72
1 Kalam 25 / 2013 KESUSASTRAAN INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN 1 Pengantar Hal pertama yang harus dijelaskan dalam karangan mengenai sastra Indonesia adalah kapan ia lahir. Beberapa pengamat sudah membicarakan hal itu dan pada hemat saya tidak perlu adanya kata sepakat dalam hal ini. Bahasa Indonesia tumbuh dari bahasa Melayu dan dalam perkembangannya ia melibatkan kelompok-kelompok etnik lain yang masing-masing sudah memiliki kebudayaan dan bahasa sendiri—suatu hal yang justru memperkaya khazanah sastra itu sendiri. Yang dibicarakan dalam karangan ini adalah sastra yang dicetak dalam bahasa Melayu dengan menggunakan aksara Latin. Sastra yang ditulis atau dicetak dengan menggunakan aksara Jawi tidak dibicarakan sebab perbedaan penggunaan aksara dan penulisannya telah menyebabkan adanya batas antara sastra lama dan sastra modern. Sastra Melayu lama adalah khazanah yang ditulis dengan aksara Jawi, sebab itu memerlukan transliterasi jika disebarluaskan bagi umumnya pembaca sekarang. Di samping itu, sebagian besar 1 Tulisan ini adalah kumpulan kutipan dari tiga buku Sapardi Djoko Damono, Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1979); Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004); dan Drama Indonesia (Jakarta: Editum, 2009). Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan 1 Sapardi Djoko Damono

Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

1 PB

Kalam 25 / 2013

KESUSASTRAAN INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN1

Pengantar

Hal pertama yang harus dijelaskan dalam karangan mengenai

sastra Indonesia adalah kapan ia lahir. Beberapa pengamat sudah

membicarakan hal itu dan pada hemat saya tidak perlu adanya kata

sepakat dalam hal ini. Bahasa Indonesia tumbuh dari bahasa Melayu

dan dalam perkembangannya ia melibatkan kelompok-kelompok

etnik lain yang masing-masing sudah memiliki kebudayaan dan

bahasa sendiri—suatu hal yang justru memperkaya khazanah sastra

itu sendiri. Yang dibicarakan dalam karangan ini adalah sastra yang

dicetak dalam bahasa Melayu dengan menggunakan aksara Latin.

Sastra yang ditulis atau dicetak dengan menggunakan aksara Jawi tidak

dibicarakan sebab perbedaan penggunaan aksara dan penulisannya

telah menyebabkan adanya batas antara sastra lama dan sastra

modern. Sastra Melayu lama adalah khazanah yang ditulis dengan

aksara Jawi, sebab itu memerlukan transliterasi jika disebarluaskan

bagi umumnya pembaca sekarang. Di samping itu, sebagian besar

1 Tulisan ini adalah kumpulan kutipan dari tiga buku Sapardi Djoko Damono, Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1979); Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004); dan Drama Indonesia (Jakarta: Editum, 2009).

Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

Sapardi Djoko Damono

Page 2: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

2 PB

Kalam 25 / 2013

khazanah itu ditulis, dan tidak dicetak, sehingga penyebarannya relatif

terbatas. Dalam pembicaraan mengenai perkembangan sastra, faktor

penyebarluasan dan khalayak tidak bisa ditinggalkan. Karangan ini

diawali dengan pembicaraan sepintas tentang puisi.

Puisi dan Media Cetak

Perkembangan puisi Indonesia dimulai sekitar pertengahan abad

ke-19, ketika di negeri yang dulu dikenal sebagai Hindia Belanda ini

masyarakat mulai mengembangkan media massa cetak. Tampaknya,

perkembangan sastra kita tidak bisa dipisahkan dari perkembangan

penerbitan; sejak awal, dalam berbagai penerbitan disediakan

ruangan untuk sastra, terutama puisi. Pengamatan sementara

menunjukkan bahwa kebanyakan sastrawan adalah juga wartawan,

yang menekankan pentingnya bahasa sebagai alat komunikasi.

Bahasa Melayu sejak lama sudah menjadi bahasa komunikasi lisan

di Nusantara, tetapi ketika kalangan pers menggunakannya sebagai

alat komunikasi cetak, mereka tampaknya harus mengubah yang

lisan itu menjadi tulisan, mengubah bunyi menjadi aksara. Tentu saja

mereka sudah juga mengenal bahasa tulis sebelumnya, tetapi dalam

perkembangannya bahwa bahasa yang dipergunakan dalam media

massa ketika itu tidak bersumber pada bahasa tulis seperti yang kita

kenal dari khazanah sastra Melayu lama. Jika memang demikian

halnya, maka sumber bahasa Melayu cetak itu tentunya bahasa lisan.

Itulah juga tentunya yang menyebabkan banyaknya variasi struktur

dan kosa kata dalam perkembangan awalnya.

Itu tidak berarti bahwa wartawan dan sastrawan masa itu

sama sekali tidak mengenal khazanah sastra Melayu lama seperti

Page 3: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

3 PB

Kalam 25 / 2013

pantun, yang merupakan tradisi lisan, dan syair, yang merupakan

salah satu genre dalam tradisi tulis kita. Beberapa orang bahkan

sempat mengalihaksarakan sejumlah syair Melayu dari huruf Jawi

ke huruf Latin. Di antara mereka pun ada yang mentransliterasikan

sastra Tionghoa ke bahasa Melayu beraksara Latin.2 Bagi kebanyakan

sastrawan pada masa itu, istilah pantun dan syair cenderung

dipertukarkan. Dalam beberapa karangan, pantun dan syair tidak

lain merupakan komposisi tulis yang setiap baitnya terdiri atas empat

larik—syarat-syarat lain cenderung disisihkan. Ini pada hemat saya

tidak ada kaitannya dengan keinginan untuk mengadakan inovasi

tetapi bersumber pada ketidaktahuan; atau pengetahuan tentang

bentuk-bentuk tetap itu didapatkan secara lisan. Sair Tjerita Siti

Akbari, misalnya, ditulis setelah pengarangnya mendengarkan pantun

Sunda, dan bukan transliterasi atau saduran dari aksara Jawi.

Perkenalan dengan kebudayaan Barat menyebabkan para

penulis puisi kita mempertimbangkan cara penulisan baru, tetapi

pengaruh yang sangat kuat dari tradisi lisan menyebabkan bentuk-

bentuk seperti pantun dan syair masih juga menjadi pilihan penting.

Selain di majalah dan surat kabar, puisi sejak awal juga disebarluaskan

dalam bentuk buku. Dan karena penerbit-penerbit yang terlibat

dalam penyebarluasan itu mempunyai alasan dan ideologi berbeda-

beda, maka bisa disimpulkan bahwa fungsi puisi pada masa itu pun

berbagai-bagai.

Sejak awal pertumbuhannya, puisi Indonesia bekembang di

koran dan majalah. Sampai dengan 1930-an, penerbitan dalam bentuk

buku masih sangat jarang dan terbatas pada usaha perseorangan atau

2 Claudine Salmon, Literature in Malay by the Chinese of Indonesia (Paris: Éditions de la Maison des sciences de l’homme, 1981).

Page 4: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

4 PB

Kalam 25 / 2013

lembaga yang secara khusus menaruh perhatian pada kesusastraan.

Selama dekade 1930-an, hanya sekitar 10 buku kumpulan sajak

diterbitkan; sementara itu beberapa penerbit, seperti Balai Pustaka,

menaruh minat terhadap penerbitan kembali naskah lama atau syair

karangan baru dengan mengambil cerita lama sebagai bahan. Ada

kesan bahwa minat masyarakat masa itu terhadap puisi baru belum

berkembang dengan baik; bahkan bisa dikatakan bahwa masyarakat

masih lebih berminat pada bentuk-bentuk lama, terutama syair dan

pantun.

Kenyataan itu tampaknya menunjukkan bahwa tradisi

pantun dan syair dalam masyarakat Melayu memang sangat kuat

dan bahwa proses untuk menciptakan puisi modern pada masa itu

masih dalam taraf yang sangat awal. Dalam sebuah tulisannya A.

Teeuw3 menyatakan bahwa sebuah buku syair di akhir dekade 1920-

an berhasil terjual sampai hampir 27.000 eksemplar; perlu diketahui

bahwa jumlah buku syair ciptaan baru lebih banyak daripada buku

puisi baru. Namun, jika dipandang dari segi lain, yakni yang berkaitan

dengan semangat pembaruan yang ada di kalangan pada sastrawan

pada masa itu, munculnya sejumlah besar puisi baru dalam berbagai

penerbitan berkala membuktikan bahwa dalam sastra kita kala itu

sedang terjadi suatu proses pembaruan yang sangat penting.

Beberapa pengamat sastra kita mencatat bahwa pada masa

itu terjadi suatu arus pengaruh yang sangat kuat dari Barat; salah

satu agen yang perlu mendapat sorotan istimewa adalah kelompok

sastrawan dan intelektual muda usia yang “tergabung” dalam majalah

Pujangga Baru. Majalah itu memang dengan gigih menawarkan

3 A. Teeuw, Modern Indonesian Literature I (The Hague: Martinus Nijhoff, 1967).

Page 5: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

5 PB

Kalam 25 / 2013

berbagai konsep Barat untuk membongkar pemikiran bangsa kita

yang dianggap sudah mulai mengalami kemacetan pada masa itu.

Dalam hal kesusastraan, tokoh-tokoh muda itu—terutama Sutan

Takdir Alisjahbana—menunjukkan berbagai kelemahan yang ada

dalam tradisi penulisan puisi kita seperti yang terlihat dalam pantun

dan syair. Mereka mencoba meyakinkan kita bahwa cara terbaik

untuk memajukan sastra kita adalah dengan mencontoh berbagai

cara pengucapan yang berasal dari Barat. Di luar kelompok itu,

karya-karya di majalah yang dikelola oleh berbagai kelompok etnik

menunjukkan penggunaan aksara Latin juga bermakna oreintasi ke

Barat.

Ada dua hal yang perlu diberi catatan sehubungan dengan

masalah yang penting itu. Pertama, usaha keras untuk mengelakkan

diri dari bentuk lama—pantun, misalnya—ternyata menghasilkan

minat yang luar biasa terhadap sebuah bentuk lama juga yang diimpor

dari Eropa, yakni soneta. Beberapa pengamat, antara lain Teeuw dan

Foulcher,4 bahkan juga Takdir, dengan tepat menyatakan bahwa

pada dasarnya pantun dan soneta merupakan cara pengungkapan

yang polanya sama. Jadi, pada hemat saya, di samping sebenarnya

para penyair muda itu tidak menciptakan suatu bentuk baru—karena

soneta adalah barang impor—juga pada hakikatnya mereka tetap

berpegang pada cara penyampaian yang sama dengan nenek moyang

mereka. Kedua, ternyata baik para penyair muda dan penulis syair itu

mendapatkan kegairahan menulis karena pengaruh luar. Kita ketahui

juga bahwa syair pun adalah pengaruh dari “Barat.” Jika para penyair

baru itu dengan bersemangat memperkenalkan konsep-konsep

4 Keith Foulcher, Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-

1942, terjemahan Sugiata Sriwibawa (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1991).

Page 6: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

6 PB

Kalam 25 / 2013

baru dari sastra Barat, para penulis syair tradisional itu dengan setia

mengikuti tradisi yang sudah lama hidup dalam masyarakat kita, yakni

memanfaatkan kisah-kisah dari negeri asing untuk menyusun syair-

syair mereka. Kisah-kisah dari negeri asing itu tidak hanya berasal

dari India, Arab, dan Persia tetapi juga dari Eropa. Salah satu syair

yang diterbitkan pada masa itu, yakni Sjair Silindoeng Delima karya

Aman, adalah saduran kisah Cinderella.

Di dalam berbagai majalah juga tampak kecenderungan itu,

setidaknya dipandang dari segi stilistika. Syair-syair yang jelas masih

berpijak pada tradisi penulisan lama muncul bersamaan dengan

sajak-sajak yang ditulis oleh para penyair yang berpandangan Barat.

Bahkan, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, sajak-sajak baru itu

belum berhasil sepenuhnya membebaskan diri dari tradisi penulisan

puisi yag sudah berakar ratusan tahun lamanya. Yang mungkin

bisa dicatat dari kebanyakan puisi baru adalah kosakata; memang

sangat wajar bahwa perkembangan sastra selalu ditandai oleh

kecenderungan mempergu nakan kosakata baru, yakni yang berasal

dari bahasa sehari-hari. Dalam pembicaraan mengenai puisi 1930-an

ini, anggapan yang mendasari uraiannya adalah bahwa dalam usaha

mengadakan pembaruan, para penyair kita harus menghadapi dua hal

yakni masya rakat yang masih erat terikat pada cara penulisan lama

dan sikap para penyair itu sendiri yang mendua dalam menghadapi

tradisi penulisan yang merupakan lingkungan budayanya.

Tradisi lisan, di mana pun, adalah asal-muasal puisi modern.

Bahkan cukup aman untuk dikatakan bahwa pada dasarnya puisi

modern pun, yang ditulis berdasarkan prinsip keberaksaraan,

memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan prinsip kelisanan.

Piranti puisi seperti rima, irama, pengulangan, aliterasi, asonansi,

Page 7: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

7 PB

Kalam 25 / 2013

dan kesejajaran membuktikan bahwa puisi tulis dan cetak memang

harus dilisankan untuk mendapatkan keindahan dan maknanya—

meskipun kadang-kadang kita tidak perlu melisankannya secara

keras, tetapi cukup dalam pikiran kita. Dalam perkembangan puisi

kita pengembangan berbagai jenis tradisi lisan itu masih nampak

sampai sekarang, seperti yang tampak dalam penggunaan bentuk-

bentuk pantun dan mantra.5

Pantun, dan mungkin mantra, merupakan bentuk tradisi

lisan kita yang boleh dikatakan “asli,” meskipun istilah itu bisa saja

dimasalahkan. Di samping itu, kebudayaan kita yang terbuka menerima

pengaruh berbagai jenis puisi dari berbagai penjuru, terutama dari

arah Barat. Masuknya pengaruh Hindu telah memberi peluang bagi

para penyair kuna menciptakan kakawin, sejenis puisi yang sangat

ketat aturan penulisannya, yang kemudian dalam kebudayaan Jawa

berkembang menjadi tembang macapat. Kedatangan Islam telah

menyebabkan para penyair kita mengembangkan berbagai jenis

“baru” seperti ghazal, nizam, dan nalam yang berasal dari Timur

Tengah, sedangkan syair berasal dari Arab. Yang kemudian jauh

dikembangkan oleh kebudayaan kita ternyata adalah yang disebut

terakhir itu sehingga sampai sekarang penulis puisi kita sebut penyair

dan bukan, misalnya, puisiwan. Syair, dalam pengertian terdahulu,

merupakan nama jenis seperti halnya puisi. Dalam kaitannya dengan

berbagai pembicaraan mengenai puisi di awal perkembangannya,

kita menggunakan istilah syair; baru sesudah majalah Pujangga

Baru terbit pada 1933 penggunaan kata puisi semakin meluas. Ini

5 Dalam perkembangan mutakhir, melisankan puisi adalah peristiwa penting, di samping penerbitannya dalam bentuk cetak. Dalam tradisi puisi Jawa klasik, pelisanan adalah tuntutan sebab puisi ditulis dalam bentuk tembang.

Page 8: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

8 PB

Kalam 25 / 2013

tentu saja merupakan pengaruh dari Barat yang mula-mula bahkan

menggunakan istilah poesie untuk segala jenis sastra dan drama.

Sejak awal perkembangannya, puisi Indonesia modern

mempergunakan jenis-jenis bahasa yang umumnya disebut Melayu

Tinggi dan Melayu Rendah atau Melayu-Tionghoa. Pengertian itu

sebenarnya tidak begitu tepat sebab dalam kenyataannya bahasa

Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang yang tidak berasal

dari kalangan keturunan Tionghoa juga tidak sama dengan bahasa

yang dikembangkan oleh, antara lain, Balai Pustaka. Itulah sebabnya

muncul juga istilah Malayu Balai Pustaka sebagai sinonim dari Melayu

Tinggi. Kalangan pengarang keturunan Tionghoa sendiri mengakui

adanya perbedaan itu, suatu pengakuan yang boleh dikatakan

menyiratkan adanya perbedaan kualitas. Puisi yang disiarkan dalam

berbagai media yang dikelola oleh dan disebarluaskan di kalangan

peranakan Tionghoa menggunakan bahasa Melayu-Tionghoa, dan

tampaknya sama sekali tidak dirasakan adanya keperluan untuk

bergeser ke bahasa yang oleh mereka sendiri disebut Melayu Tinggi

atau, kadang-kadang, Melayu Riau.

Di samping penerbitan berkala, buku juga sudah merupakan alat

penyebarluasan puisi. Sejumlah penyair Melayu-Tionghoa seperti Lie

Kim Hok telah mendapatkan khalayak yang berarti, terbukti dari buku

puisinya, Sair Tjerita Siti Akbari, yang dicetak sampai tiga kali. Beberapa

penerbit komersial berani menanggung risiko menerbitkannya. Balai

Pustaka pada masa itu juga ikut menyumbangkan jasanya terhadap

perkembangan puisi modern dengan mencetak buku Sanusi Pane yang

berjudul Puspa Mega pada 1926. Muhammad Yamin menerbitkan buku

sajaknya pada 1922, bertepatan dengan ulang tahun Jong Sumatranen

Bond, judulnya Tanah Air. Sajak-sajak Yamin yang dimuat di majalah

Page 9: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

9 PB

Kalam 25 / 2013

Jong Sumatra besar sekali pengaruhnya terhadap puisi Indonesia; hampir

semua sajak yang dimuat di majalah itu berbentuk soneta, suatu bentuk

tetap yang sampai sekarang masih dipertahankan oleh penyair modern

kita. Baru pada 1930-an, para penyair muda menyatakan kesadarannya

secara bersama-sama untuk membuat pembaruan dalam kebudayaan

dan kesusastraan Indonesia, seperti yang antara lain tersirat dalam

usaha penerbitan majalah Pujangga Baru.

Pada 1930-an puisi mendapat tempat di majalah-majalah

umum dan berita. Mungkin karena bentuknya yang ringkas, majalah-

majalah itu tidak berkeberatan memuat puisi yang kalau perlu dimuat

“sekadar” sebagai pengisi sudut halaman yang kosong. Beberapa

majalah terbatas seperti Pujangga Baru memang memusatkan perhatian

kepada kesusastraan, terutama puisi—setidaknya selama tiga tahun

pertama penerbitannya, tetapi majalah-majalah lain seperti Pedoman

Masyarakat, Pedoman Islam, Keng Po, dan Panji Pustaka memuat karya

sastra—terutama puisi—hanya sebagai semacam sisipan bagi berbagai

macam berita dan artikel yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya

dengan kesusastraan. Majalah Dunia Baru diusahakan oleh peranakan

Tionghoa. Dalam beberapa nomornya dicantumkan halaman yang

diberi nama “Bagian Sa’iran” yang memuat sajak-sajak yang umumnya

sangat konvensional bentuknya. Sementara itu majalah Caya Timur

kadang-kadang membuka rubrik yang namanya “Penutup Minggu”,

yang berisi sajak-sajak juga; kadang-kadang rubrik itu diberi nama

“Sair Mingguan” kadang-kadang “Kesusastra’an”. Karena hanya

semacam sisipan, sama sekali tidak terasa adanya kesadaran untuk

mengadakan pembaruan di dalamnya. Para penulisnya mengikuti saja

kaidah-kaidah penulisan puisi lama, tidak jarang tanpa pengertian

yang baik. Dalam majalah Asia yang juga diusahakan oleh peranakan

Page 10: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

10 PB

Kalam 25 / 2013

Tionghoa, sajak disisipkan begitu saja di antara artikel dan berita yang

sama sekali tidak ada kaitannya dengan sastra. Hal semacam itu terjadi

juga pada majalah Dewan Islam yang sesekali menyebut rubrik puisinya

itu sebagai “Makanan Otak”. Sajak juga kadang-kadang diselipkan di

halaman kosong seri penerbitan berkala Penghidupan yang sebenarnya

berupa novelet.

Beberapa media massa yang terbit di zaman pendudukan Jepang

memberikan perhatian yang cukup besar kepada sastra. Di antaranya

yang menjadi sampel penelitian ini adalah majalah-majalah Kebu dayaan

Timur, Panji Pustaka, dan Jawa Baru serta harian Asia Raja. Media massa

yang terbit pada masa itu semuanya merupakan agen pemerintah

pendudukan Jepang, oleh karenanya propaganda politik pemerintah

militer Jepang merupakan tema yang sangat menonjol. Namun, tema-

tema lain yang menyangkut konflik batin manusia, termasuk tema

cinta dan keaga maan, mendapat perhatian pula. Selama masa itu, boleh

dikatakan tidak ada perkembangan yang berarti dalam penerbitan

sebagai akibat dari politik pemerintah jajahan.

Sajak-sajak zaman itu terutama dimuat di media massa

pada masa pendudukan Jepang. Zaman tersebut sangat ketat

memberlakukan sensor di segala segi kehidupan, tidak terkecuali

sastra. Oleh karena nya, konon pula, banyak sastrawan yang terpaksa

tidak bisa menyiarkan karya-karyanya karena sensor tersebut, kecuali

sejumlah kecil sajak yang berhasil diselundupkan oleh redaksi, antara

lain H.B. Jassin yang membicarakan sajak-sajak Chairil Anwar, yang

disebutnya sebagai sajak-sajak ekspresionistis.6 Sampai seka rang,

bunga rampai yang memuat karya sastra zaman Jepang adalah yang

6 “Beberapa Sajak Ekspresionistis,” Pandji Poestaka, 1 Mei 2604, 51-53.

Page 11: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

11 PB

Kalam 25 / 2013

diterbitkan oleh H.B. Jassin.7 Sayang sekali, Jassin tidak menyertakan

data lengkap mengenai penerbitan pertama karya-karya sastra yang

dibungarampaikannya itu. Sejumlah besar karya dalam bunga rampai

itu ternyata terbit sesudah zaman Jepang, dan karenanya tidak

semestinya jika dikelompokkan ke dalam sastra zaman Jepang. Sebagai

sekadar contoh, sajak-sajak Chairil Anwar boleh dikatakan tidak ada

yang diterbitkan di majalah zaman Jepang; semuanya diterbitkan di

zaman Kemerdekaan. Bahwa ternyata beberapa di antaranya telah

ditulis di zaman Jepang, hal itu tidak seharusnya diartikan bahwa

karya-karya tersebut terbit pada zaman Jepang.

Beberapa Ciri Puisi Awal

Menurut penelitian Edwina Satmoko,8 selama abad ke-19 buku puisi

yang ditulis bisa dikelompokkan menjadi setidaknya empat: puisi

saduran dari karya prosa atau kisah-kisah yang pernah diterbitkan,

baik yang pernah terjadi maupun yang berupa peristiwa sejarah.

Kedua, syair yang berisi kejadian semasa, seperti Sair Mangkatnya

Keiser Solo oleh Tan Ciook San yang terbit pada 1894, yang memuat

berita mengenai meninggalnya Maha Paduka Susuhunan Pakubuwono

IX dari Keraton Surakarta. Syair ini dimuat dalam Almanak Bahasa

Melayu terbitan H. Buning, Yogyakarta. Ada juga pantun yang

panjang judulnya, yang berisi catatan perjalanan beberapa pejabat

Belanda ke Indonesia Timur. Pantun yang ditulis oleh Ang I Tong

dan terbit pada 1899 ini mengisahkan penumpasan pemberontakan

7 H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia dimasa Djepang (Jakarta: Balai Pustaka, 1948).8 Edwina Satmoko. Dari Jalanan Kereta Api sampai Kembang: Satu Studi atas Syair-

syair Tan Te Ki (Depok: FSUI, 1993).

Page 12: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

12 PB

Kalam 25 / 2013

pribumi di Gorontalo, di samping kedatangan Pangeran F. Hendrik

ke beberapa daerah di Indonesia Timur seperti Ambon, dan disambut

dengan upacara adat oleh penduduk setempat. Ketiga, pantun yang

beisi ajaran atau nasihat yang terutama ditujukan kepada kaum muda.

Pantun yang berisi nasihat berjudul Sair Tiga Sobat Nona Bujang dieret

oleh Baba Pranakan Tangerang, isinya peringatan kepada perempuan

Tionghoa pada masa itu untuk tidak mudah ditipu oleh lelaki yang

hanya mengincar uang dan kekayaan mereka. Keempat, ada juga

pantun yang isinya semata-mata hiburan. Ini sesuai dengan salah satu

fungsi pantun sebagai bagian dari tradisi lisan. Perlu dicatat juga bahwa

banyak syair yang nama pengarangnya adalah perempuan, meskipun

tidak jelas benar apakah itu nama samaran atau nama asli.

Majalah berbahasa Melayu berhuruf Latin yang dianggap

tertua, setidaknya oleh Tio Ie Soei,9 adalah Bianglala, sebuah majalah

yang terbit pada 1852 yang mula-mula dipimpin oleh Stefanus

Sandiman dan Mas Marcus Garito. Berkala ini bukan penerbitan yang

komersial, tetapi didasarkan pada keinginan untuk menyebarluaskan

informasi sehubungan dengan perkembangan agama Katolik.

Majalah ini juga memuat puisi, yang umumnya religius. Mengingat

pertama kali terbit pertengahan dekade 1850-an, tentunya sejak itu

sudah banyak ditulis puisi berbahasa Melayu dalam aksara Latin. Dalam

beberapa nomor yang masih bisa didapatkan, penulis-penulisnya tidak

terutama berasal dari Riau atau Sumatra Barat, tetapi dari Manado

atau Betawi. Untuk melihat ujud puisi kita pada pertengahan abad ke-

19 berikut ini disinggung beberapa sajak. Salah seorang penyair yang

menulis di abad ke-19 itu adalah yang menamakan dirinya A.D., yang

9 Tan Ie Soei. Lie Kim Hok, 1853-1912 (Bandung: L.D. Good Luck, 1956).

Page 13: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

13 PB

Kalam 25 / 2013

mungkin menulis terutama untuk Bianglala. Dalam suatu terbitan 1870,

penyair ini menyiarkan sajak pendek yang berjudul “Amin”. Sajak yang

mengingatkan kita pada masmur, yang—seperti halnya umumnya

tradisi lisan—mementingkan repetisi, ini kita kutip seutuhnya.

AMIN

1Amin, Bapa saya!Amin, ku percaya!Amin, saya trima! Bapa punya kerja

2 Amin, kapan suka,Amin, kapan duka,Amin, kapan berkat,Amin, kapan laknat. Asal saya slamat!10

Bentuk yang banyak dipakai pada awal perkembanagan puisi

kita pada 1920-an adalah puisi akrostik atau puisi ABC. Dalam puisi

semacam itu huruf pertama, tengah, atau terakhir setiap larik kalau

dirangkaikan akan menjadi kata atau kalimat. Jenis puisi ini digunakan

untuk berbagai-bagai maksud, antara lain untuk memprogandakan

gagasan seperti yang tersurat dalam contoh berikut.

Kawan-kawan kaum komunisKaum rakyat yang diperasKita semua harus berbarisKarena si Tamak bekerja keras

10 Bianglala, No.30, Jumat, 12 Agustus 1870.

Page 14: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

14 PB

Kalam 25 / 2013

Isapan perahan selalu memukuliInjakan ancaman keras sekaliIkatan besi datang beberapa kaliIkhtiar jahat tak segan dibeli11

Kalau huruf pertama dan terakhir sajak itu dibaca ke bawah,

akan terbaca KITA DIPERAH SI KAPITALIS.

Ciri lain yang perlu diuraikan di sini adalah penggunaan

berbagai bahasa dalam puisi. Dalam sejumlah sajak yang dimuat di

majalah yang terbit pada masa itu, kita mendapati kesengajaan untuk

menggunakan beberapa bahasa sekaligus, tidak hanya terbatas pada

satu-dua kata, tetapi pada kalimat dan larik yang utuh. Kecenderungan

ini sudah ada sejak abad ke-19 seperti yang tampak pada syair Tan

Teng Kie mengenai pembuatan jalan kereta api. Bahasa-bahasa yang

dipergunakan, di samping Melayu, adalah antara lain Inggris, Belanda,

dan Prancis. Agar kecenderungan itu bisa lebih jelas dipahami, saya

kutip seutuhnya sebuah sajak yang menggunakan beberapa bahasa

berikut ini. Dalam sajak ini dipergunakan bahasa-bahasa Melayu dan

Belanda.

MENEER PERLENTE12

olehLou Cui Ceng, Indramayu

Kepada sekalian pembaca Dames, Heeren, oudste en jongste,Disini kita suguhken sairan getiteld “Meneer Perlente”.

Yang sehari-harinya berpakean precies als een Keizer,Dengan kelakuan sombong als heeft een huis van ijzer.

11 Matahari, No. 1, Th. 2 Januari 1923.12 “Penghibur Hati,” Panorama, 6 Juli 1927.

Page 15: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

15 PB

Kalam 25 / 2013

Dia selalu hidup senang zonder hard te werken,Maskipun dia punya utang kan niet di-reken.

Saban sore gaat hij met zijn fiets gerijden,Tida perduli badan mesum nog niet gebaden.

Asal saja bisa lekas liat Inlandsche vrou loopen,Omdat kalu bisa hij wil vlug te koopen.

Tapi, astaga, baru saja meer dan een jaar,Marika punya utang semua kan niet membajar.

Sampe alle menschen zeggen, dia kliwat terlalu,Omdat dia utang perlunya om te wandelen melulu.

Itu meneer sudah tentu word erg cilaka,Omdat alle rentenieren tentu menjadi murka.

***Jang terhormat tuan pembaca tuwa dan muda,Saja harep sekalian jangan sampe berluda;Kerna saja tidak masuk sekola Blanda,Jika ini sairan salah harep dibikin suda.

Sajak dua seuntai yang sangat ketat mengikuti aturan rima

ini merupakan ejekan atau kritik terhadap gaya hidup laki-laki

yang boros. Katanya, laki-laki yang boros itu tak suka kerja, hanya

suka nampang dan mengutang. Ejekan itu disusun sedemikian rupa

sehingga menimbulkan juga rasa geli pada pembaca, tentu saja yang

memahami kedua bahasa tersebut.

Di tengah-tengah situasi penulisan puisi semacam itulah Kwee

Tek Hoay menawarkan poetika baru yang landasan utamanya adalah

penulisan pantun dan syair. Kwee Tek Hoay menulis esai panjang

Page 16: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

16 PB

Kalam 25 / 2013

mengenai poetika syair sebagai akibat dari penolakan karangannya

oleh sebuah majalah yang mengatakan bahwa sebaiknya syair itu

ditulis menjadi berita saja, sebab syair memang tidak disukai orang

banyak. Penolakan redaksi majalah itu menunjukkan bahwa dalam

pikirannya, sama sekali tidak ada perbedaan antara fakta dan fiksi

sehingga keduanya bisa dipertukarkan dengan mudah. Di samping

itu, niat Kwee untuk kemudiaan menulis esai panjang mengenai

poetika syair itu menunjukkan bahwa ia memiliki keyakinan akan

pentingnya kesusastraan.

Dalam esai itu syair diklasifikasinya menjadi tiga golongan.

Yang pertama adalah yang paling mudah dibuat oleh sembarang orang,

seperti syair-yair dalam lagu keroncong. Jenis pertama ini disebutnya

pantun dan memiliki ciri-ciri pantun. Dijelaskannya juga konvensi

penulisan pantun seperti yang sudah kita kenal. Empat baris, dua baris

sampiran dua baris isi. Jenis kedua disebutnya syair yang berisi kejadian,

cerita, atau drama. Mungkin sekali yang dimaksudkan di sini adalah

puisi naratif sebab yang dipilihnya sebagai contoh adalah Sair Tjerita Siti

Akbari karya Lie Kim Hok. Jenis ini memerlukan keterampilan khusus

sebab tidak sekadar mengikuti konvensi yang menurutnya sangat

mudah dilaksnakan. Jenis ketiga, yang dikatakannya paling sulit ditulis

adalah yang disebutnya “sairan alus yang lukisken satu pengrasaan.”13

Untuk menjelaskan itu ia mengutip sajak Umar Kayyam,

penyair Persia klasik, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa

Inggris. Diterjemahkannya bait itu lalu dianalisisnya keindahannya.

Yang kemudian juga dikutip Kwee sebagai contoh puisi yang

bagus adalah karya-karya penyair Inggris seperti Lord Byron, yang

13 Kwee Tek Hoay, “Mengarang Sair,” dalam Panorama, 23 Juli 1927.

Page 17: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

mempertahankan tradisi penulisan kwatrin yang ketat, di samping

menyampaikan perasaan yang mungkin sekarang kita anggap

berlebihan. Dalam rangkaian esai itu Kwee juga menekankan

pentingnya kerapian bentuk. Ini tampaknya merupakan inti dari

poetika yang ditawarkannya. Untuk itu ia juga mengutip puisi

Sunda, dan dikatakannya bahwa teknik penulisan puisi dalam kedua

bahasa itu dengan setia mengikuti aturan yang sangat ketat. Yang

ia maksudkan tentunya adalah penulisan tembang, yang memang

memiliki aturan dalam penyusunan jumlah larik, suku kata, dan

rima. Tulisan Kwee itu sebenarnya juga merupakan semacam kritik

terhadap naskah-naskah yang masuk ke meja redaksi majalah yang

dipimpinnya. Dalam esainya itu tersirat bahwa ada banyak naskah

syair yang masuk ke majalahnya, oleh karena itu ia merasa perlu

memberi semacam arahan kepada penulis syair agar karangannya

bisa dimuat. Bagi Kwee, cara satu-satunya untuk menulis puisi adalah

dengan mengikuti peraturan yang sangat ketat dalam soal bentuk.

Pertama, syair harus ditulis berdasarkan jumlah baris yang

tetap; boleh empat, lima, atau sekian baris asal setiap bait dalam sebuah

syair memiliki jumlah larik yang sama. Syarat kedua bagi syair yang

baik adalah bahwa setiap baris harus terdiri atas suku kata yang sama

jumlahnya, boleh delapan, sebelas, atau sekian suku kata. Hal ketiga

yang juga dianggapnya penting adalah bahwa harus ada rima yang

benar-benar setia kepada lafal. Jadi, penyair harus menentukan yang

akan ditulisnya itu terdiri atas berapa larik setiap bait, berapa suku kata

setiap larik, dan rima apa yang dipergunakan dalam masing-masing

baitnya. Ia tampaknya cenderung untuk menekankan pentingnya

penggunaan rima a-b-a-b dan beranggapan bahwa pengaturan rima

dengan cara lain hanya menunjukkan ketidakmampuan penyair. Ia

Page 18: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

mengambil contoh sebuah bait yang rimanya a-b-b-a, dan ia anggap

itu dilakukan penyair karena “tida mau pusing buat karang itu sair

menurut satu aturan yang tetep, hanya asal jadi saja.”14

Sebagai editor sebuah majalah, Kwee berpendirian bahwa ia

mempunyai hak, dan bahkan kewajiban, untuk memperbaiki naskah

yang diterimanya agar sesuai dengan poetika yang diajukannya. Itulah

sebabnya katanya, antara lain, bahwa “banyak sairan yang terpaksa

kita pendem beberapa bulan lantaran kekurangan tempo untuk

perbaiki.” Sikap ini sangat menarik sebab jelas ia tekankan pentingnya

peran editor dalam penerbitan; apa pun harus diedit, tak terkecuali

kaya sastra. Ini tak lain merupakan isyarat bahwa bahwa karya sastra

bukan kitab suci yang sama sekali tidak boleh dikutik-kutik. Itulah

sebabnya ia mengimbau agar para penulis syair mematuhi aturan

seperti yang disampaikannya agar pemuatannya bisa lebih cepat.15

Dalam kaitannya dengan sikap itu, ia membuat contoh

bagaimana memperbaiki naskah yang masuk ke majalahnya dengan

mengutip beberapa bait naskah asli, yang kemudian diperbaikinya

berdasarkan poetikanya.16 Contoh ini bisa mewakili apa yang

dimaksud dan dilakukan Kwee Tek Hoay. Seorang penyumbang

karangan menulis bait sebagai berikut:

Sadari itu kutika,Orang tida liat lagi ia punya tampang muka,Orang menanya dengen menyangka-nyangka,Apatah ia masih idup atawa ada di tempat baka?

14 Kwee Tek Hoay, “Mengarang Sair IX,” dalam Panorama, 3 September 1927.15 Kwee Tek Hoay, “Mengarang Sair V,” dalam Panorama, 13 Agustus 1927.

16 Kwee Tek Hoay, “Mengarang Sair VI,” dalam Panorama, 20 Agustus 1927.

Page 19: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

Bait itu dikatakannya mengandung cacat, bukan karena ditulis

oleh “pengarang sair yang bodo,” tetapi semata-mata karena penyair

itu belum pernah diberi tahu atau ditegur mengenai bagaimana cara

menyusun syair yang bagus. Kwee menjelaskan bahwa tidaklah sukar

baginya memperbaiki syair semacam itu. Dan ia pun menunjukkan

hasil perbaikan yang telah dilakukannya, sebagai berikut.

Sedari ambil putusan nekat pada itu kutika,Orang tida meliat lagi ia punya tampang muka,Bebrapa orang menanya dengen menyangka-nyangka,Apatah ia masih idup atawa ada di tempat baka?

Dalam contoh itu tampak bahwa Kwee ternyata tidak begitu

mengindahkan keseragaman aturan banyaknya suku kata di tiap

larik, tetapi tetap dikatakannya bahwa syair yang mula-mula panjang

pendeknya tidak keruan bisa diubah menjadi lebih dekat satu sama

lain sehingga enak dibaca dan dilihat. Di sini pada hakikatnya ia

berbicara mengenai tipografi.

Bagi Kwee, ada dua hal lagi yang harus diketahui oleh penulis

syair. Pemaksaan rima yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan

makna dianggapnya haram dalam penulisan syair. Syair yang ditulis

berdasarkan pemaksaan rima itu ia sebut “sairan bersifat bocengli.”17

Penggunaan kata bocengli, yang merupakan umpatan dalam bahasa

Tionghoa, benar-benar menunjukkan kejengkelannya terhadap cara

penulisan syair yang tidak mengindahkan aturan yang diyakininya.

Di samping itu, masalah ejaan, terutama yang berkaitan dengan

penempatan titik dan koma, juga menjadi perhatian khusus Kwee Tek

17 Kwee Tek Hoay, “Mengarang Sair VIII,” dalam Panorama, 3 September 1927.

Page 20: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

Hoay. Sair Tjerita Siti Akbari karya Lie Kim Hok lagi-lagi dijadikannya

teladan.

Contoh-contoh itu menunjukkan adanya “bahasa” tersendiri

dalam penulisan puisi, yang terutama didasarkan pada bahasa

Melayu-Tionghoa. Dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa

itu ada baiknya kita kutip pandangan Sutan Takdir Alisjahbana;

dikatakannya bahwa pengertian bahasa Melayu-Tionghoa itu suatu

pengertian yang kabur dan amat luas. Ia menjelaskan pandangannya

itu dengan mengutip karangan yang dimuat dalam dua majalah

yang berbeda, yakni Pelita Andalas dan Matahari. Menurutnya, ada

perbedaan antara bahasa Melayu-Tionghoa yang dipakai di Medan,

Semarang, dan kota-kota lain di Jawa Barat. Dalam sebuah catatan

kaki dalam karangannya itu dikatakannya juga bahwa beberapa anasir

bahasa Indonesia yang sedang tumbuh telah menerima pengaruh

juga dari bahasa Melayu Rendah yang berpusat pada bahasa Melayu

Betawi.18 Pandangan ini memaksa kita untuk mempertim bangkan

kembali hubungan-hubungan antara dialek-dialek bahasa Melayu

yang ada sejak pertumbuhannya di dalam media cetak.

Menurut STA, jumlah media cetak berbahasa Melayu-

Tionghoa begitu banyaknya sehingga mau tidak mau pengaruhnya

tentu sangat besar. Dan lebih penting lagi dikatakannya, “Saya

yakin, bahwa perasaan yang setinggi-tinggi dan semulia-mulia mana

sekalipun akan dapat dijelaskan dalam bahasa Melayu-Tionghoa,

seperti dalam bahasa mana yang lain sekali pun di dunia ini.”

Dikatakannya juga bahwa siapa pun yang terbuka hatinya akan bisa

menghayati keindahan bahasa Melayu-Tionghoa, terutama dalam

18 Sutan Takdir Alisjahbana, “Kedudukan bahasa Melayu-Tionghoa,” Pujangga

Baru, 1934.

Page 21: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

mendeskripsikan peristiwa. Dalam hal ini para jurnalis sebaiknya

meniru kecanggihan teknik penggambaran itu. “Ubahlah sedikit saja

ejaannya dan kita akan mendapat daripada bahasa Melayu-Tionghoa

ini bahasa Indonesia yang seindah-indahnya mungkin.” Kalimat

yang dikutip terakhir itu menegaskan bahwa yang disebut Melayu

Tinggi tampaknya dianggap berubah menjadi bahasa Indonesia.

Dalam karangan ini tidak ada pembedaan antara bahasa-bahasa, atau

tepatnya dialek-dialek, itu. Dalam kesusastraan modern di mana pun,

tidak pernah ada perbedaan antara bahasa rendah dan tinggi.

Pembentukan Balai Pustaka

Segolongan kecil masyarakat Hindia Belanda telah membaca karya

sastra yang berbentuk novel dalam bahasa Melayu beberapa puluh

tahun sebelum Sitti Nurbaya karya Marah Rusli diterbitkan Balai

Pustaka pada 1922. Oleh beberapa kritikus, novel tersebut dianggap

novel penting pertama dalam sejarah kesusastraan Indonesia

modern19, tetapi hal itu tidak berarti bahwa sebelumnya tidak ada

novel yang pantas dibicarakan. Dua tahun sebelumnya penerbit yang

sama mengeluarkan Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, dan

pengarang yang sama telah menerbitkan sebuah novel saduran, Si

Jamin dan si Johan, pada 1919.

Sejak 1920-an Balai Pustaka sebagai penerbit resmi

pemerintah kolonial memegang tugas penting dalam penerbitan

19 H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I (Jakarta: Gunung Agung, 1953); A.H. Johns, “The Novel as a Guide to Indonesian Social History”, BKI: 1959; Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Binacipta, 1976); C.W. Watson. “The Sociology of the Indonesian Novel 1920-1955, Tesis Ph.D. (Kingston upon Hull: University of Hull, 1972).

Page 22: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

buku-buku berbahasa Melayu; banyak di antara buku terbitannya itu

kemudian dianggap penting dalam perkembangan sastra Indonesia

modern. Namun, sebelum dan semasa Balai Pustaka ada beberapa

penerbit swasta yang berani menerbitkan novel baik berdasarkan

pertimbangan komersial maupun ideal. Dari segi perkembangan

kesusastraan kita, Balai Pustaka tampak sebagai pencetus atau

pendorong utama kesusastraan Indonesia modern; ditinjau dari

segi sosial politik, badan itu sesungguhnya merupakan akibat dari

suatu pergeseran sikap pemerintah kolonial pada waktu itu terhadap

perkembangan pendidikan dan hasil-hasilnya. Pergeseran sikap itu

merupakan akibat pula dari perubahan sosial yang ada, terutama

sekali yang menyangkut golongan pribumi. Dalam sebuah brosur20

kita dapat membaca pandangan pemerintah kolonial sendiri tentang

perubahan sosial tersebut.

Mula-mula kebanyakan pribumi yang mempunyai keinginan

belajar sudah merasa puas apabila mereka sudah bisa membaca

dan menulis huruf Arab. Biasanya mereka itu tidak mempunyai

keinginan untuk melanjutkan pelajaran sesuai dengan sistem

pendidikan modern yang ada pada waktu itu. Pemerintah kolonial

menyesuaikan sekolah-sekolah yang didirikannya dengan keinginan

yang tidak muluk-muluk itu. Maksud pendirian sekolah semacam itu

adalah untuk melatih calon pegawai rendah yang diharapkan dapat

melaksanakan pekerjaan administrasi sederhana. Di samping sekolah

semacam itu ada juga sekolah yang disediakan khusus untuk keluarga

bangsawan rendah; sekolah itu diharapkan dapat menghasilkan

20 B. Th. Brondgeest dan G.W.J. Drewes, Bureau voor de Volkslectuur/The Bureau of

Popular Literature of Netherlands India. What It is and What It Does (Weltevreden: Bureau voor de Volkslectuur, 1929).

Page 23: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

pegawai menengah yang cakap melakukan kerja administrasi yang

lebih rumit. Kalangan orang pribumi yang bersekolah pada waktu

itu praktis tidak usah merisaukan hari depannya; pekerjaan sudah

tersedia baginya. Karena tidak ada keharusan “berjuang” untuk

mendapatkan pekerjaan, hampir semua merasa puas dengan yang

diterima di sekolah saja. Sedikit sekali usaha untuk mendapatkan

pengetahuan lebih lanjut di luar sekolah.

Namun, kebangkitan bangsa-bangsa Asia ternyata ada juga

pengaruhnya terhadap sikap serupa itu. Di kalangan kaum pribumi

mulai tumbuh keyakinan dan harga diri yang lebih bulat, dan sebagai

akibatnya terasa kebutuhan akan pendidikan lebih lanjut, yang tidak

lain merupakan pendidikan Eropa. Bahkan di kalangan masyarakat

yang paling rendah pun terasa adanya kebutuhan akan pendidikan

dasar. Pemerintah Belanda tidak bisa berbuat lain kecuali memenuhi

tuntutan itu: bermacam-rnacam sekolah didirikan di pelbagai kota;

yang tertinggi adalah Sekolah Kedokteran, Sekolah Teknik, dan

Sekolah Hukum.

Penyediaan pendidikan untuk massa selalu mengandung

konsekuensi sosial politik; hal ini dipahami benar oleh pemerintah.

Pemerintah mengharapkan dua hal penting: pertama, dengan fasilitas

yang ada pengetahuan yang didapat di sekolah-sekolah itu bisa

dimanfaatkan secara “wajar”; kedua, pendidikan bukan merupakan

keuntungan kelompok kecil masyarakat saja, tetapi bisa membagikan

manfaat merata bagi seluruh penduduk—baik dari segi moral maupun

kultural. Pemerintah kolonial juga menyadari bahwa tidak banyak

gunanya mendidik orang apabila di luar sekolah tidak tersedia sarana

yang bisa mengembangkan kepandaian. Dalam hal ini sarana yang

penting berupa buku bacaan. Sangat berbahaya apabila pendidikan

Page 24: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

dilaksanakan tanpa penyediaan santapan rohani yang sehat. Apabila

bacaan yang baik tidak tersedia di masyarakat, dikhawatirkan

para pemuda yang sudah mampu membaca dan menulis itu akan

terjerumus membaca “bacaan liar” yang diterbitkan oleh penerbit-

penerbit “tak bertanggung jawab dan para agitator.”

Pandangan serupa itu timbul sebelum Balai Pustaka didirikan,

sekitar tahun-tahun pertama abad ke-20. Ketakutan pemerintah

kolonial terhadap penerbit “tak bertanggung jawab” dan para

“agitator” itu menunjukkan bahwa sebelum Balai Pustaka sudah ada

beberapa penerbit swasta yang mengusahakan bacaan. Penerbit-

penerbit swasta ini biasanya dipimpin oleh keturunan Tionghoa

atau Belanda, dan mendasarkan kegiatan mereka pada keuntungan

materi semata-mata. Tentu saja penerbit semacam itu tidak peduli

benar apakah terbitannya merupakan santapan rohani yang sehat

atau bukan—menurut ukuran pemerintah kolonial.

Akhirnya pemerintah memutuskan untuk mendirikan badan

penerbit yang bertugas menyediakan bacaan bagi pemuda-pemuda

yang sudah mendapat pendidikan membaca dan menulis. Buku-buku

itu diharapkan dapat memenuhi selera dan minat baca mereka, di

samping untuk menjaga agar mereka tidak kehilangan keterampilan

membaca dan menulis. Juga diharapkan agar buku-buku itu dapat

menambah pengetahuan pembaca. Tugas badan penerbit serupa itu

memang berat: menyediakan bahan bacaan yang bidangnya lebih

luas dari jangkauan sekolah-sekolah pada umumnya, memerangi

keterbelakangan di segala segi kehidupan, dan membebaskan

masyarakat dari takhayul dan tradisi kolot. Ditekankan pula bahwa

usaha menyediakan bahan bacaan itu haruslah dapat menjauhkan

rakyat dari hal-hal yang bisa merusakkan kekuasaan pemerintah dan

Page 25: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

ketenteraman negeri.

Hampir tanpa kecuali novel-novel 1920-an yang biasa

dibicarakan dalam kesusastraan Indonesia adalah terbitan Balai

Pustaka, meskipun di luar itu juga ada juga cerita rekaan yang

diterbitkan oleh “penerbit liar”. Penerbit semacam itu sudah ada

sejak akhir abad ke-19, yang diterbitkannya adalah cerata-cerita

dalam bahasa “Melayu Rendah”.21 Pengarang-pengarangnya adalah

golongan keturunan Tionghoa yang kebanyakan menulis untuk

golongannya sendiri. Mula-mula yang ditulis adalah saduran berbagai

cerita Tionghoa klasik, dan hanya pada perkembangan selanjutnya

juga diciptakan novel-novel asli yang kebanyakan bermain di dalam

masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda, dengan tokoh-tokoh

utama keturunan Tionghoa pula. Tujuannya semata-mata mencari

keuntungan materi. Penerbit-penerbit itu ditakuti pemerintah sebab

tidak begitu memperhatikan segi moral dan pendidikan dalam buku-

buku terbitannya.

Penerbitan “Liar”

Penerbit macam lain yang ditakuti pemerintah jajahan adalah yang

tidak mencari keuntungan keuangan tetapi melakukan penyebaran

ideologi, misalnya penerbit yang disokong oleh gerakan komunis.

Di samping menyebarkan pamflet dan propaganda komunisme,

penerbit tertentu juga menyiarkan karya sastra yang isinya gagasan

yang telah digariskan oleh golongan komunis pada waktu itu.

Penerbit semacam itulah tentunya yang oleh D.A. Rinkes disebut

21 Nio Joe Lan, Sastra Indonesia-Tionghoa (Jakarta: Gunung Agung, 1962).

Page 26: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

sebagai “saudagar kitab yang kurang suci hatinya” atau “agitator”.22

(Buku-buku terbitannya dianggap bacaan bisa menghasut rakyat

dan membahayakan pemerintah. Komisi Bacaan Rakyat dari Balai

Pustaka bertugas memperkecil peranan penerbit serupa itu.

Penerbitan novel propaganda komunis, misalnya, jelas

dilatarbelakangi oleh berbagai gerakan politik yang ada di Hindia

Belanda waktu itu. Kedatangan beberapa tokoh berhaluan kiri dari

negeri Belanda pada awal abad ke-20, dan meningkatkan kegiatan

mereka pada tahun-tahun belasan dan dua puluhan, telah berhasil

membuat peta baru gerakan sosial politik di Hindia Belanda.

Sejak menjelang akhir abad ke-19 sudah sering terjadi berbagai

pemberontakan di daerah-daerah. Pemerintah kolonial pada waktu

itu cenderung menuduh pemimpin-pemimpin agama Islam sebagai

biang keladinya. Kekuatan golongan Islam yang digambarkan sebagai

gunung api memang ditakuti pemerintah Belanda, meskipun akhirnya

ada seorang ahli Islam, Dr. C. Snouck Hurgronje, yang menganjurkan

pemerintah untuk tidak terlalu mencurigai golongan Islam.

Golongan ini pada tahun-tahun 1920-an berhasil membentuk

sebuah perserikatan, Serikat Islam, yang memiliki kekuatan nyata dan

kuat di bidang sosial dan politik. Dalam perkembangan selanjutnya

perserikatan ini dipecah-belah oleh golongan kiri sehingga beberapa

tokohnya dan anggotanya memisahkan diri dan bergabung dengan

golongan kiri—yang kemudian jelas-jelas menamakan diri komunis.

Golongan yang terakhir ini sangat giat melakukan propaganda

dan mendapat dukungan jelas dari Komintern. Gerakan komunis

internasional ini sangat kuat pengaruhnya terhadap perkembangan

22 Balai Pustaka, Balai Pustaka Sewajarnya 1908-1942 (Jakarta: Balai Pustaka, 1948); The Bureau of Popular Literature of Netherland India, 1929.

Page 27: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

komunisme awal di Hindia Belanda. Banyak di antara tokoh-tokohnya

adalah orang pers; gerakan itu pun ternyata memberikan perhatian

cukup besar terhadap karya sastra senagai alat propaganda.

Kegiatan penerbitan sastra di luar Balai Pustaka terutama

dilakukan oleh golongan peranakan Tionghoa. Nio telah

mengadakan telaah yang dapat memberikan gambaran tentang

perkembangan sastra yang dilakukan oleh golongan tersebut. Bahasa

yang dipergunakan adalah bahasa Melayu Rendah, yang oleh Nio

digambarkan antara lain karena kurangnya kesempatan golongan itu

mendapatkan pendidikan berbahasa Melayu. Dari buku Nio itu kita

antara lain dapat menyimpulkan bahwa pada dasarnya cerita yang

ditulis dimaksudkan sebagai hiburan belaka—ini sesuai dengan sifat

komersial penerbit yang mengurusnya. Pada awal perkembangannya,

sastra yang ditulis golongan ini hanya merupakan saduran berbagai

cerita tanah leluhur, tetapi perkembangan selanjutnya menunjukkan

adanya perhatian yang sangat besar terhadap masalah yang timbul

di Hindia Belanda. Cerita-cerita yang dimaksudkan sebagai hiburan

itu diterbitkan dengan dua macam cara: ada yang langsung terbit

sebagai buku, ada pula yang dimuat terlebih dahulu di koran Melayu-

Tionghoa sebagai cerita bersambung. Biasanya yang disebut terakhir

itu lebih “terpelihara” bahasanya karena sudah dikoreksi oleh redaktur

koran.

Yang juga lazim dalam penerbitan novel-novel semacam

itu adalah keterangan bahwa cerita-cerita yang ditulis tersebut

didasarkan pada kejadian sebenarnya. Lepas dari benar atau tidaknya

keterangan itu, cara demikian memang suatu cara yang baik untuk

memasarkan karya sastra. Novel yang berjudul Cerita Si Ribut atawa

Bunga Mengandung Racun yang “terkarang dan terpetik dari sana-sini”

Page 28: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

oleh Tan Bun Kim pada 1917 diberi keterangan sebagai “suatu cerita

jang betul terjadi di Surabaja kutika di pertengahan taon 1916, jaitu

politie opziener Cunraad bunuh aktris Constantinopel jang menjadi

kacinta’annja.”

Agar ada gambaran yang lebih jelas tentang sastra golongan

ini saya kutip penjelasan penulisnya mengenai penciptaan novel

karya Kwee Tek Hoay yang ditulisnya pada 1927, Bunga Roos dari

Cikembang. Buku yang oleh Nio dianggap sebagai cerita tragis

yang indah ini dapat dianggap mewakili karya lain sejenis, sebab

pengarangnya adalah tokoh penting sastra Melayu Rendah sebelum

perang. Kwee adalah seorang wartawan yang perhatiannya tidak

hanya menulis novel tetapi juga mengarang sandiwara, puisi, dan

buku agama. Ada semacam penjelasan tentang proses penciptaan

karya sastra oleh Kwee Tek Hoay.

a. Dalam buku ini ada sebuah “Permulaan Kata” yang ditulis

pengarang; isinya antara lain bahwa ide penulisan novel ini

lahir dari sebuah lagu populer yang berjudul “Mimi d’ Amour”;

b. Dorongan pertama yang menyebabkan Kwee menulis cerita

itu datang dari sebuah lembaga sosial yang akan mementaskan

drama; jadi mula-mula Bunga Roos dari Cikembang ditulis

dalam bentuk drama;

c. Kwee kemudian menulis novel ini berdasarkan dramanya

dengan beberapa perubahan; mula-mula ceritanya ini dimuat

dalam weekblad Panorama;

d. Pengarang bermaksud menulis naskah drama lagi berdasarkan

novel ini;

e. Akhirnya ia berharap agar karangannya “bisa membangunken

Page 29: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

orang punja pikiran tentang beberapa sual-sual jang sulit

dalem penghidupan”;

f. Karangan itu tidak ada hubungannya dengan kejadian yang

pernah terjadi.

Keterangan Kwee tersebut sedikit-banyak memberi gambaran

tentang berbagai segi kepengarangan dalam sastra Melayu-Tionghoa

pada 1920-an. Niat untuk membangun pikiran pembaca, gagasan yang

dengan mudah digeser dari suatu genre ke genre lain, dan hubungan

“langsung” yang ada antara khalayak dan pengarang setidaknya

menunjukkan sifat populer sastra semacam itu: faktor kebetulan boleh

dikatakan merupakan satu-satunya perangkai peristiwa-peristiwa.

Pengarang-pengarang yang menulis dalam bahasa Melayu

Rendah tidak semuanya keturunan Tionghoa; beberapa di antaranya

adalah pribumi. Mas Marco Kartodikormo, misalnya, di samping

menulis dalam bahasa Jawa juga menulis dalam bahasa Melayu

Rendah. Wartawan yang pernah dimasukkan penjara karena masalah

politik itu ternyata juga menulis novel populer. Mata Gelap (1914),

salah satu novelnya, bahkan berisi beberapa adegan cabul. Novel yang

diterbitkan dalam beberapa jilid itu rupanya dimaksudkan sebagai

komoditas belaka. Yang menjadi perhatian utama pengarang jelas

hubungan pria-wanita, terutama sekali hubungan kelamin di luar

perkawinan. Salah satu adegannya menggambarkan secara tersurat

hubungan kelamin antara tokoh Subriga dan iparnya sendiri, Ratna

Purnama, sementara istrinya sedang tidur nyenyak dalam kamar yang

sama.

Mas Marco ternyata tidak hanya menulis novel seperti Mata

Gelap. Pada 1919 terbit novelnya yang berjudul Student Hijo; setahun

Page 30: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

sebelumnya novel itu dimuat secara bersambung di koran Sinar

Hindia. Karyanya yang lain, Rasa Merdika, terbit sebagai buku pada

1924; sebelumnya juga dimuat, secara bersambung di koran yang

sama. Sama sekali berbeda dari Mata Gelap, karya Mas Marco yang

disebut terakhir itu penuh dengan pokok-pokok ajaran Komunis

Internasional yang mulai dirasakan pengaruhnya di Hindia Belanda

dalam 1920-an. Ditinjau lari satu segi, novel ini jelas merupakan

propaganda politik, namun dari segi lain Rasa Merdika sebenarnya

tidak berbeda dari novel populer yang lain.

Tokoh utamanya adalah Sudjarmo, “seorang pemuda jang

baik budi, berbadan tegak serta sehat. Perkataannja senantiasa

lemah lembut, tetapi berhati keras.” Ia anak seorang asisten wedana,

dan kerap kali bergaul dengan para petani dan penduduk yang

menjadi bawahan ayahnya untuk mendengarkan keluh-kesah

tentang kehidupan mereka. Pemuda yang menaruh simpati kepada

penderitaan si miskin itu kemudian disuruh ayahnya menjadi magang

pada seorang Belanda, Vlammenhart. Sudjarmo sama sekali tidak

menyukai pekerjaannya itu, dan beberapa bulan kemudian ia minta

berhenti. Ia pun mengembara ke kota lain; di sana ia mengetahui

lebih banyak tentang penderitaan bunuh dan tani. Setelah uangnya

menipis, pemuda itu terpaksa mencari pekerjaan di sebuah firma. Di

tempat kerjanya yang baru inilah ia berkenalan dengan Sastro, rekan

sekerja yang menyediakan rumahnya sebagai tempat menumpang

bagi Sudjarmo. Ternyata Sastro adalah seorang yang aktif dalam

kegiatan sosial dan politik; ia berhasil mengajak pemuda yang

menumpang di rumahnya itu untuk mengikuti kegiatannya juga.

Lewat berbagai rapat dan diskusi Sudjarmo akhirnya memahami dan

meyakini pokok-pokok pikiran komunisme. Dalam kegiatannya itu

Page 31: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

Sudjarmo juga berhasil mempersunting seorang gadis yang sangat

aktif dalam organisasi sosial dan politik.

Novel yang diberi sub-judul Hikayat Sudjarmo ini memuat

sebuah kata pengantar yang menjelaskan bahwa pengarang menulis

cerita ini dalam penjara. Juga diharapkannya, “Mudah-mudahanlah

karangan ini yang dibikin dalam waktu kesusahan, dapetlah sekadar

menghiburken hatinya nyonyah-nyonyah dan tuan-tuan pembaca

adanya.” Pada dasarnya, peristiwa-peristiwa yang diharapkan dapat

“menghibur hati” pembaca itu tidak lebih dari sederet sangkutan

untuk ide-ide yang ditampilkan pengarang.

Peran Balai Pustaka

Dalam perkembangan selanjutnya, Balai Pustaka dianggap memegang

peranan penting dalam penerbitan novel di Indo nesia, tidak hanya

yang ditulis dalam bahasa Melayu tetapi juga yang ditulis dalam

bahasa daerah seperti Jawa dan Sunda. Jaringan perpustakaan rakyat,

perpustakaan sekolah, dan toko buku yang diatur sangat rapi oleh

penerbit pemerintah itu banyak membantu penyebaran buku-buku

terbitannya. Meningkatnya minat baca menyebabkan Balai Pustaka

harus secara aktif mencari naskah agar judul-judul buku yang

diterbitkannya semakin banyak. Dan atas dasar itulah rupanya sejak

awal perkembangannya, kesusastraan Indonesia sudah mengenal

sayembara mengarang. Dalam hal ini ternyata Balai Pustaka adalah

juga salah satu pelopornya. Salah satu sayembara mengarang

diselenggarakan penerbit itu pada 1937. “Perlumbaan Mengarang”

tersebut antara lain diumumkan dalam Pedoman Pembaca 1937.

Pengumuman tersebut ternyata bisa menjadi bahan yang sangat

Page 32: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

penting untuk mengetahui apa sebenarnya pandangan penerbit

pemerintah itu terhadap kesusastraan. Dari pengumuman tentang

syarat-syarat sayembara mengarang itu dapat ditarik kesimpulan

antara lain sebagai berikut.

Pertama, anggapan Balai Pustaka bahwa novel adalah

tiruan kejadian-kejadian penting dalam kehidupan manusia, yang

dapat mengajar pembaca dengan cara yang menarik hati; “. . . makin

banyak kejadian yang penting-penting itu, makin banyak seseorang

mengalami dalam kehidupannya, makin banyak soal yang sulit-sulit

harus diselesaikannya, maka lukisan sekaliannya itu dalam sebuah

buku akan makin lebih menarik hati kita pula.”

Kedua, Balai Pustaka berpendapat bahwa dalam novel unsur-

unsur formalnya harus memiliki hubungan yang erat. Penokohan

harus erat hubungannya dengan alur agar karang an tidak sekadar

merupakan verslag belaka. Yang penting bukan sekadar keganjilan

pengalaman yang diungkapkan tetapi “sikap dan akhlaknyalah (si

tokoh) yang terutama harus jadi dasar dan pokok penyelesaian soal-

soal itu.”

Ketiga, Balai Pustaka beranggapan bahwa novel ditulis secara

realistis, “Segala yang diceritakan itu hendaklah berjalan seperti yang

sebenarnya mungkin terjadi.” Hanya dengan cara itulah semangat dan

akhlak tokoh dapat kita pahami sebaik-baiknya.

Keempat, penokohan yang ternyata dianggap lazim oleh

penerbit itu adalah cara hitam-putih.

Page 33: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

Dengan cara demikian sudah banyak kesukaran dan

perjuangan yang digambar dilukiskan dalam buku-buku keluaran

Balai Pustaka, antara orang tua yang kuna dengan anak-anaknya

yang berpendi dikan modern, antara hati yang ingin akan kemuliaan

dan kemasyhuran dengan sifat sederhana dan ikhlas, antara sifat

loba dan tamak akan harta dengan sifat lurus dan benar, antara

cinta dengan kewajiban menurut perintah orang tua, antara sifat

congkak dan sombong dengan baik budi, dan sebagainya. Pokok-

pokok kesimpulan di atas itu bisa dianggap sebagai kriteria Balai

Pustaka dalam menyensor naskah-naskah yang akan diterbitkannya.

Dan, seperti juga dijelaskan dalam pengumuman tersebut, novel-

novel yang telah diterbitkan memiliki ciri-ciri seperti itu, meskipun

sebenarnya kecen derungan ke romantisisme sangat terasa.

Ciri yang terpenting bagi penerbit seperti Balai Pustaka

adalah yang pertama, yakni mengajar dengan cara yang menarik hati.

Dan secara khusus disinggung dalam pe ngumuman itu bahwa

. . . hanya apabila kesusahan-kesusahan yang dialammya kita ketahui, maka isi buku itu baru mungkin meresap ke dalam sanubari kita, dan baru ada pengajaran yang dapat kita pungut daripadanya.

“Pengajaran” itu harus dapat dipungut oleh pembaca,

meski pun pengarang tidak jarang harus mengorbankan keutuhan

karangannya—seperti yang tampak dalam kebanyakan novel Balai

Pustaka sebelum perang. Keadaan seperti itu tampak lebih jelas

dalam novel-novel berbahasa daerah yang diterbit kan Balai Pustaka.

Sebenarnya, kriteria yang diajukan pener bit itu adalah kriteria Barat,

dan dalam kenyataannya sulit dilaksanakan sepenuhnya dalam sastra

Page 34: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

Melayu dan daerah.

Pengumuman sayembara itu juga memberikan beberapa

keterangan penting mengenai posisi sastra Melayu pada waktu itu.

Sayembara itu terbuka bagi siapa saja dan karangan boleh ditulis

dalam bahasa Melayu, Jawa, atau Sunda. Seorang pengarang hanya

boleh memasukkan sebuah karang an. Dalam Pedoman Pembaca tahun

berikutnya (1938:19) diberitahukan bahwa jumlah karangan yang

diterima redaksi Balai Pustaka sebanyak 433 naskah terbagi dalam

232 ber bahasa Jawa, 147 berbahasa Melayu, dan 54 naskah dalam

bahasa Sunda. Sayembara yang meliputi penulisan karangan ilmu

pengetahuan populer dan sastra itu menghasilkan naskah populer

berbahasa Melayu sebanyak 26, berbahasa Jawa 25, dan berbahasa

Sunda 6. Jadi naskah novel yang masuk adalah 207 dalam bahasa

Jawa, 121 dalam bahasa Melayu, dan 38 dalam bahasa Sunda. Angka-

angka itu dengan jelas membuktikan bahwa setidaknya sampai pada

akhir 1930-an, pengarang ber bahasa Jawa masih jauh lebih banyak

daripada yang ber bahasa Melayu. Namun perhatian Balai Pustaka

ternyata lebih banyak ditujukan kepada penerbitan yang berbahasa

Melayu, yang untuk konsumsi kaum yang lebih maju, meski pun tidak

sedikit judul buku yang dicetak dalam tiga bahasa sekaligus.

Sayembara yang diadakan Balai Pustaka itu menunjukkan

bahwa novel dibutuhkan. Ternyata kebutuhan akan novel itu

dipenuhi juga oleh beberapa penerbit swasta yang sama sekali

menggantungkan hidup mereka dari penjualan buku ter bitan mereka.

Oleh sebab itu wajar apabila penerbit swasta itu memiliki kriteria

sendiri dalam penerbitannya. Kalau Balai Pustaka beranggapan

bahwa novel harus memberikan pe ngajaran kepada pembaca, maka

penerbit swasta berpendapat bahwa novel harus dapat memberikan

Page 35: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

keuntungan bagi penerbit. Dengan demikian orientasinya bukanlah

pada kebijakan pendidikan pemerintah kolonial, melainkan pada

pasar. Yang diterbitkan adalah yang menurut perkiraan menjadi

kesukaan pembaca.

Sikap Balai Pustaka

Dalam bukunya tentang Sastra Indonesia-Tionghoa, Nio Joe Lan

menjelaskan bahwa sejak 1925 para pengarang dalam Melayu-

Tionghoa mendapat kesempatan agak besar untuk menerbitkan

karyanya. Pada tahun itu terbit Penghidupan dan Cerita Roman di

Surabaya, dua penerbitan yang masing-masing setiap bulannya

mengeluar kan sebuah novel. Keberhasilan kedua penerbit itu disusul

oleh beberapa penerbitan lain di pelbagai kota di Jawa, dan kegiatan

penerbitan semacam itu mencapai puncaknya pada 1930-an dan

berakhir pada masa pendudukan Jepang.

Di samping berbagai penerbit novel Melayu-Tionghoa

itu, di beberapa kota ada beberapa penerbit yang mencari untung

dengan menerbitkan novel murahan, yang kemudian lebih dikenal

sebagai “roman picisan”. Kota yang terkenal sebagai pusat penerbitan

semacam itu adalah Medan. Suatu hal yang menarik tentang para

pengarang novel-novel itu adalah bahwa beberapa di antara mereka

ternyata juga menulis untuk Balai Pustaka. Bahkan ada beberapa

buku yang mula mula diterbit kan sebagai “roman picisan” kemudian

dicetak ulang oleh Balai Pustaka. Dalam hal nilai memang kadang-

kadang sulit untuk menarik garis yang tegas antara novel-novel

terbitan Medan (dan Padang) itu dengan beberapa novel Balai Pustaka

(Modern Indonesian Literature I, 35).

Page 36: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

Perkembangan penerbitan buku itu rupanya membuat Balai

Pustaka agak khawatir. Dekade 1930-an memang merupakan dekade

pertama dalam sejarah sastra Indonesia yang menyaksikan ledakan

penerbitan novel. Dalam sebuah artikel “Tanggung Jawab Penerbit”

yang dimuat dalam Pedoman Pembaca (1938) majalah terbitan Balai

Pustaka, redaksi menulis antara lain:

Selama golongan kritisi itu belum lahir, maka kewajiban memberi kritik itu jatuh pada kaum penerbit. Dalam Pedoman Pembaca No. 10 sudah kami terangkan perkara kewajiban penerbit, mesti selalu awas-awas, jangan diterima nya sembarang karangan. Penerbit itu mesti pandai dalam bermacam-macam perkara. Karena golongan kritisi itu belum lahir, kewajiban memberi kritik itu mesti jatuh pada nya, maka pertanggungannya memang sangat berat, lebih daripada di negeri lain-lain. Moga-moga penerbit partikulir lambat laun lebih berani menambah syarat-syaratnya untuk menerima karangan. Kalau ada terbit karangan yang bukan- bukan, salah terbesar bukan tanggungan pengarang, melain kan tanggungan penerbit. Kalau penerbit suka menambah syarat-syaratnya, maka dengan sendirinya pengarang akan berhati-hati.

“Yang bukan-bukan” bagi Balai Pustaka berarti yang tidak

sesuai dengan garis kebijaksanaan pemerintah dalam soal penerbitan

buku bacaan. Karangan yang buruk bisa dengan leluasa beredar di

masyarakat karena belum ada kritikus yang baik. Jabatan kritikus itu

biasanya dirangkap oleh wartawan yang biasanya melakukan ulasan

dengan serampangan.

Artikel dalam Pedoman Pembaca itu adalah tanggapan terhadap

sebuah artikel yang dimuat dalam harian Pewarta Deli, Medan, 16

Nopember 1938, tentang tanggung jawab pengarang. Artikel yang

sebagian dikutip oleh Pedoman Pembaca itu antara lain menyebutkan

Page 37: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

bahwa “zaman sekarang pasar buku kebanjiran kitab-kitab yang

berbahasa Melayu.” Selanjutnya dikatakan,

Keadaan itu adalah tanda bahwa publik sudah tahu menghargakan pembacaan dan mau mengurbankan uangnya untuk membeli kitab-kitab yang berfaedah. Satu tanda bukti yang menggembirakan, sebab nyata perubahan itu menuju kemajuan rohani. Lain daripada itu adalah pener bitan kitab-kitab itu menunjukkan bertambah banyaknya kaum pengarang di antara bangsa kita, serta pula memberi bukti, bahwa kaum pencetak sudah mulai melihat adalah penerbitan buku-buku itu, walaupun tidak lekas dan segera banyak, tapi sekadarnya ada juga mendatangkan keuntungan lumayan.

Meskipun secara keseluruhan bersikap positif, penulis artikel

tersebut sempat menyayangkan bahwa mutu buku-buku bacaan yang

diterbitkan pada waktu itu semakin lama semakin menurun. Semakin

banyak pengarang dan buku ternyata tidak menyebabkan peningkatan

mutu buku-buku tersebut. Sangat sulit mencari buku bagus waktu

itu. Rupanya kebanyakan pengarang menulis secara seram pangan

saja. Keadaan yang sedemikian itulah yang memberi kan tugas kepada

wartawan untuk bertindak sebagai “kritikus”, untuk memberi tahu

pembaca mana karangan yang baik dan yang mana yang buruk.

Tentang tugas tambahan bagi wartawan itu ternyata Balai

Pustaka berpendirian lain. Wartawan tidak bisa dibebani tugas

sebagai penyeleksi karya sastra. Dan selama belum ada kritikus yang

benar-benar mantap, tugas para penerbitlah untuk bertindak sebagai

kritikus. Penerbit harus ketat men yensor buku-buku yang akan

diterbitkannya. Jadi sebenarnya penerbitlah yang mendidik pembaca.

Dan Balai Pustaka rupanya berusaha keras untuk mempertahankan

pendirian semacam itu, pendirian yang bisa saja “memaksa” pengarang

Page 38: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

untuk memperhatikan kehendak penerbit dan bukan kehen dak

publik atau kehendaknya sendiri.

Hasil sikap semacam itu muncul dalam berbagai bentuk. Ada

novel yang ditolak Balai Pustaka karena dari segi pendidikan dan sikap

hidup tidak memenuhi kriterianya. Ada beberapa novel yang ditulis

berdasarkan kerja sama antara pengarang dan redaktur. Dan praktis

semua novel keluaran Balai Pustaka harus tunduk pada penggunaan

bahasa Melayu gaya Balai Pustaka—yang kemudian dianggap sebagai

semacam ragam bahasa sastra sebelum perang. Dan sikap yang bisa

disebut “kaku” dari segi stilistika dan tematik itu menyebabkan

beberapa pihak kemudian mengembangkan sikap tersendiri dalam

memberikan “pengajaran” kepada pembacanya.

Polemik Kebudayaan

Di samping penerbit-penerbit komersial yang hampir sepenuhnya

menganggap karya sastra adalah komoditas, ada beberapa penerbit

yang mempunyai misi tertentu; penerbit-penerbit Islam dan penerbit-

penerbit yang memberanikan diri men cetak karya sastra pelopor

pada zamannya. Di antara penerbit-penerbit Islam yang muncul

pada 1930-an adalah Lektur Islam Indonesia yang berkedudukan di

Solo dan Penyiaran Islam di Fort de Kock, Bukittinggi. Novel-novel

M. Dimyati, misalnya, diterbitkan oleh penerbit Solo itu sedangkan

beberapa karya Hamka diterbitkan di Fort de Kock. Penerbit yang

memberanikan diri menerbitkan karya pelopor antara lain Pustaka

Rakyat yang menerbitkan Belenggu karya Armijn Pane yang ditolak

Balai Pustaka, di samping beberapa buku kumpulan sajak. Dalam

perkembangannya sampai Perang Dunia Kedua, Balai Pustaka

Page 39: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

memang tidak menaruh per hatian sungguh-sungguh terhadap

penerbitan puisi modern, yang tentunya kurang sesuai untuk

melaksanakan misi penerbit pemerintah itu.

Sejak awal 1930-an sudah terasa adanya kegelisahan di

kalangan pengarang muda terpelajar; mereka rupanya tidak puas hanya

sekadar menulis karya sastra saja, tetapi berusaha menyumbangkan

pikiran dalam bidang kebudayaan dan sosial. Pikiran-pikiran mereka

itu disiarkan lewat berbagai media antara lain majalah Pujangga

Baru dan koran Suara Umum. Karangan kaum muda terpelajar itu

kemudian dikumpulkan oleh Achdiat Kartamihardja dalam Polemik

Kebudayaan.23 Beberapa nama yang tersangkut dalam polemik

tersebut antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Ki Hadjar

Dewantara, Purbatjaraka, Dr. M. Amir, dan Dr. Soetomo.

Sebelum menyinggung pokok-pokok polemik yang sangat

penting tersebut, patut dicatat bahwa pada 1933 terbit sebuah majalah

bernama Pujangga Baru. Di antara pendirinya terdapat Sutan Takdir

Alisjahbana dan Armijn Pane, dua novelis penting pada periode 1930-

an sampai 1942. Majalah ini mula-mula dimaksudkan sebagai pengisi

kekurangan ruangan bagi penyiaran karya-karya pengarang muda.

Tetapi perkembangan selanjutnya me nunjukkan bahwa situasi telah

menyebabkan lebih banyak memberi perhatian kepada masalah sosial

dan budaya. Tahun pertama penerbitan majalah itu mempergunakan

keterangan “Majalah Kesusastraan dan Bahasa serta Kebuda yaan

Umum”. Anak judul itu ternyata mengalami perubahan setiap tahun,

dan pada tahun keempat terbaca “Majalah Bulanan Pembimbing

Semangat Baru yang Dinamis untuk Membentuk Kebudayaan Baru,

23 Achdiat Kartamihardja, ed., Polemik Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977).

Page 40: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

40 PB

Kalam 25 / 2013

Kebudayaan Persatuan Indonesia”.

Dalam kelompok Pujangga Baru tersebut terdapat ber-

bagai-bagai pandangan terhadap kebudayaan Indonesia umumnya.

Salah satu pandangan yang tegas lahir dari Takdir; ia tegas-tegas

berorientasi ke Barat. Dalam esai “Semboyan yang Tegas” (Polemik

Kebudayaan, 37-42) ia antara lain menegaskan:

Di Indonesia Muda yang hendak mendudukkan bangsanya di sisi bangsa-bangsa yang lain di dunia ini, tiada boleh ter lampau berat memikirkan resiko. Ia harus menggambarkan dalam hatinya apa yang di kehendakinya, apa yang dicita-citakannya dan kapalnya terus dilayarkannya menuju ke arah cita-cita itu.Indonesia sekarang perlu akan putera yang tajam pikiran-nya, individu yang mempunyai pikiran, pemandangan dan perasaan sendiri, yang tahu mengemukakan dan memper-tahankan kepentingan dan haknya, yang senantiasa berdaya upaya memperbaiki kehidupan dan penghidupannya lahir batin. Untuk mencapai sekaliannya itu maka suara negatif yang terdengar pada Konggres Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Solo itu:anti-intelektualisme anti-individualisme anti-egoismeanti-materialismeharus ditukar dengan semboyan positif yang gembira ber api-api:Otak Indonesia harus diasah menyamai otak Barat!Keinsyafan akan kepentingan diri harus disedarkan sesedar-sedarnya!Bangsa Indonesia harus dianjurkan mengumpulkan harta dunia sebanyak-banyak mungkin!Ke segala jurusan bangsa Indonesia harus berkem bang!

Sikap demikian itulah yang membawa Takdir berhadapan

dengan beberapa orang terpelajar lain yang beranggapan bahwa yang

Page 41: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

41 PB

Kalam 25 / 2013

namanya Indonesia ini tidak boleh memutuskan hubungan dengan

masa lampau. Takdir tidak hanya berbeda pandangan dengan beberapa

tokoh masyarakat seperti Ki Hadjar Dewantara, Dr. Sutomo, dan Dr.

M. Amir, tetapi juga dengan beberapa tokoh Pujangga Baru. Takdir

rupanya menghendaki agar sastra mengandung pesan tertentu yang

bermanfaat bagi kemajuan sosial bangsa; ia tidak bisa menerima

semboyan “seni untuk seni” misalnya, dan akibatnya ia juga tidak

bisa menerima baik Belenggu karya Armijn Pane dan Sandyakalaning

Majapahit karya Sanusi Pane, meskipun kedua karya tersebut

sebenarnya tidak dapat diklasifikasikan sesuai dengan semboyan “seni

untuk seni”. Namun demikian di kalangan Pujangga Baru ada saling

pengertian yang baik, saling menghormati pen dirian orang lain.

Armijn adalah seorang pengarang yang tertarik kepada

pengolahan masalah sosial dalam karyanya, tetapi tidak suka

menyampaikan pesan secara “langsung” kepada pembaca. Hal ini

tampak jelas pada Belenggu yang ditolak Balai Pustaka—meskipun

Armijn pernah menjabat sebagai redaktur penerbit pemerintah

tersebut. Seperti Takdir, Armijn adalah seorang terpelajar yang

banyak berkenalan dengan karya sastra Eropa. Berlainan dengan

Takdir, ia masih mengakui adanya hubungan antara yang baru dan

yang lama. “Setiap zaman baru berdasar kepada yang lama”, tulisnya,

“tetapi sebab semangat sudah ber lainan, diadakannyalah bangunan

baru, yang bukan lain dalam segala-galanya dengan bangunan yang

lalu.”24 Seperti halnya Takdir dan beberapa tokoh Pujangga Baru lain,

Armijn banyak menulis esai mengenai masalah sosial dan sastra,

beberapa di antaranya dalam bahasa Belanda dan Inggris. Rupanya

24 H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei II (Jakarta: Gunung Agung, 1962).

Page 42: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

42 PB

Kalam 25 / 2013

penggunaan bahasa asing di kalangan pengarang Pujangga Baru

sangat kuat, terbukti dari adanya nomor khusus majalah itu untuk

menyambut dibukannya Sekolah Tinggi Kesastraan. Nomor khusus

itu memuat karangan-karangan dalam bahasa Belanda. Hal itu

membuktikan bahwa akhirnya perhatian beberapa tokoh Pujangga

Baru bukanlah sastra dan bahasa Indonesia itu sendiri, tetapi problem

sosial yang ingin ditampilkan dan dipecahkan.

Dalam kenyataannya memang banyak pengarang dan

pendukung majalah itu memegang peranan aktif dalam kegiatan

sosial dan politik di tanah jajahan ini. Di samping Takdir kita kenal

tokoh-tokoh lain seperti Muhammad Yamin, Rustam Effendi, dan

Asmara Hadi yang selain menghasilkan karya sastra juga sibuk

dalam pergerakan nasional. Karya sastra yang mereka hasilkan itu

jelas merupakan usaha untuk mengobarkan semangat nasionalisme;

beberapa di antaranya ditulis sebelum ada gagasan untuk menerbitkan

majalah Pujangga Baru. Rustam Effendi, misalnya, menerbit kan

Bebasari pada 1924 dan Percikan Permenungan kira-kira dua tahun

kemudian. Meskipun demikian mereka itu harus dikelompokkan ke

dalam Pujangga Baru karena memiliki semangat pembaruan seperti

yang dijadikan semboyan majalah itu.

Pujangga Baru dan Balai Pustaka

Kalau di antara pengarang itu ternyata banyak yang telah menerbitkan

karyanya sejak awal 1920-an, bagai manakah hubungan antara

karya mereka itu dengan terbitan Balai Pustaka? Sudah disinggung

sebelumnya bahwa Balai Pustaka tidak banyak memperhatikan

penerbitan puisi modern dalam kegiatannya, sedangkan kebanyakan

Page 43: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

43 PB

Kalam 25 / 2013

orang-orang muda yang mengadakan pembaruan dalam sastra

Indonesia modern 1920-an itu adalah penyair. Meskipun majalah

Pujangga Baru adalah redaksi Balai Pustaka, tetapi mereka itu

menolak adanya kaitan antara kedua kegiatan penerbitan itu. Dalam

karangannya tentang kesusastraan baru, Armijn Pane antara lain

menandaskan (1933: 112-3)

Kesusastraan baru,yang berlingkung kepada Pujangga Baru, Panji

Pustaka-lah yang menimbulkannya, sebab pujang ga-pujangga muda yang sekarang di sanalah, katanya, menem patkan sajaknya atas ajakan dan bujukan! Balai Pustaka itu bukan, kata fihak itu seterusnya, badan pemerintah yang hendak meneguhkan imperialisme. Jadi kesusastraan baru ini bukan timbul dari dalam bangsa kita, tetapi dari dalam neraka imperialisme!

Menurut Armijn Pane, serangan pihak “yang kolot” atau

“pihak nenek” terhadap kesusastraan baru itu memperguna kan ikhtiar

yang tidak jujur. Pihak kolot itu mengatakan bahwa sebenarnya Balai

Pustakalah (lewat Panji Pustaka) yang memulai gerakan kesusastraan

baru itu. Banyak pengarang muda dibujuk untuk menulis dalam

majalah milik Balai Pustaka tersebut. Dan karena penerbit itu milik

pemerintah kolonial, tentunya sastra baru yang ditimbulkan nya itu

juga berasal dari paham imperialisme. Armijn menun jukkan bahwa

tuduhan itu tidak benar, sebab Panji Pustaka baru membuka ruang

kesusastraan pada 1932, sedang kan kebanyakan pujangga muda itu

sudah mulai menulis bahkan menerbitkan buku sejak awal 1920-an.

Pengarang Belenggu itu kemudian menunjukkan adanya hubungan

yang erat antara timbulnya kesusastraan baru itu dan gerakan

kebangsaan, terutama sekali gerakan pemuda seperti yang dilakukan

Page 44: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

44 PB

Kalam 25 / 2013

oieh Jong Java dan Jong Sumatra nen Bond. Setelah mencoba

menjelaskan panjang-lebar tentang hubungan tersebut, Armijn

menutup tulisannya dengan mengatakan:

Seperti banyak yang baru dalam pergerakan kita timbul nya dalam kalangan pemuda dan perkumpulan pemuda, begitu jugalah Pujangga Baru timbul sebagai pembentukan salah satu cita-cita gerakan pemuda.Dia bukan sekonyong-konyong timbul atas titah Balai Pustaka, sebagai diserukan oleh pihak kolot, melainkan dia hanya meneruskan usaha yang beberapa kali sudah diusahakan dalam kalangan semangat muda.

Ada suatu pokok penting yang tersirat dalam tulisan Armijn

Pane itu. Pihak kolot ternyata menuduh Pujangga Baru sebagai

agen Balai Pustaka, dan oleh karenanya ber usaha meneguhkan

imperialisme. Kalangan Pujangga Baru sendiri ternyata dengan

keras menolak tuduhan tersebut; ia “bukan sekonyong-konyong

timbul atas titah Balai Pus taka” tetapi berada dalam “kalangan

semangat muda”. Dengan demikian tersirat bahwa baik pihak kolot

maupun pujangga muda beranggapan bahwa Balai Pustaka ingin

meneguhkan imperialisme, setidaknya kedua pihak itu ber sikap

negatif terhadap Balai Pustaka. Memang, fungsi pener bit pemerintah

kolonial itu sebagai bagian tak terpisahkan dari kebijakan pendidikan

menyebabkannya selalu dicurigai oleh berbagai pihak.

Kecurigaan terhadap Balai Pustaka itu ternyata tidak

menyebabkan semua pengarang muda menerbitkan karyanya

di luar penerbit pemerintah tersebut. Sutan Takdir Alisjahbana

sendiri, penggerak Pujangga Baru, menerbitkan novelnya di Balai

Page 45: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

45 PB

Kalam 25 / 2013

Pustaka. Penulis-penulis lain yang menerbitkan karya nya di Balai

Pustaka, yang kemudian dikenal sebagai penulis utama kita sebelum

perang adalah Hamka dan Nur Sutan Iskan dar. Mereka itu berasal

dari Sumatra. Periode ini juga menghasilkan karya-karya yang

ditulis oleh pengarang-pengarang non-Sumatra antara lain Paulus

Supit, L. Wairata, dan I Gusti Njoman Panji Tisna. Kehadiran

pengarang-pengarang non-Sumatra itu penting artinya sebab

lewat karya merekalah latar belakang sosial dan budaya non-Islam

dengan jelas muncul dalam sastra Indonesia. Di samping itu pantas

pula dicatat munculnya dua penulis wanita, Hamidah dan Selasih,

yang menghasilkan novel-novel sewaktu usia mereka sangat muda.

Novel-novel itu sendiri tidak berperan apa-apa dalam perkembangan

kesusastraan kita, dan biasanya mendapat perhatian karena ditulis

oleh wanita.

Belenggu

Persoalan keluarga juga mendapat perhatian dari Armijn Pane dalam

novel Belenggu, sebuah novel yang merupakan puncak perkembangan

novel modern Indonesia sebelum perang. Ditinjau dari segi stilistika

maupun tematik, novel ini adalah hasil seorang novelis yang lebih

menekankan pada pembaruan daripada sekadar mengulang-ulang

apa yang pernah dikerjakan pengarang sebelumnya. Pembaruan yang

dilakukan Armijn, seorang redaktur Balai Pustaka dan Pujangga Baru,

ternyata mendapat reaksi dan tanggapan yang berbeda-beda, yang

beberapa di antaranya dikutip dalam penerbitan ulang novel ini.

Setidaknya ada dua hal penting sehubungan dengan pembaruan

Armijn ini. Pertama, pengarang memberi perhatian utama kepada

Page 46: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

46 PB

Kalam 25 / 2013

serangkaian pikiran masing-masing tokoh rekaannya. Dengan

demikian peristiwa-peristiwa fisik yang ada seolah-olah merupakan

penyokong gerak pikiran tersebut. Teknik bukannya sama sekali

baru dalam perkembangan novel Indonesia; beberapa pengarang

pernah mencobanya antara lain dalam Salah Asuhan, Kehilangan

Mestika, dan Layar Terkembang. Namun teknik cakapan dalam hati

(interior monologue) baru benar-benar dikembangkan secara sadar dan

fungsional dalam Belenggu.

Kedua, pengarang menampilkan pandangan tertentu terhadap

keadaan sosial kota besar, suatu pandangan yang belum pernah

menjiwai novel-novel sebelum perang. Armijn tidak berusaha

menilai keadaan itu, dan kemudian mendesakkan penilaiannya kepada

kita; pengarang asal Sumatra itu membuat semacam deskripsi dan

analisis atas keadaan tersebut. Apa yang dikerjakannya itu terbuka

bagi penafsiran masing-masing pembaca. Novel ini didahului oleh

semacam kredo yang agak sentimental, kalau bukan bombastis, tetapi

yang setidaknya menunjukkan kepada kita apa sebenarnya yang

mendorong pengarang menerbitkan juga novelnya meskipun telah

ditolak oleh Balai Pustaka. Dalam pengantar karyanya itu pengarang

menulis antara lain,

Banyak yang hendak saya nyatakan, apakah yang dapat menghalangi saya, kalau menurut saya patut berbicara? Karena cara melahirkan keyakinan akan dicela setengah orang?Karena soal yang saya kemukakan, menurut setengah orang mesti didiamkan?

Rupanya yang mengganggu pengarang adalah adanya pihak

yang mungkin sekali tidak menyetujui pokok dan cara menyampaikan

Page 47: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

47 PB

Kalam 25 / 2013

persoalan dalam karangannya. Ternyata bahwa memang kedua

hal itulah yang menjadi buah pembicaraan ketika novel itu selesai

dimuat dalam majalah Pujangga Baru. Beberapa komentar dimuat

dalam penerbitan novel itu. Di antara orang-orang yang tidak begitu

bersimpati pada cara penulisan Armijn itu adalah salah seorang rekan

dekatnya, Sutan Takdir Alisjahbana.

Dan kalau buku Armijn ini diletakkan di tengah-tengah usaha dan perjuangan ini untuk kemajuan bangsa, maka hampir dapat kita memasukkannya dalam lektur defaistis yang melemahkan semangat, meski betapa sekalipun gembira bunyi kata pendahuluannya.

Setiap pembaruan cenderung menimbulkan komentar

bermacam-macam. Suwarsih Djojopuspito, misalnya, menulis bahwa

“tendenslah yang amat mempengaruhinya”, sedang M. Dimyati

mengatakan bahwa “payah saya hendak menangkap tendens cerita

Belenggu ini”. Kedua orang yang juga pengarang itu ternyata berbeda

pandangan dan pengertian tentang arti tendens dan penerapannya

pada novel Belenggu.

Tema yang ditampilkan Armijn memang belum pernah

disentuh oleh pengarang sebelumnya. Hubungan antara Tono, Tini,

dan Yah tidak dapat dijelaskan sebagai hubungan cinta segi tiga

yang klasik. Masih merupakan pertanyaan apakah Tono dan Tini

memasuki perkawinan berdasarkan cinta; juga pantas dipertanyakan

apakah hubungan antara Yah dan Tono dilandasi cinta. Dari segi

sosial, “belenggu” dalam novel ini adalah ikatan perkawinan dan

ikatan antara orang dan orang lain. Dari segi perorangan, “belenggu”

berarti keinginan dan kebutuhan yang selalu mendesak untuk

Page 48: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

48 PB

Kalam 25 / 2013

dipenuhi namun tidak pernah bisa sepenuhnya terpenuhi. Tema

yang menyangkut hubungan antara konflik batin dan konflik sosial

ini harus ditampung dalam suatu teknik penulisan yang berbeda dari

yang pernah ditempuh pengarang-pengarang sebelumnya. Sejak

alinea-alinea permulaan sudah tampak kekhasan gaya Armijn.

Seni Pertunjukan dan Munculnya Drama

Ketika drama mulai tumbuh di sekitar akhir abad ke-19 dan awal

abad ke-20, di Hindia Belanda telah tumbuh seni pertunjukan

berbahasa Melayu yang sangat populer terutama di kota-kota besar,

yang umumnya dikenal sebagai Komedi Bangsawan atau Komedi

Stambul atau Opera Bangsawan. Perlu dicatat, komedi tidak berarti

tontonan yang lucu belaka, tetapi kisah yang dipentaskan dengan

kemungkinan adanya unsur-unsur lucu di dalamnya. Unsur-unsur

lucu itu menghibur dan tidak selalu harus terkait dengan alur

pokoknya, bahkan bisa juga merupakan sekadar selingan atau anasir

stereotip yang sengaja dimasukkan untuk memancing ketawa. Kisah-

kisah yang dipentaskan terutama sekali diambil dari khazanah 1001

Malam, cerita berbingkai yang sebelumnya sudah dikenal luas di

kalangan masyarakat dan sekaligus ditunjang kepopulerannya dengan

pementasan mereka di panggung.

Asal-usul seni pertunjukan itu tidak begitu jelas, tetapi

menurut suatu pendapat ia berasal dari Tanah Melayu, dibawa

oleh seorang sutradara teater keliling yang berdarah Rusia. Teater

ini bukan sejenis folktheater ‘teater rakyat’ yang diciptakan oleh

masyarakat untuk keperluan tertentu dan kemudian dianggap sebagai

miliknya, yang sekaligus juga merupakan identitas masyarakat itu.

Page 49: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

49 PB

Kalam 25 / 2013

Komedi Bangsawan adalah produk kebudayaan populer yang sejak

pertengahan abad ke-19 masuk ke Hindia Belanda, dipicu antara

lain oleh kebutuhan massa di kota-kota besar untuk mendapatkan

hiburan. Hal ini tentu saja ada hubungannya dengan perkembangan

industri, meskipun pada masa itu Hindia Belanda belum merupakan

“negeri” yang sepenuhnya dikendalikan oleh industri yang

membutuhkan modal besar. Urbanisasi yang mulai berlangsung saat

itu mengakibatkan tumbuhnya kota-kota yang menyediakan ruang

untuk orang-orang yang datang dari desa. Sesudah sementara waktu

tinggal di kota, mereka tidak lagi merupakan bagian dari teater rakyat

yang mereka ciptakan dan sekaligus memiliki mereka di tempat

asalnya.

Teater rakyat sebenarnya tidak sekadar tontonan, tetapi juga

sekaligus—dan di beberapa tempat terutama—adalah bagian dari

upacara yang berakar pada kepercayaan masyarakat setempat. Karena

tidak lagi merupakan bagian dari masyarakatnya yang dulu, penduduk

kota akhirnya tercerabut dari jenis kesenian rakyat miliknya itu tetapi

belum merupakan bagian dari kesenian kota yang sama sekali lain

cirinya. Teater rakyat diciptakan oleh dan untuk rakyat, kelompok

masyarakat yang memiliki ciri-ciri khusus yang tercermin dalam

kesenian mereka. Ia merupakan sejenis taman yang dipagari dan

tidak boleh disentuh orang dari luar masyarakat bersangkutan.

Teater semacam itu sepenuhnya bersumber pada ciri-ciri dan kualitas

masyarakat sehingga orang luar tidak bisa menembusnya begitu saja.

Ini tidak berarti bahwa teater semacam itu sepenuhnya diciptakan

masyarakat tanpa sama sekali pengaruh dari luar. Di zaman kita

ini tidak ada yang sepenuhnya asli, semua hal —tidak terkecuali

seni pertunjukan—ada sumbernya di tempat lain, baik yang berupa

Page 50: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

50 PB

Kalam 25 / 2013

struktur pertunjukannya maupun kisah yang dipertunjukkannya.

Dengan demikian di berbagai suku bangsa di Indonesia telah sejak

entah kapan tumbuh ratusan jenis seni pertunjukan yang sangat lebar

spektrumnya, mulai dari yang sama sekali tidak bisa dipisahkan dari

upacara keagamaan sampai ke jenis pertunjukan yang sepenuhnya

profan, yang bisa dilakukan oleh siapa pun tanpa harus mempelajari

bagaimana cara melaksanakannya. Dengan kata lain, ada yang

pelaksanaanya ditentukan oleh aturan yang sangat ketat, yang hanya

bisa diikuti oleh orang-orang yang sangat terbatas jumlahnya sampai

ke jenis pertunjukan yang siapa pun bisa ikut di dalamnya, tentu

bukannya sama sekali tanpa aturan.

Jenis teater itu digolongkan ke dalam tradisi lisan meskipun

boleh dikatakan tanpa kecuali berasal dari kisah atau kepercayaan yang

pernah dituliskan, yang mungkin sampai ke pelaksana pementasan

itu tidak berupa tulisan tetapi secara lisan. Ada dua jenis tradisi lisan,

yakni primary orality ‘kelisanan primer’ dan secondary orality ‘kelisanan

sekunder.’ Kelisanan primer boleh dikatakan sama sekali tidak ada di

zaman kita ini sebab praktis semua bangsa sudah mengenal aksara; yang

ada tinggal kelisanan kedua yang semakin hari semakin berkembang

berkat adanya begitu banyak jenis media yang menyalurkan dana dan

kebutuhan akan media inilah yang pada gilirannya memicu derasnya

pengaruh global yang memungkinkan dikembangkannya jenis-jenis

seni pertunjukan baru. Pertunjukan atau ritual rakyat yang dulu

berlangsung di tempat-tempat yang sangat luas spektrumnya, mulai

dari pasar sampai kuil sebagian berkembang menjadi berbagai jenis

teater yang memerlukan tempat khusus untuk mementaskannya, yang

umumnya berupa panggung prosenium. Kalau di zaman tradisi lisan

pengarah “lakon” bisa saja seorang pendeta yang memelihara aturan

Page 51: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

51 PB

Kalam 25 / 2013

ritual secara ketat, atau malah tak ada sutradara sama sekali sebab setiap

orang boleh mengambil bagian, di dalam tradisi teater prosenium

sutradara muncul dan langsung memegang peranan penting.

Pengaruh drama Barat pun masuk sejak akhir abad ke-19, mula-

mula dalam bentuk penulisan naskah yang dipentaskan untuk berbagai

kepentingan sosial, seperti mencari derma bagi organisasi sosial

di kalangan kaum peranakan Tionghoa atau merupakan idealisme

seperti yang terjadi di sementara kalangan intelektual muda pada

masa itu. Dalam perkembangan tahap ini, dua jalur pekembangan pun

muncul; yang pertama merupakan tiruan belaka dari seni pertunjukan

yang dikenal sebagai Komedi Stambul atau Opera Melayu, yang kedua

merupakan usaha beberapa kalangan untuk menyerap pengaruh dari

teater Eropa yang pada masa itu sedang mengembangkan realisme.

Tokoh-tokoh seperti Ibsen menjadi tumpuan bagi beberapa dramawan

awal sepeti Kwee Tek Hoay, seorang jurnalis, sastrawan, dan filsuf

yang berusaha menulis pandangan teoretisnya mengenai berbagai

jenis kesenian, antara lain drama.

Pada perempat pertama abad ke-20, Kwee Tek Hoay

mencoba dengan sadar mengembangkan realisme yang meneladani

Ibsen, meskipun di sekitarnya penulisan drama masih di bawah

bayang-bayang seni pertunjukan lisan, yang tidak mengandalkan

pada penulisan naskah. Drama pun mulai berkembang. Yang khas

pada perkembangannya di Indonesia adalah bahwa berbagai jenis

kecenderungan masuk bersama-sama, suatu hal yang menyebabkan

munculnya beberapa mazhab sekaligus. Kwee Tek Hoay dan F.

Wiggers yang mengembangkan gaya realis dalam drama mereka

adalah wartawan. Itu mungkin sebabnya drama-drama yang

mereka tulis mengungkapkan berbagai masalah yang berkaitan

Page 52: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

52 PB

Kalam 25 / 2013

dengan perubahan sosial dengan gaya realis, sementara itu sejumlah

intelektual muda pribumi mengembangkan gaya penulisan Romantik

untuk menyampaikan idealisme mereka dalam rangka bangkitnya

rasa kebangsaan. Dengan demikian ada perbedaan yang mendasar

antara, misalnya, Lelakon Raden Bei Surio Retno karya F. Wiggers dan

Bebasari karya Rustam Effendi. Yang disebut pertama adalah drama

sosial yang mengungkapkan dengan gaya realis suatu fenomena sosial

yang berkembang pada zamannya, sementara yang disebut kedua

adalah upaya untuk mengungkapkan gagasan mengenai kebebasan

bangsa dari penjajahan pihak asing. Pergolakan pertama drama

Indonesia terjadi pada 1920-an, yang kemudian disusul dengan

kecenderungan yang semakin kuat untuk mengungkapkan idealisme

dengan menggunakan simbol-simbol.

Sepanjang 1930-an para dramawan pribumi kita umumnya

adalah sastrawan yang tidak begitu akrab dengan seni pertunjukan

sehingga naskah-naskah yang mereka tulis bisa digolongkan ke dalam

drama kamar, jenis yang lebih merupakan bacaan daripada bahan

pementasan. Para sastrawan muda angkatan Sanusi Pane mendapatkan

pendidikan di sekolah menengah Belanda yang memberikan

pengetahuan mengenai perkembangan kesenian sekitar 1880-an di

negeri itu. Itulah sebabnya dikatakan bahwa Angkatan 1880 yang

muncul di negeri Belanda menjadi acuan bagi perkembangan drama

Romantik di Indonesia. Dalam rangka pengaruh itu, muncullah

drama-drama yang menunjukkan perhatian mereka terhadap masa

lampau dan negeri asing seperti Sandyakalaning Majapahit yang

berlatar zaman klasik dan Manusia Baru yang berlatar negeri asing

untuk mengungkapkan idealisme dan simpati mereka terhadap kaum

tertindas.

Page 53: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

53 PB

Kalam 25 / 2013

Perkembangan itu boleh dikatakan praktis berubah ke arah

lain ketika pada awal 1940-an pemerintah militer Jepang menguasai

Indonesia dan menentukan dengan tegas bahwa segala jenis seni, tak

terkecuali pertunjukan, harus dipergunakan sebagai alat propaganda

untuk mendukung gagasan Asia Timur Raya. Sensor yang sangat ketat

dari pemerintah militer Jepang menyebabkan dramawan kita tidak

bisa berbuat lain kecuali mematuhinya dengan menghasilkan sejumlah

drama yang dianggap bisa menyebarluaskan gagasan dasar Asia Timur

Raya, tujuan utama Jepang dalam melakukan ekspansi ke Asia Timur

dan Tenggara. Demikianlah maka muncul drama seperti Pandu Pertiwi

karya Merayu Sukma, yang seperti halnya Cinta Tanah Air roman

karangan Nur Sutan Iskandar, dan Palawija karya Karim Halim tidak

lain adalah hasil kesenian yang menggunakan teknik propaganda.

Karya Merayu Sukma jelas-jelas menggunakan simbol-simbol dalam

rangka menyebarluaskan gagasan militerisme, suatu hal yang pada

dasarnya dilakukan juga oleh Rustam Effendi dalam Bebasari tapi yang

tujuannya penulisannya sama sekali berbeda, bahkan berlawanan.

Bebasari adalah drama yang memprogandakan gagasan kemerdekaan

sementara Pandu Pertiwi adalah drama yang memaksakan pelaksanaan

gagasan militerisme Jepang. Persamaannya adalah keduanya

menggunakan simbol-simbol dalam teknik penulisannya.

Meskipun masa pendudukan Jepang yang singkat itu

menerapkan sistem sensor yang sangat ketat, pada masa itu ada

beberapa sastrawan, antara lain Usmar Ismail, yang mengembangkan

bakatnya dengan tidak sekadar menulis drama propaganda. Dramanya

Citra, misalnya, bukanlah drama propaganda tetapi lebih merupakan

upaya untuk mengungkapkan suatu segi masalah sosial pada masanya,

tentu dengan cara yang tidak melanggar ketentuan pemerintah

Page 54: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

54 PB

Kalam 25 / 2013

pada masa itu. Karya Usmar Ismail, dramawan utama Indonesia

1940-an, merupakan tonggak penting dalam perkembangan drama

kita. Ia terus menulis sampai lenyapnya pemerintah militer Jepang

dan menguasai panggung sandiwara dan film sampai 1960-an.

Sesudah Kemerdekaan tumbuh euforia kebebasan yang mendukung

tumbuhnya perhatian dramawan kita terhadap nasib kaum lemah

dan rakyat kecil. Kecenderungan serupa sebenarnya sudah muncul

pada 1930-an ketika para sastrawan kita menulis drama kamar,

tetapi jika ditinjau dari konteks sosialnya kedua kecenderungan itu

menunjukkan perbedaan yang mencolok. Jika pada 1930-an para

sastrawan kita menghasilkan drama romantik sebagai akibat dari

pengetahuan mereka mengenai kesusastraan dan kondisi sosial yang

merosot kualitasnya sebagai akibat malaise yang melanda dunia,

maka kecenderungan yang ada pada akhir 1940-an dan awal 1950-an

terutama disebabkan oleh kondisi sosial yang buruk sebagai akibat

dari revolusi yang mau tidak mau memaksakan perubahan sosial

politik yang mendadak dan mendasar.

Dalam sebuah pengantar untuk dramanya yang berjudul

Korbannya Kong-Ek (1926) Kwee Tek Hoay, seorang tokoh peranakan

Tionghoa yang memiliki perhatian terhadap berbagai bidang, antara

lain mengakui bahwa dalam penulisan drama ia belajar dari seorang

dramawan Norwegia abad ke-19, Henrik Ibsen. Katanya,

Ini semua pendapetan, ditambah lagi dengan lelakon-lelakon komedi dari Ibsen yang saya baca berulang-ulang, membikin saya mendapet pikiran aken karang ini lelakon Korbannya Kong-Ek yang sifatnya mirip seperti Ibsen punya An Enemy of the People, di mana dituturken bagaimana saorang yang hendak berbuat baek sudah dimusuhin oleh orang banyak.

Page 55: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

55 PB

Kalam 25 / 2013

Ada beberapa hal yang penting dibicarakan dari kutipan ini

dalam kaitannya dengan awal perkembangan drama di Indonesia.

Namun sebelum itu, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa di

awal perkembangan drama tulis di Hindia Belanda, drama disebut

dengan beberapa nama, yakni lelakon, komedi, dan tooneelstuk.

Istilah drama pada masa itu belum dipergunakan secara luas, dan

komedi tidak berarti drama jenaka meskipun dalam Komedi Stambul

selalu ada anasir yang menyebabkan penonton tertawa oleh antara

lain munculnya tokoh bodor. Di negeri yang terdiri atas ratusan

kelompok etnik yang masing-masing memiliki sejumlah besar jenis

seni pertunjukan lisan, perkembangan drama tulis sudah semestinya

dikaitkan dengan keadaan tersebut. Kwee memilih Ibsen sebagai

dramawan yang diteladaninya, dan itu berarti dia memilih bentuk

realisme dalam drama. Karangan yang mengawali drama kedua yang

ditulisnya itu memang dengan tegas menyuratkan keinginannya

untuk mengungkapkan peristiwa “yang sebetulnya,” seperti yang

tertera dalam kutipan berikut ini.

Ini pengalaman membikin saya ambil putusan, kalo misti karang lagi satu tooneelstuk, lebih baek tuturkan kaadaan yang sabetulnya, dari pada ciptaken yang ada dalem angen-angen, yang meskipun ada lebih menyenangken dan mempuasken pada pembaca atau penonton, tapi palsu dan justa, bertentangan dengan kaadaan yang bener.

Dengan pernyataan itu jelas Kwee telah meletakkan dasar

realisme yang lebih kokoh di dalam penulisan drama Indonesia,

meskipun ada drama sejenis yang ditulis sebelum Kwee menulis

drama pertamanya, Allah yang Palsu, pada 1919. Namun, pandangan

Page 56: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

56 PB

Kalam 25 / 2013

yang disampaikan Kwee itu merupakan semacam kredo yang dengan

teguh dipegangnya dalam penulisan drama. Pengaruh Ibsen diakuinya,

dan itu jelas berarti ia menerima jenis drama Barat yang pada abad

ke-19 sedang berkembang, yang mengungkapkan masalah-masalah

kebobrokan sosial, terutama dalam kaitannya dengan hubungan

antara individu dan masyarakat. Drama Ibsen yang disebutnya dalam

karangan itu adalah salah satu saja dari sejumlah besar drama Ibsen dan

dramawan lain di Eropa yang ditulis dan dipentaskan untuk melawan

kecenderungan Romantik yang telah sekian lama menguasai dunia

kesenian Eropa. Drama realis diciptakan untuk mencatat, kalau tidak

boleh dikatakan meniru, perubahan yang terjadi dalam kehidupan

bermaysarakat.

Namun tentu saja kita juga harus mempertimbangkan faktor

lain yang telah membantu lahirnya drama realis di Indonesia, yakni

kegiatan sekelompok masyarakat peranakan Tionghoa yang pada masa

itu memerlukan bantuan kesenian untuk menunjang kelangsungan

hidup organisasi mereka. Organisasi sosial seperti Tiong Hoa Hwe

Koan tidak akan bisa hidup tanpa bantuan derma, dan di awal

karangannya dalam Allah yang Palsu Kwee menulis sebagai berikut.

Pada kira-kira sapulu taon yang lalu, bebrapa orang Tionghoa dermawan di Pasar Baru Weltevreden telah dapet ingetan aken adaken opera derma buat menunjang Tiong Hoa Hak Tong di itu tempat. Ini percobaan ternyata telah berhasil bagus, kerna pendapetan dari itu pertunjukan, kira ampir f 10.000, ada melebihken dari pada apa yang lebih dulu orang brani harep.

Ibsen memang akhirnya menjadi pilihan Kwee, tentu bukan

karena yang dibacanya adalah drama tokoh realisme tersebut tetapi

Page 57: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

57 PB

Kalam 25 / 2013

juga kenyataan bahwa ia muak terhadap perkembangan drama

zamannya yang dikuasi oleh sejenis teater populer yang merupakan

bagian dari tradisi lisan, antara lain kelompok yang dikenal sebagai

Komedi Stambul. Dengan demikian sebenarnya ada dua kekuatan yang

telah melahirkan drama realis di Indonesia, yakni pengaruh drama

realis dari Eropa dan kondisi setempat yang memerlukan jenis drama

baru yang bisa dijadikan sarana untuk mencari derma. Keadaan yang

disampaikan Kwee tersebut jelas menumbuhkan keinginan banyak

pihak untuk melakukan hal serupa, meskipun hasilnya tidak seperti

yang dillaksanakan olehnya. Catatan Kwee itu juga menunjukkan

bahwa ia bukanlah orang pertama yang menyediakan naskah drama

untuk kegiatan mengumpulkan derma. Sayang bahwa ia tidak

menyebutkan drama apa yang dipertunjukkan sehingga berhasil

membantu organisasi itu dengan uang derma begitu banyak. Bahwa

sebelum ia menulis Allah yang Palsu sudah ada beberapa naskah yang

ditulis tampak dari kutipan berikut ini.

Dalem waktu yang blakangan, cerita-cerita yang dipertunjukken oleh opera derma Tionghoa kebanyakan sudah dikarang sendiri, bukan dipetik dari buku. Ini membikin itu lelakon jadi banyak lebih baek dan rapi, tapi berbareng dengen itu ada juga membawa cacat-cacat yang baru. Sasuatu pengarang dari cerita buat opera derma ampir semua pikir perlu musti suguken pada penonton “lelakon yang berisi nasihat.”

Realisme dituduh hanya cenderung menggambarkan hal-hal

yang kusam, kumuh, dan kotor meskipun pada dasarnya yang menjadi

ciri utamanya adalah penggambaran secara detail. Dalam kutipan

tersebut bukan detail yang diungkapkan tetapi luapan perasan yang

Page 58: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

58 PB

Kalam 25 / 2013

tidak bisa dikendalikan pengarang, yang pada gilirannya pasti menular

ke penonton. Namun, mungkin hal itu justru bermanfaat bagi usaha

pementasan drama semacam itu, mengingat tujuan utamanya adalah

mencari derma. Orang-orang yang menonton opera derma semacam

itu tentulah bukan mereka yang telah memiliki pengetahuan yang

baik mengenai perkembangan drama modern. Dalam hal ini Kwee

berpendapat bahwa sejumlah naskah yang telah ditulis untuk opera

derma pada zaman itu sudah jauh lebih baik dari tontonan yang

disuguhkan oleh kelompok teater keliling yang disebutnya Opera

Melayu atau Opera Bangsawan. Setidaknya, menurutnya, ada

perbedaan mencolok antara lakon-lakon yang dipentaskan Opera

Melayu dan opera untuk derma, yakni bahwa dalam yang disebut

terakhir itu kita bisa menyaksikan kehidupan nyata, kehidupan yang

kita lihat sehari-hari dan bukan kisah-kisah yang diturunkan dari,

misalnya, 1001 Malam.

Perkembangan drama realis di kalangan masyarakat Tionghoa

peranakan pada masa itu antara lain dipicu oleh maraknya usaha

dari berbagai organisasi sosial seperti Tiong Hoa Hwe Koan untuk

mencari derma. Sebenarnya mereka bisa saja mengundang kelompok

opera keliling untuk maksud tersebut, tetapi karena ada rasa bosan

terhadap pertunjukan yang semakin lama semakin dirasakan bertele-

tele itu menyebabkan masyarakat menuntut jenis tontonan yang

berbeda. Mereka tidak suka lagi menyaksikan lakon yang terjadi di

negeri antah-berantah, yang tokoh-tokohnya tidak hanya manusia

biasa tetapi juga jin dan peri, yang manusia-manusianya berpakaian

indah-indah, yang segala sesuatunya tampak eksotik. Dalam opera

semacam itu yang dipentingkan bukan jalan ceritanya, yang biasanya

sudah diketahui karena diambil dari kisah-kisah populer, tetapi

Page 59: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

59 PB

Kalam 25 / 2013

kelucuan dan nyanyiannya. Komedi Bangsawan dan Melayu selalu

menampilkan nyanyian sebagai selingan yang bisa saja kemudian

menjadi bagian yang justru lebih menarik dari pertunjukan utamanya.

Menurut Kwee sudah banyak opera derma yang ditulis, yang

ceritanya sesuai dengan kedaan sehari-hari yang kita kenal, yang

masalahnya adalah masalah kita sehingga penonton bisa dengan mudah

terlibat di dalamnya. Masalah utamanya adalah bahwa kebanyakan

opera derma semacam itu terlalu menonjolkan aspek edukatif. Ini

bisa dimaklumi sebab pertunjukan memang dimaksudkan untuk

mengumpulkan dana. Kwee sendiri, yang menilai kecenderungan

itu tidak sebaiknya dipertahankan, masih tetap menyisipkan nasihat

tersebut dalam drama-dramanya. Dalam Allah yang Palsu, misalnya,

sifat baik tokoh utama yang menjadi corongnya adalah Kioe Gie,

seorang yang sangat darmawan, yang dengan ikhlas merelakan

sebagian gajinya yang sangat terbatas itu untuk didermakan. Sifat

inilah yang dikecam oleh kakaknya, antagonis dalam drama ini, yang

akhirnya mengakui bahwa segala yang dikatakan adiknya selama ini

benar adanya—tentu temasuk keikhlasannya mendermakan sebagian

gajinya. Itulah mungkin sebabnya drama Kwee ini sangat disukai

oleh organisasi sosial pada masanya sebagai naskah yang pantas

dipentaskan. Salah satu sifat baik Kioe Gie yang dipertahankan sampai

akhir drama adalah kedermawanan itu, yang memang merupakan

alasan menyelenggarakan opera derma.

Dalam pengantar dramanya itu dikatakan pula antara lain

bahwa sumbangan yang bisa masuk dalam pementasan opera derma

itu bisa mencapai f10.000, jumlah yang pada masa itu sangat besar,

yang bisa dipergunakan untuk menjalankan organisasi. Dengan

demikian bisa ditentukan adanya perbedaan sebab munculnya

Page 60: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

60 PB

Kalam 25 / 2013

penciptaan drama realis di Eropa dan Hindia Belanda. Ketika Ibsen

dan Strindberg mulai menyadari pentingnya penulisan drama realis

yang menjadi dorongan adalah penolakan terhadap kecenderungan

Romantik yang semakin kuat, yang tidak lagi bisa menampung

berbagai masalah sosial yang semakin lama semakin mendesak di

Eropa. Di Eropa pada masa itu, sama sekali tentu saja tidak ada masalah

mengumpulkan derma bagi organisasi sosial semacam yang terjadi

di sini. Jika di Hindia Belanda waktu itu teater kita boleh dikatakan

masih sepenuhnya termasuk tradisi lisan, di Eropa Barat teater

modern sudah berkembang ratusan tahun lamanya. Kecenderungan

Romantik di Eropa Barat tampak pada naskah drama yang ditulis,

sementara di sini yang berkembang adalah seni pertunjukan lisan

yang sama sekali tidak mengandalkan adanya teks tertulis dalam

pementasan, meskipun bisa saja pementasan didasarkan pada naskah

tertulis yang tidak harus berupa teks drama.

Namun, hal itu tidak sepenuhnya bisa diterima juga sebab

dalam kenyataannya di zaman ketika Kwee menulis drama-dramanya

sejumlah naskah tertulis sudah ada, dan kebanyakan di antaranya

merupakan tiruan saja dari Komedi Bangsawan. Berbeda dari yang

dikembangkan Kwee, dalam teks-teks itu sama sekali tidak ada niat

untuk membuat deskripsi yang sangat rinci mengenai masalah,

tokoh, maupun latar peristiwa. Seperti halnya Opera Bangsawan

yang megandalkan imajinasi penonton, drama-drama yang ditulis

di masa itu memuat petunjuk pemanggungan yang sekadarnya, yang

jelas merupakan tiruan belaka dari apa yang ada di panggung Opera

Bangsawan. Latar tempat yang selalu muncul dalam drama-drama

semacam itu adalah straat ‘jalan,’ kebon, dan rumah —sama sekali

tanpa perincian seperti yang dicantumkan dalam drama-drama realis.

Page 61: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

61 PB

Kalam 25 / 2013

Dalam tulisan yang menjadi pengantar dramanya, Kwee

menyebutkan tiga drama yang menurutnya pantas mendapat

perhatian karena menunjukkan adanya perubahan dalam cara

penulisannya. Drama-drama itu adalah “Lelakon Kapiten Item, satu

cerita komedi yang sudah dipertunjukkan di Schouwburg di Batavia

waktu Baginda Ratu Wilhelmina dinobatkan di tahun 1895; kedua:

Lelakon Raden Bei Surio Retno, yang dikarang atawa disalin oleh

almarhum tuan F. Wiggers, dan ketiga: Karina Adinda, karangan

Victor Ido yang blon lama disalin ka dalem bahasa Melayu oleh Tuan

Lauw Giok Lan.” Dikatakannya juga bahwa drama yang disebutnya

pertama itu sudah sulit didapatkan, begitu juga yang kedua. Yang

ketiga jelas merupakan salinan, meskipun yang pertama mungkin

sekali juga merupakan saduran. Ketiga drama itu khusus disebutnya

sebab mungkin dianggap merupakan usaha dramawan berbahasa

Melayu pada masa itu untuk melepaskan diri dari tradisi Komedi

Stambul atau Opera Melayu. Kebetulan sekali drama kedua yang

disebutkannya itu masih bisa didapatkan, dan oleh karenanya perlu

dibicarakan secara khusus dengan ringkas.

Cerita drama ini berkisar sekitar sebuah keluarga priayi Jawa

yang mendapat kesulitan karena ada anggota keluarga yang tidak

benar tingkah lakunya. Yang khas lagi adalah bahwa penulisnya bukan

peranakan Tionghoa tetapi Belanda, sementara penerbitnya adalah

penerbit peranakan Tionghoa. Drama yang mengisahkan kenakalan

seorang pemuda yang akhirnya menyebabkan ayahnya bunuh diri ini

adalah gambaran masyarakat waktu itu mengenai keluarga Jawa yang

menjadi pegawai pemerintah. Raden Bei memegang jabatan sebagai

pengawas pajak, dan karenanya menyimpan sejumlah uang setoran

pajak. Uang itulah kemudian yang menjadi masalah sebab dicuri

Page 62: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

62 PB

Kalam 25 / 2013

oleh anak laki-lakinya yang tidak bermoral dengan sokongan ibunya.

Akibatnya sang ayah tidak bisa lagi menahan rasa malunya dan di

akhir cerita ia bunuh diri. Lelakon Raden Bei Soerio Retno adalah drama

realis jika ditinjau dari segi masalah yang ditampilkannya, yang adalah

masalah zaman itu. Di samping itu, bahasa yang dipergunakannya

juga bahasa yang tidak berbunga-bunga dan latarnya sama sekali

tidak eksotis. Tokoh-tokoh yang diciptakan F. Wiggers juga bisa

ditemui dalam kehidupan sehari-hari; setidaknya mereka sama sekali

tidak melaukukan hal-hal yang di luar kemampuan manusia seperti

umumnya tokoh-tokoh dalam Komedi Stambul.

Dalam adegan yang menunjukkan bagaimana Raden Ongko

membujuk ibunya agar mengambil uang dari kas kantor, misalnya,

jelas sekali diperinci watak ibu dan anaknya laki-laki. Salah satu ciri

drama masa itu memang adanya nasihat atau amanat yang jelas, yang

ditemukan dalam semua drama yang terbit sampai dengan 1920-an.

Dalam Raden Bei Surio Retno nasihat itu bahkan merupakan dialog yang

ditujukan kepada pembaca di akhir cerita, setelah layar diturunkan.

Bunyinya, “Nasihatnya: Orang tuwa teristimewa satu ibu jangan

terlalu turut anak punya mau.” Meskipun dalam pementasan kalimat

itu bisa saja tidak disampaikan, ada kemungkinan nasihat semacam

itu memang merupakan konvensi yang diikuti oleh seni pertunjukan

lisan yang pada masa itu masih menguasai dunia tontonan bagi rakyat

banyak. Penonton, dan juga pembaca, masih perlu dibimbing agar

pemahaman dan penafsirannya terhadap teks tidak keliru, setidaknya

agar sesuai dengan keinginan penulis.

Jenis drama yang ditulis dan konsepnya dikembangkan oleh

Kwee ini di masanya dan masa selanjutnya ternyata tidak mendapat

perhatian penulis kita, terutama sekali dalam hal penggunaan bahasa

Page 63: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

63 PB

Kalam 25 / 2013

dan panjangnya cerita. Drama Guna Sudaranya hanya terdiri atas

dua babak. Sementara itu drama yang ditulis oleh Rustam Effendi,

Bebasari (1926), jelas menunjukkan ciri yang sama sekali berbeda dari

yang dikembangkan Kwee. Drama yang isinya adalah kritik terhadap

pemerintah kolonial dan mengungkapkan keinginan untuk merdeka

itu adalah sebuah drama Romantik cum simbolik yang menggunakan

bahasa puisi dan sama sekali terpisah dari kehidupan sehari-hari.

Rustam Effendi tidak mencatat dan mengomentari apa yang terjadi di

masyarakatnya dengan cara realis, tetapi mengungkapkan apa yang ada

dalam gagasannya. Kecenderungan realistik dalam drama kita rupanya

tidak berlanjut di dasawarsa sesudahnya sebab para penulis drama,

terutama yang tergabung dalam kelompok Pujangga Baru, lebih tertarik

pada pemikiran kaum Romantik. Ini adalah sisi lain dari perkembangan

drama kita yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan praktis seperti

pengumpulan derma. Para penulis drama pada 1930-an adalah para

sastrawan yang tampaknya tidak begitu dekat dengan panggung,

sehingga kebanyakan drama mereka lebih tepat disebut drama kamar.

Drama Kwee tidak untuk dibaca di kamar sebab ditulis untuk

dipentaskan dan lahir di tengah-tengah perkembangan teater yang

sangat dekat dengan penonton, yakni berbagasi jenis kelompok

sandiwara keliling yang secara umum disebut Komedi Stambul atau

Opera Melayu. Dengan demikian, pentingnya apa yang dilakukan

Kwee dan beberapa dramawan lain yang mengembangkan realisme

di panggung adalah menawarkan pilihan bagi panggung yang pada

masa itu dikuasai oleh seni pertunjukan populer yang sifatnya lisan.

Diakui oleh Kwee bahwa kualitas opera derma yang berkembang saat

itu belumlah menghasilkan naskah yang sebaik drama Eropa tetapi,

katanya,

Page 64: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

64 PB

Kalam 25 / 2013

Menjadi pendeknya, jikalu cumah hendak dibandingken dengen segala komedi Stambul atau Bangsawan yang biasa mengamen di ini masa, itu pakumpulan-pakumpulan opera derma Tionghoa ada banyak yang menang jau sekali.

Munculnya jenis drama baru di kalangan khalayak peranakan

Tionghoa pada masa itu tentu saja sempat menimbulkan masalah

bagi penonton. Mereka yang biasa menonton Komedi Stambul

yang tokoh-tokohnya menggunakan pakaian indah-indah dan

ceritanya fantastis bisa saja kemudian tidak menyukai drama jenis

baru yang mengungkapkan kejadian sehari-hari, yang mungkin saja

terjadi di sekitar mereka. Kegiatan berbagai organisasi masyarakat

peranakan Tionghoa ternyata telah menghasilkan jenis drama baru

yang mendapat ilham dari perkembangan drama Eropa di abad

sebelumnya. Meskipun kebanyakan drama baru itu ditulis untuk

dipertunjukkan dalam rangka pengumpulan derma, kritik sosial yang

dilontarkannya—termasuk yang ditujukan ke organisasi sosial yang

mencari derma itu—akhirnya diterima. Kwee menyinggung juga hal

itu. Dengan demikian, drama tidak hanya merupakan pertunjukan

yang menghibur karena ada nyanyi dan berisi cerita fantasi, tetapi

juga diterima sebagai wahana untuk melancarkan kritik terhadap

ketimpangan sosial. Ia sadar bahwa salah satu dramanya, Korbannya

Kong-Ek, melancarkan kritik terhadap pimpinan sebuah organisasi

sosial. Namun ia yakin bahwa kenyataan itu tidak akan menghalangi

orang untuk mementaskannya sebab, katanya, antara lain, “sudah

ada bebrapa pakumpulan yang minta izin aken maenken ini lelakon

yang maskipoen tida mempuasken, ada berales dengen kaadaan yang

sabetulnya.”

Page 65: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

65 PB

Kalam 25 / 2013

Perhatian terhadap segala yang eksotik dan dari zaman lampau

tumbuh sebagian sebagai akibat dari pendidikan kebudayaan yang

antara lain menekankan pentingnya masa lampau, yang didominasi

oleh suku Jawa. Di sekolah menengah atas, tempat para sastrawan

itu pernah menuntut ilmu, diberikan mata pelajaran sejarah

kebudayaan yang berorientasi ke Jawa sebab banyaknya khazanah

kesusastraan yang berasal dari suku bangsa itu, yang kemudian

dianggap sebagai acuan bagi masa lampau Hindia Belanda. Karena

sebagian besar murid AMS bagian kebudayaan berasal dari berbagai

daerah di Hindia Belanda, dalam memperhitungkan masa lampau

mereka mengacu ke Jawa meskipun sebenarnya tidak menjadi bagian

kebudayaan itu. Contoh yang bisa disebut dalam hal ini adalah karya

Sanusi Pane, Sandyakalaning Majapahit. Drama itu berlatar zaman

Majapahit, mengisahkan babad ketika negeri itu diancam oleh

seorang pemberontak yang bernama Menakjingga, yang akhirnya

bisa dibunuh oleh Damar Wulan.

Drama Propaganda

Sampai dengan Kemerdekaan, bahasa Indonesia belum menjadi bahasa

yang dipahami oleh sebagian besar rakyat kita bahkan yang tinggal di

kota-kota besar. Bahasa daerah masih menjadi alat komunikasi utama

dalam kehidupan sehari-hari, dan karenanya drama yang ditulis

dalam bahasa Melayu hanya memiliki khalayak yang sangat terbatas

dibanding dengan seni pertujukan lisan, seperti ketoprak atau ludruk,

yang menggunakan bahasa Jawa. Salah satu kekeliruan pemerintah

Hindia Belanda adalah usahanya untuk menyejajarkan bahasa daerah

dengan bahasa Malayu yang kemudian dalam Sumpah Pemuda 1928

Page 66: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

66 PB

Kalam 25 / 2013

dinyatakan sebagai bahasa persatuan. Usahanya untuk menanamkan

kemampuan berbahasa Belanda di kalangan rakyat pun bisa dianggap

gagal sebab adanya sejumlah aturan di dunia pendidikan yang justru

membatasi pengembangan bahasa itu di kalangan masyarakat. Rakyat

kecil praktis tidak menguasai bahasa Belanda dan, sebagian sangat

besar, juga tidak menguasai bahasa Melayu.

Drama seperti Sandyakalaning Majapahit jelas bukan sekadar

hiburan, tetapi dimaksudkan sebagai karya seni bahasa yang

mempertimbangkan aspek inovatif. Sementara itu drama yang ditulis

Armijn Pane, Lukisan Masa, yang berlatar semasa dan memiliki

kecenderungan realistik, mengungkapkan masalah sosial yang muncul

antara lain karena dampak mundurnya perekonomian dan munculnya

nilai-nilai sosial dan moral baru yang menggoyahkan tatanan lama.

Seperti yang juga disiratkannya dalam novelnya Belenggu, dalam

drama ini Armijn mengingatkan kita akan adanya perubahan sosial

yang harus diterima sebagai hal yang wajar. Tokoh utama dalam

drama itu adalah manusia yang mengalami kesulitan karena adanya

perubahan besar itu. Berbagai masalah disinggung dalam drama itu,

antara lain hak perempuan, pergaulan bebas, pengangguran, dan

lembaga perkawinan.

Masalah hak perempuan dan lembaga perkawinan juga

disinggung dalam drama Pembalasannya karya Saadah Alim. Drama itu

mengungkapkan masalah yang pelik dalam tata hukum perkawinan

Minang yang menyebabkan hubungan antara suami dan istri menjadi

tidak jelas. Dalam tatanan semacam itu, bisa saja terjadi suami tidak

pernah mengenal istrinya sebab hubungan perkawinan antara

keduanya ditentukan oleh orang tua. Drama ini mencoba mengkritik

tatanan itu dengan menampilkan kisah mengenai seorang istri,

Page 67: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

67 PB

Kalam 25 / 2013

Nur Asyikin, yang mengelabui suaminya, Bahar, yang tidak pernah

mengenalnya.

Dalam sebuah drama yang berjudul Gadis “Modern,” Tonil

Girang dalam 3 Babak, Adlin Affandi mengungkapkan masalah

perubahan zaman yang mempengaruhi sikap perempuan dalam

memandang hubungan antara cinta dan harta. Jika dalam drama

Saadah Alim dimanfaatkan motif penyamaran, dalam drama Adlin

ini yang dipergunakan adalah motif kekeliruan identitas. Gadis

dalam drama itu, Mariana, mengelirukan seorang kuli dengan

anak seorang kaya; ia mengira kuli itu adalah anak si kaya sehingga

gadis “modern” itu menyatakan cintanya, dan ketika mengetahui

kekeliruannya ia langsung mengingkarinya. Dalam beberapa drama

yang berlatar semasa itu tampak adanya kecenderungan realistik

dalam mengungkapkan masalah sosial, namun terasa bahwa masih

ada kaidah sosial yang dihormati oleh pengarang—sesuatu yang pada

dasarnya justru bertentangan dengan semangat Romantik.

Dalam pengembangan bahasa Indonesia sebagai alat

komunikasi dari atas ke bawah, pemerintah militer Jepang

ternyata memiliki wawasan yang lebih masuk akal, yakni menekan

pengembangan bahasa daerah dan menentukan bahasa Indonesia

sebagai satu-satunya bahasa komunikasi. Untuk maksud itu secara

khusus dibentuk berbagai kelompok bahasawan yang diharapkan bisa

mengembangkan bahasa Indonesia, terutama sekali yang berkaitan

dengan ilmu pengetahuan. Dalam bidang media cetak pemerintah

militer Jepang juga terutama menggunakan bahasa Indonesia,

meskipun ada juga penerbitan berbahasa daerah. Di samping bahasa

Jepang, Bahasa Indonesia merupakan satu-satunya bahasa penting

yang diajarkan di sekolah. Itu sebabnya, Bahasa Indonesia sebenarnya

Page 68: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

68 PB

Kalam 25 / 2013

baru benar-benar berkembang dan mendapat perhatian khusus sejak

masa penjajahan Jepang.

Pada masa itu pulalah drama dimanfaatkan oleh pemerintah

sebagai alat propaganda. Tidak diketahui pasti apakah selama tiga

setengah tahun masa pemerintah jajahan Jepang berada di Indonesia

itu usaha untuk memanfaatkan drama sebagai alat propaganda bisa

mencapai sasarannya. Drama seperti Pandu Partiwi karya Merayu

Sukma sepenuhnya berupa alegori; konsep-konsep abstrak yang

ditawarkan, atau dipaksakan, oleh pemerintah jajahan Jepang

ditampilkan di panggung sebagai manusia tentu dengan maksud agar

lebih mudah dipahami oleh khalayak ramai. Pandu melambangkan

tokoh yang harus diteladani, Partiwi adalah lambang tanah air,

Jaya mewakili konsep kemenangan dan perjuangan, Priayiwati

mengungkapkan masa lampau, dan Nadarlan adalah penjahat yang

adalah tokoh hitam dalam drama tersebut. Dialog-dialog yang ada

dalam drama itu sangat sederhana sebab konsep-konsep itu sudah

diwakili tokoh-tokoh. Demikianlah maka tidak diperlukan lagi

penjelasan panjang lebar mengenai konsep-konsep yang rumit yang

bersangkutan dengan gagasan Asia Timur Raya.

Pemerintah Jepang juga memanfaatkan radio, sebuah media

yang sangat populer pada masa itu, sebagai alat untuk menyebarluaskan

informasi dan propaganda politik. Dalam sebuah drama radio yang

berjudul Sakura dan Nyiur karya M.D. Alif, ditampilkan dua tokoh

yang juga wakil konsep-konsep yang ditawarkan oleh pemerintah,

yakni keunggulan dan pentingnya pengaruh serta kekuasaannya

terhadap bangsa Indonesia yang adalah tanah jajahannya. Sakura

mewakili Jepang dan Nyiur melambangkan Indonesia. Sepanjang

drama radio ini, terutama di akhirnya, dinyanyikan sebuah “lagu

Page 69: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

69 PB

Kalam 25 / 2013

nan indah” berbahasa Jepang yang berjudul “Yaesyio”. Dialog dalam

drama itu mewakili konsep utama propaganda Jepang yang ada

dalam drama-drama yang ditulis pada masa itu, yakni Pandu Partiwi

karya Merayu Sukma, Arus Perjuangan karya Aoh K. Hadimadja, dan

Diriku Tak Ada karya Surapati. Perlu dicatat juga bahwa Pandu Partiwi

adalah naskah drama yang memenangkan hadiah pertama dalam

sayembara penulisan drama yang diselenggarakan oleh “Asia Raya–

Jawa Shinbun.” Ini menunjukkan bahwa pemerintah militer Jepang

memberikan perhatian yang besar terhadap pentingnya drama sebagai

alat untuk menyalurkan gagasannya. Zaman pendudukan Jepang

juga adalah masa yang menguntungkan bagi dokumentasi drama,

sebab pemerintah mengharuskan semua kalangan masyarakat untuk

menyerahkan naskah drama sebelum dipentaskan kepada pihak yang

berwajib untuk disensor.

Ada petunjuk pula bahwa pada masa itu drama mendapatkan

perhatian masyarakat yang lebih luas, terbukti dengan didirikannya

kelompok sandiwara yang dipimpin Usmar Ismail, yang telah

menghasilkan sejumlah besar drama yang dianggap penting dalam

perkembangan drama Indonesia. Dibandingkan dengan penulis

drama lain, Usmar Ismail memiliki kelebihan dalam menata

dramanya sedemikian rupa sehingga merupakan naskah yang siap

pentas. Usmar tidak hanya menulis, tetapi juga menyutradarai

drama yang ditulisnya. Di samping itu Usmar Ismail juga sadar akan

pentingnya lagu yang menjadi latar belakang dramanya, oleh karena

itu menggunakan lagu khusus yang diciptakan oleh C. Simandjuntak

yang berjudul “Citra” dalam dramanya Citra. Drama itu merekam

kehidupan sehari-hari keluarga Ibu Suryo, seorang saudagar, yang

menyangkut kisah cinta segi tiga antara dua anak saudagar itu dan

Page 70: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

70 PB

Kalam 25 / 2013

seorang gadis pungut yang bernama Citra. Dalam drama itu tersirat

juga pentingnya perjuangan untuk membela tanah air dengan cara

berjibaku. Harsono, anak Ibu Suryo dari suami kedua, menodai Citra

sehingga hamil. Pemuda itu tidak mau bertanggung jawab sehingga

akhirnya Sutopo, anak Ibu Suryo dari suami pertama, menikahinya

meskipun tidak pernah melakukan tugasnya sebagai suami. Anak

Citra meninggal, dan Hartono kembali pulang untuk menyatakan

penyesalannya. Menjelang akhir drama, suasana yang dimunculkan

adalah rasa simpati yang dalam terhadap seorang gadis pungut yang

bernama Citra, yang ditekankan oleh keinginan yang ikhlas untuk

berjuang menjadi anggota Barisan Jibaku bagi pemerintah militer

Jepang. Demikianlah, dalam situasi tekanan pemerintah militer pada

masa itu, segala yang diungkapkan oleh pengarang pada akhirnya

bermuara pada gagasan mengenai kejayaan Asia Timur Raya.

Penutup

Dalam perkembangan awal, sastrawan Indonesia memanfaatkan

bahasa lisan, dan kemudian mengembangkannya menjadi bahasa

tulis. Itulah salah satu sebab mengapa terdapat berbagai ragam

penulisannya. Di samping itu, karya sastra umumnya disiarkan

lewat media cetak berkala, suatu hal yang menyebabkan dekatnya

hubungan antara fiksi dan fakta. Bahkan dalam ujudnya sebagai

buku pun, sebagian karya sastra dikait-kaitkan dengan “kejadian

yang sungguh-sungguh terjadi”—pernyataan yang tampaknya lebih

mengarah ke usaha untuk memikat pembaca. Penyiaran lewat

media cetak berkala, misalnya majalah berita, menumbuhkan sikap

yang “santai” dalam menghadapi sastra. Tentu saja ada usaha untuk

Page 71: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

71 PB

Kalam 25 / 2013

menjadikan sastra sejenis tulisan yang istimewa, tetapi sebagian besar

rupanya tidak begitu mempedulikan pembaruan stilistik, hal yang

justru menyebabkan hilangnya beban dalam proses penciptaannya.

Dalam situasi yang demikian itulah maka gagasan Kwee Tek Hoay

tentang penulisan puisi menjadi penting. Gagasan itu pada hemat

saya sebaiknya dibedakan dengan yang muncul di kalangan pengarang

yang berkerumun dalam majalah Pujangga Baru pada 1930-an dan

1940-an. Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-kawannya dengan

sadar meletakkan dasar-dasar pemikiran tentang penciptaan sastra,

oleh sebab itulah mereka menerbitkan majalah yang lain sama sekali

tujuan dan sifatnya dari yang dikelola oleh kalangan peranakan

Tionghoa sejak 1920-an.

Dalam kaitannya dengan penyebaran dan khalayaknya,

sebaiknya disadari bahwa gagasan dan hasil sastra yang dimuat dalam

majalah terbatas seperti Pujangga Baru jauh berbeda dari yang kita

dapati dalam majalah berita umum seperti Sin Po. Di samping itu,

majalah seperti Pujangga Baru tidak akan mampu bertahan kalau

hanya mengandalkan sumbangan dana dari pembacanya, suatu hal

yang berlainan dengan Sin Po, misalnya, yang tersebar jauh lebih luas.

Dalam Pujangga Baru, karya sastra adalah unsur utama dalam usaha

penerbitannya, dalam majalah umum sastra umumnya dianggap

sebagai “hiburan” atau pengisi halaman kosong—dan karenanya tidak

ditanggapi dengan sikap istimewa. Namun, ditinjau dari segi tertentu,

justru ciri itulah yang menyebabkan kesusastran bisa menjadi sangat

beragam dan kaya dalam kandungan maupun penyampaiannya.

Seperti halnya hasil tradisi lisan seperti pantun, sastra di majalah-

majalah umum tanpa ragu-ragu memanfaatkan segala jenis fungsi

yang berhak dimilikinya. Sastra bisa dimanfaatkan untuk merayu,

Page 72: Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan1

72 PB

Kalam 25 / 2013

menghina, memprotes, bermain-main, memberi nasihat, berdakwah,

dan segala jenis fungsi lain yang dimiliki oleh media lain—tanpa

mempertimbangkan nilai artistik dan estetik.

Dengan cara yang sama tetapi niat yang berbeda, pada 1950-an

dan 1960-an beberapa majalah berita seperti Mimbar Indonesia, Siasat,

dan Gelora menyediakan ruang khusus bagi karya sastra. Penyediaan itu

tentunya dilandasi oleh sikap yang berbeda dari yang terjadi sebelum

zaman Jepang dan Kemerdekaan. Majalah-majalah yang disebut itu

berusaha dengan sadar dan sungguh-sungguh menyediakan ruang

untuk membantu melaksanakan pembaruan kesusastraan. Majalah-

majalah di dua dasawarsa itu mempekerjakan orang-orang yang diberi

kewenangan dan tugas khusus untuk mengembangkan kesusastraan.

Tugas mereka berlainan dengan orang-orang lain yang memang

bekerja sebagai orang pers, meskipun sangat mungkin mereka adalah

juga seniman atau sastrawan. Di zaman kita ini, sejumlah majalah

gaya hidup menyediakan ruang khusus bagi sastra—bahkan ada

yang dengan teratur menyelenggarakan sayembara penulisan sastra.

Beberapa koran pun melakukan hal yang sama. Namun, tampaknya

tidak ada niat di kalangan penerbit majalah berita untuk melakukan

hal yang sama dengan yang telah dilaksanakan oleh majalah seperti

Siasat dan Mimbar Indonesia. Pada hemat saya, ini perkembangan yang

menarik untuk dijadikan bahan penelitian.