25
1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin maju ilmu kedokteran a kan menuntut semakin diperlukannya teknologi canggih guna membantu penegakan diagnosa maupun terapi. Oleh karena itu, ilmu kedokteran saat ini tidak dapat dipisahkan dari dunia radiologi. Setelah ditemukannya sinar-X oleh Wilhelm Conrad Roentgen pada tahun 1895, revolusi besar-besaran terjadi dalam dunia kedokteran. Sinar-X mampu memvisualisasikan bagian dalam tubuh manusia tanpa harus membedahnya terlebih dahulu. Dari waktu ke waktu pemanfaatan sinar-X menjadi  berkembang hingga sekarang. Tak heran jika pemeriksaan dalam bidang radiologi amat dibutuhkan sebagai salah satu penunjang diagnostik yang cukup  penting. Perkembangan pemanfaatan sinar-X dalam bidang radiodiagnostik  pun menjadi makin berkemba ng seiring dengan ditemukannya media kontras. Agen kontras merupakan zat yang membantu visualisasi beberapa struktur selama melakukan pemeriksaan radiologi, bekerja berdasarkan prinsip dasar  penyerapan sinar-X, sehingga mencegah pengiriman sinar tersebut pada p asien (Patel, 2005). Media kontras dipakai pada pencitraan dengan sinar-X untuk meningkatkan daya attenuasi sinar-X. Bahan kontras ditemukan pertama kali  pada tahun 1896 dan dipakai untuk pemeriksaan traktus digestivus. Bahan y ang  paling sering dipakai ialah barium sulfat yang dapat memperlihatkan bentuk traktus digestivus, dan sediaan iodin organik, yang banyak digunakan secara intravena (Patel, 2005). Penelitian mengenai bahan kontras ini terus  berkembang hingga pada tahun 1923 ditemukan garam senyawa iodin yang digunakan untuk pemeriksaan traktus urinarius. Pemeriksaan traktus urinarius dengan bahan kontras yang dimasukan secara intravena ke dalam tubuh manusia ini disebut pemeriksaan BNO IVP. BNO IVP (Blaas Near Overzeigh Intravena Pyelog rafi) iala h salah satu  pemeriksaan radiografi traktus urinarius menggunakan sinar-X dengan melakukan injeksi media kontras melalui vena. Pada saat media kontras diinjeksikan melalui pembuluh vena pada tangan pasien, media kontras akan mengikuti peredaran darah dan dikumpulkan dalam ginjal dan traktus urinarius, sehingga menjadi berwarna  putih. Tujuan pemeriksaan ini ialah untuk menggambarkan anatomi dari  pelvis renalis dan sistem calyx serta seluruh traktus urinarius dengan  penyuntikan kontras positif se cara i ntravena. Diharapkan dengan mengetahui anatomi dan fungsi traktus urinarius, tenaga medis mampu mendiagnosa kelainan pasien dengan baik dan tepat.

Makalah IVP

Embed Size (px)

DESCRIPTION

all about IVP examination

Citation preview

  • 1

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Semakin maju ilmu kedokteran akan menuntut semakin diperlukannya

    teknologi canggih guna membantu penegakan diagnosa maupun terapi. Oleh

    karena itu, ilmu kedokteran saat ini tidak dapat dipisahkan dari dunia radiologi.

    Setelah ditemukannya sinar-X oleh Wilhelm Conrad Roentgen pada tahun

    1895, revolusi besar-besaran terjadi dalam dunia kedokteran. Sinar-X mampu

    memvisualisasikan bagian dalam tubuh manusia tanpa harus membedahnya

    terlebih dahulu. Dari waktu ke waktu pemanfaatan sinar-X menjadi

    berkembang hingga sekarang. Tak heran jika pemeriksaan dalam bidang

    radiologi amat dibutuhkan sebagai salah satu penunjang diagnostik yang cukup

    penting. Perkembangan pemanfaatan sinar-X dalam bidang radiodiagnostik

    pun menjadi makin berkembang seiring dengan ditemukannya media kontras.

    Agen kontras merupakan zat yang membantu visualisasi beberapa struktur

    selama melakukan pemeriksaan radiologi, bekerja berdasarkan prinsip dasar

    penyerapan sinar-X, sehingga mencegah pengiriman sinar tersebut pada pasien

    (Patel, 2005).

    Media kontras dipakai pada pencitraan dengan sinar-X untuk

    meningkatkan daya attenuasi sinar-X. Bahan kontras ditemukan pertama kali

    pada tahun 1896 dan dipakai untuk pemeriksaan traktus digestivus. Bahan yang

    paling sering dipakai ialah barium sulfat yang dapat memperlihatkan bentuk

    traktus digestivus, dan sediaan iodin organik, yang banyak digunakan secara

    intravena (Patel, 2005). Penelitian mengenai bahan kontras ini terus

    berkembang hingga pada tahun 1923 ditemukan garam senyawa iodin yang

    digunakan untuk pemeriksaan traktus urinarius. Pemeriksaan traktus urinarius

    dengan bahan kontras yang dimasukan secara intravena ke dalam tubuh

    manusia ini disebut pemeriksaan BNO IVP.

    BNO IVP (Blaas Near Overzeigh Intravena Pyelografi) ialah salah satu

    pemeriksaan radiografi traktus urinarius menggunakan sinar-X dengan

    melakukan injeksi media kontras melalui vena.

    Pada saat media kontras diinjeksikan melalui pembuluh vena pada

    tangan pasien, media kontras akan mengikuti peredaran darah dan

    dikumpulkan dalam ginjal dan traktus urinarius, sehingga menjadi berwarna

    putih.

    Tujuan pemeriksaan ini ialah untuk menggambarkan anatomi dari

    pelvis renalis dan sistem calyx serta seluruh traktus urinarius dengan

    penyuntikan kontras positif secara intravena. Diharapkan dengan mengetahui

    anatomi dan fungsi traktus urinarius, tenaga medis mampu mendiagnosa

    kelainan pasien dengan baik dan tepat.

  • 2

    1.2. Rumusan Masalah

    1. Bagaimanakah penatalaksanaan pemeriksaan radiologi IVP?

    1.3. Tujuan

    1. Mengetahui penatalaksanaan pemeriksaan radiologi IVP secara tepat dan

    benar.

  • 3

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Anatomi Traktus Urinarius

    Pemahaman mengenai anatomi normal dan varian anatomi normal ginjal

    dan sistem kolektivus amat penting dalam pencitraan. Ginjal terletak pada area

    retroperitoneum dengan hilum yang terletak setinggi vertebra lumbalis 1. Pada

    orang dewasa, kedua ginjal memiliki panjang sekitar 10-12 cm diukur dari satu

    kutub ke kutub lain. Panjang ginjal kurang lebih 5,5 cm pada neonatus, dan

    akan bertambah besar mencapai ukurang orang dewasa pada usia 8 tahun.

    Parenkhim ginjal orang dewasa memiliki ketebalan setidaknya 2 cm. Posisi dan

    orientasi ginjal penting untuk dipahami. Kutub atas terdeviasi ke arah medial

    dan kutub bawah terdeviasi ke arah lateral pada sudut 30 derajat dari aksis

    vertikal. Lokasi anterior ginjal yang berhubungan dengan otot psoas

    menyebabkan kutub atas terletak lebih ke posterior.

    Gambar 1: Anatomi traktus urinarius.

    Setiap hilum ginjal terdiri dari vena renalis, arteri renalis, pelvis renalis

    dan ureter proksimal. Ureter turun disepanjang garis yang menghubungkan

  • 4

    ujung prosesus transversus vertebra lumbalis dan masuk ke dalam kandung

    kemih pada persambungan ureterovesikal. Kandung kemih merupakan organ

    pelvis ekstraperitonial yang terletak di anterior uterus pada perempuan dan di

    anterior rektum laki-laki. Uretra laki-laki dari proksimal ke distal terbagi

    menjadi pars prostatika, pars membranasea, dan pars spongiosa. Uretra

    perempuan memiliki struktur yang lebih pendek. Embriologi traktus urinarius

    yang kompleks menyebabkan terdapatnya sejumlah varian anatomis normal

    yang harus dibedakan dengan kondisi patologis. Oleh karena itu, pengenalan

    terhadap varian cukup penting.

    2.2. Indikasi dan Kontraindikasi IVP

    Indikasi untuk pemeriksaan ini adalah hematuria, batu ginjal, kolik

    ureter, atau kecurigaan adanya batu (Patel, 2005).

    Selain itu indikasi yang lain antara lain :

    1. Suspek varian dan anomali kongenital

    Sumber gambar :

    http://whqlibdoc.who.int/publications/2001/97897904401_ind_part-2.pdf

    2. Infeksi traktus urinarius persisten

  • 5

    3. Kolik ginjal

    4. Trauma ginjal

    5. Trauma ginjal, ureter, atau pelvis

    (Muttarak et all, 2001)

    Pasien dengan retensi urin dan infeksi saluran kemih dianjurkan untuk

    melakukan ultrasonografi dibandingkan IVP (Patel, 2005).

    Adapun kontraindikasi IVP menurut WHO adalah sebagai berikut:

    1. Hipersensitif terhadap media kontras

    2. Tumor ganas

    3. Penyakit hati atau liver

    4. Kegagalan jantung

    5. Anemia

    6. Kegagalan ginjal

    7. Penyakit kencing manis

    8. Multiple Myeloma

    9. Pheochrocytoma

    2.3. Efek Samping IVP

    Intravenous pyelogram secara umum aman, dan jarang menimbulkan

    komplikasi. Seperti pemeriksaan lainnya, intravenous pyelogram juga

    memiliki resiko, yaitu reaksi alergi terutama terhadap bahan kontras.

    Pada beberapa orang, injeksi kontras intravena dapat menimbulkan

    1. Rasa hangat dan flushing

    2. Rasa logam dalam mulut

    3. Mual

    4. Urtikaria

    5. Gatal-gatal

    Reaksi berat yang dapat timbul antara lain:

    1. Penurunan tekanan darah secara ekstrim

    2. Reaksi alergi mendadak seluruh tubuh disertai depresi pernafasan,

    penurunan tekanan darah, yang mengancam jiwa (reaksi syok

    anafilaktik).

    3. Henti jantung

    Selama pemeriksaan, pasien akan terpapar radiasi sinar X dalam jumlah

    rendah sehingga kerusakan sel atau jaringan yang didapat juga minimal.

    Namun, bila pasien sedang hamil sebaiknya tidak dilakukan pemeriksaan

    dengan menggunakan gelombang sinar X karena gelombang sinar X

  • 6

    mempunyai efek radiasi yang dapat menyebabkan mutasi pada sel, sehingga

    penggunaan pada ibu hamil dihindari.

    2.4. Syarat IVP

    Syarat-syarat seseorang boleh melakukan IVP yakni:

    1. Tidak memiliki riwayat alergi.

    2. Fungsi ginjalnya baik. Cara untuk mengetahuinya yakni dengan

    mengukur kadar BUN atau kreatininnya ( 4 (Abujudeh et al., 2009). Kegagalan

    mengidentifikasi penyakit ginjal kronis dapat mengakibatkan renotoksisitas

    kontras. Hal ini disebabkan sifat kontras yang water soluble sehingga

    diekskresi di ginjal. Kontraindikasi absolut lainnya adalah adanya

    hipersensitivitas terhadap kontras. Penyuntikan kontras secara intravena

  • 7

    menyebabkan kontras mencapai kadar absorbsi 100% dalam waktu yang sangat

    singkat. Jika pasien memiliki hipersensitivitas terhadap kontras, kemungkinan

    terburuk berupa syok anafilaksis dapat terjadi dalam hitungan menit atau

    bahkan detik. Syok anafilaksis adalah hal yang sangat fatal yang dapat terjadi

    di ruang pemeriksaan sehingga sebisa mungkin untuk dihindari jika terdapat

    indikasi. Alergi terhadap kontras IVP (misal urografin 60 mg/dl, meglumine

    iothalamat 60%) dapat dideteksi dengan uji kepekaan dengan pengujian secara

    subkutan (Dyer et al., 2001).

    Kontraindikasi relatif adalah berbagai macam kontraindikasi yang jika

    ada, maka belum tentu bisa membatalkan tindakan IVP. Kondisi seperti

    penyakit jantung, hipertensi, infeksi ginjal, dan asma adalah kontraindikasi

    relatif yang dapat diberi tata laksana sebelum melakukan IVP (Dyer et al.,

    2001).

    Informed Consent

    IVP adalah prosedur yang invasif dan tidak semua masyarakat awam

    tahu. Walaupun anamnesis telah menunjukkan tidak adanya kontraindikasi,

    dokter tetap wajib menjelaskan apa itu IVP, bagaimana IVP akan dilakukan,

    begitu juga efek samping yang mungkin terjadi setelah pemberian kontras.

    Pemberian informed consent juga berarti persetujuan pasien. Jika pasien tidak

    setuju namun IVP adalah satu-satunya cara untuk menilai fungsi ginjal secara

    kualitatif, diupayakan untuk pemberian penjelasan ulang. Sebab, penolakan

    tindakan medis bukanlah suatu kontraindikasi IVP. Namun, jika pasien tetap

    menolak, maka sesuai asas otonomi pasien, pasien berhak untuk tidak

    mendapatkan pemeriksaan dan IVP tidak dilakukan.

    Persiapan Spesifik

    Seperti semua jenis pemeriksaan radiologis invasif lainnya,

    pemeriksaan IVP memerlukan beberapa persiapan spesifik, khususnya dari

    segi pasien. Tujuan persiapan spesifik ini adalah untuk mengosongkan vesica

    urinaria, mengontrol kadar kimia fisik dan hematologis, meningkatkan gas

    gastrointestinal, dan menghilangkan faktor-faktor yang mampu mengurangi

    efektivitas kontras dalam IVP. Persiapan spesifik yang dimaksud adalah

    pembatasn menu makan, pemberian laksatif katartik, dan puasa makan dan

    minum, serta BOF sebelum IVP (Dept. Radiologi FK UI, 2011).

    Puasa

    Puasa adalah cara yang dipakai untuk mengosongkan sistem

    gastrointestinal. Dengan mengosongkan sistem gastrointestinal, feses akan

    berkurang dan gas akan meningkat. Sifat gas adalah lusen sehingga lambung

    dan usus akan tampak transparan (Dept. Radiologi FK UI, 2011; Dyer et al.,

    2001). Dengan kondisi demikian, bayangan ginjal akan lebih mudah didapat.

  • 8

    Puasa untuk IVP dilakukan 24 jam sebelum prosedur IVP. Agar pasien tidak

    kaget, puasa dimulai dengan membatasi makanan hanya makanan yang halus,

    biasanya bubur yang diberi perasa kecap. Makanan yang diberikan sebaiknya

    tidak membentuk feses dalam volume yang besar serta secara hampir sempurna

    dapat diserap.

    Pada bayi, puasa adalah ide yang tidak terlalu bagus untuk mendapatkan

    sistem gastrointestinal yang kosong. Feses bayi juga tidak terlalu padat dan

    dehidrasi pada bayi akan meningkat jika bayi dipuasakan. Oleh karena itu,

    digunakan minuman berkarbonat (Dept. Radiologi FK UI, 2011). Tujuannya

    tetap sama, yaitu meningkatkan gas gastrointestinal agar bayangan dapat

    dilihat. Karbonat dalam minuman tersebut akan menjadi gas karbondioksida

    sehingga dapat terbentuk gas gastrointestinal.

    Edukasi mengenai puasa untuk persiapan IVP adalah sangat penting.

    Puasa di sini berarti juga berhenti merokok untuk sementara. Namun lain

    halnya dengan minum. Pasien boleh minum sampai 13-10 jam sebelum

    pemeriksaan. Tidak seperti puasa untuk anestesi, jumlah minum pasien sangat

    dibatasi. Bahkan, jika perlu, pasien tidak perlu bicara terlalu banyak agar tidak

    cepat haus. Tujuannya adalah menciptakan dehidrasi ringan agar kontras dapat

    dibuang melalui ginjal dan agar jelas terekam pada foto X-ray.

    Laksatif (Katartik)

    Obat laksatif digunakan 18 jam sebelum pemeriksaan untuk

    mempercepat evakuasi feses. Jenis laksatif yang digunakan sebaiknya adalah

    laksatif iritan, misalnya oleum ricini (castor oil) 30 cc atau bisacodyl 4 tablet.

    Penggunaan laksatif penambah volume feses tidak dianjurkan, sebab

    memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan hasil yang sama dengan

    laksatif iritan (lebih kurang 6 jam). Pasien sering kali mengeluh diare setelah

    diberi laksatif. Edukasi sangat penting untuk memberitahukan tujuan

    pemberian obat ini agar pasien tidak perlu khawatir akan kondisinya.

    BOF Pre-IVP

    BOF pre-IVP dilakukan untuk mencari batu radioopak. Batu radioopak

    sudah jelas terlihat bahkan tanpa kontras. Jika batu ini diberi kontras, batu

    justru tidak terlihat (ACR, 2009). BOF Pre-IVP dilakukan setelah persiapan

    spesifik lainnya dilakukan. BOF Pre-IVP dapat berfungsi sebagai foto sekuens

    nomor nol jika dibandingkan dengan foto IVP di mana pasien telah diberi

    kontras.

    Rangkuman: Persiapan Pasien sebelum tindakan IVP

    Pasien harus disiapkan sebelum diberi tindakan IVP. IVP adalah

    tindakan diagnostik radiologis invasif yang memiliki beberapa risiko sehingga

    dokter tidak boleh lupa untuk menjelaskan mengenai apa yang akan dilakukan

  • 9

    sebelum IVP. 48-24 jam sebelum pemeriksaan, pasien hanya boleh makan

    bubur. 18 jam sebelum pemeriksaan, pasien diberi laksatif iritan untuk

    mempercepat evakuasi feses yang tersisa. 13-10 jam sebelum IVP, semua

    makanan sebaiknya distop dan jumlah minum dibatasi. Tepat sebelum IVP

    dilakukan foto BOF untuk mencari batu radioopak.

    2.6. Posisi Foto Pemeriksaan IVP

    1. Posisi pemeriksaan IVP

    a. Foto Polos Abdomen Tujuan pemotretan adalah untuk melihat persiapan dari penderita,

    apakah usus sudah bebas dari udara dan fekal. Kelainan-kelainan anatomi

    pada organ saluran kemih dan untuk menentukan faktor eksposi pada

    pengambilan radiograf selanjutnya.

    Teknik pemotretan Intra Vena Pielografi adalah sebagai berikut :

    (a) Posisi pasien : berbaring terlentang di atas meja

    pemeriksaan, meletakkan bantal di atas

    kepala. Kedua lengan berada di samping

    tubuh, kedua lutut di ganjal untuk

    mengurangi ketegangan dan pergerakan.

    (b) Posisi objek : mengatur pasien sehingga Mid Sagital

    Plane berada di tengah meja

    pemeriksaan, daerah sympisis pubis

    tidak terpotong.

    (c) Kaset : ukuran 35 cm x 43 cm diatur memanjang

    sejajar tubuh dengan batas atas kaset

    pada proccecus xypoideus dan batas

    bawah pada sympisis pubis.

    (d) Arah sinar : vertikal tegak lurus terhadap kaset.

    (e) Titik bidik : pada Mid Sagital Plane tubuh setinggi

    garis yang menghubungkan crista iliaca

    kanan dan kiri.

    (f) FFD : 100 cm.

    (g) Ekspose : di lakukan pada saat ekspirasi dan tahan

    nafas.

    (h) Kriteria : dapat menampakkan organ abdomen

    secara keseluruhan, tidak tampak

    pergerakan tubuh, kedua krista iliaka

    simetris kanan dan kiri, gambaran

    vertebra tampak di pertengahan

    radiograf.

  • 10

    Gambar 2: Foto Polos proyeksi AP (Bontrager, 2005)

    Gambar 3: Radiograf Foto Polos proyeksi AP

    (Kamiel Gurel, 2008)

    b. Foto Post Pemasukan Media Kontras 1) Foto 5 Menit Setelah Pemasukan Media Kontras (Bontrager, 2005)

    Tujuan pemotretan adalah untuk melihat fungsi ginjal dan

    untuk melihat pengisian media kontras pada pelvicocalises.

    (a) Posisi penderita : berbaring terlentang di atas meja

    pemeriksaan, meletakkan bantal di

    atas kepala. Kedua lengan berada di

    samping tubuh, kedua lutut di

  • 11

    ganjal untuk mengurangi

    ketegangan dan pergerakan.

    (b) Posisi objek : mengatur pasien sehingga Mid

    Sagital Plane berada di tengah meja

    pemeriksaan, batas atas processus

    xypoideus dan batas bawah crista

    iliaca.

    (c) Kaset : ukuran 24 cm x 30 cm diatur

    melintang tubuh didalam meja

    bucky dengan batas atas kaset pada

    proccecus xypoideus dan batas

    bawah pada crista iliaca.

    (d) Arah sinar : vertikal tegak lurus terhadap kaset.

    (e) Titik bidik : pada Mid Sagital Plane tubuh pada

    pertengahan antara proccecus

    xypoideus dengan kedua garis

    pertemuan crista iliaca.

    (f) FFD : 100 cm.

    (g) Eksposi : di lakukan pada saat ekspirasi dan

    tahan nafas.

    (h) Kriteria : dapat menampakkan organ

    abdomen terutama dapat

    menampakkan kedua kontur ginjal

    yang terisi media kontras.

    Fase 5 menit ini disebut juga dengan fase nefrogram yaitu fase

    dimana untuk memperlihatkan fungsi ekskresi dari ginjal.

    Gambar 4: Foto pada menit ke 5 proyeksi AP (Bontrager, 2005)

  • 12

    Gambar 5: Radiograf menit ke 5 proyeksi AP (Bontrager, 2005)

    2) Pemotretan 15 Menit Setelah Pemasukan Media Kontras (Bontrager, 2005).

    (a) Tujuan : Untuk melihat pengisian media

    kontras pada ureter.

    (b) Posisi penderita : Berbaring di atas meja

    pemeriksaan, meletakkan bantal di

    atas kepala, kedua lutut di ganjal

    untuk mengurangi ketegangan dan

    pergerakan.

    (c) Posisi objek : Mmengatur pasien sehingga Mid

    Sagital Plane berada di tengah

    meja pemeriksaan, batas atas

    processus xypoideus dan batas

    bawah sympisis pubis.

    (d) Kaset : Ukuran 35 cm x 43 cm diatur

    memanjang sejajar tubuh dengan

    batas atas kaset pada proccecus

    xypoideus dan batas bawah pada

    sympisis pubis.

    (e) Arah sinar : Vertikal tegak lurus terhadap kaset.

    (f) Titik bidik : Pada Mid Sagital Plane tubuh

    setinggi garis yang

    menghubungkan crista iliaca

    kanan dan kiri.

    (g) FFD : 100 cm.

    (h) Eksposi : Dilakukan pada saat ekspirasi dan

    tahan nafas.

    (i) Kriteria : Dapat menampakkan media

    kontras mengisi kedua ureter

    (Bontrager, 2005).

  • 13

    Fase 15 menit ini disebut juga dengan fase Pyelogram yaitu

    fase dimana untuk memperlihatkan fungsi dari ureter.

    Gambar 6: Foto pada menit ke 15 proyeksi AP (Bontrager, 2005)

    Gambar 7: Radiograf menit ke 15 proyeksi AP (Bontrager, 2005)

    3) Pemotretan 30 Menit (Bontrager, 2005) Dilakukan dengan posisi RPO/LPO dengan tujuan untuk

    melihat ureterovesiko junction dan juga supaya ureter terlihat lebih

    jauh dari kolumna vertebra.

    (a) Posisi penderita : Berbaring di atas meja

    pemeriksaan kemudian di

    miringkan ke salah satu sisi

    dengan sudut kemiringan 30o.

    Lutut di tekuk sebagai fiksasi.

  • 14

    Kedua lengan di angkat dan di

    tempatkan di atas dada. Di

    usahakan agar kolumna vertebra di

    pertengahan meja.

    (b) Kaset : Ukuran 35 cm x 43 cm diatur

    memanjang sejajar tubuh dengan

    batas atas kaset pada proccecus

    xypoideus dan batas bawah pada

    sympisis pubis.

    (c) Arah sinar : Vertikal tegak lurus terhadap kaset.

    (d) Titik bidik : Ppada Mid Sagital Plane tubuh

    setinggi garis yang

    menghubungkan crista iliaca

    kanan dan kiri.

    (e) FFD : 100 cm.

    (f) Eksposi : Di lakukan pada saat ekspirasi dan

    tahan nafas.

    (g) Kriteria Pemotretan : Tampak ginjal kanan atau kiri,

    ureter kanan atau kiri dan VU,

    ureter kanan dan kiri tampak

    overlaping dengan vertebra

    lumbal, ginjal kiri atau kanan

    terlihat terangkat dan jelas.

    Gambar 8: Foto pada menit ke 30 proyeksi RPO dan LPO (Bontrager, 2005)

  • 15

    Gambar 9: Radiograf menit ke 30 proyeksi RPO (Bontrager, 2005)

    4) Foto 45 Menit Setelah Pemasukan Media Kontras (Bontrager, 2005) Apabila pada 30 menit setelah penyuntikan media kontras

    kandung kemih belum terisi penuh dengan media kontras, maka

    dilanjutkan foto 45 menit dan seterusnya, pada kasus-kasus tertentu

    juga dibuat foto 1 jam dan 2 jam (Rasad, 2005). Pembuatan foto

    Antero posterior pada pemeriksaan Intra Vena Pyelography menurut

    Bontrager (2005) adalah sebagai berikut:

    (a) Posisi penderita : Berbaring terlentang diatas meja

    pemeriksaan, meletakkan bantal

    diatas kepala. Tempatkan kedua

    lengan disamping tubuh, ganjal

    kedua lutut untuk mengurangi

    ketegangan dan pergerakan.

    (b) Posisi objek : Atur pasien sehingga Mid Sagital

    Plane berada di tengah meja

    pemeriksaan, usahakan daerah

    sympisis pubis tidak terpotong.

    (c) Kaset : Ukuran 35 cm x 43 cm diatur

    memanjang sejajar tubuh dengan

    batas atas kaset pada proccecus

    xypoideus dan batas bawah pada

    sympisis pubis.

    (d) Arah sumbu sinar : Vertikal tegak lurus terhadap

    kaset.

  • 16

    (e) Titik bidik : Pada Mid Sagital Plane tubuh

    setinggi garis yang

    menghubungkan crista iliaca

    kanan dan kiri.

    (f) FFD : 100 cm.

    (g) Eksposi : Dilakukan pada saat ekspirasi dan

    tahan nafas.

    (h) Kriteria : Dapat menampakkan media

    kontras mengisi kedua kontur

    ginjal, ureter dan kandung kemih.

    Gambaran vertebra berada

    dipertengahan radiograf, kedua

    krista iliaka simetris kanan dan kiri

    (Bontrager, 2005).

    Gambar 10: Foto pada menit ke 45 proyeksi AP (Bontrager, 2005)

  • 17

    Gambar 11: Radiograf menit ke 45 proyeksi AP (Kamiel Gurel, 2008)

    Fase 30 atau 45 menit ini disebut juga dengan Fase

    Cystogram yaitu fase dimana kontras mulai masuk ke kandung kemih.

    Apabila pada pengambilan radiograf tujuan pengambilan

    radiograf belum terpenuhi maka dibuat radiograf 60 menit, 90 menit,

    120 menit. Apabila diperlukan, dibuat proyeksi oblik terutama untuk

    kasus prostat hipertrofi.

    5) Poto post miksi Apabila pada foto 45 menit kandung kemih sudah terisi penuh

    media kontras dan sudah diberikan proyeksi tambahan tertentu, maka

    pasien dipersilahkan buang air kecil terlebih dahulu. Kemudian

    dilanjutkan foto post miksi. Adapun poto post miksi memiliki dua

    proyesi yang biasa diguna Poto post miksi Proyeksi Antero Posterior

    erect (AP) dan Post Miksi Proyrksi PA/Prone (Bontrager, 2005)

    Tujuan : Untuk melihat residu urine, untuk melihat

    kondisi seperti massa atau tumor, melihat

    pelebaran kelenjar prostat pada laki-laki,

  • 18

    dan untuk melihat apakah ada gangguan

    ren mobiles (Bontrager, 2005)

    1. Poto post miksi Proyeksi Antero Posterior erect (AP) (a) Posisi Penderita : Berdiri tegak dengan punggung

    bersandar pada meja pemeriksaan.

    (b) Posisi objek : Mengatur pasien sehingga Mid

    Sagital Plane berada di tengah

    meja pemeriksaan, batas atas

    processus xypoideus dan batas

    bawah pada sympisis pubis.

    (c) Kaset : Ukuran 35 cm x 43 cm di atur

    memanjang sejajar tubuh dengan

    batas atas kaset pada proccecus

    xypoideus dan batas bawah pada

    sympisis pubis.

    (d) Arah sinar : Horisontal tegak lurus terhadap

    kaset.

    (e) Titik bidik : Pada Mid Sagital Plane tubuh

    setinggi garis yang

    menghubungkan crista iliaca

    kanan dan kiri.

    (f) FFD : 100 cm.

    (g) Eksposi : Dilakukan pada saat ekspirasi dan

    tahan nafas.

    (h) Kriteria : Tidak tampak media kontras pada

    kandung kemih. Tampak kedua

    ginjal dan ureter, daerah sympisis

    pubis masuk dalam radiograf

    (Bontrager, 2005)

    Gambar 12: Foto Post Miksi posisi erect (Bontrager, 2005)

  • 19

    Gambar 13: Radiograf Post Miksi posisi erect (Kamiel Gurel, 2008)

    2. Proyeksi Postero Anterior (PA) (a) Posisi penderita : Berbaring telungkup di atas meja

    pemeriksaan, meletakkan bantal di

    atas kepala, kedua lutut di ganjal

    untuk mengurangi ketegangan dan

    pergerakan.

    (b) Posisi objek : Mengatur pasien sehingga Mid

    Sagital Plane berada di tengah

    meja pemeriksaan, batas atas

    proccesus xypoideus dan batas

    bawah sympisis pubis.

    (c) Kaset : Ukuran 35cm x 43 cm di atur

    memanjang sejajar tubuh dengan

    batas atas kaset proccesus

    xypoideus dan batas bawah pada

    sympisis pubis.

    (d) Arah sinar : Vertical tegak lurus terhadap kaset.

    (e) Titik bidik : Pada Mid Sagital Plane tubuh

    setinggi garis yang

    menghubungkan crista iliaca

    kanan dan kiri.

    (f) FFD : 100 cm.

    (g)Eksposi : Dilakukan pada saat ekspirasi dan

    tahan nafas.

    (h)Kriteria : Tampak sedikit media kontras

    pada kandung kemih. Gambaran

    vertebra berada di pertengahan

  • 20

    radiograf, daerah sympisis pubis

    masuk dalam radiograf, kedua

    krista iliaka tampak simetris.

    Gambar 14: Post Miksi Proyrksi PA/Prone (Bontrager, 2005)

    Gambar 15: Radiograf Foto Post Miksi Proyeksi PA (Bontrager, 2005)

    2.7. Teknis Penatalaksanaan IVP

    Prosedur Pemeriksaan BNO-IVP

    1. Lakukan pemeriksaan BNO posisi AP, untuk melihat persiapan pasien.

    2. Jika persiapan pasien baik/bersih, suntikkan media kontras melalui

  • 21

    intravena 1 cc saja, diamkan sesaat untuk melihat reaksi alergis.

    3. Jika tidak ada reaksi alergis penyuntikan dapat dilanjutkan dengan

    memasang alat compressive ureter terlebih dahulu di sekitar SIAS kanan

    dan kiri.

    4. Setelah itu lakukan foto nephogram dengan posisi AP supine 1

    menit setelah injeksi media kontras untuk melihat masuknya media

    kontras ke collecting sistem, terutama pada pasien hypertensi dan

    anak-anak.

    5. Lakukan foto 5 menit post injeksi dengan posisi AP supine

    menggunakan ukuran film 24 x 30 untuk melihat pelviocaliseal dan

    ureter proximal terisi media kontras.

    6. Foto 15 menit post injeksi dengan posisi AP supine menggunakan

    film 24 x 30 mencakup gambaran pelviocalyseal, ureter dan bladder

    mulai terisi media kontras.

    7. Foto 30 menit post injeksi dengan posisi AP supine melihat

    gambaran bladder terisi penuh media kontras. Film yang digunakan

    ukuran 30 x 40.

    8. Setelah semua foto sudah dikonsulkan kepada dokter spesialis radiologi,

    biasanya dibuat foto blast oblique untuk melihat prostate (umumnya

    pada pasien yang lanjut usia).

    9. Yang terakhir lakukan foto post void dengan posisi AP supine atau erect

    untuk melihat kelainan kecil yang mungkin terjadi di daerah bladder.

    Dengan posisi erect dapat menunjukan adanya ren mobile (pergerakan

    ginjal yang tidak normal) pada kasus pos hematuri.

    Kriteria Gambar

    1. Foto 5 menit post injeksi

    Tampak kontras mengisi ginjal kanan dan kiri.

    2. Foto 15 menit post injeksi

    Tampak kontras mengisi ginjal, ureter.

    3. Foto 30 menit post injeksi (full blass) Tampak blass terisi penuh oleh

    kontras.

    4. Foto Post Mictie

    Tampak blass yang telah kosong.

  • 22

    Kelebihan dan Kekurangan IVP

    Kelebihan IVP :

    1. IVP memberikan gambaran dan informasi yang jelas, sehingga

    dokter dapat mendiagnosa dan memberikan pengobatan yang tepat

    mulai dari adanya batu ginjal hingga kanker tanpa harus melakukan

    pembedahan

    2. Diagnosa kelainan tentang kerusakan dan adanya batu pada ginjal dapat

    dilakukan.

    3. Radiasi relative rendah

    4. Relative aman

    Kekurangan IVP :

    1. Selalu ada kemungkinan terjadinya kanker akibat paparan radiasi yang

    diperoleh.

    2. Dosis efektif pemeriksaan IVP adalah 3msv, sama dengan rata-rata

    radiasi yang diterima dari alam dalam satu tahun.

    3. Penggunaan media kontras dalam IVP dapat menyebabkan efek alergi

    pada pasien, yang menyebabkan pasien harus mendapatkan pengobatan

    lanjut.

    4. Tidak dapat dilakukan pada wanita hamil.

  • 23

    Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan foto IVP

    1. Jangan lupa memberi marker BNO, 5, 15, 30, PM sesuai

    dengan interval waktu.

    2. Pemeriksaan dilakukan menggunakan grid sebagai penyerap radiasi

    hambur, jika tidak menggunakan bucky potter grid, gunakan lysolm grid.

    3. Persiapan pasien yang baik akan menghasilkan gambaran IVP yang baik

    pula.

    4. Proteksi radiasi bagi pasien juga harus diperhatikan seperti membatasi

    lapangan penyinaran.

    5. Peng-ekspos-an dilakukan saat pasien tahan nafas setelah ekspirasi penuh

    (aba-aba pemeriksaan : tarik nafas buang nafas.tahan!!!!. hal ini

    bertujuan untuk menghindari kekaburan objek karena pergerakan saat

    bernafas.

  • 24

    BAB III

    PENUTUP

    3.1. Kesimpulan

    Untuk penatalaksanaan pemeriksaan IVP, diperlukan berbagai macam

    persiapan, antara lain:

    a. Memahami anatomi traktus urinarius dengan baik agar tahu letak dari

    kelainan para traktus urinarius.

    b. Memahami indikasi pemeriksaan IVP, antara lain seperti kecurigaan

    kelainan pada traktus urinarius, sehingga pemeriksaan IVP tersebut tepat

    guna dan tidak mubazir.

    c. Memahami kontraindikasi pemeriksaan IVP, antara lain seperti gagal

    ginjal, alergi kontras, dan multipel myeloma, sehingga pemeriksaan

    tersebut aman bagi pasien.

    d. Memahami efek samping dari pemeriksaan IVP, antara lain berupa efek

    samping karena kontras maupun paparan radiasi sinar-X.

    e. Memahami syarat-syarat pemeriksaan IVP, seperti: tidak alergi kontras,

    serum kreatinin normal, dan tidak ada penyakit khusus yang

    membahayakan.

    f. Memahami persiapan dari segi pasien sebelum IVP dilaksanakan, antara

    lain berupa puasa, urus-urus, dan mengurangi aktivitas yang mampu

    meningkatkan udara dalam tubuh.

    g. Mengetahui jenis-jenis posisi foto yang diperlukan pasien dalam IVP,

    antara lain foto AP, oblique, atau lainnya yang memang sesuai dengan

    kondisi pasien.

    h. Memahami langkah-langkah IVP secara terorganisir dengan didahului

    foto BOF.

    i. Mengetahui waktu-waktu spesifik untuk pengambilan foto IVP (5, 15,

    30, 60 dan lainnya).

    3.2. Saran

    a. Tetap mengikuti perkembangan ilmu mengenai IVP agar dapat dilakukan

    pemeriksaan secara tepat dan benar.

  • 25

    DAFTAR PUSTAKA

    Abujudeh HH, Gee MS, Kaewlai R. 2009. Should serum creatinine be checked in

    all patients before performing second contrast CT examinations within

    24 hours?. J Am Coll Radiol. 6(4): 268-73

    American College of Radiology (ACR). 2009. ACR Practice Guideine for the

    Performance of Excretory Urography. Available at:

    http://www.acr.org/Quality-Safety/Standards-Guidelines/Practice-

    Guidelines-by-Modality/Abdomen-Genitourinary

    Bontrager KL. 2005.. Radiographic Positioning and Related Anatomy Workbook

    and Laboratory Manual.

    Departemen Radiologi FK UI. 2011. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta:

    RSCM.

    Dyer RB, Chen MY, Zagoria RJ. 2001. Intravenous urography: technique and

    interpretation. Radiographics. 21(4):799-821

    Gurel K et al. 2008. Does an extra kidney-ureter-bladder radiograph taken in the

    upright position during routine intravenous urography provide diagnostic

    benefit?. Diagn Interv Radiol. 2008 Dec;14(4):205-11.

    Irwan, Ade, 2013. Prosedur Diagnostik Pada Gangguan Ginjal. Diakses dari

    http://adehura15.blogspot.com/2013/06/prosedur-diagnostik-pada-

    gangguan-ginjal.html [Diakses pada 12 May 2014]

    Muttarak, Malai et all., 2001. Bab 29. Pencitraan Traktus Urinarius. Dalam :

    Bagian 4. Pola Gastrointestinal dan Traktus Urinarius. Diakses dari

    http://whqlibdoc.who.int/publications/2001/97897904401_ind_part-

    2.pdf [Diakses pada 11 Mei 2014]

    Patel, P.R., 2005. Lecture Notes : Radiologi Edisi kedua. Jakarta : Penerbit

    Erlangga