42
Hak Suara POTENSI GOLPUT TINGGI Bandung, Kompas Pemilu 2009 mendatang berlangsung di bawah bayang-bayang tingginya angka golongan putih, yakni mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya. Ini terjadi akibat beberapa faktor, mulai dari kejenuhan pemilih, perubahan sistem pemilihan, hingga persoalan pencatatan data pemilih. Perlu aturan mendorong partisipasi pemilih ini. Kekhawatiran ini diungkapkan Dede Mariana, Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah Universitas Padjadjaran, di Bandung, Jawa Barat, Rabu (31/12). Ia memperkirakan, angka golput ini dapat mencapai setidaknya 40 persen dari total pemilih. "Ini (tingginya golput) terjadi akibat pemilu saat ini masih menekankan prosedur-prosedur berdemokrasi ketimbang yang substansial. Golput merupakan antiklimaks dari kejenuhan rakyat di dalam demokrasi," ujar Dede. Ia mencontohkan, masih banyak anggota masyarakat yang belum merasa mendapatkan manfaat langsung terkait haknya memilih. Akibatnya, terjadi apatisme politik. Belum lagi, potensi kejenuhan politik yang terjadi di masyarakat. "Di Indonesia, tiap tiga hari itu ada pencoblosan. Ini bisa membuat masyarakat bosan," katanya. Di Kota Bandung, misalnya, dalam rangkaian pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah (pilkada), angka partisipasi pemilih dari tahun ke tahun terus turun. Terakhir, dalam pemilihan wali kota, sebanyak 33,75 persen pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Potensi golput pun semakin besar dengan adanya perubahan sistem pencoblosan, kini menjadi pencontrengan atau memberi centang. Belum lagi soal database pemilih. Dalam kasus, kerap kali ditemui adanya data pemilih ganda. Untuk itu, selain ketelitian database pemilih, faktor sosialisasi pun menjadi sangat penting. Menurut Dede, sosialisasi ini tidak hanya menjadi tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU), tetapi juga tugas pemerintah dan juga partai politik. Guna mendorong tingginya angka partisipasi pemilih, ia tidak melihat wacana fatwa haram golput oleh Majelis Ulama Indonesia sebagai solusi. "Sebaiknya, didorong lewat aturan. Seperti di Australia, barangsiapa yang tidak datang ke bilik suara didenda 100 dollar," ujar Ketua Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Bandung ini.(jon) Pemilu 2009 RENCANA PERPU SOAL DUA KALI CENTANG DITOLAK Jakarta, Kompas Rencana pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang terkait pemberian tanda centang dua kali dalam surat

Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kumpulan artikel

Citation preview

Page 1: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

Hak Suara POTENSI GOLPUT TINGGI

Bandung, Kompas Pemilu 2009 mendatang berlangsung di bawah bayang-bayang tingginya angka golongan putih, yakni mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya. Ini terjadi akibat beberapa faktor, mulai dari kejenuhan pemilih, perubahan sistem pemilihan, hingga persoalan pencatatan data pemilih. Perlu aturan mendorong partisipasi pemilih ini. Kekhawatiran ini diungkapkan Dede Mariana, Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah Universitas Padjadjaran, di Bandung, Jawa Barat, Rabu (31/12). Ia memperkirakan, angka golput ini dapat mencapai setidaknya 40 persen dari total pemilih. "Ini (tingginya golput) terjadi akibat pemilu saat ini masih menekankan prosedur-prosedur berdemokrasi ketimbang yang substansial. Golput merupakan antiklimaks dari kejenuhan rakyat di dalam demokrasi," ujar Dede. Ia mencontohkan, masih banyak anggota masyarakat yang belum merasa mendapatkan manfaat langsung terkait haknya memilih. Akibatnya, terjadi apatisme politik. Belum lagi, potensi kejenuhan politik yang terjadi di masyarakat. "Di Indonesia, tiap tiga hari itu ada pencoblosan. Ini bisa membuat masyarakat bosan," katanya. Di Kota Bandung, misalnya, dalam rangkaian pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah (pilkada), angka partisipasi pemilih dari tahun ke tahun terus turun. Terakhir, dalam pemilihan wali kota, sebanyak 33,75 persen pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Potensi golput pun semakin besar dengan adanya perubahan sistem pencoblosan, kini menjadi pencontrengan atau memberi centang. Belum lagi soal database pemilih. Dalam kasus, kerap kali ditemui adanya data pemilih ganda. Untuk itu, selain ketelitian database pemilih, faktor sosialisasi pun menjadi sangat penting. Menurut Dede, sosialisasi ini tidak hanya menjadi tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU), tetapi juga tugas pemerintah dan juga partai politik. Guna mendorong tingginya angka partisipasi pemilih, ia tidak melihat wacana fatwa haram golput oleh Majelis Ulama Indonesia sebagai solusi. "Sebaiknya, didorong lewat aturan. Seperti di Australia, barangsiapa yang tidak datang ke bilik suara didenda 100 dollar," ujar Ketua Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Bandung ini.(jon)

Pemilu 2009 RENCANA PERPU SOAL DUA KALI CENTANG DITOLAK

Jakarta, Kompas Rencana pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang terkait pemberian tanda centang dua kali dalam surat pemilih mengundang reaksi banyak pihak. Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Djafar Badjeber, Rabu (31/12), menyatakan khawatir peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) ini semakin membingungkan pemilih. Soalnya, sejak Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 ditandatangani 31 Maret 2008, partai sudah langsung menyosialisasikan agar rakyat memberi tanda centang satu kali dalam surat suara. Semua peraga kampanye pun sudah memasyarakatkan kepada pemilih agar memberi

Page 2: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

tanda satu kali, bukan dua kali. "Perpu semakin membingungkan orang," katanya. Oleh karena itu, ketimbang mengeluarkan perpu, pemerintah lebih baik mendorong Komisi Pemilihan Umum menyosialisasikan secara besar-besaran agar pemilih memberi tanda centang satu kali di nama caleg yang akan dipilihnya. Anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Saifullah Ma'shum, juga mengkhawatirkan perpu ini malah digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mendelegitimasi pemberian suara pada caleg sebagaimana telah diputuskan Mahkamah Konstitusi. Delegitimasi itu dilakukan dengan diam-diam mendorong pemilih hanya memberi tanda gambar partai. Ketua Pelaksana Harian Pimpinan Kolektif Nasional Partai Demokrasi Pembaruan Roy BB Janis menilai dikeluarkannya perpu telah menafikan UU Pemilu yang telah mengatur pemberian tanda satu kali. Perpu juga seharusnya dikeluarkan dalam keadaan kegentingan yang memaksa. Padahal, situasi genting tersebut tidak terjadi saat ini. Sementara itu, anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Arbab Paproeka justru mendukung dikeluarkannya perpu ini. Menurutnya, perpu ini justru lebih merespons pemilih untuk menyatakan kehendaknya. Direktur Nasional Lingkar Madani Untuk Indonesia (Lima) Nasional Ray Rangkuti, dalam siaran pers yang diterima Kompas, Kamis (1/1), menyatakan, pemerintah dan KPU agar hanya melakukan perubahan terhadap aturan pemilu dengan didasari pada pertimbangan desain awal dari sistem pemilu itu sendiri. Hal tersebut harus dilakukan agar pembangunan sistem pemilu yang tepat bagi bangsa Indonesia pada masa mendatang dapat dijamin kepastiannya. (DWA/SUT)

PARTAI PERBAIKI JARINGAN KADER KPU Jateng Maksimalkan Sosialisasi

Jakarta, Kompas Partai politik harus memperbaiki jaringan dan seluruh kadernya agar terjun ke masyarakat untuk menebar bakti supaya dapat meraih simpati. Kalau ini dilakukan, masyarakat tidak akan tertarik menjadi golput atau tak menggunakan hak pilihnya. Keterlibatan kader partai idealnya bukan hanya dilakukan menjelang pemilu. Pasalnya, masa di antara dua pemilu merupakan masa kerja keras partai politik untuk melaksanakan bakti yang belum sempat ditunaikan. Demikian dikatakan Soetrisno Bachir, Ketua Umum Partai Amanat Nasional, di Jakarta, Senin (12/1). Saat ini bukan hanya calon anggota legislatif (caleg) yang intensif menggalang kekuatan, tetapi mesin dan jaringan partai juga bergerak. "Saya yakin, saat ini hampir seluruh rakyat Indonesia dijangkau partai. Tinggal mendorong agar mereka yang punya hak untuk menggunakan hak pilihnya," ujarnya. Secara terpisah, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali juga sering mengungkapkan, PPP akan memberdayakan keluarga. Gerakan ini mencakup keluarga lebih luas. Jika gerakan pemberdayaan ini berhasil, bukan hanya suara PPP bertambah, tetapi suara golput juga akan terkurangi. Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Daerah Adhie Massardi mengatakan, ketidakpuasan masyarakat pada kinerja partai politik yang ada saat ini memang menimbulkan keengganan ikut serta dalam pemilu. "Secara politis, tingginya golput karena orang merasa bosan

Page 3: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

dengan sistem," ujarnya. Namun, menurut Adhie, ketidakpuasan masyarakat saat ini merupakan ketidakpuasan pada partai yang berkuasa. Artinya, parpol yang tidak berkuasa masih punya kesempatan untuk membangun simpati masyarakat. Secara terpisah, Senin, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Soemarsono menyebutkan, partainya optimistis bahwa pemilih yang memakai haknya pada Pemilu 2009 akan besar, yakni diatas 60 persen. Angka golput justru akan berkurang. "Untuk melawan golput, kami tak bisa mengandalkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam melakukan sosialisasi. Kami sepenuhnya menyerahkan peranan itu kepada caleg dan mesin politik. Jadi, mereka yang harus banyak berperan di daerah pemilihan," kata Soemarsono. Ia mengakui, angka golput dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) cenderung meningkat. Akan tetapi, jika peran caleg dan mesin partai maksimal, golput akan terminimalisasi.

Optimalkan sosialisasi Dari Semarang, Jawa Tengah, Senin, anggota KPU Jateng, Andreas Pandiangan, menyebutkan, terkait kemungkinan tingginya angka golput, KPU Jateng mengantisipasi dengan memaksimalkan sosialisasi pada pemilih. "Kami konsentrasi pada pemilih yang tak menggunakan hak pilihnya karena alasan politis. Kami terus menyosialisasikan pentingnya pemilu dalam proses demokrasi," kata Andreas. Namun, ia mengakui tak dapat mengubah status warga yang tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan administrasi, tak terdaftar.(mam/har/uti)

KPU SOSIALISASIKAN 1 TANDA DPR Rencanakan Rapat Konsultasi dengan Presiden

Jakarta, Kompas Sepanjang belum ada perubahan, Komisi Pemilihan Umum tetap menyosialisasikan pemberian suara dengan pemberian tanda satu kali pada surat suara. Demikian dikatakan anggota KPU, Endang Sulastri, di Jakarta, Selasa (13/1). Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) yang akan mengesahkan surat suara yang ditandai dua kali, kata Endang, ditujukan lebih untuk kepentingan penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS). Endang menyebutkan, perpu direncanakan diterbitkan untuk memperkecil ketidakabsahan surat suara akibat pemberian tanda dua kali pada tanda gambar partai politik dan calon anggota legislatif (caleg) sebagaimana dimungkinkan pada Pemilu 2004. Materi perpu itu tak ubahnya ketentuan yang mengesahkan surat suara yang dicoblos, bukan diberi tanda centang atau contreng. Endang juga menyatakan, perpu pengesahan tanda dua kali itu tak digunakan dalam sosialisasi. Ketentuan mengenai cara pemberian suara yang disosialisasikan kepada calon pemilih tetap, yaitu sahnya surat suara dengan pemberian tanda satu kali, tetap akan diteruskan. Baru jika perpu dikeluarkan, sebagai target utama sosialisasi adalah petugas penghitungan suara di TPS. Waktunya masih memadai untuk menyosialisasikan ketentuan yang mengakomodasi pengesahan pemberian tanda dua kali itu. "KPPS (kelompok penyelenggara pemungutan suara di tingkat TPS) kan belum terbentuk," sebut Endang. Secara terpisah, anggota KPU Jawa Timur, Arief Budiman, dan anggota KPU Sumatera Utara, Turunan P Gulo, sependapat, materi

Page 4: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

sosialisasi tak bisa dipilah-pilah. Justru akan jadi masalah di lapangan jika kepada pemilih disosialisasikan, suara sah dengan memberi tanda satu kali, sedangkan ke petugas di TPS diterangkan pemberian tanda dua kali dianggap sah. Apalagi, dalam penghitungan dan rekapitulasi, yang ada di TPS bukan hanya petugas, tetapi juga pemilih dan saksi dari peserta pemilu. Oleh karena itu, jika serius, perpu diharapkan bisa terbit secepatnya agar ada kesepahaman sejak dini. Dengan publik segera tahu ketentuan yang bakal diberlakukan pada Pemilu 2009, potensi konflik bisa ditekan. Di Pekanbaru, Selasa, anggota KPU, Syamsul Bahri, mengatakan, komisinya masih berkoordinasi dengan pemerintah untuk menerbitkan perpu terkait pemilu. Usulan itu masih dibahas bersama untuk menyesuaikan kondisi perundang-undangan yang baru, menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan pemilu berbasis suara rakyat.

Rapat konsultasi Di Jakarta, Selasa, DPR merencanakan rapat konsultasi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membicarakan perpu tentang pemilu. Pimpinan fraksi di DPR menganggap perlu adanya rapat konsultasi ini agar perpu yang dikeluarkan pemerintah nanti bisa sejalan dengan aspirasi fraksi-fraksi. "Rapat konsultasi diharapkan pada bulan Januari ini," kata Ketua DPR Agung Laksono. Materi yang akan dibahas dalam rapat, ujar Agung, bukan terkait putusan MK yang sudah final, melainkan terkait perubahan pasal soal penandaan dua kali di surat suara Pemilu 2009. (DIK/SAH/SUT)

JANJI POLITIK HARUS DITAGIH Pemimpin Gagal Jangan Dipilih

Jakarta, Kompas Semua janji politik yang disampaikan calon pemimpin nasional atau calon anggota legislatif harus dipertanggungjawabkan. Namun, lemahnya budaya menagih janji politik di masyarakat membuat politisi yang sebelumnya gagal dapat dengan mudah kembali berkuasa. "Lemahnya budaya menagih janji politik ini menjadi salah satu sebab belum berakhirnya periode transisi di Indonesia, yang dimulai tahun 1998. Padahal, bangsa lain yang saat itu juga mengalami krisis, seperti Korea Selatan, sudah lama mengakhiri periode transisi," kata Boni Hargens, pengajar di Universitas Indonesia dan pemimpin Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), dalam diskusi, Rabu (14/1) di Jakarta. Lemahnya budaya menagih janji politik membuat komposisi elite tak banyak berubah. Akibatnya, nilai politik baru tertransformasikan secara lamban dan sistem menjadi kebal kritik. Menurut Boni, kondisi itu makin diperparah oleh sikap partai politik yang tidak pernah memberi kesempatan kepada rakyat untuk menagih janji yang pernah diucapkan tokohnya. Yang terjadi, mereka hanya memecat anggotanya yang merugikan atau melanggar ketentuan organisasi. "Untuk itu, rakyat harus dibiasakan menagih janji politik. Hal ini harus dimulai dengan mengingatkan rakyat Indonesia, yang banyak disebut mudah lupa ini, pada janji yang pernah diucapkan elite politik," kata Boni. Boni dan LPI berencana melaporkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke polisi pada 20 Januari 2009 karena dinilai gagal

Page 5: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

mewujudkan sebagian janji politiknya. Janji yang gagal dipenuhi itu, lanjut Boni, antara lain mengurangi tingkat kemiskinan hingga 8,2 persen tahun 2009. Sebab, tingkat kemiskinan sekarang masih sekitar 14 persen atau 40 juta penduduk. Angka pengangguran, yang dijanjikan berkurang hingga 5,1 persen dari angkatan kerja, saat ini masih sekitar 8 persen. "Kami sadar, akan ada banyak hambatan dalam proses ini. Namun, tujuan utama kami, langkah ini dapat mengingatkan rakyat atas berbagai janji yang pernah disampaikan Presiden Yudhoyono dan politisi lain," ujar Boni. Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad menilai rencana pelaporan LPI pantas didukung karena merupakan bagian dari peran warga negara yang menuntut politik Indonesia lebih bertanggung jawab dan bermartabat. Pelaporan itu juga dibutuhkan untuk membuat politisi tak mudah mengumbar janji karena sebuah janji tetap harus dipertanggung jawabkan.(NWO)

Obrolan A-Politis DEMOKRASI TANPA PESTA Nia Dinata

Saya sering nguping pembicaraan para kru film di kantor. Saat makan siang atau makan malam (karena pekerjaan editing film sering dilakukan sampai tengah malam), biasanya pembicaraan mereka seputar cinta lokasi, cinta editing, jodoh-menjodohi di antara mereka. Namun, kemarin ada juga pembicaraan soal pemilu. Obrolan antarkru berkembang menjadi perdebatan seru. Perlu diketahui di sini, rata-rata pekerja film yang terlibat diskusi tak direncanakan ini adalah mereka-mereka yang sedang berada pada usia produktif, antara 27 hingga 33 tahun. Orang-orang ini kreatif, mandiri, dan memiliki aktualisasi diri yang baik karena sangat mencintai dan berdedikasi penuh pada pekerjaannya. Ada yang sudah menikah (rata-rata baru menikah, tetapi sebagian besar belum menikah). Mereka juga terlibat secara langsung pada gerakan reformasi tahun 1998, sebagai mahasiswa saat itu. Mereka tergolong warga negara yang kritis dan pemilih yang kritis juga. Awalnya, mereka bingung, partai mana yang harus mereka pilih nanti. Lalu mulailah membahas satu per satu partai-partai yang pada pemilu lalu menjadi jagoan mereka. Hampir semua kecewa dengan hasil pilihan mereka. Ada yang partai berubah susunan kepemimpinan, bertikai antarpemimpinnya. Hal ini membuat para kru menjadi malas memilih kembali partai andalan mereka. Ada juga yang pada tahun 2004 percaya bahwa partainya sangat progresif karena baru lahir dan menjanjikan perubahan menuju masyarakat madani. Tetapi, ujung-ujungnya malah pro UU Pornografi dan ikut mengegolkannya di DPR. Nah, grup yang ini bukan hanya menjadi sekadar "malas" memilih kembali, tetapi juga antipati habis-habisan. Pembahasan beralih ke potensi partai-partai yang baru muncul, terutama yang rajin beriklan kampanye di televisi ataupun radio-radio. Kritik pedas kembali muncul karena tokoh-tokoh partainya dianggap sebagai gembong pelanggaran HAM yang pernah terjadi di negara tercinta ini. "Kok enggak malu ya?" "Apa dia pikir warga negara Indonesia ini pada menderita amnesia semua?" Pertanyaan yang lumrah seperti itu pun muncul. Memang pelanggaran HAM yang telah dilakukan itu juga belum terbukti. Bahkan kebanyakan belum diadili. Tetapi, korban-korbannya sering bersentuhan dalam kehidupan sehari-hari peserta diskusi dadakan

Page 6: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

ini, baik orangtua dari para mahasiswa yang menjadi korban maupun keluarga lainnya. Pembicaraan diakhiri karena kami harus kembali bekerja. Masing-masing dari mereka pasti akan terus mengerjakan pekerjaan rumah, mencari dan terus menyelidiki siapa yang bisa dipercaya untuk mewakili suara-suara mereka yang prodemokrasi dan menghormati HAM, termasuk perempuan dan anak-anak yang juga manusia. Tetapi, kalau sampai tidak menemukannya juga dan sudah batas waktu harus ke TPS dan mencoblos. bisa-bisa mereka menjadi golput. Pembicaraan serupa pun saya alami lagi ketika berkumpul dengan teman-teman perempuan dari zaman masa SMA dan kuliah. Kepedulian yang sama dan kritik yang sama juga muncul. Potensi pemilih kritis untuk menjadi golput sangatlah besar. Amat disayangkan karena biaya Pemilu 2009 jauh lebih besar dari Pemilu 2004. Pada saat krisis ekonomi ini dana sebesar lebih dari Rp 47 triliun dibutuhkan untuk sebuah "pesta" demokrasi yang ternyata belum bisa meyakinkan pemilih-pemilih kritis untuk berpartisipasi. Kegiatan berdemokrasi itu penting. Namun, menjadi golput pun bisa dibilang bagian dari berdemokrasi: demokrasi tanpa pesta.

Demokratisasi Versus Subkultur dan Golput *Fokus

KOMPAS - Sabtu, 08 May 2004   Halaman: 37   Penulis: Muhtadi, Dedi   Ukuran: 14814

DEMOKRATISASI VERSUS SUBKULTUR DAN GOLPUT

Pengantar Redaksi HARIAN "Kompas" pada tanggal 28 April 2004 di Jakarta menyelenggarakan diskusi terbatas tentang "Problem dan Prospek Demokratisasi" dengan narasumber berturut-turut Moeslim Abdurrahman, Komaruddin Hidayat, Iwan Gardono Sujatmiko, dan Purwo Santoso. Hasil diskusi tersebut dimuat pada rubrik Fokus (halaman 37, 38, 39, 40, dan 42), ditambah tulisan berjudul "Politik Aliran Masih Dominan" (41), tulisan Sulastomo (43) serta tulisan berjudul "Harga Sebuah Demokrasi" dan Jajak Pendapat (44).

SECARA parsial, proses pemilihan umum legislatif 5 April 2004 lalu relatif tenang dan aman. Tidak terjadi letupan kekerasan dan kekacauan dalam skala seperti yang dikhawatirkan sebelumnya. Namun, ironisnya yang terjadi justru ketegangan di kalangan elite. Sebagian elite dan partai politik menuntut pemilihan ulang. Malah Aliansi Nasional untuk Pemerintahan Bersih belum bersedia menandatangani hasil pemilu legislatif 2004 yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum, Rabu (5/5) lalu. FAKTA ini memperlihatkan terjadinya kesenjangan antara persepsi elite dan masyarakat. Padahal, manuver dan akrobat politik kaum elite yang umumnya tidak siap kalah merupakan isyarat buruk bagi pematangan proses demokratisasi. Manuver elite berlangsung hingga pencarian wakil presiden yang memburu tokoh-tokoh yang memiliki basis massa besar. Pada proses "perburuan" tokoh itu terlihat kepentingan rakyat tidak diutamakan. Proses politik dan proses sosial berjalan di relnya masing-masing, tidak ada keterpaduan. Manuver elite sama sekali tidak terkait dengan persoalan

Page 7: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

pengangguran atau kemiskinan yang melanda republik ini. Elite politik cenderung membangun kekuasaan yang semakin mengakar, sementara rakyat jelata saling bersaing mengais sejumput rezeki. Massa akar rumput kemudian menjadi lahan subur bagi perolehan suara para penguasa pada pemilihan umum (pemilu) ini. Gambar buram ini mudah dibaca, setelah terpilih, habis manis sepah dibuang. Dalam demokrasi ada variabel-variabel seperti undang-undang (UU) politik, kultur politik, partai politik (parpol), kemudian aktor-aktor politik semuanya saling berkaitan. Agak menggembirakan karena dari segi UU politik ada suatu kemajuan yang sangat signifikan dengan pemilihan langsung oleh rakyat yang diharapkan bisa memengaruhi perilaku politisi itu sendiri. Idealnya UU dapat memengaruhi perubahan pada kultur dan juga memengaruhi perilaku pada aktor-aktor politik. Akan lebih efektif memang kalau semua itu dibangun atas kesadaran bersama. Tetapi, kalau aktor-aktor politiknya masih berpijak pada kerangka pikiran lama maka menjadi kurang mendukung spirit dari perubahan UU ke arah demokrasi itu. Dalam konteks tersebut pemilu menjadi sangat penting sekali karena pemilu sebagai sebuah perwujudan dari partisipasi, delegasi, dan aspirasi rakyat. Hanya pertanyaannya apakah kemudian aktor-aktor politik yang ditampilkan lembaga politik tadi committed dan menangkap atau tidak tren perubahan ini. Kalau momentum ini digunakan, dampaknya akan sangat luar biasa bagi demokratisasi dan perubahan nasib negeri ini. Tetapi, kalau tidak, ibarat kenaraan mau masuk jalan tol, sementara kondisi mobil tidak mendukung. Misalnya rem tidak berfungsi baik, bannya gundul, dan sopirnya mengantuk. Maka, mobil itu akan tergelincir pada saat harus melakukan kecepatan tinggi di jalan itu. Dalam pemilu itu sebenarnya ada tiga tahapan penting. Pertama rakyat mengamati, memilih, serta mengontrol dan menagih. Namun, yang menjadi persoalan bangsa ini terletak pada mengontrol dan menagih, sebab berkaitan dengan kesiapan masyarakat itu sendiri. Sementara parpol-parpol yang ada dan yang lama sudah kehilangan atau berkurang kredibilitasnya sehingga tidak bisa melakukan pengontrolan secara efektif. Memang banyak orang-orang yang baru di parpol-parpol yang besar itu, tetapi karakteristiknya masih di bawah bayang-bayang senior mereka. Tenaga-tenaga yang baru itu penuh dengan semangat baru, tetapi mungkin mereka sulit berkembang. Sementara itu parpol-parpol baru sebagian tidak punya kader-kader yang baik sebab kader-kader yang baik kemudian tidak lolos. Lagi-lagi aset intelektual dan aset sosial ini tidak sempat tampil memperkuat sebuah proses demokrasi dalam konteks variabel-variabel demokrasi seperti lembaga politik dan sebagainya. Lepas dari semua itu dalam konteks pemilu legislatif 2004 ada tiga hal yang menggembirakan. Pertama bahwa ideologi atau paradigma nation state sampai sekarang tidak berubah. Ini merupakan suatu hal yang sangat berharga sebagai aset bersejarah. Walaupun kelihatannya tidak populer, tetapi betapa pun ini menjadi aset politik dan kapital yang luar biasa. Kedua, terjadinya perubahan UUD yang mulus tanpa berdarah-darah. Ini suatu prestasi yang luar biasa karena di beberapa negara perubahan UUD itu sangat heboh dan tidak jarang berdarah-darah. Ketiga, beberapa partai politik ikut memperkuat paradigma nation state ini dengan semakin membuka diri. Misalnya, Partai Amanat

Page 8: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). ***

DI setiap masyarakat selalu terdapat perbedaan antara elite (ruling dan non-ruling) dengan kelompok lain. Misalnya lapisan menengah dan lapisan bawah. Dalam bidang politik perbedaan yang dapat diketahui adalah pemahaman tentang demokrasi yang diukur oleh Democratic Knowledge Index (The Asia Foundation. Democracy in Indonesia: A survey of the Indonesia Electorate in 2003: 113-118) di 32 dari 33 provinsi dengan 1.056 responden. Dalam survei (tujuh item) terlihat bahwa 67 persen responden (dan populasi) dikategorikan "rendah", sementara yang "sedang" adalah 17 persen dan "tinggi" 16 persen. Namun, responden tanpa pendidikan dasar (SD) yang masuk kategori "rendah" adalah 87 persen dan yang berpenghasilan rendah (low income) adalah 78 persen. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan bawah mempunyai pemahaman demokrasi yang rendah. Dalam partisipasi politik (mencoblos dalam pemilu) terdapat perbedaan di mana 62 persen yang berpendidikan sekolah menengah berpendapat bahwa suara mereka dapat berpengaruh. Sementara itu, persentase dan kelompok berpendidikan sekolah dasar hanya 44 persen dan mereka yang tidak menamatkan sekolah dasar hanya 29 persen. Perbandingan antara elite dan masyarakat (massa) dapat dianalogikan sebagai pemain (elite) dan penonton (massa). Dalam kenyataannya elite mempunyai akses resources yang besar dan nyata (jabatan: power; insentif materi: wealth dan status/prestis: status). Mereka dapat dikatakan sebagai "aktor sistemik" atau aktor "besar", yakni orang-orang yang dapat mengubah sistem dengan kebijakan (UUD/UU), sementara massa hanya merupakan aktor "kecil". Implikasi dari perbedaan ini menunjukkan bahwa elite akan lebih aktif untuk mempertahankan (bahkan memperbesar) resources yang sering kali tidak memerhatikan massa atau pemilih/konstituen yang meminjamkan mandat melalui pemilu dan berhak memperoleh laporan akuntabilitas pada akhir jabatan atau setiap tahun (LPJ). Dalam sistem di mana akuntabilitas politik adalah rendah, pemain akan terbebas dari penonton. Seharusnya sistem diperbaiki sehingga penonton yang juga "pemilik" (pemegang saham demokrasi atau kedaulatan rakyat) dapat lebih mengontrol para wakilnya. Kesenjangan pada tingkat perilaku atau pemenuhan aspirasi ini terjadi karena lemahnya sistem partisipasi, kompetisi, dan akuntabilitas yang dekat dengan pemilih. Dalam sistem partisipasi masih dibatasi kemungkinan pemilih untuk memilih wakilnya pada tingkat lokal, baik parpol lokal maupun figur lokal (nonpartai) sebagai peserta pemilu (seperti Pemilu 1955). Dalam kompetisi, ternyata sistem kampanye masih lemah, masih bersifat tradisional, hanya menjual simbol dan figur (dalam pawai) walaupun dikemas dengan peralatan modern (TV, internet, ilmu komunikasi massa/PR, marketing, political polling). Kampanye lebih mirip panggung seni. Padahal, perlu kompetisi dengan program yang jelas tentang otobiografi calon (dalam kegiatan politik atau sosial), program calon dan parpol masa depan atau pertanggungjawaban masa lalu jika ia telah menjadi wakil rakyat (seperti prospektus di pasar modal). Dalam akuntabilitas perlu diadakan pemantauan rutin oleh publik (media, kampus, NGO) dan laporan wakil rakyat (LPJ). Para wakil

Page 9: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

rakyat diminta melakukan kontak dan komunikasi guna menjalankan aspirasi warga di konstituennya. Selain itu perlu pula aturan bagi warga di konstituen untuk dapat meng-impeach para wakil mereka dan hal ini bukan diserahkan pada parpol. Singkatnya, demokrasi yang ada masih bersifat pemilu (electoral democracy) yang perlu berubah ke representative democracy (wakil lebih responsif dan aspiratif) dan participaptory democracy (warga lebih aktif). Memperkecil jarak (gap) fisik antara wakil rakyat dan warga akan pula memperkecil perilaku menyimpang para wakil rakyat menjadi lebih responsif dengan warga di konstituennya. Tanpa kontrol, terjadilah seperti yang dikemukakan oleh Lord Acton: "Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely." Dilihat dari Indikator Freedom House, Indonesia pascareformasi memang mengalami perbaikan dari negara yang "semi otoriter" ke "semi demokrasi". Namun, indikator ini hanya mengukur aspek partisipasi dan kompetisi dan tidak sensitif pada aspek akuntabilitas. Dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, tingkat demokrasi Indonesia (aspek partisipasi dan kompetisi) lebih baik, tetapi masih di bawah Thailand dan Filipina. Namun, Singapura dan Malaysia mempunyai aspek akuntabilitas yang lebih tinggi dengan berlakunya sistem distrik, di mana setiap wakil dipaksa untuk responsif. Sementara di Indonesia aspek akuntabilitas masih rendah alias perlu ditingkatkan. ***

PEROLEHAN hasil pemilu lalu menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada pemenang dalam pemilu. Perolehan suara tertinggi Partai Golkar ternyata turun, begitu juga Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Yang menang atau bertahan adalah PKB. Partai berbasis masa kau nahdliyin ini naik sedikit dari Pemilu 1999. Suara Partai Golkar turun 3-4 persen, 2 persen mungkin diambil Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Menurut seorang panelis, turunnya perolehan suara PDI-P diperkirakan karena mengkristalnya subkultur. Mengapa PKB juga menang? Karena dari semua subkultur yang bertahan itu adalah subkultur pesantren. "Apa yang diperoleh PDI-P sekarang dengan turun 16 persen itu memang riil merupakan subkultur abanganisme yang bertahan, sementara yang "kos-kosan" itu pada keluar," ujar panelis ini. Kalau sinyalemen mengkristalnya subkultur itu benar, kenapa, misalnya, PKS bisa mengalahkan PAN? Sebab, PKS lebih konsisten, terutama dinilai oleh anak-anak muda kampus. Partai ini dinilai mampu memperjuangkan Islam yang lebih Islam dibandingkan dengan Amien Rais yang sudah pergi ke kuburan Bung Karno atau nanggap wayang. Jadi, perolehan suara PKS naik bukan karena berbicara Syariat Islam. Namun, perilaku kadernya lebih simpatik di mata rakyat karena kerap berkunjung kalau ada banjir atau pada saat rakyat terkena musibah. Dengan demikian, PKS lebih populis. Semangat ini dulu pernah dikembangkan PDI-P. Tetapi, wong cilik yang dulu diayominya sekarang kecewa lalu beralih ke PKS. Situasi itu dapat dilihat dari perolehan suara partai ini di Jakarta yang dulu dikuasai PDI-P. Hidayat Nur Wahid menggoreng ikan bersama rakyat yang sedang menderita. Di kalangan Islam modern ini PKS dianggap lebih memperjuangkan Islam dibandingkan dengan yang lain. Karena itu, PKS menang tidak saja karena PAN turun, tetapi juga Partai Persatuan Pembangunan

Page 10: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

(PPP). Kemudian PKS diuntungkan oleh pemilih pemula, yaitu aktivis mahasiswa dari kampus-kampus. Contoh gampangnya begini, Lamongan dulunya merupakan basis Muhammadiyah sekaligus basis PAN. Tetapi, anak-anak muda dari daerah itu banyak yang sekolah di Yogyakarta, misalnya. Ketika mereka pulang, mereka memilih PKS, sementara yang tua-tua kembali ke Partai Golkar. "Daripada partai lain tidak jelas, memperjuangkan Islam tidak, memperjuangkan lokal juga tidak. Hal lain, kultur patronit PAN misalnya, tidak sekuat Golkar," ujar panelis. Para pemilih yang kembali ke Partai Golkar karena kekuatan subkultur juga masih kuat. Jadi, partai-partai tersebut lebih merupakan kepanjangan subkultur jika dibandingkan dengan isu kampanye di Amerika Serikat, seperti John Kerry dan Bush yang berlomba meyakinkan para pemilik suara mengenai lapangan kerja, perlindungan kesehatan, dan lain-lain. Semua hal yang rasional itu tidak ada di sini. Di PKB, misalnya, semula orang mengira bahwa suara PKB akan turun karena ulah Gus Dur. Tetapi, ternyata mereka solid. Jadi, sebenarnya yang menjaga NU bukan hanya Gus Dur, tetapi subkultur itu. Hasil pemilu lalu juga mencerminkan bahwa sebenarnya konstelasi parpol itu makin terpecah. Yang menarik adalah fenomena PKS, Partai Demokrat, dan Partai Damai Sejahtera (PDS). Ini pengalaman pertama PKS di gelanggang politik sesungguhnya. Dan orang seperti Hidayat Nur Wahid, sebagai politisi pemula, menganggap semua orang seperti dia. Tetapi, ternyata dia diajak koalisi sana koalisi sini sehingga menjadi sama sibuknya seperti yang lain, melakukan "silaturahmi" yang nyaris tidak ada ujungnya. Selain itu ada hal yang menarik dalam pemilu ini, yakni ada sekitar 34,5 juta orang yang tidak ikut pemilu. Itu artinya mereka tidak tergambar dalam perolehan suara pemilu legislatif. Apakah itu sikap politik yang apatis, golongan putih (golput), atau mereka menunggu adanya calon presiden-wakil presiden yang diharapkan mampu membawa perubahan di negeri ini. Yang jelas, 34,5 juta itu melebihi suara Partai Golkar dan PDI-P serta melebihi kekuatan apa pun yang kita tidak tahu persis bagaimana membacanya. Dalam pemilihan presiden nanti belum diketahui apakah 34,5 juta pemilih tersebut akan berpartisipasi. Yang jelas, 23-24 persen suara pemilih itu merupakan jumlah yang banyak dan lebih besar dari semua indikasi atau wacana demokrasi yang muncul di permukaan politik Republik ini. (Dedi Muhtadi)

Image: Tabel Perolehan Suara dan Kursi DPR 10 Besar Parpol Peserta Pemilu 1999 dan 2004

Foto: Kompas/Amir Sodikin

Pemilihan Umum Anggota Legislatif 5 April 2004 di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.

Golput Menang Pemilu karena Rakyat Putus Asa

KOMPAS - Jumat, 07 May 2004   Halaman: 6   Penulis: dik;inu   Ukuran: 3759

Page 11: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

GOLPUT MENANG PEMILU KARENA RAKYAT PUTUS ASA

Jakarta, Kompas Tingginya angka golongan putih atau golput karena rakyat tidak menggunakan hak pilihnya atau suaranya tidak sah, merupakan bukti bahwa banyak yang merasa pemilu 5 April lalu tidak memberi harapan perubahan. Angka golput mencapai 23,34 persen atau 34,5 juta rakyat, jauh di atas perolehan suara Partai Golkar yang memenangkan pemilu cuma dengan 24,48 juta suara. Dari 34,5 juta orang yang golput, 23,5 di antaranya tidak datang ke tempat pemungutan suara. "Tingginya angka golput menunjukkan makin banyak rakyat yang tidak melihat adanya harapan perubahan yang ditawarkan peserta pemilu," ujar Nurcholish Madjid seusai bertemu calon presiden dari Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Perkumpulan Membangun Kembali Indonesia (PMKI), Kamis (6/5). Pendapat serupa dikemukakan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga Surabaya Hotman M Siahaan. Tingginya golput disebabkan rendahnya political trush (kepercayaan politik) rakyat kepada partai politik peserta pemilu. "Yang terjadi lima tahun terakhir adalah panggung sandiwara politisi yang tidak memberi pencerahan buat rakyat," ujar Hotman. Tingginya angka golput juga disebabkan seluruh partai politik tidak mampu memobilisasi rakyat untuk menggunakan hak pilihnya, dan kesalahan administrasi KPU serta kesalahan pemilih saat mencoblos karena ketidaktahuannya.

Belum berhasil Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Gadjahmada (UGM) Riswandha Imawan, peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indra J Piliang, dan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Gunawan Hidayat secara terpisah menyatakan, Pemilu 2004 belum bisa dinilai lebih baik dibanding pemilu sebelumnya. Rentetan kerumitan teknis justru memperlihatkan penurunan partisipasi pemilih terdaftar untuk menggunakan hak pilihnya serta peningkatan suara yang tidak sah. Statistik menunjukkan tingkat partisipasi pemilih hanya 84,07 persen dari total 148 juta pemilih terdaftar. Sementara suara tidak sah mencapai 8,81 persen dari total 124,42 juta pemilih yang mencoblos. Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2004 ini menurun dibanding delapan kali pemilu sebelumnya ketika tingkat partisipasi selalu di atas 90 persen. Riswandha menyebutkan, ketika jumlah suara tidak sah melampaui electoral threshold, pemilu jelas tidak bisa dikatakan berhasil. Legitimasi pemilu menurun karena justru "pemegang suara tidak sah" ini jauh lebih besar ketimbang perolehan suara mayoritas parpol yang menempatkan wakilnya di DPR. Indra mengakui, statistik Pemilu 2004 jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya memang melonjak pesat. Namun, Indra juga mengingatkan fakta adanya rakyat yang belum terdaftar sampai hari-H pemungutan suara. Indra menekankan, pengalaman Pemilu 2004 mestinya menyadarkan bahwa problem teknis tetap penting dalam proses berdemokrasi. Gunawan mengakui, statistik pemilu memang memperlihatkan kegagalan mengkomunikasikan pemilu kepada pemilih. Sudah selayaknya, KPU selaku penyelenggara pemilu, para peserta pemilu, dan organisasi masyarakat sipil bertanggung jawab atas kondisi itu.

Page 12: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

Namun, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti menyatakan, berhasil-tidaknya pemilu tidak bisa dilihat cuma dari statistik partisipasi. Pemilu 2004 juga harus dinilai berimbang, ketika kampanye bisa berjalan lebih baik, berkurangnya keriuhan kampanye terbuka karena ada upaya mendorong kampanye dialogis. "Ketika pemilu tidak meresahkan orang, itu juga harus dilihat," katanya. (dik/INU)

Kembali ke atas

 

Hasil Pemilu Legislatif 2004: Golput Menang, Target Parpol Melayang *Pemilihan Presiden 2004

KOMPAS - Senin, 10 May 2004   Halaman: 8   Penulis: Sugiya, Aritasius   Ukuran: 10859

Hasil Pemilu Legislatif 2004 GOLPUT MENANG, TARGET PARPOL MELAYANG SEPERTI yang sudah diprediksi oleh kalangan pengamat, Pemilihan Umum 2004 panen golongan putih (golput). Dari jumlah mereka yang tidak memilih, golput bisa dikatakan memenangi pemilu legislatif 2004. Sementara target perolehan suara parpol, yang sebelum pemilu dilaksanakan begitu optimis digembar-gemborkan, ternyata meleset dan tinggal kenangan. Target parpol pun melayang tak terbukti karena ternyata hanya corat-coret di atas kertas

SEBELUM pemilu 5 April 2004, kalangan pimpinan partai politik dilanda kecemasan akan mewabahnya "virus" golput. Bahkan, kekhawatiran meningkatnya "hantu" pemilu juga menimpa pemerintah. Antisipasi pemerintah tersirat dalam Pasal 139 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dalam ayat itu ditulis ancaman terhadap setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah. Atas tindakan seperti itu diancam dengan pidana penjara minimal 2 bulan maksimal 12 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1 juta atau paling banyak Rp 10 juta. Golput secara tersirat diartikan sebagai pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya dan/atau pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilih dengan cara tertentu yang mengakibatkan kertas suara tidak sah. Instrumen hukum sudah dibuat. Namun toh tidak mampu membendung apa yang disebut fenomena golput. Secara alami, golput akan menunjukkan eksistensinya seiring dengan ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik dalam membawa pembaruan politik dan pemerintahan di negeri ini. Pemilu legislatif yang baru saja berakhir menorehkan tinta sejarah bagi perkembangan golput. Dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, angka golput pemilu kali ini meningkat sangat tajam dari 12,3 juta menjadi 34,5 juta jiwa. Jika dilihat dari

Page 13: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

jumlah pemilih terdaftar, maka golput tahun ini 12,9 persen lebih banyak (23,3 persen) daripada golput tahun 1999. Dalam pemilu legislatif 2004, 23,3 persen golput terdiri dari 68,3 persen karena pemilih terdaftar tidak menggunakan hak pilihnya dan sisanya merupakan suara yang tidak sah. Sekali lagi, jika dibandingkan dengan delapan pemilu sebelumnya (1955-1999) pemilu 2004 merupakan pemilu yang mampu menunjukkan keberadaan golput secara signifikan. Bagaimana tidak?! Jumlah golput masih terlalu tangguh jika dibandingkan dengan perolehan suara partai politik. Dibandingkan dengan Partai Golkar sebagai pengumpul suara terbanyak, posisi golput masih 41 persen lebih tinggi. Tingkat golput di luar jawa lebih tinggi daripada di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa terdapat 22,4 persen dan di luar jawa 27, 4 persen. Angka golput tertinggi di luar jawa terdapat di provinsi Kepulauan Riau yang mencapai 36,6 persen. Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi provinsi dengan tingkat golput terendah yaitu 17 persen. Di Pulau Jawa, golput tertinggi di Provinsi DKI Jakarta yang mencapai 26,7 persen, dan terendah di Provinsi Jawa Barat, 20,9 persen. Dilihat dari sisi pengguna hak pilih, Pemilu 2004 menjadi pemilu yang paling rendah (84,7 persen). Angka partisipasi pemilih tertinggi terjadi pada pemilu pertama Orde Baru, yaitu tahun 1971 yang mencapai 96,6 persen. Selain tingkat partisipasi rendah, pemilu kali ini juga mencatatkan sejarah sebagai pemilu dengan suara sah terendah, yaitu 91,2 persen. Sementara persentase suara sah tertinggi terjadi pada Pemilu 1999 yang mencapai 99,6 persen. Dengan melihat parameter tingkat partisipasi pemilih terdaftar, suara sah, dan golput itu, bukan tidak mungkin masyarakat akan menilai, pemilu legislatif ini masih belum sebagus pemilu terdahulu. Selain meningkatkan popularitas golput, pemilu legislatif 2004 ini juga meruntuhkan "keangkuhan" partai politik. Beberapa hari setelah penetapan parpol yang lolos verifikasi sebagai peserta pemilu, parpol saling berlomba untuk memasang target perolehan suara. Dari data yang sempat dihimpun Litbang Kompas, total target suara parpol peserta pemilu 2004 mencapai 263,5 persen. Melihat target yang dipasang tiap parpol seakan tidak ada satu parpol pun yang mau kalah. Sebab, ada kecenderungan parpol akan menyebutkan target suara minimal sama dengan perolehan suara pemilu sebelumnya. Berapa pun target suara parpol yang dicanangkan, melihat dua pengalaman Pemilu 1999 dan 2004, ternyata tak satu parpol pun yang mampu memenuhi target perolehan suara itu. Yang muncul justru suatu kejutan. Golput yang tidak pernah memasang target, memperoleh suara tertinggi, sekaligus memenangkan pemilu 2004. Dari pemilu legislatif 2004, dapat pula dilihat adanya tingkat antusiasme masyarakat, khususnya pemilih terdaftar. Paling tidak hal ini dapat dilihat dari perbandingan antara suara sah caleg, suara sah parpol-yang sudah dibahas di atas-dan suara sah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kalau melihat suara sah parpol kita dapat melihat tingkat golput. Sementara itu, kalau melihat suara sah yang diperoleh caleg dan DPD dapat melihat antusiasme pemilih terhadap caleg dan DPD. *** ANTUSIASME masyarakat terhadap caleg, yang dicerminkan dari pencoblosan nama-nama caleg-di samping gambar parpol-hanya mencapai 47,2 persen. Hal ini dapat menjadi suatu parameter betapa kecilnya pemilih yang memahami atau mengenal para caleg. Di satu sisi dapat dilihat, propaganda yang dilakukan parpol untuk mencoblos gambar

Page 14: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

parpol saja cukup berhasil. Dampak dari minimnya tingkat pemahaman pemilih terhadap caleg, nyaris tidak ada caleg yang mampu menembus bilangan pembagi pemilih (BPP). Sejauh ini hanya dua figur yang mampu menembus bilangan pembagi pemilih. Saleh Djasit dan Hidayat Nur Wahid, masing-masing dari daerah pemilihan Riau dan DKI Jakarta II. Kebetulan dua caleg ini duduk di nomor urut satu dan perolehan suaranya pun mampu menembus BPP. Akibatnya caleg-caleg terpilih lainnya ditentukan berdasarkan urutan nomor di tiap parpol. Antusiasme masyarakat terhadap DPD lebih baik, yaitu mencapai 84,2 persen. Angka ini dapat dilihat sebagai cermin, betapa besarnya harapan masyarakat terhadap pada kandidat DPD untuk menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi daerah di tingkat pusat. Dari 128 calon DPD terpilih, tokoh-tokoh ulama, mantan pejabat, dan aristokrat turut mewarnai peta politik tingkat nasional. Hasil hitung suara DPD mampu menempatkan sebelas orang yang memperoleh dukungan di atas satu juta suara. Sebut saja H Mahmud Ali Zain, seorang tokoh ulama NU dan pengurus sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, ini mengantongi 1.955.025 suara. Kemudian ada Ginandjar Kartasasmita-mantan pejabat Orde Baru-yang mengumpulkan 1.869.767 suara dari Provinsi Jawa Barat. Hj Nafisah Sahal dari Provinsi Jawa Tengah yang dikenal sebagai istri dari KH Sahal Mahfudh, mampu mengumpulkan 1.767.178 suara. Dan PRA Arief Natadiningrat, Putera Mahkota Keraton Kasultanan Kasepuhan Cirebon ini dipilih 1.666.685 pemilih di Jawa Barat. Hal lain lagi yang menarik dari hasil pemilu legislatif 2004 adanya kursi gemuk dan kursi kurus. Kursi gemuk untuk menyebut kursi DPR yang diperoleh berdasarkan jumlah suara yang memenuhi BPP. Kursi kurus untuk menyebut kursi DPR yang diperoleh dari "bagi-bagi" sisa suara. Pemilu kali ini menghasilkan 38,7 persen kursi gemuk dan 61,3 persen kursi kurus. Hasil akhir pemilu legislatif adalah perolehan kursi DPR untuk tiap parpol. Dari 213 kursi yang memenuhi BPP, 89,2 persen di antaranya direbut oleh empat parpol. Partai Golkar yang mendapatkan 128 kursi, 87 di antaranya adalah kursi gemuk. Kemudian PDI Perjuangan 62 dari 109 kursi adalah kursi yang menembus BPP. Dari 52 kursi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), 28 kursi di antaranya kursi utuh. Dan Partai Keadilan Sejahtera yang memperoleh 45 kursi, 13 kursi di antaranya merupakan kursi utuh. Sementara 23 kursi utuh lainnya diperoleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 8 kursi, Partai Demokrat 9 kursi, Partai Amanat Nasional (PAN) 5 kursi, dan Partai Bulan Bintang (PBB) satu kursi. Kursi DPR yang tidak memenuhi BPP sebanyak 337 didistribusikan kepada 17 partai politik. Satu hal menarik adalah adanya partai politik yang mendapatkan kursi DPR pada pembagian tahap kedua jauh lebih besar daripada pembagian tahap pertama. PAN misalnya, dari 52 kursi yang diperoleh, 90,4 persen kursi berasal dari pembagian tahap kedua. Begitu juga dengan PPP, Partai Demokrat, PKS, dan PBB yang mendapatkan kursi dari pembagian tahap kedua di atas 84 persen. Terdapat pula, partai politik yang mendapatkan kursi DPR semuanya dari hasil pembagian tahap kedua. Partai yang dimaksud adalah Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Pelopor, Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan PNI Marhaenisme.

Page 15: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

Perolehan suara parpol tidak linier dengan perolehan kursi. Hal ini disebabkan oleh bobot tiap kursi berbeda di tiap daerah pemilihan. BPP tertinggi terdapat di daerah pemilihan Jawa Barat VIII dengan nilai 259.685 suara untuk tiap kursi. Kursi dengan bobot tinggi sebagian besar berada di Pulau Jawa. Sementara di luar Jawa BPP tertinggi terdapat di daerah pemilihan Sumatera Selatan II dengan 237.318 suara. Dengan demikian, dapat dimaklumi ketika muncul hasil perolehan suara parpol tidak sebanding dengan perolehan kursi. Salah satu contoh yang ekstrem adalah PKB dan PAN. Dari sisi perolehan suara, PKB mencapai 10,6 persen, sementara PAN hanya 6,4 persen. Kedua parpol ini memiliki selisih 4.686.240 suara. Namun demikian, dalam hal perolehan kursi kedua parpol ini sama, yaitu masing-masing 52 kursi. Dari 52 kursi tersebut, 28 kursi PAN diperoleh di Pulau Jawa dan 24 kursi dari luar jawa. Sementara 47 kursi PKB diperoleh di Pulau Jawa, dan hanya 5 kursi yang diperoleh di luar Jawa. Memang, kalau dilihat dari beberapa aspek seperti penduduk, pemilih, dan kursi, distribusinya lebih banyak di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa jumlah penduduk mencapai 59,31 persen, pemilih 60,96 persen, dan kursi 55,09 persen. Selain perolehan suara, tingkat sebaran suara juga akan mempengaruhi perolehan kursi DPR.(ARITASIUS SUGIYA/Litbang Kompas)

Image: Tabel: Potret Hasil Pemilu Legislatif 2004

Pemilih Golput, Tidak Jelas, atau Egepe?

KOMPAS - Jumat, 16 Jul 2004   Halaman: 8   Penulis: Indriastuti, Dewi; Nugroho, Wisnu   Ukuran: 10374

PEMILIH GOLPUT, TIDAK JELAS, ATAU EGEPE?

SOSIALISASI sudah dilaksanakan habis-habisan. Lewat iklan televisi, media cetak, radio, bahkan menggandeng organisasi massa. Beragam bentuk sudah dikerjakan, yang diarahkan kepada pemilih usia dewasa maupun pemilih pemula. Apa daya, pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilihnya ternyata tidak sebanyak yang diharapkan.

BEGITU kira-kira gambaran upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk meningkatkan voter turn-out atau pemilih yang menggunakan hak pilihnya pada pemilu presiden dan wakil presiden putaran pertama, 5 Juli lalu. Berpijak pada data pemilu legislatif yang secara nasional hanya mencatat angka voter turn out sebesar 84 persen, maka KPU ingin angka itu meningkat. Bahkan, seperti diakui Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti, dalam sejumlah kesempatan rapat kerja teknis bersama KPU daerah sebelum pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden, ia menyampaikan keinginan KPU untuk meningkatkan voter turn out menjadi 90 persen. Dengan voter turn out 90 persen, maka secara nasional rata-rata hanya 10 persen pemilih yang sudah tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak menggunakan hak pilihnya. Mengacu pada Surat Keputusan KPU Nomor 39 Tahun 2004 tentang jumlah pemilih dan jumlah

Page 16: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

tempat pemungutan suara (TPS) dalam pemilu presiden dan wakil presiden 2004, jumlah pemilih sebanyak 155.048.803 jiwa. Mereka tersebar di 574.945 TPS yang berada di wilayah 5.109 Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan 71.057 Panitia Pemungutan Suara (PPS). Dengan asumsi voter turn out sebesar 90 persen, maka secara nasional akan terdapat sekitar 15,504 juta pemilih yang tidak menggunakan hak pilih mereka. KENYATAANNYA yang terjadi di lapangan pada 5 Juli benar-benar di luar dugaan. Bahkan, cenderung memprihatinkan KPU sendiri. Ramlan Surbakti menyampaikan, dari hasil kunjungannya ke Sumatera Utara awal pekan ini, muncul kecenderungan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya lebih tinggi daripada pemilu legislatif, yakni 20-30 persen. Diperkirakan, angka 20-30 persen ini muncul secara merata di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Dengan demikian, maka voter turn out hanya berkisar pada angka 70-80 persen, atau lebih rendah daripada pemilu legislatif lalu. Atau, sekitar 31 juta jiwa hingga 46,5 juta jiwa yang tercantum dalam DPT tidak menggunakan hak pilih, dari sekitar 155 juta pemilih. "Ini memprihatinkan," tegas Ramlan di Jakarta, Rabu (14/7). Sebagaimana dihimpun dari data berbagai daerah, tingginya jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih tersebut disebabkan berbagai hal. Penyebab yang cukup signifikan antara lain bertepatan dengan masa libur sekolah, masih banyaknya jumlah ghost voter (pemilih yang tidak jelas identitas dan keberadaannya) yang belum "dibersihkan" dari daftar pemilih, serta ketidakpedulian masyarakat terhadap keberlangsungan pemilu. "Bahasa sekarang, egepe atau emang gua pikirin! Kalau pada pemilu legislatif, para pemilih merasa berhubungan langsung dengan calon anggota legislatif, misalnya yang dikenal secara langsung. Tapi, kalau pemilu presiden, mereka kan tidak merasa kenal langsung, atau merasa siapa pun presidennya tidak akan berpengaruh pada mereka," papar Ramlan. Selain itu, faktor lokal ikut memengaruhi ketidakhadiran pemilih di tempat pemungutan suara pada 5 Juli lalu. Misalnya, tingginya mobilitas masyarakat terutama di kota-kota besar dan cuaca buruk pada hari pemungutan suara yang membuat pemilih enggan keluar rumah. Ramlan menegaskan, tidak semua dari 20-30 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya itu merupakan sekelompok masyarakat yang memilih bersikap golongan putih (golput). Atau, masyarakat yang tidak memilih tidak dapat diidentikkan sebagai golput. Pasalnya, kondisi itu akan berbeda jika pada hari pemungutan suara tidak bersamaan dengan liburan sekolah. Kendati demikian, Ramlan tidak menampik bahwa memang ada golput dalam jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih tersebut. "Harus kita ingat, golput adalah mereka yang sadar secara politik untuk tidak memilih atau tidak menggunakan hak pilih," tandas Ramlan. Mobilitas masyarakat yang cukup tinggi di daerah perkotaan, menjadi salah satu kambing hitam rendahnya voter turn out pada pemilu presiden dan wakil presiden. Dari catatan KPU Provinsi DKI Jakarta yang diungkapkan oleh anggotanya, Juri Ardiantoro, lebih dari satu juta pemilih di DKI Jakarta tidak menggunakan hak pilih mereka. Padahal, berdasarkan SK KPU Nomor 39 Tahun 2004, jumlah pemilih di DKI Jakarta sebanyak 6,984 juta jiwa yang tersebar di 24.035 TPS. Juri memperkirakan, besarnya jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih antara lain dipicu oleh tingginya mobilitas

Page 17: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

penduduk di DKI Jakarta. Selain berkedudukan sebagai ibu kota negara, Jakarta sebagai kota besar menjadi tujuan golongan migran untuk mencari nafkah. Pergerakan kelas pekerja ini cukup tinggi, sehingga anggota masyarakat yang sebelumnya terdaftar di satu wilayah, ternyata beberapa waktu kemudian sudah pindah alamat, bahkan pindah ke kota lain. "Jadi, dari mereka yang tidak menggunakan hak pilih itu, tidak semuanya bertendensi politik," tegas Juri. Sementara itu, Kota Batam yang jaraknya relatif dekat dengan negara tetangga, Malaysia dan Singapura, juga memiliki karakteristik serupa DKI Jakarta dalam pergerakan penduduk. Dedi Koswara, Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Nongsa, Kota Batam, mengatakan, perpindahan penduduk di wilayahnya cukup tinggi. Bahkan, perpindahan itu tidak diikuti dengan laporan kepada petugas di daerah terkait, sehingga tidak dapat diketahui secara pasti. Data Kecamatan Nongsa, Kota Batam, menunjukkan, jumlah pemilih dalam DPT sebanyak 72.647 jiwa. Dari hasil penghitungan suara pemilu presiden dan wakil presiden putaran pertama, jumlah suara sah sebanyak 42.254, sedangkan suara tidak sah sebanyak 436. Dengan data ini, Dedi memperkirakan, voter turn out di wilayahnya sebesar 60 persen. Kondisi ini tidak berbeda jauh dengan pemilu legislatif lalu. Dedi memaparkan, dari 67.000 pemilih yang terdaftar dalam DPT pemilu legislatif di Kecamatan Nongsa, hanya sekitar 38.000-39.000 pemilih yang menggunakan hak pilih. Bahkan, kartu pemilih yang dibuat berdasarkan data penduduk yang tercakup dalam DPT masih tersisa 11.000-12.000 kartu. Kartu-kartu tak bertuan itu akhirnya dibakar bersama kartu tak bertuan lainnya di seluruh Kota Batam. Menurut Ketua KPU Kota Batam Hardi S Hood dan anggota KPU Arifin, sampai saat ini pun mereka tidak dapat memastikan, berapa sebenarnya jumlah pemilih di Kota Batam. Dari hasil pendataan pemilih menjelang pemilu presiden dan wakil presiden, Kota Batam mencatat tambahan pemilih sebanyak 105.815 jiwa. Dengan demikian, jumlah pemilih menjadi 544.384 jiwa. "Ini yang dilaporkan ke nasional, yang kemudian ditetapkan dalam SK KPU Nomor 39 Tahun 2004," tutur Hardi. Namun, KPU Kota Batam yang terus melakukan penyisiran dan perbaikan daftar pemilih menemukan bahwa pada hari ketiga menjelang 5 Juli 2004, jumlah pemilih turun lagi menjadi 453.371 jiwa. Padahal, dari hasil penghitungan suara diketahui terdapat 281.851 suara sah dan 3.062 suara tidak sah. Dengan kata lain, hanya 284.913 pemilih yang menggunakan hak pilih pada pemilu presiden dan wakil presiden putaran pertama. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan pemilu legislatif, yakni hanya sekitar 305.000 orang yang menggunakan hak pilih dari 438.569 pemilih yang terdaftar atau 69,54 persen. Kartu pemilih tak bertuan yang dibakar ketika itu mencapai 83.000 lembar! FENOMENA golput tak bisa dilepaskan dari konflik di antara elite politik. Pengasuh Pondok Pesantren Soko Tunggal KH Nuril Arifin, misalnya, mengatakan jika Ketua Umum Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdurrahman Wahid melakukan rekonsiliasi dengan KH Hasyim Muzadi dapat meminimalisir golput. Suara akan golput pun disuarakan dari para pendukung capres yang gagal melaju pada putaran kedua. Anggota tim sukses capres juga mencemaskan fenomena golput.

Page 18: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

Anggota Tim Sukses SBY-JK, Nehemia Lawalata mengungkapkan, salah satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah meningkatnya jumlah rakyat yang memilih menjadi golongan putih (golput) dalam pemilu presiden dan wakil presiden putaran kedua. "Dengan tidak lolosnya tiga kandidat ke putaran kedua, jumlah golput pasti akan terus meningkat. Ini mengkhawatirkan karena akan terkonsolidasi dan menjadi kekuatan ekstraparlementer yang dapat menimbulkan instabilitas pemerintahan. Perlu diingat, kita tidak sama dengan Amerika Serikat yang sangat individualistis," ujarnya. Karena itu, Lawalata memandang perlu calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung di putaran kedua tidak melupakan tugas untuk mengajak pemilih menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. "Mereka yang memilih menjadi golput umumnya memiliki alasan ideal dan rasional. Kandidat yang akan maju ke putaran kedua harus mampu meyakinkan mereka yang akan memilih golput," paparnya. Menurut dia, persentase golput masih dapat diterima dan tidak merisaukan jika masih di bawah 15 persen. Namun, jika jumlah golput mencapai 30 persen atau lebih akan menjadi kekuatan yang melegitimasi pembangkangan rakyat kepada pemerintah. Bentuk pembangkangan itu dapat terjadi mulai dari tidak mau berpartisipasi dalam progam pemerintah, tidak mau membayar pajak, atau memberi kontribusi lain kepada negara. "Konsolidasi golput akan menimbulkan shadow force dan shadow power yang membahayakan pemerintahan," ujarnya. (Kompas 15/7) Menghadapi pemilu presiden dan wakil presiden putaran kedua, Ramlan Surbakti menegaskan, harus dilakukan semacam kampanye untuk memberi pendidikan kepada pemilih. Kampanye tersebut mestinya dapat memberi gambaran, bahwa presiden terpilih akan sangat menentukan kehidupan dan nasib pemilih mendatang. "Sosialisasi tidak bisa dilakukan oleh KPU sendiri. Butuh bantuan dari tim kampanye pasangan calon, ormas, dan lembaga swadaya masyarakat," katanya. (dewi indriastuti/ wisnu nugroho)

Image GrafikTingkat Partisipasi Dalam Pemilu Tahun 1955-2004

CATATAN TERSISA DARI REKAPITULASI

Setelah bersidang tiga hari membahas rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilihan umum presiden-wakil presiden, akhirnya Komisi Pemilihan Umum bisa memenuhi jadwalnya sendiri untuk menetapkan hasil pemilu secara nasional pada 26 Juli 2004. Pancaran kelegaan tersimak jelas dari para anggota KPU dan juga perwakilan KPU provinsi. Dari total suara sah sebanyak 118.656.868 suara, pasangan calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono-M Jusuf Kalla serta pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi menempati peringkat pertama dan kedua. Karena ketentuan perolehan suara mayoritas- yaitu mampu meraih suara lebih dari 50 persen suara dengan sedikitnya 20 persen di setiap provinsi dan tersebar lebih dari setengah jumlah provinsi-tidak terpenuhi, kedua pasangan ini masih akan berkompetisi pada pemilihan umum (pemilu) putaran kedua pada 20 September 2004. Pasangan Yudhoyono-Kalla memimpin di urutan pertama dengan perolehan suara sebanyak 39.838.184 atau 33,57 persen dari total suara sah nasional. Pasangan ini unggul di 18 provinsi ditambah suara pemilih di luar negeri. Pada urutan kedua, Megawati-Hasyim dengan

Page 19: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

keunggulan di enam provinsi memperoleh 31.569.104 suara atau 26,61 persen. Pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid memperoleh 26.286.788 suara atau setara dengan 22,15 persen suara sah secara nasional. Pasangan yang diajukan Partai Golkar ini memimpin perolehan suara di enam provinsi. Berikutnya adalah pasangan Amien Rais-Siswono Yudo Husodo yang memperoleh suara sebanyak 17.392.931 suara atau 14,66 persen. Pasangan dari Partai Amanat Nasional ini unggul di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Barat. Terakhir, pasangan Hamzah Haz- Agum Gumelar memperoleh suara sebanyak 3.569.861 atau 3,01 persen suara sah. Dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilu presiden tersebut, tidak terbubuh tanda tangan saksi dari pasangan calon presiden M Amien Rais-Siswono Yudo Husodo. Saksi dari empat pasangan calon lain bersedia menandatangani berita acara tersebut meskipun ada yang menyertainya dengan catatan keberatan. Yang juga perlu dicermati adalah adanya catatan pernyataan keberatan dari saksi pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid. Saksi dari pasangan yang diajukan Partai Golkar ini menuliskan, "Untuk sementara waktu kami dapat menerima dengan berbagai catatan atas hasil rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2004 yang dilakukan KPU sambil menunggu Keputusan MA tentang uji materiil atas SE KPU Nomor 1151/15/ VII/2004 dan hal-hal lain yang kami akan ajukan kepada Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundangan yang berlaku." Pada intinya, mereka meminta jaminan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai konsistensi penetapan surat suara sah dan tidak akibat surat edaran saat pencoblosan sedang berlangsung-bahkan di beberapa tempat di kawasan timur Indonesia, proses penghitungan suara sudah selesai. Surat edaran KPU yang mengakomodasi surat suara yang dicoblos tembus ke halaman judul itu dinilai berlaku tidak konsisten secara menyeluruh. Karenanya, mereka akan mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Pihak KPU sebelumnya sudah menyatakan, keluarnya edaran tersebut semata-mata untuk menyelamatkan suara rakyat. *** SISI lain yang bisa dilihat dari perolehan suara kelima pasangan calon presiden adalah kerapuhan kinerja mesin politik dalam mendulang suara untuk pasangan calon presiden yang diajukannya. Terbukti kemudian hanya pasangan calon yang bisa menarik pemilih yang lebih banyak ketimbang perolehan suara partai politik pendukungnya saja yang bisa memuncaki perolehan suara (lihat tabel). Pasangan Wiranto-Salahuddin yang diajukan Partai Golkar dan juga didukung Partai Kebangkitan Bangsa tidak sanggup menjaga suara pemilih pada pemilu legislatif lalu. Demikian pula pasangan Hamzah Haz-Agum yang diajukan Partai Persatuan Pembangunan. Pada pemilu legislatif, PPP masih sanggup meraih 9,248 juta suara. Namun justru saat pemilu presiden, Hamzah-Agum justru hanya memperoleh 3,569 juta suara. Kasus itu berkebalikan drastis dengan yang terjadi pada pasangan Yudhoyono-Kalla yang didukung Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Total perolehan ketiga parpol itu pada pemilu legislatif lalu hanya 12,849 juta suara. Namun, pasangan Yudhoyono-Kalla justru melejit dengan perolehan suara sebanyak 39,838 juta suara. Hal lain yang selalu menarik untuk "diributkan" adalah soal "golongan putih". Jika "golput" diterjemahkan sebagai pemilih

Page 20: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

terdaftar yang tidak memberikan suaranya ditambah dengan suara yang tidak sah, jumlah totalnya signifikan-bahkan ketika dibandingkan dengan perolehan suara pasangan calon presiden. Dari jumlah pemilih terdaftar pada pemilu presiden putaran pertama yang mencapai 155,048 juta orang, tercatat ada pemilih yang tidak menggunakan haknya sebanyak 33.754.959 orang atau 21,77 persen dari total pemilih terdaftar. Sementara, tercatat suara tidak sah sebanyak 2.636.976. Namun, pihak KPU menepis terminologi "golput" sebagai pemilih yang tidak menggunakan haknya ditambah suara yang tidak sah. Bahkan, satu dalih yang kerap dimunculkan, tingkat partisipasi pemilih di Indonesia tergolong cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara demokrasi maju lainnya. Namun anggota KPU Anas Urbaningrum yang merupakan Wakil Ketua Kelompok Kerja Sosialisasi sependapat jika perlu strategi khusus menjelang pemilu putaran kedua nanti. Psikologi mengambil peran dalam "babak final" bisa jadi menjadi penarik pemilih untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Apa pun juga, jika dibandingkan dengan sejarah pemilu di Indonesia sebelumnya, tingkat partisipasi pemilih terdaftar (registered voters turnout) pada pemilu presiden putaran pertama lalu tergolong paling rendah. Bahkan jika dibandingkan dengan pemilu legislatif lalu sekalipun-yang tingkat partisipasi pemilihnya masih 84,07 persen-justru tingkat partisipasi pada pemilu presiden putaran pertama itu lebih rendah. Hal itu meruntuhkan sementara anggapan yang menyatakan bahwa pemilu presiden secara langsung yang baru pertama kalinya diselenggarakan di Indonesia akan memberikan pesona baru kepada pemilih saat memberikan suaranya. Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin menyatakan, tidak sepadan jika kondisi saat ini dibandingkan dengan tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu sebelumnya yang selalu di atas 90 persen dari total jumlah pemilih terdaftar. Saat itu, ada upaya untuk mendorong rakyat menggunakan hak pilihnya. Sementara, semenjak era reformasi bergulir, rakyat mendapat kebebasan penuh untuk memilih atau tidak. Di tengah meningkatnya kesadaran dan terjaminnya kebebasan rakyat, tingkat partisipasi pemilih relatif tinggi. "Hasilnya tetap saja Indonesia masih lebih bagus dibanding Australia yang memilih itu diwajibkan," katanya. Dari sisi administrasi penyelenggaraan pemilu, isian dalam formulir rekapitulasi penghitungan suara menjadi kajian yang menarik sebagai dasar menarik simpulan rapuh-tidaknya perangkat pelaksana pemilu dari pusat sampai ke tingkat daerah. Jika membandingkan data jumlah TPS yang terealisasi dengan keputusan KPU, terdapat perbedaan signifikan. Berdasarkan hasil rekapitulasi yang disampaikan KPU provinsi, jumlah TPS yang digunakan sebanyak 566.097 meskipun keputusan KPU yang terakhir menyebutkan jumlah seluruh TPS di Indonesia sebanyak 574.945. Adanya perbedaan antara TPS yang direncanakan dengan TPS yang operasional saat pemungutan suara inilah yang sempat dipersoalkan Panitia Pengawas Pemilu (Panwas). Terlepas dari kemungkinan pemborosan dana, terbuka kemungkinan adanya penyalahgunaan logistik pemilu akibat adanya TPS yang tidak operasional tersebut. Tanpa kontrol ketat, mungkin ada surat suara dialokasikan untuk TPS tidak operasional itu kemudian dimanfaatkan pihak yang tidak berhak. Kejelasan nasib surat suara yang tidak dipergunakan pun harus dipastikan, terutama menilik kasus adanya surat suara yang dicoblos terlebih dahulu seperti yang terjadi di Papua dan juga Tawau, Malaysia.

Page 21: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

Menurut catatan Kompas, sejak pemilu legislatif lalu, tercatat setidaknya ada tiga keputusan KPU mengenai jumlah pemilih dan TPS tersebut. Menurut Keputusan KPU No 16 Tahun 2004 tertanggal 25 Februari 2004, jumlah pemilih terdaftar sebanyak 147,31 juta orang dengan 585.218 TPS. Selanjutnya, merujuk Keputusan KPU No 23 Tahun 2004 tertanggal 31 Maret 2004, jumlah pemilih terdaftar adalah 148 juta dengan 579.901 TPS. Terakhir, pada Keputusan KPU No 39 Tahun 2004 tercatat jumlah pemilih naik lagi menjadi 155,048 juta namun justru jumlah TPS-nya turun menjadi 574.945. Masih berderet hal yang tersisa dari proses penghitungan suara. Apa pun, masih banyak hal yang bisa direncanakan lebih matang dan dikerjakan lebih baik, bukan? (Aristasius Sugiyo/Sidik Pramono)

Image: Perbandingan Perolehan SuaraPemilu DPR dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004

Sebanyak 23,8 Persen Pemilih Tidak Gunakan Hak Pilihnya

KOMPAS - Kamis, 23 Sep 2004   Halaman: 6   Penulis: idr   Ukuran: 3352

SEBANYAK 23,8 PERSEN PEMILIH TIDAK GUNAKAN HAK PILIHNYA

Jakarta, Kompas Komisi Pemilihan Umum mengkhawatirkan semakin rendahnya tingkat partisipasi pemilih (voter turnout) pada pemilu presiden-wakil presiden putaran kedua dibandingkan putaran pertama. Kekhawatiran itu terkait dengan legitimasi hasil pemilu kendati ketidaksertaan pemilih menggunakan hak pilih disebabkan oleh berbagai hal, bukan hanya golongan putih. Hal itu dikemukakan Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ramlan Surbakti selepas menerima Forum Rektor yang menyampaikan hasil pemantauan dalam pemilu presiden-wakil presiden putaran kedua di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (22/9). Dalam paparan Forum Rektor antara lain disebutkan mengenai persentase pemilih yang tidak menggunakan hak pilih, yang jumlahnya cukup signifikan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Centre for Electoral Reform (Cetro) di Hotel Borobudur, Jakarta. Ketua Forum Rektor Indonesia menyebutkan, mereka memantau 3.883 tempat pemungutan suara (TPS). Jumlah pemilih dalam salinan daftar pemilih tetap sebanyak 1.026.711, namun hanya 791.119 pemilih yang memberikan suara. Dengan demikian, tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu presiden, 20 September lalu, sebesar 76,2 persen, sedangkan persentase pemilih yang tidak menggunakan hak pilih sebesar 23,8 persen. Dari pemantauan hasil penghitungan suara, surat suara sah mencapai 97,57 persen, sedangkan surat suara tidak sah sebesar 2,43 persen. Menurut Marlis Rahman, jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih tidak dapat secara langsung dikatakan sebagai jumlah golput. Pasalnya, alasannya bermacam-macam, antara lain mahasiswa atau buruh yang tercatat sebagai pemilih di tempat asalnya. "Jadi, bukan berarti 23,8 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilih ini sebagai golput," ujar Marlis. Mengomentari hasil pantauan Forum Rektor, Ramlan Surbakti

Page 22: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

menegaskan, harus dicari penyebab pemilih yang telah terdaftar tidak menggunakan hak pilih pada tanggal 20 September lalu. Ditengarai, penyebabnya beragam sehingga bukan berarti keseluruhan pemilih yang tidak menggunakan hak pilih mengambil sikap sebagai golput. "Mungkin golput memang ada, tetapi kita belum tahu seberapa banyak," tutur Ramlan. Pada pemilu legislatif, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih sebesar 80,51 persen, sedangkan pada pemilu presiden-wakil presiden putaran pertama sebesar 79,52 persen. Menurut Ramlan, KPU berharap angka voter turnout pada pemilu presiden-wakil presiden putaran kedua ini di atas 80 persen. Meskipun KPU tidak dapat memaksa seandainya rakyat memutuskan tidak menggunakan hak pilih. Secara terpisah, hasil pantauan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang disampaikan di Hotel Borobudur, Rabu (22/9) sore, menyebutkan bahwa tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu presiden-wakil presiden putaran kedua sebesar 80,6 persen, atau pemilih yang tidak menggunakan hak pilih sebesar 19,4 persen. Hasil pantauan yang disampaikan oleh peneliti LP3ES, Tatak Prapti Ujiyati, didampingi Direktur LP3ES Imam Ahmad, Wakil Direktur LP3ES Entjeng Shobirin Nadj, dan Kepala Divisi Penelitian LP3ES Muhammad Husain tersebut dilakukan pada 1.909 TPS dengan margin of error lebih kurang satu persen. (IDR)

Jumlah Golput Tidak Signifikan

KOMPAS - Sabtu, 25 Sep 2004   Halaman: 6   Penulis: idr   Ukuran: 2184

JUMLAH GOLPUT TIDAK SIGNIFIKAN

Jakarta, Kompas Jumlah golongan putih atau golput yang diperkirakan akan membengkak hingga 50 juta jiwa sudah terbantahkan. Hal ini ditilik dari jumlah data surat suara yang masuk ke data center, kemudian ditampilkan dalam situs http://tnp.kpu.go.id. Keyakinan itu disampaikan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nazaruddin Sjamsuddin di Pusat Tabulasi Nasional Pemilu (TNP) ketika menyambut kedatangan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, Kamis (23/9) malam. Nazaruddin mengatakan, pendapat sejumlah orang bahwa jumlah golput akan mencapai 50 juta tidak terbukti. Pasalnya, dari data hasil penghitungan suara berbasis teknologi informasi (TI) yang masuk ke data center KPU sampai dengan Kamis malam sudah lebih dari 106 juta suara. Padahal, jumlah pemilih tetap berdasarkan Surat Keputusan KPU Nomor 50 Tahun 2004 tercatat sebanyak 153,317 juta jiwa. "Artinya, golput lebih rendah dari (50 juta) itu," tuturnya. Dalam tampilan situs http://tnp.kpu.go.id sampai dengan Kamis (23/9) pukul 20.02, surat suara sah sebanyak 107.207.168, sedangkan surat suara tidak sah sebanyak 2.363.985. Pada waktu yang sama, pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi meraih 41.765.668 suara atau 38,96 persen dari keseluruhan suara sah yang berjumlah 107.207.168, sedangkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla memperoleh 65.441.500 suara atau 61,04 persen dari seluruh suara sah. Sehari sebelumnya, Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti sempat mengkhawatirkan membengkaknya jumlah pemilih yang tidak menggunakan

Page 23: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

hak pilih meski tidak semua pemilih yang tidak menggunakan hak pilih dapat dikategorikan sebagai golput. Kekhawatiran itu dipicu oleh anjloknya jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih, yakni 80,51 persen pada pemilu legislatif dan 79,52 persen pada pemilu presiden putaran pertama. Menanggapi jumlah suara sah yang masuk ke data center KPU yang sudah menembus angka 100 juta, Nazaruddin mengatakan, dalam dua hari ini suara yang masuk diperkirakan akan gencar. Maka, penghitungan suara berbasis TI bisa lebih cepat dari yang diharapkan dan sudah tuntas Jumat. (IDR)

35,5 Juta Pemilih Terdaftar Tidak Gunakan Hak Pilih

KOMPAS - Selasa, 05 Oct 2004   Halaman: 6   Penulis: idr;dik   Ukuran: 3832

35,5 JUTA PEMILIH TERDAFTAR TIDAK GUNAKAN HAK PILIH

Jakarta, Kompas Sebanyak 35.583.483 pemilih yang tercatat dalam daftar pemilih tetap pemilu presiden-wakil presiden putaran kedua ternyata tidak menggunakan hak pilih pada pemungutan suara, 20 September lalu. Jumlah itu terdiri dari 18.773.154 pemilih laki-laki dan 16.810.329 pemilih perempuan, yang tersebar di 32 provinsi di Indonesia dan luar negeri. Namun, turunnya tingkat partisipasi pemilih (registered voters turnout) dalam pemilu presiden di putaran kedua itu dinilai tidak perlu terlampau dirisaukan. Dari rekapitulasi penghitungan suara hasil pemilu, Senin (4/10), pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla memperoleh 69.266.350 suara dan pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi meraih 44.990.704 suara. Secara keseluruhan, jumlah suara pada pemilu presiden-wakil presiden putaran kedua sebanyak 116.662.705, yang terdiri dari 114.257.054 suara sah dan 2.405.651 suara tidak sah. Dengan demikian, jika dihitung dari jumlah suara atau jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih ditambah jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih, maka jumlah pemilih terdaftar sebanyak 152.246.188 jiwa. Dihitung dari jumlah pemilih berdasarkan rekapitulasi, jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih mencapai 23,37 persen. Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mulyana W Kusumah, di Hotel Borobudur, mengatakan, besarnya jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih adalah persoalan serius yang akan dievaluasi secara obyektif oleh KPU. Bahkan, Panitia Pengawas Pemilu, organisasi pemantau, dan peserta pemilu juga dapat melakukan evaluasi secara menyeluruh. "Kita lihat, angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilih cukup tinggi. Bahkan, di beberapa provinsi, jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih lebih banyak daripada perolehan suara pasangan Megawati-Hasyim," katanya. Menurut Mulyana, tingginya pemilih yang tidak menggunakan hak pilih itu disebabkan oleh sejumlah kemungkinan. Pertama, kurang akuratnya daftar pemilih, yang tercermin dari tingginya jumlah surat suara tak terpakai pada pelaksanaan pemilu presiden putaran kedua lalu. Kedua, terdapat warga masyarakat yang secara sadar menentukan

Page 24: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

pilihan politik tidak memilih atau golput, serta masyarakat yang dengan alasan tertentu tidak dapat menggunakan hak pilih. Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti menyampaikan, jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih bukan semata-mata karena pilihan golput. Akan tetapi, juga dapat berupa tidak menggunakan hak pilih karena alasan tertentu, atau bahkan tidak terhapusnya ghost voters atau pemilih yang tidak jelas. "Sejumlah PPS masih saja ragu-ragu, bahkan tidak menghapus ghost voters yang ada di daerah mereka," kata Ramlan.

Jangan dirisaukan Sejumlah anggota KPU provinsi di sela-sela rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara di Jakarta, Senin, menyatakan, turunnya tingkat partisipasi pemilih tak perlu dirisaukan meskipun menurun daripada pemilu-pemilu sebelumnya. Justru partisipasi pemilih sekarang merupakan angka riil. Pemilih pada Pemilu 2004 merupakan pemilih yang sadar dan sukarela datang ke tempat pemungutan suara relatif terbebas dari mobilisasi maupun intimidasi yang ditengarai terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya. Ketua KPU Provinsi Bangka-Belitung Ahmad Syah Mirzan menyebutkan, tingkat partisipasi pemilih pada pemilu sekarang mengindikasikan tingkat "kematangan" politik para pemilih. Sementara anggota KPU Provinsi Jawa Tengah, Hasyim AsyÆari, menyebutkan bahwa semestinya yang harus diperhatikan adalah jumlah suara tidak sah. Meskipun tergolong kecil, namun suara yang tidak sah itu bisa dijadikan dasar evaluasi sosialisasi teknis pemberian suara. (idr/dik)

Berapa Jumlah Pemilih Sebenarnya?

KOMPAS - Jumat, 15 Oct 2004   Halaman: 8   Penulis: Indriastuti, Dewi   Ukuran: 8875   Foto: 1

BERAPA JUMLAH PEMILIH SEBENARNYA?

Pemilu anggota legislatif dan pemilu presiden-wakil presiden secara langsung telah berakhir. Presiden dan wakil presiden terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, akan dilantik 20 Oktober 2004. Namun, ada satu pertanyaan yang belum bisa dijawab secara tuntas. Berapa jumlah pemilih sebenarnya? Sampaikan pertanyaan itu kepada Komisi Pemilihan Umum. Jawabannya sudah dapat ditebak: tidak tahu pasti. Kendati sepanjang tahun 2004 sudah terselenggara tiga kali pemilu, sampai dengan presiden-wakil presiden periode 2004-2009 ditetapkan, jumlah pemilih masih tetap simpang siur. Tak ada angka pasti sehingga selama ini jumlah pemilih selalu diiringi embel-embel "perkiraan". Pada pemilu presiden-wakil presiden putaran pertama, misalnya, jumlah pemilih tetap yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 39 Tahun 2004 sebanyak 155.048.803 jiwa. Mereka tersebar di 574.945 tempat pemungutan suara (TPS). Namun, Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti menegaskan, jumlah pemilih dan TPS itu merupakan perkiraan belaka, sebagai acuan dalam pengadaan dan distribusi logistik. Angka perkiraan itu ditetapkan berdasarkan

Page 25: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ditetapkan oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) di setiap desa/kelurahan. Oleh karena itu, KPU hanya menghimpun data yang disampaikan PPS sehingga PPS-lah yang mengetahui jumlah pemilih sebenarnya. Angka jumlah pemilih dalam SK KPU No 39/2004 itu kemudian terbukti hanya sebagai perkiraan. Dari rekapitulasi penghitungan suara hasil pemilu presiden-wakil presiden putaran pertama, ternyata jumlah pemilih terdaftar hanya 152.534.922 jiwa. Artinya, memiliki selisih 2.513.881 jiwa dengan angka jumlah pemilih perkiraan pada SK KPU No 39/2004. Dari jumlah riil pemilih terdaftar itu, sebanyak 121.293.844 jiwa atau 79,52 persen menggunakan hak pilih. Sisanya, sebanyak 31.241.078 pemilih atau 20,48 persen tidak menggunakan hak pilih. Dengan maksud agar jumlah pemilih terdaftar yang menjadi acuan pengadaan dan distribusi logistik lebih mendekati riil, KPU mengadakan pemutakhiran data pemilih menjelang pelaksanaan pemilu presiden-wakil presiden putaran kedua. dari pemutakhiran data pemilih yang dilakukan oleh PPS tersebut, KPU menetapkan SK tentang jumlah pemilih dan jumlah TPS. Tercatat dua SK semacam ini, yakni SK KPU No 44/2004 tertanggal 9 Agustus 2004 dan SK KPU No 50/2004 tertanggal 16 September 2004. Pada SK KPU No 44/2004, jumlah pemilih tetap tercatat sebanyak 153.312.436 jiwa, sedangkan pada SK KPU No 50/2004 jumlah pemilih tetap sebanyak 153.317.615 jiwa. Dua SK yang keluar dengan selisih waktu satu bulan itu sempat "mengacaukan" saksi pasangan calon Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi pada rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara hasil pemilu presiden-wakil presiden putaran kedua. Dalam beberapa kali protes, mereka selalu mengacu pada jumlah pemilih berdasarkan SK KPU No 44/2004. Baru pada hari berikutnya mereka menyadari bahwa ada SK lain tentang jumlah pemilih yang menjadi acuan KPU. Namun, jumlah pemilih yang terdaftar dalam dua SK tersebut lagi-lagi terbukti hanya angka perkiraan. Dari hasil rekapitulasi penghitungan suara hasil pemilu presiden-wakil presiden putaran kedua yang dilaksanakan di Jakarta, 2-4 Oktober lalu diketahui jumlah pemilih terdaftar sebanyak 150.644.148 jiwa. Artinya, terdapat selisih 2.673.467 jiwa. Dari jumlah pemilih terdaftar riil-berdasarkan rekapitulasi-itu, sebanyak 116.662.705 pemilih menggunakan hak pilihnya, atau 77,44 persen dari jumlah pemilih terdaftar. Maka, sebanyak 33.981.479 pemilih atau 22,56 persen dari jumlah pemilih terdaftar tidak menggunakan hak pilih. Kendati jumlah pemilih terdaftar berdasarkan rekapitulasi hasil penghitungan suara sebanyak 150.644.148 jiwa, Ramlan mengakui bahwa jumlah pemilih terdaftar senyatanya belum dapat ditentukan. Pasalnya, hingga pemutakhiran data menjelang pelaksanaan pemilu presiden-wakil presiden putaran kedua, PPS belum juga berhasil mengidentifikasi dan mengeluarkan ghost voters (pemilih yang tak jelas keberadaannya) dari daftar pemilih tetap. "Jadi, pemilih terdaftar yang sesungguhnya belum dapat diketahui," ujar Ramlan. KPU sendiri, tambah Ramlan, tidak dapat langsung memutuskan bahwa 33,981 juta pemilih yang tidak menggunakan hak pilih itu termasuk ke dalam kelompok ghost voters. Pasalnya, KPU berpendapat bahwa pemilih yang tidak menggunakan hak pilih dapat disebabkan oleh sejumlah alasan. Alasan itu antara lain keputusan untuk memilih golongan putih (golput) atau tidak menggunakan hak pilih karena calon yang didukung

Page 26: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

pada putaran pertama tidak lolos ke putaran kedua. Alasan lain adalah golput karena tidak percaya pada sistem, serta tidak memilih karena berlibur atau bepergian, sakit, malas atau jenuh, dan kemungkinan ghots voters. Secara terpisah, anggota KPU, Anas Urbaningrum, berkeyakinan jumlah ghost voters dalam pemilu presiden-wakil presiden putaran kedua cukup kecil. "Paling banter hanya satu jutaan," tuturnya. Keyakinan itu didasarkan pada kondisi jumlah pemilih yang terdaftar tetapi tidak menggunakan hak pilih selama tiga kali pelaksanaan pemilu, yang selalu tidak beranjak jauh dari kisaran angka 30 juta. Padahal, jika jumlah ghost voters besar, maka selama pemutakhiran pemilih tetap dalam tiga kali pelaksanaan pemilu seharusnya akan ditemukan ghost voters dalam jumlah besar. Kenyataannya, tidak demikian. "Maka, pemilih terdaftar itu memang riil adanya. Dengan demikian, pemilih yang tidak menggunakan hak pilih sebagian besar terdiri dari kelompok golput," kata Anas. ***

MENJELANG pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung pada Juni 2005, jumlah pemilih menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan. Pasalnya, jumlah pemilih menentukan jumlah surat suara yang harus disediakan KPU daerah (KPUD), serta mengantisipasi kemungkinan masuknya pemilih dari daerah lain. Anas menegaskan, salah satu kunci memperoleh jumlah pemilih terdaftar yang cukup valid adalah dengan menerapkan tertib administrasi. Pemilih didata ulang oleh PPS di wilayah yang bersangkutan sehingga nantinya KPUD selaku penyelenggara pilkada langsung memperoleh jumlah pemilih terdaftar yang akurat. Anggota KPU Provinsi Jawa Timur (Jatim), Arief Budiman, mengatakan, Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) mengatur tentang penetapan daftar pemilih dalam pilkada langsung di daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, KPUD akan menyelenggarakan pemutakhiran data pemilih dengan menggunakan pemilih terdaftar dalam pemilu terakhir sebagai daftar pemilih sementara, setelah ditambah pemilih tambahan. "Pemutakhiran daftar pemilih ini diperlukan karena ada rentang waktu yang cukup lama antara pemilu presiden-wakil presiden putaran kedua dan pelaksanaan pilkada langsung, yang baru dimulai bulan Juni 2005," ujar Arief. Dalam rentang waktu itu akan terjadi banyak perubahan sehingga pemutakhiran data harus dilakukan. Karena itu, Arief berpendapat bahwa PPS hanya melaksanakan pemutakhiran data secara manual. Selebihnya, jika harus menyusun daftar pemilih tetap, sebaiknya bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tingkat yang sama dengan KPUD penyelenggara pilkada langsung. Pasalnya, BPS diyakini memiliki sistem yang memungkinkan mengakomodasi perubahan jumlah pemilih terdaftar yang cukup besar. Lebih lanjut Arief mengatakan, pada pemilu presiden- wakil presiden putaran kedua, jumlah pemilih terdaftar di Jatim sebanyak 26.925.363 jiwa. Jumlah ini lebih kecil daripada jumlah pemilih di Provinsi Jatim dalam SK KPU No 50/2004, yakni 27.038.249 jiwa. Menurut Arief, dari 38 kabupaten/kota di Madiun, hanya satu kabupaten yang jumlah pemilih riilnya lebih besar daripada jumlah pemilih terdaftar dalam SK KPU No 50/2004. Sementara jumlah pemilih terdaftar riil di 37 kabupaten/kota lainnya lebih kecil dari jumlah pemilih

Page 27: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

dalam SK KPU No 50/2004. Kondisi itu, tambah Arief, mungkin saja terjadi pada pilkada langsung. Karena itu, yang dapat dilakukan adalah memutakhirkan data pemilih dengan lebih cermat. Sebab, jumlah pemilih merupakan salah satu komponen penting pemilihan langsung. (dewi indriastuti)

Foto: 1Kompas/Agus Susanto

BILIK SUARA - Seorang perempuan tengah mencoblos surat suara di balik bilik suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 029 Bambu Apus, Jakarta Timur, Senin (5/7). Meskipun demikian, hingga berakhirnya tiga kali pemilu pada tahun 2004, tak bisa diketahui secara pasti berapa sebenarnya jumlah pemilih di Indonesia. Angka yang ada adalah angka perkiraan.

Demokratisasi: Menakar Potensi Pemilih 2009

KOMPAS - Selasa, 19 Sep 2006   Halaman: 5   Penulis: Suwardiman   Ukuran: 8109

Demokratisasi MENAKAR POTENSI PEMILIH 2009 Oleh Suwardiman

Dalam dua tahun terakhir proses dan sistem politik Indonesia berubah menjadi lebih demokratis. Di tengah segala kekurangannya, Pemilu 2004 menuai pujian karena berjalan lancar dan aman. Namun, yang perlu dicatat adalah apatisme masyarakat terus meningkat. Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2004 merosot dua kali lipat lebih dari sebelumnya. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang diharapkan mampu membangkitkan antusiasme dan semangat baru pada tataran lokal di banyak daerah ternyata juga setali tiga uang. Tingkat partisipasi pemilih rendah! Lalu, bagaimana prospek pada Pemilu 2009? Sepanjang sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia sejak tahun 1971 hingga Pemilu 2004, tren persentase pemilih yang menggunakan hak pilih memang terus melorot. Titik penurunan mulai terjadi secara signifikan pada Pemilu 1999, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya naik menjadi 7,2 persen dibandingkan dengan Pemilu 1997 (6,4 persen). Saat semangat demokratisasi menggiring perubahan yang lebih esensial dengan menyentuh perubahan konstitusi, aturan tentang pemilu dalam UUD 1945 juga diubah. Mulai tahun 2004 pemilu diselenggarakan secara langsung. Ironisnya, antusiasme berpolitik masyarakat turun semakin tajam justru saat arus demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat sedang marak-maraknya. Rangkaian pemilu yang diselenggarakan langsung secara berturut-turut pada tahun 2004 menorehkan catatan semakin banyak pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Dalam pemilu legislatif, sedikitnya 84 persen pemilih terdaftar yang menggunakan suaranya. Kemudian pada pemilu presiden partisipasi masyarakat turun menjadi 78,23 persen. Pada pemilu presiden putaran kedua, tingkat partisipasi pemilih melorot lebih jauh lagi menjadi 76,63 persen. Fenomena ini seolah menguatkan pertanyaan Anthony Giddens

Page 28: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

(Runaway World, How Globalisation is Reshaping Our Lives, 1999), haruskah kita menerima, lembaga-lembaga demokrasi tersingkir pada titik di mana demokrasi justru marak? Sebenarnya fenomena apatisme masyarakat terhadap pemilu bukan hanya khas Indonesia. Di negara-negara yang jauh lebih matang demokrasinya terjadi penurunan antusiasme politik yang lebih besar. Giddens menyebutnya sebagai paradoks demokrasi. Ketika demokrasi menyebar ke seluruh dunia, justru di negara-negara yang demokrasinya sudah maju timbul kekecewaan atas proses demokrasi. Kepercayaan terhadap politisi menurun. Orang yang menggunakan hak pilih dalam pemilu menyurut. Semakin banyak orang yang tidak tertarik pada politik parlemen, terutama dari kelompok muda. Untuk fenomena di Indonesia, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Kacung Marijan, menyatakan apatisme masyarakat timbul akibat kekecewaan karena tidak adanya perubahan signifikan yang dirasakan rakyat. Saat reformasi digulirkan, harapan masyarakat luar biasa besar. Namun, elite yang berkuasa tidak membawa perubahan yang lebih nyata dan bermanfaat bagi masyarakat. Masyarakat lalu kehilangan kepercayaan pada politisi dan prosedur demokratik. Partai politik sebagai salah satu pemegang kunci untuk membangun kepercayaan konstituennya harusnya bisa menumbuhkan harapan perubahan. Namun, seperti yang diungkap Kacung, kepercayaan masyarakat pada parpol justru terus merosot. Mayoritas parpol terbukti hanya menyentuh konstituennya di saat-saat menjelang pemilu, dengan tujuan pragmatis mengumpulkan suara. Setelah pesta usai, peran parpol seperti hilang begitu saja. Jika perilaku parpol tak berubah, boleh jadi apatisme masyarakat pada Pemilu 2009 akan meningkat lebih jauh, terutama di kelompok pemilih muda. Padahal, sebagai kelompok pemegang jumlah terbanyak, kelompok muda ini merupakan sasaran paling potensial untuk dibidik pada Pemilu 2009. Para pemilih muda yang menjadi potensi besar dalam Pemilu 2009 adalah pemilih pemula dan yang telah mengikuti satu atau dua pemilu sebelumnya, yaitu mereka yang berusia 18 sampai 30-an tahun. Catatan proyeksi penduduk Indonesia yang dibuat Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menunjukkan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2009 sebesar 231,3 juta jiwa, 70 persen di antaranya adalah kelompok usia pemilih. Kelompok pemilih muda tercatat merupakan jumlah terbanyak di antara kelompok usia pemilih. (Grafik) Pada Pemilu 2009, dari sekitar 170 juta penduduk, 59 persen di antaranya adalah pemilih yang berusia 20-40 tahun. Inilah kelompok yang paling berpotensi untuk dirangkul. Namun, kelompok ini juga yang rentan menjadi kelompok golongan putih alias golput. Dalam kelompok ini banyak terangkum pemilih dari kalangan pelajar, mahasiswa, dan pekerja muda yang lebih kritis daripada kelompok usia lain. Meskipun tidak ada angka pasti, sebagian pengamat yakin sebagian besar golput berasal dari kelompok ini. Proyeksi penduduk Indonesia empat tahun ke depan juga menampakkan pergeseran proporsi penduduk desa dan kota. Konsentrasi penduduk diproyeksikan beralih ke wilayah perkotaan. Jika selama ini konsentrasi penduduk lebih banyak di daerah pedesaan, empat tahun ke depan proporsi penduduk kota melesat jadi 54,2 persen dari total 234 juta jiwa penduduk Indonesia. Angka itu cukup signifikan dibandingkan dengan proporsi penduduk kota tahun 2005 yang hanya 48 persen.

Page 29: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

Pergeseran itu boleh jadi akan menguatkan perubahan perilaku politik masyarakat yang terekam selama ini. Kacung menyimpulkan, perilaku politik di tengah masyarakat pemilih di Indonesia mulai berubah selama satu dekade terakhir, seiring dengan arus kebebasan dan upaya demokratisasi yang makin gencar. Sebagai gambaran, di akhir periode Orde Baru, Afan Gaffar dalam buku Javanese Voters (1992) melakukan studi tentang perilaku politik pemilih di daerah pedesaan di Jawa. Di antaranya tercatat pola perilaku pemilih di wilayah pedesaan yang masih kental dengan isu sosioreligi. Keputusan mereka memilih lebih banyak dipengaruhi semangat budaya dan keagamaan,polarisasi masyarakat (khususnya di Jawa) yang pada dasarnya masih mengikuti prinsip aliran. Hal lain yang biasanya memengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan adalah kuatnya peran pimpinan lokal, seperti lurah atau kepala desa. Saat ini, perilaku politik itu bukan sama sekali tidak lagi menjadi orientasi yang melatarbelakangi pilihan masyarakat. Namun, gencarnya teknologi yang mengantar informasi sampai ke pelosok daerah boleh jadi mengubah paradigma berpikir masyarakat dan sedikit banyak memberi peran dalam proses pendidikan politik masyarakat. Suasana yang lebih bebas dan masyarakat yang lebih kritis juga menyebabkan pemilih lebih rasional dalam menentukan pilihan. Menurut Kacung, pemilih berdasarkan patronase yang sebelumnya kuat di daerah pedesaan mulai berkurang. Masyarakat lebih mampu melihat performa pimpinan serta parpol, dan ini yang lebih melatarbelakangi pilihan mereka. Realitas itu rupanya disadari sebagian partai baru yang berlaga pada Pemilu 2004. Partai baru seperti Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera cenderung berhasil merangkul pemilih di daerah perkotaan. Sementara partai-partai lama lebih banyak dipilih warga pedesaan. Isu-isu segar yang diusung partai-partai baru tampaknya cenderung menjadi pilihan pemilih perkotaan. Pemilih dari wilayah inilah yang diproyeksikan mendominasi bursa pemilih tahun 2009. Padahal, berdasarkan pengalaman sebelumnya, pemilih golput di wilayah perkotaan cenderung lebih besar. Lalu, bagaimana Pemilu 2009 nanti? Adakah perubahan yang meningkatkan antusiasme pemilih? Lihat saja(Litbang Kompas)

"Masyarakat lebih mampu melihat performa pimpinan serta parpol, dan ini yang lebih melatarbelakangi pilihan mereka.

ImageGrafikPenduduk dan Pemilu 2009Sumber: Litbang Kompas, diolah dari KPU dan BPSGunawan

POTENSI GOLPUT SECARA ADMINISTRATIF TETAP BESAR

Jakarta, Kompas

Page 30: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

Potensi golongan putih atau golput, orang yang tak menggunakan hak pilihnya, secara administratif dalam Pemilu 2009 tetap besar. Berdasarkan hasil survei, masyarakat yang merasa terdaftar sebagai pemilih hanya 67,2 persen. Gejala itu dipaparkan Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari di Jakarta, Minggu (11/1), terkait hasil survei nasional tentang pengetahuan dan harapan masyarakat terhadap Pemilu 2009. Survei dilakukan di 33 provinsi seluruh Indonesia. Jumlah responden 1.200 orang dengan margin kesalahan sekitar 3 persen. Responden dipilih dengan metode multistage random sampling yang mewakili semua populasi publik dewasa di Indonesia yang berusia 17 tahun atau sudah menikah. Survei dilakukan mandiri oleh Indo Barometer. Dari Yogyakarta, pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, juga memprediksi golput pada Pemilu 2009 akan meningkat dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Peningkatan golput itu merupakan akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap partai politik. Parpol dinilai lebih mementingkan perluasan kekuasaan ketimbang memperjuangkan kepentingan masyarakat. Penentuan caleg terpilih dengan suara terbanyak, katanya, tak berkorelasi dengan kemungkinan menurunnya angka golput karena masyarakat telanjur kecewa kepada parpol, dan tak kenal caleg. "Golput pada Pemilu 2009 saya prediksi 35-40 persen. Ini berkaca dari tingginya golput pada pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah,"katanya. Menurut Arie, sisa waktu yang tinggal tiga bulan menyulitkan Komisi Pemilihan Umum melakukan sosialisasi pemilu secara optimal sehingga bisa mencegah pertumbuhan golput, apalagi KPU masih harus menanggung beban berat pengadaan logistik. "Parpol harus membantu KPU melakukan sosialisasi," katanya.

Sangat mengkhawatirkan Dalam survei Indo Barometer, ketika responden ditanya apakah sudah merasa terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu 2009, sebanyak 67,2 persen menjawab "ya"; sebanyak 18,3 persen menjawab "tidak"; dan sisanya 14,5 persen menjawab "tidak tahu" atau tidak menjawab. Gejala ini sangat mengkhawatirkan. Apabila diproyeksikan pemilih pada Pemilu 2009 berjumlah 172 juta, berarti yang merasa terdaftar hanya 115,58 juta orang, yang tidak merasa terdaftar 31,48 juta orang, dan yang tidak tahu 24,94 juta orang. Sebagai pembanding, pada Pemilu 1999, dari 117,73 juta pemilih terdaftar, pemilih yang tidak datang 7,88 juta (6,7 persen). Pada Pemilu 2004, pemilih terdaftar 148 juta, pemilih yang tidak datang 23,53 juta (15,9 persen). Survei Indo Barometer juga mencatat baru separuh dari pemilih (51,8 persen responden) yang mengetahui dengan benar pemilu legislatif diadakan bulan April 2009. Sebanyak 25,5 persen tidak tahu atau tidak menjawab bulan apa pemilu legislatif akan dilaksanakan. Menanggapi hasil survei itu, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary menyatakan akan berusaha untuk mencari legitimasi agar daftar pemilih bisa diperbarui kembali meski pada waktu lalu hal itu sempat banyak diprotes. Hafiz menegaskan, yang melakukan pendataan langsung pada pemilih bukanlah KPU, tetapi Departemen Dalam Negeri. Dia membandingkan pencapaian Pemilu 2004 dari 214,8 juta penduduk, tercatat sebagai pemilih 148,3 juta, yang tak memilih 66,6 juta. Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro) Hadar N

Page 31: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

Gumay mendukung langkah KPU untuk memperbarui daftar pemilih dengan membuka kembali pendaftaran pemilih bagi yang belum terdaftar. "Pemilu itu orientasinya harus memudahkan pemilih. Karena itu, tak apa dibuka kembali," paparnya.

Golput bukan perlawanan Di Jakarta, Sabtu, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andrinof A Chaniago, menyebutkan, golput di Indonesia sebagai murni perlawanan politik jumlahnya masih sedikit. Kelemahan sistemlah yang memperbesar kelompok golput. Ia menyatakan, jumlah golput baru agak banyak jika sekaligus memperhitungkan mereka yang kurang peduli atau kurang sadar terhadap tujuan pemilu. Komponen golput lainnya adalah akibat kelemahan sistem pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih. Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto menambahkan, golput pada Pemilu 2009 akan meningkat karena ketidakpuasan rakyat kian memuncak. Pemilu yang beruntun dan berserakan, serta perilaku pejabat politik yang terpilih, membuat rakyat lelah. Setiap pemilihan selalu mendatangkan beban mental karena rakyat menjadi terlibat dalam persaingan dan konflik. Padahal, sistem pemilu tak memungkinkan pemilih menghukum peserta pemilu.(SUT/RWN/DIK)

Grafik: Pemilih dan Golput 1955-2004

http://pik.kompas.co.id/kliping/Kliping_Detail.cfm?item=21&startrow=1&session=1233837994687

SURVEI DAN PERILAKU PEMILIH

Oleh Saiful Mujani

SURVEI DAN PERILAKU PEMILIHKOMPAS – Senin, 14-06-2004 Halaman 4Tanggal dimuat: 14 Juni 2004

Dua kali pemilihan umum legislatif terakhir di Tanah Air, 1999 dan 2004, ditandai dengan bermunculannya survei opini publik tentang perilaku pemilih. Yang banyak mendapatkan perhatian media massa dari survei tersebut adalah peluang terpilihnya partai politik.

Berbagai jenis jajak pendapat melaporkan hasil yang berbeda-beda tentang perolehan suara parpol. Sebelum pemilihan umum, Lembaga Survei Indonesia (LSI), misalnya, memprediksi bahwa Golkar mendapatkan suara paling banyak, diikuti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan kemudian PKB. Prediksi ini rata-rata cukup akurat daripada hasil pemilu sebenarnya yang diumumkan sekitar satu bulan kemudian. Tahun 2003, LSI dan sejumlah lembaga survei sejenis, seperti International Foundation of Electoral Sustems (IFES) dan International Republican Institute, sudah memperkirakan

Page 32: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

bahwa Golkar berpeluang besar mendapatkan suara paling banyak dalam pemilu legislatif 2004.

Muncul berbagai reaksi terhadap prediksi hasil survei tersebut. Salah satunya adalah reaksi negatif. Dikatakan, misalnya, bahwa prediksi hasil pemilu dari hasil survei tersebut memengaruhi pilihan masyarakat terhadap partai politik dalam pemilu aktual. Karena Golkar diprediksi akan menang dalam pemilu oleh lembaga-lembaga jajak pendapat tersebut, pemilih kemudian memilih Golkar pada hari pemilu, dan karena itu Golkar kemudian keluar sebagai partai yang mendapatkan suara paling banyak.

Kalau Golkar akan menang dalam pemilu, kenapa memilih partai lain yang diperkirakan pasti kalah. Demikianlah kira-kira argumen orang yang keberatan dengan prediksi jajak pendapat tentang hasil pemilu. Argumen ini biasa disebut sebagai argumen bandwagon effect. Inti argumen ini adalah bahwa seorang pemilih akan memilih sebuah partai politik karena partai tersebut diopinikan akan memenangkan pemilu. Pemilih hanya ikut saja pada pilihan yang diopinikan akan menang sebab buat apa memilih partai yang diopinikan kemungkinan besar akan kalah. Benarkah demikian? ***DALAM studi sistematis tentang perilaku pemilih, termasuk yang menggunakan metode eksperimental, tidak ada hasil konklusif sejauh mana bandwagon effect itu betul-betul bekerja (Asher 1995). Kalaupun ada pengaruh, menurut temuan sebuah eksperimen, bandwagon effect itu bekerja bukan dengan membuat pendukung sebuah partai atau calon memindahkan dukungannya pada partai atau calon yang diopinikan akan menang dalam pemilu, melainkan berubah menjadi absen dalam pemilu. Hasil survei mendorong pemilih menjadi pesimis ketika partai atau calonnya diopinikan akan kalah sehingga ia merasa tidak ada gunanya ikut serta dalam pemilu (Bock 1976).

Kendati demikian, kesimpulan ini belum cukup solid secara empiris karena ada tanda-tanda bahwa absen dari pemilu, terutama bukan ditentukan oleh opini publik dari survei yang menunjukkan partai yang didukung seorang pemilih akan kalah dalam pemilu. Absen dari pemilu dalam banyak kasus negara-negara demokrasi terutama karena perilaku rasional para pemilih, bukan karena yakin bahwa partainya akan kalah sebagaimana diungkapkan hasil survei perilaku pemilih.

Seorang pemilih rasional adalah pemilih yang menghitung untung- rugi dari tindakannya (memilih partai atau calon). Sebuah tindakan dikatakan “menguntungkan” bila ongkos yang dikeluarkan untuk mendapatkan hasil dari tindakan tersebut lebih rendah dari hasil tindakan itu sendiri. Sebaliknya, sebuah tindakan disebut “rugi” bila ongkos untuk mendapatkan hasil itu lebih tinggi nilainya ketimbang hasil yang diperoleh. Dalam pemilu, hasil yang didapat merupakan barang publik, bukan pribadi. Ia dimiliki dan digunakan secara kolektif dalam masyarakat, bukan secara pribadi.

Karena sifat pemilu seperti ini, tidak ada insentif pribadi bagi seseorang untuk ikut serta dalam pemilu. Hasil pemilu bagi yang ikut pemilu ataupun tidak akan sama karena hasil pemilu bersifat publik, bukan privat (Kanazawa, 1998). Kalau yang ikut memilih dan tidak ikut memilih akan mendapatkan hasil yang sama, kenapa harus mengeluarkan ongkos, sekecil apa pun, untuk ikut pemilu: menyisihkan waktu, meninggalkan

Page 33: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

pekerjaan, harus libur nasional sehingga perusahaan swasta juga harus libur, dan lain-lain.

Perilaku rasional pemilih semacam ini yang dipercaya bertanggung jawab terhadap absennya warga negara dalam pemilu, bukan karena opini dari survei bahwa partai atau calon yang didukungnya akan kalah dalam pemilu. ***DI samping argumen bandwagon effect, ada studi sistematik dan eksperimental yang menunjukkan dampak sebaliknya, yakni underdog effect (Marsh, 1984). Informasi hasil survei tentang pemilih sebelum pemilu mendorong pemilih untuk bersimpati pada yang diopinikan akan kalah sehingga partai atau calon tersebut kemudian mendapatkan dukungan dan akhirnya partai atau calon tersebut menang dalam pemilu.

Argumen bandwagon effect dan underdog effect ini jelas saling bertentangan dan membutuhkan studi empiris lebih lanjut untuk menunjukkan argumen mana yang lebih meyakinkan. Namun demikian, kedua effect tersebut mungkin terjadi pada pemilih kita sehingga hasil akhirnya kemudian saling meniadakan, dan dampak publikasi hasil survei pemilih sebelum pemilu terhadap pilihan politik pada hari pemilu kemudian menjadi tidak signifikan. Kemungkinan ini setidaknya terlihat dari data empiris empat kali survei nasional yang dilakukan LSI.

Dalam survei pertama LSI Agustus 2003, partai yang cenderung dipilih pemilih Indonesia adalah Partai Golkar dengan perolehan suara sebanyak 24 persen; pada November 2003 dan pada survei Maret 2004 sebelum pemilu, Golkar diperkirakan akan mendapatkan suara 23 persen. Perkiraan ini dekat dengan hasil pemilu aktual Partai Golkar (KPU), yakni sekitar 22 persen. Jadi, tidak ada perubahan bermakna pada proporsi perolehan suara Golkar dari satu survei ke survei berikutnya. Posisi unggul Golkar atas PDI-P yang lebih kurang stabil seperti ini juga ditemukan pada survei-survei nasional lain seperti yang dilakukan IFES. Kalau bandwagon effect bekerja, mestinya ada kenaikan dukungan secara signifikan terhadap Partai Golkar dalam survei kedua, ketiga, dan hasil pemilu aktual sebab opini bahwa Golkar akan menang pemilu akan menarik pemilih yang tadinya tidak mendukung Golkar untuk memilihnya. Tetapi, kenyataannya tidak demikian.

Demikian juga underdog effect. Bila ia betul-betul bekerja secara signifikan, seharusnya partai-partai baru pada umumnya mendapatkan suara signifikan dalam Pemilu 2004. Dua minggu sebelum pemilu, LSI mengumumkan prediksi hasil pemilu di mana partai-partai baru pada umumnya tidak akan mendapatkan suara signifikan keculai Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat. Hasil prediktif ini rata-rata tidak berbeda secara signifikan dari hasil pemilu aktual. Ini menunjukkan bahwa underdog effect dari hasil survei pemilih tidak terlihat.

Di samping itu, partai yang terlihat sejak tahun lalu merosot secara tajam perolehan suaranya adalah PDI-P, di mana dalam Pemilu 1999 memperoleh suara sekitar 34 persen dan dalam survei LSI sebelum Pemilu 2004 sekitar 17 persen. Survei LSI Agustus 2003 menunjukkan perolehan suara PDI-P sebanyak 17 persen, pada November 2003 15 persen, pada Maret 2004 sebanyak 17,5 persen, dan hasil akhir KPU sebanyak 18,5

Page 34: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih

persen. Kalau ada underdog effect, PDI-P yang diopinikan akan kalah oleh Golkar mestinya menumbuhkan simpati pada PDI-P sehingga mendorong semakin banyak pemilih mendukungnya secara signifikan sehingga bisa mengalahkan, atau setidaknya menyamai perolehan suara Golkar. Kenyataannya tidak demikian. ***BEBERAPA hari setelah pemilu legislatif 5 April 2004, LSI melakukan evaluasi publik secara lebih spesifik mengenai dampak survei pemilih terhadap perilaku pemilih kita. Ditanyakan, “Apakah ibu/bapak pernah mengikuti hasil jajak pendapat yang disiarkan media massa, seperti TV, surat kabar, dan lain-lain, tentang partai politik yang dipilih masyarakat?” Yang menjawab “pernah” sebesar 40 persen, yang sebaliknya 60 persen. Dalam survei ini tidak dikejar lebih jauh, jenis jajak pendapat yang dilakukan, apakah jajak pendapat dengan SMS, telepon, atau wawancara tatap muka langsung. Juga tak ditanyakan sejauh mana masyarakat tahu metode jajak pendapat tentang pemilih yang benar.

Dari 40 persen yang menyatakan pernah ikut mengikuti hasil jajak pendapat dari media massa tersebut, kemudian disilang dengan pilihan terhadap partai politik dalam pemilu legislatif 5 April 2004. Hasilnya menunjukkan bahwa distribusi yang mengikuti jajak pendapat tentang pilihan partai politik tidak terpusat pada Golkar, dan yang tak mengikuti pada PDI-P. Ini juga menunjukkan bahwa bandwagon effect tidak bekerja di dalam pemilih kita. Namun, ada kesan bahwa underdog effect bekerja pada pemilih Partai Demokrat dan PKS, di mana pemilih yang mengikuti jajak pendapat cukup terkonsentrasi pada pemilih PKS dan Partai Demokrat.

Namun demikian, dampak dari mengikuti jajak pendapat ini menjadi tidak signifikan ketika dikontrol dengan faktor pendidikan. Artinya, bukan mengikuti jajak pendapat yang memengaruhi pilihan terhadap Partai Demokrat dan PKS, melainkan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan berhubungan dengan intensitas mengikuti jajak pendapat dan dengan pilihan terhadap dua partai itu. Jadi, underdog effect tidak terjadi di dalam pemilih kita. ***MEMONITOR dukungan pemilih kita secara teratur dan menginformasikannya kepada publik tidak memengaruhi pilihan partai politik atau calon pejabat publik. Sebaliknya, informasi itu diperlukan oleh publik karena pilihan-pilihan mereka akan menjadi keputusan publik dan berpengaruh pada kepentingan publik. Karena itu, publik berhak tahu sejak dini keputusan publik apa yang akan terjadi dan kemudian kebijakan publik apa yang akan dibuat kemudian. Survei perilaku pemilih adalah salah satu cara sistematis untuk memenuhi hak-hak publik itu, termasuk hak untuk mengetahui sejak dini pasangan mana yang akan menjadi presiden dan wakil presiden nanti.

Saiful Mujani Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Peneliti Utama Freedom Institute

http://www.lsi.or.id/riset/43/survei-dan-perilaku-pemilih

Page 35: Kumpulan Artikel Golput & Pemilih