35
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kawasan hutan terluas kedua di dunia setelah Brazilia. Namun demikian, sejak tiga dekade terakhir ini kawasan hutan di Indonesia mengalami degradasi yang sangat serius dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini selain karena jumlah penduduk yang mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupan terus meningkat dari tahun ke tahun, juga terutama karena pemerintah secara sadar telah me- ngeksploitasi sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan devisa negara (state revenue) yang paling diandalkan setelah sumber daya alam minyak dan gas bumi. Dari sisi pembangunan ekonomi, eksploitasi sumber daya hutan yang dilakukan pemerintah telah memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Melalui kebijakan pemberian konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), atau konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) pemerintah mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan pendapatan dan devisa

Makalah Hukum Kehutanan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Makalah Hukum Kehutanan

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kawasan hutan terluas kedua di dunia

setelah Brazilia. Namun demikian, sejak tiga dekade terakhir ini kawasan hutan di

Indonesia mengalami degradasi yang sangat serius dari segi kuantitas maupun

kualitasnya. Hal ini selain karena jumlah penduduk yang mengandalkan hutan sebagai

sumber penghidupan terus meningkat dari tahun ke tahun, juga terutama karena

pemerintah secara sadar telah me-ngeksploitasi sumber daya hutan sebagai sumber

pendapatan dan devisa negara (state revenue) yang paling diandalkan setelah sumber

daya alam minyak dan gas bumi. Dari sisi pembangunan ekonomi, eksploitasi sumber

daya hutan yang dilakukan pemerintah telah memberi kontribusi bagi pertumbuhan

ekonomi di Indonesia. Melalui kebijakan pemberian konsesi Hak Pengusahaan Hutan

(HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), atau konsesi Hutan Tanaman Industri

(HTI) pemerintah mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan

pendapatan dan devisa negara, menyerap tenaga kerja, menggerakan roda

perekonomian dan meningkatkan pendapatan asli daerah.Tetapi, dari sisi yang lain,

pemberian konsesi HPH dan HPHH serta HTI kepada pihak Badan Usaha Milik Swasta

(BUMS) maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga menimbulkan bencana

nasional, karena kerusakan sumber daya hutan akibat eksploitasi yang tak terkendali

dan tak terawasi secara konsisten selain menimbulkan kerugian ekologi (ecological

cost) yang tak terhitung nilainya, juga menimbulkan kerusakan social dan budaya

(social and cultural cost), termasuk pembatasan akses dan penggusuran hak-hak

masyarakat serta munculnya konflik-konflik atas pemanfaatan sumber daya hutan di

daerah.[1]

Hukum kehutanan merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji  dan di

analisis karena berkaitan dengan dengan bagaimana norma, kaedah atau peraturan

perundang-undangan dibidang kehutanan dapat dijalankan dan dilaksanakan dengan

baik.Kehutanan yang asal adalah hutan merupakan karunia dan amanah dari tuhan yang

maha esa, merupakn harta kekeayaan yang diatur oleh pemerintah, memberikan

kegunaan bagi umat manusia, oleh sebab itu wajib di jaga, ditangani, dan digunakan

secara maksimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara

berkesinambungan.Hutan sebagai salah satu penentu penyangga kehidupan dan sumber

kesejahteraan rakyat, semakn menurun keadaannya, oleh sebab itu eksistensinya harus

dijaga secara terus menerus, agara tetap abadi, dan ditangani dengan busi pekerti yang

luhur, berkeadilan, berwibawa, transparan, dan professional serta bertanggung jawab.

[2]

Makalah ini mencoba untuk memaparkan kronologi sejarah hukum pengelolaan sumber

daya alam , khususnya Hukum kehutanan dan sumber daya hutan di Indonesia, yang

dimulai dengan paparan mengenai produk hukum pada masa pemerintahan kolonial

Belanda, pemerintahan bala tentara Dai Nippon Jepang, sampai instrumen hokum yang

digunakan pemerintah pada masa pasca kemerdekaan Indonesia, termasuk pada masa

pemerintahan orde lama, orde baru, dan masa pemerintahan orde reformasi. Kinerja

untuk menelusuri sejarah perkembangan produk hukum pengelolaan sumber daya hutan

dari masa ke masa paling tidak dapat memberi pema-haman tentang ideologi, politik

hukum, bentuk dan subtansi hukum yang di-implementasikan pada masing-masing era

pemerintahan, serta implikasi ekonomi, ekologi, sosial, dan budaya yang ditimbulkan

dari implementasi instrumen hokum tersebut.Serta penjelasan tentang pengertian hutan,

asas dan tujuan hutan, kawasan hutan, status dan fungsi hutan.

B.      Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka agar permasalahan dapat dibahas

secara operasional sesuai dengan yang diharapkan maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah hukum kehutanan di indonesia?

2. Apa pengertian hutan dan pemanfaatan kawasan hutan?

3. Bagaimana azas dan tujuan hukum kehutanan di diindonesia?

4. Bagaimana status dan fungsi hutan?

C.      Maksud dan tujuan

1. Mengetahui bagaimana sejarah hokum kehutanan di Indonesia

2. Untuk mengetahui definisi dari hutan dan cara pemanfaatan kawasan hutan.

3. Untuk memngetahui tujuan dan asas hokum kehutanan di Indonesia

4. Untuk mengetahui status dan fungsi hutan

BAB II

PEMBAHASAN

SEJARAH HUKUM KEHUTANAN DI INDONESIA

A.    Sejarah hukum kehutanan di Indonesia

Pembahasan perkembangan hukum kehutanan Indonesia dapat dikategorikan dalam tiga

historika, yaitu pengaturan kehutanan sebelum penjajahan, masa penjajahan Pemerintah

Hindia Belanda, dan masa setelah kemerdekaan.

1.      Sebelum Penjajahan

Pada masa sebelum penjajahan Belanda, persoalan kehutanan diatur oleh hokum

adat masing-masing komunitas masyarakat. Sekalipun pada masa itu tingkat

kemampuan tulis baca anggota masyarakatnya masih rendah, tetapi dalam setiap

masyarakat tersebut tetap ada hukum yang mengaturnya. Von Savigny

mengajarkan bahwa hukum mengikuti jiwa/semangat rakyat (volkgeist) dari

masyarakat tempat hukum itu berlaku. Karena volkgeist masing-masing

masyarakat berlainan, maka hukum masing-masing masyarakat juga berlainan.[3]

Hukum yang dimaksudkan dan dikenal pada masa itu adalah hokum adat. Iman

Sudiyat menyimpulkan, Hukum Adat itu hukum yang terutama mengatur tingkah

laku manusia Indonesia dalam hubungannya satu sama lain, baik berupa

keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup dalam

masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat

itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas

pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.

[4]

Era zaman sebelum masuknya pengaruh asing (Zaman Malaio Polinesia),

kehidupan masyarakat di nusantara ini mengikuti adat istiadat yang dipengaruhi

oleh alam yang serba kesaktian.[5] Alam kesaktian tidak terletak pada alam

kenyataan yang dapat dicapai dengan pancaindera, melainkan segala sesuatunya

didasarkan pada apa yang dialami menurut anggapan semata-mata terhadap benda

kesaktian, paduan kesaktian, sari kesaktian, sang hyiang kesaktian, dan pengantara

kesaktian.[6] Pada masa itu, pengantara kesaktian memiliki peran penting dalam

kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam proses menemukan dan memberikan

hukuman.

Sedangkan pada zaman Hindu, tepatnya dimasa Raja Tulodong, Kerajaan Mataram

yang meliputi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan ibukotanya Medang

(di Grobongan). Raja tersebut pernah mengeluarkan titah pada tahun 919 M yang

mengatur  hak raja atas tanah, bahwa tanah hutan yang diperlukan raja ditentukan

oleh raja sendiri batasnya, tetapi apabila menyangkut tanah sawah hak milik rakyat

maka raja harus membelinya lebih dahulu.[7] Hemat kami, inilah awal mulanya

pengakuan resmi bahwa hutan dan segala isinya berada di bawah kekuasaan raja.

Sejak masa tersebutlah dikenal istilah hutan kerajaan, yang kemudian terus populer

di sebagian besar wilayah nusantara.

Berbeda halnya dengan di Aceh, setelah masuknya Agama Islam pada tahun 1078

M di Peurlak dan Kerajaan Pasai, maka semua tatanan kehidupan masyarakatnya

dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, termasuk tatanan hukumnya. Hak tertinggi

dalam penguasaan tanah dan hutan di Aceh bukanlah pada raja, melainkan pada

Allah yang Maha Kuasa. Semua tanah dan hutan dalam wilayah kemukiman di

Aceh selama belum berada dalam kekuasaan seseorang dinamakan tanoh hak

kullah (hak Allah) atau uteun poeteu Allah. Setiap orang warga masyarakatnya

dapat dengan leluasa menebang kayu sekedar untuk bahan perumahannya,

mengambil hasil hutan, berburu binatang dan mencari ikan. Apabila hal ini

dilakukan sebagai mata pencaharian maka ada kewajiban memberikan sebagian

hasil untuk desanya.[8]

2.      Masa Penjajahan

Didalam masa penjajahan terdapat 3 (tiga) masa antara lain:

a.      Masa Penjajahan oleh VOC (1602 – 1799)

Sebelum dijajah oleh Pemerintah Hindia Belanda, nusantara ini, terutama

Jawa dan Madura, berada dibawah penjajahan Verenigde Oost Indische

Compagnie (VOC), yang lebih populer dengan sebutan kompeni. Kompeni

ini melakukan penjajahan untuk mendapatkan komoditas dagang dengan

biaya dan harga murah. Selain rempah-rempah, lada dan kopi, hasil hutan

pun, terutama kayu jati Jawa juga menjadi andalan komoditi perdagangan

mereka.Pada masa sebelum VOC berkuasa (1619), para raja di Jawa masih

mempunyai kekuasaan dan kepemilikan atas tanah dan hutan di wilayah

pemerintahannya. Raja mendistristribusikan tanah kepada pegawai-pegawai

istana untuk membiayai kegiatan mereka dan sebagai pengganti gaji yang

harus diterimanya. Tanah yang dibagikan oleh raja dan pejabat-pejabat istana

kepada penduduk berfungsi sebagai sumber pendapatan dan sumbangan

tenaga kerja untuk kerajaan.[9] Pada waktu VOC mulai terlibat dalam

kegiatan penebangan kayu (timberm extraction), para pekerja dari penduduk

desa sekitar hutan sudah mempunyai ketrampilan yang tinggi. Karenanya,

VOC tinggal mengatur dan memanfaatkan ketrampilan penduduk tersebut

untuk meningkatkan intensitas penebangan kayu agar lebih banyak uang

yang diperoleh VOC.

Sejak tahun 1620 kompeni mengeluarkan larangan penebangan kayu tanpa

izin, dan diadakan pemungutan cukai atas kayu dan hasil hutan. Besarnya

cukai dimaksud adalah sepuluh persen (10%). Pada tanggal 10 Mei 1678,

kompeni memberikan izin kepada saudagar Cina yang bernama Lim Sai Say

untuk menebang kayu di seluruh daerah sekitar Betawi, dan

mengeluarkannya dari hutan untuk keperluan kota, asal membayar cukai

sepuluh persen. Sekitar tahun 1760, hutan daerah Rembang sebagian besar

sudah ditebang habis oleh kompeni. Kemudian kompeni memerintahkan

orang-orangnya dari Rembang untuk menebang kayu di Blora, daerah

kekuasaan susuhunan. Pada masa itu, kompeni menganggap bahwa sumber

daya alam (hutan dan semua lahannya), baik yang diperolehnya karena

penaklukan atau karena perjanjian adalah menjadi kepemilikannya. Suatu

keputusan yang dicantumkan dalam Plakat tanggal 8 September 1803, yang

berlaku untuk daratan dan pantai pesisir Timur Laut Pulau Jawa mulai dari

Cirebon msampai ke pojok Timur, yang menegaskan bahwa semua hutan

kayu di Jawa harus dibawah pengawasan kompeni sebagai hak milik

(domein) dan hak istimewa raja dan para pengusaha (regalita). Tidak seorang

pun, terutama terhadap hutan yang sudah diserahkan oleh Raja kepada

kompeni, boleh menebang kayu, apalagi menjalankan suatu tindakan

kekuasaan. Kalau larangan ini dilanggar, maka pelanggarnya akan dijatuhi

hukuman badan.[10]Dari gambaran historis di atas, dapat dikemukakan

beberapa hal. Pertama, sejak menguatnya kekuasaan VOC di Jawa telah

menimbulkan implikasi pada beralihnya

pemilikan dan penguasaan (domein) terhadap tanah (lahan) dari domein raja

menjadi domeinnya kompeni. Raja tak lagi berdaya atas wilayah hutan dalam

kerajaannya.Namun pun demikian, hasil hutan berupa kayu masih dapat

diperuntukkan bagi kepentingan raja dan bupati. Sedangkan rakyat jelata,

tidak ada lagi hak atas hutan disekitarnya (gemeente).

Kedua, pada masa kompeni sudah ada peraturan dan penerapan hukum

kehutanan bagi masyarakat. Pemberlakuan hukum kehutanan pada masa itu

lebih diutamakan untuk kepentingan kompeni dalam mengeksploitasi dan

mengeksplorasi sumber daya alam.Pada waktu itu ada anggapan, bahwa hak

rakyat atas hutan jati hanya dilimpahkan kepada kelompok orang tertentu,

tidak kepada setiap orang. Hal ini seperti tertuang dalam Plakat tanggal 30

Oktober 1787 yang memberi izin kepada awak hutan (boskhvolkenen), yang

bekerja sebagai penebang kayu untuk kepentingan kompeni.

Ketiga, merujuk pada Surat Keputusan Kompeni tanggal 10 Mei 1678

tentang pemberian izin menebang kayu kepada saudagar Cina, dapatlah

dipahami bahwa sejak pemerintahan zaman kompeni sudah ada kolaborasi

antara etnis Cina dengan para penguasa dalam hal eksploitasi sumber daya

hutan, terutama kayu. Mengingat telah terlalu lama etnis Cina berkiprah

dalam bidang perhutanan, maka wajar saja kalau sebagian besar izin HPH

(hak pemanfaatan hasil hutan) dipegang oleh kelompok mereka hingga

sekarang ini.Banyaknya kasus kerusakan hutan di berbagai daerah di

nusantara ini, terindikasi kuat akibat ulah para pengusaha tersebut, yang

senyatanya dikuasai oleh kalangan nonpribumi. Karena hutan tempat resapan

air telah digunduli, maka pribumi, masyarakat adat di pedesaan dan

kelompok marginal perkotaan seringkali harus menjadi korban banjir.

Keempat, yang penting dikemukakan dalam konstelasi hukum kita, adalah

musnahnya hak ulayat (wewengkon) atas penguasaan hutan desa oleh

masyarakat desa di Jawa selama penjajahan VOC. Hutan di wewengkon desa

tertentu hanya boleh ditebang atau dimanfaatkan oleh warga dari desa yang

bersangkutan. Orang dari desa lain, kalau hendak mengambil kayu dari

hutan, harus minta izin kepada demang (petinggi) desa tersebut.

b.      Masa Penjajahan Hindia Belanda (1850 – 1942)

Sekalipun pengaturan dalam bentuk peraturan tertulis tentang kehutanan sudah

ada sejak berkuasanya VOC. Tetapi secara lebih meluas, momentum awal

pembentukan hukum tentang kehutanan di Indonesia, dapat dikatakan dimulai

sejak tanggal 10 September 1865, yaitu dengan diundangkannya pertama

sekali Reglemen tentang Hutan (Boschreglement) 1865. Reglemen ini

merupakan awal mula adanya pengaturan secara tertulis upaya konservasi

sumber daya hayati. [11]

c.       Masa penjajahan Jepang (1942-1945)

Begitu menduduki kepulauan nusantara dan mengusir kekuasaan kolonial

Belanda yang telah menanamkan pengaruh berabad-abad lamanya, Pemerintah

Militer Jepang membagi daerah yang didudukinya ini menjadi 3 (tiga) wilayah

komando, yaitu (1) Jawa dan Madura, (2) Sumatera, dan (3) Indonesia bagian

Timur. Pada tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Militer Jepang mengeluarkan

Undang-undang (Osamu Sirei) Tahun 1942 Nomor 1 yang berlaku untuk Jawa

dan Madura, dimaklumatkan bahwa seluruh wewenang badan-badan

pemerintahan dan semua hukum serta peraturan yang selama ini berlaku, tetap

dinyatakan berlaku kecuali apabila bertentangan dengan Peraturanperaturan

Militer Jepang.[12] Berdasarkan maklumat di atas, jelas bahwa semua hukum

dan undang-undang yang berlaku pada masa kolonial Pemerintahan Hindia

Belanda tetap diakui sah oleh Pemerintah Militer Jepang, sebagai penjajah

berikutnya. Sehubungan dengan pemberlakuan Osamu Sirei Tahun 1942

Nomor 1 tersebut, maka dalam bidang hokum kehutanan tetap berlaku

ketentuan yang sudah ada pada masa kolonial Belanda, yaitu Boschordonantie

atau Ordonansi Hutan 1927 beserta dengan berbagai peraturan pelaksanaannya

(Boschverordening 1932)

3.      Masa setelah kemerdekaan

Dalam masa ini terbagi menjadi 3 masa, yaitu :

a)         Masa Pemerintahan Orde Lama (1945 –1965)

Perkembangan hukum di Indonesia dalam era pergolakan, antara tahun 1945-

1950 menurut Soetandyo Wignyosoebroto, mengalami sedikit komplikasi.

Runtuhnya kekuasaan Jepang pada akhir Perang Pasifik segera saja

“mengundang pulang” kekuasaan Hindia Belanda yang mengklaim dirinya

secara de jure sebagai penguasa politik satu-satunya yang sah di nusantara ini.

Kekuasaan Republik Indonesia tidaklah diakuinya, kecuali kemudian diakui

secara de facto.[13]

Di daerah-daerah bekas kekuasaan Hindia Belanda – yang telah menamakan

dirinya Indonesia – hukum warisan kolonial Hindia Belanda, termasuk hukum

tentang kehutanan diteruskan berlakunya, tanpa perlu membuat aturan-aturan

peralihan macam apapun.Produk perundang-undangan Pemerintah Militer

Jepang dinyatakan tidak lagi berlaku.

b)     Masa Pemerintahan Orde Baru (1966 – 1998)

Tak lama setelah Rezim Orde Baru berkuasa, tanggal 24 Mei 1967

diundangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK). Berlakunya UUPK produk bangsa

Indonesia ini dimaksudkan demi kepentingan nasional, dan sekaligus pula

mengakhiri keberlakuan Boschordonantie 1927 yang telah berlaku selama 40

tahun lamanya

c)      Masa Pemerintahan Reformasi (1998 – 2006)

Rezim Reformasi berupaya menata kehidupan berbangsa dan bernegara

dengan melakukan reformasi konstutisi, reformasi legislasi, dan reformasi

birokrasi. Sebagai dampak dari reformasi legislasi, maka banyak peraturan

perundang-undangan produk Orde Baru yang diganti dan disesuaikan dengan

semangat reformasi. Salah satunya adalah dicabut Undang-undang Nomor 5

Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang diganti

dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan (UUK).

B.     Pengertian hutan dan kawasan hutan

Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-

undang  Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.  Menurut  Undang-undang

tersebut, Hutan adalah suatu  kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalampersekutuan alam

lingkungan, yang satu dengan  yang lainnya tidak dapat dipisahkan.[14]

Dari definisi hutan yang disebutkan, terdapat unsur-unsur yang meliputi :

a) Suatu kesatuan ekosistem

b) Berupa hamparan lahan

c) Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat

dipisahkan satu dengan yang lainnya.

d) Mampu memberi manfaat secara lestari.

Keempat ciri pokok dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan, merupakan rangkaian

kesatuan komponen yang utuh dan saling ketergantungan terhadap fungsi ekosistem di

bumi.   Eksistensi hutan sebagai subekosistem global menenpatikan posisi penting sebagai

paru-paru dunia.

Untuk dapat dikategorikan hutan, sekelompok pohon-pohon harus mempunyai tajuk-tajuk

yang cukup rapat, sehingga merangsang pemangkasan secara alami, dengan cara menaungi

ranting dan dahan di bagian bawah, dan menghasilkan tumpukan bahan organic/seresah yang

sudah terurai maupun yang belum, di atas tanah mineral. Terdapat unsur-unsur lain yang

berasosiasi, antara lain tumbuhan yang lebih kecil dan berbagai bentuk kehidupan fauna.[15]

Sedangkan kawasan  hutan lebih lanjut dijabarkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No.

70/Kpts-II/2001  tentang Penetapan  Kawasan Hutan, perubahan status dan fungsi kawasan

hutan, yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk 

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.  Dari definisi dan penjelasan tentang

kawasan hutan, terdapat unsur-unsur meliputi:

a) suatu wilayah tertentu

b) terdapat hutan atau tidak tidak terdapat hutan

c) ditetapkan pemerintah (menteri) sebagai kawasan hutan

d) didasarkan pada kebutuhan serta kepentingan masyarakat.

Dari unsur pokok yang terkandung  di dalam definisi kawasan  hutan, dijadikan dasar

pertimbangan ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan.   Kemudian,

untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan dan berdasarkan

kebutuhan sosial ekonomi masyarakat serta berbagai faktor pertimbangan fisik,  hidrologi dan

ekosistem, maka luas  wilayah yang minimal harus dipertahankan sebagai kawasan hutan

adalah 30 % dari luas daratan.

Berdasarkan kriteria pertimbangan pentingnya kawasan hutan,  maka sesuai dengan

peruntukannya menteri menetapkan kawasan hutan menjadi :

a) wilayah yang berhutan yang perlu dipertahankan sebagai hutan tetap

b) wilayah tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali dan dipertahankan sebagai

hutan tetap.

Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsinya dengan kriteria dan pertimbangan

tertentu, ditetapkan  dalam Peraturan  Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan 

dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan

Hutan Pasal 5 ayat  (2), sebagai berikut :

a) Kawasan Hutan  Konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam (cagar alam dan

Suaka Margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan

Raya, dan  Taman Wisata Alam), dan Taman Buru.

b) Hutan Lindung

c) Hutan Produksi

C.    Asas dan tujuan hukum kehutanan

1)      Asas asas hokum kehutanan

Sebelum membicarakan asas hokum kehutanan perlu dikemukakan pengertian asas

hokum.Menurut Van Eikema homes asas hokum itu tidak boleh dianggap sebagai

norma hokum konkret.Akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk

bagi hokum yang berlaku.Pembentukan hokum  praktis perlu beroreintasi pada asas

hokum tersebut.Dengan kata lain, asas hokum ialah dasar atau petunjuk arah dalam

pembentukan hokum positif.[16]

Asas bukanlah kaedah hokum yang konkrit melainkan merupakan latar belakang

peraturan yang konkrit dan bersifat konkrit dan bersifat umum atau abstrak,.Pada

umumnya asas peraturan yang konkrit dan yang dalam peraturan hokum konkrit[17]

Untuk menemukan asas-asas hokum tersebut harus dicari sifat umum dalam kaidah

atau peraturan konkrit.Hal ini berarti menunjuk pada kesamaan yang terdapat dalam

ketentuan yang konkrit itu.Dari hasil analisis terhadap berbagai peraturan prundang-

undangan kehutanan, dapat dikemukakan asas hokum kehutanan yang paling

menonjol antara lain:

a)      Asas Manfaat

Asas manfaaat mengandung makna bahwa pemanfaaatan sumber daya hutan harus

dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk keakmuran rakyat

banyak(lihat pasal 13 ayat (1) UU No 5 tahun 1967).

b)      Asas kelestarian

Asas kelestarian mengandung pengertian bahwa pemanfaatan sumber daya hutan

harus senantiasa memperhatikan kelestarian sumber daya alam hutan agar mampu

memberiakan manfata yang terus-menerus(lihat pasal 13 ayat (2) UU no % tahun

1967 jo. Pasal 3 peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1990 Hak pengusahaan hokum

tanaman industri).tujuan asas kelestarian hutan adalah:

a. Agar tidak terjadi penurunan atau kekosongan produksi (production gap) dari

jenis kayu pergangan (commercial treepecies) pada rotasi(cutting cycle) yang

berikut dan seterusnya

b. Untuk penyelamatan tanah dan air (soil and water)

c. Unutk perlindungan alam

c)      Asas Perusahaan

Asas perusahaan adalah pengusaha harus mampu memberikan keuntungan financial

yang layak(lihat pasal 13 ayat(2) UU nomor 5 tahun 1967 jo peraturan pemerintah

nomor 7 tahun 1990

d)      Asas Perlindungan hutan

Asas perlindungan hutan adalah suatu asas yang setiap orang atau badan hokum harus

ikut berperan serta untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil hutan

yang disebabkan oleh perbuatan manusia.

2)      Tujuan Hukum kehutanan

Tujuan hokum kehutanan adalah melindungi, memanfaatan, dan melestarikan hutan agar

dapat berfungsi dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat secara lestari.Hukum

kehutanan mempunyai sifat khusus (lex specialis) karena hokum kehuatan ini hanya

mengatur hal-hal yang berakaitan dengan hutan dan kehutanan.Apabila ada peraturan

perundang-undangan lainnya yang mengatur materi yang bersangkutan dengan hutan dan

kehutanan maka akan diberlakukan lebih dahulu adalah hokum kehutanan.Oleh karena itu,

hokum hokum kehutanan disebut sebagai lex specialis, sedangkan hokum lainnya seprti

agraria dan hokum lingkungan sebagai hokum umum (lex specialis derogate legi generalis)

D.    Status dan fungsi  hutan

1)      Status hutan

Menurut pasal 5 UU No 41 1999 tentang kehutanan, Hutan berdasarkan statusnya

terdiri dari: 

a. hutan Negara yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas

tanah.

b. hutan hak yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hak

atas tanah, misalnya hak milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), dan hak guna

bangunan (HGB).

2)      Fungsi hutan

Hutan mempunyai tiga fungsi, menurut pasal 6 ayat (1)  UU No 41  tahun 1999 tentang

kehutanan  yaitu: 

·      fungsi konservasi,

·      fungsi lindung, dan

·      fungsi produksi.

Berdasarkan tiga fungsi tersebut, pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok,

yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.

1) Hutan Konservasi

Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi

pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan

konservasi terdiri atas kawasan hutan suaka alam dan kawasan hutan pelestarian alam.

a) Hutan Suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi

pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan

ekosistemnya serta berfungsi sebagai wilayah penyangga kehidupan. Kawasan hutan

suaka alam terdiri atas cagar alam, suaka margasatwa dan Taman Buru

b) Kawasan Hutan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik didarat

maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga

kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan

secara lestari sumber alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam terdiri

atas taman nasional, taman hutan raya (TAHURA) dan taman wisata alam

2) Hutan Lindung

Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai

perlindungan sistem penyangga kehidupan

3)   Hutan Produksi

Hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan

untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya serta pembangunan, industri,

dan ekspor pada khususnya. Hutan produksi dibagi menjadi tiga, yaitu hutan produksi

terbatas (HPT), hutan produksi tetap (HP), dan hutan produksi yang dapat

dikonservasikan (HPK).

Secara umum fungsi hutan adalah untuk kehidupan Sebagai bagian dari cagar lapisan

biosfer, hutan memiliki banyak fungsi yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

makhluk di muka bumi.Tak hanya manusia, hewan dan tumbuhan pun sangat

memerlukan hutan untuk kelangsungan hidupnya.

Allah menciptakan hutan bukan sekedar melengkapi keindahan bumi-Nya, namun di

sini lah kita akan menemukan fungsi hutan yang sangat penting bagi kehidupan

makhluk di muka bumi. Ada beberapa fungsi hutan yang sangat vital bagi kehidupan

makhluk di bumi, diantaranya adalah sebagai berikut;

1. Menghasilkan Oksigen bagi Kehidupan

Hutan adalah kumpulan pepohonan yang berperan sebagai produsen oksigen.

Tumbuhan hijau akan menghasilkan oksigen dari hasil proses fotosintesis yang

berlangsung di daun tumbuhan tersebut. Dengan jumlah pepohonan yang cukup luas,

tentunya hutan akan memberikan suplay kebutuhan oksigen yang cukup besar bagi

kehidupan di muka bumi ini. Bisa Anda bayangkan bagaimana bumi ini tanpa hutan.

Sebagai contoh saat kita berada di kawasan padang tandus yang tidak ditumbuhi

pepohonan hijau, apa yang Anda rasakan? Dan setelah itu cobalah berteduh di bawah

sebuah pohon yang rindang. Tentu akan terasa jelasperbedaan suasana yang kita

rasakan. Begitulah fungsi hutan sebagai penyedia oksigen kehidupan.

2. Menyerap Karbon Dioksida

Karbon dioksida dibutuhkan oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis.Sebuah

keseimbangan alam yang luar biasa telah Allah ciptakan untuk kehidupan manusia.

Karbon dioksida adalah gas berbahaya apabila dihirup secara berlebih oleh manusia.

Sebagai contoh Anda menghirup asap kendaraan bermotor, ini jelas akan sangat

membahayakan manusia.Namun ternyata di sisi lain tumbuhan memerlukan gas

tersebut untuk menghasilkan oksigen yang sangat dibutuhkan makhluk

bumi.Keberadaan hutan yang luas di muka bumi, akan memberikan peluang

penyerapan karbon dioksida yang lebih besar. Akibatnya udara di muka bumi akan

bersih dan jumlah oksigen yang dihasilkan hutan pun akan semakin besar.Inilah

fungsi hutan yang cukup luar biasa Allah ciptakan untuk manusia.Anda tentu masih

sangat familiar dengan istilah efek rumah kaca alias pemanasan global. Inilah peran

tersebut. Gas penyebab efek rumah kaca adalah karbon dioksida (CO2).

3. Mencegah Erosi

Keberadaan kawasan hutan yang luas juga akan membantu mencegah erosi atau

pengikisan tanah. Pengikisan tanah dapat disebabkan oleh air. Hutan yang luas akan

menyerap dan menampung sejumlah air yang besar. Akibatnya banjir dan tanah

longsor dapat dikembalikan. Kawasan yang tandus dan gersang biasanya akan rawan

dengan bencana longsor. Inilah fungsi hutan yang lain dan kerap kita lupakan. Para

penebang hutan secara liar melakukan penggundulan hutan tanpa rasa tanggung jawab

terhadap keselamatan bumi. Mereka sebenarnya tak hanya berkhianat kepada banyak

orang, tapi juga kepada bumi sebagai tempat tinggal mereka.

4. Kawasan Lindung dan Pariwisata

Hutan juga berfungsi sebagai tempat untuk melindungi aneka hewan dan tumbuhan

langka. Habitat mereka dilestarikan di kawasan hutan khusus. Di samping itu hutan

juga dapat berfungsi sebagai objek penelitian, tempat wisata dan berpetualang.[18]

BAB IIIKESIMPULAN DAN SARAN

Bedasarkan uraian tersebut diatas sehingga kesimpulan dan saran yang dapat dikemukakan

dalam dalam rangka pelaksanaan atau penegakan hokum kehutanan di Indonesia adalah

sebagai berikut:

A.    Kesimpulan

1. Hukum kehutanan di Indonesia terutama berkaitan dengan pelaksanaan atau

penegakan hokum dibidang kehutanan merupakan masalah yang sangat penting

karena hutan merupakan berkah dan titipan dari Hukum kehutanan di Indonesia

terutama berkaitan dengan pelaksanaan atau penegakan hokum dibidang kehutanan

merupakan masalah yang sangat penting karena hutan merupakan berkah dan titipan

dari Tuhan Yang Maha Esa, merupakan harta kekayaan yang diatur oleh pemerintah,

memberikan kegunaan bagi umat manusia, oleh sebab itu wajib dijaga, ditangani, dan

digunakan secara maksimal untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat secara

berkesinambungan

2. Hutan sebagai salah satu penentu penopang kehidupan dan sumber kemakmuran

masyarakat, semakin menurun keadaannya, oleh sebab itu eksistensinya harus dijaga

secara terus-menerus, agar tetap abadi, dan ditangani dengan budi pekerti yang luhur,

berkeadilan, berwibawa, transparan, dan professional dan baertanggung jawab

B.     Saran

Disarankan agar pemerintah perlu meningkatakan pelaksanaan dan penegakan hokum

dibidang kehutanan meliputi profesionalisme sumber daya manusia, koordinasi, dan

pengawasan antar instansipemerintah lainnya, dengan upaya-upaya yang direncanakan

dan dibuat secara baik dan dapat dilaksanakan

Disarankan agar pengusaha hutan mengoptimalkan kapabilitas ilmu pengetahuan dan

teknologi dalam mendukung pengelolaan dan pemanfaatan potensi hutan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

1. SEJARAH HUKUM PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA , eprints.ums.ac.id/347/1/3._NYOMAN_NURJAYA.pdf Diakses pada tanggal 7 maret 2012 pukul 14.00 wib

2. Abdul Muis Yusuf,  Hukum Kehutanan Di Indonesia, (Rineka Cipta, Jakarta  2011)

3. Pendapat Savigny ini dipengaruhi oleh pemikiran de Montesque dalam bukunya berjudul “LEsprit de Lois” yang mengemukakan adanya hubungan antara jiwa atau semangat (spirit) sesuatu bangsa dengan hukumnya. Lihat, Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, Dasar‐Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001

4. Iman Sudiyat, Asas‐Asas Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta, 19855. Hilman Hadikusuma, Sejarah Hukum Adat Indonesia, Alumni, Bandung, 19836. H.M. Yamin, Tatanegara Madjapahit Sapta Parwa I, Prapanca, Djakarta, tt.7. T.I. El Hakimy, Hukum Adat Tanah Rimba di Kemukiman Leupung Aceh Besar,

Pusat Studi Hukum Adat dan Islam, FH Unsyiah, Banda Aceh , 19848. Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup,

Chandra Pratama, Jakarta, 1995,9. Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan & Pembangunan Bidang Kehutanan,

Rajawali Pers, Jakarta 1999,10. Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal

11. Soetandyo Wignyosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1994

12. Soetandyo Wignyosoebroto, Op. Cit.13. Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang kehutanan14. DEFINISI DAN PENGERTIAN HUTAN MENURUT AHLI KEHUTANAN 

www.silvikultur.com/definisi_pengertian_hutan.html diakses tgl 5 maret 2012 pukul 15.30 wib

15. Sudikno mertokesumo op cit, Liberty yogyakarta, 198616. FUNGSI HUTAN :: Aneka Macam Fungsi Hutan, www.anneahira.com/fungsi-

hutan.htm , diakses tanggal 16 Maret 2012 pukul 09.11 wib