38
Laporan Kasus FRAKTUR MAKSILOFASIAL DAN KLAVIKULA Disusun oleh : ELSI RAHMADHANI HARDI 0908120328 Pembimbing : dr. Welli Zulfikar, Sp.B (K) KL KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU RSUD ARIFIN ACHMAD

Laporan Kasus Fraktur Maksilofasial

Embed Size (px)

Citation preview

Laporan Kasus

FRAKTUR MAKSILOFASIAL DAN KLAVIKULA

Disusun oleh :ELSI RAHMADHANI HARDI0908120328

Pembimbing :dr. Welli Zulfikar, Sp.B (K) KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIORBAGIAN ILMU BEDAHFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAURSUD ARIFIN ACHMADPEKANBARU2013

BAB IPENDAHULUANFraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung maupun trauma tidak langsung. Trauma dapat terjadi secara akut akibat kejadian traumatik tunggal atau bisa kronis akibat efek kumulatif episode trauma ringan berulang.1 Salah satu jenis fraktur yang sering terjadi di kota-kota besar sebagai akibat dari faktor luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga, dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan adalah fraktur maksilofasial. Data epidemiologi menunjukkan bahwa fraktur maksilofasial memiliki proporsi sebanyak 6% dari keseluruhan jenis fraktur yang terjadi.2Jumlah kendaraan bermotor yang semakin meningkat di Indonesia menyebabkan angka kecelakaan lalu lintas turut meningkat drastis setiap tahunnya. Penelitian Sukerena pda tahun 1983 menunjukkan bahwa fraktur maksilofasial terjadi pada 82,46% korban kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah korban adalah pengendara sepeda motor.2Fraktur maksilofasial melibatkan tulang tulang penyusun wajah atau tengkorak bagian depan.3 Fraktur maksilofasial bisa terjadi hanya pada satu tempat ataupun kompleks seperti pada tulang maxilla dan zigoma. Cedera yang ditimbulkan akibat fraktur maksilofasial sering menimbulkan gangguan pada jalan nafas, penciuman, penglihatan, mastikasi, serta otak.4 Cedera yang bervariasi ini menyebabkan penanganan fraktur maksilofasial harus dilakukan secara intensif dan holistik.5Angka kecelakaan lalu lintas yang semakin tinggi juga menyebabkan peningkatan kejadian fraktur klavikula. Fraktur klavikula terjadi karena adanya hantaman langsung ke bahu atau jatuh dalam keadaan tangan dalam keadaan out stretched. Sebagian besar fraktur klavikula (80%) terjadi pada segmen 1/3 tengah klavikula. Pada fraktur 1/3 tengah, klavikula bagian medial terangkat ke atas oleh tarikan otot sternokleidomastoideus dan fragmen lateral tertarik ke bawah oleh musculus pektoralis mayor.6,12

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi fraktur maksilofasialFraktur maksilofasial adalah fraktur pada tulang tulang pembentuk wajah sebagai akibat dari trauma.4 Tulang- tulang pembentuk wajah terdiri dari dua os nasale, dua os lacrimale, dua maxilla, dua os zygomaticum, mandibula, dua os palatinum, dua concha nasalis inferior, dan vomer (Gambar 1).7 Fraktur maksilofasial dapat terjadi pada satu tempat ataupun kompleks.4

Gambar 1. Anatomi maksilofasial8a. Anatomi maxillaKedua maxilla (Gambar 2) membentuk rahang atas, pars anterior palatum durum, sebagian dinding lateral cavum nasi, dan sebagian dasar orbita. Kedua tulang ini bertemu di garis tengah pada sutura intermaxillaris dan membentuk pinggir bawah apertura nasalis. Di bawah orbita, maxilla ditembus oleh foramen infraorbitale. Processus alveolaris menonjol ke bawah dan bersama dengan sisi lainnya membentuk arcus alveolaris, yang menampung gigi geligi atas. Pada tiap maxilla terdapat rongga berbentuk piramid yang dilapisi membran mukosa, disebut sinus maksilaris. Rongga ini berhubungan dengan hidung dan berfungsi sebagai resonator suara.7

Gambar 2. Anatomi maxilla

b. Definisi fraktur maxillaFraktur maxilla adalah fraktur pada kompleks rahang atas dan merupakan salah satu cedera wajah paling berat.9

c. Klasifikasi fraktur maxillaFraktur maxilla dibagi menjadi tiga jenis oleh Le Fort seorang ahli bedah dari Perancis pada awal abad ke-20 yang melakukan penelitian dengan mematahkan wajah kadaver dengan menggunakan pentungan untuk mempelajari garis fraktur. Sebagian besar (40%) fraktur maxilla berupa fraktur yang tersendiri (umumnya Le Fort I), bila merupakan kombinasi umumnya Le Fort II atau Le Fort III.Pembagian fraktur maxilla menurut Le Fort (Gambar 3) yaitu :3,10 Fraktur maxilla Le Fort IFraktur Le Fort (fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal bagian bawah antara maksila dan palatum atau arkus alveolar kompleks. Garis fraktur berjalan ke belakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini bisa unilateral atau bilateral. Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah trauma dari anteroposterior bawah yang dapat mengenai :1. nasomaksila dan zigomatikomaksila vertikal buttress2. bagian bawah lamina pterigoid3. anterolateral maksila4. palatum durum5. dasar hidung6. septum7. apertura piriformisGerakan tidak normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan menggerakkan dengan jari pada saat pemeriksaan palpasi. Garis fraktur yang mengarah ke vertikal, yang biasanya terdapat pada garis tengah, membagi muka menjadi dua bagian ( palatal split ).

Fraktur maxilla Le Fort IIGaris fraktur Le Fort II (fraktur piramid) berjalan melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, dan menyeberang ke bagian atas dari sinus maksila juga ke arah lamina pterigoid sampai ke fossa pterigopalatina. Fraktur pada lamina kribriformis dan atap sel setmoid dapat merusak sistem lakrimalis.

Fraktur maxilla Le Fort IIIFraktur Le Fort III (craniofacial dysjunction) adalah suatu fraktur yang memisahkan secara lengkap antara tulang dan kranial. Garis fraktur berjalan melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang taut etmoid melalui fisura orbitalis superior melintang kearah dinding lateral orbita, sutura zigomatikofrontal dan sutura temporo zigomatik. Fraktur Le Fort III ini biasanya bersifat kominutif yang disebut kelainan dishface. Fraktur maksila Le Fort III ini sering menimbulkan komplikasi intrakranial seperti timbulnya pengeluaran cairan otak melalui atap sel etmoid dan lamina kribriformis.

I II IIIGambar 3. Fraktur Le Fort I, II, dan III

d. Gejala klinis fraktur maksilaGejala klinis yang ditimbulkan akibat fraktur maxilla dapat berupa nyeri, bengkak terutama pada jaringan periorbita, hematom periorbita, maloklusi yaitu rasa tidak nyaman ketika menggigit karena gigi geligi pada rahang atas tidak pas terkatup dengan gigi geligi pada rahang bawah, laserasi intraoral, nyeri ketika mengunyah, krepitasi, deformitas, floating maxilla, epistaksis, dan rinore.9

e. Diagnosis klinis fraktur maksilaPenegakan fraktur maksila dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fraktur maxilla dilakukan dengan pemeriksaan floating maxilla dengan cara dahi difiksasi dengan tangan kiri, kemudian maxilla dipegang dengan ibu jari di luar dan telunjuk di palatum durum, gerakan maksila ke depan dan ke belakang menunjukkan adanya fraktur maxilla. Floating maxilla akan lebih nyata pada fraktur maxilla Le Fort II dan Le Fort III dibandingkan dengan Le Fort I.4Pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis fraktur maksila dapat dilakukan dengan CT-scan 3D yang merupakan gold standard pemeriksaan pada pasien yang dicurigai mengalami fraktur maksilofasial. Pemeriksaan fraktur maksila juga dapat dilakukan dengan menggunakan foto polos Waters, Caldwel, submentovertek, dan lateral.4

f. Penatalaksanaan fraktur maksilaPenatalaksanaan fraktur maksila memiliki prinsip penatalaksaan yang sama dengan penatalaksanaan kasus trauma pada umumnya. Penanganan dimulai dengan penilaian awal pada primary survey, resusitasi, secondary survey, dan terapi definitif.4 Penanggulangan fraktur maksila sangat ditekankan agar rahang atas dan rahang bawah dapat menutup.3 Prinsip penanganan fraktur maxilla sama dengan penanganan fraktur yang lain yaitu reposisi, fiksasi, imobilisasi, dan rehabilitasi. Fraktur maksila dapat ditatalaksana dengan reposisi terbuka atau reposisi tertutup. Reposisi terbuka pada fraktur maxilla bertujuan untuk melakukan koreksi deformitas dan maloklusi yang dapat dilakukan dengan:31. Suspensi zygomatico circumferential wiring adalah tindakan operasi untuk stabilisasi tulang maxilla yang patah dengan jalan menggantungkan ke arkus zigomatikus dengan menggunakan kawat. Suspensi ini digunakan untuk fraktur maxilla Le Fort I atau Le Fort II.2. Suspensi fronto circumferential wiring ialah tindakan operasi untuk stabilisasi tulang maxilla yang terlepas dari dasar tengkorak dengan jalan menggantungkan ke prosesus zigomatikus tulang frontalis, bisa dilakukan untuk fraktur maxilla Le Fort I, II, dan III.3. Interoseus wiring adalah tindakan operasi untuk fiksasi antara dua fragmen tulang yang patah dengan cara mengikat kedua fragmen menggunakan kawat kecil.Reduksi tertutup pada patah tulang maksila ialah dengan cara pemasangan interdental wiring yaitu tindakan operasi untuk mempertahankan oklusi dan stabilisasi antara gigi rahang atas dan gigi rahang bawah, atau terhadap gigi kanan dan kirinya dengan melakukan immobilisasi rahang atas dan bawah menggunakan kawat atau arch bar yang ditautkan dengan karet.

g. Anatomi zigomaOs zigomaticum (Gambar 4) membentuk tonjolan pipi dan sebagian dinding lateral serta dasar orbita. Di medial bersendi dengan maxilla, dan di lateral dengan processus zygomaticus ossis temporalis membentuk arcus zygomaticus. Os zygomaticum ditembus oleh dua foramen untuk n. zygomaticofacialis dan zygomaticotemporalis.7

Gambar 4. Os. zygomaticum

h. Fraktur zigomaFraktur zigomatikomaksilaris lebih sering terjadi daripada fraktur arkus yang tersendiri. Fraktur zigomatikomaksilaris mengenai korpus zigoma, dasar orbita, dan dinding sinus maksilaris. Suatu pukulan pada sisi wajah pasien akan menyebabkan zigoma terdorong ke dalam, biasanya pada satu sisi saja.9 Fraktur kompleks zigomatikomaksilaris melibatkan zigoma beserta suturanya. Fraktur ini biasanya disebabkan oleh suatu benturan atau pukulan pada daerah inferolateral orbita atau pada tonjolan tulang pipi. Seperti pada fraktur Le Fort II, gejala mati rasa pada kulit yang diinervasi oleh N. Infraorbitalis merupakan hal yang sering terjadi.3,9

i. Gejala klinis fraktur zigomaGejala klinis fraktur zigoma dapat berupa pipi menjadi lebih rata jika dibandingkan dengan sisi kontralateral atau sebelum trauma, diplopia atau terbatasnya gerakan bola mata, edema periorbita dan ekimosis, perdarahan subkonjungtiva, enoftalmus, ptosis, terdapatnya hipestesia atau anetesia karena kerusakan saraf infra orbitalis, terbatasnya gerakan mandibula, emfisema subkutis, dan epistaksis yang terjadi pada antrum.3

j. Diagnosis klinis fraktur zigomaPada fraktur zigoma dapat dilakukan pemeriksaa dengan cara meletakkan dua pensil pada masing masing sisi wajah. Sisi kedua pensil harus terletak sejajar satu sama lain. Jika ujung akhir dari satu pensil miring ke arah dalam, maka zigoma pasien menaji pipih pada sisi tersebut.11 Penggunaan CT-scan dan foto rontgen sangat membantu menegakkan diagnosa, mengetahui luasnya kerusakan akibat trauma, dan perawatan. CT-scan pada potonan axial maupun coronal merupakan gold standard pada pasien dengan kecurigaan fraktur zigoma. Penilaian foto polos untuk menilai kecurigaan fraktur zigoma dapat menggunakan foto Waters, Caldwel, submentovertek, dan lateral.4

k. Penatalaksanaan fraktur zigomaIndikasi operasi pada patah tulang zigoma adalah fraktur dengan deformitas disertai diplopia, menyebabkan hiperaestesi, atau juga menyebabkan trismus. Fraktur kompleks zigomatikomaksilaris biasanya memerlukan pengungkitan dan pergeseran lateral pada waktu reduksi. Fraktur dengan pergeseran minimal dan sedang yang tidak mengakibatkan gangguan penglihatan bisa direduksi secara konservatif dengan pengangkatan, disertai insersi pengait tulang atau trakeal melalui kulit. Apabila pergeseran tulang lebih parah, beberapa jalur lain bisa dipilih misalnya metode Giles ( jalan masuk melalui kulit dengan melalukan diseksi mengikuti fascia profundus ke aspek medial corpus zygomaticus dan arcus zygomaticus), melalui insisi pada region sutura zygomaticofrontalis dan peroral, baik di sebelah lateral tuberositas atau melalui antrum.

2.2. Fraktur klavikulaPatah tulang ini sering ditemukan, baik pada orang dewasa maupun anak. Fraktur ini terjadi biasanya akibat jatuh bertumpu pada tangan. Gaya benturan di salurkan ke lengan, kemudian ke sendi bahu, dan selanjutnya ke sendi akromioklavikular. Sendi sternoklavikular yang terfiksasi menyebabkan gaya ini kemudian mematahkan klavikula.1 Gambaran klinis fraktur klavikula berupa adanya riwayat trauma dan pembengkakan serta nyeri di daerah klavikula. Pada orang dewasa dan anak biasanya pengobatannya konservatif tanpa reposisi, yaitu dengan pemasangan mitela. Reposisi tidak diperlukan, apalagi pada anak karena salah sambung klavikula jarang menyebabkan gangguan pada bahu, baik fungsi maupun kekuatan. Indikasi operasi adalah apabila terdapat fraktur terbuka, adanya tekanan pada pembuluh darah, nonunion, fraktur 1/3 lateral serta penderita aktif yang akan segera kembali bekerja. Operasi dapat dilakukan dengan pemasangan pin Kirschner atau plate and screw.1,12

BAB IIILAPORAN KASUS BAGIAN ILMU BEDAHFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAURSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU

Nama:Tn. JEUsia:29 tahunJenis kelamin: Laki-lakiPekerjaan:WiraswastaAgama:IslamMRS:22 Maret 2013Alamat:Binuang/Bangkinang Seberang

ANAMNESISKeluhan utama:Nyeri pada wajah sebelah kiri dan bahu kanan setelah kecelakaan lalu lintas.

PRIMARY SURVEY1. Airwaya. Objective: Pasien dapat menjawab pertanyaan dan berbicara lancar saat ditanya. Tidak ada suara nafas tambahan (gurgling, snoring, hoarsness). Terdapat jejas di atas klavikula.b. Assessment: Kesan tidak ada sumbatan jalan nafas (benda padat, cairan) Airway paten Dicurigai adanya fraktur servikalc. Action: Seharusnya dilakukan pemasangan collar neck pada pasien untuk imobilisasi. Seharusnya dilakukan pemberian oksigen 10-12 L/menit dengan menggunakan non-rebreathing mask (NRM). 2. Breathinga. Objective Inspeksi: pasien bernafas spontan, gerakan dinding dada simetris, tidak ada bagian dinding dada yang tertinggal saat bernafas, tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan, frekuensi nafas 22 kali/menit. Auskultasi: suara nafas vesikuler (+/+), suara jantung normal Perkusi: sonor/sonorb. Assessment Ventilasi dan ekspansi paru baik c. Action Seharusnya pasien tetap diberikan oksigen.

3. Circulation a. Objective Pasien sadar Akral hangat, capillary refill time (CRT) < sepeda motor) dengan posisi sebagai pengemudi dan menggunakan helm. Saat itu pasien melaju dengan kecepatan 70 km/jam dan ditabrak dari depan sehingga wajah membentur stang motor. Pasien mengeluhkan nyeri pada wajah sebelah kiri dan bahu kanan setelah kecelakaan. Setelah kecelakaan tersebut, pasien pingsan, pasien mengaku tidak ingat peristiwa tabrakan, tidak ada muntah, terdapat darah pada ludah, tidak ada keluar cairan dari lubang hidung dan lubang telinga, dan terdapat luka robek pada kelopak mata kiri bagian atas.

AMPLE Alergi: Tidak terdapat riwayat alergi pada pasien Medication: Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan ataupun alkohol Past illness: Tidak ada Last meal: 1 jam sebelum kecelakaan Event: sepeda motor mengalami kerusakan hebat pada bagian depan

Riwayat Penyakit Dahulu: Tidak ada penyakit yang berhubungan dengan keluhan sekarang.

Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada penyakit yang berhubungan dengan keluhan sekarang.

Head to toe examinationStatus GeneralisKeadaan umum:tampak sakit sedangKesadaran: kompos mentisKeadaan gizi: baikTanda vitala. TD: 110/70 mmHgb. HR: 80 kali/menitc. RR:20 kali/menitd. T:36,4oC

Kepala dan LeherRambut: hitam, tidak mudah dicabut

WajahRegio periorbitaInspeksi:terdapat edema pada periorbita sinistra, terdapat laserasi pada palpebra superior sinistra, tidak terdapat hematom periorbita, tidak terdapat diplopia, terdapat perdarahan subkonjungtiva pada okular sinistra, dan tidak terdapat konjungtiva anemis.Palpasi:terdapat nyeri tekan pada rima superior, lateral, dan inferior orbita sinistra, ditemukan krepitasi pada rima lateral dan inferior orbita sinistra, ditemukan diskontinuitas pada rima lateral dan inferior orbita sinistra.

Regio nasalInspeksi:tidak terdapat edema, tidak terdapat hematom, tidak terdapat malformasi, tidak terdapat laserasi, tidak terdapat rhinorrea.Palpasi:terdapat nyeri tekan pada nasal, tidak terdapat krepitasi dan diskontinuitas.

Regio zigomaInspeksi:terdapat edema pada regio kompleks zigoma sinistra, tidak terdapat laserasi, tidak terdapat hematom.Palpasi:terdapat nyeri tekan, diskontinuitas dan krepitasi tidak dapat dinilai karena terdapat nyeri tekan dan edema, simetrisitas malar eminens kanan dan kiri tidak dapat dinilai karena pada pipi kiri terdapat edema.

Regio maksilaInspeksi: terdapat edema pada regio maksilaris sinistra, tidak terdapat laserasi, tidak terdapat hematom, tidak ada gigi yang hilang, tidak terdapat laserasi mukosa intraoral, tidak terdapat stepping, dan terdapat maloklusi objektif dan subjektif.Palpasi:terdapat nyeri tekan pada regio maksilaris sinistra, diskontinuitas dan krepitasi tidak dapat dinilai karena edema dan nyeri tekan, terdapat floating maxilla, terdapat trismus yang dapat dilalui satu jari.

Regio mandibulaInspeksi: tidak terdapat edema, tidak terdapat hematom, tidak terdapat malformasi, dan tidak terdapat laserasi.Palpasi:Tidak terdapat nyeri tekan, krepitasi, dan diskontinuitas pada margo inferior mandibula dextra et sinistra. Tidak terdapat nyeri ataupun deformitas pada temporomandibula joint (TMJ) saat pasien membuka dan menutup mulut.

Leher:kelenjar getah bening tidak membesar, tidak ditemukan adanya pembesaran glandula tiroid maupun glandula parotis dan submandibula.

ThoraxParuInspeksi: bentuk dada simetris kiri dan kanan, pergerakan dinding dada saat bernafas simetrisPalpasi:fremitus kanan sama dengan kiriPerkusi: sonor pada kedua lapang paruAuskultasi: suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

JantungInspeksi : ictus cordis tidak terlihatPalpasi: ictus cordis teraba di SIC V LMCS 2 jari medialPerkusi:batas jantung kanan di linea sternalis dextra SIC V, batas jantung kiri di linea midclavicula sinistra SIC VAuskultasi: bunyi jantung normal, murmur (-), gallop (-)

BahuLook:bengkak pada bahu kanan, terdapat deformitas dan angulasi ke arah kranial pada sepertiga tengah klavikula dekstra, dan tidak tampak sianosis pada bagian distal tangan kanan.Feel:terdapat nyeri tekan, suhu rabaan hangat, terdapat diskontinuitas dan krepitasi pada klavikula dekstra.Move :terdapat keterbatasan gerak aktif dan pasif.

Abdomen Inspeksi: perut tampak datar simetris kanan dan kiri, tidak ditemukan parut.Auskultasi: bising usus (+) normalPalpasi : supel, nyeri tekan (-), tidak ada teraba massa.Perkusi: timpani, namun pekak pada hepar

EkstremitasTidak ditemukan edema, akral hangat, capillary refill time (CRT)