68
KETERGANTUNGAN PETANI TEMBAKAU TERHADAP SISTEM KEMITRAAN PERUSAHAAN DI DESA BANSARI, TEMANGGUNG ALFIANA RACHMAWATI DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

KETERGANTUNGAN PETANI TEMBAKAU TERHADAP … · tembakau memerlukan biaya yang tidak sedikit, ditambah cposisi petani yang kerap kali lemah baik dalam hal manajemen, profesionalisme,

Embed Size (px)

Citation preview

KETERGANTUNGAN PETANI TEMBAKAU TERHADAP

SISTEM KEMITRAAN PERUSAHAAN DI DESA BANSARI,

TEMANGGUNG

ALFIANA RACHMAWATI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ketergantungan Petani

Terhadap Sistem Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung adalah

benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Alfiana Rachmwati

NIM I34090006

ABSTRAK

ALFIANA RACHMAWATI. Ketergantungan Petani Tembakau terhadap Sistem

Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggun. Dibimbing oleh HERU

PURWANDARI.

Kemitraan adalah kerjasama yang dilakukan oleh petani tembakau dan

pabrik rokok. Sosialisasi adalah salah satu bagian dari sistem kemitraan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa hubungan kemitraan menimbulkan

ketergantungan petani terhadap pihak mitra. Ketergantungan tersebut membuat

petani sulit mengakses sumberdaya teknologi, finansial, dan pasar. Pada akhirnya,

petani tembakau memilih tidak bermitra dan bekerjasama dengan tengkulak. Saat

ini, petani lebih mudah mengakses kebutuhan produksi tembakau. Selain itu,

petani juga memiliki posisi tawar yang lebih tinggi saat tidak bermitra dengan

pabrik rokok.

Kata kunci: Kemitraan, Ketergantungan, Sosialisasi, Tingkat Akses

ABSTRACT

ALFIANA RACHMAWATI. Dependency Of Tobacco Farmers in Company

Partnership System in Bansari Village, Temanggung. Supervised by HERU

PURWANDARI.

Partnership system is a collaboration by tobacco farmers and cigarette factory.

Socialization is one of part in partnership system. The result showed that

partnership system can raise the dependence of farmers on the partner. That

dependence will make it difficult for farmers to access technological, financial,

and market resources. Finally, the farmers choose to not partnering and make a

collaboration with middleman. Currently, the farmers get easier to access tobacco

production needs. In addition, the farmers also have higher bargaining position

when not partnered with cigarette factory

Keywords: Access Level, Dependency, Partnership, Socialization

KETERGANTUNGAN PETANI TEMBAKAU TERHADAP

SISTEM KEMITRAAN PERUSAHAAN DI DESA BANSARI,

TEMANGGUNG

ALFIANA RACHMAWATI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

Judul Skripsi : Ketergantungan Petani Tembakau Terhadap Sistem Kemitraan

Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung, Jawa Tengah

Nama : Alfiana Rachmawati

NIM : I34090006

Disetujui oleh

Heru Purwandari, SP, M.Si

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Siti Amanah, MSc

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi : Ketergantungan Petani Tembakau Terhadap Sistem Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung, Jawa Tengah

Nama : Alfiana Rachmawati NIM : 134090006

Disetujui oleh

Hem Purwandari, SP, M.Si Pembimbing

Tanggal Lulus: 2 7 DEC 2013

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini ialah

ketergantungan, dengan judul Ketergantungan Petani Terhadap Sistem Kemitraan

Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi

syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan

Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih dan rasa hormat yang mendalam penulis ucapkan kepada Ibu

Heru Purwandari selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak

masukan, dukungan, dan selalu sabar membimbing penulis untuk menyelesaikan

skripsi ini. Terima kasih mendalam juga penulis sampaikan untuk Bapak Rilus A.

Kinseng selaku dosen penguji utama, dan Ibu Anna Fatchiya selaku dosen penguji

akademik, yang telah memberi masukan selama proses ujian skripsi. Terima kasih

untuk Bapak Zainal selaku Kepala Desa Bansari, Bapak Rofi’i selaku Kepala

Dusun Banaran dan seluruh warga Dusun Banaran, Bansari yang telah membantu

dan menerima penulis dengan sangat baik selama proses pengambilan data lapang.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga tercinta, ayahanda Alwi

Romadlon, ibunda Afifah Nurhayati, Adik Alfian Hamam Akbar yang telah

memberikan doa, kasih sayang, serta dukungan yang besar kepada penulis. Tidak

lupa kepada teman satu bimbingan, Firda Emiria Utami dan Yanitha Rahmasari

yang telah banyak membantu, memberikan kritik dan saran untuk menyelesaikan

skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh teman-teman

di SKPM 46, BEM KM IPB 2013 “Kreasi Untuk Negeri”, dan KOMINFO BEM

KM IPB 2013 yang telah bersedia menjadi teman berdiskusi dan bertukar opini

serta pemberi semangat dengan sukarela. Akhir kata semoga karya ilmiah ini

dapat bermanfaat bagi banyak pihak yang telah membacanya.

Bogor, Januari 2014

Alfiana Rachmawati

NIM I34090006

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

PENDEKATAN TEORITIS 5

Pola-Pola Kemitraan 5

Sosialisasi, Pembinaan dan Pengembangan 6

Analisis Stakeholder dan Pola Hubungan yang Terbentuk 7

Posisi Petani dalam Kemitraan 9

Mekanisme Ketergantungan 10

Kerangka Pemikiran 12

Hipotesis Penelitian 12

Definisi Konseptual 13

Definisi Operasional 13

METODE PENELITIAN 15

Pendekatan Penelitian 15

Lokasi dan Waktu 15

Penentuan Responden dan Informan Penelitian 16

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 16

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 17

Kondisi Geografis dan Infrastruktur Desa 17

Kependudukan Desa Bansari 18

Tingkat Akses Petani terhadap Teknologi, Finansial, dan Pasar 22

MEKANISME HUBUNGAN KEMITRAAN DAN POSISI PETANI DALAM

KEMITRAAN 27

Stakeholder dan Peran yang dilakukan 27

Penerimaan terhadap Sosialisasi 28

Tingkat Akses Petani 29

Hubungan Penerimaan Sosialisasi dan Tingkat Akses Petani 31

Hubungan Tingkat Ketergantungan dan Tingkat Akses Petani 33

KETERGANTUNGAN PETANI PADA TEMBAKAU 37

Sosialisasi, Akses, dan Ketergantungan 37

Kemitraan, Ketergantungan, dan Perubahan pada Petani Tembakau 38

Ketergantungan Petani pada Tembakau 40

SIMPULAN DAN SARAN 43

Simpulan 43

Saran 43

DAFTAR PUSTAKA 45

LAMPIRAN 47

RIWAYAT HIDUP 55

x

DAFTAR TABEL

1 Perbedaan Pola Hubungan Kemitraan Daerah 9

2 Penggunaan lahan Desa Bansari 17

3 Jumlah penduduk menurut kelompok umur tahun 2012 18

4 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan tahun 2012 18

5 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian 19

6 Jumlah dan persentase hubungan mitra petani tembakau Desa Bansari 20

7 Perbedaan 18 responden saat bermitra dan tidak bermitra 21

8 Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial, dan

pasar tahun 2011 22

9 Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial, dan

pasar tahun 2012 22

10 Jumlah dan persentase petani dalam menyiapkan modal 24

11 Jumlah dan persentase responden menurut penerimaan terhadap sosialisasi 28

12 Jumlah dan persentase penerimaan jenis sosialisasi oleh responden, Desa

Bansari 28

13 Jumlah dan persentase tingkat akses petani Desa Bansari 29

14 Perbedaan tingkat akses 18 responden di tahun 2011 dan 2012 30

15 Hubungan penerimaan sosialisasi dan tingkat akses petani 31

16 Hubungan tingkat ketergantungan petani dan tingkat akses 33

17 Perbedaan petani bermitra dan tidak bermitra 37

18 Perbedaan kondisi ketergantungan 18 responden saat bermitra (2011) dan

tidak bermitra (2012) 39

19 Jadwal Penelitian tahun 2013 48

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 12

2 Rantai pemasaran tembakau 35

3 Masa tanam lahan Desa Bansari 40

4 Ketergantungan pada tembakau 41

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Temanggung, Jawa Tengah 47

2 Jadwal Penelitian 48

3 Data Responden 49

4 Kuesioner 50

5 Dokumentasi 54

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Fenomena ketergantungan dalam sejarah ekonomi Indonesia dapat ditelusuri

dari kondisi perkebunan. Sejak kemunculannya pada masa kolonial, karakteristik

perkebunan tampak khas karena disamping memiliki ciri struktur internal negara

yang terkait dengan produksi dan tenaga kerja, juga terlibat dengan dunia luar dan

terintegrasi dengan sistem ekonomi dunia (Purwandari 2011). Perkebunan sebagai

salah satu sub-sektor pertanian, memainkan peranan penting bagi penerimaan

devisa negara yaitu dengan meningkatkan pendapatan petani perkebunan rakyat,

meningkatkan ekspor dan devisa negara, memperluas tenaga kerja, serta

optimalisasi pemanfaatan sumberdaya tanpa meninggalkan usaha-usaha

pelestariannya (Heriyanto 2000). Sari (2008) menambahkan bahwa salah satu

diantara komoditi perkebunan yang mempunyai peran penting tersebut adalah

tembakau.

Menurut data FAO (2002) dalam Widiyanto (2009) secara internasional,

Indonesia adalah salah satu dari sepuluh negara terbesar produsen daun tembakau.

Kontribusi Indonesia sekitar 15.000 ton daun tembakau atau 2,3% suplai dunia.

Selain itu, industri tembakau juga mampu menyediakan lapangan kerja, baik

secara langsung maupun tidak langsung bagi sekitar 6,4 juta orang meliputi 2,3

juta petani tembakau, 1,9 juta petani cengkeh, serta 900.000 orang yang bekerja di

sektor lembaga keuangan, percetakan, dan transportasi (Mukani dan Murdiyati

(2003) dalam Mamat (2006).

Industri tembakau memang dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi

petani. Tetapi, Hafsah (2003) dalam Latifah (2010) mengatakan bahwa budidaya

tembakau memerlukan biaya yang tidak sedikit, ditambah cposisi petani yang

kerap kali lemah baik dalam hal manajemen, profesionalisme, akses terhadap

permodalan, teknologi dan jaringan pemasaran. Oleh karena itu, diperlukan peran

serta pengusaha besar (pemilik modal) untuk membantu mengembangkan

usahatani petani kecil dalam bentuk kemitraan.

Kemitraan yang terjalin haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada.

Hal ini dijabarkan dalam UU No.18 tahun 2004 pasal 22, yaitu perusahaan

perkebunan melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling

menghargai, saling bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling

ketergantungan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar perkebunan.

Kemitraan usaha perkebunan polanya dapat berupa kerja sama penyediaan sarana

produksi, kerja sama produksi, pengelolaan dan pemasaran, transportasi,

operasional, kepemilikan saham, dan jasa pendukung lainnya. Penjabaran lain

juga dijelaskan dalam UU No.9 Tahun 1995 bahwa kemitraan adalah kerja sama

usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai

pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan

memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling

menguntungkan. Dalam kerjasama tersebut tersirat adanya satu bentuk

pembinaan dan pengembangan dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil

atau koperasi (Hakim 2004).

2

Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Temanggung, Jawa Tengah adalah salah

satu desa dengan penduduk yang setiap tahunnya selalu menanam tembakau.

Hubungan kemitraan dengan perusahaan juga pernah dialami oleh petani

tembakau di desa ini, salah satunya pada tahun 2011 bersama PT. Djarum. Pola

kemitraan yang terjalin adalah hubungan produksi, dimana petani hanya menjual

hasil panen tembakau kepada pabrik. Harga jual daun tembakau pun sudah

ditentukan pabrik. Sedangkan, semua kebutuhan selama proses produksi disiapkan

secara mandiri oleh petani sesuai dengan ketentuan yang diinginkan mitra.

Kemitraan yang terjalin antara petani dengan perusahaan bergantung pada

bagaimana perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Tetapi, kemitraan yang

terjadi selama ini masih terkesan menempatkan petani dalam posisi yang lemah.

Dimana petani hanya melakukan kegiatan produksi saja sesuai standar yang

diinginkan oleh perusahaan sehingga petani tidak dapat mengelola sendiri

kegiatan usahataninya (Susrusa dan Zulkifli 2009). Bachriadi (1995)

menambahkan dalam model contract farmingnya ada hubungan produksi yang

mengikat petani untuk menyediakan/menjual sejumlah hasil pertaniannya dalam

batasan-batasan tertentu (harga, mutu, dan jumlah). Pada banyak kasus, petani

tidak dapat terlibat di pasar bebas untuk kelebihan komoditi yang dimiliki, karena

akses tersebut tidak mereka miliki.

Tetapi keadaan ini tidak terjadi pada petani Garut. Kertawati (2008)

menjelaskan bahwa pola kemitraan yang terjadi di Garut adalah keterikatan

perjanjian modal dengan pabrik. Petani yang terikat perjanjian modal memilih

sistem ini dengan alasan sudah saling mengenal lama sehingga tumbuh

kepercayaan, lokasinya pun lebih dekat, dan adanya keterikatan modal. Walaupun

kondisi seperti ini membuat petani tidak dapat menjual bebas hasil produksinya

kepada pembeli lain. Penentuan harga pun juga ditentukan oleh pembeli (PT

Djarum). Berbeda dengan petani yang tidak terikat dengan modal, petani memilih

jalur ini karena dapat melakukan tawar menawar harga dengan pedagang

pengumpul, sehingga harga yang diperoleh berdasarkan kesepakatan dan dapat

menjual tembakaunya kepada pembeli manapun. Penentuan harga jual ditentukan

berdasarkan kesepakatan antara petani dan pembeli. Selama proses

pelaksanaannya, banyak petani yang lebih memilih bermitra karena pola saluran

tataniaga yang pendek dan sudah ada jaminan penjualan tembakau.

Para petani mencoba untuk tetap bertahan dalam kondisi dan situasi ini,

karena pilihan untuk keluar mengharuskan diri untuk berhadapan dengan

sejumlah kepentingan ekonomi, sosial, dan politik yang lebih besar dari sekedar

usaha produksi. Apabila melihat kepentingan setiap aktor yang terlibat dalam

proses kemitraan, tampak bahwa posisi petani seperti terjepit dalam kondisi yang

bergantung dengan setiap pemberian bantuan dari pihak mitra. Hal ini dapat

dikarenakan dominasi pihak mitra dalam keterlibatan proses pengembangan usaha

produksi petani tembakau. Bachriadi (1995) melanjutkan, secara psikologis pun

sulit bagi petani untuk membebaskan diri dari struktur ini, kecuali jika ingin

kembali ke kesulitan-kesulitan masa lalu. Akibatnya tentu saja posisi tawar

menawar petani sangat rendah di hadapan pemberi kontrak. Oleh karena itu,

diciptakanlah sistem-sistem yang membuat petani terus menerus tergantung secara

teknologi, finansial dan pasar terhadap pihak mitra. Hal ini menimbulkan

pertanyaan sejauh mana kemitraan berpengaruh terhadap ketergantungan

petani tembakau pada pilihan produksi dan hubungan yang terbentuk.

3

Perumusan Masalah

Pola pengembangan tembakau yang kerap kali ditemui adalah menjalin

kemitraan dengan pihak yang dianggap menguntungkan. Berbagai jenis pola

kemitraan banyak berkembang di setiap daerah dengan ciri khas masing-masing.

Setiap pola juga melibatkan berbagai macam pihak yang dapat membantu

mencapai hasil maksimal. Oleh karena itu, timbul pertanyaan bagaimana

mekanisme kemitraan terbentuk dan siapa saja stakeholder yang terlibat? Tanpa bantuan pihak mitra, petani sulit untuk masuk dan menembus pasar

global. Faktor pembinaan, teknologi, finansial, dan akses pasar diduga menjadi

alasan terciptanya pola kemitraan pada usaha produksi tembakau. Berbagai jenis

bantuan dari mitra kerap kali diterima petani walau jumlahnya tidak banyak.

Tetapi, dengan bantuan yang diterima, umumnya petani akan bergantung pada

pihak mitra, karena penjualan dan harga jual biasanya sudah ditentukan oleh

mitra. Melihat kondisi ini, timbul pertanyaan bagaimana posisi petani dalam

hubungan kemitraan? Pada saat petani sudah bermitra, akan sulit bagi petani untuk keluar dari

lingkaran kemitraan. Lingkaran ini biasanya dibuat dan dikondisikan oleh pihak

mitra agar proses produksi dapat dikontrol dengan baik. Tetapi, saat kemitraan ini

sudah berakhir masa kontrak dan tidak lagi diperpanjang, maka petani harus

menyiapkan segala kebutuhan produksi tembakau secara mandiri. Hal ini menjadi

menarik dengan timbulnya pertanyaan bagaimana perubahan yang terjadi pada

petani ketika tidak lagi bermitra?

Tujuan Penelitian

Merujuk pada perumusan masalah yang ada, tujuan dari pelaksanaan

penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui pembentukan mekanisme kemitraan dan stakeholder yang

terlibat

2. Mengetahui posisi petani dalam hubungan kemitraan

3. Menganalisis perubahan yang terjadi pada petani ketika tidak lagi bermitra

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai

kalangan, diantaranya:

1. Peneliti dan civitas akademika, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

tambahan pengetahuan mengenai sejauh mana ketergantungan petani

tembakau terhadap sistem kemitraan yang ada.

2. Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terutama

masyarakat sekitar untuk mengetahui ketergantungan petani tembakau

terhadap sistem kemitraan yang ada.

3. Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman untuk

membuat regulasi mengenai pertanian terutama penanaman tembakau.

PENDEKATAN TEORITIS

Pola-Pola Kemitraan

Kemitraan menjadi salah satu solusi dalam pelaksanaan pengembangan

usaha pertanian. Sebagai wujud dari keterkaitan usaha dalam rangka

merealisasikan kemitraan, maka diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai

dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan sesuai dengan UU No. 9 Tahun

1995. Pola ini dapat membantu perusahaan maupun petani dalam melakukan

kerjasama kemitraan. Pola yang dimaksud, diantaranya:

1. Pola Inti Plasma

Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (a) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun

1995, yang dimaksud dengan “pola inti plasma adalah hubungan kemitraan

antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang

didalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar bertindak sebagai inti dan

Usaha Kecil selaku plasma, perusahaan ini melaksanakan pembinaan mulai

dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis, sampai dengan

pemasaran hasil produksi.”

2. Pola Subkontrak

Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (b) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun

1995 bahwa “pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil

dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Kecil

memproduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha

Besar sebagai bagian dari produksinya.” Selanjutnya menurut Soewito (1992)

dalam Hakim (2004), pola subkontraktor adalah suatu sistem yang

menggambarkan hubungan antara usaha besar dengan usaha kecil atau

menengah, dimana usaha besar sebagai perusahaan induk (parent firma)

meminta kepada usaha kecil atau menengah selaku subkontraktor untuk

mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan (komponen) dengan tanggung

penuh pada perusahaan induk. Dapat pula dikatakan bahwa dalam pola

subkontrak, usaha kecil memproduksi barang dan atau jasa yang merupakan

komponen atau bagian produksi usaha menengah atau usaha besar. Oleh

karena itu, maka melalui kemitraan ini usaha menengah dan atau usaha besar

memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada usaha kecil untuk

membeli bahan baku yang diperlukan secara berkesinambungan dengan harga

yang wajar.

3. Pola Dagang Umum

Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (c) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun

1995, “pola dagang umum adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil

dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha

Menengah atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi Usaha Kecil atau

Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau

Usaha Besar mitranya”. Dengan demikian maka dalam pola dagang umum,

usaha menengah atau usaha besar memasarkan produk atau menerima

pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang

diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar mitranya.

6

4. Pola Keagenan

Berdasarkan penjelasan Pasal 27 huruf (e) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun

1995 “pola keagenan adalah hubungan kemitraan, yang di dalamnya Usaha

Kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa Usaha Menengah

atau Usaha Besar mitranya”. Dalam pola keagenan, usaha menengah dan atau

usaha besar dalam memasarkan barang dan jasa produknya memberi hak

keagenan hanya kepada usaha kecil. Dalam hal ini usaha menengah atau

usaha besar memberikan keagenan barang dan jasa lainnya kepada usaha

kecil yang mampu melaksanakannya.

5. Pola Waralaba

Menurut Penjelasan Pasal 27 Huruf (d) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun

1995 “pola waralaba adalah hubungan kemitraan, yang di dalamnya pemberi

waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran

distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan

bimbingan manajemen”. Berdasarkan pada ketentuan seperti tersebut di atas,

dalam pola waralaba, pemberi waralaba memberikan hak untuk menggunakan

hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri usaha kepada penerima

waralaba.

Sosialisasi, Pembinaan dan Pengembangan

Menurut UU No.9 Tahun 1995, kemitraan adalah kerja sama usaha antara

usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan

dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan

memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling

menguntungkan. Dari definisi kemitraan sebagaimana tersebut di atas, mengandung

makna sebagai tanggung jawab moral pengusaha menengah/besar untuk membimbing

dan membina pengusaha kecil mitranya agar mampu mengembangkan usahanya

sehingga mampu menjadi mitra yang handal untuk menarik keuntungan dan

kesejahteraan bersama. Bobo (2003) dalam Hakim (2004) menyatakan bahwa

tujuan utama kemitraan adalah untuk mengembangkan pembangunan yang

mandiri dan berkelanjutan (Self-Propelling Growth Scheme) dengan landasan dan

struktur perekonomian yang kukuh dan berkeadilan dengan ekonomi rakyat

sebagai tulang punggung utamanya.

Dalam kerjasama tersebut tersirat adanya satu pembinaan dan

pengembangan. Hakim (2004) kembali menjelaskan bahwa yang membedakan

hubungan kemitraan dengan hubungan dagang biasa oleh pengusaha kecil dengan

pengusaha besar adalah adanya bentuk pembinaan dari pengusaha besar terhadap

pengusaha kecil atau koperasi yang tidak ditemukan pada hubungan dagang biasa.

Bentuk pembinaan dalam kemitraan antara lain pembinaan didalam mengakses

modal yang lebih besar, manajemen usaha, peningkatan Sumber Daya Manusia

(SDM), manajemen produksi, mutu produksi serta pembinaan didalam

pengembangan aspek institusi kelembagaan dan fasilitas alokasi serta investasi.

Menurut penjelasan UU No. 9 Tahun 2005 pasal 14 juga menjabarkan dalam

hubungan kemitraan, pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melakukan

pembinaan dan pengembangan usaha kecil dalam bidang pemasaran, sumber daya

manusia, teknologi, produksi dan pengolahan. Oleh karena itu, pembinaan dan

pengembangan skill petani tembakau menjadi salah satu bagian dari proses

7

kemitraan yang dilakukan dengan pihak mitra. Pembinaan ini dapat dilakukan

dengan cara melakukan proses sosialisasi berbagai faktor yang diperlukan dalam

pengembangan produksi tanam tembakau.

Analisis Stakeholder dan Pola Hubungan yang Terbentuk

Crosby (1992) dalam Iqbal (2007) mengatakan bahwa secara garis besar,

pemangku kepentingan dapat dibedakan atas tiga kelompok, yaitu:

1. Pemangku kepentingan utama, yakni yang menerima dampak positif atau

negatif (di luar kerelaan) dari suatu kegiatan.

2. Pemangku kepentingan penunjang, adalah yang menjadi perantara dalam

membantu proses penyampaian kegiatan. Mereka dapat digolongkan atas pihak

penyandang dana, pelaksana, pengawas, dan organisasi advokasi seperti

organisasi pemerintahan, LSM, dan pihak swasta. Dalam beberapa kegiatan,

pemangku kepentingan penunjang dapat merupakan perorangan atau kelompok

kunci yang memiliki kepentingan baik formal maupun informal.

3. Pemangku kepentingan kunci, yakni yang berpengaruh kuat atau penting

terkait dengan masalah, kebutuhan, dan perhatian terhadap kelancaran

kegiatan.

Stakeholder atau pemangku kepentingan menjadi pihak yang berperan

dalam pelaksanaan pemasaran tembakau petani yang sudah dipanen. Menurut

Iqbal (2007) dalam konteks sektor pertanian, secara organisasi pemangku

kepentingan dapat dikategorikan dalam lingkup yang lebih luas, yakni

pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), sektor swasta, dan komunitas.

Secara perorangan atau kelompok, pemangku kepentingan mencakup aparat

pemerintah (lingkup nasional hingga lokal), peneliti, penyuluh, petani (kontak

tani, pemilik, penggarap, buruh tani), pedagang (sarana produksi dan hasil

pertanian), penyedia jasa (alsintan dan transportasi), dan pihak pihak terkait

lainnya. Sedangkan dalam sistem perdagangan tembakau, menurut Fathorrahman

dan Nasikun (2004) terdapat empat kelompok, yaitu tauke, juragan, bandol, dan

petani. Sistem perdagangan yang melibatkan kelompok tersebut cenderung

menampakkan hubungan superioritas struktural.

Pola kemitraan perdagangan tembakau dapat menjadi salah satu cara

merangkai stakeholder yang terlibat didalamnya. Menurut UU No.9 Tahun 1995,

kemitraan adalah kerja sama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah

atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha

menengah atau usaha besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan,

saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Harjono dalam Fadloli (2005)

dalam Rochmatika (2006) menambahkan bahwa kemitraan diciptakan karena

pihak pertama memerlukan sumber-sumber yang dimiliki pihak lain meliputi

modal, tanah, tenaga kerja, akses terhadap teknologi baru, kapasitas pengolahan

dan outlet untuk pemasaran hasil produksi.

Pola kemitraan ini dijelaskan oleh Santoso (2001) bahwa di Madura terdapat

dua sistem perdagangan tembakau, yaitu sistem perdagangan tembakau pasaran,

dan sistem perdagangan tembakau melalui juragan dan bandol. Sistem

perdagangan tembakau pasaran adalah cara penjualan tembakau pada hari

pasaran yaitu Minggu, Selasa dan Jumat dimana petani membawa hasil panen

tembakaunya untuk dijual di pasar. Sistem perdagangan tembakau yang kedua

8

melalui juragan dan bandol. Juragan adalah orang yang dipercaya oleh pabrik

rokok untuk membeli tembakau. Juragan ini biasanya dibantu oleh bandol yang

bertugas untuk mendapatkan tembakau dari para petani.

Sebagai upaya untuk mewujudkan kemitraan usaha yang mampu

memberdayakan ekonomi rakyat sangat dibutuhkan adanya kejelasan peran

masing-masing pihak yang terlibat dalam kemitraan tersebut. Rochmatika (2006)

menjelaskan dalam tulisannya bahwa peran pengusaha besar dalam bermitra yaitu

melaksanakan pembinaan dan pengembangan kepada pengusaha kecil dalam hal

(a) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pengusaha kecil seperti pelatihan,

permagangan, dan keterampilan teknis produksi, (b) menyusun rencana usaha

dengan pengusaha mitra untuk disepakati bersama, (c) bertindak sebagai

penyandang dana atau penjamin kredit, (d) memberikan pelayanan dan

penyediaan sarana produksi untuk keperluan usaha, (e) menjamin pembelian hasil

produksi pengusaha mitra sesuai kesepakatan, (f) promosi hasil produksi untuk

mendapatkan pasar yang baik, dan (g) pengembangan teknologi yang mendukung

pengembangan usaha dan keberhasilan kemitraan.

Berbeda dengan kemitraan di Kabupaten Pamekasan daerah tegalan dan

sawah yang dilakukan bersama pabrik rokok Gudang Garam. Pihak pabrik

menyediakan input seperti pupuk, bibit, pestisida dan pembinaan untuk petani.

Akan tetapi, jumlah petani yang terlibat dengan kemitraan ini sedikit karena

jumlah tenaga kerja yang banyak dapat mengurangi inefisiensi produksi

tembakau. Jika dibandingkan dengan jumlah petani yang bermitra, petani

tembakau swadaya di daerah tegalan dan sawah jumlahnya jauh lebih besar hanya

dengan mengandalkan tenaga kerja dari dalam keluarga. Hal ini disebabkan

karena tenaga kerja yang tidak memiliki lahan sebagian besar bermigrasi keluar

daerah (Fauziah et al. 2010).

Lain halnya dengan hasil yang ditunjukkan Kertawati (2008) bahwa di

Kabupaten Garut mengkategorikan tataniaga tembakau atas keterikatan modal

kepada pembeli. Garut memiliki dua macam saluran tataniaga tembakau yaitu

petani yang tidak terikat perjanjian modal dan petani yang terikat perjanjian

modal. Petani yang terikat perjanjian modal adalah petani yang terikat ketentuan

menjual hasil produksinya hanya pada pembeli tertentu saja. Biasanya petani

menjual langsung kepada bandar/supplier dan kemudian langsung dikirim ke

pabrik rokok (dalam saluran ini PT Djarum). Berbeda dengan petani yang tidak

terikat dengan modal, petani dapat melakukan tawar menawar harga dengan

pedagang pengumpul, sehingga harga yang diperoleh berdasarkan kesepakatan

dan dapat menjual tembakaunya kepada pembeli manapun.

Uraian diatas menunjukkan bahwa terjadi pola hubungan antara stakeholder

yang terlibat. Merujuk pada berbagai sumber, stakeholder yang terlibat dalam

perdagangan tembakau adalah pabrik rokok/pembeli, juragan, bandol/bandar, lalu

petani sebagai pihak penyedia tembakau. Pola hubungan yang terbentuk antar

stakeholder ini terlihat dari pola kemitraan yang terjadi pada masing-masing

daerah. Akan tetapi tidak semua petani melibatkan diri dalam proses kemitraan

yang ditawarkan oleh pabrik rokok dengan alasan dapat menjualnya kepada

siapapun.

9

Tabel 1 Perbedaan Pola Hubungan Kemitraan Daerah

Daerah Stakeholder Kategori Proses Mitra Proses Non-mitra

Madura Pabrik rokok,

juragan,

bandol, petani

Pemasaran Melalui bandol

juragan

pabrik rokok

Penjualan

dilakukan secara

langsung di pasar

Pameka

san

Petani dan

pabrik rokok

Tenaga

kerja

Bekerjasama

dengan PT

Gudang Garam

Swadaya keluarga

Garut Petani dan

pembeli

Pendanaan Petani terikat

perjanjian modal

Petani tidak terikat

perjanjian modal

Posisi Petani dalam Kemitraan

Petani tembakau sebagai pihak yang menjalankan proses produksi tentunya

menjadi ujung tombak bagi industri besar rokok. Bachriadi (1995) memberikan

beberapa prasyarat agar petani dapat tetap berkembang (berkembang dalam

ketergantungan) dalam sistem ini, yaitu:

a. Stabilnya harga jual olahan pihak inti di pasar eksternal yang nilainya relatif

lebih tinggi dibanding biaya produksi minimal yang telah ditetapkan pihak

inti.

b. Tersedianya manajemen usaha bagi pihak inti.

c. Ada transfer teknologi dari pihak inti kepada petani yang berlangsung dengan

lancar dan berkesinambungan

d. Tersedianya modal usaha yang cukup untuk petani memulai usaha

produktifnya

Seluruh prasyarat tersebut pada akhirnya memang jatuh pada pihak inti,

karena pada jalinan hubungan produksi ini mereka lebih dominan. Sifat dominan

itulah yang menempatkan petani pada posisi pasif di dalam kerangka hubungan

produksi. Kepasifan petani ini dapat terlihat melalui hubungan kemitraan yang

terjalin dengan perusahaan rokok. Susrusa dan Zulkifli (2009) mencantumkan

sebuah pendapat yang menyatakan bahwa kemitraan yang terjadi selama ini masih

terkesan menempatkan petani dalam kondisi yang sangat lemah. Dimana petani

diharuskan untuk melaksanakan kegiatan usahatani sesuai analisa yang dibuat

perusahaan, sehingga petani tidak dapat bertindak sebagai manajer dalam

usahataninya melainkan hanya sebagai buruh tani yang memperoleh upah (bukan

keuntungan). Kesan ini muncul karena kegiatan usahatani dilakukan oleh petani

mitra, sedangkan evaluasi kinerja kemitraan hanya dilakukan pihak perusahaan

terhadap petani mitra. Selain itu masih ada kesepakatan-kesepakatan dalam

kemitraan yang dilaksanakan perusahaan mitra belum sesuai dengan harapan.

Sebagai contoh pelayanan dan fasilitas yang diberikan perusahaan dalam

kemitraan dinilai belum optimal, sehingga petani hanya merasa cukup puas

selama proses kemitraan yang berlangsung.

Tetapi keadaan ini tidak terjadi pada petani Garut. Kertawati (2008)

menjelaskan bahwa pola kemitraan yang terjadi di Garut adalah keterikatan

perjanjian modal dengan pabrik. Petani yang terikat perjanjian modal memilih

sistem ini dengan alasan sudah saling mengenal lama sehingga tumbuh

kepercayaan, lokasinya pun lebih dekat, dan adanya keterikatan modal. Walaupun

kondisi seperti ini membuat petani tidak dapat menjual bebas hasil produksinya

10

kepada pembeli lain. Penentuan harga pun juga ditentukan oleh pembeli (PT

Djarum) dan petani tidak memiliki kekuatan dalam menentukan harga. Berbeda

dengan petani yang tidak terikat dengan modal, petani memilih jalur ini karena

dapat melakukan tawar menawar harga dengan pedagang pengumpul, sehingga

harga yang diperoleh berdasarkan kesepakatan dan dapat menjual tembakaunya

kepada pembeli manapun. Penentuan harga jual ditentukan berdasarkan

kesepakatan antara petani dan pembeli. Selama proses pelaksanaannya, banyak

petani yang lebih memilih bermitra karena pola saluran tataniaga yang pendek dan

sudah ada jaminan penjualan tembakau.

Kepasifan petani yang lain dalam hubungan kemitraan adalah organisasi

petani atau kelompok tani. Bachriadi (1995) mengatakan bahwa salah satu

mekanisme yang diupayakan dalam penerapan contract farming adalah

pengontrolan organisasi petani plasma. Petani plasma selalu diatur untuk

berorganisasi hanya dalam batas-batas yang telah ditetapkan pihak inti.

Pembatasan-pembatasan dalam organisasi petani selain untuk meredam keresahan

petani juga diperlukan perusahaan untuk mempermudah operasionalisasi

pengelolaan hubungan produksi. Pihak inti bersinggungan langsung dengan petani

pada saat penyuluhan, penimbangan hasil, atau pengukuran mutu/nilai hasil

produksi petani. Bahkan dalam penyuluhan pun pihak inti hanya memberikannya

kepada ketua-ketua kelompok tani saja. Dengan kata lain model pengorganisasian

petani lebih ditujukan untuk menunjang proses hubungan produksi antara pihak

inti dan plasma dalam perspektif kepentingan pihak inti.

Uraian diatas menunjukkan bahwa posisi petani dalam mekanisme

kemitraan ini sebenarnya kurang diuntungkan. Petani cenderung pasif dalam

setiap pengambilan keputusan produksinya. Penentuan harga dan evaluasi

kemitraan pun hanya dilakukan oleh pabrik rokok. Bachriadi (1995)

menambahkan bahwa dampak hubungan ketergantungan dalam contract farming

cenderung negatif untuk pihak plasma, karena cenderung eksploitatif dan

merampas hak berusaha dari plasma sepenuhnya, sehingga perkembangan sosial

mereka pun terhambat. Pihak plasma yang dimaksud dalam hal ini adalah petani

tembakau.

Mekanisme Ketergantungan

Purwandari (2011) mengatakan bahwa terkait dengan konteks hubungan

ekonomi Indonesia dengan negara maju, pencapaian pertumbuhan sub-sektor

perkebunan dilakukan dengan cara meningkatkan permodalan, bahan baku dan

sistem produksi, serta sistem pemasaran. Dari perkembangannya, terlihat bahwa

perkebunan menjadi sektor yang penting dalam menopang perekonomian

Indonesia. Namun sayangnya, perkebunan memberi peluang bagi terciptanya

ketergantungan negara produsen terhadap negara maju.

Secara mikro, peluang terciptanya ketergantungan ini ditunjukkan dengan

hubungan produksi antar pihak-pihak yang bermitra. Bachriadi (1995)

menjelaskan bahwa, bagi petani hubungan produksi memang memberikan satu

kesempatan dan ruang untuk berkembang. Namun, perkembangan yang dapat

dinikmati ini bersifat bergantung. Artinya, petani memasuki satu kondisi dimana

perkembangan tersebut sangat ditentukan oleh pihak lain, baik arah, orientasi,

bentuk, maupun watak. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan

11

proses sosialisasi yang diberikan oleh pihak mitra kepada petani tembakau.

Sosialisasi yang diberikan ini pada akhirnya akan mengikat petani dalam

memperoleh dan memilih faktor penentu proses produksi yang dibutuhkan selama

penanaman tembakau.

Kembali Bachriadi (1995) menjelaskan bahwa mengikat petani dalam

situasi ketergantungan finansial dan teknologi bisa dianggap sebagai satu

mekanisme yang mereka ciptakan untuk mengontrol proses produksi.

Pengontrolan proses produksi ini sangat penting untuk mencapai hasil yang sesuai

dengan keinginan mereka. Sebagai bentuk pengontrolan proses produksi, pihak

inti merencanakan menyediakan seluruh paket teknologi dan pembiayaannya.

Proses pengontrolan produksi ini dapat terlihat melalui pola kemitraan Di

Kabupaten Bojonegoro dimana PT Gudang Garam sebagai perusahaan yang

melakukan kemitraan dengan petani tembakau dapat memberikan suplai barang

produksi yang dibutuhkan petani. Latifah (2010) menjabarkannya dengan

pemberian pinjaman modal yang diberikan tepat waktu dan tidak terlambat sesuai

dengan kebutuhan petani. Selain itu, PT Gudang Garam juga menyiapkan

pengadaan saprodi, seperti benih, pupuk, pestisida, dan teknologi yang digunakan.

Penyediaan berbagai sumberdaya ini dilakukan sebagai salah satu cara

untuk menimbulkan perasaan tergantung petani. Kotter (2001) mengungkapkan

metode yang kerap kali digunakan oleh para manajer untuk menciptakan rasa

ketergantungan orang lain. Hal ini dilakukan dengan cara manajer

mengidentifikasi serta menjamin (jika perlu) beraneka sumberdaya yang

dibutuhkan orang lain untuk melakukan pekerjaannya, sumberdaya yang tidak

dimilikinya, serta sumberdaya yang tidak tersedia dimana-mana. Menurut Latifah

(2010) masalah modal awal, fluktasi harga, sarana produksi, harga jual hasil

produksi, persaingan antar petani tembakau besar dan kecil, minimnya teknologi

dan kesulitan akan akses pasar yang lebih luas dalam menyalurkan hasil panen

tembakaunya adalah permasalahan sumberdaya yang sulit dijangkau oleh petani.

Kertawati (2008) juga menjelaskan kesulitan akses sumberdaya ini menjadi

alasan petani untuk melakukan kemitraan bersama dengan perusahaan rokok

besar. Petani Garut yang terikat modal dapat menjual langsung kepada

bandar/supplier dan langsung dikirim ke pabrik rokok. Cara penjualan ini dipilih

sebagian besar petani karena petani telah meminjam modal untuk kegiatan

usahataninya kepada pembeli dan hasil yang diperoleh diserahkan kepada

pedagang tersebut sesuai dengan modal yang telah dipinjamnya dulu.

Bandar/supplier dalam saluran ini menentukan harga berdasarkan informasi dari

pabrik rokok. Dalam kondisi demikian petani tidak dapat menjual bebas kepada

pembeli lain.

Ketergantungan petani terhadap finansial dan teknologi juga dapat

memberikan manfaat sesuai harapan jika pelaksanaan kemitraan berjalan

semestinya. Santoso (2011) memberikan contoh bahwa Intensifikasi Tembakau

Rakyat (ITR) Non-program ternyata memiliki program paling efektif. Selain

produktivitasnya paling tinggi dibanding ITR lainnya yang dicapai karena pihak

petani dan pabrik rokok bekerjasama secara timbal-balik dan saling

menguntungkan.

12

Kerangka Pemikiran

Menurut beberapa sumber rujukan, pola kemitraan adalah salah satu cara

pengembangan usaha produksi tembakau. Hubungan kemitraan ini melibatkan

berbagai stakeholder dengan kesepakatan yang dibuat bersama. Salah satu

diantaranya pembinaan dalam bentuk sosialisasi terkait pembudidayaan dan

pilihan penggunaan faktor produksi yang diinginkan mitra. Proses inilah yang

pada akhirnya mempengaruhi tingkat akses petani terhadap faktor-faktor produksi

tembakau. Penyedia sarana produksi, pengambil keputusan, perolehan modal,

pasar penjualan tembakau, penentu harga jual, dan peluang terbukanya pasar

alternatif menjadi hal yang diduga menentukan tingkat akses petani.

Ketergantungan petani baru akan terlihat setelah kemitraan berjalan cukup lama.

Secara sederhana dapat dijelaskan melalui Gambar kerangka analisis berikut:

Keterangan:

: hubungan

: dianalisis secara kuantitatif

: dianalisis secara kualitatif

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka penelitian yang telah dibuat, maka hipotesis pada

penelitian ini adalah:

1. Penerimaan sosialisasi (bagian dalam kemitraan) petani tembakau

mempengaruhi tingkat akses petani terhadap sumber lain (teknologi,

finansial, dan pasar)

2. Tingkat akses petani (teknologi, finansial, dan pasar) mempengaruhi tingkat

ketergantungan petani

Tingkat akses

petani Alur penjualan

tembakau

Tingkat

ketergantungan

Pasar

alternatif

Teknologi

1. Penyediaan

sarana produksi

2. Pengambil

keputusan

Finansial

1. Modal

2. Penentuan

harga jual

Sosialisasi

Kemitraan 1. Tipe Kemitraan

2. Hubungan dengan

stakeholder lain

3. Posisi petani

13

Definisi Konseptual

Sejumlah definisi konseptual yang menjadi pegangan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Tipe kemitraan adalah pihak yang melakukan kemitraan/kerjasama dengan

petani tembakau. Tipe kemitraan ini dibagi dalam dua pihak yaitu bermitra

dengan pabrik rokok atau dengan tengkulak

2. Hubungan dengan stakeholder lain adalah hubungan yang dijalin oleh pihak

yang bermitra kepada pihak lain yang berkaitan dengan pembudidayaan

tembakau

3. Posisi petani adalah keadaan yang terjadi pada petani selama proses

kemitraan

4. Alur penjualan tembakau adalah proses distribusi hasil panen tembakau dari

petani hingga pihak mitra.

Definisi Operasional

Pengukuran variabel yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada

perumusan penjabaran masing-masing variabel tersebut secara operasional, yaitu:

1. Sosialisasi adalah keadaan dimana petani menerima informasi dari pihak

mitra yang terkait dengan pembudidayaan tembakau. Sosialisasi yang

diberikan berkaitan dengan bibit, pupuk, obat, pestisida, alat teknologi, pasar,

harga, dan pendanaan. Jumlah nilai dari dua variabel ini akan diakumulasikan

dengan interpretasi nilai sebagai berikut:

- Nilai: 1 = tidak; 2 = ya

- Skor 9-13 = penerimaan sosialisasi rendah

- Skor 14-18 = penerimaan sosialisasi tinggi

2. Tingkat akses petani adalah kondisi dimana petani berusaha mencari dan

memperoleh sumberdaya yang dibutuhkan selama proses produksi. Tingkat

akses ini akan diukur melalui tiga variabel yang dijabarkan sebagai berikut:

a. Teknologi

Penyediaan sarana produksi adalah adanya kebutuhan alat dan bahan

untuk proses produksi tembakau. Penyediaan ini menggolongkan setiap

kebutuhan dapat terpenuhi dengan baik dengan melihat jenis alat dan

bahan yang disediakan, yaitu bibit, pupuk organik, pupuk kimia,

pestisida, obat dan teknologi.

Pengambil keputusan adalah langkah yang diambil oleh para aktor

kemitraan dalam setiap proses pengolahan dan pengelolaan produksi

tembakau yang akan dilihat dalam hal pemilihan bibit, pupuk, pestisida,

obat, teknologi, dan penentuan pasar penjualan.

Jumlah nilai dari dua variabel ini akan diakumulasikan dengan

interpretasi nilai sebagai berikut:

- Nilai: 1 = tidak; 2 = ya

- Skor 11-16 = tingkat akses rendah

- Skor 17-22 = tingkat akses tinggi

14

b. Finansial

Modal adalah biaya atau dana yang digunakan oleh petani tembakau

terhadap seluruh pembayaran kebutuhan proses produksi tembakau.

Penentu harga adalah ketetapan harga yang digunakan oleh para aktor

dalam memberikan harga jual hasil produksi tembakau.

Jumlah nilai dari dua variabel ini akan diakumulasikan dengan

interpretasi sebagai berikut:

- Nilai: 1 = tidak; 2 = ya

- Skor 7-10 = tingkat akses rendah

- Skor 11-14 = tingkat akses tinggi

c. Pasar

Pasar alternatif adalah peluang terciptanya proses pemasaran yang lebih

luas oleh pihak petani terhadap hasil produksi berlebih.

Jumlah nilai dari variabel ini akan diakumulasikan dengan interpretasi

sebagai berikut:

- Nilai: 1 = tidak; 2 = ya

- Skor 5-7 = tingkat akses rendah

- Skor 8-10 = tingkat akses tinggi

Tingkat ketergantungan petani terhadap tingkat akses petani akan diukur dan

dinilai berdasarkan nilai akumulasi variabel tingkat akses yang dibagi atas

dua kategori, yaitu:

a. Tinggi: apabila akumulasi tiga variabel memiliki dominasi nilai tingkat

akses rendah

b. Rendah: apabila akumulasi tiga variabel memiliki dominasi nilai tingkat

akses tinggi

METODE PENELITIAN

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang didukung dengan data

kualitatif. Hal ini dilakukan sebagai upaya memperkaya data dan lebih memahami

fenomena sosial yang diteliti dengan menambahkan informasi kualitatif pada data

kuantitatif. Pendekatan kuantitatif ini dilakukan dengan menggunakan instrumen

terstruktur (kuesioner) dan wawancara sampel penelitian yang telah ditentukan

untuk mengetahui tingkat akses dan ketergantungan petani tembakau. Selain itu,

perolehan data diinterpretasikan lebih mendalam menggunakan pendekatan

kualitatif dengan metode studi kasus yang bersifat deskriptif. Metode ini

digunakan untuk mengetahui tipe kemitraan yang terbentuk dan alur penjualan

tembakau. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam dan

pengamatan langsung di lokasi penelitian untuk menggali informasi lebih dalam

dari pihak informan dan responden.

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Kabupaten

Temanggung, Jawa Tengah (Lampiran 1). Pemilihan lokasi tersebut dilakukan

secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Bansari merupakan

salah satu sentra penghasil tembakau terbaik di Kabupaten Temanggung. Desa

yang berada di wilayah Gunung Sindoro ini, seluruh penduduknya

bermatapencaharian sebagai petani tembakau. Hubungan kemitraan petani

dilakukan bersama pabrik rokok Djarum sepanjang tahun 2011. Kemitraan ini

hanya melibatkan petani yang menjadi anggota kelompok tani. Petani yang

terlibat wajib menanam tembakau sesuai kesepakatan. Keadaan ini menimbulkan

ketergantungan petani terhadap mitra, dan mengalami berbagai kesulitan dalam

hal akses terhadap teknologi, finansial, dan pasar. Sedangkan pada tahun 2012,

seluruh petani Desa Bansari tidak lagi bermitra dengan pabrik rokok. Hal ini

dikarenakan petani lebih memiliki kebebasan akses terhadap teknologi, finansial,

dan pasar. Melihat dua keadaan yang berbeda inilah, peneliti memilih Desa

Bansari sebagai lokasi dalam penelitian ini.

Penelitian dilaksanakan dalam waktu tujuh bulan. Waktu penelitian lapang

dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2013. Hal ini dikarenakan pada bulan

tersebut adalah rentang waktu dimulainya masa tanam tembakau. Selama

pengambilan data berlangsung, peneliti tinggal bersama objek penelitian di

lapangan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan agar

peneliti dapat mengetahui lokasi penelitian dengan baik dan juga terciptanya

hubungan sosial yang dekat dengan objek penelitian. Kegiatan penelitian lainnya

meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan,

penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Jadwal

pelaksanaan penelitian terdapat pada Lampiran 2.

16

Penentuan Responden dan Informan Penelitian

Terdapat dua subyek dalam penelitian ini, yaitu responden dan informan.

Populasi yang dipilih adalah seluruh petani di Desa Bansari, Kecamatan Bansari,

Temanggung, Jawa Tengah. Kerangka sampling yang diambil adalah seluruh

petani tembakau Desa Bansari. Responden penelitian ini adalah petani tembakau

Desa Bansari (Lampiran 3). Unit analisis dari penelitian ini adalah individu.

Peneliti memilih Dusun Banaran, Desa Bansari secara cluster dan responden

secara sensus. Keadaan ini dilihat dari populasi penduduk yang bekerja sebagai

petani tembakau murni. Selain itu, pemerintah Desa Bansari tidak memiliki data

tertulis terkait nama penduduk yang bekerja sebagai petani dan petani tembakau

khususnya. Pemerintah desa juga tidak memiliki data terkait dengan proses

kemitraan yang terjadi di tahun 2011 bersama pabrik rokok Djarum. Pendataan

petani tembakau oleh pihak desa baru dilaksanakan saat peneliti berada dilapang

yang dilakukan oleh masing-masing kepala dusun. Dusun Banaran sengaja

dipilihkan oleh pemerintah desa karena sudah mulai melakukan pendataan. Oleh

karena itu, sebanyak 65 orang petani tembakau Dusun Banaran yang sudah

terdaftar kemudian dipilih seluruhnya sebagai responden dalam penelitian ini.

Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja

(purposive). Informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memahami

perkembangan tembakau di Desa Bansari. Oleh karena itu, peneliti memilih

perangkat dan sesepuh desa. Informan ini diperlukan sebagai pemberi informasi

atau data tambahan terkait dengan penelitian yang tidak dapat diperoleh melalui

kuesioner.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer adalah data yang pengumpulannya dilakukan sendiri oleh

peneliti. Artinya, data tersebut diperoleh dari pengamatan langsung peneliti, yakni

hasil wawancara dengan responden/informan dan hasil pengukuran peneliti

sendiri. Data primer berupa data kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dari

responden dilakukan melalui teknik wawancara dengan alat bantu kuesioner yang

telah dipersiapkan. Sedangkan pengumpulan data dari informan dilakukan dengan

wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara. Data sekunder sebagai

data pendukung diperoleh melalui studi literatur, informasi dari internet, dokumen

yang berhubungan dengan tembakau, data potensi desa, serta berbagai dokumen

dan pustaka lainnya yang dapat menunjang penelitian.

Data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner diolah dengan menggunakan

bantuan perangkat lunak Microsoft Excel 2007. Data yang diperoleh dianalisis

dengan menggunakan teknik tabel frekuensi dan tabulasi silang. Selain itu,

dilakukan pula analisis data secara kualitatif sebagai pendukung hasil penelitian

dengan mengutip hasil wawancara mendalam. Analisis ini dilakukan kepada

responden atau informan yang disampaikan secara deskriptif guna mempertajam

hasil penelitian. Hasil analisis data kuantitatif dan kualitatif kemudian

disinergikan sehingga dapat saling melengkapi kebutuhan penelitian.

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografis dan Infrastruktur Desa

Desa Bansari terletak di Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung, Jawa

Tengah dengan luas wilayah 302.4 Ha. Desa Bansari memiliki sembilan dusun

(Dusun Sawit, Dusun Tambahrejo, Dusun Srimulyo, Dusun Tegalsari, Dusun

Banaran, Dusun Bangunsari, Dusun Pringapus, dan Dusun Malatan) dengan 10

Rukun Warga (RW) dan 32 Rukun Tetangga (RT). Letak desa ini berada di lereng

Gunung Sindoro sebelah timur dengan ketinggian 1200 meter di atas permukaan

laut (dpl). Batas-batas wilayah Desa Bansari adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Candisari

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Gentingsari

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Mranggen Tengah

4. Sebelah Barat berbatasan dengan tanah Perhutani

Lahan seluas 302.4 Ha ini dibagi menjadi beberapa bagian penggunaan lahan

seperti pada Tabel 3.

Tabel 2 Penggunaan lahan Desa Bansari

No Penggunaan lahan Luas lahan (Ha) Persentase (%)

1 Pemukiman 30.50 10.08

2 Bangunan fisik 0.06 0.01

3 Tanah sawah 24.50 8.10

4 Tanah tegalan 247.40 81.81

Total 302.40 100

*Sumber: Profil Desa Bansari tahun 2012

Berdasarkan data pada Tabel 2, mayoritas tanah Desa Bansari, yang terdiri

dari sekitar 8% tanah sawah dan sekitar 82% tanah tegalan, digunakan sebagai

lahan pertanian. Lokasi desa ini cukup dekat dengan lereng Gunung Sindoro,

karena itu sebagian besar tanahnya adalah tanah tegalan. Tekstur tanah ini

cenderung lebih kering dibandingkan dengan tanah sawah karena lokasinya yang

berada di lereng atas Gunung Sindoro. Sedangkan, tanah sawah berada di bawah

lereng Gunung Sindoro atau di sekitar pemukiman penduduk. Saat masa tanam

tembakau tiba, maka semua tanah sawah dan tegalan hanya menanam tembakau.

Periode tanam hingga panen tembakau dimulai pada bulan Mei sampai dengan

September. Jika periode tanam tembakau selesai, maka tanah sawah Desa Bansari

biasa ditanami tanaman pokok seperti padi, jagung, kacang panjang, dan kol

putih. Sedangkan pada tanah tegalan hanya akan ditanami cabai merah dan

bawang merah. Periode tanam ini berlangsung pada bulan Oktober hingga Maret.

Sarana dan prasarana umum yang terdapat di Desa Bansari meliputi sarana

pemerintahan, sekolah, pemukiman, dan tempat peribadatan. Sebagian besar

masyarakat Desa Bansari sudah memiliki bangunan rumah atau pemukiman yang

sangat layak huni dan permanen. Alat transportasi yang digunakan oleh

masyarakat sekitar antara lain kendaraan bermotor roda dua, motor roda empat

(mobil), dan pick-up terbuka. Prasarana transportasi darat seperti jalan raya pun

sudah cukup baik dengan jalan-jalan yang menghubungkan antar dusun di Desa

Bansari. Sarana lain yang terdapat di Desa Bansari meliputi 1 buah kantor desa, 1

18

buah balai pertemuan, 1 buah kantor LPMD, 1 buah kantor PKK, 2 buah gedung

kesenian dan 4 gardu pos kamling. Sarana pendidikan terdapat 1 buah Taman

Kanak-kanak (TK), dan 2 buah Sekolah Dasar (SD). Sarana kesehatan desa

terdapat 1 buah posyandu, dan 1 buah puskesmas. Sementara itu, untuk sarana

peribadatan di Desa Bansari terdapat 7 buah masjid, 6 buah mushola, dan 1 buah

gereja.

Kependudukan Desa Bansari

Jumlah penduduk Desa Bansari pada tahun 2012 sebanyak 4 888 jiwa

dengan rincian berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki sebanyak 2 490 jiwa dan

perempuan sebanyak 2 398 jiwa. Berdasarkan kepercayaan, sebagian besar

penduduk beragama Islam dengan jumlah 4 525 jiwa, Kristen sebanyak 361 jiwa,

dan Budha sebanyak 2 jiwa.

Tabel 3 Jumlah penduduk menurut kelompok umur tahun 2012

No Kelompok umur

(tahun)

Laki-laki

(jiwa)

Perempuan

(jiwa)

Jumlah

(jiwa)

1 00 – 09 245 237 482

2 10 – 19 432 421 453

3 20 – 29 591 563 1154

4 30 – 39 572 558 1130

5 40 – 49 317 304 621

6 50 – 59 254 248 502

7 >60 79 67 146

Total 2 490 2 398 4 888

*Sumber: Profil Desa Bansari tahun 2012

Data pada Tabel 3 terlihat bahwa jumlah penduduk terbanyak berada pada

kisaran usia 20-39 tahun dengan jumlah total 2 284 jiwa jika dibandingkan dengan

jumlah penduduk usia lainnya. Berdasarkan sumber yang diperoleh dari Kepala

Desa Bansari, penduduk dengan usia 30-50 tahun adalah pekerja aktif. Tetapi

sebagian besar petani tembakau berada pada kisaran usia 40-60 tahun. Sedangkan

kisaran usia yang lain masih berada dalam jenjang pendidikan SD hingga SLTA

dan pensiunan. Kependudukan Desa Bansari berdasarkan tingkat pendidikan dapat

dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan tahun 2012

No Tingkat pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Universitas/Akademi 110 2.30

2 SLTA/Sederajat 702 14.30

3 SLTP/Sederajat 927 19.00

4 Sekolah Dasar (SD) 2 491 51.00

5 Belum Tamat SD 558 11.40

6 Tidak Sekolah 100 2.00

Total 4 888 100

*Sumber: Profil Desa Bansari tahun 2012

19

Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Desa

Bansari belum memenuhi program wajib belajar 9 tahun karena sebanyak 2 491

penduduk desa hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar

(SD). Penduduk lebih memilih bekerja sebagai petani tembakau jika dibandingkan

harus menyelesaikan jenjang pendidikannya. Keadaan ini dipengaruhi oleh tidak

adanya sarana pendidikan lanjutan dan lokasi sekolah yang jauh dari desa. Warga

yang tergolong dalam kategori ini berada pada kisaran usia 40-59 tahun.

Pekerjaan yang ditekuni masyarakat Desa Bansari cukup beragam dengan

pembagian jenis mata pencaharian seperti pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian

No Mata pencaharian Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1 Petani 720 41.9

2 Buruh tani 874 51.0

3 Buruh bangunan 51 2.9

4 Pedagang 45 2.6

5 Jasa angkutan 15 0.8

6 PNS 11 0.6

7 Pensiunan 4 0.2

Total 1 720 100

*Sumber: Profil Desa Bansari tahun 2012

Berdasarkan data pada Tabel 5, jumlah penduduk yang bekerja sebagai

buruh tani lebih banyak dibandingkan penduduk yang bekerja sebagai petani.

Sebagian besar petani Desa Bansari biasanya sudah memiliki lahan sawah sendiri

yang dikelola secara mandiri dengan melibatkan beberapa buruh tani. Pekerjaan

sebagai petani atau buruh tani bukanlah satu individu petani yang mewakili dalam

satu keluarga, melainkan dalam satu keluarga bisa saja terdapat tiga atau lebih

individu yang berprofesi sama. Menurut keterangan kepala desa setempat,

keadaan ini menyebabkan tidak dapat dipastikannya jumlah keluarga yang bekerja

sebagai petani maupun buruh tani.

Jika dikaitkan dengan data pada Tabel 4, menurut Kepala Desa Bansari,

warga yang bekerja sebagai petani sebagian besar adalah tamatan SLTA,

sedangkan yang bekerja sebagai buruh tani adalah warga dengan sebagian besar

tamatan tingkat SLTP dan Sekolah Dasar (SD). Penduduk yang bekerja sebagai

PNS dan seorang pensiunan biasanya tamatan universitas dan bekerja sebagai

tenaga pengajar di sekolah maupun tenaga perawat di sarana kesehatan desa.

Sedangkan penduduk yang bekerja sebagai buruh bangunan dan jasa angkutan

adalah tamatan Sekolah Dasar (SD). Penduduk yang bekerja sebagai pedagang

membuka kios warung di masing-masing teras rumahnya dan tidak terpatok pada

kisaran tamatan tingkat pendidikan, karena berdagang adalah pekerjaan

sampingan yang dapat dilakukan oleh anggota keluarga lain yang tidak bekerja.

Pada akhirnya kepala desa mengatakan bahwa sebenarnya setiap penduduk dapat

memiliki pekerjaan lebih dari satu. Bekerja sebagai petani atau buruh tani hanya

dilakukan pada pagi hari pukul 05.00 sampai 07.00 dan sore hari pukul 15.00

sampai 17.00, sehingga penduduk dapat melakukan pekerjaan lain diluar sebagai

petani.

20

Mitra Petani Tembakau

Kemitraan di Desa Bansari dilakukan bersama pabrik rokok Djarum. Akan

tetapi kemitraan ini hanya berlangsung di sepanjang tahun 2011. Kontrak yang

diberikan oleh pihak Djarum berlaku untuk satu tahun saja. Petani yang tidak

bermitra, hanya melakukan kerjasama dengan tengkulak. Setelah masa kontrak

selesai, petani memutuskan untuk tidak melanjutkan kemitraan, karena dianggap

hanya menguntungkan pihak Djarum. Sejak tahun 2012 hingga saat ini petani

hanya melakukan hubungan kerjasama dengan tengkulak. Mereka berperan

sebagai pihak yang membeli hasil panen petani. Tengkulak juga kepanjangan

tangan dari setiap pabrik rokok yang beroperasi di Temanggung. Hubungan

kemitraan yang terjadi pada tahun 2011 terlihat seperti pada Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah dan persentase hubungan mitra petani tembakau Desa Bansari

Pihak mitra 2011 2012

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Pabrik Rokok 18 28 0 0

Tengkulak 47 72 65 100

Total 65 100 65 100

Berdasarkan data pada Tabel 6, pada tahun 2011 sebanyak 18 responden

melakukan kemitraan dengan pabrik rokok. Responden yang bermitra dengan

pabrik rokok adalah perwakilan anggota dari setiap kelompok tani di Desa

Bansari. Pada tahun tersebut, pihak pabrik hanya ingin melakukan hubungan

kemitraan dengan kelompok tani yang ada di Desa Bansari. Sedangkan, 47

responden yang tidak bermitra bukan anggota dari kelompok tani dan hanya

bekerjasama dengan tengkulak sebagai pihak pembeli hasil panen.

“...waktu itu pernah ada kemitraan mbak, dari djarum. Tahun 2011

dan itu cuma setahun, setelah itu gak ada. Tapi, lebih enak sendiri sih,

daripada sama pabrik, hasilnya sama aja...” (Wyt, 48 tahun)

Keuntungan saat kemitraan ini berjalan sebagian besar adalah milik pabrik

rokok. Keuntungan ini berupa harga yang dipatok oleh pabrik untuk membeli

daun tembakau petani, cenderung lebih rendah dibandingkan harga pasaran pada

umumnya. Selain itu, pihak mitra hanya memberikan sosialisasi dan pengontrolan

rutin terhadap daun tembakau yang ditanam petani. Pihak mitra juga hanya

memberikan sedikit bantuan saprotan kepada petani. Tidak ada alokasi

peminjaman dana dari pihak pabrik rokok. Keadaan ini dianggap merugikan

petani, karena petani tidak memperoleh keuntungan dari harga yang dipatok

pabrik. Selain itu, petani juga harus melengkapi kekurangan saprotan sesuai yang

dibutuhkan pabrik secara mandiri dan menjual hasil panen hanya kepada pihak

mitra saja.

Berbeda hubungan kemitraan yang terjadi pada tahun 2012. Seluruh petani

memilih untuk tidak melanjutkan kemitraan dengan pabrik rokok dan hanya

bekerjasama dengan tengkulak. Sama halnya dengan 47 petani yang ditunjukkan

pada Tabel 6 yang memilih bermitra dengan tengkulak. Hubungan kemitraan ini

hanya sebatas hubungan kerja sama jual beli daun tembakau petani. Setiap

21

tengkulak dapat dikatakan sebagai tangan kanan dari masing-masing pabrik rokok

yang beroperasi di Temanggung. Peran tengkulak hanya sebagai pihak yang

membeli daun tembakau ketika musim panen. Bekerjasama dengan tengkulak

dirasa tidak menyulitkan akses petani. Petani dapat dengan mudah memilih sarana

produksi yang dibutuhkan, mencari dan menggunakan modal yang akan

dikeluarkan. Selain itu, petani juga dapat melakukan penjualan kepada tengkulak

manapun dengan proses tawar menawar harga yang sudah disepakati sebelumnya.

Jika pada tahun tersebut terjadi perubahan harga, baik tengkulak maupun petani

sudah mengetahui keadaan ini terlebih dahulu. Cara yang dilakukan adalah

dengan melihat kondisi cuaca dan curah hujan saat masa tanam. Selain itu, bentuk,

rasa, dan aroma daun tembakau ketika sudah dirajang juga menjadi salah satu

penentu harga jual beli tembakau. Menurut penuturan responden, dibutuhkan

pengalaman bertahun-tahun untuk mengetahui dengan mudah mutu dan kualitas

daun tembakau yang baik. Oleh karena itu, banyak penduduk yang menjadi petani

tembakau berkisar antara usia 40-59 tahun.

Merujuk pada Tabel 6, terdapat 18 responden yang terikat kontrak dengan

kemitraan di tahun 2011. Ketika kontrak ini habis pada tahun 2012, 18 responden

tersebut tidak lagi melanjutkan kemitraan dan memilih untuk bekerjasama dengan

tengkulak, sama halnya dengan 47 responden yang memang tidak bermitra.

Terdapat perbedaan kondisi saat 18 responden bermitra dengan pabrik rokok dan

saat tidak lagi melanjutkan kemitraan. Perbedaan ini dilihat dari perolehan

fasilitas yang diterima petani. Secara sederhana perbedaan tersebut digambarkan

pada Tabel 7

Tabel 7 Perbedaan 18 responden saat bermitra dan tidak bermitra

Perbedaan Mitra (2011) Tidak mitra (2012)

Mendapat sosialisasi ×

Bantuan alat teknologi × ×

Bebas mencari saprotan ×

Jaminan pinjaman modal dari

mitra × ×

Bebas menentukan harga jual ×

Bebas memilih pasar ×

Melihat perbedaan pada Tabel 7 sesuai penuturan responden, alasan tidak

lagi meneruskan kemitraan karena perolehan seluruh fasilitas selama produksi

tembakau sulit didapat. Kemitraan ini menyulitkan petani untuk mencari saprotan

yang diperlukan, karena jenis yang digunakan harganya lebih mahal dan sulit

dicari disekitar wilayah Bansari. Jika saprotan yang diperlukan harganya lebih

mahal, secara tidak langsung modal yang diperlukan pun juga jauh lebih besar.

Tetapi, tidak ada jaminan pinjaman modal dari mitra, sehingga petani harus

mencari kelebihan modal yang diperlukan secara mandiri. Sosialisasi memang

diterima oleh petani, tapi menurut responden, sosialisasi yang diberikan hanyalah

menjelaskan apa saja yang harus dilakukan petani sesuai dengan keinginan mitra.

Kesulitan lainnya adalah saat menentukan harga dan memilih pasar jual yang

sejak awal memang sudah ditentukan oleh mitra. Besar harga jual kualitas

tembakau sudah ditentukan mitra, sehingga petani tidak dapat melakukan

penawaran lebih tinggi. Pasar penjualan tembakau pun juga sudah ditentukan

22

hanya kepada mitra saja. Petani tidak diizinkan untuk menjual hasil panen kepada

pihak lain atau pasar umum. Berbeda dengan kondisi saat 18 responden tidak lagi

bermitra. Petani memilih untuk bekerjasama dengan tengkulak. Sosialisasi dan

jaminan pinjaman modal dari mitra memang tidak diterima. Tetapi petani lebih

mudah dalam mencari dan memperoleh saprotan sesuai dengan modal yang

dimiliki. Selain itu, petani juga dapat melakukan penawaran saat menentukan

harga jual bersama tengkulak. Pasar penjualan petani pun lebih bebas karena

petani dapat menjual kepada tengkulak manapun. Alat teknologi yang digunakan

petani juga masih sama saat bermitra ataupun tidak bermitra, karena alat berat

yang dibutuhkan petani hanya alat perajang yang biasanya masing-masing petani

sudah memilikinya lebih dari 7 tahun.

Tingkat Akses Petani terhadap Teknologi, Finansial, dan Pasar

Kemampuan akses petani terhadap finansial, teknologi, dan pasar diperlukan

oleh petani selama penanaman tembakau. Akses ini akan memudahkan petani

untuk memperoleh dan memenuhi sarana yang dibutuhkan. Akan tetapi,

kemudahan akses petani pada tahun 2011 berbeda dengan akses petani pada tahun

2012. Perbedaan kemampuan akses petani tembakau Desa Bansari dapat terlihat

pada Tabel 8 dan Tabel 9.

Tabel 8 Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial,

dan pasar tahun 2011

Tingkat

akses

Teknologi Finansial Pasar

Jumlah Persentase

(%) Jumlah

Persentase

(%) Jumlah

Persentase

(%)

Rendah 18 28 0 0 18 28

Tinggi 47 72 65 100 47 72

Total 65 100 65 100 65 100

Tabel 9 Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial,

dan pasar tahun 2012

Tingkat

akses

Teknologi Finansial Pasar

Jumlah Persentase

(%) Jumlah

Persentase

(%) Jumlah

Persentase

(%)

Rendah 0 0 0 0 0 0

Tinggi 65 100 65 100 65 100

Total 65 100 65 100 65 100

Berdasarkan data pada Tabel 8, petani mengalami kesulitan akses terhadap

teknologi dan pasar. Hal ini dikarenakan hubungan kemitraan yang mengikat 18

responden dengan pabrik rokok pada tahun 2011. Akses terhadap teknologi

berkaitan dengan ketersediaan kebutuhan produksi, seperti bibit, pupuk, obat,

pestisida, alat perajang, dan alat penyemprot. Pihak mitra sudah menentukan jenis

bibit, pupuk, obat dan pestisida yang harus digunakan petani. Sedangkan

penggunaan alat perajang dan alat penyemprot tidak menyulitkan, karena setiap

petani sudah memiliki alat tersebut. Selain itu, pihak pabrik hanya memberikan

23

bantuan pupuk sebanyak 15 persen dari yang dibutuhkan petani. Keadaan ini

membuat petani harus menyiapkan seluruh kekurangan bahan dengan jenis yang

sesuai. Menurut responden, jenis bahan yang digunakan oleh pihak pabrik cukup

sulit dicari dan memiliki harga yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga

yang biasa dikeluarkan petani.

Sama halnya dengan kesulitan akses petani terhadap pasar. Responden tidak

dapat memasarkan secara bebas hasil panen tembakau kepada pihak manapun,

karena petani sudah dikontrak untuk menjualnya kepada pihak mitra. Akan tetapi,

seluruh responden mampu mengakses finansial sesuai dengan jumlah yang

diperlukan. Pada tahun 2011, hubungan kemitraan bersama pabrik tidak

memberikan jaminan pinjaman modal awal, sehingga petani harus mencari

sejumlah modal yang harus disiapkan. Selain itu, modal yang disiapkan lebih

besar karena kebutuhan yang diperlukan juga lebih mahal dibanding yang biasa

digunakan. Penentuan harga jual dilakukan oleh pihak mitra, sehingga petani tidak

dapat melakukan proses tawar-menawar. Proses ini terjadi ketika masa panen tiba,

perwakilan pihak mitra akan mengambil hasil panen ke setiap rumah petani mitra

dan memberikan harga sesuai dengan kualitas daun yang dihasilkan. Petani tidak

diizinkan untuk menawar harga yang lebih tinggi dari harga yang sudah

ditentukan. Ketentuan ini sudah ada dalam perjanjian yang telah disepakati.

Walaupun petani tidak dapat menawar harga jual tembakau, keadaan ini tidak

menyulitkan petani jika dibandingkan dengan menyiapkan modal yang lebih

besar.

Berbeda dengan 47 responden lainnya yang tidak bermitra dengan pabrik

rokok. Mereka memiliki kemudahan pilihan akses lain terhadap teknologi,

finansial dan pasar. Hal serupa juga terjadi pada 18 responden yang tidak

melanjutkan kemitraan di tahun 2012 (Tabel 9). Perbedaan ini terlihat ketika

petani lebih mudah menyiapkan semua kebutuhan produksi, tanpa harus terikat

oleh ketentuan yang dibentuk oleh mitra. Pada akhirnya kebutuhan akan

teknologi, finansial, dan pasar dapat ditentukan oleh masing-masing petani

berbekal relasi yang dimiliki. Hanya ketika masa penjualan tembakau, petani

bergantung kepada tengkulak sebagai pihak pembeli. Tidak dapat dipungkiri,

selain karena tengkulak merupakan kepanjangantangan pabrik rokok, tembakau

adalah bahan utama pembuat rokok di Indonesia. Selanjutnya, petani dapat

memilih menjual hasil panennya kepada tengkulak yang dapat memberikan harga

tinggi. Selain itu, petani juga dapat memilih lebih dari satu tengkulak untuk

menjual hasil panen yang dimiliki. Pada setiap tahunnya petani dapat merubah

pilihan tengkulak yang akan membeli hasil panen. Menurut keterangan yang

diperoleh, biasanya bukan petani yang mencari tengkulak, melainkan tengkulak

yang mencari petani dengan kualitas daun tembakau terbaik. Jika tengkulak sudah

menemukan petani dengan kualitas daun yang terbaik. Tengkulak cenderung tidak

akan berpindah kepada petani lain dan siap memberikan harga tinggi atas hasil

panen tersebut.

Kebutuhan akan teknologi dalam hal penyediaan sarana produksi (bibit,

pupuk, obat-obatan, pestisida, alat) dan pengambilan keputusan dilakukan secara

mandiri oleh setiap responden. Ketersediaan bibit biasa disiapkan sendiri oleh

petani dengan cara membuatnya. Bibit yang sudah dibuat ini kemudian disimpan

untuk ditanam pada masa tanam berikutnya. Bibit ini dikenal dengan nama bibit

tembakau mloko yang dibuat dari tunas biji tembakau yang sedang ditanam. Oleh

24

karena itu, petani tidak ada yang membeli bibit di warung ataupun toko pertanian.

Penyediaan sarana produksi lainnya seperti pupuk, obat, dan pestisida disiapkan

oleh petani dengan memesan kepada distributor. Pemesanan biasa dilakukan

dalam jumlah besar dengan menggunakan bantuan mobil pick-up terbuka. Selain

itu, penyediaan alat teknologi pun juga dilakukan secara mandiri, karena yang

dibutuhkan hanya mesin alat perajang dan alat penyemprot. Kedua alat ini

biasanya sudah dimiliki petani bertahun-tahun dengan sedikit perbaikan.

“...disini mah gak susah mbak kalo nyiapin bibit, pupuk, obat, sama

alat. Semua bisa disiapin sendiri. Bibit kan tinggal buat, terus pupuk

sama obat kan tinggal mesen, kalo alat juga udah punya sendiri-

sendiri. Jadi gak kerepotan...” (Pwt, 49 tahun)

Kebutuhan akan finansial, baik dalam hal penyediaan modal dan

menentukan harga jual juga dilakukan secara mandiri oleh petani. Responden

mengaku tidak mengalami kesulitan selama menyiapkan modal awal untuk

membeli kebutuhan tanam tembakau. Seluruh modal diperoleh dengan cara yang

berbeda, baik meminjam kepada pihak lain atau menggunakan dana pribadi,

seperti yang terlihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Jumlah dan persentase petani dalam menyiapkan modal

Sumber modal Petani tembakau

Jumlah Persentase (%)

Dana Pribadi 39 60

Pinjam Koperasi 15 23

Bank 11 17

Total 65 100

Pada Tabel 10 terlihat bahwa 39 responden menyiapkan modal dengan

menggunakan dana pribadi. Dana ini dikumpulkan oleh responden dari

keuntungan yang diperoleh saat masa panen sebelumnya. Responden yang

menyiapkan modal produksi menggunakan dana pribadi adalah 18 responden

yang bermitra di tahun 2011 dan 21 sisanya adalah responden yang tidak bermitra

di tahun yang sama. Kemudian, sebanyak 15 dan 11 responden lainnya meminjam

kepada pihak lain dengan masing-masing meminjam pada koperasi dan bank.

Ketiga cara perolehan modal ini dipergunakan petani untuk membeli pupuk, obat,

dan pestisida. Merujuk pada Tabel 8 dan 9, tingkat akses petani terhadap finansial

tidak mengalami kesulitan, karena petani dapat dengan mudah mencari dan

memperoleh modal awal yang diperlukan. Bagi petani yang melakukan kemitraan,

dalam kontrak memang tidak mendapatkan pinjaman dana sebagai modal awal.

Begitupun dengan petani yang tidak bermitra atau hanya bekerjasama dengan

tengkulak juga harus mencari modal awal secara mandiri. Hal ini dikarenakan

tengkulak hanya sebagai pihak yang membeli tembakau. Proses melakukan

pinjaman kepada koperasi dan bank tidak menyulitkan petani untuk memperoleh

modal. Petani yang melakukan pinjaman ke koperasi atau bank cukup memenuhi

persyaratan yang diminta oleh masing-masing instansi. Menurut penjelasan

responden, nominal limit yang dapat diambil oleh petani yang meminjam ke

koperasi biasanya sebesar Rp25 000 000. Petani yang sudah memperoleh dana ini,

25

dapat mengajukan kembali pinjaman kedua dan selanjutnya dengan jumlah

nominal maksimal Rp15 000 000. Sedangkan responden lainnya mengatakan

bahwa jumlah limit nominal dana usaha yang dapat dipinjam melalui bank

biasanya sebesar Rp50 000 000. Sistem pengembalian pinjaman tersebut baru

dilakukan setelah masa panen dan penjualan tembakau.

“...kalo modal, ya nyiapin sendiri, pake duit sendiri. Tapi, kalo lagi

gak ada duit, baru pinjem sama bank atau koperasi. Mudah kok,

ngembaliinnya juga nanti, nek wes panen...” (Frl, 40 tahun)

“...pinjem sama koperasi itu gampang, cuma isi kertas kasih copyan

KTP sama KK, terus matur njaluke piro, dapet duite. Biasane niku, 20

sampe 25 yuto lah pas pinjem pisanan. Kalo kurang, ya pinjem lagi

aja...”(Hsm, 55 tahun)

Selain modal, menentukan harga jual juga dapat dilakukan petani dengan

tengkulak. Selama proses menentukan harga, responden dapat melakukan proses

tawar menawar. Harga yang ditawarkan pun beragam dan disesuaikan dengan

kualitas daun tembakau. Harga daun tembakau bisa mengalami perubahan yang

tidak dapat diprediksikan sesuai kualitas daun. Kondisi kualitas daun tembakau

bergantung pada curah hujan dan cuaca selama proses penanaman, panen, hingga

pengeringan. Menurut kepala Dusun Banaran, salah satu ciri daun tembakau yang

memiliki kualitas baik dapat dilihat dari proses pengeringan setelah daun dirajang.

Daun tembakau kualitas baik dan bagus memiliki tekstur yang kasar dan kaku,

aroma tembakau juga menyengat dan langsung kering setelah satu hari dijemur di

bawah sinar matahari. Daun juga tidak sulit untuk dipisahkan satu sama lain. Jenis

daun yang seperti ini biasanya memiliki harga tinggi dengan kisaran Rp150 000

per kg sampai Rp200 000 per kg. Berbeda dengan kualitas daun yang kurang baik.

Teksturnya lembut dan sedikit masih basah, aroma tembakau dari daun jenis ini

juga tidak menyengat. Hal ini dikarenakan daun tembakau yang tidak langsung

kering setelah dijemur selama satu hari di bawah sinar matahari. Daun ini

biasanya diberi harga yang jauh lebih rendah, berkisar antara Rp50 000 per kg

sampai Rp90 000 per kg.

Proses tawar menawar harga terjadi saat tengkulak mendatangi rumah petani

dan melihat kualitas daun yang dihasilkan. Pada saat yang sama, tengkulak akan

menawarkan harga terlebih dahulu kepada petani, kemudian petani yang juga

sudah mengetahui kualitas daunnya dapat melakukan penawaran dengan harga

yang lebih tinggi. Selanjutnya tawar menawar akan berlangsung, dan setelah

sepakat, tengkulak akan membayar petani setelah mengantarkan daun kering

tersebut ke rumah tengkulak.

MEKANISME HUBUNGAN KEMITRAAN DAN POSISI

PETANI DALAM KEMITRAAN

Stakeholder dan Peran yang dilakukan

Keberadaan pihak-pihak pemangku kepentingan (stakeholder) menjadi

salah satu komponen yang sangat diperlukan dalam suatu hubungan kerjasama.

Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui pembagian tugas dan jenis pekerjaan yang

harus dilakukan. Berbeda lokasi maka berbeda pula pihak-pihak yang terlibat

dalam pola kemitraan. Beberapa rujukan menyebutkan di Madura terdapat dua

sistem perdagangan tembakau, dimana petani dapat menjualnya langsung ke pasar

atau melibatkan juragan dan bandol. Lain halnya dengan di Pamekasan dan Garut

yang hanya melibatkan petani dan pembeli (pabrik rokok) dalam proses

kemitraannya. Hubungan yang terbentuk antar stakeholder ini terlihat dari pola

kemitraan yang terjadi pada masing-masing daerah.

Petani tembakau, pabrik rokok, kepala desa, dan kepala dusun adalah

stakeholder yang terlibat dalam hubungan kemitraan di Desa Bansari. Proses awal

kemitraan ini terjalin dengan pengajuan kerjasama oleh pabrik rokok melalui

kepala desa. Pengajuan kemitraan ini hanya untuk perwakilan anggota setiap

kelompok tani yang ada di Desa Bansari. Selanjutnya kepala desa melakukan

proses diskusi bersama seluruh kepala dusun mengenai penawaran tersebut.

Selanjutnya, kepala dusun mengumpulkan perwakilan anggota kelompok tani

yang dianggap mampu mengikuti program ini. Setelah itu, setiap perwakilan

anggota kelompok tani akan dikumpulkan kemudian diberi penjelasan lebih

lanjut. Jika seluruh pihak setuju, maka kepala desa dapat memutuskan kemitraan

dari pabrik rokok dapat berjalan di wilayah tersebut atau tidak.

Pemberian pembinaan (sosialisasi) mulai dilakukan pada awal pertemuan

mitra dengan petani. Sebagai pihak mitra, pabrik rokok akan memberikan

sosialisasi mengenai penggunaan bibit, pupuk, obat, dan pestisida yang harus

digunakan petani. Selain itu, mitra juga memberikan sedikit bantuan pupuk

sebagai bentuk tanggung jawab yang sudah ada dalam kesepakatan. Keadaan ini

membuat petani harus melengkapi kebutuhan lainnya secara mandiri. Selain itu,

pengontrolan juga dilakukan secara berkala dengan memperhatikan kebersihan,

cacat daun, dan perkiraan kualitas daun. Saat panen tiba, petani tidak perlu

menjual hasil tembakau karena pihak pabrik langsung mengambil seluruh hasil

panen. Harga daun tembakau sudah ditentukan sesuai kualitasnya. Disinilah posisi

yang dianggap merugikan petani, karena petani tidak dapat menentukan harga

lebih tinggi lagi dari harga yang ditetapkan.

Berbeda dengan petani yang tidak melakukan kemitraan. Stakeholder yang

terlibat hanya petani dan tengkulak saja. Petani dapat menentukan pilihan jenis

modal dan saprotan yang akan digunakan, seperti bibit, pupuk, obat, dan pestisida.

Bibit yang diperlukan petani dapat dengan mudah dibuat secara mandiri. Selain

itu, cara memperoleh pupuk, obat, dan pestisida pun dapat disesuaikan dengan

relasi yang dimiliki oleh masing-masing petani. Perawatan kesehatan dan

kebersihan kebun juga dapat disesuaikan dengan pilihan waktu petani. Peran

tengkulak hanya sebagai pihak yang membeli hasil panen tembakau. Tengkulak

maupun petani dapat sama-sama menentukan harga yang diinginkan. Petani dapat

menawar harga yang lebih tinggi jika kualitas daun tembakau lebih baik.

28

Penerimaan terhadap Sosialisasi

Sosialisasi adalah keadaan dimana petani menerima informasi dari pihak

mitra terkait dengan pembudidayaan tembakau. Penerimaan sosialisasi ini

dikelompokkan pada penerimaan terhadap bibit, pupuk, obat-obatan, pestisida,

alat teknologi, perubahan harga alat teknologi, perubahan harga tembakau,

pemilihan daun tembakau, potensi pasar alternatif, dan potensi pemberi modal.

Penerimaan sosialisasi ini juga mengalami perbedaan ketika petani melakukan

kemitraan tahun 2011 dan saat petani tidak lagi bermitra tahun 2012

Tabel 11 Jumlah dan persentase responden menurut penerimaan terhadap

sosialisasi

Penerimaan

sosialisasi

2011 2012

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Rendah 47 72 65 100

Tinggi 18 28 0 0

Total 65 100 65 100

Pada tahun 2011, penerimaan sosialisasi 18 responden tergolong tinggi,

karena petani tergabung dalam hubungan kemitraan dengan pabrik rokok.

Sosialisasi diberikan pihak mitra kepada petani yang bermitra dan pemberian

sosialisasi terbatas pada beberapa hal saja, yaitu bibit, pupuk, obat, dan pestisida.

Menurut penuturan responden, sosialisasi yang diberikan mitra hanya terjadi dua

kali selama kerjasama berjalan. Proses ini hanya diberikan pada awal pertemuan

dan saat akan tiba masa panen. Selain itu, pemberian sosialisasi ini dimaksudkan

agar petani menanam sesuai dengan yang diinginkan mitra. penjabaran aspek yang

disosialisasikan oleh mitra seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12.

Tabel 12 Jumlah dan persentase penerimaan jenis sosialisasi oleh responden,

Desa Bansari

Jenis

Sosialisasi

Menerima Tidak Menerima

2011 2012 2011 2012

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Bibit 18 28 0 0 47 72 65 100

Pupuk 18 28 0 0 47 72 65 100

Obat 18 28 0 0 47 72 65 100

Pestisida 18 28 0 0 47 72 65 100

Teknologi 0 0 0 0 65 100 65 100

Alternatif

modal 0 0 0 0 65 100 65 100

Harga alat 0 0 0 0 65 100 65 100

Harga

tembakau 0 0 0 0 65 100 65 100

Pasar

alternatif 0 0 0 0 65 100 65 100

29

Pemberian sosialisasi kepada 18 responden terbatas pada kebutuhan petani

akan bibit, pupuk, pestisida, dan obat-obatan. Hanya bantuan berupa pupuk yang

diberikan oleh pihak mitra kepada petani. Bantuan ini tidak diberikan dalam

jumlah yang besar, hanya 15 persen dari kebutuhan tanam tembakau, sisanya

petani harus mencari dan menyesuaikan dengan jenis dari bantuan yang diberikan

mitra. Sedangkan, pada aspek teknologi, alternatif modal, harga alat, harga

tembakau, dan alternatif pasar tidak termasuk dalam sosialisasi.

Berbeda dengan 47 responden yang tidak bergabung dengan kemitraan dan

18 responden yang memutuskan tidak lagi bermitra pada tahun 2012. Responden

tidak menerima sosialisasi dari pihak manapun sehingga penerimaan

sosialisasinya tergolong rendah. Menurut responden, walau tidak menerima

sosialisasi, petani dapat memilih jenis bibit, pupuk, obat, dan pestisida yang ingin

digunakan. Jenis yang digunakan petani memang memiliki kualitas sedikit lebih

rendah dibandingkan dengan jenis yang digunakan oleh petani mitra. Petani yang

tidak bermitra, memilih hanya bekerjasama dengan tengkulak sebagai pihak yang

membeli hasil panen petani. Selama proses kerjasama dengan tengkulak, tidak

terjadi proses pemberian sosialisasi secara formal dari pihak tengkulak. Hanya

pertukaran informasi mengenai perubahan harga jual tembakau selama proses

kesepakatan jual beli. Sebelumnya, masing-masing pihak sudah mengetahui

perubahan harga jual dilihat dari cuaca dan curah hujan serta tampilan daun

tembakau yang sudah dirajang. Sehingga kesepakatan harga dapat tercapai dengan

mudah tanpa harus merugikan pihak manapun.

Perbedaan penerimaan sosialisasi responden terlihat dari 18 responden yang

bermitra di tahun 2011 dan tidak lagi bermitra di tahun 2012. Responden ini

adalah petani yang terikat kemitraan dengan pabrik rokok Djarum. Petani

menerima sosialisasi di tahun 2011 dari pihak mitra secara formal. Sedangkan di

tahun 2012, responden tidak menerima sosialisasi secara formal dari tengkulak,

tetapi hanya terjadi pertukaran informasi secara informal antara petani dengan

tengkulak.

Tingkat Akses Petani

Tingkat akses petani adalah kondisi dimana petani berusaha mencari dan

memperoleh sumberdaya yang dibutuhkan selama proses produksi. Tingkat akses

ini dibagi dalam tiga kategori, yaitu akses terhadap teknologi, finansial, dan pasar.

Kemudahan petani dalam mengakses faktor produksi akan mempengaruhi

ketersediaan bahan yang baik selama tanam tembakau seperti yang terlihat pada

Tabel 13.

Tabel 13 Jumlah dan persentase tingkat akses petani Desa Bansari

Tingkat akses

Petani

2011 2012

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Rendah 18 28 0 0

Tinggi 47 72 65 100

Total 65 100 65 100

30

Pada tahun 2011, sebanyak 18 responden memiliki kemampuan akses

rendah dan responden tersebut bermitra dengan pabrik rokok Djarum. Pemenuhan

terhadap akses berkaitan dengan pihak mitra, terutama dalam hal teknologi dan

pasar. Akses petani pada teknologi yang dipenuhi oleh pihak mitra hanya sedikit

bantuan pupuk. Sedangkan sisa kebutuhan lain yang belum terpenuhi harus

dipenuhi secara mandiri oleh petani karena tidak terdapat dalan perjanjian. Akses

petani pada pasar juga ditentukan oleh pihak mitra. Penjualan hasil tembakau

hanya boleh dilakukan dengan pihak mitra. Sedangkan akses terhadap modal tidak

diberikan oleh pihak mitra, sehingga petani harus mencari mandiri. Berbeda

dengan penentuan harga jual tembakau yang memang sudah ditentukan oleh pihak

mitra dan petani tidak dapat melakukan penawaran lebih tinggi. Menurut

responden yang bermitra, keadaan ini sebenarnya merugikan petani, tetapi karena

keanggotaan sebagai kelompok tani dan sebagai bentuk menjalin hubungan

kerjasama yang baik dengan pabrik, maka responden sepakat untuk bermitra

dengan pabrik rokok.

Keadaan yang berbeda terjadi pada 47 responden yang tidak bergabung

dengan kemitraan pada tahun 2011 dan 65 responden di tahun 2012 yang

memutuskan tidak bergabung dengan kemitraan, termasuk 18 responden

diantaranya yang memilih tidak melanjutkan hubungan kemitraan. Keduanya

memiliki kemampuan akses yang tinggi. Tengkulak adalah pihak yang diajak

kerjasama oleh petani yang tidak bermitra. Petani dapat dengan bebas memilih

setiap jenis akses kebutuhan yang diperlukan dalam menanam tembakau. Akses

dalam teknologi, pasar, dan finansial dapat dicari dan diperoleh secara mandiri

oleh responden. Kebutuhan dalam hal teknologi bisa diperoleh dari relasi masing-

masing petani. Kemudian, kebutuhan akan pasar dapat dilakukan dengan bantuan

tengkulak. Penjualan tembakau biasa dilakukan petani bersama tengkulak.

Selanjutnya, kebutuhan finansial, baik cara memperoleh modal maupun harga jual

tembakau dapat dilakukan secara mandiri oleh petani. Modal yang dibutuhkan

dapat diperoleh melalui dana pribadi yang sudah disiapkan oleh petani atau

melakukan pinjaman kepada bank atau koperasi. Harga jual tembakau tidak

ditentukan oleh pihak tengkulak, melainkan terjadi proses tawar-menawar antara

petani dan tengkulak. Pertukaran informasi kerap terjadi antara petani dan

tengkulak mengenai perubahan harga, sehingga petani berani menawar harga

lebih tinggi jika kualitas daun tembakau yang dimiliki lebih baik.

Perbedaan kemampuan akses petani dapat terlihat dari 18 responden yang

bermitra di tahun 2011 dan tidak melanjutkan kemitraan di tahun 2012. Perbedaan

tersebut terlihat pada Tabel 14

Tabel 14 Perbedaan tingkat akses 18 responden di tahun 2011 dan 2012

Perbedaan Mitra (2011) Tidak mitra (2012)

Mudah akses teknologi ×

Mudah akses saprotan ×

Mudah akses modal ×

Mudah menentukan harga jual ×

Mudah menentukan pasar ×

Perbedaan akses petani lebih mudah saat tidak bermitra jika dibandingkan

saat bermitra. Kemitraan yang terjalin membuat petani harus mengakses

31

kebutuhan akan teknologi, finansial dan pasar sesuai dengan perjanjian yang

sudah ditentukan. Teknologi (bibit, pupuk, obat, dan pestisida) yang digunakan

harus sesuai dengan jenis yang ada dalam kontrak. Kesulitannya karena jenis yang

dipakai sulit diperoleh dan harganya pun lebih mahal dibanding dengan jenis yang

biasa dipakai petani. Kemudian kesulitan dalam akses finansial ini dilihat dari

kesiapan jumlah modal dan harga jual. Jika kebutuhan teknologi sulit untuk

diakses, maka modal yang disiapkan pun juga harus lebih besar dibandingkan

modal sebelumnya. Selain itu, harga jual daun tembakau petani juga sudah

ditentukan oleh mitra sejak awal kemitraan, sehingga petani sulit menawar dengan

harga yang lebih tinggi. Kesulitan petani dalam mengakses pasar karena tidak

tersedianya pasar alternatif untuk menjual hasil panen, karena seluruh hasil panen

harus dijual kepada mitra.

Petani mengalami banyak kesulitan saat bermitra, karena seluruh proses

akses terpusat hanya di pihak mitra. Petani sulit untuk mengakses sumber lain

(teknologi, finansial dan pasar) di luar pihak mitra. Berbanding terbalik saat 18

responden memutuskan tidak lagi melanjutkan kemitraan. Kemampuan akses

petani jauh lebih mudah dan bebas karena biasanya petani sudah memiliki relasi

yang baik. Petani juga bisa mengakses sumberdaya lain yang dianggap

menguntungkan dan mempermudah petani selama proses produksi tembakau.

Akses terhadap teknologi, finansial dan pasar bisa dilakukan petani bersama

berbagai pihak. Keuntungan penjualan tembakau yang didapat petani juga jauh

lebih besar saat tidak bermitra jika dibandingkan saat bermitra. Oleh karena itu,

petani memilih tidak lagi melakukan kemitraan agar lebih mudah mengakses

kebutuhan selama proses produksi.

Hubungan Penerimaan Sosialisasi dan Tingkat Akses Petani

Pemberian sosialisasi oleh pihak mitra dapat mempengaruhi kemudahan tingkat

akses petani terhadap kebutuhan faktor produksi.

Tabel 15 Hubungan penerimaan sosialisasi dan tingkat akses petani

Penerimaan

Sosialisasi

Tingkat Akses

2011 2012

Tinggi Rendah Tinggi Rendah

f % f % f % f %

Rendah 47 100 0 0 65 100 0 0

Tinggi 0 0 18 100 0 0 0 0

Jumlah 47 100 18 100 65 100 0 0

Berdasarkan perhitungan pada tabulasi silang Tabel 15, menunjukkan

bahwa ada hubungan yang berbanding terbalik antara penerimaan sosialisasi

dengan tingkat akses petani. Penerimaan sosialisasi yang rendah menunjukkan

tingkat akses yang tinggi. Keadaan ini dikarenakan 47 responden tidak melakukan

hubungan kemitraan dengan pabrik rokok. Kondisi ini serupa pada tahun 2012

yang tidak ada lagi kemitraan dengan pihak pabrik, termasuk 18 responden yang

mulanya bermitra pada tahun 2011 memutuskan tidak lagi bermitra pada tahun

2012. Petani yang tidak bermitra memang tidak mendapatkan sosialisasi, karena

sosialisasi hanya untuk petani mitra saja. Sosialisasi ini diberlakukan sebagai

32

bentuk pemenuhan kebutuhan kualitas tembakau yang diinginkan oleh pihak

mitra. Jika dikaitkan dengan tingkat akses yang tinggi, petani yang tidak bermitra

menuturkan bahwa mereka tidak menemui kesulitan untuk pemenuhan kebutuhan

pada teknologi, finansial, dan pasar. Bahkan petani dapat dengan mudah

memperoleh kebutuhan tersebut dari pihak manapun. Lain halnya dengan 18

responden yang bermitra di tahun 2011. Selama proses sosialisasi diberikan,

petani diminta untuk memproduksi tembakau sesuai dengan kriteria yang

diinginkan pabrik. Bantuan yang sedikit dari pihak mitra pun dianggap tidak

cukup membantu petani saat masa tanam, karena petani harus menanam tembakau

sesuai perjanjian dan memenuhi kekurangan kebutuhan lain secara mandiri.

“...mending gak dapet sosialisasi aja mbak. Bingung saya malahan

kalo ngikut tuh, beda sama kenyataan. Ada kok yang ikut dulu, tapi

gak pernah dipake, gak sesuai soale sama keadaan sawah. Lagian

kalo dapet sosialisasi gitu kan cuma yang aktif aja. Kalo yang gak

dapet malah bisa kemana-mana, bebas dadine mbak...” (Smn, 55

tahun)

Menurut pengakuan 18 responden, mereka yang mengikuti kemitraan pasti

akan mendapatkan sosialisasi, dan yang paling sulit dilepas adalah penggunaan

jenis kebutuhan produksi, pemasaran dan harga saat panen tembakau. Petani yang

bermitra dan mendapatkan sosialisasi, secara jelas terikat kontrak dengan pabrik

rokok. Pemasaran hasil panen tembakau tentu tidak sebebas petani yang tidak

bermitra. Petani yang bermitra akan menjual hasil tembakaunya kepada pihak

mitra saja dan tidak diizinkan untuk dijual kepada pihak lain. Jumlah dan kriteria

pencapaian panen pun juga ditentukan oleh pihak mitra. Sedangkan, petani yang

tidak bermitra, hanya akan melakukan hubungan kerjasama dengan tengkulak

saja. Tengkulak tidak berperan dalam pemberian sosialisasi, pemenuhan

kebutuhan produksi, dan penentu harga jual. Peran tengkulak hanya sebagai

pembeli hasil daun tembakau milik petani. Penjualan hasil panen ke tengkulak

dapat dilakukan kepada lebih dari satu tengkulak.

Pada penentuan harga jual tembakau, petani yang tidak bermitra dapat

melakukan proses tawar menawar dan ikut serta menentukan harga bersama

tengkulak. Hal ini tidak berlaku bagi mereka yang mengikuti kemitraan bersama

pabrik rokok. Petani tidak dapat menentukan harga jual tembakau yang sudah

ditanam. Semua harga ditentukan oleh pihak pabrik sesuai dengan kualitas daun

yang dihasilkan. Selain itu, petani juga tidak diizinkan untuk menjual kepada

pihak lain selain pabrik mitra. Jika kualitas hasil panen tidak sesuai dengan

perjanjian, maka harga yang diberikan pun akan sangat rendah dibandingkan

harga normal. Keadaan ini tentu membuat petani mengalami kerugian dan

kesulitan dalam mengakses pasar maupun harga yang dibutuhkan.

Kebutuhan pada teknologi dan finansial dari segi modal tidak menjadi

masalah bagi petani yang tidak bermitra. Semua kebutuhan teknologi dapat

dipesan melalui distributor, dan modal dapat disiapkan dengan cara dari masing-

masing petani. Sedangkan petani yang melakukan kemitraan dengan pabrik rokok,

sebagian kebutuhan pada teknologi dibantu oleh pihak mitra, selanjutnya petani

mencari sesuai jenis yang diminta oleh mitra. Bantuan yang diterima ini tidak

diberikan secara cuma-cuma, melainkan petani harus membayar sesuai dengan

33

harga yang ada di pasaran. Selain itu modal awal yang diperlukan seluruhnya

disiapkan oleh petani. Jadi dalam hubungan kemitraan dan suasana sosialisasi

yang dibentuk merupakan salah satu cara penciptaan kondisi menanam tembakau

sesuai dengan yang diinginkan oleh pabrik rokok.

Melihat uraian diatas, hubungan penerimaan sosialisasi berbanding terbalik

dengan tingkat akses petani. Hal ini dikarenakan, sebanyak 18 petani yang

menerima sosialisasi terikat kontrak kemitraan dengan pabrik rokok pada tahun

2011. Hubungan kemitraan yang terbentuk menghambat kemudahan akses petani

dalam pemenuhan kebutuhan pada teknologi, finansial dan pasar, karena semua

harus disesuaikan dengan kriteria pabrik. Sedangkan, 47 petani lainnya memang

tidak menerima sosialisasi karena tidak bermitra dengan pabrik, sehingga tidak

mengalami kesulitan akses pada teknologi, finansial dan pasar. Sejak tahun 2012

hingga saat ini, petani lebih memilih bekerja mandiri, tidak bermitra dan hanya

bekerjasama dengan tengkulak sebagai pihak pembeli hasil panen, sehingga

kemampuan akses mereka tetap berjalan dengan baik.

Perbedaan hubungan penerimaan sosialisasi dan tingkat akses petani dapat

terlihat pada 18 responden saat bermitra (2011) dan tidak lagi bermitra (2012).

Pada tahun 2011, responden menerima sosialisasi dari mitra, karena

keterlibatannya dalam kemitraan. Tetapi kemampuan akses petani lebih sulit,

karena keharusan petani untuk menyesuaikan faktor produksi sesuai yang

tercantum dalam kontrak. Keadaan yang berbeda terlihat ketika 18 responden ini

tidak lagi melanjutkan kemitraan di tahun 2012. Petani lebih mudah mengakses

faktor produksi yang diinginkan sesuai dengan kemampuan, walaupun tidak

menerima sosialisasi dari pihak manapun secara formal.

Hubungan Tingkat Ketergantungan dan Tingkat Akses Petani

Tingkat ketergantungan petani terhadap kemitraan ini akan diukur dan

dinilai berdasarkan nilai akumulasi variabel tingkat akses petani. Ketergantungan

terhadap mitra akan terlihat dari tinggi atau rendahnya kemampuan akses petani

terhadap kebutuhan penanaman tembakau.

Tabel 16 Hubungan tingkat ketergantungan petani dan tingkat akses

Tingkat

Akses

Ketergantungan

2011 2012

Rendah Tinggi Rendah Tinggi

f % f % f % f %

Tinggi 47 100 0 0 65 100 0 0

Rendah 0 0 18 100 0 0 0 0

Jumlah 47 100 18 100 65 100 0 0

Berdasarkan data pada Tabel 16 menunjukkan bahwa tingkat akses petani

berbanding terbalik dengan tingkat ketergantungan petani. Akses petani yang

rendah menunjukkan ketergantungan yang tinggi terhadap mitra. Hal ini

dikarenakan sebanyak 18 responden terikat kontrak kemitraan dengan pabrik

rokok pada tahun 2011. Ketergantungan petani tersebut dalam hal akses terhadap

teknologi dan pasar. Sedangkan akses terhadap finansial hanya terkait dengan

penentuan harga jual yang sudah ditetapkan oleh pabrik. Petani mitra harus

34

menanam tembakau sesuai yang diinginkan pabrik. Dimulai dari jenis bibit,

pupuk, obat dan pestisida yang harus digunakan selama masa tanam. Hal ini

dianggap menyulitkan bagi petani, karena tidak dapat menggunakan jenis yang

biasa dipakai. Responden menuturkan, jenis yang diminta pabrik diperoleh dari

luar wilayah Kecamatan Bansari dengan harga yang lebih mahal. Sama halnya

dengan akses pemasaran petani mitra yang terbatas hanya kepada pabrik mitra.

Penentuan harga jual oleh pabrik juga tidak sesuai dengan yang sudah petani

lakukan. Petani juga tidak dapat melakukan penawaran lebih tinggi atas hasil

panen tembakaunya. Inilah alasan petani mitra cenderung sulit dalam mengakses

kebutuhan secara bebas dan mandiri, karena bergantung pada pihak mitra yang

menginginkan kriteria tertentu pada tembakau yang dibutuhkan. Sebagai

pelaksana kemitraan, petani hanya dapat melakukan sesuai kesepakatan dalam

kemitraan.

Lain pihak dengan 47 responden yang memiliki ketergantungan rendah

dengan kemampuan akses tinggi. Mereka adalah petani yang tidak bermitra

dengan pabrik rokok. Akses terhadap teknologi, finansial, dan pasar dapat

dilakukan dengan mudah karena responden bebas menentukan setiap kebutuhan.

Akan tetapi dalam hal penjualan hasil, petani membutuhkan tengkulak sebagai

pihak yang akan membeli daun tembakau milik petani. Ketika petani tidak dapat

menjualnya kepada tengkulak, maka akan dijual di pasar dengan harga yang lebih

murah. Biasanya, tembakau yang dijual di pasar adalah daun tembakau yang

memiliki kualitas lebih buruk dibandingkan dengan daun yang sudah terjual pada

tengkulak.

“...wah yo mending gak bermitra to mbak. Kalo bermitra ya gitu,

kabeh kudu nganut pabrik, tergantung pabrike piye. Soale kalo ikut

kemitraan, mau ngapa-ngapain itu susah, mau jual gak bebas, regane

yo ora penak, udah gitu semuanya disiapin sendiri.” (Sbd, 51 tahun)

Pada tahun 2012 seluruh petani memiliki tingkat akses tinggi. Hal ini karena

18 responden petani yang mulanya bermitra memutuskan tidak melanjutkan

kemitraan dan hanya bekerjasama dengan tengkulak. Sedangkan, 47 responden

lainnya tetap bekerjasama dengan tengkulak. Ketergantungan petani pun rendah

dan dapat dengan bebas mengakses kebutuhan produksi tanpa harus terikat

dengan pihak manapun. Secara mandiri, petani dapat menentukan pihak-pihak

mana saja yang dapat bekerjasama dengan prinsip saling menguntungkan. Modal

yang diperlukan petani juga dapat disiapkan secara mandiri. Menurut responden

yang bermitra, sama saja petani mitra dan tidak bermitra, karena untuk

mempersiapkan modal awal memang harus dicari sendiri. Responden menjelaskan

bahwa akses penjualan yang dimiliki oleh setiap petani berbeda-beda, bergantung

pada relasi yang dimiliki, tetapi memiliki alur yang sama. Semua petani menjual

kepada setiap tengkulak yang datang kerumah, lalu terjadi proses tawar menawar

harga. Biasanya, pada proses ini terjadi pertukaran informasi mengenai

pembudidayaan tembakau yang berkembang di daerah lain. Setelah tercapai

kesepakatan, petani mengantarkan tembakaunya ke tempat tengkulak tersebut.

Pembeda akses penjualan pada setiap petani adalah jumlah dan pihak tengkulak

yang diajak bekerjasama. Secara ringkas alur penjualan tembakau seperti pada

Gambar 2.

35

terjadi proses tawar menawar dan pembelian

mengantarkan tembakau sesuai kesepakatan

Gambar 2 Rantai pemasaran tembakau

Kemampuan akses petani dirasa tidak sulit ketika harus mencari bahan dan

alat untuk menanam tembakau. Semua dapat diperoleh dari distributor langganan

masing-masing petani. Biasanya petani melakukan pemesanan dalam jumlah

besar, karena lahan yang akan digunakan juga besar. Menurut responden banyak

yang menjadi distributor untuk kebutuhan semacam ini, tetapi berada di luar

wilayah Desa Bansari. Petani tembakau Desa Bansari menggunakan pupuk

kandang, ZA, dan fertila sebagai pupuk yang aman untuk tembakau. Sedangkan

pestisida dan obat hanya untuk mengusir hama saja. Pada saat masa tanam

tembakau berlangsung, seluruh lahan pertanian beralih fungsi untuk menanam

tembakau. Setiap satu kali masa tanam, petani dapat menghasilkan 40 sampai 45

keranjang isi tembakau dengan masing-masing keranjang berkapasitas 35 sampai

40 kg. Jadi dalam satu kali masa tanam, petani dapat mengumpulkan sekitar 1 400

sampai 1 800 kg daun tembakau.

Selain penjualan, penentuan harga jual tembakau pun juga tidak

menyulitkan petani. Proses tawar menawar terjadi secara alami antara petani

dengan tengkulak. Pada umumnya, tengkulak akan membeli dalam jumlah banyak

pada petani dengan kualitas daun yang baik. Bagi petani, selama cuaca

mendukung maka tidak akan merusak kualitas daun tembakau. Kondisi cuaca

yang dibutuhkan petani adalah cuaca yang kering dengan curah hujan yang jarang.

Kualitas daun tembakau di Desa Bansari terkenal selalu bagus dan baik, oleh

karena itu petani dapat mematok harga tinggi untuk setiap penjualan tembakau

mereka. Harga yang biasa ditawarkan dalam 1 kg tembakau berkisar antara

Rp150 000 sampai Rp200 000. Jika kita jumlahkan dengan hasil yang diperoleh

petani, maka dalam satu kali masa tanam petani dapat mengumpulkan hasil

keuntungan berkisar antara Rp210 000 000 sampai Rp360 000 000. Ini adalah

perhitungan yang diperoleh petani jika tidak melakukan kemitraan.

Berbeda dengan petani yang melakukan kemitraan, dalam satu kali masa

tanam petani hanya dapat mengumpulkan keuntungan sebesar Rp112 000 000

sampai Rp180 000 000. Asumsi yang digunakan adalah, panen daun tembakau

berkisar antara 1 400 sampai 1 800 kg dengan harga dalam 1 kg daun tembakau

yang diberikan pihak mitra berkisar antara Rp80 000 sampai Rp100 000.

Perbedaan keuntungan inilah yang menyebabkan petani Bansari saat ini memilih

tidak bermitra dengan pabrik rokok.

Perbedaan kondisi ketergantungan dan akses petani dapat dilihat dari 18

responden yang mulanya bermitra (2011) kemudian memutuskan tidak bermitra

(2012). Saat bermitra, akses petani sulit karena harus menyesuaikan dengan

kontrak kemitraan, sehingga ketergantungan petani terhadap mitra pun tinggi.

Berbeda ketika petani tidak lagi melanjutkan kemitraan. Petani dapat dengan

Petani Tembakau Tengkulak

36

mudah mengakses seluruh kebutuhan produksi sesuai keinginan maisng-masing.

Ketergantungan petani pun rendah, karena petani tidak lagi terlibat hubungan

kemitraan dengan siapapun. Petani dapat dengan mudah menentukan sumberdaya

pengganti ketika sumberdaya yang biasa digunakan tidak dapat dipakai. Namun,

ketika bermitra, mau tidak mau petani harus mencari dan menyesuaikan dengan

sumberdaya yang diinginkan oleh mitra. Sampai saat ini petani lebih memilih

tidak lagi bermitra, karena selain mempermudah akses kebutuhan produksi, petani

juga tidak perlu bergantung dengan pihak manapun. Selain itu, keuntungan hasil

penjualan tembakau juga lebih menjanjikan untuk kesejahteraan hidup petani

tembakau saat tidak bermitra.

KETERGANTUNGAN PETANI PADA TEMBAKAU

Sosialisasi, Akses, dan Ketergantungan

Kemampuan akses petani pada sarana produksi menjadi salah satu hal yang

dapat melihat ketergantungan petani terhadap komoditas tertentu. Akses yang

dimiliki oleh petani dapat dipengaruhi oleh penerimaan sosialisasi yang

dibutuhkan. Sosialisasi ini dapat menambah wawasan pengetahuan bagi pihak

yang mendapatkannya. Jika melihat hasil yang ditunjukkan pada Tabel 13 – 14,

terjadi hubungan yang berbanding lurus antara penerimaan sosialisasi dengan

tingkat ketergantungan. Sedangkan keduanya berbanding terbalik dengan tingkat

akses.

Sebanyak 18 responden menunjukkan penerimaan sosialisasi dan tingkat

ketergantungan yang tinggi sedangkan kemampuan tingkat akses yang dimiliki

rendah. Keadaan ini merujuk kepada petani yang bermitra dengan pabrik rokok

Djarum. Hubungan antara penerimaan sosialisasi dan tingkat ketergantungan pada

petani yang bermitra adalah sosialisasi diberikan oleh pihak mitra. Selama

pemberian sosialisasi, pihak mitra meminta petani untuk menanam tembakau

sesuai keinginan pabrik. Kondisi ini menyebabkan ketergantungan petani tinggi

terhadap mitra. Jika petani tidak dapat memenuhi kebutuhan mitra dari segi

kualitas hasil tembakau, maka daun tembakau akan diberi harga rendah dari harga

normal. Ini menyebabkan petani mengalami posisi yang sulit, karena keuntungan

yang didapat juga akan semakin berkurang. Kemudian, tingkat akses petani yang

rendah ini terbatasi oleh hubungan kontrak petani dengan mitra, sehingga petani

tidak bebas menentukan pilihan dalam hal pemenuhan saprotan, teknologi,

finansial, dan pemasaran.

Sebaliknya, sebanyak 47 responden menunjukkan penerimaan sosialisasi

dan tingkat ketergantungan yang rendah. Kategori ini merujuk pada petani yang

tidak bermitra. Pada saat yang sama petani mitra mendapat sosialisasi, sedangkan

petani yang tidak bermitra tentu tidak mendapatkan sosialiasi. Kondisi ini sama

seperti pada tahun 2012, dimana 18 petani yang bermitra memilih tidak

melanjutkan kemitraan dengan pabrik rokok dan 47 responden lainnya tetap tidak

bermitra. Tetapi, petani memiliki kemampuan akses yang tinggi, karena bebas

menentukan pilihan pemenuhan kebutuhan saprotan, teknologi, finansial, dan cara

pemasaran yang diinginkan. Keadaan ini tentu membuat ketergantungan petani

yang tidak bermitra rendah karena tidak terikat kontrak dengan siapapun dan

bebas memilih. Secara sederhana perbedaan antara petani yang bermitra dan tidak

bermitra digambarkan pada Tabel 15

Tabel 17 Perbedaan petani bermitra dan tidak bermitra

Petani bermitra Petani tidak bermitra

Menerima sosialisasi × Bergantung pada pihak mitra × Kemampuan akses tinggi ×

38

Kemitraan, Ketergantungan, dan Perubahan pada Petani Tembakau

Kemitraan tembakau di Desa Bansari dilakukan bersama pabrik rokok

Djarum. Hubungan ini melibatkan petani yang tergabung dalam keanggotaan

kelompok tani. Melalui kepala desa dan kepala dusun, petani yang bergabung

dalam kelompok tani akan diajak berdiskusi dengan pihak pabrik. Pengakuan

beberapa responden yang bermitra, saat proses diskusi pihak pabrik akan

menceritakan keuntungan yang diperoleh melalui kemitraan ini. Keuntungan

tersebut berkaitan dengan bibit, hasil panen, relasi, dan penggunaan saprotan.

Bibit yang digunakan dalam hubungan kemitraan ini adalah bibit Tembakau

Temanggung. Ini adalah bibit unggul yang memang dibuat dengan bantuan

teknologi canggih, sehingga memiliki kualitas dan harga bibit yang jauh lebih

mahal daripada bibit mloko yang dibuat secara manual oleh petani. Memperoleh

bibit ini biasanya berada di pusat Kota Temanggung.

Keuntungan selanjutnya adalah penggunaan saprotan yang lebih unggul

dibandingkan dengan yang biasa digunakan petani. Responden mengatakan

bahwa pupuk, obat, dan pestisida yang digunakan oleh mitra lebih banyak

mengandung zat kimia. Awalnya petani tidak yakin karena biasa menggunakan

jenis yang alami dengan sedikit zat kimia, tetapi pihak mitra terus berusaha

meyakinkan bahwa saprotan yang digunakan tetap aman untuk tanah dan

tembakau. Kemitraan ini juga dirasa dapat menguntungkan petani dari segi relasi

yang tercipta. Pihak mitra mengatakan kepada petani bahwa melalui hubungan ini,

jika nantinya kontrak kerjasama habis dan petani tetap dapat menghasilkan

kualitas daun yang terbaik, maka tidak menutup kemungkinan hasil panennya

akan dibeli oleh pabrik dengan harga tinggi. Selain itu, pihak mitra juga memberi

keyakinan kepada petani kalau hasil daun tembakau yang ditanam memiliki

kualitas yang jauh lebih baik. Tak lupa, pihak pabrik juga akan memberikan

sosialisasi lanjutan mengenai keuntungan-keuntungan lainnya dan kemudahan

yang dapat diperoleh petani. Setelah proses diskusi berlangsung, salah seorang

responden mengatakan bahwa petani yang hadir menyetujui untuk bergabung

dengan kemitraan ini. Keputusan diambil secara mufakat bersama kepala desa dan

kepala dusun setempat.

Persetujuan didapat, perjanjian diterima, dan kemitraan berjalan

sebagaimana mestinya dengan 18 petani sebagai pelaksana kemitraan yang harus

menanam tembakau sesuai kriteria yang diminta pabrik. Setelah kemitraan mulai

berjalan, kriteria yang diminta oleh pabrik dinilai memberatkan karena petani

harus mencari sampai ke pusat Kota Temanggung untuk memenuhi keperluan

tersebut. Tak jarang petani juga harus keluar kota Temanggung untuk

mendapatkan pupuk dan obat yang sesuai. Selama perjalanannya petani

beranggapan bahwa kerjasama kemitraan ini hanya akan menguntungkan pihak

pabrik saja. Petani tidak dapat terlepas dari hubungan kemitraan ini, karena ikatan

kontrak yang sudah disepakati. Penetapan kriteria dan persyaratan yang harus

dilakukan petani membuat petani mengalami ketergantungan dengan pihak mitra.

Secara umum, responden mengatakan bahwa kemitraan ini sulit untuk dilanjutkan

karena petani tidak memiliki kebebasan memilih dan menentukan secara mandiri.

Pada akhir tahun 2011 saat kontrak kerja berakhir, petani yang bermitra

memutuskan untuk tidak melanjutkan dan memilih kembali kerjasama dengan

tengkulak saja.

39

Perbedaan hubungan kerjasama antara pabrik rokok dan tengkulak terletak

pada dua hal, yaitu perjanjian dan kemampuan akses petani. Bekerjasama dengan

pabrik dikatakan sebagai kemitraan karena memiliki bukti perjanjian yang sah.

Perjanjian tersebut mengatur hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh petani

mitra dan pabrik mitra, berikut dengan keuntungan dan sanksi jika melanggar.

Akan tetapi, kemampuan akses petani sulit karena petani tidak bisa menjadi

mandiri dan harus bergantung pada kesepakatan yang ada. Berbeda dengan

kerjasama petani dan tengkulak. Tidak ada perjanjian yang dilakukan oleh kedua

belah pihak. Petani bebas memilih dan menentukan seluruh faktor produksi dan

pemasaran yang dianggap baik dan menguntungkan. Kebebasan inilah yang

memudahkan akses petani dalam segala kebutuhan selama masa tanam, panen,

dan penjualan tembakau. Sampai saat ini, Desa Bansari tidak lagi menjalankan

proses kemitraan dengan pihak manapun karena petani setempat sudah memiliki

pengalaman dan pengetahuan yang mumpuni tentang usaha produksi tembakau.

Perbedaan lainnya dapat dilihat dari 18 responden yang mulanya bermitra

(2011) kemudian tidak lagi melanjutkan kemitraan (2012). Seperti yang sudah

dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, 18 responden ini mengaku lebih nyaman

melakukan proses produksi tanpa adanya hubungan kemitraan. Kembali, secara

sederhana perbedaan ini dijelaskan melalui Tabel 18

Tabel 18 Perbedaan kondisi ketergantungan 18 responden saat bermitra (2011)

dan tidak bermitra (2012)

Perbedaan Mitra (2011) Tidak mitra (2012)

Menerima sosialisasi ×

Mudah akses saprotan ×

Mudah akses teknologi ×

Mudah akses modal ×

Mudah akses pasar jual ×

Jaminan pinjaman modal dari

mitra × ×

Mudah menentukan harga jual ×

Ketergantungan pada mitra ×

Berdasarkan perbedaan pada Tabel 18, terlihat alasan petani memilih tidak

lagi melanjutkan kemitraan. Jika melihat dari sisi petani, di tahun 2011, petani

hanya memperoleh sosialisasi dari mitra dan bergantung pada pabrik rokok.

Petani juga memperoleh kesulitan saat mengakses seluruh kebutuhan produksi,

karena harus menyesuaikan dengan kriteria yang diinginkan mitra dalam kontrak

kemitraan. Selain itu, tidak ada jaminan pinjaman modal dari mitra, sehingga

petani harus mencari sendiri modal tambahan yang diperlukan untuk memenuhi

kriteria kebutuhan produksi saat bermitra. Kondisi yang berbeda terjadi saat 18

petani tidak lagi melanjutkan kemitraan. Sosialisasi memang tidak diterima petani

dari pihak manapun, tetapi tidak membuat petani kekurangan informasi mengenai

tembakau. Pertukaran informasi kerap kali dilakukan petani bersama tengkulak,

terutama mengenai perubahan harga jual tembakau di daerah lain. Petani juga

tidak merasakan kesulitan saat mengakses kebutuhan produksi, karena dapat

menyesuaikan dengan jenis yang biasa digunakan saat tidak bermitra. Oleh karena

itu, petani memilih tidak lagi melanjutkan kemitraan.

40

Ketergantungan Petani pada Tembakau

Bagi petani Desa Bansari, menanam tembakau adalah pekerjaan utama jika

dibandingkan dengan menanam tanaman lain. Biasanya petani akan menanam

bawang merah, cabai, kacang panjang, jagung dan kol putih sebagai tanaman

sampingan selain tembakau. Seluruh responden mengatakan bahwa proses

penanaman dan perawatan tembakau jauh lebih mudah dilakukan. Cara

penanaman tembakau sama seperti komoditas lainnya menggunakan tanah yang

sudah digemburkan. Selanjutnya adalah perawatan tembakau yang tidak

menyulitkan petani. Jika komoditas lain harus rutin diberi irigasi, pemupukan,

pemberian obat dan pestisida antara 3 sampai 7 hari sekali, maka tembakau hanya

perlu waktu 14 hari sekali untuk kembali diberi nutrisi. Perawatan tembakau juga

tidak sulit karena petani hanya 3 hari sekali berkunjung ke ladang setelah masa

tanam, sedangkan komoditas lain memerlukan waktu setiap hari untuk

memastikan tanaman tetap sehat.

Tembakau dapat ditanam di tanah sawah dan tanah tegalan. Tanah sawah

memiliki tekstur tanah yang lebih basah dibandingkan tanah tegalan. Biasanya

tanah sawah ditanami tanaman sejenis padi, jagung, kacang panjang, kol, dan

tebu. Tembakau dapat ditanam di tanah sawah, tetapi hasil daun tembakau yang

diperoleh memiliki kualitas yang jauh lebih buruk dibandingkan. Tembakau yang

ditanam di tanah sawah, memiliki tampilan yang tidak terlalu kering, aroma

tembakau kurang menyengat, dan tekstur yang lebih lembut. Tanah tegalan

memiliki struktur tanah yang lebih kering. Selain itu, wilayah yang memiliki

tanah tegalan merupakan wilayah berdataran tinggi dengan udara dingin, tetapi

tidak kurang sinar matahari. Menurut pengalaman responden, inilah wilayah yang

paling baik untuk menanam tembakau dengan hasil yang baik pula. Waktu yang

baik untuk menanam tembakau di Desa Bansari saat memasuki bulan Mei dan

akan panen pada bulan Agustus. Hal ini dikarenakan, pada bulan Mei merupakan

waktu pergantian musim hujan menuju musim kemarau. Curah hujan mulai

sedikit dengan temperatur udara yang masih lebih dingin dibandingkan saat

kemarau. Memasuki bulan Juni dan seterusnya, suhu udara kemarau dan terik

matahari dibutuhkan tembakau agar daun tidak terlalu basah. Terbukti dengan

metode ini hasil panen petani tembakau Desa Bansari memiliki kualitas baik

dengan harga yang tinggi. Masa tanam dibulan yang lain diisi dengan tanaman

sejenis padi, jagung dan sayuran. Tembakau ditanam saat bulan Mei hingga

Agustus, lalu pada bulan September hingga November tanah tegalan akan ditanam

bawang merah dan tanah sawah ditanam padi. Selanjutnya pada bulan Desember

hingga April akan ditanam padi, kol putih, dan kacang pada tanah sawah,

sedangkan tanah tegalan ditanami jagung dan cabai. Secara sederhana masa tanam

tembakau dan komoditi lain, digambarkan seperti Gambar 3.

Bulan tanam

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Padi, jagung, kol putih,

cabai, kacang panjang Tembakau Padi, bawang merah

Gambar 3 Masa tanam lahan Desa Bansari

41

Kondisi tanah yang menguntungkan dan perawatan yang mudah dilakukan

menjadi salah satu alasan petani tetap menanam tembakau. Selain itu, keuntungan

yang diperoleh petani pun jauh lebih besar menanam tembakau dibandingkan

tanaman lain. Kepala Dusun Banaran mengatakan bahwa tembakau tetaplah

tanaman yang juga bisa merugi, ditandai dengan menurunnya harga tembakau.

Akan tetapi, kerugian ini tetap memberikan keuntungan yang lebih banyak

dibandingkan tanaman lain. Jika selama 2 tahun harga pasaran tembakau turun,

maka pada tahun tanam berikutnya keuntungan yang diperoleh dapat menutupi

kerugian 2 tahun sebelumnya. Keuntungan yang diperoleh petani digunakan untuk

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan tak jarang yang membuka usaha

sampingan diluar Desa Bansari. Jika untung yang diperoleh masih berlebih, maka

akan digunakan sebagai modal untuk membeli bibit tanaman lain. Jika

digambarkan, maka ketergantungan terhadap tembakau seperti yang terlihat pada

Gambar

Pabrik rokok Petani Tembakau

Gambar 4 Ketergantungan pada tembakau

Secara history, komoditas ini sudah ditanam sejak lama oleh penduduk desa.

Mayoritas responden mulai menanam tembakau sejak tahun 1975 secara mandiri.

Kepala Desa Bansari menceritakan bahwa tembakau ini sudah berada di

Temanggung sejak jaman penjajahan. Tembakau yang saat itu juga diproduksi dan

digunakan untuk bahan membuat cigar para petinggi penjajah. Potensi wilayah

penanaman tembakau ini ditemukan oleh pihak penjajah. Selanjutnya, tembakau

masih menjadi bahan utama pembuatan rokok, yang terus dikonsumsi oleh

masyarakat. Selain itu, tembakau juga salah satu pemasok devisa negara yang

besar. Sampai saat ini, pabrik rokok masih membutuhkan suplai tembakau yang

diproduksi oleh petani. Pada akhirnya sulit bagi petani tembakau untuk berpindah

kepada komoditas lain. Jika melihat pada Gambar 4, terlihat bahwa tembakau

yang sebenarnya membuat pihak-pihak seperti petani dan pabrik rokok

bergantung. Penanaman tembakau sudah dilakukan secara turun menurun dan

mampu memberikan jaminan keuntungan ekonomi yang lebih baik. Tembakau

memang tidak dapat dihilangkan dari Temanggung dengan mudah dan sudah

menjadi ciri khas setempat.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan:

1. Mekanisme kemitraan di Desa Bansari terbentuk atas pengajuan kerjasama

oleh PT Djarum melalui kepala desa di tahun 2011. Petani yang dilibatkan

dalam kemitraan ini adalah perwakilan anggota kelompok tani di Dusun

Banaran sebanyak 18 orang. Pihak lain yang terlibat selama proses kemitraan

ini adalah PT Djarum, kepala desa, kepala dusun, dan petani. Sedangkan pada

tahun 2012, 18 petani memutuskan tidak lagi melanjutkan kemitraan dan

memilih hanya bekerjasama dengan tengkulak saja.

2. Posisi petani dalam hubungan kemitraan yang terjalin dengan pabrik rokok di

tahun 2011, cenderung menyulitkan petani. Hal ini dikarenakan petani harus

memproduksi tembakau sesuai dengan kesepakatan dan keinginan mitra. Selain

itu, petani juga sulit mengakses faktor produksi yang dibutuhkan. Jika, hasil

daun tembakau tidak sesuai dengan kesepakatan, maka petani merugi karena

daun akan dibayar jauh lebih rendah dibandingkan harga saat petani tidak

bermitra. Oleh karena itu, pada tahun 2012, petani memilih tidak lagi bermitra

dan hanya bekerjasama dengan tengkulak karena petani dapat dengan mudah

menentukan faktor produksi tanpa harus terikat. Kemampuan akses petani juga

lebih mudah, karena petani dapat memilih pihak manapun sesuai dengan relasi

yang dimiliki.

3. Kemitraan di Desa Bansari berakhir pada akhir tahun 2011 dan petani sudah

memilih tidak lagi melanjutkan kemitraan di tahun 2012. Bagi petani,

perubahan kemampuan akses faktor produksi yang lebih mudah terjadi ketika

tidak bermitra. Perubahan ini juga merubah perolehan keuntungan hasil panen

daun tembakau yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan saat bermitra. Selain

itu, ketergantungan petani terhadap pabrik pun berkurang karena petani hanya

bekerjasama dengan tengkulak saat menjual hasil panen. Walaupun petani

tidak memperoleh sosialisasi secara formal, tetapi pertukaran informasi dengan

tengkulak sudah cukup mewakili kebutuhan petani mengenai pembudidayaan

tembakau.

Saran

Melihat hasil penelitian yang telah dilakukan, akan lebih baik jika petani

tembakau di daerah lainnya tidak melakukan kemitraan jika pola kemitraan yang

ditawarkan seperti di Desa Bansari. Hal ini dimaksudkan agar petani dapat dengan

mudah untuk mengembangkan usaha tembakaunya secara mandiri dan sesuai

kebutuhan serta kemampuan petani. Pihak-pihak lainnya, seperti pemerintah

kabupaten dan propinsi, dapat melihat setiap aset sumber daya yang

menguntungkan pada setiap wilayah, sehingga dapat dimaksimalkan

kebermanfaatannya seperti di Desa Bansari.

44

DAFTAR PUSTAKA

Bachriadi D. 1995. Ketergantungan Petani dan Penetrasi Kapitalis: Lima Kasus

Intensifikasi Pertanian dengan Pola Contract Farming. Bandung [ID]:

Yayasan Akatiga. 190 hal.

Fathorrahman, Nasikun J. 2004. Sistem Perdagangan Tembakau di Sumenep

Madura: Mengungkap Ketidakberdayaan Petani Terhadap Pedagang

Tembakau. Sosiosains. 17(02): 247-255. [internet]. [dikutip tanggal 19

Januari 2013]. Dapat diunduh dari:

http://madib.blog.unair.ac.id/files/2011/11/pemberdayaan-ekonomi-

masyarakat-madura.pdf

Fauziah E, Hartoyo S, Kusnadi N, Kuntjoro SU. 2010. Analisa Produktivitas

Usahatani Tembakau di Kabupaten Pamekasan. Organisasi dan Manajemen.

06(02): 119-131. [internet]. [diunduh 19 November 2012]. Dapat diunduh

dari: http://lppm.ut.ac.id/JOM/JOM VOL 6 No 2 Sept 2010 PDF/03 JOM

Elys_Analisis Produktivitas Usahatani Tembakau di Kabupaten

Pamekasan_irul.pdf

Hakim AR. 2004. Pola Hubungan Hukum Pada Program Kemitraan Usahatani

Tembakau di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat. [tesis]. Semarang [ID]:

Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro. [internet]. [diunduh 30

Juni 2013]. Dapat diunduh dari:

http://www.damandiri.or.id/detail.php?id=289

Heriyanto A. 2000. Analisis Pendapatan Usahatani dan Efisiensi Produksi

Tembakau Madura Program Intensifikasi Tembakau Rakyat. [skripsi].

Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 105 hal.

Mamat H.S. 2006. Analisis Mutu, Produktivitas, Keberlanjutan dan Arahan

Pengembangan Usaha Tani Tembakau di Kabupaten Temanggung, Jawa

Tengah. [disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 93 hal.

Iqbal M. 2007. Analisis Peran Pemangku Kepentingan Dan Implementasinya

Dalam Pembangunan Pertanian. Litbang Pertanian. 26(3). [internet].

[diunduh 21 Februari 2013]. Dapat diunduh dari:

http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3263071.pdf

Kertawati SH. 2008. Analisis Sistem Tataniaga Tembakau Mole (Desa Ciburial,

Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat). [skripsi]. Bogor [ID]:

Institut Pertanian Bogor. 89 hal.

Kotter JP. 2001. Kekuasaan, Ketergantungan, dan Manajemen Efektif. (Alih

bahasa oleh Mulyadi JA). Dalam: Mahanani N, editor. What Leaders Really

Do, Kepemimpinan dan Perubahan. Jakarta [ID]: Erlangga. Hal 81.

Latifah HN. 2010. Sikap Petani Tembakau Terhadap Program Kemitraan PT.

Gudang Garam di Kecamatan Sugihwaras, Kabupaten Bojonegoro.

[skripsi]. [internet]. [diunduh tanggal 13 Desember 2012]. Universitas

Sebelas Maret Surakarta. Dapat diunduh dari:

http://eprints.uns.ac.id/269/1/161532508201003171.pdf

Purwandari H. 2011. Sistem Ekonomi Perkebunan: Persistensi Ketergantungan

Negara Dunia Ketiga. Agrisep. 10(01): 63-79

Rochmatika RL. 2006. Kajian Kepuasan Petani Tebu Rakyat Terhadap

Pelaksanaan Kemitraan Pabrik Gula XYZ. [skripsi]. [internet]. [dikutip

46

tanggal 20 Januari 2013]. Institut Pertanian Bogor. Dapat diunduh dari:

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/1285/A06rlr.pdf

Santoso T. 2001. Tata Niaga Tembakau di Madura. Manajemen dan

Kewirausahaan. 03(02): 96-105. [internet]. [diunduh tanggal 29 November

2012]. Dapat diunduh dari:

http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/man/article/viewFile/15612/156

04

Sari DM. 2008. Peramalan Harga dan Produksi Tembakau di Indonesia. [skripsi].

Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 86 hal

Susrusa KB, Zulkifli. 2009. Efektivitas Kemitraan Pada Usahatani Tembakau

Virginia di Kabupaten Lombok Timur. Sosial Ekonomi Pertanian dan

Agribisnis. 09(01): 73-80. [internet]. [diunduh tanggal 28 Desember 2012].

Dapat diunduh dari: http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/91097380.pdf

[UU] Undang-undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha

Kecil

Widiyanto. 2009. Strategi Nafkah Rumah Tangga Petani Tembakau di Lereng

Gunung Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari

Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung). [tesis]. Bogor [ID]: Institut

Pertanian Bogor. 137 hal

47

LAMPIRAN

Lampiran 1 Peta Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Temanggung, Jawa Tengah

48

Lampiran 2 Jadwal Penelitian

Tabel 19 Jadwal Penelitian tahun 2013

Kegiatan Feb Maret April Mei Juni Juli Agustus

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Penyusuna

n proposal

skripsi

Kolokium

Pengambil

an data

lapangan

Pengolah

an dan

analisis

data

Penulisan

draft

skripsi

Sidang

skripsi

Perbaikan

laporan

penelitian

49

Lampiran 3 Data Responden

Data Penduduk Dusun Banaran,

Desa Bansari – Bermitra

No. Nama RT/RW

1 Ihsaudin 1 / 5

2 Tuwaryo 1 / 5

3 Parwito 1 / 5

4 Juwahno 1 / 5

5 Sunarlan 1 / 5

6 Suheru 1 / 5

7 H. Ramin 1 / 5

8 B. Rohyati 2 / 5

9 Tauhid 2 / 5

10 Slamet T 3 / 5

11 Sumono 3 / 5

12 Slamet K 3 / 5

13 Purloto 3 / 5

14 Tuwari 3 / 5

15 Mukayat 3 / 5

16 Tumari K 3 / 5

17 Sukarjo T 3 / 5

18 Sukarjo S 3 / 5

Data Penduduk Dusun Banaran,

Desa Bansari – Tidak Bermitra

No. Nama RT/RW

1 B. Pawit 1 / 5

2 Dedi 1 / 5

3 Purwadi 1 / 5

4 Sukiman 1 / 5

5 Sutarno 1 / 5

6 Santoso 1 / 5

7 Slamet AR 1 / 5

8 Fahrul Rozi 1 / 5

9 Taufik 1 / 5

10 Wahmin 1 / 5

11 Suratman 1 / 5

12 Senen 1 / 5

13 B. Tugi 1 / 5

14 Kadar 1 / 5

15 Wasto 1 / 5

16 Munir 2 / 5

17 Wagito 2 / 5

18 Sidiq 2 / 5

19 Susanto 2 / 5

20 H. Wiyanto 2 / 5

21 Hasim 2 / 5

22 B.H. Mujini 2 / 5

23 Suwarno 2 / 5

24 H. Akrom 2 / 5

25 Purwanto 3 / 5

26 Sumono 3 / 5

27 Solihin 3 / 5

28 Mudiyan 3 / 5

29 Pujiono 3 / 5

30 Purwo 3 / 5

31 Ngatano 3 / 5

32 Muhradin 3 / 5

33 B. Sami 3 / 5

34 Sugiyanto 3 / 5

35 B. Sopiyah 3 / 5

36 Sugito 3 / 5

37 Sarno 3 / 5

38 Kabul 3 / 5

39 Tujiu 3 / 5

40 Subadi 3 / 5

41 Partugi 3 / 5

42 Pariyanto 3 / 5

43 Sukadar 3 / 5

44 Tumari 3 / 5

45 Juwalno 3 / 5

46 Suparlan 3 / 5

47 Nurutomo 3 / 5

50

Lampiran 4 Kuesioner

TINGKAT KETERGANTUNGAN PETANI TEMBAKAU TERHADAP SISTEM

KEMITRAAN DI DESA BANSARI, TEMANGGUNG, JAWA TENGAH

I. IDENTITAS INDIVIDU

1. Nama :......................................................................................................

2. Usia :........................ tahun

3. No. HP :......................................................................................................

4. Pekerjaan:..........................................................................................

5. Alamat : .....................................................................................................

II. PENGALAMAN BEKERJA

1. Lama bekerja Bapak/Ibu sebagai petani tembakau? ...............tahun

2. Pendapatan terbesar Bapak/Ibu selama bertani tembakau? Rp.......................

3. Ada kemitraan di desa ini? Ya/Tidak

4. Apakah Bapak/Ibu ikut kemitraan? Ya/Tidak

5. Kalau ya, sudah berapa lama ikut kemitraan? ...................tahun

6. Dengan siapa Bapak/Ibu menjalin kemitraan?

a. Pabrik rokok b. Tengkulak

III. SOSIALISASI

Siapakah yang sering memberikan sosialisasi kepada Bapak/Ibu?

a. Pabrik rokok

b. Tengkulak

c. Aparat desa

No Pernyataan Ya Tidak

1. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi penggunaan bibit

yang digunakan untuk ditanam di Temanggung

2. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi penggunaan

pupuk yang baik untuk tembakau Temanggung

3. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi penggunaan

obat-obatan yang baik untuk tembakau Temanggung

4. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi penggunaan

pestisida yang baik untuk mengusir hama

5. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi penggunaan

alat/teknologi untuk menanam tembakau Temanggung

6. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi perubahan harga

beli setiap sarana produksi

7. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi perubahan harga

jual tembakau di setiap tahunnya

8. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi pihak-pihak

yang dapat memberikan pinjaman dana untuk modal awal

9. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi pasar-pasar

alternatif untuk menjual sisa hasil panen tembakau

Diisi oleh peneliti

Nomor Responden:

Hari/tanggal wawancara : /

51

IV. TEKNOLOGI

Aspek teknologi diukur dari penyediaan sarana produksi dan pengambil keputusan

Penyediaan Sarana Produksi

Berikan tanda ceklis (√) pada kolom yang dianggap sesuai

No Pernyataan Ya Tidak

1. Bapak/Ibu membuat sendiri bibit setiap mulai menanam

tembakau

2. Bapak/Ibu membeli sendiri pupuk saat menanam

tembakau

3. Bapak/Ibu membeli sendiri obat-obatan selama

menanam tembakau

4. Bapak/Ibu membeli sendiri pestisida selama menanam

tembakau

5. Bapak/Ibu membeli sendiri alat penyemprot selama

menanam tembakau

6. Selama ini Bapak/Ibu mudah mencari sendiri semua

sarana produksi tembakau

Kemana Bapak/Ibu mencari sarana produksi tersebut:

.......................................

Pengambil Keputusan

Berikan tanda ceklis (√) pada kolom yang dianggap sesuai

7. Bapak/Ibu memilih sendiri jenis bibit yang akan ditanam

8. Bapak/Ibu memilih sendiri jenis pupuk yang akan

digunakan

9. Bapak/Ibu memilih sendiri pestisida yang akan

digunakan

10. Bapak/Ibu memilih sendiri obat yang akan digunakan

11. Bapak/Ibu memilih sendiri alat penyemprot yang akan

digunakan

V. FINANSIAL

Aspek finansial akan diukur dari modal dan penentu harga jual

Modal

Berikan tanda ceklis (√) pada kolom yang dianggap sesuai

No Pernyataan Ya Tidak

1. Bapak/Ibu menyiapkan sendiri modal awal untuk

menanam tembakau

2. Bapak/Ibu mudah mencari modal untuk menanam

tembakau

3. Bapak/Ibu meminjam dana dari pihak lain sebagai modal

awal dan bukan pada tengkulak/pabrik rokok

Jika “ya”, darimana sumber dana yang Bapak/Ibu punya:

a. Bank

b. Koperasi

c. Dana pribadi

Penentu Harga Jual

Berikan tanda ceklis (√) pada kolom yang dianggap sesuai

No Pernyataan Ya Tidak

4. Bapak/Ibu dapat menentukan harga jual tembakau

52

5. Bapak/Ibu ikut serta dalam tawar-menawar harga

tembakau

6. Bapak/Ibu dapat mematok harta tinggi setiap penjualan

tembakau

7. Bapak/Ibu dapat memilih alternatif pembeli yang

menawarkan harga paling tinggi

VI. PASAR

Aspek pasar diukur dari pasar alternatif

Pasar Alternatif

Berikan tanda ceklis (√) pada kolom yang dianggap sesuai

No Pernyataan Ya Tidak

1. Bapak/Ibu dapat menjual hasil panen tembakau kepada

pabrik rokok/tengkulak manapun

2. Bapak/Ibu dapat menjual sisa hasil panen kepada pabrik

rokok/tengkulak yang berbeda

3. Bapak/Ibu tidak membutuhkan waktu yang singkat

untuk menjual hasil panen kepada pabrik

rokok/tengkulak

4. Bapak/Ibu mudah menjual hasil panen/sisa hasil panen

tembakau ke pasar lain

5. Bapak/Ibu sering menemui hambatan saat menjual hasil

panen/sisa hasil panen tembakau ke pasar lain

Hambatan apa yang sering dihadapi Bapak/Ibu ingin

menjual ke tempat lain:

a. Terikat kontrak dengan mitra

b. Akses jalan sulit

c. Tranportasi tidak ada

d. Informasi terbatas

Panduan Pertanyaan Mendalam

1. Responden

Pertanyaan Umum:

a. Bapak/Ibu kenapa mau menanam tembakau?

b. Lebih sulit mana Bapak/Ibu menanam tembakau dibanding menanam tanaman

lain?

c. Bagaimana menurut Bapak/Ibu kualitas tembakau temanggung saat ini?

d. Kalau bicara soal keuntungan, lebih untung tembakau atau tanaman lain?

Pertanyaan Khusus: e. Mengenai kemitraan, menurut Bapak/Ibu sudah berapa lama kemitraan di desa ini

ada?

f. Alasan Bapak/Ibu ikut/tidak ikut kemitraan kenapa?

g. Lebih baik mana ? Ikut/tidak ikut kemitraan? Kenapa?

h. Sebenarnya apa yang Bapak/Ibu peroleh dari kemitraan ini?

i. Sepengetahuan Bapak/Ibu, seberapa sering mendapatkan sosialisasi mengenai

sarana produksi tembakau?

j. Menurut Bapak/Ibu, siapa saja pihak yang berperan dalam penanaman tembakau

selain pabrik rokok/tengkulak? Apa saja yang dilakukan?

k. Seberapa sering pihak-pihak tersebut datang ke lahan petani?

l. Selama Bapak/Ibu ikut kemitraan, penghasilan semakin baik atau buruk?

53

m. Sebelum tanam tembakau, siapa yang menyediakan sarana produksi tembakau?

n. Darimana Bapak/Ibu mendapatkan pasokan sarana produksi?

o. Kalau pasokan dari mitra, seberapa banyak mitra menyediakan sarana produksi?

p. Sarana produksi lebih baik dari mitra atau disediakan sendiri?

q. Berapa kisaran modal yang Bapak/Ibu butuhkan untuk tanam tembakau?

r. Pernah atau tidak mitra memberi pinjaman modal awal? Jika pernah kapan dan

berapa banyak?

s. Kalau tidak pernah, Bapak/Ibu cari modal kemana?

t. Menurut Bapak/Ibu, berapa kisaran harga tembakau tahun ini? Tahun kemarin

berapa?

u. Kalau dilihat dari tahun-tahun sebelumnya, kenapa harga tembakau tahun ini

tinggi/rendah?

v. Kenapa Bapak/Ibu tidak dapat ikut serta menawar harga tembakau?

w. Bagaimana alur penjualan tembakau yang biasa Bapak/Ibu lakukan? Kemana

dulu?

x. Perlu waktu berapa lama Bapak/Ibu menjual tembakau?

y. Apakah Bapak/Ibu dapat menjual dengan bebas hasil panen tembakau?

z. Bapak/Ibu pernah menjual ke pasar mana saja untuk hasil/sisa hasil penen

tembakau?

aa. Dalam kondisi seperti ini, kenapa Bapak/Ibu tetap menanam tembakau?

bb. Adakah keinginan Bapak/Ibu untuk menanam komoditas lain? Apa ?

2. Informan

Pertanyaan Umum:

a. Kenapa tembakau bisa masuk ke desa ini?

b. Jenis tembakau apa yang digunakan?

c. Sudah berapa lama tembakau ditanam oleh petani di Temanggung?

d. Menurut Bapak/Ibu sejak kapan kemitraan masuk ke daerah ini?

e. Kenapa sistem kemitraan saat itu berkembang?

Pertanyaan Khusus::

f. Berapa jumlah petani yang ikut dalam hubungan kemitraan ini?

g. Sekarang berapa banyak petani yang tetap melakukan hubungan kemitraan?

h. Saat ini sulit atau tidak untuk tetap menerapkan sistem kemitraan ini?

i. Apa saja kendala yang biasa terjadi selama sistem kemitraan ini berjalan?

j. Apa saja yang biasanya diberikan mitra kepada petani?

k. Pernah ada sosialisasi tidak terkait sarana produksi tembakau ke petani? Seberapa

sering dan siapa yang memberikan sosialisasi?

l. Saat ini petani lebih banyak akses sarana produksi dan modal ke mitra atau sudah

mandiri?

m. Bagaimana kondisi pasar tembakau di desa ini?

n. Kemana saja biasanya mayoritas tembakau disetorkan oleh petani?

o. Jika ada tengkulak, apa peran tengkulak?

p. Bagaimana persaingan penjualan hasil tembakau dari setiap petani/desa?

q. Adakah pihak lain yang turut berperan dalam penanaman tembakau? Siapa saja?

r. Apa yang dilakukan pihak tersebut? Bentuk bantuan? Seberapa sering?

s. Melihat hasil penjualan tembakau selama ini, tembakau memberikan pengaruh

yang baik atau tidak bagi kehidupan petani? Seberapa besar?

t. Menurut Bapak/Ibu, kenapa petani masih terus bertanam tembakau?

u. Adakah keinginan bertanam komoditas lain? Apa?

54

Lampiran 5 Dokumentasi

Daun tembakau usia 3 hari Daun tembakau yang sudah dirajang

Hamparan tanaman tembakau Daun tembakau yang baik dan siap panen

Daun tembakau usia 3 minggu

55

RIWAYAT HIDUP

Alfiana Rachmawati dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Juni 1991. Penulis

merupakan anak pertama dari dua bersaudara yang terlahir dari pasangan Alwi

Romadlon dan Afifah Nurhayati. Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-

Kanak Islam Al-Barkah pada tahun 1996-1997, kemudian melanjutkan di Sekolah

Dasar Negeri Kelapa Gading Barat 01 Pagi pada tahun 1997-2003, Sekolah

Menengah Pertama Negeri 30 Jakarta pada tahun 2003-2006, dan Sekolah Menengah

Atas Negeri 72 Jakarta pada tahun 2006-2009. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan

studinya di Institut Pertanian Bogor melalui Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) di

Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan

Masyarakat (SKPM).

Selama di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan

kepanitiaan dalam beberapa event diantaranya Gebyar Nusantara 2010, Masa

Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia tahun 2011, dan Masa Perkenalan Departemen

Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat tahun 2011. Selain itu, penulis

juga pernah aktif sebagai penyiar di Radio Agri FM sejak tahun 2010-2012. Penulis

juga tergabung dalam organisasi BEM KM IPB di Kementerian Pendidikan sebagai

staff tahun 2010-2011, Kementerian Komunikasi dan Informasi sebagai staff tahun

2011-2012, dan Kementerian Komunikasi dan Informasi sebagai Sekretaris

Kementerian tahun 2012-2013.