19
LAPORAN KASUS STASE ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN OLEH LUCKY MIFTAH SAVIRO 2007730076 KONSULEN PEMBIMBING dr. Heryanto Syamsuddin, Sp. KK FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

LapKas Keloid

Embed Size (px)

Citation preview

LAPORAN KASUS

STASE ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

OLEH

LUCKY MIFTAH SAVIRO

2007730076

KONSULEN PEMBIMBING

dr. Heryanto Syamsuddin, Sp. KK

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2012

STATUS PASIEN

IDENTITAS

Nama : Tn. H

Usia : 49 tahun

Jenis Kelamin : Pria

Alamat : Jalan Mawar V, RT. 009/002

Suku : Jawa

Agama : Islam

Status : Menikah

Tanggal Pemeriksaan : 20-2-2012

ANAMNESIS

Keluhan Utama

Benjolan pada siku kiri sejak 1 tahun SMRS

Keluhan Tambahan

Gatal dan nyeri pada benjolan

Riwayat penyakit sekarang

Satu tahun SMRS, pasien terjatuh dari sepeda motor dengan siku kiri menghantam aspal

sehingga timbul luka. Setelah itu pasien berobat ke bidan di dekat rumah dan diberi obat gel

yang dioleskan tiap hari sampai luka menutup. Setelah luka menutup, timbul gejala gatal

terutama kalau berkeringat dan nyeri ketika terbentur. Selama 1 tahun, keluhan tersebut

didiamkan dan dari bekas luka tersebut timbul benjolan yang makin meluas dari tepi luka

awal dengan gejala yang menetap. Pasien mengaku keluhan tersebut juga terjadi pada bagian

tubuh lainnya, yaitu satu bekas luka di bahu kanan yang timbul pada umur 3 tahun setelah

pasien divaksinasi BCG, satu luka di bahu kiri akibat terserempet spion mobil, dan satu lagi

luka di lengan atas akibat luka bakar. Ketiga luka tersebut sekarang sudah membentuk

benjolan, menghitam, namun tidak gatal ataupun nyeri. Pasien mengaku keluhan tersebut

juga terjadi pada istri dan anak laki-lakinya, namun pasien tidak tahu apakah keluhan tersebut

juga terjadi pada kedua orangtuanya.

2

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat Hipertensi, DM disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat Hipertensi, DM disangkal

Riwayat Alergi

Alergi makanan dan obat disangkal.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

Tanda-tanda vital

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 88 kali/menit

Respirasi : 20 kali/menit

Suhu : 360 C

Status Generalis

Kepala : t. a. k.

Leher : t. a. k.

Thorax : t. a. k.

Abdomen : t. a. k.

Ekstremitas : t. a. k.

Genital : t. a. k.

Status Dermatologis

1. Regio fossa cubiti sinistra

Lesi berukuran plakat, susunan sirsinar, bentuk tidak teratur, batas sirkumskripta,

penyebaran solitar

Efloresensi nodular, hiperpigmentasi.

3

2. Regio deltoid sinistra

Lesi berukuran plakat, susunan linear, bentuk teratur, batas sirkumskripta, penyebaran

solitar

Efloresensi nodular, hiperpigmentasi.

3. Regio antebrachium sinistra

Lesi berukuran plakat, susunan linear, bentuk tidak teratur, batas sirkumskripta,

penyebaran solitar

Efloresensi nodular, hiperpigmentasi.

4. Regio deltoid dekstra

Lesi berukuran plakat, bentuk tidak teratur, batas sirkumskripta, penyebaran solitar

4

Efloresensi nodular, hiperpigmentasi.

RESUME

Laki-laki 49 tahun datang dengan benjolan pada fossa cubiti sinistra sejak 1 tahun

yang lalu. Benjolan berawal dari luka akibat kecelakaan. Nyeri (+) pruritus (+). Benjolan

bertambah luas melewati tepi luka. Terdapat benjolan di tempat lain yaitu di deltoid dekstra,

deltoid sinistra, dan antebrachium sinistra.

Status dermatologis ditemukan lesi pada fossa cubiti sinistra, ukuran plakat, susunan

sirsinar, bentuk tidak teratur, batas sirkumskript, penyebaran solitar, efloresensi nodular,

hiperpigmentasi; regio deltoid sinistra, lesi plakat, susunan linear, bentuk teratur, batas

sirkumskripta, penyebaran solitar, efloresensi nodular, hiperpigmentasi; regio antebrachium

sinistra lesi berukuran plakat, susunan linear, bentuk tidak teratur, batas sirkumskripta,

penyebaran solitar, efloresensi nodular, hiperpigmentasi; regio deltoid dekstra lesi berukuran

plakat, bentuk tidak teratur, batas sirkumskripta, penyebaran solitar, efloresensi nodular,

hiperpigmentasi.

DIAGNOSA KERJA

Keloid ad regio fossa cubiti sinistra, deltoid dextra et sinistra, dan antebrachium sisnistra.

DIAGNOSA BANDING

Hypertrophic scarring

USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak ada

5

PENATALAKSANAAN

Medikamentosa

- CTM PO 4 mg/hari 10 hari

- Triamsinolone acetate intralesi 1 mg (0,1 mL) per 2 minggu pada lesi di fossa cubiti

sinistra, deltoid sinistra, dan antebrachium sinistra, sampai lesi terjadi atrofi.

Non-medikamentosa

- Jangan menggaruk lesi.

- Jangan melakukan tindikan (body piercing).

- Usahakan proteksi tubuh agar tidak terjadi luka.

- Hindari prosedur-prosedur medis invasif yang bersifat elektif yang dapat menimbulkan

luka.

PROGNOSIS

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad functionam : ad bonam

Quo ad sanationam : ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA

KELOID

6

Abstrak

Pembentukan keloid disebabkan oleh abnormalitas penyembuhan luka (wound

healing). Keloid tidak hanya mengganggu fungsi kosmetik penderita, namun juga terkadang

mempunyai gejala dan dapat mengganggu psikososial penderita. Meskipun banyak metode

pengobatan telah ada, tidak ada satupun pengobatan yang efektif secara luas, bahkan

rekurensi timbulnya keloid kembali biasa terjadi. Terapi kombinasi dapat mengoptimalkan

pengobatan keloid.

Keloid dapat didefinisikan sebagai pertmbuhan jinak jaringan fibrosa padat akibat

gangguan penyembuhan luka terhadap cedera pada kulit, meluas sampai keluar batas tepi

luka atau respon inflamasi. Secara klinis, efloresensinya berupa nodus halus, umumnya

warnanya sama dengan kulit, hipopigmentasi, atau eritema akibat teleangiektasis. Warna

akibat. Keloid dapat mempunyai gejala, yaitu berupa nyeri atau gatal.

Keloid umumnya timbul pada daerah toraks, bahu, vertebra bagian atas, daerah

servikal, dan aurikula. Karena penyebab yang belum jelas, keloid umumnya timbul pada ras

Negroid, Hispanis, dan Asia. Keloid umumnya muncul pada wanita, namun hal ini sebagian

diakibatkan penggunaan tindikan atau anting-anting di telinga. Keloid yang berlebihan juga

dapat terjadi setelah luka bakar dan vaksinasi suntikan, namun hal ini jarang terjadi. Keloid

pada genital juga pernah dilaporkan setelah sirkumsisi atau trauma genital. Keloid membuat

beberapa kontraindikasi pada beberapa tindakan medis seperti penggunaan LASIK, bedah

myopia pada mata, dan juga laser CO2. Namun ada juga pasien yang keloidnya membaik

setelah dibedah dengan menggunakan LASIK, tidak muncul keloid kembali atau koplikasi

lain.

Pada pemeriksaan histologi, jaringan keloid terlihat peningkatan deposit kolagen dan

glikosaminoglikan, keduanya merupakan koponen utama matriks ekstrasel. Kolagen pada

keloid mengandung uliran kolagen terhialinisasi (keloidal collagen). Hal ini berbeda dengan

tampilan histologis jaringan parut normal, dimana struktur kolagennya tersusun paralel

sejajar dengan permukaan kulit.

Patofisiologi

Patogenesis keloid melibatkan faktor genetik dan lingkungan. Keloid terjadi akibat

respon cedera atau inflamasi pada kulit, namun patogenesis pastinya masih belum diketahui.

Infalamasi pada kulit seperti akne vulgaris, folikulitis, infeksi varicella, vaksinasi (terutama

7

oleh BCG) dapat memicu terjadinya keloid. Keloid sering timbul berbulan-bulan setelah

proses inflamasi, namun juga dapat timbul setelah bertahun-tahun. Suntikan dengan jarum

ukuran kecil jarang menimbulkan keloid, namun suntikan vaksinasi BCG sering terjadi

keloid. Hal ini menimbulkan kesimpulan bahwa keloid tidak bergantung pada ukuran luka,

namun lebih diakibatkan oleh proses inflamasi dari injeksi tersebut. Pada banyak kasus,

sering dilaporkan terjadinya keloid tanpa sepengetahuan pasien. Keloid tipe spontan ini,

kemungkinan diakibatkan proses inflamasi yang sudah lama ataupun tidak disadari oleh

pasien.

Penyimpangan ekspresi dari faktor-faktor pertumbuhan (growth factor) dan reseptor

disebut sebagai keloid-deprived fibroblast. Sebagai contoh, fibroblast koloid menyebabkan

over-ekspresi dari growth factor seperti: VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor), TGF-

β1, TGF-β2, CTGF, dan reseptor PDGF-α. Penelitian terakhir memfokuskan hubungan antara

over-ekspresi growth factors dengan dan pembentukan jaringan parut patologis. Pertanyaan

yang masih belum terjawab adalah apakah over-ekspresi faktor pertumbuhan menyebabkan

pembentukan keloid atau hanya menguatkan respon pembentukan jaringan parut. Penelitian

yang dilakukan oleh Capaner menyebutkan bahwa over-ekspresi TGF-β1 penting untuk

pembentukan keloid, namun bukan satu-satunya faktor yang membentuk keloid. Pada studi

lain, fibroblast pada keloid mempunyai tingkat apoptosis yang rendah, mungkin disebabkan

oleh down regulation gen apoptosis.

Diabandingkan dengan fibroblast yang normal, fibroblast pada keloid mencegah

peningkatan produksi enzim kolagen dan matriks metalloproteinase. Wound healing yang

baik membutuhkan keseimbangan produksi kolagen dan pemecahan jaringan yang difasilitasi

oleh matriks metalloproteinase. Analisis kecepatan proliferasi fibroblast antara keloid dan

hypertrophic scar menandakan kecepatan proliferasi fibroblast keloid lebih cepat. Pada scar

yang normal, kecepatan proliferasi fibroblast dibatasi sehingga pembentukan jaringan parut

tidak berlebihan. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme negative-feedback pada fibroblast

keloid menjadi defektif sehingga menyebabkan pembentukan scar berlebihan dengan

kecenderungan untuk timbul kembali.

Sampai sekarang, masih belum ada gen spesifik yang membuat pembentukan keloid.

Umumnya keloid tumbul secara sporadis. Beberapa gen yang mengekspresikan TGF-β1, β2,

dan β3 dan juga reseptor TGF-β telah diteliti, namun tidak ada data yang spesifik yang

menghubungkan dengan keloid. Sepertinya kelainan gen multipel yang menyebabkan

pembentukan keloid.

8

Manajemen

Banyak modalitas terapi untuk keloid, mulai yang paling sering dipakai, yaitu:

Injeksi steroid intralesi,

Bedah eksisi,

Krioterapi,

Terapi laser,

Terapi radiasi, dan

Pemakaian gel silikon.

Pengobatan lain yang juga dipakai dengan angka kesembuhan yang bervariasi yaitu

dengan imiquimod, 5-FU, bleomisin, retinoid, calcium channel blockers, mitomycin C, dan

interferon-α 2b. Penelitian meta-analisis dari 39 penelitian menunjukkan bahwa dengan

modalitas terapi manapun menunjukkan perbaikan sebanyak 70%.

Injeksi Steroid Intralesi

Sejauh ini, terapi injeksi steroid intralesi merupakan modalitas yang paling

sering digunakan. Rata-rata, modalitas ini mempunyai tingkat toleransi tinggi dan

juga keefektifan untuk mengurangi gejala. Triamsinolon asetonid adalah steroid yang

paling sering digunakan di seluruh dunia, dengan konsentrasi 10 – 40 mg/mL,

tergantung dari ukuran lesi keloid. Injeksi multipel dalam beberapa bulan dilakukan

untuk keloid yang cukup besar. Untuk lesi pada ekstremitas atau batang tubuh

biasanya dimulai dari 40 mg/mL dan dititrasi sesuai masa pengobatan. Injeksi steroid

intralesi dapat mengurangi gejala gatal dan melunakkan konsistensi lesi. Komplikasi

dari terapi ini dapat terjadi atrofi, hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Karena pada

saat injeksi steroid pasien akan mengalami nyeri yang hebat, maka beberapa sumber

menganjurkan dengan penggunaan lidokain topikal sebelum injeksi atau pencampuran

steroid bersamaan dengan lidokain. Triamsinolon asetonid telah terbukti bekerja

dengan cara mengurangi ekspresi TGF-β pada fibroblast dan peningkatan produksi

bFGF. Pengobatan dengan metode ini kurang cocok dipakai pada keloid yang

ukurannya sangat besar apalagi jika lesinya multipel akibat dari efek samping

kortikosteroid.

Eksisi Bedah

Eksisi bedah untuk keloid harus dilakukan dengan hati-hati dan pertimbangan

yang ketat karena tingginya angka rekurensi. Bedah eksisi ini dapat mengkoreksi

9

fungsi kosmetik penderita secara cepat, namun mempunyai risiko timbulnya keloid

kembali dengan ukuran yang lebih besar. Terapi ajuvan seperti injeksi steroid post-

eksisi dapat digunakan. Beberapa sumber menganjurkan dengan menggunakan

Imiquinon topikal, namun data follow-up dengan terapi ini masih terbatas. Ada juga

yang menggunakan Mitomicyn C, namun penelitian yang dilakukan dengan skala

kecil dan follow-up yang pendek. Jika ingin mendapat bentuk yang baik setelah eksisi

keloid, maka insis baiknya dilakukan sejajar dengan garis tensi kulit agar penutupan

luka sempurna. Pasien dengan keloid baiknya menghindari tindakan pembedahan

yang elektif atau prosedur-prosedur kosmetik.

Krioterapi

Krioterapi digunakan untuk lesi yang lebih kecil, namun pemakaiannya

terbatas karena pasien akan mengalami nyeri yang hebat dan terkadang penyembuhan

luka dapat memanjang karena pengobatan. Karena pengobatan yang berkali-kali,

risiko hipopigmentasi pada pasien yang berkulit gelap. Krioterapi dilaporkan dapat

merusak sintesis kolagen dan menginduksi diferensiasi fibroblast keloid. Beberapa

penulis menyarankan penggunaan krioterapi terlebih dahulu untuk menimbulkan efek

edema sebelum injeksi steroid intralesi.

Radioterapi

Penatalaksanaan dengan radioterapi masih terbatas akibat regimen yang masih

belum standar sehingga jika dibandingkan dengan eksisi bedah belum bisa dilakukan.

Tehnik yang ada dapat berupa x-rays superfisial, electron beam, dan brakiterapi.

Efek samping radioterapi termasuk eritema transien dan hiperpigmentasi.

Risiko karsinogenesis akibat terapi radiasi masih jarang ditemukan namun beberapa

kasus pernah ditemukan dan sampai sekarang masih belum ditemukan penyebab

utamanya. Karena masih belum diketahui penyebabnya, penggunaan radioterapi

digunakan jika dengan terapi eksisi gagal dan pasien berusia lebih dari 20 tahun.

Laser Treatment

Penggunaan laser untuk ablasi keloid mempunyai hasil yang mengecewakan.

Penggunaan dengan laser argon dan karbon dioksida dilaporkan mempunyai rekurensi

sebanyak 90%. Hasil yang paling efektif adalah dengan penggunaan 585 nm pulsed

dye laser (PDL). Penggunaan PDL dengan injeksi steroid intralesi dapat membantu

10

mengurangi kepadatan keloid dan menguatkan efek steroid. Penelitian oleh Kuo dkk.,

menyatakan bahwa PDL dapat mengurangi produksi TGF-β1 dan meningkatkan

matriks metalloproteinase (MMP-13), supresi proliferasi fibroblast keloid dan juga

induksi apoptosis.

Silikon Gel

Terapi dengan pembalutan silikon gel merupakan tindakan yang non-invasif

dan murah. Akhir-akhir ini, para ahli kulit internasional menyarankan penggunaan

balutan dengan gel silikon setelah dialukan bedah eksisi karena dapat mencegah

rekurensi sampai 70 – 80%. Lapisan balutan dengan gel tersebut berfungsi sebagai

barrier dan dapat melunakkan keloid dengan meningkatkan hidrasi dan dapat

mengurangi eritema, nyeri, dan gatal. Pemakaian balutan berlapis-lapis dengan gel

silikon tersebut langsung dilakukan setelah terjadinya reepitelisasi dan dipakai selama

setidaknya 12 jam/hari. Lapisan tersebut dapat dipakai kembali kira-kira selama 10 –

12 hari dan dapat dicuci. Disamping efek dari penggunaan lapisan balutan gel silikon

tersebut, mekanisme pengurangan gejalanya terhadap keloid masih belum bisa

dijelaskan.

Imiquimod

Imiquimod merupakan imunomodulator topikal yang disetujui oleh Food and

Drug Administration (FDA) untuk pengobatan kondiloma ektragenital atau perianal

dan untuk keratosis aktinik. Obat ini dapat meningkatkan produksi sitokin pro-

inflamasi seperti TGF-α yang berfungsi untuk mengurangi produksi kolagen pada

fibroblast sehingga penggunaan imiquinod pada keloid telah diteliti. Setelah bedah

eksisi, krim imiquimod 5% di oleskan pada luka jahitan dan area di sekitarnya saat

malam hari dengan total 8 minggu. Efek samping imiquimod dapat berupa sensasi

gatal, nyeri, atau panas, dan dapat timbul blister. Pada follow-up selama 24 minggu,

tidak didapatkan adanya rekurensi. Pada penelitian dengan skala kecil lain,

penggunaan imiquimod pada keloid di aurikula telah terjadi rekurensi sebanyak 25%.

Keloid dapat muncul 12 bulan setelah pemberian terapi, maka daripada itu,

penggunaan imiquimod masih belum bisa menentukan tingkat rekurensi dan juga

keuntungan dari penggunaan imiquimod.

5-Fluorourasil

11

5-fluorourasil (5-FU) merupakan analog pirimidin yang dapat mencegah

sintesis DNA dengan cara berkompetisi dengan urasil. Peningkatan proliferasi

fibroblast keloid menandakan bahwa 5-FU mungkin dapat membatasi proliferasi

tersebut. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan 5-FU topikal

tidak lebih baik dengan modalitas lain dan efek samping seperti ulserasi dan

hiperpigmentasi. Pada penggunaan 5-FU sistemik, efek sampingnya dapat berupa

anemia, lukopenia, dan trombositopenia.

Bleomisin

Bleomisin adalah termasuk golongan obat kemoterapi yang digunakan pada

banyak kasus keganasan. Bleomisin mempunyai efek luas terhadap sel, termasuk

memblok siklus sel, degradasi DNA dan RNA, dan memproduksi reactive oxygen

species (ROS). Pada penelitian dengan 45 pasien yang membandingkan penggunaan

bleomisin saja dengan krioterapi dikombinasika dengan triamsinolon intralesi. Pada

pasien dengan bleomisin, menunjukkan tingkatan pengecilan keloid lebih baik,

meskipun efek terapeutiknya lebih baik tercapai pada lesi keloid dengan ukuran lebih

dari 100 mm2. Hiperpigmentasi transien terlihat pada lebih dari 75% pasien dengan

pemakaian bleomisin, meskipun dapat hilang setelah 3 bulan followup. Pada followup

selama 3 bulan, tidak didapatkan rekurensi.

Pencegahan

Pasien dengan riwayat keloid sebelumnya atau riwayat keluarga dengan keloid

mempunyai risiko terbentuknya jaringan parut abnormal. Pasien tersebut harus berkonsultasi

dengan dokter jika ingin melakukan tindikan atau prosedur kosmetik yang bersifat elektif.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, luka harus ditutup dengan kekuatan regangan yang

minimal dan menggunakan lapisan gel silikon untuk mengurangi rekurensi.

Kesimpulan

Keloid masih merupakan tantangan baik bagi pasien maupun tenaga medis. Lesi yang

sering bersifat simptomatik dan mengganggu fungsi kosmetik dapat membebani pasien secara

psikososial. Sampai saat ini masih dilakukan penelitian untuk menggali patofisiologi dari

keloid sehingga nantinya dapat menemukan pengobatan yang tepat. Untuk saat ini, edukasi

pasien, pencegahan, dan kombinasi terapi menjadi senjata utama untuk menanggulangi

keloid.

12

DAFTAR PUSTAKA

Robles, David., et al. Keloids: Pathophysiology and Management. Dermatology Online

Journal 13 (3): 9, 2007.

13

14