45
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kusta telah menyerang manusia sejak 300 sm, dan telah dikenal oleh peradaban tiongkok kuna, mesir kuna, dan india. Pada 1995, organisasi kesehatan dunia (who) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta. walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti india dan vietnam. Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940 dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980 penyakit ini pun mampu ditangani kembali. Penyakit kusta ialah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah. Page | 1

makalah askep morbus hansen

Embed Size (px)

DESCRIPTION

karya dendy putra prasetyo stikes icme jombang

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN1.1 LATAR BELAKANGKusta telah menyerang manusia sejak 300 sm, dan telah dikenal oleh peradaban tiongkok kuna, mesir kuna, dan india. Pada 1995, organisasi kesehatan dunia (who) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta. walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti india dan vietnam.Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940 dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980 penyakit ini pun mampu ditangani kembali.Penyakit kusta ialah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah. Oleh karena itu penulis membuat makalah tentang asuhan keperawatan pada klien dengan Morbus Hansen.

1.2 RUMUSAN MASALAH1. Dalam makalah ini kami mengangkat beberapa permasalahan yang terkait dengan Penanggulangan penyakit kusta, yaitu sebagai berikut :2. Bagaimana gambaran umum penyakit kusta ?3. Apa etiologi kusta?4. Bagaimana klasifikasinya?5. Apa saja bentuk-bentuk dan gejala penyakit kusta ?6. Bagaimana komplikasinya ?7. Bagaimana cara penatalaksanaanya?8. Bagaimana rehabilitasinya orang yang mengalami kusta ?9. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien kusta ?

1.3 TUJUAN1. Untuk mengetahui gambaran umum penyakit kusta yang meliputi definisi 2. Untuk mengetahui apa saja etiologi kusta3. Untuk mengetahui klasifikasi kusta 4. Untuk mengetahui manifestasi kusta5. Untuk mengetahui bagaimana peatalaksanaan penyakit kusta 6. Untuk mengetahui bagaimana upaya pencegahan penyakit kusta 7. Untuk mengetahui bagaimana cara rehabilitasinya8. Untuk mengetahui bagaimanaa asuhan keperawatan pada pasien morbus hansen

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 DEFINISIMorbus Hansen (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi mycobacterium leprae (Kapita Selekta Kedokteran UI, 2000)Penyakit Morbus Hansen adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya (Departeman Kesehatan, Dit. Jen PPM & PL, 2002)Jadi, Morbus Hansen adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Myrobacterium Lepra yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.

2.2 ETIOLOGI

Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae yang ditemukan pada tahun 1874, oleh GA Hansen . Kuman ini berbentuk batang,gram positip, berukuran 0.34 x 2 mikron dan berkelompok membentuk globus. Kuman Myohacterium leprae hidup pada sel Schwann dan sistim retikuloendotelial, dengan masa generasi 12-24 hari, dan termasuk kuman yang tidak ganas serta lambat berkembangnya.Kuman-kuman kusta berbentuk batang, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu dengan ukuran panjang 1-8 mic, lebar 0,2-0,5 mic yang bersifat tahan asam.Sampai saat ini kuman tersebut belum dapat dibiakkan dalam medium buatan, dan manusia merupakan satu-satunya sumber penularan. Berbagai usaha telah dilakukan untuk membiakkan kuman tersebut yaitu melalui: telapak kaki tikus, tikus yang diradiasi,armadillo, kultur jaringan syaraf manusia dan pada media buatan. Diagnosis penyakit lepra melalui usapan sekret hidung dan melalui kerokan kulit penderita. Kuman yang berada di sekret hidung yang kering,dapat bertahan hidup sampai 9 hari di luar tubuh, sedangkan di tanah yang lembab dan suhu kamar, kuman ini dapat bertahan sampai 46 hari.

2.3 PATOFISIOLOGIMekanisme penularan penyakit Morbus Hansen diawali dari kuman Mycobacterium Leprea. Kuman ini biasanya berkelompok dan hidup dalam sel serta mempunyai sifat tahan asam (BTA) . Kuman Morbus Hansen ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan saraf pusat. Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan.

Kerusakan saraf pada pasien Morbus Hansen diakibatkan M.Leprae yang memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindungi di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang makrofag bekerja terus-menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF(Growht Factor) yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenal bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional. Akibatnya akan mengalami gangguan fungsi saraf tepi seperti sensorik, motorik dan otonom. Serangan terhadap fungsi sensorik akan menyebabkan terjadinya luka pada tangan atau kaki, yang selanjutnya akan mati rasa (anestasi). Kerusakan fungsi motorik akan mengakibatkan lemah atau lumpuhnya otot kaki atau tangan, jari-jari tangan atau kaki menjadi bengkok. Rusaknya fungsi otonom berakibat terjadinya gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras, dan pecah-pecah yang pada akhirnya akan membuat si penderita cacat seumur hidup.Kelainan juga terjadi pada kulit, dalam hal ini dapat berupa hipopigmentasi (semacam panu) bercak-bercak merah, infiltrat (penebalan kulit) dan nodul (benjolan). Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Penyakit ini dapat menimbulkan ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis. Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis. Pada kornea mata akan terjadi kelumpuhan pada otot mata mengakibatkan kurang atau hilangnya reflek kedip, sehingga mata akan mudah kemasukan kotoran dan benda-benda asing yang dapat menimbulkan kebutaan. Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama sama akan menyebabkan kebutaan.

Micobakteriumleprae,bersifat (BTA) dan obligatintraselullerPATHWAY

Gangguan Citra DiriIntolerensi aktivitasKerusakan fungsi motorikmengakibatkan lemahotot kaki atau tanganRusaknya fungsi otonomberakibat terjadinya gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darahSerangan terhadap fungsi sensorikmenyebabkanlukaGangguan Rasa Nyaman, nyeriKerusakan Integritas kulitTuberkoloidDerajat imunitas rendahDerajat imunitas tinggiMenyerang sarafperifer,kulit,mukosa saluranpernafasan bagian atas

2.4 KLASIFIKASIMenurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :1. TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.2. BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )3. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran khas lesi punched out dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya.Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).4. BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).5. LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).

WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :1. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT2. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LLPerbedaan antara kusta Pause Basiler (PB) dengan Multi Basiler (MB)menurut WHONoKelainan kulit & hasil pemeriksaanPause BasilerMultiple Basiler

1Bercak (makula)a.Jumlahb.Ukuranc.Distribusid.Konsistensie.Batasf.Kehilangan rasa pada bercakg.Kehilangan berkemampuan berkeringat,berbulu rontok pada bercaka.1-5b.Kecil dan besarc.Unilateral atau bilateral asimetrisd.Kering dan kasare. Tegasf.Selalu ada dan jelasg.Bercak tidak berkeringat, ada bulu rontok pada bercaka.Banyakb.Kecil-kecilc.Bilateral, simetrisd.Halus, berkilate. Kurang tegasf.Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi pada yang sudah lanjutg.Bercak masih berkeringat, bulu tidak rontok

2Infiltrata.Kulitb.Membranamukosa tersumbat perdarahan dihidunga.Tidak adab.Tidak pernah adaa.Ada, kadang-kadang tidak adab.Ada, kadang-kadang tidak ada

3Ciri hidungcentral healingpenyembuhan ditengaha.Punched out lessib.Medarosisc.Ginecomastiad.Hidung pelanae. Suara sengau

4NodulusTidak adaKadang-kadang ada

5Penebalan saraf tepiLebih sering terjadi dini, asimetrisTerjadi pada yang lanjut biasanya lebih dari 1 dan simetris

6Deformitas cacatBiasanya asimetris terjadi diniTerjadi pada stadium lanjut

7ApusanBTA negatifBTA positif

2.5 MANIFESTASI KLINIS1. Menurut klasifikasi Ridley dan Joplinga) Tipe Tuberkoloid ( TT ) Mengenai kulit dan saraf. Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau, kontrol healing ( + ). Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal. Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.b) Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT ) Hampir sama dengan tipe tuberkoloid Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT. Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT.Biasanya asimetris. Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.c) Tipe Mid Borderline ( BB ) Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk macula infiltrate. Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT, cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oral pada bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.d) Tipe Borderline Lepromatus ( BL ) Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.e) Tipe Lepromatosa ( LL ) Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini. Distribusi lesi khas : Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.Stadium lanjutan : Penebalan kulit progresif Cuping telinga menebal Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis dan keratitis. Lebih lanjut Deformitas hidung Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi. Penyakit progresif, makula dan popul baru. Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus. Stadium lanjutSerabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.f) Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling) Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal. Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf. Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta. Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis Lidah : ulkus, nodus Larings : suara parau Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi Kelenjar limfe : limfadenitis Rambut : alopesia, madarosis Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.

2. Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal berikut:a) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.b) BTA positif. Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.

3. Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP & PL, 2007). Tanda-tanda utama atau Cardinal Sign penyakit kusta, yaitu:a) Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).b) Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer ). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa : Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan ( paralise) Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-retak.c) Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+) Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau lebih dari tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai.

2.6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK1. Inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakan mulut, bersiul, dan tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit di seluruh tubuh diperhatikan, seperti adanya makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis).2. Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba), jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin dalam tabung reaksi (rasa suhu).3. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada : n. auricularis magnus, n. ulanaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat saraf diraba.4. Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta.Klasifikasi Pause Basiler dan Multi Basiler menurut P2MPLPKelainan kulit dan hasil pemeriksaan bakteriologisTipe Pause BasilerTipe Multi Basiler

1. Bercak (makula)a. Jumlahb. Ukuran c. Distribusid. Permukaan e. Batasf. Gangguan sensitibilitas

g. Kehilangan kemampuan berkeringat, bulu rontok pada bercak2. Infiltrata. Kulitb. Membrana mukosa (hidung tersumbat pendarahan di hidung)3. Nodulus4. Penebalan syaraf tepi

5. Deformitas (cacat)

6. Sediaan apus7. ciri-ciri khusus1-5Kecil dan besarUnilateral atau bilateral asimetrisKering dan kasarTegasSelalu ada dan jelas

Bertcak tidak berkeringat, ada bulu rontok pada bercak

Tidak adaTidak pernah ada

Tidak adaLebih sering terjadi dini, asimetris

Biasanya asimetris terjadi dini

BTA negatifCentral healing penyembuhan di tengahBanyakKecil-kecilBilateral, simetrisHalus, berkilatKurang tegasBiasanya tidak jelas, jika ada, terjadi pada yang sudah lanjutBercak masih berkeringat, bulu tidak rontok

Ada, kadang-kadang tidak adaAda, kadang-kadang tidak adaKadang-kadang adaTerjadi pada yang lanjut, biasanya lebih dari satu dan simetrisTerjadi pada usia lanjutBTA positifpunched

Dikutip dan dimodifikasi dari Buku Panduan Pemberantasan Kusta Depkes (1999)Klasifikasi Pause Basiler dan Multi Basiler berdasarkan WHO (1995)Tipe Pause BasilerTipe Multi Basiler

Lesi kulit(macula datar, papul yang meninggi, nodus)

Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)

1-5 lesiHipopigmentasi/eritemaDistribusi tidak simetrisHilangnya sensasi yang jelas Hanya satu cabang saraf> 5Distribusi lebih simetrisHilangnya sensasi

Banyak cabang saraf

Dikutip dan dimodifikasi dari WHO (1995)5. Pemeriksaan BakteriologisKetentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut : Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif Kulit muka sebaiknya dihindari karena lalasan kosmetik, kecuali tidak ditemukan lesi di tempat lain Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan M. leprae ialah :a. Cuping telinga kiri/kananb. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif di tempat lainSediaan dari selaput lender hidung sebaiknya dihindari karena :a. Tidak menyenangkan pasienb. Positif palsu karena ada mikobakterium lainc. Tidak pernah ditemukan M. leprae pada selaput lendir hidung apabila sediaan apus kulit negatived. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lender hidung lebih dahulu negative daripada sediaan kulit ditempat lainIndikasi pengambilan sediaan apus kulit :a. Semua orang yang dicurigai menderita kustab. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kustac. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten terhadap obatd. Semua pasien Multi Basiler setiap satu tahun sekaliPemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu Ziehl Neelsen atau Kinyoun-gabett.Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah/ seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granular (granulates), globus, dan clamps.6. Indeks Bakteri (IB)Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus, IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut : 0 Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang +1 Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang +2 Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang +3 Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang +4 Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang +5 Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang +6 Bila > 1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang 7. Indeks Morfologi (IM)Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat. Contoh menghitung IB dan IM sebagai berikut :

Lokasi pengambilanKepadatanSolidFragmented/granulated

Daun telinga kiri Daun telinga kanan Paha kiri Bokong kanan5 +4 +4 +4+563495949796

17 +18382

2.7 PENATALAKSANAAN1. Terapi MedikTujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit.Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin dan DDs dmluai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995) sebagai berikut Tipe PBJenis obat dan dosis untuki orang dewasa :1. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas2. Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah3. DDS 100 mg/hari diminum di rumah. Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam wktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT (Released From Treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteti positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.Dosis untuk anakKlofazimin :Umur di bawah 10 tahun : Bulanan 100 mg/bulan Harian 50 mg/2 kali/minggu Umur 11-14 tahun Bulanan 100 mg/bulan Harian 50 mg/3 kali/mingguDDS : 1-2 mg/jkg berat badan Rifampisin : 10-15 mg/kg berat badan Pengobatan MDT terbaru Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998), pasien kusta tipe Pause Basiler dengan lesi hanya satu cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg, dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe Pause Basiler dengan lesi 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe Multi Basiler diberikan sebagai obat alternative dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan. Putus ObatPada pasien kusta tipe Pause Basiler yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe Multi Basiler dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

2. Perawatan Umum Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.A. Perawatan mata dengan lagophthalmos Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat Mata perlu dilindungi darikekeringan dan debuB. Perawatan tangan yang mati rasa Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda-tanda luka, melepuh Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebihkurang setengah jam Keadaan basah diolesi minyak Kulit yang tebal digosok agar tipisdan halus Jari bengkok diurut agar lurus dansendi-sendi tidak kaku Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, lukaC. Perawatan kaki yang mati rasa Penderita memeriksa kaki tiap hari Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang jam Masih basah diolesi minyak Kulit yang keras digosok agar tipisdan halus Jari-jari bengkok diurut lurus Kaki mati rasa dilindungiD. Perawatan luka Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam Luka dibalut agar bersih Bagian luka diistirahatkan daritekanan Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas

2.8 INDIKASI RUJUKANa. Memastikan diagnosis penyakit kusta b. Neuritis akut dan subakutc. Reaksi reversal beratd. Reaksi ENL berate. Komplikasi pada mataf. Reaksi terhadap antikustag. Tersangka resisten terhadap antikustah. Pasien cacat yang memerlukan rehabilitasi medici. Pasien dengan keadaan umum buruk atau daruratj. Pasien kusta yang membutuhkan latihan fisioterapik. Pasien kusta yang membutuhkan terapi okupasil. Luka lebar dan dalam pada anggota gerakm. Pasien kusta yang menbutuhkan tindakan bedah septicn. Pasien yang memerlukan proteseo. Indikasi social

2.9 KOMPLIKASICacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.

2.10 PENCEGAHANHingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara teratur. Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan.Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab. Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan demikian penting sekali agar petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan pengajaran bahwa : Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan

2.11 REHABILITASIUsaha-usaha rehabilitasi meliputi medis, okupasi, dan sosial. Usaha medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, fungsinya dapat diperbaiki. Lapangan pekerjaan dapat diusahakan untuk pasien kusta yang sesuai dengan cacat tubuh. Tetapi kejiwaan berupa bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada setiap pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk memberikan dorongan dan semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh sacara medis. Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan fungsi sosial ekonomi pasien sehingga menunjang kemandiriannya dengan memberikan bimbingan sosial dan peralatan kerja, serta membantu pemasaran hasil usaha pasien.

BAB IIIKONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIANA. Biodata Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obatyang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dantingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.B. Riwayat Penyakit Sekarang Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis(nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demamringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.C. Riwayat Kesehatan Masa LaluPada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudahmendapat imunisasi.D. Riwayat Kesehatan KeluargaMorbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.E. Riwayat Psikososial Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep dirikarena penurunan.F. Pola Aktivitas Sehari-hari Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klienmengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinyayang tidakmemungkinkan.

G. Pemeriksaan FisikKeadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.1. Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.2. Sistem pernafasanKlien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan.3. Sistem persarafan:v Kerusakan fungsi sensorikKelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.v Kerusakan fungsi motorikKekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).v Kerusakan fungsi otonomTerjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.4. Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.5. Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

Harus diperiksa kelenjar regional karena dapat ditemukannya pembesaran dari beberapa limfe. 1. InspeksiKaji adanya ruam, hipo pigmentasi atau hiprpigmentasi sert eritematosa.dengan permukaan yang kasar atau licin dengan batas yang kurang jelas. Pada tipe tuberkuloid dapat ditemukan gangguan saraf kulit. Yang disrtai dengan penebalan syaraf, adanya nyeri tekan akibat adanya jarinagn fibrosa, anhidrisi, dan kerontokan rambut.pada tipe lepromatus , dijumpai hidung pelana dan wajah singa. Selain itu kaji juga adanya kelainan otot berupa artrofi disuse otot yang ditandai dengan kelumpuhan otot otot.Diikutui adanya kekakuan sendi atau kontraktur sehingga terjadi clow hand, drop foot, dan drop hand. Kaji juga adanya osteomilitis serta pemendekan kerusakan tulang. Kaji pula kelainan mata akibat kelumpuhan. Inspeksi mata kering kereatitis ulkus kornea iritis iridoksiklitik dan berakhir dengan kebutaan. Kaji adanya ginekomastia. 2. PalpasiTemukan adanya penebalan serabut syaraf, makula anastetika, pada tipe T, dan makula non anastetika pada tipe L. Serta permukaan yang kering dan kasar. Lakukan pemeriksaan sederhana, untuk menunjang kepastian diagnosis penyakit kusta serta untuk mengetahui adanyaanastesia pada lesi.a. Uji kulit. Uji ini paling sering dilakukan dan cara mudahnya sehingga semua petugas dapat melakukannya, penggunaan jarum untuk untuk mengetahui adanya asa sakitdilakukan dengan meminta pasien menyebutkan area yang lbih terasa nyeri. Serta kaji adanya rasa pada kulit dengan adanya rasa jika disentuh kapas atau bulu ayam. Jika tidak bisa, gunakan juga reaksi suhu.b. Uji keringat, biasanya akan ditemukan anhidrosis karena rusaknya kelenjar keringat, uji ini dilakukan dengan menggores lesi dengan pinsil tinta mulai dari beberapa cm dari arah dalam keluar. Hasilnya akan terjadi perubahan warna ungu sedangkan di area lesi tidak.c. Uji lepromin, untuk menentukan diagnosis dan klasifikasi penyakit kusta. Tipe 1,T dan BT: uji lepromin positif. Tipe BB, BL, LL: uji lepromin negatif.

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.2. Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan proses inflamasi jaringan.3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.4. Gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan kecacatan dan kehilangan fungsi tubuh.

3.3 INTERVENSINoDiagnosaNOCNIC

1Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasiNOC : Tissue integrity : skin and mucous membranes Wound healing: primary and secondary intention

Kriteria hasil : Klien mampu mengidentifiksi tentang keadaan kulitnya saat ini. Klien mampu mengungkapkan tenteng perubahan kulit yang terjadi pada dirinya. Klien mampu mendemonstrasikan yang dianjurkan oleh perawat mengistirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan. Menunjukkan regenerasi jaringan, mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi.

NIC : Wound Care1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi3. Bersihkan lesi dengan sabun pada waktu direndam4. Anjurkan klien untuk mengistirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan5. Kolaborasi dengan TIM Medis dalam mengevaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada jaringan sekitar

NoDiagnosaNOCNIC

2Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan proses inflamasi jaringan.NOC : Pain control Pain level

Kriteria hasil :setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilangNIC :Pain Management1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri 2. Observasi tanda-tanda vital3. Ajarkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi4. Anjurkan pasien mengatur posisi senyaman mungkin5. kolaborasi dengan TIM Medis untuk pemberian analgesik sesuai indikasi

NoDiagnosaNOCNIC

3.Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik

NOC : Toleransi aktivitas Self care: ADLs

Kriteria hasil: Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari Kekuatan otot penuhNIC : Activity/Exercise

1. Observasi TTV2. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman3. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit4. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian aktif5. Anjurkan keluarga/orang yang terdekat untuk memberi dukungan dan bantuan latihan6. kolaborasi dengan TIM Medis dalam menjadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode istirahat

NoDiagnosaNOCNIC

4Gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan kecacatan dan kehilangan fungsi tubuh.

NOC : Body Image Self esteem

Kriteria hasil:1. Pasien menyatakan penerimaan situasi diri2. Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negative

NIC : Body image enhancement1. Kaji makna perubahan pada pasien2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku menarik diri.3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan yang salah4. Anjurkan pada keluarga untuk memberikan kelompok pendukung untuk pasien.5. Kolaborasi dengan TIM Medis dalam memberikan penguatan positif.

3.4 IMPLEMENTASIPada kegiatan implementasi, perawat perlu melakukan kontrak sebelumnya ( saat mensosalisasikan diagnosis keperawatan ) untuk pelaksanaan yang meliputi kapan di laksanakan, berapa lama waktu yang di butuhkan, materi /topik yang di diskusikan, siapa yang melaksanakan, anggota keluarga yang perlu mendapat informasi. ( sasaran langsumg implementasi ), dan peralatan yang perlu di siapkan keluarga. Kegiatan ini bertujuan agar keluarga dan perawat mempunyai kesiapan secara fisik dan psikis pada saat implementasi.Implementasi merupakan aktualisasi dari perencanaan yang telah di susun sebelumnya. Prinsip yang mendasari implementasi keperawatan keluarga antara lain :1. Implementasi mengacu pada rencana keperawatan yang di buat.2. Implementasi di lakukan dengan tetap memperhatikan prioritas masalah3. Kekuatan-kekuatan keluarga berupa finansial, motivasi, dan sumber-sumber pendukung lainya jangan di abaikan.4. Pendokumentasian implementasi keperawatan keluarga janganlah terlupakan dengan mensertakan tanda tangan petugas sebagai bentuk tanggung jawab profesi.Ada 3 tahap dalam tindakan keperawatan keluarga yaitu :1. Tahap persiapan meliputi kegiatan-kegiatan :a. Kontrak dengan keluargab. Mempersiapkan peralatan yang di perlukanc. Mempersiapkan lingkungan yang kondusifd. Mengidentifikasi aspek-aspek hukim dan etik2. Tahap 2 : IntervensiTindakan keperawatan keluarga berdasarlkan kewenangan dan tanggung jawab perawat secara profesional adalah :a. Independent adalah suatu kegiatan yang di laksanakan oleh perawat sesuai dengan kompetisi keperawatan tanpa petunjuk dan perintah dari tenaga kesehatanb. Interdependent adalah suatu kegiatan yang memerlukan suatu kerja sama tenaga kesehatan lainya.3. Tahap 3 : Dokumentasi

3.5 EVALUASITahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan keluarga dengan tujuan yang telah di tetapkan, di lakukan dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainya. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan keluarga dalam mencapai tujuan.Tahapan EvaluasiTahapan evaluasi di bagi dalam 2 jenis menurut Setiadi ( 2008 ) yaitu :1. Evaluasi Berjalan ( sumatif )Evaluasi jenis ini di kerjakan dalam bentuk pengisian format catatan perkembangan dengan berorientasi kepada masalah yang di alami oleh keluarga. Format yang di pakai adalah format Subjektif, Objektif2. Evaluasi ( Formatif )Evaluasi jenis ini di kerjakan dengan cara membandingkan antara tujuan yang akan di capai. Bila terdapat kesenjangan antara keduanya, mungkin semua tahap dalam proses keperawatan perlu di tinjau kembali, agar data-data, masalah atau rencana yang perlu dimodifikasi.Evaluasi di susun dengan menggunakan SOAP yang operasional :S : ungkapan dan perasaaan dan keluhan yang di rasakan secara subjektif oleh keluarga setelah implementasi keperawatanO :keadaan objektif yang dapat di defenisikan oleh perawat menggunakan pengamatan yang objektif setelah implementasi keperawatanA : Analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objekti keluarga yang di bandingkan denagn kriteria dan standar yang telah mengacu pada tujuan pada rencana keperawatan keluargaP : Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis

BAB IVPENUTUP

3.1 KESIMPULANKusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman micobakterium leprae.Kusta dibagi dalam 2 bentuk, yaitu kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)-kusta bentuk basah (tipe lepromatosa). Micobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluller,menyerang saraf perifer,kulit,dan organ lain,seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati, sumsum tulang, kecuali susunan saraf pusat. Micobakterium leprae masuk kedalam tubuh manusia, jika orang tersebut memiliki respon imunitas yang tinggi maka kusta akan lebih mengarah pada tuberkuloid, namun jika respon imunitas dari tubuh orang tersebut rendah maka kusta akan lebih mengarah pada lepromatosa.Manifestasi klinik dari penderita kusta adalah adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.Dalam memeberikan asuhan keperawatan pada klien kusta yang perlu dilakukan adalah malakukan pengkajian, pemeriksaan fisik, manentukan diagnosa keperawatan,kemudian memberikan tindakan perawatan yang komprehensip.

3.2 SARANUntuk menanggulangi penyebaran penyakit kusta, hendaknya pemerintah mengadakan suatu program pemberantasan kusta yang mempunyai tujuan sebagai penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan matarantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lainuntuk menurunkan insiden penyakit.Hendaknya masyarakat yang tinggal didaerah yang endemi akan kusta diberikan penyuluhan tentang,cara menghindari,mencegah,dan mengetahui gejala dini padakusta untuk mempermudah pengobatanya.. Karena di dunia kasus penderita kusta juga masih tergolong tinggi maka perlu diadakanya penelitian tentang penanggulangan penyakit kusta yang efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Amin. 2013. Askep Kusta. http://amienselalutersenyum.blogspot.com/2013/06/askep-kusta.html. Diakses pada tanggal 09 Oktober 2014 pukul 12:00 WibDoctherman, Joanne McCloskey dan Gloria N. Bulecheck.2004.Nursing Interventions Classification (NIC) Fifth Edision.USEMoorhead, Sue dkk.2004.Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth Edision.USENanda Internasional.2011. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta : EGCTua, paian. 2010.Asuhan Keperawatan Morbus Hansen. http:///G:/Morbus HANSEN/ASUHAN KEPERAWATAN STIKES BORROMEUS.htm#8132174575887535. Diakses pada tanggal 09 Oktober 2014 pukul 11:57 WibUtomo, budi. 2011. Askep Morbus Hansen. http:///G:/Morbus%20HANSEN/Be%20Positive%20Nurse%20%20ASKEP%20Morbus%20Hansen%20%28%20Kusta%29.htm#7376901208304817 . Diakses pada tanggal 09 Oktober 2014 pukul 11:50 Wib

Page | 8