Upload
bibir-penuh-makna
View
556
Download
22
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PENGARUH EDTA DALAM PENENTUAN KANDUNGAN TIMBAL DAN TEMBAGA PADA KERANG HIJAU (Mytilus viridis)
Citation preview
PENGARUH EDTA
DALAM PENENTUAN KANDUNGAN TIMBAL DAN TEMBAGA
PADA KERANG HIJAU ( Mytilus viridis )
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semakin meningkatnya populasi manusia dan semakin
berkembangnya era globalisasi menyebabkan semakin meningkatnya dampak
yang ditimbulkannya. Beranekaragamnya aktivitas manusia menyebabkan
semakin banyak juga limbah domestik maupun industri yang dapat
mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Limbah industri maupun domestik, bila
kurang sempurna pengolahannya akan menjadi faktor yang merugikan bagi
lingkungan sekitar. Dengan kemajuan dan aktivitas manusia banyak
menimbulkan pencemaran lingkungan yang dapat merugikan kesehatan
manusia.
B. Masalah
Pembuangan limbah secara sembarangan dan tidak memperhatikan
kelestarian lingkungan dapat menimbulkan dampak negatif yang merugikan.
Seperti yang terjadi pada perairan Waduk Estuari yang merupakan Muara
Sungai Badung telah tercemar dengan berbagai limbah berat seperti timbal
(Pb) dan tembaga (Cu). Masyarakat maupun industri yang tinggal di sekitar
aliran sungai sering membuang limbah ke sungai tanpa mengalami proses
pengolahan sebelumnya. Terdapatnya berbagai jenis logam berat sebagai
pencemar yang terkandung dalam limbah tersebut dapat memberikan
pengaruh terhadap organisme yang hidup pada perairan dan muara Sungai
Badung.
C. Tujuan
Pada perairan Waduk Estuari yang merupakan Muara Sungai Badung
sering dijumpai beberapa penduduk melakukan penangkapan ikan, siput,
kerang dan berbagai jenis biota air lainnya. Adanya pencemaran logam berat
pada perairan menyebabkan biota-biota tersebut dapat mengakumulasi logam
berat. Maka perlu dilakukan upaya untuk meminimalkan adanya cemaran
limbah logam tersebut di lingkungan sekitar. Oleh sebab itu dilakukan
penelitian pengaruh EDTA dalam penentuan kandungan timbal dan tembaga
pada kerang hijau salah satu jenis biota perairan.
Digunakan metode spektroskopi serapan atom untuk meneliti ada atau
tidaknya pengaruh penambahan EDTA terhadap kandungan timbal dan
tembaga pada kerang hijau.
D. Manfaat
Dengan menggunakan metode spektroskopi serapan atom, diharapkan
dapat mengetahui kadar timbal dan tembaga dalam biota air sebelum dan
sesudah ditambahkan EDTA. Terjadinya penurunan kandungan timbal dan
tembaga pada kerang hijau akan dapat dimanfaatkan untuk pengolahan biota
air lainnya sebelum dikonsumsi agar tidak menimbulkan keracunan bagi
manusia.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Peristiwa serapan atom pertama kali diamati oleh Fraunhofer, ketika mengamati
garis-garis hitam pada spektrum matahari. Spektroskopi serapan atom pertama kali
digunakan pada tahun 1955 oleh Walsh. Sesudah itu, tidak kurang dari 65 unsur diteliti dan
dapat dianalisis dengan cara tersebut. Spektroskopi serapan atom digunakan untuk analisis
kuantitatif unsur-unsur logam dalam jumlah sekelumit (trace) dan sangat kelumit
(ultratrace). Cara analisis ini memberikan kadar total unsur logam dalam suatu sampel dan
tidak tergantung pada bentuk molekul dari logam dalam sampel tersebut. Cara ini cocok
untuk analisis kelumit logam karena mempunyai kepekaan yang tingggi (batas deteksi
kurang dari 1 ppm), pelaksanaannya relatif sederhana, dan interferensinya sedikit.
Spektroskopi serapan atom didasarkan pada penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral,
dan sinar yang diserap biasanya sinar tampak atau ultraviolet. Dalam garis besarnya prinsip
spektroskopi serapan atom sama saja dengan spektrofotometri sinar tampak dan ultraviolet.
Perbedaannya terletak pada bentuk spektrum, cara pengerjaan sampel dan peralatannya
(Gandjar, 2010).
Emisi dan Absorbsi
Interaksi materi dengan berbagai energi seperti energi panas, energi radiasi, energi
kimia, dan energi listrik selalu memberikan sifat-sifat yang karakteristik untuk setiap unsur
(atau persenyawaan), dan besarnya perubahan yang terjadi biasanya sebanding dengan
jumlah unsur atau persenyawaan yang terdapat di dalamnya. Di dalam kimia analisis yang
mendasarkan pada proses interaksi itu antara lain cara analisis spektrofotometri atom yang
bisa cara emisi dan cara absorbsi (serapan) (Gandjar, 2010).
Pada cara emisi, interaksi pada energi menyebabkan eksitasi atom yang mana
keadaan ini tidak berlangsung lama dan akan kembali ke tingkat semula dengan melepaskan
sebagian atau seluruh energi eksitasinya dalam bentuk radiasi. Frekuensi radiasi yang
dipancarkan bersifat karakteristik untuk setiap unsur dan intensitasnya sebanding dengan
jumlah atom yang tereksitasi dan yang mengalami proses de-eksitasi. Pemberian energi
dalam bentuk nyala merupakan salah satu cara untuk eksitasi atom ke tingkat yang lebih
tinggi. Cara tersebut dikenal dengan nama spektrofotometri emisi (Gandjar, 2010).
Pada absorbsi, jika pada populasi atom yang berada pada tingkat dasar dilewatkan
suatu berkas radiasi maka akan terjadi penyerapan energi radiasi oleh atom-atom tersebut.
Frekuensi radiasi yang paling banyak diserap adalah frekuensi radiasi resonan dan bersifat
karakteristik untuk setiap unsur. Pengurangan intensitasnya sebanding dengan jumlah atom
yang berada pada tingkat dasar (Gandjar, 2010).
Metode Spektroskopi Serapan Atom (SSA) mendasarkan pada prinsip absorbsi
cahaya oleh atom. Atom-atom akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu,
tergantung pada sifat unsurnya. Misalkan natrium menyerap pada 589 nm, uranium pada
358,5 nm, sedangkan kalium pada 766,5 nm. Cahaya pada panjang gelombang ini
mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom. Transisi
elektronik suatu unsure bersifat spesifik. Dengan absorbsi energi, berarti memperoleh lebih
banyak energy, suatu atom pada keadaan dasar dinaikkan tingkat energinya ke tingkat
eksitasi. Spektrum atomic untuk masing-masing unsur terdiri atas garis-garis resonansi.
Garis-garis lain yang bukan garis resonansi dapat berupa spectrum yang berasosiasi dengan
tingkat energy molekul, biasanya berupa pita-pita lebar ataupun garis tidak berasal dari
eksitasi tingkat dasar yang disebabkan proses atomisasinya (Khopkar, 1990).
Ditinjau dari hubungan antara konsentrasi dan absorbansi, maka hukum Lambert-
Beer dapat digunakan jika sumbernya adalah monokromatis. Pada AAS, panjang
gelombang garis absorbsi resonansi identik dengan garis-garis emisi disebabkan keserasian
transisinya. Untuk bekerja pada panjang gelombang ini diperlukan suatu monokromator
celah yang menghasilkan lebar puncak sekitar 0,002-0,005 nm. Jelas pada teknik AAS,
diperlukan sumber radiasi yang mengemisikan sinar pada panjang gelombang yang tepat
sama pada proses absorbsinya. Dengan cara ini efek pelebaran puncak dapat dihindarkan.
Sember radiasi tersebut dikenal dengan lampu hollow cathode (Khopkar, 1990).
Gambar 1. Instrumentasi AAS (Anonim, 2010)
1. Sumber sinar
Sumber sinar yang sering dipakai adalah lampu katoda berongga (hollow cathode
lamp). Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan
anoda. Katoda sendiri berbentuk silinder berongga yang terbuat dari logam atau dilapisi
dengan logam tertentu. Tabung logam ini diisi dengan gas mulia (neon atau argon) dengan
tekanan rendah (10-15 torr). Neon biasanya lebih disukai karena memberikan intensitas
pancaran lampu yang lebih rendah. Bila antara anoda dan katoda diberi suatu selisih
tegangan yang tinggi (600 volt), maka katoda akan memancarkan berkas-berkas electron
yang bergerak menuju anoda yang mana kecepatan dan energinya sangat tinggi. Electron-
elektron dengan energi tinggi ini dalam perjalanannya menuju anoda akan bertabrakan
dengan gas-gas mulia yang diisikan tadi (Gandjar, 2010).
Akibat dari tabrakan-tabrakan ini membuat unsur-unsur gas mulia akan kehilangan
elektron dan menjadi ion bermuatan positif. Ion-ion gas mulia yang bermuatan positif ini
selanjutnya akan bergerak ke katoda dengan kecepatan dan energy yang tinggi pula.
Sebagaimana disebutkan di atas, pada katoda terdapat unsure-unsur yang sesuai dengan
unsur yang akan dianalisis. Unsure-unsur ini akan ditabrak oleh ion-ion positif gas mulia.
Akibat tabrakan ini, unsure-unsur akan terlempar ke luar dari permukaan katoda. Atom-
atom unsure dari katoda ini kemudian akan mengalami eksitasi ke tingkat energi-energi
elektron yang lebih tinggi dan akan memancarkan spectrum pancaran dari unsur yang sama
dengan unsure yang akan dianalisis (Gandjar, 2010).
Salah satu kelemahan penggunaan lampu katoda berongga adalah satu lampu
digunakan untuk satu unsure, akan tetapi saat ini telah banyak dijumpai suatu lampu katoda
berongga kombinasi, yakni satu lampu dilapisi dengan beberapa unsur sehingga dapat
digunakan untuk analisis beberapa unsur sekaligus (Gandjar, 2010).
2. Tempat sampel
Dalam analisis dengan spektrofotometri serapan atom, sampel yang akan dianalisis
harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan asas. Ada berbagai
macam alat yang dapat digunakan untuk mengubah suatu sampel menjadi uap atom-atom
yaitu: dengan nyala (flame) dan dengan tanpa nyala (flameless).
a. Nyala (flame)
Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan menjadi
bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi. Suhu yang dapat dicapai oleh
nyala tergantung pada gas-gas yang digunakan, misalkan untuk gas batubara-udara, suhunya
kira-kira sebesar 18000C; gas alam-udara 17000C; asetilen-udara 22000C; dan gas asetilen-
dinitrogen oksida (N2O) sebesar 30000C.
Pemilihan macam bahan pembakar dan gas pengoksidasi serta komposisi
perbandingannya sangat mempengaruhi suhu nyala. Pada umumnya nyala dari gas asetilen-
nitrooksida menunjukkan emisi latar belakang (background) yang kuat. Efek emisi nyala
dapat dikurangi dengan menggunakan keping pemotong radiasi (chopper).
Sumber nyala yang paling banyak digunakan adalah campuran asetilen sebagai
bahan pembakar dan udara sebagai pengoksidasi.
Cara pengatoman pada nyala:
Pemasukan sampel ke dalam nyala dengan cara yang ajeg dan seragam
membutuhkan suatu alat yang mampu mendispersikan sampel secara seragam di dalam
nyala. Ada beberapa cara atomisasi dengan nyala ini, yaitu:
i. Cara langsung (pembakar konsumsi total atau total comsumption burner)
Pada cara ini sampel dihembuskan (diaspirasikan) secara langsung ke dalam nyala,
dan semua sampel akan dikonsumsi oleh pembakar. Variasi ukuran kabut (droplet) sangat
besar. Diameter partikel rata-rata sebesar 20 mikron, dan sejumlah partikel ada yang
mempunyai diameter lebih besar dari 40 mikron. Semakin besar kabut yang melewati nyala
(tanpa semuanya diuapkan), maka efisiensinya semakin rendah.
ii. Cara tidak langsung
Pada model ini, larutan sampel dicampur terlebih dahulu dengan bahan pembakar
dan bahan pengoksidasi dalam suatu kamar pencampur sebelum dibakar. Tetesan-tetesan
yang besar akan tertahan dan tidak masuk ke dalam nyala. Dengan cara ini, ukuran terbesar
yang masuk ke dalam nyala ± 10 mikron sehingga nyala lebih stabil dibandingkan dengan
cara langsung.
b. Tanpa nyala (flameless)
Teknik atomisasi dengan nyala dinilai kurang peka karena: atom gagal mencapai
nyala, tetesan sampel yan yang masuk ke dalam nyala terlalu besar, dan proses atomisasi
kurang sempurna. Oleh karena itu muncullah suatu teknik atomisasi yang baru yakni
atomisasi tanpa nyala. Pengatoman dapat dilakukan dalam tungku dari gravit seperti tungku
yang dikembangkan oleh Masmann.
Sejumlah sampel diambil sedikit (untuk sampel cair diambil hanya beberapa µL,
sementara beberapa sampel padat diambil beberapa mg), lalu diletakkan dalam tabung
gravit, kemudian tabung tersebut dipanaskan dengan system elektris dengan cara
melewatkan arus listrik pada gravit. Akibat pemanasan ini, maka zat yang akan dianalisis
berubah menjadi atom-atom netral dan pada fraksi atom ini dilewatkan suatu sinar yang
berasal dari lampu katoda berongga sehingga terjadilah proses penyerapan energi sinar yang
memenuhi kaidah analisis kuantitatif.
Sistem pemanasan dengan tanpa nyala ini dapat melalui 3 tahap yaitu: pengeringan
(drying) yang membutuhkan suhu yang lebih rendah; pengabuan (ashing) yang
membutuhkan suhu yang lebih tinggi karena untuk menghilangkan matrix kimia dengan
mekanisme volatilasi atau pirolisis, dan pengatoman (atomizing) (Gandjar, 2010).
3. Monokromator
Pada AAS, monokromator dimaksudkan untuk memisahkan dan memilih panjang
gelombang yang digunakan dalam analisis. Disamping sistem optik, dalam monokromator
juga terdapat suatu alat yang digunakan untuk memisahkan radiasi resonansi dan kontinyu
yang disebut dengan chopper (Gandjar, 2010).
4. Detector
Detector digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat
pengatoman. Biasanya digunakan tabung penggandaan foton (photomultiplier tube). Ada 2
cara yang dapat digunakan dalam system deteksi, yaitu: (a) yang memberikan respon
terhadap radiasi resonansi dan radiasi kontinyu dan (b) yang hanya memberikan respon
terhadap radiasi resonansi.
Pada cara pertama, output yang dihasilkan dari radiasi resonan dan radiasi
kontinyu disalurkan pada system galvanometer dan setiap perubahan yang disebabkan oleh
radiasi resonan akan menyebabkan perubahan output. Pada cara kedua, output berasal dari
radiasi resonan dan radiasi kontinyu yang dipisahkan. Dalam hal ini, system penguat harus
cukup selektif untuk membedakan radiasi. Cara terbaik adalah dengan menggunakan
detector yang hanya peka terhadap radiasi resonan yang termodulasi (Gandjar, 2010).
5. Readout
Readout merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai system
pencatatan hasil. Pencatatan hasil dilakukan dengan suatu alat yang telah terkalibrasi untuk
pembacaan suatu transmisi atau absorbsi. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau berupa
kurva dari suatu recorder yang menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi (Gandjar,
2010).
Gamb
ar 2. Spektrofotometer Serapapan Atom (Anonim, 2010)
Analisis kuantitatif dengan AAS
Teknik AAS menjadi alat yang canggih dalam analisis. Ini disebabkan diantaranya
oleh kecepatan analisisnya, ketelitiannya sampai tingkat runut, tidak memerlukan
pemisahan pendahuluan. Kelebihan kedua adalah kemungkinannya untuk menentukan
konsentrasi semua unsur pada konsentrasi runut. Ketiga, sebelum pengukuran tidak selalu
memisahkan unsure yang ditentukan karena kemungkinan penentuan satu unsure dengan
kehadiran unsure lain dapat dilakukan asalkan katoda berongga yang diperlukan tersedia
(Khopkar, 1990).
Untuk keperluan analisis kuantitatif dengan AAS, maka sampel harus dalam bentuk
lautan. Untuk menyiapkan larutan, sampel harus diperlakukan sedemikian rupa yang
pelaksanaannya tergantung dari macam dan jenis sampel. Yang penting untuk diingat
adalah bahwa larutan yang akan dianalisis haruslah sangat encer.
Ada beberapa cara untuk melarutkan sampel yaitu:
Langsung dilarutkan dengan pelarut yang sesuai
Sampel dilarutakan dalam suatu asam
Sampel dilarutkan dalam suatu basa atau dilebur terlebih dahulu dengan basa
kemudian hasil leburan dilarutkan dalam pelarut yang sesuai (Gandjar,
2010).
Ada beberapa metode kuantifikasi hasil analisis dengan metode AAS yaitu:
1. Kuantifikasi dengan kurva baku (kurva kalibrasi)
Kurva kalibrasi dalam AAS dibuat dengan memasukkan sejumlah tertentu
konsentrasi larutan dalam system dilanjutkan dengan pengukuran. Dalam praktek sering
digunakan paling tidak 4 baku dan 1 blanko untuk membuat kurva kalibrasi linier yang
menyatakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi analit untuk melakukan
analisis. Absorbansi sampel tidak boleh melebihi absorbansi baku tertinggi dan tidak kurang
dari absorbansi baku terendah. Dengan kata lain absorbansi sampel harus terletak pada
kisaran absorbansi kurva kalibrasi. Ekstrapolasi atau pembacaan absorbansi di luar kisaran
absorbansi baku tidak direkomendasikan karena kurangnya linieritas.
2. Kuantifikasi dengan cara perbandingan langsung
Cara ini hanya boleh dilakukan jika telah diketahui bahwa kurva baku hubungan
antara konsentrasi dengan absorbansi merupakan garis lurus dan melewati titik nol. Cara
yang dikerjakan adalah hanya dengan mengukur absorbansi larutan baku (Ab) dengan
konsentrasi tertentu (Cb) pada satu konsentrasi saja, lalu dibaca juga absorbansi larutan
sampel (As). kadar sampel dihitung dengan rumus:
Cs= x Cb
3. Kuantifikasi dengan cara dua baku
Cara ini merupakan adaptasi dari cara 1 dan cara 2. Dibuat masing-masing 2 buah
larutan baku yang konsentrasinya sedikit lebih rendah dan sedikit lebih tinggi dari
konsentrasi sampel. Keuntungan cara ini adalah komposisi/konsentrasi larutan baku
mendekati komposisi/konsentrasi sampel sehingga akan diperoleh presisi dan akurasi yang
baik.
4. Cara standar adisi (cara penambahan baku)
Kebanyakan analisis dilakukan pada sampel yang tidak identik dengan standar
dalam larutan air, karenanya pada kasus ini diperlukan pencampuran matriks dengan baku.
Jika matriks tidak diketahui atau bervariasi dari satu ke yang lain, maka metode standar
adisi sering digunakan. Metode ini digunakan untuk menghindari gangguan-gangguan, baik
gangguan kimia atau gangguan spektra (Gandjar, 2010).
III. METODE / PROSEDUR
Bahan :
Sampel kerang hijau diambil secara acak dari Waduk Estuari Muara Sungai
Badung yang dibagi menjadi lima lokasi
Aquades
HNO3 p
H2SO4 p
Larutan standar Cu dan Pb
Alat :
Oven
Mortir
Neraca analitik
Labu destilasi
Labu ukur 100 ml
Batu didih
Kertas saring
Gelas ukur
Sarung tangan
Stop watch
Spektrofotometer AAS
Cara Kerja :
1. Pengambilan dan perlakuan (destribusi) sampel
a. Mengambil sampel secara acak dari Waduk Estuari Muara Sungai Badung
yang dibagi menjadi lima lokasi yang berbeda
b. Mengeluarkan daging kerang hijau dari cangkang (membedakannya
berdasarkan masing-masing tempat)
c. Memasukkan daging kerang hijau ke dalam oven pada suhu 110ºC sampai
diperoleh bobot konstan
d. Menggerus sampel yang sudah kering
e. Menimbang sampel sebanyak 5 gram dan memasukkannya ke dalam labu
destilasi
f. Menambahkan beberapa butir batu didih
g. Menambahkan 40 ml HNO3 p dan 10 ml H2SO4 p secara hati-hati
h. Memanaskan larutan sampel sampai diperoleh larutan yang jernih
i. Mendinginkan larutan dan setelah dingin menambahkan 50 ml aquadest
j. Mengocok campuran sampai homogen, menyaringnya ke dalam labu ukur
100 ml dan mengencerkannya dengan aquadest sampai tanda
k. Mengukur filtrat dengan spektroskopi serapan atom
2. Penentuan konsentrasi Pb dan Cu
a. Mengukur filtrat pada panjang gelombang (λ) 217,0 nm dengan nyala udara-
asetilen
b. Menentukan konsentrasi Pb dan Cu dalam sampel dengan menggunakan
teknik kurva kalibrasi dari nilai yang dihasilkan pada SSA baik absorban dari
larutan standard maupun sampel.
c. Menentukan konsentrasi sampel dari absorban yang terukur setelah diperoleh
kurva kalibrasi larutan standard berupa garis linear
3. Penurunan Pb dan Cu dengan EDTA 0,1 M
a. Mengeluarkan daging kerang hijau dari cangkang dan merendamnya dengan
EDTA dengan waktu 30, 60, dan 90 menit
b. Mengeringkan daging dalam oven pada suhu 110°C sampai diperoleh bobot
konstan
c. Sampel digerus dalam mortir
d. Menimbang serbuk sampel sebanyak 5 gram dan memasukkannya ke dalam
labu destilasi dan menambahkan beberapa batu didih
e. Menambahkan 40 ml HNO3 p dan 10 ml H2SO4 p secara hati-hati
f. Memanaskan larutan sampel sampai diperoleh larutan yang jernih
g. Mendinginkan larutan dan setelah dingin menambahkan 50 ml aquadest
h. Mengocok campuran sampai homogen, menyaringnya ke dalam labu ukur
100 ml dan mengencerkannya dengan aquadest sampai tanda
i. Mengukur filtrat dengan spektroskopi serapan atom
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Makalah ini menjelaskan tentang penelitian yang telah dilakukan pada
pengaruh penambahan EDTA pada penentuan kandungan timbal (Pb) dan tembaga
(Cu) pada kerang hijau (Mytilus viridis) yang menyebabkan terjadinya penurunan
kandungan logam tersebut. Satu bagian sampel didestruksi dengan 10 bagian
campuran asam. Asam yang digunakan adalah campuran 10 ml asam sulfat dengan
40 ml asam nitrat pekat. Selanjutnya hasil destruksi dianalisis dengan spektrometer
serapan atom dengan metode kurva kalibrasi.
Penentuan logam Pb dan Cu dalam kerang hijau di waduk Estuari Muara
Sungai Badung secara Spektroskopi Serapan Atom menggunakan metode kurva
kalibrasi diperoleh data:
Unsur Massa/kg sampel berat kering
Pb 28,6128-29,8442 mg
Cu 2,4239-2,8558 mg
Tabel 1. Konsentrasi Pb dan Cu dalam sampel berat kering ssebelum penambahan
EDTA
Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Bawa (1997) bahwa air
muara sungai Badung telah tercemar logam berat Pb, Cu, dan Cr.
Unsur Jumlah cemaran
Pb 0,16-0,66 mg/L
Cu 0,14-0,98 mg/L
Cr 0,09-0,59 mg/L
Tabel 2. Jumlah cemaran logam pada air muara sungai Badung
Sumber pencemaran ini dapat berasal dari limbah kegiatan pertanian, rumah
tangga, perbengkelan, industri garmen ataupun air limbah perkotaan lainnya yang
masuk ke Sungai Badung, sehingga menimbulkan pencemaran di sepanjang aliran
sungai badung dan muara sungai badung. Keadaan ini kemungkinan dapat
menyebabkan biota seperti kerang hijau dan organisme lain yang hidup di perairan
muara sungai badung juga dicemari logam berat Pb, Cu, dan Cr.
Perairan muara sungai badung dapat dikatakan telah terjadi akumulasi logam
berat Pb, dan Cu pada tubuh kerang hijau. Akumulasi logam berat ini terjadi, bila
pada waktu tertentu banyaknya logam berat yang diabsorbsi lebih besar dari yang
diekskresikan dari tubuh sampel. Pemasukan logam ini dapat terjadi antara lain:
bersama makanan yang mengandung logam berat, penyerapan dari air yang telah
tercemar, atau dari air yang dicerna melalui system pencernaan, sehingga konsentrasi
logam pada sampel lebih tinggi dari perairan muara sungai badung. Logam-logam ini
dapat menimbulkan efek penggandaan (magnification effect) pada konsumen
berikutnya sesuai dengan sistem rantai makanan dan akan sampai pada manusia jika
dikonsumsi oleh manusia.
Hasil analisis konsentrasi Pb dan Cu pada kerang hijau di Waduk Estuari
muara sungai badung ternyata sudah melampaui ambang batas untuk Pb dan Cu. Hal
ini berdasarkan keputusan Direktur Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (POM)
No. 0375/B/SK/VII/89 tentang batas maksimum cemaran logam pada makanan,
khususnya daging dan hasil olahannya. Batas konsentrasi Cu adalah 20,0 mg/kg
sedangkan logam Pb adalah 2,0 mg/kg. Berdasarkan hal ini maka kerang hijau tidak
layak lagi untuk dikonsumsi.
Oleh karena itu, diupayakan penurunan kadar logam Pb dan Cu dengan
penambahan EDTA 0,1 M. Setelah dilakukan perendaman dengan larutan EDTA 0,1
M pada pH 4 dengan waktu 30 menit ternyata dapat menurunkan konsentrasi Pb dan
Cu pada kondisi bersamaan.
Unsur Massa/kg sampel berat kering
Pb 27,3829-27,9988 mg
Cu 0,2579-0,6919 mg
Tabel 3. Konsentrasi Pb dan Cu dalam sampel berat kering setelah penambahan EDTA
Penurunan konsentrasi Pb dan Cu ini dapat disebabkan karena lepasnya ikatan
kompleks logam protein, sehingga ion-ion logam tersebut keluar dari dalam daging
kerang. Ion logam secara alamiah terdapat di dalam tubuh dan hampir semuanya
berikatan dengan protein. Interaksi kompleks antara ion logam dengan protein secara
metaloenzim dan metal protein. Metaloenzim adalah protein yang berikatan dengan
logam dalam tubuh atau protein berikatan secara kuat dengan ion logam membentuk
ikatan yang sangat stabil. Metal protein adalah protein yang berikatan dengan logam
dalam tubuh dan ion logamnya sendiri mudah saling bertukar dengan protein yang
lain. Kondisi larutan dengan pH rendah (asam) dapat menyebabkan ikatan logam
dengan protein yang tidak stabil melemah, akibatnya terjadi denaturasi sehingga
mudah putus. Sedangkan logam Pb dan Cu yang masih tertinggal dalam jaringan
tubuh kerang setelah perlakuan reduksi diduga karena adanya interaksi logam Pb dan
Cu yang terikat secara kuat dengan gugus sulfidril dari asam amino yang tidak dapat
diputus ikatannya karena bersifat stabil.
Berdasarkan konstanta kestabilan EDTA dengan Pb adalah 1,1x1018 dan
dengan Cu adalah 6,3x1018. Berdasarkan data tersebut bahwa Cu memiliki konstanta
lebih besar daripada Pb dan apabila ada sampel yang mengandung Pb dan Cu maka
EDTA akan membentuk kompleks yang lebih stabil dengan logam Cu daripada
kompleks Pb. Oleh karena itu konfigurasi electron Pb (5d106s26p2) menjadi Pb2+
dengan melepaskan 2 elektron sehingga membentuk 5d106s2 sedangkan Cu dengan
melepaskan 2 elektron menjadi Cu2+ sehingga terbentuk 3d94s0. Berdasarkan hal
tersebut maka pasangan electron dari EDTA lebih terikat kuat pada orbital d,
akibatnya EDTA mengikat Cu2+ lebih banyak.
Hasil penentuan kandungan Pb dan Cu dengan spektrofotometer serapan atom
ternyata logam Pb telah melampaui ambang batas yang diperbolehkan, mengingat Pb
merupakan salah satu logam beracun terhadap organisme. Hal ini disebabkan oleh
sifat akumulatif logam nonessential seperti Pb dalam jaringan tubuh kerang karena
sifat logam tersebut yang cenderung membentuk ikatan kompleks dengan bahan
organik. Tingginya kandungan Pb dalam jaringan tubuh kerang hijau tersebut karena
jenis organisme ini tidak dapat mengekspresikan dengan baik logam Pb, sehingga
akan terakumulasi terus-menerus dalam jaringan tubuh kerang hijau yang hidup di
Waduk Estuari Muara Sungai Badung, yang telah terkontaminasi Pb dengan
konsentrasi yang cukup tinggi.
Pb dapat masuk ke dalam tubuh kerang melalui rantai makanan, insang, dan
difusi permukaan kulit, dan akumulasi Pb dalam tubuh kerang hijau dapat terjadi
melalui proses absorbsi air, partikel, dan plankton. Di samping itu tingginya
konsentrasi Pb dalam jaringan tubuh kerang tidak terlepas dari tingginya kandungan
Pb di dalam air dan endapannya. Selain melalui sungai, keberadaan logam berat di
perairan juga dapat melalui udara, terutama unsur Pb yang digunakan dalam
campuran bahan bakar. Meningkatnya laju pembangunan di segala sektor saat ini
telah mengakibatkan meningkatnya pencemaran udara melalui emisi kendaraan
bermotor.
V. KESIMPULAN
1. Konsentrasi Pb pada kerang hijau berkisar 28,6128 mg/kg sampai 29,8442 mg/kg
sampel berat kering, sedangkan konsentrasi Cu berkisar antara 2,4239mg/kg
sampai 2,8558 mg/kg sampel berat kering.
2. Setelah direduksi dengan EDTA 0,1 M pada pH 4 selama 30 menit didapatkan
konsentrasi Pb turun dengan rentang 27,3829 mg/kg sampai 27,9988 mg/kg
sampel berat kering, sedangkan untuk Cu turun menjadi 0,2579 mg/kg sampai
0,6919 mg/kg sampel berat kering.
3. Persen penurunan Pb adalah 4,91% sedangkan % penurunan Cu adalah 84,32%.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Gandjar, I.G., dan Abdul R, 2010, Kimia Farmasi Analisis, 298-322, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta
Khopkar, S.M., 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik, 274-287, UI Press, Jakarta