30
Page 1 LAPORAN PENDAHULUAN DIFTERI DEFINISI Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjunngtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas. Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi ) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif,timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo.(Kadun,2006) Difteri adalah infeksi akut ynag disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae. Infeksi biasanya terdapat

LAPORAN PENDAHULUAN

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

1

LAPORAN PENDAHULUAN

DIFTERI

DEFINISI

Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang

tonsil, faring,laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau

kulit serta kadang-kadang konjunngtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang

khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi

nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi

dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada

difteria faucial atau pada difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe

yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan sedang

ditandai dengan pembengkakan dan oedema di leher dengan

pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi

obstruksi jalan napas.

Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga

hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau

kolonisasi ) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan

myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang

progresif,timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada

difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi

penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo.

(Kadun,2006)

Difteri adalah infeksi akut ynag disebabkan oleh Corynebacterium

Diphteriae. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan

kadang pada kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini

menyebabkan gejala-gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama

karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat

infeksi.

Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang

sedang menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur

akibat batuk, bersin atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa

infeksi difteri pada kulit merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran

nafas.

Page 2: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

2

ETIOLOGI

Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae (basil Klebs-

Loeffler) merupakan basil gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak

membentuk spora dan berbentuk batang pleomorfis. Sifat basil polimorf,

gram positif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, mati pada

pemanasan 60ºC selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam

es, air susu, dan lendir yang telah mongering. Organisme tersebut paling

mudah ditemukan pada media yang mengandung penghambat tertentu yang

memperlambat pertumbuhan mikroorganisme lain (Tellurite). Koloni-koloni

Corynebacterium diphteriae berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.

Pada media Tellurite dapat dibedakan 3 tipe koloni :

koloni mitis yang halus, berwarna hitam dan cembung

koloni gravis yang berwarna kelabu dan setengah kasar

koloni intermedius berukuran kecil, halus serta memiliki

pusat berwarna hitam.

Basil dapat membentuk :

Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna

putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan

nekrotik dan basil.

Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah

bebrapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan

jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan

saraf. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan

kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.

Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae,

kuman yang termasuk Gram positif dan hidung di saluran nafas bagian atas

yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman

ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam

darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat

dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes

Schick.

Page 3: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

3

PATOFISIOLOGI

Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada

permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi

toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke

seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan

suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan

panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal)

dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfida.

Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi

pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar

fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini

penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel.

Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul

dalam suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara

endositosis. Proses ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel.

Selanjutnya endosom yang mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan

mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui membran

endosom ke cytosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah

hambatan pembentukan protein dalam sel.

Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2

asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang menempati kedudukan

P dan A dari pada ribosome. Bila rangkaian asam amino ini akan

ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai

dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini

merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari

kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim

translokase (Elongation faktor-2) yang aktif.

Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel

dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan

mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui proses :

NAD+ + EF2 (aktif) ---toksin---> ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nicotinamide ADP-ribosil-EF2

yang inaktif .

Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga

tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel

akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai

respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan

Page 4: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

4

nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas.

Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan

terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat

erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang

terkandung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit

dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi

perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode

penyembuhan.

Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya

Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat

menyumbat jalan nafas. gangguan pernafasan/suffokasi bisa terjadi

dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang-cabang

tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa

mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan

ginjal.

Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas

atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke

dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang

bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati toksik

biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya

terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah

nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan

jaringan. Pada jantung tampak edema,kongesti, infiltrasi sel mononuklear

pada serat otot dan sistem konduksi. Bila penderita tetap hidup terjadi

regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik

dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa disertai

gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan

nekrosis tubuler akut pada ginjal.

Page 5: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

5

Masa inkubasi 2-5 hari

Masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan atau pernafasan

Aliran sistemik

Mengeluarkan toksin (eksotoksin)

Tonsil/faringeal

Nasal Laring

Tenggorokan sakit, demam, anoreksia, lemah membran berwarna putih atau

abu-abu, linfadenitis (bull’s neck), toxemia, syok septik

Demam, suara serak, batuk, obstruksi

saluran nafas, sesak nafas, sianosis

Peradangan mukosa hidung (flu, sekret hidung serosa)

Menghambat pembentukan protein

Sel mati

Respon inflamasi lokal

Pseudomonas (eksudat fibrin, sel radang,

eritrosit, sele-sel epitel

Bersihan jalan nafas tidak efektif

Pemenuhan nutrisi berkurang, sehingga berat badan menurun

RR tidak efektif

Jantung

Saraf

Ginjal

Nekrosis toksik & degenerasi hialin

Miokarditis

Neuritis toksik dgn degenerasi lemak pd selaput mielin

Tampak perdarahan adrena & nekrosis tubuler akut

Edema kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot & sist. konduksi

Corynebacterium diphteriaeKontak langsung dengan orang yang terinfeksi atau

barang-barang yang terkontaminasi

Page 6: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

6

KLASIFIKASI

Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:

Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung

dengan gejala hanya nyeri menelan.

Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring

(dindingbelakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan

pada laring.

Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan

gejalakomplikasi seperti Miokarditis (radang otot jantung), paralisis

(kelemahananggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).

Menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :

1. Difteri hidung bila penderita menderita pilek dengan ingus yang

bercampur darah. Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan salah

satu rongga hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi

subklinis (atau kolonisasi) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat

menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung

kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri.

Gejala lain yang muncul belakangan antara lain neuropati yang mirip

dengan Guillain Barre Syndrome. Tingkat kematian kasus mencapai 5-

10% untuk difteri noncutaneus, angka ini tidak banyak berubah selama

50 tahun. Bentuk lesi pada difteria kulit bermacam-macam dan tidak

dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau

merupakan bagian dari impetigo.

2. Difteri faring dan tonsil dengan gejala radang akut tenggorokan, demam

sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak lemah,

nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini

juga akan tampak membran berwarna putih keabu-abuan kotor di daerah

rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).

3. Difteri laring dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi,

demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit

tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini

merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita

akibat gagal nafas.

Page 7: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

7

4. Difteri kutaneus dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan

pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun

tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi

cenderung tidak terasa apa apa.

MANIFESTASI KLINIS

Tanda-tanda dan gejala difteri tergantung pada fokus infeksi,

status kekebalan dan apakah toksin yang dikeluarkan itu telah memasuki

peredaran darah atau belum. Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari,

walaupun dapat singkat hanya satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4

minggu. Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya

sakit tenggorokan yang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara

37,8oC ± 38,9oC. Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi

kebanyakan sudah terjadi membran putih/keabu-abuan.

Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi tonsil,

palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput

yang segera menjadi tebal., abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler

yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran

mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya.

Sehingga sukar untuk diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa

menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada membran biasanya

tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi

akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.

Gejala lokal dan sistemik secara bertahap menghilang dan

membran akan menghilang. Dan perubahan ini akn lebih cepat bila

diberikan antitoksin. Difteri berat akan lebih berat pada anak yang lebih

muda. Bentuk difteri antara lain bentuk Bullneck atau maglinant difteri.

Bentuk ini timbul dengan gejala-gejala yang lebih berat dan membran

menyebar secrara cepat menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung.

Udema tonsil dan uvula dapat pula timbul. Kadang-kadang udema disertai

nekrose. Pembengkakan kelenjer leher, infiltrat ke dalam jaringan sel-sel

leher, dari telinga satu ke telinga yang lain. Dan mengisi dibawah

mandibula sehingga memberi gambaran bullneck.

Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu :

Page 8: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

8

a. gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan

suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,

badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan

b. gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi

bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu

membentuk semu. Membran ini dapat meluas ke palatum molle,

uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat

menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada

dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada

perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar

limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga

leher menyerupai sapi (bullneck) atau disebut juga

Burgermeester¶s hals.

c. gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini

akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung

dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai

saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot

pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminoria.

Difteri Tonsil

Gejala biasanya tidak khas berupa malaise, anoreksia, sakit tenggorok

dan demam. Difteri tonsil dan faring khas ditandai dengan adanya

adenitis / periadenitis cervical, kasus yang berat ditandai dengan

bullneck (limfadenitis disertai edema jaringan lunak leher). Suhu dapat

normal atau sedikit meningkat tetapi nadi biasanya cepat. Pada kasus

ringan membran biasanya akan menghilang antara 7-10 hari dan

penderita tampak sehat. Pada kasus sangat berat ditandai dengan

gejala-gejala toksemia berupa lemah, pucat, nadi cepat dan kecil,

stupor, koma dan meninggal dalam 6-10 hari. Pada kasus sedang

penyembuhan lambat disertai komplikasi seperti miokarditis dan

neuritis.

Difteri Hidung

Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau

disertai gejala

Page 9: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

9

sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan

kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas.

Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.

Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak

nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.

Difteri Laring

Biasanya merupakan perluasan diphtheria faring, pada diphtheria

laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala

obstruksi saluran nafas atas. Gejala sukar dibedakan dari tipe

infectious croup yang lain seperti nafas berbunyi, stridor progresif,

suara parau, batuk kering dan pada obstruksi laring yang berat

terdapat retraksi suprasternal, subcostal dan supraclavicular. Bila

terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi

kematian mendadak. pada kasus berat, membran meluas ke

percabangan tracheobronchial. Dalam hal diphtheria laring sebagai

perluasan daripada diphtheria faring, gejala merupakan campuran

gejala obstruksi dan toksemia.

Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, Telinga

Difteri kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada

dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata

dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan

membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis

eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

DIAGNOSIS

Harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena

penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Penentuan

kuman diphtheria dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya.

Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent

antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis

pasti dengan isolasi C, diphtheriae dengan pembiakan pada media

Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenesitas secara vivo (marmut)

dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat

Page 10: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

10

membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun

pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih lanjut

untuk penggunaan secara luas.

Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik

dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan

bawah membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum

diphteriae

Diagnosa Banding

1. Difteri Hidung

Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis)

Benda asing dalam hidung

Snuffles (lues congenita).

2. Difteri Faring

Tonsilitis membranosa akuta oleh karena streptokokus (tonsillitis

akuta/ septic sore throat)

Mononucleosis infectiosa

Tonsilitis membranosa non bakterial

Tonsillitis herpetika primer

Moniliasis

Blood dyscrasia

Pasca tonsilektomi.

3. Difteri Laring

Infectious croup yang lain

Spasmodic croup

Angioneurotic edema pada laring

Benda asing dalam laring.

4. Difteri Kulit : Impetigo

CARA PENULARAN

Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik

sebagai penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu

melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan

carier Caranya melalui pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi

penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak

masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.

Page 11: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

11

Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian

atas. Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan,

yang berupa reaksi radang lokal , dimana pembuluh-pembuluh darah

melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak,

lalu terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan (psedomembrane).

Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini

bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin

yang memberikan gejala-gejala dan miyocarditis.

PENYULIT

1. Obstruksi jalan nafas

Disebabkan oleh karena tertutup jalan nafas oleh membran diphtheria

atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah sub mandibular dan

cervical.

2. Efek toksin

Penyulit pada jantung berupa miokardioopati toksik bisa terjadi pada

minggu kedua, tetapi bisa lebih dini (minggu pertama) atau lebih lambat

(minggu ke enam). Manifestasinya bisa berupa takhikardi, suara jantung

redup, bising jantung, atau aritmia. Bisa pula terjadi gagal jantung.

Penyulit pada saraf (neuropati) biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral,

terutama mengenai saraf motorik dansembuh sempurna. Kelumpuhan

pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi

regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya pada

minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7.

Paralisa ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep

tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam liquor cerebrospinalis.

Bila terjadi kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan

gagal jantung.

3. Infeksi sekunder dengan bakteri lain

4. Setelah penggunaan antibiotika secara luas, penyulit ini sudah sangat

jarang.

Page 12: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

12

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Schick test

Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes

ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa

hari kemudian. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang

diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan

sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin akan

timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa minggu.

Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji schick

dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan

dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi

apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan

imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat

terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan

menghilang dalam 72 jam.

2. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan

leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar

albumin. Pada urin terdapat

albumin ringan.

3. Pemeriksaan Diagnostik

Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin

dan leukositosis, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin.

Pada urine terdapat albuminuria ringan

PENATALAKSANAAN

1. Isolasi dan Karantina

Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah

masa akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-

tindakan berikut terlaksana:

a. biakan hidung dan tenggorok

b. seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap

diphtheria)

c. diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.

Page 13: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

13

Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan

toksoid diphtheria.

Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi

Bila kultur (+)/Schick test(-) :pengobatan carrier

Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria +

penisilin

Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).

2. Pengobatan

Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang

belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit

yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah

penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.

2.1 Umum

Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan

serta diit yang adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar

nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan

menggunakan nebulizer. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas

serta gangguan pernafasan yang progresif hal-hal tersebut

merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

2.2 Khusus

a. Antitoksin: serum anti diphtheria (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis

diphtheria. Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes

konjungtiva dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS

terdapat kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka

harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.

Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam

larutan garam fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes

positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.

Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes

larutan serum 1:10 dalam garam faali. Pada mata yang lain

diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit

tampak gejala konjungtivitis dan lakrimasi.

Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan

cara desensitisasi (Besredka). Bila tes hipersensitivitas

Page 14: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

14

tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus

secara tetesan intravena.

Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris

berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung pada berat

badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI.

Dosis ADS di ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo

disesuaikan menurut derajat berat penyakit sebagai

berikut:

20.000 KI i.m. untuk diphtheria ringan (hidung, kulit,

konjungtiva).

40.000 KI i.v. untuk diphtheria sedang

(pseudomembran terbatas pada tonsil, diphtheria

laring).

100.000 KI i.v. untuk diphtheria berat

(pseudomembran meluas ke luar tonsil, keadaan

anak yang toksik; disertai "bullneck", disertai

penyulit akibat efek toksin).

Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan

dalam larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam.

Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping

obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin

dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu

dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum

sickness)

b. Antimikrobal

Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk

menghentikan

produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000

KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi bisa diberikan

eritromisin 40 mg/kg/hari.

c. Kortikosteroid

Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan

obat ini pada diphtheria. Namun kortikosteroid diberikan

kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas

bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.

Page 15: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

15

d. Pengobatan penyulit

Pengobatan terutama ditujukan terhadap menjaga agar

hemodinamika penderita tetap baik oleh karena penyulit

yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversibel.

e. Pengobatan carrier

Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,

mempunyai reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil

diphtheria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat

diberikan adalah penisilin oral atau suntikan, atau

eritromisin selama satu minggu. Mungkin diperlukan

tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.

3. Pencegahan

Umum

Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-

anak. Pada umumnya setelah menderita penyakit difteri kekebalan

penderita terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.

Khusus: terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier

4. Imunitas

Test kekebalan :

Schick test: menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap

diphtheria. Test dilakukan dengan menyuntikan toksin diphtheria

(dilemahkan) secara intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan

antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test positif.

Moloney test:menentukan sensitivitas terhadap produk kuman

diphtheria. Tes dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid

difteri toxoid secara suntikan intradermal. Reaksi positif bila dalam

24 jam timbul eritema >10 mm. Ini berarti bahwa:

pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi

reaksi hipersensitivitas.

pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi

yang berbahaya.

Kekebalan pasif: diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal

terhadap difteri (sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (sampai 2-3

minggu).

Page 16: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

16

Kekebalan aktif: diperoleh dengan cara menderita sakit atau inapparent

infection dan imunisasi dengan toksoid difteri

KOMPLIKASI

Komplikasi yang timbul:

1. Infeksi tumpangan oleh kuman lain

Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokokus dan staphilokokus.

Panas tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi

tumpangan dengan kuman streptokokus.

2. Obstruksi jalan napas akibat membran atau oedem jalan nafas

Obstruksi ini dapat terjadi akibat membaran atau oedem jalan nafas.

Obstruksi jalan nafas dengan sengaja akibatnya, bronkopneumoni dan

atelektasis.

3. Sistemik

Sering timbul akibat komplikasi difteri berat tetapi juga dapat terjadi pada

bentuk ringan. Komplikasi terhadap jantung pada anak diperkirakan 10-

20%. Faktor yang mempengaruhi terhadap niokarditis adalah virulensi

kuman.Virulensi makin tinggi komplikasi jantung. Miokarditis dapat terjadi

cepat pada minggu pertama atau lambat pada minggu keenam.

NeuritisTerjadi 5-10% pada penderita difteri yang biasanya merupakan

komplikasi dari difteri berat. Manifestasi klinik ditandai dengan: Timbul

setelah masa laten.Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih

dominan dari pada sensorik.Biasanya sembuh sempurna.

4. Susunan saraf

Kira-kira 10% penderita difteri akan mengalami komplikasi yang

mengenai system susunan saraf terutama sistem motorik. Paralysis ini

dapat berupa:

Paralysis palatum

Manifestasi saraf yang paling sering timbul pada minggu ketiga dan

khas dengan adanya suara dan regurgitasi hidung, tetapi ada yang

mengatakan suara ini timbul pada minggu 1-2 Kelainan ini biasanya

hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.

Ocular palsy

Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh paralysis

dari otot akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi kabur.

Page 17: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

17

Otot yang kena ialah m. rectus externus.Paralysis diafragma.Dapat

terjadi pada minus 5-7 Paralisis ini disebabkan neuritis n. phrenicus

dan bila tidak segera diatasi penderita akan meninggal.

Paralysis anggota gerak

a. Dapat terjadi pada minggu 6-10

Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, refleks tendon

menghilang, cairan cerebrospinal menunjukan peningkatan

protein yang mirip dengan sindrom guillian barre.

Prognosa:

Sebelum adanya antioksitoksin dan antibiotika, angka

kematian mencapai 30-50%. Dengan adanya antibiotik dan

antitoksin maka kematian menurun menjadi 5-10%.

Prognosa tergantung pada:

1. Usia

Makin rendah makin jelek prognosa.

2. Waktu pengobatan antitoksin

Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian

antitoksin. Nelson (1959) menyebutkan bahwa

pemberian antitoksin pada hari pertama sakit

mortalitasnya 0,3%; pada hari ketiga 4%; pada hari

keempat 12%; dan hari kelima dan seterusnya

mortalitasnya 25%.Pada saluran pernafasan terjadi

obstruktif jalan nafas dengan segala

akibatnya,bronkopneumonia,atelektasis

b. Kardiovaskuler

Miokarditis yang dapat terjadi akibat toksin yang dibentuk

kuman diftera.

Kelainan pada ginjal (nefritis).

c. Kelainan saraf

Kira-kira 10% pasien difteri mengalami komplikasi yang

mengenai susunan saraf terutama motorik.

1. Paralisis/ paresis palatum mole sehingga terjadi

rinolalia (suara sengau ),tersedak/sukar menelan.

Dapat terjadi pada minggu I-II.

Page 18: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

18

2. Paralisis/ paresis otot-otot mata dapat menyebabkan

strabismus,gangguan akomodasi, dilatasi pupil, timbul

pada minggu III.

3. Paralisis umum yang dapat terjdi setelah minggu IV.

Kelainan dapat mengenai otot muka, leher, anggota

gerak dan yang paling berbahaya bila mengenai otot

pernapasan.

REFERENCE

Kadun I Nyoman, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, CV

Infomedika, Jakarta

Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan

Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit) ,2007,

Jakarta

Ditjen P2PL, Depkes RI, Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi Penyakit,

2003, Jakarta,

Ditjen P2PL, Depkes RI, Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas, 2005,

Jakarta

Kartono, 2008, Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di Kabupaten

Tasikmalaya dan Kabupaten Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.2

No.5

Wijaya Kusuma, 2004, Difteri, Cara Mencegah dan Mengatasinya,

http:/Cyberhelath.com,200

Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasfaring dan Orofaring. Dalam: BOIES Buku Ajar

Penyakit THT (Fundamentals of Otolaryngology), edisi enam. EGC : Jakarta.

1997.

Snell. Buku Ajar Ilmu Anatomi Klinik. Jilid I.Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Jakarta: 2001.

Soepardi E., Iskandar N.Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke lima.

Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004

Page 19: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

19

PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN

Pengkajian

Identitas : dapat terjadi pada semua golongan umur tapi sering dijumpai

pada anak

(usia 1-10 tahun).

Keluhan utama : biasanya klien dating dengan keluhan kesulitan

bernapas pada waktu tidur, nyeri pada waktu makan , dan bengkak pada

tenggorokan /leher.

Riwayat kontak dengan keluarga perlu dikaji.

Pemeriksaan fisik

Pada difteri tonsil-faring terdapat malise, suhu tubuh > 38,9

terdapat pseudomembran pada tonsil dan dinding faring, serta

bullnek.

Pada difteri laring terdapat stidor,suara parau, dan batuk kering,

sementara pada obstruksi laring yang besar terdapat retraksi

supra sterna, sub costal, dan supra clavicular.

Pada difteri hidung terdapat pilek ringan,secret hidung yang

serosauinus sampai mukopurulen dan membrane putih pada

septum nasi.

Pemeriksaan Laboratorium

Untuk menentukan diagnosis pasti diperlukan sediaan langsung

dengan kultur

dan pemeriksaan toksigenitas.

Diagnosa keperawatan

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan

napas.

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan penurunan intake makanan.

3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengetahui sumber

informasi.

4. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit

Page 20: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

20

Rencana Keperawatan

No. Dx. Keperawatan Tujuan Intervensi1. Bersihan jalan

nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas

NOCSetelah diberikan askep selama 3x24 jam diharapkan bersihan jalan napas pasien efektif dengan criteria hasil: Orangtua klien

mengatakan sesak anaknya mulai berkurang

Tidak ada retraksi dada

RR : 15-30 x /menit

Penurunan produksi sputum

Tidak sianosis Batuk efektif

NIC1. Berikan pasien posisi

semi atau fowler2. Ajarkan cara batuk

efektif 3. Catat kemampuan

untuk mengeluarkan secret , catat karakter, jumlah sputum, ada atau tidak hemoptisis.

4. Kaji fungsi pernapasan klien (bunyi napas,kecepatan,dan irama napas pasien)

5. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat bronkodilator dan mukolitik.

6. Bersihkan secret dari saluran pernapasan dengan suction bila perlu

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan intake makanan.

NOCSetelah diberikan askep selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan criteria hasil: Adanya

peningkatan berat badan

sesuai tujuan. Nafsu makan

pasien meningkat.

Berat badan ideal sesuai tinggi badan.

Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti.

Mampu mengidentifikasi

Kebutuhan nutrisi.

Turgor kulit elastic

NIC1. Berikan kalori sesuai

kebutuhan nutrisi.2. Kaji BB klien.3. Monitor turgor kulit.4. Monitor kalori dan

intake nutrisi.5. Monitor nafsu makan

klien6. Monitor pertumbuhan

dan perkembangan7. Kolaborasi dengan ahli

gizi untuk pemberian makanan yang tepat

3. Kurang NOC NIC

Page 21: LAPORAN PENDAHULUAN

Page

21

pengetahuan berhubungan dengan tidak mengetahui sumber informasi

Setelah diberikan askep 1x60 menit diharapkan klien dan keluarganya dapat memahami tentang penyakitnya dengan criteria hasil : Pasien dan

keluaraga menyatakan paham tentang penyakit yang dideritanya, kondisi prognosis, dan program

pengobatan. Pasien dan klien

mampu Melakukan

prosedur yang dijelaskan dengan benar.

Pasien dan klien mampu

Menjelaskan kembali apa yang telah dijelaskan oleh perawat atau tim kesehatan yang

lainnya

1. Jelaskan kepada klien dan keluarga tentang gejala, pengobatan, proses penyakit,cara penanganan, tentang penyakit yang dialami klien.

2. Sediakan sumber informasi yang tepat tentang kondisi pasien

3. Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala yang terjadi untuk dilaporkan pada perawat

4. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit

NOCSetelah diberikan askep 2x24 jam diharapkan suhu badan klien ada dalam rentang normal dengan criteria hasil : Suhu badan

pasien dalam rentang normal yaitu 36-38⁰C

Badan pasien sudah tidak hangat lagi

Warna kulit pasien normal,yaitu tidak kemerahan

NIC1. Monitor suhu pasien2. Monitor warna kulit

pasien3. Monitor WBC, dan Hb

pasien4. Kompres pasien pada

lipat paha dan aksila5. Kolaborasi pemberian

antibiotic sesuai indikasi dokter