Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/2/2019 Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir

    1/9

    Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir

    Ahmad Hadidul Fahmi

    Baru-baru ini kita melihat semangat keislaman yang menggelora dari generasi muda. Sayangnya,

    semangat memunculkan Islam sebagai alternatif terbaik itu tidak diimbangi dengan pemahaman

    yang mumpuni dalam ilmu agama. Merasa bangga ketika memperjuangkan simbol, akan

    tetapi buta terhadap esensi. Karakter yang melekat dari inklinasi semacam ini adalah, mudah

    sekali menuduh kafir kelompok lain yang tidak se-ide dengan pemikiran mereka. Itulah Hizbut

    Tahrir. Partai yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1980 ini, cukup mendapat respon yang baik

    dari pemuda-pemuda kampus yang tidak mempunyai background yang mumpuni tentang

    pengetahuan Islam. Penulis menduga kuat, suksesnya dakwah mereka cukup paralel dengan

    slogan-slogan islamis yang dielu-elukan oleh simpatisan Partai Pembebasan ini.

    Pada tulisan ini, penulis hendak membedah inti pemikiran Hizbut Tahrir dari sumber-sumber

    primer mereka, kemudian penulis akan coba komparasikan dengan pendapat ulama-ulama sertapemikir kontemporer terkait masalah yang dibidik. Permasalahan yang coba penulis tampilkan

    adalah asumsi keharusan mendirikan Negara Islam sebagai wahana pemersatu umat Islam se-

    dunia. Permasalahan pertama ini tersusun dari premis-premis; pertama, kedaulatan rakyat

    adalah sistem kufur yang diciptakan oleh Barat. Karenanya, demokrasi dianggap sistem kufur

    sebab bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kedua, praktek politik pada masa Nabi merupakan

    representasi idealsekaligus diasumsikan diambil dari nash qathiy--bagi kelangsungan politik

    untuk era sekarang. Khilafah Islamiyyahbagi mereka--juga alternatif terbaik untuk

    mengentaskan umat Islam dari hegemoni Barat.

    Sejarah Kemunculan dan Falsafah Pemikiran Hizbut Tahrir

    Hizbut Tahrir lahir di Palestina tahun 1953, dengan pendirinya Taqiyuddin al-Nabhani, seorang

    Hakim di Haifa. Berdirinya Partai Kebebasan ini erat kaitannya dengan invasi Israel ke Palestina

    dan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani tahun 1924. Awalnya al-Nabhani merupakan

    pengagum Sayyid Quthb, dan sempat memberikan beberapa kuliah di markas besar Ikhwanul

    Muslimin di Yerusalem. Lahir di desa Ijzim, Palestina, 1914 M. Nama lengkapnya adalah Taqiy

    Al-Din bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf Nashir Ad Din An Nabhani. Hidupnya

    berpindah-pindah, dari Jordania, Syiria,dan akhirnya wafat Lebanon. Ia sempat mengenyam

    pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir pada tahun 1928 M. Al-Nabhani terbilang cukup

    produktif, beberapa buah karyanya adalah; Nidzam al-Islam, al-Takattul al-Hizbi, Mafahim Hizb

    al-Tahrir, al-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, al-Nidzam al-Ijtimai fi al-Islam, Nidzam al-Hukmi fi al-

    Islam, al-Dawlah al-Islamiyyah, Mafahim Siyasiyah li Hizb al-Tahrir, dan lain sebagainya. Buku

    yang dianggit sebelum mendirikan Partai Pembebasan bertajuk Risalat al-Arab.

    Tulisan ini pernah dimuat di website resmi NU Online www.nu.or.id dengan versi per-sub judul. Ini

    adalah tulisan versi lengkap sebagaimana termuat di blog saya:www.masfahmi.blogspot.com

    http://www.nu.or.id/http://www.nu.or.id/http://www.masfahmi.blogspot.com/http://www.masfahmi.blogspot.com/http://www.masfahmi.blogspot.com/http://www.masfahmi.blogspot.com/http://www.nu.or.id/
  • 8/2/2019 Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir

    2/9

    Sistem kepemimpinan Hizbut Tahrir disebut Imarah yang dipegang oleh Amir al-Hizb. Batas

    kepemimpinan Amir al-Hizb tidak terbatas, atau seumur hidup. Taqiyuddin al-Nabhani sendiri

    memegang tampuk Amir al-Hizb sampai tahun 1977 (sekaligus tahun wafat beliau). Selepas Al-

    Nabhani, tampuk Amir digantikan oleh Abdul Qadim Zallum (1977). Sebagaimana al-Nabhani,

    Abdul Qadim Zallum pernah mengenyam pendidikan di al-Azhar. Perjumpaannya dengan

    Taqiyuddin al-Nabhani terjadi pada tahun 1952, atau satu tahun sebelum Partai ini berdiri. Di

    antara karya Zallum adalah; al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah, Nidzam al-Hukm fi al-Islam, al-Tarif

    bi Hizb al-Tahrir, al-Dimuqrathiyyah Nidzam Kufr, dan sebagainya.

    Wafatnya Abdul Qadim Zallum (2003) ditandai dengan perpecahan di tubuh Partai. Masa vakum

    ini memunculkan kelompok sempalan Hizbut Tahrir yang menamakan diri mereka kelompok

    reformis (al-Tayyar al-Ishlahi). Kelompok reformis pada hakikatnya merupakan oposisi dari Amir

    ketiga, Atha Abu Rasytahyang masih memegang posisi Amir sampai sekarang, Juru Bicara

    Hizbut Tahrir Yordania sekaligus pengganti Abdul Qadim Zallum. Sebab, ketika Abu Rasytah

    didaulat menjadi Amir, dari kelompok reformis ini telah mengajukan Amir sendiri, Abu Bakar al-

    Khuwalidah.

    Dalam perjalanan pergerakan Hizbut Tahrir, mereka membagi dalam tiga fase penting; pertama,

    fase doktrinasi pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir secara personal, agar masyarakat menerima

    eksistensi mereka. Pada fase yang diawali semenjak 1953 ini, Taqiyuddin al-Nabhani sangat

    berperan besar. Sebab secara langsung turun lapangan memperkenalkan pada masyarakat

    doktrin-doktrin Hizbut Tahrir. Pada saat respon masyarakat dinilai positif, mereka melanjutkan

    pada fase kedua; interaksi dengan masyarakat agar mereka ikut merasakan dakwah Islam dan

    mempunyai kesadaran yang sama tentang realitas Islam. Pada fase ini, Hizbut Tahrir mulai

    memerangi pemikiran-pemikiran yang tidak sejalan Islam secara massif. Memprogandakan

    cacatnya kepemimpinan yang tidak sejalan dengan Islam. Setelah masyarakat mulai kehilangankepercayaan dengan pemimpin mereka, Hizbut Tahrir mulai beralih ke fase ketiga; penerimaan

    kekuasaan melalui penegakkan Negara Islam guna mengaplikasikan Islam secara komprehensif.

    Dalam buku bertajuk Hizb al-Tahrir, keluaran Hizbut Tahrir, definisi Partai Pembebasan ini

    adalah parta politik yang berideologi Islam, dan lahan dakwahnya dalam ranah politik, serta

    memimpin umat Islam untuk kembali pada pemerintahan Islam sehingga mampu berhukum

    dengan sebagaimana yang sudah diturunkan oleh Allah.

    Falsafah yang mendasari berdirinya partai pembebasan inisebagaimana terangkum dalam

    buku terbitan Hizbut Tahrir sendiri yang bertajuk Mafahim Hizb al-Tahrirberpijak dari

    kemunduran massif peradaban Islam semenjak abad 12 H yang berbanding lurus dengan

    lemahnya semangat umat Islam untuk memperdalam Islam itu sendiri. Lemahnya generasi umat

    Islam untuk memperdalam Islambagi merekainheren dengan upaya memisahkan Arab dan

    Islam. Sedang gagalnya proyek kebangkitanyang bertopang dari Islamsetidaknya kembali

    pada tiga alasan; pertama, tidak memahami secara komprehensif pemikiran Islam; kedua, hanya

    memperdalam hukum yang bersifat teoritis, akan tetapi mengabaikan aspek praksis; ketiga,

    asumsi keterpisahan pemikiran Islam dan aplikasinya.

  • 8/2/2019 Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir

    3/9

    Keterpisahan mempelajari hukum Islam yang terpisah dari cara implementasinya secara total

    termanifestasikan tatkala umat Islam berbondong-bondong mempelajari tatacara shalat, puasa,

    nikah, talak, akan tetapi mengabaikan hukum Jihad, ghanimah, hukum-hukum dalam

    pemerintahan, dan sebagainya. Sehingga pada abad 19 M, ada pemahaman yang keliru terkait

    paradigma aplikasi Islam dalam masyarakat; Islam ditafsirkan agar kontekstual dengan

    masyarakat, bukan masyarakat yang menyesuaikan dengan Islam. Dengan demikian, merupakan

    keharusan untuk mengaplikan Islam sebagaimana adanya pada masyarakat tanpa terpengaruh

    waktu, tempat atau masa.

    Oleh karena itu, diperlukan adanya gerakan Islam yang mengembalikan Islam pada wacana teori

    sekaligus memungkinkan mengaplikasikannya secara total, dan memulai hal tersebut dari skala

    yang paling kecil; dunia Arab. Inilah awal mula muncul ide untuk mendirikan Negara Islam.

    Dimulai dari sekup yang terkecil untuk bermuamalat secara Islami, kemudian melebarkan

    sayapnya ke penjuru Negeri.

    Selain itu, kewajiban umat Islam adalah menerapkan hukum Islam secara paripurna di semua

    sendi kehidupan, melalui Undang-Undang atau peraturan yang bersumber dari al-Qur an dan al-

    Hadis. Aplikasi secara sempurna tersebut tidak mungkin terwujud terkecuali dengan wujudnya

    Negara yang bisa mengakomodir semua itu. Itulah Negara Islam, dimana Khalifah atau

    pemimpinnya menerapkan syariat Islam secara sempurna.

    Hizbut Tahrir dalam merealisasikan agendanya melalui penguasaan parlemen sehingga mampu

    mendirikan Negara Islam. Adapun piranti untuk sampai pada parlemen adalah; pertama,

    memusatkan perhatian pada upaya doktrinasi terhadap masyarakat tentang Islam (al-ihtimam bi

    al-amal al-tsaqafi/tastqif). Pada aspek ini, seperti pernyataan al-Nabhani sendiri dalamal-

    Takattul al-Hizby, Hizbut Tahrir jelas mengikrarkan pengabaian terhadap aspek etika dalam

    Islam, dan mengedepankan pemikiran dan pengetahuan tentang peradaban Islam. Kedua,

    memusatkan perhatian aktivitasnya dalam ranah politik (al-ihtimam bi al-amal al-siyasi). Dalam

    ranah politik, mereka berusaha sekuat mungkin untuk meruntuhkan aturan-aturan yang dibuat

    bukan dari asas islami. Dalam buku yang bertajuk Manhaj Hizb al-Tahrir, mayoritas Negara yang

    dihuni oleh umat Islam sekarang layak disebut Dar al-Kufr, karena mengadopsi hukum-hukum

    yang berasal bukan dari asas Islami dan tidak dibawah kontrol masyarakat Islam.

    Ketika Negara Islam sudah terealisasi, Hizbut Tahrir mengagendakan menyusun Undang-Undang

    yang diawali dengan telaah problematika masyarakat, kemudian membuat kaidah umum

    sebagai referensi Hakim/Qadli ketika memberikan putusan hukum--yang bisa dijadikan neraca

    mengentaskan varian problem yang berkembang. Mereka mensyaratkan, aturan tersebut

    merupakan perpanjangan dari fikih Islam. Interpetasi Undang-Undang yang dilakukan oleh

    Hakim harus melalui penguasaan teks Islam (al-Nushush al-Syariyyah), ushul fikih, atau fikih.

    Mereka beranggapan, Islam sebagai agama mempunyai aturan. Aturan ini adalah hukum-hukum

    syariat yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Aturan-aturan tersebut terklasifikasi pada

    hukum-hukum yang mempunyai orientasi mengentaskan problem masyarakat (fikrah), dan

  • 8/2/2019 Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir

    4/9

    hukum-hukum yang mencakup tatacara aplikasi hukum, menjaga akidah dan menyebarkan

    dakwah (thariqah). Islam tersusun dari dua unsur ini, dan tak akan mungkin berislam secara

    sempurna tanpa upaya menjalankan keduanya. Mereka mencontohkan bahwa shalat adalah

    fikrah. dan Negara Islam merupakan thariqah, yang bertugas tidak hanya menganjutkan umat

    Islam untuk melaksanakannya secara teratur saja, akan tetapi juga mengupayakan hukuman

    bagi yang meninggalkan shalat.

    Islam Atawa Nasionalisme?

    Hizbut Tahrir secara sosio-historis merupakan aksi yang timbul dari nasionalisme Palestina yang

    terus menerus dibombardir oleh Israel. Inklinasi nasionalisme al-Nabhani terlihat jelas dalam

    buku pertamanya yang bertajuk Risalat al-Arab. Akan tetapi aksi mereka kemudian beralih ke

    level yang lebih tinggi; mendirikan Negara Islam. Runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani (1924),

    juga salah satu faktor yang tidak bisa diabaikan yang mengilhami ambisi HT untuk

    mempersatukan umat dalam satu kesadaran; kesadaran Islam. Pada hakikatnya, satu

    kesadaran merupakan orientasi semua sekte yang ada dalam Islam sekarang. Akan tetapi

    piranti yang digunakan berbeda-beda, tergantung dari paradigma apa suatu sekte berpijak.

    Selain itu, eksistensi adanya negara-negara kecil (duwailat) sekarang, tampaknya juga harus

    dijadikan pertimbangan tersendiri.

    Pemerintah Islam pada masa Nabi dan shahabat adalah pemerintahan yang tidak mungkin

    terulang kembali. Islam adalah agama yang diimani oleh orang Arab dan membawa ajaran-

    ajaran yang tidak pernah mereka jumpai sebelumnya. Dengan kualitas orang yang juga berbeda

    dengan masa sekarang, mereka mampu mendongkrak ke atas dan melakukan ekspansi ke

    daerah-daerah lain atas nama Islam. Akan tetapi, kenapa Islam sekarang tidak mampu

    mempersatukan umat Islam dalam satu kesadaran sebagaimana yang terjadi pada zaman Rasul

    dan Shahabat? Bahkan antara Negara yang mayoritas umat Islam terjadi peperangan yang tak

    kunjung reda sampai sekarang.

    Hal paling fundamental yang bisa diungkapkan di sini adalah Islam dengan aplikasi yang

    maksimal pada masa Nabi masih menyisakan celah-celah fanatisme kabilah yang potensial

    menimbulkan perseteruan dan perpecahan. Padahal fungsi kabilah pada saat itu tidak kompleks

    sebagaimana fungsi Negara pada saat ini. Bahkan sangat sederhana. Selain itu, ketika

    menjadikan Islam sebagai pemersatu umat, kecenderungan ikatan atas dasar Islam sendiri

    bertingkat; kita mengetahui bersama bahwa rasa kebersamaan Muhajirin lebih kuat dibanding

    Anshar karena Muhajirin secara langsung berhadapan dan bahkan mendapat siksaan bertubi-

    tubi dari kaum Musyrik Mekah.

    Berlanjutnya fanatisme kabilah dalam Islam jelas terlihat ketika Khazraj perannya lebih besar di

    perang Badar dari pada Aus, sebab Khazraj memandang paman ayah Nabi berasal dari Bani

    Najjar. Dan Bani Najjar adalah salah satu kelompok Khazraj. Dalam Tarikh Thabari disebutkan,

    pada saat peristiwa Musailamah yang mendaku Nabi, Thalhah al-Numairi mengatakan pada

    Musailamah, saya bersaksi bahwa kamu bohong. Akan tetapi bohongnya Rabiah (nama

  • 8/2/2019 Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir

    5/9

    kabilah), lebih saya suka dari pada jujurnya Mudlar. Artinya, Thalhah mengetahui bahwa Islam

    adalah agama yang benar, akan tetapi ia merasa tak rela ketika harus bersama Quraisy dan

    orang Islam yang lain memerangi Musailamah yang berasal kabilahnya.

    Fanatisme yang tidak berpayung Islam juga berlanjut ke masa Dinasti Umawiyyah. Sejarah

    mencatat bahwa pemerintahan Umawi memperlihatkan rasa bangga yang berlebihan denganras Arab dan terlalu membedakan Arab dengan yang lain. Fanatisme kabilah juga masih cukup

    kental di sini. Kita melihat perseteruan antara Mudlar dan Yaman yang mengakibatkan revolusi

    pada masa al-Walid bin Zaid bin Abd al-Malik.

    Arti ini semua adalah, ikatan Islam memperlihatkan hasil maksimal hanya pada masa Nabi. Oleh

    karena itu, apabila Hizbut Tahrir hendak menyatukan umat Islam dalam satu payung agama,

    mereka harus mengetengahkan konsep yang matang serta realistis. Kemustahilan tersebut lagi-

    lagi datang dari sikap aktivis Hizbut Tahrir sendiri yang sangat mudah sekali menyumpah

    golongan lain dengan kafir. Tentu saja agenda mereka lebih akan jadi ilusi semata. Pluralitas

    fikih, pendapat, paradigma, sama sekali tak mendapat tempat dalam Partai ini. Selain itu, kita

    bahkan sampai sekarang tak mendapat informasi lebih perihal kelompok reformis Hizbut Tahrir

    dari sumber-sumber primer mereka. Ataukah karena Hizbut Tahrir sendiri enggan disebut gagal

    dengan agendanya tersebut?

    Kritik Teori Hakimiyyah

    Khalil Abdul Karim menegaskan dalam bukunya li Thatbiq al-Syariah, la li al-Hukm, bahwasanya

    maraknya radikalisme, asumsi kafirnya pemerintah serta tuduhan terhadap umat Islam sebagai

    masyarakat Jahiliyyah, setidaknya kembali pada dua sebab; teori hakimiyyah yang

    dipopulerkan oleh Sayyid Quthb yang diadopsi dari Abu al-Ala al-Mawdudi, seterusnya menjadi

    parameter dalam menilai kepemimpinan yang tidak berasal dari Islam; kedua, siksaan yangditujukan pada kelompok radikalis yang berakhir dengan hukuman mati Sayyid Quthb.

    Bertolak dari premis ini, aktivis Hizbut Tahrir menjadikan teori tersebut sebagai legitimasi

    menuduh praktek kepemimpinan saat ini atau yang tidak bersumber dari Nabi dengan predikat

    kafir. Predikat tersebut sekaligus dijadikan dalih untuk menggusur mereka dari tampuk

    kekuasaan karena tidak sesuai dengan Islam. Imbasnya juga, Hizbut Tahrir mengatakan bahwa

    demokrasi merupakan sistem kufur karena penganut demokrasi mengingkari kedaulatan Tuhan

    (al-hukm lillah). Demokrasisebagaimana dituliskan oleh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya

    al-Dimuqrathiyyah Nidzam Kufradalah produk Barat yang sumber hukumnya bersandar pada

    rakyat dan didasarkan pada suara mayoritas.

    Pada hakekatnya, perkataan kedaulatan ada di tangan Tuhansebagaimana disebutkan oleh

    Yusuf Qardlawi dalam bukunya al-Din wa al-Siyasah--tidak bertentangan sama sekali dengan

    demokrasi. Sebab, adanya ungkapan kedaulatan rakyat bukan hendak menegasi kedaulatan

    Tuhan. Akan tetapi sebuah sikap oposisi terhadap pemerintahan diktator. Implikasi yang tepat

    dari teori Hakimiyyah milik Al-Mawdudi ini, hendak menyerabut legalitas ijtihad di semua masa.

    Penempatan yang tidak tepat dari teori Hakimiyyah sangat mirip dengan sikap Khawarij; kalimat

  • 8/2/2019 Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir

    6/9

    tersebut pada hakikatnya benar, akan tetapi aplikasinya tidak tepat. Untuk melihat pluralitas

    interpretasi makna Hakimiyyah ini, mari kita simak penjelasan Syaikh Ali Jumah, Mufti Agung

    Mesir, dalam bukunya Hurmat al-Takfir.

    Ayat yang biasa dijadikan landasan teori Hakimiyyah adalah ayat wa man lam yahkum bi ma

    anzalaLLah, fa ulaika hum al-fasiqun/al-dzalimun/al-kafirun. Setelah Syaikh Ali Jumahmembeberkan varian penafsiran dari ulama klasik terhadap ketiga ayat tersebut, ia pada

    akhirnya berkesimpulandengan mendasarkan pendapatnya dari pendapat yang terkuat dan

    realistis serta sesuai dengan misi toleransi Islam--bahwa ayat tersebut turun untuk orang-orang

    yang membuat hukum yang berbeda dari apa yang sudah diturunkan oleh Allah. Sebagai misal,

    mengatakan bahwa puasa Ramadlan tidak wajib, atau tidak perlu. Oleh karena itu, yang

    dimaksud berhukum dengan selain hukum Allah dalam ayat adalah; pertama, menghalalkan

    yang haram dan mengharamkan yang halal; kedua, mengingkari disyariatkannya suatu hukum

    tertentu; ketiga, memperingan hukum; keempat, jika mengaplikasikan ayat ini untuk orang kafir,

    maka yang dimaksud kafir di sini berfungsi sebagai tawkid (penguat kekafirannya), sedang jika

    ayat diaplikasikan untuk orang mukmin, maka yang dimaksud adalah tawkid untuk dzalim danfasik.

    Muhammad Imarat menambahkan dalam bukunya yang bertajuk al-Dawlah al-Islamiyyah baina

    al-Ilmaniyyah wa al-Shulthat al-Diniyyah, bahwasanya makna kata al-hukm dalam mayoritas

    ayat al-Quran bukan mengarah pada penetapan aturan-aturan dalam ranah politik. Akan tetapi

    bermakna putusan (al-Qadla) dan memutus konflik (fashl al-munazaat). Tidak ada kaitan sama

    sekali dengan Khilafah, politik, atau aturan-aturan dalam sistem politik tertentu.

    Secara historis, teori kedaulatan rakyat juga tak bisa dipisahkan dari John Locke, filosof Inggris.

    Ia hendak menjadikan rakyat sebagai sentral; penentu hukum guna melawan pemerintahan

    diktator. Begitu pula filosof Perancis, Jean Jacques Rousseau, yang berbicara mengenai

    kedaulatan rakyat sebagai kekuatan oposisi penguasa elit despotik. Sejarah jelas berbicara,

    bahwa teori kedaulatan rakyat berdiri guna menentang despotisme penguasa.

    Bahkan, sebagaimana Fahmi Huwaidi utarakan dalam bukunya yang berjudul al-Dimuqrhutiyyah

    wa al-Islam, pemerintahan dengan praktek Khilafah juga sebenarnya tak lepas dari kerelaan

    rakyat (ridla al-ummat). Kedaulatan yang ada dalam praktek Khilafah tidak merepresentasikan

    kedaulatan Tuhan. Ekses dari kedaulatan (dalam ranah politik) di tangan Tuhan sangat

    berbahaya sekali, karena bisa menjadi legitimasi seorang Khalifah untuk berbicara atas nama

    Tuhan, dan yang membangkang seolah membangkang pada Tuhan. Tentu saja ini pandangan

    yang keliru. Dan sangat potensial melahirkan pemimpin despotik. Muhammad Imarah

    merasionalisasikan gagasan ini pada logika yang paling dekat; jika kedaulatan ada di tangan

    rakyat, maka Khalifah adalah wakil dari rakyat dan mengatur urusan rakyat. Sedang jika

    mengatakan kedaulatan Tuhan, maka Khalifah adalah wakil Tuhan dan merepresentasikan

    maksud Tuhan. Lalu, apa perbedaan pemerintahan Khilafah dengan dominasi Gereja pada masa

    kegelapan Eropa?

  • 8/2/2019 Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir

    7/9

    Jika berpijak pada fikih klasik, maka pemerintah yang dipilih oleh rakyat dan terdapat wakil

    rakyat yang menduduki parlemen sudah sah secara syari. Oleh karena itu, ketika melihat

    konteks Indonesia, pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan tata cara pemilihan pemimpin

    yang disebutkan dalam fikih klasik, karena presiden dilantik oleh MPR. Dan MPR adalah wakil

    rakyat yang statusnya tak berbeda dengan Ahlu al-Halli wa al-Aqdi.

    Dalam perkara dunia, umat Islam diberi kebebasan untuk menetapkan aturan yang selaras

    dengan kemaslahatan mereka. Sebagaimana dianjurkan untuk mengambil manfaat dari

    peradaban yang bermacam yang dihasilkan dari nalar manusia tanpa melihat bagaimana serta

    apa ideologi dari peradaban tersebut. Mengutip Muhammad Abduh, jika mengasumsikan bahwa

    wahyu sudah mengatur semua kehidupan manusia, diakui atau tidak, hal ini akan menghambat

    optimalisasi nalar dan kreasi umat. Banyak hal-hal yang baru bentukan peradaban modern tidak

    terdapat di dalam wahyu. Di sinilah peran manusia untuk berijtihad.

    Bagi penulis, demokrasi adalah sistem ideal yang bisa diaplikasikan oleh semua Negara. Sistem

    ini sama sekali tidak bertentangan dengan Islam karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip

    Islami yang jelas termaktub dalam al-Quran dan al-Hadis. Yusuf Qardlawi bahkan menyebut

    demokrasi dengan Islam itu sendiri ( Jawhar al-Islam). Pada demokrasi sudah mencerminkan

    praktek syura (QS. Ali Imran: 159), Ahl Al-Halli wa Aqdi (QS. Al-Nisa: 59), menolak penguasa

    despotik (QS. Al-Baqarah: 258, QS. Al-Syuara: 150-152), mengikuti suara mayoritas (QS. Al-

    Tawbah: 105, QS. Al-Ghafir: 35) .

    Formalisasi Syariat, Mungkinkah?

    Mengenai relevansi hukum Islam, sebagaimana analisis Mahsun Fuad, relasi hukum Islam dan

    perubahan sosial setidaknya menghasilkan dua teori yang berbeda; pertama, teori keabadian

    (normativitas). Dalam arti, hukum Islam tetap abadi, konstan serta tidak berubah dari zamansebagaimana diturunkannya hukum tersebut. Oleh karenanya, ia tidak bisa diadaptasikan

    dengan perubahan sosial; kedua, teori adaptabilitas (perubahan). Bahwasanya hukum Islam bisa

    disesuaikan dengan perubahan sosial dan membutuhkan ijtihad-ijtihad baru yang sesuai dengan

    realitas sosial dan bisa merespon perubahan sosial. Perlu diketahui di sini bahwa yang dimaksud

    adaptabilitas bisa mengacu pada dua frame; kemungkinan perluasan hukum yang sudah ada dan

    keterbukaan satu kumpulan hukum bagi perubahan.

    Oleh karena itu, jika melihat klasifikasi di atas, Hizbut Tahrir dengan pandangannya hendak

    membawa umat Islam pada normativitas hukum Islam; hukum Islam yang diasumsikan tidak

    berubah sampai kapanpun. Pandangan ini tentu saja sangat lemah dari banyak sisi. Padahaltempat dan masa mempunyai andil besar dalam proses inferensi hukum (istinbath al-hukm) bagi

    para mujtahid. Yusuf Qardlawi dalam kitabnya yang bertajuk al-Fatawa al-Syadzdzah

    mengkategorikan hukum yang tidak melihat aspek waktu, tempat serta kondisi sebagai hukum

    yang syadz (lawan hukum yang kuat/shahih). Oleh karena itu kita melihat mujtahid merubah

    hukum karena pertimbangan tempat dan waktu. Seperti Imam SyafiI yang mempunyai Qawl

  • 8/2/2019 Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir

    8/9

    Qadim (pendapat lama) yang dikeluarkan sebelum di Mesir, sedang sesudah di Mesir terkenal

    dengan Qawl Jadid(pendapat baru).

    Tak jarang juga dalam literatur fikih, seorang imam bisa menelorkan sampai sepuluh hukum

    dalam satu permasalahan, sebagaimana yang dilakukan oleh imam Ahmad bin Hanbal dalam

    kitab al-Furu anggitan Ibnu Muflih. Tak jarang pula terdapat perbedaan antara penganutmadzhab dengan imam madzhab, seperti perbedaan Abu Hanifah (Imam Madzhab Hanafi) dan

    Abu Yusuf dan Muhammad (penganut Madzhab). Oleh ulama, perbedaan mereka disebut

    perbedaan masa dan waktu (ikhtilaf ashr wa zaman). Ibnu Abidin menganggit kitab berjudul

    Nasyr al-Arfi fi Bina Badl al-Ahkam ala al-Urfi. Dalam kitab tersebut disebutkan banyak sekali

    perubahan fatwa untuk satu kasus dalam satu madzhab. Ibnu Abidin mengatakan, kebanyakan

    hukum bisa berbeda-beda menurut pertimbangan masa karena berubahnya adat suatu

    masyarakat, atau karena dlarurat, atau semakin rusaknya masyarakat, sehingga jika diberikan

    hukum sebagaimana adanya, maka akan menimbulkan kesusahan dan membahayakan bagi

    manusia. Dan hal ini bertentangan dengan kaidah syara yang didasarkan pada keringanan dan

    kemudahan.

    Dengan demikian, mengambil hukum apa adanya pada satu masa tertentu untuk diaplikasikan di

    masa yang berbeda adalah tindakan yang semena-mena. Walapun hal ini tidak berlaku dalam

    semua hukum, akan tetapi hukum-hukum yang didasarkan pada teks yang mempunyai cakupan

    makna yang multi-interpretatif (dzanny al-dalalah).

    Bagaimanakah sebenarnya bentuk formalisasi syariat itu? Formalisasi Syariat Islam

    sebagaimana didefinisikan oleh Salim al-Awa--adalah mentransfer hukum syariat pada pasal

    dalam Undang-Undang yang bersifat mengikat. Hal ini berkonsekuensi pada seorang Hakim,

    ketika memutuskan suatu kasus harus berdasarkan hukum tersebut. Penyeru formalisasi Syariat

    pertama kali adalah Abdullah Ibnu al-Muqaffa. Hal tersebut terlihat saat Abdullah Ibnu al-

    Muqaffa membujuk Khalifah Abu Jafar al-Manshur untuk memformalkan syariat Islam

    disebuah tulisan yang bertajuk Risalat al-Shahabat. Kemudian Abu Jafar al-Manshur

    mengupayakan hal serupawalau tak disebut taqnin (formalisasi), akan tetapi hendak

    mengarah ke sanadengan meminta kitab al-Muwatha sebagai acuan hakim ketika

    memutuskan suatu perkara. Akan tetapi Imam Malik menolaknya. Abu Jafar membujuk yang

    kedua kali, imam Malikpun menolak yang kedua kali. Khalifah al-Mahdi melakukan hal serupa,

    akan tetapi Imam Malik menolak. Begitupula Harun al-Rasyik membujuk imam Malik, beliau tak

    merubah pendapatnya.

    Hal itu dapat dimaklumi, sebab hakim mempunyai pertimbangan dan ijtihad sendiri yang

    berbeda satu dengan yang lain. Ibnu Abdil Barri dalam kitabnya Jami Bayan al-Ilm mengutip

    tentang riwayat Umar bin Khattab yang bertemu seorang laki- laki. Kemudian ia berkata, apa

    yang terjadi? Laki-laki tersebut berkata, Ali dan Zaid telah memutuskan seperti ini. Kemudian

    Umar berkata, jika saya yang jadi hakim, niscaya saya akan memutuskan seperti ini (berbeda

    dengan keputusan yang pertama).

  • 8/2/2019 Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir

    9/9

    Catatan sejarah mengatakan, sebagaimana dilansir Jamal al-Banna dalam tulisannya yang

    bertajuk Hal Yumkin Tathbiq al-Syariah, bahwa hukum pada pemerintahan Khalifah didasarkan

    pada ijtihad yang variatif serta tidak ditransfer dalam bentuk aturan bakuterkecuali masa di

    mana Rasul masih hidup. Hal tersebut dimulai oleh Khalifah masa dinasti Umawi, Umar bin

    Abdul Aziz. Beliau menghendaki agar hadis Nabi dibukukan sebab dikhawatirkan akan lenyap

    dengan lenyapnya penghafal hadis. Abu Zurah menanggapi aktivitas Umar bin Abdul Aziz

    dengan ungkapan, Umar bin Abdul Aziz menghendaki bahwa hukum-hukum untuk manusia dan

    ijtihad sebagai satu kesatuan. Kemudian berkata, bahwasanya di setiap pelosok daerah ada

    shahabat Nabi. Dan di antara mereka ada hakim yang memutuskan hukum berdasar persetujuan

    shahabat Nabi. Jamal juga mengatakan, sebelum Umar bin Abdul Aziz sudah ada upaya

    formalisasi syariat di tangan Walid bin Abdul Malik.

    Dengan demikian, formalisasi Syariat Islam bukanlah perintah Allah, bukan pula anjuran Nabi.

    Terakhir, Abu al-Abbas Ahmad bin Idris al-Qarrafi dalam kitabnya al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa

    wa al-Ahkam fi Tasharruffati al-Qadli wa al-Imam mengatakan, sunah Nabi terpetakan pada

    empat bagian; pertama, aktivitas Rasul yang berkaitan dengan risalah, dengan memperhatikan

    bahwa beliau adalah seorang rasul yang diutus oleh Allah sebagai penyampai berita gembira dan

    pemberi peringatan; kedua, aktivitas Rasul dalam berfatwa. Yakni ketika menggambarkan

    kalimat-kalimat yang tidak dimengerti dari wahyu; ketiga, aktivitas beliau sebagai seorang hakim

    yang memberi putusan dalam kasus tertentu atau perselisihan antara dua orang;

    keempat,aktivitas rasul yang berkaitan dengan politik atau imamah. Hal ini mencakup semua

    perkataan, perbuatan, serta pengakuan yang berkenaan dengan aturan pasukan, alokasi dana

    tertentu, dll. Imam Qarrafi mengatakan, jika yang pertama dan kedua disebut Sunnah dan

    masuk dalam perkara agama. Sedang yang ketiga dan keempat bukan dari agama. Dan

    karenanya, kita tak diwajibkan untuk mengikuti serta mengaplikasikannya.[]