Upload
kriesty-widyartanty
View
743
Download
133
Embed Size (px)
Citation preview
Page
1
LAPORAN PENDAHULUAN
DIFTERI
DEFINISI
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang
tonsil, faring,laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau
kulit serta kadang-kadang konjunngtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang
khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi
nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi
dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada
difteria faucial atau pada difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe
yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan sedang
ditandai dengan pembengkakan dan oedema di leher dengan
pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi
obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga
hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau
kolonisasi ) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan
myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang
progresif,timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada
difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi
penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo.
(Kadun,2006)
Difteri adalah infeksi akut ynag disebabkan oleh Corynebacterium
Diphteriae. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan
kadang pada kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini
menyebabkan gejala-gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama
karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat
infeksi.
Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang
sedang menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur
akibat batuk, bersin atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa
infeksi difteri pada kulit merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran
nafas.
Page
2
ETIOLOGI
Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae (basil Klebs-
Loeffler) merupakan basil gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak
membentuk spora dan berbentuk batang pleomorfis. Sifat basil polimorf,
gram positif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, mati pada
pemanasan 60ºC selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam
es, air susu, dan lendir yang telah mongering. Organisme tersebut paling
mudah ditemukan pada media yang mengandung penghambat tertentu yang
memperlambat pertumbuhan mikroorganisme lain (Tellurite). Koloni-koloni
Corynebacterium diphteriae berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.
Pada media Tellurite dapat dibedakan 3 tipe koloni :
koloni mitis yang halus, berwarna hitam dan cembung
koloni gravis yang berwarna kelabu dan setengah kasar
koloni intermedius berukuran kecil, halus serta memiliki
pusat berwarna hitam.
Basil dapat membentuk :
Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna
putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan
nekrotik dan basil.
Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah
bebrapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan
jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan
saraf. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan
kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.
Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae,
kuman yang termasuk Gram positif dan hidung di saluran nafas bagian atas
yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman
ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam
darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat
dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes
Schick.
Page
3
PATOFISIOLOGI
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi
toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke
seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan
suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan
panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal)
dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfida.
Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi
pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar
fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini
penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel.
Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul
dalam suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara
endositosis. Proses ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel.
Selanjutnya endosom yang mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan
mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui membran
endosom ke cytosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah
hambatan pembentukan protein dalam sel.
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2
asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang menempati kedudukan
P dan A dari pada ribosome. Bila rangkaian asam amino ini akan
ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai
dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini
merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari
kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim
translokase (Elongation faktor-2) yang aktif.
Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel
dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan
mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui proses :
NAD+ + EF2 (aktif) ---toksin---> ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nicotinamide ADP-ribosil-EF2
yang inaktif .
Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga
tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel
akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai
respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan
Page
4
nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas.
Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan
terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat
erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang
terkandung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit
dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi
perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode
penyembuhan.
Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya
Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat
menyumbat jalan nafas. gangguan pernafasan/suffokasi bisa terjadi
dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang-cabang
tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa
mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan
ginjal.
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas
atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke
dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang
bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati toksik
biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya
terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah
nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan
jaringan. Pada jantung tampak edema,kongesti, infiltrasi sel mononuklear
pada serat otot dan sistem konduksi. Bila penderita tetap hidup terjadi
regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik
dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa disertai
gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan
nekrosis tubuler akut pada ginjal.
Page
5
Masa inkubasi 2-5 hari
Masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan atau pernafasan
Aliran sistemik
Mengeluarkan toksin (eksotoksin)
Tonsil/faringeal
Nasal Laring
Tenggorokan sakit, demam, anoreksia, lemah membran berwarna putih atau
abu-abu, linfadenitis (bull’s neck), toxemia, syok septik
Demam, suara serak, batuk, obstruksi
saluran nafas, sesak nafas, sianosis
Peradangan mukosa hidung (flu, sekret hidung serosa)
Menghambat pembentukan protein
Sel mati
Respon inflamasi lokal
Pseudomonas (eksudat fibrin, sel radang,
eritrosit, sele-sel epitel
Bersihan jalan nafas tidak efektif
Pemenuhan nutrisi berkurang, sehingga berat badan menurun
RR tidak efektif
Jantung
Saraf
Ginjal
Nekrosis toksik & degenerasi hialin
Miokarditis
Neuritis toksik dgn degenerasi lemak pd selaput mielin
Tampak perdarahan adrena & nekrosis tubuler akut
Edema kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot & sist. konduksi
Corynebacterium diphteriaeKontak langsung dengan orang yang terinfeksi atau
barang-barang yang terkontaminasi
Page
6
KLASIFIKASI
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya nyeri menelan.
Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring
(dindingbelakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan
pada laring.
Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan
gejalakomplikasi seperti Miokarditis (radang otot jantung), paralisis
(kelemahananggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :
1. Difteri hidung bila penderita menderita pilek dengan ingus yang
bercampur darah. Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan salah
satu rongga hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi
subklinis (atau kolonisasi) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat
menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung
kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri.
Gejala lain yang muncul belakangan antara lain neuropati yang mirip
dengan Guillain Barre Syndrome. Tingkat kematian kasus mencapai 5-
10% untuk difteri noncutaneus, angka ini tidak banyak berubah selama
50 tahun. Bentuk lesi pada difteria kulit bermacam-macam dan tidak
dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau
merupakan bagian dari impetigo.
2. Difteri faring dan tonsil dengan gejala radang akut tenggorokan, demam
sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak lemah,
nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini
juga akan tampak membran berwarna putih keabu-abuan kotor di daerah
rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
3. Difteri laring dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi,
demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit
tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini
merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita
akibat gagal nafas.
Page
7
4. Difteri kutaneus dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan
pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun
tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi
cenderung tidak terasa apa apa.
MANIFESTASI KLINIS
Tanda-tanda dan gejala difteri tergantung pada fokus infeksi,
status kekebalan dan apakah toksin yang dikeluarkan itu telah memasuki
peredaran darah atau belum. Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari,
walaupun dapat singkat hanya satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4
minggu. Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya
sakit tenggorokan yang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara
37,8oC ± 38,9oC. Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi
kebanyakan sudah terjadi membran putih/keabu-abuan.
Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi tonsil,
palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput
yang segera menjadi tebal., abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler
yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran
mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya.
Sehingga sukar untuk diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa
menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada membran biasanya
tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi
akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.
Gejala lokal dan sistemik secara bertahap menghilang dan
membran akan menghilang. Dan perubahan ini akn lebih cepat bila
diberikan antitoksin. Difteri berat akan lebih berat pada anak yang lebih
muda. Bentuk difteri antara lain bentuk Bullneck atau maglinant difteri.
Bentuk ini timbul dengan gejala-gejala yang lebih berat dan membran
menyebar secrara cepat menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung.
Udema tonsil dan uvula dapat pula timbul. Kadang-kadang udema disertai
nekrose. Pembengkakan kelenjer leher, infiltrat ke dalam jaringan sel-sel
leher, dari telinga satu ke telinga yang lain. Dan mengisi dibawah
mandibula sehingga memberi gambaran bullneck.
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu :
Page
8
a. gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan
suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,
badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan
b. gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu
membentuk semu. Membran ini dapat meluas ke palatum molle,
uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat
menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada
dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada
perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar
limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga
leher menyerupai sapi (bullneck) atau disebut juga
Burgermeester¶s hals.
c. gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini
akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung
dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai
saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot
pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminoria.
Difteri Tonsil
Gejala biasanya tidak khas berupa malaise, anoreksia, sakit tenggorok
dan demam. Difteri tonsil dan faring khas ditandai dengan adanya
adenitis / periadenitis cervical, kasus yang berat ditandai dengan
bullneck (limfadenitis disertai edema jaringan lunak leher). Suhu dapat
normal atau sedikit meningkat tetapi nadi biasanya cepat. Pada kasus
ringan membran biasanya akan menghilang antara 7-10 hari dan
penderita tampak sehat. Pada kasus sangat berat ditandai dengan
gejala-gejala toksemia berupa lemah, pucat, nadi cepat dan kecil,
stupor, koma dan meninggal dalam 6-10 hari. Pada kasus sedang
penyembuhan lambat disertai komplikasi seperti miokarditis dan
neuritis.
Difteri Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau
disertai gejala
Page
9
sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan
kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas.
Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.
Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak
nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.
Difteri Laring
Biasanya merupakan perluasan diphtheria faring, pada diphtheria
laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala
obstruksi saluran nafas atas. Gejala sukar dibedakan dari tipe
infectious croup yang lain seperti nafas berbunyi, stridor progresif,
suara parau, batuk kering dan pada obstruksi laring yang berat
terdapat retraksi suprasternal, subcostal dan supraclavicular. Bila
terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi
kematian mendadak. pada kasus berat, membran meluas ke
percabangan tracheobronchial. Dalam hal diphtheria laring sebagai
perluasan daripada diphtheria faring, gejala merupakan campuran
gejala obstruksi dan toksemia.
Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, Telinga
Difteri kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada
dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata
dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan
membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis
eksterna dengan sekret purulen dan berbau.
DIAGNOSIS
Harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena
penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Penentuan
kuman diphtheria dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya.
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent
antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis
pasti dengan isolasi C, diphtheriae dengan pembiakan pada media
Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenesitas secara vivo (marmut)
dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat
Page
10
membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun
pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih lanjut
untuk penggunaan secara luas.
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik
dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan
bawah membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum
diphteriae
Diagnosa Banding
1. Difteri Hidung
Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis)
Benda asing dalam hidung
Snuffles (lues congenita).
2. Difteri Faring
Tonsilitis membranosa akuta oleh karena streptokokus (tonsillitis
akuta/ septic sore throat)
Mononucleosis infectiosa
Tonsilitis membranosa non bakterial
Tonsillitis herpetika primer
Moniliasis
Blood dyscrasia
Pasca tonsilektomi.
3. Difteri Laring
Infectious croup yang lain
Spasmodic croup
Angioneurotic edema pada laring
Benda asing dalam laring.
4. Difteri Kulit : Impetigo
CARA PENULARAN
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik
sebagai penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu
melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan
carier Caranya melalui pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi
penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak
masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
Page
11
Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian
atas. Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan,
yang berupa reaksi radang lokal , dimana pembuluh-pembuluh darah
melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak,
lalu terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan (psedomembrane).
Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini
bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin
yang memberikan gejala-gejala dan miyocarditis.
PENYULIT
1. Obstruksi jalan nafas
Disebabkan oleh karena tertutup jalan nafas oleh membran diphtheria
atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah sub mandibular dan
cervical.
2. Efek toksin
Penyulit pada jantung berupa miokardioopati toksik bisa terjadi pada
minggu kedua, tetapi bisa lebih dini (minggu pertama) atau lebih lambat
(minggu ke enam). Manifestasinya bisa berupa takhikardi, suara jantung
redup, bising jantung, atau aritmia. Bisa pula terjadi gagal jantung.
Penyulit pada saraf (neuropati) biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral,
terutama mengenai saraf motorik dansembuh sempurna. Kelumpuhan
pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi
regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya pada
minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7.
Paralisa ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep
tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam liquor cerebrospinalis.
Bila terjadi kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan
gagal jantung.
3. Infeksi sekunder dengan bakteri lain
4. Setelah penggunaan antibiotika secara luas, penyulit ini sudah sangat
jarang.
Page
12
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Schick test
Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes
ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa
hari kemudian. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang
diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan
sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin akan
timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa minggu.
Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji schick
dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan
dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi
apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan
imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat
terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan
menghilang dalam 72 jam.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan
leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar
albumin. Pada urin terdapat
albumin ringan.
3. Pemeriksaan Diagnostik
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin
dan leukositosis, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin.
Pada urine terdapat albuminuria ringan
PENATALAKSANAAN
1. Isolasi dan Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah
masa akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-
tindakan berikut terlaksana:
a. biakan hidung dan tenggorok
b. seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap
diphtheria)
c. diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
Page
13
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan
toksoid diphtheria.
Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi
Bila kultur (+)/Schick test(-) :pengobatan carrier
Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria +
penisilin
Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).
2. Pengobatan
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit
yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah
penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.
2.1 Umum
Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan
serta diit yang adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar
nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan nebulizer. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas
serta gangguan pernafasan yang progresif hal-hal tersebut
merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
2.2 Khusus
a. Antitoksin: serum anti diphtheria (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis
diphtheria. Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes
konjungtiva dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS
terdapat kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka
harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam
larutan garam fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes
positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.
Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes
larutan serum 1:10 dalam garam faali. Pada mata yang lain
diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit
tampak gejala konjungtivitis dan lakrimasi.
Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan
cara desensitisasi (Besredka). Bila tes hipersensitivitas
Page
14
tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus
secara tetesan intravena.
Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung pada berat
badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI.
Dosis ADS di ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo
disesuaikan menurut derajat berat penyakit sebagai
berikut:
20.000 KI i.m. untuk diphtheria ringan (hidung, kulit,
konjungtiva).
40.000 KI i.v. untuk diphtheria sedang
(pseudomembran terbatas pada tonsil, diphtheria
laring).
100.000 KI i.v. untuk diphtheria berat
(pseudomembran meluas ke luar tonsil, keadaan
anak yang toksik; disertai "bullneck", disertai
penyulit akibat efek toksin).
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan
dalam larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping
obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin
dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum
sickness)
b. Antimikrobal
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
menghentikan
produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000
KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi bisa diberikan
eritromisin 40 mg/kg/hari.
c. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan
obat ini pada diphtheria. Namun kortikosteroid diberikan
kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas
bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.
Page
15
d. Pengobatan penyulit
Pengobatan terutama ditujukan terhadap menjaga agar
hemodinamika penderita tetap baik oleh karena penyulit
yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversibel.
e. Pengobatan carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,
mempunyai reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil
diphtheria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat
diberikan adalah penisilin oral atau suntikan, atau
eritromisin selama satu minggu. Mungkin diperlukan
tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.
3. Pencegahan
Umum
Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-
anak. Pada umumnya setelah menderita penyakit difteri kekebalan
penderita terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.
Khusus: terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier
4. Imunitas
Test kekebalan :
Schick test: menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap
diphtheria. Test dilakukan dengan menyuntikan toksin diphtheria
(dilemahkan) secara intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan
antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test positif.
Moloney test:menentukan sensitivitas terhadap produk kuman
diphtheria. Tes dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid
difteri toxoid secara suntikan intradermal. Reaksi positif bila dalam
24 jam timbul eritema >10 mm. Ini berarti bahwa:
pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi
reaksi hipersensitivitas.
pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi
yang berbahaya.
Kekebalan pasif: diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal
terhadap difteri (sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (sampai 2-3
minggu).
Page
16
Kekebalan aktif: diperoleh dengan cara menderita sakit atau inapparent
infection dan imunisasi dengan toksoid difteri
KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul:
1. Infeksi tumpangan oleh kuman lain
Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokokus dan staphilokokus.
Panas tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi
tumpangan dengan kuman streptokokus.
2. Obstruksi jalan napas akibat membran atau oedem jalan nafas
Obstruksi ini dapat terjadi akibat membaran atau oedem jalan nafas.
Obstruksi jalan nafas dengan sengaja akibatnya, bronkopneumoni dan
atelektasis.
3. Sistemik
Sering timbul akibat komplikasi difteri berat tetapi juga dapat terjadi pada
bentuk ringan. Komplikasi terhadap jantung pada anak diperkirakan 10-
20%. Faktor yang mempengaruhi terhadap niokarditis adalah virulensi
kuman.Virulensi makin tinggi komplikasi jantung. Miokarditis dapat terjadi
cepat pada minggu pertama atau lambat pada minggu keenam.
NeuritisTerjadi 5-10% pada penderita difteri yang biasanya merupakan
komplikasi dari difteri berat. Manifestasi klinik ditandai dengan: Timbul
setelah masa laten.Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih
dominan dari pada sensorik.Biasanya sembuh sempurna.
4. Susunan saraf
Kira-kira 10% penderita difteri akan mengalami komplikasi yang
mengenai system susunan saraf terutama sistem motorik. Paralysis ini
dapat berupa:
Paralysis palatum
Manifestasi saraf yang paling sering timbul pada minggu ketiga dan
khas dengan adanya suara dan regurgitasi hidung, tetapi ada yang
mengatakan suara ini timbul pada minggu 1-2 Kelainan ini biasanya
hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.
Ocular palsy
Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh paralysis
dari otot akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi kabur.
Page
17
Otot yang kena ialah m. rectus externus.Paralysis diafragma.Dapat
terjadi pada minus 5-7 Paralisis ini disebabkan neuritis n. phrenicus
dan bila tidak segera diatasi penderita akan meninggal.
Paralysis anggota gerak
a. Dapat terjadi pada minggu 6-10
Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, refleks tendon
menghilang, cairan cerebrospinal menunjukan peningkatan
protein yang mirip dengan sindrom guillian barre.
Prognosa:
Sebelum adanya antioksitoksin dan antibiotika, angka
kematian mencapai 30-50%. Dengan adanya antibiotik dan
antitoksin maka kematian menurun menjadi 5-10%.
Prognosa tergantung pada:
1. Usia
Makin rendah makin jelek prognosa.
2. Waktu pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian
antitoksin. Nelson (1959) menyebutkan bahwa
pemberian antitoksin pada hari pertama sakit
mortalitasnya 0,3%; pada hari ketiga 4%; pada hari
keempat 12%; dan hari kelima dan seterusnya
mortalitasnya 25%.Pada saluran pernafasan terjadi
obstruktif jalan nafas dengan segala
akibatnya,bronkopneumonia,atelektasis
b. Kardiovaskuler
Miokarditis yang dapat terjadi akibat toksin yang dibentuk
kuman diftera.
Kelainan pada ginjal (nefritis).
c. Kelainan saraf
Kira-kira 10% pasien difteri mengalami komplikasi yang
mengenai susunan saraf terutama motorik.
1. Paralisis/ paresis palatum mole sehingga terjadi
rinolalia (suara sengau ),tersedak/sukar menelan.
Dapat terjadi pada minggu I-II.
Page
18
2. Paralisis/ paresis otot-otot mata dapat menyebabkan
strabismus,gangguan akomodasi, dilatasi pupil, timbul
pada minggu III.
3. Paralisis umum yang dapat terjdi setelah minggu IV.
Kelainan dapat mengenai otot muka, leher, anggota
gerak dan yang paling berbahaya bila mengenai otot
pernapasan.
REFERENCE
Kadun I Nyoman, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, CV
Infomedika, Jakarta
Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan
Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit) ,2007,
Jakarta
Ditjen P2PL, Depkes RI, Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi Penyakit,
2003, Jakarta,
Ditjen P2PL, Depkes RI, Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas, 2005,
Jakarta
Kartono, 2008, Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di Kabupaten
Tasikmalaya dan Kabupaten Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.2
No.5
Wijaya Kusuma, 2004, Difteri, Cara Mencegah dan Mengatasinya,
http:/Cyberhelath.com,200
Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasfaring dan Orofaring. Dalam: BOIES Buku Ajar
Penyakit THT (Fundamentals of Otolaryngology), edisi enam. EGC : Jakarta.
1997.
Snell. Buku Ajar Ilmu Anatomi Klinik. Jilid I.Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta: 2001.
Soepardi E., Iskandar N.Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke lima.
Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004
Page
19
PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Pengkajian
Identitas : dapat terjadi pada semua golongan umur tapi sering dijumpai
pada anak
(usia 1-10 tahun).
Keluhan utama : biasanya klien dating dengan keluhan kesulitan
bernapas pada waktu tidur, nyeri pada waktu makan , dan bengkak pada
tenggorokan /leher.
Riwayat kontak dengan keluarga perlu dikaji.
Pemeriksaan fisik
Pada difteri tonsil-faring terdapat malise, suhu tubuh > 38,9
terdapat pseudomembran pada tonsil dan dinding faring, serta
bullnek.
Pada difteri laring terdapat stidor,suara parau, dan batuk kering,
sementara pada obstruksi laring yang besar terdapat retraksi
supra sterna, sub costal, dan supra clavicular.
Pada difteri hidung terdapat pilek ringan,secret hidung yang
serosauinus sampai mukopurulen dan membrane putih pada
septum nasi.
Pemeriksaan Laboratorium
Untuk menentukan diagnosis pasti diperlukan sediaan langsung
dengan kultur
dan pemeriksaan toksigenitas.
Diagnosa keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan
napas.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan penurunan intake makanan.
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengetahui sumber
informasi.
4. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
Page
20
Rencana Keperawatan
No. Dx. Keperawatan Tujuan Intervensi1. Bersihan jalan
nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas
NOCSetelah diberikan askep selama 3x24 jam diharapkan bersihan jalan napas pasien efektif dengan criteria hasil: Orangtua klien
mengatakan sesak anaknya mulai berkurang
Tidak ada retraksi dada
RR : 15-30 x /menit
Penurunan produksi sputum
Tidak sianosis Batuk efektif
NIC1. Berikan pasien posisi
semi atau fowler2. Ajarkan cara batuk
efektif 3. Catat kemampuan
untuk mengeluarkan secret , catat karakter, jumlah sputum, ada atau tidak hemoptisis.
4. Kaji fungsi pernapasan klien (bunyi napas,kecepatan,dan irama napas pasien)
5. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat bronkodilator dan mukolitik.
6. Bersihkan secret dari saluran pernapasan dengan suction bila perlu
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan intake makanan.
NOCSetelah diberikan askep selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan criteria hasil: Adanya
peningkatan berat badan
sesuai tujuan. Nafsu makan
pasien meningkat.
Berat badan ideal sesuai tinggi badan.
Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti.
Mampu mengidentifikasi
Kebutuhan nutrisi.
Turgor kulit elastic
NIC1. Berikan kalori sesuai
kebutuhan nutrisi.2. Kaji BB klien.3. Monitor turgor kulit.4. Monitor kalori dan
intake nutrisi.5. Monitor nafsu makan
klien6. Monitor pertumbuhan
dan perkembangan7. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk pemberian makanan yang tepat
3. Kurang NOC NIC
Page
21
pengetahuan berhubungan dengan tidak mengetahui sumber informasi
Setelah diberikan askep 1x60 menit diharapkan klien dan keluarganya dapat memahami tentang penyakitnya dengan criteria hasil : Pasien dan
keluaraga menyatakan paham tentang penyakit yang dideritanya, kondisi prognosis, dan program
pengobatan. Pasien dan klien
mampu Melakukan
prosedur yang dijelaskan dengan benar.
Pasien dan klien mampu
Menjelaskan kembali apa yang telah dijelaskan oleh perawat atau tim kesehatan yang
lainnya
1. Jelaskan kepada klien dan keluarga tentang gejala, pengobatan, proses penyakit,cara penanganan, tentang penyakit yang dialami klien.
2. Sediakan sumber informasi yang tepat tentang kondisi pasien
3. Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala yang terjadi untuk dilaporkan pada perawat
4. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
NOCSetelah diberikan askep 2x24 jam diharapkan suhu badan klien ada dalam rentang normal dengan criteria hasil : Suhu badan
pasien dalam rentang normal yaitu 36-38⁰C
Badan pasien sudah tidak hangat lagi
Warna kulit pasien normal,yaitu tidak kemerahan
NIC1. Monitor suhu pasien2. Monitor warna kulit
pasien3. Monitor WBC, dan Hb
pasien4. Kompres pasien pada
lipat paha dan aksila5. Kolaborasi pemberian
antibiotic sesuai indikasi dokter