Upload
akrom-pexal
View
23
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Kritik Proyek Schacht
Citation preview
Kritik atas ‘Proyek Kritik Hadis Joseph Schacht’
Oleh ; Muhammad Idris Mas’udi
“Sudah menjadi sebuah aksioma bahwa orientalisme1 memiliki
dampak yang cukup massif - baik di Barat maupun di Timur (Islam)-,
meskipun keduanya memiliki perbedaan dalam menyikapinya.”
Edward Sa’id2
“Teori (Projecting Back) yang dikembangkan oleh Joseph Schacht,
suatu saat akan menjadi rujukan atas kajian-kajian keislaman di
seluruh dunia, setidaknya di dunia Barat.” H.A.R.Gibb3
Muqaddimah
Mengkaji hadis pada era sekarang ini akan terasa hambar bila tidak
sampai mengkaji terhadap kajian kritik hadis orientalis. Hal ini bukan
saja dikarenakan sebuah tuntutan akademik, melainkan juga karena
disebabkan oleh beberapa faktor lainnya, diantaranya adalah
banyaknya para pengingkar hadis yang disebabkan keterpengaruhan
mereka terhadap postulat-postulat yang diajukan oleh para orientalis.
Untuk itu, bagi pengkaji hadis, mengetahui kritik hadis ala orientalis
sekaligus kritik terhadap kritik orientalis adalah sebuah keniscayaan.
Berangkat dari kesadaran di atas, kami mencoba mendedahkan
proyek kritik hadis menurut salah seorang orientalis garda terdepan,
Joseph Schacht. Kami juga berusaha menyuguhkan kritik atas proyek
kritik Schacht dalam perspektif sarjana-sarjana kontemporer yang
memiliki kapasitas keilmuan dalam bidang hadis, seperti Prof. Dr.
Musthafa Azami, Dr. Musthafâ al-Siba’î, dan sarjana-sarjana lainnya.
1 Orientalisme adalah kajian tentang ketimuran atau dunia Timur, sedangkan orientalis adalah para sarjana barat yang “concern” dalam mengkaji tentang peradaban, agama, sastra, dan ilmu-ilmu ketimuran lainnya. Lihat Muhamad Hamdi Zaqzûq dalam al-Isytisrâq wa al-Khalfiyyah al-Fikriyyah Li al-Sharrâ’ al-Hadhârî (Qatar : al-Ummâh, 1990) cet: I h. 182 Edwar Sa’id, Orientalism, dikutip oleh Muhammad Hamdî Zaqzuq dalam al-Isytisrâq h. 133 H.A.R.Gibb, Journal Of Comparative Legislation and International Law , dikutip dari Yahya Murâd dalam, Rudûd ‘Alâ Syubhâh al-Mustasyriqîn, h. 192 file pdf di download dari www.kotobarabia.com
Biografi Joseph Schacht
Joseph Schacht adalah seorang tokoh orientalis kelahiran 15 Maret
1902 M di Rottburg (Sisille), Jerman. Schacht memulai studinya
dengan mendalami ilmu filologi klasik, teologi, dan bahasa-bahasa
Timur di dua Universitas berbeda, Prusla dan Leipzig. Pada tahun
1923, Schacht menyabet gelar sarjana tingkat pertama di Universitas
Prusla. Kemudian dia mendapat “SK” mengajar di perguruan tinggi,
dan bertugas menjadi dosen di Universitas Freiburg, wilayah Barat
Daya Jerman, dan pada tahun 1929 dia menyandang guru besar.
Kemudian pada tahun 1923, Schact pindah ke Universitas Kingsburg.
Lalu pada tahun 1934 dia mengajar sebagai dosen tamu di Universitas
Mesir (sekarang Universitas Kairo, Mesir). Pada universitas tersebut
ia diserahi tugas untuk mengajar fiqh, bahasa Arab, dan bahasa
Suryani pada jurusan Bahasa Arab, fakultas Sastra. Dia mengajar di
Universitas Mesir tersebut sampai tahun 1939.4
Schacht termasuk orientalis yang cukup produktif, meskipun dia
terkenal dengan kecenderungannya mengkaji fikih, dia juga banyak
menulis karya dalam bidang-bidang yang lainnya. Sebagaimana yang
dikatakan Abdurrahmân Badawî bahwa karya-karya Schacht terdiri
dari beberapa disiplin ilmu, di antaranya;
1. Kajian tentang ilmu kalam
2. Tahqîq (menyunting dan mengedit) atas manuskrip-manuskrip
kitab fikih
3. Kajian tentang fikih
4. Kajian tentang sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat Islam
5. Kajian-kajian keislaman lainnya5
4 Abdurrahmân Badawî, Mausû’ah al-Musytasriqîn, (Beirut: Dar al-‘Ilmi al-Malayîn, 1993) cet.3 h.3665Badawî, Ibid
Menurut penilaian Abdurrahmân Badawî, karya Josep Schacht
yang paling menonjol adalah karyanya dalam kajian sejarah fikih
Islam. Karya utama Schacht dalam kajian ini adalah The Origins of
Muhammadan Jurisprudence6 setebal 350 halaman.7 Di samping karya
tersebut, pada tahun 1960, Schacht menerbitkan buku kembali
dengan judul An Introduction to Islamic Law.
Kedua karyanya di atas bergenre fikih (hukum Islam), hanya
saja dalam kedua bukunya, khususnya buku The Origins of
Muhammadan Jurisprudence, dia mengembangkan teori yang sempat
digagas oleh pendahulunya, Ignaz Goldziher, dalam metode kritik
hadis, yang diproyeksikan untuk meruntuhkan hukum Islam (baca;
Fikih). Schacht menyajikan hasil kajiannya dalam hukum Islam
dengan mengkritik hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum. Dia
berkesimpulan bahwa hadis-hadis Nabi tentang hukum adalah palsu.
Ia (hadis hukum), kata Schacht, hanyalah buatan para ulama abad
kedua dan ketiga Hijriah.
Proyek Kritik Schacht Terhadap Hukum Islam (Fikih)
Dalam bukunya Introduction to Islamic Law, Schacht berkata bahwa
khalifah-khalifah pertama (Khulafâ al-Râsyidîn) tidak menunjuk para
Qâdhî (hakim). Pemerintahan Dinasti Umayyah ataupun para
gubernurnya telah mengambil langkah-langkah penting dalam
mengangkat para hakim Islam atau Qâdhî.8 Kemudian tesis ini
menggiringnya pada sebuah kesimpulan bahwa sebagian besar abad
pertama Hijriah, hukum Islam, dalam pengertian teknis belum ada.9
Pendapat yang senada dapat kita temukan dalam karyanya yang
lain, Origins of Muhammadan Jurisprudence, sebagaimana yang 6 Terbit pada tahun 1950, dan buku ini ditanggapi oleh Prof.Dr.Musthafa Azamî dengan judul, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, (Riyad : King Saud University)7Badawî, Ibid, h. 3678 Joseph Schacht, Introduction to Islamic Law, pent; Joko Supomo (Jogjakarta; Islamika, 2003) cet.3 h. 419 Ibid
dikutip oleh Prof. Dr. Musthafâ Azamî bahwa Schacht menuturkan,
“Bukti adanya hadis-hadis hukum membawa kita mundur ke sekitar
tahun 100 Hijriah saja; pada saat itu pemikiran hukum Islam berawal
dari akhir pemerintahan dan praktek popular dari Bani Umayyah,
yang masih direfleksikan dalam sejumlah Hadis.”10 Dia (Schacht)
mempertahankan lagi, “Aman untuk berasumsi bahwa hukum Islam
hampir-hampir tidak ada pada masa Sya’bî, yang wafat pada tahun
110 Hijriah.”11
Kritik atas Proyek Kritik Schacht Terhadap Hadis-hadis Hukum
Islam (Fikih)
Prof. Dr. Musthafa Azamî telah menyudahi tesis-tesis yang ditawarkan
oleh Schacht, terkait kebermulaan hukum Islam. Dengan
menggunakan data-data yang cukup akurat, Prof. Dr. Musthafa Azamî
membantah pendapat Schacht dengan memaparkan beberapa hal;
1. Aktivitas-aktivitas yudisial Nabi saw., Nabi saw. sebagai seorang
utusan sekaligus penjelas atas al-Qur’an, menjelaskan tentang
perintah-perintah Allah dalam al-Qur’an yang masih bersifat
global. Hal ini merupakan sebuah data akurat yang
mematahkan tesis kebermulaan hukum Islam pasca abad I
Hijriah.
2. Catatan-catatan hukum dan keputusan-keputusan yang
didasarkan pada keputusan-keputusan atau contoh-contoh Nabi
saw,.
3. Literatur hukum abad pertama, ada beberapa data yang dapat
menguatkan alasan bahwa terdapat beberapa literatur-literatur
hukum yang dicetuskan pada abad pertama Hijriah,
10 Prof.Dr.Musthafa Azamî dengan judul, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, diterjemahkan oleh; Asrofi Shodri, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 2004) cet ; I h.2311 Ibid
sebagaimana keputusan-keputusan Mu’adz (18 H) dibaca dan
diriwayatkan oleh Thawus (23-101 H) di Yaman.12
Azamî juga menilai terdapat ketidakobyektifan Schacht dalam
mengkaji fikih, Schacht dalam perspektif Azamî telah sengaja
membuat pengkaburan fikih dengan mengganti nomenklatur-
nomenklatur fikih dengan nomenklatur Barat. Hal ini bisa dilihat dari
“pemerkosaan” istilah yang digunakan Schacht dalam karyanya yang
bertajuk, Introduction of Islamic Law, di mana dia membagi fikih ke
dalam beberapa judul-judul berikut; orang (persons), harta (property),
kewajiban umum (obligations in general), kewajiban dan kontrak
khusus (obligations and contracts in particular), dan lain-lain.
Susunan demikian sengaja diperkenalkan Schacht, karena dia ingin
mengubah hukum Islam pada hukum Romawi yang tidak ada
kaitannya sama sekali dengan topik pembahasan dan pembagiannya
yang digunakan dalam sistem perundang-undangan Islam.13
Penting untuk diungkapkan di sini bahwa sebenarnya “apologi”
yang dilancarkan oleh A’zami dalam menyudahi tesis-tesis Schacht
belum paripurna. Hal ini ditengarai oleh beberapa sarjana seperti
Harald Moztki, Juynboll, Kamarudin Amin, hingga Ali Masrur bahwa
A’zami tidak memahami dengan baik teori yang digunakan oleh
Schacht dalam kritik sanad, khususnya terkait teori Projecting Back.
Di lain sisi, data-data yang digunakan oleh A’zami dalam membantah
kebermulaan hukum Islam dimulai pada abad kedua dan ketiga
Hijriah adalah data-data abad kedua Hijriah.
Hemat penulis hal tersebut dipicu dari adanya kesenjangan
argumentasi antara Schacht dan A’zami. Schacht tidak meyakini
hukum Islam eksis pada abad pertama Hijriah, karena ia tidak
12 Ibid, h.23-3113 Azamî, The History of The Qur’anic Text : From Revelation to Compilation, pent : Anis Malik Thaha, dkk (Jakarta : GIP, 2005) Cet; 1. H. 340
menemukan data-data tertulis tentang hokum Islam yang
dikodifikasikan pada masa itu. Sementara dalam membuktikan
keberadaan hokum Islam pada abad pertama Hijriah adalah dengan
menunjukkan sabda-sabda Nabi saw. Kepada para sahabat terkait
masalah hukum. Di samping itu, A’zami, sebagaimana yang diyakini
para Muhaditsin, menilai bahwa riwayat oral lebih kuat disbanding
dengan riwayat tulisan. Sementara Schacht karena ia tidak
mempercayai tradisi kritik para informan hadis (Jarh wa Ta’dîl),
sehingga ia tidak mempercayai riwayat yang tidak tertulis.
Dari sudut pandang yang berbeda inilah, akhirnya para
orientalis pasca Shacht, seperti Juynboll dkk, merasa bahwa A’zami
belum mematahkan secara sempurna terhadap seluruh bangunan
teori kritik sanad hadis dan kritik kebermulaan fikih ala Joseph
Schacht. Hal ini pada gilirannya memicu para orientalis pasca
Schacht untuk meneruskan teori-teorinya.
Dengan segala keterbatasannya, penulis mencoba mengkritik
teori kritik Joseph Schacht.
Di samping itu, hemat penulis, Schacht juga telah keliru dalam
memahami sejarah fikih Islam, di mana sebenarnya dia mengetahui
bahwa aturan-aturan legal-formal (seperti tata cara shalat,
pembayaran zakat, haji, dll) sudah ada semenjak zaman Nabi saw,.
Karena fikih sangat berkait kelindan dengan kehidupan beragama,
andaikan tesis Schacht benar, niscaya aturan-aturan hukum fikih
dalam Islam menjadi kacau balau, karena tidak ada individu yang
memiliki otoritas, selain Nabi saw.
Proyek Kritik Schacht Terhadap Hadis; Tinjauan Kritik Matan
Sebelum melakukan kritik terhadap hadis, Joseph Schacht memulai
pembicaraannya dengan memberikan “tawaran” sebuah konsep awal
terhadap hadis. Dia berkata, “ Sunnah dalam konteks Islam pada
mulanya lebih memiliki sebuah konotasi politik ketimbang konotasi
hukum; menunjukkan kebijaksanaan dan administrasi khalifah.
Persoalan apakah tindakan administratif khalifah pertama, Abu Bakar
dan ‘Umar, harus dipandang sebagai preseden-preseden yang
mengikat, barangkali persoalan ini muncul pada saat penunjukkan
‘Umar dan ketidakpuasan dengan kebijaksanaan khalifah ketiga,
Utsman, yang mengantarkan pada pembunuhannya pada 35 H/655 M,
karena dituduh telah menyimpang dari kebijaksanaan khalifah
sebelumnya, secara implisit menyimpang dari al-Qur’an. Dalam
hubungan ini, muncullah konsep sunnah Nabi, yang belum
diidentifikasikan dengan sejumlah aturan-aturan positif, akan tetapi
memberikan serangkaian mata rantai doktrinal antara sunnah Abu
Bakr dan Umar serta al-Qur’an. Bukti-bukti awal yang tentunya
otentik unt uk penggunaan istilah sunnah Nabi adalah surat Abdullah
bin Ibad, pemimpin Khawarij yang ditujukan kepada Khalifah Dinasti
Umayyah, Abdul Malik, sekitar 76 H/695 M. Istilah yang sama dengan
sebuah konotasi teologis, yang disertai contoh teguran, terdapat
dalam risalah yang sezaman dengan Hasan al-Bashri yang ditujukan
kepada khalifah Abdul Malik. Pengertian sunnah seperti ini
diperkenalkan ke dalam teori hukum Islam yang diperkirakan
berlangsung pada akhir abad 1 Hijriah oleh ulama-ulama Irak.14
Sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Dr. Musthafâ Azamî
bahwa sentral tesis Schacht bergantung pada penggunaan konsep
sunnah, yang secara ringkas Schacht berpendapat bahwa:
14 Schacht, Introduction to Islamic Law, h.30-31
1. Konsep awal Sunnah adalah kebiasaan atau praktek yang
disepakati secara umum, yang disebutnya sebagai “tradisi yang
hidup.”
2. Konsep sunnah nabi pada asal-usulnya relatif terlambat, dibuat
oleh orang-orang Irak pada sekitar abad kedua Hijriah
3. Bahan penggunaan istilah “Sunnah Nabi” tidak berarti sunnah
yang sebenarnya berasal dari Nabi saw, ia hanya sekadar
“tradisi yang hidup” dari madzhab yang ada diproyeksikan ke
belakang hingga ke lisan Nabi saw
Dalam membidik dan mengkritik matan hadis, Schacht
mengambil beberapa matan hadis yang terdapat dalam kitab al-
Maghâzî karya Musa bin ‘Uqbah al-Asadî. Sebagaimana yang dikutip
oleh Prof. Dr. Azamî dalam bukunya yang berjudul, “Naqd al-Hadîts
‘Inda al-Muhadditsîn”, beliau memaparkan empat contoh matan hadis
yang dikritik oleh Schacht, kemudian beliau menganalisa dan
mengkritik atas kritik matan ala Schacht.
Schacht melancarkan kritiki matan terhadap sebagian hadis
yang terdapat dalam kitab al-Maghâzî, karya Musâ bin ‘Uqbah.
Schacht berkata, “Musa bin ‘Uqbah (penulis kitab al-Maghazi)
mengatakan bahwa dia mengambil sumber-sumber hadis dari al-
Zuhri. Ibnu Ma’in juga menganggap bahwa kitab Musa yang
bersumber dari al-Zuhri adalah kitab yang paling otentik di antara
kitab-kitab hadis yang menceritakan tentang peperangan Nabi saw.
Oleh karena itu, tidak mungkin dalam kitab al-Maghazi – dalam
bentuknya yang asli- itu terdapat hadis-hadis yang diterima dari jalur
selain al-Zuhri. Akan tetapi, karena di dalam kitab itu terdapat hadis-
hadis dari jalur selain al-Zuhri, yaitu hadis nomor 8, 9, 10, dan 12,
maka bisa dipastikan bahwa hadis-hadis itu adalah “tambahan sejak
aslinya.”15
Salah satu matan hadis yang terdapat dalam kitab al-Maghazi
yang dikritik oleh Schact adalah hadis no.9, yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar yang berbunyi;
Abdullah bin Umar berkata, “Rasulullah saw. tidak
mengecualikan Fathimah ra. (dalam masalah hukum pidana).”
Hadis ini dinilai Schacht sebagai hadis yang mengingkari akan
keistimewaan keluarga Nabi saw. dalam hukum pidana. Oleh karena
itu hadis ini dinilai sebagai hadis anti keluarga ‘Ali (Alawiyyin), sebab
tidak mengakui adanya keistimewaan keluarga Alawiyyin dalam
masalah pidana.16
Kritik Azamî atas Kritik Schacht Terhadap Matan Hadis
Kritik matan yang dilancarkan Schacht di atas dijawab tuntas
oleh Prof. Dr. Musthafa Azamî. Menurut Azamî, hadis tersebut bukan
berarti tidak megakui keistimewaan kaum Alawiyyin, karena dalam
masalah tindak hukum pidana tidak ada yang terkecualikan, termasuk
Nabi saw. sendiri. Lebih lanjut Azamî menyatakan sebuah hadis
shahih bahwa Nabi saw. juga pernah bersabda bahwa apabila
Fathimah bintu Muhamad mencuri, maka akan aku potong tangannya!
Di samping itu, Schacht juga telah gagal memahami hadis tersebut,
karena hadis tersebut sebenarnya tidak berkaitan dengan masalah
hukum pidana, akan tetapi hadis tersebut merupakan bagian dari
kelanjutan hadis sebelumnya yang menjelaskan tentang kecintaan
Nabi saw. terhadap Usamah bin Zaid. Kemudian sabda Rasulullah
15 Musthafa Azamî, Studies In Early Hadith Literature, pent; Prof. Dr. K.H.Ali Musthafa Yaqub, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 2000) cet. 2, h.524-52516 Musthafa al-Azamî, Naqd al-Hadits ‘Inda al-Muhadditsin (Riyadh; Maktabah al-‘Immariyyah, 1982) cet.3 h.133-137
saw. dalam hadis no.9 ini menegaskan bahwa Fathimah pun termasuk
orang yang paling dicintai Rasul.17
Azamî juga melancarkan kritik atas kritik Schacht terhadap
matan hadis-hadis lain yang terdapat dalam kitab al-Maghâzî. Penulis
mencukupkan diri dengan hanya memuat satu contoh atas kekeliruan
dan kegagalan Schacht dalam kritik matan yang dipaparkan oleh
Azamî.
Projecting Back dan Proyek Kritik Schacht Terhadap Hadis ;
Tinjauan Sanad
Keseriusan Schacht dalam kritik hadis tidak hanya terpaku pada
matan hadis saja, dia juga menyibukkan dirinya untuk mempelajari
dan membuat teori baru dalam kajian kritik sanad hadis. Jerih
payahnya dalam mengkaji sanad hadis membuahkan hasil dengan
penemuannya atas teori hadis yang dikenal dengan teori “Projecting
Back”.
Teori Projecting Back adalah himpunan kesimpulan-kesimpulan
yang didapatkan Schacht atas premis-premis yang dia buat mengenai
kebermulaan hukum Islam. Premis tersebut adalah, hukum Islam
belum eksis pada masa al-Sya’bi (w.110 H). premis ini menggiring
kepada sebuah kesimpulan bahwa apabila ditemukan hadis-hadis yang
berkaitan dengan hukum Islam, maka hadis tersebut adalah buatan
orang-orang pasca al-Sya’bi.
Dia berpendapat bahwa hukum Islam baru dikenal semenjak
masa pengangkatan Qadhi (hakim agama). Kira-kira pada akhir abad
pertama Hijriah (±715-720 M) pengangkatan qadhi ditujukan kepada
orang-orang “spesialis” yang berasal dari kalangan taat beragama.
17 Ibid, h.140-141
Karena jumlah mereka semakin bertambah banyak, maka akhirnya
mereka berkembang menjadi kelompok ahli fikih klasik.18
Keputusan-keputusan hukum yang diberikan pada qadhi ini
memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih
tinggi. Karenanya, mereka tidak menisbahkan keputusan-keputusan
itu kepada dirinya sendiri, melainkan kepada tokoh-tokoh
sebelumnya. Misalnya, orang-orang Irak menisbahkan pendapat-
pendapat mereka kepada Ibrahim al-Nakha’I (W.95 H).19
Perkembangan selanjutnya, pendapat-pendapat para qadhi itu
tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya yang
jaraknya masih dekat, melainkan kepada tokoh yang lebih dahulu lagi,
misalnya Masruq. Langkah selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi
yang lebih kuat, maka pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada
orang yang memiliki otoritas lebih tinggi, misalnya Abdullah bin
Mas’ud. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan
kepada Nabi Muhammad saw. Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad
hadis dengan memproyeksikan pendapat-pendapat orang-orang
belakangan (yang kemudian dikenal dengan teori Projecting Back)20
Pada gilirannya teorinya ini mendapat apresiasi dari orientalis-
orientalis lainnya. Prof. Robson adalah salah satu orientalis yang
terpikat dengan teori Schacht dan memujinya dengan berkata, “Kajian
berharga yang membuka jalur penelitian baru.”21
Ringkasnya, pandangan Schacht secara keseluruhan adalah
bahwa sistem isnâd mungkin valid untuk melacak hadis-hadis sampai
pada ulama-ulama abad kedua Hijriah, tapi rantai periwayatan yang
18 Prof. Ali Musthafa Yaqub, MA, Kritik Hadis (Jakarta ; Pustaka Firdaus, 2004) cet.4 h.2319 Ibid20 Ibid21 Azamî, Studies In Early Hadith Literature. h.231-232
merentang ke belakang sampai kepada Nabi saw. dan para sahabat
adalah palsu. Argumen Schacht teringkas dalam empat poin;
1. Sistem sanad dimulai pada abad kedua, atau paling “banter”
akhir abad pertama Hijriah.
2. Isnâd-isnâd diletakkan secara sembarangan dan sewenang-
wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang”
doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3. Isnâd-isnâd secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan;
Isnâd-isnâd yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua
kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4. Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’I untuk
menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadis-hadis
yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. Isnâd-
isnâd keluarga adalah palsu, demikian pula materi yang
disampaikan di dalam isnâd-isnâd itu.
5. Keberadaan common narrator dalam rantai periwayatan itu
merupakan indikasi bahwa hadis itu berasal dari masa
periwayat itu.22
Konsep Schacht telah diadopsi oleh beberapa orientalis ternama
lainnya, John van Ess adalah salah satu dari sederet orientalis yang
sudi “bertepuk tangan” dan “menjiplak” teori atau konsep yang
ditawarkan Schacht. Sebagaimana Schacht, van Ess pun mengakui
bahwa isnâd “tumbuh ke belakang” dan dia menerima teori common
link. 23
Sebagaimana sebagian orientalis lain yang “terhipnotis” oleh
teori Schacht, sebagian sarjana muslim juga meniru dan
mengembangkan teori yang digagas oleh Schacht. Sebut saja
22 Ibid. h.232-23323 Dr. Phil. Kamarudin Amin, Metode Kritik Hadis, (Jakarta; Hikmah, 2009) cet.1 h. 156
A.A.Fyzee, seorang hakim muslim dalam jajaran Mahkamah Agung
Negara bagian Bombay India, dalam bukunya A Modern Approach to
Islam, dia menerima tanpa syarat tesis-tesis Schacht. Demikian pula
Fazlur Rahman, direktur Islamic Centre di Karachi yang kemudian
pindah ke Chicago, dalam bukunya yang berjudul Islam, dia
mengkritik dasar-dasar pandangan Schacht mengenai terbentuknya
aliran-aliran hukum Islam. Tetapi dia menerima tesis pokok dari
Schacht mengenai diedarkannya hadis dan mengenai teori Projecting
Backnya Schacht.24
Kritik atas Projecting Back dan Kritik Sanad Schacht
Semua pernyataan Schacht di atas telah dibantah oleh beberapa
sarjana muslim seperti Profesor Muhamad Abu Zahrah, Profesor
Musthafa Azamî, Profesor Zafar Ishaq Anshari. Di kalangan orientalis
sendiri, teori-teori Schacht bukan hanya mendapat reaksi positif,
karena sebagian yang lain, ada yang tidak sepakat atau bahkan
mengritik teori-teori yang ditawarkan Schacht. Sebut saja Noel
Coulson, Michael Cook, Harald Moztki, dan Rubin.25
Teori “Projecting Back” Schacht, menurut Azamî, tidaklah logis.
Hal ini disebabkan adanya fakta bahwa terdapat sejumlah riwayat
yang sama dalam bentuk dan makna dalam literatur para muhadditsin
klasik dari sekte-sekte berbeda. Seandainya hadis hukum dipalsukan
pada abad kedua dan ketiga hijria, tidak akan ada hadis yang dimuat
bersama dalam sumber sekte-sekte yang berbeda ini. Lebih jauh lagi,
Azamî bertanya mengapa para ulama mau memilih dan
mencantumkan orang-orang lemah untuk isnâd mereka, sementara
mereka sebenarnya juga bisa dengan mudah memilih figur-figur yang
lebih terhormat? Menurut Azamî hal ini tidaklah logis. Yang lebih kuat
24 Prof. Ali Musthafa Yaqub, MA, Kritik Hadis (Jakarta ; Pustaka Firdaus, 2004) cet.4 h.2325 Dr. Samsudin Arif, Gugatan Orientalis Terhadap Hadis dan Gaungnya Di Dunia Islam dalam jurnal al-Insan no.2 vol.I, 2005
lagi adalah argumen Azamî bahwa dalam banyak kasus sebuah hadis
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi dari daerah yang berbeda-
beda. Hampir mustahil mereka bertemu dan bersepakat melakukan
pemalsuan ini.26
Argumentum e Silentio Schacht
Di samping teori Projecting Back, Schacht juga menggagas teori
Argumentum e Silentio, teori ini dikerangkakan dan diproyeksikan
untuk membuktikan ketidakeksisan sebuah riwayat dalam literatur
hadis: Apabila sebuah hadis tidak ditemukan dalam sebuah koleksi
hadis, di mana eksistensinya pasti diharapkan, maka hadis tersebut
tidak eksis pada saat koleksi hadis tersebut dibuat.27 Kemudian
Schacht memformulasikan hal tersebut sebagai berikut;
“Cara terbaik untuk membuktikan bahwa suatu hadis tidak eksis
pada suatu masa adalah dengan memperlihatkan bahwa hadis
tersebut tidak dipergunakan sebagai argumen hukum dalam suatu
pembahasan yang merujuk kepada hadis itu menjadi sebuah
keharusan, jika hadis itu telah ada.”28
Teori Argumentum e Silentio Schacht juga tidak hanya
mendapat pujian dan dukungan dari para sarjana, akan tetapi teori ini
jua mendapat todongan kritik dari berbagai pihak, bahkan rekan-
rekan orientalis sendiri juga banyak yang tidak sepakat dengan teori
ini. Diantara kritikus teori ini adalah Harald Motzki, Guru Besar Hadis
Universitas Nijmegen Belanda.29
Dr. Syamsuddin Arif, menyatakan, “Satu kesalahan yang paling
menonjol dalam metodologi Schacht, yaitu seringnya dia menarik
sebuah kesimpulan berdasarkan argumentum e silentio, yakni alasan
26 Azamî, Studies, h.23727 Kamarudin Amin, Metode Kritik Hadis, h.17428 Schacht, Origins of Muhammadan, dikutip oleh Kamarudin Amin, Metode Kritik Hadis h.17429 Lebih detail baca Kamarudin Amin, Metode Kritik Hadis h.176-181
ketiadaan bukti. Disebut demikian karena argumen ini biasanya
diungkapkan secara impersonal (dengan kalimat: “The sources are
silent regarding….” Atau “Nothing is known about….” Dan
sebagainya). Bahwa anda tidak/belum menemukan bukti yang
mendukung hipotesa anda belum tentu dan tidak mesti berarti bukti
itu tidak ada. Sebab tidak adanya bukti tidak harus bergantung pada
anda. “The absence of evidence is not evidence of absence.”
Ketiadaan bukti bukanlah bukti ketiadaan. Bisa jadi, bukti itu ada,
tetapi anda tidak mengetahui keberadaannya.” 30
Musthafâ al-Sibâ’î Versus Joseph Schacht
Salah satu sarjana muslim kontemporer yang memiliki perhatian
cukup besar terhadap kajian hadis adalah Dr. Musthafâ al-Siba’î.
Karya al-Siba’î yang mengkaji tentang kedudukan hadis dalam sumber
hukum Islam bertajuk al-Sunnah wa Makânatuha fi al-Tasyri’ al-
Islâmî.
Setelah Musthafa al-Sibâ’î menulis buku tersebut (buku yang di
dalamnya juga membahas tentang kritik atas kritik hadis orientalis),
dia mengelilingi beberapa universitas-universitas di Eropa dan
menemui serta berbincang-bincang dengan tokoh-tokoh orientalis.31
Di Universitas London, Inggris, dia sempat bertemu dengan
orientalis berkebangsaan Inggris, Prof. Anderson, kepala bagian
perundang-undangan ilmu Humaniora yang bekerja di kajian timur di
Universitas London, Inggris. Anderson adalah sarjana orientalis
jebolan Universitas Cambridge, Australia, di jurusan Teologi.32
Dalam lawatannya ke beberapa universitas-universitas di Eropa,
al-Sibâ’î juga sempat singgah di Universitas Leiden, Belanda. Di
30 Dr. Samsudin Arif, Ibid31 Musthafâ al-Sibâ’î, al-Isytisrâq Wa al-Musytasriqûn; Ma Lahum Wa Ma ‘Alaihim, (Kairo : Dâr al-Salâm,1998) h. 63 32 Ibid, h. 64
Leiden, al-Sibâ’î bertemu dan berdiskusi bersama Joseph Schact.
Hasil diskusinya dengan Schacht, diabadikan oleh al-Sibâ’î dengan
menulisnya di bukunya yang berjudul, al-Isytisrâq Wa al-
Musytasriqûn; Ma Lahum Wa Ma ‘Alaihim , berikut ini adalah petikan
diskusinya;
Di Universitas Leiden, Belanda, aku berjumpa dengan seorang
orientalis keturunan Yahudi berkebangsaan Jerman, yakni Joseph
Schact, dia adalah seorang tokoh orientalis yang membawa serta
“memodifikasi” ide-ide dan tulisan karya Ignaz Goldziher dalam
pemlintirannya terhadap Islam. Aku sempat membahas panjang lebar
dengan Schacht tentang kesalahan dan kekeliruan Goldziher, serta
kesengajaan Goldziher dalam “memperkosa” teks-teks yang dia rujuk
dari karya-karya sarjana Islam. Pada mulanya, Schacht mengingkari
hal tersebut, kemudian aku menjelaskan sebuah contoh yang ditulis
oleh Goldziher tentang sejarah hadis. Lalu dia merasakan keanehan
dan kejanggalan atas kritik yang aku lancarkan terhadap Goldziher,
kemudian dia (Schacht) merujuk buku Goldziher.33 Lalu dia berkata,
“Kamu benar bahwa Goldziher telah keliru dalam masalah tersebut
(sejarah hadis).” Kemudian aku berkata kepadanya, “Apakah hanya
sebuah kekeliruan (tidak ada motif lain)?” Schacht menjawab, “Kamu
telah berburuk sangka kepada Goldziher?” Lalu aku menyodorkan
pembahasan tentang analisa Goldziher terkait posisi al-Zuhrî terhadap
Abdul Malik bin Marwân, kemudian aku paparkan fakta-fakta sejarah
yang menyudahi tesis-tesis Goldziher. Setelah berdebat dalam
masalah tersebut, dia (Schact) berkata, “Ya, itu juga kekeliruan
Goldziher, tapi, bukankah para sarjana klasik juga pernah keliru
dalam tesis-tesisnya?” “Bukan itu masalahnya”, tandas al-Siba’i.
“Goldziher adalah pendiri sekolah orientalis yang menjunjung tinggi
prinsip-prinsip ilmiah dan fakta sejarah. Kemudian, kenapa prinsip-
33 Diskusi tersebut dilakukan di sebuah perpustakaan pribadi miliknya
prinsip itu dia abaikan? Dia menuduh al-Zuhri sebagai pemalsu hadis
demi kepentingan Abdul Malik bin Marwan yang berposisi dengan
Ibnu al-Zubair. Padahal, al-Zuhri tidak pernah bertemu sama sekali
dengan Abdul Malik kecuali setelah tujuh tahun dari wafatnya Ibnu al-
Zubair. Apakah hal itu disebut prinsip-prinsip ilmiah?” lanjut al-Siba’i.
Ketika mendengar hal tersebut, wajah Schacht menjadi pucat, karena
dia menyadari bahwa Goldziher tidak memiliki kapasitas keilmuan
yang memadai dalam kajian hadis. 34
Khatimah
Diakui atau tidak, orientalisme sangatlah berpengaruh kepada
pemikiran keislaman dewasa ini, baik pengaruh positif maupun
negatif. Oleh karena itu bukanlah tindakan yang bijak, apabila kaum
muslim hanya berdiam diri (tidak peduli) atau menolak mentah-
mentah tesis-tesis mereka dengan tanpa memahami terlebih dahulu
pemikiran mereka. Karena, adanya orientalisme sedikit memompa
para sarjana muslim untuk mengkaji keislaman. Terakhir, al-Ghazali
pernah berkata, “Dilarang mengritik sebuah pemikiran sebelum
benar-benar memahami pemikiran tersebut.”
Wallahu A’lam bi al-Shawâb
Daftar Rujukan
Al-Sibâ’î, Musthafâ, al-Isytisrâq Wa al-Musytasriqûn; Ma Lahum wa Ma
‘Alaihim, (Kairo : Dâr al-Salâm,1998)
Amin, Kamaruddin, Metode Kritik Hadis, (Jakarta; Hikmah, 2009) cet ; 1
Arif, Samsuddin, Gugatan Orientalis Terhadap Hadis dan Gaungnya Di
Dunia Islam dalam jurnal al-Insan no.2 vol.I, 2005
34 Lebih detail baca, Musthafâ al-Siba’î, al-Isytisrâq Wa al-Musytasriqûn; Ma Lahum Wa Ma ‘Alaihim, (Kairo : Dâr al-Salâm,1998) h. 69-71
Azamî, Musthafâ, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence,
(Riyad : King Saud University) diterjemahkan oleh; Asrofi Shodri,
(Jakarta; Pustaka Firdaus, 2004) cet ; 1
---------------, The History of The Qur’anic Text : From Revelation to
Compilation, pent : Anis Malik Thaha, dkk (Jakarta : GIP, 2005) Cet; 1.
---------------, Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsîn (Riyadh; Maktabah
al-‘Immariyyah, 1982) cet.3
--------------------, Studies In Early Hadith Literature, pent; Prof. Dr. K.H.Ali
Musthafa Yaqub, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 2000) cet. 2
Badawî, Abdurrahman , Mausû’ah al-Musytasriqîn, (Beirut:: Dar al-‘Ilmi
al-Malayîn, 1993) cet ;3
Murâd , Yahyâ, Rudûd ‘Alâ Syubhâh al-Mustasyriqîn, file pdf
didownload dari http.www.kotobarabia.com
Schacht, Joseph, Introduction to Islamic Law, pent: Joko Supomo
(Jogjakarta; Islamika, 2003) cet;1
------------------, Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford), 1979
file Pdf. Didownload dari www.4shared.com
Ya’qub, Ali Musthafa, Kritik Hadis (Jakarta ; Pustaka Firdaus, 2004)
cet.4
Zaqzûq, Muhamad Hamdi, al-Isytisrâq wa al-Khalfiyyah al-Fikriyyah Li
al-Sharrâ’ al-Hadhârî (Qatar : al-Ummâh, 1990) cet; 1