37
RADIOTERAPI PADA KARSINOMA NASOFARING I. PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmulleri pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. 1,2 Karsinoma nasofaring disebut juga sebagai “tumor kanton” (Canton tumor).Menurut estimasi WHO, sekitar 80 % dari kasus karsinoma nasofaring di dunia terjadi di China. 1 Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta

KNF Radioterapi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KNF Radioterapi

RADIOTERAPI PADA KARSINOMA NASOFARING

I. PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di

antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam

lima besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan

leher menduduki tempat pertama. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmulleri pada

nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah

menjadi epitel skuamosa.1,2

Karsinoma nasofaring disebut juga sebagai “tumor kanton” (Canton

tumor).Menurut estimasi WHO, sekitar 80 % dari kasus karsinoma nasofaring di

dunia terjadi di China.1

Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu

problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas

serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat

Radioterapi merupakan metode terapi paling utama, Radioterapi dikombinasi dengan

kemoterapi dapat meningkatkan efektifitas terapi kanker nasofaring.1

Nasofaring terletak di antara basis kranial dan palatum mole, menghubungkan

rongga hidung dan orofaring . Rongga nasofaring menyerupai sebuah kubus yang

tidak beraturan, diameter atas- bawah dan kiri- kanan masing- masing 3 cm, diameter

Page 2: KNF Radioterapi

depan- belakang 2-3 cm, dapat dibagi menjadi dinding anterior, superior, posterior,

inferior, dan 2 dinding lateral yang simetris bilateral.

Gambar 1: Anatomi Nasofaring

Dinding superior dan posterior bersambung dan miring membentuk lengkungan,

di antara kedua dinding tidak terdapat batas anatomis yang jelas,, sehingga secara

klinis disebut sebagai dinding supero- posterior. Dinding lateral mencakup pars

anterior tuba timpanofaringeus, pars kartilago tuba timpanofaringeus, dan pars

posterior tuba timpanofaringeus. Dinding anterior: Margin posterior septum nasalis

dan ostium posterior nasalis di kedua sisinya, langsung berhubungan dengan kavum

nasalis. Dinding dasar: Dorsum palatum mole dan ismus orofaring di belakangnya.

Area nasofaring sangat kaya akan saluran limfatik, terutama drainase ke kelenjar

limfe faringeal posterior paravertebral servikal (disebut juga sebagai limfe Rouviere,

sebagai kelenjar limfe terminal pertama drainase kanker nasofaring), kemudian

masuk ke kelenjar limfe kelompok profunda servikal, terutama meliputi: rantai

Page 3: KNF Radioterapi

kelenjar limfe jugularis interna, rantai kelenjar limfe nervi asesorius, rantai kelenjar

limfe arteri dan vena transversalis koli (di fossa supraklavikular).1.2

Gambar 2: Kelenjar getah bening di kepala dan leher

Pembuluh darah berasal dari percabangan level I atau level II arteri karotis

eksterna, masing- masing adalah: arteri faringeal asendens, cabang terkecil arteri

karotis eksterna; arteri palatine asendens; arteri faringea; dan arteri pterigoideus.

Persarafan nasofaring, saraf sensorik berasal dari nervi glosofaringeal dan vagus.

Saraf motorik dari nervus vagus, mempersarafi sebagian otot faring dan palatum

mole.

Kanker nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya menyerang usia

30- 60 tahun, menduduki 75-90%. Proporsi pria dan wanita adalah 2-3,8:1.

Terjadinya kanker nasofaring mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya

mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya

kanker nasofaring adalah:2

Page 4: KNF Radioterapi

1. Kerentanan genetik

Walaupun kanker nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tapi kerentanan

terhadap kanker nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol

dan memiliki fenomena agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen

HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p4502E

(CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap kanker nasofaring,

mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar kanker nasofaring.

2. Virus EB

Virus EB memiliki kaitan erat dengan kanker nasofaring, alasannya adalah:

di dalam serum pasien kanker nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB

(termasuk VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll); di dalam sel kanker nasofaring dapat

dideteksi zat petanda virus EB seperti DNA virus dan EBNA; epitel nasofaring di

luar tubuh bila diinfeksi dengan galut sel mengandung virus EBA, ditemukan

epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh cepat, gambaran pembelahan inti juga

banyak; dan dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu

dapat menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa

nasofaring fetus manusia.

Page 5: KNF Radioterapi

3. Faktor lingkungan

Penelitian akhir- akhir ini menemukan zat- zat seperti golongan nitrosamin,

hidrokarbon aromatik dan unsur renik dapat memicu timbulnya kanker

nasofaring.

II. DIAGNOSIS1,2,3

1. Gambaran Klinis

Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada kanker nasofaring adalah:

a. Epistaksis: Sekitar 70% pasien mengalami gejala ini, di antaranya 23,2%

pasien datang berobat dengan gejala awal ini. Sewaktu menghisap dengan

kuat secret dari rongga hidung atau nasofaring, bagian dorsal palatum

mole bergesekan dengan permukaan tumor, sehingga pembuluh darah di

permukaan tumor robek dan menimbulkan epistaksis. Yang ringan timbul

epistaksis. Yang timbul hemoragi nasal masif.

b. Hidung tersumbat: Sering hanya sebelah dan secara progresif bertambah

hebat. Ini disebabkan tumor menyumbat lubang hidung posterior, insiden

sekitar 48%.

c. Tinitus dan pendengaran menurun: masing-masing menempati 51,5%-

62,5% dan 50%. Penyebabnya adalah tumor di resesus faringeus dan

dinding lateral nasofaring menginfiltrasi, menekan tuba eustachii,

menyebabkan tekanan negative di dalam kavum timpani, hingga terjadi

otitits media transudatif. Bagi pasien dengan gejala ringan, tindakan

Page 6: KNF Radioterapi

dilatasi tuba eustachii dapat meredakan sementara. Menurunnya

kemampuan pendengaran karena hambatan konduksi, umumnya disertai

rasa penuh di dalam telinga.

d. Sefalgia: Menempati 57,2-68,6%, kekhasannya adalah nyeri kontinu di

regio temporoparietal atau oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan

desakan tumor, infiltrasi saraf cranial atauos basis cranial, juga mungkin

karena infeksi local atau iritasi pembuluh darah yang menyebabkan

sefalgia reflektif.

e. Rudapaksa saraf kranial: Kanker nasofaring menginfiltrasi dan ekspansi

direk ke superior, dapat mendestruksi tulang basis cranial, atau melalui

saluran atau celah alami cranial masuk ke area petrosfenoid dan fossa

media intracranial (termasuk foramen sfenotik, apeks petrosus os

temporal, foramen ovale dan area sinus spongiosus), membuat saraf

karanial III,IV,V (radiks I,II) dan VI rudapaksa, manifestasinya berupa

ptosis wajah bagian atas, paralisis otot mata, neuralgia terminal atau nyer

area temporal akibat iritasi meningen, bila terdapat juga rudapaksa saraf

cranial II, disebut sindroma apeks orbital atau petrosfenoid. Ketika kanker

nasofaring meluas hingga area posterior prosesus stiloideus dari selah

parafaring, atau metastasis kelenjar limfe parafaring menekan,

menginfiltrasi lebih ke dalam, dapat mengenai saraf cranial IX, X, XI, XII

dan saraf sompatis leher. Radiks ke-3 N. Trigeminus dapat terinfiltrasi di

intracranial, atau terkena rudapaksa di celah parafaring. Saraf cranial I, II,

Page 7: KNF Radioterapi

terletak intracranial condong ke depan, saraf cranial VII, VIII terlindung

oleh pers petrosus os temporalis, sehingga mereka lebih jarang terkena

invasi kanker nasofaring ke saraf cranial.

f. Pembesaran kelenjar limfe leher: Sekitar 40% pasien datang dengan

gejala pertama pembesaran kelenjar imfe leher, pada waktu diagnosis

ditegakkan, sekitar 60-80% sudah metastasis kelenjar limfe leher. Lokasi

tipikal metastasisnya adalah kelenjar limfe kelompok profunda superior

koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe tersebut permukaannya tertutup

otot strenokleidomastoid, dan benjolan tiodak nyeri, maka pada mulanya

sulit diketahui. Ada sebagian pasien yang metastasis kelenjar limfenya

pertama kali munculk di region untaian nervi aksesorius di segitiga koli

posterior.

g. Gejala metastasis jauh: karena 95% lebih sel kanker nasofaring

berdiferensiasi buruk, dengan derajat keganasan tinggi, waktu diagnosis

ditegakkan, 4,2% kasus sudah menderita metastasis jauh. Dari kasus yang

wafat setelah radioterapi, angka metastasis jauh mencapai 45,5%. Lokasi

metastasis paling sering ke tulang, paru, hati. Metastasis tulang tersering

ke pelvis, vertebra, iga, dan keempat ekstremitas. Manifestasi metastasis

tulang adalah nyeri kontinu dan nyeri tekan setempat, lokasinya tetap,

tidak berubah-ubah dan secara bertahap bertambah hebat. Pada fase dini

tidak sealu terdapat perubahanpada foto sinar X, bone scan seluruh tubuh

dapat membantu diagnosis. Metastasis hati, paru dapat sangat

Page 8: KNF Radioterapi

tersembunyi, kadang hanya ditemukan ketika dilakukan tindak lanjut

rutin dengan ronsen toraks, pemeriksaan hati dengan CT atau USG.

2. Gambaran Radiologi

a. Pemeriksaan CT: makna klinis aplikasinya adalah: (1) membantu

diagnosis; (2) memastikan luas lesi, penetapan stadium secara akurat; (3)

secara tepat menetapkan zona target terapi, merancang medan radiasi; (4)

memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaan tindak

lanjut.

Gambar 3: potongan axial CT-Scan pada penderita KNF

b. Pemeriksaan MRI: MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan

lunak, dapat serentak membuat potongan melintang, sagital, koronal,

sehingga lebih baik dari CT. MRI selain dengan jelas memperlihatkan

lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini

menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara fibrosis

pasca radio-terapi dan reurensi tumor, MRI juga lebih bermanfaat.

c. Pencitraan tulang seluruh tubuh: berguna untuk diagnosis kanker

nasofaring dengan metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan

Page 9: KNF Radioterapi

ronsen biasa atau CT, umumnya lebih dini 3-6 bulan dibandingkan

ronsen. Setelah dilakukan bone-scan, lesi umumnya tampak sebagai

akumulasi radioaktivitas; sebagian kecil tampak sebagai area defek

radioaktivitas. Bone scan sangat sensitif untuk metastasis tulang, namun

tidak spesifik. Maka dalam menilai lesi tunggal akumulasi radioaktivitas,

harusmemperhatikan riwayat penyakit, menyingkirkan rudapaksa operasi,

fraktur, deformitas degeneratif tulang, pengaruh radoterapi, kemoterapi,

dll.

d. PET (positron emission tomography): disebut juga pencitraan biokimia

molecular metabolic in vivo. Menggunakan pencitraan biologis

metabolism glukosa darizat kontras 18-FDG dan pencitraan anatomis dari

CT yang dipadukan hingga mendapatkan gambar PET-CT. itu

memberikan informasi gambaran biologis dari dokter klinisi, membantu

penentuan area target biologis kanker nasofaring, meningkatkan akurasi

radioterapi, sehingga efektivitas meningkat dan rudapaksa radiasi

terhadap jaringan normal berkurang.

3. Patologi Anatomi

Pada pasien kanker nasofaring, sedapat mungkin diperoleh jaringan dari lesi

primer nasofaring untuk pemeriksaan patologik. Sebelum terapi dimulai

harus diperoleh diagnosis histology yang jelas. Hanya jika lesi primertidak

dapat memberikan diagnosis patologik pasti barulah dipertimbangkan biopsi

kelenjar limfe leher.

Page 10: KNF Radioterapi

Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh

WHO pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :

a. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell

Carcinoma).

b. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini

dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.6

4. Penggolongan Stadium

Penggolongan stadium tahun 1992 :

T1: Kanker terbatas di rongga nasofaring

T2: Kanker menginfiltrasi kavum nasal, nasofaring, atau di celah parafaring

di anterior garis SO (garis SO adalah garis penghubung prosesus stiloideus

dan margo posterior garis tengah foramen magnum os oksipital; garis batas

region servikal superior dan inferior adalah margo inferior kartilago

krikoidea)

T3: Kanker di celah parafaring di posterior garis SO atau mengenai basis

cranial, fossa pterigopalatinum atau terdapat rudapaksa tunggal saraf cranial

kelompok anterior atau posterior.

T4: Saraf kranial kelompok anterior dan posterior terkena serentak, atau

kanker mengenai sinus paranasal, sinus spongiosus, orbita, fossa intra-

temporal.

N0: Belum teraba pembesaran kelenjar limfe

N1: Kelenjar limfe koli superior berdiameter <4cm, mobil.

Page 11: KNF Radioterapi

N2: Kelenjar limfe koli inferior membesar atau berdiameter 4-7cm

N3: Kelenjar limfe supraklavikular membesar atau berdiameter >7cm

Penggolongan stadium klinis:

Stadium I : T1N0M0

Stadium II : T2N0-1M0, T0-2N1M0

Stadium III : T3N0-2M0, T0-3N2M0

Stadium IV a : T4N0-3M0, T0-4N3M0

Stadium IV b : T apapun, N apapun, M1

III. PENATALAKSANAAN1,3

1. Radioterapi

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam

penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma

nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.

Persiapan / perencanaan sebelum radioterapi

Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis

histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif.

Penderita juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu

juga keluarganya diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini,

Page 12: KNF Radioterapi

tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin timbul selama periode

pengobatan.

Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah

mutlak. Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam

tidak diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam

hidup penderita, seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari

tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum penderita.

Sebagai tolak ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah leukosit

tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL.

Penentuan batas-batas lapangan radiasi

Tindakan ini merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk

menjamin berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah

tumor primer dan sekitarnya / potensi penjalaran perkontinuitatum serta

kelenjar-kelenjar getah bening regional.

Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah dibawah ini harus disinari :

1. Seluruh nasofaring

2. Seluruh sfenoid dan basis oksiput

3. Sinus kavernosus

4. Basis kranii, minimal luasnya 7 cm meliputi foramen ovale, kanalis

karotikus dan foramen jugularis lateral.

Page 13: KNF Radioterapi

5. Setengah belakang kavum nasi

6. Sinus etmoid posterior

7. 1/3 posterior orbit

8. 1/3 posterior sinus maksila

9. Fossa pterygoidea

10. Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar

11. Kelenjar retrofaringeal

12. Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan

supraklavikular.

Gamabr 4: Lapangan opposing lateral

Page 14: KNF Radioterapi

Gambar 5: Lapangan supraklavikula

Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring ( T3 ) seluruh kavum

nasi dan orofaring harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila

perluasan melalui dasar tengkorak sudah mencapai rongga kranial, batas atas

dari lapangan radiasi terletak di atas fossa pituitary. Apabila penyebaran

tumor sampai pada sinus etmoid dan maksila atau orbit, seluruh sinus atau

orbit harus disinari. Kelenjar limfe sub mental dan oksipital secara rutin tidak

termasuk, kecuali apabila ditemukan limfadenopati servikal yang masif atau

apabila ada metastase ke kelenjar sub maksila.

Secara garis besar, batas-batas lapangan penyinaran adalah :

- Batas atas : meliputi basis kranii, sella tursika masuk dalam lapangan radiasi.

- Batas depan : terletak dibelakang bola mata dan koana

Page 15: KNF Radioterapi

- Batas belakang : tepat dibelakang meatus akustikus eksterna, kecuali bila

terdapat pembesaran kelenjar maka batas belakang harus terletak 1 cm di

belakang kelenjar yang teraba.

- Batas bawah : terletak pada tepi atas kartilago tiroidea, batas ini berubah bila

didapatkan pembesaran kelenjar leher, yaitu 1 cm lebih rendah dari kelenjar

yang teraba. Lapangan ini mendapat radiasi dari kiri dan kanan penderita.

Pada penderita dengan kelenjar leher yang sangat besar sehingga metode

radiasi di atas tidak dapat dilakukan, maka radiasi diberikan dengan

lapangan depan dan belakang. Batas atas mencakup seluruh basis kranii.

Batas bawah adalah tepi bawah klavikula, batas kiri dan kanan adalah 2/3

distal klavikula atau mengikuti besarnya kelenjar.

Kelenjar supra klavikula serta leher bagian bawah mendapat radiasi dari

lapangan depan, batas atas lapangan radiasi ini berimpit dengan batas bawah

lapangan radiasi untuk tumor primer.

Teknik Radioterapi

Ada 3 cara utama pemberian radioterapi, yaitu :

1. Radiasi Eksterna / Teleterapi

Sumber sinar berupa aparat sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan

di luar tubuh. Sinar diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi. Besar

Page 16: KNF Radioterapi

energi yang diserap oleh suatu tumor tergantung dari : besarnya energi

yang dipancarkan oleh sumber energi, jarak antara sumber energi dan

tumor dan kepadatan massa tumor.

Teleterapi umumnya diberikan secara fraksional dengan dosis 150-250

rad per kali, dalam 2-3 seri. Diantara seri 1-2 atau 2-3 diberi istirahat 1-2

minggu untuk pemulihan keadaan penderita sehingga radioterapi

memerlukan waktu 4-6 minggu.

2. Radiasi Interna / Brachiterapi

Sumber energi ditaruh di dalam tumor atau berdekatan dengan tumor

di dalam rongga tubuh. Ada beberapa jenis radiasi interna :

a. Interstitial

Radioisotop yang berupa jarum ditusukkan ke dalam tumor, misalnya

jarum radium atau jarum irridium.

b. Intracavitair

Pemberian radiasi dapat dilakukan dengan :

- After loading : Suatu aplikator kosong dimasukkan ke dalam rongga

tubuh ke empat tumor. Setelah aplikator letaknya tepat, baru

dimasukkan radioisotop ke dalam aplikator itu.

- Instalasi :Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam rongga tubuh,

misal : pleura atau peritoneum.

Page 17: KNF Radioterapi

3. Intravena

Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam vena. Misalnya I131 yang

disuntikkan IV akan diserap oleh tiroid untuk mengobati kanker tiroid.

Dosis radiasi

Ada 2 jenis radiasi, yaitu :

1. Radiasi Kuratif

Diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita

dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, KGB leher

dan supra klavikular. Dosis total radiasi yang diberikan adalah 6600-7000

rad dengan fraksi 200 rad, 5 x pemberian per minggu. Setelah dosis 4000

rad medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad lapangan penyinaran

supraklavikular dikeluarkan.

2. Radiasi Paliatif

Diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal.

Dosis radiasi untuk metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x

per minggu. Untuk kekambuhan lokal, lapangan radiasi terbatas pada

daerah kambuh.

Page 18: KNF Radioterapi

Respon radiasi

Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon

terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening

leher dan pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon

radiasi berdasarkan kriteria WHO :

- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah benin

yang besar.

- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau

lebih.

- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.

- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25%

atau lebih.

Komplikasi radioterapi

Komplikasi radioterapi dapat berupa :

1. Komplikasi dini. Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu

setelah radioterapi, seperti :

- Xerostomia - Mual-muntah

- Mukositis - Anoreksi

- Dermatitis

Page 19: KNF Radioterapi

- Eritema

2. Komplikasi lanjut. Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian

radioterapi, seperti :

- Kontraktur

- Gangguan pertumbuhan

- dll

Terapi terhadap kanker nasofaring berprinsip pada individualisasi dan tingkat

keparahan: pasien stadium I/II dengan radioterapi eksternal sederhana atau

radioterapi eksternal ditambah brakiterapi kavum nasofaring; pasien stadium

III/IV dengan kombinasi radioterapi dan kemoterapi; pasien dengan metastasis

jauh harus bertumpu pada kemoterapi dan radioterapi paliatif.

Sumber radiasi menggunakan radiasi γ Co-60, radiasi β energy tinggi atau

radiasi X energi tinggi dari akselerator linier, terutama dengan radiasi luar

isosentrum, dibantu brakiterapi intrakavital, bila perlu ditambah radioterapi

stereotaktik. Lingkup radiasi mencakup lesi primer nasofaring, aream sekitar yang

mungkin terinfiltrasi, area drainase limfatik nasofating. Sekitar nasofaring

terdapat banyak organ vital, maka desain medan radiasi dan penetapan posisi

harus tepat, secara maksimal mencakup jaringan tumor, sekaligus secara

maksimal mengurangi dosis radiasi jaringan normal sekitarnya. Melalui plat

timbal bertitik leleh rendah kepada pasien diberikan iradiasi medan gabungan dan

medan dipersempitmuka dan leher tak beraturan lalu iradiasi isosentrum medan

Page 20: KNF Radioterapi

terpisah muka dan leher tak beraturan, dapat secara lebih baik melindungi

serebrum, batang otak, medulla spinal dan lensa, dan organ vital lain, mengurangi

reaksi radioterapi, meningkatkan kualitas hidup. Radioterapi konformal modulasi

intensitas merupakan teknik tebaru yang dikembangkan dari radioterapi

konformal tiga dimensi, teknik ini tidak hanya dapat menyesuaikan bentuk area

iradiasi agar secara tiga dimensional sesuai dengan bentuk tumor yang diradiasi,

tapi juga dapat memberikan dosis radiasi berbeda pada tumor dan jaringan sehar

sekitarnya, sehingga dapat lebih jauh mengurangi dosis radiasi yang diterima

jaringan normal sekitar tumor, hingga lebih dapat menjaga fungsi jaringan organ

normal.

Dosis radiasi: dosis iradiasi nasofaring 66-70 Gy/33-35 kali/6,5-7 minggu;

bagi pasien dengan kelenjar limfe leher positif diberikan dosis kuratif 60-70

Gy/30-35 kali/6-7 minggu; pasien dengan kelenjar limfe leher negatif diberi dosis

preventif 50-56 Gy/25-28 kali/5-5,5 minggu.

Reaksi radiasi berupa reaksi sistemik atau lokal akibat radiasi yang bersifat

temporer dan reversible. Manifestasi sistemik berupa insomnia, pusing, fatig,

mual, muntah dispepsia, kelainan pengecapan, dll. Reaksi lokal terutama berupa

reaksi akut kulit, mukosa rongga mulut dan kelenjar parotis, derajat reaksi

berkaitan dengan metode fraksionisasi radiasi, lokasi dan luas permukaan iradiasi.

Page 21: KNF Radioterapi

Rudapaksa radiasi adalah rudapaksa permanen ireversibel pada jaringan organ

akibat paparan radiasi. Misalnya, rudapaksa radiasi kelenjar parotis, otitis media

radiasi, artritis mandibular radiasi, osteomielitis mandibular radiasi, karies radiasi,

hipofungsi hipofiseal radiasi, rudapaksa nervus oftalmikus radiasi, rudapaksa

medulla spinalis radiasi, atrofi kulit dan fibrosis muskular daerah leher akibat

radiasi.

2. Kemoterapi

Kemoterapi meliputi kemoterapi neoadjuvan, kemoterapi adjuvan dan

kemoterapi konkomitan. Formula kemoterapi yang sering dipakai adalah: PF

(DPP + 5FU), karboplatin + 5FU, paklitaksel + DDP, paklitaksel + DDP +

5FU dan DDP + gemsitabin, dll.

DDP : 80- 100 mg/m2 iv drip hari pertama (mulai sehari sebelum

kemoterapi, lakukan hidrasi 3 hari).

5FU : 800- 100 mg/m2 iv drip, hari ke 1-5 lakukan infuse kontinu intravena.

Ulangi setiap 21 hari, atau:

Karboplatin : 300 mg/m2 atau AUC = 6 iv drip, hari pertama.

5FU : 800- 100 mg/m2 iv drip, hari ke 1-5 lakukan infuse kontinu

intravena.

Ulangi setiap 21 hari.

Page 22: KNF Radioterapi

3. Terapi Bedah

Dalam kondisi berikut ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi:

1. Residif lokal nasofaring pasca radioterapi, lesi relatif terlokalisasi.

2. 3 bulan pasca radioterapi kuratif terdapat residif lesi primer nasofaring.

3. Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe

leher.

4. Kanker nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma

skuamosa grade I,II, adenokarsinoma dll.

5. Komplikasi radiasi (misal, parasinusitis radiasi, ulkus radiasi, dll).

4. Terapi Biologis

Dewasa ini masih dalam taraf penelitian laboratorium dan uji klinis.

5. Terapi Rehabilitatif

1. Rehabilitasi psikis: Pasien kanker nasofatring harus diberi pengertian

bahwa penyakitnya berpeluang untuk disembuhkan, upayakan agar pasien

secepatnya pulih dari situasi emosi depresi.

2. Rehabilitasi fisik : Setelah menjalani radioterapi, kemoterapi dan terapi

lain, pasien biasanya merasakan kekuatan fisiknya menurun, mudah letih,

daya ingat menurun. Harus memperhatikan suplementasi nutrisi,

berolahraga fisik ringan terutama yang statis, agar tubuh dan ketahanan

meningkat secara bertahap.

Page 23: KNF Radioterapi

IV. PROGNOSIS4

Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada

pertumbuhan lokal dan metastasenya. Karsinoma skuamus berkeratinasi

cenderung lebih agresif daripada yang non keratinasi dan tidak berdiferensiasi,

walau metastase limfatik dan hematogen lebih sering pada ke-2 tipe yang

disebutkan terakhir. Prognosis buruk bila dijumpai : limfadenopati, stadium

lanjut, tipe histologik karsinoma skuamus berkeratinasi.

DAFTAR PUSTAKA

Page 24: KNF Radioterapi

1. Quan Z, Zhuming G. Tumor di Kepala dan Leher. In: Desen W, editor. Onkologi Klinis. Jakarta: FK UI; 2011. p. 263-78.

2. Paulino AC. Nasopharyngeal Cancer. Medscape; 2012 [updated 2012; cited 2013 April 2nd]; Available from: http://emedicine.medscape.com/article/988165-overview#showall.

3. Perez CA. Nasopharynx. In: Perez CA, Brady LW, editors. Principles and Practice of Radiation Oncology. 3rd ed. Philadelphia: Lippincot-Raven; 1997. p. 897-935.

4. 2. Arima, Cut Aria. 2006. Paralisis Saraf Kranial Multipel pada Karsinoma Nasofaring.http://library.usu.ac.id/download/fk/D0400193.pdf.