21
DETEKSI GEN VIRUS EPSTEIN-BARR Oleh : Nama : Gina Amalia NIM : B1J013004 Kelompok : 2 Rombongan : III Asisten : Uli Nurjanah LAPORAN PRAKTIKUM VIROLOGI

Laporan Virologi Epstein-Barr Virus

Embed Size (px)

Citation preview

DETEKSI GEN VIRUS EPSTEIN-BARR

Oleh :Nama: Gina AmaliaNIM: B1J013004Kelompok: 2Rombongan: IIIAsisten: Uli Nurjanah

LAPORAN PRAKTIKUM VIROLOGI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANFAKULTAS BIOLOGIPURWOKERTO2015 I. PENDAHULUANA. Latar BelakangEpstein-Barr virus (EBV) merupakan patogen yang sering dijumpai saat proses transplantasi organ. Infeksi EBV menyebabkan penyakit tanpa gejala viremia pada infeksi mononukleosis. Penyebaran pertama virus EBV terjadi pada negara berkembang serta individu yang berasal dari kondisi ekonomi yang rendah. Infeksi biasanya terjadi pada anak-anak dengan gejala gangguan saluran pernapasan dan demam ringan (Greena and Michaels, 2013).Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang termasuk dalam famili Herpesvirus yang menginfeksi lebih dari 90 % populasi manusia di seluruh dunia dan merupakan penyebab infeksi mononukleosis. Infeksi EBV berasosiasi dengan beberapa penyakit keganasan jaringan limfoid dan epitel seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, Hodgkin disease, karsinoma nasofaring (KNF), karsinoma mammae dan karsinoma gaster (Duurbach et al., 2010).Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana KNF termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama (KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal, laring dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah (Martin et al., 2011).

B. TujuanTujuan praktikum kali ini adalah mengetahui langkah-langkah mendeteksi gen virus Epstein-Barr dari sampel darah.

II. MATERI DAN METODE A. MateriAlat yang digunakan dalam praktikum acara detektsi gen virus Epstein-Barr adalah microcentrifuge tube, sentrifugator, vortex, inkubator, viral spin column, collection tube, wash tube, labu Erlenmeyer, microwave, seperangkat alat elektroforesis dan PCR.Bahan yang digunakan adalah sampel darah, proteinase K, ethanol 96%, wash buffer, lysis buffer, RNAse free water, dream tag PCR Master Mix, forward primer, reserve primer, ddH2O, DNA template, agarosa, loading day, TAE buffer dan EtBr.

B. MetodeMetode yang digunakan dalam praktikum antara lain :a. Isolasi DNA EBV1. Sampel darah sebanyak 200 m, 20 m proteinase K dan 200 m lysis buffer dimasukkan ke dalam microsentrifuge tube steril.2. Inkubasi selama 15 menit pada suhu 56oC, kemudian di sentrifugasi.3. Ke dalam lysate tersebut ditambahkan ethanol 96%, kemudian divortex selama 15 detik dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruang.4. Lysate disentrifugasi pada kecepatan 600 rpm selama 1 menit.5. Dimasukkan ke dalam viral spin column dan collection tube sebanyak 675 m blood lysate, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 6800 gravitasi selama 1 menit.6. Collection tube dilepas, kemudian dipasang pada wash tube baru.7. Ditambahkan 500 m larutan wash buffer untuk pencucian pertama dan disentrifugasi pada kecepatan 6800 gravitasi selama 1 menit.8. Larutan pada wash tube dibuang dibuang kembali, lalu disentrifugasi pada kecepatan 1300 gravitasi selama 1 menit.9. Ditambahkan 500 m larutan wash buffer untuk pencucian kedua dan disentrifugasi pada kecepatan 6800 gravitasi selama 1 menit.10. Larutan pada wash tube dibuang, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 1300 gravitasi.11. Ditambahkan 50 m RNAse free water dan diinkubasi selama 1 menit.12. Sentrifugasi kembali pada kecepatan 1300 gravitasi selama 1 menit, kemudian simpan pada suhu -80oC.

b. Amplifikasi gen BRLF1 menggunakan teknik PCR Tahap 11. Sebanyak 7,5 m dream tag master mix, 1 m 10 M forward primer, 1 m 10 M reserve primer, 45 m ddH2O dan 1 m DNA template dimasukkan ke mesin PCR.2. Setting mesin PCR, untuk proses predenaturation menggunakan suhu 96oC selama 5 menit.3. Digunakan suhu 95oC selama 30 detik untuk proses denaturation.4. Digunakan suhu 63oC selama 30 detik untuk proses annealing.5. Digunakan suhu 72oC selama 30 detik untuk proses extention.6. Digunakan suhu 72oC selama 7 menit untuk proses post extention.7. Untuk denaturation, annealing dan extention digunakan 35 siklus.Cara Setting PCR00. Header 01. Lidnt on 110oC02. Temp95oC, 5 menit (Predenaturation)03. Loop[35x04. Temp 95oC, 30 detik (denaturation)05. Temp63oC, 30 detik (annealing)06. Temp 72oC, 30 detik (extention)07. Loop ]08. Temp72oC, 7 menit (post extention)09. Temp 20oC, 20 detik010. Start8oC, 1 jam011. End

c. Amplifikasi gen BRLF1 menggunakan teknik PCR Tahap 21. Sebanyak 7,5 m dream tag master mix, 1 m 10 M forward primer, 1 m 10 M reserve primer, 45 m ddH2O dan 1 m DNA template dimasukkan ke mesin PCR.2. Setting mesin PCR, untuk proses predenaturation menggunakan suhu 96oC selama 5 menit.3. Digunakan suhu 95oC selama 30 detik untuk proses denaturation.4. Digunakan suhu 63oC selama 30 detik untuk proses annealing.5. Digunakan suhu 72oC selama 30 detik untuk proses extention.6. Digunakan suhu 72oC selama 7 menit untuk proses post extention.7. Untuk denaturation, annealing dan extention digunakan 35 siklus.Cara Setting PCR00. Header 01. Lidnt on 110oC02. Temp95oC, 5 menit (Predenaturation)03. Loop[35x04. Temp 95oC, 30 detik (denaturation)05. Temp63oC, 30 detik (annealing)06. Temp 72oC, 30 detik (extention)07. Loop ]08. Temp72oC, 7 menit (post extention)09. Temp 20oC, 20 detik010. Start8oC, 1 jam011. End

d. Visualisasi hasil deteksi gen BRLF1 menggunakan elektroforesis gel agarosa1. Pembuatan gel agarosaa. Agarosa sebanyak 0,6 gr dan 30 ml TAE buffer dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer.b. Larutan dipanaskan menggunakan microwave, kemudian didinginkan sampai suhu 50-60oC.c. Ditambahkan EtBr sebanyak 0,5 ml.d. Dituang ke baki yang sudah dipasang comb dan selotip.e. Ditunggu 24-25 menit agar memadat.f. Gel dimasukkan ke tangki elektroforesis.2. Dimasukkan sampel DNA marka.3. Running 70 V, 500 mA selama 75 menit.4. Hasil divisualisasi di gel doc 1000 (157 bp).

III. HASIL DAN PEMBAHASANA. Hasil

Gambar 1. Hasil isolasi Gambar 2. Hasil isolasi Gambar 3. Hasil isolasi DNA Rombongan I DNA rombongan IIDNA rombongan III

Gambar 4. Hasil Isolasi Gambar 5. Hasil PCR tahap 1 DNA rombongan IV

Gambar 6. Hasil PCR tahap 2 Gambar 7. Hasil elektroforesisKeterangan hasil elektroforesisLine 1:DNA markaLine 2 :hasil PCR tahap 1 sampel no 5Line 3 :hasil PCR tahap 2 sampel no 5Line 4 :hasil PCR tahap 1 sampel no 17Line 5 :hasil PCR tahap 2 sampel no 17Line 6 :hasil PCR tahap 2 sampel no 10Line 7 :hasil PCR tahap 2 sampel no 11Line 8:hasil PCR tahap 1 sampel no 11Line 9 :hasil PCR tahap 1 sampel no 10

B. PembahasanVirus Epstein Barr (EBV) juga disebut herpesvirus manusia 4 yang termasuk dalam famili herpes (yang juga termasuk dalam virus simplex dan sitomegalovirus). Virus ini merupakan salah satu virus yang paling umum pada manusia dan mampu menyebabkan mononukleosis. Virus ini berasal dari nama Michael Epstein dan Yvonne Barr, yang bersama dengan Bert Achong menemukan virus ini pada tahun 1964. Virus Epstein Barr tidak dapat dibedakan dalam ukuran dan struktur dari virus-virus herpes lainnya. Genom DNA virus EB mengandung sekitar 172 kbp (Brook and Geo, 2005).Menurut Brook dan Geo (2005), sel target virus EB adalah limposit B. Virus EB memulai infeksi sel B dengan cara berikatan dengan reseptor. Virus EB secara langsung masuk tahap laten dalam limfosit tanpa melalui periode replikasi virus yang sempurna. Ketika virus berikatan dengan permukaan sel, sel-sel diaktivasi untuk kemudian masuk ke dalam siklus sel. Lalu dihasilkanlah beberapa gen virus EB dengan kemampuan berproliferasi tidak terbatas. Genom virus EB lurus membentuk lingkaran, sebagian besar DNA virus dalam sel yang kekal sebagai episom yang melingkar. Limfosit B yang dikekalkan virus EB menampakkan fungsi yang berbeda (sekresi imunoglobulin). Produk-produk aktivitas sel B terbentuk. Sepuluh produk sel gen virus dihasilkan dalam sel yang kekal, termasuk enam antigen nuklear virus EB yang berbeda (EBNA 1-6) dan dua protein membran laten (LMP1, LMP2). Virus EB bereplikasi in vivo dalam sel-sel epitel dari orofaring, kelenjar parotis dan serviks uteri serta ditemukan juga dalam sel-sel epitel karsinoma nasofaring. Berikut adalah klasifikasi virus Epstein-Barr: Grup : Grup I (dsDNA) Famili : Herpesviridae Genus : Lymphocryptovirus Spesies : Human herpesvirus 4 (HHV-4)KNF adalah neoplasma epitel nasofaring yang sangat konsisten dengan infeksi EBV. Infeksi primer pada umumnya terjadi pada anak-anak dan asymptomatik. Infeksi primer dapat menyebabkan persistensi virus, dimana virus memasuki periode laten di dalam limfosit B memori. Periode laten dapat mengalami reaktivasi spontan ke periode litik dimana terjadi replikasi DNA EBV, transkripsi dan translasi genom virus, dilanjutkan dengan pembentukan (assembly) virion baru dalam jumlah besar, sehingga sel pejamu (host) menjadi lisis dan virion dilepaskan ke sirkulasi. Sel yang terinfeksi EBV mengekspresikan antigen virus yang spesifik untuk masing-masing periode infeksi (Budiyanto, 2002).Gejala dan tanda karsinoma nasofaring yang sering ditemukan adalah berupa benjolan di leher, obstruksi hidung, epistaksis diplopia, adenopati leher, epistaksis, otitis media efusi, gangguan pendengaran unilateral atau bilateral, hidung tersumbat, paralisis nervus kranial, retrosphenoidal syndrome of Jacod (kesulitan ekspresi wajah, masalah gerakan mata dan rahang), retroparotidian syndrome of Villaret (sulit mengunyah, gangguan gerakan lidah dan leher) serta nyeri telinga yang menjalar (Ariwibowo, 2013).Infeksi litik herpesvirus dibagi menjadi tiga fase ekspresi gen, yaitu immediate-early, early dan late. Pada fase immediate-early (IE) berlangsung transkripsi transaktivator replikasi virus yang berfungsi mengatur ekspresi baik gen virus seluler maupun lainnya. Fase early mengekspresikan komponen proses replikasi DNA virus. Fase late terekspresi ketika terbentuk sebagian besar protein struktur kapsul virus, tegumentum dan selubung virus. Induksi replikasi virus pada infeksi litik VEB dilakukan oleh gen transaktivator BZLF1 yang secara efisien membutuhkan gen transaktivator lain, yaitu BRLF1. Ekspresi gen litik immediateearly BZLF1 dan BRLF1 diperlukan untuk menginduksi seluruh rangkaian gen-gen lain pada siklus litik, seperti gen litik fase early dan late (Wahyono et al., 2010).Fase immediate-early (IE) berlangsung transkripsi gen transaktivator replikasi virus yang berfungsi mengatur ekspresi baik gen virus. BZLF1 diketahui menjadi faktor transkripsi pertama yang akan berikatan dan mengaktivasi promotor gen BRLF1 yang termetilasi. Metilasi ekstensif pada gen transaktivator BRLF1 menyebabkan tidak terekspresinya gen BRLF1 pada infeksi laten. Rta (BRLF1 transcriptional activator) dan Zta (BZLF1 transcriptional activator) merupakan protein gen litik fase immediate-early dan aktivator transkripsi yang utama dalam siklus litik VEB. Pada permulaan replikasi VEB, Zta dan Rta melakukan autostimulasi terhadap ekspresinya, selanjutnya kedua protein tersebut saling mengaktivasi satu dengan lainnya dan bekerja sama dalam menginduksi gen-gen litikfase late. Rta dapat bereaksi sendiri atau sinergis dengan Zta untuk menginduksi secara maksimal aktivasi beberapa promotor gen VEB yang sangat penting untuk replikasi VEB, yaitu gen BMLF1, BMRF1, BHRF1 dan DNA polimerase VEB. Rtadiketahui pula berkontribusi terhadap onkogenesis KNF, terutama berkaitan dengan regulasi siklus sel. Rta diduga memfasilitasi pertumbuhan tumor, sehingga gen RLF1 berkontribusi terhadap perkembangan KNF (Wahyono et al., 2010).Fase early mengekspresikan komponen replikasi DNA virus. Ekspresi gen litik early dapat diinduksi oleh perlakuan kimiawi, iradiasi dan aktivasi reseptor membran sel yang terinfeksi VEB pada siklus laten yang diperantarai oleh ekspresi protein transaktivator Zta. Gen BHRF1 diekspresikan dengan melimpah oleh promoternya sendiri pada daerah BamHI-H (Hp) selama fase early litik virus, tetapi tidak terdeteksi pada siklus laten virus. Gen-gen yang berperan penting dalam replikasi DNA VEB pada siklus litik dan replikasi DNA spesifik oriLyt adalah BZLF1, ALF5, BMRF1, BALF2, BBLF4, BSLF1 dan BBLF2/3. Semua protein gen litik early VEB bekerja sinergi pada garpu replikasi untuk mensintesis untai leading dan lagging genom VEB. Replikasi DNA VEB tergantung pada ekspresi protein gen BZLF1, BRLF1 dan BSMLF1. Pada fase litik late VEB, genom VEB akan berlipat ganda dari 100 kali menjadi 1000 kali. Gen litik late VEB terekspresi ketika terbentuk sebagian besar protein struktur kapsul virus, tegumentum dan selubung virus (Wahyono et al., 2010).Herpesvirus mengekspresikan 5 protein kapsul, 5 protein selubung virus dan 10 protein tegument pada fase late litik gen lestari (conserved). Gen litik late VEB adalah BCLF1, BDLF1, BFRF3, BORF1 dan BBRF1. Gen-gen ini mengekspresikan protein kapsul virus (MCP, mCP dan sCP), protein yang berikatan dengan mCP (mCPBP) dan protein portal. Protein tegumentum VEB diekspresikan antara lain oleh gen BPLF1, BOLF1, BVRF1, BGLF1, BGLF4, BGLF2, BBRF2, BSRF1, BGLF3 dan BBLF1. Gen-gen yang berfungsi membentuk glikoprotein VEB adalah BLLF1 (gp350/220) BALF4 (gB atau gp110), BXLF2 (gH atau gp85), BKRF2, BZLF2 (gp42), BILF2 (gp55/80 atau gp78), BDLF3 (gp150), BLFR1 (gp15), BBRF3 (gp84/113) dan BILF1 (gp64) (Wahyono et al., 2010).Identifikasi gen virus Epstein-Barr terdiri dari tiga tahapan, yaitu isolasi DNA, amplifikasi gen BRLF1 menggunakan teknik PCR dan visualisasi hasil deteksi gen BRLF1 menggunakan elektroforesis gel agarosa. Langkah pertama untuk melakukan isolasi DNA EBV, yaitu sampel darah sebanyak 200 m, proteinase K sebanyak 20 m dan 200 m lysis buffer dimasukkan ke dalam microsentrifuge tube steril. Proteinase K berfungsi untuk melisiskan selubung protein, sedangkan lysis buffer berfungsi untuk melisiskan kapsid pada virus. Larutan tersebut kemudian inkubasi selama 15 menit pada suhu 56oC, kemudian di sentrifugasi. Inkubasi bertujuan untuk mengaktifkan proteinase K, sedangkan sentrifugasi bertujuan untuk menurunkan larutan-larutan yang menempel di dinding microsentrifuge tube. Hasil dari campuran larutan yang sudah di inkubasi disebut dengan lysate. Ethanol 96% ditambahkan ke dalam Lysate, vortex selama 15 detik dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruang. Fungsi larutan ethanol 96% adalah untuk mengikat DNA, tujuan vortex adalah untuk menghomogenkan antara lysate dengan ethanol 96% serta inkubasi bertujuan untuk mengendapkan larutan. Lysate disentrifugasi pada kecepatan 600 rpm selama 1 menit agar suhunya turun, hasil dari proses ini disebut blood lysate. Blood lysate dimasukkan ke dalam viral spin column dan collection tube sebanyak 675 m, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 6800 gravitasi selama 1 menit agar lebih homogen. Collection tube dilepas, lalu dipasang pada wash tube baru. Tambahkan larutan wash buffer sebanyak 500 m untuk pencucian pertama dan disentrifugasi pada kecepatan 6800 gravitasi selama 1 menit. Larutan pada wash tube dibuang kembali, lalu disentrifugasi pada kecepatan 1300 gravitasi selama 1 menit. Larutan wash buffer sebanyak 500 m ditambahkan untuk pencucian kedua dan disentrifugasi kembali pada kecepatan 6800 gravitasi selama 1 menit. Larutan pada wash tube dibuang, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 1300 gravitasi. RNAse free water sebanyak 50 m ditambahkan dan diinkubasi selama 1 menit. Sentrifugasi kembali pada kecepatan 1300 gravitasi selama 1 menit, kemudian simpan pada suhu -80oC (Riley et al., 2012).Tahapan kedua untuk deteksi gen Epstein barr adalah deteksi gen BRLF1 dengan menggunakan teknik PCR, pertama sebanyak 7,5 m dream tag master mix 1 m 10 M forward primer, 1 m 10 M reserveprimer, 45 m ddH2O dan 1 m DNA template dimasukkan ke mesin PCR. Setting mesin PCR, untuk proses predenaturation menggunakan suhu 96oC selama 5 menit, proses denaturation menggunakan suhu 95oC selama 30 detik. Proses denaturation bertujuan untuk memisahkan double strand menjadi single strand. Proses annealing menggunakan suhu 63oC selama 30 detik, proses ini adalah proses ketika pasangan-pasangan basa menempel. Proses extention (pemanjangan) menggunakan suhu 72oC selama 30 detik, untuk proses extention dan proses post extention dengan suhu 72oC selama 7 menit. Proses denaturation, annealing dan extention menggunakan 35 siklus. Langkah selanjutnya, yaitu amplifikasi Gen BRLF1 dengan menggunakan PCR tahap kedua. Sebanyak 7,5 m dream tag master mix, 1 m 10 M forward primer, 1 m 10 M reserve primer, 45 m ddH2O dan 1 m DNA template dimasukkan ke mesin PCR. Master mix terdiri dari DNA polymerase yang berfungsi dalam proses replikasi DNA, DNTP, buffer yang berfungsi untuk menstimulir DNA polymerase dan MgCl2, ddH2O berfungsi sebagai pelarut (Riley et al., 2012). Tahapan terakhir adalah visualisasi hasil deteksi gen BRLF1 menggunakan elektroforesis gel agarosa. Pertama adalah pembuatan gel agarosa, yaitu agarosa sebanyak 0,6 gr dan 30 ml TAE buffer dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer kemudian dipanaskan dengan menggunakan microwave dan didinginkan sampai suhu 50-60oC. Setelah itu tambahkan EtBr sebanyak 0,5 ml dan dituang ke baki yang sudah dipasang comb dan selotip, tunggu 24-25 menit agar memadat. Setelah memadat, masukkan gel ke tangki elektroforesis dilanjut dengan memasukan sampel DNA marka. running 70 V, 500 mA selama 75 menit, kemudian divisualisasi di gel doc 1000 (157 bp). Berdasarkan hasil praktikum, setelah DNA template diamplifikasi dengan teknik PCR dan produknya dielektroforesis ternyata terlihat hasil PCR. Amplifikasi merupakan pemasukan sampel DNA yang telah dimurnikan pada mesin PCR. Jumlah DNA lebih banyak setelah di PCR. Semiran DNA terlihat tebal pada gel doc. Tebal tipisnya semiran DNA yang terbentuk menunjukkan banyaknya DNA yang mempunyai berat molekul yang sama pada posisi pita yang sama Terlihat DNA marka sebagai pembanding. Menurut Riley et al., (2012) panjang DNA EBV adalah 172 (Kbp). Praktikum kali ini menggunakan 35 siklus pada tahapan denaturation, annealing dan extention. Semakin banyak siklus maka semakin banyak amplikonnya. DNA memiliki nilai kemurnian antara 1,8-2,0. Jika nilai kemurnian DNA kurang dari 1,8 maka hal tersebut menunjukkan adanya kontaminan protein, sedangkan jika nilai kemurnian DNA di atas 2 maka hal tersebut menunjukkan bahwa DNA terkontaminasi oleh RNA. Kontaminasi ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kontaminasi dari sampel DNA yang diisolasi.

IV. KESIMPULAN DAN SARANA. KesimpulanBerdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa:1. Langkah-langkah yang dilakukan dalam mendeteksi gen virus Epstein-Barr dari sampel darah, yaitu pertama isolasi DNA EBV, kemudian amplifikasi gen BRLF1 menggunakan teknik PCR yang dilakukan 2 kali dan visualisasi hasil deteksi gen BRLF1 menggunakan elektroforesis gel agarosa.

B. SaranSebaiknya tahapan-tahapan praktikum dilakukan per kelompok agar lebih kondusif dan praktikan lebih mengerti cara isolasi, amplifikasi dan visualisasi pada acara deteksi gen virus Epstein-Barr ini.

DAFTAR REFERENSI Ariwibowo , Hendrawan. 2013. Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring. CDK-204 Vol. 40 . 2013. Dokter Internship RS IA Moeis dan Puskesmas Karang Asam, Samarinda.

Brook, Geo F. 2005. Mikrobiologi Kedokteran jilid 2. Salemba Medika, Jakarta.

Budiyanto, Moch. Agus Krisno. 2002. Mikrobiologi Terapan. UMM Press, Malang. p. 139-143

Durrbach A, Pestana JM, Pearson T. 2010. A phase III study of belatacept versus cyclosporine in kidney transplants from extended criteria donors (BENEFIT-EXT study). Am J Transplant Vol 10: 547557.

Green, M. and M. G. Michaels. 2013. EpsteinBarr Virus Infection and Posttransplant Lymphoproliferative Disorder. American Journal of Transplantation Vol 13: 4154. The American Society of Transplantation and the American Society of Transplant Surgeons doi: 10.1111/ajt.12004.

Martin SI, Dodson B, Wheeler C, Davis J, Pesavento T, Bumgardner GL. 2011. Monitoring infection with EpsteinBarr virus among seromismatch adult renal transplant recipients. Am J Transplant Vol 11: 10581063.

Riley KJ, Rabinowitz GS, Yario TA, Luna JM, Darnell RB, Steitz JA. 2012. EBV and human microRNAs co-target oncogenic and apoptotic viral and human genes during latency. EMBO J Vol 31: 22072221.

Wahyono, Daniel Joko, Bambang Hermani, Purnomo Soeharso. 2010. Ekspresi gen litik virus Epstein-Barr: manfaatnya untuk penegakan diagnosis karsinoma nasofaring. ORLI Vol. 40 (2). Departemen Biologi Kedokteran FKUI.