Upload
dewi-ruhael-a
View
458
Download
45
Embed Size (px)
DESCRIPTION
HULU LATEKS
Citation preview
Proses Pengolahan Crepe dan Pengaruh Kesalahan Pembuatan Crepe
MAKALAH
Disusun Oleh :Kelompok 3/THP-A
1. Reni Soraya (141710101085)2. M. Dwi Nur Cahyo (141710101088)3. Etika Hanif Rosyidahwati (141710101091)4. Alan Pria Agung (141710101094)5. Dewi Ulfa (141710101097)6. Hamid Tri Maujudin (141710101100)7. Rizka Dwi Khairunnisa (141710101103)8. Pungky wildan Zain (141710101106)9. Jefrinka Nelza Emania (141710101109)10. Rio Bagus (141710101112)11. Khafidatul Jannah (141710101118)12. Adellia Sonia Borneo P. (141710101121)
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBERSeptember, 2015
DAFTAR ISI
Halaman Judul................................................................................................. i
Daftar Isi .......................................................................................................... ii
Daftar Tabel .................................................................................................... iii
Daftar Gambar ................................................................................................ iv
Daftar Lampiran . ............................................................................................ v
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................. 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3
2.1 Pengertian Crepe ................................................................................ 3
2.2 Proses Pengolahan Crepe .................................................................. 4
2.3 Jenis- jenis Crepe ............................................................................... 5
BAB 3. PEMBAHASAN ................................................................................... 14
BAB 4. PENUTUP ........................................................................................... 18
4.1 Kesimpulan ......................................................................................... 18
4.2 Saran ................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 19
LAMPIRAN ...................................................................................................... 23
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karet atau karet alam merupakan salah satu hasil pertanian yang
memegang peranan penting dalam meningkatkan taraf hidup manusia. Karet
adalah tanaman perkebunan tahunan berupa pohon batang lurus. Banyak dari
perkebunan karet yang menyumbangkan devisa kepada negara. Karet alam
dihasilkan dari perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Umumnya karet rakyat
bermutu rendah karena alat dan cara pengolahannya masih sangat sederhana.
Karet mempunyai sifat kenyal (elastis), sifat kenyal tersebut berhubungan dengan
viskositas atau plastisitas karet. Karet sebagai kebutuhan yang vital bagi
kehidupan manusia, hal tersebut dikarenakan karet dapat diolah menjadi beberapa
barang yang dapat menunjang atau mendukung kebutuhan hidup manusia setiap
harinya. Kebutuhan tersebut terus meningkat seiring dengan meningkatnya
standar hidup manusia.
Lateks adalah suatu istilah yang dipakai untuk menyebut getah yang
dikeluarkan oleh pohon karet. Lateks itu sendiri terdapat pada bagian kulit, daun
dan integument biji karet. Lateks merupakan suatu larutan koloid dengan partikel
karet dan bukan karet yang tersuspensi di dalam suatu media yang banyak
mengandung bermacam-macam zat. Warna lateks adalah putih susu sampai
kuning (Djumarti, 2011). Ada beberapa tahapan proses pengolahan lateks di
tempat pengolahan ataupun pabrik. Pengolahan tersebut biasanya memiliki
tahapan kerja tertentu agar dapat dihasilkan olahan lateks berupa lembaran (sheet)
yang berkualitas tinggi. Beberapa tahapan pengolahan lateks antara lain seperti
penerimaan lateks setelah dilakukannya penyadapan, pengenceran lateks,
pembekuan lateks, penggilingan, pengeringan, pengasapan serta sortasi. Pada
proses penggilingan ada tahapan dimana koagulum yang didapatkan dari lateks di
ambil dan digiling dengan mesin penggiling manual atau otomatis hingga
terbentuk lembaran lembaran yang mempunyai lebar,panjang dan tebal tertentu.
Lembaran lembaran yang telah dihasilkan dari mesin penggiling selanjutnya akan
dikeringkan. Lembaran-lembaran yang dihasilkan dari pengolahan lateks salah
satunya adalah white crepe atau pale crepe.
Crepe atau pale crepe adalah jenis crepe berwarna putih atau muda yang
tebal dan tipis. Crepes tersebut berasal dari lateks, lump karet, ataupun RSS yang
berkualitas rendah, yang pembuatnnya mirip dengan RSS hanya saja yang
berbeda adalah pada crepes terdapat proses penghilangan warna cokelat tua dari
karet kering. Hasil olahan crepes adalah karet yang berwarna putih yang digiling
menggunakan mesim penggiling menjadi lembaran-lembaran tipis cerepes.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan makalah mengenai crepe adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui definisi crepe
2. Untuk mengetahui macam-macam crepe
3. Untuk mengetahui cara pengolahan crepe
4. Untuk mengetahui pengaruh kesalahan dalam pembuatan crepe
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Karet dan Klasifikasinya
Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup
besar . Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya
tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi diatas. Dibeberapa kebun
karet ada beberapa kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring kearah
utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks.
Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang
tangkai daun utama 3-20cm. Panjang tangkai anak daun sekitar 3-10 cm dan pada
ujungnya terdapat kelenjar. Biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada
sehelai daun karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung
meruncing, tepinya rata dan gundul. Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah.
Jadi, jumlah biji biasanya ada tiga kadang enam sesuai dengan jumlah ruang.
Ukuran biji besar dengan kulit keras. Warnanya coklat kehitaman dengan bercak-
bercak berpola yang khas. Sesuai dengan sifat dikotilnya, akar tanaman karet
merupakan akar tunggang. Akar ini mampu menopang batang tanaman yang
tumbuh tinggi dan besar (Setyamidjaja, 1993).
Menurut Steenis (1975), klasifikasi botani tanaman karet adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Hevea
Spesies : Hevea brassiliensis Muell. Arg.
Bunga pada tajuk dengan membentuk mahkota bunga pada setiap bagian
bunga yang tumbuh. Bunga berwarna putih, rontok bila sudah membuahi, beserta
tangkainya. Bunga terdiri dari serbuk sari dan putik (Maryadi. 2005).
2.2 Karet Alam Atau Lateks
Karet alam adalah suatu komoditi homogen yang cukup baik, kualitas dan
hasil produksi karet alam sangat terkenal. Karet alam mempunyai daya lentur yang
tinggi, kekuatan tensil dan dapat dibentuk dengan panas yang rendah. Daya tahan
karet terhadap benturan, goresan, dan koyakan sangat baik. Namun karet alam tidak
begitu tahan terhadap faktor – faktor lingkungan, seperti oksidasi dan ozon. Karet
alam juga mempunyai daya tahan yang rendah terhadap bahan – bahan kimia seperti
bensin, minyak tanah, bensol, pelarut lemak (degreaser), pelarut, pelumas sintetis dan
cairan hidrolik. Karena sifat fisik dan daya tahannya, karet alam dipakai untuk
produksi – produksi pabrik yang membutuhkan kekuatan yang tinggi dan panas yang
rendah (misalnya ban pesawat terbang, ban truk raksasa, dan ban – ban kendaraan)
dan produksi - produksi teknik lain yang memerlukan daya tahan sangat tinggi
(Spillane,J,1989).
Lateks merupakan suatu sistem koloid dimana terdapat
partikel karet yang dilapisi oleh protein dan fosfolipid yang
terdispersi di dalam serum. Lateks terdiri dari 25-45%
hidrokarbon karet selebihnya merupakan bahan-bahan bukan
karet. Komposisi karet bervariasi tergantung dari jenis klon, umur
tanaman, iklim, sistem deres, dan kondisi tanah (Southron,
1968).
Karet alam diperoleh dengan cara penyadapan pohon Hevea Brasiliensis,
karet alam memiliki berbagai keunggulan dibanding karet sintetik, terutama dalam
hal elastisitas, daya redam getaran, sifat lekuk lentur (flex-cracking) dan umur
kelelahan (fatigue). Dewasa ini karet alam diproduksi dalam berbagai jenis, yakni
lateks pekat, karet sit asap, crumb rubber, karet siap atau tyre rubber, dan karet
reklim (Reclimed Rubber).
a. Lateks pekat diolah langsung dari lateks kebun melalui proses pemekatan
yang umumnya secara sentrifugasi sehingga kadar airnya turun dari sekitar
70% menjadi 40-45%. lateks pekat banyak dikonsumsi untuk bahan baku
sarung tangan, kondom, benang karet, balon, dan barang jadi lateks lainnya,
mutu lateks pekat dibedakan berdasarkan analisis kimia antara lain kadar
karet kering, kadar NaOH, Nitrogen, MST dan analisis kimia lainnya.
b. Karet sip asap atau dikenal dengan nama RSS (Ribbed Smoked Sheet) dan karet
krep (crepe) digolongkan sebagai karet konvensional, juga dibuat langsung dari
lateks kebun, dengan terlebih dahulu menggumpalkannya kemudian digiling
menjadi lembaran – lembaran tipis dan dikeringkan dengan cara pengasapan
untuk karet sip asap, dan dengan cara pengeringan menggunakan udara panas
untuk karet krep. Mutu karet konvensional dinilai berdasarkan analisis visual
permukaan lembaran karet. Mutu karet akan semakin tinggi bila permukaannnya
makin seragam, tidak ada gelembung, tidak mulur, dan tidak ada kotoran serta
teksturnya makin kekar / kokoh.
c. Crumb rubber (karet remah) digolongkan sebagai karet spesifikasi teknis
(TSR=Technical Spesified Rubber), karena penilaian mutunya tidak dilakukan
secara visual, namun dengan cara menganalisis sifat – sifat fisika kimianya
seperti kadar abu, kadar kotoran, kadar N, Plastisitas Wallace dan Viscositas
Mooney. Crumb rubber produksi Indonesia dikenal dengan nama SIR (Standard
Indonesian Rubber).
d. Karet siap atau Tyre Rubber merupakan barang setengah jadi dari karet alam
sehingga dapat langsung dipakai oleh konsumen, baik untuk pembuatan ban
atau barang yang menggunakan bahan baku karet alam lainnya. Tyre rubber
memiliki beberapa kelebihan dibandingkan karet konvensional. Ban atau
produk – produk karet lain jika menggunakan Tyre Rubber sebagai bahan
bakunya memiliki mutu yang lebih baik dibandingkan jika menggunakan
bahan baku karet konvensional. Selain itu jenis karet ini memiliki daya
campur yang baik sehingga mudah digabung dengan karet sintetis.
e. Karet reklim (Reklimed Rubber)
Karet reklim merupakan karet yang diolah kembali dari barang – barang karet
bekas, terutama ban – ban mobil bekas. Karet reklim biasanya digunakan
sebagai bahan campuran, karena mudah mengambil bentuk dalam acuan serta
daya lekat yang dimilikinya juga baik. Pemakaian karet reklim
memungkinkan pengunyahan (mastication) dan pencampuran yang lebih
cepat. Produk yang dihasilkan juga lebih kukuh dan lebih tahan lama dipakai.
Kelemahan dari karet reklim adalah kurang kenyal dan kurang tahan gesekan
sesuai dengan sifatnya sebagai karet daur ulang. Oleh karena itu karet reklim
kurang baik digunakan untuk membuat ban (Tim Penulis, 1999).
Lateks sebagai bahan baku barang jadi karet, harus
memiliki kualitas yang baik. Adapun beberapa faktor yang
mempengaruhi kualitas lateks, diantaranya adalah:
1. Faktor kebun (jenis klon, sistem sadap, kebersihan pohon,
dan lain-lain)
2. Iklim (musim dingin mendorong terjadinya prakoagulasi,
musim kemarau keadaan lateks tidak stabil).
3. Alat-alat yang digunakan dalam penggumpalan dan
pengangkutan (yang baik terbuat dari aluminium dan baja
tahan karat).
4. Pengangkutan (goncangan, keadaan tangki, jarak dan jangka
waktu)
5. Kualitas air dalam pengolahan
6. Bahan-bahan kimia yang digunakan dan komposisi lateks
Bila kadar air tinggi yang disebabkan oleh pengeringan yang
kurang sempurna
atau penyimpanan dalam ruangan yang lembab, maka
pertumbuhan bakteri dan jamur akan terjadi dan lazim disertai
dengan timbulnya bintik-bintik warna dipermukaan lembaran.
Bintik-bintik ini akan merusak kualitas dan menyebabkan produk
tersebut tidak disukai dalam perdagangan (Setyamidjaja, 1993).
Selain faktor diatas lateks yang baik harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut :
1. Disaring dengan saringan berukuran 40 mesh
2. Tidak terdapat kotoran atau benda lain seperti daun atau
kayu
3. Tidak bercampur dengan bubur lateks, air ataupun serum
lateks
4. Warna putih dan berbau lateks segar
5. Lateks kebun bermutu 1 mempunyai kadar karet kering 28%
dan lateks kebun bermutu 2 mempunyai kadar karet kering
20% (Penebar swadaya, 1992).
Tabel 1. Komposisi Lateks Segar
Komponen Persentase (%)
Kandungan karet 35,62
Resin 1,65
Protein 2,03
Kadar abu 0,70
Zat gula 0,34
Air 59,62
Sumber : Setyamidjaja (1993).
2.2 Perbedaan Karet Alam dan Karet Sintetis
Walaupun karet alam sekarang ini jumlah produksi dan konsumsinya jauh
dibawah lateks sintetis, tetapi sesungguhya karet alam belum dapat digantikan
oleh karet sintetis. Bagaimanapun, keunggulan yang dimiliki karet alam sulit
ditandingi oleh karet sintetis. Karet alam mempunyai kelebihan dibandingkan
dengan karet sintetis diantaranya adalah:
a. Memiliki daya elastis dan daya lenting yang sempurna
b. Memiliki plastisitas yang baik sehingga pengolahannya mudah
c. Mempunyai daya aus yang tinggi
d. Tidak mudah panas (low heat built up)
e. Memiliki daya tahan yang tinggi terhadap keretakan (goove cracking
resistance) (Tim Penulis PS, 1999).
Walaupun demikian, karet sintetis memiliki kelebihan seperti tahan terhadap
berbagai zat kimia dan harganya cenderung bisa dipertahankan tetap stabil.
Pengiriman atau suplai karet sintetis dalam jumlah lebih jarang mengalami
kesulitan. Hal seperti ini sulit diharapkan dari karet alam.
2.3 Crepe
Krep (crepe) adalah produk lain yang dihasilkan dalam pengolahan karet
alam. Bila menggunakan bahan baku lateks, pelaksanaan pungutan lateks atau
penyadapan di kebun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh
krep yang baik kualitasnya (Safitri, 2010). Kandungan karet kering untuk sit
(sheet) dan krep (crepe) adalah 93%, sedangkan kandungan air antara 0,3-0,9%
(Najiha, 2007).
Sifat-sifat karet alam yang terpenting untuk menjamin mutunya:
1. Viskositas harus cukup rendah
2. Ketahanan oksidasi harus cukup tinggi
3. Sifat-sifat pematangan harus cukup cepat matang tanpa penyaluran yang terlalu
cepat
4. Kadar zat tambahan dan kotoran harus serendah mungkin (Safitri, 2010).
2.4 Jenis-jenis Crepe
Crepe merupakan jenis karet alam olahan yang termasuk dalam karet alam
konvensional. Berikut merupakan macam crepe dan standar mutunya menurut
Harahap (2009) :
1. White Crepe Pale Crepe
Crepe jenis ini memiliki warna putih atau muda, ada yang tebal dan ada pula
yang tipis. Standar mutu dalam kelompok white crepe dan pale crepe adalah
sebagai berikut:
a. No. 1 X Thin White Crepe
Karet yang termasuk kelas ini harus kering, kokoh, dan warnanya putih
merata. Warna yang luntur, bau asam atau tidak enak, noda, debu, pasir, minyak,
atau bekas oksidasi tidak diperbolehkan.
b. No. 1 Thin White Crepe
Pada kelas ini masih mentoleransi perubahan warna asalkan sangat kecil.
c. No. 1 Thin Pale Crepe
Kelas ini tidak memperbolehkan adanya kelunturan, bau asam, dabu,
noda – noda pasir, atau benda – benda asing, dan bekas – bekas oksidasi.
d. No. 2 Thin Pale Crepe
Dikelas ini karet harus dalam keadaan kering dan kokoh dengan warna
lebih tua dari no 1 thin pala crepe, hanya ada belang- belang masih diperbolehkan
asalkan tidak lebih dari 10%.
e. No. 3 Thin Pale Crepe
Karet untuk kelas ini harus kering, kokoh, dan warnanya sedikit
kekuningan. Dalam kelas ini perubahan warna menjadi sedikit lebih tua, belang-
belang , atau garis- garis masih diperbolehkan.
2. Estate Brown Crepe
Sesuai dengan namanya, crepe ini memiliki warna coklat muda, biasanya
diproduksi oleh perkebunan-perkebunan besar. Dibuat dari bahan-bahan yang
kurang baik, seperti sisa lateks, lump, atau koagulum yang berasal dari
prokoagulasi, serta scrap atau lateks kebun yang sudah kering dibidang
penyadapan. Kelompok Estate Brown Crepe berdasarkan standar mutu adalah
sebagai berikut :
a. No. 1 Thin Brown Crepe
Karet kelas ini harus kering, bersih, dan berwarna coklat muda.
Diperbolehkan adanya noda, benda-benda asing semacam pasir, bekas oksidasi,
bau asam dan warna yang luntur.
b. No. 2 Thin Brown Crepe
Kelas ini kualifikasinya sama dengan kelas no 1 thin brown crepe,
perbedaannya terletak pada warnanya yang tidak harus coklat muda, tetapi coklat
sadang.
c. No. 3 Thin Brown Crepe
Karet kelas ini sama hampir sama dengan kelas diatasnya, warna coklat
hingga coklat tua masih diperbolehkan.
d. N.o 2 Thin Brown Crepe Remills
Kualifikasi secara umum sama dengan kelas di atasnya. Namun
warnanya dari coklat muda sampai sedang.
e. No. 3 Thin Brown Crepe Remills
Kualifikasi sama dengan kelas di atasnya, tetapi warnanya coklat sedang
hingga coklat tua sedang.
f. No. 4 Thin Brown Crepe Remills
Kualifikasi sama dengan kelas di atasnya, Perbedaannya terletak pada
warnanya yang coklat tua sadang hingga coklat tua.
3. Thick Blanket Crepe Ambers
Thick Blanket Crepe Ambers adalah Crepe Blanket yang tebal dangan
warna coklat, dan terbuat dari slab basah, sheet tanpa pengasapan, lump, dan
scrap dari perkebunan besar atau kebun rakyat yang baik mutunya. Standar mutu
jenis ini sebagai berikut :
a. No. 2 Thick Blanket Crepe Ambers
Karet no.2 thick blanket crepe ambers harus kering dan bersih dengan
warna coklat muda. Benda-benda asing seperti noda kulit kayu, pasir, lumpur,
minyak, bintik-bintik, bekas panas atau oksidasi, serta warna luntur tidak
diperbolehkan.
b. No.3 Thick Blanket Crepe Ambers
Kualifikasinya hampir sama dengan kelas di atasnya, perbedaannya
warnanya dari coklat sedang hingga coklat. Belang-belang masih ditolerir asalkan
dalam jumlah tidak terlalu banyak.
c. No.4 Thick Blanket Crepe Ambers
Syaratnya sama dengan kelas di atasnya. Perbedaannya hanya pada
warna yaitu dari coklat hingga coklat tua.
d. Flat Bark Crepe
Flat Bark Crepe adalah karet tanah atau earth rubber, yakni crepe yang
dihasilkan dari karet alam yang belum diolah, termasuk scrap tanah yang
berwarna hitam. Karet ini harus kering dangan warna coklat tua sampai kehitaman
dan bertekstur sedang hingga lembek. Tidak diperbolehkan adanya kelenturan,
bekas panas, pasir, lumpur, dan pengepakan tidak bersih.
e. Pure Samoked Blanket Crepe
Crepe ini didapatkan dari penggilingan karet asap yang berasal dari
ribbed smoked sheet, termasuk karet bongkah atau block sheet dan sisa
potongannya. Standar mutunya adalah kering, bersih, kuat, liat, dan berbau karet
asap yang khas. Warnanya dari coklat hingga coklat tua.
f. Off Crepe
Crepe jenis ini terbuat dari bahan- bahan sisa atau bermutu jelek,
misalnya lembaran-lembaran ribbed smoked sheet yang penggilingannya tidak
sempurna, busa lateks, dan bekas air cucian yang masih banyak mengandung
lateks. Tidak ada standar mutu pada jenis karet ini.
Menurut Setyamidjaja (1993) produk krepe tergolong menjadi beberapa
macam tergantung dari bahan baku atau perlakuan khusus unutuk tujuan tertentu.
Beberapa macam crepe adala:
1. Thin pale crepe
Berupa lembaran-lembaran krep yang tipis berwarna kuning muda
dengan tebal antara 1,0-1,7 mm. Krep ini berasal dari bahan baku lateks. Secara
umum thin pale crepe inilah yang disebut krep.
2. Thin brown crepe
Berupa lembaran-lembaran krep yang tipis berwarna kuning kecoklat-
coklatan berasal dari bahan baku karet mutu rendah seperti: screp, lump, busa, dan
sebaginya. Tebal lembaran 1,5-2,0 mm.
3. Sole crepe
Sole crepe atau krep sol adalah beberapa jenis krep yang licin dan rata
berwarna muda yang dikempa (dipress) menjadi lembaran-lembaran yang
tebalnya berkisar antara 3,2-6,4 mm.
2.4 Proses pengolahan crepe
Prinsip pengolahan karet crepe adalah mengubah lateks segar dari kebun
menjadi lembaan crepe melalui proses penyaringan, pengenceran, pembekuan,
penggilingan dan pengeringan. Perbedaannya dengan pengolahan sheet erletk
pada tahap penggelingan dan pengeringan crepe.
Untuk dibuat menjadi karet crepe, lateks segar yang telah dikumpulkan
dari kebun terlebih dahulu disaring ditempat pengolahan. Penyaringan dilakukan
bebeberapa kali untuk mendapatkan lateks yang baik dan bersih sebgai bahan
baku. Lateks encer kemudian dibekukan dengan menggunakan natrium bisulfit.
Busa atau buih buihyang timbul pada permukaan larutan segera dibuang.
Pembuangan busa yang kurang baik dapat menimbulkan garis garis pada crepe
kering. Busa busa yang dihilangkan dapat diolah kembali menjadi off crepe.
Karet crepe yang dibekukan dalam tangki koagulasi hams ditutup agar
crepe tidak tercampur kotoran. Untuk mencegah proses oksidasi yang
menyebabkan warna ungu pada crepe, ditambahkan air bersih atau larutan natrium
bisulfit 1% hingga airnya melebihi pemukaan lateks. Pemberian bisulfit juga
dapat menghindari atau mengurangi warnakuning pada lateks. Lateks beku
dengan ukuran yang besar kemudian dipotong potong telebih dahulu agar mudah
digiling. Lateks beku digilng dengan menggunakan 3 samapi 4 gilingan crepe
yang masing masing memiliki 2 roda. Setiap alat penggiling yang digunakan
memiliki kecepatan yang tidak sama. Selama berlangsungnya penggilingan air
harus selalu tersedia. Setelah penggilingan selesai, lembaran crepe digantung agar
sisa sisa air menetes dan dibantu pengeringannya oleh angin. Penggantungan
dilakukan cukup beberapa jam dan dapat langsung dibawa ke kamar pengering
agar benar benar kering. Setelah lembaran crepe benar benar kering crepe siap
untuk dipasarkan dan siap dijadikan bahan lain.
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Prinsip Pengolahan Karet Crepe
Prinsip pengolahan karet crepe adalah mengubah lateks segar dari kebun
menjadi lembaan crepe melalui proses penyaringan, pengenceran, pembekuan,
penggilingan dan pengeringan. Perbedaannya dengan pengolahan sheet erletk
pada tahap penggelingan dan pengeringan crepe.
a. Penyaringan dan pengenceran lateks
Untuk dibuat menjadi karet crepe, lateks segar yang telah dikumpulkan
dari kebun terlebih dahulu disaring ditempat pengolahan. Penyaringan dilakukan
bebeberapa kali untuk mendapatkan lateks yang baik dan bersih sebgai bahan
baku.sebelum dilakukan pengenceran dilakukan pencampuran. Menurut
Setyamidjaja (1993) percampuran harus dilakukan lebih teliti dengan
menggunakan tiga buah saringa. Busa atau buih buihyang timbul pada permukaan
larutan segera dibuang. Pembuangan busa yang kurang baik dapat menimbulkan
garis garis pada crepe kering. Busa busa yang dihilangkan dapat diolah kembali
menjadi off crepe. Pada saat dilakukan pengenceran air yang digunakan KKK
20% .
b. Pembekuan lateks
Lateks encer kemudian dibekukan dengan menggunakan natrium bisulfit.
Menurut Safitri (2010) menyatakan bahwa pengenceran dilakukan dengan natrium
bisulfit yang juga merupakan bahan pemutih. Menurut Setyamidjaja (1993)
pembekuan (koagulasi) dilakukan dalam bak koagulasi tetapi dapat juga dalam
bak pencamuran. Karet crepe yang dibekukan dalam tangki/bak koagulasi hams
ditutup agar crepe tidak tercampur kotoran. Untuk mencegah proses oksidasi yang
menyebabkan warna ungu pada crepe, ditambahkan air bersih atau larutan natrium
bisulfit 1% hingga airnya melebihi pemukaan lateks. Pemberian bisulfit juga
dapat menghindari atau mengurangi warna kuning pada lateks.
c. Penggilingan
Lateks beku dengan ukuran yang besar kemudian dipotong potong telebih
dahulu agar mudah digiling. Lateks beku digilng dengan menggunakan 3 samapi 4
gilingan crepe yang masing masing memiliki 2 roda. Setiap alat penggiling yang
digunakan memiliki kecepatan yang tidak sama. Selama berlangsungnya
penggilingan air harus selalu tersedia. Setelah penggilingan selesai. pada proses
penggilingan karet crepe itu rata tidak berpatron, kasar tidak licin. Saat proses
pengeringan karet crepe tidak dilakukan pengasapan karena karet crepe harus
berwarna putih. Berlangsungnya prose penggilingan adalah sebagai berikut:
Koagulum dimasukkan kedalam gilingan pertama. Oleh gilingan pertama
koagulum ditekan sambil digilas menjadi lembaran yang koyak-koyak, berlubang-
lubang, dan masih belum rata ketebalannya. Lembaran-lembaran ini kemudian
dilipatdua dan digiling kembali pada gilingan pertama.
Setelah keluar dari gilingan pertama, lembaran dilipat dua lalu
dimasukkan ke gilingan tengah ke-1 atau tussenwerker 1. Lembaran yang keluar
dari gilingan tengah ke-1 sudah lebih tipis tetapi masih berlubang-lubang.
Lembaran ini terus dimasukkan dalam gilingan tengah ke-2 atau tussenwerker 2
yang setelah rodanya lebih sempit.
Lembaran yang keluar dari gilingan tengah ke-2 digulung dengan
gulungan kayu atau bambu. Kemudian digiling pada gilingan akhir atau finisher
dengan tujuan untuk meratakan permukaan lembaran kreb tersebut. Selama
berlangsung proses pemggilingan lembaran-lembaran kreb, rol gilingan harus
selalu dibasahi dengan air. Maksud pemberian air ini bukan saja sebagai pencuci
serum yang keluar dari koagulum yang digiling, tetapi juga untuk menghindari
karet lengket pada rol dan untuk mendinginkan rol tiap-tiap gilingan yang bekerja.
Kebutuhan air pencuci dan pendingin adalah 25 liter tiap kadar karet kering.
Kreb yang keluar dari gilingan akhir berupa lembaran yang panjangnya
6-7 meter, lebar 40-45 cm, dan tebal 1-2 mm. Lembarang kreb permukaannya
tidak licin dan berpori-pori halus. Sekeluarnya dari gilingan akhir lembaran yang
panjang itu digulung atau dilipat-lipat. Gulungan-gulungan ini diletakkan tegak
agar airnya menetes selama 1-2 jam. Sebelum lembaran-lembaran dibawa
kerumah pengeringan biasanya ditimbang dahulu untuk mengetahui berat basah
kreb tersebut. Setelah dikeringkan, bobotnya akan susut sekitar 12-20%
(Setyamidjaja, 1993).
Tabel 1. Skema Penggilingan Kreb
Gilingan Perlakuan Hasil
Gilingan pertama
(voorwerker)
Koagulum digiling pertama
dilipat dua, digiling kedua
kalinya.
Koyak-koyak, tebal 7-
10mm, berlobang-lobang,
tebal 4-5mm
Gilingan tengah
(tussenwerker)
I. Lembaran dilipat dua,
digiling
II. Lembaran digiling tanpa
dilipat
Lembaran berlobang-
lobang kecil, tebal 3-4mm.
Gilingan akhir
(finisher)
Lembaran digiling satu kali Lembaran permukaannya
rata, tebal mencapai 1-
2mm.
Sumber: Setyamidjaja (1993).
d. Pengeringan
Setelah penggilingan selesai, lembaran crepe digantung agar sisa-sisa air
menetes dan dibantu pengeringannya oleh angin (Tim Penulis dalam Safitri,
2010). Bentuk dan konstruksi rumah pengeringan kreb berbeda dengan rumah
asap sit. Karena kreb tidak diasap dan lembaran-lembarannya panjang-panjang.
Ukuran rumah pengeringan kreb panjangnya 15 meter dengn lebar 7,5 meter serta
tingginya dari lantai ke atap 10 meter. Di dalam rumah pengeringan initerdapat
bilah-blah penggantungan yang dibuat dari bahan kayu jati. Tebal bilah adalah 4-5
cm. Bilah-bilah yang terbuat dari kayu jati penggunaannya akan tahan lama dan
cukup kuat diinjak oleh pekerja yang menggantung-gantungkan kreb yang akan
dikeringan. Bagian atas bilah penggantungan ini dibulatkan untuk menjaga agar
permukaan kreb menjadi rata. Kerapatan bilah-bilah diruangan pengeringan
dengan panas buatan adalah 8-12 cm, sedangkan pada rumah-rumah pengeringan
alami (dengan udara biasa) lebih jarang yaitu sekitar 15-20 cm (Setyamidjaja,
1993).
Cara pengeringan kreb ada dua macam yaitu dengan panas udara biasa
(pengeringan alami) dan dengan udara yang dipanaskan (pemanasan buatan). Pada
pengeringan secara alami, pengeringan memakan waktu yang cukup lama yaitu
sekitar satu bulan tergantung dari keadaan cuaca atau iklim. Pada pengeringan
dengan panas buatan suhu udara dalam ruangan pengeringan yang dibutuhkan
adalah sekitar 33-34°C. Setelah mengalami pengeringan, lembaran-lembaran kreb
umumnya telah mencapai tingkat kering yang diharapkan. Tanda-tanda kreb yang
tengah kering adalah tidak terdapat bintik-bintik keputih-putihan dan bila dites
kadar airnya telah mencapai rata-rata 0,6% (0,35-1,00%) (Setyamidjaja, 1993).
e. Sortasi
Krep yang telah selesai dikeringkan di ruang pengeringan kemudian
diangkut ke ruang sortasi. Untu memudahkan sortasi, lembaran krep yang panjang
di gulung dengan bilah kayu. Ruangan sortasi harus kering dan bersih, penerangan
atau keadaan cahaya harus cukup, biasanya dengan cahaya baur yang dapat
diperoleh dengan melalui jendela-jendela kaca susu. Noda-noda kotoran yang
terdapat pada lembarang digunting dan bekas guntingan dirapatkan kembali
(Setyamidjaja, 1993).
Menurut Setyamidjaja (1993) beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
sortasi krep yaitu warna, noda-noda kotoran, tanda-tanda oksidasi, dan belang-
belang serta bintik-bintik atau garis-garis. Standar sortasi krep berdasarkan The
International of Quality and Packing for Natural Rubber Grades atau Green Book
kualitas krep digolongkan sebagai berikut:
1. No. 1-X : Superior Quality Thin Pale Latex Crepe
2. No. 1 : Standart Quality Thin Pale Latex Crepe
Jenis krep No. 1-X dann No. 1 harus memenuhi persyaratan warna
kuning pucat, tidak terdapat noda-noda, minyak, dan bahan lainnya.
3. No. 2 : Fair Average Quality Tin Palish Latex Crepe
Jenis ini boleh berwarna tidak kuning pucat, tetapi tidak boleh
mengadung bintik-bintik, minyak, kotoran, dan bahan-bahan lainnya.
f) Pembungkusan
Pembungkusan dilakukan dengan menjadikan lembaran-lembaran
menjad bandela-bandela (bal-bal) berbentuk kubus 52cm x 52 cm x 52cm dengan
berat 80 kg. Pembungkusan harus sungguh-sungguh rapat, dibalut dengan
menggunakan lembaran-lembaran krep pembalut yang sejenis atau berkualitas
sama. Bagian luar bal diberi warna memakai larutan coating talk (dilabur)
kemudian diberi merk dan cap kiriman (Setyamidjaja, 1993).
3.2 Pengaruh Kesalahan Pembuatan Crepe
Tidak mudah untuk menghasilkan crepe yang memenuhi standar dan
mutu tinggi. Selama pembuatan banyak hal hal yang memungkinkan terjadinya
hal-hal dalam pengelolahan. Berikut ini adalah beberapa pengaruh yang
disebabkan oleh kesalahan yang biasa dilakukan dalam pembuatan crepe. Menurut
Tim Penulis PS (1999) kerusakan pada crepe meliputi:
1. Warna Crepe
a. Putih
Warna crepe terlalu putih kemungkinan besar disebabkan oleh
pemakaian natrium bisulfit secara berlebihan. Dosis yang tepat dari natrium
bisulfit harus selalu dikontrol untuk menghindarinya.
b. Kelabu
Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan crepe berwarna kelabu,
antara lain: air yang digunakan dalam proses mengandung kadar besi yang tinggi,
lateks dikentalkan dengan RPA-3/Duponol-O.S selanjutnya dibekukan dengan
asam format (yang benar dengan asam oksalat), dan gilingan sering dijalankan
padahal tidak terdapat crepe dalam mesin.
c. Abu abu tua
Bila natrium bisulfit yang digunakan dalam proses pengolahan terlalu
sedikit, maka crepe yang dihasilkan bisa berwarna abu-abu tua. Suhu pengeringan
yang terlampau tinggi serta waktu pengeringan yang terlalu lama bisa pula
menimbulkan pengaruh yang sama.
d. Kuning
Crepe yang dihasilakn berwarna kuning karena lateks berasal dari pohon
sadapan dari pohon yng jenisnya memang kuning seperti cyranji. Penyebab lain
adalah suhu pengeringan yang terlalu tinggi dan pengeringan yang terlalu lama.
e. Crepe berlubang (Lacy)
Crepe yang berubang dikarenakan cara penggililngan yang kurang baik.
Mesin giling yang sudah berumur atau sudah rusak menjadi masalah. Mesin yang
seperti itu harus diganti yang baru atau diperbaiki.
3. Crepe bergaris
Garis-garis berwarna kuning hingga coklat biasanya timbul akibat
pengaruh prakoagulasi sebelum lateks diolah, tetapi bisa juga karena busa-busa
yang timbul pada waktu penambahan asam tidak dibuang dengan bersih. Warna
garis ungu pada crepe diakibatkan pengaruh oksidasi. Garis berwarna putih dan
kuning timbul karena penambahan natrium bisulfit yang tidak bercampur secara
baik. Warna hitam kehijau-hijauan merupakan pengaruh minyak pelumas mesin
penggilingan dan pipa air prndingin mesin penggilingan yang berkarat
menyebabkan timbulnya garis-garis berwarna coklat.
4. Crepe berbutir
Butiran pada crepe terutama disebabkan oleh mesin penggilingan.
Gilingan yang tidak rata karena pengaruh gesekan akan menimbulkan crepe yang
berbutir. Bisa juga karena penggilingan yang kurang sempurna atau kedua roda
penggilingannya tidak sejajar.
5. Crepe lembek atau mulur
Bila dipegang crepe akan terasa lebih lembek dan akan memuai lebih
panjang dari panjang yang seharusnya. Penggilingan yang terlalu banyak atau
lebih dari yang seharusnya menjadikan crepe lebih tipis dan lembek lembarannya.
Suhu pengeringan yang lebih tinggi dari yang dibutuhkan akan menimbulkan
pengaruh buruk yang serupa.
6. Crepe bernoda sisa air
Apabila crepe basah disimpan terlalu lama sebelum dikeringkan, maka
akan menghasilkan crepe yang memiliki noda sisa air. Begitu juga bila crepe
kering yang sudah jadi ditaruh di tempat lembab atau yang banyak mengandung
air. Waktu pengeringan yang lama dari seharusnya pada crepe tebal atau yang
ketebalnnya tidak rata dan pemakaian natrium sulfit yang berlebihan akan
menyebabkan noda-noda. Noda sisa air yang berwarna putih merupakan akibat
dari pengeringan yang jelek. Sedangkan noda berwarna merah jambu, jingga dan
hitam kemungkinan besar karena pengaruh organisme.
7. Crepe lengket atau sticky
Lengketnya crepe bisa karena lembaran crepe yang dihasilakn terlalu
tipis atau crepe terkena sinar matahari secara langsung. Gilingan yag suhunya
terlalu panas akibat kekurangan air pendingin atau suhu air pendingin yang tinggi
sewaktu proses penghilangan juga berpengaruh serupa. Sering terjadi selip
sewaktu crepe digiling suhu pengeringan yang terlalu panas juga dapat
menyebabkan crepe lengket.
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa pada uraian bab sebelumnya, maka dengan ini
peneliti dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Krep (crepe) adalah produk lain yang dihasilkan dalam pengolahan karet
alam. Bila menggunakan bahan baku lateks, pelaksanaan pungutan lateks atau
penyadapan di kebun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
memperoleh krep yang baik kualitasnya
2. karet alam diproduksi dalam berbagai jenis, yakni lateks pekat, karet sit asap,
crumb rubber, karet siap atau tyre rubber, dan karet reklim (Reclimed
Rubber).
3. Macam crepe menurut bahan baku atau perlakuan khusus adalah thin pale
crepe, thin brown crepe, dan sole crepe.
4. Adapun tahapan-tahapan pembuatan crepe yaitu pencampuran dan
pengenceran lateks, pembekuan, penggilingan, pengeringan, sortasi, dan
pembungkusan.
5. Pengaruh kesalahan yang biasa dilakukan dalam pembuatan crepe antara lain
perubahan warna crepe, crepe berlubang (lacy), crepe bergaris, crepe berbutir,
crepe lembek atau mulur, crepe bernoda sisa air, dan crepe lengket atau
sticky.
4.2 Saran
Berdasarkan pembahasan diatas, maka seharusnya dalam pengolahan
crepe harus semaksimal mungkin sehingga hasil yang diperoleh memiliki kualitas
yang cukup baik. Seharusnya peneliti harus meneliti dan memahami jenis0jenis
crepe beserta karakteristik yang dimiliki dari masin-masing jenis crepe sehingga
akan mempermudah pengolahan dengan teknik dan metode yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Djumarti, Ir. 2011. Handout Kuliah Teknologi Pengolahan Lateks. Jember:
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Jember
Harahap, R. 2009. Analisis Komparasi Sosial Ekonomi Pada Usahatani Tanaman
Karet Rakyat Di Kabupaten Deli Serdang (Skripsi). Medan: Universitas
Sumatera Utara.
Harahap, R. 2009. Analisis Komparasi Sosial Ekonomi Pada Usahatani Tanaman
Karet Rakyat Di Kabupaten Deli Serdang (Skripsi). Medan: Universitas
Sumatera Utara.
Najiha, K. 2010. Pengaruh Kekentalan (Viskositas) Lateks Terhadap Konsenttrasi
Asam Asetat Pada Benang Karet. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Safitri, K. 2010. Pengaruh Ekstrak Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L)
Sebagai Penggumpal Lateks Terhadap Mutu Karet (Skripsi). Medan:
Sumatera Utara.
Setyamidjaja, D. 1993. Karet, Budidaya, dan Pengolahan. Yogyakarta: Kanisius.
Sinaga, J. 2010. Pengaruh Berat Arang Cangkang Kemiri (Aleurites Moluccana)
Sebagai Bahan Pengisi Terhadap Mutu Karet (Skripsi). Medan: Universitas
Sumatera Utara.
Tim Penilis PS. 2008. Panduan Lengkap Karet. Penebar Swadaya : Jakarta.
Tim penulis PS, 1999. Karet Strategi pemasaran tahun 2000, budidaya dan
pengelolahan. PT Penebar Swadya. Bogor