Lahan Pasang Surut

Embed Size (px)

DESCRIPTION

LAHAN PASANG SURUT

Citation preview

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    1/58

    Lahan Pasang Surut

    Lahan pasang surutadalah lahan yang rejim airnya dipengaruhi oleh

    pasang surutnya air laut atau sungai. Berdasarkan sifat kimia air

    pasangnya, lahan pasang surut dibagi menjadi dua zona yaitu zona air

    pasang surut salin dan pasang surut air tawar. Berdasarkan jangkauan air

    pasang, lahan pasang surut dibagi berdasarkan tipe luapannya yaitu : 1)

    tipe luapan A, terluapi air pasang baik pasang besar maupun kecil, 2)

    tipe luapan B, hanya terluapi air pada pasang besar saja, 3) tipe luapan

    C, tidak terluapi air pasang tapi kedalaman air tanahnya < 50 cm, 4) tipeluapan D, tidak terluapi air kedalaman air tanahnya > 50 cm.[1]

    PEMANFAATAN LAHAN PASANG SURUT UNTUK PERSAWAHAN DALAM UPAYA

    MENINGKATKAN PRODUKSI PADI

    PENDAHULUAN

    Tanaman padi (Oryza sativa L)merupakan komoditi utama karena fungsinya sebagai

    sumber makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Akhir-akhir ini isu tentang

    ketahanan pangan (food security)semakin bekembang. Padi mulai memiliki multi fungsi bukan

    hanya sebagai bahan pokok saja tetapi juga menjadi sumber penghidupan, lapangan berusaha,

    sumber devisa, dan berfungsi dalam mempertahankan stabilitas sosial-keamanan (Soleh

    Solahuddin, 1998). Penyusutan lahan persawahan dari tahun ke tahun semakin dirasakan karena

    pesatnya pembangunan. Alih fungsi yang terjadi menyebabkan penurunan pasokan panganterutama padi. Hilangnya satu hektar lahan persawahan (produktivitas rata-rata 4,5 ton GKG/ha)

    identik dengan hilangnya produksi beras sebesar 4,5juta ton beras/musim tanam (Muhammad

    Noor, 1996). Perluasan lahan pertanian dilakukan dengan cara memanfaatkan lahan-lahan

    marjinal, diantaranya lahan pasang surut. Hal ini dianggap mampu menggantikan kehilangan

    produksi tersebut.

    http://pengetahuanumum.net/lahan-pasang-surut/#fn1-4422http://pengetahuanumum.net/lahan-pasang-surut/#fn1-4422http://pengetahuanumum.net/lahan-pasang-surut/#fn1-4422http://pengetahuanumum.net/lahan-pasang-surut/#fn1-4422
  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    2/58

    Lahan pasang surut merupakan lahan yang penyebarannya cukup luas. Di Indonesia

    terdapat sekitar 20,10 juta ha lahan pasang surut di tigapulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan

    dan Irian Jaya (Widjaja Adhi et al., 1992). Sebagian besar dari luasan tersebut belum

    dimamfaatkan secara maksimal. Usaha pemanfaatan lahan pasang surut di kawasan Kalimantan

    Selatan dan Kalimantan Tengah dimulai sekitar 200 tahun yang lalu secara tradisional.

    Pada sekitar tahun 1920-an mulai dilakukan berbagai pembangunan di daerah lahan

    pasang surut antara lain pembuatan jalan, transmigrasi dan pembuatan saluran drainase.

    Programiniternyata cukup berhasil sehingga mengilhami pemerintah untuk melakukan

    pembukaan lahan pasang surut secara besar-besaran dengan dibentuknya Tim Proyek

    Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S). Hal ini membuat wilayah ini mulai dikenal sebagai

    salah satu lumbung padi di Indonesia. Bahkan ketika Indonesia menjadi negara swasembada

    beras ( tahun 1984) ternyata 59.1 % didukung dari hasil padi di lahan pasang surut (Isdijanto Ar-

    Riza et al., 1997).

    Pemanfaatan lahan pasang surut terutama untuk tanaman padi menghadapi berbagai

    kendala. Secara garis besar meliputi, rendahnya kesuburan tanah karena kemasaman tanah yang

    tinggi (pH 3,0-4,5), kahat hara makro, adanya ion atau senyawa yang meracun (Al, Fe, SO4) dan

    bahan organik yang belum terdekomposisi. Selain itu, keadaan tata airnya yang kurang baik

    menjadi faktor pembatas dalam pengelolaannya (Muhammad Noor, 1996). Meskipun dalam

    pemanfaatannya menghadapi banyak kendala, namun lahan pasang surut memberi harapan dan

    prospek yang baik. Karena potensi lahannya yang sangat luas apabila diusahakan secara intensif

    maka dapat meningkatkan produksi padi di masa datang. Selain itu vegetasi alami yang tumbuh

    di lahan pasang surut bisa menjadi sumber bahan organik yang aman dalam meningkatkan

    kesuburan tanah. pada lahan pasang surut penggunaan pupuk dapat dikurangi sehingga biaya

    yang dikeluarkan petani dapat ditekan.

    BAB II

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    3/58

    TELAAH PUSTAKA

    Untuk meningkatkan produktivitas lahan rawa pasang surut, pengelolaan airmemegang

    peranan sangat penting. Pengelolaan air dilakukan dengan memperhatikan kedalaman gambut,

    tingkat pelapukan gambut, lapisan bawah gambut (substratum), ada tidaknya bahan pengkayaan,

    dan tipe luapan pasang surut. Untuk menanggulangi, mengurangi, dan menghilangkan

    kemasaman serta untuk meningkatkan hasil komoditas yang dibudidayakan di lahan sulfat

    masam, pengelolaan air didasarkan pada tipologi lahan pasang surut dan tipe luapan. Tipologi

    lahan sulfat masam potensial dengan tipe luapan A, tipologi lahan sulfat masam aktual dengan

    tipe luapan B, C, D (Ritzema et al., 1993).

    Berdasarkan kemampuan arus pasang mencapai daratan, maka tipe luapan pada lahan

    rawa pasang surut dibedakan menjadi 4 macam tipe luapan yaitu : (Kselik, 1990; Widjaja-Adhiet

    al., 1992)

    Tipe A : Lahan yang selalu terluapi air pasang, baik pada saat pasang maksimum

    (spring tide) maupun pasang minimum (neap tide).

    Tipe B : Lahan yang terluapi air pasang pada saat pasang besar.

    Tipe C : Lahan yang tidak pernah terluapi air pasang, tetapi air pasang berpengaruh

    pada air tanah dan kedalaman muka air tanah kurang dari 50 cm.

    Tipe D : Lahan yang tidak pernah terluapi air pasang, tetapi air pasang berpengaruh

    pada air tanah dan kedalaman muka air tanah lebih dari 50 cm.

    Gambar 1. Tipe luapan air pada lahan rawa pasang surut

    (Sumber : Widjaja-Adhi et al., 1992)

    Klasifikasi tipe luapan ini didasarkan pada pasang maksimum dan minimum pada saat

    musim hujan (Gambar 1). Untuk musim kemarau,kemampuan arus pasang mencapai daratan

    berkurang, sehingga perlu perancangan teknik pengelolaan air harus disesuaikan.

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    4/58

    Pemanfaatan lahan pasangan surut terutama tipe A dan tipe B yaitu sistem persawahan

    karena sistem ini paling tepat dan aman terutama terhadap kendala yang ditimbulkan akibat sifat

    fisik dan kimia tanah. Sistem sawah akan membuat tanah tetap dalam keadaan reduksi dan pada

    keadaan ini pirit tetap stabil di dalam tanah sehingga tidak membahayakan bagi tanaman padi

    (Widjaya-Adhi et al., 1992). Berhubungan dengan sistem ini maka pemilihan varietas yang

    sesuai, pengelolaan air dan pemanfaatan vegetasi alami merupakan kunci utama dalam

    memperoleh hasil yang optimal.

    Kendala dan Upaya Pemanfaatan Lahan Pasang Surut Lahan pasang surut biasanya

    dicirikan oleh kombinasi beberapa kendala seperti (Anwarhan dan Sulaiman, 1985):

    1. Ph rendah

    2. Genangan yang dalam

    3. Akumulasi zatzat beracun ( besi dan aluminium)

    4. Salinitas tinggi, kekurangan unsur hara

    5. Serangan hama dan penyakit

    6. Tumbuhnya gulma yang dominan.

    A. Pemilihan varietas untuk persawahan

    Sebagian besar petani di lahan pasang surut menggunakan padi varietas lokal. Di

    kalimantan selatan terdapat lebih dari 100 jenis padi lokal. Meskipun masa semai sampai panen

    hampir satu tahun tetapi ada banyak keunggulannya antara lain :

    1) Kegiatan budidaya padi lokal sekali setahun dimulai bulan April- Mei dan air di lahan mulai

    surut sehingga siap dilakukan penanaman.

    2) Keadaan air cukup dalam ( bagi padi ungggul) pada saat tanam sedangkan padi lokal mampu

    tumbuh karena mempunyai batang yang cukup tinggi sehingga keadaan ini mengurangi serangangulma. Saaat air lebih surut maka kanopi padi sudah sempurna menutupi permukaan tanah.

    akibatnya gulma yang tumbuh relatif kecil. Serangan hama walang sangit biasa menyerang pada

    bulan juni dapat dihindari karena fase masak susu terjadi pada bulan juli. Disamping itu, padi

    lokal biasa dipanen bulan Agustus-September sehinggga menghindari serangan tikus.

    3) Pada musim tanam bulan April konsentrasi senyawa meracun seperti garam dan besi mulai

    menurun (Hasegawa et al., 2003). Hal ini disebabkan curah hujan bulan Desember-Maret yang

    tinggi, air hujan mengencerkan senyawa meracun pada level yang tidak membahayakan.

    4) Varietas padi lokal mampu tumbuh pada suasana masam.

    5) Akar padi varietas lokal (kal-sel) mampu mengeluarkan eksudat sehingga membuat pH di

    sekitar rhizoplant jauh lebih tinggi dibandingkan pH tanah. hal ini berasosiasi dengan adanyapeningkatan ammonia (NH3) yang berasal dari orgaisme penambat N yaitu Spingomonas sp yang

    hidup di rhizoplant padi lokal.

    B. Pengelolaan tata air

    Sistem tata air yang telah dikembangkan untuk reklamasi lahan pasang surut terdapat

    empat sistem yaitu sistem controllled drainage (sistem Handil), sistem Tidal Swamp Canalization

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    5/58

    ( sistem anjir), sistem garpu dan sistem sisir (Departemen Pertanian, 1985 ; Muhammad Noor,

    2000).

    1. Sistemcontrolled drainage (sistem Handil).

    Kata handil diambil dari kata anndeel dalam bahasa Belanda yang artinya kerjasama,

    gotong royong. Sistem controllled drainage (sistem Handil) merupakan penyempurnaan dari

    sistem rakyat yang didasarkan pada sistem tradisional. Rancangannya sangat sederhana dengan

    membuat saluran yang menjorok masuk dari muara sungai di kiri dan kanan sungai untuk

    keperluan drainase dan pengairan. Saluran berukuran lebar 2m 3m, dalam 0,5 1 m, dan

    panjang masuk dari muara sungai 2 km 3 km. Jarak antara handil satu dengan yang lainnya

    berkisar 200 m 300 m. panjang handil biusa ditambah atau diperluas mencapai 20 60 ha (

    Idak, 1982 ; Noorsyamsi et al., 1984). Pada pinggiran handil dibuat saluran-saluran yang tegak

    lurus sehingga suatu handil dengan jaringan saluran-salurannya menyerupai bangunan sirip ikan

    atau daun tulang nangka. Sistem ini mengandalkan tenaga pasang untuk mengalirkan air sungai

    ke saluran-saluran handil dan parit kongsi, kemudian mengeluarkannya ke arah sungai jika surut.

    2. Sistem Tidal Swamp Canalization( sistem anjir)

    Sistem Tidal Swamp Canalization( sistem anjir) yaitu sistem tata air makro dengan

    pembuatan saluran yang menghubungkan dua sungai besar. Saluran induk berfungsi sebagai

    saluran pemberi pada waktu pasang dan sebagai saluran pembuang pada waktu surut.

    3. Sistem garpu

    Sistem garpu adalah sistem tata air dirancang dengan saluran-saluran yang dibuat dari

    pingir sungai masuk menjorok ke pedalaman berupa saluran navigasi dan saluran primer,

    kemudian disusul dengan saluran sekunder yang terdiri atas dua saluran cabang sehingga

    jaringan berbentuk menyerupai garpu. Ukuran lebar saluran primer antara 10 m- 20 m . ukuranlebar saluran sekunder antara 5 m 10 m (Notohadiprawiro, 1996). Pada setiap ujung saluran

    sekunder dibuat kolam yang berukuran luas sekitar 90.000 m2 (300m x 300m) sampai dengan

    200.000 m2 (400mx 500 m) dengan kedalaman antara 2,5 m 3,0 m. Kolam ini berfungsi untuk

    menampung sementara unsur dan senyawaberacun pada saat pasang, kemudian diharapkan

    keluar mengikuti surutnya air.

    4. Sistem sisir

    Sistem sisir merupakan pengembangan sistem anjir yang dialihkan menjadi satu saluran

    utama atau dua saluran primer yang membentuk sejajar sungai. Panjang saluran sekunder

    mencapai 10 km. Pada sistem ini dubuat saluran pemberi air dan saluran pembuangan berbeda.

    Pada setiap saluran tersier dipasang pintu air yang bersifat otomatis (aeroflapegate). Pintu inibekerja secara otomatis mengatur tinggi muka air sesuai pasang dan surut.

    C. Potensi vegetasi alami (gulma) lahan pasang surut

    Ada berbagai spesies yang tumbuh di lahan pasang berdasrkan hasil inventarisasi gula

    yang dijumpai sebanyak 181 spesies yang terdiri dari tiga golongan, yakni golongan rumput,

    golongn teki dan golongan berdaun lebar. Gulma ini bukan hanya sebagai tanaman pengganggu

    bagi tanaman padi tetapi sangat bermanfaat.

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    6/58

    Gulma mampu tumbuh dengan sangat cepat sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan

    organik sumber unsur-unsur hara yang berguna bagi tanaman, seperti Azollae pinata yang

    mampu menambat N. Pemanfaatan ini sangat berarti besar dalam usaha menjaga nilai kesuburan

    tanah.. Teknik pemanfaatanya sudah diterapkan oleh petani, diantaranya ketika penyiangan maka

    gulma yang dicabuk dibenamkan kembali kedalam tanah dan cara ini dapat menyuburkan tanah

    tanpa memerlukan masukan dari pupuk. Dengan memperhatikan berbagai aspek mulai dari

    karakteristik, potensi dan kendala yang dihadapi, maka solusi yang terbaik dalam pemanfaatan

    lahan pasang surut untuk meningkatkan produksi padi tanpa harus meniggalkan kaidah pertanian

    yang berkesinambungan dengan berwawasan lingkungan. Sehingga di masa yang akan datang

    lahan pasang suruttidak menjadi lahan yang terdegradasi dan rusak. Hal yang terpenting adalah

    lahan pasang surut mampu memberi hasil dan keuntungan bagi petani.

    Pengertian RawaAgustus 18, 2011

    Lahan rawa adalah lahan yang tergenang secara terus menerusakibat drainase buruk. Lahan rawa di bagi menjadi dua yaitu rawalebak dan rawa pasang surut. Lahan rawa pasang surut merupakanlahan yang dipengaruhi oleh pasang surut airlaut. Lahan rawapasang surut jika dikembangkan secara optimaldengan

    meningkatkan fungsi dan manfaatnya maka bisa menjadi lahan

    yang potensial untuk dijadikan lahan pertanian di masa depan.Untuk mencapai tujuan pengembangan lahan pasang surut secaraoptimal, ada beberapa kendala. Kendala tersebut berupa faktorbiofisik, hidrologi yang menyangkut tata air, agronomi, sosial danekonomi.Tata air atau pengelolaan air sangat baik dalam memperbaikikualitas tanah dan menanggulangi atau mengurangi degradasitanah akibat salah pengelolaan. Konsep dasar strategitata air

    didasarkan pada sifat tanah dan tipe luapan pasang surut. Padadaerah rawa pasang surut terdapat empat tipe luapan yaitu tipe A,B, C, dan D. Namun pada daerah penelitian Delta Telang SumateraSelatan, blok sekunder P8-12S memiliki tipe luapan A, sedangkanpada blok sekunder P17-6S memiliki tipe luapan B. Masing-masingtipe luapan terdapat perbedaan terhadap ketinggian genangan air.

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    7/58

    Pada pengembangan lahan rawa pasang surut untuk sawah,karena kondisi tergenang dan kering silih berganti mengakibatkanadanya perubahan kondisi reduktif dan oksidatif yang silih berganti

    juga. Pada keadaan tergenang (reduktif) mengakibatkan kation-

    kation seperti K, Ca, Mg menjadi terjerap koloid tanah yangbermuatan negatif. Sedangkan dalam keadaan kering yang lama(oksidatif) mengakibatkan teroksidasinya pirit yang dapat meracunitanaman. Untuk mengatasinya yaitu dengan pengelolaan air yangbaik sehingga dapat mengurangi unsur-unsur yang bersifat racundan menghindari proses pemasaman lanjut.Namun demikian, pengelolaan air masih terkendala oleh kondisiinfrastruktur pengendali air yang kurang memadai. Dan juga karenaterjadinya pengikisan tanggul serta sewaktu-waktu tidak adapergerakan air maka terjadinya pengendapan yangmenghasilkan lumpur, dalam waktu semakin lama pengendapan itu

    akan semakin tebal.Selain itu, teknik pengelolaan air yang diterapkan juga masihbergantung pada pengamatan muka air tanah secara langsung dilapangan, yaitu dengan membuat sumur-sumur pengamatan.Meskipun memiliki akurasi yang tinggi, namun pengamatan secaralangsung memerlukan waktu, tenaga, dan biaya, serta terbatas

    pada titik pengamatan dan jangka waktu pengamatan tertentu(Ngudiantoro et al,2009).

    Melalui pengelolaan lahan dan airyang tepat, maka produksi danindeks pertanaman (IP) pada lahan rawa pasang surut akan dapatditingkatkan. Aspek utama pengelolaan air pada lahan rawa pasangsurut yaitu pengendalian muka air tanah yang berfluktuasi sehinggadicapai kondisi muka air tanah di petak lahan yang dapatmendukung pertumbuhan tanaman (Ngudiantoro et al,2009).

    Susanto (2010) menjelaskan bahwa, hasil penelitian di DeltaTelangI menunjukkan optimalisasi lahan rawa pasang surut untuk produksipangan misalnya terbukti telah mampu meningkatkan produksi dari3-4 ton GKP/ha/musim menjadi 7-8 ton GKP/ha/musim, bahkan

    juga meningkatkan indeks pertanaman.

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    8/58

    Sistem jaringan reklamasi rawa pasang surut mencangkuppengelolaan air di tingkatmakrodan mikro. Pengelolaan air ditingkatmakro merupakan air yang dimulai sungai, saluran primer hinggasekunder. Sedangkan pengelolaan air ditingkat mikro mencangkup

    pengelolaan air tersier, kuarter hingga lahan usaha tani. Salah satuaspek usaha tani yang erat kaitannya dengan tingkat produksipertanaman per areal musim tanam ataupun intensitas pertanamanselama satu tahun adalah tata air mikro di lahan usaha tani(Susanto, 2010).Dengan pengelolaan air yang baik, maka dapat melakukanpengaturan pola tanam dan waktu tanam yang sesuai. Sehinggadapat meningkatkan indeks pertanaman (per musim tanam). Hal inimerupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan petani.

    Dari uraian diatas, menunjukkan bahwa jaringan dan sistem tata airmerupakan aspek yang sangat penting dalam pengembangan danpeningkatan produksi dan lahan pertanian serta sifat fisik tanahberpengaruh dalam pertumbuhan dan produksi tanaman

    http://pupi23.wordpress.com/2011/08/18/pengertian-rawa/

    Pertanian Berkelanjutan di Tanah pasang surut

    I.PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Indonesiamemiliki sumber daya lahan yang sangat luas untuk peningkatan produkivitas

    tanaman pangan khususnya tanaman padi. Beras sebagai salah satu sumber pangan utama penduduk

    Indonesia dan kebutuhannya terus meningkat karena selain penduduk terus bertambah dengan laju

    peningkatan sekitar 2% per tahun, juga adanya perubahan pola konsumsi penduduk dari non beras ke

    beras. Disamping itu terjadinya penciutan lahan sawah irigasi akibat konversi lahan untuk kepentingan

    non pertanian dan munculnya penomena degradasi kesuburan lahan menyebabkan produktivitas padi

    sawah irigasi cenderung melandai (Deptan, 2008). Berkaitan dengan perkiraan terjadinya penurunan

    http://pupi23.wordpress.com/2011/08/18/pengertian-rawa/http://pupi23.wordpress.com/2011/08/18/pengertian-rawa/http://pupi23.wordpress.com/2011/08/18/pengertian-rawa/
  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    9/58

    produksi tersebut maka perlu diupayakan penanggulanggannya melalui peningkatan intensitas

    pertanaman dan produktivitas lahan sawah yang ada, pencetakan lahan irigasi baru dan pengembangan

    lahan potensial lainnya termasuk lahan marginal seperti lahan rawa pasang surut.

    Lahan pasang surut mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan menjadi lahan

    pertanian berbasis tanaman pangan dalam menunjang ketahanan pangan nasional. Lahan pasang surut

    Indonesia cukup luas sekitar 20,1jutaha dan 9,3 juta diantaranya mempunyai potensi untuk

    pengembangan tanaman pangan (Ismail et al.1993). Propinsi Jambi diperkirakan memiliki lahan rawa

    seluas 684.000 ha, berpotensi untuk pengembangan pertanian 246.481 ha terdiri dari lahan pasang

    surut 206.832 ha dan lahan non pasang surut (lebak) 40.521 ha (Bappeda, 2000). Menurut Suwarno et

    al.(2000) bahwa permintaan bahan pangan khususnya beras terus meningkat dari tahun ke tahun

    sehingga mendorong pemerintah untuk mengembangkan lahan pertanian ke wilayah-wilayah

    bermasalah diantaranya lahan rawa pasang surut yang tersedia sangat luas, diperkirakan lahan pasang

    surut dan lahan marginal lainnya yang belum dimanfaatkan akan semakin meningkat perannya dalam

    pembangunan pertanian di Indonesia. Pemanfaatan lahan tersebut untuk pertanian merupakan

    alternatif yang dapat mengimbangi berkurangnya lahan produktif terutama di pulau Jawa yang beralih

    fungsi untuk berbagai keperluan pembangunan non pertanian. Hasil penelitian Ismail et al.(1993)

    menunjukkan bahwa lahan rawa ini cukup potensial untuk usaha pertanian baik untuk tanaman pangan,

    perkebunan, hortikultura maupun usaha peternakan. Kedepan lahan rawa ini menjadi

    sangatstrategisdan penting bagi pengembangan pertanian sekaligus mendukung ketahanan pangan dan

    usaha agribisnis (Alihamsyah, 2002).

    Usahatani di lahan rawa pasang surut umumnya produktivitasnya masih rendah, karena tingkat

    kesuburan lahannya rendah, mengandung senyawa pirit, masam, terintrusi air laut dan dibeberapa

    bagian tertutup oleh lapisan gambut. Pertumbuhan tanaman di lahan pasang surut menghadapi

    berbagai kendala seperti kemasaman tanah, keracunan dan defisiensi hara, salinitas serta airyang

    sering tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman. Komoditas yang banyak diusahakan petani adalah padi

    dengan teknik budidaya yang diterapkan masih sederhana dan menggunakan varietas lokal serta

    pemupukan tidak lengkap dengan takaran rendah (Suwarno et al, 2000). Untuk mendukung

    pengembangan pertanian di lahan pasang surut, pemerintah melalui lembaga penelitian dan perguruan

    tinggi telah melakukan kegiatan penelitian di beberapa lokasi pasang surut Kalimantan dan Sumatera

    selama sekitar 20 tahun. Badan Litbang Pertanian melalui Balai Penelitian Tanaman Rawa dan berbagai

    proyek penelitian juga telah melakukan kegiatan penelitian secara intensif sejak pertengahan tahun

    1980 an. Berbagai komponen teknologi usahatani sudah dihasilkan dan berbagai paket teknologi

    usahatani juga sudah direkayasa untuk mendukung pengembangan usahatani atau agribinis di lahan

    pasang surut. Litbang pertanian juga telah menghasilkan berbagai komponen teknologi pengelolaan

    lahan dan komoditas serta model usahatani (Ismail et al., 1993 dan Alihamsyah et al., 2003).

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    10/58

    Umumnya petani dilahan pasang surut mengusahakan tanaman padi hanya satu kali dalam

    setahun yaitu penanaman padi dilakukan pada musim hujan, dengan pola tanam padibera atau padi

    palawija. Namun pola tanam padibera lebih dominan dibandingkan dengan pola tanam padi-palawija.

    Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan produksi padi melalui intensifikasi dengan meningkatkan

    produktivitas padi musim hujan melalui penerapan inovasi teknologi PTT padi dan meningkatkanintensitas pertanaman padi di lahan pasang surut. Makalah ini bertujuan mengoptimalkan potensi

    sumber daya lahan lahan untuk peningkatan produksi dan produktivitas padi melalui penerapan inovasi

    teknologi pertanaman padi musim hujan dan peningkatan intensitas pertanaman padi (IP Padi 200) di

    lahan pasang surut desa Teluk Ketapang Kecamatan Senyerang Kabupaten Tanjung Jabung Barat

    Provinsi Jambi.

    1.2. Tujuan

    Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui Pertanian Berkelanjutan yang di

    lakukan pada Lahan Rawa Pasang Surut.

    II.TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Pengertian Lahan Pasang surut

    Lahan rawa adalah lahan yang tergenang secara terus menerus akibat drainase buruk. Lahan rawa

    di bagi menjadi dua yaitu rawa lebak dan rawa pasang surut. Lahan rawa pasang surut merupakan lahan

    yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

    Lahan pasang surut merupakan suatu lahan yang terletak pada zone/wilayah sekitar pantai yang

    ditandai dengan adanya pengaruh langsung limpasan air dari pasang surutnya air laut atau pun hanya

    berpengaruh pada muka air tanah. Sebagian besar jenis tanah pada lahan rawa pasang surut terdiri dari

    tanah gambut dan tanah sulfat masam.

    Lahan rawa pasang surut jika dikembangkan secara optimal dengan meningkatkan fungsi danmanfaatnya maka bisa menjadi lahan yang potensial untuk dijadikan lahan pertanian di masa depan.

    Untuk mencapai tujuan pengembangan lahan pasang surut secara optimal, ada beberapa kendala.

    Kendala tersebut berupa faktor biofisik, hidrologi yang menyangkut tata air, agronomi, sosial dan

    ekonomi

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    11/58

    Kemudian tanah pasang surut biasanya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan terutama

    untuk lahan persawahan. Luas lahan pasang surut yang dapat dimanfaatkan berfluktuasi antara musim

    kemarau dan penghujan. Pemanfaatan lahan pasang surut telah menjadi sumber mata pencaharian

    penting bagi masyarakat disekitarnya meskipun belum dapat menggunakannya sepanjang tahun. Rata -

    rata lahan pasang surut hanya dapat ditanami sekali dalam setahunnya selebihnya dibiarkan dalamkeadaan bero karena tergenang air. Tergenangnya lahan pasang surut secara periodik ada kaitannya

    dengan kepentingan pembangkit tenaga listrik dan meluapnya air pada musim penghujan.

    (Hanggari,2008)

    2.1.1 Zona wilayah lahan pasang surut

    Wilayah rawa pasang surut air asin/payau merupakan bagian dari wilayah rawa pasang surut

    terdepan, yang berhubungan langsung dengan laut lepas. Biasanya, wilayah rawa ini menempati bagian

    terdepan dan pinggiran pulau-pulau delta serta bagian tepi estuari, yang dipengaruhi langsung oleh

    pasang surut air laut/salin. Pada zona wilayah rawa, terdapat kenampakan-kenampakan (features)

    bentang alam (landscape) spesifik yang mempunyai bentuk dan sifat-sifat yang khas disebut landform.

    Sebagian besar wilayah zona I termasuk dalam landform marin. Pembagian lebih detail dari landform

    marin, disebut sub-landform, pada zona I rawa pasang surut air asin/payau dapat dilihat pada irisan

    vertikal tegak lurus pantai. dan diilustrasikan pada Gambar :

    Bagian terdepan terdapat dataran lumpur, atau mud-flats, yang terbenam sewaktu pasang

    dan muncul sebagai daratan lumpur tanpa vegetasi sewaktu air surut. Di belakang dataran lumpur, pada

    pantai yang ombaknya kuat dan pantainya berpasir, dapat terbentuk bukit-bukit rendah (beting) pasir

    pantai. Tanah yang terbentuk di sini merupakan tanah berpasir. Di belakangnya terdapat danau-danau

    kecil dan sempit yang disebut laguna (lagoons), biasanya ditempati tanah-tanah basah bertekstur liat.

    Lebih ke dalam ke arah daratan, dijumpai rawa pasang surut bergaram (tidal salt marsh) yang sebagian

    masih selalu digenangi pasang dan ditumbuhi hutan bakau/ mangove. Sebagian lagi, di wilayah

    belakangnya terdapat bagian lahan yang kadang masih dipengaruhi air pasang melalui sungai-sungai

    kecil (creeks), namun juga sudah ada pengaruh air tawar (fresh-water) yang kuat dari wilayah hutan

    rawa dan gambut air tawar yang menempati depresi/cekungan lebih ke darat. Bagian lahan yang

    dipengaruhi air payau ini ditumbuhi banyak spesies, tetapi yang terutama adalah nipah (Nipa fruticans),

    panggang (Sonneratia acida), dan pedada (Araliceae).

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    12/58

    2.2. Luas Lahan dan Penyebarannya

    Dengan menggunakan peta satuan lahan skala 1 : 250.000, Nugroho et al. (1992)

    memperkirakan luas lahan rawa pasang surut di Indonesia, khususnya Sumatera, Kalimantan, Sulawesi

    dan Irian Jaya mencapai 20,11 juta ha, yang terdiri dari 2,07 juta ha lahan potensial, 6,71 juta ha lahan

    sulfat masam, 10,89 juta ha lahan gambut dan 0,44 juta ha lahan salin. Sedangkan menurut wilayah dan

    statusnya, menunjukkan bahwa potensi lahan pasang surut terluas ada di Sumatera, Kalimantan dan

    Irian Jaya . Lahan tersebut tersebar terutama di pantai timur dan barat Sumatera, pantai selatan

    Kalimantan, pantai barat Sulawesi serta pantai utara dan selatan Irian Jaya sedangkan sebaran tipologi

    lahan berbeda menurut wilayah dalam arti bahwa tiap wilayah dapat mencakup beberapa tipologi lahan

    dan tipe luapan air.

    Dari luas lahan pasang surut tersebut, sekitar 9,53 juta hektar berpotensi untuk dijadikan lahan

    pertanian, sedangkan yang berpotensi untuk areal tanaman pangan sekitar 6 juta hektar. Areal yang

    sudah direklamasi sekitar 4,186 juta hektar, sehingga masih tersedia lahan sekitar 5,344 juta hektar yang

    dapat dikembangkan sebagai areal pertanian. Dari lahan yang direklamasi, seluas 3.005.194 ha

    dilakukan oleh penduduk lokal dan seluas 1.180.876 ha dilakukan oleh pemerintah yang utamanya

    untuk daerah transmigrasi dan perkebunan Pemanfaatan lahan yang direklamasi oleh pemerintah

    adalah 688.741 ha sebagai sawah dan 231.044 ha sebagai tegalan atau kebun, sedangkan 261.091 ha

    untuk keperluan lainnya.

    2.3 Prospek Untuk Prosuksi Tanaman Pangan

    Berbagai hasil penelitian dan pengalaman memperlihatkan bahwa lahan pasang surut memiliki

    prospek yang besar untuk dikembangkan menjadi areal produksif tanaman pangan untuk mendukung

    peningkatan ketahanan pangan dan bahkan untuk diversifikasi produksi dan pengembangan

    agroindustri serta pengembangan agribisinis dan lapangan kerja (Ismail et al., 1993).

    2.4 Tipologi dan Tipe lahan pasang surut

    2.4.1 Tipologi Lahan Pasang Surut

    Berdasarkan tipologinya lahan pasang surut digolongkan ke dalam empat tipologi utama, yaitu:

    (1) lahan potensial

    Lahan potensial adalah lahan yang paling kecil kendalanya dengan ciri lapisan pirit (2 %) berada

    pada kedalaman lebih dari 30 cm, tekstur tanahnya liat, kandungan N dan P tersedia rendah, kandungan

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    13/58

    pasir kurang dari 5 persen, kandungan debu 20 % dan derajat kemasaman 3,5 hingga 5,5 . (Manwan, I.

    dkk.1992). Lahan potensial yaitu lahan pasang surut yang tanahnya termasuk tanah sulfat masam

    potensial dengan lapisan pirit berkadar 2% terletak pada kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan

    tanah (Jumberi)

    (2) lahan sulfat masam

    lahan sulfat masam adalah lahan yang lapisan piritnya berada pada kedalaman kurang dari 30

    cm dan berdasarkan tingkat oksidadinya lahan sulfat masam ini dibagi lagi lahan sulfat masam potensial

    yaitu lahan sulfat masam yang belum mengalami oksidasi dan lahan sulfat masam aktual yaitu lahan

    sulfat masam yang telah mengalami oksidadi. (Manwan, I. dkk.1992).

    Lahan sulfat masam ini dibedakan lagi menjadi : (a) lahan sulfat masam potensial, yaitu apabila

    lapisan piritnya belum teroksidasi dan (b) lahan sulfat masam aktual, yaitu apabila lapisan piritnya sudah

    teroksidasi yang dicirikan oleh adanya horizon sulfurik dan pH tanah < 3,5. (Jumberi,)

    (3) lahan gambut/bergambut

    lahan gambut/bergambut adalah lahan yang mempunyai lapisan gambut dan berdasarkan

    ketebalan gambutnya lahan ini dibagi ke dalam empat sub tipologi yaitu lahan bergambut, gambut

    dangkal, gambut dalam dan gambut sangat dalam, umumnya lahan gambut kahat beberapa unsur hara

    mikro yang ketersediaannya sangat penting untu pertumbuban dan pekermbangan tanaman(Manwan, I.

    dkk.1992).

    lahan gambut ini dibagi lagi menjadi : (a) lahan bergambut bila ketebalan lapisan gambut 20-50

    cm, (b) gambut dangkal bila ketebalan lapisan gambut 50-100 cm, (c) gambut sedang bila ketebalan

    lapisan gambut 100-200 cm, (d) gambut dalam bila ketebalan lapisan gambut 200-300 cm dan

    (e) gambut sangat dalam bila ketebalan lapisan gambut > 300 cm. (Jumberi,)

    (4) lahan salin

    lahan salin adalah lahan pasang surut yang mendapat intrusi air laut, sehingga mempunyai daya

    hantar listrik 4 MS/cm, kandungan Na dalam larutan tanah 815 % (Manwan, I. dkk.1992).

    Lahan salin adalah lahan pasang surut yang mendapat pengaruh atau intrusi air garam dengan

    kandungan Na dalam larutan tanah sebesar > 8% selama lebih dari 3 bulan dalam setahun, sedangkan

    lahannya dapat berupa lahan potensial, sulfat masam dan gambut. (Jumberi,?)

    Berdasarkan pertimbangan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemanfaatan dan

    pengelolaan lahan rawa adalah: (a) kedalaman lapisan mengandung pirit/bahan sulfidik, dan kondisinya

    masih tereduksi atau sudah mengalami proses oksidasi, (b) ketebalan dan tingkat dekomposisi gambut

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    14/58

    serta kandungan hara gambut, (c) pengaruh luapan pasang dari air salin/payau, (d) lama dan kedalaman

    genangan air banjir, dan (e) keadaan lapisan tanah bawah, atau substratum.

    Penggolongan tipologi lahan pasng surut di atas sangat umum, sehingga menyulitkan transfer

    teknologi dalam satu tipologi lahan, oleh karena itu diusulkan penggelompokkan lahan yang lebih rinci

    dengan mempertimbangkan berbagai ciri dan karakteristik yang lebih spesifik

    2.4.2 Tipe Luapan air pasang surut

    Berdasarkan tipe luapan air, tipe luapan lahan pasang surut: (1) tipe luapan A bila lahan selalu

    terluapi air baik pada waktu pasang besar maupun pasang kecil dan Lahan bertipe luapan A selalu

    terluapi air pasang, baik pada musim hujan maupun musim kemarau,; (2) tipe luapan B bila lahannya

    hanya terluapi oleh air pasang besar. lahan bertipe luapan B hanya terluapi air pasang pada musim

    hujan saja; (3) lahan tidak terluapi air pasang baik pasang besar maupun pasang kecil, tetapi permukaan

    air tanah kurang dari 30 cm dari permukaan tanah. Lahan bertipe luapan C tidak terluapi air pasang

    tetapi kedalaman muka air tanahnya kurang dari 50 cm,; (4) tipe luapan D bila lahannya tidak terluapi

    oleh air pasang baik pasang besar maupun pasang kecil, tetapi permukaan air tanahnya berada pada

    kedalaman lebih dari 30 cm dari permukaan tanah.

    Tipologi lahan dan tipe luapan air merupakan acuan yang seharusnya dipatuhi dalam penerapan

    paket teknologi agar usahatani yang dikelola dapat memberikan hasil yang optimal. Paket teknologi

    usahatani itu sendiri pada garis besarnya berisi: (1) teknik pengelolaan lahan dan air yang memuat

    pengaturan pemasukan dan pengeluaran air baik pada tingkat makro maupun tingkat mikro, penataandan pengeolahan lahan; (2) teknik budidaya yang memuat teknik budidaya tanaman, ikan dan ternak, di

    dalamnya meliputi vareitas/jenis yang cocok, pupuk dan pemupukkan, pencegahan dan pengendalian

    organisme penganggu tanaman (OPT), dan; (3) teknik reklamsi lahan. Pengelolaan lahan dan air

    merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengelolaan usahatani di lahan pasang surut dalam

    kaitannya dengan optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahannya ( Alihamsyah, 2003).

    Pengaturan pemasukan dan pengeluaran air baik di tingkat makro maupun ditingkat mikro

    sangat tergantung dengan tipe luapan air pada satu kawasan tertantu. Pada lahan yang bertipe luapan A

    diatur dengan sistem satu arah, lahan yang bertipe luapan B selain dengan sistem satu arah juga disertai

    dengan sistem tabat. Sedangkan lahan yang bertipe luapan C dan D dimana sumber air utamanya adalah

    air hujan digunakan sistem tabat yang dilengkapi dengan pintu stoplog untuk menjaga permukaan air

    tanah sesuai dengan kebutuhan tanaman dan yang lebih terpenting adalah agar permukaan air tanah

    selalu tetap berada pada lapisan pirit dengan kandungan lebih dari 2% dengan maksud agar tidak terjadi

    oksidasi. Pada pengaturan pemasukan dan pengeluaran air satu arah, saluran pemasukkan dan

    pengeluaran dibedakan dimana antara saluran pemasukkan dan pengeluaran dibuatkan pintu engsel

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    15/58

    (Flape Gate) yang membuka kedalam pada saluran pemasukkan dan membuka keluar pada saluran

    pembuangan (Ismail, I.G. dkk. 1993).

    2.5 Penataan Lahan di Pasang surut

    Penataan lahan yang dianjurkan selain tergantung dari tipologi lahan dan tipe luapan air juga

    tergantung dari sistem usahatani yang akan dikelola, apakah hanya satu jenis tanaman, lebih dari satu

    jenis tanaman namun memiliki kebutuhan air dalam veolume yang sama atau meiliki kebutuhan air yang

    berbeda. Pada lahan yang tipe luapan air A pilihannya tidak banyak untuk lahan potensial sulfat masam

    dan gambut dangkal, dengan karekaterisitik ini pentaan lahan sebaiknya diarahkan sebagai sawah dantanaman yang diusahakan hanya padi yang dapat ditanam 2 kali. Lahan yang bertipe luapan B-C

    penataaannya dapat diarahkan sebagai sawah/surjan, surjan bertahap atau tegalan, sedangkan lahan

    yang bertipe luapan B untuk lahan potensial, sulfat masam, dan gambut dangkal diarahkan sebagai

    tegalan dan untuk gambut sangat dalam tanaman yang disarankan adalah tanaman perkebunan

    (Alihamsyah, 2003). Lebih lanjut dikemukakan, penataan lahan sebagai surjan memiliki keuntungan: (1)

    intensitas penggunaan lahan meningkat; (2) beragam produksi pertanian dapat dihasilkan; (3) resiko

    kegagalan panen dapat dikurangi, dan (4) stabilitas produksi dan pendapatan usahatani meningkat.

    Menurut Widjaja Adhi (1995) dan Subagyo dan Widjaja Adhi (1998), lahan pasang surut dapat

    ditata sebagai sawah, tegalan dan surjan disesuaikan dengan tipe luapan air dan tipologi lahan serta

    tujuan pemanfaatannya .Secara umum terlihat bahwa lahan bertipe luapan A yang karena selalu terluapi

    air pasang dianjurkan ditata sebagai sawah, sedangkan lahan bertpe luapan B dapat ditata sebagai

    sawah atan surjan. Lahan bertipe luapan B/C dan C karena tidak terluapi air pasang tetapi air tanahnya

    dangkal dapat ditata sebagai sawah tadah hujan atau surjan bertahap dan tegalan, sedangkan untuk

    yang bertipe luapan D ditata sebagai sawah tadah hujan atau tegalan dan perkebunan. Lahan lahan

    sulfat masam akan lebih murah dan aman bila ditata sebagai sawah karena dalam keadaan anaerob atau

    tergenang, pirit tidak berbahaya bagi pertumbuhan tanaman. Bila disawahkan tanaman padi

    kemungkinan menderita keracunan besi dan/atau sulfida mungkin juga kahat fosfat. Sebaliknya bila

    ditanami palawija atau dimanfaatkan sebagai tegalan, tanaman menderita keracunan Al dan

    kemungkinan disertai kahat fosfat.

    Pemberian bahan amelioran atau bahan pembenah tanah dan pupuk merupakan faktor penting

    untuk memperbaiki kondisi tanah dan meningkatkan produktivitas lahan. Amelioran tersebut dapat

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    16/58

    berupa kapur atau dolomit maupun bahan organik atau abu sekam dan serbuk kayu gergajian. Secara

    umum pemberian kapur antara 0,5 ton hingga 3,0 ton per hektar sudah cukup memadai (Sudarsono,

    1992 dan Trip Alihamsyah 2003).

    Salah satu penciri yang spesifik dari lahan pasang surut adalah tingginya tingkat keragaman

    kesuburan lahan sekalipun dalam satu petakan sawah. Untuk itu kisaran dosis pupuk yang dibutuhkan

    batas antara kebutuhan minimal dengan kebutuhan maksimal cukup besar (Tabel 2) sedangkan pada

    lahan gambut terdapat dosis tunggal namun pada lahan yang bertipologi lahan ini perlu ditambahkan

    unsur hara mikro seperti Cu dan Zn, karena umumnya lahan gambut kahat akan unsur hara mikro

    (Suryadilaga, D.A., dkk.1992 dan Sudarsono 1992). Untuk mendapatkan dosis pupuk yang tepat pada

    tingkat keragaman yang tinggi merupakan suatu masalah tersendiri dalam mengelola lahan pasang surut

    untuk pertanian. Di tingkat petani, ini adalah hal yang sangat sulit dilakukannya, untuk itu peran petugas

    lapang mengarahkan petani dalam penentuan dan pemberian pupuk dengan dosis yang sesuai dengan

    kebutuhan tanaman sangat dibutuhkan, di lain sisi petugas lapang itu sendiri perlu dibekali dengan

    pengetahuan yang memadai.

    Selain varietas unggul spesifik lahan pasang surut di atas, beberapa varietas padi unggul nasional

    juga dapat beradaptasi dengan baik di lahan pasang surut dengan hasil yang cukup tinggi. Variertas-

    vareitas tersebut antara lain adalah Cisanggarung, Cisadane, Cisokan, IR 42, dan IR66 (Sastraatmaja, S.

    dan Dadan Ridwan Ahmad. 2000).

    III. PEMBAHASAN

    PENERAPAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI LAHAN RAWA PASANG SURUT

    Kesesuaian Inovasi/Karakteristik Lokasi :

    Lahan pasang surut di Propinsi Jambi sebagian besar terdapat di Kabupaten Tanjung Jabung

    Barat dan Tanjung Jabung Timur terletak pada 102o70 sampai dengan 103

    o00 Bujur Timur dan 01

    o00

    sampai dengan 01o30 Lintang Selatan.Luas areal potensial untuk pengembangan komoditas pertanian

    diperkirakan 200.000 ha dari luas tersebut potensi untuk tanaman pangan 90.000 ha. Kabupaten

    Tanjung Jabung Timur merupakan Kabupaten yang memberikan kontribusi terbesar beras di Propinsi

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    17/58

    Jambi (Pemda Tanjabtim). secara geografis terletak antara 01o0620-01o1333 dan 104

    o0122-

    104o0906 BT. Lahan pasang surut terbagi atas 4 tipologi yaitu lahan potensial, sulfat masam, lahan

    gambut dan salin serta tipe luapan air A, B, C dan D. Iklimnya type B berdasarkan klasifikasi iklim Schmit

    dan Ferguson dengan bulan basah antara 8-10 bulan dan bulan kering 2-4 bulan. Curah hujan bulanan

    tertinggi umumnya terjadi pada bulan Desember/januari dan curah hujan terendah bulan Agustus.

    Keunggulan/Nilai Tambah Inovasi :

    Penerapan inovasi teknologi tersebut dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas lahan,

    dapat meningkatkan intensitas penggunaan lahan dan penerapan beragam pola tanam serta

    pendapatan petani. Produksi padi meningkat dari 2,5 3 ton/ha menjadi 4-6 ton/ha. Penerimaan

    usahatani padi per hektar sebesar Rp. 6.250.000 dan keuntungan usahatani padi per hektar yaitu Rp.

    3.303.000.

    Uraian Inovasi :

    Tabel 1. Inovasi teknologi sistem usahatani padi di lahan pasang surut

    No Komponen Teknologi Inovasi teknologi

    1. Pola tanam dan penataan lahan Sesuai dengan tipologi lahan dan tipe luapan air

    Padi-Padi

    Padi-Palawija/Hortikultura

    2. Pengelolaan tata air

    - Makro Saluran Primer, Sekunder, Pintu air

    - Mikro Saluran kemalir/cacing (20x30 cm)

    Saluran kuarter (60x60 cm)

    Saluran terier (75x70 cm)

    3. Pengelolaan lahan Olah tanah dan TOT dengan herbisida

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    18/58

    4. Varietas Batanghari, IR 42, Indragiri, Margasari, Sei Punggur,

    Lambur. Banyuasin.

    5. Pemupukan dan Ameliorasi

    (kg/ha)

    Sesuai dengan tipologi lahan

    Urea 100-300

    SP 120-180

    KCl 100-150

    Dolomit 1000-3000

    CuSO4 5

    ZnSO4 10

    6. Pengendalian hama/penyakit PHT

    Cara Penggunaan Inovasi :

    Pola Tanam dan Penataan Lahan

    Pola tanam dengan penataan lahan sawah pada tipe luapan A adalah padi-padi. Sedangkan pola

    tanam dengan penataan lahan sawah atau surjan pada tipe luapan air B adalah padi-padi dan padi-

    palawija/hortikultura.

    Tabel 2. Acuan penataan lahan masing-masing tipologi lahan dan tipe luapan air di lahan pasang surut.

    Tipologi Lahan Tipe luapan air

    A B C D

    Potensial Sawah Sawah/surjan Sawah/surjan/tegalan Sawah/tegalan/

    kebun

    Sulfat masam Sawah Sawah/surjan Sawah/surjan/tegalan Sawah/tegalan/

    kebun

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    19/58

    Bergambut Sawah Sawah/surjan Sawah/tegalan Sawah/tegalan/

    kebun

    Gambut

    dangkal

    Sawah Sawah/surjan Sawah/tegalan Tegalan/kebun

    Gambut sedang - Konservasi Tegalan/perkebunan Perkebunan

    Gambut dalam - Konservasi Tegalan/perkebunan Perkebunan

    Salin Sawah/tambak Sawah/tambak - -

    Tata Air

    Pengelolaan tata air makro dan mikro merupakan faktor penentu keberhasilan pengelolaan

    lahan pasangsurut. Pengoperasian dan perawatan tata air makro (meliputi jaringan saluran primer,

    sekunder dan tertier serta pintu air) selama ini menjadi tanggung jawab Dinas PU sedangkan tata air

    mikro (jaringan saluran kuarter, saluran keliling dan cacing) menjadi tanggung jawab petani. Salurancacing/kemalir dibuat dengan jarak 9 m dan 12 m. Pada lahan bertipe lupan air A diatur dalam system

    aliran satu arah sedangkan pada lahan bertipe luapan air B diatur dengan system satu arah dan tabat,

    karena air pasang pada musim kemarau sering tidak masuk kepetakan lahan. Sistem tata air pada tipe

    luapan air C dan D ditujukan untuk menyelamatkan air, karena sumber air hanya berasal dari air hujan.

    Oleh karena itu saluran air pada system tata air di lahan bertipe luapan air C dan D perlu ditabat dengan

    pintu air stoplog unuk menjaga permukaan air tanah agar sesuai dengan kebutuhan tanaman serta

    memungkinkan air hujan tertampung dalam saluran tersebut.

    Varietas

    Varietas unggul yang beradaptasi baik di sawah lahan pasang surut dengan tingkat kemasman

    dan kadar besinya tidak terlalu tinggi adalah kapuas, Cisanggarung, Cisadane, Cisokan, IR 42, Batanghari,

    Indragiri, Punggur. Pada lahan dengan kemasaman dan kadar besinya tinggi dapat digunakan varietas

    unggul lokal seperti Ceko, Siam, Sepulo, Pontianak.

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    20/58

    Pengelolaan Lahan

    Penyiapan lahan dengan pengolahan tanah di lahan pasang surut diperlukan selain untuk

    memperbaiki kondisi lahan menjadi lebih seragam dan rata dengan adanya penggemburan dan

    pelumpuran juga untuk mempercepat proses pencucian bahan beracun dan pencampuran bahan

    ameliorasi maupun pupuk dengan tanah . Pengolahan tanah yang memberikan hasil baik dari segi fisik

    lahan dan hasil tanaman adalah dengan bajak singkal atau tajak diikuti oleh rotary atau glebeg yang

    dikombinasikan dengan herbisida . Bila tanahnya sudah gembur atau berlumpur baik dan merata yang

    umumnya dijumpai pada lahan bergambut dengan tipe luapan air A dan B, pengolahan tanah secara

    intensif tidak diperlukan tetapi diganti dengan pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah (TOT)

    yang dikombinasikan dengan penggunaan herbisida. Hal ini menunjukkan bahwa dilahan pasang surut

    untuk pengolahan tanahnya tergantung kondisi lahannya. Walaupun pengolahan tanah diperlukan tapi

    tidak harus dilakukan setiap musim, karena pengolahan tanah yang dilakukan selang dua musim tanam

    tidak menurunkan hasil tanaman.

    Ameliorasi dan Pemupukan

    Pemberian bahan amelioran atau bahan pembenah tanah dan pupuk merupakan faktor penting

    unuk memperbaiki kondisi tanah dan meningkatkan produktivitas lahan. Bahan tersebut dapat berupa

    kapur atau dolomit maupun bahan organik atau abu sekam dan serbuk kayu gergajian. Pemberian kapur

    sebanyak 1-2 ton/ha mampu meningkatkan hasil padi dan palawija, untuk keperluan praktis secaraumum pemberian kapur sebanyak 0,51 ton/ha sudah cukup memadai. Dari serangkaian kegiatan hasil

    penelitian pengelolaan hara dan pemupukan dapat disintesiskan dosis optimum untuk tanaman padi

    tertera pada tabel 2 . Takaran pupuk dilahan pasang surutt perlu disesuaikan dengan status hara tanah,

    hal ini berdasarkan serangkaian penelitian pemupukan berdasarkan status hara tanah untuk tanaman

    padi varietas yang kurang tanggap terhadap pupuk N seperti varietas Margasari.

    Tabel 2. Dosis pupuk dan bahan amelioran untuk tanaman padi di lahan pasang surut

    Jenis Pupuk

    (kg/ha)

    Lahan potensial Lahan sulfat masam

    potensial

    Lahan gambut

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    21/58

    N atau urea 45-90 =100-200 67,5-135 =150-300 45=100

    P2O5 atau SP36 22,5-45= 60-120 45,0-70 =120-180 60=160

    K2O atau KCl 50=100 45,0-70 = 90-150 50=100

    CuSO4 atau terusi - - 5

    ZnSO4 - - 10

    Kapur atau dolomite - 1000-3000 1000-2000

    Pengendaliaan Hama Terpadu

    Penyebab utama tingginya intensitas serangan hama dan penyakit adalah 1) kedekatan lokasi

    lahan pasang surut dengan hutan terutama lahan yang baru dibuka dan 2) sempitnya areal pertanaman

    varietas unggul sehingga serangan hama dan penyakit terkosentrasi. Pada dasarnya pengendalian

    dilakukan mengacu pada strategi pengelolaan hama terpadu (PHT), yaitu melalui penggunaan varietas

    tahan dan musuh alami, teknik budidaya yang baik dan sanitasi lingkngan. Penggunaan pestisida kimiawi

    dilakukan sebaagai tindakan terakhir. Startegi dan cara pengendaliaan terpadu hama tikus di lahan

    pasang surut disajikan pada tabel 3. Strategi pengendalian tikus tersebut didasarkan pada kombinasi dan

    cara pengendalian berdasarkan stadia tanaman padi dilapangan. Untuk keberhasilan pengendalian

    hama dan penyakit diperlukan dukungan petani dan aparat serta sarana dan prasarana penunjang yang

    mewadai.

    Tabel 3. Strategi dan cara pengendalian hama tikus di lahan pasang surut

    Stadia tanaman padi Komponen teknologi pengendaliaan

    Gropyokan Umpan

    beracun

    Fumigasi SPP Perangkap

    bambu

    Bera * * *

    Persemaian * * *

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    22/58

    Anakan aktif * *

    Bunting * * *

    Bermalai * *

    Panen * *

    SPP : Sistem pagar perangkap untuk 1 ha dengan 40 buah bagi 20 ha tanaman padi

    Informasi Lain Yang Perlu Ditonjolkan :

    - Tata air mikro dapat mengurangi kemasaman tanah dan kandungan besi yang merupakan kendala

    utama dilahan pasang surut

    - Sistem TOT disertai dengan penyemprotan herbisida Glyfosat sebanyak 6 l/ha pada lahan sulfat masam

    dan bergambut yang sudah melumpur selain dapat mengurangi waktu kerja 70-75 % juga meningkatkan

    hasil padi.

    - Keseimbangan hara N, P, K dan Ca sangat penting dalam pengelolaaan hara dan pemupukan dilahan

    pasang surut. Dengan pemberian hara secara lengkap dapat meningkatkan hasil padi dari 0,64 ton/ha

    menjadi 4,24 ton/ha sampai 6,0 ton/ha

    2.8 Kelebihan dan Kekurangan dari lahan pasang surut

    Kelebihan dari tanah pasang surut:

    Memanfaatkan lahan yang diperkirakan lahan yang tidak dapat di gunakan oleh lahan pertanian

    Memaksimalkan lahan yang terdapat disuatu daerah

    Mungurangi tingkat penggangguran di daerah yang memiliki lahan pasang surut

    kekurangan tanah pasang surut:

    Adanya perluasan wilayah pasang surut yang disebabkan karena pendangkalan di tepian rawa, sehingga

    wilayah rawa menyempit. Hal ini dapat dipercepat dengan kebiasaan membuang limbah sisa panen

    (jerami) ke dalam rawa.

    Pencucian unsur hara dan kegiatan pemupukan yang menyebabkan eutrofikasi. Akibat pemupukan300

    Sittadewi, E. H. 2008 anorganik, menimbulkan adanya kekhawatiran bahwa pada saat air pasang, unsur

    unsur terlarut masuk dalam lingkungan perairan. Hal ini dapat menimbulkan suburnya berbagai

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    23/58

    species tumbuhan aquatik maupun semi aquatik seperti eceng gondok, jenis rumput dll. Hal inilah yang

    dapat menyebabkan eutrofikasi.

    Peningkatan kadar keasaman lahan karena pelapukan bahan organik dan kelarutan zat tertentu serta

    pencucian zat kimia dan penyemprotan pestisida, herbisida, zat pengatur tumbuh yang dipergunakan

    oleh petani. Jika residu atau senyawa yang ikut terlarut dalam air irigasi dan masuk dalam lingkungan

    perairan rawa akan mempengaruhi kualitas air rawa dan kehidupan di dalamnya termasuk populasi ikan.

    Penggarapan lahan pasang surut menjadikan lahan subur bagi berbagai jenis tumbuhan liar, selain

    tanaman budidaya. Jika lahan tersebut kemudian dibiarkan menjadi bero, dengan cepat akan tumbuh

    berbagai jenis tumbuhan liar. Hadirnya species tumbuhan terjadi secara bergantian melalui proses

    adaptasi dan suksesi, dapat merubah lahan secara perlahan.

    Pengolahan lahan, pada dasarnya menyebabkan partikel tanah lepas sehingga rawan terhadap erosi.

    Bila hal ini terjadi, erosi tersebut akan mempercepat proses penambahan sedimen ke dasar perairan

    rawa.(Hanggari,2008)

    http://kenzhi17.blogspot.com/2012/11/pertanian-berkelanjutan-di-tanah-pasang.html

    Reklamasi Lahan Rawa dan Pasang Surut Sebagai

    Suatu Aset Sumberdaya Alam Indonesia

    BAB II

    LAHAN RAWA DAN PASANG SURUT SEBAGAI SUMBERDAYA YANG TERSEMBUNYI

    2.1. Gambaran Karakteristik Tanah Rawa /Gambut dan Lahan Pasang Surut di Indonesia

    Pengusahaan pertanian dengan kehutanan merupakan keharusan, apabila dihubungkan dengan alokasi

    tempat yang sesuai sebagai penyangga serta penyeimbang lingkungan hidup. Keberlangsungan hidup

    manusia serta makhluk hidup lain yang ada di muka bumi initidak terlepas dari keseimbangan

    ekosistem yang ada, yang mana sumberdaya pertanian untuk pemenuhan kebutuhan perut,

    sedangkan sumberdaya kehutanan untuk penyangga serta mulai dari penyuplai oksigen hingga

    ketersediaan papan. Akan tetapi seiring dengan pertumbuhan serta ledakan populasi penduduk yang

    melebihi ketersediaan sumberdaya pemenuhan kebutuhan sudah tidak seimbang, sungguh sangat

    ironis.

    http://kenzhi17.blogspot.com/2012/11/pertanian-berkelanjutan-di-tanah-pasang.htmlhttp://kenzhi17.blogspot.com/2012/11/pertanian-berkelanjutan-di-tanah-pasang.htmlhttp://kenzhi17.blogspot.com/2012/11/pertanian-berkelanjutan-di-tanah-pasang.html
  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    24/58

    Daerah rawa merupakan karakteristik yang unik pembentuk serta perangsang peningkatan potensi

    pemenuhan kebutuhan tersebut yang belum dikembangkan secara maksimal, namun kembali kepada

    kaidah konservasi hingga rehabilitasi guna mengerem laju eksplorasi hingga eksploitasi yang ada.

    Daerah rawa dapat didefinisikan sebagai daerah yang selalu tergenang atau pada waktu tertentu

    tergenang karena jeleknya atau tidak adanya system drainase alami. Sementara itu tempat terjadinya

    daerah awa tidak dibatasi oleh ketinggian (elevasi) lahan. Di tempat yang tinggipun dapat ditemukan

    daerah rawa di depresi geologis. Genangan airdi daerah depresi ini terjadi karena terkumpulnya

    limpasan air hujan pada cekungan tersebut, sirkulasi air data terjadi karena adanya evaporasi dan

    tambahan lewat air tanah.

    Daerah rawa mempunyai arti penting secara hidrologis bagi lingkungan fisik system hidrologi sungai.

    Daerah rawa di suatu daerah genangan banjir sungai, dapat berfungsi sebagai filter yang dapat

    menjernihkan air sebelum masuk ke sungai. Air limpasan dari daerah lebih tinggi mangalir masuk ke

    daerah rawa, karena adanya tumbuh-tumbuhan di daerah rawa tersebut, kecepatan aliran menjadi kecil

    yang mengakibatkan terendapkansedimentsuspensi, oleh karena itu pada waktu meninggalkan daerah

    rawa, air tersebut sudah menjadi lebih jernih. Daerah rawa juga dapat berfungsi sebagai reservoirair

    yang dapat menjaga keberadaan air tanah di daerah di atasnya.

    Rawa adalah lahan dengan kemiringan relatif datardisertai adanya genangan air yang terbentuk secara

    alamiah yang terjadi terus menerus atau semusim akibat drainase alamiah yang terhambat serta

    mempunyai ciri fisik: bentuk permukaan lahan yang cekung, kadang-kadang bergambut, ciri kimiawi:

    derajat keasaman airnya terendah dan cirri biologi: terdapat ikan-ikan awa, tumbuhan rawa. Rawa

    dibedakan kedalam 2 jenis, yaitu: rawa pasang surut yang terletak di pantai atau dekat pantai, di muara

    atau dekat muara sungai sehingga oleh pasang surutnya air laut dan rawa non pasang surut atau rawa

    pedalaman atau rawa lebak yang terletak lebih jauh jaraknya dari pantai sehingga tidak dipengaruhi oleh

    pasang surutnya air laut.

    2.2. Perspektif Lingkungan Rawa dan Lahan Gambut

    Menurut penuturan Mulyanto dan Sumawinata (2007), lahan gambut merupakan depositkarbon,

    seperti halnya minyak bumi dan batubara. Jika dipelajari proses evolusi pembentukannya, deposit

    batubara senantiasa dimulai dari proses pembentukan gambut (peat) terlebih dahulu, kemudian deposit

    gambut mengalami deposisi bahan baru diatas gambut dan gambut selanjutnya mengalami kompresi

    membentuk batubara muda (lignite)dan kompresi lanjut dari batuhara muda ini akan membentuk

    batubara (ant rachite). Oleh karena itu isu-isu tentang karbon, baik yang berkaitan dengan deposit

    karbon (carbon stock), pelepasan karbon (carbcn re/ease), rosot karbon (carbon sink) dan bahkan

    sampai ke isu tentang perdagangan karbon (carbon trade ) terkait juga dengan pengelolaan lahan

    gambut.

    Hubungan antara isu-isu tentang karbon dengan pengelolaan gambut di Indonesiamenjadi semakin

    penting, karena sekitar setengah dari lahan gambut di daerah tropika berada di Indonesia. Menurut

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    25/58

    Bellamy (1997) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007) di Dunia terdapat kurang lebih 400 juta hektar

    lahan gambut, 90 persen di antaranya berada di daerah temperate dan 10 persen sisanya berada di

    daerah tropika. Sementara itu, menurut Rajaguguk (1997) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007) luas

    lahan gambut di Indonesia sekitar 20 juta hektar. Lahangambut ini berada dalam lahan rawa Indonesia

    yang lebih kurang 33 juta hektar (Widjaja-Adhi, 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007)). Lahan

    gambut ini tersebar di Sumatra (41,4%), Kalimantan (22,8%), Papua (23%), Sulawesi (1,6%) dan

    Halmahera-Seram (0,5%) (Mulyanto dan Sumawinata (2007).

    Prof H. E. Hidayat Salim dan Dr. Ir. Siti Mariam (2007) mengemukakan luas total daerah rawa

    dan pasang surut diperkirakan 39.424.500 hektar (17% dari luas dataran Indonesia) dan tersebar di

    empat pulau besar, terdiri dari : (1) Rawa Pedalaman (Lebak) kira-kira 32.424.500 hektar, dan (2)

    Rawa Pantai(Pasang Surut) kira-kira 7.000.000 hektar. Seluas 27 juta hektar (11,5 % daratan Indonesia0

    merupakan tanah gambut (Organosol, Histosol).

    Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan rapuh, karena lahan ini berada dalam

    suatu lingkungan rawa, yang terletak di belakang tanggul sungai (backswamp). Oleh karena dalam

    lingkungan rawa, maka lahan ini senantiasa tergenang dan tanah yang terbentuk pada umumnya

    merupakan tanah yang belum mengalami perkembangan, seperti tanah-tanah alluvial (Entosols) dan

    tanah-tanah yang berkembang dari tumpukan bahan organic, yang lebih dikenal sebagai tanah gambut

    atau tanah organic (Histosols) (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

    Daerah rawa bergambut ini pada umumnya datar dan terletak diantara dua sungai besar. Meskipun

    disebut datar lahan rawa bergambut ini pada umumnya berbentuk kubah (dome), sehingga terdapat

    beda ketinggian (elevation) antara pinggir sungai dan posisi tengah diantara dua sungai tersebut sebagai

    puncak dome, sehingga memungkinkan terjadi pergerakan air dari puncak dome ke arah pinggir sungai.

    Pergerakan air inilah yang memungkinkan ekosistem rawa bergambut dapat menunjang kehidupan.

    Secara umum di antara sungai-sungai di daerah ini dapat dipandang sebagai suatu unit 'pulau' yang

    mempunyai karakteristik yang khas. Karakteristik geografi yang semacam itu berhubungan erat dengan

    karaktersitik tanah dan juga karakteritik vegetasi hutan yang tumbuh di atasnya. Hubungan antara

    elevasi, kedalaman gambut dan karakteristik hutannya dapat dilihat dari transek yang dibuat oleh

    Mulyanto dan Nurhayati (2002) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007). antara S. Kahayan dan S.

    Sebangau.(Gambar 1).

    Gambar ini menunjukkan bahwa terjadi kenaikan elevasi, semakin jauh dari pinggir sungai maka

    semakin tebal lapisan gambutnya. Hal ini menunjukkan adanya bentuk dome tersebut dengan

    puncaknya di sekitar tengah 'pulau. Ketebalan gambut di puncak dome dapat lebih dari 10 meter.

    Keadaan bentuk lahan yang demikian, dan juga keadaan topografi dan jenis bahan yang menjadi dasar

    pembentukan gambut akan sangat mempengaruhi beberapa karakteritik tanah dan selanjutnya

    mempengaruhi jenis vegetasi yang tumbuh di atasnya. (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    26/58

    Gambar 1. Profil melintang bahan gambut antara Sungai Kahayan dan Sebangau, Kalimantan Tengah [Mulyanto dan

    Nurhayati (2002) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007)]

    Tanah mineral merupakan bagian lapisan dasar yang muncul setempat ke permukaan. Dasar

    lahan rawa bergambut adalah bahan sedimen mineral dengan berbagai karakteristik (Tabel 1).

    Karakteristik sediment ini sangat tergantung pada proses pembentukannya dan karakteristik ekosistem

    pada saat sediment tersebut terbentuk. Sedimen yang terbentuk dalam ekosistem air payau (brackish

    water) ditandai oleh banyaknya serpihan kayu dan adanya mineral pirit (FeS 2) sebagai mineral yang

    perlu diwaspadai pada saat akan mengelola lahan rawa bergambut, karena merupakan potensi sulfat

    masam. Sementara itu, apabila sedimen ini terbentuk di lingkungan air tawar (fresh water) sedimentersebut relatif bersih, tidak banyak mengandung serpihan kayu dan tidak mengandung mineral pirit

    (FeS2), sehingga dikhawatirkan adanya bahaya sulfat masam (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

    Tabel 1. Contoh-contoh perbedaan karakteristik sedimen bawah gambut oleh karena perbedaan

    lingkungan pembentukannya (Sumawinata, 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007)

    2.2.1. Pengaruh Spesifik Lahan Pasang Surut Terhadap Keseimbangan Ekologi

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    27/58

    Menurut Mulyanto dan Sumawinata, 2007 disamping karakteristik sedimen yang menjadi dasar

    rawa, pengaruh pasang surut juga sangat berpengaruh terhadap ekosistem lahan rawa saat ini. Tanah

    gambut di di lapangan dapat mengandung air sekitar 500 persen dari bobot keringnya. Hal ini berarti

    bahwa pada dasarnya kualitas tanah rawa gambut sangat ditentukan oleh kualitas airnya. Karakteristik

    lingkungan rawa yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut akan sangat berbeda dengan karakteristik

    lingkungan rawa yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut. Karakteristik rawa yang dipengaruhi oleh

    pasang surut air laut pada umumnya airnya merupakan percampuran air tawar dan air laut , sehingga

    dalam batas tertentu, jika kadar garamnya tidak berlebihan, akan mempunyai daya dukung terhadap

    kehidupan yang lebih baik daripada yang hanya mengandung air tawar, karena kandungan unsur

    haranya lebih baik. Oleh karena itu, pengaruh pasang surut air laut sangat penting dipergunakan dalam

    penyusunan basis aturan.

    Secara alami, ekosistem rawa, termasuk juga ekosistem lahan gambut, merupakan ekosistem

    yang memberi hasil yang cukup, terutama hasil-hasil perikanan air tawar ataupun air payau. Pada saat

    masih tertutupi dengan vegetasi hutan, lahan rawa ini memberi banyak hasil bagi masyarakat, baik yang

    berupa hasil-hasil hutan, seperti rotan, kayu, obat- obatan dsb. Disamping itu, lahan rawa ini juga

    merupakan komponen pengatur hidrologi ekosistem lahan rawa. Secara tradisional orang-orang Banjar,

    Bugis telah mengelola lahan rawa bergambut ini untuk relatif bersinambungan dalam unit ekosistem

    lahan gambut (Mulyanto et al., 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007). Sementara itu, lahan

    rawa gambut yang dibuka untuk pertanian, seperti lahan lokasi Projek Lahan Gambut 1 juta hektar, tidak

    memberikan hasil dan bahkan hasil-hasil perikanan rawa malah menunjukkan penurunan oleh karena

    kerusakan ekosistemnya. (Mulyanto, 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

    2.3. Reklamasi Tanah Rawa Gambut dan Pasang Surut Sebuah Solusi Aktif dalam Perencanaan dan

    Pengembangan Wilayah

    Banyak pendapat tentang data kuantitatif yang dikembangkan tentang satuan luasan lahan

    pasang surut dan rawa, selain pernyataan Prof. H. E. Hidayat Salim dan Dr. Ir. Siti Mariam (2007) adapula

    penuturan Suriadikarta dan Sutriadi (2007) luas lahan pasang surut di Indonesia diperkirakan 20,10 juta

    ha, sekitar 20-30% di antaranya berpotensi untukdigunakan sebagai lahan pertanian. Sampai saat ini

    baru sekitar 3-4 juta ha lahan rawa yang sudah direklamasi.Pembukaan lahan rawa pasang surut

    memerlukan perencanaan yang matang dan hati-hati supaya tidak mengalamikegagalan, karena lahan

    rawa bersifat rapuh (fragile). Dalam menentukan jenis-jenis lahan rawa yang berpotensiuntuk pertanian

    perlu dilakukan identifikasi dan karakterisasi wilayah rawa pasang surut yang akan dikembangkan.

    Pengembangan lahan pasang surut yang dilaksanakan pemerintah pada tahap awal (tahap I) berupa

    pembangunan sistem drainasi terbuka, tanpa bangunan pengendalian aliran air, dilengkapi dengan

    penyiapan lahan, rumah-rumah, jaringan jalan, jembatan sekolah dan sarana kesehaan. Pada mulanya

    lahan ini menunjukkan produksi padi di sawah yang cukup tinggi, namun dalam perkembangan

    selanjutnya sistem drainasi yang sudah ada tidak segera diikuti dengan pembuatan pintu pengatur air,

    sehingga degradasi lahan mulai berjalan. Terjadinya drainase berlebihan, tidak hanya membawa toksik

    tetapi juga membawa hara dan mineral lainnya. Akhirnya menjadi bongkor ditinggalkan petani, karena

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    28/58

    sawahnya memberikan hasil sangat rendah atau sama sekali tidak menghasilkan. Selain lahan tidak

    produktif, atau sistem tata air tidak mendukung, ada beberapa petani yang meninggalkan lahannya,

    karena hasil produksi pertaniannya tidak mendatangkan keuntungan yang cukup (Anonim, 2005).

    Anonimus (2005) menyebutkan pada periode 1985-1995 hampir tidak ada proyek pembukaan lahan

    rawa baru yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, pada periode tersebut fokusnya lebih

    ditujukan kepada penyempurnaan (fase/tahap II) prasarana pengairan, prasarana ekonomi dan sosial

    lainnya pada kawasan reklamasi yang sudah dikembangkan sebelumnya. Pada tahun 1996, Pemerintah

    Indonesai melksanakan pembukaan lahan rawa besar-besaran di Kalimantan Tengah yang kemudian

    dikenal dengan sebutan PLG (Pembukaan Lahan Gambut) 1 juta ha, yang kebanyakan kawasannya

    berada di daerah bantaran sungai. Akan tetapi dengan kekonyolan yang ada, para perencana proyek ini

    tidak didukung oleh data yang akurat dan pengetahuan yang sepadan dalam pengembangan daerah

    rawa hingga pengelolaan tanah da air. Sementara proses reklamasi awa yang berupa proses pengatusan

    genangan air beserta akibatnya (oksidasi pirit, subsidence, irreversibility tanah gambut) merupakan

    proses membahayakan dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama, kiranya kurang dipertimbangkan

    pada proses perencanaan, sehingga mengakibatkan beberapa kegagalan pertanian yang

    menyengsarakan petani.

    2.4. Penglokasian Lahan Pasang Surut pada Sektor Pertanian

    Lahan rawa pasang surut yang luasnya mencapai 20,10 juta ha pada awalnya merupakan rawa

    pasang surut muara sungai besar, yang dipengaruhi oleh aktivitas laut. Di bagian pedalaman, pengaruh

    sungai besar makin kuat sehingga wilayah ini memiliki lingkungan air asin (salin) dan payau. Dengan

    adanya proses sedimentasi, kini wilayah tersebut berwujud sebagai daratan yangmerupakan bagian dari

    delta sungai. Wilayah tersebut terletak relatif sedikit jauh dari garis pantai sehingga kurang terjangkau

    secara langsung oleh air laut waktu pasang. Oleh karena itu, wilayah tersebut saat ini banyak

    dipengaruhi oleh aktivitas sungai disamping pasang surut harian air laut (Suriadikarta dan Sutriadi,

    2007).

    Di wilayah pasng surut terdapat dua jenis tanah utama, yaitu tanah mineral (mineral soils) jenuh

    air dan tanah gambut (peat soils) (Subajo, 2006 dalam Suriadikarta dan Sutriadi, 2007).

    Pada lahan rawa pasang surut biasa ditemukan tanah gambut dan tanah mineral. Tanah gambut

    bervariasi dari dangkal sampai dalam. Tanah gambut yang cocok untuk usaha pertanian adalah gambut

    dangkal (50-100 cm), sedangkan gambut sedang (101-200 cm), gambut dalam (201-300 cm), dan

    gambut sangat dalam (> 300 cm) lebih sesuai untuk kehutanan dan wilayah konservasi. Tanaman

    pertanian yang dapat tumbuh di tanah gambut adalah tanaman sayuran, buah-buahan, dan perkebunan

    seperti karet, kelapa, dan kelapa sawit. Pada tanah mineral biasa, ditemukan tanah mineral yang belum

    matang dan matang. Tanah mineral matang umumnya sudah mengalami pengolahan lahan atau dibuat

    saluran-saluran. Pada tanah mineral ini dijumpai beberapa jenis tipologi lahan, yaitu tanah sulfat masam

    potensial, tanah sulfat masam aktual, dan tanah potensial yaitu tanah yang lapisan piritnya dalam (> 50-

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    29/58

    > 100 cm). Tanah demikian sangat berpotensi untuk padi sawah, tanaman palawija, sayuran, dan

    tanaman tahunan {Suriadikarta dan Sutriadi , 2007}.

    Gambar 2. Serangkaian Aktifitas Reklamasi Lahan Rawa untuk Alokasi Sektor Pertanian dan Perkebunan di

    Indonesia (Deptan, 2008)

    Pengembangan pertanian lahan pasang surut merupakan langkah strategis dalam menjawab

    tantangan peningkatan produksi pertanian yang makin kompleks. Dengan pengelolaan yang tepat

    melalui penerapan iptek yang benar, lahan pasang surut memiliki prospek besar untuk dikembangkan

    menjadi lahan pertanian produktif terutama dalam rangka pelestarian swasembada pangan, diversifikasi

    produksi, peningkatan pendapatan dan lapangan kerja, serta pengembangan agribisnis dan wilayah

    (Abdurachman dan Ananto 2000 dalam Suriadikarta dan Sutriadi 2007).

    Disamping memiliki prospek yang baik, pengembangan lahan pasang surut untuk pertanian juga

    mempunyau berbagai kendala, baik aspek biofisik maupun sosial ekonomi dan kelembagaan. Untuk

    menjamin keberlanjutan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam, pengembangan pertanian

    lahan pasang surut dalam suatu kawasan luas, memerlukan perencanaan dan penanganan yang cermat

    dan hati-hati. Kekeliruan dalam membuka dan mengelola lahan ini membutuhkan biaya besar untuk

    merehabilitasinya dan sulit untuk memulihkan kondisi seperti semula (Widjaja-Adhi et., al., 1992 dalam

    Suriadikarta dan Sutriadi 2007).

    Dengan adanya sejuta masalah dan harapan, maka pengelolaan lahan pasang surut ini

    memerlukan adanya teknologi pengelolaan lahan dan tata air hasil dari berbagai penelitian yang masih

    perlu dikembangkan secara luas. Selain dari teknologi yang aplikatif, keberhasilan dan keberlanjutan

    pengembangan pertanian lahan pasang surut juga ditentukan oleh kemampuan sumberdaya manusia

    dan rekayasa kelembagaan yang efektif dan efisien, terutama kelompok tani dan P3A, lembaga

    penyuluhan, sera lembaga penyediaan sarana produksi dan pemasaran hasil. Selanjutna koordinasi,

    keterpasuan dan keterkaitan serta kesungguhan kerja semua pihak terkait sangat diperluan dalam

    penerapan teknologi pengelolaan lahan dan tata air ( Ananto et., al., 2000 dalam Suriadikarta dan

    Sutriadi 2007). Dari rujukan serta pengembangan pernyataan tersebut dapat dijelaskan adanya

    penerapan teknologi yang kurang tepat tanpa memperhatikan karakteristik lahannya dan tanpa adanya

    dukugan faktor-faktor di atas akan memperluas timbulnya lahan tidur bermasalah serta dikhawatirkan

    akan memasuki jenis lahan marjinal bahkan lahan kritis.

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    30/58

    Sampai saat ini, sekitar 3,9 juta Ha dari lahan rawa dengan lokasi yang sebagian terbesarnya

    tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, telah direklamasi, utamanya untuk

    pengembangan lahan pertanian. Lebih dari 60 persen diantaranya (2,4 juta Ha) dikembangkan secara

    swadaya sebagai lahan pertanian oleh para petani pendatang dan penduduk lokal. Sementara seluas

    kurang lebih 0,2 juta ha lainnya dikembangkan oleh swasta untuk perkebunan kelapa. Selebihnya sekitar

    1,3 juta ha adalah lahan rawa yang semenjak tahun 70-an telah dikembangkan oleh pemeritah sebagai

    lahan pertanian dan pemukiman dalam rangka menunjang program transmigrasi (Anonim, 2005).

    2.5. Eksplorasi hingga Ekspoitasi Lahan Rawa-Gambut di Indonesia

    Perubahan ekosistem rawa dapat terjadi oleh karena adanya modifikasi komponen lingkungan

    ekosistem rawa tersebut. Modifikasi ini dapat terjadi oleh karena a) penebangan kayu, b) konversi

    penggunaan lahan dan c) kebakaran hutan. Semua kegiatan ini akan memodifikasi komponen ekosistem

    rawa yang akhirnya merubah beberapa karakteristik ekosistem rawa tersebut (Mulyanto, 2000 dalam

    Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

    Penebangan k ayu

    Penebangan kayu untuk diambil lognya biasanya dikenal dengan kegiatan logging (logging

    activities). Hal ini dapat terjadi oleh karena di dalam hutan alam rawa termasuk rawa bergambut

    menyimpan banyak kayu berharga seperti Ramin (Gonnysitylus bancanus), Jelutung (Dyera

    lowil),Nyatoh (Palaquium spp), Bintangur (Calophyllum spp). dan lain-lain (Daryono, 2000 dalam

    Mulyanto dan Sumawinata, 2007). Pada waktu sebelum 1997 (sebelum reformasi), proses penebangan

    kayu ini dilakukan oleh perusahaan yang memegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), namun setelah

    reformasi penebangan dilakukan oleh masyarakat. Sebagai gambaran menurut Putir dan Limin (1999)

    dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007) berdasarkan Rencana Karya Tahunan (RKT) 1991 -1998 kayu

    berharga yang terekstrak dari hutan rawa gambut Kalimantan Tengah adalah 35, 46 m3/ha. Jika luas

    hutan rawa yang ditebang mencapai 1,5 juta hektar maka kayu yang terektrak mencapai sekitar 50 juta

    m3. Oleh karena itu, kegiatan penebangan merupakan proses deforestasi yang

    nyata (significant). Proses deforestasi ini menyebabkan perubahan iklim mikro permukaan lahan rawa

    dan merubah secara nyata karakteristik penutup lahan (land cover), yang selanjutnya jika perubahan

    penutup lahan ini terjadi secara masif dan sangat luas akan berpengaruh pada baik iklim regional

    maupun global (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

    Selain itu, pengembangan lahan gambut untuk pemukiman transmigrasi dengan membuat

    saluran-saluran yang lebar akan mempermudah akses bagi penebang maupun transportasi kayu hasil

    penebangan. Dari saluran yang telah dikonstruksi untuk pemukiman transmigrasi ini penebang

    meransek lebih dalam lagi, dengan membuat saluran-saluran baru. Pembuatan saluran-saluran ini

    secara langsung akan merubah karak teristik ekosistem lahan gambut dan termasuk merubah

    karakteristik tanah (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

    Konversi Penggunaan Lahan

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    31/58

    Konversi penggunaan lahan rawa di Indonesia untuk berbagai keperluan manusia terjadi sejak

    beberapa abad yang lalu. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa kota besar

    di Indonesia seperti Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya, Makasar merupakan hasil konversi lahan

    rawa. Konversi lahan rawa secara tradisional dilakukan oleh beberapa suku bangsa Indonesia, seperti

    suku Banjar, Bugis, Melayu, untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian berpindah sejak lebih dari

    satu abad yang lalu. Hal ini ditunjukkan oleh adanya handil-handil, baik di Kalimantan maupun pantai

    timurSumatra. Pada jaman kolonial Belanda, pembukaan lahan rawa untuk pengembangan perkebunan,

    terjadi mislanya di pantai timur Sumatra Utara. Pada jaman tersebut, di Kalimantan dibangun anjir-anjir

    guna pengembangan lahan rawa, seperti Anjir Srapat, Anjir Tamban, dan Anjir Talaran di Pulau Petak.

    Pada masa Orde Baru terjadi pembukaan rawa di Kalimantan, Sumatra, Papua dan Sulawesi dalam skala

    besar, dalam rangka pengembangan tanaman pangan yang sebagian diintegrasikan dengan program

    transmigrasi. Kegiatan terakhir, pembukaan lahan rawa besar-besaran dilakukan di Kalimantan Tengah

    yang dikenal sebagai Proyek Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar. Menurut Widjaya-Adhi et al. (2000)

    dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007) luas lahan rawa Indonesia sekitar 33,39 juta hektar, dimana

    sekitar 4,19 juta hektar diantaranya telah direklamasi. Sebelum pembukaan PLG 1 juta hektar,

    pemerintah telah membuka sekitar 1,3 juta hektar Konversi lahan rawa bergambut dilakukan juga oleh

    kalangan swasta untuk pengembangan perkebunan (kelapa, kelapa sawit) dan hutan tanaman industri

    (H TI), seperti yang terjadi di propinsi Riau (Tabel 2) (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

    Tabel 2. Penyebaran geografis pembukaan lahan rawa yang disponsori pemerintah sebelum PLG 1 juta

    hektar sejak tahun 70 an (Widjaya-Adhi et aI., 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007)

    Kebakaran Hutan

    Peristiwa kebakaran hutan, termasuk di dalamnya kebakaran hutan rawa bergambut sebelum

    tahun 70-an tidak pernah tersiar beritanya. Hal ini disebabkan oleh karena memang tidak pernah terjadi

    kebakaran dalam skala besar, meskipun budaya tebas-bakar (slash and burn) dalam masyarakat sekitar

    hutan telah berlangsung lama. Kegiatan tebas bakar yang berlangsung di masyarakat rawa dalam

    mempersiapkan penanaman padi dikenal sebagai sistem sonor. Di dalam sistem ini areal lahan yang

    akan diolah dengan sistem tebas bakar telah dibatasi dengan membuat parit-parit kecil yang dibuat

    secara tradisional, dengan sistem ini kebakaran dapat dikendalikan. Setelah banyak kegiatan logging,

    frekuensi kebakaran yang berskala besar makin menlngkat, terutama dalam 10 tahun terakhir ini.

    Kebakaran hutan, termasuk kebakaran gambut , terjadi oleh karena gambut merupakan tanah yang

    hampir 100 persen terdiri dari bahan organik yang apabila kering mudah sekali terbakar. Kebakaran

    hutan menimbulkan asap dengan intensitas tinggi dan meluas sampai ke negara tetangga, sehingga

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    32/58

    mengganggu lalulintas kendaraan, baik di darat, perairan maupun udara. Disamping mengganggu lalu

    lintas, asap ini juga mengganggu kesehatan. Oleh karena tinggkat gangguannya begitu tinggi sempat

    menimbulkan pr otes keras dari negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.

    Menurut Davis (1959) dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007 menjelaskan behwa kebakaran

    merupakan proses reaksi berantai antara 3 unsur, yaitu: bahan bakar, oksigen serta suhu dan

    kelembaban. Kebakaran tidak akan terjadi jika salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak ada. Dalam

    kasus kebakaran hutan bahan bakarnya adalah kayu dan dalam hal hutan gambut, termasuk tanah

    gambutnya. Oksigen terdapat bebas di udara oleh karena udara mengandung gas oksigen sekitar 13-16

    persen. Sementara itu kelembaban dan suhu berkaitan erat dengan kegiatan pembukaan hutan

    termasuk didalamnya kegiatan logging dan konversi penggunaan lahan. Pembukaan hutan

    menyebabkan perubahan iklim mikro di permukaan tanah. Pada saat sebelum pembukaan hutan suhu

    permukaan tanah relatif rendah antara 18 sampai 250C dan lantai hut an lembab, sehingga tidak mudah

    terjadi kebakaran. Setelah terjadi pembukaan hutan, suhu permukaan tanah dapat mencapai 30-350C

    dan serasah serta ranting- ranting mengering oleh karena tajuk hutan (canopy) terbuka. Kondisi

    semacam ini merupakan kondisi yang rentan kebakaran. Pembukaan lahan rawa bergambut pada

    umumnya dimulai dengan pembuatan parit untuk menurunkan permukaan air dan sekaligus merupakan

    akses. Jika rawa tersebut bergambut maka tanah gambut mengering dan rentan terhadap kebakaran.

    Dengan adanya kegiatan di dalam hutan, baik kegiatan penebangan ataupun kegiatan lainnya,

    banyak orang pendatang lalu-lalang di dalam hutan, termasuk di dalam hutan rawa gambut. Sumber api

    menjadi sangat banyak terutama api untuk memasak, yang kemudian menjadi tak terkendali, putung

    rokok yang masih hidup dibuang sembarangan, pembakaran semak-semak yang disengaja dengan

    maksud pembersihan lahan, terutama di lubuk-lubuk untuk menangkap ikan. Api ini dengan sangat

    mudah tersulut jika sumbernya bersentuhan dengan gambut kering atau serasah dan ranting kering. Hal

    ini menjadi sangat sensitif pada musim kering dengan kecepatan angin yang semakin kencang. Api yang

    besar ini dapat masuk kedalam hutan dan membakar hutan yang masih belum terganggu.

    Kebakaran gambut di hutan rawa akan menyebabkan lapisan gambut yang kering terbakar

    sehingga perjadi penurunan permukaan. Menurut pengamatan Bustomi dan Sianturi (2000) dalam

    Mulyanto dan Sumawinata (2007) dalam sekali musim kebakaran (penurunan permukaan ed. ) rata-rata

    mencapai 50 cm. Bagian bawah yang masih lembab tidak terbakar. Dampak kebakaran pda lahan

    gambut angkal antara lain tersingkapnya lapisan sedimen yang menjadi dasar dari gambut. Jika sedimen

    yang tersingkap merupakan sedimen yang terbentuk di lingkugan air payau yang mengandung pirit maka

    dimungkinkan terjadinya oksidasi pirit yang menghasikan asam , sehingga pH lingkungan rawa dapat

    menurun sampai di bawah 3, akibatnya ekosistem rawa menjadi rusak (chatastrophy). Dampak

    kebakaran terhadap tegakan adalah tegakan tajuk menjadi terbuka dan tumbuhan mati total. Tegakan

    hutan di rawa gambut biasanya terbakar hampir total sampai ke akar-akarnya. Hal ini dapat terjadi oleh

    karena lapisan tanah gambut bagian atas, yang merupakan konsentrasi perakaran ikut terbakar. Kondisi

    kerusakan permukaan lahan ini akan sangat mempengaruhi ekspresi citra landsat TM (Mulyanto dan

    Sumawinata, 2007).

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    33/58

    Dampak Perubahan Ekosistem

    Setelah pemaparan mengenai eksplorasi hingga eksploitasi mengenai lahan rawa-gambut ini

    secara detail diungkap dengan beberapa packaging, maka perubahan penggunaan lahan mengakibatkan

    berbagai fenomena yang seringkali diluar apa yang dirancang. Sebagian kegiatan perubahan

    penggunaan lahan tidak didasarkan pada pemahaman ekosistem lahan rawa secara

    menyeluruh (holistik), seperti pemahaman kondisi hidrologis yang termasuk bentuk dome, karakteristik

    dasar rawa, bahan mineral di bawah gambut dan struktur ekosistem lahan rawa tersebut, yang

    sebenarnya telah memberikan banyak hasil bagi kehidupan. Di beberapa tempat hutan rawa telah

    berkembang (developed) menjadi kota dan lahan pertanian atau perkebunan yang memberikan hasil

    yang teratur, namun sebagian besar berubah menjadi lahan vang tidak berkembang atau rusak(ma/-

    developed). Kerusakarl ini terjadi oleh karena berbagai dampak pembukaan hutan rawa tropika ini tidak

    diantisipasi dengan baik. Beberapa dampak penting yang timbul dalam pembukaan rawa adalah :

    a. Adanya penurunan permukaan lahan (subsidence) dan air tidak dapat terdrainase dengan

    baik sehingga mengakibatkan adanya genangan-genangan permanen

    b. Di tempat-tempat yang berpotensi sulfat masam, jika permukaan air turun maka kondisi

    tanah menjadi lebih oksidatif, akibatnya akan timbul sulfat masam, yang menyebabkan

    tanaman budidaya tidak dapat tumbuh dan banyak ikan dan biota air mati

    c. Jika tanahnya bergambut, penurunan permukaan lahan menyebabkan tanah gambut

    mengering sehingga rentan terhadap kebakaran

    d. Pembuatan saluran dan jalan menyebabkan akses lebih mudah sehingga ektrasi

    sumberdaya alam, misalnya kayu, menjadi lebih mudah serta proses pembabatan hutan

    dipercepat. Disamping itu, intensitas lalu-lalang manusia meningkat sehingga resiko

    kerusakan oleh karena kebakaran meningkat

    e. Lahan yang rusak dan tidak produktif lagi biasanya ditinggalkan oleh penduduk, karena

    sudah tidak prosuktif lagi. Lahan yang demikian biasanya ditumbuhi oleh purun dan

    kemudian bersuksesi menj adi semak belukar dan kemudian menjadi hutan gelam. Kondisi

    dari masingmasing strata suksesi ini akan menimbulkan penampakan citra landsat TM yang

    berbeda.

    Pengelolaan Lahan Rawa-Gambut yang Ekologis dan Holistik

    Pengelolaan lahan gambut perlu didasarkan pada karakteristik ekosistem tropika. Pada dasarnya

    gambut di Indonesia mempunyai bentuk kubah. Bentuk ini menjamin adanya sirkulasi air dari

    puncak domemenuju ke bagian kaki-kaki kubah. Sirkulasi air inilah yang menyebabkan ekosistem

    gambut dapat produktif. Sifat gambut yangporous menyebabkan gambut dapat menyimpan air dalam

    jumlah yang cukup besar (sampai 500 persen dari bobot keringnya). Dengan senantiasa menjaga puncak

    kubah maka peredaran air dalam ekosistem lahan gambut dapat terjaga dan eksistensi ekosistem

    gambut dapat dipertahankan. Adanya cadangan air di puncak dome sangat diperlukan untuk menjaga

    kualitas air agar tetap dapat memungkinkan biota tetap hidup dan berproduksi. Air gambut biasanya

    mempunyai pH sekitar 4 -4,5 dan masih memungkinkan biota untuk mempertahankan hidupnya. Selain

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    34/58

    itu, air yang mengalir, meskipun sangat perlahan, memungkinkan kualitas air tetap terjaga (Mulyanto

    dan Sumawinata, 2007).

    Secara tradisional, kelangsungan handil-handil yang ada di Sumatra dan Kalimantan lebih

    disebabkan oleh karena masih adanya air yang senantiasa mengalir dari puncak dome ke handil-handil

    tersebut. Air yang mengalir ini bukan saja memberi pengairan, tetapi juga berfungsi sebagai pencuci

    senyawa-senyawa beracun yang mungkin timbul oleh karena lahan gambut di drainase untuk pertanian.

    Senyawa beracun yang mungkin timbul adalah senyawa sulfat masam (acid sulphate) sebagai hasil

    proses oksidasi bahan sulfidik seperti mineral pirit (FeS2). Senyawa beracun ini timbul pada lahan

    gambut dangkal yang dasar gambutnya merupakan sedimen yang proses pembentukannya terjadi di

    lingkungan air payau (brackish water). Sebagai akibat dari adanya senyawa sulfat masam ini adalah

    tumbuhan, terutama tumbuhan budidaya, tidak dapat berproduksi atau bahkan mati. Saat ini ratusan

    ribu hektar lahan yang ditinggalkan oleh masyarakat (abandoned) baik di Sumatra maupun di

    Kalimantan disebabkan oleh senyawa sulfat masam tidak dapat didrainase keluar (Mulyanto dan

    Sumawinata, 2007).

    Sehubungan dengan itu, maka pengelolaan lahan gambut harus senantiasa memandang bahwa

    suatu pulau ( antara 2 sungai) adalah satu unit ekosistem, sehingga dalam pengelolaannya harus

    merupakan satu unit pengelolaan. Bentuk kubah gambut dipakai sebagai dasar untuk mengatur tata

    ruang penggunaan lahan gambut tersebut. Kaki kubah termasuk tanggul-tanggul alam

    sungai (levee) yang telah dikelola oleh masyarakat , misalnya untuk kebun rotan, sagu, padi dan

    tanaman lainnya tetap dialokasikan untuk pertanian rakyat. Puncak kubah harus senantiasa di jaga

    keutuhannya, sehingga dialokasikan bagi wilayah konservasi, agar fungsinya sebagai pemasok air

    senantiasa tefap terjaga (Mulyanto dan Sumawinata, 2007). Wilayah antara puncak dan kaki kubah, jika

    terpaksa harus dimanfaatkan, dapat dialokasikan bagi tanaman perkebunan atau hutan tanaman

    industri yang menggunakan tanaman tahunan, dengan bangunan parit-parit minimal dan pengaturan air

    yang sangat disiplin agar air tetap mengalir dan permukaan air senantiasa terjaga, sehingga drainase

    berlebih (over drainaged) dapat dihindari. Parit biasanya merupakan akses, sehingga harus dijaga agar

    mereka yang bukan pengelola tidak mudah masuk kewilayah ini, sehingga dapat dihindari penebangan

    kayu di bagian puncak kubah. Oleh karena gambut mudah terbakar, maka bahaya kebakaran harus

    dicegah sedini mungkin dengan melarang kemungkinan timbulnya api.

    BAB III

    PENUTUP

    3.1. Kesimpulan

    Kesimpulan yang hendak dikemukakan dalam penulisan makalah ini tidak lepas dengan adanya

    permasalah yang mndasar sehingga kesimpulan yang mana merupakan benang merah hingga

    rekomendasi praktis dapat diambil sebagai suatu wacana hingga unit keutuhan yang bisa diambil

    sebagai kajian lahan rawa dan pasang surut secara lebih bijak, antara lain:

  • 5/28/2018 Lahan Pasang Surut

    35/58

    -Pemanfaatan serta pengelolaan yang serasi sesuai dengan karakteristik, sifat serta kelakuannya dan

    pembangunan prasaranan, sarana pembinaan sumberdaya manusia dan penerapan teknologi

    spesifik lokasi diharapkan dapat mengubah lahan tidur (bongkor) menjadi lahan produktif

    -Perencanaan hingga dukungan pengetahuan yang kurang maksimal dalam reklamasi lahan rawa

    hingga gambut akan mengakibatkan kemerosotan produktifitas pertanian dan meningkatkan

    tingkat kemiskinan diiringi dengan ledakan populasi yang ada

    3.2. Rekomendasi

    Dalam penulisan makalah mengenai reklamasi lahan rawa dan pasang surut ini, kami menghimpun

    beberapa rekomendasi praktis untuk megerem eksploitasi lahan tersebut, antara lain:

    -Untuk menghindari kerusakan lingkungan yan