Upload
erik-sosanto
View
195
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tugas uas
Citation preview
i
MAKALAH
MENGAPA SESEORANG MELAKUKAN TINDAK KEJAHATAN
MAFIA PERADILAN
(dikaji dari Ilmu Kriminologi Hukum)
DOSEN PENGASUH : INDANG SULASTRI, S.H., LL.M
Oleh:
NAMA : ERIK SOSANTO
NIM : EAA 110 039
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS HUKUM
2013
i
LEMBAR PENGESAHAAN
DISUSUN OLEH :
NAMA NIM TTD
ERIK SOSANTO EAA 110 039 . . . . . . . . . . . .
ii
ii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-Nya
dari Tuhan Yang Maha Esa karena atas izinnyalah penulis masih diberikan
kesempatan atas selesainya penyusunan makalah ini sebagai tambahan ilmu, tugas
dan pedoman yang berjudul Mengapa Seseorang Melakukan Tindak Kejahatan
Mafia Peradilan (dikaji dari Ilmu Kriminologi Hukum).
Dalam penyusunan makalah ini saya mengumpulkan dari berbagai sumber
buku-buku dan sumber lainnya yang berhubungan dengan Mengapa Seseorang
Melakukan Tindak Kejahatan Mafia Peradilan (dikaji dari Ilmu Kriminologi Hukum)
yang memudahkan saya dalam menyelesaikan tugas ini.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman
dan menambah wawasan bagi orang yang membacanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak sekali
kekurangan-kekurangan baik dalam penulisan, pemakaian kata, redaksional kalimat
dan bahkan dalam penggunaan aturan-aturan tata bahasa Indonesia yang baik dan
benar, hal mana ini disebabkan terbatasanya kemampuan dan pengetahuan penulis
miliki, Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan penulisan makalah lebih lanjut.
Akhir kata penulis berharap semoga penyusunan dan penulisan makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
iii
iv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... v
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
1.4. Metode Penulisan ......................................................................................... 3
1.5. Manfaat Penulisan ........................................................................................ 3
1.6. Sistematika penulisan ................................................................................... 3
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Apakah Faktor-Faktor Seseorang Melakukan Kejahatan ............................ 5
2.2 Bagaimana Seseorang Melakukan Kerjahatan Dikaji Dari
Ilmu Kriminolgi Hukum .............................................................................. 11
BAB 3 PENUTUP
3.1. Kesimpulan .................................................................................................. 17
3.2. Saran ............................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemberantasan mafia hukum menjadi nomor wahid dari 15 program kerja 100
hari pemerintahan Presiden SBY. “Praktik mafia peradilan bisa terjadi di lembaga
kepolisian, lembaga kejaksaan, pengadilan, KPK, departemen-departemen, instansi
pajak, bea cukai, dan di daerah. Ini akan kita jadikan prioritas pada 100 hari
pertama,” ungkap SBY di Kantor Kepresidenan seperti yang dilansir dalam tribun-
timur.com (5/11).
Mafia peradilan menjadi sangat akrab dengan penyalahgunaan
kekuasaan, abuse of power. Peradilan kita menjadi tidak bernilai untuk menindak
para tersangka atau terdakwa. Menguatnya penyalahgunaan kekuasaan makin
mengarah pada mekarnya mafia peradilan. Rasa ketidakadilan masyarakat
dipermainkan. Pelanggaran tersebut terjadi terus-menerus di depan mata. Pelanggaran
ini memberi indikasi, negara lagi-lagi gagal melaksanakan kewajibannya untuk
melindungi (to protect), menghormati (to respect) dan memenuhi (to fullfill) hak-hak
warga negara akan rasa adil dan aman.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membuat tulisan dalam
makalah ini yang berjudul “Mengapa Seseorang Melakukan Tindak Kejahatan :
Mafia Peradilan (dikaji dari Ilmu Kriminologi Hukum)”.
1
2
1.2 Perumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dan isu
hukum yang dikemukakan dalam penulisan ini, maka perumusan masalah yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1) Apakah Faktor-Faktor Seseorang Melakukan Kejahatan ?.
2) Bagaimana Seseorang Melakukan Kerjahatan Dikaji Dari Ilmu Kriminolgi
Hukum ?.
Terhadap dua rumusan masalah tersebut, penulis melakukan pembatasan dengan
mengacu pada perspektif kajian Mengapa Seseorang Melakukan Tindak Kejahatan :
Mafia Peradilan (dikaji dari Ilmu Kriminologi Hukum).
1.3 Tujuan Penulisan
Hakekat kegiatan penulisan adalah penyaluran hasrat ingin tahu manusia
dalam taraf keilmuan, karena manusia pada dasarnya selalu ingin tahu sebab dari
suatu rentetan akibat. Demikian pula halnya dengan penulisan karya bidang tulis
hukum, berupa makalah, sesungguhnya tidak lepas dari adanya suatu tujuan yang
ingin dicapai yaitu sebagi berikut :
1) Mengetahui dan memahami Apakah Faktor-Faktor Seseorang Melakukan
Kejahatan.
2) Mengetahui dan memahami Bagaimana Seseorang Melakukan Kerjahatan Dikaji
Dari Ilmu Kriminolgi Hukum.
3
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut :
1) Sebagai media untuk menambah wawasan.
2) Bahan referensi aktual .
3) Bahan bacaan dan pengetahuan
1.5 Metode Penulisan
Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada
buku-buku referensi yang berhubungan dengan hukum agrarian dan pertanahan dalam
pembaruannya dan situs internet yang langsung mengangkat permasalahan-
permasalahan tentang Mengapa Seseorang Melakukan Tindak Kejahatan : Mafia
Peradilan (dikaji dari Ilmu Kriminologi Hukum).
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematiaka penulisan makalah ini mempunyai makna deskripsi secara garis
besar akan hal-hal yang mendasari isu hukum berupa rumusan masalah untuk
dilakukan analisis untuk selajutnya dikembangkan dan diberikan pemahaman bersifat
komprehensif sebagimana tersarikan dalam 3 (BAB) yaitu sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bermaterikan latar belakang, rumusan dan batasan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan,metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.
4
BAB II PEMBAHASAN
Merupakan uraian dalam bentuk analisis hukum secara normatif yang
ditujukan untuk memberikan penjelsan secara komprehensif terhadap 2(hal)
permasalahan yang dirumuskan pada bab I yaitu :
1) Apakah Faktor-Faktor Seseorang Melakukan Kejahatan ?.
2) Bagaimana Seseorang Melakukan Kerjahatan Dikaji Dari Ilmu
Kriminolgi Hukum ?.
BAB III PENUTUP
Pada BAB penutup ini penulis mencoba mensarikan hal-hal yang telah
dideskripsikan pada BAB I-BAB II didepan, dalam bentuk suatu kesimpulan
dan dilengkapi saran-saran sebagai masukan positif bagi semua pihak.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Faktor-Faktor Seseorang Melakukan Kejahatan.
Teori Kriminologi Tentang Etiologi Kejahatan Menurut Tiga Presfektif
sebagai berikut :
1) Faktor Biologis
Pemikiran bahwa perilaku dan juga perilaku criminal ditentukan oleh
factor bakat yang diwariskan sudah sejak zaman kuno dikemukakan. Ini
bukan hal yang mengherankan sebab dalam pandangan kebanyakan orang
anak-anak bertindak seperti orang tuanya. Peribahasa”anak harimau tidak
akan menjadi anak kambing” banyak dijumpai dimana-mana. Kejahatan
timbul karena factor biologis maksudnya adalah bahwa kejahatan ada karena
memang sudah menjadi bakat seseorang. Factor biologis meliputi keadaan,
sifat-sifat antropologis (sifat-sifat jasmaniyah) dan psikologis dari si pembuat
dan memperhatikan kriminalitas sebagai pernyataan hidup si pembuat.
Cesare Lombroso(born kriminal) Berpendapat bahwa manusia dilahirkan
dengan membawa serta bakat-bakat tertentu. Kalau bakat seseorang itu jahat,
kapan saja dia bisa cenderung jahat. Sebab bakat jahat sudah ada sejak lahir
dabukan karena pengaruh lingkungan. Teori lombroso tentang born kriminal
menyatakan bahwa para penjahat adalah sutu bentuk lebih rendah dalam
kehidupan, lebih mendekati nenekmoyang yang mirip kera dalam sifat bawaan
dan watak dibandingkan dengan mereka yang bukan penjahat. Mereka dapat
5
6
dibedakan dari non kriminal melalui beberapa atavistic stigma, ciri-ciri fisik
pada makhluk pada tahap awal perkembangan sebelum mereka benar-benar
manusia. Pada dasarnya teory lombroso ini membagi penjahat pada 4
golongan yaitu:
a. Born Criminal yaitu orang yang memang sejak lahir berbakat menjadi
penjahat.
b. Insome Criminal yaitu orang yang termasuk pada golongan orang idiot
dan paranoid.
c. Occasional Criminal atau Criminaloid adalah pelaku kejahatan
berdasarkan pengalaman terus menerus sehingga mempengaruhi
pribadinya.
d. Criminal of Passion yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakannya
karena cinta, marah, ataupun karena kehormatan.
Menurut sumber lain dikatakan bahwa Lombroso membagi penjahat
menjadi 4 golongan yaitu:
a. Theory Born Criminal yaitu (penjahat yang dilahirkan sebagai penjahat).
b. Atavistic stigmata yaitu (ciri-ciri fisik dari makhluk pada tahap awal
perkembangan, sebelum mereka benar-benar menjadi manusia).
c. Insane criminals yaitu (penjahat sebagai hasil dari beberapa perubahan
dalam otak mereka yang mengganggu kemampuan mereka untuk
membedakan antara benar dan salah).
7
d. Criminoloids yaitu (mencakup suatu kelompok ambiguous termasuk
penjahat kambuhan (habitual criminal), pelaku kejahtan karena nafsu dan
berbagai tipe lain).
Ajaran intinya bahwa :
a. Penjahat mewakili suatu tipe kanehan atau keganjilan fisik yang berbeda
dengan non kriminal,
b. Penjahat mewakili suatu bentuk kemerosotan yang termanifestasi dalam
karakter fisik yang merefleksikan suatu bentuk awal dari evolusi.
2) Faktor Psikologis
Berdasarkan Teori psikoanalisis Menurut Sigmund Freud, Teori ini
menghubungkan dilequent dan perilaku criminal dengan suatu conscience
yang baik dia begitu menguasai sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau
ia begitu lemah sehingga tidak dapat mengontrol dorongan si individu dan
bagi kebutuhan yang harus segera dipenuhi. Moral development teori
Lawrence Kohlberg seorang psikolog menemukan bahwa pemikiran moral
tumbuh dalam tiga tahap yakni; preconvensional stage,conventional level, dan
postconventional. Sedangkan John Bowlhy mempelajari kebutuhan akan
kehangatan dan afeksi sejak lahir dan konsekwensi bila tidak mendapatkan
itu, dia mengajukan theory of attachment Social Learning Theory.
Teori pembelajaran ini berpendirian bahwa prilaku dilenquent ini
dipelajari melalui proses psikologis yang sama sebagai mana semua prilaku
non dilenquent.tokoh yang mendukung teori ini diantaranya adalah: Albert
8
Banddura Ia berpendapat bahwa individu-individu yang mempelajari
kekerasan dan agresi melalui behavioral modeling; anak belajar bertingkah
laku melalui peniruan tingkah laku orang lain. Gerard Peterson Ia menguji
bagaimana agresi dipelajari melalui pengalaman langsung. Ia melihat bahwa
nanak-anak yang bermain secara pasif sering menjadi korban anak-anak
lainnya tetapi kadanng-kadang berhasil mengatasi serangan itu dengan agresi
balasan.
Dengan berlalunya waktu anak-anak ini belajar membela diri dan
akhirnya mereka mulai perkelahian. Ernesnt Burgess dan Ronald Akers
Dimana mereka mengabungkan learning theory dari Bandura yang
berdasarkan psikologi dengan theori differential association dari Erwin
Sutherland yang berdasarkan sosiologi dan kemudian menghasilkan teori
differential association rein forcemt.
3) Faktor Sosial Ekonomi(Perspektif Sosiologis)
Dimana teori-teori sosiologis mencari alasan perbedaan dalam angka
kejahtan didalam linkungan sosial. Teori ini ndapat dikatagorikan dalam 3
katagori umum yakni; strain, culture divience, dan social control
a. Strain Theory (Rorbert K Merton)
Masalah sesungguhnya ada di timbulkan oleh struktur social
(social structur) yang menawarkan tujuan-tujuan yang sama untuk semua
anggotanya tanpa member sarana yang merata untuk mencapainya.
Kekurang paduan apa yang diminta oleh budaya (yang mendorong
9
kesuksesan) dengan apa yang diperbolehkan oleh struktur (yang
mencegahnya memperoleh kesuksesan), dapat menyebabkan norma-
norma runtuh karena tidak lagi efektif untuk membingbing tingkah laku.
Contoh : masyarakat yang berientasi kelas maka kesempatan untuk
menjadi yang teratas tidaklah dibagikan secara merata sangat sedikit
anggota kelas bawah yang mencapainya.
Struktur social merupakan akar dari masalah kejahatan
(pendekatan ini disebut structural explanation). Strain teory berasumsi
bahwa orang itu taat hukum, tetapi dibawah tekanan besar mereka akan
melakukan kejahatan: disparitas antara tujuan dan sarana inilah yang
memberikan tekanan tadi.
b. Theori Anomie dari Emile Durhkeim
Satu cara dalam mempelajari suatu masyarakat adalah dengan
melihat pada bagian-bagian komponennya dalam usaha mengetahui
bagaimana masing-masing berhubungan satu sama lain, kita melihat pada
struktur dari suatu masyarakat guna melihat bagaimana ia berfungsi. Jika
masyarakat itu stabil, bagian-bagiannya beroperasi lancar, susunan social
berfungsi. Masyarakat seperti itu ditandai oleh kepaduan, kerjasama, dan
kesepakatan. Namun, jika bagian-bagian komponennya tertata dalam
suatu keadaan yang membahayakan keteraturan/ketertiban social, susunan
masyarakat itu disebut disfunctional (tidak berfungsi) seperti analogy,
10
jika kita melihat sebuah jam dengan seluruh bagian-bagiannya sangat
singkron.
Ia berfungsi sangat tepat. Ia menunjukan waktu dengan akurat.
Namun apabila suatu per-nya yang kecil rusak, keseluruhan mekanisme
tidak lagi berfungsi dengan baik. Demikianlah prespektif structural
functionalis yang dikembangkan oleh Emile Durk Heim.
Durkheim memperkenalkan istilah anomie yaitu hancurnya keteraturan
social sebagai akibat dari hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai. Ia
menyakini jika sebuah masyarakat sederhan berkembang menuju suatu
masyarakat yang modern dan kota maka kedekatan yang dibutukan untuk
melanjutkan satu set norma akan merosot dimana kelompok-kelompok
akan terpisah dan dalam ketiadaan dalam satu set aturan-aturan umum
tidakan-tindakan dan harapan orang dalam satu sektor mungkin akan
bertentangan tindakan dan harapan orang lain dengan tidak dapat
diprediksi perilaku sistem tersebut secara bertahap akan runtuh dan
masyarakat itu dalam kondisi anomie. Durkheim mempercayai bahwa
hasrat manusia adalah tak terbatas satu. Karena alam tidak mengatur
batas-batas biologis yang ketat untuk kemampuan manusia.
11
2.2 Mengapa Seseorang Melakukan Tindak Kejahatan : Mafia Peradilan (Dikaji
Dari Ilmu Kriminologi Hukum).
1) Pengertian mafia peradilan
Mafia peradilan, dua kata yang menjadi istilah trend setter untuk
melekatkan nametag kebobrokan para aparat (yang katanya) penegak hukum.
Sebuah ikon baru dunia peradilan yang memakai topeng keadilan, senyum
kebenaran palsu. Ia begitu mengemuka kini. Menjadi topic pembicaraan di
segala lini kehidupan. Dari acara talkshow dimana para ahli hukum ,politik
bahkan ekonomi berdialog, seminar-seminar yang diadakan oleh para aktivis
dan akademisi, berbagai media cetak dan elektronik, ruang diskusi para
intelektual muda, hingga warkop-warkop disudut jalan.
Istilah “Mafia Peradilan” mulai dikenal sejak tahun 1970-an. Namun
secara harfiah istilah tersebut menuai banyak pendapat dari berbagai kalangan.
Beberapa diantaranya, “Yang saya sebut dengan mafia dalam arti yang luas
adalah mereka-mereka yang melakukan kegiatan merugikan pihak lain,
misalnya makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual-beli perkara,
mengancam saksi, mengancam pihak-pihak lain, pungutan-pungutan yang
tidak semestinya, yang merusak rasa keadilan, juga mengakibatkan kerugian
material, bagi mereka yang menjadi korban, dan mendatangkan keuntungan
yang tidak halal, tidak legal,” papar Presiden SBY. (tribun-timur.com, 5
November 2009)
12
Hal berbeda diungkapkan Bagir Manan, Ketua Mahkamah
Agung “Pengertian saya mengenai mafia berbeda dengan pengertian orang
lain. Pengertian mafia itu selalu dikaitkan dengan well organized. Kalau soal
mafia peradilan kita bicara soal well organized itu, ya tidak akan ketemu.
Saya mengartikan mafia peradilan itu sebagai behavior, yaitu tingkah laku
yang tidak terpuji. Jadi, criminal behavior” (Kompas, 20 Mei 2001).
”Mafia dapat diartikan sebagai kekuatan terselubung. Kekuatan
terselubung sendiri dimaksudkan relasi antar aktor yang „ilegal‟ dan
mendorong terjadinya pelanggaran HAM.Sedangkan peradilan adalah proses
penegakan/implementasi hukum oleh lembaga penegak hukum (Polisi, PPNS,
Jaksa, dan Hakim, Advokat ). Sehingga dari dua definisi tersebut mafia
peradilan dapat diartikan sebagai kekuatan terselubung (relasi antar aktor
yang „ilegal‟) yang mempengaruhi proses penegakan/implementasi hukum
hingga mendorong terjadinya pelanggaran HAM. Sehingga dari dua definisi
tersebut mafia peradilan dapat diartikan sebagai kekuatan terselubung (relasi
antar aktor yang „ilegal‟) yang mempengaruhi proses
penegakan/implementasi hukum hingga mendorong terjadinya pelanggaran
HAM.” ujar Hasbi Abdullah (Pendidikan dasar penyuluh masyarakat anti
mafia peradilan, 5 Oktober 2009).
2) Modus Operandi Mafia Peradilan
Modus operandi mafia peradilan ibarat transaksi jual-beli. Penjual
pihak yang mempunyai kewenangan, sedangkan pembeli kelompok yang
13
membutuhkan kemenangan dalam suatu proses hukum. Penjual, misalnya,
adalah hakim yang memutuskan perkara, dan pembeli adalah terdakwa yang
membutuhkan putusan bebas.
Dalam praktek jual-beli tersebut, posisi panitera, pegawai pengadilan,
dan advokat hanyalah makelar perkara. Sebagai calo, mereka hanya berfungsi
sebagai penghubung negosiasi antara penjual dan pembeli. Ibarat makelar
jual-beli tanah, mereka hanya mendapat komisi dari transaksi jual-beli. Tanah
akan langsung dinikmati oleh pembeli, sedangkan penjual akan mendapatkan
sebagian besar uang hasil jual-beli.
Penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun
2002 juga menyebutkan bahwa mafia peradilan di Mahkamah Agung (MA)
melibatkan para pegawai, pejabat, panitera, dan para hakim. Praktik mafia itu
dilakukan dengan cara; pemerasan, penyuapan, pengaturan majelis
hakim favourable, calo perkara, pengaburan perkara, pemalsuan vonis,
pemberian ‟surat sakti‟, atau vonis yang tidak bisa dieksekusi.
Di tempat terpisah, Ketua Komisi Yudisial (KY), M Busyro
Muqoddas, mengatakan, cengkeraman mafia peradilan di Indonesia sudah
sangat kuat. Bahkan, indikasinya kekuatan mafia itu sudah memasuki semua
elemen penegakan hukum.
”Bila dilihat dari sejarahnya, mafia peradilan itu mulai menggeliat
semenjak munculnya Orde Baru. Saat itu, lembaga hukum berada di dalam
hegemoni kekuasaan. Sementara di sisi lain, kekuatan masyarakat sipil tak
14
berdaya sama sekali,” kata Busyro Muqoddas. Menurut Busyro, pihaknya tak
bisa menentukan sampai berapa besar persentasenya pengaruh mafia peradilan
itu. Tapi, jelas terlihat sudah sangat luar biasa.
Khususnya kalau hakim atau pengadilan mencari atau menerima
berbagai macam keuntungan atau janji berdasarkan penyalahgunaan
kekuasaan kehakiman atau perbuatan lainnya, seperti suap, pemalsuan,
penghilangan data atau berkas pengadilan, perubahan dengan sengaja berkas
pengadilan, pemanfaatan kepentingan umum untuk keuntungan pribadi, sikap
tunduk kepada campur tangan luar dalam memutus perkara karena adanya
tekanan, ancaman, nepotisme, conflict of interest, kompromi dengan pembela
(advokat), pertimbangan keliru dalam promosi dan pensiun, prasangka
memperlambat proses pengadilan, dan tunduk kepada kemauan pemerintah
dan partai politik. (Frans S. Winarta, Sinar Harapan, 2002).
Modus mafia peradilan menjangkau disetiap tingkat proses hukum.
Mulai dari kepolisan, kejaksaan hingga di Pengadilan. Tidak hanya dalam
kasus pidana namun gugatan perdata ditingkat pengadilan negeri, tingkat
banding hingga kasasi di Mahkamah Agung, judicial corruption merajalela
dengan bebas.
Tingkat kepolisian, modus yang sering digunakan oleh penyidik antara
lain menghentikan proses penyidikan setelah terjadi negosiasi harga dengan
tersangka, memanipulasi BAP agar dakwaan dapat meringankan tersangka,
tidak membuat SPDP (surat perintah dimulainya penyidikan). Ditingkat
15
kejaksaan, misalnya dalam kasus korupsi, calon tersangka dipanggil ke
Kejaksaan dan ditanya apakah kasusnya akan diteruskan atau tidak, kalau
pada saat itu si calon tersangka bersedia membayar jumlah uang tertentu maka
kasusnya tidak akan diteruskan. Kemudian ditingkat pengadilan pidana, Pihak
terdakwa memberikan kompensasi tertentu pada pihak Jaksa Penuntut Umum
agar dakwaannya dibuat kabur atau dibuat lemah sedemikian rupa agar dapat
dieksepsi oleh pengacara terdakwa, Hakim sengaja menunda putusan agar
pihak terdakwa menemui hakim dan bernegosiasi untuk menentukan putusan
yang akan dijatuhkan, biasanya putusan tergantung kemampuan pihak
terdakwa untuk membayar.
Untuk kasus perdata, modus mafia peradilan sudah tampak sejak tahap
awal pada proses administrasi hingga tahap persidangan. Ditingkat pengadilan
negeri, Melalui panitera, pengacara menghubungi ketua PN untuk melakukan
negosiasi penentuan majelis hakim yang akan menangani perkara
kliennya, Hakim, melalui panitera menawarkan pilihan putusan sesuai
keinginan para pihak dengan bayaran tertentu, di mana pihak yang bisa
membayar lebih tinggi akan menentukan keputusan itu sesuai dengan
keinginannya. Lalu ditingkat banding, Panitera atau hakim menghubungi
pihak yang mengajukan banding atau yang terbanding melalui pengacaranya
masing-masing untuk melakukan penawaran-penawaran
Mahkamah Agung tak luput dari praktek mafia peradilan, modusnya
antara lain Bagian administrasi dengan cara yang sangat halus dan tidak
16
vulgar meminta “dana tambahan” tanpa kwitansi kepada pihak yang
mengajukan kasasi, Sek.Jend atau asisten hakim agung menghubungi salah
satu pihak yang bersengketa dan menawarkan pada mereka suatu putusan
yang dapat memenangkan perkara mereka. Putusan tersebut bisa dibuat
sendiri oleh Sek.Jend atau asisten hakim agung. Bisa juga sebenarnya pihak
yang berperkara itu sudah memenangkan perkara, tetapi karena putusannya
sudah diketahui oleh orang dalam MA, mereka pura-pura menawarkan jasa
untuk memenangkan perkaranya.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
Berkaca dari beberapa kasus hukum yang melibatkan oknum aparat penegak
hukum, yang seyogyanya menegakkan hukum justru melanggar hukum, ada beberapa
faktor yang mempengaruhi, mulai dari turunnya integritas moral, hilangnya
independensi, adanya tuntutan ekonomi, minimnya penghasilan, lemahnya
pengawasan, sampai dengan ketidakpatuhan terhadap kode etik profesi hukum yang
mengikatnya(Perspektif Sosiogis). Salah satu faktor penyebab adanya mafia
peradilan adalah semakin hilang, bahkan tidak bermaknanya lagi sebuah kode etik
profesi hukum, yang seharusnya menjadi pedoman dalam berprofesi yang menuntut
adanya pertanggungjawaban moral kepada Tuhan, diri sendiri dan masyarakat.
Bertenns menyatakan, kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan
diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada
anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral
profesi itu dimasyarakat. Apa fungsi kode etik profesi ? Sumaryono mengemukakan
tiga fungsi, yaitu sebagai sarana kontrol sosial, sebagai pencegah campur tangan
pihak lain, dan sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik. Berdasarkan
pengertian dan fungsinya tersebut, jelas bahwa kode etik profesi merupakan suatu
pedoman untuk menjalankan profesi dalam rangka menjaga mutu moral dari profesi
17
18
itu sendiri, sekaligus untuk menjaga kualitas dan independensi serta pandangan
masyarakat terhadap profesi tersebut, termasuk juga terhadap profesi hukum.
Profesi hukum meliputi polisi, jaksa, hakim, advokad, notaris dan lain-lain,
yang kesemuanya menjalankan aktivitas hukum dan menjadi objek yang dinilai oleh
masyarakat tentang baik buruknya upaya penegakan hukum, walaupun faktor
kesadaran hukum masyarakat sebenarnya juga sangat menentukan dalam upaya
tersebut. Berikut ini beberapa kode etik profesi hukum, yang apabila dipatuhi dan
ditegakkan dapat menjadi upaya preventif keterlibatan aparat penegak hukum dalam
kasus kejahatan dan lingkaran mafia peradilan.
Dalam kode etik kepolisian, salah satunya disebutkan bahwa setiap anggota
Polri harus ”menjauhkan diri dari perbuatan dan sikap tercela, serta mempelopori
setiap tindakan mengatasi kesulitan masyarakat sekelilingnya”. Disamping itu, setiap
insan Polri juga diharapkan ”mampu mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan
penyalahgunaan wewenang”.
Sementara dalam korps Adhyaksa, diantaranya jaksa dilarang menerima atau
meminta hadiah dan tidak boleh menggunakan jabatan dan kekuasaan untuk
kepentingan pribadi dan pihak lain, termasuk dalam merekayasa fakta hukum dalam
penanganan perkara.Dalam kode etik hakim juga diatur beberapa larangan, seperti
dilarang melakukan kolusi dengan siapapun yang berkaitan dengan perkara yang akan
dan sedang ditangani. Kemudian dilarang juga untuk menerima sesuatu pemberian
atau janji dari pihak-pihak yang berperkara.
19
Advokad merupakan profesi yang memberikan jasa hukum, baik di dalam
pengadilan maupun diluar pengadilan, yang kinerjanya juga mempengaruhi
bagaimana kualitas penegakan hukum. Kode etik advokad, khususnya dalam
hubungan dengan klien, diantaranya advokad/penasihat hukum tidak dibenarkan
memberi keterangan yang dapat menyesatkan klien atau menjamin perkara kliennya
akan menang. Begitu pula dengan Notaris, sebagai salah satu profesi hukum juga
memiliki kode etik profesi dalam menjalankan profesinya, karena notaris juga ikut
serta dalam pembangunan nasional, khususnya dibidang hukum. Dalam kode etiknya
diatur bahwa notaris dalam menjalankan tugas jabatannya menyadari kewajibannya,
bekerja mandiri, jujur, tidak berpihak dan dengan penuh rasa tanggung jawab.
Apabila kita amati beberapa ketentuan dalam kode etik profesi hukum
tersebut, kesemuanya mewajibkan agar setiap profesi hukum itu dijalankan sesuai
dengan jalur hukum dan tidak ada penyalahgunaan wewenang. Namun demikian,
dalam prakteknya, kode etik profesi hukum yang mengandung pertanggungjawaban
moral untuk menjaga martabat profesi, kini banyak dilanggar. Oleh karena itu perlu
ada reformasi internal aparat penegak hukum secara konsisten, profesional dan
berkelanjutan berkaitan dengan penegakan etika profesi hukum.
3.2 Saran
1) Modernisasi mesti dimengerti sebagai sebuah proses. Sebagai sebuah proses,
dengan sendirinya modernisasi bukanlah suatu bentuk atau tatanan yang tetap.
Dengan begitu, cara terbaik untuk dapat memahami modernisasi adalah
dengan memahami proses itu sendiri, dan bukan sekedar akibatnya
20
(masyarakat „modern‟). Membatasi modernisasi hanya pada sebuah bentuk
masyarakat „modern‟ hanya akan membawa pengingkaran pada proses
tersebut.
2) bahwa kode etik profesi merupakan suatu pedoman untuk menjalankan profesi
dalam rangka menjaga mutu moral dari profesi itu sendiri, sekaligus untuk
menjaga kualitas dan independensi serta pandangan.
21
DAFTAR PUSTAKA
Zainalahmad (2010), selintas tentang etika profesi hakim, blogspot.com di akses
tanggal 10 oktober 2013
Handayani utamy (2012), Mafia Peradilan : Sejarah Dan Realita, kompasiana.com
di akses tanggal 10 oktober 2013
Okvyan Kelly (2010), Bahan Uts Kriminologi, blogspot.com di akses tanggal 10
oktober 2013
Heri herdiana (2012), kosep etika profesi hukum, blogspot.com di akses tanggal 10
oktober 2013