26
MAKALAH MENGAPA SESEORANG MELAKUKAN TINDAK KEJAHATAN MAFIA PERADILAN (dikaji dari Ilmu Kriminologi Hukum) DOSEN PENGASUH : INDANG SULASTRI, S.H., LL.M Oleh: NAMA : ERIK SOSANTO NIM : EAA 110 039 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA FAKULTAS HUKUM 2013

makalah kriminologi hukum

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tugas uas

Citation preview

i

MAKALAH

MENGAPA SESEORANG MELAKUKAN TINDAK KEJAHATAN

MAFIA PERADILAN

(dikaji dari Ilmu Kriminologi Hukum)

DOSEN PENGASUH : INDANG SULASTRI, S.H., LL.M

Oleh:

NAMA : ERIK SOSANTO

NIM : EAA 110 039

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

FAKULTAS HUKUM

2013

i

LEMBAR PENGESAHAAN

DISUSUN OLEH :

NAMA NIM TTD

ERIK SOSANTO EAA 110 039 . . . . . . . . . . . .

ii

ii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-Nya

dari Tuhan Yang Maha Esa karena atas izinnyalah penulis masih diberikan

kesempatan atas selesainya penyusunan makalah ini sebagai tambahan ilmu, tugas

dan pedoman yang berjudul Mengapa Seseorang Melakukan Tindak Kejahatan

Mafia Peradilan (dikaji dari Ilmu Kriminologi Hukum).

Dalam penyusunan makalah ini saya mengumpulkan dari berbagai sumber

buku-buku dan sumber lainnya yang berhubungan dengan Mengapa Seseorang

Melakukan Tindak Kejahatan Mafia Peradilan (dikaji dari Ilmu Kriminologi Hukum)

yang memudahkan saya dalam menyelesaikan tugas ini.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman

dan menambah wawasan bagi orang yang membacanya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak sekali

kekurangan-kekurangan baik dalam penulisan, pemakaian kata, redaksional kalimat

dan bahkan dalam penggunaan aturan-aturan tata bahasa Indonesia yang baik dan

benar, hal mana ini disebabkan terbatasanya kemampuan dan pengetahuan penulis

miliki, Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan

saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk

penyempurnaan penulisan makalah lebih lanjut.

Akhir kata penulis berharap semoga penyusunan dan penulisan makalah ini

dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

iii

iii

Palangka Raya, Oktober 2013

Penulis,

ERIK SOSANTO

EAA 110 039

iv

iv

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... v

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1

1.2. Perumusan Masalah ..................................................................................... 2

1.3. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2

1.4. Metode Penulisan ......................................................................................... 3

1.5. Manfaat Penulisan ........................................................................................ 3

1.6. Sistematika penulisan ................................................................................... 3

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Apakah Faktor-Faktor Seseorang Melakukan Kejahatan ............................ 5

2.2 Bagaimana Seseorang Melakukan Kerjahatan Dikaji Dari

Ilmu Kriminolgi Hukum .............................................................................. 11

BAB 3 PENUTUP

3.1. Kesimpulan .................................................................................................. 17

3.2. Saran ............................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA

v

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemberantasan mafia hukum menjadi nomor wahid dari 15 program kerja 100

hari pemerintahan Presiden SBY. “Praktik mafia peradilan bisa terjadi di lembaga

kepolisian, lembaga kejaksaan, pengadilan, KPK, departemen-departemen, instansi

pajak, bea cukai, dan di daerah. Ini akan kita jadikan prioritas pada 100 hari

pertama,” ungkap SBY di Kantor Kepresidenan seperti yang dilansir dalam tribun-

timur.com (5/11).

Mafia peradilan menjadi sangat akrab dengan penyalahgunaan

kekuasaan, abuse of power. Peradilan kita menjadi tidak bernilai untuk menindak

para tersangka atau terdakwa. Menguatnya penyalahgunaan kekuasaan makin

mengarah pada mekarnya mafia peradilan. Rasa ketidakadilan masyarakat

dipermainkan. Pelanggaran tersebut terjadi terus-menerus di depan mata. Pelanggaran

ini memberi indikasi, negara lagi-lagi gagal melaksanakan kewajibannya untuk

melindungi (to protect), menghormati (to respect) dan memenuhi (to fullfill) hak-hak

warga negara akan rasa adil dan aman.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membuat tulisan dalam

makalah ini yang berjudul “Mengapa Seseorang Melakukan Tindak Kejahatan :

Mafia Peradilan (dikaji dari Ilmu Kriminologi Hukum)”.

1

2

1.2 Perumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dan isu

hukum yang dikemukakan dalam penulisan ini, maka perumusan masalah yang dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1) Apakah Faktor-Faktor Seseorang Melakukan Kejahatan ?.

2) Bagaimana Seseorang Melakukan Kerjahatan Dikaji Dari Ilmu Kriminolgi

Hukum ?.

Terhadap dua rumusan masalah tersebut, penulis melakukan pembatasan dengan

mengacu pada perspektif kajian Mengapa Seseorang Melakukan Tindak Kejahatan :

Mafia Peradilan (dikaji dari Ilmu Kriminologi Hukum).

1.3 Tujuan Penulisan

Hakekat kegiatan penulisan adalah penyaluran hasrat ingin tahu manusia

dalam taraf keilmuan, karena manusia pada dasarnya selalu ingin tahu sebab dari

suatu rentetan akibat. Demikian pula halnya dengan penulisan karya bidang tulis

hukum, berupa makalah, sesungguhnya tidak lepas dari adanya suatu tujuan yang

ingin dicapai yaitu sebagi berikut :

1) Mengetahui dan memahami Apakah Faktor-Faktor Seseorang Melakukan

Kejahatan.

2) Mengetahui dan memahami Bagaimana Seseorang Melakukan Kerjahatan Dikaji

Dari Ilmu Kriminolgi Hukum.

3

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut :

1) Sebagai media untuk menambah wawasan.

2) Bahan referensi aktual .

3) Bahan bacaan dan pengetahuan

1.5 Metode Penulisan

Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada

buku-buku referensi yang berhubungan dengan hukum agrarian dan pertanahan dalam

pembaruannya dan situs internet yang langsung mengangkat permasalahan-

permasalahan tentang Mengapa Seseorang Melakukan Tindak Kejahatan : Mafia

Peradilan (dikaji dari Ilmu Kriminologi Hukum).

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematiaka penulisan makalah ini mempunyai makna deskripsi secara garis

besar akan hal-hal yang mendasari isu hukum berupa rumusan masalah untuk

dilakukan analisis untuk selajutnya dikembangkan dan diberikan pemahaman bersifat

komprehensif sebagimana tersarikan dalam 3 (BAB) yaitu sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bermaterikan latar belakang, rumusan dan batasan masalah, tujuan penulisan,

manfaat penulisan,metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.

4

BAB II PEMBAHASAN

Merupakan uraian dalam bentuk analisis hukum secara normatif yang

ditujukan untuk memberikan penjelsan secara komprehensif terhadap 2(hal)

permasalahan yang dirumuskan pada bab I yaitu :

1) Apakah Faktor-Faktor Seseorang Melakukan Kejahatan ?.

2) Bagaimana Seseorang Melakukan Kerjahatan Dikaji Dari Ilmu

Kriminolgi Hukum ?.

BAB III PENUTUP

Pada BAB penutup ini penulis mencoba mensarikan hal-hal yang telah

dideskripsikan pada BAB I-BAB II didepan, dalam bentuk suatu kesimpulan

dan dilengkapi saran-saran sebagai masukan positif bagi semua pihak.

5

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Faktor-Faktor Seseorang Melakukan Kejahatan.

Teori Kriminologi Tentang Etiologi Kejahatan Menurut Tiga Presfektif

sebagai berikut :

1) Faktor Biologis

Pemikiran bahwa perilaku dan juga perilaku criminal ditentukan oleh

factor bakat yang diwariskan sudah sejak zaman kuno dikemukakan. Ini

bukan hal yang mengherankan sebab dalam pandangan kebanyakan orang

anak-anak bertindak seperti orang tuanya. Peribahasa”anak harimau tidak

akan menjadi anak kambing” banyak dijumpai dimana-mana. Kejahatan

timbul karena factor biologis maksudnya adalah bahwa kejahatan ada karena

memang sudah menjadi bakat seseorang. Factor biologis meliputi keadaan,

sifat-sifat antropologis (sifat-sifat jasmaniyah) dan psikologis dari si pembuat

dan memperhatikan kriminalitas sebagai pernyataan hidup si pembuat.

Cesare Lombroso(born kriminal) Berpendapat bahwa manusia dilahirkan

dengan membawa serta bakat-bakat tertentu. Kalau bakat seseorang itu jahat,

kapan saja dia bisa cenderung jahat. Sebab bakat jahat sudah ada sejak lahir

dabukan karena pengaruh lingkungan. Teori lombroso tentang born kriminal

menyatakan bahwa para penjahat adalah sutu bentuk lebih rendah dalam

kehidupan, lebih mendekati nenekmoyang yang mirip kera dalam sifat bawaan

dan watak dibandingkan dengan mereka yang bukan penjahat. Mereka dapat

5

6

dibedakan dari non kriminal melalui beberapa atavistic stigma, ciri-ciri fisik

pada makhluk pada tahap awal perkembangan sebelum mereka benar-benar

manusia. Pada dasarnya teory lombroso ini membagi penjahat pada 4

golongan yaitu:

a. Born Criminal yaitu orang yang memang sejak lahir berbakat menjadi

penjahat.

b. Insome Criminal yaitu orang yang termasuk pada golongan orang idiot

dan paranoid.

c. Occasional Criminal atau Criminaloid adalah pelaku kejahatan

berdasarkan pengalaman terus menerus sehingga mempengaruhi

pribadinya.

d. Criminal of Passion yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakannya

karena cinta, marah, ataupun karena kehormatan.

Menurut sumber lain dikatakan bahwa Lombroso membagi penjahat

menjadi 4 golongan yaitu:

a. Theory Born Criminal yaitu (penjahat yang dilahirkan sebagai penjahat).

b. Atavistic stigmata yaitu (ciri-ciri fisik dari makhluk pada tahap awal

perkembangan, sebelum mereka benar-benar menjadi manusia).

c. Insane criminals yaitu (penjahat sebagai hasil dari beberapa perubahan

dalam otak mereka yang mengganggu kemampuan mereka untuk

membedakan antara benar dan salah).

7

d. Criminoloids yaitu (mencakup suatu kelompok ambiguous termasuk

penjahat kambuhan (habitual criminal), pelaku kejahtan karena nafsu dan

berbagai tipe lain).

Ajaran intinya bahwa :

a. Penjahat mewakili suatu tipe kanehan atau keganjilan fisik yang berbeda

dengan non kriminal,

b. Penjahat mewakili suatu bentuk kemerosotan yang termanifestasi dalam

karakter fisik yang merefleksikan suatu bentuk awal dari evolusi.

2) Faktor Psikologis

Berdasarkan Teori psikoanalisis Menurut Sigmund Freud, Teori ini

menghubungkan dilequent dan perilaku criminal dengan suatu conscience

yang baik dia begitu menguasai sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau

ia begitu lemah sehingga tidak dapat mengontrol dorongan si individu dan

bagi kebutuhan yang harus segera dipenuhi. Moral development teori

Lawrence Kohlberg seorang psikolog menemukan bahwa pemikiran moral

tumbuh dalam tiga tahap yakni; preconvensional stage,conventional level, dan

postconventional. Sedangkan John Bowlhy mempelajari kebutuhan akan

kehangatan dan afeksi sejak lahir dan konsekwensi bila tidak mendapatkan

itu, dia mengajukan theory of attachment Social Learning Theory.

Teori pembelajaran ini berpendirian bahwa prilaku dilenquent ini

dipelajari melalui proses psikologis yang sama sebagai mana semua prilaku

non dilenquent.tokoh yang mendukung teori ini diantaranya adalah: Albert

8

Banddura Ia berpendapat bahwa individu-individu yang mempelajari

kekerasan dan agresi melalui behavioral modeling; anak belajar bertingkah

laku melalui peniruan tingkah laku orang lain. Gerard Peterson Ia menguji

bagaimana agresi dipelajari melalui pengalaman langsung. Ia melihat bahwa

nanak-anak yang bermain secara pasif sering menjadi korban anak-anak

lainnya tetapi kadanng-kadang berhasil mengatasi serangan itu dengan agresi

balasan.

Dengan berlalunya waktu anak-anak ini belajar membela diri dan

akhirnya mereka mulai perkelahian. Ernesnt Burgess dan Ronald Akers

Dimana mereka mengabungkan learning theory dari Bandura yang

berdasarkan psikologi dengan theori differential association dari Erwin

Sutherland yang berdasarkan sosiologi dan kemudian menghasilkan teori

differential association rein forcemt.

3) Faktor Sosial Ekonomi(Perspektif Sosiologis)

Dimana teori-teori sosiologis mencari alasan perbedaan dalam angka

kejahtan didalam linkungan sosial. Teori ini ndapat dikatagorikan dalam 3

katagori umum yakni; strain, culture divience, dan social control

a. Strain Theory (Rorbert K Merton)

Masalah sesungguhnya ada di timbulkan oleh struktur social

(social structur) yang menawarkan tujuan-tujuan yang sama untuk semua

anggotanya tanpa member sarana yang merata untuk mencapainya.

Kekurang paduan apa yang diminta oleh budaya (yang mendorong

9

kesuksesan) dengan apa yang diperbolehkan oleh struktur (yang

mencegahnya memperoleh kesuksesan), dapat menyebabkan norma-

norma runtuh karena tidak lagi efektif untuk membingbing tingkah laku.

Contoh : masyarakat yang berientasi kelas maka kesempatan untuk

menjadi yang teratas tidaklah dibagikan secara merata sangat sedikit

anggota kelas bawah yang mencapainya.

Struktur social merupakan akar dari masalah kejahatan

(pendekatan ini disebut structural explanation). Strain teory berasumsi

bahwa orang itu taat hukum, tetapi dibawah tekanan besar mereka akan

melakukan kejahatan: disparitas antara tujuan dan sarana inilah yang

memberikan tekanan tadi.

b. Theori Anomie dari Emile Durhkeim

Satu cara dalam mempelajari suatu masyarakat adalah dengan

melihat pada bagian-bagian komponennya dalam usaha mengetahui

bagaimana masing-masing berhubungan satu sama lain, kita melihat pada

struktur dari suatu masyarakat guna melihat bagaimana ia berfungsi. Jika

masyarakat itu stabil, bagian-bagiannya beroperasi lancar, susunan social

berfungsi. Masyarakat seperti itu ditandai oleh kepaduan, kerjasama, dan

kesepakatan. Namun, jika bagian-bagian komponennya tertata dalam

suatu keadaan yang membahayakan keteraturan/ketertiban social, susunan

masyarakat itu disebut disfunctional (tidak berfungsi) seperti analogy,

10

jika kita melihat sebuah jam dengan seluruh bagian-bagiannya sangat

singkron.

Ia berfungsi sangat tepat. Ia menunjukan waktu dengan akurat.

Namun apabila suatu per-nya yang kecil rusak, keseluruhan mekanisme

tidak lagi berfungsi dengan baik. Demikianlah prespektif structural

functionalis yang dikembangkan oleh Emile Durk Heim.

Durkheim memperkenalkan istilah anomie yaitu hancurnya keteraturan

social sebagai akibat dari hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai. Ia

menyakini jika sebuah masyarakat sederhan berkembang menuju suatu

masyarakat yang modern dan kota maka kedekatan yang dibutukan untuk

melanjutkan satu set norma akan merosot dimana kelompok-kelompok

akan terpisah dan dalam ketiadaan dalam satu set aturan-aturan umum

tidakan-tindakan dan harapan orang dalam satu sektor mungkin akan

bertentangan tindakan dan harapan orang lain dengan tidak dapat

diprediksi perilaku sistem tersebut secara bertahap akan runtuh dan

masyarakat itu dalam kondisi anomie. Durkheim mempercayai bahwa

hasrat manusia adalah tak terbatas satu. Karena alam tidak mengatur

batas-batas biologis yang ketat untuk kemampuan manusia.

11

2.2 Mengapa Seseorang Melakukan Tindak Kejahatan : Mafia Peradilan (Dikaji

Dari Ilmu Kriminologi Hukum).

1) Pengertian mafia peradilan

Mafia peradilan, dua kata yang menjadi istilah trend setter untuk

melekatkan nametag kebobrokan para aparat (yang katanya) penegak hukum.

Sebuah ikon baru dunia peradilan yang memakai topeng keadilan, senyum

kebenaran palsu. Ia begitu mengemuka kini. Menjadi topic pembicaraan di

segala lini kehidupan. Dari acara talkshow dimana para ahli hukum ,politik

bahkan ekonomi berdialog, seminar-seminar yang diadakan oleh para aktivis

dan akademisi, berbagai media cetak dan elektronik, ruang diskusi para

intelektual muda, hingga warkop-warkop disudut jalan.

Istilah “Mafia Peradilan” mulai dikenal sejak tahun 1970-an. Namun

secara harfiah istilah tersebut menuai banyak pendapat dari berbagai kalangan.

Beberapa diantaranya, “Yang saya sebut dengan mafia dalam arti yang luas

adalah mereka-mereka yang melakukan kegiatan merugikan pihak lain,

misalnya makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual-beli perkara,

mengancam saksi, mengancam pihak-pihak lain, pungutan-pungutan yang

tidak semestinya, yang merusak rasa keadilan, juga mengakibatkan kerugian

material, bagi mereka yang menjadi korban, dan mendatangkan keuntungan

yang tidak halal, tidak legal,” papar Presiden SBY. (tribun-timur.com, 5

November 2009)

12

Hal berbeda diungkapkan Bagir Manan, Ketua Mahkamah

Agung “Pengertian saya mengenai mafia berbeda dengan pengertian orang

lain. Pengertian mafia itu selalu dikaitkan dengan well organized. Kalau soal

mafia peradilan kita bicara soal well organized itu, ya tidak akan ketemu.

Saya mengartikan mafia peradilan itu sebagai behavior, yaitu tingkah laku

yang tidak terpuji. Jadi, criminal behavior” (Kompas, 20 Mei 2001).

”Mafia dapat diartikan sebagai kekuatan terselubung. Kekuatan

terselubung sendiri dimaksudkan relasi antar aktor yang „ilegal‟ dan

mendorong terjadinya pelanggaran HAM.Sedangkan peradilan adalah proses

penegakan/implementasi hukum oleh lembaga penegak hukum (Polisi, PPNS,

Jaksa, dan Hakim, Advokat ). Sehingga dari dua definisi tersebut mafia

peradilan dapat diartikan sebagai kekuatan terselubung (relasi antar aktor

yang „ilegal‟) yang mempengaruhi proses penegakan/implementasi hukum

hingga mendorong terjadinya pelanggaran HAM. Sehingga dari dua definisi

tersebut mafia peradilan dapat diartikan sebagai kekuatan terselubung (relasi

antar aktor yang „ilegal‟) yang mempengaruhi proses

penegakan/implementasi hukum hingga mendorong terjadinya pelanggaran

HAM.” ujar Hasbi Abdullah (Pendidikan dasar penyuluh masyarakat anti

mafia peradilan, 5 Oktober 2009).

2) Modus Operandi Mafia Peradilan

Modus operandi mafia peradilan ibarat transaksi jual-beli. Penjual

pihak yang mempunyai kewenangan, sedangkan pembeli kelompok yang

13

membutuhkan kemenangan dalam suatu proses hukum. Penjual, misalnya,

adalah hakim yang memutuskan perkara, dan pembeli adalah terdakwa yang

membutuhkan putusan bebas.

Dalam praktek jual-beli tersebut, posisi panitera, pegawai pengadilan,

dan advokat hanyalah makelar perkara. Sebagai calo, mereka hanya berfungsi

sebagai penghubung negosiasi antara penjual dan pembeli. Ibarat makelar

jual-beli tanah, mereka hanya mendapat komisi dari transaksi jual-beli. Tanah

akan langsung dinikmati oleh pembeli, sedangkan penjual akan mendapatkan

sebagian besar uang hasil jual-beli.

Penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun

2002 juga menyebutkan bahwa mafia peradilan di Mahkamah Agung (MA)

melibatkan para pegawai, pejabat, panitera, dan para hakim. Praktik mafia itu

dilakukan dengan cara; pemerasan, penyuapan, pengaturan majelis

hakim favourable, calo perkara, pengaburan perkara, pemalsuan vonis,

pemberian ‟surat sakti‟, atau vonis yang tidak bisa dieksekusi.

Di tempat terpisah, Ketua Komisi Yudisial (KY), M Busyro

Muqoddas, mengatakan, cengkeraman mafia peradilan di Indonesia sudah

sangat kuat. Bahkan, indikasinya kekuatan mafia itu sudah memasuki semua

elemen penegakan hukum.

”Bila dilihat dari sejarahnya, mafia peradilan itu mulai menggeliat

semenjak munculnya Orde Baru. Saat itu, lembaga hukum berada di dalam

hegemoni kekuasaan. Sementara di sisi lain, kekuatan masyarakat sipil tak

14

berdaya sama sekali,” kata Busyro Muqoddas. Menurut Busyro, pihaknya tak

bisa menentukan sampai berapa besar persentasenya pengaruh mafia peradilan

itu. Tapi, jelas terlihat sudah sangat luar biasa.

Khususnya kalau hakim atau pengadilan mencari atau menerima

berbagai macam keuntungan atau janji berdasarkan penyalahgunaan

kekuasaan kehakiman atau perbuatan lainnya, seperti suap, pemalsuan,

penghilangan data atau berkas pengadilan, perubahan dengan sengaja berkas

pengadilan, pemanfaatan kepentingan umum untuk keuntungan pribadi, sikap

tunduk kepada campur tangan luar dalam memutus perkara karena adanya

tekanan, ancaman, nepotisme, conflict of interest, kompromi dengan pembela

(advokat), pertimbangan keliru dalam promosi dan pensiun, prasangka

memperlambat proses pengadilan, dan tunduk kepada kemauan pemerintah

dan partai politik. (Frans S. Winarta, Sinar Harapan, 2002).

Modus mafia peradilan menjangkau disetiap tingkat proses hukum.

Mulai dari kepolisan, kejaksaan hingga di Pengadilan. Tidak hanya dalam

kasus pidana namun gugatan perdata ditingkat pengadilan negeri, tingkat

banding hingga kasasi di Mahkamah Agung, judicial corruption merajalela

dengan bebas.

Tingkat kepolisian, modus yang sering digunakan oleh penyidik antara

lain menghentikan proses penyidikan setelah terjadi negosiasi harga dengan

tersangka, memanipulasi BAP agar dakwaan dapat meringankan tersangka,

tidak membuat SPDP (surat perintah dimulainya penyidikan). Ditingkat

15

kejaksaan, misalnya dalam kasus korupsi, calon tersangka dipanggil ke

Kejaksaan dan ditanya apakah kasusnya akan diteruskan atau tidak, kalau

pada saat itu si calon tersangka bersedia membayar jumlah uang tertentu maka

kasusnya tidak akan diteruskan. Kemudian ditingkat pengadilan pidana, Pihak

terdakwa memberikan kompensasi tertentu pada pihak Jaksa Penuntut Umum

agar dakwaannya dibuat kabur atau dibuat lemah sedemikian rupa agar dapat

dieksepsi oleh pengacara terdakwa, Hakim sengaja menunda putusan agar

pihak terdakwa menemui hakim dan bernegosiasi untuk menentukan putusan

yang akan dijatuhkan, biasanya putusan tergantung kemampuan pihak

terdakwa untuk membayar.

Untuk kasus perdata, modus mafia peradilan sudah tampak sejak tahap

awal pada proses administrasi hingga tahap persidangan. Ditingkat pengadilan

negeri, Melalui panitera, pengacara menghubungi ketua PN untuk melakukan

negosiasi penentuan majelis hakim yang akan menangani perkara

kliennya, Hakim, melalui panitera menawarkan pilihan putusan sesuai

keinginan para pihak dengan bayaran tertentu, di mana pihak yang bisa

membayar lebih tinggi akan menentukan keputusan itu sesuai dengan

keinginannya. Lalu ditingkat banding, Panitera atau hakim menghubungi

pihak yang mengajukan banding atau yang terbanding melalui pengacaranya

masing-masing untuk melakukan penawaran-penawaran

Mahkamah Agung tak luput dari praktek mafia peradilan, modusnya

antara lain Bagian administrasi dengan cara yang sangat halus dan tidak

16

vulgar meminta “dana tambahan” tanpa kwitansi kepada pihak yang

mengajukan kasasi, Sek.Jend atau asisten hakim agung menghubungi salah

satu pihak yang bersengketa dan menawarkan pada mereka suatu putusan

yang dapat memenangkan perkara mereka. Putusan tersebut bisa dibuat

sendiri oleh Sek.Jend atau asisten hakim agung. Bisa juga sebenarnya pihak

yang berperkara itu sudah memenangkan perkara, tetapi karena putusannya

sudah diketahui oleh orang dalam MA, mereka pura-pura menawarkan jasa

untuk memenangkan perkaranya.

17

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan.

Berkaca dari beberapa kasus hukum yang melibatkan oknum aparat penegak

hukum, yang seyogyanya menegakkan hukum justru melanggar hukum, ada beberapa

faktor yang mempengaruhi, mulai dari turunnya integritas moral, hilangnya

independensi, adanya tuntutan ekonomi, minimnya penghasilan, lemahnya

pengawasan, sampai dengan ketidakpatuhan terhadap kode etik profesi hukum yang

mengikatnya(Perspektif Sosiogis). Salah satu faktor penyebab adanya mafia

peradilan adalah semakin hilang, bahkan tidak bermaknanya lagi sebuah kode etik

profesi hukum, yang seharusnya menjadi pedoman dalam berprofesi yang menuntut

adanya pertanggungjawaban moral kepada Tuhan, diri sendiri dan masyarakat.

Bertenns menyatakan, kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan

diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada

anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral

profesi itu dimasyarakat. Apa fungsi kode etik profesi ? Sumaryono mengemukakan

tiga fungsi, yaitu sebagai sarana kontrol sosial, sebagai pencegah campur tangan

pihak lain, dan sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik. Berdasarkan

pengertian dan fungsinya tersebut, jelas bahwa kode etik profesi merupakan suatu

pedoman untuk menjalankan profesi dalam rangka menjaga mutu moral dari profesi

17

18

itu sendiri, sekaligus untuk menjaga kualitas dan independensi serta pandangan

masyarakat terhadap profesi tersebut, termasuk juga terhadap profesi hukum.

Profesi hukum meliputi polisi, jaksa, hakim, advokad, notaris dan lain-lain,

yang kesemuanya menjalankan aktivitas hukum dan menjadi objek yang dinilai oleh

masyarakat tentang baik buruknya upaya penegakan hukum, walaupun faktor

kesadaran hukum masyarakat sebenarnya juga sangat menentukan dalam upaya

tersebut. Berikut ini beberapa kode etik profesi hukum, yang apabila dipatuhi dan

ditegakkan dapat menjadi upaya preventif keterlibatan aparat penegak hukum dalam

kasus kejahatan dan lingkaran mafia peradilan.

Dalam kode etik kepolisian, salah satunya disebutkan bahwa setiap anggota

Polri harus ”menjauhkan diri dari perbuatan dan sikap tercela, serta mempelopori

setiap tindakan mengatasi kesulitan masyarakat sekelilingnya”. Disamping itu, setiap

insan Polri juga diharapkan ”mampu mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan

penyalahgunaan wewenang”.

Sementara dalam korps Adhyaksa, diantaranya jaksa dilarang menerima atau

meminta hadiah dan tidak boleh menggunakan jabatan dan kekuasaan untuk

kepentingan pribadi dan pihak lain, termasuk dalam merekayasa fakta hukum dalam

penanganan perkara.Dalam kode etik hakim juga diatur beberapa larangan, seperti

dilarang melakukan kolusi dengan siapapun yang berkaitan dengan perkara yang akan

dan sedang ditangani. Kemudian dilarang juga untuk menerima sesuatu pemberian

atau janji dari pihak-pihak yang berperkara.

19

Advokad merupakan profesi yang memberikan jasa hukum, baik di dalam

pengadilan maupun diluar pengadilan, yang kinerjanya juga mempengaruhi

bagaimana kualitas penegakan hukum. Kode etik advokad, khususnya dalam

hubungan dengan klien, diantaranya advokad/penasihat hukum tidak dibenarkan

memberi keterangan yang dapat menyesatkan klien atau menjamin perkara kliennya

akan menang. Begitu pula dengan Notaris, sebagai salah satu profesi hukum juga

memiliki kode etik profesi dalam menjalankan profesinya, karena notaris juga ikut

serta dalam pembangunan nasional, khususnya dibidang hukum. Dalam kode etiknya

diatur bahwa notaris dalam menjalankan tugas jabatannya menyadari kewajibannya,

bekerja mandiri, jujur, tidak berpihak dan dengan penuh rasa tanggung jawab.

Apabila kita amati beberapa ketentuan dalam kode etik profesi hukum

tersebut, kesemuanya mewajibkan agar setiap profesi hukum itu dijalankan sesuai

dengan jalur hukum dan tidak ada penyalahgunaan wewenang. Namun demikian,

dalam prakteknya, kode etik profesi hukum yang mengandung pertanggungjawaban

moral untuk menjaga martabat profesi, kini banyak dilanggar. Oleh karena itu perlu

ada reformasi internal aparat penegak hukum secara konsisten, profesional dan

berkelanjutan berkaitan dengan penegakan etika profesi hukum.

3.2 Saran

1) Modernisasi mesti dimengerti sebagai sebuah proses. Sebagai sebuah proses,

dengan sendirinya modernisasi bukanlah suatu bentuk atau tatanan yang tetap.

Dengan begitu, cara terbaik untuk dapat memahami modernisasi adalah

dengan memahami proses itu sendiri, dan bukan sekedar akibatnya

20

(masyarakat „modern‟). Membatasi modernisasi hanya pada sebuah bentuk

masyarakat „modern‟ hanya akan membawa pengingkaran pada proses

tersebut.

2) bahwa kode etik profesi merupakan suatu pedoman untuk menjalankan profesi

dalam rangka menjaga mutu moral dari profesi itu sendiri, sekaligus untuk

menjaga kualitas dan independensi serta pandangan.

21

DAFTAR PUSTAKA

Zainalahmad (2010), selintas tentang etika profesi hakim, blogspot.com di akses

tanggal 10 oktober 2013

Handayani utamy (2012), Mafia Peradilan : Sejarah Dan Realita, kompasiana.com

di akses tanggal 10 oktober 2013

Okvyan Kelly (2010), Bahan Uts Kriminologi, blogspot.com di akses tanggal 10

oktober 2013

Heri herdiana (2012), kosep etika profesi hukum, blogspot.com di akses tanggal 10

oktober 2013