45
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Hemorhoid adalah pelebaran pleksus hemorrhoidalis yang tidak merupakan keadaan patologik. Hanya jika hemorhoid ini menimbulkan keluhan atau penyulit sehingga diperlukan tindakan. [1] Kata hemorrhoid berasal dari kata haemorrhoides (Yunani) yang berarti aliran darah (haem = darah, rhoos = aliran) jadi dapat diartikan sebagai darah yang mengalir keluar. Hemorhoid adalah pelebaran pleksus hemorrhoidalis yang tidak merupakan keadaan patologik. Hanya jika hemorhoid ini menimbulkan keluhan atau penyulit sehingga diperlukan tindakan. Hemoroid dapat menimbulkan gejala karena banyak hal. Faktor yang memegang peranan kausal ialah mengedan pada waktu defekasi, konstipasi menahun, kehamilan, dan obesitas. [1] Insidensi hemoroid meningkat dengan bertambahnya usia. Mungkin sekurang-kurangnya 50% orang yang berusia lebih dari 50 tahun menderita hemoroid dalam berbagai derajat. Namun demikian tidak berarti penyakit ini hanya diderita oleh orang tua saja. Hemoroid dapat mengenai segala usia, bahkan kadang-kadang dapat dijumpai pada anak kecil. Walaupun hemoroid tidak mengancam keselamatan 1

Lap Anastesi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ngg

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Hemorhoid adalah pelebaran pleksus hemorrhoidalis yang tidak merupakan

keadaan patologik. Hanya jika hemorhoid ini menimbulkan keluhan atau penyulit

sehingga diperlukan tindakan.[1]

Kata hemorrhoid berasal dari kata haemorrhoides (Yunani) yang berarti aliran

darah (haem = darah, rhoos = aliran) jadi dapat diartikan sebagai darah yang mengalir

keluar. Hemorhoid adalah pelebaran pleksus hemorrhoidalis yang tidak merupakan

keadaan patologik. Hanya jika hemorhoid ini menimbulkan keluhan atau penyulit

sehingga diperlukan tindakan. Hemoroid dapat menimbulkan gejala karena banyak

hal. Faktor yang memegang peranan kausal ialah mengedan pada waktu defekasi,

konstipasi menahun, kehamilan, dan obesitas.[1]

Insidensi hemoroid meningkat dengan bertambahnya usia. Mungkin sekurang-

kurangnya 50% orang yang berusia lebih dari 50 tahun menderita hemoroid dalam

berbagai derajat. Namun demikian tidak berarti penyakit ini hanya diderita oleh orang

tua saja. Hemoroid dapat mengenai segala usia, bahkan kadang-kadang dapat

dijumpai pada anak kecil. Walaupun hemoroid tidak mengancam keselamatan jiwa,

tetapi dapat menyebabkan perasaan yang tidak nyaman.[1]

Secara umum teknik anastesi dibagi menjadi 3 jenis anestesi yaitu anestesi

umum, anestesi regional dan anestesi lokal. Anastesi umum adalah suatu keadaan

tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh

tubuh akibat pemberian obat anestesi yang bersifat reversibel. [2]

Pada teknik anestesi regional atau disebut juga anestesi neuroaxial, dibagi

menjadi 3 macam teknik yaitu anestesi spinal, anestesi regional, dan anestesi kaudal.

Anestesi spinal adalah adalah anestesi regional yang dilakukan dengan cara

menyuntikan obat anestesi lokal ke dalam ruang sub arakhnoid melalui pungsi

1

lumbal. Teknik anestesi spinal mempunyai keuntungan secara umum yaitu

terkontrolnya kesadaran pasien selama tindakan pembedahan berlangsung.[3]

Anestesi spinal (subarakhnoid) adalah anestesi regional dengan tindakan

penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi

spinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok spinal intradural atau blok

intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke

dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5. [4]

I.2 Anastesi dan Reanimasi

I.2.1 Definisi

Ilmu anastesi dan reanimasi adalah cabang ilmu kedokteran yang

mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri, takut, dan rasa

tidak nyaman yang lain sehingga pasien nyaman, dan ilmu yang mempelajari

tata laksana untuk menjaga/mempertahankan hidup dan kehidupan pasien

selama operasi akibat obat anastesia dan mengembalikannya seperti keadaan

semula. [2]

I.2.2 Ruang Lingkup

Ruang lingkup ilmu anastesi dan reanimasi adalah penanggulangan

nyeri akut dan nyeri kronik ; usaha-usaha kedokteran gawat darurat ; usaha –

usaha kedokteran perioperatif. [2]

I.2.3 Langkah Baku

Berikut ini adalah langkah-langkah baku yang selalu dilakukan

sebelum memberikan pelayanan anastetik-analgesik sebelum dilakukan

pembedahanatau prosedur diagnostik: [2]

a. Evaluasi pre anastesi dan reanimasi

b. Persiapan pre anastesi dan reanimasi

2

c. Anastesi dan reanimasi : Induksi, pemeliharaan, dan pemulihan

d. Pasca anastesi

I.3 Anestesi Spinal

I.3.1 Definisi

Anestesi spinal juga dikenal sebagai subarachnoid anestesi adalah

bentuk anestesi lokal atau regional, yang melibatkan suntikan obat anestesi ke

dalam cairan cerebro spinal (CSF). di ruang subarachnoid Injeksi ini biasanya

disuntikan di daerah lumbal pada ruang L2 / 3 atau L3 / 4. [5]

CSF dari kanalis vertebralis menempati ruang (kedalaman 2-3mm)

sempit dimana terdapat medulla spinalis dan cauda equina, dan tertutup oleh

lapisan arakhnoid. Anestesi loKal yang disuntikkan, akan menyebar di CSF

ternpat penyuntikan kemudian mengikuti aliran CSF . Tahap berikutnya

mungkin menjadi yang paling penting, dan menyebar karena adanya interaksi

antara kepadatan dari kedua CSF dan solusi anestesi lokal di bawah pengaruh

gravitasi. Gravitasi akan 'diterapkan' melalui posisi pasien (telentang, duduk,

dll), dan, dalam posisi horizontal, oleh pengaruh kurva dari kanal tulang

belakang. [6]

I.3.2 Anatomi Vertebra

Tulang vertebral terdiri dari 33 tulang: 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal,

5 sacral, dan 4 coccygeal. Kolom vertebral biasanya berisi tiga kurva. Kurva

servikal dan lumbal adalah cembung anterior, dan kurva thoraks adalah

cembung posterior. [7]

Terdapat lima ligamen yang menyokong tulang belakang bersama-

sama, yaitu, ligamentum supraspinosus, ligamentum interspinosus,

ligamentum flavum, ligamentum anterior dan posterior. Ligamen

supraspinous menghubungkan akar dari prosesus spinosus dari vertebra

servikalis ketujuh (C7) ke sakrum. Ligamentum supraspinous dikenal sebagai

3

ligamentum nuchae di area di atas C7. Ligamen interspinous menghubungkan

antar prosesus spinosus. Ligamentum flavum, atau ligamen kuning,

menghubungkan lamina di atas dan bawah bersama-sama. Akhirnya, ligamen

membujur posterior dan anterior mengikat badan vertebra bersama-sama. [7]

GAMBAR 1. Anatomi Vertebra

I.3.3 Mekanisme Kerja Spinal Anestesi

Farmakokinetik anestesi lokal termasuk penyerapan dan eliminasi

obat. Empat faktor berperan dalam penyerapan anestesi lokal dari ruang

subarachnoid ke dalam jaringan saraf, (1) konsentrasi anestesi lokal di CSF,

(2) luas permukaan jaringan saraf terkena CSF, (3) lipid isi jaringan saraf, dan

(4) aliran darah ke jaringan saraf. [8]

Saraf-saraf pada medulla spinalis menyerap anestesi lokal yang

diinjeksi ke dalam ruang subarachnoid. Semakin luas permukaan saraf

terkena, semakin besar penyerapan anestesi local. Mekanisme kerja anestesi

local adalah dengan difusi dari CSF ke piameter dan ke medulla spinalis, yang

merupakan proses yang lambat. Hanya bagian paling dangkal dari sumsum

tulang belakang dipengaruhi oleh difusi anestesi lokal. [8]

Mekanisme kerja dari spinal anestesi, obat bekerja pada reseptor

spesifik pada saluran natrium (sodium channel), mencegah peningkatan

4

permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga terjadi

depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi saraf.

Mekanisme utama aksi anestetik lokal adalah memblokade “voltage-gated

sodium channels”.  Membrane akson saraf, membrane otot jantung, dan badan

sel saraf memiliki potensial istirahat -90 hingga -60 mV. Selama eksitasi,

lorong sodium terbuka, dan secara cepat berdepolarisasi  hingga tercapai

potensial equilibrium sodium (+40 mV). Akibat dari depolarisasi, lorong

sodium menutup (inaktif) dan lorong potassium terbuka. Aliran sebelah luar

dari repolarisasi potassium mencapai potensial equilibrium potassium (kira-

kira -95 mV). Repolarisasi mngembalikan lorong sodium  ke fase istirahat.

Gradient ionic transmembran dipelihara oleh pompa sodium. Fluks ionic ini

sama halnya pada otot jantung, dan dan anestetik local memiliki efek yang

sama di dalam  jaringan. [8]

Fungsi sodium channel bisa diganggu oleh beberapa cara. Toksin

biologi seperti batrachotoxin, aconitine, veratridine, dan beberapa venom

kalajengking berikatan  pada reseptor diantara lorong dan mencegah

inaktivasi. Akibatnya terjadi pemanjangan influx sodium melalui lorong  dan

depolarisasi dari potensial istirahat. Tetrodotoxin (TTX) dan saxitoxin

memblok lorong sodium dengn berikatan kepada chanel reseptor di dekat

permukan extracellular.  Serabut  saraf secara  signifikan berpengaruh

terhadap blockade  obat anestesi local sesuai ukuran dan derajat mielinisasi

saraf. Aplikasi langsung anestetik lokal pada akar saraf, serat B dan C yang

kecil diblok pertama, diikuti oleh sensasi lainnya, dan fungsi motorik yang

terakhir diblok. [8]

I.3.4 Teknik Anastesi Spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada

garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di

atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan

posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan

5

menyebabkan menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan

anestesi spinal adalah sebagai berikut : [8]

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.

Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga supaya tulang

belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar processus

spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5.

Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla

spinalis.

Gambar 2. Teknik Spinal Anastesi

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-

3 ml.

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,

25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G

dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit

10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,

kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum

6

tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum

(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring

bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor

yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi

menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang

semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik)

diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.

Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor

tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia

spinal kontinyu dapat dimasukan kateter. Posisi duduk sering dikerjakan

untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir) dengan anestetik

hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm.

1.3.5 Indikasi Anestesi Spinal

Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk

pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila

mammae ke bawah). Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi

abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki. [8]

I.3.6 Kontra Indikasi Anestesi Spinal

Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.

Kontraindikasi Absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat

suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati,

dan peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor

cerebri. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan

(misalnya, infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama

operasi yang tidak diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat

terapi antibiotik dan tanda-tanda vital stabil, anestesi spinal dapat

dipertimbangkan, sebelum melakukan anestesi spinal, ahli anestesi harus

7

memeriksa kembali pasien untuk mencari adanya tanda-tanda infeksi, yang

dapat meningkatkan risiko meningitis.[8]

Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi

setelah pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat

meningkatkan risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui

jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi spinal,

herniasi otak dapat terjadi.[8]

Kelainan koagulasi dapat meningkatkan resiko pembentukan hematoma,

hal ini penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk

menyelesaikan operasi sebelum melakukan induksi anestesi spinal. Jika durasi

operasi tidak diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak cukup

panjang untuk menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi

membantu ahli anestesi menentukan anestesi lokal yang akan digunakan,

penambahan terapi spinal seperti epinefrin dan apakah kateter spinal akan

diperlukan.[8]

Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi,

karena operasi diatas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang

belakang sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit

neurologis seperti multiple sclerosis masih kontroversial karena dalam

percobaan in vitro didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap

toksisitas obat bius lokal.[8]

Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi

relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai

kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal, sekarang mungkin

menggabungkan pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati, dalam

perawatan anestesi mereka deformitas dari kolumna spinalis dapat

meningkatkan kesulitan dalam menempatkan anestesi spinal. Arthritis,

kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal dalam kemampuan dokter anestesi

8

untuk performa anestesi spinal. Hal ini penting untuk memeriksa kembali

pasien untuk menentukan kelainan apapun pada anatomi sebelum mencoba

anestesi spinal.[8]

I.4 Hemorhoid

I.4.1 Definisi Hemorhoid

Hemorhoid adalah pelebaran pleksus hemorrhoidalis yang tidak

merupakan keadaan patologik. Hanya jika hemorhoid ini menimbulkan

keluhan atau penyulit sehingga diperlukan tindakan. Kata hemorrhoid berasal

dari kata haemorrhoides (Yunani) yang berarti aliran darah (haem = darah,

rhoos = aliran) jadi dapat diartikan sebagai darah yang mengalir keluar.

Hemorhoid adalah pelebaran pleksus hemorrhoidalis yang tidak merupakan

keadaan patologik. Hanya jika hemorhoid ini menimbulkan keluhan atau

penyulit sehingga diperlukan tindakan. Hemoroid dapat menimbulkan gejala

karena banyak hal. Faktor yang memegang peranan kausal ialah mengedan

pada waktu defekasi, konstipasi menahun, kehamilan, dan obesitas. [1]

I.4.2 Anatomi

Canalis ani panjangnya sekitar 4 cm dan berjalan ke bawah dan

belakang dari ampulla recti ke anus. Kecuali defekasi, dinding lateralnya

tetap teraposisi oleh m.levator ani dan sphincter ani. [9]

Canalis ani dibatasi pada bagian posterior oleh corpus anococcygeale,

yang merupakan massa jaringan fibrosa yang terletak antara canalis ani dan os

coccygis. Di lateral di batasi oleh fossa ischiorectalis yang terisi lemak. Pada

pria, di anterior dibatasi oleh corpus perineale, diafragma urogenitalis, urethra

pars membranacea, dan bulbus penis. Pada wanita, di anterior dibatasi oleh

corpus perineale, diafragma urogenitalis dan bagian bawah vagina.[9]

9

Bantalan hemoroid adalah jaringan normal dalam saluran anus dan

rectum distal Untuk fungsi kehidupan bersosial yang normal dapat berfungsi

sebagai Fungsi kontinens yaitu menahan pasase abnormal gas, feses cair dan

feses padat Fungsi lainnya adalah efektif sebagai katup kenyal yang

“watertight”[9]

Bantalan vaskuler arterio-venous, matriks jar. ikat dan otot polos.

Bantalan hemoroid normal terfiksasi pada jaringan fibroelastik dan otot polos

dibawahnya. Hemoroid interna dan eksterna saling berhubungan, terpisah

linea dentate.[9]

Jaringan hemorrhoid mengandung struktur arterio-venous fistula yang

dindingnya tidak mengandung otot, jadi pembuluh darah tersebut adalah

sinusoid, bukan vena

Gambar 3.Bantalan hemorrhoid (dari www.hemorrhoid.net)

10

Mukosa paruh atas canalis ani berasal dari ektoderm usus belakang

(hind gut). Gambaran anatomi yang penting adalah : [9]

1. Dibatasi oleh epitel selapis thoraks.

2. Mempuyai lipatan vertikal yang dinamakan collum analis yang

dihubungkan satu sama lain pada ujung bawahnya oleh plica semilunaris

yang dinamakan valvula analis (sisa membran proctedeum.

3. Persarafannya sama seperti mukosa rectum dan berasal dari saraf otonom

pleksus hypogastricus. Mukosanya hanya peka terhadap regangan.

4. Arteri yang memasok adalah arteri yang memasok usus belakang, yaitu

arteri rectalis superior, suatu cabang dari arteri mesenterica inferior.

Aliran darah vena terutama oleh vena rectalis superior, suatu cabang v.

Mesenterica inerior.

5. Aliran cairan limfe terutama ke atas sepanjang arteri rectalis superior

menuju nodi lympatici para rectalis dan akhirnya ke nodi lympatici

mesenterica inferior.

Mukosa paruh bawah canalis ani berasal dari ektoderm proctodeum

dengan struktur sebagai berikut :

1. Dibatasi oleh epitel berlapis gepeng yang lambat laun bergabung pada

anus dengan epidermis perianal.

2. Tidak mempunyai collum analis

3. Persarafan berasal dari saraf somatis n. rectalis inferior sehingga peka

terhadap nyeri, suhu, raba, dan tekan.

4. Arteri yang memasok adalah a. rectalis inferior, suatu cabang a. pudenda

interna. Aliran vena oleh v. rectalis inferior, muara dari v. pudenda

interna, yang mengalirkan darah vena ke v. iliaca interna.

5. Aliran cairan limfe ke bawah menuju nodi lympatici inguinalis

superficialis medialis.

11

Selubung otot sangat berkembang seperti pada bagian saluran cerna,

dibagi menjadi lapisan otot lar logitudinal dan lapisan dalam sirkular. Lapisan

sirkular pada ujung atas canalis ani menebal membentuk spincter ani internus

involunter. Sphincter internus diliputi oleh lapisan otot bercorak yang

membentuk sphincter ani ekstenus volunter.[9]

Gambar 4. Skema Penampang Memanjang Anus (www.hemorrhoid.net)

Pada perbatasan antara rectum dan canalis ani, penggabungan spincter

ani internus dengan pars profunda sphincter ani eksternus dan m. Puborectalis

memebentuk cincin yang nyata yan teraba pada pemeriksaaan rectum,

dinamakan cincin anorectal.[9]

I.4.3 Patofisiologi Hemoroid

Kebiasaan mengedan lama dan berlangsung kronik merupakan salah

satu risiko untuk terjadinya hemorrhoid. Peninggian tekanan saluran anus

sewaktu beristirahat akan menurunkan venous return sehingga vena membesar

dan merusak jar. ikat penunjang Kejadian hemorrhoid diduga berhubungan

dengan faktor endokrin dan usia.

Hubungan terjadinya hemorrhoid dengan seringnya seseorang

mengalami konstipasi, feses yang keras, multipara, riwayat hipertensi dan

12

kondisi yang menyebabkan vena-vena dilatasi hubungannya dengan kejadian

hemmorhoid masih belum jelas hubungannya.[9]

Hemorhoid interna yang merupakan pelebaran cabang-cabang v.

rectalis superior (v. hemoroidalis) dan diliputi oleh mukosa. Cabang vena

yang terletak pada colllum analis posisi jam 3,7, dan 11 bila dilihat saat paien

dalam posisi litotomi mudah sekali menjadi varises. Penyebab hemoroid

interna diduga kelemahan kongenital dinding vena karena sering ditemukan

pada anggota keluarga yang sama. Vena rectalis superior merupakan bagian

paling bergantung pada sirkulasi portal dan tidak berkatup. Jadi berat kolom

darah vena paling besar pada vena yang terletak pada paruh atas canalis ani.

Disini jaringan ikat longgar submukosa sedikit memberi penyokong pada

dinding vena. Selanjutnya aliran balik darah vena dihambat oleh kontraksi

lapisan otot dinding rectum selama defekasi. Konstipasi kronik yang dikaitkan

dengan mengedan yang lama merupakan faktor predisposisi. Hemoroid

kehamilan sering terjadi akibat penekanan vena rectalis superior oleh uterus

gravid. Hipertensi portal akibat sirosis hati juga dapat menyebabkan

hemoroid. Kemungkinan kanker rectum juga menghambat vena rectalis

superior.[9]

Hemoroid eksterna adalah pelebaran cabang-cabang vena rectalis

(hemorroidalis) inferior waktu vena ini berjalan ke lateral dari pinggir anus.

Hemorroid ini diliputi kulit dan sering dikaitkan dengan hemorroid interna

yang sudah ada. Keadaan klinik yang lebih penting adalah ruptura cabang-

cabang v. rectalis inferior sebagai akibat batuk atau mengedan, disertai adanya

bekuan darah kecil pada jaringan submukosa dekat anus. Pembengkakan kecil

berwarna biru ini dinamakan hematoma perianal.[9]

Kedua pleksus hemoroid, internus dan eksternus, saling berhubungan

secara longgar dan merupakan awal dari aliran vena yang kembali bermula

dari rectum sebelah bawah dan anus. Pleksus hemoroid intern mengalirkan

13

darah ke v. hemoroid superior dan selanjutnya ke vena porta. Pleksus

hemoroid eksternus mengalirkan darah ke peredaran sistemik melalui daerah

perineum dan lipat paha ke daerah v. Iliaka.[9]

I.4.4 Tipe Hemorrhoid

Hemoroid dibedakan atas hemorrhoid interna dan eksterna.

Gambar 5 Derajat Pada Hemorrhoid Interna

Klasifikasi Tingkat Penyakit Hemoroid (IH=Internal Hemoroid,

EH=External Hemoroid, AC=Anal Canal, AT=Anchoring Tisue, PL=Pecten

Ligamen. Hemoroid Tingkat III dan IV, Pleksus Hemoroid berada diluar anal

kanal.

14

Tingkat I I Tingkat II I Tingkat III Tingkat IV

Tabel I

Klasifikasi Hemorrhoid Interna

Classification Treatment Options

1st Degree – No rectal prolapse Diet

Local & general drugs

Sclerotherapy

Infrared coagulation

2nd Degree – Rectal prolapse is

spontaneously reducible

Sclerotherapy

Infrared coagulation

Banding [recurring banding may

require Procedure for Prolapse

and Hemorrhoids (PPH)]

3rd Degree – Rectal prolapse is manually

reducible

Banding

Hemorrhoidectomy

Procedure for Prolapse and

Hemorrhoids (PPH)

4th Degree – Rectal prolapse irreducible Hemorrhoidectomy

Procedure for Prolapse and

Hemorrhoids (PPH)

Dikutip dari : ethicon-endo surgery , www.pph.com 2007

15

BAB II

LAPORAN KASUS

I. Identitas

Nama : Tn. S

Usia : 60 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Buruh Bangunan

Alamat : Sumberjo, Dawung, Sragen

Stastus Pernikahan : Menikah

Tanggal masuk : 13-08-2013

Anamnesis dilakukan : 16-08-2013 pukul 04.00

II. Keluhan Utama

Keluar benjolan dari anus

III. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan keluar benjolan dari anus yang besar lebih

besar daripada biasanya, pada saat buang air besar malam sebelum pasien

dibawa ke RSUD Sragen. Benjolan tersebut tidak dapat dimasukkan

kembali kedalam anus, terasa perih, panas dan pasien mengeluhkan tidak

dapat duduk karena ada benjolan tersebut. Pasien merasa sangat terganggu

karena benjolan tersebut menyebabkan keluarnya kotoran dari anus dan

merembes di celana pasien. Pasien belum mengobati keluhan tersebut

dengan apapun. Kemudian pagi harinya pasien langsung dibawa ke RSUD

Sragen

IV. Riwayat Penyakit Dahulu

Sejak 2 tahun yang lalu pasien mengeluhkan ada benjolan kecil yang

keluar pada saat buang air besar dan masih dapat di masukan. Hal tersebut

berlangsung selama 2 tahun dan tidak pernah diperiksakan maupun

16

mengkonsumsi obat untuk mengobati keluhannya dikarenakan merasa

tidak mampu.

V. Riwayat Penyakit Keluarga

Dari keluarga tidak terdapat riwayat keluhan maupun penyakit yang sama.

VI. Kebiasaan dan Lingkungan

Pasien memiliki kebiasaan makan teratur tiga kali sehari, namun jarang

makan makanan yang berserat seperti sayuran dan buah buahan. Dan pada

saat buang air besar suka mengejan keras sampai berkeringat bahkan

sampai merasa pusing.

PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada 14 Agustus 2013

Keadaan Umum : Compos Mentis

GCS : E4V5M6 = 15

Vital Sign : Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 85 x/menit

Suhu : 36,4C

Pernafasan : 20 x/menit

Status Generalisa. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis,

turgor kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik

dan teraba hangat.

b. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma

c. Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik

d. Pemeriksaan Leher

1) Inspeksi : Tidak terdapat jejas

2) Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran

kelenjar tiroid.

17

i. Pemeriksaan Thorax

1) Jantung

a) Auskultasi : S1 S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan

murmur.

2) Paru

a) Auskultasi: Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua

pulmo. Tidak terdengar suara wheezing

j. Pemeriksaan Abdomen

a) Auskultasi : Terdengar suara bising usus

k. Pemeriksaan Ekstremitas :

Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis

Turgor kulit cukup, akral hangat

A. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Pemeriksaan 13-08-2013 Nilai normal

Hematologi

Hemoglobin 12,7 11,5-15,5 g/dL

Leukosit 8.90 4800-10800/L

Hematokrit 38,6 35-45%

Eritrosit 5,00x106 4,0-4,2x106/

Trombosit 359000 150000-450000/L

MCV 77,1 80,0-99,0 fl

MCH 25,4 27,0-31,0 pg

MCHC 32,9 33,0-37,0 %

18

RDW 14,2 11,5-14,5 %

MPV 8,2 7,2-14,1 fl

CT 2.00 1-3 menit

BT 2.00 1-6 menit

Gol. Darah B

Kimia Klinik

SGOT 12 < 31 U/L

SGPT 9 < 32 U/L

Ureum 28,3 10-50 mg/dL

Creatinin 0,91 0,60-0,90 mg/dL

GDS 105 ≤ 200 mg/dL

Seroimmunologi

HbsAg Negatif Negatif

PEMERIKSAAN ECG

Normal ECG

B. KESAN ANESTESI

Laki-laki 60 tahun menderita hemoroid interna stadium 3 dengan ASA

C. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien yaitu:

19

a. Intravena Fluid Drip(IVFD) RL 20 tpm saat di bangsal, kemudian diganti dengan

cairan koloid Fima-Hes 150 tpm di ruang operasi.

b. Informed Consent Operasi

c. Konsultasi kepada Bagian Anastesi

d. Informed Consent Pembiusan

Dilakukan operasi dengan spinal anastesi dengan status ASA I

D. Kesimpulan

ACC ASA I

E. Laporan Anastesi

1. Diagnosis Pra Bedah

Hemoroid

2. Diagnosis Pasca Bedah

Hemoroid Interna

3. Penatalaksanaan Pre-Operasi

4. Penatalaksanaan Anastesi

a. Jenis Pembedahan : Henoroidektomi

b.Jenis Anastesi : Regional Anastesi

c.Teknik Anastesi : Spinal Anastesi

d.Mulai Anastesi : 16 Agustus 2013, pukul 09.50 WIB

e.Mulai Operasi : 16 Agustus 2013, pukul 09.55 WIB

f. Premedikasi : Cedantron 1 amp (4mg)

g.Induksi : Bunascan (Bupivacaine)1 amp (5mg)

h.Intubasi : -

i. Medikasi Tambahan : -

j. Maintanance : O2

k.Relaksasi : -

l. Respirasi : Spontan Respirasi

m. Posisi : Supine

20

n.Cairan Durante Operasi : Fima-Hes 500ml

o.Pemantauan HR : terlampir

p.Selesai Operasi : 10.40

Tanggal 16 Agustus 2013 pukul 09.40, Tn. S , 60 tahun tiba di ruang operasi

dengan terpasang infus RL 20 tpm. Dilakukan pemasangan manset dan pemasangan

pulse oxymetri dengan tekanan 125/72 mmHg, nadi 70x/menit, dan SpO2 99%.

Pukul 09.50 diberikan premedikasi dengan injeksi Cedantron 4mg secara intravena.

Setelah itu dilakukan induksi dengan injeksi Bunascan(bupivacaine 0.5%) 1 ampul

secara intratekal. Setelah itu dipasang kanul nasal Oksigen untuk pemeliharaan

respirasi dan jugan menunggu kerja dari Bunascan.

Setelah pasien terinduksi dengan tanda-tanda seperti kesemutan, kaki terasa

berat dan tidak bisa digerakkan, maka operasi dapat dimulai. Selama operasi

berlangsung, nadi, tekanan darah, dan saturasi oksigen dimonitor setiap 5 menit,

dengan hasil:

Jam 09.45 :TD 125/72 mmHg, nadi 70x/menit, SpO2 99%

Jam 09.50 :TD 125/70 mmHg, nadi 70x/menit, SpO2 99%

Jam 09.55 :TD 120/71 mmHg, nadi 77x/menit, SpO2 99%

Jam 10.00 :TD 90/62 mmHg, nadi 75x/menit, SpO2 99%

Jam 10.05 :TD 100/65 mmHg, nadi 68x/menit, SpO2 98%

Jam 10.10 :TD 105/68 mmHg, nadi 80x/menit, SpO2 99%

Jam 10.15 :TD 118/73mmHg, nadi 70x/menit, SpO2 99%

Jam 10.20 :TD 80/42 mmHg, nadi 67x/menit, SpO2 100%

Jam 10.25 :TD 90/68 mmHg, nadi 68x/menit, SpO2 99%

Jam 10.30 :TD 105/68 mmHg, nadi 68x/menit, SpO2 99%

Jam 10.35 :TD 111/68 mmHg, nadi 61x/menit, SpO2 98%

Jam 10.40 :TD 113/62 mmHg, nadi 68x/menit, SpO2 99%

21

Perdaraham yang keluar adalah sekitar ±75ml. Pembedahan berlangsung

sekitar 45 menit dengan IVFD FimaHes 150tpm. Setelah operasi pasien dipindahkan

dari ruang operasi ke recovery room. Didalam recovery room, pasien diberikan

oksigen 1 liter/menit dan infus RL dengan jumlah tetesan 20tpm. Selain itu dilakukan

penilaian terhadap ALDRETE score. Dilakukan pemantauan keadaan umum, tingkat

kesadaran, vital sign menggunakan ALDRETE score, yaitu :

1. Aktivitas : mampu bergerak sesuai perintah 2

2. Respirasi : mampu bernapas dalam dan batuk 2

3. Sirkulasi : TD±20-50% 1

4. Kesadaran : Sadar penuh 2

5. Warna kulit : kulit kemerahan 2

Total skor ALDRETE = 9 maka pasien dapat keluar dari recovery room(RR).

Injeksi Ketorolac 30mg diberikan per-8jam, jam pertama di ruang operasi, diteruskan

jam kedua dan ketiga di ruang perawatan.

BAB III

22

PEMBAHASAN

Pasien dengan nama Tn. S berusia 60 tahun datang ke RSUD Sragen dengan

keluhan utama keluar benjolan dari anus. Benjolan tersebut muncul pada saat buang

air besar dan tidak dapat dikembalikan lagi ke dalam. Setelah melalui pemeriksaan

lebih lanjut diperoleh diagnosa yaitu hemoroid. Tn. S direncanakan operasi

hemoroidektomi. Sebelum dilakukan operasi maka direncanakan laboratorium dan

pemeriksaan EKG. Hasil dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan pada angka

MCV 77,1 dan angka MCH 25,4, dan angka kreatinin sebesar 0,91.

Dari bidang anastesi yang akan melakukan pembiusan untuk memberikan rasa

nyaman pada pasien selama operasi, diputuskan untuk dilakukan regional anastesi

dengan tekhnik spinal anastesi dengan alasan lokasi pembedahan adalah pada bagian

anus. Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk pembedahan

daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila mammae ke

bawah). Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian

bawah (termasuk seksio sesaria), perineum, anus dan kaki. 8

Anestesi spinal merupakan salah satu tehnik anestesi dengan menyuntikan

sejumlah obat lokal anestesi ke dalam ruang subarachnoid. Tehnik ini mempunyai

onset yang cepat, tingkat keberhasilan yang tinggi, simpel, efektif, dan relatif mudah

dilakukan. Tetapi selain itu, anestesi spinal juga memiliki beberapa komplikasi yang

sering terjadi, diantaranya efek terhadap hemodinamik yaitu hipotensi. 3

Komplikasi hemodinamik pada anestesi spinal yang paling sering terjadi adalah

hipotensi. Hal ini merupakan perubahan fisiologis yang sering terjadi pada anestesi

spinal. Insidensi kejadian hipotensi pada anestesi spinal mencapai 8 – 33 %. Dan

dalam penelitiannya, Scott, 1991., menyebutkan bahwa pada 11.000 kasus yang

dilakukan anestesi spinal, 38 % diantaranya mengalami hipotensi. Penyebab utama

dari terjadinya hipoten si pada anestesi spinal adalah blokade simpatis. Dimana

derajat hipotensi berhubungan dengan tingkat penyebaran obat anestesi lokal. Level

blok yang hanya mencapai sacral maupun lumbal biasanya hanya sedikit ataupun

23

tidak berpengaruh terhadap tekanan darah, dibandingkan dengan level blok yang

lebih tinggi.11

Mengingat frekuensi kejadian hipotensi yang ada pada anestesi spinal, maka

perlu dilakukan pemantauan tekanan dareah secara intensif dan berkala. Pemantauan

tekanan darah dilakukan tiap lima menit menggunakan pemasangan pulse oxymetri.

Pada pasien didapatkan penurunan tekanan darah pada 5 menit ke 4, 8, dan 9, yaitu

pada 5 menit ke 4 tekanan darah adalah 90/62 mmHg, 5 menit ke 8 adalah 80/42

mmHg, dan 5 menit ke 9 adalah 90/68 mmHg.

Faktor-faktor pada anestesi spinal yang mempengaruhi terjadinya hipotensi :

1. Ketinggian blok simpatis

Hipotensi selama anestesi spinal dihubungkan dengan meluasnya blokade

simpatis dimana mempengaruhi tahanan vaskuler perifer dan curah jantung.

Blokade simpatis yang terbatas pada rongga thorax tengah atau lebih rendah

menyebabkan vasodilatasi anggota gerak bawah dengan kompensasi

vasokonstriksi pada anggota gerak atas atau dengan kata lain vasokonstriksi yang

terjadi diatas level dari blok, diharapkan dapat mengkompensasi terjadinya

vasodilatasi yang terjadi dibawah level blok.11

Pada beberapa penelitian dikatakan efek terhadap kardiovaskuler lebih

minimal pada blok yang terjadi dibawah T5.3

2. Posisi Pasien

Kontrol simpatis pada sistem vena sangat penting dalam memelihara venous

return dan karenanya kardiovaskuler memelihara homeostasis selama perubahan

postural. Vena-vena mempunyai tekanan darah dan berisi sebagian besar darah

sirkulasi (70%). Blokade simpatis pada anestesi spinal menyebabkan hilangnya

fungsi kontrol dan venous return menjadi terg antung pada gravitasi. Jika anggota

gerak bawah lebih rendah dari atrium kanan, vena-vena dilatasi, terjadi sequestering

volume darah yang banyak (pooling vena). Penurunan venous return dan curah

24

jantung bersama-sama dengan penurunan tahanan perifer dapat menyebabkan

hipotensi yang berat. Hipotensi pada anestesi spinal sangat dipengaruhi oleh posisi

pasien. Pasien dengan posisi head-up akan cenderung terjadi hipotensi diakibatkan

oleh venous pooling. Oleh karena itu pasien sebaiknya pada posisi slight head-down

selama anestesi spinal untuk mempertahankan venous return.13

3. Faktor Agent Anestesi Spinal

Derajat hipotensi tergantung juga pada agent anestesi spinal. Pada level

anestesi yang sama, bupivacaine mengakibatkan hipotensi yang lebih kecil

dibandingkan tetracaine. Hal ini mungkin disebabkan karena blokade serabut-

serabut simpatis yang lebih besar dengan tetracain di banding bupivacaine. Barisitas

agent anestesi juga dapat berpengaruh terhadap hipotensi selama anestesi spinal.

Agent tetracaine maupun bupivacaine yang hiperbarik dapat lebih menyebabkan

hipotensi dibandingkan dengan agent yang isobarik ataupun hipobarik. Hal ini

dihubungkan dengan perbedaan level blok sensoris dan simpatis. Dimana agent

hiperbarik menyebar lebih jauh daripada agent isobarik maupun hipobarik sehingga

menyebabkan blokade simpatis yang lebih tinggi.12

4. Adapun beberapa faktor resiko lain terjadinya hipotensi pada anestesi spinal,

diantaranya adalah hipertensi preoperatif, usia lebih dari 40 th, obesitas, kombinasi

general anestesi dan regional anestesi, alkoholisme yang kronis, dan tekanan darah

baseline kurang dari 120 mmHg. 11

TINDAKAN PENCEGAHAN

25

Tindakan pencegahan terjadinya hipotensi pada pemberian anastesi spinal bisa

dilakukan dengan cara pemberian preloading dengan 1 – 2 liter cairan intravena

(kristaloid atau koloid) sudah secara luas dilakukan untuk mencegah hipotensi pada

anestesi spinal. Pemberian cairan tersebut secara rasional untuk meningkatkan

volume sirkulasi darah dalam rangka mengkompensasi penurunan resistensi perifer.13

Kleinman dan Mikhail mengatakan hipotensi akibat efek kardiovaskuler dari

anestesi spinal dapat diantisipasi dengan loading 10 – 20 ml/kg cairan intravena

(kristaloid atau koloid) pada pasien sehat akan dapat mengkompensasi terjadinya

venous pooling.14

Pada beberapa penelitian yang lain dikatakan bahwa preloading cairan

intravena pada pasien yang akan dilakukan anestesi spinal adalah tidak efektif. Coe et

al. dalam penelitiannya mengatakan bahwa prehidrasi pada pasien yang akan

dilakukan anestesi spinal tidak mempunyai efek yang signifikan dalam mencegah

terjadinya hipotensi. Hal ini juga dibenarkan oleh Buggy et al. Berbeda dengan Arndt

et al. dia mengatakan bahwa prehidrasi dapat secara signifikan menurunkan insidensi

terjadinya hipotensi, namun hanya dalam waktu 15 menit pertama setelah dilakukan

anestesi spinal.11

Salinas mengatakan bahwa penurunan tekanan darah dapat dicegah dengan

pemberian preloading cairan kristaloid. Namun hal ini tergantung dari waktu

pemberian cairan tersebut. Dia mengatakan pemberian 20 ml/kg ringer laktat (RL)

sesaat setelah dilakukan anestesi spinal dapat secara efektif menurunkan frekuensi

terjadinya hipotensi, bila dibandingkan dengan preloading 20 menit atau lebih

sebelum dilakukan anestesi spinal.3

Mojica, et.al., pada penelitiannya menilai efektivitas pemberian RL 20 cc/kg 20

menit sebelum dilakukan anestesi spinal dengan pemberian RL 20 cc/kg pada saat

dilakukan anestesi spinal. Penelitian tersebut membandingkan kedua cara diatas

dengan pemberian placebo (RL 1 – 2 cc/min). Dan didapatkan hasil bahwa pemberian

kristaloid sebelum dilakukan anestesi spinal tidak menurunkan insidensi terjadinya

26

hipotensi yang dibandingkan dengan pemberian placebo. Hal ini disebabkan oleh

karena waktu paruh kristaloid yang pendek, dimana saat mulai terjadinya hipotensi,

kristaloid sudah mulai berdifusi ke ruang interstitial, sehingga tidak dapat

mempertahankan venous return dan curah jantung. Berbeda dengan pemberian

kristaloid saat dilakukan anestesi spinal, ternyata cara ini lebih efektif dalam

menurunkan insidensi terjadinya hipotensi, karena dengan cara ini kristaloid masih

dapat memberikan volume intravaskuler tambahan (additional fluid) untuk

mempertahankan venous return dan curah jantung. 15

Algoritme penatalaksanaan hipotensi pada anestesi spinal :12

1. Pada pasien sehat

Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih, dilakukan

loading cairan kristaloid 500 – 1000 ml dengan mempertimbangkan diberikan

vasopresor, bila laju nadi sekitar 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 5 – 10

mg IV, dan bila laju nadi sekitar 80 kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 50 –

100 mcg IV, pemberian vasopresor tersebut dapat diulang setiap 2 – 3 mnt bila

perlu sampai tekanan darah kembali normal. Perlu dipertimbangkan juga untuk

mengubah posisi menjadi trendelenburg.

2. Pada pasien dengan adanya penyakit jantung dan kardiovaskuler serta penyakit di

susunan saraf pusat

Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih dan ditemukan

adanya gejala seperti nausea vomitus, nyeri dada, dsb.

Dengan laju nadi 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 10 – 20 mg IV, jika tidak

ada respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan epinephrine 8 – 16

mg IV atau infus titrasi epinephrine 0.15 – 0.3 mcg/kg/min.

Dengan laju nadi 80 kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 100 – 200 mcg IV,

jika tidak ada respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan infus

27

titrasi phenylephrine 0.15 – 0.75 mcg/kg/min atau infus titrasi norepinephrine

0.01 – 0.1 mcg/kg/min.

EFEK MENGIGIL PADA ANASTESI

Menggigil pada tindakan anestesia merupakan komplikasi yang umum

dijumpai pada anestesia modern. Mekanisme terjadinya menggigil pada anestesia

umum dan neuraksial hampir sama, yaitu terjadinya redistribusi panas tubuh dari

kompartemen inti ke kompartemen perifer. Post Anesthetic Shivering (PAS) atau

menggigil pasca-anestesia Post anestesia spinal dan menurunkan kejadian dari

menggigil terjadi pada 5-65% pasien yang menjalani anestesi umum dan lebih kurang

33-56,7% pasien dengan anestesia antinosiseptif yang dimiliki pada korda spinalis

dengan regional.

Gangguan pengaturan suhu pada anestesia spinal lebih berat terjadi

dibandingkan anestesia epidural. Efek vasodilatasi perifer pada anestesia spinal

menyebabkan terjadinya perpindahan panas dari kompartemen sentral menuju

28

kompartemen perifer sehingga menyebabkan hipotermi . Ketinggian blok spinal yang

tercapai berhubungan langsung dengan ambang mengigil pasien sehingga semakin

tinggi blok yang dihasilkan maka ambang menggigil pasien akan semakin

rendahMenggigil pasca-anestesia merupakan mekanisme kompensasi tubuh yang

dapat juga menimbulkan efek samping yang merugikan .

Menggigil pasca-anestesia dapat menyebabkan hal yang merugikan

metabolisme tubuh, yaitu meningkatkan produksi CO2 300-500% dan konsumsi O2

sampai dengan 200-400%, yang diikuti dengan meningkatnya ventilasi semenit,

pelepasan katekolamin, peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan curah jantung.

Keadaan tersebut menyebabkan nyeri pada luka operasi, peningkatan tekanan

intrakranial, peningkatan tekanan i nt ra o ku l e r d a n b a h ka n s e b a g i a n

b e s a r p a s i e n mengemukakan bahwa pengalaman menggigil yang mereka alami

jauh lebih buruk daripada nyeri pada luka operasi. Hal tersebut harus dihindari

terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner atau dengan cadangan ventilasi

yang terbatas (6). Menggigil pasca-anestesi dapat diatasi dengan beberapa cara atau

pendekatan. Pendekatan yang ditempuh dapat berupa non-farmakologis menggunakan

konduksi panas yang dapat meningkatkan toleransi terhadap sistem regulasi tubuh

terhadap hipotermia atau dapat juga menggunakan pendekatan farmakologis dengan

obat- obatan. Obat yang sering dipakai untuk mengatasi menggigil antara lain adalah

pethidin, klonidin, dan tramadol. Obat-obat lain yang juga dapat digunakan untuk

menurunkan atau mengurangi kejadian menggigil diantaranya ondansetron,

neostigmin, dan fentanyl

29

BAB IV

KESIMPULAN

Telah dilakukan operasi hemoroidektomi pada pasien hemoroid interna

dengan teknik anestesi spinal pada seorang pria berumur 60 tahun dengan berat badan

50 kg, yang didiagnosis menderita hemoroid interna. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan tanda vital dengan tekanan darah 120/80mmHg, denyut nadi 85x/menit,

respirasi 28x/menit, dan suhu 36,40C. Pada pemantauan tekanan darah didapatkan

penurunan tekanan darah pada menit ke 4, 8, dan 9 yaitu berturut turut 90/62 mmHg,

80/42 mmHg, dan 90/68 mmHg.

Untuk mencegah terjadinya hipotensi pada anastesi spinal perlu dilakukan

prevensi praoperatif, pengamatan durante operasi, dan terapi hipotensi jika hipotensi

menjadi masalah dalam operasi. Secara umum operasi berjalan dengan tidak ada

hambatan, karena penurunan tekanan darah tidak berlangsung lama, dan pengelolaan

anastesi berlangsung dengan baik

30

31