34
INTERAKSI AKTIVITAS BUDIDAYA DARAT DAN LAUT DI PULAU-PULAU KECIL SERTA IMPLIKASINYA DALAM PERENCANAAN PERMUKIMAN Oleh: Syarif Hidayatullah S, ST (e-mail : [email protected] ) Kuswara, ST, MA (e-mail : [email protected] ) Peneliti Muda Bidang Tata Ruang Bangunan dan Kawasan Puslitbang Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum ABSTRAK Salah satu permasalahan utama pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil (PPK) adalah keterbatasan daya dukung lahan dan sumber daya alam untuk kegiatan budidaya baik daratan maupun lautan. Kondisi ini menyebabkan PPK saat rentan terhadap perubahan pola aktivitas kawasan sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi di kawasan tersebut. Untuk mengetahui bagaimana pola aktivitas yang terjadi dalam pengembangan PPK maka dalam tulisan ini akan dipaparkan mengenai aktivitas budi daya yang bersifat darat dan budi daya kelautan yang terjadi di kawasan PPK. Hal ini dimaksudkan untuk melihat seberapa besar dan bagaimana interaksi pola aktivitas yang terjadi serta dampaknya terhadap keberlanjutan pengembangan PPK. Untuk itu dalam tulisan ini dibahas beberapa karakteristik aktivitas budidaya di 5 kawasan PPK di Indonesia. Untuk mengidentifikasi jenis dan tingkat interaksi antar aktivitas budidaya, maka pulau-pulau kecil dikelompokkan berdasarkan ukuran pulau dan sifat perkotaan dan non-perkotaannya. Dari hasil lapangan dapat disimpulkan bahwa interaksi ruang daratan dengan ruang pesisir terjadi pada pulau yang berukuran > 10 km 2 . Interaksi yang terjadi meliputi aktivitas perdagangan, pendidikan, kesehatan, dan hubungan sosial kemasyarakatan, dan lain-lain. Tingkat interaksi akan semakin tinggi pada pulau yang bersifat perkotaan. Sedangkan untuk kawasan PPK yang < dari 10 km 2 aktivitas yang terjadi didominasi oleh budidaya kelautan. Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka dalam pengembangan PPK diperlukan adanya pedoman yang secara spesifik mengatur arah pengembangan aktivitas budidaya berdasarkan luasannya. Dengan demikian definisi PPK sebagai pulau dengan luas < 2000 km2 perlu lebih didetailkan lagi dalam operasional perencanaan dan pengembangan baik dalam pengembangan aktivitas budidaya maupun lindung. 1

makalah konas

Embed Size (px)

Citation preview

INTERAKSI AKTIVITAS BUDIDAYA DARAT DAN LAUT DI PULAU-PULAU KECIL SERTA IMPLIKASINYA DALAM

PERENCANAAN PERMUKIMAN

Oleh:Syarif Hidayatullah S, ST (e-mail : [email protected])

Kuswara, ST, MA (e-mail : [email protected])Peneliti Muda Bidang Tata Ruang Bangunan dan Kawasan

Puslitbang Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum

ABSTRAK

Salah satu permasalahan utama pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil (PPK) adalah keterbatasan daya dukung lahan dan sumber daya alam untuk kegiatan budidaya baik daratan maupun lautan. Kondisi ini menyebabkan PPK saat rentan terhadap perubahan pola aktivitas kawasan sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi di kawasan tersebut. Untuk mengetahui bagaimana pola aktivitas yang terjadi dalam pengembangan PPK maka dalam tulisan ini akan dipaparkan mengenai aktivitas budi daya yang bersifat darat dan budi daya kelautan yang terjadi di kawasan PPK. Hal ini dimaksudkan untuk melihat seberapa besar dan bagaimana interaksi pola aktivitas yang terjadi serta dampaknya terhadap keberlanjutan pengembangan PPK.

Untuk itu dalam tulisan ini dibahas beberapa karakteristik aktivitas budidaya di 5 kawasan PPK di Indonesia. Untuk mengidentifikasi jenis dan tingkat interaksi antar aktivitas budidaya, maka pulau-pulau kecil dikelompokkan berdasarkan ukuran pulau dan sifat perkotaan dan non-perkotaannya. Dari hasil lapangan dapat disimpulkan bahwa interaksi ruang daratan dengan ruang pesisir terjadi pada pulau yang berukuran > 10 km2. Interaksi yang terjadi meliputi aktivitas perdagangan, pendidikan, kesehatan, dan hubungan sosial kemasyarakatan, dan lain-lain. Tingkat interaksi akan semakin tinggi pada pulau yang bersifat perkotaan. Sedangkan untuk kawasan PPK yang < dari 10 km2 aktivitas yang terjadi didominasi oleh budidaya kelautan. Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka dalam pengembangan PPK diperlukan adanya pedoman yang secara spesifik mengatur arah pengembangan aktivitas budidaya berdasarkan luasannya. Dengan demikian definisi PPK sebagai pulau dengan luas < 2000 km2 perlu lebih didetailkan lagi dalam operasional perencanaan dan pengembangan baik dalam pengembangan aktivitas budidaya maupun lindung.

Kata kunci : interaksi aktivitas budidaya, Pulau-pulau kecil

1

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki 17.508 pulau, terdiri dari pulau besar dan pulau kecil. Definisi pulau-pulau kecil berdasarkan UU No 27 tahun 2007 adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Sementara itu pulau kecil menurut UNESCO adalah pulau dengan luas kurang dari 2.000 km2 atau pulau yang memiliki lebar kurang dari 10 km (IHP, 1993).

Pembangunan pulau-pulau kecil dihadapkan pada permasalahan akibat karakteristik pulau tersebut. Beberapa permasalahan pembangunan pulau-pulau kecil (Kusumastanto, 2004):

Ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan) menyebabkan penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal

Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terbatas Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan di dalam pulau dan yang

terdapat di sekitar pulau saling terkait satu sama lain secara erat. Budaya lokal kepulauan kadang kala bertentangan dengan kegiatan pembangunan.

Contoh, di beberapa pulau kecil budaya yang dibawa oleh wisatawan (asing) dianggap tidak sesuai dengan adat atau agama setempat. Ini menjadi kendala tersendiri.

Tingkat intensitas pemanfaatan sumber daya peisisir yang tinggi dapat menimbulkan sejumlah dampak negatif terhadap kondisi fisik lingkungan pesisir dan laut. Penelitian berkaitan dengan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir sudah banyak dilakukan. Pun, kebijakan-kebiajkan mengenai pemanfaatan ruang di wilayah pesisir telah banyak diluncurkan. Namun, pemanfaatan sumber daya yang berada di dalam pulau kecil (ruang daratan) masih belum optimal. Pemanfaatan ruang daratan yang tidak optimal dapat menyebabkan inefisiensi ruang pulau kecil yang menyebabkan tidak dapat mendukung peningkatan ekonomi masyarakat.

Oleh karena itu, Kusumastanto (2004) berpendapat keberhasilan usaha pertanian, perkebunan dan kehutanan di lahan darat suatu pulau jika tidak dikelola menurut prinsip-prinsip ekologis dapat merusak/mematikan industri perikanan pantai dan pariwisata bahari di sekitar pulau tersebut. Gambar 1.1 memperlihatkan secara ilustratif permasalahan pemanfaatan ruang yang dihadapi PPK.

Persoalan lingkungan daratan di pulau kecil juga akan muncul dan berdampak pada wilayah pesisir dan pulau kecil secara keseluruhan. Persoalan limbah menjadi masalah yang umum di pulau-pulau kecil. Persoalan lingkungan dataran akan semakin terasa ketika intensitas pemanfaatan ruang di pulau kecil tersebut semakin tinggi. Tingkat kebutuhan kemudian terbatasi dengan tingkat ketersediaan sumber daya alam. Karena memiliki karakteristik yang kecil dalam konteks fisik, pemanfaatan lahan darat harus diperhatikan sedemikian rupa sehingga tidak sampai melebihi daya dukung lingkungan dari PPK tersebut.

Sementara itu acuan normatif rencana tata ruang wilayah masih berorientasi pada pemanfaatan ruang darat, lebih spesifiknya pada pulau besar dan aktivitas perkotaan darat. Oleh karena itu diperlukan kajian mengenai pemanfaatan ruang di pulau kecil secara menyeluruh, baik aktivitas berbasis kelautan maupun nonkelautan serta kajian mengenai penyediaan infrastruktur permukiman yang sesuai dengan pemanfaatan ruang pulau kecil.

2

Ruang berbasis daratanRuang budidaya daratan

Ruang lindung daratanHak pengelolaan hutan

Zonasi perkotaanRTR Pulau/Daratan

Infrastruktur Permukiman

Ruang berbasis kelautanRuang budidaya kelautanRuang lindung kelautanHak pengelolaan laut, pesisir dan pulau kecilZonasi lautRTR Pesisir & pulau kecilInfrastruktur penunjang

Gambar 1 Ilustrasi Permasalahan Pemanfaatan Ruang Pulau-Pulau Kecil

Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis aktivitas budidaya yang bersifat daratan dan budidaya yang bersifat kelautan di 9 pulau kecil di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana interaksi antara aktivitas budidaya daratan dengan budidaya kelautan di 9 pulau kecil berdasarkan ukuran fisik (luas daratan) pulau dan sifat perkotaan dan non-perkotaannya.

Metodologi

Pendekatan Studi Kasus

Studi kasus adalah pendekatan yang menggunakan berbagai sumber yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan dan menjelaskan secara komprehensif suatu peristiwa. Pendekatan studi kasus mempunyai ciri pengambilan keputusan dengan induktiif yaitu berangkat dari fakta-fakta dilapangan kemudian menyimpulkannya ke dalam tataran konsep. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan pada beberapa lokasi yang diasumsikan mewakili karakteristik pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil, dengan menarik kesimpulan secara umum dari obervasi terhadap karakteristik lokasi studi kasus tersebut.

Setiap data dan infromasi dari kasus sebelumnya menjadi dasar pengembangan data dan informasi dari kasus selanjutnya sehingga diharapkan didapat suatu data dan informasi yang memadai untuk merumuskan kesimpulan yang cukup.

Analisis SWOT

Berkaitan dengan konsep pengembangan infrastruktur permukiman, melalui proses identifikasi dan analisis SWOT, pola ruang dan aktifitas manusia sebuah kabupaten dapat dilihat secara jelas setiap faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangannya. Dari proses identifikasi tersebut kemudian diperoleh pengelompokan menjadi faktor-faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal diperoleh dari faktor ancaman dan peluang, sedangkan faktor internal dari kekuatan dan kelemahan.

II. TINJAUAN TEORITIS PENGEMBANGAN PULAU-PULAU KECIL

3

Nilai Strategis PPK

Pada hakikatnya yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland) dan memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat lain, sehingga mempunyai sifat insuler, keterisolasian suatu pulau akan menambah keaneka ragaman organisme yang hidup dan dapat membentuk kehidupan yang unik di pulau tersebut (Dahuri, 1998).

Selain itu, pulau kecil mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi endemik yang tinggi dibandingkan dengan pulau kontinen. Ditinjau dari skalanya, pulau kecil mempunyai daerah tangkapan air yang relatif kecil sehingga kebanyakan air dan sedimen akan hilang ke dalam air (Beatley, 1994). Dari segi budaya menunjukan masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan.

Di wilayah PPK terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah atau buatan. Ekosistem alami yang terdapat di PPK pesisir antara lain adalah terumbu karang (coral reefs), hutan bakau, padang lamun (sea grass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pes-capsrea, formasi baringtonia, estuaria, laguna, dan delta. Sedangkan ekosistem buatan, antara lain kawasan pariwisata, budidaya (marine culture) dan permukiman.

Sumberdaya alam di kawasan PPK terdiri dari sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources) (Dahuri, 1996). Sumber daya yang dapat diperbarui antara lain: ikan, plankton, benthos, molukso, krustasea, bakau, dan terumbu karang. Sementara itu sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui antara lain: minyak dan gas, biji besi, pasir, timah, bauksit dan mineral serta bahan tambang lainnya.

Selain potensi pembangunan di atas, ekosistem PPK juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan, tidak saja bagi kesinambungan pembangunan ekonomi, tapi juga bagi kelangsungan hidup. Fungsi yang paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan di PPK sebagai pengatur iklim global (termasuk fenomena La-Nina), siklus hidrologi dan biogekimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan tersebut mestinya secara seimbang dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan.

Pengembangan dan pembangunan PPK sangat tergantung dari kondisi eksistingnya, dimana dalam hal ini ada empat kategori atau karakteristik yang dapat ditemui pada PPK (Dahuri, 1998), yaitu:

PPK yang tidak berpenghuni dan tidak pernah dikunjungi manusia PPK yang tak berpenghuni tetapi masih dikunjungi manusia PPK yang berpenghuni dengan tingkat perkembangan kegiatan ekonominya

terbatas PPK yang berpenghuni dan sudah memiliki perkembangan kegiatan ekonomi

antarpulau atau ekspor.

Paradigma Pembangunan PPK

Salah satu pendekatan yang digunakan dalam pembangunan PPK adalah pendekatan gugus pulau. Pendekatan ini dilakukan dengan merujuk pada Pasal 8 Ayat 2 butir e PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menyebutkan bahwa upaya pengembangkan PPK perlu dilakukan dengan pendekatan gugus pulau untuk meningkatkan daya saing dan mewujudkan skala ekonomi. Pendekatan gugus pulau ini merupakan upaya pengembangan wilayah sebagai suatu kesatuan sistem ekonomi pengembangan wilayah, dengan

4

mengembangkan keterkaitan antar kawasan pusat pertumbuhan dengan kawasan di sekitarnya dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah dan kesejahteraan masyarakat PPK. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat wilayah PPK memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan sebagai wilayah bisnis-bisnis potensial yang berbasis pada sumberdaya (resource based industry) seperti industri perikanan, pariwisata, jasa transportasi, industri olahan dan industri-industri lainnya yang ramah lingkungan. Di samping itu, PPK juga dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai pendukung pertumbuhan wilayah.

Pendekatan pengembangan gugus pulau ini dilakukan dengan pertimbangan (Suparno, 2007):

a. Kedekatan fisik dan geografis wilayahb. Kedekatan aksesibilitasc. Kedekatan batas administratifd. Kedekatan sosial budayae. Kedekatan ekonomi.

Berdasarkan Adisasmita (2006) terdapat jenjang strategi yang perlu diperhatikan dalam pengembangan gugus pulau ini, yaitu:

Strategi pengembangan pada tingkat pulau didasarkan pada tingkat kemampuan masyarakatnya yang meliputi potensi sumberdaya alam di darat, sumber daya manusia, kelembagaan, teknologi dan potensi sumberdaya kelautan.

Strategi pengembangan yang memperkaitkan antara pulau-pulau yaitu upaya untuk lebih meningkatkan nilai produksi dan nilai tambahnya dengan pengembangan pasar, pengelolaan produksi dan penyediaan fasilitas transportasi (aksesibilitas).

Terkait strategi pengembangan wilayah gugus PPK diperlukan strategi pengembangan kawasan pantai dan laut PPK dengan mendasarkannya pada konstelasi regional yang lebih luas dengan mengkaitkannya dengan pulau-pulau besar dalam lingkup nasional dan internasional.

Pengembangan gugus pulau kecil ini dapat menggunakan pendekatan konsep-konsep teoritik pengembangan wilayah yang sudah dikembangkan, dengan komponen yang meliputi (Adisasmita, 2006):

Adanya hirarki pusat, wilayah pengaruh dan jaringan transportasi Secara hierarki terdapat pusat besar, pusat menengah, dan pusat-pusat kecil yang

disesuaikan dengan potensi baik dari posisi lokasi maupun sumber daya, dan daya tampung kawasan

Terjadinya mata rantai ke depan dan ke belakang (forward linkage and backward linkage) sehingga terjadi trickle down effect antara satu kawasan/pulau dengan pulau yang lain.

Penentuan zonasi kawasan yang disesuaikan dengan daya tampung dan daya dukung pulau serta konstelasinya dalam lingkup regional.

Konsep-konsep di atas dapat digunakan sebagai dasar untuk menganalisis dan merancang rencana pengembangan wilayah gugus pulau dan keterkaitan antara wilayah lautan dengan wilayah daratan. Keterkaitan ini dapat dikelompokan dalam berbagai kawasan yang masing-masing mempunyai kondisi dan karakteristik fungsi yang relatif sama. Setiap kawasan tersebut mempunyai pusat kegiatan pembangunan yang tersusun secara hierarkis. Pusat-pusat besar bersubordinasi pusat-pusat kecil dan pusat-pusat kecil memiliki orientasi aktivitas sosial dan ekonomi secara geografis kepada pusat besar. Susunan hirarki dari pusat-pusat pada suatu kawasan terlihat dalam sistem wilayah kepulauan yang lebih luas dan mencakup beberapa kawasan.

Selain pendekatan pengambangan wilayah gugus pulau untuk PPK, pendekatan lainnya yang patut untuk dilakukan adalah pendekatan pembangunan berkelanjutan. Konsep

5

keberlanjutan dapat diperinci menjadi tiga aspek pemahaman (Haris, 2000 dalam Fauzi, 2004):

Keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri.

Keberlanjutan lingkungan: sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari eksploitasi sumber daya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga meyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi.

Keberlanjutan sosial: keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender dan akuntabilitas politik.

Pengetahuan tentang karakteristik ekonomi, ekologi dan struktur sosia-budaya serta interaksi antara karakteristik ini penting untuk pembangunan berkelanjutan di PPK karena:

kebanyakan PPK membutuhkan otonomi tetapi pulau-pulau ini hanya bisa berkembang melalui tempat lain yang kondisi ekonominya lebih kuat karena menyediakan modal, pasar dan transpor. Sebaliknya mitra perdagangan eksternal jarang mau berinvestasi untuk jangka panjang di pulau kecil.

PPK mempunyai kapasitas terbatas untuk memproduksi dan mengkonsumsi; pulau-pulau ini tidak bisa menciptakan monopoli dan melaksanakan pekerjaan skala besar; pulau-pulau ini tidak bisa mengembangkan pasar internal yang kokoh; dan pulau-pulau ini tidak mampu mengembangkan modal finansial di pasar sendiri.

Permukiman di Kawasan PPK

Pengembangan permukiman di kawasan PPK harus memperhatikan aspek daya dukung lingkungan dan daya tampung pulau. Ada beberapa aspek daya dukung lingkungan pulau kecil yang harus menjadi acuan dalam pembangunan pulau tersebut, antara lain:

Ketersediaan sumber air bersih Ketersediaan sumber daya alam seperti kesesuaian lahan untuk pertanian dan

permukiman, bahan bangunan lokal, perikanan laut, dan lain lain Sarana transportasi antar pulau yang memadai Potensi bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, tsunami, pasang air laut,

dan lain lain

Menurut Ferrianto (2004), untuk menjaga kapasitas daya dukung lingkungan PPK, ada empat dimensi yang perlu diperhatikan dalam pembangunan berkelanjutan terhadap pulau kecil tersebut, di antaranya:

Teritorial, di mana dapat menunjukkan area yang dapat dimanfaatkan bagi pengembangan suatu kegiatan

Kuantitatif, di mana dapat menunjukkan besaran atau kapasitas kegiatan yang akan dikembangkan

Kualitatif, di mana dapat menunjukkan jenis kegiatan yang akan dihasilkan, dan Temporal, di mana dapat menunjukkan tingkat perkembangan kegiatan yang dapat

ditoleransi

Selain daya dukung, perlu juga diperhatikan mengenai daya tampung PPK. Jumlah penduduk yang melebihi daya tampung suatu pulau akan berdampak pada menurunnya daya dukung PPK tersebut. Analisis daya tampung PPK bertujuan untuk mengetahui perkiraan jumlah penduduk yang dapat ditampung dalam suatu pulau kecil. Analisis daya tampung pada kegiatan ini didasarkan pada arahan rasio tutupan lahan dengan asumsi bahwa masing-masing arahan rasio tersebut dipenuhi maksimum dan dengan anggapan luas pulau yang digunakan untuk kegiatan budidaya hanya 50% (50% lagi sebagai kawasan lindung). Dari luas lahan yang digunakan untuk kegiatan budidaya tersebut diasumsikan lahan yang

6

digunakan untuk permukiman hanya 50% (50% lagi untuk kegiatan budidaya lain seperti pertanian, fasilitas umum, dan jaringan jalan). Bila satu kepala keluarga terdiri dari lima jiwa dan memerlukan lahan seluas 100 m2, maka daya tampung pulau dapat dimodelkan melalui persamaan berikut (dimodifikasi dari Ditjen KP3K, DKP, 2007):

(2.1)

dengan:n : Daya tampung pulau kecil (jiwa)B% : Persentase luas kawasan budidaya (50%)L : Luas pulau kecil (m2)k : Jumlah jiwa dalam 1 KK (5 jiwa)P% : Asumsi persentase luas perumahan dari total luas kawasan budidaya (50%)100 : Asumsi luas lahan yang diperlukan 1 kepala keluarga (m2).

Aktivitas Budidaya di Kawasan PPK

Arahan pemanfaatan ruang yang didasari potensi dan daya dukung kawasan membagi wilayah pulau kecil menjadi:

a. Zona Daratan Pedalamanb. Zona Daratan Rendahc. Zona Pantaid. zona lepas pantai.

Gambar 2.1 Pemanfaatan Ruang PPK

Pedoman Panduan Teknis Perancanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir dan Laut tahun 2006 terdiri dari panduan teknis untuk beberapa jenis pemanfaatan ruang di wilayah pesisir. Namun di lain pihak, Pedoman Pemanfaatan Tepi Pantai Perkotaan tahun 2007 juga berisi beberapa jenis ruang. Pedoman pemanfaatan ruang tersebut kemudian dibandingkan dengan Kriteria Teknis Kawasan Budidaya, dimana pedoman ini tidak membedakan antara wilayah pesisir dan daratan.

7

Berdasarkan kajian literatur terdapat empat topik pembahasan yang sama, yaitu kawasan pertanian, permukiman, industri dan pariwisata. Berikut ini merupakan hasil perbandingan pembahasan isi antara ruang berbasis kelautan dan daratan:

Pembahasan infrastruktur kawasan permukiman pada panduan yang dibuat berdasarkan pendekatan ruang berbasis kelautan terbatas kepada kawasan permukiman di wilayah pesisir.

Informasi mengenai pembahasan infrastruktur persampahan pada panduan berbasis ruang kelautan dirasa sangat kurang.

Pembahasan infrastruktur kawasan pariwisata berdasarkan ruang berbasis kelautan terbatas kepada kegiatan wisata di pesisir, sedangkan pada pendekatan berbasis daratan mencakup pariwisata pegunungan dan pesisir.

Pada pembahasan berbasis kelautan, perdagangan dan jasa menjadi bagian dalam bahasan pariwisata, namun pembahasan lebih lanjut mengenai pengaruh kehadiran pariwisata terhadap infrastruktur pariwisata di pesisir tidak ada

Pembahasan sarana persampahan pada keseluruhan infrastruktur pada pendekatan kelautan dirasa kurang lengkap.

Pembahasan sarana air buangan pada ruang berbasis kelautan tidak ada Kekurangan dari panduan teknis berdasarkan pendekatan berbasis kelautan dan

kriteria teknis berdasarkan pendekatan berbasis daratan telah terbahas dengan lebih lengkap pada pedoman pemanfaatan tepi pantai di kawasan perkotaan, serta pedoman tata ruang kawasan reklamasi pantai, hanya saja pada pedoman ini, belum ada pembahasan mengenai konsep kawasan pulau pulau kecil, karena pembahasannya terbatas pada kawasan tepi pantai maupun pesisir.

Budidaya Darat

Kegiatan budidaya darat di PPK memiliki keterbatasan karena ketersediaan lahan yang tidak mendukung dan budaya masyarakat yang masih berorientasi pada sektor kelautan. Mayoritas penduduk PPK di Indonesia cenderung mengandalkan kegiatan budidaya laut sebagai penggerak roda perekonomian. Meskipun demikian, di beberapa PPK yang memiliki luas mendekati 2000 Km2 masyarakatnya telah mengembangkan sektor budidaya darat.

Jenis kegiatan budidaya darat yang umum dijumpai di PPK antara lain: Kegiatan pertanian, meliputi: tanaman pangan dan palawija. Pertanian tanaman

keras seperti karet, cengkeh, kopi, kakao, dan lain-lain kurang berkembang atau kurang dikembangkan di PPK Indonesia.

Kegiatan pertambangan. PPK tertentu di Indonesia memiliki potensi bahan tambang yang cukup besar seperti minyak bumi, timah, bauksit, dan bahan galian C. Pulau Bintan, Pulau Bangka, dan Pulau Belitung merupakan contoh PPK yang mengandalkan sektor pertambangan sebagai penggerak perekonomian daerah.

Kegiatan industri. Beberapa jenis industri yang berkembang di PPK antara lain: industri pengolahan hasil pertanian dan industri-industri kecil seperti makanan dan minuman. Sedangkan industri skala besar seperti industri manufaktur terbatas pada PPK yang berbatasan langsung dengan pusat perekonomian negara lain seperti Pulau Batam dan Pulau Bintan.

Kegiatan pariwisata. Pada umumnya kegiatan wisata non-bahari di PPK kurang berkembang dengan baik meskipun di beberapa PPK memiliki potensi wisata selain wisata bahari, seperti wisata budaya, wisata alam pegunungan, dan tempat-tempat bersejarah.

Kegiatan Perdagangan dan Jasa. Perkembangan aktivitas perdagangan dan jasa di PPK dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sifat perkotaan dan non-perkotaan maupun hierarki pusat pelayanan atau pusat pemerintahannya.

Kegiatan permukiman. Perkembangan permukiman PPK di Indonesia umumnya lebih berorientasi pada daerah pesisir pantai. Permukiman darat (non-pesisir) dapat

8

dijumpai pada PPK dengan luas mendekati 2000 Km2, hal ini disebabkan karena orientasi ekonomi pada PPK tersebut tidak hanya terfokus pada sektor kelautan.

Budidaya Laut

Kegiatan budidaya laut di PPK lebih mendominasi dibanding kegiatan budidaya non-laut. Skala kegiatan budidaya kelautan pada PPK umumnya akan berbanding lurus dengan luas pulau. Semakin besar ukuran pulau, maka skala kegiatan budidaya laut akan semakin besar dan variatif. Jenis kegiatan budidaya kelautan di PPK antara lain adalah:

Kegiatan perikanan. Sektor perikanan yang dikembangkan adalah perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Kegiatan pariwisata bahari. Beberapa PPK di Indonesia memiliki potensi bahari yang sangat baik berupa pantai dan terumbu karang. Sektor pariwisata yang berkembang antara lain wisata selam (diving), olahraga rekreasi pantai (water sport), memancing, dan lain-lain.

Kegiatan industri. Industri besar berbasis sektor kelautan di PPK seperti industri pengolahan hasil laut berupa ikan, rumput laut, dan mutiara umumnya hanya dijumpai pada PPK yang menjadi pusat kegiatan dan pusat pemerintahan. Sedangkan kegiatan industri hasil laut yang umum dijumpai di PPK adalah industri kecil skala rumah tangga.

Kegiatan permukiman. Permukiman nelayan yang berada di pesisir pantai merupakan sarana beraktivitas sebagian besar penduduk di PPK. Permukiman tersebut ada yang berada di atas air dengan bentuk rumah-rumah panggung dan ada juga yang berada di darat (tepi pantai). Sarana penghubung antar lokasi di PPK dapat menggunakan transportasi laut (perahu) maupun jalan darat.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Umum Lokasi Kajian

Lokasi studi dalam penelitian ini meliputi 9 PPK yang berada di 5 provinsi. Pulau-pulau tersebut adalah seperti pada tabel 3.1 di bawah ini. Pemilihan lokasi studi didasarkan pada luas pulau, hierarki pusat kegiatan, dan ada atau tidaknya sifat perkotaan.

Tabel 3.1 Lokasi StudiPulau Provinsi Tipe

Pulau/GeologisLuas (Km2)

Kepadatan (pddk/Km2)

Sifat Perkotaan

Pusat Kegiatan Tertinggi

Bintan Kep. Riau Pulau Gabungan 1100 403 ada Ibu Kota ProvinsiMapur Pulau Gabungan 44 21 tdk ada DesaTunda Banten Pulau Atol 2,57 393 tdk ada Desa

Panggang

DKI Jakarta

Pulau Datar (Pulau Koral)

0,09 44944 tdk ada Kota Kelurahan

PramukaPulau Datar (Pulau Koral)

0,16 10456 tdk adaIbu Kota

Kabupaten

KelapaPulau Datar (Pulau Koral)

2,58 2069 tdk ada Kota Kecamatan

AlorNTT Pulau Berbukit

(Pulau Tektonik)1932 68 ada

Ibu Kota Kabupaten

AmbonMaluku

Pulau Berbukit(Pulau Teras terangkat)

761 475 ada Ibu Kota Provinsi

SaparuaPulau Berbukit(Pulau Teras terangkat)

176,5 197 tdk ada Kota Kelurahan

Pulau dengan luas daratan terbesar adalah Pulau Alor dengan luas 1932 Km2 dan pulau dengan luas terkecil adalah Pulau panggang dengan luas 0,09 Km2. Jika dilihat dari posisi pulau, maka ada pulau tidak berbatasan langsung dengan negara lain dan ada pulau yang berbatasan langsung dengan negara lain, seperti Pulau Mapur, Pulau Bintan, dan Pulau Alor.

9

3.2 Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang PPK

3.2.1 Kependudukan dan Ekonomi PPK

Untuk melakukan proyeksi penduduk 10 tahun ke depan, dilakukan dengan mengalikan jumlah penduduk eksisting dengan laju pertumbuhan penduduk yang didapatkan dari data instansional, maupun data dari badan pusat statistik. Angka pertumbuhan penduduk yang digunakan untuk Pulau Tunda adalah sebesar 2,8 %, untuk Kabupaten Bintan sebesar 4,43%, untuk Pulau Pramuka dan Pulau Panggang sebesar 3,5 %, untuk Pulau Kelapa Sebesar 5,9%, , untuk Pulau Alor sebesar 1,06 %, untuk Pulau Ambon sebesar 2,68 % dan untuk Pulau Saparua sebesar 3,76%. Hasilnya adalah pada tahun 2019 Pulau Bintan mempunyai penduduk terbanyak dari pulau kecil lainnya, yaitu 463.323 jiwa (tabel 3.2). Jumlah tersebut telah melebihi batasan jumlah penduduk pulau kecil, yaitu 200.000 jiwa, yang tercantum pada Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat.

Tabel 3.2 Proyeksi Penduduk Pulau Kecil Hingga 2019

PulauPertumbuhan

PendudukProyeksi Penduduk (Jiwa)

2010 2013 2016 2019Pulau Tunda 2,8% 1.110 1.206 1.310 1.423Pulau Bintan 4,43% 313.928 357.422 406.942 463.323Pulau Mapur 4,43% 943 1.074 1.222 1.392Pulau Pramuka 3,5% 1.732 1.920 2.129 2.360Pulau Panggang 3,5% 4.187 4.642 5.146 5.706Pulau Kelapa 5,9% 5.652 6.712 7.972 9.468Pulau Alor 1,06% 180.861 186.674 192.673 198.865Pulau Ambon 2,68% 279.261 302.321 327.284 354.309Pulau Saparua 3,76% 36.110 40.338 45.061 50.337

Jika dibandingkan kepadatan antara tahun 2009 dan 2019 maka akan terlihat pada Gambar 3.1 di bawah ini.

Pulau Tu

nda (2,575 Km2)

Pulau Bintan

(1100 km

2)

Pulau M

apur (

44 km2)

Pulau Kela

pa (2,58 km

2)

Pulau Alor (

1932 km2)

Pulau Ambon (7

61 km2)

Pulau Sa

parua (

176,5 km2)

393 40321

2069

68475 197

553 42132

3670

103466 285

Kepadatan pada tahun 2009 (Jiwa/km2) Kepadatan pada tahun 2019 (Jiwa/Km2)

Gambar 3.1 Perbandingan Kepadatan Pulau Kecil Tahun 2009 dan 2019

Pada grafik di atas terlihat perbedaan signifikan antara Pulau Kelapa dan Pulau Alor, Pulau Kelapa yang sangat kecil tersebut akan memiliki kepadatan mencapai 4.000 jiwa per km2

jauh sekali dibandingkan Pulau Alor yang luasan mencapai 2.000 km2. Walau dengan luas yang hampir sama dengan Pulau Kelapa, Pulau Tunda tidak dapat menyaingi tingkat kepadatan Pulau Kelapa, Pulau Tunda tergolong pada kawasan berkepadatan rendah. Pada diagram tersebut tidak diperlihatkan kepadatan Pulau Panggang dan Pramuka karena pada tahun 2019 kedua pulau tersebut mencapai kepadatan yang sangat tinggi, yaitu 63.400

10

jiwa/km2 dan 14.750 jiwa/km2. Proyeksi ini tidak mempertimbangkan migrasi keluar yang banyak penduduk usia produktif di Pulau Panggang dan Pramuka telah banyak lakukan. Namun bagaimanapun juga, proyeksi kepadatan telah melebihi angka 4.000 jiwa/km2 yang berdasarkan SNI 03-1733 tahun 2004 mengenai Lingkungan Perumahan di Perkotaan, tergolong pada kawasan perkotaan sangat padat sehingga reduksi terhadap kebutuhan lahan maksimal 30%.

Salah satu faktor kerangka kerja untuk pembangunan berkelanjutan pulau-pulau kecil adalah memahami karakteristik ekonomi. Karakteristik ekonomi yang dilihat adalah kemampuan sumber daya dan nilai sumber daya itu sendiri. Berdasarkan data yang ada, nilai sumber daya dapat dilihat dari PDRB Kabupaten dan diverifikasi melalui hasil lapangan untuk pulau-pulau yang sangat kecil. Berikut perbandingan PDRB Kabupaten/Kota, lapangan usaha yang memberikan kontribusi PDRB terbesar dan dominasi bidang pekerjaan di pulau kecil tersebut.

Tabel 3.3 Perbandingan Karakteristik Ekonomi

No Nama Pulau Kabupaten/Kota PDRB PDRB Terbesar Bidang Pekerjaan

1 Tunda Serang t.a.d 46% Industri pengolahan Nelayan

2 BintanBintan 3,5 Triliun 53% Industri pengolahan Pertanian

Tanjungpinang 3,4 Triliun 28% perdagangan Perdagangan

3 Mapur Bintan 3,5 Triliun 53% industri pengolahan Nelayan

4 Panggang Kepulauan Seribu

2,8 Triliun 40% perdagangan & hotel

Nelayan

5 Pramuka Kepulauan Seribu Nelayan

6 Kelapa Kepulauan Seribu Nelayan

7 Alor Alor 0,025 triliun 32% Perdagangan Pertanian

8 AmbonAmbon 2,09 Triliun 27% Perdagangan Jasa kemasyarakatan

Maluku Tengah 0,7 Triliun 33% pertanian Pertanian

9 Saparua Maluku Tengah 0,7 Triliun 33% pertanian Nelayan+petani

Identifikasi PDRB ini (Tabel 3.3) memperlihatkan bahwa tidak semua pulau kecil mempunyai kegiatan perikanan laut yang mempunyai nilai ekonomi besar. Hal ini mengindikasikan belum optimalnya pemanfaatan sumber daya kelautan, padahal sebagian besar pekerjaan penduduk pulau kecil adalah nelayan.

Pada pulau kecil yang relatif besar seperti Pulau Alor dan Pulau Bintan, mendapatkan kontribusi PDRB terbesar dari perdagangan dan industri. Hal ini disebabkan terdapat pusat kota yang menjadi pusat perdagangan dari seluruh kawasan di pulau tersebut. Walaupun dari bidang pekerjaan, penyerapan tenaga kerja tertinggi justru pada pertanian. Hal ini pun mengindikasikan bahwa sumber daya pertanian baik darat maupun laut belum memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Sebagian besar hasil tangkapan dan budidaya perikanan laut di pulau kecil di jual ke pasar-pasar regional, yaitu ke ibukota kabupaten atau kabupaten lain. Namun terdapat pula nelayan-nelayan yang produksi ikannya hanya untuk kebutuhan lokal saja, seperti Pulau Mapur dan Pulau Saparua.

a. Pola Kegiatan Ekonomi Berbasis Kelautan di PPK

Dari sembilan lokasi studi pulau-pulau kecil yang telah disurvei, dapat diidentifikasi bahwa pola ekonomi yang berbasis kelautan cukup mendominasi. Pada kegiatan perikanan, sektor perikanan tangkap merupakan yang paling dominan yang berlangsung di tiap pulau. Sedangkan perikanan budidaya (termasuk pertanian laut/rumput laut) masih terbatas di beberapa pulau saja. Untuk industri pengolahan hasil laut hampir ada di setiap pulau tergantung besar kecilnya skala industri. Kegiatan ekonomi yang berbasis pariwisata bahari teridentifikasi di beberapa pulau saja, khususnya pulau kecil yang berukuran sedang dan besar (luas > 10 km2). Hal ini disebabkan karena daya dukung pulau sangat kecil tidak

11

mencukupi untuk dikembangkannya sektor pariwisata bahari terutama karena keterbatasan infratruktur pulaunya.

Besar kecilnya skala perekonomian yang berbasis kelautan dapat dinilai dari jumlah produksi ikan pertahun dan wilayah pemasaran hasilnya (Tabel 3.4). Semakin tinggi produksi perikanan ditambah dengan luas cakupan wilayah pemasaran yang besar, maka dapat disimpulkan bahwa sektor perikanan di wilayah tersebut cukup maju. Beberapa pulau yang perekonomian berbasis perikanan laut yang cukup maju adalah Pulau Panggang, Pulau Bintan, dan Pulau Ambon. Luas wilayah pemasaran dipengaruhi salah satunya oleh letak pulau yang berbatasan dengan negara lain. Sebagai contoh Pulau Bintan yang berbatasan dengan Singapura dan Malaysia, kualitas dan pemasaran produk perikanannya telah berskala ekspor.

Tabel 3.4 Perbandingan Kegiatan Ekonomi Berbasis KelautanPulau Luas

(Km2)Perikanan Laut Pariwisata

BahariPerikanan Tangkap

Perikanan Budidaya

Produksi (ton/tahun)

Wilayah Pemasaran

Industri Perikanan

Bintan 1100 V V 21.691Antar pulau dan ekspor

Skala besar V

Mapur 44 V OTergabung

dengan BintanAntar pulau

Skala rumah tangga (RT)

O

Tunda 2,575 V O 840 Antar pulau Skala RT XPanggang 0.09 V V X Antar pulau Skala RT OPramuka 0.16 V O X Antar pulau Skala RT OKelapa 0.29 V O X Antar pulau Skala RT OAlor 1932 V V 58.170 Antar pulau Skala besar VAmbon 761 V X 19.919 Antar pulau Skala besar VSaparua 176,5 V X Antar pulau Skala RT O

Keterangan: V : ada

O : ada terbatas

X : tidak ada

b. Pola Kegiatan Ekonomi Berbasis Daratan PPK

Hasil identifikasi lapangan menunjukkan adanya perbedaan dominasi kegiatan ekonomi yang berbasis daratan khususnya pertanian pada pulau-pulau lokasi studi. Pulau-pulau dengan luas sangat kecil (<10 km2) secara umum penduduknya tidak bermata pencarian sebagai petani. Hal ini disebabkan oleh sektor pertanian kurang memberi kontribusi terhadap perekonomian masyarakat karena keterbatasan lahan untuk pengembangan budidaya pertanian. Sektor pertanian di pulau yang sangat kecil seperti Pulau Tunda, Pulau Panggang, Pulau Pramuka, dan Pulau Kelapa hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari saja dan bukan berorientasi pada pemasaran produk.

Keterbatasan luas lahan pada pulau yang sangat kecil juga berimbas pada tidak berkembangnya kegiatan ekonomi berbasis daratan lainnya seperti pariwisata, perdagangan, dan industri. Perekonomian berbasis daratan umumnya dapat berkembang pada pulau-pulau yang memiliki luas lebih dari 10 km2. Sebagai contoh Pulau Bintan, Pulau Alor, dan Pulau Ambon. Penduduk di ketiga pulau tersebut umumnya memiliki mata pencarian yang beraneka ragam tidak hanya mengandalkan sektor kelautan. Budidaya daratan seperti pertanian di pulau-pulau tersebut jauh lebih maju dan berkembang dibanding pulau yang sangat kecil. Aktivitas ekonomi lainnya seperti perdagangan, pertambangan, pariwisata yang berbasis daratan juga berkembang dengan baik (Tabel 3.5).

Tabel 3.5 Perbandingan Perekonomian Berbasis Daratan

PulauLuas(Km2)

Budidaya DaratanPertanian Perdagangan Industri Pertambangan Pariwisata

Bintan 1100 V V V V VMapur 44 O O X X XTunda 2,575 X O X X X

12

Panggang 0.09 X O X X XPramuka 0.16 X O X X XKelapa 0.29 X O X X XAlor 1932 V V V V VAmbon 761 V V V O VSaparua 176,5 V O X X V

Keterangan: V : ada

O : ada terbatas

3.2.2 Pola Pemanfaatan Ruang PPK

Pola pemanfaatan ruang digambarkan dengan luas dari kawasan terbangun dan keberadaan perkotaan di pulau tersebut. Kawasan terbangun dideliniasi dari luas bangunan pada peta eksisting pulau. Berikut hasil kompilasi lapangan kawasan pulau kecil dengan pembagian ruang kawasan terbangun yang berada di pesisir dan non-pesisir, luas kawasan tidak terbangun serta identifikasi adanya aktifitas perkotaan (Tabel 3.6). Pulau Bintan memiliki kawasan terbangun baik pesisi maupun non-pesisir yang hampir berimbang (Gambar 3.2).

Tabel 3.6 Pola Ruang-Pulau Kecil

No Nama PulauLuas Pulau

Km2

LuasKawasan terbangun Luas Kawasan

Tidak terbangunPerkotaan

Pesisir Non-pesisir

1 Alor 1932 9,95% 0% 90,50% Ada

2 Bintan 1100 4,90% 3,49% 91,61% Ada

3 Ambon 761 2,69% 0,66% 96,65% Ada

4 Saparua 176,5 t.a.d t.a.d t.a.d Tidak ada

5 Mapur 44 1,55% 0% 98,50% Tidak ada

6 Kelapa**) 2,58 80,00% 0% 20,00% Tidak ada

7 Tunda 2,575 2,33% 0% 97,67% Tidak ada

8 Pramuka*) 0,16 72,50% 0% 27,50% Tidak ada

9 Panggang*) 0,09 72,50% 0% 27,50% Tidak ada*) Data total dua pulau Pramuka dan Panggang**) Data total dua pulau Kelapa dan Kelapa Dua

Dari hasil kompilasi terdapat dua tipe pulau kecil berdasarkan luasan kawasan terbangunnya, yaitu pulau dengan dominasi bangunan dan pulau tidak dengan dominasi bangunan. Dari tiga pulau yang dikaji di Kepulauan Seribu, ketiganya memiliki luas kawasan terbangun lebih dari 70%. Sedangkan pulau-pulau kecil lainnya rata-rata memiliki kawasan terbangun 4,28% saja.

Gambar 3.2 Kawasan Terbangun di Pulau Bintan

13

Salah satu karakteristik fisik pulau kecil adalah lebih banyak dipengaruhi hidro-klimat laut, terutama pada kawasan pesisir. Sesuai dengan pola kegiatan ekonomi pesisir dan laut, maka kegiatan pun menjadi ke arah pesisir dan laut. Di sisi lain, aktifitas pertanian dan perkebunan darat tidak berkembang karena kondisi alam dan cuaca yang sangat dipengaruhi oleh laut. Kegiatan pertanian darat digantikan pertanian laut dalam bentuk budidaya rumput laut (Pulau Tunda) dan pertanian ikan baronang (Pulau Panggang). Selain itu, terdapat pertanian lahan basah di pesisir pantai dimana hasil produksi terpengaruh oleh keberadaan hutan bakau sebagai salinitas air laut. Jenis pola pemanfaatan pesisir lainnya adalah taman pantai yang tersebar di sepanjang pantai sebagai ruang terbuka atau ruang sosial bagi masyarakat pesisir. Berikut beberapa pola pemanfaatan ruang yang berbasis lautan dan berbasis daratan (tabel 3.7).

Tabel 3.7 Perbandingan Pola Pemanfaatan Ruang

No Pola Pemanfaatan Berbasis Lautan Berbasis Daratan

1 Pertanian Lahan Basah air laut dan hutan bakau mempengaruhi hasil produksi

Produksi pertanian dipengaruhi intensitas hujan dan air permukaan

2 Permukiman Sepanjang pantai Menyebar

3 RTH Taman pantai Taman

4 Transportasi Simpul transportasi di pelabuhan Simpul transportasi di pusat kota

5 Pariwisata Wisata Bahari Wisata pegunungan

3.2.3 Sistem Pelayanan Intra Pulau

Sistem pusat pelayanan di pulau kecil terdiri dari distribusi pusat-pusat permukiman, pusat jasa koleksi dan distribusi. Pada analisis ini dipaparkan kepeberadaan pusat kegiatan tertinggi sebagai pusat dari permukiman jasa koleksi dan distribusi. Selain itu, untuk menggambarkan sistem pelayanannannya, dipaparkan pula jumlah pusat kegiatan yang orde pusatnya di bawah pusat kegiatan tertinggi. Agar dapat memperlihatkan sebaran pusat kegiatan, maka pusat kegiatan tersebut dibagi berdasarkan lokasinya, yaitu di pesisir dan non-pesisir. Untuk skala perdagangan yang dalam hal ini berupa sarana pasar, mengacu pada pedoman penyusunan rencana tata ruang kawasan perkotaan, terdiri dari perdagangan skala regional, kota dan sebagian kota.

Tabel 3.8 Sistem Pusat Pelayanan Intra Pulau

NoNama Pulau

Jumlah Penduduk

Pusat Kegiatan Tertinggi

Jumlah Pusat Kegiatan di

Pesisir

Jumlah Pusat Kegiatan di Non

Pesisir

Skala Perdagangan

(Pasar)

Sarana Pendidikan

Tertinggi

1 Ambon 361.578 Kota 5 kota kecamatan - Skala regional SMA

2 Bintan 300.640 Kota 7 kota kecamatan 3 kota kecamatan Skala regional Sekolah Tinggi

3 Alor 130.808 Kota Kabupaten 8 Kota Kecamatan 3 Kota Kecamatan Skala regional Sekolah Tinggi

4 Saparua 34.801 Kota Kelurahan 17 Desa - Skala kota SMA

5 Kelapa 5.337 Kota Kecamatan 5 RW - Tidak ada pasar SMA

6 Panggang 4.045 Kota Kelurahan 3 RW - Tidak ada pasar SD

7 Pramuka 1.673 Kota Kabupaten 2 RW - Tidak ada pasar SMA

8 Tunda 1.013 Desa 2 RW - Tidak ada pasar SMP

9 Mapur 903 Desa 2 RW - Tidak ada pasar SMP

Hasil kompilasi data terungkap bahwa pusat-pusat kegiatan di pulau kecil cenderung berada di pesisir (Tabel 3.8). Pulau kecil dengan luas lebih dari 1000 km2 cenderung memiliki pusat kecamatan yang tidak berada tepat di kawasan pesisir. Seperti Kecamatan Toapaya di Pulau

14

Pusat Kegiatan

Permukiman

Bintan, seluruh kecamatan merupakan daratan sehingga kegiatannya tidak berbasiskan laut, namun perkebunan. Keberadaan kecamatan ini di Pulau Bintan tentunya tidak sesuai lagi dengan definisi pulau kecil yang dikeluarkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan yaitu pulau kecil merupakan gabungan dari wilayah pesisir dimana wilayah pesisir didefinisikan sebagai 1 kawasan administratif kecamatan pesisir.

Dari pusat pelayanan ini, terdapat pulau yang mempunyai tekanan kegiatan yang cukup tinggi, yaitu Pulau Pramuka. Pulau ini hanya terdiri dari 2 RW dengan luas dibawah 1 km2, namun secara sistem pelayanan, pulau ini mendapat beban dari seluruh kabupaten Kepulauan Seribu karena menjadi pusat kota kabupaten.

Untuk pelayanan perdagangan tidak disemua pulau kecil terdapat pasar, terutama pada pulau-pulau yang sangat kecil. Walaupun demikian, TPI atau Tempat Pelelangan Ikan telah ada di setiap pulau kecil.

Karena kondisi yang dikelilingi oleh lautan, untuk memudahkan pelayanan pendidikan, sebaiknya setiap pulau memiliki sarana pendidikan yang sesuai dengan jumlah penduduknya. Dari perbadingan jumlah penduduk dan ketersediaan sarana pendidikan tertinggi, terlihat bahwa Pulau Panggang tidak memiliki SMP dan SMA padahal jumlahnya telah mencapai 4.045 jiwa. Walaupun Pulau Panggang berada dekat dengan pulau kecil lainnya, seperti Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa, namun kondisi laut yang tidak menentu dapat mengakibatkan sulitnya transportasi laut bergerak.

Pada pusat pelayanan di kawasan perbatasan, dalam hal ini Pulau Bintan, Pulau Mapur dan Pulau Alor, pusat pelayanan berada menghadap ke dalam wilayah Indonesia. Hal ini kurang mendukung paradigma perbatasan sebagai halaman depan Indonesia. Sebaiknya menghadap ke luar negeri karena 1) memudahkan transportasi lintas batas 2) memudahkan pengawasan lintas batas 3) perkembangannya akan menjadi cerminan negara RI.

3.2.4 Orientasi Permukiman dan Pergerakan Intra Pulau di PPK

Orientasi permukiman merupakan arah berkembanganya suatu permukiman yang didasari oleh aspek-aspek tertentu. Beberapa aspek yang menjadi orientasi permukiman antara lain budaya, ekonomi, fisik dan transportasi.

Tabel 3.9 Jenis Orientasi Permukiman

No Aspek Orientasi Dampak

1 Budaya Perumahan linear sepanjang pantaiTerdapat budaya perumahan nelayan di atas air dan tidak di atas air.

Sanitasi yang buruk menyebabkan pencemaran lautPenebangan hutan bakau untuk perumahan

2 Ekonomi Kegiatan ekonomi pesisir dan laut Eksploitasi sumber daya laut

3 Fisik Perumahan menghadap pantai walau kemiringan curam

Ketersediaan air dan jalan lingkungan sulit

4 TransportasI Pusat kegiatan permukiman berada di pelabuhan dimana peraiaran dalam, tidak ada terumbu, berada di teluk

Mempermudah pergerakan transportasi lautAkumulasi sampah domestik dan lautan pada musim tertentu

Hasil dari 9 pulau yang menjadi studi kasus, ditemukan bahwa orientasi permukiman pulau-pulau kecil secara keseluruhan adalah simpul transportasi laut (Tabel 3.9). Sebagian besar kehidupan masyarakat pulau kecil adalah nelayan, sehingga mereka bermukim di pesisir pantai. Kebutuhan pergerakan dengan menggunakan perahu mengakibatkan mereka mencari perairan yang cukup dalam yang dapat dilalui oleh perahu. Oleh karenanya tumbuh pusat-pusat permukiman di pesisir pantai yang berorientasi pada pelabuhan, baik skala nasional hingga lokal. Akses antar permukiman di pesisir laut ini memerlukan akses lingkar pantai baik berupa jalan maupun jalur perahu (Gambar 3.3).

15

Gambar 5.3 Orientasi Permukiman Pulau-Pulau Kecil

Gambar 3.3 Orientasi Permukiman Pulau-Pulau Kecil

Pola pergerakan di dalam pulau kecil sangat tergantung dari topografi pulau tersebut. Terdapat dua jenis pergerakan intra pulau kecil, yaitu jalur darat dan jalur laut. Pada jalur darat, terdapat tiga jenis konstruksi jalan yaitu jalan tanah, jalan diperkeras dan jalan aspal. Pada pulau yang luasannya lebih dari 1000 km2 status jalan tertingginya adalah jalan nasional. Jalur laut menjadi alternatif pergerakan intra pulau karena topografi tidak memungkinkan untuk membangun jalan, atau waktu tempuh yang jauh lebih lama dibandingkan dengan menggunakan jalur laut. Selain itu, dikarenakan pula penduduk pesisir pantai mempunyai perahu, maka akan lebih mudah bagi mereka bergerak dengan menggunakan perahu. Pola pergerakan intra pulau kecil seperti terlihat pada Tabel 3.10

Tabel 3.10 Pola Pergerakan Intra Pulau Kecil

NoNama Pulau

Luas Pulau(Km2)

Jenis konstruksi Jalan

Status Jalan Tertinggi

Jenis Moda Alternatif Moda

1 Tunda <10 Diperkeras Jalan desa Motor -

2 Bintan >1000Aspal Jalan propinsi >roda empat Perahu, terlalu jauh jika

menggunakan jalan

3 Mapur 10-1000Diperkeras & Paving Block

Jalan desa Motor Perahu, tidak ada jalan darat

4Panggang

<10Paving Block Jalan desa Motor -

5 Pramuka <10 Paving Block Jalan desa Motor -

6 Kelapa <10 Paving Block Jalan desa Motor -

7 Alor >1000Aspal Jalan nasional >roda empat Perahu, tidak ada jalan

darat

8 Ambon 10-1000 Aspal Jalan nasional >roda empat -

9 Saparua 10-1000 Aspal Jalan kecamatan >roda empat -

3.3 Permasalahan Infrastruktur Permukiman dan Daya Tampung PPK

Infrastruktur permukiman yang dikaji di PPK meliputi air bersih, pengolahan sampah, drainase, limbah domestik. Penghitungan daya tampung PPK yang menjadi lokasi studi menggunakan rumus 2.1.

3.3.1 Air Bersih

Dari Tabel 3.11 dapat diketahui bahwa empat dari sembilan pulau kecil yang diamati menggunakan lensa air tawar sebagai sumber air. sumber air bersih dengan kualitas dan kuantitas yang cukup baik terdapat pada Pulau Tunda dan Pulau Pramuka. Kualitas dan kuantitas air bersih pada kedua pulau ini masih terjaga dikarenakan kedua pulau ini masih memiliki lahan hijau dengan luas yang cukup sebagai resapan air hujan yang akan mengisi ulang cadangan air pada lensa air tawar didalam tanah. Dengan kondisi yang seperti ini, warga dapat mengakses air bersih dari sumur dangkal yang dibuat di halaman rumahnya masing-masing. Kondisi ini menjadikan warga pulau tunda dan pulau pramuka saat ini belum

16

membutuhkan pelayanan distribusi dan pengelolaan air bersih terpusat. Namun jika terjadi peningkatan aktifitas yang dipicu dengan adanya pertumbuhan penduduk, maka akan terjadi peningkatan konsumsi air, hal ini tentu perlu didukung dengan adanya pengaturan konsumsi air dari masing-masing rumah tangga, maupun sistem distribusi.

Tabel 3.11 Infrastruktur Air Bersih

PulauDinas

Pengelola (ada/tidak)

Sumber AirKualitas

AirKuantitas Air

Bintan xLensa Air Tawar & Air

HujanBaik

(Tawar)Cukup

Mapur vsumur terlindungi =

46,81%, ledeng(Waduk) =13,80% sumur tak

terlindungi = 19,60%. Air hujan = 1,97%

BaikTerbatas (Cakupan Pelayanan hanya

40%)

Tunda x Terbatas

Panggang vLensa Air Tawar & Air

HujanBaik

(Tawar)Cukup

Pramuka v Lensa Air Tawar (diolah lagi dengan teknologi RO)

& Air Hujan

Sudah Terkena Intrusi

TerbatasKelapa v

Alor v mata air, sumur akuifer BaikTerbatas (cakupan pelayanan hanya

untuk satu kecamatan)

Ambon vmata air, air tanah dalam,

air tanah dangkal, air hujan, sungai

BaikTerbatas (cakupan

pelayanan 25%)

Saparua vmata air, sumur dangkal,

air hujanBaik Terbatas

Berbeda dengan Pulau Tunda dan Pulau Pramuka, kelangkaan air bersih terjadi di pulau Panggang dan Pulau Kelapa. Kondisi ini dapat terjadi oleh karena kondisi pulau yang telah dipadati oleh penduduk, dengan tingkat kepadatan bangunan yang cukup tinggi, maka luasan lahan hijau yang berfungi sebagai resapan air hujan sangatlah minim. Pemompaan yang berlebihan tanpa disertai infiltrasi air hujan yang cukup menjadikan lensa air tawar di kedua pulau ini tercemar oleh air laut.

Pulau Bintan, Pulau Ambon dan Pulau Alor memiliki luasan area yang relatif besar dibandingkan Pulau Tunda dan pulau-pulau di Kepulauan Seribu . Dengan luas yang besar, maka karakteristik topografi ketiga pulau makin beragam. Hal ini yang menyebabkan sumber air bersih di ketiga pulau sangat beragam. Mulai dari mata air, hingga air permukaan. Hanya Pulau Bintan yang menggunakan waduk, sebagai salah satu sumber air bersih yang dikelola oleh perusahaan daerah air minum, sedangkan Pulau Ambon dan Pulau Alor menggunakan air sungai serta mata air sebagai sumber air bersih.

3.3.2 Pengolahan Sampah

Timbulan sampah di pulau kecil pada umumnya berasal dari aktifitas domestik penduduk pulau, namun pada musim angin laut tertentu, sampah-sampah yang dibuang ke sungai-sungai di pulau besar yang bermuara ke laut di sekitar pulau kecil, akan terbawa oleh arus, dan mencemari pesisir pantai dari pulau kecil yang berlokasi disekitar pulau tersebut. Pencemaran pesisir pulau kecil oleh sampah bawaan dari laut ini seringkali tidak bisa ditangani oleh penduduk pulau, karena pada umumnya sistem pengelolaan dan infrastruktur untuk mengelola sampah di pulau kecil belum terbangun atau belum berjalan dengan baik.

17

Tidak adanya sistem pengelolaan sampah yang memadai pada kebanyakan lokasi studi mengindikasikan bahwa pada pembagunan dalam jangka sepuluh tahun mendatang perlu mengutamakan pembangungan tempat pembuangan sampah terpadu, yang terdiri dari pengolahan sampah organik berupa sistem komposting dan pengolahan sampah anorganik yang mengutamakan kegiatan recycle dan reuse, dengan tambahan insinerator untuk mereduksi sampah yang tidak bisa diolah sama sekali.

Tabel 3.12 Infrastruktur Pengolahan Sampah

PulauDinas

Pengelola (ada/tidak)

Kondisi Pewadahan

Kondisi Pengumpulan

Kondisi Pembuangan/Pengelolaan

Bintan X Tercampur xPembuangan/ pembakaran

terbukaMapur v ( efektifitas

pengelolaan rendah)

Pembuangan/ pembakaran terbuka

( TPS dan TPA terbengkalai)Tunda

Panggang V

Tercampur ,namun dilakukan

pemisahan secara terpusat

Setiap hari

Sampah Organik Dikomposkan, Sampah

Anorganik dibakar menggunakan Insinerator

Pramuka X

Tercampur

xPembuangan/ pembakaran

terbuka

Kelapa

Sebagian dikelola oleh

kelurahan pulau harapan

Sebagian diangkut ke pulau

harapan

Sebagian dibuang dan dibakar secara liar, sebagian dibakar

dengan insinerator di P harapan

Alor V Tercampur Pembakaran terbuka

Ambon V

Tercampur ,namun dilakukan

pemisahan secara terpusat

Belum rutin

Pengolahan di TPA : Sanitary Landfill dan Pengomposan;

Pengolahan mandiri : Pembakaran terbuka dan pembuangan ke badan air

Saparua X Tercampur xPembakaran terbuka, pembuangan ke laut

3.3.3 Drainase dan Jalan Lingkungan

Kondisi infrastruktur drainase dan jalan lingkungan untuk keseluruhan lokasi ditampilkan dalam Tabel 3.13 di bawah ini. Dari keseluruhan lokasi, ditemukan bahwa permasalahan genangan dan luapan yang cukup parah terjadi di pulau bintan dan pulau alor. Kondisi ini bisa terjadi akibat adanya sumbatan sampah, maupun kurangnya dimensi saluran sehinigga debit air yang melimpas masuk kedalam saluran tidak tertampung.

Meskipun pada pulau lainnya tidak terjadi permasalahan banjir dan genangan, namun jika tidak ada perbaikan sistem penyaluran pada beberapa lokasi bisa diprediksi akan terjadi pencemaran tanah maupun laut oleh greywater. Hal ini bisa terjadi karena kebanyakan saluran drainase perdesaan tidak melayani keseluruhan ruas jalan lingkungan, dan bilapun ada, air yang tertampung merupakan campuran antara air greywater dan air hujan.

Untuk infrastruktur jalan, sebagian besar pulau yang diamati telah menata jalannya dengan baik, hanya saja kondisi jalan saat ini kebanyakan rusak. Khusus untuk pulau-pulau dengan toporafi yang beragam, berbukit dengan kemiringan yang cukup besar seperti pulau Ambon, beberapa kawasan tidak memiliki akses jalan karena kondisi fisik daerah yang masih sulit untuk dibangun, serta pola penyebaran permukiman yang cukup berjauhan hingga pembangunan jalan dirasa cukup sulit.

Tabel 3.13 Infrastruktur Drainase dan Jalan Lingkungan

LokasiInfrastruktur Drainase Infrastruktur Jalan

Kondisi Saluran

Jenis SaluranKondisi

JalanJenis Tutupan

Pulau Tunda Saluran Tercampur dengan air

Drainase pedesaan

40% Baik Perkerasan dengan Semen

80%

18

LokasiInfrastruktur Drainase Infrastruktur Jalan

Kondisi Saluran

Jenis SaluranKondisi

JalanJenis Tutupan

limbah Rumah

tangga (grey water)

Pulau BintanDrainase

Perkotaan52% Baik

Aspal

Pulau MapurDrainase pedesaan

Pavement

Pulau PramukaDrainase pedesaan

50% BaikPavement

Pulau Panggang PavementPulau Kelapa Pavement

Pulau AlorDrainase pedesaan

65% Baik Tanah, Aspal

Pulau Ambon

Drainase Perkotaan (56 % saluran tertutup,

44 % saluran terbuka)

50% Baik

Aspal, Pavement (untuk Jalan Permukiman

padat)

Pulau SaparuaDrainase Pedesaan

80% Baik Aspal

3.3.4 Limbah (Sanitasi)

Pulau-pulau kecil dengan luas wilayah sangat kecil (< 10 Km2 ) pada umumnya tidak memiliki lahan yang cukup untuk dibangun sebuah industri besar. Oleh karena itu, pulau kecil dengan kondisi seperti ini pada umumnya tidak memiliki permasalahan dalam menangani air limbah industri. Limbah yang terdapat pada pulau-pulau kecil ini hanya berupa limbah domestik maupun limbah air bekas cucian (grey water). Untuk beberapa pulau kecil yang berlokasi dekat dengan tambang maupun kilang minyak seperti Pulau Tunda atau Pulau Kelapa, terdapat beberapa lokasi yang mengalami pencemaran akibat adanya pembuangan ilegal dari limbah-limbah kilang.

Kondisi infrastuktur pengolahan limbah di pulau-pulau kecil lokasi strudi seperti terlihat pada Tabel 3.14.

Tabel 3.14 Infrastruktur Pengolahan Limbah Domestik

Lokasi

Infrastuktur Pengelolaan Limbah Domestik dan Limbah CairDinas

Pengelola (ada/tidak)

Fasilitas Pembuangan Fasilitas Pengelolaan

Pulau Tunda xJamban Keluarga + WC

keluarga = 60%. pembuangan ke laut = 40%

Septik Tank

Pulau Bintan xCubluk keluarga, MCK

Pinggir laut, WC keluargaSeptik Tank (terbatas

pada daerah kota)

Pulau Mapur xCubluk keluarga = 74 %,

Tanpa fasilitas pembuangan = 9.13 %

Septik Tank, Cubluk

Pulau Pramuka

xWC keluarga = 80 %.

Pembuangan ke laut 20 %Septik Tank

Pulau Panggang

xWC Keluarga = 20 %. Jamban Terapung dan

Pembuangan ke laut = 80%Septik Tank terapung

Pulau Kelapa x WC Keluarga Septik Tank

Pulau Alor   WC keluarga Septik TankPulau Ambon v WC Keluarga IPLT

Pulau Saparua x WC keluarga Septik Tank

Kelestarian kualitas sumber daya air sangat erat kaitannya dengan pengelolaan air buangan, terutama bagi kawasan yang mengandalkan air sungai sebagai sumber air bersih yang digunakan, dimana sungai yang digunakan terkadang menjadi penampung buangan air

19

limbah, baik limbah domestik maupun limbah industri yang berada di sekitar badan air. Kawasan kumuh yang memanfaatkan air tanah sebagai sumber air juga dapat mengalami permasalahan dengan kualitas air bersih jika tidak ada penataan yang baik terhadap penyaluran dan pengelolaan air buangan.

Dari keseluruhan lokasi studi, daerah dengan pengelolaan air buangan yang cukup layak masih terbatas pada wilayah kota. Daerah pedesaan masih banyak yang menggunakan cubluk, tanpa pengaturan jarak aman terhadap sumber air. Dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk sebagai potensi pencemaran, maka diperlukan pembangunan saluran air limbah maupun bangunan pengelolaan air limbah rumah tangga.

3.3.5 Daya Tampung PPK

Dengan menggunakan rumus daya tampung (rumus 2.1), maka Pulau Alor memiliki daya tampung terbesar yaitu sebanyak 24.150.000 jiwa. Sedangkan daya tampung yang terkecil adalah di Pulau Panggang. Berdasarkan hasil perhitungan, daya tampung Pulau Panggang dengan luas 0,09 km2 adalah kurang lebih sebanyak 1.125 jiwa (Tabel 3.15). Kondisi tahun 2009 jumlah penduduk Pulau Panggang sebanyak 4.045 jiwa. Dengan demikian, jumlah penduduk telah melebihi kapasitas daya tampung pulau sehingga dapat mengancam eksistensi Pulau Panggang beserta sumber daya alam dan ekosistemnya baik yang ada di darat maupun di laut.

Tabel 3.15 Infrastruktur Pengolahan Limbah DomestikPulau Luas

(Km2)Jumlah

Penduduk (Jiwa)

Daya Tampung

(jiwa)

Keterangan

Bintan 1100 300.000 13.750.000 Tidak melebihiMapur 44 908 550.000 Tidak melebihiTunda 2,575 1.080 32.500 Tidak melebihiPanggang 0.09 4.045 1.125 MelebihiPramuka 0.16 1.673 2.000 MelebihiKelapa 0.29 5.337 3.625 MelebihiAlor 1932 178.964 24.150.000 Tidak melebihiAmbon 761 379.491 9.512.000 Tidak melebihiSaparua 176,5 34.280 2.206.250 Tidak melebihi

3.4 Tipologi Pola Ruang PPK

Berdasarkan hasil identifikasi lapangan terdapat perbedaan jenis pemanfaatan ruang pada masing-masing pulau-pulau kecil menurut besar atau kecilnya pulau. Pulau-pulau kecil umumnya memiliki pembagian jenis ruang sebagai berikut:

a. Ruang laut/lepas pantaib. Ruang pesisir dan pantaic. Ruang daratan rendah, dand. Ruang daratan tinggi

Pembagian jenis pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil yang mengacu pada Petunjuk Teknis Perencanaan Tata Ruang Pulau-Pulau Kecil Tahun 2007 yang dikeluarkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan adalah sebagai berikut:

Zona lepas pantai (coastal offshore zone) Zona pantai (beach zone) Zona dataran rendah (coastal lowland zone), dan Zona daratan pedalaman (inland zone)

Berdasarkan pembagian zona di atas, maka tidak semua pulau-pulau kecil memiliki zona-zona pemanfaatan ruang tersebut. Untuk pulau-pulau kecil yang ukurannya besar (lebih dari 500 km2), bentuk pemanfaatan ruangnya hampir sama dengan pulau besar (kontinen), yaitu: ruang lepas pantai, ruang pesisir dan pantai, ruang daratan rendah dan ruang daratan tinggi. Pulau-pulau kecil dengan ukuran 10 sampai 500 Km2 secara umum memiliki 3 pembagian

20

Ruang pesisir pantaiRuang daratan rendahRuang daratan tinggi

Luas pulau kecil < 10 Km2

Luas pulau kecil 10 Km2 – 500 Km2

Luas pulau kecil > 500 Km2

Ruang Laut/lepas pantai

zona pemanfaatan ruang, yaitu ruang laut, ruang pesisir pantai dan ruang daratan rendah. Sedangkan pulau-pulau kecil yang ukurannya masuk kategori sangat kecil (luas kurang dari 10 Km2) hanya memiliki jenis pemanfaatan ruang berupa ruang laut dan ruang pesisir pantai saja. Gambar 3.4 memperlihatkan pembagian ruang pada pulau-pulau kecil berdasarkan luas pulau.

3.4.1 Lingkup Pulau Kecil dengan Luas Lebih dari 500 km2 (Besar)

Pada kegiatan penelitian ini, pulau-pulau kecil dengan luas lebih dari 500 km2 yang dijadikan lokasi studi adalah Pulau Bintan dengan luas 1100 km2, Pulau Alor dengan luas 1932 km2, dan Pulau Ambon dengan Luas 761 km2. Pulau-pulau tersebut merupakan pusat kegiatan wilayah baik tingkat provinsi maupun kabupaten. Ibukota Provinsi Kepulauan Riau, Tanjung Pinang dan Ibukota Kabupaten, Bandar Seri Bintan terletak di Pulau Bintan. Pulau Ambon merupakan lokasi Ibukota Provinsi Maluku, yaitu Kota Ambon dan Pulau Alor merupakan tempat bukota Kabupaten Alor, Kalabahi. Pulau-pulau kecil tersebut merupakan pusat kegiatan bagi pulau-pulau kecil di sekitarnya, yaitu sebagai pusat pemerintahan, pusat perekonomian, pusat pendidikan, dan pusat-pusat pelayanan lainnya.

Pola ruang yang terbentuk pada pulau-pulau kecil berukuran besar hampir sama dengan pola ruang pada daratan atau pulau besar. Secara garis besar pulau-pulau kecil memiliki pembagian kawasan pemanfaatan berupa kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung terbagi lagi menjadi kawasan lindung daratan dan kawasan lindung pesisir dan lautan. Begitu juga dengan kawasan budidaya, ada kawasan budidaya berbasis daratan dan kawasan budidaya berbasis kelautan.

Gambar 3.4 Model Pembagian Ruang Pulau-Pulau Kecil (dimodifikasi dari Petunjuk Teknis Perencanaan Tata Ruang Pulau-Pulau Kecil, DKP 2007)

21

Tabel 3.16 Pola Ruang Pulau Kecil dengan Luas Lebih dari 500 Km2

Kawasan Lindung Kawasan BudidayaDataran Tinggi Dataran

RendahPesisir dan

LautanDataran Tinggi Dataran

RendahPesisir dan

LautanHutan lindung Hutan lindung Hutan mangrove Perkebunan/

peternakanPermukiman Permukiman

nelayanHulu Daerah Aliran Sungai (DAS)

Hutan gambut Terumbu karang Pariwisata Pertanian dataran rendah dan dataran tinggi

Perikanan dan pertanian laut

Sempadan sungai

Daerah aliran sungai

Padang Lamun Pertambangan Pariwisata Pariwisata bahari

Suaka alam Sempadan sungai

Estuaria Industri Pertambangan Pelabuhan

Taman nasional Suaka alam Hutan produksi Industri PertambanganCagar budaya Taman nasional Permukiman Hutan produksi IndustriDaerah rawan bencana alam

Cagar budaya Perdagangan dan jasa

Daerah rawan bencana alam

3.4.2 Lingkup Pulau Kecil dengan Luas 10 - 500 km2 (Sedang)

Lokasi penelitian ini yang termasuk dalam kategori pulau kecil ukuran sedang (luas 10-500 km2), yaitu Pulau Mapur dan Pulau Saparua. Pulau Mapur memiliki luas 44 km2 dan Pulau Saparua 176.5 km2. Pemanfaatan ruang pada kedua pulau tersebut terbagi menjadi 3 jenis ruang, yaitu ruang laut, ruang pesisir pantai dan ruang dataran rendah. Pada lingkup pulau ini umumnya tidak terdapat ruang dataran tinggi sebagaimana yang ada pada pulau kecil dengan luas lebih dari 500 km2. Pola ruang pulau kecil dengan luas 10-500 km2 terlihat pada Tabel 3.17.

Tabel 3.17 Pola Ruang Pulau Kecil dengan Luas 10 - 500 Km2 Kawasan Lindung Kawasan Budidaya

Dataran Rendah Pesisir dan Lautan Dataran Rendah Pesisir dan LautanHutan lindung Hutan mangrove Permukiman Permukiman nelayanDaerah aliran sungai Terumbu karang Pertanian dataran rendah Perikanan dan pertanian

lautSempadan sungai Padang Lamun Pariwisata Pariwisata bahariSuaka alam Estuaria Hutan produksiTaman nasional Perdagangan dan jasaCagar budayaDaerah rawan bencana alam

3.4.3 Lingkup Pulau Kecil dengan Luas Kurang dari 10 km2 (Sangat Kecil)

Pemanfaatan ruang yang teridentifikasi secara umum pada pulau-pulau kecil dengan luas kurang dari 10 km2 hanya 2 jenis ruang saja, yaitu ruang laut dan ruang pesisir pantai. Keterbatasan luas lahan yang ada menyebabkan pengembangan ruang lainnya tidak memungkinkan. Pulau kecil dengan yang dijadikan lokasi studi untuk kategori luas kurang dari 10 km2 adalah Pulau Pramuka dengan luas daratan 0,16 10 km2, Pulau Panggang 0.09 10 km2, dan Pulau Tunda 2,57 10 km2.

Pola ruang yang teridentifikasi meliputi ruang lindung pesisir dan ruang budi daya pesisir dan laut. Ruang lindung pesisir umumnya berupa lahan hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun. Sedangkan ruang budidaya berupa permukiman nelayan, pertanian rumput laut, kawasan wisata bahari, budidaya perikanan laut, pelabuhan/dermaga, dan perkebunan yang biasa terdapat di wilayah pesisir seperti kelapa. Pola penggunaan ruang pulau-pulau kecil dengan luas kurang dari 10 Km2 dapat dilihat pada Tabel 3.18.

22

Tabel 3.18 Pola Ruang Pulau Kecil dengan Kurang dari 10 Km2 Ruang Lindung Ruang Budidaya

Daratan Pesisir dan Lautan Daratan Pesisir dan Lautan

Tidak ada Mangrove Tidak ada Permukiman nelayanTerumbu karang Budidaya perikanan lautPadang lamun Kawasan wisata bahari

Pertanian rumput lautPelabuhan/dermagaPerkebunan kelapa

IV. KESIMPULAN

Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil pengumpulan dan analisis data disajikan berikut ini:

1. Sudah terlihat ada perbedaan antara pemanfaatan ruang antar pulau kecil dengan pulau besar/pulau kontinen. Perbedaannya dalam bentuk jenis pemanfaatan lahan pulau kecil lebih mengarah pada pemanfaatan lahan di pesisir dengan aktifitas yang sesuai dengan karakteristik dan daya dukung pesisir. Namun pada pulau yang berukuran lebih dari 500 Km2 memiliki jenis pemanfaatan ruang berbasis daratan seperti perkebunan, industri dan pertanian darat. Akibatnya pola kegiatannya cenderung seperti pulau besar/pulau kontinen.

2. Karena keterbatasan lahan dan sumber daya alam maka pemanfaatan ruang pulau kecil perlu dibedakan berdasarkan tingkat kepadatannya. Pembagiannya adalah sebagai berikut:

a. Kepadatan tinggi bersifat perkotaanPertumbuhan penduduk akan meningkat terus sehingga harus segera diantisipasi mengenai ketersediaan lahannya dengan tipe bangunan vertikal. Kawasan lindung harus dijaga ketat agar tidak terjadi penrubahan guna lahannya menjadi budidaya. Kepadatan yang tinggi mengakibatkan pengelolaan sampah dan limbah harus terpusat, terutama pada kawasan-kawasan industri dan perdagangan.

b. Kepadatan tinggi tidak bersifat perkotaanHal ini mengindikasikan adanya pusat perkotaan di sekitar pulau tersebut dengan pergerakan yang tinggi menuju pusat perkotaan tersebut. Pola pengggunaan lahan dominan di pulau seperti ini adalah perumahan.

c. Kepadatan rendah dengan pusat perkotaanPulau ini cenderung memiliki luas lahan yang besar sehingga pusat perkotaan menjadi kawasan kecil namun memiliki daya tarik yang tinggi bagi seluruh pulau kecil tersebut. Pemanfaatan ruang budidaya belum banyak dilakukan sehingga dapat diatur sejak dini mengenai peraturan perubahan guna lahannya. Infrastruktur permukiman diperlukan secara komunal karena perumahan masih tersebar.

d. Kepadatan rendah tidak bersifat perkotaanTipe ini sebaiknya diterapkan pada pulau-pulau yang mempunyai kawasan lindung baik di darat maupun di laut. Perumahan yang berada di pulau seperti ini harus memiliki dermaga yang baik untuk dapat melancarkan hubungan antar wilayahnya dengan pusat pelayanan. Infrastruktur permukiman yang disediakan bersifat perdesaan.

3. Untuk mengidentifikasi jenis dan tingkat interaksi antar ruang darat dan ruang pesisir, maka pulau-pulau kecil dikelompokkan berdasarkan ukuran pulau dan sifat perkotaan dan non-perkotaannya. Dari hasil lapangan dapat disimpulkan bahwa interaksi ruang daratan dengan ruang pesisir terjadi pada pulau yang berukuran > 10 Km2. Interaksi yang terjadi meliputi aktivitas perdagangan, pendidikan, kesehatan, dan hubungan sosial kemasyarakatan, dan lain-lain. Tingkat interaksi akan semakin tinggi pada pulau yang bersifat perkotaan (tabel 4.1).

23

Tabel 4.1 Interaksi Ruang Darat dan Pesisir Berdasarkan Luas Pulau-Pulau Kecil

Kategori Pulau Kecil

Luas (Km2)

Nama Pulau Sifat Pulau Jenis Interaksi Ruang Darat dan Ruang Pesisir

Tingkat Interaksi

Sangat kecil < 10 - Tunda- Panggang- Pramuka- Kelapa

Non-perkotaan Tidak ada (hanya ruang berbasis kelautan/pesisir)

Tidak ada

interaksi

Sedang 10 – 500 - Mapur- Saparua

Non-perkotaan - Pendidikan- Kesehatan- Perdagangan- Pemerintahan- Keagamaan

Rendah

Besar > 500 - Bintan- Ambon- Alor

Perkotaan - Perdagangan- Pendidikan- Kesehatan- Pemerintahan- Keagamaan- Wisata

Tinggi

4. Permasalahan utama pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil adalah keterbatasan daya dukung lahan dan sumber daya alam untuk kegiatan budidaya baik daratan maupun pesisir pantai sehingga rentan terjadi alih fungsi kawasan lindung. Tekanan terhadap kawasan lindung pulau kecil semakin tinggi akibat pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi di kawasan tersebut.

5. Kendala infrastruktur yang belum tertangani dari keseluruhan lokasi pada umumnya adalah infrastruktur air bersih, persampahan, dan pengelolaan air limbah. Untuk infrastruktur lainnya, sudah cukup terbangun, hanya perlu ada peningkatan pelayanan, dan perbaikan fisik serta penataan infrastruktur yang sudah ada.

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, R, 2006, Pembangunan Kelautan dan Kewilayahan, Penerbit Graha Ilmu: Yogyakarta

Beatley, T., Bower, D. J. dan Schwab, A.K., 1994, An Introduction to Coastal Zones Management. Islands Press: Washington DC

Dahuri, R, Rais, J., Ginting, S.P, dan Sitepu, M.J, 1996, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita: Jakarta

Dahuri, R., 1988, Model Pembangunan Ekosistem Pulau-Pulau Kecil Secara Optimal dan Berkelanjutan – Studi Kasus Pulau Siberut, Majalah Alami, Vol. 3, No. 1, Jakarta

Fauzi, A., 2004, Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Gramedia Pustaka Utama : Jakarta

Ferrianto, H.D, 2004, Pendekatan Penataan Ruang bagi Pulau Kecil; Penerapan Model “Ultimate Environmental Threshold” sebagai Salah Satu Masukan dalam Upaya Perencanaan dan Pengembangan Pulau Kecil”. Makalah Pribadi. Sekolah Pasca Sarjana/S3 IPB

Kusumastanto, T., 2007, Pengembangan Ekonomi Daerah Berbasis Kepulauan, http://www.indomarine.or.id, diakses tanggal 27 April 2009

PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Suparno, E., 2007, Paradigma Baru Transmigrasi : Menuju Kemakmuran Rakyat, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi : Jakarta

24