Upload
edward-wijaya
View
158
Download
15
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN KASUS
MODUL HUKUM AGAMA DAN MORAL
“Seorang Pasien Yang Menolak Pengobatan”
KELOMPOK 6
030.07. 198 Olga Ayu Pratami
030.08. 218 Rifqa Wildaini
030.09. 016 Andreas Ronald Barata s
030.09. 017 Andreas Surya
030.09.018 Andri Changat
030.09.019 Angelia Elisabeth Mambu
030.09.021 Angelina Goenawan
030.09.082 Fanny Isyana Fardhani
030.09.084 Febrian Tan Jaya
030.09.085 Febriani Muldiati
030.09.086 Fenni Cokro
030.09.087 Fhiserra Kusuma Primadha
030.09.134 Lailil Indah Seftiana
030.09.135 Laksmi Putri Ayukinati
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pelaksanaannya, dunia kedokteran berpegang teguh kepada empat
kaidah dasar moral (moral principles) yaitu: otonomi berarti setiap tindakan medis
haruslah memperoleh persetujuan dari pasien, beneficence berarti setiap tindakan
medis harus ditujukan untuk kebaikan pasien, non-maleficence berarti setiap tindakan
medis harus tidak boleh memperburuk keadaan pasien, dan justice berarti bahwa sikap
atau tindakan medis harus bersifat adil.
Persetujuan yang berdasarkan pengetahuan merupakan salah satu konsep inti
etika kedokteran saat ini. Hak pasien untuk mengambil keputusan mengenai
perawatan kesehatan mereka telah diabadikan dalam aturan hukum dan etika di
seluruh dunia. Deklarasi Hak-hak Pasien dari World Medical Association
menyatakan:
“Otonomi pasien adalah salah satu hak pasien yang mendasar oleh karena
berkaitan dengan hak asasi dalam memperoleh perlindungan atas integritas tubuhnya.
Pasien mempunyai hak untuk menentukan sendiri, bebas dalam membuat keputusan
yang menyangkut diri mereka sendiri. Dokter harus memberi tahu pasien konsekuensi
dari keputusan yang diambil.“
Pasien dewasa yang sehat mentalnya memiliki hak untuk memberi izin atau tidak
memberi izin terhadap prosedur diagnosa maupun terapi. Pasien mempunyai hak
untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusannya.
Pasien harus paham dengan jelas apa tujuan dari suatu tes atau pengobatan, hasil apa
yang akan diperoleh, dan apa dampaknya jika menunda keputusan.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Skenario 1
Ny. S 35 tahun datang berobat ke sebuah klinik bedah dengan keluhan utama
tidak dapat buang air kecil. Setiap kali ingin BAK perlu ditolong dengan memakai
kateter. Setelah dilakukan pemeriksaan lengkap termasuk dengan kolonoskopi,
ditemukan adanya tumor pada daerah kolon yang mendesak vesika urinaria sehingga
mengakibatkan kesulitan BAK. Dokter menganjurkan untuk dilakukan tindakan
pembedahan pengangkatan tumor mengingat tumornya belum seberapa besar. Ny. S
dan keluarga setuju dengan saran dokter dan menandatangani informed consent.
Saat pembedahan dilakukan, dokter menemukan banyak terjadi perlengketan
dan ternyata karsinoma primernya ada pada ovarium sebelah kiri. Dihadapkan pada
kenyataan yang ada pada saat itu dan kondisi pasien yang tampak melemah, dokter
segera memutuskan untuk melakukan reseksi kolon dan mengangkat ovariumnya
tanpa konsultasi dulu dengan dokter obgyn.
Setelah operasi, kondisi pasien tampak membaik dan dokter segera
memberikan kemoterapi serta penyinaran. Akibat efek samping kemoterapi dan
penyinaran itu, Ny. S merasakan penderitaan yang luar biasa, tidak bisa makan karena
sangat mual dan nyeri yang kadang hampir tidak tertahankan.
Ny. S akhirnya mengambil keputusan untuk menolak terapi apapun dan
memilih tinggal dirumah bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa penyakitnya
tidak bisa diobati dan hidupnya tidak lama lagi.
Skenario II
Sikap Ny. S yang menolak semua terapi dari dokter berdampak pada kondisi
fisiknya yang semakin kurus. Atas saran teman-temannya dan juga desakan keluarga,
Ny. S lalu mencoba berobat ke pengobatan alternative. Ramuan “jamu” dari
pengobatan alternative ternyata tidak memberikan perbaikan pada kondisi
2
kesehatannya. Kondisi Ny. S semakin parah dan sekarang malah sering merasakan
sakit yang luar biasa yang hampir tidak tertahankan. Melihat keadaan Ny. S,
suaminya lalu minta bantuan dokter didekat rumahnya untuk mengatasi rasa sakitnya.
Dokter lalu memberikan suntikan morfin. Akibat suntikan itu, Ny. S tertidur dan
kelihatannya rasa sakitnya bisa diredakan. Namun setelah efek morfin itu hilang, Ny.
S tampak kembali kesakitan sehingga dokter terpaksa harus memberikan suntikan
morfin beberapa kali dengan dosis yang semakin bertambah. Pada akhirnya nyawa
Ny. S tidak dapat dipertahankan, ia akhirnya meninggal.
3
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Status Pasien
Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Usia : 35 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : -
Status : Menikah
Pekerjaan : -
Tanda Vital
Kesadaran : -
Tekanan darah : -
Nadi : -
Pernapasan : -
Suhu : -
Keluhan Utama : Tidak dapat buang air kecil
Riwayat Penyakit Dahulu : -
Riwayat Penyakit Keluarga: -
3.2. Daftar Masalah
Daftar masalah Dasar Penjelasan
Ny. S Menderita tumor di kolon
yang menyebabkan sulit
buang air kecil kemudian saat
Hasil
pemeriksaan
dokter
Sangat mempengaruhi persepsi
pasien mengenai penyakitnya.
Pasien merasa sakit parah dan
4
dilakukan operasi, ditemukan
tumor primer di ovarium kiri.
penyakitnya tidak dapat
disembuhkan
Tindakan reseksi kolon dan
pengangkatan ovarium tanpa
konsultasi
Tindakan dokter
bedah
Menurut sisi medis dan moral,
tindakan yang dilakukan dokter
ini bertujuan baik demi
kebaikan pasien. Namun,
sebaiknya dokter memberikan
penjelasan akan tindakannya ini
kepada keluarga pasien setelah
operasi selesai. Ada pula
kemungkinan bahwa keluarga
pasien dapat menjadikan hal ini
sebagai perkara.
Komunikasi yang kurang baik Riwayat
pemeriksaan
oleh dokter
Komunikasi merupakan elemen
penting dalam setiap hubungan
dokter-pasien. Komunikasi
yang salah dan buruk dapat
berdampak buruk bagi kedua
belah pihak. Pada kasus ini
dokter seharusnya sigap dan
empati terhadap penderitaan
pasien dan berusaha
mengurangi penderitaannya.
Komunikasi buruk dapat
berdampak pada penolakan
terapi dan sederet masalah
lainnya.
Penyuntikan morfin Hasil
pemeriksaan
dokter di dekat
rumah
Menurut kelompok kami,
indikasi dan pemberian
mungkin sudah tepat, namun
dibutuhkan edukasi dan
pengawasan yang ketat akan
5
efek samping pemberian
morfin. Perlu juga ditelusuri
mengenai cascade anti nyeri
dalam menangani kasus kanker
stadium akhir.
Terapi alternatif yang sia-sia Hasil anamnesis Pasien berusaha mendapatkan
pengobatan dengan jamu namun
tidak mendapat hasil dan
kondisinya semakin memburuk.
Dokter sebaiknya mengedukasi
mengenai terapi alternative
dengan benar agar pasien tidak
membahayakan dirinya sendiri.
Paliatif care Hasil
pemeriksaan
Dapat dilakukan untuk
meningkatkan kualitas hidup
pasien. Dilaksanakan melalui
ilmu interdisiplin. Sebaiknya
juga melibatkan rohaniwan
sesuai dengan kepercayaan
pasien. Dipandang dari segi
bioetik juga baik sebab
mengutamakan prinsip
beneficience.
3.3. Perspektif hukum
A. Perluasan Operasi
Pada pasal 7 PerMenKes No.585/MenKes/Per/IX/1989 disebutkan bahwa:
(1) Informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan operasi.
(2) Perluasan operasi ang tidak dapat diduga sebelumnya, dapat dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa pasien.
6
(3) Setelah perluasan operasi sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan, dokter
harus memberikan informasi kepada pasien atau keluarganya.1
→ Pada kasus ini, diketahui bahwa saat pembedahan dilakukan, dokter menemukan
banyak perlengketan dan ternyata karsinoma primernya ada pada ovarium kiri. Pada
keadaan ini, perluasan operasi dapat dilakukan karena dihadapkan pada kenyataan
yang ada saat itu dan kondisi pasien yang tampak melemah. Namun yang sangat
disayangkan, bagaimana bisa terjadi hal seperti ini, seharusnya dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang lain seperti USG sebelum dilakukan operasi agar tidak terjadi
kesalahan diagnosis. Dalam hal ini, seperti yang tercantum pada ayat ke (3), dokter
harus memberikan informasi kepada pasien atau keluarganya mengenai perluasan
operasi yang telah dilakukan.
B. Penolakan Tindakan Medis Oleh Pasien
Pada Declaration of Lisbon (1981) : The Rights of the Patient disebutkan beberapa
hak pasien, diantaranya hak memilih dokter, hak dirawat dokter yang “bebas”, hak
menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi, hak atas
kerahasiaan, hak mati secara bermartabat, dan hak atas dukungan moral atau
spiritual.2
Dalam UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 53 menyebutkan beberapa hak
pasien, yakni hak atas informasi, hak atas second opinion, hak atas kerahasiaan, dan
hak atas persetujuan tindakan medis.
Menurut UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 4-8 disebutkan setiap
orang berhak atas kesehatan; akses atas sumber daya; pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu dan terjangkau; menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang
diperlukan; lingkungan yang sehat; info dan edukasi kesehatan yg seimbang dan
bertanggung jawab; dan informasi tentang data kesehatan dirinya. Hak-hak pasien
dalam UU No. 36 tahun 2009 itu diantaranya meliputi:
1. Hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh pertolongan (kecuali tak
sadar, penyakit menular berat, gangguan jiwa berat).
7
2. Hak atas rahasia pribadi (kecuali perintah UU, pengadilan, izin ybs,
kepentingan ybs, kepentingan masyarakat).
3. Hak tuntut ganti rugi akibat salah atau kelalaian (kecuali tindakan
penyelamatan nyawa atau cegah cacat).
Selain itu, dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan (Perlindungan Pasien)
Pasal 56 disebutkan:
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami
informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam
masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.3
→ Pada kasus diketahui bahwa setelah operasi, kondisi pasien tampak membaik dan
dokter segera memberikan kemoterapi serta penyinaran. Akibat efek samping
kemoterapi dan penyinaran itu, Ny. S merasakan penderitaan yang luar biasa, tidak
bisa makan karena mual dan nyeri yang kadang-kadang hampir tidak tertahankan.
Ny. S akhirnya mengambil keputusan untuk menolak terapi apa pun dan memilih
tinggal di rumah bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa penyakitnya tidak bisa
diobati dan hidupnya tidak akan lama lagi. Berdasarkan ketentuan hukum yang telah
tersebut di atas, seorang dokter wajib memberikan penjelasan mengenai segala
tindakan medis yang akan dilakukan pada pasien, namun Ny. S berhak untuk
memilih atau menghentikan pengobatan baginya. Dalam hal ini, dokter tidak bisa
memaksakan keputusan pasien, namun dokter dapat memberikan penjelasan ulang
tentang apa yang akan terjadi apabila pasien menolak pengobatan, serta memberikan
8
second opinion pada pasien. Jika memungkinkan, dapat pula disarankan pada pasien
dan keluarganya untuk mendapatkan pelayanan perawatan paliatif.
C. Paliatif Care
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization; WHO) memberikan definisi
perawatan paliatif sebagai berikut (2005):
Paliative Care is an integrated system of care that: improves the quality of life, by
providing pain and symptom relief, spiritual and psychosocial support from diagnosis
to the end of life and bereavement.
(Perawatan paliatif adalah sistem perawatan terpadu yang meningkatkan kualitas
hidup, dengan meringankan nyeri dan penderitaan lain, memberikan dukungan
spiritual dan psikososial mulai saat diagnosa ditegakkan sampai akhir hidup, dan
dukungan terhadap keluarga yang merasa kehilangan).
perawatan paliatif merupakan bentuk pelayanan kesehatan yang relatif baru di
Indonesia. Kebijakan perawatan paliatif ini baru dicanangkan pemerintah, dalam hal
ini Departemen Kesehatan Republik Indonesia, dengan diterbitkannya SK Menkes RI
nomor 604/MENKES/SK/IX/1989. Sedangkan pelayanan perawatan paliatif untuk
masyarakat baru dimulai pada tanggal 19 Februari 1992.
→ pada pasien ini, dimana telah mengalami kanker stadium lanjut karena diketahui
telah terjadi penyebaran dari kanker primernya dan menolak untuk mendapatkan
pengobatan, sebenarnya mungkin dapat disarankan untuk mengikuti paliatif care
sebagai second opinion untuk meningkatkan kualitas hidup serta meringankan
penderitaannya. Selain itu, dapat pula memberikan dukungan pada keluarga melalui
pelayanan ini.
3.4. Perspektif Bioetika
1. Dokter bedah mengangkat tumor ovarium tanpa konsultasi ahli Obstetri
dan Ginekologi
Penjelasan dari sudut pandang bioetika:
9
Secara bioetika seorang dokter bedah yang melakukan perluasan operasi tanpa
mengkonsultasikan terlebih dahulu kepada yang lebih berkompeten dapat
dibenarkan apabila tujuannya adalah untuk menegakkan asa beneficence dan
nonmaleficence. Dalam sudut pandang beneficence, dokter akan melakukan segala
sesuatu demi kebaikan pasien sehingga yang telah dilakukan dokter adalah baik
menurut etika karena pada saat itu gangguan kausatif ( tumor primer ) Ny. S adalah
pada ovarium kirinya sehingga demi kesembuhan Ny. S seharusnya ovarium kiri
harus diangkat
Menurut aspek non maleficence (do no harm), maka tindakan pengangkatan
ovarium kiri yang dilakukan dokter bedah tersebut adalah baik karena apabila
dokter bedah harus menutup kembali luka operasi demi kepentingan untuk
mengkonsultasikan dan memeriksakan Ny. S terlebih dahulu kepada ahli Obstetri
dan Ginekologi, maka ini akan merugikan pasien dari segi waktu, luka operasi, dan
biaya karena operasi harus dilakukan dua kali.
Pandangang etika menyatakan tindakan dokter bedah tersebut buruk apabila
setelah perluasan operasi yang dilakukan, dokter bedah tidak memenuhi aspek
otonomi pasien dan justice bagi pasien. Sehingga untuk memenuhi aspek tersebut,
maka komunikasi post operasi menjadi sesuatu yang penting dan jangan sampai
diabaikan.
2. Penolakan kemoterapi dan radioterapi
Tindakan Ny. S melakukan penolakan kemoterapi dan radioterapi dipandang
buruk dalam sudut pandang etika. Hal ini dikarenakan etika berpandangan bahwa
apabila Ny. S menolak melakukan terapi yang seharusnya dapat berhasil karena
tumor primer yang ada telah diangkat tetapi malah menolaknya, maka hal ini akan
berdampak pada pembiaran diri untuk meninggal perlahan seperti yang terjadi
pada eutanasia pasif atau bunuh diri.
Solusi yang terbaik adalah memberikan edukasi dan komunikasi, serta
pendekatan yang lebih komprehensif dan holistik dari aspek biopsikososial dan
kulturan yang dilakukan oleh dokter, keluarga, dan pemuka agama untuk
memperbaiki persepsi pasien sehingga pasien memiliki motivasi tinggi untuk
mejalankan pengobatan dan sembuh.
10
3. Persepsi pasien akan penyakit yang tidak bisa diterapi lagi
Persepsi pasien akan penyakit yang tidak bisa diterapi lagi sesungguhnya
merupaka hak otonomi pasien, menurut sudut pandang bioetika. Namun, hal ini
dipandang buruk secara etika karena berdasarkan etika teleologi yang berpegang
teguh pada hasil yang didapatkan akibat perbuatan pasien tersebut, maka akan
berakibat pada penyerahan diri kepada kematian yang seharusnya bisa ditunda
apabila pasien mau menjalankan terapi sebagaimana mestinya sesuai prosedur
yang ada.
4. Pengobatan alternatif yang menjadi pengobatan sia-sia
Secara deontologi, maka pengobatan alternatif adalah baik adanya karena
tujuannya adalah untuk menolong orang yang sakit, tetapi hal ini dipandang buruk
oleh etika karena dalam pandangan teleologi, hasil yang didapatkan oleh Ny. S
melalui pengobatan alternatif tidak ada dan cenderung memperburuk keadaan Ny.
S karena penyakit Ny. S yang tidak terobati oleh terapi alternatif tersebut. Hal ini
mengakibatkan terjadinya pengobatan sia-sia yang merugikan Ny. S sehingga
aspek beneficence dan nonmaleficence tidak terpenuhi.
5. Terapi palliative dengan morphin
Pada dasarnya tujuan dokter memberikan terapi palliative dengan morphin
adalah untuk mengurangi rasa sakit Ny. S karena dokter bermaksud untuk
melakukan yang terbaik demi pasien, seperti yang tercermin dalam praktik
beneficence menurut bioetika. Hal ini menjadi baik menurut etika. Namun, akan
menjadi buruk menurut etika apabila dokter dalam pemberian morphin pada Ny. S
tidak memberikan edukasi yang adekuat kepada keluarga Ny. S mengenai efek
samping yang mungkin timbul akibat pemberian morphin tersebut, pemberian
morphin tidak sesuai indikasi, tidak melakukan pemantauan berkala terhadap Ny.
S setelah pemberian morphin. Hal demikian berarti dokter melanggar prinsip
otonomi pasien, beneficence, non maleficence dan justice.
11
3.5 Perspektif Kedokteran
Perspektif kedokteran dapat dimasukkan dalam pandangan kedokteran
terhadap tindakan dokter bedah dalam perluasan operasi, edukasi yang diberikan
dalam kemoterapi dan radioterapi, terapi alternative, pemberian analgetik pada
pengobatan paliatif
a. Tindakan perluasan operasi
seharusnya dokter bedah menyadari kompetensinya pada saat akan
melakukan perluasan operasi pada tumor primer ovarium kiri. Tumor
primer ditemukan saat operasi dilakukan sehingga pengangkatan
ovarium kiri tidak tercantum dalam informed consent yang telah
dilakukan pada preoperative sehingga diperlukan pendapat dari dokter
obstetric dan ginekologi sebelum dilakukan pengangkatan. Konsultasi
seharusnya dilakukan sehingga menghindarkan dokter bedah tersebut
dari tindakan yang tidak sesuai dengan SOP yang legal
b. KIE dalam kemoterapi dan radioterapi
Pola hubungan dokter pasien sangat memegang peranan dalam
keadaan tersebut. Collegial model menjadi pola hubungan dokter
pasien yang paling dapat diterima. Seharusnya diperlukan adanya
praktisi interdisisplin yang terdiri dari ahli bedah, ahli onkoloh,
psikiater, dan dokter keluarga yang dengan komunikasi persuasive dan
penuh pengertian sehingga dapat memberikan perspektif yang baik
bagi persepsi pasien
c. Terapi alternative
Untuk kasus penyakit yang berat dan membahayakan nyawa
seharusnya tidak dilakukan terapi alternative. Terapi yang dilakukan
seharusnyaterapi komplementer. Dokter seharusnya menjelaskan
kepada pasien dan keluarga mengenai terapi konvensional dan
komplementer yang harus atau dapat dipilih oleh pasien berdasarkan
EBM atau RCT yang telah teruji efektivitasnya
12
d. Pemberian analgetik pada terapi alternative
Seharusnya dokter tidak langsung memberikan morphin karena
morphin merupakan golongan narkotika yang merupakan pilihan
terakhir penghilang rasa nyeri apabila obat analgetik seperti OAINS,
steroid, dan opiat tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinyauntuk
menghilangkan rasa nyeri pada penyakit Ny.S
3.6. Pandangan Agama
a. Islam
Dalam pandangan Islam, penyakit merupakan cobaan yang diberikan Allah
SWT kepada hamba-Nya untuk menguji keimanannya. Ketika seseorang sakit
disana terkandung pahala, ampunan dan akan mengingatkan orang sakit kepada
Allah SWT. Aisyah pernah meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
'Tidak ada musibah yang menimpa diri seorang muslim, kecuali Allah
mengampuni dosa-dosanya, sampai-sampai sakitnya karena tertusuk duri
sekalipun" (H.R. Buchari).
Allah SWT menciptakan cobaan antara lain untuk mengingatkan manusia
terhadap rahmat-rahmat yang telah diberikan-Nya. Allah SWT memberikan
penyakit agar setiap insan dapat menyadari bahwa selama ini dia telah diberi
rahmat sehat yang begitu banyak. Namun kesehatan yang dimilikinya itu sering
kali di abaikan, bahkan mungkin disia-siakan. Padahal ia mempunyai harga yang
sangat bernilai tiada tolak ukur dan bandingannya.
Disamping itu, sakit juga digunakan oleh Allah SWT untuk memperingatkan
manusia atas segala dosa-dosa dan perbuatan jahatnya selama hidup di dunia.
Kalau dahulu seorang insan yang banyak berbuat kesalahan tidak berfikir tentang
dosa dan pahala, maka disaat sakit biasanya manusia teringat akan dosa-dosanya
sehingga ia berusaha untuk bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah SWT.
13
Konsep-konsep pengobatan dalam islam
1. Keyakinan
Ketika seseorang sakit, ia harus sangat meyakini bahwa sakit yang dialaminya
tersebut berasal dari Allah SWT, dan Allah juga yang akan
menyembuhkannya. Seperti dalam firman Allah :
“Dan apabila aku sakit, dialah yang menyembuhkan aku” (Asy-Syu’araa
[36]:80)
Di samping itu ada juga hadist yang berbunyi “Lii Kulli Daa In Dawaun” yang
artinya “Setia penyakit ada obatnya”. Seseorang yang menderita suatu
penyakit haruslah mempunyai keyakinan yang sangat kuat bahwa semua
penyakit pasti ada obatnya.
2. Menggunakan obat yang halal dan dan Thoyyib
“sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obatnya, dan menjadikan
setiap penyakit pasti ada obatnya. Maka berobatlah kalian, tapi jangan dengan
yang haram” (Riwayat Abu Dawud).
Konsep kedua dalam pengobatan islam adalah adalah menggunakan obat yang
halal dan thoyyib.
3. Tidak membawa mudharat dan mencacatkan tubuh
Dalam pengobatan islam, kita dianjurkan untuk tidak melakukan pengobatan
yang kiranya pengobatan tersebut membawa kemudharatan yang justru
menimbulkan masalah baru bagi seseorang.
4. Tidak berbau takhayul, bid’ah, dan kurafat
Ketiga hal diatas wajib dihindari karena dapat mengakibatkan pelakunya jatuh
dalam jurang kekafiran.
5. Mencari yang lebih baik
Seseorang dianjurkan untuk terus berikhtiar sampai penyakit itu sembuh atas
izin Allah.
14
6. Ikhlas, sabar, dan bertawakal
Konsep –konsep yang telah disebutkan diatas hendaknya dapat diterapkan oleh
pasien sendiri yang tertimpa penyakit, maupun oleh dokter sendiri dalam
menghadapi dan menyikapi penyakit pasiennya.
Pandangan islam tentang perawatan paliatif
Dalam islam, ada salah satu layanan Hu Care atau “Husnul Khatimah Care”
yang merupakan pengembangan perawatan paliatif yang sudah dikenal sebagai sistem
perawatan terpadu. Tujuannya meningkatkan kualitas hidup dengan cara meringankan
nyeri dan penderitaan lainnya.
Memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosa
ditegakkan sampai akhir hayat. Termasuk dukungan pada keluarga yang kehilangan.
Program ini sekaligus menjawab kebutuhan pasien dan keluarganya dalam
mempersiapkan akhir hidup yang baik dengan mengintegrasikan nilai-nilai Islam.
Terutama dalam hal memahami konsep sehat-sakit, ikhtiar-tawakal, keyakinan-
amalan yang bermanifestasi pada sikap dan perilaku pasien. Unsur utama meraih
husnul khatimah dalam pelayanan Hu Care adalah pasien dapat menerima takdir
sakitnya.
Pengobatan alternatif menurut pandangan islam
Islam memperbolehkan pengobatan alternatif asalkan itu tidak menggunakan
bahan yang haram ataupun seseuatu yang menuju kearah musyrik. Memanfaat
suatu benda untuk penyembuhan dengan mempercayai benda tersebut dapat
membawa kesembuhan pada dirinya termasuk sesuatu yang musyrik,
(contoh:jimat)
o “Barang siapa yang menggantungkan jimat, berarti ia telah melakukan
perbuatan syirik.” (HR. Ahmad dan Hakim). Artinya, menggantungkan jimat
dan hatinya bergantung kepadanya berarti berbuat syirik.
o Ungkapan abadi dari Abu Qurath 4500 tahun yang lalu : “jadikanlah
makananmu sebagai obatmu dan obatilah setiap penderitaan dengan nabati
yang tumbuh di bumi, karena nabati itulah yang paling pantas untuk
menyembuhkan.
15
b. Hindu
Penyakit itu datang dari dalam maupun dari luar diri sendiri. Menurut ajaran
Hindu, Bhuwana Agung atau Alam Raya maupun Bhuwana Alit atau Alam Kecil
(Badan Manusia) terdiri dari lima unsure utama yaiyu aksa (leher), wayu (udara),
teja (api), apah (air), pertiwi (tanah). Kalau kelima unsur ini tidak seimbang baik
dari dalam maupun dari luar maka akan menyebabkan penyakit.
“Bahwa yang menyebabkan seseorang sakit adalah tidak adanya harmoni
pada diri perseorangan dalam hubungannya dengan lingkungan luarnya dan obat
adalah alat untuk mengembalikan harmoni ini”.
Penderitaan
Penderitaan dan kesukaran hidup yang dialami manusia memiliki dimensi
yang luas. " Penderitaan dipandang sebagai penderitaan, maka " penderitaan " akan
tetap sebagai penderitaan. Kalau " Penderitaan dipandang sebagai " karunia " Tuhan
dan " ujian " bagi perjalanan hidup kita, maka penderitaan itu akan merupakan proses
penguatan, peningkatan dan penyucian diri bagi manusia dalam pendakian spiritual
menuju Brahman. Penderitaan harus dipandang sebagai proses kristalisasi jiwa
menuju penglihatan di dalam diri. Penglihatan ke dalam diri akan membawa
kemurnian jiwa tanpa selubung kegelapan hawa nafsu yang menggelora. Hanya jiwa
yang murni akan dapat menjangkau kesucian Tuhan.
Kematian
Kematian adalah perpisahan jasad dengan Roh. Mati menurut pandangan
Hindu hanyalah berlaku bagi jasad, bukan untuk Roh. Gambaran perjalanan sang Roh
antara kematian dan kelahiran kembali sebagai berikut : Roh berpindah dengan badan
astral atau suksma sarira. Badan astral ini terjadi dan 19 tattwa atau prinsip, yaitu; 5
organ penggerak, 5 organ pengetahuan, 5 prana, pikiran, kecerdasan dan citta (bawah
sadar) dan ahamkara atau keakuan (ego). Badan halus ini membawa segala jenis
samskara atau kesan, serta wawasan atau kecenderungan-kecenderungan dan Roh
pribadi. Bila buah dan karma- karma baik telah dihabiskan. Ta menggabungkan
dirinya dengan badan fisik yang baru dan berinkarnai pada tempat di bumi ini. Yang
16
penilakunya sudah baik mencapai kelahiran baik, dan yang perilakunya jahat ditanik
ke dalam kandungan yang penuh dosa atau kelahiran yang lebih rendah. Hindu
mengenal konsep PurusaPradhana, Brahman-Atman, Bhuana Agung-Bhuana Alit.
Pada peristiwa “kematian”, Atman diharapkan kembali kepada Brahman, dan jasad
(Bhuana Alit) kembali kepada alam (Ehuana Agung).
Pandangan agama Hindu tentang pengobatan alternatif
Dalam kitab-kitab umat Hindu memuat berbagai macam jenis penyakit dan
teknik pengobatan. Dicontohkan penyakit kencing Manis (diabetes mellitius).
Penyakit ini, sudah ditemukan sekitar 3.000 tahun yang lalu. Ini dibuktikan dengan
disebutkannya penyakit ini dalam kitab Ayur Veda. Kitab Ini merupakan bagian dari
kelompok kitab Upa Veda.
Isi kitab Ayur Veda lebih banyak ulasannya bersumberkan dari ajaran yang
terdapat dalam kitab Atharwa Veda yang juga merupakan bagian dari
Catur Veda Sruti. Di dalam kitab suci Atharwa Weda isinya lebih banyak mengulas
hal-hal yang bersifat keduniawiaan. Misalnya, tata cara pengobatan, menolak bala
penyakit, menawarkan atau memunahkan racun dan sejenisnya.
c. Katholik
Sakit
Manusia yang sakit merupakan konsekuensi logis manusia sebagai mahkluk
yang memiliki tubuh. Tubuh manusia sebagai mahkluk hidup bersifat sangat rapuh.
Oleh karena itu manusia tidak tidak bisa tidak menderita sakit. Seperti kematian
demikianpun rasa sakit bersifat merelativir. Dan yang menyebabkan sakit adalah
manusia itu sendiri, karena kelalaian manusia menjaga tubuh
Pandangan tersebut dilandasi oleh pemahaman orang katolik tentang eksistensi
Allah atau Tuhan sebagai Mahabaik. Mahabaik berarti tidak bisa dibandingkan
kebaikan-Nya dengan kebaikan manusia. Allah Mahabaik artinya Allah tidak baik
seperti manusia yang baik. Pandangan yang demikian merupakan analogi entis, yaitu
argument tentang derajat kesempurnaan berdasarkan tingkat yang berbeda.
17
Allah adalah cinta kasih (1 Yoh 4: 8-16). Bukan Tuhan yang menyebabkan
manusia sakit tetapi karena kelalaian manusia. Oleh karena itu segala sesuatu yang
tidak baik tidak berasal dari allah
Penyakit merupakan percobaan yang paling berat, dan setiap penyakit akan
mengingatkan kita pada suatu kematian [KGK 1500 (Katekismus Gereja Katolik)].
Penyakit dapat menyebabkan rasa takut, sikap menutup diri malahan kadang-kadang
rasa putus asa dan pemberontakan terhadap Allah. Tetapi ia juga dapat membuat
manusia menjadi lebih matang, dapat membuka matanya untuk apa yang tidak penting
dalam kehidupannya, sehingga ia berpaling kepada hal-hal yang penting. Sering kali
penyakit membuat orang mencari Allah dan kembali lagi kepada-Nya (KGK 1501).
Penderitaan
Kalau mengalami kejahatan dan penderitaan, iman akan Bapa yang mahakuasa
dapat diuji secara serius. Sewaktu-waktu Allah tampaknya tidak hadir dan tidak
mampu mencegah kemalangan. Namun Allah Bapa menyatakan kekuasaan-Nya atas
cara paling rahasia dalam penghinaan dan kebangkitan Putera-Nya, yang
mengalahkan yang jahat. Dengan demikian, Yesus yang tersalib adalah "kekuatan
Allah dan hikmat Allah. Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya daripada
manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat daripada manusia" (1 Kor 1:2425).
Dalam pembangkitan dan pengangkatan Kristus, Bapa menunjukkan "kekuatan kuasa-
Nya" dan menyatakan betapa "hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya" (Ef 1:19).
(KGK 272). Dengan kata lain, penderitaan merupakan sesuatu yang menguji iman
kita kepada Tuhan, sehingga penderitaan harus diterima dan dihadapi dengan
mendekatkan diri kita kepada Tuhan.
Kematian
Agama Katolik memandang kematian badan manusia sebagai awal dari
kehidupan yang sesungguhnya. Kematian badan manusia bukan merupakan akhir dari
kehidupan. Agama Katolik percaya akan kehidupan kekal (Surga) dan kematian kekal
(neraka). Selain surga dan neraka juga ada apa yang disebut dengan tempat
penyucian. Tempat penyucian adalah suatu tempat atau keadaan sementara bagi jiwa
orang – orang saleh yang berada dalam keadaan dosa ringan atau tidak berdosa berat.
Jiwa – jiwa tersebut belum boleh memandang wajah allah atau belum boleh masuk
18
Surga karena masih ada dosa yang perlu disucikan. Berdasarkan doa orang – orang
yang masih hidup dan berdasarkan kerahiman Allah mereka diperbolehkan masuk
Kerajaan Abadi yaitu Surga.
Pengobatan Alternatif dan Pengobatan Paliatif
Dalam Agama Katolik, tidak ada larangan bagi orang sakit untuk menjalani
pengobatan alternative dan pengobatan paliatif, selama pengobatan – pengobatan ini
dapat menyembuhkan atau membuat keadaan menjadi lebih baik. Hal ini berdasarkan
pada landasan ajaran agama Katolik, yaitu Hukum Cinta Kasih dan KGK 1506 –
1510, dimana Kristus mengajak para murid – muridnya dan juga gereja untuk
menyembuhkan dan merawat para orang – orang sakit.
d. Kristen
Penderitaan
Adalah suatu pemurnian Allah yaitu yang membuahkan damai sejahtera
melalui sakit penyakit. [Ayub.5 : 17-18 ; Ibrani.2 : 11 ; 1 Korintus.11 : 32]
Sakit
Adalah dosa yang berasal dari perilaku hidup tidak sehat yaitu tidak menjaga
tubuh sebagai “Bait Roh Kudus” yang berasal dari Allah sendiri [1 Korintus.6 : 19-
20]
Pandangan agama kristen terhadap kematian
Dasar Kitab Suci
Kitab Suci mengisahkan kepada kita mengapa sampai kita mengalami kematian, dan
bagaimana seharusnya kita menyikapinya sebagai orang beriman.
1. Manusia mati karena dosa, dan tak seorangpun yang dapat berkuasa atas hari
kematian.
19
Dari kisah Adam dan Hawa kita ketahui bahwa manusia mati karena dosa pertama
yang dilakukan (lih. Kej 2:16). Menurut pengajaran Rasul Paulus, “Upah dosa ialah
maut.” (Rom 6:23a). Semua orang yang berdosa, pada akhirnya akan mati (lih. Mzm
89: 48) dan tak ada seorangpun yang berkuasa atas hari kematian (Ams 11:19).
Maka kita melihat banyak contoh di dalam Kitab Suci bagaimana dosa, terutama dosa
menghujat Tuhan, memimpin seseorang kepada maut, seperti pada banyak contoh
dalam Perjanjian Lama. Atau mungkin yang paling jelas dalam Perjanjian Baru adalah
kematian Yudas (lih. Kis 1:18) dan Herodes (Kis 12:19-23). Dosa yang inilah yang
memisahkan kita dengan Allah.
2. Kematian Kristus membuka pintu perdamaian antara kita dengan Allah dan
oleh kurban Kristus kita dapat memperoleh keselamatan dan hidup yang kekal.
Ketika kita masih berdosa dan menjadi seteru Allah, Kristus wafat bagi kita untuk
mendamaikan kita dengan Allah; sehingga oleh darah-Nya kita dibenarkan (lih. Rom
5:9-10). Maka oleh Adam, kita manusia jatuh dalam dosa, sedangkan oleh Kristus kita
memperoleh hidup yang kekal (lih. Rom 5:12-18). Oleh ketidaktaatan Adam kita
semua jatuh dalam dosa, namun oleh ketaatan Yesus kita semua dibenarkan. (lih.
Rom 5:19). Kita menerima rahmat kehidupan kekal pada saat kita dibaptis di dalam
kematian Kristus, untuk dibangkitkan bersama-sama dengan Dia dan memiliki
kehidupan yang baru bersama Dia (lih. Rom 6:1-4).
3. Kematian ini dikalahkan oleh kebangkitan Kristus.
Kebangkitan Kristus dari kematian menjadi bukti bahwa kematian tidak berkuasa atas
diri-Nya (lih. Rom 6:9). Ketika tubuh kita yang fana ini mengenakan Kristus, maka
maut telah ditelan dalam kemenangan (lih. 1 Kor 15:53-57). Dengan kebangkitan
Kristus dari kematian, Ia mengalahkan belenggu dosa dan maut, sehingga bahkan
kematian sekalipun tidak dapat memisahkan kita dari kasih-Nya (lih. Rom 8:38-39).
Oleh jasa Kristus ini, maka ketika kita tubuh kita mati, artinya kemah tempat
kediaman kita di bumi dibongkar, Allah telah menyediakan tempat kediaman di sorga
yang kekal (lih. 2 Kor 5:1).
20
4. Atas jasa Kristus itu, maka bagi orang percaya, kematian adalah seperti jatuh
tertidur (fallen asleep), sebab kita mempunyai pengharapan akan kebangkitan dan
hidup yang kekal.
Dengan Roh Kudus yang sudah diberikan kepada kita, maka Roh Kudus itu yang
telah membangkitkan Yesus dari kematian, akan juga membangkitkan kita (lih. Rom
8: 11). Maka dengan demikian, kita yang “mati dengan Dia, kitapun akan hidup
dengan Dia” (2 Tim 2:11). Pada akhirnya, kita yang telah meninggal dalam Kristus
akan dibangkitkan oleh Kristus, seperti Kristus bangkit setelah kematian-Nya.
Kebangkitan badan ini akan terjadi di akhir jaman, saat Kristus turun dari sorga
diiringi sangkakala (lih.1 Tes 4:13-18).
5. Namun demikian, sebelum kita memperoleh kehidupan kekal, segera setelah
kematian kita akan diadili.
Seperti yang kita ketahui dari kisah Lazarus dan orang kaya setelah kematian mereka
(lih. Luk 16:16-31), kita mengetahui, bahwa manusia “ditetapkan untuk mati hanya
satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi.” (Ibr 9: 27). Pada saat inilah kita diminta
untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita (lih. Luk 16:2) dan akan
diadili sesuai dengan perbuatan kita (lih. 1 Pet 1:17, Rom 2:6). Lalu jiwa kita
menerima akibat dari keputusan pengadilan ini. Inilah yang disebut Pengadilan
Khusus.
Sedangkan pada akhir dunia nanti, kita akan kembali diadili di hadapan semua
mahluk, dan segala perbuatan baik dan jahat akan dinyatakan, “Sebab tidak ada
sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan dan tidak ada sesuatu yang
rahasia yang tidak diketahui dan diumumkan.”(Luk 8: 17). Pada saat itu, seluruh
bangsa akan dikumpulkan di hadapan tahta Kristus, dan Dia akan mengadili semua
orang: yang baik akan dipisahkan dengan yang jahat seperti memisahkan domba dan
kambing (lih. Mat 25: 32-33). Pengadilan ini merupakan semacam ‘pengumuman’
hasil Pengadilan Khusus setiap orang di hadapan segala mahluk. Inilah yang disebut
Pengadilan Umum/ Terakhir.
21
6. Kematian juga dapat berarti mati secara rohani karena dosa, dan kita
membutuhkan pengampunan dari Tuhan untuk menghidupkan kita kembali secara
rohani.
Rasul Paulus mengatakan bahwa kita telah mati secara rohani karena pelanggaran
kita, namun kemudian dihidupkan kembali sesudah Allah mengampuni kita (lih. Kol
2 :13, Ef 2:1-5). Kita adalah orang- orang yang dahulu mati karena dosa, tetapi
sekarang hidup oleh Allah, sehingga perlu menyerahkan anggota-anggota tubuh kita
kepada Allah (Lih. Rom 6:12-13). Kita tidak selayaknya hidup menuruti keinginan
daging, bermewah- mewah dan berlebihan, karena jika demikian artinya kita sudah
mati selagi masih hidup (lih. 1 Tim 5:6). Dari keadaan seperti inilah kita semua harus
bangkit, untuk mengikuti terang Kristus (lih. Ef 5:14).
7. Kematian terhadap diri sendiri adalah jalan menuju kekudusan.
Rasul Paulus mengajarkan kepada kita agar kita mematikan segala sesuatu yang
duniawi di dalam diri kita, agar kita dapat hidup sebagai manusia baru (Kol 3:5).
Dengan hidup sebagai manusia baru, kita mempunyai Kristus yang menjadi pusat
hidup kita. Sehingga, kita tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri tetapi untuk Dia,
yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk kita (lih. 2 Kor 5:14-15). Dan hidup bagi
Kristus dan di dalam Kristus ini adalah kekudusan, di mana kita dimampukan untuk
mengasihi Tuhan dan sesama.
8. Jika kita hidup di dalam Kristus, maka kematian adalah suatu keuntungan.
Karena jika kita hidup menurut segala perintah-Nya, maka kita akan hidup untuk
Kristus. Bagi umat beriman, kita tidak hidup untuk diri kita sendiri, dan juga tidak
mati untuk diri kita sendiri. Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika
kita mati, kita mati untuk Tuhan (Rom 14:8). Maka dengan selalu tinggal di dalam
Dia, tidak menjadi soal apakah kita hidup atau mati. Rasul Paulus mengatakan,
“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan,” (Fil 1:21) karena
melalui kematian kita pergi untuk bertemu dengan Kristus dan diam bersama- sama
dengan Dia (lih. Fil 1:23). Pada saat itulah, kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya
yang sebenarnya (1 Yoh 3:2). Maka dalam arti kehidupan kekal ini, maka dapat
dikatakan, “hari kematian lebih baik dari hari kelahiran.” (Pkh 7:1)
22
9. Kematian orang dikasihi Tuhan berharga dimata Tuhan.
“Berharga di mata Tuhan kematian semua orang yang dikasihi-Nya.” (Mzm 116:15).
Jiwa orang benar ada dalam tangan Allah, dan tidak ada siksaan yang menimpa
mereka. Walau kematian mereka nampak sebagai malapetaka menurut pandangan
orang bodoh, namun mereka sesungguhnya berada dalam ketentraman…. Sebab kasih
setia Tuhan dan belas kasihan-Nya menjadi bagian orang-orang pilihan-Nya (lih. Keb
3:1-9).
10. Yesus berpesan agar kita tidak takut menghadapi kematian.
Yesus berkata, “Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga
kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku
mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat
bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu,
Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di
mana Aku berada, kamupun berada.” (Yoh 14:1-3).
Pengobatan alternatif
Selama obat-obatan alternatif dapat menimbulkan efek positif kepada
pengobatan pasien maka pengobatan tersebut dibenarkan. Tetapi pengobatan yang
bersifat occcult (kuasa gelap) dilarang untuk digunakan.
Perawatan paliatif
Menurut agama kristen dibenarkan perawatan paliatif karena menurunkan
kesakitan pasien dan dapat menaikkan kualitas hidupnya dan dapat menerima
kematiannya dengan iklas serta menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual
pasien.
23
e. Buddha
Penderitaan
Penderitaan dan lenyapnya penderitaan merupakan topik utama dalam agama
Buddha. Apapun aliran agama Buddha yang anda anut, semuanya bersumber pada
masalah penderitaan dan lenyapnya penderitaan. Sebenarnya masalah penderitaan dan
bagaimana kita dapat melenyapkan penderitaan merupakan persoalan semua umat
manusia.
Jika kita bisa menutup pintu penyebab penderitaan, maka penderitaan itu akan
lenyap. Penderitaan tidak akan lenyap jika hanya dengan mencari kebahagiaan apalagi
kebahagiaan yang semu. Sepintas kelihatannya benar, penderitaan dapat dilenyapkan
dengan menimbulkan kebahagiaan. Tetapi jika kita renungkan sesungguhnya
kebahagiaan semu itu akan menimbulkan sebuah penderitaan baru kembali. Pseudo
Happiness, Kebahagiaan semu, yang palsu merupakan sumber penderitaan yang baru.
Pintu sumbernya penderitaan ada tiga yaitu mulut, perbuatan kita serta pikiran
kita. Kalau saja kita dapat memantau semua pintu pintu yang dapat menimbulkan
penderitaan maka kebahagiaan yang sejati dapat muncul. Penderitaan biasanya
menampilkan muka yang bagus bagus. Penderitaan jarang menampakkan muka yang
menyeramkan.
Sebenarnya apakah kebahagiaan yang sesungguhnya? kebahagiaan yang sejati
muncul saat penderitaan lenyap. Lenyapnya penderitaan dilakukan dengan jalan
mengurangi penderitaan bukan dengan jalan menciptakan kebahagiaan semu.
Kebahagiaan yang sejati ada didalam diri kita sendiri. Pada saat kita mencari
kebahagiaan di luar dari dalam diri sendiri maka dapat dipastikan kebahagiaan yang
diperoleh adalah kebahagiaan semu. Kebahagiaan yang bersumber dari luar diri kita
biasanya akan menimbulkan suatu penderitaan baru. Jadi mulailah dengan mengubah
yang ada di dalam diri kita sendiri, penderitaan akan mulai berkurang. Jika
penderitaan berkurang maka kebahagiaan akan muncul.
Pengobatan Alternatif
Usaha penyembuhan menurut agama Buddha:
24
a. Bukan hanya menghilangkan gejala
b. Sebaiknya mencari sumber penyakit
c. Pikiran sebagai akar masalah (sering)
d. Meluruskan pandangan keliru
Prinsip pengobatan:
A. Sakit adalah corak kehidupan
B. Kalau tidak bias disembuhkan atau diredakan harus diterima dengan rela
C. Pencegahan secara dini adalah dengan tidak berbuat jahat.
Pandangan:
a. Tidak ada masalah sepanjang tidak pelanggaran sila dan dharma
b. Dilakukan dengan sadar dan sukarela
Pengobatan paliatif
Pengobatan paliatif diberikan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang
menderita penyakit yang serius atau membahayakan jiwa. Tujuan dari pengobatan
paliatif adalah mencegah atau merawat sedini mungkin gejala-gejala penyakit, dan
efek samping yang disebabkan dari pengobatan penyakit tersebut, serta masalah-
masalah psikologis, sosial dan spiritual yang terkait dengan penyakit atau
pengobatannya.
Menurut pandangan agama Buddha terapi paliatif yang diharapkan lebih kearah
pendekatan spiritual, membaca atau mendengarkan ajaran Dhamma, jika bias meditasi
lebih disarankan lagi.
3.7 Solusi
Untuk permasalahan kasus diatas, dimana pasien menolak dilakukannya
kemoterapi sebagai terapi paliatif pasca operasi sebagai dokter seharusnya melakukan
edukasi kembali mengenai kepentingan pelaksanaan kemoterapi tersebut, hubungan
yang dibangun antara dokter dan apsien sebaiknya dilandasi dengan rasa kepercayaan
dan pembinaan rapport dengan baik. namun jika kemoterapi tidak dapat diterima dan
25
dijalankan pasien dokter juga harus menghormati hak oonomi pasien sebagai landasar
tertinggi hal yang perlu di[erhatikan dari segi bioetika. Selain dilakukannya
pembinaan hubungan yang baik antara dokter dan pasien, keluarga pasien seharusnya
memberikan dukungan terbaik dan menenangkan pasien untuk tetap tabah dan tidak
mudah menyerah menghadapi permasalahannya. Bimbingan kerohanian sangat
diperlukan agar psikologis pasien lebih tenang.
Keputusan keluarga pasien dan teman-temannya untuk memilih pengobatan
alternatif, ada baiknya. Jika keluarga pasien meminta masukan dari dokter, sebaiknya
sebagai dokter menerima keputusan pasien dan menjelaskan bahwa untuk memilih
pengobatan alternatif diperlukan pemahaman mengenai landasan ilmiahnya. Namun
juga tidak bertentangan dengan agama pasien tersebut.
Dikarenakan pasien sudah berada di fase terminal, keluarga juga perlu
dipersiapkan untuk dapat menerima keadaan pasien, harus kuat untuk mengahdapi
kemungkinan terburuk, yaitu kematian yang terjadi apda pasien.
26
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Hak Pasien dan Kewajiban Dokter
Berdasarkan hubungan kontrak di atas muncullah hak-hak pasien yang pada
dasarnya terdiri dari dua hak, yaitu:
1. The Rights to health care
2. The Rights to self determination
Secara tegas The World Medical Association telah mengeluarkan Declaration
of Lisbon on the Rights of the Patient (1991), yaitu hak memilih dokter secara bebas,
hak dirawat oleh dokter yang bebas dalam membuat keputusan klinis dan etis, hak
untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adekuat,
hak untuk dihormati kerahasiaan dirinya, hak untuk mati secara bermartabat dan hak
untuk menerima atau menolak dukungan spiritual atau moral.
UU kesehatan menyebutkan beberapa hak pasien seperti hak atas informasi,
hak atas second opinion, hak untuk memberikan persetujuan atau menolak suatu
tindakan medis, hak untuk kerahasiaan, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan,
dan hak untuk memperoleh ganti rugi apabila ia dirugikan akibat kesalahan tenaga
kesehatan.
Di sisi lain pasien juga memiliki kewajiban, demikian pula dokter juga
memiliki hak. Namun yang lebih utama dibicarakan adalah kewajiban dokter yang
dimilikinya sejak dia mengucapkan sumpah dokter. Kewajiban tersebut adalah:
1. Kewajiban profesi sebagaimana terdapat di dalam lafal sumpah dokter, kode
etik kedokteran, standar prilaku profesi (SOP) dan standar pelayanan medis
(SPM)
2. kewajiban yang lahir oleh karena adanya hubungan dokter-pasien
UU no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran merumuskan hak dan
kewajiban dokter dan pasien di dalam pasal-pasal 50-53. dokter dan dokter gigi
memiliki hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
27
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, hak untuk memberikan
layanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional, hak
memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya dan hak
menerima imbalan jasa. Di sisi lain dokter dan dokter gigi berkewajiban memberikan
pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta
kebutuhan medis pasien, merujuk pasien apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia, melakukan pertolongan
darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas
dan mampu melakukannya, dan menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran/ kedokteran gigi.
Sementara itu, berdasarkan UU Praktik Kedokteran pasien memiliki hak untuk
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam pasal 45 ayat (3), meminta pendapat dokter lain, mendapatkan
pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan
mendapatkan isi rekam medis. Adapun pasal 45 ayat (3) menyatakan tentang
penjelasan tersebut di atas sekurang-kurangnya meliputi diagnosis dan tata cara
tindakan medis, tujuan tindakan medis yang akan dilakukan, alternatif tindakan lain
dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap
tindakan yang akan dilakukan. Di sisi lain pasien berkewajiban memberikan informasi
yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi nasihat dan petunjuk
dokter, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan, dan
memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. (1)
4.2 Informed consent
1. Prisip moral utama dokter
Dalam profesi kedokteran, dikenal 4 prinsip moral utama yang harus dijunjung
tinggi seorang dokter, yaitu5:
a. Prisnsip otonomi
Yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip otonomi pasien
dianggap sebagai dasar dari doktrin informed consent.
28
b. Prinsip beneficence
Yaitu prinsip moral yang mnegutamakn tindakan yang ditujukan ke
kebaikan pasien.
c. Prinsip non maleficence
Yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk
keadaan pasien.
d. Prinsip justice
Yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumber daya.
2. Informed consent
Informed consent adlah suatu proses yang menunjukan komunikasi yang
efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan
dan apa yang tidak akan dilaukan terhadap pasien. Informed consent lebih kearah
persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.5
Informed consent memiliki 3 elemen, yaitu5:
a. Threshold elements
Pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten. Kompeten disini
diartikan berkapasitas untuk membuat keputusan. Secara hukum seseorang
dianggap kompeten adalah apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam
keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa disini berarti telah
mencapai usia 21 tahun atau telah pernah menikah.
b. Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaiotu disclosure (pengungkapan)
dan understanding (pemehaman). Hal ini member konsekuensi pada tenaga
medis untuk memberikan informasi sedemikian rupa sehingga pasien dapat
mencapai pemahaman yang adekuat.
Seberapa baik suatu informasi harus diberikan kepada pasien dapat
dilihat dari 3 standar, yaitu:
Standar praktek profesi
Kewajiban memberikan informasi dan criteria ke-adekuat-an informasi
ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dlaam komunitas tenaga medis.
Standar subyektif
Keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien
secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien
29
tersebut dalam membuat keputusan. Standar inisangat sulit dilaksanakan atau
hampir mustahil untuk memahami nilai-nilai yang secara individual dianut
pasien.
Standar pada reasonable person
Merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu
dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan
pada umumnya orang awam. Subelemen pemahaman dipengaruhi oleh
penyakitnya, irrasionalis, dan imaturitas, banyak ahli mengatakan, apabila
elemen ini tidak dilakukan, maka dokter dianggap lalai melaksanakan
tugasnya member informasi yang adekuat.
c. Consent elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaitu voluntariness (kesukarelaan,
kebebaasan) dan authorization (persetujuan).
Kesukarelaan mengharuskan tidak adanya penipuan, misrepresentasi
ataupun paksaan.
Suatu tindakan medis terhadap seseorang pasien tanpa memperoleh
persetujuan terlebih dahulu dari pasien tanpa memperoleh persetujuan terlebih dahulu
dianggap sebagai penyerangan atas hak orang lain atau perbuatan melanggar hukum.
Doktrin informed consent tidak berlaku pada 5 keadaan:
Keadaan darurat medis
Ancaman terhdap kesehatan masyarakat
Pelepasan hak memberikan consent
Clinical privilege
Pasien yang tidak kompeten memberikan consent
Contextual circumstances juga seringkali mempengaruhi pola peroleh
informed consent. Seorang yang dianggap sudah piku n, orang yang dianggap
memiliki mental yang lemah untuk dapat menerima kenyataan dan orang dlam
keadaan terminal dianggap tidak berkompeten menerima informasi yang benar
apalagi membuat keputusan medis.
Hak menolak terapi lebih sukar diterima oleh profesi kedokteran daripada hak
menyetujui terapi. Banyak ahli mengatakan bahwa hak menolak terapi bersifat tidak
absolute, artinya masih dapat ditolak atau tidak diterima oleh dokter. Hal ini karena
dokter akan mengalami konflik moral dengan kewajiban menghormati kehidupan,
30
kewajiban untuk mencegah perbuatan bunuh diri, kewajiban melindungi pihak ketiga,
dna integritas etis profesi dokter.5
3. Proxy consent
Proxy consent adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien
itu sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara
pribadi, dan consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh
pasien apabila ia mampu memberikannya (baik buat pasien, bukan baik buat orang
banyak). Umumnya urutan orang yang memberikan proxy-consent adalah:
Suami/isteri
Anak
Orang tua
Saudara kandung,dll
Proxy-consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan
ketat.
4.3 Pengobatan Alternatif
Pandangan Hukum
Pemerintah telah mengeluarkan undang undang PERMENKES RI No
1109/PER/IX/2007 tentang batasan terapi alternatif yaitu terapi alternatif merupakan
terapi non-konvensional untuk meningkatkan kesehatan pasien yang bersifat promotif,
preventif, kuratif, rehabilitatif dan harus dilandasi pengetahuan biomedik. Individu
yang menjalankan usaha terapi altrernatif seyogyanya memiliki izin dari pemerintah
untuk menjalankan praktik di bidang kesehatan.
Pro dan kontra tentang pengobatan alternatif :
Pro pengobatan alternatif
Pada umumnya biaya untuk terapi alternatif lebih murah, efek samping lebih
sedikit, tindakan tidak invasif, menggunakan bahan bahan alamiah.
Kontra pengobatanalternatif
31
Tidak ada pembuktian atau evidence based, tidak jelas bahan yang digunakan
dalam pengobatan, tidak melaporkan praktek kepada dinas kesehatan sehingga tidak
memiliki surat, membuka peluang terjadinya penipuan.
Pandangan bioetika tentang pengobatan alternatif
Terapi alternatif berdasarkan sudut pandang bioetika:
Otonomi : Pasien berhak memilih pengobatan yang akan dilakukan
Beneficence : Melakukan yang terbaik untuk proses perbaikan diri pasien dari
penyakit
Nonmaleficence : Selama terapi yang di lakukan tidak memperburuk
kesehatan pasien
Sebagai seorang dokter terhadap pengobatan alternatif
- Menghormati otonomi
Pasien berhak dan bebas memilih dan memutuskan tindakan apa yang akan di
lakukan dalam proses pengobatan dan penyembuhan atas dirinya.
- Melindungi agar pasien tidak dirugikan
- Sebagai dokter berkewajiban untuk menjelaskan tentang penyakit yang di
derita pasien. Dan memberikan masukan apa yang sebaiknya dilakukan untuk
proses perbaikan pasien dari penyakitnya tersebut. Tanpa menentang prinsip
otonomi yang dimiliki pasien untuk memilih pengobatan dokter.
- Memastikan pengobatan alternatif yang akan dijalankan pasien sesuai dengan
evidence based medicine
4.4 Perwatan paliatif
Perawatan paliatif adalah stiap bentuk perawatan medias atau perawatan yang
berkonsentrasi pada pengurangan gejala penyakit. Tujuan dari perawatan paliatif
mencegah dan mengurangi penderitaan dan meningkatkan kualitas hidup pasien dan
keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa .
Non rumah sakit perawatan paliatif tidak tergantung pada prognosis dan
ditawarkan dalam hubunganya dengan kuratif dan semua bentuk lain yang sesuai
perawatan medis . Perwatan palliatif juga dapat digunakanuntuk mengurangi efek
32
samping dari pengobatan kuratif, seperti mengurangi rasa mual yang berhubungan
dengan kemoterapi.
Perwatan paliatif itu sendiri berguna untuk
Penatalaksanaan nyeri
Penatalaksanaan keluhan fisik lain
Asuhan keperawatan
Dukungan psikologis
Dukungan sosial
Dukungan kultural dan spiritual
Dukungan persiapan dan selama duka cita
Istilah perawatan paliatif semakin digunakan berkaitan dengan penyakit lain
selain kanker seperti kronis, gangguan paru progresif, penyakit ginjal, gagal jantung
kronis, HIV/AIDS, dan kondisi neurologis progresif.
Penatalaksanaan Nyeri
Analgesik adalah anggota dari kelompok obat yang digunakan untuk
menghilangkan rasa sakit, juga dikenal sebagai "obat penghilang rasa sakit". Tangga
analgesik (analgesic ladder) dirancang oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)5
untuk membantu resep kesehatan dalam resep obat analgesik dengan menyarankan
sebuah strategi yang logis untuk mengelola nyeri dalam banyak situasi sakit. Tangga
ini membela pendekatan melangkah dengan penggunaan obat penghilang rasa sakit
dari kelompok analgesik:
- Analgesik sederhana yaitu parasetamol dan non-steroid anti-inflammatory
drugs (NSAID)
- Opioid lemah yaitu tramadol, kodein
- Opioid kuat yaitu morfin, fentanyl, oxycodone, petidin
- Adjuvant - analgesik ajuvan adalah obat yang aslinya tidak untuk nyeri tetapi
lebih untuk kondisi lain tetapi telah ditemukan efektif dalam sulit untuk
mengatasi rasa sakit, terutama nyeri neuropatik. Kelompok obat ini termasuk
antidepresan, antikonvulsan (anti kejang obat-obatan), dan lainnya.
33
Pada setiap langkah dari tangga analgesik non-opioid analgesik membentuk dasar
dari manajemen nyeri. Parasetamol dan NSAID (jika tidak kontraindikasi) karena itu
harus selalu diresepkan dengan analgesia opioid (lemah atau kuat). Hal ini dikenal
sebagai multi-modal analgesia dan adalah konsep bahwa rasa sakit ini paling berhasil,
bukan dengan satu jenis obat atau terapi, tetapi dengan kombinasi, yang
memaksimalkan keberhasilan sementara menjaga efek samping rendah. Bukti telah
menunjukkan bahwa ketika hal ini terjadi rasa sakit lebih baik, jumlah yang lebih
kecil pembunuh rasa sakit diperlukan dan efek samping yang kurang terjadi.
WHO menganjurkan bahwa analgesik harus diberikan "setiap beberapa jam",
yaitu setiap 3-6 jam, bukan “sesuai permintaan”. Pendekatan ini lebih mengarah pada
“obat yang tepat dengan dosis yang tepat dan pada waktu yang tepat”, karena hal ini
cukup efektif dalam penanganan nyeri.
Keuntungan dari tangga analgesik meliputi:
- Kesederhanaan, karena hanya kelompok analgesik sedikit yang digunakan.
- Fleksibilitas, untuk berbagai macam situasi rasa sakit dan juga kepada pasien
secara global. Dengan mengacu pada golongan obat, bukan obat khusus,
tangga mempertahankan tingkat fleksibilitas yang memungkinkan dokter
untuk bekerja di dalam peraturan mereka mengatur dan keterbatasan.
34
- Keselamatan, bahwa obat paling aman digunakan pertama dalam dosis efektif
terendah.
- Penekanan pada multimodal analgesia.
Kelemahan antara lain:
- Mungkin terlalu sederhana untuk pengelolaan beberapa jenis nyeri, nyeri
neuropatik terutama atau bagi mereka yang tergantung opioid.
- Ini menunjukkan bahwa analgesik harus dipakai per oral, yang terkadang tidak
sesuai, misalnya, ketika pasien tidak dapat mengkonsumsi obat melalui mulut.
BAB V
KESIMPULAN
35
Ny. S memiliki hak otonomi yang harus dihormati. Pemaksaan pengobatan bagi
penyakit terminal dari carcinoma ovarium yang diderita Ny. S tidak dibenarkan oleh
agama, hukum, dan buruk menurut sudut pandang bioetika. Namun, pembiaran tanpa
usaha untuk mengobati secara tepat juga menjadi masalah moral tersendiri bagi para
praktisi medis yang seharusnya berpihak pada kehidupan dan mencegah kematian
yang belum saatnya. Pengobatan sia – sia yang dilakukan melalui pengobatan
alternatif juga dipandang buruk oleh sudut pandang etika, walaupun pengobatan
alternatif yang dilakukan sukarela adalah benar menurut hukum, agama, dan etika.
Masalah Ny. S seharusnya diselesaikan melalui pendekatan holistik yang persuasif
dari aspek biopsikososial dan spritual. Seharusnya masalah Ny. S diselesaikan dengan
komunikasi. Komunikasi untuk memperbaiki persepsi pasien memegang peranan
penting sehingga pasien tetap memiliki motivasi dan semangat untuk menjalani
pengobatan demi mengupayakan kesembuhan. Pada akhirnya Ny. S meninggal.
Seharusnya apabila Ny. S dan keluarga Ny. S mau melakukan terapi palliative, maka
keluarga dapat menerima dengan ikhlas kematian Ny. S dan semua akan dalam
keadaan lebih siap.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
36
1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta:
Pustaka Dwipar; 2007. p. 10-2.
2. Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan perundang-undangan bidang
kedokteran. Jakarta: FKUI; 1994.
3. The World Medical Association. 2005. World Medical Association
Declaration of Lisbon on The Rights of The Patient. Available at:
http://dl.med.or.jp/dl-med/wma/lisbon2005e.pdf. Accessed on June 29, 2012.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009. Available at:
http://dinkes.demakkab.go.id/v2010/dokumen/uu_no_36_thn_2009-
ttg_kesehatan.pdf. Accessed on June 29, 2012.
5. Jadad AR, Browman GP. The WHO analgesic ladder for cancer pain
management. Stepping up the quality of its evaluation. JAMA. 1995;274(23):1870–3.
37