50
Valuasi Ekonomi Karbon Ca. Faruhumpenai Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang yang mempunyai luas hutan 137,09 juta ha dan luas lahan gambut 17 juta ha terbesar ketiga di dunia. Dengan kekayaan alam yang sangat berlimpah, hutan mempunyai manfaat tidak hanya berupa kayu, melainkan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan. Jasa lingkungan seperti menampung air, mencegah banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keanekaragaman hayati, dan menyerap karbon sehingga mengurangi pencemaran udara. Akan tetapi telah terjadi degradasi dan deforestasi hutan yang mencapai 1,87 ha / tahun. Luas hutan konservasi yang terdapat di Indonesia seluas 27,2 juta ha, atau kurang lebih 20 % dari luas kawasan hutan di Indonesia. Pemanfaatan kawasan konservasi lebih banyak diarahkan pada pemanfaatan produk jasa dari ekosistem hutan, yang secara garis besar berupa : a. Jasa penyediaan untuk menghasilkan berbagai komoditas kebutuhan manusia termasuk obat-obatan, sumber genetik, air, dll b. Jasa pengaturan untuk menjaga kualitas iklim, udara, air, erosi, dan mengontrol berbagai aspek biologis di muka bumi. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan 1

laporan valuasi karbon.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Valuasi Ekonomi Karbon Ca. FaruhumpenaiBalai Besar KSDA Sulawesi SelatanI. PENDAHULUANA. Latar BelakangIndonesia sebagai negara berkembang yang mempunyai luas hutan 137,09 juta ha dan luas lahan gambut 17 juta ha terbesar ketiga di dunia. Dengan kekayaan alam yang sangat berlimpah, hutan mempunyai manfaat tidak hanya berupa kayu, melainkan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan. Jasa lingkungan seperti menampung air, mencegah banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keanekaragaman hayati, dan menyerap karbon sehingga mengurangi pencemaran udara. Akan tetapi telah terjadi degradasi dan deforestasi hutan yang mencapai 1,87 ha / tahun. Luas hutan konservasi yang terdapat di Indonesia seluas 27,2 juta ha, atau kurang lebih 20 % dari luas kawasan hutan di Indonesia. Pemanfaatan kawasan konservasi lebih banyak diarahkan pada pemanfaatan produk jasa dari ekosistem hutan, yang secara garis besar berupa :a. Jasa penyediaan untuk menghasilkan berbagai komoditas kebutuhan manusia termasuk obat-obatan, sumber genetik, air, dllb. Jasa pengaturan untuk menjaga kualitas iklim, udara, air, erosi, dan mengontrol berbagai aspek biologis di muka bumi.c. Jasa kultural dalam membentuk identitas budaya, hubungan sosial, peninggalan pusaka, wisata,dlld. Jasa pendukung dalam membentuk formasi tanah, produk oksigen, habitat, dan siklus mineral.Akibat adanya perubahan iklim yang disebabkan aktivitas manusia terutama berasal dari aktivitas industri dan perusakan hutan dan perubahan tata guna lahan Indonesia telah menandatangani mekanisme REDD (Reduction Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Mekanisme REDD merupakan mekanisme internasional untuk memberikan insentif positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Serta melakukan pengelolaan hutan yang menghasilkan pengurangan penurunan kuantitas penutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan. Di dalam Bali Road MAP, pengelolaan lestari dari hutan (sustainable forest management) merupakan salah satu mekanisme pengurangan emisi karbon yang termasuk di dalam upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi plus. Untuk sektor kehutanan pengurangan emisi dari pencegahan kebakaran hutan dan degradasi lahan hutan gambut merupakan prioritas utama untuk mengurangi dampak pemanasan global.Kawasan konservasi memiliki potensi yang sangat besar dalam menyerap emisi karbon. Pada kegiatan ini dilakukan valuasi ekonomi karbon pada Cagar Alam Faruhumpenai yang merupakan wilayah Balai Besar konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan.

B. Maksud dan Tujuan1. Maksud Maksud penyusunan Laporan kegiatan Valuasi Ekonomi Carbon di CA. Faruhumpenai Kabupaten Luwu Timur ini adalah untuk memberikan gambaran potensi CA. Faruhumpenai dalam menyerap karbon dan mengetahui nilai ekonomi dari penyerapan karbon kawasan. 2. TujuanTujuan penyelenggaraan Kegiatan Valuasi Ekonomi Carbon di CA Faruhumpenai Kabupaten Luwu Timur adalah untuk mengetahui potensi CA. Faruhumpenai dalam menyerap emisi karbon dan nilai ekonomis dari penyerapan karbon. C. Dasar Pelaksanaan Kegiatan1. Undang-Undang No. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;2. Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;3. Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa;4. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. P.02/Menhut-II/2007 Tanggal 2 Februari 2007 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam;5. Surat Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BA.29 Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan tahun 2010 No. SK. 226/BBKSDASS-19/1/Keu/2010 tentang Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BA.029 Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan tahun 2010.6. Surat Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BA 029 Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan Nomor : 0177/029-05.2/XXIII/2010 tanggal 31 Desember 2009.7. Surat Perintah Tugas Kepala Bidang KSDA Wilayah I Nomor PT. 764 / BBKSDA.SS-19/BID I/2010 tanggal 14 September 2010.

II. KONDISI WILAYAHA. Luas, Letak, dan Dasar Hukuma) Nama kawasan: Cagar Alam Faruhumpenaib) Luas kawasan: 90.000 hektarc) Fungsi: Cagar Alam d) KeunikanMerupakan contoh perwakilan ekosistem hutan hujan tropis pegunungan rendah, hutan pamah dan hutan rawa yang memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi. Beberapa jenis yang endemik di sub kawasan Sulawesi atau kawasan Wallacea diantaranya Diospyros celebica, Pinanga celebica, Stemonorus celebicus, Garcinia nervosa, Lithocarpus celebica, Ceolopgyne rumphii, Macrogalidia musschenbroekii, Babyrousa babirussa, Buballus quarlesi, Macaca tonkeana, Rhityceros cassidix, Penelopides exarhatus, Spizaetus lanceolatus, dan lain sebagainya dapat ditemui di kawasan Faruhumpenai. Hingga saat ini, kawasan Faruhumpenai diketahui merupakan habitat alami dari 38 jenis satwa liar dan 205 jenis tumbuhan alam, yang akan terus bertambah seiring dengan kontinuitas pelaksanaan identifikasi dan inventarisasi. Angka ini belum termasuk jenis ikan air tawar serta komunitas lahan basah lainnya yang belum teridentifikasi. Bentang alam dengan beberapa bukit karang (karst) juga terdapat di kawasan ini. Aliran sungai pada lahan dengan topografi yang berombak membentuk beberapa air terjun, diantaranya yang terkenal adalah air terjun Salunoa. e) Status: darat dan perairanf) Letak administrasi: Wilayah Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan tepatnya di 4 (empat) kecamatan yaitu Kecamatan Mangkutana, Nuha, Malili dan Angkona.Batas Utara: Kabupaten Poso Propinsi Sulawesi TengahBatas Selatan: Areal PT. HGU Sindoka Desa Taripa, Desa Non Blok, Dusun Mangtadulu, Atue, Dusun Cerekang, Dusun Loroeha, Dusun Koropansu dan Dusun Bonepute Desa Matano.Batas Barat : Jalan Trans Sulawesi wilayah administratif Desa Kasintuwu, Desa Non Blok dan Desa Taripa Kecamatan MangkutanaBatas Timur : Desa Matano dan Desa Nuha Kecamatan Nuhag) Letak astronomis : Bujur: 120 45 52 BT - 121 17 32 BT Lintang: 02 13 06 LS - 02 32 40 LSStatus hukum :Penunjukan SK. Menteri Pertanian 274/Kpts/Um/4/1979 tanggal 24 April 1979.

B. Kondisi Fisika) Deskripsi topografiMerupakan wilayah yang terdiri dari areal berawa sampai tanah kering serta lapangan yang berbatu cadas. Bentuk lapangan bervariasi dari datar, berombak, berbukit-bukit sampai dengan bergunung. Kelerengan lapangan bervariasi antara 0 % sampai dengan di atas 80 %. Pada beberapa bagian kawasan terdapat tebing-tebing berbatu yang sangat terjal. b) Tinggi minimum: 80 m di atas permukaan lautc) Tinggi maksimum: 1.786 m di atas permukaan lautd) Deskripsi kondisi tanahBerdasarkan data yang termuat dalam Peta Tanah Propinsi Sulawesi Selatan skala 1 : 500.000 yang diterbitkan oleh Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah VII Makassar (bersumber dari Peta Geologi Indonesia), jenis tanah di kawasan Cagar Alam Faruhumpenai bervariasi dari jenis Alluvial, Latosol dan Podsolik. Komposisi jenis tanah di dalam kawasan dan sekitarnya yaitu : Alluvial membujur dari Luwu bagian Selatan sampai ke Utara; Latosol di Kecamatan Mangkutana bagian Selatan; dan Podsolik yang terdapat di Kecamatan Nuha bagian Barat.e) Deskripsi geologiBerdasarkan data yang termuat dalam Peta Geologi Propinsi Sulawesi Selatan skala 1 : 500.000 yang diterbitkan oleh Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah VII Makassar (bersumber dari Peta Geologi Indonesia), formasi geologi kawasan Cagar Alam Faruhumpenai terdiri dari Batuan Sedimen Alluvium Undak dan Terumbu Koral, Batuan Sedimen Meozoikum Tak Dibedakan, Batuan Sedimen Neogen, Batuan Sedimen Sekis Bablur, dan Batuan Pluton Basa.f) Tipe iklim Schmidt dan Ferguson : A g) Tipe iklim lain: -h) Curah hujan rata-rata tahunan : 4.365 mmi) HidrologiCagar Alam Faruhumpenai merupakan kawasan catchment area beberapa sungai di kawasan Malili dan sekitarnya serta merupakan bank plasma nutfah bagi jenis Diospyros celebica bersama dengan kawasan Cagar Alam Kalaena dan Cagar Alam Ponda-ponda di Sulawesi Selatan.Kawasan Cagar Alam Faruhumpenai pada umumnya merupakan daerah aliran sungai yaitu Sungai Cerekang, Angkona dan Kalaena. Dimana daerah aliran sungai Cerekang dapat dijumpai pada bagian selatan pada kawasan di daerah Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur, Angkona di Kecamatan Angkona dan daerah aliran sungai Kalaena di Kecamatan Mangkutana. Limbahan daerah aliran sungai tersebut bermuara di Teluk Bone wilayah Kabupaten Luwu Timur.

C. Tipe Ekosistem1. Hutan Rawa Air TawarVegetasi banyak didominasi oleh jenis-jenis rumput (Poaceae), serta jenis-jenis flora yang terapung dan hidup di dalam air (Hydrocharitaceae). Jenis-jenis fauna didominasi oleh moluska dan jenis-jenis ikan air tawar seperti Julung-julung (Dermogenys weberi) dan lain sebagainya.2. Hutan Pamah PrimerTipe ekosistem ini pada Cagar Alam Faruhumpenai didominasi oleh jenis-jenis pepohonan yang tinggi dan jenis-jenis perdu. Jenis yang menonjol di kawasan ini yaitu Diospyros celebica yang tumbuh sampai pada ketinggian 900 m dpl. Tipe ekosistem ini juga merupakan habitat alami Babyrousa babirussa yang populasinya sudah sangat kecil. Rendahnya densitas populasi jenis ini diperkirakan sebagai akibat dari persaingannya dengan Sus celebensis.3. Hutan Hujan Tropis Pegunungan BawahPada ekosistem hutan hujan tropis pegunungan bawah di Cagar Alam Faruhumpenai masih dapat ditemukan jenis-jenis pepohonan yang tinggi tetapi sangat jarang. Jenis-jenis anggrek dari berbagai genus dengan mudah dapat ditemukan di dalam kawasan. Pada bagian tengah hingga utara kawasan merupakan kawasan karst. Karena kelembaban udara yang tinggi, karst ini kebanyakan berlumut dan dalam proses pelapukan. Vegetasi yang ada juga kebanyakan terbungkus oleh lumut, sehingga nampak seperti vegetasi pada hutan lumut.

D. Pengelolaan1. Sejarah kawasanCagar Alam Faruhumpenai merupakan suatu formasi hutan yang memiliki tipe ekosistem hutan hujan tropis pegunungan yang kaya akan jenis tumbuhan alam seperti Palaquium sp, Calophyllum sp, Vitex sp, Agathis sp dan khususnya Diospyros celebica. Kawasan ini juga merupakan habitat satwa liar yang dilindungi undang-undang seperti Anoa Babalus quarlesi, Kera Hitam Sulawesi Macaca tonkeana, Babirusa Babyrousa babirussa serta memiliki keindahan alam yang menarik. Cagar Alam Faruhumpenai merupakan kawasan catchment area beberapa sungai di kawasan Malili dan sekitarnya serta merupakan bank plasma nutfah bagi jenis Diospyros celebica bersama dengan kawasan Cagar Alam Kalaena dan Cagar Alam Ponda-ponda di Sulawesi Selatan. Kawasan Faruhumpenai ditunjuk menjadi kawasan konservasi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 274/Kpts/Um/4/1979 tanggal 24 April 1979 dengan luas 90.000 ha. Sebelumnya, kawasan ini merupakan hutan lindung. Karena kelimpahan populasi Diospyros celebica, di kawasan ini pernah diadakan pemanenan Ebony secara besar-besaran. Sisa-sisa kegiatan eksploitasi ini yang belum sempat terangkut hingga dihentikannya kegiatan masih terdapat di dalam kawasan.2. Nilai konservasiDi wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Cagar Alam Faruhumpenai merupakan kawasan suaka alam terluas. Cagar Alam Faruhumpenai memiliki indeks nilai konservasi tertinggi. Indeks nilai konservasi tersebut merupakan hasil perhitungan (scoring) berdasarkan faktor-faktor kekayaan spesies, areal habitat, rarity, derajat kepunahan jenis, derajat perlindungan dan derajat kekhususan (Anonim, 1982 dalam Whitten et al, 2002). Kawasan Faruhumpenai terdiri dari 3 tipe ekosistem alami (perairan dan terrestrial). Kawasan ini merupakan habitat dari berbagai jenis keanekaragaman hayati Sulawesi, baik dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang. Kawasan Sulawesi khususnya atau kawasan Wallacea umumnya memiliki keanekaragaman hayati yang miskin namun dengan endemisitas yang tinggi. Beberapa species endemik yang langka dan jarang, seperti Diospyros celebica, Pinanga celebica, Stemonorus celebicus, Garcinia nervosa, Lithocarpus celebica, Ceolopgyne rumphii, Macrogalidia musschenbroekii, Babyrousa babirussa, Buballus quarlesi, Macaca tonkeana, Rhityceros cassidix, Penelopides exarhatus, Spizaetus lanceolatus dan lain-lain terdapat di kawasan Faruhumpenai. Bentang alam kawasan yang bervariasi juga merupakan salah satu faktor/ nilai konservasi yang mendasari penunjukan kawasan ini.III. TINJAUAN PUSTAKAA. Perubahan Iklim GlobalPerubahan iklim global yang terjadi saat ini diakibatkan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca. Semakin tinggi kebutuhan manusia untuk meningkatkan kualitas hidup maka akan semakin besar aktifitas industri, transportasi, pembukaan hutan, usaha pertanian, rumah tangga, dan aktifitas-aktifitas lain yang melepaskan gas rumah kaca. Akibatnya konsentrasi GRK di atmosfer akan terus meningkat. GRK meliputi gas-gas karbondioksida, golongan chloro fluorocarbon, methan, ozon, dan nitrogen oksida. Gas-gas tersebut berada di atmosfer berfungsi sebagaimana kaca, yaitu melewatkan radiasi matahari ke permukaan bumi tetapi menahan radiasi dari bumi agar tidak lepas ke angkasa. Dalam jumlah tertentu GRK dibutuhkan untuk menjaga suhu ekstrim bumi agar tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah, tetapi jika jumlah radiasi bumi yang terperangkap di dalam atmosfer bumi berlebihan, maka atmosfer dan permukaan bumi akan semakin panas (suhu meningkat).(armi susandi)Dari sekian banyak gas rumah kaca, CO2 adalah kontributor utama. CO2 dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, minyak bumi dan gas. Selain itu gas CO2 juga dihasilkan dari proses deforestasi (penebangan hutan). Peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer ini akan mengakibatkan naiknya temperatur permukaan bumi yang dapat menyebabkan melelehnya es di kutub utara dan kutub selatan, sehingga tinggi muka air laut pun akan mengalami peningkatan. (Armi Susandi, 2006)Perubahan iklim global ini akan terus terjadi dengan peningkatan aktifitas kegiatan manusia yang menghasilkan emisi karbon, dan selanjutnya akan terjadi kenaikan temperatur global. Menurut manne et al., 1995, didapatkan bahwa konsentrasi karbon global akan naik mencapai titik tertinggi sebesar 500 rpm pada tahun 2060, dan selanjutnya akan turun dengan peningkatan konsumsi teknologi rendah emisi dalam total energi mix dunia.B. Perdagangan KarbonRintisan awal untuk mengembangkan mekanisme pembiayaan penyerapan karbon dimulai pada Pertemuan Tingkat Tinggi Bumi I di Rio de Janeiro (Brazil) tahun 1992. Pada waktu itu lebih dari 150 negara menandatangani perjanjian kerjasama untuk mengantisipasi perubahan iklim di bawah naungan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dengan menetapkan batas-batas pelepasan (emisi) gas-gas rumah kaca ke udara. Anggota konvensi ini mengadakan pertemuan Pertama di Berlin pada tahun 1995 yang disebut dengan pertemuan antar pihak I atau Conference of the Parties (COP1).Sejak itu ada beberapa pertemuan COP di beberapa Negara. Salah satu pertemuan penting yaitu pertemuan ketiga (COP3) diselenggarakan di Kyoto, Jepang pada bulan Desember 1997 yang menghasilkan apa yang disebut Kyoto Protocol (Protokol Kyoto). Pertemuan ini menjadi landasan bagi pengembangan Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism atau CDM), yang mengharuskan negara-negara maju mengurangi pencemaran udara sebesar kurang lebih 5 persen pada tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 1990. Umumnya negara-negara maju dan industri adalah sumber utama polusi dunia. Dengan mekanisme pembangunan bersih negara-negara maju harus memenuhi sebagian kewajiban mereka mengurangi gas rumah kaca dengan membiayai proyek-proyek energi bebas polusi dan penggunaan lahan untuk penyerapan karbon di negara sedang berkembang.Salah satu yang mendapat perhatian khusus adalah karbon yang terdapat dalam beberapa bentuk gas yang menyebabkan tanaman hutan atau penghutanan dan reboisasi untuk menyerap karbon. Namun kini ada beberapa kesepakatan baru untuk menjajaki adanya tambahan bentuk kegiatan penyerapan karbon melalui kehutanan dan perpaduannya dengan pertanian.(Warta Kebijakan, 2003)Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change ( UNFCCC) Conference of the Parties (COP) 15 di Kopenhagen, Denmark pada 7-18 Desember 2009, walaupun gagal menandatangani dokumen terakhir yang berdaya mengikat secara hukum, namun telah meletakkan dasar yang kokoh bagi peningkatan kerja sama komunitas internasional. Kopenhagen akan menjadi titik tolak baru penanggapan perubahan iklim melalui upaya bersama berbagai pihak, konferensi kopenhagen dengan tegas memelihara kerangka dan prinsip yang tercantum dalam konvensi kerangka perubahan iklim PBB dan Protokol Kyoto.(Irwanto, 2010)Sementara itu, mengayunkan langkah baru dalam mendorong negara-negara maju secara wajib melaksanakan pengurangan emisi gas rumah kaca dan negara-negara berkembang secara inisiatif mengambil aksi pengurangan emisi. Konferensi mencapai kesepahaman luas mengenai target jangka panjang global, dukungan dana dan teknologi serta transparansi terkait. Persetujuan Kopenhagen yang diterima baik para peserta konferensi telah meletakkan dasar bagi berbagai negara di dunia untuk mencapai persetujuan global pertama dalam arti sesungguhnya mengenai pembatasan dan pengurangan emisi gas rumah kaca. Persetujuan Kopenhagen akan diserahkan berbagai negara kepada lembaga legislatif negeri masing-masing untuk disahkan pada Januari tahun 2010, agar persetujuan tersebut dapat disahkan sebagai dokumen hukum dalam konferensi iklim yang akan digelar di Kota Meksiko tahun 2010 mendatang. (http://indonesian.cri.cn)Setelah sulit menerapkan clean Development Mechanism (CDM) membuat Indonesia beralih ke jalur Reduced Emission from Deforestation and Degradation (REDD). Kini, lewat jalur REDD, diharapkan Indonesia memperoleh manfaat dari upaya pemeliharaan terhadap hutan untuk mengurangi emisi karbon. Pemeliharaan ini juga diperhitungkan dalam perdagangan karbon, dan sesuai dengan Konvensi Perubahan Iklim di Bali; diharapkan REDD bisa dilaksanakan tahun 2012.Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sink (penyerap/penyimpan karbon) maupun source (pengemisi karbon). Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi, dan kegiatan penanaman lainnya serta konservasi hutan meningkatkan sink. Meskipun saat ini kehutanan masih sebagai net emitter, namun pemerintah bertekad untuk menurunkan tingkat emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020 dari Business as Usual (BAU). Untuk itu sektor kehutanan diwajibkan memberikan kontribusi sebesar 14% atau 52% dari total penurunan emisi yang 26%.Untuk menurunkan emisi, kegiatan mitigasi harus dilakukan yaitu dengan mempertahankan kapasitas hutan dalam mneyerap karbon serta meningkatkan penanaman. Selain itu upaya penurunan emisi harus menerapkan MRV yaitu dapat diukur, dilaporkan, dan diverifikasi. Kegiatan-kegiatan seperti REDD dan inventarisasi GRK harus memenuhi kaidah MRV. Sistem inventarisasi/monitoring emisi harus menghasilkan informasi yang seakurat mungkin (reliable) dan sesuai dengan kaidah internasional.C. Valuasi Ekonomi KarbonTeori valuasi ekonomi bukanlah hal baru dalam menghitung sumberdaya alam. Konsep ini telah dimulai sejak tahun 1902 ketika Amerika melahirkan undang-undang River and Harbor Act Of 1902 yang mewajibkan para ahli untuk melaporkan tentang keseluruhan manfaat dan biaya yang ditimbulkan oleh proyek-proyek yang dilakukan di sungai dan pelabuhan. Konsep ini kemudian lebih dikembangkan setelah perang dunia kedua dimana konsep manfaat dan biaya lebih dikembangkan setelah perang dunia kedua dimana konsep manfaat dan biaya lebih dikembangkan ke pengukuran nilai tidak langsung (intangible) atau nilai yang tidak tampak (Cantlon dan Herman, 1999).Menurut Suparmoko (2005) pendekatan valuasi ekonomi terhadap sumberdaya alam dapat dilakukan dengan empat metode :1. Perubahan produksi, dimana terdiri dari jenis produksi apa saja, seperti produksi pertanian, perikanan, produksi air, dan juga perubahan tingkat kesehatan dalam masyarakat yang menyebabkan menurunnya produktifitas serta biaya peluang (opportunity cost) juga dapat menyebabkan menurunnya produktifitas, misal sebelum kuliah pendapatan 1 juta, setelah kuliah uang 1 juta tersebut hilang, ini yang disebut opportunity cost.2. Nilai Properti (hedonic approach) nilai lahan, beda pendapatan/upah. Terjadi perubahan pendapatan, misalnya tadinya sebagai petani, sekarang menjadi buruh tambang.3. Metode Survey (survey method) seperti Contingen Valuation Method (CVM), dilakukan dengan mensurvey orang tentang seberapa besar mereka mau membayar.

4. Pasar pengganti (surrogate market)Barbier et al. (1997), mengatakan bahwa dalam melakukan penilaian terhadap ekosistem alam memiliki tiga tipe pendekatan, yaitu :1. Analisis dampak (impact analysis) penilaian ini dilakukan apabila nilai ekonomi ekosistem dilihat dari dampak yang mungkin timbul sebagai akibat dari aktifitas tertentu, misalnya pertambangan terhadap ekosistem hutan. 2. Partial analysis, pendekatan ini dilakukan dengan menetapkan dua atau lebih alternatif pilihan pemanfaatan ekosistem hutan, sedangkan3. Total Valuation dilakukan untuk menduga total kontribusi ekonomi dari sebuah ekosistem tertentu kepada masyarakat.Valuasi ekonomi dalam konteks lingkungan hidup adalah pengukuran preferensi masyarakat untuk lingkungan yang baik dengan dibandingkan dengan yang buruk. Valuasi bersifat fundamental untuk memikirkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), namun hal terpenting adalah mengetahui apa dan bagaimana valuasi ekonomi dilakukan. (djijono, 2002)

IV. METODOLOGIA. Waktu dan Lokasi Kegiatana. Waktu : Tanggal 15 s/d 26 September 2010.b. Lokasi: CA. Faruhumpenai, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan

B. Alat dan BahanAlat dan bahan yang digunakan dalam pelaksanaan Kegiatan Valuasi Ekonomi Karbon di CA Faruhumpenai Kabupaten Luwu Timur , antara lain : Peta dasar/ Peta rupa bumi Indonesia Skala 1 : 50.000 Peta CA Faruhumpenai skala 1 : 100.000 GPS, untuk mengetahui letak dan posisi plot contoh Altimeter, untuk mengetahui ketinggian tempat dari permukaan laut Peta administrasi, peta kawasan hutan, dan peta penggunaan lahan. Meteran rol, tali rapiah, dan patok kayu untuk pembuatan plot contoh Hagameter, untuk mengukur tinggi pohon Suunto, untuk mengetahui besarnya kemiringan (kelerengan) plot contoh Pita diameter, untuk mengukur diameter pohon Kamera, untuk dokumentasi penelitian Ring sample, sendok tanah, pisau cutter, papan kayu ukuran 20 x 20 cm, dan palu untuk pengambilan contoh tanah Kuadran yang terbuat dari bambu atau kayu dengan ukuran 100 x 100 cm untuk pengambilan contoh serasah dan tumbuhan bawah Oven dan peralatan lainnya, untuk mengeringkan contoh tanah dan tanaman sampai mencapai berat kering konstan Gergaji, Parang dan gunting tanaman untuk pengambilan contoh kayu dan tanaman Amplop dan kantong plastik, untuk wadah contoh tanaman dan tanah Timbangan kasar dan analitik untuk mengetahui berat basah dan kering contoh kayu, tumbuhan bawah dan serasah Tally sheet, kertas millimeter, dan alat tulis-menulis untuk memudahkan mencatat dan merekam data hasil pengukuran, penggambaran dan keterangan lainnya dari lapangan Sasak, koran bekas, label gantung, spidol permanen, untuk pembuatan herbarium terhadap jenis-jenis tanaman yang belum teridentifikasi di lapangan

C. Metode KegiatanPengumpulan data dalam pelaksanaan Valuasi Ekonomi Karbon secara garis besarnya dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan pengumpulan data sekunder dan pengumpulan data primer.1) Pengumpulan data sekunder, yaitu data yang berkaitan dengan jumlah penduduk, curah hujan, jenis tanah, berupa laporan dan publikasi ilmiah dari berbagai instansi pemerintah, badan pusat statistik, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian.2) Pengumpulan data primer, yaitu data yang diambil langsung di lapangan dengan menggunakan metode survey dan analisis di laboratorium meliputi data, data tanah, berat jenis kayu masing jenis pohon, serasah, biomassa tanaman, nekromassa, dan tumbuhan bawah.a. Pembuatan Jalur Jalur dibuat dengan memotong kontur Lebar jalur 20 m dengan panjang 50 m Tiap-tiap plot diberikan jarak 50 m Tiap jalur mewakili jenis hutan primer dan sekunder

1 m10 m

10 m

50 m50 m50 m

Gambar 1. Jalur Pengamatanb. Pengukuran Tinggi dan Diameter Pohon Mencatat nama setiap pohon Diameter batang diukur setinggi dada (dbh = diameter at breast height = 1,3 m dari permukaan tanah) yang terdapat pada plot ukuran 20 m x 50 m. pengukuran dbh pada pohon berdiameter >5 cm. Pohon dengan dbh