35
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Struktur dasar karet alam adalah rantai linear unit isoprene (C 5 H 8 ) yang berat molekul rata-ratanya tersebar antara 10.000 - 400.000. Karet alam adalah jenis karet pertama yang dibuat sepatu. Sesudah penemuan proses vulkanisasi yang membuat karet menjadi tahan terhadap cuaca dan tidak larut dalam minyak, maka karet mulai digemari sebagai bahan dasar dalam pembuatan berbagai macam alat untuk keperluan dalam rumah ataupun pemakaian di luar rumah seperti sol sepatu dan bahkan sepatu yang semuanya terbuat dari bahan karet. Sebelum itu usaha-usaha menggunakan karet untuk sepatu selalu gagal karena karet manjadi kaku di musim hujan dan lengket serta berbau di musim panas seperti yang pernah dilakukan oleh Roxbury Indian Rubber Company pada tahun 1833 dengan cara melarutkan karet alam terpentin dan mencampurnya dengan hitam karbon untuk menghasilkan karet keras yang tahan air. Pemanfaatan kulit hewan sebagai salah satu peningkatan pendayagunaan hasil ternak merupakan salah satu upaya membangun peternakan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan kesempatan kerja dan usaha serta peningkatan devisa

Makalah Kimia Industri Karet

Embed Size (px)

DESCRIPTION

industri karet

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Struktur dasar karet alam adalah rantai linear unit isoprene (C5H8) yang

berat molekul rata-ratanya tersebar antara 10.000 - 400.000. Karet alam adalah

jenis karet pertama yang dibuat sepatu. Sesudah penemuan proses vulkanisasi

yang membuat karet menjadi tahan terhadap cuaca dan tidak larut dalam minyak,

maka karet mulai digemari sebagai bahan dasar dalam pembuatan berbagai

macam alat untuk keperluan dalam rumah ataupun pemakaian di luar rumah

seperti sol sepatu dan bahkan sepatu yang semuanya terbuat dari bahan karet.

Sebelum itu usaha-usaha menggunakan karet untuk sepatu selalu gagal karena

karet manjadi kaku di musim hujan dan lengket serta berbau di musim panas

seperti yang pernah dilakukan oleh Roxbury Indian Rubber Company pada tahun

1833 dengan cara melarutkan karet alam terpentin dan mencampurnya dengan

hitam karbon untuk menghasilkan karet keras yang tahan air.

Pemanfaatan kulit hewan sebagai salah satu peningkatan pendayagunaan

hasil ternak merupakan salah satu upaya membangun peternakan dalam rangka

meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan kesempatan kerja dan

usaha serta peningkatan devisa negara. Dewasa ini sudah bukan hal umum orang

menggunakan kulit untuk berbagai keperluan sehari-hari, sehingga dapat

dikatakan penggunaan kulit sudah memasyarakat, misal untuk sepatu, jaket, tas,

sarung tangan dan lain-lain.

B.  Rumusan Masalah

1.   Bagaimana sejarah karet dan kulit?

2.   Apa saja kandungan dari karet dan kulit?

3.   Bagaimana proses produksi dari karet dan kulit sehingga di dapat hasil yang

berkualitas dan berkuantitas ?

4.   Bagaimana cara mengolah limbah yang dihasilkan dari proses industri

tersebut?

C.  Tujuan

1. Untuk mengetahui sumber dan kandungan dari karet, kulit dan plastik

2. Untuk mengetahui proses pengolahan industri karet, kulit dan plastik yang

berkualitas.

3. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari industri tersebut terhadap

kesehatan manusia.

4. Untuk mengetahui tekhnik pengendalian pencemaran industri karet, kulit dan

plastik.

D.  Kegunaan

Telah banyak kita ketahui bahwa kegunaan dari masing-masing industri

tergantung dari jenis dan produk apa yang dihasilkan dari industri tersebut. Baik

berupa bahn pangan, pakaian ataupun alat-alat rumah tangga. Dengan proses

pengolahan yang baik maka akan menghasilkan produk yang berkualitas dan

kuntitas yang lebih besar.

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Karet

Pada dasarnya karet berasal dari alam yaitu dari getah pohon karet (atau

dikenal dengan istilah latex), maupun produksi manusia (sintetis). Saat pohon

karet dilukai, maka getah yang dihasilkan akan jauh lebih banyak. Sumber utama

getah karet adalah pohon karet Para Hevea Brasiliensis (Euphorbiaceae).

Karet telah digunakan sejak lama untuk berbagai macam keperluan antara

lain bola karet, penghapus pensil, baju tahan air, dll. Saat Christopher Columbus

dan rombongannya menemukan benua Amerika pada tahun 1476,mereka

terheran-heran melihat bola yang dimainkan orang-orang Indian yang dapat

melantun bila dijatuhkan ke tanah. Di sinilah sejarah karet dimulai, tetapi baru

pada tahun 1530 ada laporan tertulis mengenai gummi optimum, sebutan Pietro

Martire d’Anghiera untuk karet. Pada tahn 1535, Ahli sejarah mengenai bangsa

Indian, Captain Gonzale Fernandez de Oveida menulis bahwa dia melihat 2 tim

orang Indian yang bermain bola. Bola itu terbuat dari campuran akar, kayu, dan

rumput, yang dicampur dengan suatu bahan (latex) kemudian dipanaskan di atas

unggun dan dibulatkan seperti bola. Bola oran Indian ini bisa melambung lebih

tinggi daripada bola yang umum dibuat orang-orang Eropa waktu itu. Oviedo

mengatakan bahwa bila bola buatan Indian itu dijatuhkan, bola itu bisa

melambung lebih tinggi dan kemudian jatuh, lalu melambung lagi walaupun agak

rendah daripada lambungan yang pertama, dst.

Adapun proses pengolahan karet dalam industri antara lain :

Penerimaan Lateks Kebun

Tahap awal dalam pengolahan karet adalah penerimaan lateks kebun dari

pohon karet yang telah disadap. Lateks pada mangkuk sadap dikumpulkan dalam

suatu tempat kemudian disaring untuk memisahkan kotoran serta bagian lateks

yang telah mengalami prakoagulasi. Setelah proses penerimaan selesai, lateks

kemudian dialirkan ke dalam bak koagulasi untuk proses pengenceran dengan air

yang bertujuan untuk menyeragamkan Kadar Karet Kering.

Pengenceran

Tujuan pengenceran adalah untuk memudahkan penyaringan kotoran serta

menyeragamkan kadar karet kering sehingga cara pengolahan dan mutunya dapat

dijaga tetap. Pengenceran dapat dilakukan dengan penambahan air yang bersih

dan tidak mengandung unsur logam, pH air antara 5.8-8.0, kesadahan air maks. 6

serta kadar bikarbonat tidak melebihi 0.03 %. Pengenceran dilakukan hingga

KKK mencapai 12-15 %. Lateks dari tangki penerimaan dialirkan melalui talang

dengan terlebih dahulu disaring menggunakan saringan aluminium Pedoman

Teknis Pengolahan Karet Sit Yang Diasap (Ribbed Smoked Sit). Lateks yang

telah dibekukan dalam bentuk lembaran-lembaran (koagulum).

Pembekuan

Pembekuan lateks dilakukan di dalam bak koagulasi dengan menambahkan

zat koagulan yang bersifat asam. Pada umunya digunakan larutan asam

format/asam semut atau asam asetat /asam cuka dengan konsentrasi 1-2% ke

dalam lateks dengan dosis 4 ml/kg karet kering Dasar Pengolahan Karet. Jumlah

tersebut dapat diperbesar jika di dalam lateks telah ditambahkan zat antikoagulan

sebelumnya. Penggunaan asam semut didasarkan pada kemampuannya yang

cukup baik dalam menurunkan pH lateks serta harga yang cukup terjangkau bagi

petani karet dibandingkan bahan koagulan asam lainnya. Tujuan dari penambahan

asam adalah untuk menurunkan pH lateks pada titik isoelektriknya sehingga lateks

akan membeku atau berkoagulasi, yaitu pada pH antara 4.5-4.7. Asam dalam hal

ini ion H+ akan bereaksi dengan ion OH- pada protein dan senyawa lainnya untuk

menetralkan muatan listrik sehingga terjadi koagulasi pada lateks.

Penambahan larutan asam diikuti dengan pengadukan agar tercampur ke

dalam lateks secara merata serta membantu mempercepat proses pembekuan.

Pengadukan dilakukan dengan 6-10 kali maju dan mundur secara perlahan untuk

mencegah terbentuknya gelembung udara yang dapat mempegaruhi mutu sit yang

dihasilkan. Kecepatan penggumpalan dapat diatur dengan mengubah

perbandingan lateks, air dan asam sehingga diperoleh hasil bekuan atau disebut

juga koagulum yang bersih dan kuat. Lateks akan membeku setelah 40 menit.

Proses selanjutnya ialah pemasangan plat penyekat yang berfungsi untuk

membentuk koagulum dalam lembaran yang seragam.

Proses penggilingan koagulum menjadi lembaran sit

Penggilingan

Penggilingan dilakuan setelah proses pembekuan selesai. Hasil bekuan atau

koagulum digiling untuk mengeluarkan kandungan air, mengeluarkan sebagian

serum, membilas, membentuk lembaran tipis dan memberi garis pada lembaran.

Untuk memperoleh lembaran sit, koagulum digiling dengan beberapa gilingan rol

licin, rol belimbing dan rol motif (batik). Setelah digiling, sit dicuci kembali

dengan air bersih untuk menghindari permukaan yang berlemak akibat

penggunaan bahan kimia, membersihkan kotoran yang masih melekat serta

menghindari agar sit tidak menjadi lengket saat penirisan. Koagulum yang telah

digiling kemudian ditiriskan diruang terbuka dan terlindung dari sinar matahari

selama 1-2 jam.

Tujuan penirisan adalah untuk mengurangi kandungan air di dalam

lembaran sit sebelum proses pengasapan. Penirisan tidak boleh terlalu lama untuk

menghindari terjadinya cacat pada sit yang dihasilkan, misalnya timbul warna

yang seperti karat akibat teroksidasi. Penirisan dilakukan pada tempat teduh dan

terlindung dari sinar matahari.

Proses pengasapan karet sit asap dalam kamar asap

Sortasi

Sit yang telah matang dari kamar asap diturunkan kemudian ditimbang dan

dicatat dalam arsip produksi. Proses sortasi dilakukan secara visual berdasrkan

warna, kotoran, gelembung udara, jamur dan kehalusan gilingan yang mengacu

pada standard yang terdapat pada SNI 06-0001-1987. Secara umum sit

diklasifikasikan dalam mutu RSS 1, RSS 2, RSS 3, RSS 4, RSS 5 dan Cutting.

Cutting merupakan potongan dari lembaran yang terlihat masih mentah, atau

terdapat gelembung udara hanya pada sebagian kecil, sehingga dapat digunting

Proses sortasi

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam industri karet agar

mendapatkan hasil yang maksimal antara lain :

  Lateks yang berasal dari tanaman muda

Pada umumnya menghasilkan karet sit yang lekat atau lengkat, lembek serta

mudah mengalami pemuluran saat digantung dalam kamar asap. Kemudian, lateks

yang berasal dari tanaman yang sudah lama tidak disadap, menghasilkan karet sit

yang mudah sobek/rapuh. Oleh sebab itu, manajemen penyadapan yang baik perlu

dilakukan agar lateks kebun yang disadap sesuai dengan kriteria bahan baku

pembuatan sit.

  Kebersihan lateks

Mulai dari kebun hingga pabrik pengolahan harus senantiasa dijaga agar

diperoleh hasil produk yang sesuai dengan standard. Terutama untuk peralatan

penyadapan termasuk pisau sadap, talang lateks, mangkuk, ember pengumpul dan

alur sadap sendiri, harus bebas dari kotoran serta slab sisa penyadapan

sebelumnya.

  Tangki penerima

Untuk tangki penerima yang jauh dari pabrik hendaknya ditambahkan bahan

anti koagulan seperti amoniak. Penambahan antikoagulan diusahakan tidak

melebihi batas yang ditetapkan untuk mencegah pemakaian asam semut yang

terlalu banyak pada proses pembekuan. Pada saat pengangkutan sebaiknya

dihindari dari sinar matahari serta panas berlebih untuk menghindai prakoagulasi

serta pembentukan gelembung.

  Pemberian bahan penggumpal (koagulan).

Pemberian bahan penggumpal (koagulan) seperti asam yang berlebih atau

terlalu banyak akan menyebabkan koagulum menjadi keras dan sulit untuk

digiling, sedangkan jika pemberian kurang maka koagulum akan menjadi lunak,

membubur atau tetap encer (tidak menggumpal). Dalam proses penggumpalan,

larutan asam dimasukkan perlahan-lahan secara merata, kemudian diaduk

perlahan hingga homogen (seragam). Tebal karet sit yang tidak merata dapat

disebabkan karena pencampuran lateks dan asam yang tidak seragam, pemberian

asam yang tidak cukup, lateks terlalu encer, atau letak bak yang miring.

Gelembung gas yang timbul dalam karet sit dapat disebabkan karena

penggumpalan terjadi terlalu cepat dengan menggunakan asam yang berlebih, atau

asam yang terlalu pekat, penyaringan yang kurang baik, waktu penggumpalan

terlalu lama dan kurang sempurna. Apabila lateks telah menggumpal sempurna,

maka diatas gumpalan tersebut digenangi air untuk mencegah terjadinya oksidasi

dengan udara yang dapat mengakibatkan timbulnya bercak-bercak hitam pada

permukaan koagulum.

  Penggilingan sit

Penggilingan sit dilakukan untuk memisahkan sebagian besar air yang

terkandung dalam gumpalan. Dengan penggilingan permukaan sit akan menjadi

semakin besar, sehingga akan mempercepat pengeringan. Kecepatan penggilingan

berbeda-beda antara satu rol dengan rol lainya, semakin maju maka kecepatan rol

berikutnya akan lebih besar kecuali pada rol terakhir yang berpola, putaran

menjadi lebih kecil. Kecepatan giling serta jarak antar celah dapat memengaruhi

hasil gilingan sit. Sit yang mudah sobek dapat disebabkan karena kecepatan maju

yang tidak tepat atau perbedaan celah antara dua celah yang berurutan terlalu

besar.

Beberapa faktor kesalahan yang dapat terjadi dalam industri karet antara

lain :

  Karet sit yang lembek (tacky), dan molor (memanjang).

Ini dapat disebabkan karena suhu di dalam ruang asap terlalu tinggi. Kemudian

bercak – bercak pada permukaan sit, dapat disebabkan karena kayu bakar yang

digunakan mengandung bahan tar yang tinggi, kondensasi uap air yang

mengandung tar, atau dibagian atap ruang asap yang terbuat dari genting atau seng

jatuh pada permukaan karet sit # Warna yang tidak seragam dapat disebabkan

karena kecepatan pengeringan, penggunaan bahan kimia seperti natrium bisulfit

yang tidak merata sehingga warna sit menjadi lebih muda atau pengisian karet sit

dalam rumah asap yang terlalu padat.

  Lapisan tipis berwarna abu-abu cokelat (rustines)

Hal ini dapat disebabkan oleh adanya mikroorganisme pada lembaran karet

sebagai akibat dari penggantungan yang terlalu lama ditempat yang lembab. Dapat

juga disebabkan karena sistem ventilasi yang kurang baik, sehingga jamur dapat

tumbuh dengan baik pada ruang yang suhunya rendah dibawah 40 oC. Oleh sebab

itu, suhu harus dinaikkan pada pengeringan hari pertama dan ventilasi diatur

dengan baik .

  Gelembung gas.

Gelembung gas juga dapat terjadi karena kesalahan pada rumah pengasapan.

Seperti, pengeringan yang berlangsung sangat lambat karena suhu rendah,

kenaikan suhu yang terlalu cepat, atau suhu terlalu tinggi lebih dar 60 oC. selain

itu pengeringan pada suhu yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan karet sit

menjadi lengket .

  Abu yang melekat di dalam karet sit.

Hal ini dapat disebabkan olah api yang terlalu besar, sehingga abu terbawa oleh

asap yang masuk ke ruang asap.

Sedangkan faktor yang memengaruhi kualitas sit dalam ruang sortasi adalah

timbulnya jamur atau kapang pada permukaan sit. Kapang dapat timbul apabila

karet sit tidak segera disortasi dan dikemas. Ruang sortasi harus bersih dan kering.

Bandela-bandela harus disusun diatas papan kayu dan dalam penyusunannya tidak

boleh lebih dari empat susun.

Proses pengolahan limbah dalamindustri karet meliputi 3 bagian

diantaranya:

1.    Pengolahan secara fisik.

2.    Pengolahan secara Kimia

3.    Pengolahan secara Biologi.

B.  Kulit

Kulit merupakan organ terbesar dari tubuh yang menutupi seluruh

permukaan tubuh dan mempunyai beberapa fungsi yang penting besarnya ± 10-

12% dari tubuh. Kulit adalah lapisan luar tubuh hewan (kerangka luar) tempat

bulu hewan tumbuh (Sunarto, 2000 disitasi oleh Aidil rahmat et al) senada

dengan pernyataan Suardana et al (2008) bahwa kulit adalah lapisan luar tubuh

binatang yang merupakan suatu kerangka luar, tempat bulu binatang itu tumbuh.

Kulit mamalia terbagi menjadi beberapa bagian dari segi histology menurut

Judoamidjojo (1981)yaitu : Epidermis adalah lapisan luar kulit, Corium (derma)

adalah bagian pokok tenunan kulit yang akan diubah menjadi kulit samak. dan,

Hypodermis (subcutis), yang dikenal sebagai lapisan daging atau tenunan lemak,

yang dihilangkan pada saat proses flesing pada proses penyamakan. Bagian

bagian kulit dapat dilihat dalam Irisan penampang kulit dan keterangannya

( Franson 1981disitasi oleh Hoeruman (2000) : 

Tidak semua bagian kulit sama kualitasnya dalam satu lembar kulit,

dijelaskan oleh Suardana et al, ( 2008 ). jenis kulit berdasarkan kualitasnya

sebagai berikut :

1.    Bagian punggung adalah bagian kulit yang letaknya ada pada punggung dan

mempunyai jaringan struktur yang paling kompak luasnya 40 % dari seluruh luas

kulit.

2.    Bagian leher mempunyai kriteria kulitnya agak tebal, sangat kompak tetapi ada

beberapa kerutan.

3.    Bagian bahu kulitnya lebih tipis, kualitasnya bagus, hanya terkadang ada kerutan

yang dapat mengurangi kualitas.

4.    Bagian perut dan paha struktur jaringan kurang kompak, kulit tipis dan mulur.

Dalam dunia industri kulit ada dua istilah yang menonjol yaitu hide dan

skin. Hide adalah istilah kulit mentah yang berasal dari hewan berukuran besar

dan berumur dewasa, misalnya : sapi, kerbau, unta, badak dan paus. Skin adalah

kulit mentah yang berasal dari hewan yang berukuran kecil, misalnya domba,

kambing, babi, dan reptil atau hewan besar yang belum dewasa misalnya : anak

sapi dan anak kuda (Sharpouse, 1957. disitasi oleh Hoeruman, 2000).

Industri penyamakan kulit adalah industri yang mengolah kulit mentah

menjadi kulit jadi. Industri penyamakan kulit merupakan salah satu industri yang

didorong perkembangannya sebagai penghasil devisa non migas. Potensi

penyamakan kulit di Indonesia pada tahun 1994 terdiri dari 586 jumlah

perusahaan ang terdiri dari industri kecil sebesar 489 unit dan industri menengah

sebesar 8 unit, dengan kapasitas produksi sebesar 70,994 ton ( Dirjen industri

aneka 1995).

Industri Penyamakan kulit sebagai salah satu Industri yang proses limbah

yang masih sering dipermasalahkan, dan mempunyai konsekwen untuk dapat

mencemari lingkungan yang ada disekitarnya baik melalui air, tanah dan udara.

Salah satu contoh kasus terjadinya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh

limbah Industri Kulit yang ada di Garut.

Adapun proses industri dari kulit yaitu :

  Proses awal terdiri atas :

1.    Perendaman

Maksud perendaman ini adalah untuk mengembalikan sifat- sifat kulit mentah

menjadi seperti semula, lemas, lunak dan sebagainya. Kulit mentah kering setelah

ditimbang, kemudian direndam dalam 800- 1000 % air yang mengandung 1 gram/

liter obat pembasah dan antiseptic, misalnya tepol, molescal, cysmolan dan

sebagainya selama 1- 2 hari. Kulit dikerok pada bagian dalam kemudian diputar

dengan drum tanpa air selama 1/ 5 jam, agar serat kulit menjadi longgar sehingga

mudah dimasuki air dan kulit lekas menjadi basah kembali. Pekerjaan perendaman

diangap cukup apabila kulit menjadi lemas, lunak, tidak memberikan perlawanan

dalam pegangan atau bila berat kulit telah menjadi 220- 250% dari berat kulit

mentah kering, yang berarti kadar airnya mendekati kulit segar (60-65 %). Pada

proses perendaman ini, penyebab pencemarannya ialah sisa desinfektan dan

kotoran- kotoran yang berasal dari kulit. Untuk mengembalikan kadar air yang

hilang selama proses pengeringan sebelumnya, kulit basah lebih mudah bereaksi

dengan bahan kimia penyamak, membersihkan dari sisa kotoran, darah, garam

yang masih melekat pada kulit.

2.    Pengapuran

Maksud proses pengapuran ialah :

1. Menghilangkan epidermis dan bulu.

2. Menghilangkan kelenjar keringat dan kelenjar lemak.

3. Menghilangkan semua zat-zat yang bukan collagen yang aktif menghadapi zat-

zat penyamak.

Cara mengerjakan pengapuran, kulit direndam dalam larutan yang terdiri dari

300-400 % air (semua dihitung dari berat kulit setelah direndam), 6-10 % Kapur

Tohor Ca (OH)2, 3-6 % Natrium Sulphida (Na2S). Perendaman ini memakan

waktu 2-3 hari. Dalam proses pengapuran ini mengakibatkan pencemaran yaitu

sisa- sisa Ca (OH)2, Na2S, zat-zat kulit yang larut, dan bulu yang terepas.

Pengapuran berfungsi membengkakan kulit untuk melepas sisa daging,

menyabunkan lemak pada kulit, pembuangan sisik, pembuangan daging.

3.    Pembelahan ( Splitting).

Untuk pembuatan kulit atasan dari kulit mentah yang tebal (kerbau-sapi) kulit

harus ditipiskan menurut tebal yang dikehendaki dengan jalan membelah kulit

tersebut menjadi beberapa lembaran dan dikerjakan dengan mesin belah

( Splinting Machine). Belahan kulit yang teratas disebut bagian rajah (nerf),

digunakan untuk kulit atasan yang terbaik. Belahan kulit dibawahnya disebut split,

yang dapat pula digunakan sebagai kulit atasan, dengan diberi nerf palsu secara

dicetak dengan mesin press (Emboshing machine), pada tahap penyelesaian akhir.

Selain itu kulit split juga dapat digunakan untuk kulit sol dalam, krupuk kulit, lem

kayu dll. Untuk pembuatan kulit sol, tidak dikerjakan proses pembelahan karena

diperlukan seluruh tebal kulit.

4.    Pembuangan kapur (deliming)

Oleh karena semua proses penyamakan dapat dikatakan berlangsung dalam

lingkungan asam maka kapur didalam kulit harus dibersihkan sama sekali. Kapur

yang masih ketinggalan akan mengganggu proses- proses penyamakan. Misalnya :

a) Untuk kulit yang disamak nabati, kapur akan bereaksi dengan zat

penyamak menjadi Kalsium Tannat yang berwarna gelap dan keras

mengakibatkan kulit mudah pecah.

b) Untuk kulit yang akan disamak krom, bahkan kemungkinan akan

menimbulkan pengendapan Krom Hidroksida yang sangat merugikan.

Pembuangan kapur akan mempergunakan asam atau garam asm, misalnya

H2SO4, HCOOH, (NH4)2SO4, Dekaltal dll. Pembuangan kapur berguna untuk

menghilangkan kapur dan menetralkan kulit dari suasana basa, menghindari

pengerutan kulit, menghindari timbulnya endapan kapur, pengikisan protein.

5.    Pengasaman (pickle).

Proses ini dikerjakan untuk kulit samak dan krom atau kulit samak sintetis dan

tidak dikerjakan untuk kulit samak nabati atau kulit samak minyak. Maksud

proses pengasaman untuk mengasamkan kulit pada pH 3- 3,5 tetapi kulit kulit

dalam keadaan tidak bengkak, agar kulit dapat menyesuaikan dengan pH bahan

penyamak yang akan dipakai nanti.

Selain itu pengasaman juga berguna untuk:

1. Menghilangkan sisa kapur yang masih tertinggal.

2. Menghilangkan noda- noda besi yang diakibatkan oleh Na2gS, dalam

pengapuran agar kulit menjadi putih bersih.

Pengasaman (pickle) untuk memberikan suasana asam pada kulit sehingga

lebih sesuai dengan senyawa penyamak dan kulit lebih tahan terhadap seranga

bakteri pembusuk). Pada kulit sapi, dilakukan proses pembuangan bulu

menggunakan senyawa Na2S. 

  Proses penyamakan.

Sesuai dengan jenis kulit, tahapan proses penyamakan bisa berbeda. Kulit

dibagi atas 2 golongan yaitu hide (untuk kulit berasal dari binatang besar seperti

kulit sapi, kerbau, kuda dll), dan skin (untuk kulit domba, kambing, reptil dll).

Jenis zat penyamak yang digunakan mempengaruhi hasil akhir yang diperoleh.

Penyamak nabati (tannin) memberikan warna coklat muda atau kemerahan,

bersifat agak kaku tetapi empuk, kurang tahan terhadap panas. Penyamak mineral

paling umum menggunakan krom. Penyamak krom menghasilkan kulit yang lebih

lemas, lebih tahan terhadap panas. Lewat proses penyamakan, dilakukan proses

pemeraman yaitu menumpuk atau menggantung kulit selama 1 malam dengan

tujuan untuk menyempurnakan reaksi antara molekul bahan penyamak dengan

kulit. 

  Proses penyelesaian (finishing)

Untuk menentukan kualitas hasil akhir (leather). Terdiri atas beberapa

tahapan proses yang bervariasi sesuai dengan jenis kulit, bahan penyamak yang

digunakan, dan kualitas akhir yang diinginkan. Proses finishing akan membentuk

sifat-sifat khas pada kulit seperti kelenturan, kepadatan, dan warna kulit.

1.    Proses perataan (setting out).

Bertujuan untuk menghilangkan lipatan-lipatan yang terbentuk selama proses

sebelumnya dan mengusahakan terciptanya luasan kulit yang maksimal. proses

perataan sekaligus juga akan mengurangi kadar air karena kandungan air dfalam

kulit akan terdorong keluar (striking out).

2.    Pengeringan

Bertujuan untuk mengurangi kadar air kulit sampai batas standar biasanya 18 -

20 %.

3.    Pelembaban

Menaikkan kandungan air bebas dalam kulit untuk persiapan perlakuan fisik di

proses selanjutnya).

4.    Pelemasan

Untuk melemaskan kulit dan mengembalikan kerutan-kerutan sehingga luasan

kulit menjadi normal kembali.

5.    Pementangan

Hal ini untuk menambah luas kulit.

6.    Pengampelasan

Hal ini dilakukan untuk menghalukan permukaan kulit). Kulit samakan bisa

dicat untuk memperindah tampilan kulit.  

Banyak faktor yang mungkin menyebabkan kualitas kulit tidak maksimal.

Menurut Suaradana et al., ( 2008 ) Faktor tersebut antara lain:

1.    Pengaruh usaha ternak terhadap kualitas kulit.

Pada dasarnya usaha peternakan ditujukan untuk menghasilkan bahan

makanan berupa daging, susu, bagi kebutuhan manusia. Akan tetapi usaha, usaha

peternakan juga bisa menghasilkan kulit yang merupakan komoditas unggulan

dan sejajar dengan hasil yang berupa bahan makanan. Karena harganya yang

cukup tinggi, maka sekarang usaha peterna kan juga sangat memperhatikan

faktor-faktor yang bisa meningkatkan kualitas kulit.

2.    Pengaruh keadaan kulit terhadap kualitas kulit

Kulit yang berkualitas baik adalah kulit yang dihasilkan dari hewan yang

sehat dan gizinya baik, sehingga menghasilkan kulit yang lemas dan dapat dilipat.

Sedangkan kulit yang kualitasnya kurang adalah kulit yang dihasilkan dari hewan

yang sakit atau kondisinya tidak sehat, sehingga kondisi kulit menjadi kaku dan

kering. Bila kita memotong hewan yang akan diambil dagingnya, maka hewan

tersebut harus dalam keadaan sehat, sehingga kulitnya pun berkualitas baik.

3.    Pengaruh iklim terhadap kualitas kulit.

Temperatur, tekanan udara, kelembaban dan sebagainya merupakan faktor-

faktor yang periu diperhatikan sebagai pengaruh iklim terhadap kualitas kulit.

Peternakan hewan yang bertujuan untuk menghasilkan kulit binatang harus

memperhatikan faktor-faktor tersebut agar kualitas kulit yang dihasilkan tetap

baik. Setiap daerah mempunyai iklimnya sendiri, sehingga temak yang kulitnya

akan diambil harus dipelihara sesuai dengan iklim yang cocok untuknya.

4. Pengaruh adaptasi terhadap kualitas kulit.Perpindahan tempat akan berpengaruh terhadap hewan yang kulitnya akan

diambil. Ada kalanya hewan tidak tahan terhadap bibit penyakit yang ada pada

suatu daerah tempat ia berpindah. Hewan yang terkena penyakit akan

menghasilkan kulit yang tidak berkualitas juga. Untuk itu, adaptasi hewan

terhadap tempat baru juga harus mendapatkan perhatian.

5. Pengaruh makanan terhadap kualitas kulitMakanan yang baik akan berpengaruh terhadap berat badan hewan dan

kesehatannya. Berat badan hewan berpengaruh terhadap kualitas kulit yang

dihasilkannya.

6. Pengaruh perawatan terhadap kualitas kulitKerusakan kulit juga merupakan akibat dari perawatan yang tidak baik

terhadap hewan. Hal hal yang menyebabkan nilai kulit menurun misalnya hewan

dicambuk, dipukul, terkena duri atau kawat, terbentur, dan sebagainya. Perlakuan

semacam itu terhadap hewan akan berakibat peradangan atau luka pada kulit

hewan, sehingga pada proses penyamakan akan menimbulkan tanda atau cacat

yang mengurangi kualitas kulit.

Dalam penentuan kualitas kulit hewan, di samping faktor -faktor yang

disebutkan di atas, ada faktor -faktor lain yang juga menentukan, yaitu

pemotongan hewan, pengulitan dan proses penyamakan. Contoh-contoh

penurunan kualitas kulit yang menyebabkan kecacatan kulit antara lain:

1.      Pemeliharaan

     Hewan tidak dirawat dengan baik.

     Kesehatan hewan tidak diperhatikan

2.      Makanan

     Hewan tidak mendapatkan makanan secara teratur

     Makanan tidak bergizi

3.      Perlakuan

     Hewan dicambuk sampai luka

     Hewan luka karena penyakit

     Hewan tidak diobati

4.      Pengulitan

     Cara pengulitan hewan tidak benar

     Pisau sayat tidak tajam/tumpul

5.      Penyamakan

     Proses pengawetan yang tidak benar

     Terjadinya kesalahan pada proses penyamakan.

Limbah cair industri penyamakan kulit nampak paling menonjol

dibandingkan limbah padat maupun gasnya karena volumenya yang cukup banyak

yaitu 30-70 l / kg bahan baku yang diolah dari awal. Disamping volume yang

banyak, zat- zat pencemaran yang terkandung dapat menimbulkan dampak negatif

terhadap lingkungan dan dampak yang paling cepat berpengaruh adalah berbau

busuk dan kadang- kadang secara visual nampak berbuih banyak. Secara umum

air limbah penyamakan kulit mengandung bagian- bagian dari kulit seperti bulu,

sisa daging, potongan kulit dan bahan kimia sisa dari yang ditambahkan dalam

proses penyamakan kulit.

Untuk mengantisipasi peningkatan jumlah limbah yang dibuang ke sungai,

pada awal 1980-an, saat Garut dipimpin oleh Bupati Taufik Hidayat, ada rencana

untuk merelokasi sentra industri kulit Sukaregang, namun tidak terealisasi. Oleh

penerusnya, Bupati Toharudin Gani rencana tersebut kembali dicoba diwujudkan

namun tak juga berhasil.

Karena berbagai hambatan itu, akhirnya yang dapat dilaksanakan adalah

revitalisasi. Artinya, lokasi Sukaregang akan ditata sedemikian rupa, termasuk

ditetapkannya zona-zona industri serta pembatasan jumlah industri dengan

dilengkapi instalasi pengelolaan air limbah (IPAL). Untuk revitalisasi ini

pemerintah pusat memberi bantuan untuk membangun dua buah instalasi

pengelolaan air limbah (IPAL) pada 1992 agar air dari Sukaregang dapat kembali

bersih saat dialirkan ke sungai. IPAL tersebut baru dapat beroperasi pada 1994,

namun persoalan limbah tidak selesai karena jumlah IPAL yang ada tidak sesuai

dengan jumlah limbah yang dihasilkan industri kulit Sukaregang. Kesadaran

masyarakat pengusaha akan persoalan limbah ini juga kurang mendukung. Hingga

kini hanya beberapa yang mau membangun IPAL sendiri. Padahal, untuk

menangani masalah limbah idealnya setiap perusahaan memiliki satu mesin

recovery sendiri. (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0104/13/0806.htm).

Secara garis besar proses pengolahan limbah cair penyamakan kulit adalah

sbb:

1. Pemisahan Padatan Kasar.

2. Segresi.

3. Ekualisasi.

4. Koagulasi.

1. Pemisahan Padatan Kasar.

Sebelum diolah air limbah perlu disaring terlebih dahulu untuk

menghilangkan padatan kasar yang dapat menutup pipa, pompa-pompa dan

saluran- saluran. Pada proses ini lebih dari 30% padatan tersuspensi total dalam

cairan air limbah dapat dihilangkan dengan saringan.

2. Segresi.

Pada tahap ini dilakukan pemisahan cairan-cairan limbah yang mempunyai

sifat khas dan memerlukan perlakuan tertentu untuk menangani zat pencemar agar

nanti setelah dicampur dengan cairan limbah yang lain tidak menimbulkan

kontradiksi yang merugikan. Adapun cairan- cairan limbah dari proses

penyamakan kulit yang perlu dipisahkan adalah:

a.    Cairan limbah pengapuran (buang bulu).

Cairan limbah ini banyak mengandung Sulfida dari Na2S atau NaHS sisa

dari proses buang bulu sebagai agensia perontok bulu/ rambut. Sebelum proses

pengolahan segresi air limbah pada proses buang bulu berwarna putih kehijauan

dan kotor, dengan konsntrasi pH 10-12,5 dengan total solid 16.000- 45.000 mg/l.

Namun setelah proses pengolahan dapat menetralisir asam, serta kandungan slfida

yang terkandung didalamnya dapat teratasi. Hal ini dapat dilakukan dengan dua

cara:

b.    Oksidasi Katalitik Sulfida,

Yaitu dengan aerasi dan pemberian mangan sebagai katalisator. Seharusnya

hal ini dilakukan setiap hari untuk menghindari bau busuk (H2S) dari air limbah

tampungan. Aerasi dapat dilakukan pada tang ki yang memanjang keatas (tinggi)

dan udara dihembuskan dari bagian dasar melalaui difusir atau dapat juga

memakai aerator.

c.    Pengendapan Langsung.

Fero sulfat dan feri klorida dapat digunakan untuk menghilangkan sulfida

dari larutan denganpengendapan. Pengolahan ini akan menurunkan pH karena

hidroksidanya mengendap.

d.   Cairan limbah Krom.

Pengendapan krom relatif mudah dilakukan, pengendapan limbah krom

dapat mempengaruhi biaya produksi/ pengolahan limbahnya. Pada pengolahan ini

menghasilkan cairan supernatan yang hampir bebas krom dan juga dapat

menurunkan BOD.

3. Ekualisasi.

Proses pengolahan pada bak ekualisasi bertujuan untuk penghilangan sulfida

dan krom agar dapat menghemat air yang dapat mengencerkan limbah kapran dan

cairan limbah krom sebelum diolah lebih lanjut. Pada tahapan ini juga

meningkatkan efisiensi pengolahan dan untuk menghindari rancangan baik yang

diantisipasi untuk aliran puncak ( peak Flow) maka dilakukan sistem pengaturan

laju aliran dan pencampuran seluruh air limbah.

Praktek pencampuran ini meberi kesempatan terjadinya proses netralisasi

dan pengendapan. Oleh karena itu sebaiknya air limbah dicampur dengan baik dan

intensif, misalnya dengan mixer atau blower mengingat dalam bak ini padatan

tersuspensinya dijaga jangan samapai mengendap dan kondisi air limbahnya harus

aerobik, hal ini dapat dicapai dengan menghembuskan udara dari dasar bak

melaluai beberapa difuser untuk memasok O2 yang intensif. Tenaga yang

diperlukana untuk mengaduk kira- kira 30 watt/m2 air limbah. Jika dilakukan

injeksi udara pada bak sedalam 2-4 m, aliran udara optimalnya 3-4 m3/jam per m2

permukaan bak. Dalam bak ekualisasi dapat dilakukan pergantian garam- garam

aluminium maka penghilangan Nitrogen melalui proses nitrifikasi/ denitrifikasi

perlu dilakukan.Pada tahapan ini untuk meningkatkan efisiensi pengolahan dan

untuk menghindari rancangan baik yang diantisipasi untuk aliran puncak ( peak

Flow) maka dilakukan sistem pengaturan laju aliran dan pencampuran seluruh air

limbah.

4. Koagulasi.

Pada tahapan ini dilakukan perlakuan fisiko kimiawi untuk menghilangkan

BOD dan padatan. Dengan perlakuan fisiko kimiawi yang relatif mudah dan

sederhana dapat menghilangkan > 95 % padatan tersuspensi dan BOD sekitar

70%. Untuk menghilangkan BOD sepenuhnya dapat dilakukan dalam pengolahan

proses biologis selanjutnya.

Perlakuan fisiko kimia terhadap air limbah penyamakan kulit terdiri dari

perlakuan awal dengan pemberian penggumpal yang dilanjutkan dengan

pemberian pengendap sampai dengan pemisahan lumpurannya untuk dibuang.

Efesiensi penggumpalan dapat diperoleh dengan penambahan larutan

pengendap yang berupa larutan polyelektrolit anionik rantai panjang dengan

konsentrasi 1-10 mg/l.

Dalam persyaratan baku mutu air limbah, maka perlu adanya pegolahan

sekunder. Adapun pengolahan limbah cair dengan proses biologis. Pilihan cara

pengolahan sekunder untuk air limbah penyamakan kulit sbb:

a.    Filter biologis.

Filter biologis dalam pengolahan limbah penyamakan kulit sering tidak

dipertimbangkan.

b.    Lumpur aktif (kolam oksidasi).

Pengolahan lumpur aktif pada prinsipnya adalah mempertemukan antara air

limbah yang mengandung bahan pengencer organik dengan sejumlah besar bakteri

aerob dan mokroorganisme lain yang terkandung dalam lumpur biologis (lumpur

aktif). Pengolahan dengan lumpur aktif berbeban ringan sangat sesuai untuk air

limbah penyamakan kulit. Cara ini dikenal deng oksidasi kolam PASVEER.

c.       Lumpur aktif konvensional.

Jika dibandingkan dengan cara konvensional yang berbeban berat, maka

waktu yang diperlukan adalah 2-4 hari dan beban organik yang ringan lebih

mudah menahan variasi keadaan air limbah dan beban mendadak yang menjadi

proses penyamakan kulit, dengan demikian lumpur yang dihasilkan berkurang.

Kolam oksidasi PASVEER relatif lebih murah, dan pemeliharaannya mudah, juka

dioprasikan sebagaimana mestinya dapat menghasilkan air limbah terolah dengan

BOD , 20 mg/l.

Pengolah dengan lumpur aktif konvensional ( bebn berat) dapat dipilih

dengan cara pegolahan sekundernya jika lahan yang ada sangat tebatas. Oksidasi

berlangsung terus menerus dalam bk aerasi karena itu kebutuhan aerasinya juga

agak intensif ( sampai kra- kira 1 Kw/ kg BOD). Waktu tingga l yang diperlukan

hanya 6-12 jam sudah cukup.

d.   Lagun (kolam) .

Ada pendekatan lain bagi daerah pedesaan atau yang memiliki lahan luas,

yaitu kolam dapat dibuat dengan biaya rendah dan perawatan pengolahan juga

sangat mudah. Ada beberapa pilihannya :

1.    Kolam aerob

Dapat mengurangi sampai > 85 % BOD dalam waktu 10 hari, namun

biasanya kolam tersebut mengeluarkan pencemaran udara dan memungkinkan

terbentuknya kembali sulfida bersamaan dengan terlepasnya gas H2S. Hal ini

sesuai bila hanya untukpemanfaatan ruang/ ahan dan biaya kolam-kolam tersebut

rendah, sedangkan yang diperlukan hanya membuat kedalaman 3 meter.

2.    Kolam Fakultatif.

Dengan 2 lapisan (zone) pengolahan yaitu lapisan aerob (yang ada di atas,

berhubungan dengan udara) dal lapisan anaerob (zone di bawahnya). Biasanya

berukuran lebih besar dari an aerob dan kurang efektif.Kolam ini lebih

mengandalkan kekuatn fotosintetik dengan demikian tergantung pada perubahan

musim dan tidak dapat diperiksa/ dipantau dengan baik.

3.    Kolam Aerasi

Kolam ini sudah banyak dioperasikan di banyak perusahaan dan

membutuhkan tenaga 10 – 30 w/m3 yang biasanya digunakan adalah aerator

permukaan mekanik.

BAB IIISIMPULAN

A.  Simpulan

Setelah mengetahui sejarah dan kandungan dari karet, kulit dan plastik kita

dapat memanfaatkannya dengan skala yang lebih besar melalui industri. Adapun

pengolahan industri tersebut meliputi :

1.    Karet

Penerimaan Lateks Kebun

Pengenceran

Pembekuan

Penggilingan

Sortasi

2.    Kulit

Proses awal terdiri atas :

-       Perendaman

-       Pengapuran

-       Pembelahan( Splitting).

-       Pembuangan kapur (deliming)

-       Pengasaman (pickle).

Proses penyamakan.

Proses penyelesaian (finishing).

Proses-proses tersebut untuk mandapatkan hasil yang maksimal baik dari segi kualitas

maupun kuantitas.

Selain itu, proses pengolahan limbah mutlak harus dimiliki dalam setiap industri agar

kelestarian lingkungan di sekitar tetap terjaga. Karena telah kita ketahui bahwa limbah dari

industri khususnya yang sintesis dapat merusak kelestarian dari lingkungan disekitarnya.

Pengolahan limbah bisa berupa daur ulang ataupun proses-proses lainnya yang sifatnya

mencegah limbah merusak lingkungan.

B.  Saran

Industri penyamakan kulit dan Industri pengolahan lateks dan karet merupakan salah satu

industri yang dalam prosesnya menghasilkan limbah yang masih sering dipermasalahkan, dan

mempunyai konsekuensi dapat mencemari lingkungan yang ada disekitarnya baik melalui air,

tanah dan udara. Oleh karena itu, dalam industri penyamakan kulit selain memperhitungkan

keuntunganya, perlu juga diperhitungkan kerugian yang dapat ditimbulkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Zuhra, Cut Fatima. 2006. Karet. Karya Tulis Ilmiah. Departemen Kimia Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Suseno, Rs. Suwarti.1989. Pedoman Teknis Pengolahan Karet Sit Yang Diasap (Ribbed Smoked

Sit). Balai Penelitian Perkebunan Bogor, Bogor.

Anonim. 1997. Kumpulan Pedoman Pengolahan Karet (Buku I, II, III, IV, V, VI, VII). Tim

Standardisasi Pengolahan Karet. Direktorat Jendral Perkebunan, Jakarta.

Anonim. 2007. Pedoman Penanganan Pasca Panen Karet. Direktorat Jenderal Pengolahan Dan

Pemasaran Hasil Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.

Anonim, 1996. Teknologi Pengendalian Dampak Lingkungan Industri Penyamakan Kulit,

Bapedal, Jakarta.

Wijayadi Swarnam. 2005. Teknologi Limbah Edisi Spesial. Pusat Pengembangan Teknologi

Limbah Cair. Jakarta.