23
Kritik atas ‘Proyek Kritik Hadis Joseph Schacht’ Oleh ; Muhammad Idris Mas’udi “Sudah menjadi sebuah aksioma bahwa orientalisme 1 memiliki dampak yang cukup massif - baik di Barat maupun di Timur (Islam)-, meskipun keduanya memiliki perbedaan dalam menyikapinya.” Edward Sa’id 2 “Teori (Projecting Back) yang dikembangkan oleh Joseph Schacht, suatu saat akan menjadi rujukan atas kajian-kajian keislaman di seluruh dunia, setidaknya di dunia Barat.” H.A.R.Gibb 3 Muqaddimah Mengkaji hadis pada era sekarang ini akan terasa hambar bila tidak sampai mengkaji terhadap kajian kritik hadis orientalis. Hal ini bukan saja dikarenakan sebuah tuntutan akademik, melainkan juga karena disebabkan oleh beberapa faktor lainnya, diantaranya adalah banyaknya para pengingkar hadis yang disebabkan keterpengaruhan mereka terhadap postulat-postulat yang diajukan oleh para orientalis. Untuk itu, bagi pengkaji hadis, mengetahui kritik hadis ala orientalis sekaligus kritik terhadap kritik orientalis 1 Orientalisme adalah kajian tentang ketimuran atau dunia Timur, sedangkan orientalis adalah para sarjana barat yang “concern” dalam mengkaji tentang peradaban, agama, sastra, dan ilmu-ilmu ketimuran lainnya. Lihat Muh amad H amdi Zaqzûq dalam al-Isytisrâq wa al-Khalfiyyah al-Fikriyyah Li al-Sharrâ’ al-H adhârî (Qatar : al-Ummâh, 1990) cet: I h. 18 2 Edwar Sa’id, Orientalism, dikutip oleh Muh ammad H amdî Zaqzuq dalam al- Isytisrâq h. 13 3 H.A.R.Gibb, Journal Of Comparative Legislation and International Law , dikutip dari Yah ya Murâd dalam, Rudûd ‘Alâ Syubhâh al-Mustasyriqîn, h. 192 file pdf di download dari www.kotobarabia.com

Kritik Proyek Schacht

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kritik Proyek Schacht

Citation preview

Page 1: Kritik Proyek Schacht

Kritik atas ‘Proyek Kritik Hadis Joseph Schacht’

Oleh ; Muhammad Idris Mas’udi

“Sudah menjadi sebuah aksioma bahwa orientalisme1 memiliki

dampak yang cukup massif - baik di Barat maupun di Timur (Islam)-,

meskipun keduanya memiliki perbedaan dalam menyikapinya.”

Edward Sa’id2

“Teori (Projecting Back) yang dikembangkan oleh Joseph Schacht,

suatu saat akan menjadi rujukan atas kajian-kajian keislaman di

seluruh dunia, setidaknya di dunia Barat.” H.A.R.Gibb3

Muqaddimah

Mengkaji hadis pada era sekarang ini akan terasa hambar bila tidak

sampai mengkaji terhadap kajian kritik hadis orientalis. Hal ini bukan

saja dikarenakan sebuah tuntutan akademik, melainkan juga karena

disebabkan oleh beberapa faktor lainnya, diantaranya adalah

banyaknya para pengingkar hadis yang disebabkan keterpengaruhan

mereka terhadap postulat-postulat yang diajukan oleh para orientalis.

Untuk itu, bagi pengkaji hadis, mengetahui kritik hadis ala orientalis

sekaligus kritik terhadap kritik orientalis adalah sebuah keniscayaan.

Berangkat dari kesadaran di atas, kami mencoba mendedahkan

proyek kritik hadis menurut salah seorang orientalis garda terdepan,

Joseph Schacht. Kami juga berusaha menyuguhkan kritik atas proyek

kritik Schacht dalam perspektif sarjana-sarjana kontemporer yang

memiliki kapasitas keilmuan dalam bidang hadis, seperti Prof. Dr.

Musthafa Azami, Dr. Musthafâ al-Siba’î, dan sarjana-sarjana lainnya.

1 Orientalisme adalah kajian tentang ketimuran atau dunia Timur, sedangkan orientalis adalah para sarjana barat yang “concern” dalam mengkaji tentang peradaban, agama, sastra, dan ilmu-ilmu ketimuran lainnya. Lihat Muhamad Hamdi Zaqzûq dalam al-Isytisrâq wa al-Khalfiyyah al-Fikriyyah Li al-Sharrâ’ al-Hadhârî (Qatar : al-Ummâh, 1990) cet: I h. 182 Edwar Sa’id, Orientalism, dikutip oleh Muhammad Hamdî Zaqzuq dalam al-Isytisrâq h. 133 H.A.R.Gibb, Journal Of Comparative Legislation and International Law , dikutip dari Yahya Murâd dalam, Rudûd ‘Alâ Syubhâh al-Mustasyriqîn, h. 192 file pdf di download dari www.kotobarabia.com

Page 2: Kritik Proyek Schacht

Biografi Joseph Schacht

Joseph Schacht adalah seorang tokoh orientalis kelahiran 15 Maret

1902 M di Rottburg (Sisille), Jerman. Schacht memulai studinya

dengan mendalami ilmu filologi klasik, teologi, dan bahasa-bahasa

Timur di dua Universitas berbeda, Prusla dan Leipzig. Pada tahun

1923, Schacht menyabet gelar sarjana tingkat pertama di Universitas

Prusla. Kemudian dia mendapat “SK” mengajar di perguruan tinggi,

dan bertugas menjadi dosen di Universitas Freiburg, wilayah Barat

Daya Jerman, dan pada tahun 1929 dia menyandang guru besar.

Kemudian pada tahun 1923, Schact pindah ke Universitas Kingsburg.

Lalu pada tahun 1934 dia mengajar sebagai dosen tamu di Universitas

Mesir (sekarang Universitas Kairo, Mesir). Pada universitas tersebut

ia diserahi tugas untuk mengajar fiqh, bahasa Arab, dan bahasa

Suryani pada jurusan Bahasa Arab, fakultas Sastra. Dia mengajar di

Universitas Mesir tersebut sampai tahun 1939.4

Schacht termasuk orientalis yang cukup produktif, meskipun dia

terkenal dengan kecenderungannya mengkaji fikih, dia juga banyak

menulis karya dalam bidang-bidang yang lainnya. Sebagaimana yang

dikatakan Abdurrahmân Badawî bahwa karya-karya Schacht terdiri

dari beberapa disiplin ilmu, di antaranya;

1. Kajian tentang ilmu kalam

2. Tahqîq (menyunting dan mengedit) atas manuskrip-manuskrip

kitab fikih

3. Kajian tentang fikih

4. Kajian tentang sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat Islam

5. Kajian-kajian keislaman lainnya5

4 Abdurrahmân Badawî, Mausû’ah al-Musytasriqîn, (Beirut: Dar al-‘Ilmi al-Malayîn, 1993) cet.3 h.3665Badawî, Ibid

Page 3: Kritik Proyek Schacht

Menurut penilaian Abdurrahmân Badawî, karya Josep Schacht

yang paling menonjol adalah karyanya dalam kajian sejarah fikih

Islam. Karya utama Schacht dalam kajian ini adalah The Origins of

Muhammadan Jurisprudence6 setebal 350 halaman.7 Di samping karya

tersebut, pada tahun 1960, Schacht menerbitkan buku kembali

dengan judul An Introduction to Islamic Law.

Kedua karyanya di atas bergenre fikih (hukum Islam), hanya

saja dalam kedua bukunya, khususnya buku The Origins of

Muhammadan Jurisprudence, dia mengembangkan teori yang sempat

digagas oleh pendahulunya, Ignaz Goldziher, dalam metode kritik

hadis, yang diproyeksikan untuk meruntuhkan hukum Islam (baca;

Fikih). Schacht menyajikan hasil kajiannya dalam hukum Islam

dengan mengkritik hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum. Dia

berkesimpulan bahwa hadis-hadis Nabi tentang hukum adalah palsu.

Ia (hadis hukum), kata Schacht, hanyalah buatan para ulama abad

kedua dan ketiga Hijriah.

Proyek Kritik Schacht Terhadap Hukum Islam (Fikih)

Dalam bukunya Introduction to Islamic Law, Schacht berkata bahwa

khalifah-khalifah pertama (Khulafâ al-Râsyidîn) tidak menunjuk para

Qâdhî (hakim). Pemerintahan Dinasti Umayyah ataupun para

gubernurnya telah mengambil langkah-langkah penting dalam

mengangkat para hakim Islam atau Qâdhî.8 Kemudian tesis ini

menggiringnya pada sebuah kesimpulan bahwa sebagian besar abad

pertama Hijriah, hukum Islam, dalam pengertian teknis belum ada.9

Pendapat yang senada dapat kita temukan dalam karyanya yang

lain, Origins of Muhammadan Jurisprudence, sebagaimana yang 6 Terbit pada tahun 1950, dan buku ini ditanggapi oleh Prof.Dr.Musthafa Azamî dengan judul, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, (Riyad : King Saud University)7Badawî, Ibid, h. 3678 Joseph Schacht, Introduction to Islamic Law, pent; Joko Supomo (Jogjakarta; Islamika, 2003) cet.3 h. 419 Ibid

Page 4: Kritik Proyek Schacht

dikutip oleh Prof. Dr. Musthafâ Azamî bahwa Schacht menuturkan,

“Bukti adanya hadis-hadis hukum membawa kita mundur ke sekitar

tahun 100 Hijriah saja; pada saat itu pemikiran hukum Islam berawal

dari akhir pemerintahan dan praktek popular dari Bani Umayyah,

yang masih direfleksikan dalam sejumlah Hadis.”10 Dia (Schacht)

mempertahankan lagi, “Aman untuk berasumsi bahwa hukum Islam

hampir-hampir tidak ada pada masa Sya’bî, yang wafat pada tahun

110 Hijriah.”11

Kritik atas Proyek Kritik Schacht Terhadap Hadis-hadis Hukum

Islam (Fikih)

Prof. Dr. Musthafa Azamî telah menyudahi tesis-tesis yang ditawarkan

oleh Schacht, terkait kebermulaan hukum Islam. Dengan

menggunakan data-data yang cukup akurat, Prof. Dr. Musthafa Azamî

membantah pendapat Schacht dengan memaparkan beberapa hal;

1. Aktivitas-aktivitas yudisial Nabi saw., Nabi saw. sebagai seorang

utusan sekaligus penjelas atas al-Qur’an, menjelaskan tentang

perintah-perintah Allah dalam al-Qur’an yang masih bersifat

global. Hal ini merupakan sebuah data akurat yang

mematahkan tesis kebermulaan hukum Islam pasca abad I

Hijriah.

2. Catatan-catatan hukum dan keputusan-keputusan yang

didasarkan pada keputusan-keputusan atau contoh-contoh Nabi

saw,.

3. Literatur hukum abad pertama, ada beberapa data yang dapat

menguatkan alasan bahwa terdapat beberapa literatur-literatur

hukum yang dicetuskan pada abad pertama Hijriah,

10 Prof.Dr.Musthafa Azamî dengan judul, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, diterjemahkan oleh; Asrofi Shodri, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 2004) cet ; I h.2311 Ibid

Page 5: Kritik Proyek Schacht

sebagaimana keputusan-keputusan Mu’adz (18 H) dibaca dan

diriwayatkan oleh Thawus (23-101 H) di Yaman.12

Azamî juga menilai terdapat ketidakobyektifan Schacht dalam

mengkaji fikih, Schacht dalam perspektif Azamî telah sengaja

membuat pengkaburan fikih dengan mengganti nomenklatur-

nomenklatur fikih dengan nomenklatur Barat. Hal ini bisa dilihat dari

“pemerkosaan” istilah yang digunakan Schacht dalam karyanya yang

bertajuk, Introduction of Islamic Law, di mana dia membagi fikih ke

dalam beberapa judul-judul berikut; orang (persons), harta (property),

kewajiban umum (obligations in general), kewajiban dan kontrak

khusus (obligations and contracts in particular), dan lain-lain.

Susunan demikian sengaja diperkenalkan Schacht, karena dia ingin

mengubah hukum Islam pada hukum Romawi yang tidak ada

kaitannya sama sekali dengan topik pembahasan dan pembagiannya

yang digunakan dalam sistem perundang-undangan Islam.13

Penting untuk diungkapkan di sini bahwa sebenarnya “apologi”

yang dilancarkan oleh A’zami dalam menyudahi tesis-tesis Schacht

belum paripurna. Hal ini ditengarai oleh beberapa sarjana seperti

Harald Moztki, Juynboll, Kamarudin Amin, hingga Ali Masrur bahwa

A’zami tidak memahami dengan baik teori yang digunakan oleh

Schacht dalam kritik sanad, khususnya terkait teori Projecting Back.

Di lain sisi, data-data yang digunakan oleh A’zami dalam membantah

kebermulaan hukum Islam dimulai pada abad kedua dan ketiga

Hijriah adalah data-data abad kedua Hijriah.

Hemat penulis hal tersebut dipicu dari adanya kesenjangan

argumentasi antara Schacht dan A’zami. Schacht tidak meyakini

hukum Islam eksis pada abad pertama Hijriah, karena ia tidak

12 Ibid, h.23-3113 Azamî, The History of The Qur’anic Text : From Revelation to Compilation, pent : Anis Malik Thaha, dkk (Jakarta : GIP, 2005) Cet; 1. H. 340

Page 6: Kritik Proyek Schacht

menemukan data-data tertulis tentang hokum Islam yang

dikodifikasikan pada masa itu. Sementara dalam membuktikan

keberadaan hokum Islam pada abad pertama Hijriah adalah dengan

menunjukkan sabda-sabda Nabi saw. Kepada para sahabat terkait

masalah hukum. Di samping itu, A’zami, sebagaimana yang diyakini

para Muhaditsin, menilai bahwa riwayat oral lebih kuat disbanding

dengan riwayat tulisan. Sementara Schacht karena ia tidak

mempercayai tradisi kritik para informan hadis (Jarh wa Ta’dîl),

sehingga ia tidak mempercayai riwayat yang tidak tertulis.

Dari sudut pandang yang berbeda inilah, akhirnya para

orientalis pasca Shacht, seperti Juynboll dkk, merasa bahwa A’zami

belum mematahkan secara sempurna terhadap seluruh bangunan

teori kritik sanad hadis dan kritik kebermulaan fikih ala Joseph

Schacht. Hal ini pada gilirannya memicu para orientalis pasca

Schacht untuk meneruskan teori-teorinya.

Dengan segala keterbatasannya, penulis mencoba mengkritik

teori kritik Joseph Schacht.

Di samping itu, hemat penulis, Schacht juga telah keliru dalam

memahami sejarah fikih Islam, di mana sebenarnya dia mengetahui

bahwa aturan-aturan legal-formal (seperti tata cara shalat,

pembayaran zakat, haji, dll) sudah ada semenjak zaman Nabi saw,.

Karena fikih sangat berkait kelindan dengan kehidupan beragama,

andaikan tesis Schacht benar, niscaya aturan-aturan hukum fikih

dalam Islam menjadi kacau balau, karena tidak ada individu yang

memiliki otoritas, selain Nabi saw.

Proyek Kritik Schacht Terhadap Hadis; Tinjauan Kritik Matan

Page 7: Kritik Proyek Schacht

Sebelum melakukan kritik terhadap hadis, Joseph Schacht memulai

pembicaraannya dengan memberikan “tawaran” sebuah konsep awal

terhadap hadis. Dia berkata, “ Sunnah dalam konteks Islam pada

mulanya lebih memiliki sebuah konotasi politik ketimbang konotasi

hukum; menunjukkan kebijaksanaan dan administrasi khalifah.

Persoalan apakah tindakan administratif khalifah pertama, Abu Bakar

dan ‘Umar, harus dipandang sebagai preseden-preseden yang

mengikat, barangkali persoalan ini muncul pada saat penunjukkan

‘Umar dan ketidakpuasan dengan kebijaksanaan khalifah ketiga,

Utsman, yang mengantarkan pada pembunuhannya pada 35 H/655 M,

karena dituduh telah menyimpang dari kebijaksanaan khalifah

sebelumnya, secara implisit menyimpang dari al-Qur’an. Dalam

hubungan ini, muncullah konsep sunnah Nabi, yang belum

diidentifikasikan dengan sejumlah aturan-aturan positif, akan tetapi

memberikan serangkaian mata rantai doktrinal antara sunnah Abu

Bakr dan Umar serta al-Qur’an. Bukti-bukti awal yang tentunya

otentik unt uk penggunaan istilah sunnah Nabi adalah surat Abdullah

bin Ibad, pemimpin Khawarij yang ditujukan kepada Khalifah Dinasti

Umayyah, Abdul Malik, sekitar 76 H/695 M. Istilah yang sama dengan

sebuah konotasi teologis, yang disertai contoh teguran, terdapat

dalam risalah yang sezaman dengan Hasan al-Bashri yang ditujukan

kepada khalifah Abdul Malik. Pengertian sunnah seperti ini

diperkenalkan ke dalam teori hukum Islam yang diperkirakan

berlangsung pada akhir abad 1 Hijriah oleh ulama-ulama Irak.14

Sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Dr. Musthafâ Azamî

bahwa sentral tesis Schacht bergantung pada penggunaan konsep

sunnah, yang secara ringkas Schacht berpendapat bahwa:

14 Schacht, Introduction to Islamic Law, h.30-31

Page 8: Kritik Proyek Schacht

1. Konsep awal Sunnah adalah kebiasaan atau praktek yang

disepakati secara umum, yang disebutnya sebagai “tradisi yang

hidup.”

2. Konsep sunnah nabi pada asal-usulnya relatif terlambat, dibuat

oleh orang-orang Irak pada sekitar abad kedua Hijriah

3. Bahan penggunaan istilah “Sunnah Nabi” tidak berarti sunnah

yang sebenarnya berasal dari Nabi saw, ia hanya sekadar

“tradisi yang hidup” dari madzhab yang ada diproyeksikan ke

belakang hingga ke lisan Nabi saw

Dalam membidik dan mengkritik matan hadis, Schacht

mengambil beberapa matan hadis yang terdapat dalam kitab al-

Maghâzî karya Musa bin ‘Uqbah al-Asadî. Sebagaimana yang dikutip

oleh Prof. Dr. Azamî dalam bukunya yang berjudul, “Naqd al-Hadîts

‘Inda al-Muhadditsîn”, beliau memaparkan empat contoh matan hadis

yang dikritik oleh Schacht, kemudian beliau menganalisa dan

mengkritik atas kritik matan ala Schacht.

Schacht melancarkan kritiki matan terhadap sebagian hadis

yang terdapat dalam kitab al-Maghâzî, karya Musâ bin ‘Uqbah.

Schacht berkata, “Musa bin ‘Uqbah (penulis kitab al-Maghazi)

mengatakan bahwa dia mengambil sumber-sumber hadis dari al-

Zuhri. Ibnu Ma’in juga menganggap bahwa kitab Musa yang

bersumber dari al-Zuhri adalah kitab yang paling otentik di antara

kitab-kitab hadis yang menceritakan tentang peperangan Nabi saw.

Oleh karena itu, tidak mungkin dalam kitab al-Maghazi – dalam

bentuknya yang asli- itu terdapat hadis-hadis yang diterima dari jalur

selain al-Zuhri. Akan tetapi, karena di dalam kitab itu terdapat hadis-

hadis dari jalur selain al-Zuhri, yaitu hadis nomor 8, 9, 10, dan 12,

Page 9: Kritik Proyek Schacht

maka bisa dipastikan bahwa hadis-hadis itu adalah “tambahan sejak

aslinya.”15

Salah satu matan hadis yang terdapat dalam kitab al-Maghazi

yang dikritik oleh Schact adalah hadis no.9, yaitu hadis yang

diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar yang berbunyi;

Abdullah bin Umar berkata, “Rasulullah saw. tidak

mengecualikan Fathimah ra. (dalam masalah hukum pidana).”

Hadis ini dinilai Schacht sebagai hadis yang mengingkari akan

keistimewaan keluarga Nabi saw. dalam hukum pidana. Oleh karena

itu hadis ini dinilai sebagai hadis anti keluarga ‘Ali (Alawiyyin), sebab

tidak mengakui adanya keistimewaan keluarga Alawiyyin dalam

masalah pidana.16

Kritik Azamî atas Kritik Schacht Terhadap Matan Hadis

Kritik matan yang dilancarkan Schacht di atas dijawab tuntas

oleh Prof. Dr. Musthafa Azamî. Menurut Azamî, hadis tersebut bukan

berarti tidak megakui keistimewaan kaum Alawiyyin, karena dalam

masalah tindak hukum pidana tidak ada yang terkecualikan, termasuk

Nabi saw. sendiri. Lebih lanjut Azamî menyatakan sebuah hadis

shahih bahwa Nabi saw. juga pernah bersabda bahwa apabila

Fathimah bintu Muhamad mencuri, maka akan aku potong tangannya!

Di samping itu, Schacht juga telah gagal memahami hadis tersebut,

karena hadis tersebut sebenarnya tidak berkaitan dengan masalah

hukum pidana, akan tetapi hadis tersebut merupakan bagian dari

kelanjutan hadis sebelumnya yang menjelaskan tentang kecintaan

Nabi saw. terhadap Usamah bin Zaid. Kemudian sabda Rasulullah

15 Musthafa Azamî, Studies In Early Hadith Literature, pent; Prof. Dr. K.H.Ali Musthafa Yaqub, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 2000) cet. 2, h.524-52516 Musthafa al-Azamî, Naqd al-Hadits ‘Inda al-Muhadditsin (Riyadh; Maktabah al-‘Immariyyah, 1982) cet.3 h.133-137

Page 10: Kritik Proyek Schacht

saw. dalam hadis no.9 ini menegaskan bahwa Fathimah pun termasuk

orang yang paling dicintai Rasul.17

Azamî juga melancarkan kritik atas kritik Schacht terhadap

matan hadis-hadis lain yang terdapat dalam kitab al-Maghâzî. Penulis

mencukupkan diri dengan hanya memuat satu contoh atas kekeliruan

dan kegagalan Schacht dalam kritik matan yang dipaparkan oleh

Azamî.

Projecting Back dan Proyek Kritik Schacht Terhadap Hadis ;

Tinjauan Sanad

Keseriusan Schacht dalam kritik hadis tidak hanya terpaku pada

matan hadis saja, dia juga menyibukkan dirinya untuk mempelajari

dan membuat teori baru dalam kajian kritik sanad hadis. Jerih

payahnya dalam mengkaji sanad hadis membuahkan hasil dengan

penemuannya atas teori hadis yang dikenal dengan teori “Projecting

Back”.

Teori Projecting Back adalah himpunan kesimpulan-kesimpulan

yang didapatkan Schacht atas premis-premis yang dia buat mengenai

kebermulaan hukum Islam. Premis tersebut adalah, hukum Islam

belum eksis pada masa al-Sya’bi (w.110 H). premis ini menggiring

kepada sebuah kesimpulan bahwa apabila ditemukan hadis-hadis yang

berkaitan dengan hukum Islam, maka hadis tersebut adalah buatan

orang-orang pasca al-Sya’bi.

Dia berpendapat bahwa hukum Islam baru dikenal semenjak

masa pengangkatan Qadhi (hakim agama). Kira-kira pada akhir abad

pertama Hijriah (±715-720 M) pengangkatan qadhi ditujukan kepada

orang-orang “spesialis” yang berasal dari kalangan taat beragama.

17 Ibid, h.140-141

Page 11: Kritik Proyek Schacht

Karena jumlah mereka semakin bertambah banyak, maka akhirnya

mereka berkembang menjadi kelompok ahli fikih klasik.18

Keputusan-keputusan hukum yang diberikan pada qadhi ini

memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih

tinggi. Karenanya, mereka tidak menisbahkan keputusan-keputusan

itu kepada dirinya sendiri, melainkan kepada tokoh-tokoh

sebelumnya. Misalnya, orang-orang Irak menisbahkan pendapat-

pendapat mereka kepada Ibrahim al-Nakha’I (W.95 H).19

Perkembangan selanjutnya, pendapat-pendapat para qadhi itu

tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya yang

jaraknya masih dekat, melainkan kepada tokoh yang lebih dahulu lagi,

misalnya Masruq. Langkah selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi

yang lebih kuat, maka pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada

orang yang memiliki otoritas lebih tinggi, misalnya Abdullah bin

Mas’ud. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan

kepada Nabi Muhammad saw. Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad

hadis dengan memproyeksikan pendapat-pendapat orang-orang

belakangan (yang kemudian dikenal dengan teori Projecting Back)20

Pada gilirannya teorinya ini mendapat apresiasi dari orientalis-

orientalis lainnya. Prof. Robson adalah salah satu orientalis yang

terpikat dengan teori Schacht dan memujinya dengan berkata, “Kajian

berharga yang membuka jalur penelitian baru.”21

Ringkasnya, pandangan Schacht secara keseluruhan adalah

bahwa sistem isnâd mungkin valid untuk melacak hadis-hadis sampai

pada ulama-ulama abad kedua Hijriah, tapi rantai periwayatan yang

18 Prof. Ali Musthafa Yaqub, MA, Kritik Hadis (Jakarta ; Pustaka Firdaus, 2004) cet.4 h.2319 Ibid20 Ibid21 Azamî, Studies In Early Hadith Literature. h.231-232

Page 12: Kritik Proyek Schacht

merentang ke belakang sampai kepada Nabi saw. dan para sahabat

adalah palsu. Argumen Schacht teringkas dalam empat poin;

1. Sistem sanad dimulai pada abad kedua, atau paling “banter”

akhir abad pertama Hijriah.

2. Isnâd-isnâd diletakkan secara sembarangan dan sewenang-

wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang”

doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.

3. Isnâd-isnâd secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan;

Isnâd-isnâd yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua

kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.

4. Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’I untuk

menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadis-hadis

yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. Isnâd-

isnâd keluarga adalah palsu, demikian pula materi yang

disampaikan di dalam isnâd-isnâd itu.

5. Keberadaan common narrator dalam rantai periwayatan itu

merupakan indikasi bahwa hadis itu berasal dari masa

periwayat itu.22

Konsep Schacht telah diadopsi oleh beberapa orientalis ternama

lainnya, John van Ess adalah salah satu dari sederet orientalis yang

sudi “bertepuk tangan” dan “menjiplak” teori atau konsep yang

ditawarkan Schacht. Sebagaimana Schacht, van Ess pun mengakui

bahwa isnâd “tumbuh ke belakang” dan dia menerima teori common

link. 23

Sebagaimana sebagian orientalis lain yang “terhipnotis” oleh

teori Schacht, sebagian sarjana muslim juga meniru dan

mengembangkan teori yang digagas oleh Schacht. Sebut saja

22 Ibid. h.232-23323 Dr. Phil. Kamarudin Amin, Metode Kritik Hadis, (Jakarta; Hikmah, 2009) cet.1 h. 156

Page 13: Kritik Proyek Schacht

A.A.Fyzee, seorang hakim muslim dalam jajaran Mahkamah Agung

Negara bagian Bombay India, dalam bukunya A Modern Approach to

Islam, dia menerima tanpa syarat tesis-tesis Schacht. Demikian pula

Fazlur Rahman, direktur Islamic Centre di Karachi yang kemudian

pindah ke Chicago, dalam bukunya yang berjudul Islam, dia

mengkritik dasar-dasar pandangan Schacht mengenai terbentuknya

aliran-aliran hukum Islam. Tetapi dia menerima tesis pokok dari

Schacht mengenai diedarkannya hadis dan mengenai teori Projecting

Backnya Schacht.24

Kritik atas Projecting Back dan Kritik Sanad Schacht

Semua pernyataan Schacht di atas telah dibantah oleh beberapa

sarjana muslim seperti Profesor Muhamad Abu Zahrah, Profesor

Musthafa Azamî, Profesor Zafar Ishaq Anshari. Di kalangan orientalis

sendiri, teori-teori Schacht bukan hanya mendapat reaksi positif,

karena sebagian yang lain, ada yang tidak sepakat atau bahkan

mengritik teori-teori yang ditawarkan Schacht. Sebut saja Noel

Coulson, Michael Cook, Harald Moztki, dan Rubin.25

Teori “Projecting Back” Schacht, menurut Azamî, tidaklah logis.

Hal ini disebabkan adanya fakta bahwa terdapat sejumlah riwayat

yang sama dalam bentuk dan makna dalam literatur para muhadditsin

klasik dari sekte-sekte berbeda. Seandainya hadis hukum dipalsukan

pada abad kedua dan ketiga hijria, tidak akan ada hadis yang dimuat

bersama dalam sumber sekte-sekte yang berbeda ini. Lebih jauh lagi,

Azamî bertanya mengapa para ulama mau memilih dan

mencantumkan orang-orang lemah untuk isnâd mereka, sementara

mereka sebenarnya juga bisa dengan mudah memilih figur-figur yang

lebih terhormat? Menurut Azamî hal ini tidaklah logis. Yang lebih kuat

24 Prof. Ali Musthafa Yaqub, MA, Kritik Hadis (Jakarta ; Pustaka Firdaus, 2004) cet.4 h.2325 Dr. Samsudin Arif, Gugatan Orientalis Terhadap Hadis dan Gaungnya Di Dunia Islam dalam jurnal al-Insan no.2 vol.I, 2005

Page 14: Kritik Proyek Schacht

lagi adalah argumen Azamî bahwa dalam banyak kasus sebuah hadis

diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi dari daerah yang berbeda-

beda. Hampir mustahil mereka bertemu dan bersepakat melakukan

pemalsuan ini.26

Argumentum e Silentio Schacht

Di samping teori Projecting Back, Schacht juga menggagas teori

Argumentum e Silentio, teori ini dikerangkakan dan diproyeksikan

untuk membuktikan ketidakeksisan sebuah riwayat dalam literatur

hadis: Apabila sebuah hadis tidak ditemukan dalam sebuah koleksi

hadis, di mana eksistensinya pasti diharapkan, maka hadis tersebut

tidak eksis pada saat koleksi hadis tersebut dibuat.27 Kemudian

Schacht memformulasikan hal tersebut sebagai berikut;

“Cara terbaik untuk membuktikan bahwa suatu hadis tidak eksis

pada suatu masa adalah dengan memperlihatkan bahwa hadis

tersebut tidak dipergunakan sebagai argumen hukum dalam suatu

pembahasan yang merujuk kepada hadis itu menjadi sebuah

keharusan, jika hadis itu telah ada.”28

Teori Argumentum e Silentio Schacht juga tidak hanya

mendapat pujian dan dukungan dari para sarjana, akan tetapi teori ini

jua mendapat todongan kritik dari berbagai pihak, bahkan rekan-

rekan orientalis sendiri juga banyak yang tidak sepakat dengan teori

ini. Diantara kritikus teori ini adalah Harald Motzki, Guru Besar Hadis

Universitas Nijmegen Belanda.29

Dr. Syamsuddin Arif, menyatakan, “Satu kesalahan yang paling

menonjol dalam metodologi Schacht, yaitu seringnya dia menarik

sebuah kesimpulan berdasarkan argumentum e silentio, yakni alasan

26 Azamî, Studies, h.23727 Kamarudin Amin, Metode Kritik Hadis, h.17428 Schacht, Origins of Muhammadan, dikutip oleh Kamarudin Amin, Metode Kritik Hadis h.17429 Lebih detail baca Kamarudin Amin, Metode Kritik Hadis h.176-181

Page 15: Kritik Proyek Schacht

ketiadaan bukti. Disebut demikian karena argumen ini biasanya

diungkapkan secara impersonal (dengan kalimat: “The sources are

silent regarding….” Atau “Nothing is known about….” Dan

sebagainya). Bahwa anda tidak/belum menemukan bukti yang

mendukung hipotesa anda belum tentu dan tidak mesti berarti bukti

itu tidak ada. Sebab tidak adanya bukti tidak harus bergantung pada

anda. “The absence of evidence is not evidence of absence.”

Ketiadaan bukti bukanlah bukti ketiadaan. Bisa jadi, bukti itu ada,

tetapi anda tidak mengetahui keberadaannya.” 30

Musthafâ al-Sibâ’î Versus Joseph Schacht

Salah satu sarjana muslim kontemporer yang memiliki perhatian

cukup besar terhadap kajian hadis adalah Dr. Musthafâ al-Siba’î.

Karya al-Siba’î yang mengkaji tentang kedudukan hadis dalam sumber

hukum Islam bertajuk al-Sunnah wa Makânatuha fi al-Tasyri’ al-

Islâmî.

Setelah Musthafa al-Sibâ’î menulis buku tersebut (buku yang di

dalamnya juga membahas tentang kritik atas kritik hadis orientalis),

dia mengelilingi beberapa universitas-universitas di Eropa dan

menemui serta berbincang-bincang dengan tokoh-tokoh orientalis.31

Di Universitas London, Inggris, dia sempat bertemu dengan

orientalis berkebangsaan Inggris, Prof. Anderson, kepala bagian

perundang-undangan ilmu Humaniora yang bekerja di kajian timur di

Universitas London, Inggris. Anderson adalah sarjana orientalis

jebolan Universitas Cambridge, Australia, di jurusan Teologi.32

Dalam lawatannya ke beberapa universitas-universitas di Eropa,

al-Sibâ’î juga sempat singgah di Universitas Leiden, Belanda. Di

30 Dr. Samsudin Arif, Ibid31 Musthafâ al-Sibâ’î, al-Isytisrâq Wa al-Musytasriqûn; Ma Lahum Wa Ma ‘Alaihim, (Kairo : Dâr al-Salâm,1998) h. 63 32 Ibid, h. 64

Page 16: Kritik Proyek Schacht

Leiden, al-Sibâ’î bertemu dan berdiskusi bersama Joseph Schact.

Hasil diskusinya dengan Schacht, diabadikan oleh al-Sibâ’î dengan

menulisnya di bukunya yang berjudul, al-Isytisrâq Wa al-

Musytasriqûn; Ma Lahum Wa Ma ‘Alaihim , berikut ini adalah petikan

diskusinya;

Di Universitas Leiden, Belanda, aku berjumpa dengan seorang

orientalis keturunan Yahudi berkebangsaan Jerman, yakni Joseph

Schact, dia adalah seorang tokoh orientalis yang membawa serta

“memodifikasi” ide-ide dan tulisan karya Ignaz Goldziher dalam

pemlintirannya terhadap Islam. Aku sempat membahas panjang lebar

dengan Schacht tentang kesalahan dan kekeliruan Goldziher, serta

kesengajaan Goldziher dalam “memperkosa” teks-teks yang dia rujuk

dari karya-karya sarjana Islam. Pada mulanya, Schacht mengingkari

hal tersebut, kemudian aku menjelaskan sebuah contoh yang ditulis

oleh Goldziher tentang sejarah hadis. Lalu dia merasakan keanehan

dan kejanggalan atas kritik yang aku lancarkan terhadap Goldziher,

kemudian dia (Schacht) merujuk buku Goldziher.33 Lalu dia berkata,

“Kamu benar bahwa Goldziher telah keliru dalam masalah tersebut

(sejarah hadis).” Kemudian aku berkata kepadanya, “Apakah hanya

sebuah kekeliruan (tidak ada motif lain)?” Schacht menjawab, “Kamu

telah berburuk sangka kepada Goldziher?” Lalu aku menyodorkan

pembahasan tentang analisa Goldziher terkait posisi al-Zuhrî terhadap

Abdul Malik bin Marwân, kemudian aku paparkan fakta-fakta sejarah

yang menyudahi tesis-tesis Goldziher. Setelah berdebat dalam

masalah tersebut, dia (Schact) berkata, “Ya, itu juga kekeliruan

Goldziher, tapi, bukankah para sarjana klasik juga pernah keliru

dalam tesis-tesisnya?” “Bukan itu masalahnya”, tandas al-Siba’i.

“Goldziher adalah pendiri sekolah orientalis yang menjunjung tinggi

prinsip-prinsip ilmiah dan fakta sejarah. Kemudian, kenapa prinsip-

33 Diskusi tersebut dilakukan di sebuah perpustakaan pribadi miliknya

Page 17: Kritik Proyek Schacht

prinsip itu dia abaikan? Dia menuduh al-Zuhri sebagai pemalsu hadis

demi kepentingan Abdul Malik bin Marwan yang berposisi dengan

Ibnu al-Zubair. Padahal, al-Zuhri tidak pernah bertemu sama sekali

dengan Abdul Malik kecuali setelah tujuh tahun dari wafatnya Ibnu al-

Zubair. Apakah hal itu disebut prinsip-prinsip ilmiah?” lanjut al-Siba’i.

Ketika mendengar hal tersebut, wajah Schacht menjadi pucat, karena

dia menyadari bahwa Goldziher tidak memiliki kapasitas keilmuan

yang memadai dalam kajian hadis. 34

Khatimah

Diakui atau tidak, orientalisme sangatlah berpengaruh kepada

pemikiran keislaman dewasa ini, baik pengaruh positif maupun

negatif. Oleh karena itu bukanlah tindakan yang bijak, apabila kaum

muslim hanya berdiam diri (tidak peduli) atau menolak mentah-

mentah tesis-tesis mereka dengan tanpa memahami terlebih dahulu

pemikiran mereka. Karena, adanya orientalisme sedikit memompa

para sarjana muslim untuk mengkaji keislaman. Terakhir, al-Ghazali

pernah berkata, “Dilarang mengritik sebuah pemikiran sebelum

benar-benar memahami pemikiran tersebut.”

Wallahu A’lam bi al-Shawâb

Daftar Rujukan

Al-Sibâ’î, Musthafâ, al-Isytisrâq Wa al-Musytasriqûn; Ma Lahum wa Ma

‘Alaihim, (Kairo : Dâr al-Salâm,1998)

Amin, Kamaruddin, Metode Kritik Hadis, (Jakarta; Hikmah, 2009) cet ; 1

Arif, Samsuddin, Gugatan Orientalis Terhadap Hadis dan Gaungnya Di

Dunia Islam dalam jurnal al-Insan no.2 vol.I, 2005

34 Lebih detail baca, Musthafâ al-Siba’î, al-Isytisrâq Wa al-Musytasriqûn; Ma Lahum Wa Ma ‘Alaihim, (Kairo : Dâr al-Salâm,1998) h. 69-71

Page 18: Kritik Proyek Schacht

Azamî, Musthafâ, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence,

(Riyad : King Saud University) diterjemahkan oleh; Asrofi Shodri,

(Jakarta; Pustaka Firdaus, 2004) cet ; 1

---------------, The History of The Qur’anic Text : From Revelation to

Compilation, pent : Anis Malik Thaha, dkk (Jakarta : GIP, 2005) Cet; 1.

---------------, Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsîn (Riyadh; Maktabah

al-‘Immariyyah, 1982) cet.3

--------------------, Studies In Early Hadith Literature, pent; Prof. Dr. K.H.Ali

Musthafa Yaqub, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 2000) cet. 2

Badawî, Abdurrahman , Mausû’ah al-Musytasriqîn, (Beirut:: Dar al-‘Ilmi

al-Malayîn, 1993) cet ;3

Murâd , Yahyâ, Rudûd ‘Alâ Syubhâh al-Mustasyriqîn, file pdf

didownload dari http.www.kotobarabia.com

Schacht, Joseph, Introduction to Islamic Law, pent: Joko Supomo

(Jogjakarta; Islamika, 2003) cet;1

------------------, Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford), 1979

file Pdf. Didownload dari www.4shared.com

Ya’qub, Ali Musthafa, Kritik Hadis (Jakarta ; Pustaka Firdaus, 2004)

cet.4

Zaqzûq, Muhamad Hamdi, al-Isytisrâq wa al-Khalfiyyah al-Fikriyyah Li

al-Sharrâ’ al-Hadhârî (Qatar : al-Ummâh, 1990) cet; 1