49
Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Farmasi ANTI INFLAMASI Nama : Dzul Azmah Nasution NIM : 091501068 Program : S-1 Reguler Kelompok/ Hari : II / Selasa Asisten : Rizayani Tanggal Percobaan : 1 Maret 2011 Laboratorium Farmakologi Farmasi Departemen Farmakologi Farmasi Fakultas Farmasi

LR III Antiinflam-ema

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LR III Antiinflam-ema

Laporan Resmi

Praktikum Farmakologi Farmasi

ANTI INFLAMASI

Nama : Dzul Azmah Nasution

NIM : 091501068

Program : S-1 Reguler

Kelompok/ Hari : II / Selasa

Asisten : Rizayani

Tanggal Percobaan : 1 Maret 2011

Laboratorium Farmakologi Farmasi

Departemen Farmakologi Farmasi

Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Medan

2011

Lembar Persetujuan Dan Nilai Laporan Praktikum

Page 2: LR III Antiinflam-ema

Judul Percobaan : ANTI INFLAMASI

Medan, Februari 2011

Tanggal ACC : ______________________

Asisten, Praktikan,

(Rizayani) (Dzul Azmah Nasution)

Perbaikan :

1. Perbaikan I, Tanggal : ___________________

Telah Diperbaiki : ___________________

2. Perbaikan II, Tanggal : ___________________

Telah Diperbaiki : ___________________

3. Perbaikan III, Tanggal : ___________________

Telah Diperbaiki : ___________________

4. Perbaikan IV, Tanggal : ___________________

Telah Diperbaiki : ___________________

5. Pergantian Jurnal : ___________________

Nilai :

Page 3: LR III Antiinflam-ema

I. PENDAHULUAN

Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme

yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan.

Jika penyembuhan lengkap, proses peradangan bisanya reda. Namun, kadang-kadang

inflamasi tidak bisa dicetuskan oleh suatu zat yang tidak berbahaya seperti tepung

sari atau oleh suatu respon imun seperti asma atau artritis rematoid. Pada kasus

seperti ini, reaksi pertahanan mereka sendiri mungkin menyebabkan luka jaringan

progresif dan obat-obat antiinflamasi atau imunosupresi mungkin diperlukan untuk

memodulasi proses peradangan. Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan mediator

kimiawi dari jaringan yang rusak dan migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik

bervariasi dengan tipe proses peradangan dan meliputi amin, seperti histamin dan 5-

hidroksitriptamin; lipid, seperti prostaglandin; peptida kecil, seperti bradikinin; dan

peptida besar, seperti interleukin-1 Penemuan variasi yang luas diantara mediator

kimiawi telah menerangkan paradoks yang tampak bahwa obat-obat antiinflamasi

dapat mempengaruhi kerja mediator utama yang penting pada satu tipe inflamasi

tetapi tanpa efek pada proses inflamasi yang tidak melibatkan mediator target obat.

(Mycek. M.J, 2001).

Radang merupakan respon fisiologi lokal terhadap cedera jaringan. Radang

bukan suatu penyakit, melainkan suatu manifestasi terhadap suatu penyakit. Radang

dapat mempunyai pengaruh yang menguntungkan (Underwood, J.C.E., 1999).

Peradangan umumnya dibagi dalam tiga fase: peradangan akut, respon imun

dan peradangan kronis. Peradangan akut adalah respon awal dari luka jaringan; yang

diperantarai oleh pelepasan autakoid dan biasanya mendahului perkembangan respon

imun. Respon imun terjadi bila sel yang mempunyai kemampuan imunologi

diaktivasi untuk menimbulkan respon terhadap organisme asing atau zat antigenik

yang dilepaskan selama respon peradangan akut atau kronis. Akibat dari respon imun

mungkin bermanfaat bagi hospes, karena hal ini menyebabkan organisme yang

menyerang difagositosis atau dinetralisasi. Dilain pihak, akibatnya mungkin menjadi

buruk jika hal ini menyebabkan peradangan kronis tanpa resolusi dari proses

merugikan yang mendasarinya. Peradangan kronis melibatkan pelepasan sejumlah

mediator yang tidak menonjol pada respon akut (Donald dan Katzung, 1998).

Page 4: LR III Antiinflam-ema

II. TUJUAN PERCOBAAN

- Untuk mengetahui efek pemberian karagenan pada hewan percobaan

- Untuk mengetahui efek antiinflamasi Na diklofenak dan deksametason

- Untuk membandingkan efek antiinflamasi Na diklofenak dengan dosis yang

berbeda

- Untuk membandingkan efek antiinflamasi deksametason dengan dosis yang

berbeda

- Untuk membandingkan efek antiinflamasi Na diklofenak dengan deksametason

III. PRINSIP PERCOBAAN

Induksi radang dilakukan pada kaki hewan percobaan (suntikan pada telapak

kaki belakang tikus), dengan cara penyuntikan karagenan secara intraplantar. Obat

antiinflamasi diberikan secara oral 30 menit sebelum penyuntikan karagenan.

Aktivitas antiinflamasi Na diklofenak dan deksametason ditunjukkan oleh

kemampuannya untuk mengurangi radang yang diinduksi pada kaki tersebut. Ukuran

radang tikus diukur dengan alat Pletismometer yang bekerja berdasarkan hukum

Archimedes.

Page 5: LR III Antiinflam-ema

IV. TINJAUAN PUSTAKA

Inflamasi

Radang adalah reaksi setempat dari jaringan hidup atau sel terhadap suatu

rangsang atau injury. Radang terbagi dalam dua golongan, yaitu:

1. Benda mati:

a. Rangsang fisis; contohnya, trauma, benda asing, rangsang panas atau dingin

yang berlebihan, tekanan, listrik, sinar matahari, sinar rontgen, dan radiasi.

b. Rangsang kimia; contohnya, asam dan basa yang kuat dan juga keracunan

obat.

2. Benda hidup. Contohnya; kuman patogen, bakteri, parasit, dan virus. Selain itu

juga ada reaksi imunologi dan gangguan vaskular serta hormonal yang dapat

menimbulkan kerusakan jaringan (Sudiono, J., 2003).

Tanda utama radang yang ditetapkan oleh Cornelius Celsus antara lain:

Rubor (merah), disebabkan karena adanya hiperemia aktif karena bertambah

banyaknya vaskularisasi di daerah cedera tersebut.

Kalor (panas), disebabkan karena hiperemia aktif.

Tumor (bengkak), sebagian disebabkan karena hiperemia aktif dan sebagian lagi

disebabkan karena edema setempat serta stasis darah.

Dolor (sakit), disebabkan karena terangsangnya serabut saraf pada daerah radang.

Belum jelas apakah karena adanya edema ataukah karena iritasi zat kimia yang

terlepas, misalnya asetilkolin dan histamin. Tetapi sesungguhnya rasa nyeri ini

mendahului proses radang. Hal ini mungkin karena terbentuknya suatu zat oleh

sel mast. Zat ini berguna untuk meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh

darah. Bahan lain yang berperan penting adalah bradikinin, di mana jika

seseorang disuntik bradikinin tidak murni, zat ini menyebabkan rasa nyeri pada

permukaan kulit sebelum terjadi migrasi sel darah putih.

Kemudian oleh Galen, ditambahkan fungtio laesa, yaitu berkurangnya fungsi

karena adanya rasa sakit akibat saraf yang terangsang sehingga bagian organ

tubuh tidak berfungsi. Penyebab lain penurunan fungsi tubuh adalah edema

(Sudiono, J., 2003).

Radang merupakan respon fisiologi lokal terhadap cedera jaringan. Radang

bukan suatu penyakit, melainkan suatu manifestasi terhadap suatu penyakit. Radang

Page 6: LR III Antiinflam-ema

dapat mempunyai pengaruh yang menguntungkan, seperti penghancuran

mikroorganisme yang masuk dan pembuatan dinding pada rongga abses, sehingga

akan mencegah penyebaran infeksi. Secara seimbang, radang juga memproduksi

penyakit, misalnya abses otak akan bertindak sebagai lesi ruangan yang menekan

bangunan vital di sekitarnya, atau fibrosis akibat radang kronis dapat mengakibatkan

terjadinya distorsi jaringan yang permanen dan menyebabkan gangguan fungsinya

Radang biasanya diklasifikasikan berdasarkan waktu kejadiannya, sebagai: Radang

akut, reaksi jaringan yang segera dan hanya dalam waktu yang tidak lama, terhadap

cedera jaringan. Radang kronis, reaksi jaringan selanjutnya yang diperlama

mengikuti respons awal (Underwood, J.C.E., 1999).

Radang adalah rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang

mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi.

Bagian tubuh yang mengalami peradangan memiliki tanda-tanda sebagai berikut:

tumor atau membengkak

calor atau menghangat

dolor atau nyeri

rubor atau memerah

functio laesa atau daya pergerakan menurun (www.wikipedia.com)

Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan

yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat-zat

mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak

organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat

perbaikan jaringan. Jika penyembuhan lengkap, proses peradangan bisanya reda.

Namun, kadang-kadang inflamasi tidak bisa dicetuskan oleh suatu zat yang tidak

berbahaya seperti tepung sari atau oleh suatu respon imun seperti asma atau artritis

rematoid. Pada kasus seperti ini, reaksi pertahanan mereka sendiri mungkin

menyebabkan luka jaringan progresif dan obat-obat antiinflamasi atau imunosupresi

mungkin diperlukan untuk memodulasi proses peradangan (Mary J. Mycek, 2001).

Inflamasi merupakan proses yang sangat kompleks yang meliputi ikut

sertanya aktifitas banyak tipe sel dan mediator. Secara normal cidera jaringan atau

Page 7: LR III Antiinflam-ema

adanya bahan asing menjadi pemicu kejadian yang mengikut sertakan partisipasi dari

enzim, mediator, cairan ekstravasasi, migrasi sel, kerusakan jaringan dan mekanisme

penyembuhan. Hal tersebut menimbulkan tanda inflamasi berupa: kemerahan,

pembengkakan, panas, nyeri dan hilangnya fungsi. Rangsangan yang menimbulkan

inflamasi sangat berbeda-beda tetapi prosesnya diperantarai oleh sejumlah mediator,

termasuk: prostaglandin, leukotrien, interleukin, oksigen radikal bebas dan oksidan

lain (nitric oxide, kloramin, asam hipoklorus) yang secara langsung dapat

menimbulkan kerusakan jaringan, inaktifasi dari inhibitor protease, misalnya: a1-

antitrypsin, inhibitor spesifik dari elastase neutrofil, dapat merusak matriks jaringan

ikat. Bahan-bahan tersebut dihasilkan oleh sel inflamasi yang meliputi

polymorphonuclear leucocytes (neutrofils, easinofils, basofils), sel endotel, sel mast,

makrofag (monosit dan limfosit). Rangsangan lain untuk terjadinya inflamasi

termasuk histamin, kejadian imunologik, faktor kemotaktik, dan lain-lain. Prostanoid

termasuk prostaglandin, thromboxanes dan leukotriens merupakan mediator lipid

yang disalurkan lewat membran fosfolipid oleh kerja beberapa enzim antara lain

fosfolipase A2, cyclooxygenase, lipoxygenase dan enzim spesifik untuk sintesis

prostanoid tertentu. Prostaglandin hasil dari jalur cyclooxygenase merubah asam

arakidonat menjadi autocoid melibatkan fase proses inflamasi, reaksi panas dan nyeri

dan fungsi fisiologis termasuk mobilitas intestinal, agregasi platelet, tonus vaskular,

fungsi renal, sekresi lambung, integritas mukosa lambung.

Respon inflamasi terjadi dalam 3 fase yang berbeda sesuai mekanisme yang berbeda:

1. Fase akut transien: vasodilatasi lokal dan meningkatnya permeabilitas kapiler.

2. Fase sub-akut lambat: infiltrasi lekosit dan sel fagosit

3. Fase kronik proliferatif: degenerasi jaringan dan fibrosis

( Retno Laksminingsih Subagyo, 2004 ).

Inflamasi (radang) biasanya dibagi dalam tiga fase :

1. Inflamasi Akut.

Inflamasi akut meupakan respon awal terhadap cedera jaringan ; hal tersebut

terjadi melalui mediarilisnya aulacoid serta pada umumnya didahului oleh

pembentukan respon imun.

2. Respons Imun.

Page 8: LR III Antiinflam-ema

Respon imun terjadi bila sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan

diaktifkan untuk merespons organisme asing atau substansi anti genik yang terlepas

selam respon terhadap inflamasi akut seeta kronis. Akibat dari respons imun bagi

tuan rumah mungkin menguntungkan seperti bilamana ia menyebabkan organisme

penyerang menjadi di-fagositosis atau dinetralisir. Sebaliknya, akibat tersebut juga

dapat bersifat merusak bila menjuus kepada inflamasi kronis tanpa penguraian dari

proses cedera yang mendasarinya.

3. Inflamasi Kronis

Inflamasi kronis melibatkan keluarnya sejumlah mediator yang tidak

menonjol dalam respons akut ( Donald G.Payan, 1998 ).

Obat antiinflamasi

Obat-obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) merupakan suatu group obat

yang secara kimiawi tidak sama, yang berbeda aktivitas antipiretik, anlgesik dan anti-

inflamsinya. Obat-obat ini terutama bekerja dengan jalan menghambat enzim

siklooksigenase tetapi tidak enzim lipoksigenase. Aspirin adalah prototip dari group

ini, yang paling umum digunakan dan merupakan obat yang dibandingkan dengan

semua obat anti-inflamasi. Namun, sekitar 15 % penderita menunjukkan tidak

tolerran terhadap aspirin. Karena itu, obat-obat AINS lain bagi individu ini. Selain

itu, pada penderita tertentu, beberapa obat AINS baru lebih superior daripada aspirin,

karena aktivitas anti-inflamasinya lebih besar dan atau menyebabkan lebih sedikit

iritasi lambung, atau lebih mahal daripada aspirin, beberapa telah terbukti lebih

toksik ( Mary J. Mycek, 2001 ).

Banyak obat anti-inflamsi nonsteroid (AINS) bekerja dengan jalan

menghambat sintesis prostaglandin. Jadi, pemahaman akan obat AINS memerlukan

pengertian kerja dan biosintesis prostaglandin turunan asam lemak tak jenuh

mengandung 20 karbon yang meliputi suatu cincin siklik( Mary J. Mycek, 2001 ).

NSAIDs berkhasiat analgetis, antipiretis, serta antiradang (antiflogistis), dan

sering sekali digunakan untuk menghalau gejala penyakit rema, seperti A.R., artrosis,

dan spondylosis. Obat ini efektif untuk peradangan lain akibat trauma (pukulan,

benturan, kecelakaan), juga misalnya setelah pembedahan, atau pada memar akibat

olahraga. Obat ini dipakai pula untuk mencegah pembengkakan bila diminum sedini

Page 9: LR III Antiinflam-ema

mungkin dalam dosis yang cukup tinggi. Selanjutnya NSAIDs juga digunakan untuk

kolik saluran empedu dan kemih, serta keluhan tulang pinggang dan nyeri haid

(dysmenorroe). Akhirnya NSAIDs juga berguna untuk nyeri kanker akibat metastase

tulang. Yang banyak digunakan untuk kasus ini adalah zat-zat dengan efek samping

relatif sedikit, yakni ibuprofen, naproksen, dan diklofenak (Tan, 2002).

Secara kimiawi, obat-obat anti inflamasi non steroid ini biasanya dibagi

dalam beberapa kelompok, yaitu :

a.Salisilat : asetosal, benorilat, dan diflusinal. Dosis anti radangnya terletak 2 – 3

kali lebih tinggi daripada dosis analgetisnya. Berhubung resiko efek sampingnya,

maka jarang digunakan pada rema.

b. Asetat : alklofenac, diklofenac, indometasin, dan sulindac.

Alcofenac jarang digunakan lagi karena sering menimbulkan reaksi kulit.

Indometasin termasuk obat yang terkuat daya antiradangnya, tetapi jauh sering

menyebabkan keluhan lambung usus.

c.Propionat : ibuprofen, ketoprofen, flurbiprofen, naproksen, tiaprofenat dan

fenoprofen.

d. Oksikam : piroksikam, tenoksikam, meloxicam

e.D.antranilat : mefenaminat, nifluminat, dan meclofenamic acid

f. Pirazolon : (oxy) fenilbutazon dan azapropazon

g. Lainnya : nabometon, benzidamin krem 3%, bufexamac krem 5 %

berkhasit sebagai antiradang agak kuat, tetapi kurang efektif pada gangguan

rematik

( Tan Hoan Tjay & Kirana Rahardja, 2002).

Obat anti-nyeri dan peradangan (obat anti-inflamasi nonsteroid: OAINS)

merupakan golongan obat yang paling banyak dipergunakan mengobati nyeri radang

sendi maupun nyeri oleh sebab lain. Umumnya dengan OAINS yang ada sekarang,

rasa nyeri dapat segera diatasi. Namun, kenyataan menunjukkan, sebagian besar

keluhan bersifat menahun sehingga penderita memerlukan OAINS dalam jangka

panjang. Karena banyak orang memakai OAINS dalam waktu relatif lama, maka di

samping kemanjurannya tingkat keamanan atau timbulnya efek samping OAINS

harus dipahami dengan baik. OAINS banyak dijual bebas dan kebiasaan penderita

yang ingin memperoleh hasil cepat dengan mencampur beberapa OAINS atau

Page 10: LR III Antiinflam-ema

menambah dosis di luar anjuran dokter. Efek samping OAINS mencakup gangguan

di saluran cerna, fungsi jantung dan ginjal, perdarahan, dan efek samping lain yang

lebih ringan seperti gatal-gatal, pusing, dan kembung. Sebagian besar gejala efek

samping OAINS pada saluran cerna adalah ringan seperti mual, kembung, nyeri

perut, mencret, nafsu makan turun, dan nyeri ulu hati. Akan tetapi, OAINS memicu

erosi pada permukaan lambung yang dapat berkembang menjadi luka lambung dan

menimbulkan banyak perdarahan (muntah darah). Penderita sering tak menunjukkan

gejala awal, sehingga terlambat masuk ke rumah sakit. Diperkirakan total 10-20

persen penderita yang menggunakan OAINS secara teratur dalam satu tahun, 2-4

persen akan menderita luka lambung dengan komplikasi perdarahan, sumbatan atau

kebocoran lambung. Diperkirakan lebih daripada 100.000 penderita masuk rumah

sakit dan 16.500 penderita meninggal karena efek samping OAINS setiap tahun di

Amerika Serikat saja. Timbulnya efek samping OAINS pada saluran cerna semakin

meningkat pada penderita yang sudah tua, berpenyakit rematik berat, gangguan

jantung koroner dan lambung sebelumnya, merokok, memakai obat antikoagulan dan

kortikosteroid, dan penyakit lain yang berat

(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0301/05/iptek/keam22.htm )

Mekanisme Anti Inflamasi

Sampai sekarang fenomen inflamasi pada tingkat bioselular masih belum

dapat dijelaskan secara rinci. Walaupun demikian banyak hal yang telah diketahui

dan disepakati. Fenomen inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskular,

meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala

proses inflamasi yang sudah dikenal adalah kalor, rubor, tumor, dolor, dan functio

laesa. Selama berlangsungnya fenomen inflamasi banyak mediator kimiawi yang

dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT), faktor

kemotaktik, bradikinin, leukotrien, dan PG. Penelitian terakhir menunjukkan

autakoid lipid PAF (Platelet activating factor) juga merupakan mediator inflamasi.

Dengan migrasi sel fagosit ke daerah ini, terjadi lisis membran lisozim dan lepasnya

enzim pemecah. Obat mirip aspirin dapat dikatakan tidak berefek terhadap mediator-

mediator kimiawi tersebut kecuali PG. (Wilmana, P.F., 1995)

Page 11: LR III Antiinflam-ema

Zat antiradang diyakini bekerja dengan memutuskan rangkaian asam

arakidonat. Obat golongan ini banyak dipakai untuk mengobati rasa nyeri lemah dan

juga untuk mengobati edema dan kerusakan jaringan akibat artritis. Beberapa di

antaranya adalah antipiretika (mengurangi demam) di samping mempunyai kerja

analgetik dan antiradang. Steroid adrenal mungkin bekerja dengan merintangi

fosfolipase A2, yaitu enzim yang membebaskan asam arakhidonat dari fosfolipid.

Steroid ini juga menghambat kolagonase, yaitu enzim yang menyebabkan kerusakan

jaringan tulang rawan pada persendian yang terkena penyakit arthritis. Zat antiradang

nonsteroid menghambat siklooksigenase yang mengubah asam arakidonat menjadi

PGG2 dan PGH2. Karena senyawa endoperoksida siklik merupakan prazat semua

senyawa prostaglandin, maka sintesis prostaglandn terhenti. Prostaglandin E1

dikenal sebagai pirosgen kuat (zat penyebab demam), dan PGE2 menimbulkan rasa

nyei, edema eritema (kulit memerah), dan demam. Senyawa prostaglandin (PGG2

dan PGH2) dapat juga menimbulkan rasa nyei, jadi penghambatan sintesisnya

merupakan akibat kerja zat antiradang nonsteroid. (Nogrady, T., 1992).

Proses inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskuler, meningkatnya

permeabilitas vaskuler dan migrasi leukosit ke jaringan radang, dengan gejala kalor,

rubor, tumor, dolor dan functiolasea. Mediator yang depaskan antara lain histamin,

bradikinin, leukotrin, PG dan PAF ( Goodman and Gilman’s, 2001).

Mediator inflamasi tidak hanya PG saja, bahwa inflamasi melibatkan multimediator

(multifaktorial), misalnya bradikinin, leukotrin, cytokin, interleukin, histamin serta

radikal bebas. Efektifitas NSAID sebagai analgesik, anti piretik ataupun anti

inflamasi akan dipengaruhi juga oleh spectrum penghambatan pada mediator

inflamasi ( Goodman and Gilman’s, 2001).

Rasa nyeri dipengaruhi oleh PG yang akan menyebabkan keadan hiperalgesia

kemudian bradikinin dan histamin akan merangsang dan menimbulkan nyeri yang

nyata.Demam (peningkatan suhu) diawali pelepasan zat pirogen endogen atau sitokin

(IL-1 dan IL-8) yang akan memacu pelepasan PG di hypothalamus (letak alat

pengatur suhu tubuh). NSAID ideal yaitu yang cepat dan kuat sebagai obat analgesik,

anti inflamasi dan anti piretik adalah obat yang harus menghambat semua mediator

inflamasi atau bekerja secara multifaktorial atau multimediator (Goodman and

Gilman’s, 2001).

Page 12: LR III Antiinflam-ema

Salah satu dari kondisi yang paling penting yang melibatkan mediator-

mediator ini ialah artritis reumatoid, dimana inflamasi kronis menyebabkan sakit dan

kerusakan pada tulang dan tulang rawan yang bisa menjurus kepada

ketidakmampuan untuk bergerak dimana terjadi perubahan-perubahan sistemik yang

bisa memperpendek umur. Jalur cylooxygenase metabolisme arachidonate

menghasilkan prostagladin mempunyai berbagai efek pada pembuluh darah, ujung-

ujung saraf sel-sel yang terlibat dalam inf;lamasi. Penemuan isoform-isoform ( COX-

1 dan COX-2 ) menjurus kepada konsep bahwa isoform COX-1 yang ( bersifat

pokok, selalu ada ) cenderung menjadi homoestatis dalam sedangkan COX-2

diinduksi selama inflamasi dan digunakan mempasilitasi respons inflamasi. Atas

dasar ini penghambat COX-2 yang selektif telah dikembangkan dan dipasarkan

dengan asumsi bahwa penghambat selaktif semacam itu akan lebih aman daripada

penghambat COX-1 yang nonselektif tetapi tentunya tanpa kemanjurannya (efikasi ).

Jalur lipoxygenase dari metabolisme menghasilkan leukotrine yang mempunyai efek

kemotaksis yang eusinofil, neutrofil, dan makrofag serta meningkatkan bronkok

perubahan-perubahan dalam permeabilitas pembuluh darah( Donald G.Payan, 1998 ).

Asam arakidonat, suatu asam lemak 20-karbon, adalah prekussor utama

prostaglandin dan senyawa yang berkaitan. Asam arakidonat terdapat dalam

komponen fosfolipid membran sel, terutama fosfatidil inositol dan kompleks lipid

lainnya. Asam arakidonat bebas dilepaskan dari jaringan fosfolipid oleh kerja

fosfolipase A2 dan asil hidrolase lainnya, melalui suatu proses yang dikontrol oleh

hormon dan rangsangan lain.

1. Jalan siklo-oksigenase : semua eikosanoid berstruktur cincin sehingga,

prostaglandin, tromboksan, dan protosiklin disintesis melalui siklo-oksigenase. Telah

diteliti dua siklo-oksigenase : COX-1 dan COX-2. yang pertama bersifat ada dimana-

mana dan pembentuk, sedangkan yang kedua diinduksi dalam respons terhadap

rangsangan inflamasi.

2. Jalan Lipoksigenase : jalan lain, beberapa lipoksigenase dapat bekerja pada asam

arakidonat untuk membentuk 5-HPETE, 12-HPETE dan 15-HPETE yang merupakan

turunan peroksidasi tidak stabil yang dikonversi menjadi turunan hidroksilasi yang

sesuai (HETES), atau menjadi leukotrien atau lipoksin ( Mary J. Mycek, 2001 ).

Page 13: LR III Antiinflam-ema

Sejumlah besar zat yang disebut mediator radang dibentuk dan dilepaskan,

dapat sekaligus atau dalam waktu yang berurutan pada tempat luka dari berbagai

sumber berupa sel sebagai respons terhadap faktor etiologi. Berbagai sel berisi

sejumlah mediator yang kuat dan dalam beberapa hal berisi inhibitor respons

peradangan. Sumber-sumber berupa sel ini mungkin mencakup netrofil (leukosit

netrofil berinti polimorf), basofil sel mast, platelet, makrofag, dan limfosit. Sejumlah

mediator radang yang turut dalam proses peradangan dan diuraikan oleh sel tadi

meliputi histamin, serotonin, leukokinin, zat anfilaksis yang bereaksi lambat (slow

reacting substance of anaphylazis (SRS-A), enzim lisosom, limfokin, dan

prostaglandin. Obat antiradang merubah respon peradangan menjadi penyakit, tapi

tidak menyembuhkan ataupun meghilangkan penyebab penyakit itu sendiri. Obat

antiradang yang ideal harus bekerja terhadap radang yang tak terkendalikan dan

merusak, serta tidak mempengaruhi respons peradangan yang normal yang

merupakan bagian dari mekanisme pertahanan tubuh yang vital terhadap

mikroorganisme yang menyerang dan pengaruh buruk lingkungan yang lain. Uji

utama yang sering dipakai dalam menapis zat antiradang nonsteroid baru, mengukur

kemampuan suatu senyawa untuk mengurangi edema lokal pada cengkeraman tikus

yang disebabkan oleh suntikan zat pengiritasi karagenan, yaitu suatu

mukopolisakarida yang diperoleh dari lumut laut Irlandia, Chondrus crispus. Zat

antiradang yang paling banyak digunakan di klinik untuk menekan edema macam

ini. Sifat antiradang indometasin, yaitu zat antiradang nonsteroid yang banyak

dipakai, pada mulanya ditentukan oleh uji karagenan. Urutan peristiwa dalam edema

akibat karagenan pada cengkeraman tikus telah dirancang. Mediator edema yang

pertama-tama yaitu histamin dan serotonin, diikuti oleh fase kedua, yaitu pelepasan

kinin yang mempertahankan peningkatan kepermeabelan pembuluh darah. Ini

diikuti oleh fase ketiga, yaitu pelepasan prostaglandin yang bersamaan dengan

migrasi leukosit ke lokasi radang. Zat antiradang nonsteroid menekan migrsi ini.

Pengaktifan dan pelepasan semua mediator yang telah disebutkan di atas, tergantung

pada sistem komplemen yang utuh. (Hamor, G.H., 1996)

Dua isoenzim cyclooxygenase yang unik namun berkaitan telah ditemukan

dan mampu mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin endoperoksid. PGH

synthase-1 (COX-1) ekspresinya constitutive, yaitu selalu ada. Sebaliknya PGH

Page 14: LR III Antiinflam-ema

synthase-2 (COX-2) dapat diinduksi (inducible) dan keberadaannya sangat bervariasi

tergantung pada stimulus. Dua isoenzim ini juga berbeda dalam fungsi: COX-1

terdistribusi secara luas dengan fungsi sebagai pemelihara misalnya sitoproteksi

lambung. Peningkatan dua sampai empat kali dapat terjadi pada stimulasi hormonal.

Sebaliknya, COX-2 adalah produk gen yang cepat terjadi sebagai respons awal

dalam inflamasi dan sel imun serta dapat distimulasi 10 sampai dengan 18 kali oleh

faktor pertumbuhan, promotor tumor, dan cytokine. Lipopolisakarida (endotoksin)

sangat kuat dalam hubungan tersebut. Synthase-synthase tersebut penting karena

pada tahapan inilah obat-obat antiinflamasi nonsteroid menunjukkan efek terapinya.

Indometasin dan sulindak terutama bekerja pada COX-1 dan 2, sedangkan celecoxib

dan rofecoxib secara istimewa menghambat COX-2. Obat-obat antiinflamasi steroid

seperti deksametason dapat menghambat ekspresi gen COX-2. Penghambat COX-2

yang selektif, lebih sedikit menyebabkan gangguan lambung bila dibandingkan

dengan penghambat COX-1 dan menjadi populer untuk pengobatan inflamasi kronik.

Aspirin mengasetilasi dan menghambat kedua enzim dengan tingkat yang berbeda.

(Foegh, M.L., dan Ramwell, P.W., 2001)

Synthase-synthase tersebut penting karena pada tahapan inilah obat-obat

antiinflamasi nonsteroid menunjukkan efek terapinya. Indometasin dan sulindak

terutama bekerja pada COX-1 dan 2, sedangkan celecoxib dan rofecoxib secara

istimewa menghambat COX-2. Obat-obat antiinflamasi steroid seperti deksametason

dapat menghambat ekspresi gen COX-2. Penghambat COX-2 yang selektif, lebih

sedikit menyebabkan gangguan lambung bila dibandingkan dengan penghambat

COX-1 dan menjadi populer untuk pengobatan inflamasi kronik. Aspirin

mengasetilasi dan menghambat kedua enzim dengan tingkat yang berbeda (Foegh,

M.L., dan Ramwell, P.W., 2001).

Uji utama yang sering dipakai dalam menapis zat antiradang nonsteroid baru,

mengukur kemampuan suatu senyawa untuk mengurangi edema lokal pada

cengkeraman tikus yang disebabkan oleh suntikan zat pengiritasi karagenan, yaitu

suatu mukop karagenan rumput laut ini sangat besar peranannya terutama sebagai

stabilisator (pengatur keseimbangan), thickener (bahan pengental), gelling agent

(pembentuk gel), pengemulsi, dan lain-lain. Karagenan adalah hasil ekstraksi dari

rumput laut yang tergolong Rhodophyceae dengan menggunakan air atau alkali.

Page 15: LR III Antiinflam-ema

Karagenan tersusun dari perulangan unit-unit galaktosa dan 3,6-anhidro-galaktosa

(3,6-AG), keduanya baik yang berikatan dengan sulfat maupun tidak, dihubungkan

dengan ikatan glikosidik α-1,3 dan ß-1,4 secara bergantian (http://www.lipi.go.id).

Page 16: LR III Antiinflam-ema

V. METODE PERCOBAAN

5.1. Alat dan Bahan

5.1.1. Alat

- Alat suntik

- Alat suntik dengan jarum oral

- Timbangan hewan

- Alat pengukur bengkak kaki (plestimometer)

- Erlenmeyer

- Pipet tetes

- Stopwatch

5.1.2. Bahan

- Mencit

- Karagenan 1 %

- Suspensi deksametason

- Suspensi Na-diklofenak

- Suspensi kosong

5.2. Prosedur Percobaan

- Tikus dipuaskan ± 18 jam sebelum pengujian, air minum tetap diberikan

- Tikus ditimbang dan diberi tanda pada sendi kaki belakang kiri untuk setiap

tikus.

- Volume kaki tikus diukur dan dinyatakan sebagai volume dasar (Vo) untuk

setiap tikus. Pada setiap kali pengukuran volume sudah diperiksa tinggi cairan

pada alat dan dicatat sebelum dan sesudah pengukuran

- Tikus 1 diberi suspensi kosong 1% BB secara oral

- Tikus 2 diberi Na diklofenak 2% dosis 15 mg/kg BB secara oral

- Tikus 3 diberi Na diklofenak 2% dosis 20 mg/kg BB secara oral

- Tikus 4 diberi Deksametason 0,01% dosis 0,1 mg/kg BB secara oral

- Tikus 5 diberi Deksametason 0,01% dosis 0,3 mg/kg BB secara oral

- Setelah 30 menit tikus diberi karagenan 1% secara subkutan pada telapak kaki

kiri.

Page 17: LR III Antiinflam-ema

- Dibiarkan 30 menit lalu diukur volume kaki yang disuntiikan karagenan pada

alat dan dicatat. Dilakukan pengukuran yang sama setiap 30 menit selama 4

jam.

- Dicatat hasil pengamatan, dihitung harga %radang dan %inhibisi radang dan

dibuat dalam grafik.

Page 18: LR III Antiinflam-ema

VI. PERHITUNGAN, GRAFIK, DAN PEMBAHASAN

6.1 Perhitungan

6.1.1. Perhitungan Dosis

1. Tikus 1 (Kontrol)

Berat Tikus =275 g

Jumlah suspensi kosong yang diberikan = 1

100×275 g=2, 75 ml

2. Tikus 2

Berat Tikus =285 g

Jumlah Na di

klofenat yang diberikan =10mg

1000 g×285 g=2 ,85mg

Konsentrasi Na diklofenat 2% = 2 g

100 ml=2000 mg

100 ml=20 mg /ml

Jumlah larutan Na diklofenat yang diberikan = 2 , 85mg

20mg /ml=1, 475 ml

3. Tikus 3

Berat Tikus = 280 g

Jumlah

Na diklofenat yang diberikan =15 mg

1000 g×280 g=4,2 mg

Konsentrasi Na diklofenat 2% = 2 g

100 ml=2000 mg

100 ml=20 mg /ml

Jumlah larutan Na diklofenat yang diberikan = 4,2mg

20mg /ml=0 ,21ml

4. Tikus 4

Berat Tikus = 272g

Jumlah

Deksametason yang diberikan = 0,1mg

1000 g×272 g=0 , 0272 mg

Page 19: LR III Antiinflam-ema

Konsentrasi Deksametason 0,01% =0 , 01 g

100 ml=10 mg

100 ml=0,1 mg /ml

Jumlah larutan Deksametason yang diberikan =0 , 0272 mg

0,1mg /ml=0 ,272ml

5. Tikus 5

Berat Tikus = 160 g

Jumlah

Deksametason yang diberikan =0 .3 mg

1000 g×160 g=0 ,048 mg

Konsentrasi deksametason 0,01% =0 , 01 g

100 ml=10 mg

100 ml=0,1 mg /ml

Jumlah larutan

Deksametason yang diberikan = 0 , 048mg

0,1mg /ml=0 ,48 ml

6.1.2. Perhitungan Radang

1. Tikus 1 (Kontrol) Vo = 0,03

Menit 30 (Vt = 0,04)

% Radang=Vt−VoVo

x100%

=0 ,04−0 ,030 ,03

x 100%

=33 , 3 %

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=33 , 3−33 ,333 , 3

x 100 %

=0 %

Menit 60 (Vt = 0,04)

% Radang=Vt−VoVo

x100 %

=0 ,04−0 ,030 ,03

x 100 %

=33 , 3 %

Page 20: LR III Antiinflam-ema

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=33 , 3−33 ,333 , 3

x 100 %

=0 %

Menit 90 (Vt = 0,04)

% Radang=Vt−VoVo

x100 %

=0 ,04−0 ,030 ,03

x 100 %

=33 , 3 %

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=33 , 3−33 ,333 , 3

x 100 %

=0 %

Menit 120 (Vt = 0,05)

% Radang=Vt−VoVo

x100 %

=0 ,05−0 ,030 ,03

x100 %

=66 ,67 %

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=66 ,67−66 , 6766 ,67

x 100 %

=0 %

2. Tikus 2 (Vo = 0,04)

Menit 30 (Vt = 0,04)

% Radang=Vt−VoVo

x100 %

=0 ,04−0 ,040 ,04

x100 %

=0 %

Page 21: LR III Antiinflam-ema

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=0−33 , 333 , 3

x100 %

=−100 %

Menit 60 (Vt = 0,05)

% Radang=Vt−VoVo

x100 %

=0 ,05−0 ,040 ,04

x 100 %

=25 %

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=25−33 , 333 , 3

x100 %

=−24 , 92 %

Menit 90 (Vt = 0,03)

% Radang=Vt−VoVo

x100 %

=0 ,03−0 ,040 ,04

x 100 %

=−25 %

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=−25−33 , 333 , 3

x100 %

=−175 %

Menit 120 (Vt = 0,05)

% Radang=Vt−VoVo

x100 %

=0 ,05−0 ,040 ,04

x 100 %

=25 %

Page 22: LR III Antiinflam-ema

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=25−66 , 6766 ,67

x 100 %

=−62,50 %

3. Tikus 3 (Vo = 0,04)

Menit 30 (Vt = 0,05)

% Radang=Vt−VoVo

x100 %

=0 ,05−0 ,040 ,04

x 100 %

=25 %

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=25−33 , 333 , 3

x100 %

=−24 , 92 %

Menit 60 (Vt = 0,04)

% Radang=Vt−VoVo

x100 %

=0 ,04−0 ,040 ,04

x100 %

=0 %

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=0−33 , 333 , 3

x100 %

=−100 %

Menit 90(Vt = 0,04)

% Radang=Vt−VoVo

x100 %

=0 ,04−0 ,040 ,04

x100 %

=0 %

Page 23: LR III Antiinflam-ema

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=0−33 , 333 , 3

x100 %

=−100 %

Menit 120 (Vt = 0,05)

% Radang=Vt−VoVo

x100 %

=0 ,05−0 ,040 ,04

x 100 %

=25 %

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=25−66 , 6766 ,67

x 100 %

=−62,50 %

4. Tikus 4 (Vo = 0,03)

Menit 30 (Vt = 0,04)

% Radang=Vt−VoVo

x100 %

=0 ,04−0 ,030 ,03

x 100 %

=33 , 3 %

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=33 , 3−33 ,333 , 3

x 100 %

=0 %

Menit 60 (Vt = 0,05)

% Radang=Vt−VoVo

x100 %

=0 ,05−0 ,030 ,03

x100 %

=66 ,67 %

Page 24: LR III Antiinflam-ema

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=66 ,67−33 , 333 , 3

x100 %

=100 %

Menit 90 (Vt = 0,05)

% Radang=Vt−VoVo

x100 %

=0 ,05−0 ,030 ,03

x100 %

=66 ,67 %

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=66 ,67−33 , 333 , 3

x100 %

=100 %

Menit 120 (Vt = 0,04)

% Radang=Vt−VoVo

x100 %

=0 ,04−0 ,040 ,04

x100 %

=0 %

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=0−66 , 6766 ,67

x 100 %

=−100 %

5. Tikus 5 (Vo = 0,03)

Menit 30 (Vt = 0,04)

% Radang=Vt−VoVo

x100 %

=0 ,04−0 ,030 ,03

x 100 %

=33 , 3 %

Page 25: LR III Antiinflam-ema

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=33 , 3−33 ,333 , 3

x 100 %

=0 %

Menit 60 (Vt = 0,04)

% Radang=Vt−VoVo

x100 %

=0 ,04−0 ,030 ,03

x 100 %

=33 , 3 %

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=33 , 3−33 ,333 , 3

x 100 %

=0 %

Menit 90 (Vt = 0,03)

% Radang=Vt−VoVo

x100 %

=0 ,03−0 ,030 ,03

x100 %

=0 %

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=0−33 , 333 , 3

x100 %

=−100 %

Menit 120 (Vt = 0,03)

% Radang=Vt−VoVo

x100 %

=0 ,03−0 ,030 ,03

x100 %

=0 %

Page 26: LR III Antiinflam-ema

% Inhibisi Radang (IR )=% Radang Obat−% Radang Kontrol% Radang Kontrol

x 100 %

=0−66 , 6766 ,67

x 100 %

=−100 %

6.2. Data Percobaan\

Terlampir

6.3. Grafik

Terlampir

Page 27: LR III Antiinflam-ema

6.4. Pembahasan

Berdasarkan hasil percobaan dapat diamati bahwa tikus yang diperlakukan

sebagai kontrol mengalami pembengkakan (radang) pada kakinya yang disuntikkan

dengan karagenan. Radang yang ditandai dengan bertambahnya volume kaki tikus

setelah pemberian karagenan (udem). Karagenan merupakan suatu zat asing

(antigen) yang bila masuk kedalam tubuh akan merangsang pelepasan mediator

radang seperti histamin sehingga menimbulkan radang akibat antibodi tubuh bereaksi

terhadap antigen tersebut untuk melawan pengaruhnya.

Pemberian Na-Diklofenak sebagai anti inflamasi dapat menurunkan aktifitas

peradangan yang disebabkan karagenan tersebut. Hal ini dapat kita lihat pada tikus 2

dan 3. Pada tikus 2 diberikan karagenan secara intraplantar sehingga mengalami

peradangan yang ditandai dengan pembengkakan pada kaki tikus dilihat pada menit

ke-60, namun dengan pemberian Na-Dikofenat 2% dosis 15mg/kg BB secara oral

terlihat peradangan menurun pada menit ke-90. Pada tikus ke 3 dengan pemberian

Na Dikofenat 2% dosis 20mg/kg BB secara oral terlihat aktivitas peradangan pada

menit ke-30 dan menurun pada menit ke-60. Begitu pula tikus 4 dan 5 yang diberikan

deksametason 0,01 % berturut-turut dengan dosis 0,1 dan 0,3 mg/kg BB.

Bila dibandingkan antara tikus 2 dan 3 terlihat bahwa efek antiinflamasi Na-

diklofenak dosis 20 mg/kg BB lebih cepat daripada dosis 15 mg/kg BB. Sedangkan

perbandingan antara tikus 4 dan 5 terlihat bahwa efek antiinflamasi Deksametason

0,01% dengan dosis 0,3mg/kgBB lebih efektif daripada dosis 0,1mg/kgBB. Hal ini

tepat jika dikaitkan dengan semakin banyaknya jumlah zat aktif yang bekerja

menekan inflamasi.

Menurut P. Freddy Wilmana (1995), absorpsi Na diklofenak berlangsung

cepat dan lengkap. Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan mengalami first-

pass effect sebesar 40-50%. Menurut Kartasasmita (2002), obat anti radang bukan

steroida atau yang lazim dinamakan non steroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs)

adalah golongan obat yang terutama bekerja perifer, memiliki aktifitas menghambat

radang dengan mekanisme kerjanya menghambat biosintesis prostaglandin melalui

penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase.

Page 28: LR III Antiinflam-ema

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

- Efek yang ditimbulkan akibat pemberian karagenan pada hewan percobaan

adalah terjadinya udem, yang terlihat dari bertambahnya volume kaki tikus

setelah diukur dengan plestimometer.

- Deksametason dan Na diklofenak memberikan efek antiinflamasi, mengurangi

udem pada kaki tikus akibat pemberian karagenan.

- Efek antiinflamasi deksametason 0,01% dengan dosis 0,3mg/kg BB lebih kuat

daripada dosis 0,1mg/kg BB ; efek antiinflamasi Na diklofenak 2% dengan

dosis 20 mg/kg BB lebih kuat daripada dosis 15 mg/kg BB

- Inflamasi terjadi karena reaksi antara antigen dengan antibodi yang dapat

merangsang pelepasan mediator radang sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh

kapiler dan migrasi fagosit ke daerah radang, yang mengakibatkan hiperemia

dan udem pada daerah terjadinya inflamasi.

7.2. Saran

- Diharapkan agar praktikan teliti dalam pengamatan volume peradangan kaki

mencit dalam hal membaca skala yang tertera pada alat.

- Sebaiknya dibadingkan antara penggunaan obat antiinflamasi steroid dengan

obat antiinflamasi nonsteroid.

Page 29: LR III Antiinflam-ema

DAFTAR PUSTAKA

Dharma, Surya, (2005), “PENGARUH PEMAKAIAN INDOMETASIN DAN

RESERPIN TERHADAP PEMBENTUKAN TUKAK PADA LAMBUNG

DAN DUODENUM DENGAN PEMBERIAN SECARA ORAL DAN

INTRAMUSKULAR KEPADA TIKUS PUTIN WISTAR BETINA”,

Bandung: /Top / S2-Thesis / 1986 / jbptitbfa-gdl-s2-1986-suryadharm-17,

www.ganesha.go.id

Foegh, M.L., dan Ramwell, P.W., (2001), “EICOSANOID, PROSTAGLANDIN,

THROMBOXANE, LEUKOTRIENE, DAN SENYAWA BERKAITAN”,

dalam Katzung, B.G., (Editor), FARMAKOLOGI DASAR DAN KLINIK,

Buku I, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta: Penerbit Salemba Medika, halaman

547-548

Hamor, G.H., (1996), “ZAT ANTIRADANG NONSTEROID”, dalam Foye, W.O.,

(Editor), PRINSIP-PRINSIP KIMIA MEDISINAL, Jilid II, Edisi Kedua,

Jogjakarta: Gajah Mada University Press, halaman 1096-1097

Nogrady, T.,(1992), “KIMIA MEDISINAL PENDEKATAN SECARA

BIOKIMIA”, Terbitan Kedua, Bandung: Penerbit ITB, halaman 410-412

Sudiono, J., (2003), “ILMU PATOLOGI”, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,

halaman, 81-81.

Tan, H., T., dan Rahardja, (2002), “OBAT-OBAT PENTING, KHASIAT,

PENGGUNAAN, DAN EFEK-EFEK SAMPINGNYA”, Cetakan Kedua,

Edisi Kelima, Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo, halaman 308

Underwood, J.C.E., (1999), “PATOLOGI UMUM DAN SISTEMATIK”, Edisi

Kedua, Volume 1, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, halaman 232

Wilmana, P.F., (1995), “ANALGESIK-ANTIPIRETIK, ANTIINFLAMASI

NONSTEROID DAN OBAT PIRAI”, dalam Ganiswarna, S.G., (Editor),

FARMAKOLOGI DAN TERAPI, Edisi Keempat, Jakarta: Bagian

Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, halaman 207-208

Page 30: LR III Antiinflam-ema

GAMBAR HEWAN / ALAT

Tikus Timbangan elektrik Beaker

Glass

Page 31: LR III Antiinflam-ema

Erlenmeyer Oral Sonde 2,5 ml Spuit/Alat Suntik

1 ml

Stopwatch

Page 32: LR III Antiinflam-ema

ZAT ANTI RADANG

http://www.lipi.go.id

Uji utama yang sering dipakai dalam menapis zat antiradang nonsteroid baru, mengukur

kemampuan suatu senyawa untuk mengurangi edema lokal pada cengkeraman tikus yang

disebabkan oleh suntikan zat pengiritasi karagenan, yaitu suatu mukop karagenan rumput

laut ini sangat besar peranannya terutama sebagai stabilisator (pengatur keseimbangan),

thickener (bahan pengental), gelling agent (pembentuk gel), pengemulsi, dan lain-lain. Sifat

ini banyak dimanfaatkan oleh industri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta

gigi dan industri lainnya. Karagenan adalah hasil ekstraksi dari rumput laut yang tergolong

Rhodophyceae dengan menggunakan air atau alkali. Karagenan tersusun dari perulangan

unit-unit galaktosa dan 3,6-anhidro-galaktosa (3,6-AG), keduanya baik yang berikatan

dengan sulfat maupun tidak, dihubungkan dengan ikatan glikosidik α-1,3 dan ß-1,4 secara

bergantian. Karagenan dapat dibagi dalam tiga fraksi, yaitu fraksi kappa-, iota-, dan lambda-

karagenan. Fraksi iota-karagenan banyak terdapat pada genus Eucheuma.Hasil perhitungan

Tim Rumput Laut BPPT, kebutuhan carrageenan di dalam negeri akan terus meningkat 13 –

15 pertahun. Kebutuhan ini akan meningkat pesat, bila industri pemakai CMC dan

xcanthangum di dalam negeri beralih memakai carrageenan. Permasalahan industri

carrageenan di Indonesia (yang baru pada tingkat semi refine carrageenan) antara lain adalah

: kurangnya bahan baku yang berkualitas dan harganya yang cenderung fluktuatif.

RADANG

www.wikipedia.com

Radang adalah rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang

mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi.

Bagian tubuh yang mengalami peradangan memiliki tanda-tanda sebagai berikut:

tumor atau membengkak

calor atau menghangat

dolor atau nyeri

rubor atau memerah

functio laesa atau daya pergerakan menurun

Page 33: LR III Antiinflam-ema

Keamanan Obat-obat Antinyeri dan Peradangan

Rematik

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0301/05/iptek/keam22.htm

OBAT anti-nyeri dan peradangan (obat anti-inflamasi nonsteroid: OAINS) merupakan

golongan obat yang paling banyak dipergunakan mengobati nyeri radang sendi maupun nyeri

oleh sebab lain. Umumnya dengan OAINS yang ada sekarang, rasa nyeri dapat segera

diatasi.

Namun, kenyataan menunjukkan, sebagian besar keluhan bersifat menahun sehingga

penderita memerlukan OAINS dalam jangka panjang. Karena banyak orang memakai

OAINS dalam waktu relatif lama, maka di samping kemanjurannya tingkat keamanan atau

timbulnya efek samping OAINS harus dipahami dengan baik. OAINS banyak dijual bebas

dan kebiasaan penderita yang ingin memperoleh hasil cepat dengan mencampur beberapa

OAINS atau menambah dosis di luar anjuran dokter. Pemakaian jamu juga dapat

menimbulkan masalah karena penambahan OAINS dan steroid pada beberapa jamu yang

beredar.

Efek samping OAINS mencakup gangguan di saluran cerna, fungsi jantung dan ginjal,

perdarahan, dan efek samping lain yang lebih ringan seperti gatal-gatal, pusing, dan

kembung.

Saluran cerna

Sebagian besar gejala efek samping OAINS pada saluran cerna adalah ringan seperti mual,

kembung, nyeri perut, mencret, nafsu makan turun, dan nyeri ulu hati. Akan tetapi, OAINS

memicu erosi pada permukaan lambung yang dapat berkembang menjadi luka lambung dan

menimbulkan banyak perdarahan (muntah darah). Penderita sering tak menunjukkan gejala

awal, sehingga terlambat masuk ke rumah sakit.

Diperkirakan total 10-20 persen penderita yang menggunakan OAINS secara teratur dalam

satu tahun, 2-4 persen akan menderita luka lambung dengan komplikasi perdarahan,

sumbatan atau kebocoran lambung. Diperkirakan lebih daripada 100.000 penderita masuk

rumah sakit dan 16.500 penderita meninggal karena efek samping OAINS setiap tahun di

Amerika Serikat saja.

fb9d98be8657d4

Page 34: LR III Antiinflam-ema

Timbulnya efek samping OAINS pada saluran cerna semakin meningkat pada penderita yang

sudah tua, berpenyakit rematik berat, gangguan jantung koroner dan lambung sebelumnya,

merokok, memakai obat antikoagulan dan kortikosteroid, dan penyakit lain yang berat.

Ginjal dan jantung

OAINS ternyata menghambat pembentukan prostaglandin (PG) di ginjal. PG berperan

penting pada fungsi ginjal yang normal dengan mengatur tonus pembuluh darah dan filtrasi

di ginjal. Dengan menghambat sintesis PG di ginjal, OAINS dapat mempengaruhi fungsi

ginjal dan menimbulkan efek samping. Namun, kejadiannya lebih jarang dibanding dampak

ke lambung.

Timbulnya bengkak kaki atau tertahannya cairan dalam tubuh karena gangguan fungsi ginjal

pada orang sehat mungkin tak menjadi masalah. Namun, pada penderita jantung, khususnya

payah jantung kongestif, dapat menjadikan penderita lebih sesak dan memerlukan perawatan

di rumah sakit. Jadi, penderita jantung dan gangguan fungsi ginjal sebaiknya tak

menggunakan OAINS.

Mekanisme dampak

Banyak faktor yang terkait dengan timbulnya nyeri dan peradangan sendi pada penyakit

rematik, namun yang terutama ialah peningkatan sintesis PG oleh sel radang di sendi yang

dipengaruhi oleh cyclooxygenase (COX).

OAINS bekerja menghambat enzim tersebut sehingga sintesis PG di tempat yang meradang

berkurang, selanjutnya menghilangkan nyeri dan tanda peradangan. Namun, OAINS ternyata

tak hanya menghambat COX dan sintesis PG di tempat peradangan melainkan juga di tempat

lain.

Dalam keadaan normal, sintesis PG (melalui jalur COX) tetap ada dan bahkan diperlukan

untuk fungsi normal organ-organ seperti lambung dan ginjal. PG di lambung berfungsi

menjaga keutuhan permukaan lambung terhadap berbagai rangsangan yang dapat

mencetuskan luka seperti asam lambung, enzim, dan berbagai bahan yang lain.

Jika sintesis PG di lambung ditekan, maka mekanisme proteksi oleh PG (kontrol sekresi

asam lambung, sintesis bikarbonat dan aliran darah mukosa lambung) akan terganggu dan

memudahkan terjadinya erosi dan luka lambung.

Page 35: LR III Antiinflam-ema

PG di ginjal juga berperan penting menjaga fungsi ginjal yang normal, sedangkan sintesis

tromboxan oleh COX di trombosit berperan dalam fungsi sel tersebut untuk pembentukan

gumpalan darah untuk menghentikan perdarahan di tubuh. Adanya peran ganda PG (pada

keadaan sakit dan normal) dapat menjelaskan mengapa OAINS dapat menghilangkan nyeri

dan tanda-tanda peradangan sendi sekaligus menimbulkan efek samping pada saluran cerna,

ginjal, dan trombosit (kecenderungan perdarahan).

Sejak 1980 diketahui bahwa COX yang mencetuskan sintesis PG di tempat peradangan dan

sintesis PG di organ-organ dalam keadaan normal (fisiologis) adalah berbeda, meskipun 60

persen struktur susunan asam aminonya sama. Enzim yang berperan pada sintesis PG di

organ (misalnya lambung) yang berkait dengan fungsi normal disebut COX-1, sedangkan

enzim yang bertanggung jawab pada peningkatan sintesis PG di tempat peradangan disebut

COX-2.

Mengurangi efek samping

Dengan diperolehnya pengetahuan tentang peran hambatan COX-2 sebagai mekanisme kerja

OAINS dalam menekan rasa nyeri dan peradangan sendi serta peran hambatan COX-1 pada

mekanisme timbulnya efek samping saluran cerna, maka manusia berupaya membuat obat

rematik yang hanya menghambat COX-2 tanpa menghambat COX-1.

Sasarannya adalah menghasilkan obat rematik yang efektif seperti OAINS yang

konvensional tetapi dengan tingkat keamanan yang lebih baik (efek samping saluran cerna

yang lebih sedikit). Hasil penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa penghambat

COX-1 tidak menekan sintesis PG di tempat peradangan dan tidak mengurangi tanda-tanda

peradangan atau nyeri pada binatang coba.

Penghambat COX-2 ternyata menekan produksi PG di tempat peradangan disertai

berkurangnya tanda-tanda peradangan dan nyeri. Di samping itu pemberian penghambat

COX-2 tidak menekan produksi PG di lambung. Dengan demikian disimpulkan bahwa

penghambat COX-2 spesifik akan menghasilkan efek antiperadangan dan antinyeri seperti

OAINS pada umumnya