28
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah Botol BOD, Pipet, Buret, Erlenmayer, Pipet Hisap, Hot Plate, Pipet tetes, Corong Gelas, Pipet Ukur, Pipet Volume, Gelas Beaker, Alat Refluks, Corong Pemisah, dan Timbangan Digital. Sedangkan bahan yang digunakan adalah Larutan MnSO 4 , Larutan Alkali-Iodida-Azida, Asam sulfat pekat, Amilum, Larutan standar Tiosulfat, Larutan Standar Dikromat, Aquades, HCl 6N, dan n-hexane. 3.2 Prosedur Kerja 3.2.1 Penentuan Biological Oxygen Demand (BOD) a. Pembuatan Reagen 1. Larutan MnSO 4 Sebanyak 120 g MnSO 4 . 4 H 2 O atau 100 g MnSO 4 . 2 H 2 O atau 91 g MnSO 4 . H 2 O dilarutkan ke dalam air suling dan kemudian diencerkan menjadi 250 mL dengan air suling 2. Larutan Alkali-Iodida-Azida Sebanyak 125 g NaOH dan 37,5 g KI dilarutkan ke dalam air suling, dan diencerkan menjadi 250 mL. Sebanyak 10 g NaN 3 dilarutkan ke dalam 40 mL 19

lap PKL BAB III

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: lap PKL BAB III

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah Botol BOD, Pipet, Buret, Erlenmayer, Pipet

Hisap, Hot Plate, Pipet tetes, Corong Gelas, Pipet Ukur, Pipet Volume, Gelas

Beaker, Alat Refluks, Corong Pemisah, dan Timbangan Digital. Sedangkan bahan

yang digunakan adalah Larutan MnSO4, Larutan Alkali-Iodida-Azida, Asam sulfat

pekat, Amilum, Larutan standar Tiosulfat, Larutan Standar Dikromat, Aquades,

HCl 6N, dan n-hexane.

3.2 Prosedur Kerja

3.2.1 Penentuan Biological Oxygen Demand (BOD)

a. Pembuatan Reagen

1. Larutan MnSO4

Sebanyak 120 g MnSO4 . 4 H2O atau 100 g MnSO4 . 2 H2O atau

91 g MnSO4. H2O dilarutkan ke dalam air suling dan kemudian

diencerkan menjadi 250 mL dengan air suling

2. Larutan Alkali-Iodida-Azida

Sebanyak 125 g NaOH dan 37,5 g KI dilarutkan ke dalam air

suling, dan diencerkan menjadi 250 mL. Sebanyak 10 g NaN3 dilarutkan

ke dalam 40 mL air suling. Kemudian kedua larutan tersebut

dicampurkan.

3. Asam Sulfat Pekat

4. Larutan Kanji

Sebanyak 1,25 g kanji dicampurkan ke dalam sedikit air suling

dingin sehingga membentuk suspensi. Larutan ini dituang ke dalam 200

mL air suling yang mendidih sambil diaduk. Larutan diencerkan menjadi

250 mL dan dididihkan beberapa menit, didiamkan semalam kemudian

ambil bagian jernihnya. Awetkan larutan ini dengan 0,3125 g asam

salisilat atau dengan ditambahkan beberapa tetes toluen.

19

Page 2: lap PKL BAB III

5. Larutan Standar Tiosulfat

Air suling dididihkan beberapa menit, kemudian didinginkan.

Sebanyak 3,1025 g Na2S2O3 . 5 H2O dilarutkan ke dalam air suling

tersebut kemudian diencerkan menjadi 500 mL. Larutan ini diawetkan

dengan menambahkan 2,5 mL kloroform atau 0,2 g NaOH atau 2 g

borak.

6. Larutan Standar Dikromat

Sebanyak ± 1 g K2Cr2O7 dikeringkan dalam oven 103 oC selama 2

jam, dinginkan dalam desikator. Ambil sebanyak 0,613 g K2Cr2O7 dan

dilarutkan ke dalam air suling, kemudian diencerkan menjadi 500 mL.

b. Prosedur Penentuan BOD

1. Standarisasi Larutan Tiosulfat

Dilarutkan 2 g KI ke dalam 100 mL air suling dalam erlenmayer.

Kemudian ditambahakan 10 mL Larutan H2SO4 0,01 N dan 20 mL

larutan standar dikromat. Diletakan Erlenmayer di tempat gelap selama

5 menit dan encerkan menjadi 200 mL. Dititrasi dengan tiosulfat

sehingga warna menjadi kuning muda (mendekati titik akhir),

Kemudian Ditambahkan 1-2 mL larutan kanji dan lanjutkan titrasi

hingga warna biru tepat hilang. Dihitung normalitas larutan standar

tiosulfat sebagai berikut :

N tiosulfat =

2. Pengukuran Oksigen Terlarut

Diambil contoh air secara hati hati dengan botol BOD 160 mL,

kemudian ditambahkan berturut-turut 2 mL Larutan MnSO4 dan 2 mL

larutan alkali-iodida-azide. Di tutup botol BOD secara hati-hati

sehingga tidak terdapat gelembung udara, di kocok dengan membolak-

balikan botol selama 15 menit. Kemudian didiamkan beberapa saat

hingga terjadi pengendapan secara sempurna. Dialirkan 2 mL H2SO4

20

Page 3: lap PKL BAB III

pekat secara hati-hati melalui leher botol dan botol ditutup kembali,

dikocok sehingga semua endapan larut dengan sempurna. Dipipet 25

mL larutan dari botol BOD dan masukan ke dalam erlenmayer 250

mL. dititrasi dengan tiosulfat sampai warna kuning muda, kemudian

ditambahkan 1-2 mL larutan kanji dan dititrasi kembali hingga warna

biru tepat hilang. Dicatat jumlah larutan tiosulfat yang diperguakan.

3. Perhitungan

Untuk setiap 25 mL contoh air, 1 mL tiosulfat yang terpakai adalah

setara dengan 2 mg/L DO . karena larutan tio tidak dapat dibuat tepat

0,025 N, maka dihitung factor tionya sebagai berikut :

Faktor tio (F1) =

Terjadi Pemindahan sejumlah volume contoh air karena pemindahan

pereaksi seharusnya tidak 25 mL contoh yang dipipet untuk titrasi

namun :

Oksigen terlarut (mg/L) = F1 x F2 x 2 x mL tiosulfat

Perhitungan BOD5 dilakukan dengan:

BOD5 mg/L =

D1 = DO dari contoh awal (baik dengan dan tanpa pengenceran)

D2 = DO dari contoh air setelah diinkubasi selama 5 hari

P = Faktor Pengenceran

3.2.2 Penentuan Chemical Oxygen Demand (COD)

a. Pembuatan reagen COD

1. Larutan kalium dikromat (K2Cr2O7) 0,0250 N

Ditimbang sebanyak 1,2259 gram K2Cr2O7 yang telah

dikeringkan kemudian dilarutkan dalam akuabidest. Larutan

21

Page 4: lap PKL BAB III

dipindahkan secara kuantitatif ke labu ukur 1 L dan diencerkan sampai

tanda batas.

2. Larutan perak sulfat-asam sulfat (AgSO4-H2SO4)

Sebanyak 1 gram Ag2SO4 (perak sulfat) dilarutkan dalam

akuabidest kemudian ditambahkan dengan 300 mL H2SO4 (asam

sulfat) pekat. Larutan kemudian diencerkan menjadi 1 L dan

didiamkan selama semalam agar AgSO4 larut sempurna.

3. Larutan ferro amonium sulfat (Fe(NH4)2(SO4)2) 0,1 N

Sebanyak 39 gram ferro amonium sulfat heksahidrat

(Fe(NH4)2(SO4)2).6H2O) dilarutkan dalam akuabidest. Larutan

ditambah 20,0 mL H2SO4 pekat, didinginkan kemudian diencerkan

menjadi 1 L dengan akuabidest.

Standarisasi larutan ferro amonium sulfat (Fe(NH4)2(SO4)2) 0,1 N

Sebanyak 25 mL larutan kalium dikromat (K2Cr2O7) 0,025 N

dipipet ke dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 20 mL H2SO4

pekat dan 2-3 tetes indikator ferroin. Larutan tersebut dititrasi dengan

(Fe(NH4)2(SO4)2) 0,1 N sampai terjadi perubahan warna dari biru

kehijauan menjadi merah bata.

4. Indikator ferroin

Sebanyak 1,4850 gram ortophenantrolin dan 0,6950 gram

FeSO4.7H2O dilarutkan dalam 100 mL akuabidest.

b. Prosedur penentuan COD

Sebanyak 25,0 mL sampel limbah cair dipipet kedalam labu refluks

kemudian ditambahkan 0,4 g HgSO4 ; 10,0 mL K2Cr2O7 0,025 N ; 25,0 mL

larutan AgSO4-H2SO4 dan beberapa batu didih, selanjutnya larutan

dikocok. Air pendingin dialirkan melalui kondensor. Kemudian larutan

dalam labu refluks dididihkan di atas penangas (proses refluks) selama 2

jam. Setelah 2 jam, sampel didinginkan lalu ditambahkan akuades sampai

volumenya kira-kira 150 mL. Selanjutnya sampel ditambah 1-2 tetes

indikator ferroin dan dititrasi dengan larutan Fe (NH4)2(SO4)2 0,0926 N

22

Page 5: lap PKL BAB III

sampai terjadi perubahan warna dari biru kehijauan menjadi merah bata.

Volume titran yang diperlukan dicatat. Prosedur di atas juga dilakukan

untuk blanko (SNI 06-6989.15-2004).

Perhitungan COD :

COD (mg/L) =

Keterangan :

a = volume Fe(NH4)2(SO4)2 untuk blanko (mL)

b = volume Fe(NH4)2(SO4)2 untuk sampel air (mL)

N = Normalitas larutan Fe(NH4)2(SO4)2

3.2.3 Penentuan Kadar Minyak

Sebanyak 200 mL contoh uji (sampel) dimasukkan ke corong pisah,

kemudian ditambahkan 20 mL pelarut n-heksana. Larutan dikocok dengan kuat

selama 2 menit dan lapisan dibiarkan memisah. Lapisan n-heksana dipindahkan

ke dalam labu bersih dan kering yang telah ditimbang. Lapisan air diekstraksi

2 kali lagi dengan pelarut 20 mL tiap kalinya, dimana sebelumnya wadah

contoh uji dicuci dengan tiap bagian pelarut. Ekstrak dalam labu destilasi yang

telah ditimbang digabung dan dikocok dengan 3 g Na2SO4 anhidrat, disaring.

Kemudian ditambahkan 10 mL sampai dengan 20 mL pelarut n-heksana.

Pelarut didestilasi dalam penangas air pada suhu 85°C. Saat terlihat kondensasi

pelarut berhenti, labu dipindahkan dari penangas air, kemudian didinginkan

dalam desikator selama 30 menit dan labu ditimbang sampai diperoleh berat

tetap (SNI 06-6989.10-2004).

Perhitungan kadar minyak :

kadar minyak (mg/L) =

23

Page 6: lap PKL BAB III

Keterangan :

a = berat labu + sampel (mg)

b = berat labu kosong (mg)

3.2.4 Penentuan kadar H2S

a. Pembuatan Reagen H2S

1. HCl Pekat

2. Larutan standar iodium 0,0250 N

Sebanyak 22 g KI dilarutkan dalam sedikit aquades kemudian

dimasukkan 3,2 g Iodin. Setelah ioidin larut sempurna, larutan

diencerkan sampai 1000 mL dan di standarisasi kembali dengan

0,0250 N Na2S2O3 dan menggunakan larutkan kanji sebagai indikator.

3. Larutan standar Natrium Tiosulfat 0,0250 N.

4. Larutan kanji.

b. Prosedur Kerja Penentuan H2S

Masukan sejumlah standar iodium (KIO3) ke dalam erlenmayer 500 mL,

estimasikan jumlah larutan iodine melebihi jumlah sulfide terlarut.

Ditambahkan sejumlah aquades untuk menjadikan volume larutan 20 mL.

ditambahkan 2 mL HCl pekat. Dipipet 200 mL sampel ke dalam

erlenmayer. Jika warna larutan standar iodine hilang tambahkan kembali

larutan standar iodine sampai warna kembali timbul. Titrasi balik

kelebihan iodine dengan larutan Na2S2O3, tambahkan beberapa tetes

indikator amilum saat warna larutan menjadi kuning muda (mendekati titik

akhir titrasi), dilanjutkan titrasi hingga warna biru tepat hilang. Catat

volume yang digunakan dan hitung :

Mg S2-/L =

24

Page 7: lap PKL BAB III

Dimana,

A = mL larutan iodine

B = normalitas larutn iodine

C = mL Na2S2O3

D = normalitas mL Na2S2O3

3.3 Titik Lokasi Pengambilan Sampel

a. Titik 1 (T1), sampel di ambil pada inlet separator 1. Pada lokasi ini air

limbah baru keluar dari pembangkit dan belum mengalami pengolahan.

b. Titik 2 (T2), sampel di ambil pada outlet separator 2. Pada lokasi ini

limbah cair dilewatkan pada ijuk. Terjadi proses pengolahan secara biologi

25

T1 T2

T3

T4

Page 8: lap PKL BAB III

yaitu pengolahan limbah dengan memanfaatkan mikroorganisme untuk

mendegradasikan senyawa-senyawa organik dalam air limbah menjadi

senyawa-senyawa sederhana.

c. Titik 3 (T3), sampel diambil pada separator 3 pada separator ini terjadi

proses aerasi.

d. Titik 4 (T4), sampel diambil pada air hasil pengolahan pada system

pengolahan limbah. Air hasil pengolahan ini dimanfaatkan untuk

menyiram tanaman.

3.4 Hasil Pengukuran

3.4.1 Data Pengukuran BOD

Lokasi Pengambilan

Sampel

Kadar BOD5

(mg/L)

Baku Mutu BOD5*

(mg/L)

Baku Mutu BOD5**

(mg/L)

Inlet Separator 1 62, 5095 6 150

Separator 2 48, 2593 6 150

Separator 3 1,2342 6 150

Bak Penampungan Air 29,7333 6 150

* baku mutu air kelas tiga Pergub Bali No 8 Th 2007

** baku mutu air limbah golongan dua No. KEP-51/MENLH/10/1995

3.4.2 Data Pengukuran COD

Lokasi Pengambilan

Sampel

Kadar COD

(mg/L)

Baku Mutu COD*

(mg/L)

Baku Mutu COD**

(mg/L)

Inlet Separator 1 136,54 50 300

Separator 2 97,92 50 300

Separator 3 92,41 50 300

Bak Penampungan Air 62,06 50 300

*baku mutu air kelas tiga Pergub Bali No 8 Th 2007

** baku mutu air limbah golongan dua No. KEP-51/MENLH/10/1995

3.4.3 Data Pengukuran Kadar Minyak

26

Page 9: lap PKL BAB III

Lokasi Pengambilan

Sampel

Kadar Minyak

Mineral

(mg/L)

Baku Mutu Minyak

mineral*

(mg/L)

Baku Mutu Minyak

mineral**

(mg/L)

Inlet Separator 1 222.200 1 50

Separator 2 100 1 50

Separator 3 50 1 50

Bak Penampungan Air 0 1 50

* baku mutu air kelas tiga Pergub Bali No 8 Th 2007

** baku mutu air limbah golongan dua No. KEP-51/MENLH/10/1995

3.4.4 Data Pengukuran Kadar H2S

Lokasi Pengambilan

Sampel

Kadar H2S

(mg/L)

Nilai baku Mutu

H2S*

(mg/L)

Nilai baku Mutu

H2S**

(mg/L)

Inlet Separator 1 17,2864 0,002 0,10

Separator 2 0,6208 0,002 0,10

Separator 3 1,7120 0,002 0,10

Bak penampungan air 0,02560 0,002 0,10

* baku mutu air kelas tiga Pergub Bali No 8 Th 2007

**baku mutu air limbah golongan dua No. KEP-51/MENLH/10/1995

3.5 Pembahasan

Berdasarkan hasil analisa kualitas air pada sistem pengolahan limbah PT.

Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Bali Pesanggaran Denpasar yang

diteliti, maka dapat diketahui efektifitas pada masing-masing tahap pengolahan

limbah serta air dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan.

3.5.1 Sistem Pengolahan Limbah cair PT. Indonesia Power dengan Separator

Pada pengolahan limbah dengan menggunakan separator, limbah dari

hasil perusahaan PT. Indonesia Power berupa minyak dan oli yang tercampur

dengan air dipisahkan dengan mengalirkan limbah tersebut menuju kolam-kolam

27

Page 10: lap PKL BAB III

yang dibedakan menjadi 3 kolam yang disebut kolam separator, dimana pada

kolam separator 1 minyak lebih banyak dibandingkan dengan air maka minyak

dipompa dan dipindahkan ke dalam tangki penampungan, Pada separator 2 air dan

minyak yang berasal dari separator 1, dipisahkan kembali sama seperti pada

proses yang ada pada separator 1 dimana minyak yang memiliki masa jenis lenih

rendah berada dibagian atas dari pada air dan pada proses ini kandungan minyak

sudah mulai sedikit selanjutnya limbah cair masuk ke separator 3. Pada separator

3 terjadi penguraian sisa-sisa minyak terlarut dalam air dengan bantuan

mikroorganisme dan sistem blower untuk membantu menyediakan oksigen,

separator 3 ini juga disebut dengan kolam aerasi. Setelah melalui kolam aerasi,

limbah cair kemudian dialirkan ke kolam biofiltrasi (Waste Water Garden).

Kolam ini tersusun atas tumpukan pasir dan koral serta tumbuhan yang berfungsi

sebagai media filtrasi dan pengikat minyak. Setelah melewati kolam biofiltrasi, air

limbah diteruskan ke bak penampung untuk dimanfaatkan dalam menyiram

tanaman.

3.5.2. Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD5)

Kebutuhan oksigen biologi (Biologi Oxygen Demand) adalah jumlah

oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan untuk

mencegah atau mengoksidasi limbah organic yang terdapat di air lingkungan

(sunu, 2001). Menurut alaerts dan santika (1984), secara umum BOD diukur

dalam jangka waktu lima hari sehingga dikenal sebagai BOD5 artinya, banyaknya

oksigen yang dipergunakan oleh mikroorganisme pengurai dalam menguraikan

bahan organic baik yang terlarut maupun yang tersuspensi selama lima hari lpada

suhu 200C. Hal ini dikarenakan dalam waktu lima hari bahan organic yang

diuraikan sudah mencapai hasil yang maksimum. Nilai BOD air tergantung pada

suhu, aktifitas biologis, cahaya matahari dan oksigen terlarut dalam suatu

perairan. Hasil analisis BOD5 pada T1, T2, T3 dan T4 dibandingkan dengan baku

mutu seperti tertera pada gambar 3.1.

28

Page 11: lap PKL BAB III

Gambar 3.1. Hasil Analisis BOD5 pada T1, T2, T3. Dan T4 Dibandingkan dengan Baku

Mutu

Dari data tersebut menunjukan nilai rata-rata BOD5 dari inlet separator 1,

outlet separator 2, separator 3 dan pada bak penampungan masih berada dibawah

ambang batas baku mutu kualitas air golongan 2 menurut Keputusan Menteri

Lingkungan Hidup No.KEP-51/MENLH/10/1995, tentang baku mutu limbah cair

bagi kegiatan industri. Sedangkan jika dibandingkan dengan baku mutu air kelas 3

menurut Peraturan Gubernur Bali Nomor 8 Tahun 2007, nilai rata-rata BOD5 pada

limbah cairnya masih jauh diatas baku mutu.

Tingginya nilai BOD pada limbah cair PT. Indonesia Power disebabkan

oleh kandungan oli (pelumas) dan minyak sisa-sisa pencucian mesin diesel yang

tercampur dengan air. Limbah ini dipisahkan dengan mengalirkan limbah tersebut

menuju separator-separator yang dibedakan menjadi 3 separator, serta terakhir

melalui kolam biofiltrasi (Waste Water Garden).

Seperti terlihat pada grafik, separator 1 (T1) memiliki kandungan BOD5

paling tinggi dibandingkan separator lainnya, hal ini disebabkan karena pada

separator 1 (inlet separator) kandungan minyak dan pelumas sisa pencucian mesin

diesel dalam limbah cair sangat tinggi. Pada separator 2 (T2) terjadi penurunan

BOD5 sebesar 22,79% dari nilai BOD5 pada T1. Penurunan ini disebabkan karena

29

Page 12: lap PKL BAB III

pada separator 1 sebagian besar minyak telah dipisahkan dari limbah cair,

sehingga kandungan minyak dalam limbah cair yang masuk ke separator 2 telah

menurun . Pada separator 3 (T3) nilai BOD5 turun tajam,telah terjadi penurunan

nilai BOD 98,11% dari nilai BOD awal, hal ini disebabkan karena telah

berkurangnya kandungan minyak (bahan organic) pada limbah cair setelah

melalui separator 2 (T2) dan sisa minyak (bahan Organik) terlarut pada separator

3 juga telah diolah dengan bantuan mikroorganisme secara biologis sehingga

terjadi pendegradasian bahan organik oleh mikroorganisme serta terjadinya

pengendapan pada bagian bawah sistem pengolahan, sehingga air pada separator 3

memiliki kandungan minyak (bahan Organik) yang sedikit. Hal ini didukung

Sunu (2001) yang menyatakan semakin tinggi nilai BOD, maka semakin tinggi

pula aktifitas mikroorganisme untuk menguraikan bahan organic serta semakin

tinggi pula bahan organic yang terkandung di perairan tersebut. Pada bak

penampungan (T4) kembali terjadi peningkatan nilai BOD5 setelah limbah cair

dari separator 3 melewati Waste Water Garden (WWG), peningkatan nilai BOD5

diduga dipengaruhi akibat kondisi terlarutnya gas-gas dalam kondisi anaerob

(CH4, NH3, H2S) dan material-material pasir dalam limbah air setelah melewati

WWG, mengingat sistem Waste Water Garden (WWG) yang digunakan pada

kolam biofiltrasi menggunakan tumpukan pasir, batu koral dan tanaman sebagai

media filtrasi. Terlarutnya material-material pasir dari WWG pada limbah cair

ditunjukan dengan keruhnya warna air yang ditampung pada bak penampungan

akhir.

3.5.3 Kebutuhan Oksigen Kimia (COD)

Kebutuhan oksigen kimiawi (Chemical Oxygen Demand/COD)

merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan

organic dan anorganik dalam suatu perairan. Metode analisis yang digunakan

dalam menganalisis COD adalah dengan titrimetri K2Cr2O7. Hasil analisis COD

pada T1, T2, T3 dan T4 dibandingkan dengan baku mutu seperti tertera pada

gambar 3.2.

30

Page 13: lap PKL BAB III

Gambar 3.2. Hasil Analisis COD Pada T1, T2, T3 dan T4 Dibandingkan dengan

Baku Mutu

Pada gambar dapat dilihat nilai kandungan COD dari inlet separator 1

(T1), separator 2 (T2), separator 3 (T3) dan air hasil pengolahan (T3) masih

berada di atas baku mutu menurut baku mutu air kelas 3 Pergub Bali No. 8 Tahun

2007.

Tingginya kandungan COD dimungkinkan karena tingginya kandungan

bahan organic dan anorganik pada air limbah tersebut. Hal ini terbukti dengan

tingginya nilai BOD5 pada semua lokasi pengambilan sampel. Tingginya nilai

COD diperkirakan karena limbah cair tersebut memiliki kandungan bahan organik

yang tinggi yang terkandung pada minyak solar yang dipergunakan sebagai bahan

bakar mesin-mesin serta oli sebagai bahan pelumas PLTD (Mahendra, 2008).

Pada inlet separator 1 kandungan COD yang tinggi ini disebabkan karena

air limbah hasil proses pembangkitan belum mengalami proses pengolahan dan

masih banyak terkandung bahan organic dan anorganik. Pada outlet separator 2

kadar COD sudah mulai menurun dikarenakan setelah limbah masuk ke separator

1, terjadi proses pemisahan antara minyak dan air secara alami yaitu berdasarkan

31

Page 14: lap PKL BAB III

berat jenisnya dimana nantinya minyak pada bagian atas akan disedot dan

dipisahkan dengan air. Selanjutnya air yang masih mengandung sedikit minyak

tersebut dialirkan menuju separator 2. Pada lokasi ini limbah cair dilewatkan pada

ijuk. Terjadi proses pengolahan secara biologi yaitu pengolahan limbah dengan

memanfaatkan mikroorganisme untuk mendegradasikan senyawa-senyawa

organik dalam air limbah menjadi senyawa-senyawa sederhana.

Kadar COD pada separator 3 tidak begitu jauh berbeda dengan separator 2.

Hal ini disebabkan karena pada separator 3 seharusnya terjadi proses aerasi

dengan penggunaan blower namun pada kenyataannya system aerasi ini tidak

dioperasikan pada waktu pengambilan sampel sehingga kadar COD pada

separator 3 tidak jauh berbeda dengan separator 2. Hal ini juga dapat disebabkan

karena pada waktu pengambilan sampel tidak memperhatikan resident time

sehingga tidak diketahui berapa lama waktu alir dan diamnya sampel dalam

separator menuju separator lain. Pada bak penampungan air setelah hasil

pengolahan kandungan COD mulai menurun karena setelah limbah dilewatkan

pada separator 3 air limbah dialirkan menuju septic biofiltrasi setelah itu baru air

dialirkan menuju bak penampungan dan dapat dimanfaatkan sebagai air untuk

menyiram tanaman.

Pada Gambar 2 juga dapat diperhatikan bahwa walaupun nilai COD pada

keempat lokasi pengambilan sampel masih berada di atas baku mutu yang telah

ditetapkan Pergub No.8 Tahun 2007 namun hasil analisis COD dari T1, T2, T3,

dan T4 telah mengalami penurunan sebesar 54,55%. Penurunan ini dikarenakan

dalam system pengolahan limbah telah terjadi pendegradasian bahan organic serta

adanya pengendapan bahan anorganik pada bagian bawah separator. Bahan

anorganik dan organic juga melewati saringan biofiltrasi seperti ijuk, koral serta

akar tanaman.

3.5.4 Kadar Minyak

Minyak yang mencemari perairan dapat berasal dari kendaraan bermotor,

limbah industry maupun limbah domestic. Minyak dapat membentuk ester dan

alcohol atau gliserol dengan asam lemak. Gliserid dari asam lemak ini berupa

32

Page 15: lap PKL BAB III

cairan, apabila dalam keadaan biasa dikenal sebagai minyak dan apabila dalam

bentuk padat dan kental dikenal sebagai lemak. Minyak tergolong benda yang

tidak mudah di uraikan oleh bakteri.

Hasil analisis minyak pada T1, T2, T3 dan T4 jika dibandingkan dengan

baku mutu seperti tertera pada gambar dibawah ini.

Gambar 3.3 Hasil Analisis Minyak pada T1, T2, T3 dan T4 dibandingkan dengan

Baku Mutu

Pada gambar tersebut hasil analisis minyak dari inlet separator 1 (T1)

berada jauh diatas baku mutu air kelas 3 yaitu sebesar 222200 ppm. Tingginya

kandungan minyak tersebut disebabkan karena tempat pengambilan sampel ini

merupakan tempat pertama keluarnya air limbah setelah dari mesin Pembangkit

Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang kemungkinan air limbahnya masih bercampur

dengan solar serta pada lokasi ini belum terjadi pengolahan air limbah, sehingga

kandungan minyaknya masih sangat tingggi. Sedangkan hasil analisis minyak

dari outlet separator 2 (T2) mengalami penurunan cukup signifikan yaitu sebesar

100 ppm. Dimana pada separator 2, air limbah yang telah diambil bagian

minyaknya di separator 1 melewati ijuk menuju ke outlet separator 2. Ijuk tersebut

berfungsi untuk pertumbuhan atau tempat berkumpulnya mikroorganisme untuk

menguraikan sisa minyak dari separator 1. Hasil analisis minyak pada separator 3

33

Page 16: lap PKL BAB III

(T3) sebesar 50 ppm dan tempat terakhir pengambilan sampel air limbah adalah

tempat penampungn air setelah melalui tempat biofiltrasi dimana tempat

biofiltrasi tersebut dapat menurunkan lagi kadar minyak dari separator 3 dengan

bantuan bakteri pendegradasi minyak sehingga minyak akan mengendap di bagian

bawah yaitu pada bagian pasir dan koralnya. Bak tempat penampungan terakhir

(T4) memiliki kandungan minyak sebesar 0 ppm.

Jika dibandingkan dengan baku mutu Pergub dan baku mutu KLH, nilai

kadar minyak dari T1 berada sangat jauh diatas kedua baku mutu tersebut. Begitu

pula pada kadar minyak pada T2 dan T3. Tetapi pada T4, kadar minyak

didapatkan sebesar 0 ppm. Kemungkinan pada T4 masih mengandung emulsi

minyak dalam kadar yang sangat kecil, sehingga tidak dapat terdeteksi dengan

metoda gravimetri, dimana metoda ini dapat digunakan untuk contoh uji yang

mengandung minyak lebih besar dari 10 mg/L. Hal ini menunjukkan efisiensi

pengolahan limbah minyak yang cukup tinggi.

Penurunan ini dikarenakan minyak yang terdapat dalam air limbah

tersebut telah melalui pengolahan secara fisik yaitu dengan cara gaya gravitasi,

dimana berat jenis minyak lebih kecil dibandingkan dengan berat jenis air,

sehingga minyak akan berada pada lapisan atas dan air berada pada lapisan

bawah. Maka lapisan atas yang mengandung minyak akan diambil, sehingga

jumlah minyak akan berkurang. Selain itu, juga terjadi proses pendegradasian

sisa-sisa minyak oleh mikroorganisme.

Hal ini didukung oleh Wardhana (1995) yang menyatakan bahwa lapisan

minyak yang menutupi permukaan air juga dapat terdegradasi oleh

mikroorganisme tertentu, namun memerlukan waktu yang cukup lama. Selain itu,

penurunan kandungan minyak juga dikarenakan terjadinya penguapan minyak.

Menurut Kristanto (2002), minyak tidak larut dalam air, melainkan dakan

mengapung. Semua jenis minyak mengandung senyawa volatile yang segera dapat

mengap. Sisa minyak yang tidak menguap akan mengalami emulsifikasi yang

mengakibatkan air dan minyak dapat bercampur.

34

Page 17: lap PKL BAB III

3.5.5 Sulfida terlarut (H2S)

Hidrogen sulfida (H2S) merupakan bentuk sulfur yang terdapat diperairan.

Reduksi anion sulfat menjadi hidrogen sulfida pada kondisi anaerob dalam proses

dekomposisi bahan organik dapat menimbulkan bau yang kurang sedap dan

meningkatkan korosifitas logam (Effendi, 2003). Lebih lanjut menurut Sunu

(2001) bahwa hidrogen sulfida (H2S) mempunyai daya reduksi yang kuat sehingga

dapat merusak fasilitas yang dilalui dan menimbulkan bau yang menyengat. Hasil

analisis hidrogen sulfida (H2S) pada T1,T2, dan T3 dibandingkan dengan baku

mutu seperti tertera pada tabel di bawah ini:

Gambar 3.4. Hasil analisis H2S Pada T1, T2, T3 dan T4 Dibandingkan dengan

Baku Mutu

Pada Gambar 3.4 menunjukkan bahwa nilai Hidrogen sulfida dari inlet

separator 1 (T1),separator 2 (T2) ,separator 3 (T3) dan hasil pengolahan (T4)

masih berada di atas baku mutu air kelas 3 yaitu 0,002 mg/L. Tingginya

kandungan sulfida pada air limbah kemungkinan karena sulfida dalam senyawa

H2S berasal dari hasil degradasi bahan-bahan organik (termasuk minyak) yang

diuraikan oleh mikroorganisme baik dalam keadaan aerob maupun anaerob.

Selain itu, tingginya kandungan H2S kemungkinan juga berasal dari senyawa

35

Page 18: lap PKL BAB III

belerang organik yang terkandung dalam air limbah. Karena secara alami

senyawa-senyawa belerang organik sering merupakan sumber H2S (Saeni,1989).

Hidrogen sulfida (H2S) mempunyai daya reduksi yang kuat sehingga dapat

merusak fasilitas yang dilalui dan menimbulkan bau yang menyengat (Sunu,

2001). Menurut Saeni (1991), dalam keadaan anaerobik senyawa sulfat direduksi

secara kimia oleh bakteri Desulfovibrio membentuk gas H2S dengan reaksi

sebagai berikut :

SO42- + bahan organik S2- + H2O + CO2

S2- + 2H+ bakteri H2S (bau busuk)

Pada tabel, dapat diperhatikan juga bahwa walaupun nilai hidrogen sulfida

pada keempat lokasi pengambilan sampel masih berada di atas baku mutu yang

telah ditetapkan namun hasil hidrogen sulfida dari T1 ke T2, telah mengalami

penurunan sebesar 96,41 % . Namun mengalami kenaikan lagi pada T3 dan turun

pada T4. Turunnya nilai H2S kemungkinan karena sulfida menguap ke atmosfir

sebagai garam yang tidak larut. Penurunan H2S ini juga kemungkinan karena

peningkatan jumlah oksigen pada blower dan dipergunakan oleh bakteri untuk

mereduksi persenyawaan sulfat oleh bakteri aerobik dengan reaksi sebagai berikut

:

H2S + 2O2 bakteri H2SO4

Dari data yang diperoleh, pada separator 3 (T3) terjadi peningkatan H2S. Hal ini

kemungkinan karena sampel air limbah yang diambil tidak berdasarkan resident

time limbah tersebut sehingga hasil yang diperoleh tidak mengalami penurunan.

Asam sulfat merupakan asam kuat yang dapat bereaksi dengan logam-logam yang

merupakan bahan-bahan dari pipa dan dapat menimbulkan korosi (Saeni,1991).

36