Upload
steven-katuuk
View
364
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
Makalah Infeksi Sistem Saraf Pusat
Pendahuluan
Infeksi pada sistem syaraf pusat dan pada jaringan disekitarnya merupakan kondisi yang
mengancam jiwa. prognosis tergantung pada identifikasi tempat dan jenis pathogen yang
menyebabkan terjadinya inflamasi sehingga bisa diberikan pengobatan anti biotic yang efektif
secepat mungkin. Olehkarena analisis LCS, biopsy, dan analisis laboratorium merupakan Gold
standard untuk mengidentifikasi pathogen penyebab meningitis, neuroimaging merupakan
pemeriksaan yang sangat penting untuk menggambarkan letak lesi pada otak dan medulla
spinalis. gambaran pola lesi menentukan diagnosis yang tepat dan menentukan tatalaksana terapi
selanjutnya. khususnya, neuroimaging memiliki peran yang sangat penting pada penyakit-
penyakit oportunistik, bukan hanya untuk penegakan diagnosis, namun juga untuk memantau
respon terapi. makalah ini membahas penemuan terkini dalam bidang neuroimaging pada infeksi
system saraf pusat seperti meningoensefalitis bacterial, ventrikulitis dan infeksi medulla spinalis,
baik oleh virus maupun penyakit oportunistik pada system saraf pusat.
Meningitis
Pada keadaan yang diduga meningitis bakterialis dengan penurunan kesadaran,
pemeriksaan CT-Scan cranium direkomendasikan sebelum lumbal punksi untuk menghindari
herniasi otak akibat edema serebri. Bagaimanapun, pengobatan antibiotik empiris harus
dilakukan sebelum CT-Scan dan lumbal punksi dilaksanakan. pada meningitis fase akut,
Pemeriksaan CT-Scan biasanya norma. Lesi pada parenkim tidak mudah terlihat pada gambaran
CT-Scan, kecuali pada iskemik yang disebankan oleh vaskulitis sekunder yang merupakan
komplikasi pada lebih dari 20% kasus (Gambar 1). CT-Scan penting dan cukup untuk
mengetahui kelainan pada basis cranii yang mungkin sebagai penyebab dan menentukan
penanganan yang cepat dan konsultasi bedah jika diperlukan. Sumber infeksi yang potensial
diantaranya adalah fraktur sinus paranasal dan os petrosa maupun infeksi telinga bagian dalam
dan mastoitis. CT venografi merupakan pemeriksaan yang sangat baik untuk mendiagnosa
komplikasi thrombosis sinus sagitalis dan transversa, yang mengharuskan pemberian terapi
antikoagulan heparin intra vena, pada stadium lanjut, persistennya tanda-tanda rangsangan
meningeal dipikirkan sebagai indikasi untuk CT-Scan untuk menyingkirkan kemungkinan
1
diserapnya hidrosefalus. Jika drainase ventrikuler diperlukan, pemeriksaan CT-Scan diperlukan
untuk menentukan waktu operasi berikutnya. pada beberapa kasus, efusi subdural sering
ditemukan yang biasanya sembuh dengans endirinya tanpa pengobatan. gambaran parenkim
yang abnormal sebanding lurus dengan gejala neurologis dan akan memperburuk prognosis nya.
Gambar 1: CT-Scan seorang pasien dengan meningitis tuberculosis menunjukkan
perubahan inflamasi perivaskuler dan infark temporer yang disebabkan oleh vaskulitis
Magnetic Resonance Imaging (MRI) bukan merupakan pemeriksaan rutin pada kasus
meningitis bakterialis tanpa komplikasi. pemeriksaan MRI akan membantu memberikan
gambaran yang lebih jelas pada parenkim otak. Terkadang, perbaikan setelah pemberian
godalinum (gd)-DTPA pada pemeriksaan MRI bukan hanya pada jaringan otak dan meedula
spinalis, namun juga pada LCS, seperti yang pernah dilaporkan pada kasus meningitis spirosetal.
penelitian terbaru menunjukkan bahwa pemeriksaan MRI sangat berguna pada kasus meningitis
tuberculosis. Karena visibilitas gambaran meningen pada T1-weighted lebih bagus terlihat,maka
pada meningitis tuberculosis sangat dianjurkan untuk diperiksa dengan cara ini. hal ini sangat
penting untuk memulai pengobatan tuberculosis tersebut karena angka morbiditas dan
mortilitasnya masih sangat tinggi. penelitian terbaru mengatakan bahwa dengan terapi adjuvan
2
deksametason pada kasus meningitis tuberculosis dewasa mampu menurunkan morbidtas, namun
tidak mampu mencegah hendaya.
Pada kasus komplikasi berupa kejang dan disertai dengan gejala-gejala fokal, MRI lebih
baik jika dibandingkan dengan CT-Scan dalam menggambarkan lesi parenkim pada kasus
meningoensefalitis atau komplikasi vaskulitis akibat rentetan FLAIR (Fluid Attenuated Inversion
Recovery). Pada penyakit Lyme, multifocal nonenhancing patchy lesions dapat dilihat pada T2
W1. bersamaan dengan dugaan pada riwayat penyakit dan kelainan patologis LCS, pemberian
ceftriaxone intravena harus segera dilakukan selama 21 hari. informasi tambahan bisa dilakukan
pada pemeriksaan Diffusion Weighted Imaging (DWI). lesi inflamasi akut, termasuk ensefalitis,
cerebritis dan tuberculosis akan terlihat gambaran hiperintens. Neurocystecerosis akan terlihat
hipointens pada DWI. diagnosis Neurocystecerosis bisa ditegakkan dengan neuroimaging.
operasi pembukaan jaringan otak dan biopsy stereotaxic tidak diperlukan. lesi yang timbul akan
menghilang dengan pemberian praziquantel atau mebendazol. Gambaran toxoplasmosis
bervariasi pada pemeriksaan DWI. Pengobatan harus segera dilakukan, dan respon etradap
pemberian dilakukan dengan pemeriksaan ulang setelah 4 minggu.
Beberapa pathogen berpredileksi pada lekukan batang otak, dan akan Nampak pada
pemeriksaan MRI. khususnya, pada pasdien rhombensefalitis akibat Listeria monositogen, perlu
pemberiana ntibiotik yang sesuai termasuk ampisilin. Neurobrecellosis menunjukkan gambaran
yang bervariasi, mulai dari normal hingga inflamasi non spesifik SSP dan nervus, atau
komplikasi vaskuler. pengobatan penyakit ini berupa terapi empiris.
Komplikasi vascular harus di pikirkan pada pasien dengan perburukan kondisi, walaupun
telah diterapi. Pada kasus ini, pemeriksaan DWI lebih sensitive jika dibandingkan dengan MRI
standar dalam menentukan defisit yang minimal pada korteks, atau infakr pada substansia alba
yang dalam akibat vaskulitis sepsis. Magnetic Resonsnce Angiography (MRA) mampu
menyingkirkan atau menegakkan diagnosis vaskulitis yang akan membantu klinisi memutuskan
pemberian steroid dosis tinggi. penelitian terbaru menyatakan bahwa pemberian steroid dosis
tinggi sebelum pemberian antibiotik mampu memberikan hasil yang lebih baik, tanpa
meningkatkan efek perdarahan saluran cerna.
Ventrikulitis piogenik merupakan kasus yang jarang ditemukan namun sangat berakibat
fatal sehingga perlu penegakan diagnosis dan terapi yang cepat. Neuroimaging merupakan satu-
3
satunya alat yang dipercaya untuk menegakkan penyakit yang mengancam jiwa ini. MRI FLAIR
lebih sensitif dengan menggambarkan periventrikuler, kelainan ependimal dan pada beberapa
kasus juga pada pial atau kelainan dura-arachnoid. Debris yang ireguler pada intraventikuler
merupakan gambaran yang spesifik. MRI diperlukan untuk mengetahui ruptur intraventrikuler
akibat abses piogenik. terapi antibiotik intravena dosis tinggi harus diberikan selama beberapa
minggu.Pada kasus yang etrjadi perburukan kondisi pasien walaupun telah diberikan terapi
antibiotic intravena dosis tinggi, tindakan Ommaya harus dilakukan.
Empiema subdural dan epidural
Empiema bakterial ekstra axial paling baik jika menggunakan MRI. CT-Scan sering
menimbulkan keraguan pada lokasi lesi yang sebenarnya. gambaran cairan pus ini dapat terklihat
lebih cembung atau terlihat intrahemisfer. gambaran ini akan terlihat relative lebih hiperintens
daripada LCS dan lebih hipointens dari substansia alba pada pemeriksaan T1W1 dan relative
lebih hiperintens dari LCS dan substansia nigra pada pemeriksaan T2W1 yang dapat
membedakan dengan efusi steril dan hematoma kronik. berbeda dengan empiema subdural,
epidural empiema menunjukkan pinggiran yang hipointens antara duramater dan parenkim otak.
inflamasi sering menyebabkan kelainan berupa edema, mass effect dan hiperintens korteks yang
revesibel. DWI dapat digunakan untuk mengkonfirmasi bahwa kumpulan cairan ekstra axial
tersebut adalah empiema. empiema subdural biasanya menunjukkan gambaran yang lebih intens,
sedangkan epidural empiema menunjukkan gambaran yang kurang intens atau gambaran yang
bervariasi. tindakan bedah saraf merupakan terapi pilihan pada kasus ini.
Abses piogenik
Diagnosis abses piogenik merupakan hal sulit ditentukan. terdsapat dilema oelh para
klinisi untuk mendiagnosis dan memberikan terapi pada temuan lesi ring-enhancing tunggal pada
pemeriksaan CT-Scan, dimana hal tersebut harus dibedakan dengan tumor nekrosis
(glioblastoma), atau suatu metastasis (Gambar 2). pemeriksaan Gd-enhancing MRI sangat
membantu dalam mengidentivikasi lesi kecil multiple yang merupakan tanda-tanda suatu
metastasis. Jika terdapat lesi tunggal pada temuan MRI, biopsy stereotaksik merupakan langkah
selanjutnya yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Karena pada abses harus segera
dilakukan aspirasi dan pada tumor nekrosis harus dilakukan biopsi, informasi lebih lanjut untuk
4
Gambar. 2 Axial post-gadolinium T11WI showing ring-enhancing lesion with mass effect in a patient with pyogenic brain abscess
mengoptimalkan perencanaaan bedah stereotaksik harus dilakukan. pemeriksaan DWI telah
diusulkan sebagai metode pilihan. dalam beberapa penelitian, hamper semua abses piogenik
menunjukkan gambaran yang khas yaitu hiperintens pada pemeriksaan DWI dan penurunan
Apparent Diffusion Coefficient (ADC), menunjukkan pengurangan resapan abses yang berbeda
dengan lesi nonpiogenik yang menunjukkan gambaran hipointens atau gambaran yang
bervariasi. Hanya chordoma dan epidermoid menunjukkan peningkatan intensitas pada
pemeriksaan DWI. Beberapa peeneliti menyatakan bahwa pemeriksaan ADC saja tidak boleh
diandalkan karena sering terjadi overlapping diagnosis. Meskupun metode tersebut sangat
membantu, namun tidak bisa memecahkan dilemma diagnosis atau meniadakan pemeriksaan
biopsi. pada kasus yang belum begitu jelas, informasi tambahan dapat diperoleh dengan
pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (PMRS). Pemeriksaan ini bukan lah hal
yang rutin dilakukan, namun beberapapeneliti telah menemukan hal yang menjanjikan dalam hal
penegakan diagnosis pada pemeriksaan ini. Adanya asam amino laktat sitosol dengan atau tanpa
suksinat, asetat, alanin dan glisisn, dapat dianggap sebagai penanda abses, dan laktat serta kolin
sebagai penanda non abses. penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi hal tersebut.
5
Meskipun beberapa peneliti telah melaporkan temuan dalam hal membedakan abses aerobic,
anaerobic maupun abses steril, hal tersebut harus dipikirkan dengan sangat matang. kontribusi
teknik ini dan PET untuk membedakan infeksi dan tumor lebih lanjut dibahas dalam artikel lain,
yang membahas PMRS dan dengan pencitraan tumor otak.
Toxoplasmosis
Toxoplasmosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering pada pasien
imunosupresi. Infeksi prenatal dapat menyebabkan peningkatan risiko bangkitan kejang,
sehingga makin meningkatkan penggunaan neuroimaging. infeksi pada pasien dengan sindrom
defisiensi imun dapatan AIDS) atau setelah transplantasi sumsum tulang menyebabkan lesi
yang biasanya ganda, dengan adanya tambahan gambaran cincin atau padat. MRI memberikan
gambatan yang sangat jelas pada keadaan ini yang terkadang juga menunjukkan adanya
perdarahan. Dalam kasus dengan gambaran lesi yang khas, terapi dengan pyrimethamin 50-100
mg / hari dan sulfadiazin 4 g / hari harus dimulai segera. Dalam kasus alergi sulfa, pasien dapat
memakai klindamisin 600 mg q.id sebagai terapi alternative. . Tidak jarang,
neuroimaging menunjukkan lesi toxoplasma dengan dirtandai dengan efek massa dan edema
perifocal. Dalam kasus ini, dalam 7 hari pertama deksametason 4 mg qid harus diberikan sebagai
terapi tambahan. Jika dalam perkembangan lebih lanjut terjadi edema, maka perlu tambahan
terapi osmodiuretik. Pada sekitar 80% pasien, perbaikan radiologis dapat dilihat pada sekitar 1
minggu yang mana hal ini akan mendukung diagnosis. Jika lesi menetap atau makin
progresif, diagnosis harus dipertimbangkan kembali dan terapi harus dievaluasi. Sayangnya,
dalam kasus-kasus imunosupresi berat, gambaran pada MRI sepenuhnya atipikal, sehingga
menyesatkan bagi dokter dan ahli radiologi. Terutama pada varian ensefalitis fulminan, lesi yang
tampak pada pemeriksaan T2W1 adalah luas dan sama sekali tanpa adanya peningkatan
intensitas gambara. Dalam kasus ini, terapi antitoxoplasma harus dimulai sampai diagnosis
telah dipastikan lebih lanjut. Juga dalam kasus toksoplasma atipikal soliter besar, menunjukkan
peningkatan intensitas yang ditandai dengan lesi menyerupai limfoma. Dalam kasus ini klinisi
harus mencari sarana diagnostik lain, sementara pasien dirawat sebagai kasus toksoplasmosis.
Infeksi Medula Spinalis
6
Penegakan diagnosis ingeksi medulla spinalis dengan menggunakan foto polos sangat
sulit dilakukan karena kurangnya spesifisitasnya. hanya gambaran erosi tulang dan fraktur
vertebra yang mampu dilihat. oleh karena itu, hanya diferensial diagnosti dari mielopati
kompresi dan atau fraktur vertebra yang bisa ditegakkan.
Meskipun CT tulang belakang memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terutama jika
menggunakan kontras dan dapat menunjukkan spondilitis, itu tidak cukup untuk deteksi dini
discitis atau abses epidural. Dalam kasus bakteri dan spondilitis TB, CT-Scan menunjukkan
peningkatan erosi dan kerusakan badan vertebra dan dengan menggunakan kontras ditandai
dengan enhancement ruang disk dan gambaran inflamasi dalam daerah paravertebral . Diagnosis
abses epidural tulang belakang hanya bisa dilakukan dengan menggunakan CT-Scan. CT
myelografi setidaknya dapat menunjukkan daerah kompresi, meskipun masih belum bisa
menegtahui etiologi pastinya. Singkatnya, pemeriksaan ini hanya direkomendasikan dalam
keadaan darurat dan tidak tersedianya MRI.
Semenjak ditemukan MRI, pemeriksaan kedokteran nuklir tidak lagi diterapkan secara
rutin. MRI merupakan metode pilihan dalam kasus kecurigaan spondylodiscitis. T1- Weighted
menunjukkan hilangnya vertebralis tubuh, penghancuran margin kortikal dan gangguan
kontinuitas kortikal. T2-Weighted menunjukkan intensitas yang tinggi pada tulang yang terkena
dan struktur disk. Aplikasi dari gadolinium adalah wajib dan memfasilitasi diagnosis. Kontras
perangkat tambahan dapat dilihat sebagai tanda awal di fase akut dimana perubahan pada
T1/T2WI sangat minimal. Patogen yang paling umum adalah Staphylococcus aureus, tapi lain
bakteri termasuk kasus langka Brucellar spondilitis telah dilaporkan. Beberapa fitur telah
diidentifikasi muncul membantu dalam diferensiasi TB dari spondilitis piogenik. Berkenaan dgn
penyakit spondilitis TB lebih sering menunjukkan gambaran paraspinal abnormal, abses yang
minimal, subligamentous menyebar ke tiga atau lebih badan vertebral dan keterlibatan sebagian
besar badan vertebra toraks. Hal ini penting untuk diingat pada kasus langka yaitu osteomielitis
yang disebabkan oleh jamur, terutama karena aspergillus dan jarang kriptokokus dapat
menunjukkan temuan yang sama MRI sebagai spondylitis bakteri. Mucormycosis Spinal telah
dilaporkan pada beberapa pasien dirawat karena leukemia.
Pengobatan umumnya dilakukan secara konservatif dengan antibiotik setelah CT-Scan
dilakukan dan telah dilakukan aspirasi untuk dan drainase perkutan. Jika perbaikan radiologis
7
dilihat dalam 2 minggu, terapi konservatif sudah cukup. Hanya ketidakstabilan dan abses
intraspinal membutuhkan intervensi bedah saraf. MRI sangat penting untuk memantau tindak
lanjut program di bawah pengobatan. Bahkan setelah respon klinis dan dalam tanpa peradangan
sistemik, peningkatan gadolinium dapat bertahan selama berbulan-bulan.
Abses spinal epidural membutuhkan kewaspadaan yang tinggi oleh para klinis . Terutama
pada pasien setelah injeksi paravertebral, scanning awal harus dipertimbangkan bila ada rasa
sakit punggung local yang makin hebat, sedimentasi tinggi tingkat, dan leukositosis. MRI
menggambarkan abses epidural sebagai gambaran massa hyperintense dan disertai dengan
peningkatan intensitas pada T1WE-Gd. Gambar pada MRI di aksial dan sagital berguna dalam
perencanaan pra operasi. Terapi dengan bedah dekompresi dan drainase diperlukan dalam kasus-
kasus dengan kompresi struktur saraf. Kasus tanpa kompresi spinal dan tanpa abses tapi dengan
tanda-tanda neurologis parah dapat menjadi meragukan diag nostik. Dalam kasus-kasus iskemia
saraf tulang belakang karena trombosis dari pembuluh leptomeningeal atau kompresi arteri
tulang belakang harus dicurigai sebagai mekanisme yang mendasari.sehingga, neuroimaging
digunakan untuk menjelaskan etiologi dan mencegah tindakan bedah yang tidak perlu sebagai
intervensi terapeutik.
Keterlibatan Medula Spinalis dan Meningen
Foto polos dan CT- tidak membantu. Hanya MRI yang dapat menunjukkan gambaran
inflamasi pada medulla spinalis. Dalam infeksi akibat bakteri, inflamasi di medulla spinalis
sebagian besar disebabkan oleh perubahan sekunder dalam abses intraspinal. MRI menunjukkan
peningkatan intensitas yang berbanding lurus dengan peradangan dan edema pada T2WI. Pada
saat ini, infeksi spirochetal umumnya disebabkan akibat Penyakit LymeBorrelia burgdorferi.
Mielitis dapat menjadi komplikasi yang sering pada infeksi virus. Dalam banyak kasus,
virus tetap dapat teridentifikasi. Pada kasus Herpesviridae seperti Varicella zoster virus,
cytomegalovirus, dan Epstein-Barr virus (EBV) sering digambarkan pada pasien-pasien dengan
immunocompromised. Karena seringnya kasus-kasus tersebut dengan ascending paraparesis,
diferensiasi dari inflammatory polyradiculitis sangat penting segera ditentukannya terapi dengan
obat antivirus atau steroid dosis tinggi versus imunoglobulin intravena (IVIG). MRI
menunjukkan tingginya perubahan sinyal pada medula spinalis dengan variabel edema dan
8
peningkatan Gd juga di lumbosacral roots pada infeksi EBV. Coxsackie dan virus ECHO dapat
menyebabkan myelitis transversal. Baru laporan terbaru adanya komplikasi ke tulang belakang
yang disebabkan infeksi WNV. MRI perubahan termasuk kelainan parenkimmedla spinalis dan
cauda equine enhancement. Pada tahap awal infeksi HIV, mielitis yang terjadi dapat menyerupai
autoimmune-mediated myelitis. Dalam tahap selanjutnya, gambaran khas MRI memungkinkan
cepatnya diagnosis melalui saluran yang pucat dan vacuolar myelopathy menunjukkan lesi
intramedullary, kadang ditandai dengan tampilan kistik, terkadang peningkatan Gd dapat
ditemui. Pengobatan dengan steroid biasanya tidak bermanfaat dalam kasus ini. Sebaliknya,
dalam kasus tropical spastic paraparesis pada HTLV-2 myelopathy gambaran MRI tampak
normal dan jarang sekali menunjukkan atrofi.
Viral Meningoencephalitis
Herpes simplex virus (HSV) merupakan penyebab paling umum encephalitis oeh virus.
Namun, baru-baru ini diamatinya epidemi the West Nile Virus, baru diakui virus seperti Nipah
virus dan sebelumnya virus-virus yang menyerang ketahanan tubuh manusia seperti Human
Herpes Virus 6 atau 7 (HHV 6, HHV 7) atau enterovirus 71 dengan infeksi SSP, perlu diingat
bahwa pada ensefalitis akut adanya penyebab lain selain HSV. Pada pasien dewasa dengan
imunokompeten, HHV 6 dapat menyebabkan ensefalitis kronis (Gambar. 3). Pada pasien
immunocompromised agen penyebab yang mungkin lebih luas.
Deteksi DNA HSV pada SSP dengan PCR merupakan pemeriksaan andalan untuk
diagnosis ensefalitis HSV, walaupun hasil tes laboratorium mungkin negatif palsu atau
munculnya yang terlambat. Jadi, hasil pencitraan penelitian penting untuk memutuskan apakah
pengobatan antivirus harus dimulai pada pasien dengan suspecten HSV diduga encephalitis.
MRI Kranial unggul dibanding CT untuk deteksi awal tanda-tanda necrotizing encephalitis yang
dapat muncul pada 48 jam pertama pada T2-weighted (T2WI) atau flair images.
9
Gambar. 3 Axial FLAIR images of a patient with chronic HHV 6 encephalitis showing patchy signal hyperintensities in white matter and cortex
Pada bayi dan neonatus, DWI terlihat lebih sensitif dibandingkan T2WI atau flair imaging
dalam pendeteksian awal edem sitotoksik kortikal. Baru-baru ini, penemuan tersebut dapat
dikonfirmasikan terhadap pasien dewasa.Menariknya, dengan melakukan MRI ulang pada studi
yang sama menunjukkan bahwa kelainan difusimenghilang dalam waktu 14 hari setelah onset
gejala muncul, sedangkan hyperintensities pada T2WI bertahan. studi lebih lanjut diperlukan
untuk melihat apakah resolusi dari perubahan-perubahan pada DWI berhubungan dengan
pengobatan dengan zat-zat antivirus dan apakah persistennya dari perubahan ini mencerminkan
kerusakan kortikal dan hasil yang lebih buruk pada pasien dengan ensefalitis HSV.
Nipah virus merupakan paramyxovirus baru yang erat kaitannya dengan Hendra virus
(mobillivirus pada kuda) yang baru-baru ini terbukti menyebabkan ensefalitis akut yang berat.
Fitur radiologi biasanya terdiri dari beberapa lesi kecil hyperintense sampai white matter pada
T2WI. T2WI juga dapat menunjukkan lesi transient hyperintense punctuate di batang otak dan
korteks. Menariknya, T2WI pada individu seropositif asimtomatik dapat menunjukkan lesi kecil
hyperintense serupa dengan yang ditemukan pada pasien ensefalitis menunjukkan bahwa adanya
varian subklinis ringan pada ensefalitis Nipah virus.
10
Enterovirus 71 (EV71), suatu enterovirus dari famili Picornaviridae, dapat menyebabkan
seperti polio-like brainstem encephalitis dan acute flaccid paralysis. MRI dari EV71 ensefalitis
biasanya menunjukkan lesi hyperintense pada T2WI terletak di dalam brainstem dan dentate
nukleus dari cerebellum. Pada beberapa pasien, lesi dapat diperluas hingga saraf tulang belakang,
talamus, dan putamen. Pada beberapa pasien, DWI mampu menunjukkan perubahan
hyperintense dalam posterior medula tanpa kelainan otak lainnya pada T1WI atau T2WI pada
hari pertama dari kerusakan neurologis, perlu digarisbawahi bahwa keunggulan DWI dalam
deteksi dini infeksi SSP dibandingkan dengan hasil dari T2WI ataupun dengan kontras yang
ditingkatkan pada T1WI.
Japanese encephalitis (JE) menyerang sekitar 50.000 orang per tahun, di antaranya
sekitar 10.000 akan mati. Seperti infeksi SSP lainnya, MRI cranial lebih sensitif dibandingkan
CT dalam mendeteksi JE yang berhubungandengan kelainan otak. Fitur yang khas pada MRI
terdiri dari lesi mixed intensiy maupun hypointense pada T1WI dan lesi hyperintense atau mixed
intensity pada T2WI terutama di thalami, tetapi juga di ganglia basalis, branstem, cerebellum,
dan area kortikal. Sebuah temuan baru yang dipublikasikan yang menemukan bahwa CT cranial
yang tidak normal di sekitar 38%, sedangkan MRI menunjukkan perubahan patologis 90,6 -
95,5%. Kelainan thalamus pada T2WI ditemukan pada 87,5% baik pada anak-anak dan orang
dewasa, 40,6-54,2% di ganglia basalis, 28,1-45,8% di midbrain dan 21,9-25% di area kortikal.
The West Nile virus (WNV) telah menyebabkan wabah ensefalitis di Eropa Selatan,
Rusia, dan Amerika, dengan wabah besar ensefalitis terakhir pada tahun 2002. Klinis,
laboratorium, dan fitur neuroimaging digambarkan dalam sebuah studi baru-baru ini yang
mengevaluasi WNV seropositif pasien. 5 pasien dengan meningitis, 8 dengan ensefalitis dan 3
dengan polio-like acute flaccid paralysis. Hanya dua dari delapan pasien encephalitic pada
T2WI dan DWI menunjukkan fokus lesi hyperintense di ganglia basalis, thalamus dan pons,
sedangkan CT tetap normal pada semua pasien. Pada pasien acute flaccid paralysis, pada MRI
menunjukkan peningkatan dari cauda eqina dan kumpulan akar saraf. Pada beberapa pasien,
virus menyerang substantia nigra seperti yang ditunjukkan dengan hyperintensities pada T2WI
region tersebut. Serupa dengan HSV dan EV71 ensefalitis, DWI tampaknya lebih sensitif dalam
mendeteksi kelainan terutama pada fase awal infeksi WNV pada otak.
Murray Valley Encephalitis (MVE) termasuk JE antigenik yang kompleks dan
merupakan endemik di Australia dan Papua Nugini. MRI menunjukkan kelainan yang sangat
11
mirip dengan JE. Seperti baru-baru ini melaporkan, T2WI menunjukkan perubahan hyperintense
dalam thalamus, red nucleus, substantia nigra, dan cervical spinal cord. Dengan demikian,
kesamaan dalam tampilan MRI dari Japanese Encephalitis, West Nile Encephaliti, dan Murray
Valley Encephalitis Nil Barat ensefalitis, dan Murray Valley Encephalitis tidak memberikan
perbedaan dari infeksi SSP yang hanya dilihat dari fitur imagingnya saja.
Acute measles virus encephalitis dan subacute sclerosing panencephalitis (SSPE), Infeksi
pada SSP dengan measles virus (MV) dapat menyebabkan 1) acute postinfectious encephalitis,
2) acute progressive encephalitis, dan 3) SSPE. Data tentang temuan pencitraan dalam acute
measles encephalitis jarang. T2WI dapat menunjukkan adanya edema kortikal dan lesi yang
simetris bilateral hyperintense dalam putamen dan nucleus caudatus serta dalam centrum
semiovale. Kadang-kadang pada pasien juga ditemukan lesi bilateral thalamus dan kelainan
sinyal dalam corpus callosum. Nilai DWI dalam deteksi dini acute measles encephalitis belum
dievaluasi. Dengan penambahan Kontras dapat memunculkan di daerah kortikal dan
leptomeninges pada beberapa pasien. SSPE adalah penyakit progresif SSP yang jarang, biasanya
terjadi pada masa kanak-kanak dan awal remaja tetapi juga dapat muncul pada dewasa tua.
Perbedaan dalam tampilan pada tahap awal dan tahap akhir SSPE pada MRI tidak didefinisikan
dengan baik. Sebuah studi baru-baru ini dibandingkan MR spektroskopi dan MRI konvensional
pada anak-anak dengan tahap awal dan anak-anak dengan tahap akhir SSPE. MRI Konvensional
tidak menunjukkan kelainan dalam tahap awal SSPE, tetapi diungkapkan meluasnya perubahan
periventricular hyperintense pada T2WI di SSPE tahap akhir. Sebaliknya, MR spektroskopi
menunjukkan peningkatan rasiokolin/kreatinin di bagian frontal dan parieto-oksipital white
matter pada semua pasien peradangan juga dalam tahap awal SSPE. Rasio N-acetylasparate /
creatine normal pada tahap awal mungkin mencerminkan tidak adanya kerusakan saraf, yang
dapat terdeteksi dalam tahap akhir SSPE.
Infeksi Jamur
Infeksi jamur SSP pada umumnya sangat jarang. Kecuali pada penderita
diabetes yang sudah menahun, paling sering ditemui pada keadaan immunocompromised
seperti pasien dengan AIDS atau setelah transplantasi organ. Karena kurangnya respon inflamasi,
temuan neuroradiological sering tidak spesifik. Meskipun hampir semua jamur dapat
menyebabkan ensefalitis, meningoencephalitis kriptokokus paling sering ditemui, diikuti oleh
12
aspergillosis dan yang lebih jarang lagi candidasis. candidasis Cerebral biasanya didahului oleh
infeksi kandida yang sistemik dan sering berhubungan dengan penggunaan kateter. Pada pasien
imunokompeten, dapat nyata sebagai lesi yang padat atau seperti abses dengan diferensial
diagnosis abses piogenik. Pasien dengan imunosupresif, temuan neuroradiological sering sulit
diinterpretasikan. MRI menunjukkan punctuate atau tanda hyperintensities yang merata pada
T2WI, peningkatan gadolinium sering tak tampak. Temuan ini saja tidak memungkinkan
diagnosis spesifik, sehingga keputusan pengobatan harus didasarkan pada parameter klinis dan
temuan CSF.
Pada meningoencephalitis kriptokokus, peningkatan diffuse meningeal dan juga
ventriculitis dapat dilihat pada MRI. Temuan khas berupa lesi punctuate multiple, sering di
ganglia basalis. Hal ini merupakan karakteristik lesi cystic karena invasi kriptokokus di ruang
Virchow-Robin. Ini lah yang dikatakan les ”soap bubble lessins” dan memungkinkan diagnosis
sementara untuk pengobatan antijamur secepatnya. Pada pasien nonimmunodeficient atau pasien
dengan AIDS di bawah pengobatan antiretroviral yang sangat aktif, yang mengembangkan
immune reconsituation syndrome lesi dapat meluas menjadi cincin yang meningkat. Bahkan
dengan perawatan intensif (amfoterisin B dan 5-flucytosine), hasil sering jelek dan kematian
setinggi 70%. Pada pasien dengan AIDS jarang, dan lebih sering pada pasien yang memiliki
transplantasi sumsum tulang (Bone Marrow Transplantation), aspergillus adalah agen untuk
infeksi SSP oportunistik. Kematin tinggi pada pasien tersebut, dan diagnosis dini adalah wajib
jika ingin bertahan hidup. Laboratorium tidak selalu pastikan diagnosis infeksi jamur sehingga
neuroimaging yang penting dalam menetapkan diagnosis. Temuan CT mungkin nonspesifik dan
diagnosis infeksi jamur sering dibuat secara retrospektif di otopsi. Tampilan aspergillus pada
infeksi SSP sangat bervariasi. penggunaan MRI, beberapa pola cerebral aspergillosis telah
dilaporkan: lesi edematous, lesi hemoragik,lesi solid disebut sebagai aspergilloma atau " tumoral
form" abscess-like ring-ike lesions (Gambar. 4), dan infarction-like lesions. Dural enhancement
biasanya dilihat pada lesi terinfeksi yang berdekatan dengan sinus paranasal.
13
Gambar. 4 Coronal T1WI after gadolinium enhancement. Patient after bone marrow transplantation with aspergillus encephalitis. Ring-enhancing lesion with perifocal edema and mass effect compressing the lateral ventricle.
Pada MRI, lesi dapat menunjukkan area isointense atau intensitas sinyal yang rendah pada
T2WI, yang dihubungkan dengan jamur hypercontaining yang mengandung unsur paramagnetik
seperti mangan, besi, dan magnesium, tetapi bisa juga berkaitan dengan kerusakan produk darah.
kortikal dan subkortikal infark dengan atau tanpa perdarahan merupakan temuan umum pada
infeksi aspergillus yang dijelaskan oleh infiltrasi jamur pada dinding pembuluh darah dan
thrombosis. Pengakuan dari tampilan pol radiologi pada pasien dengan aspergillosis otak sangat
membantu dalam menegakan diagnosis dini. Pasien dengan AIDS dan setelah BMT, yang
mengalami immunoincompetent, sering tidak menunjukkan peningkatan atau edema perifocal.
14