Upload
ahmad-hadidul-fahmi
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/2/2019 Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir
1/9
Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir
Ahmad Hadidul Fahmi
Baru-baru ini kita melihat semangat keislaman yang menggelora dari generasi muda. Sayangnya,
semangat memunculkan Islam sebagai alternatif terbaik itu tidak diimbangi dengan pemahaman
yang mumpuni dalam ilmu agama. Merasa bangga ketika memperjuangkan simbol, akan
tetapi buta terhadap esensi. Karakter yang melekat dari inklinasi semacam ini adalah, mudah
sekali menuduh kafir kelompok lain yang tidak se-ide dengan pemikiran mereka. Itulah Hizbut
Tahrir. Partai yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1980 ini, cukup mendapat respon yang baik
dari pemuda-pemuda kampus yang tidak mempunyai background yang mumpuni tentang
pengetahuan Islam. Penulis menduga kuat, suksesnya dakwah mereka cukup paralel dengan
slogan-slogan islamis yang dielu-elukan oleh simpatisan Partai Pembebasan ini.
Pada tulisan ini, penulis hendak membedah inti pemikiran Hizbut Tahrir dari sumber-sumber
primer mereka, kemudian penulis akan coba komparasikan dengan pendapat ulama-ulama sertapemikir kontemporer terkait masalah yang dibidik. Permasalahan yang coba penulis tampilkan
adalah asumsi keharusan mendirikan Negara Islam sebagai wahana pemersatu umat Islam se-
dunia. Permasalahan pertama ini tersusun dari premis-premis; pertama, kedaulatan rakyat
adalah sistem kufur yang diciptakan oleh Barat. Karenanya, demokrasi dianggap sistem kufur
sebab bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kedua, praktek politik pada masa Nabi merupakan
representasi idealsekaligus diasumsikan diambil dari nash qathiy--bagi kelangsungan politik
untuk era sekarang. Khilafah Islamiyyahbagi mereka--juga alternatif terbaik untuk
mengentaskan umat Islam dari hegemoni Barat.
Sejarah Kemunculan dan Falsafah Pemikiran Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir lahir di Palestina tahun 1953, dengan pendirinya Taqiyuddin al-Nabhani, seorang
Hakim di Haifa. Berdirinya Partai Kebebasan ini erat kaitannya dengan invasi Israel ke Palestina
dan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani tahun 1924. Awalnya al-Nabhani merupakan
pengagum Sayyid Quthb, dan sempat memberikan beberapa kuliah di markas besar Ikhwanul
Muslimin di Yerusalem. Lahir di desa Ijzim, Palestina, 1914 M. Nama lengkapnya adalah Taqiy
Al-Din bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf Nashir Ad Din An Nabhani. Hidupnya
berpindah-pindah, dari Jordania, Syiria,dan akhirnya wafat Lebanon. Ia sempat mengenyam
pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir pada tahun 1928 M. Al-Nabhani terbilang cukup
produktif, beberapa buah karyanya adalah; Nidzam al-Islam, al-Takattul al-Hizbi, Mafahim Hizb
al-Tahrir, al-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, al-Nidzam al-Ijtimai fi al-Islam, Nidzam al-Hukmi fi al-
Islam, al-Dawlah al-Islamiyyah, Mafahim Siyasiyah li Hizb al-Tahrir, dan lain sebagainya. Buku
yang dianggit sebelum mendirikan Partai Pembebasan bertajuk Risalat al-Arab.
Tulisan ini pernah dimuat di website resmi NU Online www.nu.or.id dengan versi per-sub judul. Ini
adalah tulisan versi lengkap sebagaimana termuat di blog saya:www.masfahmi.blogspot.com
http://www.nu.or.id/http://www.nu.or.id/http://www.masfahmi.blogspot.com/http://www.masfahmi.blogspot.com/http://www.masfahmi.blogspot.com/http://www.masfahmi.blogspot.com/http://www.nu.or.id/8/2/2019 Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir
2/9
Sistem kepemimpinan Hizbut Tahrir disebut Imarah yang dipegang oleh Amir al-Hizb. Batas
kepemimpinan Amir al-Hizb tidak terbatas, atau seumur hidup. Taqiyuddin al-Nabhani sendiri
memegang tampuk Amir al-Hizb sampai tahun 1977 (sekaligus tahun wafat beliau). Selepas Al-
Nabhani, tampuk Amir digantikan oleh Abdul Qadim Zallum (1977). Sebagaimana al-Nabhani,
Abdul Qadim Zallum pernah mengenyam pendidikan di al-Azhar. Perjumpaannya dengan
Taqiyuddin al-Nabhani terjadi pada tahun 1952, atau satu tahun sebelum Partai ini berdiri. Di
antara karya Zallum adalah; al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah, Nidzam al-Hukm fi al-Islam, al-Tarif
bi Hizb al-Tahrir, al-Dimuqrathiyyah Nidzam Kufr, dan sebagainya.
Wafatnya Abdul Qadim Zallum (2003) ditandai dengan perpecahan di tubuh Partai. Masa vakum
ini memunculkan kelompok sempalan Hizbut Tahrir yang menamakan diri mereka kelompok
reformis (al-Tayyar al-Ishlahi). Kelompok reformis pada hakikatnya merupakan oposisi dari Amir
ketiga, Atha Abu Rasytahyang masih memegang posisi Amir sampai sekarang, Juru Bicara
Hizbut Tahrir Yordania sekaligus pengganti Abdul Qadim Zallum. Sebab, ketika Abu Rasytah
didaulat menjadi Amir, dari kelompok reformis ini telah mengajukan Amir sendiri, Abu Bakar al-
Khuwalidah.
Dalam perjalanan pergerakan Hizbut Tahrir, mereka membagi dalam tiga fase penting; pertama,
fase doktrinasi pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir secara personal, agar masyarakat menerima
eksistensi mereka. Pada fase yang diawali semenjak 1953 ini, Taqiyuddin al-Nabhani sangat
berperan besar. Sebab secara langsung turun lapangan memperkenalkan pada masyarakat
doktrin-doktrin Hizbut Tahrir. Pada saat respon masyarakat dinilai positif, mereka melanjutkan
pada fase kedua; interaksi dengan masyarakat agar mereka ikut merasakan dakwah Islam dan
mempunyai kesadaran yang sama tentang realitas Islam. Pada fase ini, Hizbut Tahrir mulai
memerangi pemikiran-pemikiran yang tidak sejalan Islam secara massif. Memprogandakan
cacatnya kepemimpinan yang tidak sejalan dengan Islam. Setelah masyarakat mulai kehilangankepercayaan dengan pemimpin mereka, Hizbut Tahrir mulai beralih ke fase ketiga; penerimaan
kekuasaan melalui penegakkan Negara Islam guna mengaplikasikan Islam secara komprehensif.
Dalam buku bertajuk Hizb al-Tahrir, keluaran Hizbut Tahrir, definisi Partai Pembebasan ini
adalah parta politik yang berideologi Islam, dan lahan dakwahnya dalam ranah politik, serta
memimpin umat Islam untuk kembali pada pemerintahan Islam sehingga mampu berhukum
dengan sebagaimana yang sudah diturunkan oleh Allah.
Falsafah yang mendasari berdirinya partai pembebasan inisebagaimana terangkum dalam
buku terbitan Hizbut Tahrir sendiri yang bertajuk Mafahim Hizb al-Tahrirberpijak dari
kemunduran massif peradaban Islam semenjak abad 12 H yang berbanding lurus dengan
lemahnya semangat umat Islam untuk memperdalam Islam itu sendiri. Lemahnya generasi umat
Islam untuk memperdalam Islambagi merekainheren dengan upaya memisahkan Arab dan
Islam. Sedang gagalnya proyek kebangkitanyang bertopang dari Islamsetidaknya kembali
pada tiga alasan; pertama, tidak memahami secara komprehensif pemikiran Islam; kedua, hanya
memperdalam hukum yang bersifat teoritis, akan tetapi mengabaikan aspek praksis; ketiga,
asumsi keterpisahan pemikiran Islam dan aplikasinya.
8/2/2019 Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir
3/9
Keterpisahan mempelajari hukum Islam yang terpisah dari cara implementasinya secara total
termanifestasikan tatkala umat Islam berbondong-bondong mempelajari tatacara shalat, puasa,
nikah, talak, akan tetapi mengabaikan hukum Jihad, ghanimah, hukum-hukum dalam
pemerintahan, dan sebagainya. Sehingga pada abad 19 M, ada pemahaman yang keliru terkait
paradigma aplikasi Islam dalam masyarakat; Islam ditafsirkan agar kontekstual dengan
masyarakat, bukan masyarakat yang menyesuaikan dengan Islam. Dengan demikian, merupakan
keharusan untuk mengaplikan Islam sebagaimana adanya pada masyarakat tanpa terpengaruh
waktu, tempat atau masa.
Oleh karena itu, diperlukan adanya gerakan Islam yang mengembalikan Islam pada wacana teori
sekaligus memungkinkan mengaplikasikannya secara total, dan memulai hal tersebut dari skala
yang paling kecil; dunia Arab. Inilah awal mula muncul ide untuk mendirikan Negara Islam.
Dimulai dari sekup yang terkecil untuk bermuamalat secara Islami, kemudian melebarkan
sayapnya ke penjuru Negeri.
Selain itu, kewajiban umat Islam adalah menerapkan hukum Islam secara paripurna di semua
sendi kehidupan, melalui Undang-Undang atau peraturan yang bersumber dari al-Qur an dan al-
Hadis. Aplikasi secara sempurna tersebut tidak mungkin terwujud terkecuali dengan wujudnya
Negara yang bisa mengakomodir semua itu. Itulah Negara Islam, dimana Khalifah atau
pemimpinnya menerapkan syariat Islam secara sempurna.
Hizbut Tahrir dalam merealisasikan agendanya melalui penguasaan parlemen sehingga mampu
mendirikan Negara Islam. Adapun piranti untuk sampai pada parlemen adalah; pertama,
memusatkan perhatian pada upaya doktrinasi terhadap masyarakat tentang Islam (al-ihtimam bi
al-amal al-tsaqafi/tastqif). Pada aspek ini, seperti pernyataan al-Nabhani sendiri dalamal-
Takattul al-Hizby, Hizbut Tahrir jelas mengikrarkan pengabaian terhadap aspek etika dalam
Islam, dan mengedepankan pemikiran dan pengetahuan tentang peradaban Islam. Kedua,
memusatkan perhatian aktivitasnya dalam ranah politik (al-ihtimam bi al-amal al-siyasi). Dalam
ranah politik, mereka berusaha sekuat mungkin untuk meruntuhkan aturan-aturan yang dibuat
bukan dari asas islami. Dalam buku yang bertajuk Manhaj Hizb al-Tahrir, mayoritas Negara yang
dihuni oleh umat Islam sekarang layak disebut Dar al-Kufr, karena mengadopsi hukum-hukum
yang berasal bukan dari asas Islami dan tidak dibawah kontrol masyarakat Islam.
Ketika Negara Islam sudah terealisasi, Hizbut Tahrir mengagendakan menyusun Undang-Undang
yang diawali dengan telaah problematika masyarakat, kemudian membuat kaidah umum
sebagai referensi Hakim/Qadli ketika memberikan putusan hukum--yang bisa dijadikan neraca
mengentaskan varian problem yang berkembang. Mereka mensyaratkan, aturan tersebut
merupakan perpanjangan dari fikih Islam. Interpetasi Undang-Undang yang dilakukan oleh
Hakim harus melalui penguasaan teks Islam (al-Nushush al-Syariyyah), ushul fikih, atau fikih.
Mereka beranggapan, Islam sebagai agama mempunyai aturan. Aturan ini adalah hukum-hukum
syariat yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Aturan-aturan tersebut terklasifikasi pada
hukum-hukum yang mempunyai orientasi mengentaskan problem masyarakat (fikrah), dan
8/2/2019 Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir
4/9
hukum-hukum yang mencakup tatacara aplikasi hukum, menjaga akidah dan menyebarkan
dakwah (thariqah). Islam tersusun dari dua unsur ini, dan tak akan mungkin berislam secara
sempurna tanpa upaya menjalankan keduanya. Mereka mencontohkan bahwa shalat adalah
fikrah. dan Negara Islam merupakan thariqah, yang bertugas tidak hanya menganjutkan umat
Islam untuk melaksanakannya secara teratur saja, akan tetapi juga mengupayakan hukuman
bagi yang meninggalkan shalat.
Islam Atawa Nasionalisme?
Hizbut Tahrir secara sosio-historis merupakan aksi yang timbul dari nasionalisme Palestina yang
terus menerus dibombardir oleh Israel. Inklinasi nasionalisme al-Nabhani terlihat jelas dalam
buku pertamanya yang bertajuk Risalat al-Arab. Akan tetapi aksi mereka kemudian beralih ke
level yang lebih tinggi; mendirikan Negara Islam. Runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani (1924),
juga salah satu faktor yang tidak bisa diabaikan yang mengilhami ambisi HT untuk
mempersatukan umat dalam satu kesadaran; kesadaran Islam. Pada hakikatnya, satu
kesadaran merupakan orientasi semua sekte yang ada dalam Islam sekarang. Akan tetapi
piranti yang digunakan berbeda-beda, tergantung dari paradigma apa suatu sekte berpijak.
Selain itu, eksistensi adanya negara-negara kecil (duwailat) sekarang, tampaknya juga harus
dijadikan pertimbangan tersendiri.
Pemerintah Islam pada masa Nabi dan shahabat adalah pemerintahan yang tidak mungkin
terulang kembali. Islam adalah agama yang diimani oleh orang Arab dan membawa ajaran-
ajaran yang tidak pernah mereka jumpai sebelumnya. Dengan kualitas orang yang juga berbeda
dengan masa sekarang, mereka mampu mendongkrak ke atas dan melakukan ekspansi ke
daerah-daerah lain atas nama Islam. Akan tetapi, kenapa Islam sekarang tidak mampu
mempersatukan umat Islam dalam satu kesadaran sebagaimana yang terjadi pada zaman Rasul
dan Shahabat? Bahkan antara Negara yang mayoritas umat Islam terjadi peperangan yang tak
kunjung reda sampai sekarang.
Hal paling fundamental yang bisa diungkapkan di sini adalah Islam dengan aplikasi yang
maksimal pada masa Nabi masih menyisakan celah-celah fanatisme kabilah yang potensial
menimbulkan perseteruan dan perpecahan. Padahal fungsi kabilah pada saat itu tidak kompleks
sebagaimana fungsi Negara pada saat ini. Bahkan sangat sederhana. Selain itu, ketika
menjadikan Islam sebagai pemersatu umat, kecenderungan ikatan atas dasar Islam sendiri
bertingkat; kita mengetahui bersama bahwa rasa kebersamaan Muhajirin lebih kuat dibanding
Anshar karena Muhajirin secara langsung berhadapan dan bahkan mendapat siksaan bertubi-
tubi dari kaum Musyrik Mekah.
Berlanjutnya fanatisme kabilah dalam Islam jelas terlihat ketika Khazraj perannya lebih besar di
perang Badar dari pada Aus, sebab Khazraj memandang paman ayah Nabi berasal dari Bani
Najjar. Dan Bani Najjar adalah salah satu kelompok Khazraj. Dalam Tarikh Thabari disebutkan,
pada saat peristiwa Musailamah yang mendaku Nabi, Thalhah al-Numairi mengatakan pada
Musailamah, saya bersaksi bahwa kamu bohong. Akan tetapi bohongnya Rabiah (nama
8/2/2019 Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir
5/9
kabilah), lebih saya suka dari pada jujurnya Mudlar. Artinya, Thalhah mengetahui bahwa Islam
adalah agama yang benar, akan tetapi ia merasa tak rela ketika harus bersama Quraisy dan
orang Islam yang lain memerangi Musailamah yang berasal kabilahnya.
Fanatisme yang tidak berpayung Islam juga berlanjut ke masa Dinasti Umawiyyah. Sejarah
mencatat bahwa pemerintahan Umawi memperlihatkan rasa bangga yang berlebihan denganras Arab dan terlalu membedakan Arab dengan yang lain. Fanatisme kabilah juga masih cukup
kental di sini. Kita melihat perseteruan antara Mudlar dan Yaman yang mengakibatkan revolusi
pada masa al-Walid bin Zaid bin Abd al-Malik.
Arti ini semua adalah, ikatan Islam memperlihatkan hasil maksimal hanya pada masa Nabi. Oleh
karena itu, apabila Hizbut Tahrir hendak menyatukan umat Islam dalam satu payung agama,
mereka harus mengetengahkan konsep yang matang serta realistis. Kemustahilan tersebut lagi-
lagi datang dari sikap aktivis Hizbut Tahrir sendiri yang sangat mudah sekali menyumpah
golongan lain dengan kafir. Tentu saja agenda mereka lebih akan jadi ilusi semata. Pluralitas
fikih, pendapat, paradigma, sama sekali tak mendapat tempat dalam Partai ini. Selain itu, kita
bahkan sampai sekarang tak mendapat informasi lebih perihal kelompok reformis Hizbut Tahrir
dari sumber-sumber primer mereka. Ataukah karena Hizbut Tahrir sendiri enggan disebut gagal
dengan agendanya tersebut?
Kritik Teori Hakimiyyah
Khalil Abdul Karim menegaskan dalam bukunya li Thatbiq al-Syariah, la li al-Hukm, bahwasanya
maraknya radikalisme, asumsi kafirnya pemerintah serta tuduhan terhadap umat Islam sebagai
masyarakat Jahiliyyah, setidaknya kembali pada dua sebab; teori hakimiyyah yang
dipopulerkan oleh Sayyid Quthb yang diadopsi dari Abu al-Ala al-Mawdudi, seterusnya menjadi
parameter dalam menilai kepemimpinan yang tidak berasal dari Islam; kedua, siksaan yangditujukan pada kelompok radikalis yang berakhir dengan hukuman mati Sayyid Quthb.
Bertolak dari premis ini, aktivis Hizbut Tahrir menjadikan teori tersebut sebagai legitimasi
menuduh praktek kepemimpinan saat ini atau yang tidak bersumber dari Nabi dengan predikat
kafir. Predikat tersebut sekaligus dijadikan dalih untuk menggusur mereka dari tampuk
kekuasaan karena tidak sesuai dengan Islam. Imbasnya juga, Hizbut Tahrir mengatakan bahwa
demokrasi merupakan sistem kufur karena penganut demokrasi mengingkari kedaulatan Tuhan
(al-hukm lillah). Demokrasisebagaimana dituliskan oleh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya
al-Dimuqrathiyyah Nidzam Kufradalah produk Barat yang sumber hukumnya bersandar pada
rakyat dan didasarkan pada suara mayoritas.
Pada hakekatnya, perkataan kedaulatan ada di tangan Tuhansebagaimana disebutkan oleh
Yusuf Qardlawi dalam bukunya al-Din wa al-Siyasah--tidak bertentangan sama sekali dengan
demokrasi. Sebab, adanya ungkapan kedaulatan rakyat bukan hendak menegasi kedaulatan
Tuhan. Akan tetapi sebuah sikap oposisi terhadap pemerintahan diktator. Implikasi yang tepat
dari teori Hakimiyyah milik Al-Mawdudi ini, hendak menyerabut legalitas ijtihad di semua masa.
Penempatan yang tidak tepat dari teori Hakimiyyah sangat mirip dengan sikap Khawarij; kalimat
8/2/2019 Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir
6/9
tersebut pada hakikatnya benar, akan tetapi aplikasinya tidak tepat. Untuk melihat pluralitas
interpretasi makna Hakimiyyah ini, mari kita simak penjelasan Syaikh Ali Jumah, Mufti Agung
Mesir, dalam bukunya Hurmat al-Takfir.
Ayat yang biasa dijadikan landasan teori Hakimiyyah adalah ayat wa man lam yahkum bi ma
anzalaLLah, fa ulaika hum al-fasiqun/al-dzalimun/al-kafirun. Setelah Syaikh Ali Jumahmembeberkan varian penafsiran dari ulama klasik terhadap ketiga ayat tersebut, ia pada
akhirnya berkesimpulandengan mendasarkan pendapatnya dari pendapat yang terkuat dan
realistis serta sesuai dengan misi toleransi Islam--bahwa ayat tersebut turun untuk orang-orang
yang membuat hukum yang berbeda dari apa yang sudah diturunkan oleh Allah. Sebagai misal,
mengatakan bahwa puasa Ramadlan tidak wajib, atau tidak perlu. Oleh karena itu, yang
dimaksud berhukum dengan selain hukum Allah dalam ayat adalah; pertama, menghalalkan
yang haram dan mengharamkan yang halal; kedua, mengingkari disyariatkannya suatu hukum
tertentu; ketiga, memperingan hukum; keempat, jika mengaplikasikan ayat ini untuk orang kafir,
maka yang dimaksud kafir di sini berfungsi sebagai tawkid (penguat kekafirannya), sedang jika
ayat diaplikasikan untuk orang mukmin, maka yang dimaksud adalah tawkid untuk dzalim danfasik.
Muhammad Imarat menambahkan dalam bukunya yang bertajuk al-Dawlah al-Islamiyyah baina
al-Ilmaniyyah wa al-Shulthat al-Diniyyah, bahwasanya makna kata al-hukm dalam mayoritas
ayat al-Quran bukan mengarah pada penetapan aturan-aturan dalam ranah politik. Akan tetapi
bermakna putusan (al-Qadla) dan memutus konflik (fashl al-munazaat). Tidak ada kaitan sama
sekali dengan Khilafah, politik, atau aturan-aturan dalam sistem politik tertentu.
Secara historis, teori kedaulatan rakyat juga tak bisa dipisahkan dari John Locke, filosof Inggris.
Ia hendak menjadikan rakyat sebagai sentral; penentu hukum guna melawan pemerintahan
diktator. Begitu pula filosof Perancis, Jean Jacques Rousseau, yang berbicara mengenai
kedaulatan rakyat sebagai kekuatan oposisi penguasa elit despotik. Sejarah jelas berbicara,
bahwa teori kedaulatan rakyat berdiri guna menentang despotisme penguasa.
Bahkan, sebagaimana Fahmi Huwaidi utarakan dalam bukunya yang berjudul al-Dimuqrhutiyyah
wa al-Islam, pemerintahan dengan praktek Khilafah juga sebenarnya tak lepas dari kerelaan
rakyat (ridla al-ummat). Kedaulatan yang ada dalam praktek Khilafah tidak merepresentasikan
kedaulatan Tuhan. Ekses dari kedaulatan (dalam ranah politik) di tangan Tuhan sangat
berbahaya sekali, karena bisa menjadi legitimasi seorang Khalifah untuk berbicara atas nama
Tuhan, dan yang membangkang seolah membangkang pada Tuhan. Tentu saja ini pandangan
yang keliru. Dan sangat potensial melahirkan pemimpin despotik. Muhammad Imarah
merasionalisasikan gagasan ini pada logika yang paling dekat; jika kedaulatan ada di tangan
rakyat, maka Khalifah adalah wakil dari rakyat dan mengatur urusan rakyat. Sedang jika
mengatakan kedaulatan Tuhan, maka Khalifah adalah wakil Tuhan dan merepresentasikan
maksud Tuhan. Lalu, apa perbedaan pemerintahan Khilafah dengan dominasi Gereja pada masa
kegelapan Eropa?
8/2/2019 Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir
7/9
Jika berpijak pada fikih klasik, maka pemerintah yang dipilih oleh rakyat dan terdapat wakil
rakyat yang menduduki parlemen sudah sah secara syari. Oleh karena itu, ketika melihat
konteks Indonesia, pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan tata cara pemilihan pemimpin
yang disebutkan dalam fikih klasik, karena presiden dilantik oleh MPR. Dan MPR adalah wakil
rakyat yang statusnya tak berbeda dengan Ahlu al-Halli wa al-Aqdi.
Dalam perkara dunia, umat Islam diberi kebebasan untuk menetapkan aturan yang selaras
dengan kemaslahatan mereka. Sebagaimana dianjurkan untuk mengambil manfaat dari
peradaban yang bermacam yang dihasilkan dari nalar manusia tanpa melihat bagaimana serta
apa ideologi dari peradaban tersebut. Mengutip Muhammad Abduh, jika mengasumsikan bahwa
wahyu sudah mengatur semua kehidupan manusia, diakui atau tidak, hal ini akan menghambat
optimalisasi nalar dan kreasi umat. Banyak hal-hal yang baru bentukan peradaban modern tidak
terdapat di dalam wahyu. Di sinilah peran manusia untuk berijtihad.
Bagi penulis, demokrasi adalah sistem ideal yang bisa diaplikasikan oleh semua Negara. Sistem
ini sama sekali tidak bertentangan dengan Islam karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip
Islami yang jelas termaktub dalam al-Quran dan al-Hadis. Yusuf Qardlawi bahkan menyebut
demokrasi dengan Islam itu sendiri ( Jawhar al-Islam). Pada demokrasi sudah mencerminkan
praktek syura (QS. Ali Imran: 159), Ahl Al-Halli wa Aqdi (QS. Al-Nisa: 59), menolak penguasa
despotik (QS. Al-Baqarah: 258, QS. Al-Syuara: 150-152), mengikuti suara mayoritas (QS. Al-
Tawbah: 105, QS. Al-Ghafir: 35) .
Formalisasi Syariat, Mungkinkah?
Mengenai relevansi hukum Islam, sebagaimana analisis Mahsun Fuad, relasi hukum Islam dan
perubahan sosial setidaknya menghasilkan dua teori yang berbeda; pertama, teori keabadian
(normativitas). Dalam arti, hukum Islam tetap abadi, konstan serta tidak berubah dari zamansebagaimana diturunkannya hukum tersebut. Oleh karenanya, ia tidak bisa diadaptasikan
dengan perubahan sosial; kedua, teori adaptabilitas (perubahan). Bahwasanya hukum Islam bisa
disesuaikan dengan perubahan sosial dan membutuhkan ijtihad-ijtihad baru yang sesuai dengan
realitas sosial dan bisa merespon perubahan sosial. Perlu diketahui di sini bahwa yang dimaksud
adaptabilitas bisa mengacu pada dua frame; kemungkinan perluasan hukum yang sudah ada dan
keterbukaan satu kumpulan hukum bagi perubahan.
Oleh karena itu, jika melihat klasifikasi di atas, Hizbut Tahrir dengan pandangannya hendak
membawa umat Islam pada normativitas hukum Islam; hukum Islam yang diasumsikan tidak
berubah sampai kapanpun. Pandangan ini tentu saja sangat lemah dari banyak sisi. Padahaltempat dan masa mempunyai andil besar dalam proses inferensi hukum (istinbath al-hukm) bagi
para mujtahid. Yusuf Qardlawi dalam kitabnya yang bertajuk al-Fatawa al-Syadzdzah
mengkategorikan hukum yang tidak melihat aspek waktu, tempat serta kondisi sebagai hukum
yang syadz (lawan hukum yang kuat/shahih). Oleh karena itu kita melihat mujtahid merubah
hukum karena pertimbangan tempat dan waktu. Seperti Imam SyafiI yang mempunyai Qawl
8/2/2019 Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir
8/9
Qadim (pendapat lama) yang dikeluarkan sebelum di Mesir, sedang sesudah di Mesir terkenal
dengan Qawl Jadid(pendapat baru).
Tak jarang juga dalam literatur fikih, seorang imam bisa menelorkan sampai sepuluh hukum
dalam satu permasalahan, sebagaimana yang dilakukan oleh imam Ahmad bin Hanbal dalam
kitab al-Furu anggitan Ibnu Muflih. Tak jarang pula terdapat perbedaan antara penganutmadzhab dengan imam madzhab, seperti perbedaan Abu Hanifah (Imam Madzhab Hanafi) dan
Abu Yusuf dan Muhammad (penganut Madzhab). Oleh ulama, perbedaan mereka disebut
perbedaan masa dan waktu (ikhtilaf ashr wa zaman). Ibnu Abidin menganggit kitab berjudul
Nasyr al-Arfi fi Bina Badl al-Ahkam ala al-Urfi. Dalam kitab tersebut disebutkan banyak sekali
perubahan fatwa untuk satu kasus dalam satu madzhab. Ibnu Abidin mengatakan, kebanyakan
hukum bisa berbeda-beda menurut pertimbangan masa karena berubahnya adat suatu
masyarakat, atau karena dlarurat, atau semakin rusaknya masyarakat, sehingga jika diberikan
hukum sebagaimana adanya, maka akan menimbulkan kesusahan dan membahayakan bagi
manusia. Dan hal ini bertentangan dengan kaidah syara yang didasarkan pada keringanan dan
kemudahan.
Dengan demikian, mengambil hukum apa adanya pada satu masa tertentu untuk diaplikasikan di
masa yang berbeda adalah tindakan yang semena-mena. Walapun hal ini tidak berlaku dalam
semua hukum, akan tetapi hukum-hukum yang didasarkan pada teks yang mempunyai cakupan
makna yang multi-interpretatif (dzanny al-dalalah).
Bagaimanakah sebenarnya bentuk formalisasi syariat itu? Formalisasi Syariat Islam
sebagaimana didefinisikan oleh Salim al-Awa--adalah mentransfer hukum syariat pada pasal
dalam Undang-Undang yang bersifat mengikat. Hal ini berkonsekuensi pada seorang Hakim,
ketika memutuskan suatu kasus harus berdasarkan hukum tersebut. Penyeru formalisasi Syariat
pertama kali adalah Abdullah Ibnu al-Muqaffa. Hal tersebut terlihat saat Abdullah Ibnu al-
Muqaffa membujuk Khalifah Abu Jafar al-Manshur untuk memformalkan syariat Islam
disebuah tulisan yang bertajuk Risalat al-Shahabat. Kemudian Abu Jafar al-Manshur
mengupayakan hal serupawalau tak disebut taqnin (formalisasi), akan tetapi hendak
mengarah ke sanadengan meminta kitab al-Muwatha sebagai acuan hakim ketika
memutuskan suatu perkara. Akan tetapi Imam Malik menolaknya. Abu Jafar membujuk yang
kedua kali, imam Malikpun menolak yang kedua kali. Khalifah al-Mahdi melakukan hal serupa,
akan tetapi Imam Malik menolak. Begitupula Harun al-Rasyik membujuk imam Malik, beliau tak
merubah pendapatnya.
Hal itu dapat dimaklumi, sebab hakim mempunyai pertimbangan dan ijtihad sendiri yang
berbeda satu dengan yang lain. Ibnu Abdil Barri dalam kitabnya Jami Bayan al-Ilm mengutip
tentang riwayat Umar bin Khattab yang bertemu seorang laki- laki. Kemudian ia berkata, apa
yang terjadi? Laki-laki tersebut berkata, Ali dan Zaid telah memutuskan seperti ini. Kemudian
Umar berkata, jika saya yang jadi hakim, niscaya saya akan memutuskan seperti ini (berbeda
dengan keputusan yang pertama).
8/2/2019 Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir
9/9
Catatan sejarah mengatakan, sebagaimana dilansir Jamal al-Banna dalam tulisannya yang
bertajuk Hal Yumkin Tathbiq al-Syariah, bahwa hukum pada pemerintahan Khalifah didasarkan
pada ijtihad yang variatif serta tidak ditransfer dalam bentuk aturan bakuterkecuali masa di
mana Rasul masih hidup. Hal tersebut dimulai oleh Khalifah masa dinasti Umawi, Umar bin
Abdul Aziz. Beliau menghendaki agar hadis Nabi dibukukan sebab dikhawatirkan akan lenyap
dengan lenyapnya penghafal hadis. Abu Zurah menanggapi aktivitas Umar bin Abdul Aziz
dengan ungkapan, Umar bin Abdul Aziz menghendaki bahwa hukum-hukum untuk manusia dan
ijtihad sebagai satu kesatuan. Kemudian berkata, bahwasanya di setiap pelosok daerah ada
shahabat Nabi. Dan di antara mereka ada hakim yang memutuskan hukum berdasar persetujuan
shahabat Nabi. Jamal juga mengatakan, sebelum Umar bin Abdul Aziz sudah ada upaya
formalisasi syariat di tangan Walid bin Abdul Malik.
Dengan demikian, formalisasi Syariat Islam bukanlah perintah Allah, bukan pula anjuran Nabi.
Terakhir, Abu al-Abbas Ahmad bin Idris al-Qarrafi dalam kitabnya al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa
wa al-Ahkam fi Tasharruffati al-Qadli wa al-Imam mengatakan, sunah Nabi terpetakan pada
empat bagian; pertama, aktivitas Rasul yang berkaitan dengan risalah, dengan memperhatikan
bahwa beliau adalah seorang rasul yang diutus oleh Allah sebagai penyampai berita gembira dan
pemberi peringatan; kedua, aktivitas Rasul dalam berfatwa. Yakni ketika menggambarkan
kalimat-kalimat yang tidak dimengerti dari wahyu; ketiga, aktivitas beliau sebagai seorang hakim
yang memberi putusan dalam kasus tertentu atau perselisihan antara dua orang;
keempat,aktivitas rasul yang berkaitan dengan politik atau imamah. Hal ini mencakup semua
perkataan, perbuatan, serta pengakuan yang berkenaan dengan aturan pasukan, alokasi dana
tertentu, dll. Imam Qarrafi mengatakan, jika yang pertama dan kedua disebut Sunnah dan
masuk dalam perkara agama. Sedang yang ketiga dan keempat bukan dari agama. Dan
karenanya, kita tak diwajibkan untuk mengikuti serta mengaplikasikannya.[]