi keilmuan. Di antara yang ia hasilkan yaitu:36

1. Tasawwuf: Jawabāt Ahl al-Yaqīn, Daqa„iq al-Muhibbīn, Risālah fī al-

Hurūf, Risālah fī al-Hikām wa al-Tasawwuf, Salsabīl Sahliyyah, al-

Ghayah li Ahl al-Nihaāyah, Kitab al-Misāq, Kalimāt al-Imam al-

Rabbani Sahl ibn „Abdullah at-Tustarī, Kalām Sahl, Risālah al-

Manhiyaāt Maqālah fī al-Manhiyāt, Manāqib Ahlul-Haq wa Manāqib

Ahlullah „Azza wa Jalla, dan Mawā‟idz al-„Arifīn.

2. Tafsir: Tafsīr al-Qur‟an al-Adzīm.

36

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad sil „U ūn

al-Sūd (D r al-Kutub al-„Ilmi ah, airūt-Liban n, 2007), h. 8-11.

Page 36: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

24

3. Teologi: Kitab al-Mu‟āradah wa al-Raddi „Ala Ahl al-Firqa wa Ahli ad-

Da‟awa fi al-Ahwāl.

4. Sejarah: Lathāif al-Qisas fī Qisas al-Anbiyā‟.

C. Profil Tafsir Sahl al-Tustarī Tafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm)

Dari beberapa karya Sahl yang diambil sebagai sumber data untuk

penulisan ilmiah ini adalah Tafsīr al-Qur‟an al-„Adzīm (Tafsīr al-Tustarī).

Untuk profil tafsirnya penulis akan membahas di antaranya: sumber penafsiran,

metode penafsiran, corak penafsiran dan metode penulisan.

1. Sumber penafsiran

Menurut pakar „Ulama Tafsir bersepakat, bahwa sumber penafsiran dibagi

menjadi tiga bagian yaitu al-Riwayah (Ma‟tsūr37

), al-Ra‟yi38

, dan Isyārī39

.

Penulis memahami bahwa sumber penafsiran Tustarī men intesakan antara al-

Riwayah (al-Ma‟tsūr) dan Isyarī, sebagian ayat-ayat beliau tafsirkan dengan

merujuk kepada ayat-ayat al-Qur‟an lainn a, tetapi sebagian a at-ayat yang

beliau tafsirkan juga menggunakan makna batiniyyah seperti beliau

menafsirkan ayat-ayat ikhlas, Nur Muhammad dan lainnya.

37

Sumber Ma‟tsur adalah penafsiran ang mengambil sumber dari al-Qur‟an itu sendiri

sebagai penjelas ayat yang akan ditafsirkan, sumber dari Rasulullah sahabat dan tabi‟in. Lihat

Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz. 1, h. 152. Bandingkan juga

Abdullah Saeed, Interpretation the Qur‟an, h. 43. 38

Tafsir al-Ra‟ ī adalah penafsiran berlandaskan ijtihad dengan syarat mufassir memiliki

pengetahuan tentang bahasa Arab, dari aspek lafadz, makna serta keragaman makna, dan semantik

Arab dalam s i‟ir Jahili, dan juga asbab al-Nuzul, al-Nasikh wa al-Mansukh. Lihat Muhammad

Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Maktabah Wahbah al-Qahirah, 2000), Juz.

2, h. 225. 39

Tafsir „Isyari adalah ilmu esoterik, yaitu pemahaman yang tidak semua orang

mengetahuinya bisa disebut sebagai intuisi yang diberikan oleh Allah. Pada dasarnya menafsirkan

ayat bisa ditinjau dari lafadz yang dzhahir (eksoterik) dan batin (esoterik). Tetapi esoterik sedikit

sekali yang bisa mengikuti alur jalan penafsiran ini. Lihat Muhammad Husein al-Dzahabi, al-

Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Maktabah Wahbah al-Qahirah, 2000), Juz. 2, h. 261.

Page 37: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

25

2. Metode penafsiran

Menurut al-Farmawi, metode penafsiran diklasifikasikan menjadi empat

bagian diantaranya: Ijmālī, Tahlilī, Muqaran, dan Maudhū‟ī40

. Menurut

penulis metode penafsiran beliau adalah menyintesakan antara Ijmāli dan

Tahlilī. Beliau menafsirkan hanya beberapa ayat, kemudian menganalisiskan

(Tahlilī) beberapa ayat-ayat.

3. Corak penafsiran

Biasanya untuk mengetahuI corak penafsiran, terlebih dahulu harus

mengetahui isi kandungan ketika menafsirkan ayat, apakah dihegemonikan

dengan Fiqhī, ilmī, Adabī, Tarbiyah, Sufistik, dan lainnya. Menjadikan

hegemonitas ketika menafsirkan maka akan mempengaruhi di dalam

penafsiran. Setelah melihat isi kandungan Tafsir Tustari, penulis

menyimpulkan bahwa corak penafsiran beliau adalah sufistik.

4. Metode penulisan

Metode penulisan adalah, bagaimana seorang mufassir

mengkonfigurasikan penafsiran ayat-ayat menjadi sistematika, baik

menggunakan Tartīb Mushafi maupun Tartib Nuzūlī. Tartīb Mushafī adalah

sitematika penulisan yang ditulis sesuai urutan surah-surah, biasanya merujuk

kepada al-Qur‟an utsmani, ang dimulai dengan Q.S. al-Fatihah dan

mengakhiri pada Q.S. al-N s. Sedangkan Tartīb Nuzūlī yaitu

mengkonfigurasikan penafsiran ayat sesuai sebab turunnya ayat (Asbab al-

Nuzūl). Setelah melihat kandungan penafsiran Tafsīr al-Qur‟an al-„Adzīm

40

Abū al-Hayy Al-Farmawī, AL Bidayah Fi ala Tafsir al-maudhu‟iy, (Mesir: Maktabah

al-Jumhuriyyah, 1977), h. 25.

Page 38: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

26

Sahl al-Tustarī metode yang digunakan adalah Tartīb Mushafi, menafsirkan

ayat-ayat sesuai susunan surah di dalam al-Qur‟an Utsmanī.

Kitab Sahl Tustarī sudah dicetak seban ak tiga kali, cetakan pertama,

dengan editor (Muhaqqiq) Mustafa al- bī al-Halabī dan saudaran a di Mesir

tahun 1911. Cetakan kedua, dengan editor (Muhaqqiq) Tah „Abd al-Ra‟uf

Sa‟ad dan Sa‟ad Hasan Muhammad „Ali di D r al-Har m li al-Turats al-

Qahirah Mesir tahun 2004. Cetakan ketiga, dengan editor (Muhaqqīq)

Muhammad sil „U ūn al-Sūd di D r al-Kitab al-„Alami ah airūt-Liban n

tahun 2007. Cetakan keempat, yang ditranslate dengan bahasa inggris

editornya (Muhaqqiq) Annabel Keeler dan Ali Keeler dicetak untuk Royal Al-

Bayt Institute for Islamic Thought Jordan pada tahun 2011.

D. Ajaran-ajaran Tasawwuf Sahl al-Tustarī

1) Maqamat dan Ahwal

Banyak dari kalangan sufisme memberikan maqamat (tingkatan) mulai

dari maqam terendah hingga maqam tertinggi, tidak semua para sufisme

memberikan maqamat yang sama. Harus diketahui bahwa para sufi tidak

memiliki rumusan yang sama mengenai al-maqamat, dan perbedaan tersebut

lebih didasari oleh perbedaan pengalaman spritual masing-masing. Dalam

spritualn a ang dilakukan oleh Tustarī ada beberapa maqam sebagai

penyucian jiwa. Proses penyucian jiwa ini, dalam pandangan Sahl, tidak

dilakukan dengan cara membunuh jiwa itu sendiri. Proses purifikasi jiwa lebih

merupakan sebuah proses restorasi, yang tujuan utamanya adalah

memperbaiki kondisi, dan bukan untuk mematikannya. Tahap-tahap

pembersihan jiwa yang dijelaskan Sahl dalam tafsīrnya menekankan uraian

Page 39: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

27

seputar maqam-maqam tertentu dalam tasawwuf, seperti taubat sebagai titik

balik seseorang menuju jalan kebaikan, taqwā sebagai proteksi jiwa terhadap

dosa, tawakkal, sabar, dan ikhlas yang menandai kedekatan hubungannya

dengan Tuhan. Masing-masing maqam itu, dalam beberapa uraian Sahl, tidak

berdiri sendiri; akan tetapi memiliki keterkaitan erat dengan maqam lainnya.

Keterikatan antara satu dengan yang lainnya inilah yang menjadi faktor

mengapa maqam-maqam khusus tersebut menjadi pilar utama ajaran

mistiknya41

. Maqam yang dijelaskan al-Tustarī diantaranya:

a. Taubat

Kebanyakan sufisme menjadikan maqam taubat (al-taubah) sebagai

maqam pertama yang harus dilewati seseorang menuju kebaikan dan diraih

dengan menjalankan ibadah, mujadah, dan riyadhah. Hampir semua sufi

sepakat bahwa taubat adalah maqam pertama yang harus diperoleh setiap

salik. Istilah taubat berasal dari bahasa arab تاب-يتوب توبة berarti kembali, kata

taubat disebutkan dalam alquran sebanyak 87 kali dalam berbagai bentuk42

.

Dalam konsepsi mistik Sahl, taubat diartikan sebagai titik balik, atau

turning point. Sahl menguraikan konsep ini melalui penafsiran Q.S. al-Nur

[24]: 31, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang

ang beriman supa a kamu beruntung.” Sahl menjelaskan bahwa taubat

41

M. Anwar S arifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,

http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F

yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 27. 42

Ja‟far, Gerbang Tasawuf, (Medan:Perdana Publishing, 2016), h. 57.

Page 40: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

28

dilakukan dengan cara merubah ketidaktahuan dengan ilmu, sifat lupa dengan

mengingat Allah, dan maksiat dengan ketaatan.43

b. Taqwa

Maqam kedua ini, Tustarī sedikit berbeda dari sufisme ang lain.

Menuangkan maqam taqwa pada klasifikasi yang kedua, berbeda dari

beberapa sufi lainnya seperti al-Ghazali tidak memberikan taqwa pada

maqamat44

. Taqwa didefinisikan sebagai sikap membebaskan diri (tabarrī)

yang berarti mengutuk sepenuhnya perbuatan dosa sampai kepada hal yang

seringan-ringannya sekalipun. Dalam Q.S. al-Mudatstsir [74]: 56, “Dan

mereka tidak akan mengambil pelajaran daripadanya kecuali jika Allah

menghendakinya. Dia adalah Tuhan yang selayaknya (kita bertakwa) kepadan-

N a, dan ang paling berhak memberi ampun.” Sahl memberikan penjelasan

bahwa Allah-lah yang berhak memberikan perlindungan terhadap orang-orang

yang bertakwa dari tindakan berbuat dosa, dan sebagai jaminannya Dia juga

yang memberikan pengampunan bagi mereka yang bertaubat. Kata taqwā

dalam a at ini dimaknai oleh Sahl sebagai, “meninggalkan semua ang

dianggap tercela” (tarku kulla syai‟in madzmūm). Memberikan penekanan

pada makna teologis yang lebih mendalam, Sahl menambahkan, “Takwa

adalah membebaskan diri dari segala sesuatu selain Tuhan. Siapa saja yang

43

M. Anwar S arifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,

http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F

yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 28. 44

Ja‟far, Gerbang Tasawuf, (Medan:Perdana Publishing, 2016), h. 56.

Page 41: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

29

terus melakukan hal ini, maka dia akan digolongkan ke dalam kelompok orang

yang mendapatkan ampunan.45

c. Sabar

Sahl menjelaskan bahwa kesabaran merupakan perbuatan mulia yang akan

dibalas dengan pahala yang sangat besar. Dalam menafsirkan Q.S. al-„Ashr

[103]: 3, “Dan mereka saling menasehati dalam kesabaran,” Sahl

menjelaskan, “Tidak ada sikap ang lebih besar kedudukann a dibandingkan

dengan sikap sabar, dan tidak ada pahala yang lebih besar selain pahala

berbuat sabar.” Menjelaskan keutaman sabar, Sahl menambahkan, “Tidak ada

bekal (z d) selain taqw , dan tidak ada ketakwaan tanpa kesabaran; serta tidak

ada yang akan menolong kesabaran demi kepentingan Allah, selain Allah

sendiri ang akan menjadi penolong.”46

Melalui ayat ini, Sahl menunjukkan keterkaitan yang erat antara takwa

dan kesabaran. Menurutnya, ketakwaan dapat diumpamakan seperti tubuh,

sementara sabar adalah kepalanya. Di sini, kedudukan sabar sangatlah vital

dalam maqam taqwa. Atas dasar peran penting ini maka, menurut Sahl,

kesabaran berpengaruh besar pada jiwa dalam mewujudkan ketaatan,

mengikuti aturan hukum, menghormati sanksi hukuman, dan menjaga jiwa

untuk selalu berada jauh dari maksiat.47

45

M. Anwar S arifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,

http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F

yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 29-30. 46

M. Anwar S arifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,

http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F

yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 14. 47

M. Anwar S arifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,

http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F

yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 14.

Page 42: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

30

Dalam ibadah, maqam sabar identik dengan ibadah puasa. Dikatakannya

pula bahwa karakter utama kesabaran adalah konsistensi dalam mewujudkan

ketaatan. Menafsirkan Q.S. al-Baqarah [2]: 45, “Jadikanlah sabar dan ṣalat

sebagai penolongmu” Sahl memahami term sabar di dalam a at ini dengan

makna simbolik “puasa”. Menurutn a, baik ibadah puasa maupun salat

merupakan jalan menuju tercapainya ma„rifa. Siapa yang salatnya sah, maka

dia akan mencapai hubungan langsung (wuṣla), dan tak ada lagi apapun yang

akan menghalanginya dari Allah dalam hal ini. Menurut Sahl, hubungan

langsung yang tercipta antara seorang hamba dengan Tuhannya baru bisa

dirasakan ketika seseorang merasakan buah manis ibadah puasa dengan

berbuka pada saat terbenam matahari. Terakhir, bersabar dalam kondisi sehat,

menurut Sahl, lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan bersabar saat

menerima malapetaka (balā‟). Sahl mengatakan, “Mencari kedamaian

(salāma) dalam situasi yang aman lebih sulit dibandingkan dengan mencari

kedamaian pada saat terjadinya kekacauan (khawf). Secara ringkas, maqam

sabar merupakan sebuah tahapan mistik dalam penyucian jiwa yang

merefleksikan ketaatan penuh manusia kepada Allah, dan kepada-Nyalah

manusia menyerahkan rasa percaya dirinya48

.

d. Tawakkal

Tawakkal berarti menyerahkan tubuhnya untuk beribadat sepenuhnya

kepada Tuhan, menyandarkan hati kepada-Nya, dan membebaskan dirinya

dari kepemilikan daya dan kekuatan yang bersifat pribadi. Tiga ungkapan tadi

menjadi bentuk illustrasi Sahl terhadap karakteristik sikap tawakkal, yang

48

M. Anwar S arifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,

http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F

yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 31-33.

Page 43: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

31

juga menjadi bagian dari karakteristik takwa. Penjelasan rinci mengenai

konsep tawakkal dalam pandangan mistik Sahl al-Tustarī diungkapkan dalam

interpretasinya terhadap Q.S. al-Nisa [4]: 81, “Berpalinglah dari mereka dan

bertawakkallah kepada Allah” Ia menjelaskan kaitan maqam ini dengan aspek

teologis, hukum, serta moral. Dalam aspek teologis tawakkal dimaknai

sebagai “pengakuan terhadap keesaan Allah”, sedangkan dalam aspek fiqh,

menurut Sahl, tawakkal dimaknai sebagai pengetahuan tentang Hari

Pembalasan, sedangkan dalam dimensi moral tasawwuf (yang juga tidak bisa

dilepaskan dari dimensi teologisnya) tawakkal dimaknai dengan manifestasi

Tuhan di dalam hati manusia (mu„āyana).

Ketika ditanya tentang bagaimana sikap tawakkal ini bisa dicapai oleh

seseorang dari maqam yang terbawah dalam taqwa, Sahl menjelaskan bahwa

fase pertama adalah dengan mengetahui (ma„rifa), kemudian dibarengi

dengan pengakuan (iqrār), lalu mengesakan Allah (tawhīd), berserah diri

(islām), berbuat baik (iḥsān), memasrahkan keputusan (tafwīd),

mempercayakan diri kepada Tuhan (tawakkul), dan menyandarkan diri

sepenuhnya kepada Tuhan (sukūn ilā al-Ḥaqq) dalam kondisi apapun.

Sebagaimana digambarkan bahwa tahapan-tahapan yang membangun maqam

tawakkal ini akan memberikan hasil bagi pelakunya, maka menurut

pandangan Sahl semua tahapan di atas hanya berlaku bagi mereka yang

bertakwa.49

49

M. Anwar S arifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,

http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F

yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 33-34.

Page 44: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

32

e. Ikhlas

Ikhlas menjadi tahapan purifikasi yang paripurna. Konsep ini

dijelaskan Sahl ketika seseorang bertanya tentang makna maqam ikhlāṣ

terkait dengan penjelasan Q.S. al-Ikhlas [112]: 1-4, yang juga dinamai surat

al-Ikhl ṣ. Dalam menjawab pertanyaan ini, Sahl mengidentikkan ikhlas

sebagai kebangkrutan manusia (iflās) secara total. Ini juga bermakna bahwa

seseorang akan benar-benar mengalami kehancuran (maḥq), ketika semua

bid‟ah dan nafsu kotor akan dilen apkan oleh Allah, jika empat a at ang

terkandung di dalam surat ini dibaca secara berulang-ulang. Surat ini dinamai

al-Ikhl ṣ karena mengandung ayat-ayat yang menunjukkan kemurnian Allah

dari segala sifat yang tidak layak dikenakan kepada-Nya.

Ikhlas yang juga menjadi salah satu ajaran pokok dalam pandangan

mistik Sahl alTustarī merupakan sebuah konsep ang berkaitan dengan amal.

Dalam penafsirannya terhadap Q.S. al-Has r [59]: 7, “Apa yang diberikan

Rasul kepadamu, maka terimalah; dan apa yang ia larang, maka

tinggalkanlah” Sahl menjelaskan ajaran pokok madzhabn a meliputi 3 hal:

memakan yang halal, mengikuti petunjuk Nabi SAW tentang perbuatan yang

baik, dan ikhlas dalam niat untuk semua aktivitas. Di sini, ikhlas menjadi

elemen pokok dalam niat yang mendasari aktivitas karena dengan keikhlasan

itu sebuah amal akan menerima tanggapan dan mendapatkan pahalanya dari

sisi Tuhan. Hal ini dikuatkan melalui penafsiran Sahl terhadap Q.S. al-Zumar

[39]: 11, “Katakanlah, sesungguhn a aku diperintahkan supa a menjadi orang

pertama ang berserah diri.” Sahl memahami sikap ikhlas sebagai tanggapan

Page 45: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

33

(ijāba); orang yang tidak mendapat tanggapan merupakan bukti kalau dia

tidak memiliki keikhlasan.

Sedangkan ahwal atau Ilmu Hal Secara bahasa, berarti keadaan sesuatu

(keadaan rohani). Sedangkan secara terminologi yang menjadikan titik

perbedaan dengan maqamat adalah hal bukan di peroleh atas usaha manusia,

tetapi diperdapat sebagai anugrah dan rahmat dari Tuhan yang bersifat

sementara datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati

Tuhan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Ghazali hal adalah kedudukan atau

situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu

waktu, baik sebagai buah dari amal shaleh yang mensucikan jiwa.50

Mengutip pandangan al-Ḥasan al-Baṣrī, Sahl menegaskan bahwa tuntutan

ilm al-hal mengharuskan seorang ahli hukum (faqīh) untuk tetap berlaku zuhud,

yaitu dengan mengamalkannya untuk kehidupan akhirat, meskipun ia memiliki

pengetahuan yang mendalam di bidang agama. Dengan kata lain, Sahl nampak

ingin mengatakan bahwa pengetahuan agama saja tidak cukup, jika tidak

diamalkan untuk mencapai tujuan akhirat. Sehingga, dengan ilm al-hal, menurut

Sahl, seseorang yang menuntut ilmu mestilah menjadi seorang „ālim yang juga

mengenal kondisi-kondisi spiritua (ahwāl). Oleh karena itu, perintah untuk ber-

tafaqquh fiddin dalam Q.S. al-Taubah [9]: 122, menurut Sahl, dimaknai sebagai

perintah untuk memiliki pengetahuan tentang kondisi spiritual (ilmu al-ḥāl).

Sejalan dengan konsep epistemologi mistik ini, maka kewajiban untuk menuntut

ilmu, seperti din atakan dalam hadis, “Menuntut ilmu merupakan kewajiban

bagi setiap muslim,” menurut Sahl juga harus dirujuk sebagai kewajiban untuk

50

Muzaiyana, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), h. 258.

Page 46: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

34

menimba „ilm al-ḥāl. Lebih lanjut, Sahl menjelaskan seputar alasan pentingnya

status ilmu ḥ l dalam penafsiran Q.S. al-Taubah [9]: 122. Menurut Sahl, Tuhan

ada bersama kita dalam kondisi sembunyi-sembunyi (sirr) maupun terbuka

(„alāniyya). Dia juga bergerak bersama dengan gerakan kita, atau Dia juga

tinggal bersama ketenangan yang kita rasakan. Walhasil, kita tidak bisa berada

jauh dari Tuhan, bahkan untuk satu detik saja. Sahl mendasarkan argumennya

pada Q.S. al-Ra‟d [13]: 33, “Maka apakah Tuhan yang menjaga masing-masing

diri terhadap apa ang diperbuatn a?” dan juga Q.S. al-Mujadalah [58]: 7,

“Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang

keempatnya;” serta Q.S. Q f [50]: 16, “Dan Kami lebih dekat kepadanya

daripada urat lehern a sendiri.” Dengan dasar argumen tiga ayat ini, seorang

hamba ang mengerti tentang „ilm alaḥwāl akan selalu menyadari bahwa Allah

senantiasa bersamanya, dan juga merasa bahwa ia senantiasa berada dalam

pengawasan Allah. Inilah dimensi iḥsan yang disebut dalam hadis Jibril

berkaitan dengan 3 dimensi agama selain rukun iman dan ibadah melaksanakan

rukun Islam.51

2) ons psi isti N r Muhammad

Dalam dunia tasawwuf Islam, Sahl al-Tustari dianggap sebagai salah

seorang narasumber yang turut memperkenalkan gagasan nūr Muhammad.

Sumber lain ang juga dirujuk sebagai pencetus gagasan mistik ini adalah „Alî

bin Abî Thâlib. Hanya saja tidak ada informasi yang jelas, apakah Sahl juga

mengambil gagasan tentang konsep ini dari „Alī RA. Akan tetapi, bisa

51

M. Anwar S arifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,

http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F

yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 10-11.

Page 47: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

35

mengaitkan ide ini dalam gagasan mistik Sahl melalui riwayat awal yang yang

dirujuk berasal dari Imam Ja„far al-S diq. Dalam penafsirannya tentang ayat

nūr, Ja„far men ebutkan lebih dari 40 jenis caha a. Kesemua jenis caha a ini,

menurut Ja„far han a cocok untuk Muhammad, sebagaimana ia men atakan

komentarn a, “Semua caha a berasal dari caha a Tuhan, di mana setiap hamba

merupakan pancaran dari cahaya-cahaya ini, dan bahkan bagian-bagiannya

merupakan gabungan dari dua atau tiga jenis cahaya, yang kesemuanya tidak

akan sesuai secara sempurna bagi siapapun kecuali Muhammad SAW. Figur

Muhammad dinilai cocok bagi konsepsi ontologis ini lantaran Muhammad

berada sangat dekat Tuhan dalam segala kondisi kesahihan ibadah, dan tingkatan

mahabbah. Muhammad ini merupakan cahaya yang berasal dari Tuhan dan akan

senantiasa berada dalam naungan cahaya Tuhannya. Meskipun begitu, kaitan ide

ini dengan gagasan mistik Sahl masih sangat samar dan tidak cukup bukti akan

adanya pengaruh langsung antara keduanya, lantaran Sahl tidak termasuk dalam

garis imamat kaum S i‟ah ang menerima ajaran berdasarkan wasiat imam

secara turun temurun. Dengan begitu, hanya faktor waktu saja yang bisa

mengaitkan dua faktor ini, ketika Sahl hidup pada masa yang lebih belakangan

dibandingkan dengan Imam Ja„far, maupun „Alî. Ken ataan ini bisa memberi

ruang pada adan a pengaruh pemikiran S i‟ah dalam gagasan mistik Sahl,

meskipun hal ini pun masih bisa diperdebatkan, dengan mempertimbangkan

fakta yang diterima secara luas bahwa riwayat-riwa at Imam Ja„far juga

diterima dengan baik dan diakui validitasnya oleh kalangan Sunni dan diterima

sebagai bagian dalam tradisi pemikiran mereka.

Page 48: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

36

Dalam gagasan mistik Sahl, tergambar kaitan yang jelas antara konsep

mistik tentang nūr Muhammad dan interpretasi simbolik terhadap ayat nūr

dalam Q.S. al-Nūr [24]: 3552

. Meskipun begitu, detail uraian mengenai konsep

ini dijelaskan di tempat berbeda, tepatnya ketika ia menjelaskan kaitan doktrin

mistik nur Muhammad dengan proses penciptaan Adam sebagai khalifah di atas

bumi yang digambarkan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 30. Sahl menjelaskan,

“Sebelum menciptakan Adam AS., Allah berfirman kepada para malaikat,

„Sungguh akan Kuciptakan seorang khalifah di bumi‟. Dia kemudian

menciptakan Adam dari tanah yang memiliki kemuliaan ilahi, yaitu dari nūr

Muhammad.”53

Selain beberapa tautan ringkas, seperti dijelaskan di muka, konsepsi nūr

Muhammad mendapatkan penjelasan yang cukup memadai dalam pemahaman

Sahl terhadap klasifikasi keturunan Adam yang dikaitkan dengan penafsiran

terhadap kesaksian primordial ummat manusia yang tertuang dalam Q.S. al-

„Araf [7]: 172. Sahl membedakan tiga kelompok asal keturunan manusia, yaitu:

Muhammad, Adam, dan anak keturunan Adam selanjutnya. Dalam hal ini,

doktrin tentang nūr Muhammad merupakan tahapan-tahapan awal dalam proses

emanasi penciptaan dunia, di mana Muhammad dianggap sebagai obyek

penciptaan pertama, yang darinyalah kemudian makhluk-makhluk lain di dunia

ini diturunkan. Sahl memulai penjelasan mengenai proses emanatif ini dengan

52

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-

bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 68.

Dalam M. Anwar S arifuddin, “Memaknai Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam Ontologi

Mistik Sahl Ibn „Abd Allah al-Tustari”, dalam Jurnal Refleksi, Vol. 11, No. 2 (2009), h. 12. 53

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-

bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 10.

Dalam M. Anwar S arifuddin, “Memaknai Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam Ontologi

Mistik Sahl Ibn „Abd Allah al-Tustari”, dalam Jurnal Refleksi, Vol. 11, No. 2 (2009), h. 12.

Page 49: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

37

mengatakan bahwa Tuhan memancarkan sebuah cahaya dari cahaya-Nya. Ketika

cahaya-Nya ini mencapai tabir keagungan (hijāb al-uzhmā) sesuatu bersujud di

hadapan Tuhan. Kemudian Tuhan menciptakan dari sesuatu yang bersujud itu

sebuah tabung yang besar („amūd „azhīm) yang bagian dalamnya seperti kaca

yang terbuat dari cahaya, sedangkan bagian luarnya diletakkan di atas pribadi

(„ayn) Muhammad. Lama sebelum memulai proses penciptaan, cahaya ini telah

menetapkan dirinya untuk berkhidmat kepada Allah selama berjuta-juta tahun,

pada saat yang sama Tuhan juga menganugerahkan kehormatan baginya dengan

menyaksian Tuhan secara langsung (musyāhada). 54

Menurut Sahl, sebagaimana Adam dijadikan dari nūr Muhammad, proses

emanasi lanjutan dalam proses penciptaan alam semesta juga melibatkan peran

nūr para Nabi yang lain (nūr al-anbiyā‟), nūr kerajaan langit (malakūt), dan nūr

dunia serta nūr akhirat.55

Dalam hal ini, terkait dengan pengaruh tradisi

pemikiran kuno ang mungkin diserap oleh Sahl al-Tust ri, beberapa ahli

menduga konsep emanatif yang mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Sahl

yang menyertakan peran serta nūr para Nabi dalam proses penciptaan alam

semesta juga dijumpai dalam literatur yang memuat pemikiran kaum Gnostik

Sumeria mengenai pre-existence Musa. Menurut pendapat Q sim al-Samarr ‟ī,

pandangan serupa juga dijumpai di dalam tradisi Zoroaster di Persia. Sebuah

kisah kuno yang disebutkan di dalam buku Dasatir-i Asmanil, memberikan

54

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-

bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 41.

Dalam M. Anwar S arifuddin, “Memaknai Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam Ontologi

Mistik Sahl Ibn „Abd Allah al-Tustari”, dalam Jurnal Refleksi, Vol. 11, No. 2 (2009), h. 13. 55

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-

bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 47.

Dalam M. Anwar S arifuddin, “Memaknai Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam Ontologi

Mistik Sahl Ibn „Abd Allah al-Tustari”, dalam Jurnal Refleksi, Vol. 11, No. 2 (2009), h. 13.

Page 50: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

38

gambaran serupa tentang proses pembagian cahaya yang sama juga disebut

sebagai tahapan awal penciptaan alam sampai kemudian dibagi ke dalam bagian-

bagian lain yang beraneka ragam.56

3) Prinsip Penafsiran Sufi Sahl al-Tustarī

a. Pandangan Sahl al-Tustarī t ntang Nuz l al-Qur’an ons p Qalbu

Muhammad)

Konsep yang ditawarkan oleh Sahl ini sangat menarik, dimulai Qalbu

Muhammad sebagai konsep utama dalam proses penerimaan al-Qur‟an hingga

bagaimana prosesnya al-Qur‟an turun kepada nabi Muhammad. Nuzul al-

Qur‟an maksudn a adalah Turunn a al-Qur‟an, ang dimulai dari Allah

hingga diterimanya kepada Nabi. Bagi Sahl, Adanya al-Qur‟an disebabkan

Qalb Muhammad karena hatinya merupakan tempat ketauhidan sedangkan

dada beliau sebagai tempat cahaya yang hakiki. Ketika apabila seseorang yang

tidak memiliki identitas seperti itu maka tidak ada al-Qur‟an sebagai

pedoman, tidak ada Nabi sebagai pemberi S afa‟at dan tidak ada pertolongan

dari Allah.57

Setelah menjelaskan konsep Qalbu Muhammad sebagai tempat

ketauhidan, barulah masuk kepada Nuzul al-Qur‟an sebagai proses penurunan

al-Qur‟an kepada Nabi. Sahl menjelaskan, turunnya al-Qur‟an kepada Nabi

melalui Sadr (dada) kemudian Qalb Muhammad karena sudah dijelaskan

sebelumnya bahwa Sadr dan Qalbu muhammad sebagai tambang ketauhidan

56

M. Anwar S arifuddin, “Memaknai Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam

Ontologi Mistik Sahl Ibn „Abd Allah al-Tustari”, dalam Jurnal Refleksi, Vol. 11, No. 2 (2009), h.

12-13. 57

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-

bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 3.

Page 51: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

39

dan tempat cahaya yang hakiki. Setelah diturunkan, Nabi dipenuhi kewajiban

untuk menyampaikannya agar mereka orang beriman mengerti apa yang

diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad.58

b. Pembagian Isi Kandungan al-Qur’an

Secara integral tentang isi kandungan al-Qur‟an dari Pandangan beliau

tidak jauh beda dengan pakar „Ulum al-Qur‟an, ada ang membahas bahwa al-

Qur‟an memiliki dua kandungan a at yaitu Muhkam dan Mutasyabbih, ada

yang memberikan asumsi bahwa al-Qur‟an membahas mengenai Aqidah,

Akhlak, Sejarah dan lainnya.

Semua pembahasan ini, Sahl lebih memberikan klasifikasikan ada lima

pembahasan yang dijelaskan di dalam al-Qur‟an diantaranya: pembahasan

tentang Muhkam, Mutasyabbih, Halal, Haram, dan Amtsal. Dari lima

pembahasan ini, beliau menjelaskan seorang mukmin yang mengenal

tuhannya adalah yang meimplementasikan ayat-ayat muhkam, mengimani

atau mempercayai ayat-ayat mutasyabbih, menghalalkan yang halal,

mengharamkan yang haram, dan berfikir rasional tentang ayat-ayat amtsal

(perumpamaan). Semua ini bisa dilakukan oleh seseorang yang Ahl al-Ilm

(Ahli ilmu) atau yang memiliki rasional pengetahuan. 59

c. Empat tingkat makna dalam menafsirkan al-Qur’an

Menurut Anwar Syarifuddin, para sufi tidak ada hegemoni makna yang

monolitik dalam memahami makna ayat-ayat al-Qur‟ n, sehingga dapat

dikatakan bahwa dimensi makna yang ditawarkan oleh sebuah ayat al-Qur‟ n

58

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-

bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 3. 59

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-

bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 5.

Page 52: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

40

bersifat “multivokal” atau bermakna ganda. Menurut Sahl didalam

muqaddimah tafsirn a, “Tidak didapati sebuah a at di dalam al-Qur‟ n

kecuali ayat itu memiliki 4 makna: ẓāhir, bāṭin, ḥadd, dan maṭla„60

. Dengan

redaksi yang sedikit berbeda, ungkapan ini sebenarnya merujuk pada hadis-

hadis Nabi SAW seperti dalam hadis riwayat al-Hasan b. „Alī dikatakan

bahwa Nabi SAW bersabda, “Setiap a at al-Qur‟ n memiliki sisi luar (ẓāhr)

dan sisi dalam (baṭn), sementara setiap hurufnya memiliki batas (ḥadd) dan

setiap batas memiliki titik permulaan (maṭla„).61

Sahl lebih jauh menerangkan bahwa yang dimaksud dengan ẓāhir

adalah aspek bacaan (tilāwa), sementara bāṭin diartikan sebagai pemahaman

(fahm). Dalam kaitan ini, ḥadd dimaknai “batas-batas yang diketahui dengan

jelas” (bandingkan dengan makna istilah jamaknya ḥudūd dalam fiqh), yang

dicontohkan Sahl dengan ḥalāl dan ḥarām, sedangkan maṭla„ didefinisikan

sebagai “capaian hati terhadap makna ang diinginkan (murād), sebagai

pemahaman ang datang dari Allah SWT”. 62

Dapat dijelaskan di sini bahwa

Sahl memahami dimensi ẓāhir sebagai pengetahuan yang bersifat umum,

sementara dimensi maṭla„ sebagai maksud dan tujuan khusus yang diinginkan

dari sebuah ayat al-Qur‟ n. Sahl men atakan bahwa tidak semua orang

mampu memahami dimensi maṭla„ ini. Landasan normatif yang dikutip untuk

mendukung makna ang terakhir ini adalah firman Allah SWT, “Maka

60

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-

bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 3. 61

M. Anwar S arifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,

http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F

yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 5-7. 62

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-

bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 3.

Page 53: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

41

mengapa orang-orang itu tidak memahami pembicaraan sedikitpun.” (Q.S. al-

Nisa [4]: 78).

Selain sebagai pendukung pencarian makna yang lebih tinggi

tingkatannya Q.S. al-Nis [4]: 78 dengan jelas menggambarkan bahwa tidak

semua orang mampu memahami maksud yang terdapat di dalam aspek

pembacaan al-Qur‟ n, baik mengenai penjelasan harfiahn a, maupun makna

batin di baliknya; maka seperti juga terkait dengan pengungkapan ayat-ayat

mutasyābihāt di dalam al- Qur‟ n, sikap ang paling selamat dalam

menyikapi ketidakmampuan tersebut adalah dengan menyerahkan sepenuhnya

kepada Allah SWT, seperti ditegaskan Sahl dalam menafsirkan Q.S. „Ali

Imr n [3]: 7, “Tidak ada orang yang mengetahui makna yang sebenarnya

kecuali Allah” Sahl membawakan riwa at Ibn „Abb s ang menjelaskan

bahwa di dalam al-Qur‟ n terdapat 4 aspek (aḥruf): (1) Halal-haram yang

seharusnya diketahui setiap orang, (2) penjelasan yang pasti bisa dipahami

oleh orang Arab, (3) makna-maknanya yang hanya diketahui oleh para

„ulama, dan (4) a at-ayat tersamar (mutasyābihāt) yang hanya diketahui

maknanya oleh Tuhan; sehingga, jika ada yang mengaku mengetahui makna

yang terakhir ini, maka ia adalah seorang pendusta.63

63

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-

bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 24.

Page 54: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

42

BAB III

DISKURSUS TENTANG AKHLAK DALAM AL-QUR’AN

A. Definisi Akhlak dan Pendapat Ulama

Ada dua pendekatan yang digunakan untuk mendefinisikan kata “Akhlak”,

yaitu pendekatan secara etimologi (bahasa) dan pendekatan secara terminologi

(istilah). Secara etimologi (bahasa), akhlak berasal dari bahasa Arab yang

merupakan bentuk jamak dari خيك khuluqun yang berarti budi pekerti, tingkah

laku, perangai, atau tabiat.1 Kata „Akhlak‟ juga memiliki sinonim atau persamaan

kata dengan „etika‟ dan „moral‟ yang memiliki arti yang sama yaitu adat

kebiasaan. Akan tetapi jika dikaji lebih dalam dan dihubungkan dengan konteks

kalimat, kata akhlak, etika dan moral memiliki pengertian yang berbeda.

Etika merupakan ilmu pengetahuan mengenai asas-asas akhlak, yaitu tentang

perbuatan baik dan buruk, tentang hak dan kewajiban moral.2 Sedangkan moral

merupakan ajaran mengenai baik atau buruk yang diterima umum meliputi

perbuatan, kewajiban, sikap dan budi pekerti. Dengan kata lain, moral menjadi

istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas suatu sifat, perangai,

pendapat, kehendak, atau perbuatan yang layak dikatakan baik atau buruk, benar

atau salah.3 Adapun akhlak secara bahasa dapat diartikan sebagai perangai. Kata

tersebut memiliki arti lebih mendalam karena telah menjadi sifat dan watak yang

1 Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 11.

2 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), cet.

VIII, h. 278. 3 M. Abduh Malik, et.al, Pengembangan Kepribadian Pendidikan Islam, (Jakarta: Depag

RI, 2009), h. 71-72.

Page 55: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

43

dimiliki seseorang. Maka dari itu terkadang akhlak diartikan sebagai syakhsiyyah

atau lebih dekat dengan arti kepribadian (personality), karena sifat dan watak

yang telah melekat pada diri pribadi akan menjadi kepribadian.

Kata akhlak juga memiliki persesuaian kata dengan kata خيك khalaqun yang

berarti kejadian, juga memiliki persesuaian dengan kata خبىك khaliq yang berarti

pencipta, demikian juga kata خيىق makhluqun yang berarti yang diciptakan

(makhluk). Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang

memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk.4 Pola

bentukan definisi “akhlak” tersebut muncul sebagai perantara yang menjembatani

komunikasi antara Khaliq (Pencipta) dengan makhluk (yang diciptakan) secara

timbal balik, yang kemudian disebut sebagai hablum minallah. Dari produk

hablum minallah yang verbal, biasanya lahirlah pola hubungan antar sesama

manusia yang disebut dengan hablum minannas (pola hubungan antar sesama

makhluk).5 Perkataan tersebut diambil dari kalimat yang tercantum di dalam al-

Qur‟an, yang berbunyi:

٤وإلىعيىخيكعظ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(Q.S.

Al-Qalam [68]: 4)

Berdasarkan ayat tersebut, para sufi khususnya menyebut nabi Muhammad

sebagai prototipe manusia sejak Nabi Adam AS hingga manusia akhir zaman,

4 Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 11.

5 Zahruddin AR. dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2004), h. 2.

Page 56: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

44

yang disebut dengan istilah al-Insan al-Kamil. Sebagai umat Rasulullah, kaum

muslimin wajib menjadikan beliau sebagai teladan yang baik (uswatun hasanah)

dalam segala segi kehidupan.6

Secara terminologi, di dalam ensiklopedi Islam akhlak didefinsikan sebagai

keadaan yang melekat pada jiwa manusia yang darinya lahir suatu perbuatan

dengan mudah, tanpa melalui proses pemikiran, pertimbangan, atau penelitian.

Menurut Anis Matta, akhlak adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap

mental yang mengakar dalam jiwa, kemudian tampak dalam bentuk tindakan dan

perilaku yang bersifat tetap, natural atau alamiah tanpa dibuat-buat, serta refleks.7

Fudhail bin Iyadh berkata8, “Jika engkau bergaul maka bergaulah dengan

akhlak yang baik, karena akhlak yang baik hanya akan mengajak kepada

kebaikan dan pelakunya terpelihara”.

Akhlak merupakan suatu sifat yang tertanam dalam diri manusia dan bisa

bernilai baik ataupun buruk. Ucapan atau tindakan tidak dapat menjadi tolok

ukur baik dan buruknya akhlak seseorang, seseorang bisa bertutur kata lembut

dan manis, tetapi kata-kata tersebut bisa keluar dari hati yang munafik. Dengan

kata lain, akhlak merupakan sifat-sifat bawaan yang tertanam dalam jiwa manusia

6 M. Abduh Malik, et.al, Pengembangan Kepribadian Pendidikan Islam, (Jakarta: Depag

RI, 2009), h. 71-72. 7 Anis Matta, Membentuk Karakter Cara Islam, (Jakarta: Al-I‟tishom Offset, 2006), cet.

III, h. 14. 8 Fudhail bin Iyadh memiliki nama lengkap Abu> Ali> al-Fudhail ibn Iya>dh ibn

Mas‟u>d ibn Basyr al-Tami>mi> al-Yarbu>i>. Ia lahir pada 105 H/723 M di Marw, Abyward,

salah satu kota di Khurasan. Ia merupakan seorang komandan dan perampok (qitha’ al-thariq)

ulung dan memiliki banyak anak buah. Meskipun dikenal sebagai perampok kelas kakap, ia

memiliki akhlak yang baik. Harta rampasan yang ia ambil tersebut dibagi-bagikan kepada para

fakir miskin. Hingga akhirnya ia bertaubat. Dalam Ahmad Zacky El-Syafa, Ia Hidup Kembali

Setelah Mati 100 Tahun, (Simorejo: Medpress Digital, 2013), h. 178-181.

Page 57: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

45

dari sejak lahir dan baik atau buruknya akhlak akan memantul pada diri

seseorang sesuai dengan pembentukan dan pembinaannya.9

Adapun beberapa pendapat pakar mengenai definisi akhlak, diantaranya

sebagai berikut:

a. Ibnu Miskawaih mendefinisikan akhlak sebagai berikut:

شفنشوسوت. غ ىهباىىافعبىهب ىيفظداعت اىخيكحبه

“Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk

melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pemikiran dan

pertimbangan (terlebih dahulu)”.10

b. Imam al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai berikut:

هبحصذسالفعبه ئتفىاىفظساعختع ه اىخيكعببسة ع بغهىىتوغش

شحبجتاىىفنشوسوت. غ

“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan

tindakan-tindakan dengan mudah dan tidak memerlukan pemikiran atau

pertimbangan (terlebih dahulu)”.11

c. Prof. Dr. Ahmad Amin memberi definisi yang terdapat di dalam salah satu

tulisannya, sebagai berikut:

9 Sukanto, Paket Moral Islam Menahan Nafsu dari Hawa, (Solo: Maulana Offset, 1994),

h. 80. 10

Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak Fi al-Tarbiyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,

1985), h. 25. 11

Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz III (Mesir: Isa Bab al-Halaby, tt.) h. 53.

Page 58: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

46

أفعبدحهب ارااعخبدثش سادة ال عىأ سادة ال عبدة بأه اىخيك فبعضه عش

بةببىخيك. غ اى ه

“Sementara orang membuat definisi akhlak, bahwa yang disebut akhlak

merupakan suatu kehendak yang dibiasakan. Artinya kehendak itu bila

membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak”.12

d. Abu Bakar Jabir al-Jazairy di dalam kitabnya Minhaj al-Muslim,

mengatakan:

“Akhlak adalah bentuk kejiwaan yang tertanam dalam diri manusia yang

dapat menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela”.13

e. KH. Farid Ma‟ruf berpendapat:

“Akhlak adalah kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan

dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran

terlebih dahulu”.14

f. Al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya, mengatakan:

“Akhlak adalah Perbuatan yang bersumber dari diri manusia yang selalu

dilakukan, maka itulah yang disebut akhlak, karena perbuatan tersebut

bersumber dari kejadiannya”.15

g. Muhammad Ibn „Ilan al-Sadiqi juga mengatakan di dalam kitabnya Dalil

Al-Falihin:

12

Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 13. 13

Abu Bakar Jabir Al-Jazayri, Minhaj al-Muslim, (Madinah: Dar Umar Ibn Khattab,

1976), h. 154. 14

Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 13-14. 15

Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Juz VIII, (Kairo: Dar al-Sya‟bi, 1913), h. 6706.

Page 59: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

47

“Akhlak adalah suatu pembawaan yang tertanam dalam diri, yang dapat

mendorong (seseorang) berbuat baik dengan mudah”.16

h. Muhammad bin Ali Al-Faruqi Al-Tahanawi berpendapat, bahwa akhlak

adalah keseluruhannya dari kebiasaan, sifat alami, dan harga diri.17

Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa akhlak adalah

tindakan atau perbuatan manusia yang bersumber dari sifat-sifat yang telah

tertanam di dalam jiwanya, baik itu perbuatan baik (terpuji) atau perbuatan buruk

(tercela).

Secara substansial definisi-definisi tersebut terlihat saling melengkapi, dan

dapat dilihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, seperti disarikan

oleh Abudin Nata dalam bukunya Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia,

diantaranya:18

1. Perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang telah tertanam dalam jiwa

seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.

2. Perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan

tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu

perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan,

tidur atau gila. Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia

tetap sehat akal pikirannya dan sadar.

16

Muhammad Ibn „Ilan al-Sadiqi, Dalil Al-Falihin, Juz III, (Mesir: Mustafa al-Bab al-

Halaby, 1971). H. 76. 17

Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 33-34. 18

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), Cet. IV, h. 5-7.

Dalam Mustopa, “Pembentukan Akhlak Islami dalam Berbagai Perspektif”, dalam jurnal IAIN

Syekh Nurjati Cirebon, Vol. 3, No. 1 (2017), h. 102-103.

Page 60: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

48

3. Perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang timbul dari dalam diri seseorang

yang melakukannya, tanpa ada tekanan ataupun paksaan dari luar. Seseorang

melakukan perbuatan tersebut atas pilihan dan keputusannya sendiri.

4. Perbuatan Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya,

bukan karena main-main atau karena bersandiwara.

5. Perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang

dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin

mendapatkan pujian orang lain atau yang dikenal dengan istilah “pencitraan”

di zaman sekarang.

B. Pembagian Akhlak

Adapun pembagian akhlak terdiri dari dua macam, yaitu akhlak karimah atau

akhlak mahmudah (terpuji) dan akhlak mazmumah (tercela). Akhlak mahmudah

merupakan salah satu tanda kesempurnaan iman. Yang mana tanda tesebut

dimanifestasikan ke dalam perbuatan sehari-hari dalam bentuk perbuatan-

perbuatan yang sesuai dengan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam al-Qur‟an

dan al-Sunnah. Sifat terpuji, sebagaimana digambarkan dalam beberapa ayat di

dalam al-Qur‟an seharusnya menjadi identitas hamba-hamba Allah swt. pada

umat ini. Mereka seharusnya menerima seruan Allah melalui ayat-ayat al-Qur‟an,

mendengarkan dan menyaksikan, yang pada gilirannya dari sanalah titik awal

pergerakan mereka.19

Selain itu, dengan akhlak terpuji ini dapat membantu kita

mendapatkan kesempurnaan hidup, diantaranya mencakup sifat jujur, melakukan

kebenaran, menunaikan amanah, menepati janji, tawadhu, berbakti kepada orang

19

Syaikh Muhammad al-Ghazali, Berdialog Dengan Al-Qur’an (terj), (Bandung: Mizan,

1996), cet. I, h. 16

Page 61: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

49

tua, menyambung silaturrahmi, berlaku baik terhadap tetangga, memuliakan

tamu, penyantun dan sabar, pemurah dan dermawan, memiliki sifat malu untuk

berbuat maksiat, menjaga kesucian diri, dan berlaku adil. Akhlak mahmudah

dibagi kepada beberapa bagian yaitu akhlak yang berhubungan dengan Allah,

akhlak terhadap Rasulullah saw., akhlak terhadap orang tua, akhlak terhadap

masyarakat, akhlak terhadap diri sendiri, dan akhlak terhadap alam.20

Akhlak madzmumah merupakan akhlak yang bertentangan dengan akhlak

mahmudah. Akhlak mazmumah merupakan perbuatan atau tindakan yang tercela

yang dapat merusak keimanan seseorang dan menjatuhkan derajatnya sebagai

manusia.21

Di antara sifat atau tindakan yang termasuk ke dalam akhlak

madzmumah yaitu syirik. Syirik di sini yaitu menyekutukan Allah, menjadikan

tuhan-tuhan lain bersama Allah, menyembahnya, meminta pertolongan

kepadanya, dan perbuatan lainnya yang tidak boleh dilakukan kecuali hanya

kepada Allah swt.

Setelah mengetahui definisi dan pembagian akhlak, juga perlu mengetahui

tujuan dari adanya akhlak. Muhyidin bin „Araby berpendapat bahwa tujuan

akhlak adalah untuk mencapai derajat manusia sempurna. Sedangkan menurut

Imam al-Ghazali, tujuan akhlak adalah untuk mencapai kebahagiaan dan

kemuliaan. Menurut Anwar Masy‟ari, tujuan akhlak yaitu untuk menciptakan

manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna, dan membedakannya dari

makhluk-makhluk lainnya. Manusia tanpa akhlak hilang derajat kemanusiaannya

20

Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h.

145 21

Rosihan Anwar, Akidah Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 247

Page 62: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

50

sebagai makhluk Allah yang paling mulia, menjadi turun ke martabat hewani.

Manusia yang telah lari dari sifat insaniyahnya adalah sangat berbahaya dari

binatang buas.22

Akhlak hendak menjadikan orang berakhlak baik, melakukan

perbuatan baik terhadap sesama manusia, terhadap makhluk dan terhadap

Tuhan.23

Maka dengan mempelajari ilmu akhlak kita bisa mengetahui beberapa

perangai manusia yang baik maupun yang jahat, agar manusia dapat memegang

teguh perangai-perangai yang baik dan menjauhkan diri dari perangai yang jahat

atau buruk, sehinga tercipta tata tertib dalam kehidupan masyarakat, tidak saling

membenci, saling mencurigai antara satu dengan lainnya, tidak ada perkelahian

ataupun peperangan, ataupun saling membunuh di antara hamba Allah di muka

bumi ini.

Maka jika tujuan dari akhlak tersebut bisa tercapai, maka manusia akan

memiliki kebersihan batin dan melahirkan perbuatan baik atau terpuji. Dari

perbuatan terpuji tersebut akan lahir keadaan masyarakat yang damai, harmonis,

rukun, sejahtera lahir dan batin, sehingga memungkinkan manusia dapat

beraktivitas guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

C. Keluhuran Akhlak Rasulullah dalam al-Qur’an

22

Zahruddin AR. dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2004), h. 13. 23

Badrudin, Akhlak Tasawuf, (Banten: IAIB Press, 2015), cet. II, h. 13

Page 63: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

51

Di dalam al-Qur‟an tidak ditemukan istilah akhlaq اخلق dalam bentuk jamak.

Namun, ditemukan bentuk mufrad dari kata akhlak khuluqun خيك di dalam al-

Qur‟an disebutkan 2 kali penyebutan dalam 2 surah, di antaranya: 24

Q.S. as-Syu‟ara [26]: 137

إ زاإل خيكه ى و ٧٣١ٱل

Q.S. al-Qalam [68]: 4

خيكوإلىعيى ٤عظ

Selain ayat-ayat tersebut, adapun beberapa ayat yang memiliki makna atau

menggambarkan tentang akhlak (moral), walaupun di dalam ayat-ayat tersebut

tidak menggunakan kata akhlak secara langsung, di antaranya: Q.S. An-Nahl

[16]: 90, Q.S. Tha>ha> [20]: 114 dan Q.S. Ali Imran [3]: 159. Adapun ayat-ayat

mengenai tindakan atau contoh dari akhlak tersebut, di antaranya: Q.S. An-Nisa

[4]: 81, Q.S. Ya>si>n [36]: 22, Q.S. Az-Zumar [39]: 11, Q.S. Al-Hasyr [59]: 7,

Q.S. An-Na>zi‟a>t[79]: 40, Q.S. Al-Bayyinah [98]: 5, Q.S. Al Baqarah [2]: 45,

dan Q.S. Al-„Ashr [103]: 3.

Jika ayat-ayat tersebut diklasifikasikan, maka ada tiga pembahasan. Pertama,

akhlak Rasulullah, di antaranya terdapat di dalam Q.S. al-Qalam [68]: 4, Q.S. Ali

Imran [3]: 159-160, Q.S. Tha>ha> [20]: 114 dan Q.S. An-Nahl [16]: 90. Kedua,

ayat-ayat yang membahas karakteristik (sifat) akhlak Rasulullah yang terbagi ke

dalam beberapa kriteria, antara lain: ada yang membahas tentang sifat ikhlas di

24

„Abd al-Ba>qi>, Muh}ammad Fuad, al-Mu’jam al Mufahras Li al-Fa>z} al Quran al-

Kari>m, (Beirut: Da>r al Ma‟rifah, 2002), h. 241

Page 64: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

52

antaranya di dalam Q.S. Ya>si>n [36]: 22, Q.S. Az-Zumar [39]: 11, Q.S. Al-

Hasyr [59]: 7, dan Q.S. Al-Bayyinah [98]: 5; sifat tawakkal di dalam Q.S. An-

Nisa [4]: 81; dan sifat sabar di dalam Q.S. Al Baqarah [2]: 45, dan Q.S. Al-„Ashr

[103]: 3. Ketiga, jaminan setelah melakukan kriteria dari akhlak tersebut yaitu

yang disebut siddiqun terdapat di dalam Q.S. An-Na>zi‟a>t[79]: 40.

Adapun klasifikasi ayat-ayat mengenai khuluq berdasarkan periodisasi

turunnya ayat-ayat al-Qur‟an secara umum terbagi menjadi dua, yaitu yang turun

di Mekah dan Madinah atau yang disebut dengan istilah Makiyyah dan

Madaniyyah. Tentang istilah Makki dan Madani sendiri, para ulama berbeda

pendapat dalam memberikan batasan mengenai ayat-ayat Makiyyah dan

Madaniyyah. Ada yang berpendapat berdasarkan masa turunnya; ayat-ayat

Makiyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke

Madinah, dan ayat-ayat Madaniyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah

Rasulullah hijrah ke Madinah. Adapun yang berpendapat berdasarkan tempat

diturunkannya; Makiyyah adalah ayat-ayat yang turun di Mekah dan sekitarnya,

seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyyah dan Madaniyyah merupakan ayat-ayat

yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba‟ dan Sil. Adapun yang

berpendapat berdasarkan sasaran (seruan)nya yang dituju oleh dialog ayat-ayat

al-Qur‟an.25

Berikut klasifikasi ayat-ayat akhlak yang tergolong kepada

Makiyyah dan Madaniyyah:26

25

Manna‟ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: PT. Pustaka Litera Antar

Nusa, 2013), cet. 16, h. 83-85 26

Peneliti menggunakan susunan klasifikasi surat-surat al-Qur‟an versi kronologi Mesir.

Lihat Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, cet. 1 (Jakarta: PT Pustaka Alvabet,

2013), h. 103-105.

Page 65: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

53

Periode Surat No. Surat No. Ayat

Makiyyah Al-Qalam 68 4

Al-„Ashr 103 3

Ya>si>n 36 22

Tha>ha> 20 114

As-Syu‟ara 26 137

Az-Zumar 39 11

An-Nahl 16 90

An-Na>zi‟a>t 79 40

Madaniyyah Al-Baqarah 2 45

Ali Imran 3 159

An-Nisa> 4 81

Al-Bayyinah 98 5

Al-Hasyr 59 7

Dari tabel tersebut terlihat bahwa ayat-ayat yang menjelaskan tentang akhlak

terbagi menjadi dua, yaitu ayat-ayat Makiyyah (yang turun di Mekkah) dan

Madaniyyah (yang turun di Madinah). Ayat-ayat yang termasuk ke dalam ayat-

ayat Makiyyah terdapat dalam 8 surat, sedangkan yang masuk ke dalam

Page 66: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

54

Madaniyyah ada 5 surah. Dan penulis akan memaparkan munasabah ayat-ayat

tersebut sebagai berikut:

1) Q.S. al-Qalam [68]: 4. Di dalam surat ini tidak ada hubungan antara ayat

ini dengan ayat sebelumnya, ataupun dengan ayat setelahnya.

2) Q.S. al-„Ashr [103]: 3. Di dalam surat ini tidak ada hubungan antara ayat

ini dengan ayat sebelumnya, ataupun dengan ayat setelahnya.

3) Q.S. Ya>si>n [36]: 22 “Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang

telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan

dikembalikan”. Ayat ini membahas tentang keikhlasan dalam beribadah

kepada Allah sang Maha Pencipta yang memiliki kekuasaan dan

kebesaran, karena hanya kepada-Nya kita akan kembali setelah

meninggalkan dunia yang fana ini. Ayat tersebut memiliki munasabah

dengan ayat sebelumnya, Q.S. Ya>si>n [36]: 21 “Ikutilah orang yang

tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang

mendapat petunjuk”. Ayat ini juga mengandung sifat ikhlas, yakni para

utusan yang mendakwahkan risalah (kebenaran) dan mereka tidak

meminta imbalan atas jerih payahnya tersebut.

4) Q.S. Tha>ha> [20]: 114. Di dalam surat ini tidak ada hubungan antara ayat

ini dengan ayat sebelumnya, ataupun dengan ayat setelahnya.

5) Q.S. Az-Zumar [39]: 11 “Katakanlah: Sesungguhnya aku diperintahkan

supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya

dalam (menjalankan) agama”. Ayat ini membahas tentang ikhlas dalam

menyembah Allah, dengan tidak berbuat syirik dan memurnikan ketaatan

Page 67: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

55

kita hanya kepada Allah dalam menjalankan ibadah apapun. Ayat tersebut

memiliki munasabah dengan ayat sebelumnya, Q.S. Az-Zumar [39]: 10

“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada

Tuhanmu". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh

kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-

orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.

Ayat ini membahas diantaranya untuk bertakwa kepada Allah atas

keimanan yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada kita, ikhlas dalam

melakukan kebaikan di dunia sehingga akan mendapatkan kebaikan pula,

dan bersabar atas segala sesuatu karena Allah swt. telah menjanjikan

pahala yang tak terbatas bagi orang yang bersabar.

6) Q.S. An-Nahl [16]: 90. Di dalam surat ini tidak ada hubungan antara ayat

ini dengan ayat sebelumnya, ataupun dengan ayat setelahnya.

7) Q.S. An-Na>zi‟a>t[79]: 40 “Dan adapun orang-orang yang takut kepada

kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya”.

Ayat ini membahas tentang orang-orang yang takut akan kebesaran Allah

sehingga mereka dapat mengendalikan diri dari hawa nafsu. Ayat ini

memiliki munasabah dengan ayat setelahnya Q.S. An-Na>zi‟a>t[79]: 41

“maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)”. Ayat ini

menjelaskan tentang jaminan bagi orang-orang yang bisa menahan dirinya

dari hawa nafsu, yakni jaminan tersebut adala surga.

8) Q.S. Al-Baqarah [2]: 45. Di dalam surat ini tidak ada hubungan antara ayat

ini dengan ayat sebelumnya, ataupun dengan ayat setelahnya.

Page 68: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

56

9) Q.S. Ali Imran [3]: 159 “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu

berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras

lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.

Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan

bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila

kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-

Nya”. Ayat ini membahas tentang sifat tawakkal, yaitu dengan berlaku

lemah lembut terhadap orang-orang yang telah melakukan kesalahan atau

membuat hal-hal yang tidak diinginkan sehingga membuat kecewa.

Karena, apabila kita tidak mau memaafkan dan bersikap keras terhadap

orang-orang tersebut mereka justru akan menjauh. Maka dengan berlaku

lemah lembut dan memaafkan mereka, lalu dimusyawarahkan dengan baik

merupakan cara yang paling baik. Ayat ini memiliki munasabah dengan

ayat setelahnya, Q.S. Ali Imran [3]: 160 “Jika Allah menolong kamu,

maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah

membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan

yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu

hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal”. Ayat ini

menjelaskan juga tentang tawakkal. Bahwasannya ketika kita mengalami

kekalahan atau kegagalan hendaknya kita bertawakkal kepada Allah.

Karena, kita tidak dapat menghindari dan bangkit dari kegagalan atau

kekalahan tanpa pertolongan Allah swt.

Page 69: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

57

10) Q.S. An-Nisa [4]: 81. Di dalam surat ini tidak ada hubungan antara ayat ini

dengan ayat sebelumnya, ataupun dengan ayat setelahnya.

11) Q.S. Al-Bayyinah [98]: 5 “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya

menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam

(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat

dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.

Ayat ini menjelaskan tentang ikhlas dalam beribadah kepada Allah swt.

Beribadah semata-mata ikhlas karena Allah bukan karena makhluk.

Mendirikan shalat karena Allah, menunaikan zakat karena Allah bukan

karena ingin dinilai baik oleh makhluk, semuanya dilakukan semata karena

Allah, karena keikhlasan untuk mendapatkan ridha Allah merupakan

ibadah paling utama. Ayat ini memiliki munasabah dengan ayat

setelahnya, Q.S. Al-Bayyinah [98]: 6 “Sesungguhnya orang-orang yang

kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke

neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-

buruk makhluk”. Ayat ini menjelaskan tentang ancaman bagi orang yang

tidak melakukan keikhlasan dalam ayat sebelumnya, yakni ahli kitab dan

orang-orang musyrik. Mereka akan kekal di neraka jahannam.

12) Q.S. Al-Hasyr [59]: 7. Di dalam surat ini tidak ada hubungan antara ayat

ini dengan ayat sebelumnya, ataupun dengan ayat setelahnya.

D. Pembinaan Akhlak Mulia Misi Utama Kerasulan Muhammad SAW

Selain mengemban misi akidah, Nabi Muhammad SAW juga mengemban

misi akhlak. Seperti telah diketahui, bahwa keadaan akhlak bangsa Arab

Page 70: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

58

sebelum Nabi diutus adalah akhlak Jahiliyah, yaitu akhlak yang menyimpang

dari ajaran syariat Islam, Akhlak yang jauh dari rumusan syariah agama

sehingga misi nabi Muhammad bukan hanya mengubah theologi (tahuid)

yang sebelumnya memiliki ketauhidan yang salah, tetapi misi puncaknya pun

mengubah prilaku masyarakat Arab yang memiliki prilaku yang keluar dari

ajaran agama. Sebab akhlak merupakan ajaran penting, yang memiliki norma-

norma agama yang bisa berdapak positif atau negatif bagi setiap individu.

Apabila sikap dan prilaku diaktualkan seseorang itu baik yang tidak

bertentangan dengan syariah Islam maka bisa dikategorikan orang tersebut

memiliki akhlak yang mulia (akhlak mahmudah), sebaliknya sikap yang

diaktualkan itu buruk yang bertentangan dengan syariah Islam maka disebut

sebagai akhlak tercela (akhlak madzmumah).

Pengetahuan dalam segi filsafat pada zaman jahiliyyah belum menonjol,

terutama mengenai pengetahuan akhlak. Karena, pendidikan akhlak hanya

dapat diselidiki dan didalami oleh bangsa-bangsa yang sudah maju

pengetahuannya, sebagaimana bangsa Yunani (Socrates, Plato, dan

Aristoteles), Tiongkok, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, Bangsa

Arab pada saat itu mempunyai beberapa ahli yang menghidangkan syair-syair

yang mengandung nilai akhlak, seperti Luqman al-hakim, Aktsam ibn Shayfi,

Hakim al-Tha‟i, dan Zubair ibn Abi sulma. Berikut beberapa syair tersebut,

diantaranya:27

27

Badrudin, Akhlak Tasawuf, cet. II, (Banten: IAIB Press, 2015), h. 35-36

Page 71: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

59

Zuhair ibn Abi Salam yang mengatakan: “Barang siapa menepati janji,

tidak akan tercela; barang siapa yang membawa hatinya menunjukkan

kebaikan yang menentramkan, maka tidak akan ragu-ragu”.

Amir ibnu Dharb al-Adwany mengatakan: “Pikiran itu tidur dan nafsu

bergejolak. Barang siapa yang mengumpulkan suatu antara hak dan bathil

tidak akan mungkin terjadi dan yang bathil itu lebih utama buatnya.

Sesungguhnya penyelesaian akibat kebodohan”.

Aktsam ibn Shayfi yang hidup pada zaman jahiliyyah dan masuk Islam,

mengatakan: “Jujur adalah pangkal keselamatan; dusta adalah merusakkan;

kejahatan adalah merusakkan; ketelitian adalah sarana menghadapi kesulitan;

dan kelemahan adalah penyebab kehinaan. Penyakit pikiran adalah nafsu, dan

sebaik-baiknya perkara adalah sabar. Baik sangka merusak, dan buruk sangka

adalah penjagaan”.

Amr ibn Al-Ahtam kepada budaknya mengatakan: “Sesungguhnya kikir itu

merupakan perangai yang akurat untuk lelaki pencuri; bermurahlah dalam

cinta karena sesungguhnya diriku dalam kedudukan suci dan tinggi adalah

orang yang belas kasih. Setiap orang mulia akan takut mencelamu, dan bagi

kebenaran memiliki jalannya sendiri bagi orang-orang yang baik”.

Al-Adwany pernah berpesan kepada anaknya Usaid, dengan sifat-sifat

terpuji, ujarnya: “Berbuatlah dermawan dengan hartamu, memuliakan

tetangamu, bantulah orang yang meminta pertolongan padamu, hormatilah

tamumu dan jagalah dirimu dari perbuatan meminta-minta sesuatu pada orang

lain”.

Page 72: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

60

Akhlak merupakan karakter Nabi Muhammad SAW yang sangat dipuji,

bahkan al-Qur‟an dilihat sebagai sikap dan prilaku Nabi,28

setiap ayat

memberikan pesan moral yang diaktualkan oleh Nabi Muhammad. Artinya,

bahwa semua ketentuan yang ada di dalam al-Qur‟an merupakan cerminan

dari akhlak Nabi.

Nabi merupakan prototipe manusia mulai dari Nabai Adam as. hingga

akhir zaman, sehingga sifat, sikap serta tindakannya digunakan untuk

mengukur akhlak manusia. Selain itu, batasan-batasan setiap akhlak manusia

menjadi jelas, sehingga suatu akhlak tidak boleh melampaui akhlak yang lain.

Nabi Muhammad diutus oleh Allah dengan keagungan akhlak untuk

memperbaiki akhlak manusia, sehingga manusia dapat mencapai

kesempurnaan akhlak. Maka dari itu, demi melahirkan manusia yang

berakhlak mulia, kita harus meneladani semua sifat, sikap, serta tindakan

Rasulullah saw.

Terdapat beberapa hadis nabi yang membicarakan tentang pentingnya

akhlak. Menurut satu penelitian, dari 60.000 hadis, 20.000 diantaranya

berkenaan dengan akidah, sementara 40.000 (sisanya) berkenaan dengan

akhlak dan muamalah. Diantaranya ada yang berisi tentang pahala melakukan

akhlak mulia, anjuran berhias dengan akhlak yang baik (terpuji), serta adapun

yang berisi peringatan terhadap manusia mengenai akhlak yang buruk

(tercela).

28

Hafidz al-Kabir Abi Na‟im al-Ashbahani, Dalail al-Nubuwwah, (Beirut: Daar al-

Nafais), h. 181

Page 73: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

61

Rasulullah saw. mengabarkan bahwa akhlak yang baik yaitu mampu

mengejar amalan ahli ibadah. Dalam sebuah hadis dari „Aisyah Ummul

Mu‟minin berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:

اىقبئ بئ خيقهدسجتاىص ىذسكبحغ ؤ اى إ

“Sesungguhnya seorang mukmin dengan akhlaknya yang baik akan

mencapai derajat orang yang selalu shalat dan berpuasa”.29

Ummu Darda‟ meriwayatkan dari suaminya Abu darda‟, Rasulullah saw.

bersabda:

ىبغضاىفبحش الل وإ ، حغ خيك ت اىقب ى ؤ اى ضا ف أثقو ء ش ب

.اىبزيء

“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam al-Mizan (timbangan) dari

pada akhlak yang mulia”.30

Akhlak yang baik adalah sebab seseorang

memperoleh derajat yang tinggi di jannah Allah swt. sebaliknya, akhlak yang

buruk merupakan sebab seseorang terhalang dari kenikmatan jannah.

Abdullah bin „Amr meriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda:

خيقب أحغن أخشم .إ

29

Abu Dawud Sulaiman bin Dawud at-Thayalisi, Musnad Abu Dawud at-Thayalisi,

(Digital Library: Maktabah Syamilah), no. 4798 30

Abu „Isa Muhammad bin Isa, Sunan At-Tirmidzi, (Digital Library: Maktabah

Syamilah), no. 5632

Page 74: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

62

“Sesungguhnya yang terbaik diantara kalian adalah yang paling baik

akhlaknya”.31

Di dalam hadis lain, Rasulullah berpesan kepada Abu Dzar al-Ghifari dan

Mu‟adz bin Jabal untuk bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik

dalam sabda beliau:

حهب،وخبىكاىبطبخيكحغ ئتاىحغتح ج،وأحبعاىغ بم ث ح .احكالل

“Bertakwalah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada. Iringilah

kesalahanmu dengan kebaikan, niscaya ia dapat menghapusnya, dan

pergaulilah semua manusia dengan akhlak (budi pekerti) yang baik”.32

Dari Abu Umamah, Rasulullah saw. bersabda:

شاءوإ حشكاى جفسبضاىجتى بب جفوعطاىجتأبصع حقب،وبب مب

خيقه حغ جفأعيىاىجتى بصحبوبب مب حشكاىنزةوإ .ى

“Aku memberikan jaminan dengan sebuah rumah di tepi jannah bagi orang

yang meninggalkan perdebatan meskipun ia berhak. Aku juga memberikan

jaminan dengan sebuah rumah di tengah jannah bagi yang meninggalkan

kedustaan walaupun dalam senda gurau. Aku juga menjanjikan sebuah rumah

di jannah tertinggi bagi yang membaguskan akhlaknya”.33

Dari Haritsah ibn Wahb ia berkata, Rasulullah saw, bersabda:

اظولاىجعظشي .لذخواىجتاىجى

31

Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Digital Library: Maktabah Syamilah), no. 6029 32

Abu „Isa Muhammad bin Isa, Sunan At-Tirmidzi, (Digital Library: Maktabah

Syamilah), no. 1987 33

Abu Dawud Sulaiman bin Dawud at-Thayalisi, Musnad Abu Dawud at-Thayalisi,

(Digital Library: Maktabah Syamilah), no. 4800

Page 75: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

63

“Tidak akan masuk jannah orang yang kasar dan kaku”.34

34

Abu Dawud Sulaiman bin Dawud at-Thayalisi, Musnad Abu Dawud at-Thayalisi,

(Digital Library: Maktabah Syamilah), no. 4801

Page 76: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

64

BAB IV

INTERPRETASI SAHL AL-TUSTARI TENTANG KEAGUNGAN

AKHLAK NABI MUHAMMAD SAW DALAM AL-QUR’AN

A. Nabi Muhammad Berakhlak dengan al-Qur’an

Sahl al-Tustari menafsirkan Q.S. al-Qalam [68]: 4

خهق عظى إك نعه

Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang

agung”

Menurutnya ayat di atas memberi pernyataan bahwa Nabi Muhammad

memiliki akhlak yang agung yang dimaknai sebagai kenyataan bahwa ia beradab

dengan adabnya al-Qur‟an dengan tidak melampaui batas yang ditetapkan seperti

digambarkan dalam Q.S. al-Nahl [16]: 90. Karakter yang ditunjukkan dalam ayat

tersebut, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam subbab selanjutnya di bawah

ini, merupakan bentuk-bentuk keagungan akhlak Allah yang diajarkan kepada

Nabi Muhammad seperti perintah untuk bersikap adil, berbuat baik (ihsan),

memberi hak kerabat, serta melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan

permusuhan. Sikap-sikap itulah yang menjadi inti ajaran moral al-Qur‟an yang

selanjutnya kemudian disebut Sahl sebagai perintah untuk meneladani “akhlak

Allah”. Disebut sebagai akhlak Allah karena dengan budi pekerti luhur itulah

Allah memberi pelajaran kepada Nabi Muhammad SAW.

Bahkan, Sahl menyebut bahwa bukan hanya Muhammad yang diberikan

pelajaran untuk mengambil akhlak Tuhan, karena Dawud AS juga mendapatkan

perintah serupa. Sahl mengulas lebih rinci penjelasannya tentang Nabi Daud AS

Page 77: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

65

yang mendapatkan perintah Allah melalui wahyu ketika Allah berfirman,

“Berakhlaklah dengan Akhlak-Ku, karena Aku Maha Pemberi Kesabaran.” 1

Di

sini, dapat dijelaskan bahwa Daud AS merupakan salah satu Nabi yang memiliki

kerakter akhlak mulia dengan sifat penyabar yang dimilikinya. Sifat penyabar

inilah yang menjadi ciri akhlak Daud AS dalam meniru akhlak Allah yang Maha

Penyabar (al-Sabur). Hal inilah yang menjadi nilai penting ayat ini dalam

pembahasan tentang akhlak Rasulullah SAW. yang digambarkan sebagaimana

adab dan ajaran moral yang ditunjukkan dalam al-Qur‟an yang dirujuk Sahl

dengan batasan-batasannya pada Q.S. al-Nahl [16]: 90, sebagai bagian dari

bentuk-bentuk manifestasi dari keagungan akhlak Allah yang melekat pada diri

Muhammad SAW.

Sebagai bagian dari teori etika yang digagasnya tentang keagungan akhlak

Rasulullah SAW. dalam al-Qur‟an, Sahl juga merujuk ayat lain yang menjadi

salah satu bentuk manifestasinya dalam Q.S. Alī „Imran [3]: 159 dengan dua

istilah kunci yang menjadi inti kandungannya: (1) sifat belas kasih (rahmat) dari

Allah dan (2) sikap lemah lembut kepada manusia (linta lahum), sebagaimana

yang juga akan diberikan penjelasannya sendiri di subbab selanjutnya. Sahl lebih

jauh mengibaratkan bahwa jika kemarahan (al-ghadab) dan sikap keras kepada

sesama (al-haddah) ---sebagai kebalikan dari sifat belas kasih dan lemah lembut--

- menjadi sifat-sifat dalam diri seorang hamba yang menempati (sakana)

kekuatannya. Sahl mengibaratkan bahwa andaikata seorang hamba keluar dari

1 Muhammad Basil „Uyun al-Sud dalam editannya terhadap Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim

terbitan Dar al-Kutub al-„Ilmiyah menjelaskan bahwa riwayat hadits Qudsi yang turun kepada

Dawud AS untuk berakhlak dengan Allah Allah yang penyabar dapat pula dilihat dalam tafsiran

al-Munāwī dalam Faid al-Qadīr Syarh al-Jāmi‟ al-Saghīr, (Mufahharas ala „Anāwīn al-

Ra„isiyyah), vol. 1, h. 465; dan vol. 5, h. 363.

Page 78: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

66

tempat kediaman kekuatan dirinya, maka yang akan tinggal adalah kelemahan

(da‟f) di dalam dirinya, yang darinya lahirlah banyak sifat yang diantaranya

adalah belas kasihan (rahmah) dan kelembutan (lutf). Inilah yang kemudian juga

disebutnya sebagai manifestasi akhlak Allah2 yang perlu diteladani oleh

Muhammad SAW. yang memiliki keluhuran budi pekerti.

Bagi Sahl, kenyataan bahwa Muhammad SAW. telah dianugerahi budi

pekerti yang agung, sebagaimana yang disebutnya sebagai “adab al-Qur‟an” atau

“akhlak Allah” yang juga diberikan kepada Dawud AS menjadi pemberian Allah

kepada hamba-hamba yang dipilihnya. Mereka yang dianugerahi “kebaikan

akhlak” (al-khuluq al-hasan), maka sesungguhnya mereka telah dianugerahi

“maqamat yang paling agung” (a‟zam al-maqamat). Alasannya, karena maqamat

di bawahnya merupakan karakter yang mengikat orang biasa secara umum

(„ammah). Oleh karena itu, keterikatan dengan bentuk-bentuk akhlak Tuhan

adalah keterikatan untuk meneladani sifat-sifat dan karakter-Nya. Inilah yang

disebutnya sebagai karamah (kemuliaan). Baginya, karamah adalah sesuatu yang

akan habis pada waktunya, dan yang menjadi karamah terbesar yang dimiliki

seseorang adalah mengganti akhlak tercela dengan akhlak yang mulia.3

Jika dilihat dari penafsirannya al-Thabarī, memiliki kesamaan bahwa yang

dimaksud dengan khuluq „adzim yaitu budi pekerti agung. Penafsiran selanjutnya,

2 Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n

al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 174. 3 Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n

al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 174.

Page 79: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

67

ia mengutip hadis dari Ibn „Abbas bahwa kata khuluq diuniversalkan dengan

makna al-din (agama islam).4

B. Manifestasi Adab al-Qur’an

Seperti yang sudah disinggung di sub bab sebelumnya mengenai rujukan

Sahl al-Tustari terhadap penafsiran Q.S. Al-Nahl [16]: 90 yang menerangkan

secara detil batasan-batasan (hudud) tentang apa saja bentuk-bentuk akhlak mulia

yang diajarkan oleh Allah kepada nabi Muhammad sebagai bagian dari perintah

untuk berakhlak dengan akhlak Allah, maka pembahasan kali ini akan

menjelaskan perintah dan larangan apa saja yang menjadi perwujudan bentuk

akhlak yang mulia itu.

۞إ ٲنعذل أيش ت ٱلل حس ر ٱلإرا ٱنقشت ع كش ٱنفحشاء ٱن ٱنثغ

٠عظكى نعهكى ذزكش

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat

kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan

keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar

kamu dapat mengambil pelajaran”.

1. Berbuat Adil

Salah satu perintah yang Allah berikan di dalam al-Qur‟an sebagai bentuk-

bentuk akhlak yang mulia yaitu perintah kepada Nabi SAW. untuk berbuat adil

dan berbuat baik kepada sesama manusia (ihsan). Dalam hal ini, Sahl memaknai

keadilan (al-„adl) dengan perkataan la ilaha illallah wa anna muhammadan

4 Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir At-Tha ari Jāmi‟u al- ayāni „an

Ta‟wili ay al-Qur‟ani, tahqiq Abdullah b. Abd al-Muhsin al-Turki (Mesir: Marka al-Buh ts wa

al-Dirāsā al-Arabiyat wa al-Islāmiyat, 2001), j 23, h. 150.

Page 80: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

68

rasulullah, yaitu tidak ada sesembahan selain Allah dan bahwasanya Muhammad

adalah utusan Allah, yang kemudian diikuti dengan meneladani Sunnah Nabi

Muhammad SAW.5 Dengan demikian, nampak bahwa Sahl memaknai perintah

untuk berbuat adil sebagai perintah keberislaman itu sendiri. Selain bersyahadat,

keadilan dalam berislam menuntut seorang muslim untuk meneladani sunnah

Rasulullah SAW. Keteladanan ini diberikan lantaran Rasulullah SAW memiliki

keluhuran budi pekerti dari apa yang diajarkan Allah sebagai bentuk-bentuk

akhlak Tuhan, di mana berbuat adil dan keadilan merupakan salah satu ciri sifat

Allah.

Sebagai perbandingan, penjelasan al-Thabarī senada dengan penjelasannya

al-Tustarī di dalam meinterpretasikan kata Adl (adil). Menurut beliau kata Adl

memiliki aksis makna yang sama dengan Inṣāf yaitu kejujuran atau berbuat Adil

sehingga yang berhak yang didelegasikan sebagai Inṣāf atau Adl ialah Dia yang

memberikan nikmat dan tempat yang disyukuri atas pemberian kelebihan atau

nikmat, Dia-lah Allah SWT. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa yang

dimaksud dengan Allah memerintah untuk berbuat Adl dan Ihsan sebagai bukti

persaksian bahwa Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai delegasi oleh

Tuhan yang disimpulkan sebagai Syahadah (persaksian) apabila seseorang

memiliki dasar Syahadah yang diartikan menerima dan menetapkan Allah sebagai

5 Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n

al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 92.

Page 81: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

69

Tuhan dan Muhammad sebagai utusan Allah sejatinya dia telah berbuat adil dan

berbuat ihsan.6

2. Ihsan

Selain berlaku adil, Allah juga mengajarkan kepada Nabi Muhammad

SAW. untuk berbuat ihsan. Sahl memaknai ihsan sebagai tindakan melakukan

kebaikan kepada pihak lain. Pada dasarnya Adil dan Ihsan memiliki

korespondensi atau korelasi, sehingga apabila diaktualkan maka kedua-duanya

harus diimplementasikan, sebagaimana penjelasananya al-Thabari, bahwa Ihsan

keikutsertaan di dalam bertindak adil.7

3. Memberikan hak kaum kerabat

Sifat akhlak selanjutnya adalah memberi hak-hak yang dimiliki kaum

kerabat. Menurut Sahl, apabila seseorang mendapatkan kelebihan rezeki, maka

seyogyanya ia memberikannya kepada orang-orang yang Allah mengamanahkan

penanganan urusannya di bawah tanggung jawabnya dari antara kaum kerabatnya

sendiri.8 Di sini, nampak bahwa Sahl memaknai ayat ini secara zhahirnya, sesuai

dengan pemahaman orang Arab kebanyakan terkait tanggung jawab kekeluargaan

dan kekerabatan.

6 Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir At-Tha ari Jāmi‟u al- ayāni „an

Ta‟wili ay al-Qur‟ani, tahqiq Abdullah b. Abd al-Muhsin al-Turki (Mesir: Markaz al-Buh ts wa

al-Dirāsā al-Arabiyat wa al-Islāmiyat, 2001), j 14, h. 334-335. 7 Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir At-Tha ari Jāmi‟u al- ayāni „an

Ta‟wili ay al-Qur‟ani, tahqiq Abdullah b. Abd al-Muhsin al-Turki (Mesir: Marka al-Buh ts wa

al-Dirāsā al-Arabiyat wa al-Islāmiyat, 2001), j 14, h. 335. 8 Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n

al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 92.

Page 82: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

70

Senada dengan yang dijelaskan oleh al-Thabari, beliau meinterpretasikan

memberikan rezeki lebih kepada kerabat merupakan kewajiban yang harus

dipenuhi setiap orang sebagai bentuk Arhām (kasih sayang).9

4. Larangan berbuat keji (fahsyā‟)

Selanjutnya, di antara larangan yang diajarkan Allah kepada Muhammad

sebagai bagian dari batasan akhlak al-Qur‟an adalah larangan untuk berbuat keji.

Sahl al-Tustari memaknai perbuatan Fahsyā‟ sebagai larangan untuk berbohong,

ghibah (menggunjing), dan juga membuat tuduhan palsu (buhtan) dan perbuatan

keji lain yang sejenis.10

Nampak bahwa tafsiran Sahl terbatas pada perbuatan keji

yang masuk dalam kategori etika dan moral saja dengan beberapa hal yang

dicontohkannya. Hal yang berbeda diberikan oleh penafsiran al-Thabari yang

memasukkan perbuatan keji dengan pelanggaran had zina11

, pada penafsiran yang

lain yang memiliki derivasi kata Fahsyā‟ contoh pada Q.S. al-Baqarah [2]: 169,

al-Thabari memberikan penjelasan Fahsyā‟ adalah seuatu yang keji dilakukan dan

buruk untuk diucapkan. Kata ini juga memiliki Murādif (sinonim) dengan kata Sū‟

(buruk) yang buruk untuk dilakukan sebab ada kemudharatannya (bahaya). Salah

satu tindakan yang Fahsyā‟ yaitu zina12

9 Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir At-Tha ari Jāmi‟u al- ayāni „an

Ta‟wili ay al-Qur‟ani, tahqiq Abdullah b. Abd al-Muhsin al-Turki (Mesir: Marka al-Buh ts wa

al-Dirāsā al-Arabiyat wa al-Islāmiyat, 2001), j 14, h. 335. 10

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n

al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 92. 11

Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir At-Tha ari Jāmi‟u al- ayāni „an

Ta‟wili ay al-Qur‟ani, tahqiq Abdullah b. Abd al-Muhsin al-Turki (Mesir: Marka al-Buh ts wa

al-Dirāsā al-Arabiyat wa al-Islāmiyat, 2001), j 14, h. 336. 12

Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir At-Tha ari Jāmi‟u al- ayāni „an

Ta‟wili ay al-Qur‟ani, tahqiq Abdullah b. Abd al-Muhsin al-Turki (Mesir: Marka al-Buh ts wa

al-Dirāsā al-Arabiyat wa al-Islāmiyat, 2001), j 3, h. 39-40.

Page 83: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

71

5. Larangan berbuat munkar

Sahl memaknai larangan berbuat munkar, yang menjadi ciri keagungan

akhlak Nabi SAW sebagaimana yang ditunjukkan dalam al-Qur‟an dalam

konteks ayat ini sebagai tindakan berbuat maksiat atau perbuatan lain yang

sejenis.13

Dalam menafsirkan ayat ini, menurut al-Thabari memberikan penjelasan

bahwa Munkar tindakan yang durhaka terhadap Allah sebagaimana penjelasan

beliau pada Q.S. Alī Imran [3]: 104, menurut beliau Munkar adalah memiliki sifat

kufur terhadap Allah tidak menerima Muhammad sebagai yang didelegasi oleh

Allah. 14

6. Larangan mendengki (al-baghy)

Salah satu yang menjadi catatan penulis terhadap Tafsir Tustari dalam

penafsiran ayat ini adalah bahwa Sahl tidak menafsirkan makna istilah baghy.

Besar kemungkinan bahwa Sahl menyamakan istilah baghy dengan fahsya‟ yang

sudah disebutkan sebelumnya. Bila dikaitkan dengan penjelasan Sahl dalam

bagian lain kitab tafsirnya, terkait Q.S. al-A‟raf [7]: 33 Sahl memaknai fawahisy

baik yang dinampakkan maupun yang disembunyikan sebagai larangan Allah

dengan makna “dengki dalam hatinya, dan berbuat dengan anggota badannya”.15

Dari penjelasan tersebut, penulis menganggap bahwa selain bisa jadi lantaran

istilah baghy sudah sangat jelas makna zhahirnya, maka kaitannya dengan

penafsiran fahisyah dalam Q.S. Al-„Araf [7]: 33 bisa dijadikan pertimbangan

13

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n

al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 92. 14

Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir At-Tha ari Jāmi‟u al- ayāni „an

Ta‟wili ay al-Qur‟ani, tahqiq Abdullah b. Abd al-Muhsin al-Turki (Mesir: Marka al-Buh ts wa

al-Dirāsā al-Arabiyat wa al-Islāmiyat, 2001), j 5, h. 661. 15

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n

al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 66.

Page 84: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

72

mengapa tidak didapati penjelasan tentang tafsir makna kata baghy dalam ayat ini

lantaran sudah disebutkan sebelumnya.

Menurut al-Thabari, kata Baghy memiliki kesamaan maksud dengan

Fahsyā‟, hanya saja penggunaan kata biasanya diartikan sebagai kebohongan dan

kedzhaliman.16

C. Karakteristik Akhlak Rasulullah SAW

Sebagaimana disebutkan di subbab sebelumnya mengenai anugerah

keagungan budi pekerti yang dimiliki Rasulullah SAW., Sahl merujuk Q.S. Alī

Imran [3]: 159 sebagai bagian dari tafsirnya tentang karakter utama yang melekat

ke dalam pribadi Nabi SAW berkat belas kasih (rahmah) yang dilimpahkan oleh

Allah adalah sikap penuh kelembutan (lutf), pemaaf, dan suka bermusyawarah,

serta tawakkal.

ا فث ح ي سح كد فظا غهظ ٱلل ن ل ٱنقهة ند نى نك ف فو ح ى ٲعف ي ع

سى ف ٱسرغفش شا كم عه ٱليش نى فئر عزيد فر ٱلل إ ك حةو ٱلل ر ٱن ٠ه

Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah

lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,

tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah

mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan

mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,

maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang

yang bertawakkal kepada-Nya”.

Asbab al-Nuzul ayat ini adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Abbas

r.a. sebab-sebab turunnya Q.S. Alī Imran kepada Nabi Muhammad adalah setelah

terjadi peperangan Badar mengadakan musyawarah dengan Ab Bakar r.a. dan

16

Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir At-Tha ari Jāmi‟u al- ayāni „an

Ta‟wili ay al-Qur‟ani, tahqiq Abdullah b. Abd al-Muhsin al-Turki (Mesir: Marka al-Buh ts wa

al-Dirāsā al-Arabiyat wa al-Islāmiyat, 2001), j 14, h. 336.

Page 85: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

73

„Umar b. Khattab r.a. untuk meminta pendapat mereka tentang tawanan perang

Badar. Ab Bakar r.a. berpendapat, mereka sebaiknya dikembalikan kepada

keluarga mereka dan keluarga mereka membayar tembusan. Namun „Umar

berpendapat, sebaiknya mereka dibunuh dan yang diperintah membunuh adalah

keluarga mereka. Rasulullah SAW kesulitan di dalam memutuskan, kemudian

turunlah ayat ini sebagai dukungan atas pendapat Ab Bakar r.a. (HR. Kalabi). 17

1. Bersikap lemah lembut

Menurut Sahl, apabila rahmat menyertaimu maka haruslah bersimpati

dengan lemah lembut. Tetapi apabila kamu menyampaikannya dengan tindakan

kasar, maka orang-orang di sekelilingmu akan menjauhi atau memisahkan diri.

Pada teks ند derivasi dari kata ا – ن – ه yang artinya lemah lembut, belas لا

kasih, lunak, mengalah dan fleksibel. Kemudian ketika kata ini digandengakan

dengan Rahmah maka maknanya menjadi lemah lembut karena salah satu

tindakan rahmah yaitu lemah lembut.

2. Memaafkan kesalahan

Sikap kedua setelah bersikap lemah lembut adalah memaafkan kesalahan,

Sahl memaknainya sebagai tajawaz „an zulalihim… yaitu dengan melupakan

masalah yang telah lewat dengan cara memaafkan. Maksud kalimat ini memiliki

korespondensial dengan term sebelumnya, dengan melihat asbab al-nuzul bahwa

Nabi Muhammad dihadang dengan kebingunan di dalam memutuskan kedua

pendapat bagaimana menangani kasus tawanan perang. Ternyata ayat ini

mendukung sekali dengan pendapat Ab Bakar r.a. dengan cara bersikap lemah

17

Departemen Agama RI, Al-Hidayah Al-Qur‟an Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka

(Jakarta: Kalim, 2011), h. 72.

Page 86: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

74

lembut sebagai bentuk rahmah dari Allah, dan kesalahan yang telah diperbuat oleh

mereka dengan cara memaafkannya.

3. Musyawarah

Setelah bersikap lemah lembut dan memaafkan kesalahan yang telah

lewat, kemudian teks ayat selanjut memberikan arahan mengajak mereka dengan

bermusyawarah jangan menjauhi mereka dikarenakan mereka melakukan maksiat

tetapi rangkul mereka dengan kebaikanmu, maafkan mereka dan meminta ampun

kepada Allah. Beliau memberikan arahan alangkah baiknya untuk bermusyawarah

bersama para „Ulama sebab apabila mereka yang bermusyawarah dengan asumsi

sendiri maka bisa mengakibatkan terasumsi yang subyektif, maksudnya bisa

dikelabui dengan asumsi sendiri karena tidak dibimbing oleh para „Ulama. Karena

pada intinya melakukan musyawarah adalah suatu tindakan yang bisa

memecahkan permasalahan secara bersama dalam mengambil keputusan atau

mencari jalan keluar untuk mencapai mufakat atau saling setuju

4. Tawakkal kepada Allah

Setelah keinganan menjadi tekad, serahkanlah itu semua kepada Allah

yaitu percayakan itu semua kepada Allah, serahkan semua urusanmu kepada Allah

hanya kepada-Nya kamu bisa membutuhkan apa yang kamu inginkan.18

Penjelasan ini bisa disimpulkan bahwa seseorang harus memiliki ketergantungan

dan menyerahkan diri itu semua kepada sang maha kuasa sebagai konfigurasi

tawakkal kepada Allah. Tidak hanya Nabi Muhammad mengajarkan untuk

tawakkal, tetapi Nabi-nabi sebelumnya sudah pernah mengaktualkan tawakkal

18

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n

al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 51.

Page 87: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

75

sebagai bentuk perwujudan seorang muslim yang berakhlak, misalkan tulisan

Moh. Anwar Syarifuddin mengenai Nabi Musa yang bertaubat dari perbuatan

aniaya. Singkat cerita kejadian ini bermula dari temannya yang tengah berkelahi

dengan salah seorang pemuda dari lelaki koptik yang sebagai musuh di kota

Memphis. Mendengar permintaan tolong temannya inilah,

maka ia lalu meninju orang yang ia anggap sebagai musuh temannya tersebut,

sehingga pemuda yang berasal dari kelompok musuh itu mati. Setelah kejadian

para tentara Fir‟aun hendak menangkap Musa sebagai terdakwa, terjadilah

pelarian Musa ke kota Madyan. Musa hendak lari ke kota Madyan ini dimulai

ketika permohonan ampun kepada Allah kemudian diberi petunjuk untuk lari ke

kota tersebut. Sikap mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah merupakan

tindakan Tawakkal. Tidak sampai di sana saja, lanjutannya beliau pulang dari

Madyan ke Mesir mendapatkan perintah dari Allah untuk mendakwahi Fir‟aun.

Sikap ini sebagai menerima perintah dan berserah diri kepada Allah sebagai

bentuk konfigurasi Tawakkal, meskipun beliau masih menjadi terdakwa kasus

pembunuhan dan ada rasa takut dibunuh ketika sampai di Mesir tetapi itu tidak

terjadi, dengan pertolongan Allah beliau dibebaskan atas kesalahannya dan Allah

juga menentukan hasil dakwahnya saat Fir‟aun menolak ajakan atau dakwah

Musa untuk beriman kepada Allah yaitu tenggelam di saat menyebrangi laut

merah ketika mengejar Banī Isra‟il yang hendak berhijrah meninggalkan Mesir.19

Dari empat pembahasan mengenai karakteristik Nabi Muhammad bisa

disimpulkan, ketika seseorang dihadapkan persoalan hendaknya dimulai dengan

19

M. Anwar Syarifuddin, “Pesan Tauhid dalam Dakwah Musa AS”,

http://anwarsyarifuddin.lec.uinjkt.ac.id/seri-kajian-tafsir/kajian-hermeneutika-doa/pesan-tauhid-

dalam-dakwah-musa-as, diakses pada tanggal 27 November 2018 jam 22:30 WIB.

Page 88: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

76

bersikap lemah lembut kemudian dilanjutkan dengan tindakan pemaaf. Ketika

kedua tindakan ini tidak bisa diselesaikan maka melangkah tahap selanjutnya

yaitu bermusyawarah, buatlah perbincangan atau pembicaraan yang bisa

menyelesaikan persoalan antara kedua pihak, dan yang terakhir ketika semua itu

bisa diaktualkan mapun tidak, maka seseorang harus menyerahkan persoalan itu

kepada Allah memohon pertolongan dan petunjuk apakah cara yang dilakukan

untuk menyelesaikan sudah dibenarkan atau sebaliknya, seseorang meminta

petunjuk agar persoalan yang dihadapi bisa terselesaikan dengan baik.

D. Beberapa Maqamat dari Contoh Akhlak Nabi SAW

Jika Q.S. al-Qalam ayat 4 dimaknai Sahl sebagai pemberian Allah kepada

Nabi Muhammad SAW tentang “maqamat yang paling agung” (a‟ẓam al-

maqāmāt), sebagai keterikatannya dengan bentuk-bentuk akhlak Tuhan

sebagaimana keterikatannya untuk meneladani sifat-sifat dan karakter-Nya. Maka

hal yang demikian merupakan bentuk karamah (kemuliaan), yang idealnya

diteladani oleh kaum muslimin yang menjadi pengikut Muhammad, ketika

karamah didefinisikan sebagai sesuatu yang akan habis pada waktunya, akan

tetapi karamah terbesar yang dimiliki seseorang adalah dengan mengganti akhlak

tercela dengan akhlak yang mulia.20

Hemat penulis, implementasi lebih lanjut dari

butir-butir ajaran akhlak Rasulullah dalam penafsiran tiga ayat di atas dapat

dilihat secara jelas dalam beberapa maqāmāt dalam konsepsi tasawwuf Sahl al-

Tustari, khususnya yang terkait dengan maqam-maqam seperti sabar, tawakkal,

dan ikhlas.

20

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n

al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 174.

Page 89: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

77

Sebagai landasannya dapat dilihat dari penafsiran Sahl al-Tustari terhadap

Q.S. al-Hasyr [59]: 7

يا ءذىكى سل يا فخز ٱنش ف ىكى ع ٲر ٱذق ٱلل إ ٧ ٱنعقاب شذذ ٱلل

Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa

yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.

Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.

Tustari menjelaskan ayat ini sebagai pokok ajaran tasawwuf di dalam

madzhabnya. Ia Berkata, “Tiga ajaran pokok dalam mad hab kami yaitu

memakan dengan makanan yang halal, mengikuti Rasulullah baik akhlak maupun

perbuatan (sunnah), dan niat yang ikhlas dalam semua urusan.21

Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa Akhlak mulia yang merupakan identitas penting bagi

orang mukmin idealnya diambil dari contoh yang diberikan Nabi SAW. Di bawah

ini akan diberikan secara ringkas 3 maqam yang mewakili konsepsi tasawwuf

Sahl al-Tustari, yaitu Sabar, Tawakkal, dan Ikhlas.

1. Maqam Sabar

Sahl menjelaskan bahwa di antara sikap mulia yang akan dibalas dengan

pahala yang besar adalah Sabar. Terkait sabar beliau menjelaskan pada Q.S. al-

„Ashr [103]: 3

إلا ٱنز ه ع د ءي هح ت ٱنص ص ذ ت ٲنحق ص ذ ثش ٲنص

21

Ab „Abd al-rahman al-Sulamī, Ta aqāt al-Sufiyyah, tahqiq Musthafa „Abd al-Qādir

„Athā (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t, 2010) juz 1, h. 170.

Page 90: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

78

Artinya: kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh

dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati

supaya menetapi kesabaran.

Interpretasi dari Sahl adalah bahwa sabar merupakan amalan yang lebih

utama, sebab sabar bisa menjadikan status seseorang menjadi taqwa. Kemudian

beliau memberikan dua klasifikasi stereotipikal manusia dalam

meimplementasikan sabar, pertama, ada sekelompok manusia yang sabar untuk

kebutuhan duniawi yang bisa memuaskan diri mereka kategori ini merupakan

sabar yang buruk. Kedua, manusia yang sabar untuk akhirat yang mengharapkan

pahala dan merasa takut ketika mendapatkan siksaan dari Tuhan kategori ini

merupakan sabar mahmudah (baik).22

Kategori sabar kedua, beliau menjelaskan lebih jauh. Bahwa sabar untuk

kebutuhan akhirat dibagikan menjadi empat tingkatan, tiga merupakan kewajiban

sedangkan sisanya merupakan fadīlah (keutamaan), tiga diantaranya: sabar untuk

mematuhi aturan Allah salah satu contohnya dijelaskan Q.S. al-Baqarah [2]: 45

ٱسرع ثش ت ج ٲنص ه ا نكثشج إلا عه ٱنص إ شع ٱنخ

Artinya: Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan

sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang

khusyu´.

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong mu” salah satu sabar untuk

melakukan perintah Allah adalah Sholat karena sabar sebagai wasilah, sebab tanpa

22

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al- Azīm, tahqiq Taha `Abd al-

Rauf Sa`d & Sa`d H asan Muhammad `Ali (Kairo: Dar al-Harām Lit-Turaṣ, 2004), h. 327.

Page 91: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

79

wasilah (sabar) maka tidak sah sholatnya. Wasilah di sini belliau artikan wasilah

dengan Allah23

, kemudian sabar tidak melakukan maksiat, dan sabar apabila

diberikan musibah pada diri seseorang. Penjelasan lainnya beliau mengatakan,

tiga diantaranya: sabar untuk melakukan perintah Allah, sabar untuk tidak

melakukan larangan Allah, sabar yang allah lakukan terhadap seseorang. Dan

maqam Fadilahnya yang merupakan sisa dari empat maqam sabar yaitu, sabar

terhadap tindakan makhluk-makhluk Allah. yang merupakan sisa dari empat

maqam sabar yaitu, sabar terhadap tindakan makhluk-mahkluk Allah.24

2. Maqam tawakkal

Selain sabar, Sahl juga menjelaskan pentingnya maqam tawakkal.25

Salah

satu ayat yang menjelaskan tawakkal menurut ia adalah Q.S. al-Nisā‟ [4]: 81

كم عه ذ ى فأعشض ع ت ٱلل كف كل ٲلل ١

Artinya: maka berpalinglah kamu dari mereka dan tawakallah kepada Allah.

Cukuplah Allah menjadi Pelindung.

Pada penjelasan ayat ini ia ditanya oleh muridnya, apa itu tawakkal? Ia

menjawab: “menyerahkan lahir batin untuk beribadah dan menghubungkan hati

ini dengan rubbubiyyah”. Kemudian ditanya kembali, “Pada dasarnya tawakkal

23

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al- Azīm, tahqiq Taha `Abd al-

Rauf Sa`d & Sa`d H asan Muhammad `Ali (Kairo: Dar al-Harām Lit-Turaṣ, 2014), h. 97. 24

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al- Azīm, tahqiq Taha `Abd al-

Rauf Sa`d & Sa`d H asan Muhammad `Ali (Kairo: Dar al-Harām Lit-Turaṣ, 2014), h. 327. 25

Tawakkal adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya

yang bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang

menciptakan segala-galanya, pengetahuanNya Maha Luas, Dia yang menguasai dan mengatur

alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala persoalannya

kepada Allah. Hatinya tenang dan tenteram serta tidak ada rasa curiga, karena Allah Maha Tahu

dan Maha Bijaksana. Lihat Labib Mz, Rahasia Kehidupan Orang Sufi, Memahami Ajaran

Thoriqot & Tashowwuf (Surabaya: Bintang Usaha Jaya), h. 10.

Page 92: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

80

dalam pokok ajaran itu apa?” Ia menjawab: “pada dasarnya tawakkal adalah

mengikrārkan (menetapkan) dengan tauhid.” Kemudian ia menambahkan, “tidak

sah tawakkal melainkan untuk orang bertawakkal.26

Hemat penulis, tawakkal merupakan bagian dari tindakan akhlak. Tetapi

sedikit sekali al-Tustarī menjelaskan atau mendoktrinisasi tentang akhlak dalam

kitabnya, setidaknya ia memberikan penjelasan yang unik dan memiliki narasi

dalam ikhlas sehingga, ikhlas dan tawakkal tidak bisa dipisahkan dalam

melakukan hal apapun. Pada intinya tawakkal hanya dimiliki orang-orang yang

bertaqwa dan sebaliknya tidak akan sempurna taqwa seseorang kecuali dengan

bertawakkal. Dengan begitu tawakkal harus diaktualisasi oleh setiap orang

sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Tustari yang ditanya tentang bagaimana

sikap tawakkal ini bisa dicapai oleh seseorang dari maqam yang paling bawah

dalam taqwa, Sahl menjelaskan bahwa fase pertama adalah dengan mengetahui

(ma‟rifa), kemudian dibarengi dengan pengakuan (iqrar), lalu mengesakan Allah

(tawhi>d), berserah diri (isla>m), berbuat baik (ih}sa>n), memasrahkan

keputusan (tafwi>d), mempercayakan diri kepada Tuhan (tawakkul), dan

menyandarkan diri sepenuhnya kepada Tuhan (suku>n ila> al-H}aqq) dalam

kondisi apapun. Sebagaimana dijelaskan di dalam tafsirnya bahwa tahapan-

tahapan yang membangun maqam tawakkal ini akan memberikan hasil bagi

26

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n

al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 54.

Page 93: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

81

pelakunya, maka menurut pandangan Sahl semua tahapan di atas hanya berlaku

bagi mereka yang bertakwa.27

3. Maqam Ikhlas

Secara eksplisit akhlak yang penting diimplementasikan adalah

keikhlasan, yang inilah menjadi ciri utama bagi Sahl al-Tustarī, karena keikhlasan

menjadi sempurna iman seseorang. Sebagaimana perkataannya Sahl,

“Ikhlas adalah kesempurnaan Iman, kerana apabila seorang hamba

melakukan dengan ikhlas maka akan mendapatkan kebenaran, melakukan

dengan kebenaran maka akan mendapatkan pencapaian, dan pencapaian sudah

didapatkan maka menghasilkan kepada kebenaran. Ikhlas adalah buah

keyakinan karena keyakinan sebagai saksi hal tersembunyi, siapa yang tidak

memliki musyahadah (persaksian) hal yang tersembunyi serta tidak ada

pelindung, maka ia melakukan untuk Allah tidak dengan keikhlasan.28

Salah satu corak dari tasawwufnya al-Tustāri, ialah reaktualisasi ikhlas ke

dalam kehidupan. Maka tak heran ia banyak sekali menafsirkan ayat-ayat

mengenai tentang ikhlas. Di sini penulis memberikan beberapa ayat-ayat yang

menjelaskan tentang ikhlas dengan penafsiran al-Tustarī, adapun susunan ayatnya

sesuai dengan Tartī al-Mushafī.

a. Q.S. Yasi>n [36]: 22

يا لا أعثذ ٱنزن ذشجع إن فطش

27

M. Anwar Syarifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,

http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F

yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 15 28

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n

al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 52.

Page 94: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

82

Artinya: Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah

menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan

dikembalikan.

Menurutnya, bahwa menyembah Tuhan yang lebih baik adalah dengan

keikhlasan sebagaimana ia ditanya oleh muridnya, “Ibadah apa yang lebih baik?

Ia menjawab: yaitu ikhlas, sebagaimana dijelaskan di dalam Q.S. al-Bayyinah:5.

Tidak hanya itu, menyembah Tuhan memerlukan tiga hal diantaranya: Akal, jiwa,

dan kapabilitas. Jika salah satu dikhawatirkan hilang yaitu akal dan jiwa maka

akan mempengaruhi dari ibadah, tetapi jika yang dikhawatirkan adalah kapabilitas

atau kemampuan maka tidak mempengaruhi ibadah, bisa saja jika tidak mampu

untuk sholat dalam hal berdiri maka bisa sholat dalam keadaan duduk29

.

b. Q.S. al-Zumar [39]: 11

أعثذ قم أيشخ أ إ ٱلل يخهصا ن ٱنذ

Artinya: Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya

menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam

(menjalankan) agama”.

Menurutnya, menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan dengan

keikhlasan, sebab ikhlas adalah mencoba untuk menerima, jika bisa menerima apa

yang diperintahkan oleh Allah maka dia bisa dikategorikan orang Mukhlisan.30

29

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n

al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 130. 30

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n

al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 133.

Page 95: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

83

c. Q.S. al-Bayyinah [98]: 5

يا إلا نعثذ أيش ن ٱلل يخهص ٱنذ ق ج حفاء ه ٱنص ؤذ ج ك ٱنز نك د ر

ح ٱنق

Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah

dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang

lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang

demikian itulah agama yang lurus.

Ia menjelaskan, semua kegiatan atau perbuatan harus didasari dengan

ikhlas seperti yang ia jelaskan, bahwa seluruh pengetahuan untuk mendorong

seseorang untuk menjadi pribadi yang ikhlas, jika ikhlas sudah diimplementasikan

maka berubah menjadi status Tuma‟ninah (kedamaian). Menggantikan

skeptisisme dengan kesabaran, mengantikan kebodohan dengan pengetahuan, dan

mengantikah pengetahuan untuk meninggalkan ikhtiar (pemilihan) yang

memgakibatkan skeptisisme, dan semua ini Allah menginginkan untuk menjadi

orang yang bertaqwa.31

Kemudian pada penafsiran ini juga ia ditanya oleh muridnya tentang apa

itu ikhlas? Ia menjawab: “Ikhlas adalah yang bisa menerima, apabila tidak bisa

menerima hal apapun makan tidak ada ikhlas pada dirinya. Kemudian ia

31

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n

al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 201.

Page 96: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

84

menjelaskan kembali, ikhlas mempunyai tiga makna. Pertama Ikhlas ibadah

karena Allah, ikhlas perbuatan karena Allah, dan ikhlas hati untuk Allah.32

Hemat penulis dari empat penafsiran yang dijelaskan oleh al-Tustari dalam

kitabnya, ia mewajibkan untuk meimplementasikan atau mereaktualisasikan

keikhlasan dalam hal apapun. Sehingga perbuatan yang telah diaktualisasikan

kedalam keikhlasan maka merupakan madzhab kami (tustari), sebab ikhlas

merupakan slogan dan kegiatan penting baginya bahkan merupakan ajaran pokok

dalam kehidupannya.33

Dari penjelasan seputar 3 maqam dalam konsepsi tasawwuf Sahl yang

mencontoh akhlak Nabi SAW, al-Tustarī memberikan sebuah penjelasan, ketika

sudah direaktualisasikan tindakan-tindakan ikhlas mapun tawakkal, maka mereka

yang mengerjakan berhak mendapatkan maqam (posisi) yang terbaik di sisi Allah.

Ia memberikan penjelasan ini pada Q.S. al-Na i‟āt [79]: 40

ا أي خاف يقاو ست ۦي ٱنفس ع ٱن

Artinya: Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya

dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya.

Penjelasannya adalah, tidak semua keinginan hawa nafsu seseorang diterima

kecuali hawa nafsunya para Nabi dan orang Siddīqūn (orang benar). Sebab para

Nabi dan Siddīq n, bisa membatasi hawa nafsunya dengan adab, karena dibatasi

32

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n

al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 201. 33

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n

al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 73.

Page 97: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

85

dengan adab maka itulah yang disebut sebagai Akhlak.34

Seperti yang diceritakan

pada kasus Ibn Samāk,35

suatu hari ia bertemu sahabatnya kemudian berbincang-

bincang. Ia berkata, “Sungguh saya sudah banyak memberikan nasihat yang

banyak pada kalian, apakah kamu membutuhkan penyembuhnya?” Mereka

menjawab“iya”, ia berkata, “Berselisihlah dari hawa nafsumu.”36

34

Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n

al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 187. 35

Nama aslinya Muhammad b. Ṣabīh b. Al-Samāk (183H) hidup semasa Hār n al-

Rasyīd. 36

Muhammad b. Ahmad b. „Utsmān b. Qāyamā al-D ahabī Syamsy al-Dīn Ab

„Abdullah, Sīr al-A‟lām al-Nu alā‟, Muhaqqiq Hasān „A d al-Manān (Bait al-Afkār al-Dawliyah,

2009) Juz 8, h. 328.

Page 98: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

86

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, bisa diambil kesimpulan diantaranya:

Sahl Tustarī menjelaskan di dalam Tafsirnya, bahwa keluhuran akhlak Nabi

Muhammad memiliki koherensi di dalam al-Qur’an, maksudnya telah dilegitimasi

dan memiliki keterkaitan sehingga tidak melewati batas yang telah ditetapkan di

dalam al-Qur’an.

Adapun indikasi-indikasi yang menyatakan Nabi memiliki Akhlak, telah

dituangkan dan dimanifestasikan di dalam al-Qur’an QS. Alī ‘Imran 159,

diantaranya: bersikap lemah lembut, memaafkan kesalahan, bermusyawarah, dan

tawakkal kepada Allah.

Adapun akhlak yang wajib bagi seorang muslim untuk diaktualkan di

antaranya telah dijelaskan dalam QS. al-Nahl: 90 diantaranya: pertama, berakhlak

adil. Menurut Sahl adil adalah mereka yang mengaktualkan kalimat syahadat

(persaksian) sebagai pengakuan sesorang sebagai perintah keislaman itu sendiri.

Kedua, berakhlak ihsan. Menurut Sahl, ihsan adalah berbuat baik kepada pihak

lain. Ketiga, tolong-menolong kepada kerabat ketika diberikan rezeki lebih.

Keempat, menjauhi perkara keji. menurut Sahl perbuatan ini hanya dibatasi

kepada etika dan moral ketika dilakukan telah melewati batasan yang telah

ditetapkan di dalam al-Qur’an. Kelima, larangan berbuat munkar. Menurut beliau

munkar diartikan seseorang yang berbuat maksiat. Keenam, larangan untuk

mendengki.

Page 99: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

87

A. Saran

1. Penelitian yang penulis lakukan masih dikategorikan belum maksimal,

dikarenakan penafsiran ayat tentang Keluhuran akhlak Nabi Muhammad

di dalam Tafsir Tustari hanya difokuskan beberapa ayat saja. Saran

penulis, ada penelitian lanjutan yang lebih berkembang.

2. Mahasiswa Ilmu al-Qur’an masih sedikit sekali menafsirkan dengan

merujuk referensi atau bibliografi tafsir yang bercorak teosofi (sufistik)

Page 100: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

x

DAFTAR PUSTAKA

„Abd al-Bāqī, Muhammad Fu‟ad. al-Mu’jam al Mufahras Li al-Fādz al Quran al-

Karīm. Beirut: Dār al Ma‟rifah, 2002.

Abidin, Umar. “Ta‟wil Terhadap Ayat al-Qur‟an Menurut Al-Tustari”. Jurnal

Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis. Vol. 15, No. 2, 2014.

Abū „Abdullah, Muhammad b. Ahmad b. „Utsmān b. Qāyamāz al-Dzahabī

Syamsy al-Dīn. Sīr al-A’lām al-Nubalā’. Muhaqqiq Hasān ‘Abd al-Manān.

Bait al-Afkār al-Dawliyah, 2009.

Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. Jakarta: PT. Pustaka

Alvabet, 2013.

Anwar, Rosihan. Akidah Akhlak. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Al-Ashbahani, Hafidz al-Kabir Abi Na‟im. Dalail al-Nubuwwah. Beirut: Dār al-

Nafais, tt.

Badrudin, Akhlak Tasawuf. Banten: IAIB Press, 2015.

Baihaki. “Penafsiran Ayat-ayat Nur dalam Tafsir al-Qur‟an al-`Adzim karya Sahl

bin `Abdullah al Tustari”. Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam

S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.

Al-Bukhari, Imam. Shahih al-Bukhari. Digital Library: Maktabah Syamilah.

Departemen Agama RI. Al-Hidayah Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid Kode

Angka, Jakarta: Kalim, 2011.

Dhaif, Syauqi. Al-Mu’jam Al-Wasith. Mesir: Maktabah Shurouq Ad-Dauliyyah,

2004.

Al-Dzahabi, Muhammad Husein. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Mesir: Maktabah

Wahbah al-Qahirah, 2000.

Faridy, Heri MS dkk (ed.). Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Angkasa, 2008

Al-Farmawī, Abū al-Hayy. Al-Bidayah Fi ‘ala Tafsir al-maudhu’iy. Mesir:

Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977.

Al-Ghazali, Imam. Ihya’ Ulum al-Din. Mesir: Isa Bab al-Halaby, tt.

Al-Ghazali, Imam. Rahasia Haji: Imam al-Ghazali. Terj. Mujiburrahman. Jakarta:

Turos Pustaka, 2017.

Al-Ghazali, Syaikh Muhammad. Berdialog Dengan Al-Qur’an, (terj). Bandung:

Mizan, 1996.

Page 101: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

xi

Ibn Hanbal, Ahmad. Musnad Ahmad. Digital Library: Maktabah Syamilah.

Istiadie, Johan dan Fauti Subhan. “Pendidikan Moral Perspektif Nasih Ulwan”.

Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol 1, No 1. 2013.

Al-Jazayri, Abu Bakar Jabir. Minhaj al-Muslim. Madinah: Dār Umar Ibn Khattab,

1976.

Ja‟far. Gerbang Tasawuf. Medan:Perdana Publishing, 2016.

Khasanah, Nur. “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Dalam Buku: Kick Andy

Kumpulan Kisah Inspiratif 2”. Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

S1 IAIN Surakarta, 2013.

Lestari, Leni. “Epistemologi Corak Tafsir Sufistik”. Jurnal Syahadah, Vol. 2, No.

1. 2014.

Mahmud, Ali Abdul Halim. Akhlak Mulia. Jakarta: Gema Insani, 2004.

Malik, M. Abduh. Pengembangan Kepribadian Pendidikan Islam. Jakarta:

Departemen agama RI, 2009.

Makbuloh, Deden. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2011.

Matta, Anis. Membentuk Karakter Cara Islam. Jakarta: Al-I‟tishom Offset, Cet.

III. 2006.

Miskawaih, Ibnu. Tahdzib al-Akhlak Fi al-Tarbiyah. Beirut: Dār al-Kutub al-

Ilmiyah, 1985. Muhammad bin Isa, Abu „Isa. Sunan At-Tirmidzi. Digital

Library: Maktabah Syamilah.

Muhammad bin Isa, Abu „Isa. Sunan At-Tirmidzi. Digital Library: Maktabah

Syamilah.

Mulyana, Yayan. “Konsep Mahabbah Imam al-Tustarī (200-283 H.)”. Jurnal

Syifa al-Qulub, Vol. I, No. 2. 2017.

Murad, Musthafa. Kisah Hidup Ali Ibn Abi Thalib. Terj. Dedi Slamet Riyadi.

Jakarta: Zaman, 2007.

Mustofa, Ahmad. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.

Mustopa, “Pembentukan Akhlak Islami dalam Berbagai Perspektif”, Jurnal IAIN

Syekh Nurjati Cirebon, Vol. 3, No. 1. 2017.

Muzaiyana. Akhlak Tasawuf. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014.

Mz, Labib. Rahasia Kehidupan Orang Sufi, Memahami Ajaran Thoriqot &

Tashowwuf Surabaya: Bintang Usaha Jaya.

Page 102: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

xii

Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisime dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,

1973.

Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.

Al-Qattan, Manna‟ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: PT. Pustaka Litera

Antar Nusa, 2013.

Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad. Tafsir Al-Qurthubi. Kairo:

Dar al-Sya‟bi, 1913.

Al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abd al-Karim Hawazin. Ar-Risalah al-Qusyairiyah fi

‘Ilmi at-Tasawuf. Mesir: Dar al-Ma‟arif, 2010.

Al-Razi, Ahmad bin Faris. Mu’jam Maqayis al-Lughah. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.

Rofiah, Nurul Hidayati. “Desain Pengembangan Pembelajaran Akidah Akhlak Di

Perguruan Tinggi”. Jurnal Fenomena, Vol 8, No. 1. 2016.

Al-Sadiqi, Muhammad Ibn „Ilan. Dalil Al-Falihin. Mesir: Mustafa al-Bab al-

Halaby, 1971.

Sukanto. Paket Moral Islam Menahan Nafsu dari Hawa. Solo: Maulana Offset,

1994.

Al-Sulamī, Abū „Abd al-rahman. Tabaqāt al-Sufiyyah, tahqiq Musthafa „Abd al-

Qādir „Athā. Bairūt: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2010.

Al-Sulami, Abu Abdirrahman. Tasawuf: Buat Yang Pengen Tahu. Terj. Faisal

Saleh. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007.

El-Syafa, Ahmad Zacky. Ia Hidup Kembali Setelah Mati 100 Tahun. Simorejo:

Medpress Digital, 2013.

Syarifuddin, M. Anwar. “Memaknai Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam

Ontologi Mistik Sahl al-Tustari”. Jurnal Refleksi. Vol. 11, No. 2. 2009.

Syarifuddin, M. Anwar. “Menimbang Otoritas Sufi dalam Menafsirkan Al-

Qur‟an”. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat. Vol. 1, No. 2. 2004.

Syarifuddin, M. Anwar. “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl al-Tustari”. Jurnal

Studi al-Qur’an, Vol. II, No. 1. 2007.

Syarifuddin, M. Anwar. “Sufi Symbolism In The Early Qur‟anic Commentary”.

Thesis, Leiden University, 2000.

Al-Thabari, Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir. Tafsir At-Thabari Jāmi’u al-Bayāni

‘an Ta’wili ay al-Qur’ani, tahqiq Abdullah b. Abd al-Muhsin al-Turki. Mesir:

Markaz al-Buhuts wa al-Dirāsat al-Arabiyat wa al-Islāmiyat, 2001.

Page 103: KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW. Skripsi Memperoleh …

xiii

Al-Thahthawi, Ahmad Musthafa. Shalat Orang-Oramg Shaleh. Terj. SABDA.

Jakarta: Penerbit Republika, 2005.

Al-Thayalisi, Abu Dawud Sulaiman bin Dawud. Musnad Abu Dawud at-

Thayalisi. Digital Library: Maktabah Syamilah.

Al-Tustarī, Sahl b. „Abdullah. Tafsīr al-Qur’an al-‘Azīm. tahqiq Mustafa al-Bābī

al-Halabī dan saudaranya Bakrī dan „Isā. Dār al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubrā,

1911.

Al-Tustarī, Sahl b. „Abdullah. Tafsīr al-Qur’an al-`Azīm. tahqiq Taha `Abd al-

Rauf Sa`d & Sa`d Hasan Muhammad `Ali. Kairo: Dar al-Harām Lit-Turats,

2004.

Al-Tustarī, Sahl b. „Abdullah. Tafsīr al-Tustari. tahqiq Muhammad Bāsil „Uyūn

al-Sūd. Bairūt-Libanān: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2007.

Zahruddin AR. dan Hasanuddin Sinaga. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2004.

Al-Zughbi, Mahmud bin Abdul Malik. Wafat Saat Sholat: 73 Kisah Kematian

yang Indah. Terj. Yusni Amru & Fuad Nawawi. Jakarta: Noura Books, 2014.

http://anwarsyarifuddin.lec.uinjkt.ac.id/seri-kajian-tafsir/kajian-hermeneutika-

doa/pesan-tauhid-dalam-dakwah-musa-as

http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0Lm

FjLmlkfGFud2FyLXN5YXJ

https://iatbajigur.wordpress.com/2017/03/26/kajian-kritis-atas-tafsir-muqatil-

karya-muqatil-bin-sulaiman-w-105-h-767-m/

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ahvaz

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Provinsi_Khūzestān

https://ms.m.wikipedia.org/wiki/Shushtar

https://ulumulquran2010.wordpress.com/2012/05/06/early-sufi-sari-al-saqati/

https://yufidia.com/bashrah/