31
MAKER-BUYER STRATEGIC ALLIANCES: AN INTEGRATED FRAMEWORK Chih-Pin Lin Department of Business Administration, Aletheia University, Tamshui, Taiwan, and Hsin-Mei Lin Department of International Business Studies, National ChiNan University, Nantou, Taiwan TugasMata Kuliah: Manajemen Pemasaran Dr. Ir. Budhi Satrio, M.M. Disusun oleh: Natalia Kurnia Toeera 9113 205 404 Muchlis 9113 205 406 Yuliana Wahyu Putri Utami 9113 205 407 Rendra Wijaya 9113 205 409 Magister Manajemen Teknologi Informasi Page | 1

Maker-buyer Strategic Alliences (an Integrated Framework)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Maker-buyer Strategic Alliences (an Integrated Framework

Citation preview

MAKER-BUYER STRATEGIC ALLIANCES:AN INTEGRATED FRAMEWORKChih-Pin LinDepartment of Business Administration, Aletheia University, Tamshui, Taiwan, andHsin-Mei LinDepartment of International Business Studies, National ChiNan University, Nantou, TaiwanTugasMata Kuliah:Manajemen PemasaranDr. Ir. Budhi Satrio, M.M.

Disusun oleh:

Natalia Kurnia Toeera9113 205 404Muchlis9113 205 406Yuliana Wahyu Putri Utami9113 205 407Rendra Wijaya9113 205 409

Magister Manajemen Teknologi InformasiInstitut Teknologi Sepuluh NopemberSurabaya-2015MAKER-BUYER STRATEGIC ALLIANCES:AN INTEGRATED FRAMEWORK

Chih-Pin LinDepartment of Business Administration, Aletheia University, Tamshui, Taiwan, andHsin-Mei LinDepartment of International Business Studies, National ChiNan University, Nantou, Taiwan

PENDAHULUANAbstrakTujuan - Meskipun teori parsial ada kontribusi untuk pemahaman ilmiah aliansi strategis, kurangnya kerangka kerja yang komprehensif untuk menjelaskan aliansi strategis sangat disayangkan. Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengembangkan suatu kerangka kerja yang terintegrasi untuk aliansi strategis pembuat-pembeli kinerja.

Desain / metodologi / pendekatan - Menggambar pada konsep embeddedness dikembangkan oleh Granovetter, makalah ini berpendapat bahwa pembuat-pembeli aliansi adalah tindakan ekonomi yang dimaksudkan untuk mengejar sinergi; Sementara itu, tindakan-tindakan ekonomi tertanam dalam konteks sosial.

Temuan - Makalah ini berpendapat bahwa tujuan ekonomi perusahaan yang masuk aliansi adalah untuk menggabungkan sumber daya mereka saling melengkapi untuk menciptakan sinergi. Untuk mencapai tujuan ini, manajer harus efisien mengelola masalah-masalah ekonomi yang terkait dengan aliansi tersebut, termasuk mencari mitra dengan sumber daya komplementer, mengalokasikan kegiatan bernilai tambah dengan benar, membangun rutinitas interorganisasional efisien, dan memperkenalkan tepat struktur pemerintahan. Selain itu, aliansi yang tertanam dalam konteks sosial mereka. Perusahaan dibatasi oleh lingkungan sosial mereka yang spesifik dan berperilaku sesuai, mempengaruhi kinerja mereka. Sulit bagi perusahaan untuk mengubah konteks di mana mereka tertanam kuat tanpa strategis niat. Konteks sosial di mana perusahaan yang tertanam juga dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif yang berkelanjutan atau merugikan.

Keterbatasan penelitian / implikasi - Beberapa implikasi manajerial dan arah penelitian masa depan disajikan.

Orisinalitas / nilai - Penelitian ini, dengan mengintegrasikan teori-teori ekonomi dan sosiologi menjadi kerangka kerja dan berfokus pada aliansi pembuat-pembeli, menggambarkan tidak hanya gambar penuh tetapi juga rincian yang diperlukan aliansi pembuat-pembeli untuk sarjana dan manajer praktis.

1. Latar Belakang

Penelitian ini mengembangkan suatu rerangka terintegrasi untuk kinerja aliansi strategis maker-buyer (pembuat-pembeli). Aliansi pembuat-pembeli adalahtindakan ekonomi yang dilakukan untuk mencapai sinergi dantindakan-tindakan ekonomi tersebut tertanam dalam konteks sosial yang unik. Studi sebelumnya yang memfokuskan pada aspek ekonomi (Subramani dan Venkatraman, 2003; Espino Rodr'guez dan Padro'n-Robaina, 2006; Zollo et al., 2002; Das dan Teng, 2000; Combs dan Ketchen, 1999; Joskow, 1987; Reuer dan Arino 2007; Wang dan Zajac, 2007) atau aspek sosial (Dacin et al, 2007;. Garcia-Pont dan Nohria, 2002; Podolny, 1994; Koka dan Prescott, 2002; Gulati, 1995; Gulati dan Gargiulo, 1999; Uzi, 1996; 1997; Xiaet al., 2008) dari aliansi strategis telah dikembangkan hanya teori parsial yang tidak sepenuhnya menggambarkan kompleksitas aliansi strategis aliansi. Sebaliknya, penelitian ini membangun sebuah rerangka terintegrasi yang mensintesis perspektif ekonomi, termasuk biaya transaksi ekonomi dan berbasis sumber daya, dan perspektif sosial perspektif, termasuk networksosial dan institusionalisme, untuk sepenuhnya menjelaskan aliansi strategis pembuat-pembeli dan kinerja mereka. Meskipun beberapa studi sebelumnya telah ditarik pada kedua perspektif, mereka tidak menggambarkan hubungan antara konstruk dari kedua perspektif (Dyer dan Singh, 1998; Gulati, 1998; Dyer, 1997; Dyer dan Chu, 2003; Chung et al., 2000). Rerangka penelitian studi ini juga membahas masalah ini.Kurangnya rerangka kerja yang komprehensif untuk menjelaskan untuk aliansi strategis sangat disayangkan. Sebagaimana Sullivan (1998) dan Van de Ven (1989) amati, penelitian terkini tentang bisnis dan manajemen telah mengalami "penyempitan visi," sehingga sedikit konstruksi atau variabel yang mampu meningkatkan daya ujinya. Meskipun teori parsial dengan variabel yang lebih sedikit dan metode empiris yang lebih ketat berkontribusi terhadap pemahaman tentang aliansi strategis, tanpa kerangka kerja yang komprehensif, masalah penelitian relevan selanjutnyatidak dapat dirumuskan (Sullivan, 1998), danmeskipun beberapa model aliansi strategis terintegrasi telah diusulkan (misalnya Borys dan Jemison, 1989; Wilson, 1995; Oliver, 1990; Varadarajan dan Cunningham, 1995; Sheth dan Parvatiyar, 1992; Dwyeret al., 1987; Anak dan Faulkner,1998), rerangka yang disajikan dalam penelitian ini menambah banyak pengetahuan dari aliansi strategis pembuat-pembeli. Terdapat beberapa kontribusi dalam studi ini. Pertama, studi ini mengintegrasi teori sosiologi dan teori ekonomi menjadi satu rerangka, dan aliansi strategis merupakan aktivitas ekonomi dalam konteks sosial. Banyak penelitian yang telah berusaha membangun terpadu model aliansi strategis terintegrasi dengan mengabaikan konteks sosial. Namun, penelitian ini mengusulkan, konteks sosial perlu dipertimbangkan karena berpengaruh signifikan terhadap aktivitas aliansi dan mungkin menjadi sumber keuntungan dan kerugian atas kompetitif yang berkelanjutan. Kedua, penelitian ini fokus pada satu aliansi yang spesifik yaitu aliansi strategis pembuat-pembeli, dalam rangka untuk membahas aliansi strategis secara lebih rinci. Beberapa penelitian berusaha untuk membangun model aliansi strategis terintegrasi atas teori-teori umum bukan untuk jenis yang lebih spesifik. Meskipun membantu untuk pemahaman konseptual, teori umum untuk semua jenis aliansi strategis akan begitu luas dan diskusi detail menjadi tidak mungkin sehingga penelitian ini fokus hanya pada aliansi strategis pembuat-pembeli. Dengan mengintegrasi perspektif ekonomi dan sosial ke dalam rerangka kerja dan fokus pada aliansi pembuat-pembeli, diilustrasikan dengan contoh-contoh seperti hubungan antara produsen Taiwan dan pembeli internasional, penelitian ini membantu para sarjana dan praktisi untuk melihat tidak hanya gambaran besar, tetapi juga memperoleh informasi yang detail dan unik mengenai aliansi strategis pembuat-pembeli.

2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana mengembangkan suatu rerangka terintegrasi untuk kinerja aliansi strategis maker-buyer (pembuat-pembeli). Rerangka integrasi yang dikembangkan mensintesis perspektif ekonomi dan perspektif social untuk menjelaskan aliansi strategis pembuat-pembeli dan pengaruhnya terhadap kinerja. Dasar pemikiran penelitian ini adalah adanya gap antara teori dengan praktik dalam hal beberapa penelitian sebelumnya telah mempertimbangkan kinerja aliansi strategis pembuat-pembeli dari perspektif ekonomi dan sosial namun kurang menggambarkan hubungan antara konstruk dari kedua perspektif tersebut.

Studi ini mengidentifikasi lima pertanyaan berikut:1. Secara umum, saya merasa puas dengan margin kotor pembeli tertentu.2. Keuntungan yang diharapkan dari pemesanan pembeli telah tercapai.3. Pembeli berperilaku oportunis, sehingga biaya kami meningkat atau harga kami yang tertekan.4. Persetujuan dan koordinasi dengan pembeli membutuhkan manusia dan sumber daya fisik.5. Secara keseluruhan, hubungan dengan pembeli puas

3. Teori Aliansi Strategis

Aliansi strategis merupakan hubungan bisnis formal berkelanjutan antara dua atau lebih organisasi independen yang dibentuk dengan tujuan mencapai tujuan bersama (Sheth dan Parvatiyar, 1992). Ini adalah antar-perusahaan yang relatif abadi pengaturan kerjasama, melibatkan arus dan hubungan yang menggunakan sumber daya dan/atau struktur pemerintahan dari otonomi organisasi untuk bersama-sama mencapai tujuan individu terkait dengan misi perusahaan masing-masing perusahaan yang mensponsori (Parkhe, 1993). Aliansi strategis juga dapat didefinisi sebagai perjanjian kerjasama secara sukarela antara perusahaan yang terlibat pertukaran, sharing, atau co-pengembangan, dan dapat mencakup kontribusi mitra untuk modal, teknologi, atau aset spesifik perusahaan (Gulati, 1998; Gulati dan Singh, 1998). Dalam kata-kata Williamsons (1985) kata-kata, aliansi strategis adalah bilateral atau struktur pemerintahan hybrid yang mengatur transaksi. Mereka tidak bergantung pada hubungan pasar Arms-length atau struktur hirarkis untuk mengatur pertukaran antara beberapa pihak. Aliansi strategis lebih kekal daripada arm'slength hubungan pasar dan memperkenalkan mekanisme pemerintahan daripada harga; Selain itu, mereka bukan menunjukkan hubungan hirarkis karena pihak-pihak yang terlibat dalam aliansi merupakan perusahaan independen. Perjanjian pembuat-pembeli antara produsen Taiwan produsen dan pembeli internasional umumnya merupakan aliansi strategis daripada perjanjian pasar armslength, dalam arti bahwa mereka melibatkan pertukaran kemampuan kedua perusahaan dalam cakrawala kerjasama lebih lama dari kesepakatan arm'slength, dan mengingat bahwa perjanjian lebih kompleks dan lebih membutuhkan koordinasi (Borys dan Jemison, 1989). Perjanjian pembuat-pembeli antara produsen Taiwanprodusen dan pembeli bukan merupakan hubungan yang hirarkiskarena pertukaran dan sharing sumber daya tidak lengkap dalam perusahaan tunggal.Seperti ditunjukkan dalam Gambar 1, kita akan membahas tujuan ekonomi darialiansi strategis pembuat-pembeli, masalah ekonomi utama dalam mencapai tujuan, dan konteks sosial di mana aktivitas ekonomi terjadi. Seperti terlihat pada level bawah Gambar 1, penelitian ini berpendapat bahwa perusahaan yang masuk ke dalam aliansi pembuat-pembeli memiliki tujuan ekonomi untuk menggabungkan sumber daya pelengkap untuk menciptakan sinergi. Untuk mencapai hal ini, manajer harus mampu mengelola secara efektif dan efisien masalah ekonomi yang berkaitan dengan aliansi.

P1.Tujuan aliansi strategis pembuat-pembeli adalah untuk mengkombinasi sumber daya pelengkap dari kedua belah pihak untuk menciptakan sinergi.

Menggambar pada teori jaringan dan institusionalisme, penelitian ini mengidentifikasi tiga konteks yang relevan di mana aliansi antara perusahaan manufaktur dan pembeli: 1. embeddedness struktural, 2. relasional embeddedness, 3. dan jenis-jenis kelembagaan embeddedness, seperti yang ditunjukkan dalam tingkat atas Gambar 1. 4. Meskipun dibatasi oleh embeddedness, perusahaan juga dapat memodifikasi konteks di mana mereka tertanam; konteks ini dimodifikasi sehinga dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif (Dacin et al, 1999;.. Gulati et al, 2000). Namun, seperti yang dikatakan kemudian, itu adalah tugas yang sulit untuk memodifikasi konteks sosial di mana aliansi yang tertanam.

Granovetter (. 1985, hal 487) dengan demikian berpendapat: "[Aktor ekonomi '] upaya tindakan yang disengaja yang menanamkan konteks hubungan sosial yang konkrit.

Penelitian ini mengadopsi paradigma Granovetter, dengan alasan bahwa aliansi adalah kegiatan yang bertujuan untuk mengejar tujuan ekonomi sinergi sementara pada saat yang sama menanamkan konteks sosial, mereka tidak berusaha untuk membangun kerangka kerja yang komprehensif.

Gambaran perspektif ekonomi dari aliansi, seperti resource-based view (RBV) dan transaction cost economics (TCE), studi ini mengidentifikasi 4 (empat) tantangan ekonomi utama bagi perusahaan yang masuk dalam aliansi pembuat-pembeli:

1. Mencari mitra yang memiliki sumber daya komplementer2. Mengalokasi aktivitas bernilai tambah secara benar3. Membangun rutinitas interorganisasional yang efisien4. Memperkenalkan struktur tata kelola yang baik, seperti digambarkan dalam level tengah Gambar 1.

P2.Mengalokasi aktivitas bernilai tambah sesuai dengan keuntungan absolut atau kapabilitas relatif perusahaan akan meningkatkan kelengkapan sumber daya pada penciptaan sinergi.P3. Investasi dalam rutinitas interorganisasional yang efisien akan meningkatkan pengaruh kelengkapan sumber daya pada penciptaan sinergi.P3a. Investasi dalam rutinitas interorganisasional yang efisien akan meningkatkan pengaruh kelengkapan sumber daya pada penciptaan sinergi.P3b. Investasi dalam rutinitas interorganisasional informasi/pengetahuan akan meningkatkan pengaruh kelengkapan sumber daya pada penciptaan sinergi.

Selain itu, penelitian ini berpendapat bahwa aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan aliansi tidak dikelola dalam ruang hampa, tetapi lebih tertanam dalam konteks sosial mereka. Perusahaan yang dibatasi oleh lingkungan sosial spesifik dan berperilaku yang sesuai akan mempengaruhi kinerja mereka. Perusahaan yang berperilaku sama tidak akan melakukan hal yang sama jika mereka tertanam dalam konteks yang berbeda.

Berdasar teori jaringan dan institusionalisme, penelitian ini mengidentifikasi tiga konteks yang relevan di mana aliansi antara perusahaan manufaktur dan pembeli terlibat: keterlibatan struktural, keterlibatan relasional, dan jenis-jenis keterlibatan kelembagaan, seperti yang ditunjukkan dalam level atas Gambar 1. Meskipun ada pembatasan, perusahaan juga dapat memodifikasi konteks di mana mereka terlibat dan konteks modifikasi dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif (Dacin et al, 1999; Gulati et al, 2000). Namun, merupakan adalah tugas yang sulit untuk memodifikasi konteks sosial di mana aliansi terlibat. Meskipun berbagai rerangka teoritis telah digunakan dalam mempelajari aliansi pembeli-pemasok, mereka fokus pada aspek ekonomi (seperti TCE dan RBV) atau sosial aspek (seperti institusionalisme dan teori jaringan). Terdapat sedikit upaya untuk mensintesis dua aspek, tetapi hanya sedikit contoh yang ada yaitu Gulati et al. (2000), Dyer dan Singh (1998), dan Gulati (1998). Dalam Granovetter (1985, 1992) kata, penelitian yang fokus hanya pada aspek ekonomi dari aliansi pembeli-pemasok yang "undersocialized" atau "atomized," dalam keputusan aliansi digambarkan dalam ruang hampa dan tidak dipengaruhi oleh konteks sosial.

P4. Derajat spesifikasi aset dan hazard transaksi akan meningkatkan efisiensi investasi rutinitas interorganisasional.P5a. Penggunaan mekanisme tata kelola formal dan informal akan meningkatkan derajat spesifikasi aset dan hazard transaksi.P5b. Kesesuaian antara mekanisme tata kelola dan hazard transaksi berhubungan secara positif terhadap penciptaan sinergi.P6. The likelihood of a firm finding partners withcomplementary resources increases with firmcentrality.P7. Derajat hazard transaksi persepsian meningkatkan menurun ketika relational embeddedness meningkat.P8. Keengganan perusahaan untuk investasi dalam rutinitas interorganisasional yang efisien akan meningkatkan derajat relational embeddedness.P9a. Untuk memperoleh legitimasi pasar US, Japanese, and EU markets, perusahaan pemanufakturan pada negara industri yang baru akan lebih menyukai kerjasama OEM, ODM, or EMS agreements daripada kerjasama OBM.P9b. Untuk memperoleh legitimasi secara domestik. To gain legitimacy domestically,perusahaan pemanufakturan pada negara industri yang baru akan lebih menyukai kerjasama OBM daripada OEM, ODM, dan EMS.P10. Struktur tata kelola aliansi menjadi kurang optimal ketika pengalaman perusahaan aliansi kurang.

Gambar 1An integrated framework for maker-buyer strategic alliances

Tujuan aliansi strategis adalah menggabungkan sumber daya komplementer kedua belah pihak untuk menciptakan sinergi. Ketika sinergi diciptakan, tidak hanya akan hubungan kinerja yang membaik, tapi kinerja perusahaan secara sukarela masuk ke dalam aliansi hubungan akan meningkat juga, jika mekanisme tata kelola yang benar dirancang untuk memastikan bahwa manfaat dibagi sesuai rencana. Menurut Porter (1985), kemampuan untuk melakukan kegiatan sepanjang rantai nilai yang komplementer. Selanjutnya, menurut RBV, menggabungkan sumber daya komplementer dan kemampuan menciptakan sinergi (Das dan Teng, 2000;. King et al, 2003). Sinergi muncul ketika nilai yang diciptakan oleh produksi bersama dua perusahaan melebihi jumlah dari nilai yang diciptakan oleh dua independen operasi perusahaan (Das dan Teng, 2000; Copeland dan Weston, 1988). Sinergi juga dapat digambarkan sebagai:

VAB menunjukkan nilai yang diciptakan oleh produksi bersama dua perusahaan. VA dan VB merupakan nilai yang diciptakan secara independen oleh perusahaan A dan perusahaan B, masing-masing.

Sebagai contoh, perusahaan dengan kemampuan manufaktur tidak dapat berhasil tanpa mengakses kemampuan pemasaran. Agar berhasil, mereka harus belajar produk apa yang ingin dibeli pelanggan dan bagaimana cara untuk menjual produk tersebut. Dell, Hewlett-Packard, dan pembeli internasional lainnya memiliki kemampuan pemasaran di personal industri komputasi, sementara produsen Taiwan memiliki kemampuan manufaktur dalam industri ini. Saat ini, 80 persen komputer laptop yang diproduksi oleh Taiwan perusahaan dan dipasarkan terutama oleh pembeli internasional mereka, termasuk Dell, Hewlett-Packard, dan Apple (Hitt et al., 2007).

Perusahaan manufaktur dapat menggabungkan sumber daya dengan mengakuisisi kemampuan pemasaran melalui merger dan akuisisi atau aliansi belajar (Barney, 1986; McEvily dan Marcus 2005; Wernerfelt, 1984; Wang dan Zajac, 2007), tetapi metode tersebut biasanya terlalu mahal karena birokrasi hasil dari pertumbuhan organisasi dan kompleksitas (Williamson, 1985), dan karena fleksibilitas menurun sedemikian cepat berubah pasar (Buckley dan Casson, 1998; Kogut, 1991).

Misalnya, pada tahun 2004, Dell, Apple, dan Gateway outsourcing 100 persen manufaktur komputer laptop mereka. Sebaliknya, IBM outsourcing hanya 40 persen dari laptop bisnis, menjaga 60 persen in house; kehilangan uang dan menjual bisnis laptop ke Lenovo, perusahaan Cina PC terkemuka (Hitt et al., 2007).

3. Analisis dan Pembahasan

Masalah Ekonomi dalam Penerapan Aliansi Strategis Mencapai suatu sinergi dalam sebuah perusahaan tidak sesederhana memutuskan untuk melakukan aliansi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa dalam melakukan aliansi sebuah perusahaan harus memiliki partner kerja yang dapat saling mengisi dalam hal resources, pengalokasianaktivitas value-added, membangun rutinitas yang efisien dalam organisasi, serta memperkenalkan mekanisme tata kelola yang tepat dalam menghadapi resiko saat melakukan transaksi.

Pengalokasian Aktivitas Value-addedTantangan pertama yang akan dihadapi oleh suatu perusahaan setelah masuk ke dalam aliansi yaitu pembagian aktivitas value-added. Aktivitas value-added termasuk branding, penentuan produk, desain, produksi, logistik, pemasaran, dan service. Ketika perusahaan berfokus pada seluruh kegiatan produksi dan pembeli bertanggung jawab pada aktivitas yang lain, maka berlaku kontrak original equipment manufacturing (OEM), seperti halnya pada perusahaan Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC) dan United Microelectonics Corporation (UMC).Ketika perusahaan bertanggung jawab tidak hanya pada proses produksi tapi juga dalam proses penentuan produk dan desain, maka berlaku persetujuan original design manufacturing (ODM), seperti halnya pada aliansi antara Quanta dan pembelinya, dan Pou Chen dan pembelinya.Electronic manufacturing service (EMS) menggambarkan sebuah persetujuan, misalnya aliansi antara Foxconn dan pembelinya, dimana perusahaan manufaktur bertanggung jawab dalam hal produksi, logistik, dan service dalam industri elektronik. Own-brand manufacturing (OBM) mengindikasikan persetujuan jika produsen bertangguna jawab dalam hala branding, desain, produksi, dengan kemungkinan pemilihan produk dan service tidak termasuk dalam tanggung jawab produsen, seperti halnya pada aliansi antara Acer dan BenQ dengan pembeli produk mereka masing masing.Menurut Espino-Rodriguez dan Padron-Robaina (2006), untuk membangun suatu sinergi dalam perusahaan, aktivitas value-added harus dialokasikan sesuai dengan kemampuan masing masing. Menurut Varadarajan dan Cunningham (1995), dalam setiap tahap tertentu setiap partner kerja harus fokus pada bagian yang merupakan kemampuan mereka masing masing sehingga dapat memberikan kontribuasi yang besar dalam mencapai sinergi dalam perusahaan.Contohnya, sebuah perusahaan manufaktur tanpa brand yang kompetitif yang masuk ke dalam aliansi OBM tidak akan sukses dalam jangka waktu yang pendek, walaupun dalam jangka waktu yang panjang perusahaan ini dapat mengakumulasikan brand resources melalui aktivitas dalam OBM. Mengakumulasikanbrand resources kemudian melakukan aktivitas OBM bukan merupakan alternatif yang bagus , karena organisasi tersebut akan menjadi semakin kompleks dan kurang fleksibel dalam mengintegrasikan branding dan proses produksi.Gambar 1 menindikasikan bahwa pengalokasian value-added memberikan efek yang cukup dalam rangka saling melengkapi resources demi tercapainya sinergi dalam perusahaan. Bahkan, jika dua perusahaan memiliki resources yang dapat saling melengkapi, aliansi ini tidak akan dapat mencapai sinergi jika aktivitas value-added tidak dialokasikan sesuai dengan kemampuan masing masing. Jika sebuah perusahaan manufakturdengan kemampuan memproduksi yang tinggi tapi tidak memiliki brand yang kompetitif masuk ke dalam aliansi OBM dan bertemu dengan perusahaan pembeli yang memiliki nama brand yang kompetitif, maka sinergi tidak akan tercapai karena pembeli tidak memberikan kontribusi resources, misalnya nama brand.

P2.Mengalokasikan aktivitas value-added sesuai dengan keuntungan dan kemampuan dapat meningkatkan efek dari pertukaran resource agar dapat saling melengkapi dalam rangka menciptaka sinergi.

Membangun Rutinitas Inter-organisasi yang EfisienTantangan kedua yang dihadapi perusahaan dalam melakukan aliansi yairu membangun rutinitas yang efisien dengan setiap partner aliansi. Rutinitas inter-organisasi dapat didefinisikan sebagai pola interaksi internasional yang mengizinkan organisasi untuk saling transfer, komninasi, atau membangun sebuah produk, komponen, informasi, dan pengetahuan (Grant, 1996). Rutinitas inter-organisasi merepresentasikan proses dan saluran yang dilembagakan untuk mengkombinasikanresource dari perusahaan yang berbeda agar dapat menciptakan sinergi.Membangun sebuah sinergi yang baik membutuhkan pembangunan rutinitas inter-organisasi yang efisien. Dalam aliansi antara sebuah perusahaan mobil dengan supplier tempat duduk, supplier akan membangun sebuah pabrik yang berlokasi dekat perusahaan mobil tersebut, karena jarak yang jauh tentu memakan lebih banyak biaya dandengan jarak yang dekat maka rutinitas inter-organisasi dapat lebih efisien (Dyer, 1997). Sebuah perusahaan produsen asal Taiwan, membangun pabrik yang berlokasi dekat dengan pembelinya di Houston, Texas, dan Inchinnan, Scotland, sehingga rutinitas inter-organisasi dalam hal pengiriman barang lebih efisien dibanding dengan harus mengirimkan dari Taiwan atau China. Perusahaan produsen asal Taiwan lainnya yaitu Mitac, menerapkan aturan 983, dimana sebanyak 98% dari produk harus terkirim ke pembeli dalam waktu 3 hari. Untuk dapat memenuhi aturan 983 tersebut, mereka membangun 15 pabrik (hub)di UK, USA, France, Belgium, China, dan Japan. Sistem just-in-time (JIT) juga merupakan rutinitas inter-organisasi, dimana sistem ini secara signifikan mengurangi biaya inventori dalam value chain (Subramani dan Venkatraman, 2003).Rutinitas inter-organisasi informasi dan pengetahuan yang efisien juga sangat penting untuk diperhatikan dalam mencapai sinergi. Alasan yang pertama, Pertukaran informasi dan pengetahuan dapat menfasilitasi rutinitas produk. Sistem EMS dan JIT, keduanya membutuhkan pertukaran informasi dan pengetahuan yang real-time antara supplier dan buyer. Alasan kedua, perusahaan produksi dan perusahaan marketing memiliki informasi dan pengetahuan tersendiri yang dapat saling melengkapi. Perusahaan marketing memiliki informasi dan pengetahuan tentang pasar dan kebutuhan pelanggan. Sedangkan perusahaan produksi memiliki pengetahuan tentang struktur biaya dan kondisi supply-side lainnya. Ketika pengetahuan antara keduanya digabungkan, maka perusahaan dapat dengan efektif merespon perubahan pasar ataupun supply-side tanpa membutuhkan trial and error, yang secara signifikan dapat mengurangi biaya dalam peramalan error tersebut (Uzzi, 1996, 1997). Meskipun saat ini kemajuan teknologi internet dan komunikasi sudah sangat membantu dalam proses interaksi, namun berinteraksi dengan bertemu secara langsung (face-to-face) juga sangat penting. Hal ini juga dilakukan oleh Toyota yang mengirimkan pegawainya, baik pegawai tetap maupun tidak tetap untuk berkomunikasi secara langsung dengan suppliers (Dyer dan Singh, 1998).Rutinitas inter-organisasi adalah proses dan saluran yang dilembagakan untuk menggabungkan resource yang komplementer. Investasi dalam rutinitas inter-organisasi yang efisien, memfasilitasi proses penggabungan resource yang komplementer sehingga dapat meningkatkan efek dari saling melengkapi resource dalam proses pembangunan sinergi.

P3.Investasi dalam rutinitas inter-organisasi yang efisien dapat meningkatkan efek dari pertukaran resource yang saling melengkapi dalam rangkan menciptakan sinergi.P3a.Investasi dalam rutinitas inter-organisasi produk yang efisien dapat meningkatkan efek dari pertukaran resource yang saling melengkapi dalam rangkan menciptakan sinergi.P3b.Investasi dalam rutinitas inter-organisasi informasi / pengetahuan yang efisien dapat meningkatkan efek dari pertukaran resource yang saling melengkapi dalam rangkan menciptakan sinergi.

Rutinitas Inter-organisasi yang Efisien Meningkatkan Bahayadalam BertransaksiAliansi strategismaker-buyer dapat meningkatkan bahaya dalam malakukan transaksi. Berdasarkan transaction cost beconomic (TCE), perusahaan yangberinvestasi pada aset yang spesifik mengarah pada bahaya perilaku oportunistik dari partnernya (Williamson, 1979, 1985, 2005; Klein et al., 1978).Williamson mengkategorikan kekhususan aset menjadi physical asset specificity, site specificity, dan human asset specificity. Pada contoh kasus sebelumnya, yaitu dalam aliansi antara perusahan produksi mobil dan supplier tempat duduku (seat), walapun membangun pabrik didekat perusahaan produksi mobil tersebut merupakan sesuatu rutinitas yang efisien, supplier mengalami kesulitan terkait dengan site specificity, seperti tempat duduk yang disuplai susah untuk didistribusikan kepada perusahaan produksi mobil lainnya. Dalam aliansi EMS, membangun sebuah pabrik segabai hub dedikat buyer merupakan investasi dengan site specificity yang baik. Mengintegrasikan perusahaan kedalam sistem JIT, meskipun dapat mengurangi biaya inventori namun berdampak pada physical asset specificity, site specificity, dan human asset specificity, serta bahaya dalam bertransaksi (Subramani dam Venkatraman, 2003). Membangun rutinitas pertukaran informasi dan pengetahuan inter-organisasi yang efisien juga melibatkan investasi dalam asset tertentu khusunya human asset specificity.

P4. Derajat kekhususan aset dan bahaya transaksi meningkat dengan adanya investasi dalam efisiensi rutinitas inter-organisasi.

Faktor ketidakpastian juga dapat meningkatkan bahaya dalam bertransaksi. Ketidakpastian datang dari berbagai sumber dalam aliansi (Kumar and Seth, 1998; Geyskens et al., 2006; Wolter and Veloso, 2008) : Perubahan teknologi yang dramatis dan tidak dapat diprediksi Perubahan permintaan pasar yang tidak dapat diprediksi Goncangan supply-side yang tidak dapat diprediksi Perilaku ketidakpastian atau derajat dimana kontribusi atau performance dari partner aliansi tidak dapat diukur Perubahan dalam kompetisi Perubahan regulasi

Memperkenalkan Struktur Tata Kelola yang TepatMekanisme tata kelola harus dibuat untuk mengelola bahaya transakasi yang dihasilkan dari asset specificity dan ketidakpastian. Tidak ada mekanisme tata kelola yang sempurna baik yang formal (kotrak formal) maupun yang tidak formal (kepercayaan, penggunaan informasi secara bersama). Kotrak formal adalah mekanisme tata kelola yang sempurna dalam menangani bahaya transaksi ketika segala kemungkinan dimasa yang akan datang dapat diantisipasi dan ketentuan kontrak dapat dijalankan tanpa adanya biaya.Namun, tidak semua kemungkinan dimasa yang akan datang dapat diprediksi, terlebih jika terdapat faktor ketidakpastian. Intinya, dalam dunia nyata kontak formal adalah mekanisme tata kelola yang tidak sempurna, dan mekanisme lain harus dijalankan secara simultan untuk mengelola aliansi secara efektif.Ketika buyer berinvestasi pada aset yang spesifik, maka secara otomatis buyer tersebut telah terikat dalam hubungan aliansi tersebut.Walpun suatu saat produk yang diproduksi oleh perusahaan produsen mengecewakan perusahaan pembelinya (buyer), buyertetap tidak akan beralih ke supplier yang lain, karena alasan biaya dalam membangun hubungan aliansi yang baru.Ketika perusahaan memiliki masalah dengan aliansinya terkaitsaham, maka motivasi perusahaan tersebut untuk meraup keuntungan dari partner berkurang karena itu dapat menyebabkan harga dari saham tersebut turun.Sehingga, mekanisme tata kelola dengan berusaha menahan atau memegang saham dari partner aliansi adalah tidak baik. Ini dapat mengakibatkan partner stock akan mencari informasi mengenai anggota aliansi yang lain dan membentuk sebuah kesepakatan untuk melawan perusahaan ini.Kepercayaan, pengiriman informasi, dan bergabung dalam memecahkan masalah (problem-solving) adalah mekanisme tata kelola informal yang sangat penting. Jika perusahaan memiliki informasi yang memadai, maka perusahaan tersebut dapat membedakan partner mana yang oportunistik dan mana yang tidak, sehingga dapat mengurangi bahaya transaksi.Penggunaan informasi secara bersama dapaty meningkatkan kepercayaan anatara anggota aliansi dan mengurangi bahaya transaksi. Kepercayaan adalah sebuah keputusan untuk bergantung pada yang lain dengan mengambil segala kemungkinan resiko. Kepercayaan dan pengiriman informasi dalam aliansi dapat meningkatkan joint problem-solving, sebuah mekanisme tata kelola yang lain. Dengan joint problem-solving, perusahaan dapat memperoleh informasi tentang partner aliansinya beserta rutinitas yang dapat menghancurkan perusahaan.Semakin besarnya bahaya transaksi disebabkan oleh asset specificity, dan banyaknya mekanisme tata kelola formal dan tidak formal yang diterapkan. Mekanisme tata kelola yang diterapkan harus disesuaikan dengan derajat asset specificity dan bahaya transaksi.

P5a.Penggunaan mekanisme tata kelola yang formal dan tidak formal meningkat dengan adanya peningkatan derajat asset specificity dan bahaya transaksiP5b.Kesesuaian antara mekanisme tata kelola dan bahaya transaksi berelasi secara positif dalam pembangunan sinergi

Masalah Kemelekatan/Keterlekatan dalam Aliansi StrategisDacin (1999) mengatakan bahwa aktivitas ekonomi seperti aliansi strategis, tidak dapat diuraikan, tapi dilekatkan pada struktur sosial yang lebih luas. Definisi keterlekatan yang lebih luas dikatakan oleh Zukin dan DiMaggio (1990) adalah kemingkinan aktivitas ekonomi dalam pengertian budaya, struktur sosial, dan lembaga politik. Granovetter (1992) mengemukakan bahwa keterlekatan (embeddedness) mengarah pada fakta bahwa aksi ekonomi beserta akibatnya dipengaruhi oleh aktor dan struktur jaringan dalam relasi tersebut.Berdasarkan konsep keterlekatan ini, maka diidentifikasi terdapat tiga kategori dari konteks sosial dimana aliansi maker-buyer dilekatkan, yaitu keterlekatan struktural (structurel embeddedness), keterlakatan relasional (relationalembeddedness), dan keterlekatan institusional (institutional embeddedness).

Keterlekatan Struktural (Structural Embeddedness)Keterlekatan secara struktural menggambarkan fakta bahwa aksi aksi ekonomi dipengaruhi oleh struktur dari jaringan sosial dimana aksi aksi ekonomi itu terletak. Keterlaketan secara struktural dapat mempengaruhi ketersediaan informasi saat keputusan dibuat. Pengambialan keputusan dalam perusahaan dibatasi oleh rasionalitas yang dibatasi dari kumpulan informasi. Perusahaan tidak dapat bergabung dengan aoliansi dimana partner aliansinya tidak mereka kenal. Pertalian hubungan dengan partner dapat digunakan untuk menggali informasi tetang partner tersebut sehingga informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan evaluasi apakah partner tersebut memiliki resource yang dapat saling melengkapi dengan resource yang sudah ada. Bahkan pertner tersebut dapat memperkenalkan partner lainnya yang berpotensi memiliki resource yang komplementer dengan perusahaan. Semakin banyak jumlah asosiasi yang dimiliki, semakin besar pula akses informasi terkait partner aliansi. Jumlah asosiasi dengan perusahaan lain dapat dikatakan sebagai derajat pemusatan dari perusahaan, yang berarti derajat dimana perusahaan menjadi inti dari jaringan asosiasi tersebut. Pemusatan atau sentralitas menjadi ukuran yang penting dalam keterlekatan struktural. Konsekuensinya, semakin tinggi derajat sentralitas, maka semakin banyak ketersediaan informasi terkait partner aliansi dan semakin besar kemungkinan perusahaan akan menemukan partner dengan komplementer resource.

P6.Kemungkinan perusahaan menemukan partner dengan komplementer resource meningkat dengan adanya sentralitas perusahaanKeterlekatan Relasional (Relational Embeddedness)Keterlekatan relasional mengarah pada pengaruh dari hubungan diadik dalam aksi aksi ekonomi. Tiga mekanisme utama dalam keterlekatan relasional yang mempengaruhi aktivitas aliansi, yaitu : kepercayaan, pengiriman informasi fine-grained, dan joint problem-solving (Uzzi, 1996, 1997; Kale et al., 2000; Coleman, 1998; McEvily and Marcus, 2005).Kepercayaan dapat dihargai sebagai mekanisme tata kelola yang tidak formal yang dapat mengurangi perhatian kepada perilaku oportunistik. Pengiriman informasi dapat mengurangi informasi yang asimetri. Dengan mengimplementasikan joint problem-solving perusahaan dapat turut campur tangan dalam keputusan dari partner aliansi.

P7.Derajat bahaya transaksi yang dirasakan menurun seiring meningkatnya keterlekatan relasional

Keterlekatan secara relasional juga memfasilitasi pembangunan rutinitas inter-organisasi yang efisien. Tanpa adanya kepercayaan dan pertukaran informasi antara partner aliansi, perusahaan tidak akan berinvetasi pada aset spesifik yang lebih efisien dan lebih sinergi, tapi juga lebih berbahaya karena ketidaksempurnaan kontrak formal sebagai mekanisme tata kelola.Kotabe et al., (2003) menemukan bahwa lamanya kolaborasi yang terjadi antara perusahaan produksi dan supplier terjadi karena adanya tingkat kepercayaan yang tinggi antara keduanya dan adanya penggunaan informasi secara bersamaan, sehingga menungkinkan investasi yang lebih besar dalam rutinitas inter-organisasi serta performa yang lebih baik dalam hal penggunaan teknologi.

P8.Kesediaan perusahaan untuk melakukan investasi dalam rutinitas inter-organisasi yang efisien meningkat dengan derajat keterlekatan secara relasional

Keterlekatan Institusional (Institutional Embeddedness)Perusahaan juga dilekatkan dengan konteks institusional. Keterlekatan secara institusi ini mengarah pada fakta bahwa aksi aksi ekonomi dilekatkan pada lingkungan sosial perusahaan yang unik, baik lingkungan eksternal maupun internal, termasuk struktural, politikal, kultural, dan konteks kognitif. (Dacin et al., 1999; DiMaggio and Powell, 1983; Zukin and DiMaggio, 1990).

Lingkungan Sosial EksternalLingkungan sosial eksternal memberikan pengaruh yang kuat dalam aktivitas aliansi, terutama dalam aktivitas pengalokasian value-added. Perusahaan membutuhkan legitimasi untuk dapat mengakses pasar. Namun, perusahaan produksi dari negara industri yang baru seperti Taiwan biasanya relatif tidak diketahui.Perusahaan seperti ini kurang memiliki legitimasi untuk dapat mengakses pasar utama misalnya di USA, Japan, dan Europe. Aliansi dengan perusahaan global dan lokal dengan adanya legitimasi dan reputasi brand pada pasar yang seperti ini memiliki solusi, yaitu perusahaan yang berasal dari negara industri baru seperti halnya Taiwan dapat memilih persetujuan (agreement) OEM, ODM, atau EMS daripada OBM.Di sisi lain, mendapatkan legitimasi dari negara sendiri dan untuk mengakses human resources, finacial resources, dan dukungan dari stakeholders, perusahaan dapat memilih persetujuan OBM daripada OEM atau ODM, atau EMS

P9a.Untuk mendapatkan legitimasi di pasar US, Japan, dan Europe, perusahaan yang berasal dari negara industri yang baru akan lebih memilih persetujuan OEM, ODM, atau EMS daripada persetujuan OBMP9b.Untuk mendapatkan legitimmasi domestik, perusahaan yang berasal dari negara industri yang baru akan lebih memilih persetujuan OBM daripada persetujuan OEM, ODM, dan EMS

Lingkungan Sosial InternalLingkungan internal dri perusahaan memberikan penagruh yang signifikan dalam aktivitas aliansi. Proses kognitif memaksa kemampuan perusahaan untuk mengejar rasionalitas ekonomi. Proses kognitif memberikan dampak terutama pada pemilihan struktur tata kelola. Keterbatasan kognitif membawa perusahaan untuk memilih struktur tata kelola yang memuaskan daripada struktur yang optimal.Selama struktur tata kelola yang ada saat ini masih memuaskan atau terasa masih cukup, maka perusahaan tidak akan mencari struktur yang lebih baik. Adanya rasionalitas yang dibatasi juga membatasi pembuat keputusan untuk mengevaluasi struktur tata kelola dengan efisien. Dalam melakukan aliansi, perusahaan membutuhkan kemampuan untuk mendesain kontrak aliansi yang sesuai dengan atribut transaksi (Argyres and Mayer, 2007) Perusahaan perlu meningkatkan pengalaman dalam mengelola aliansi strategis. Kemampuan dalam mendesain kontrak aliansi dapat dicapai dengan meningkatkan pengalaman dalam melakukan aliansi. Penelitian menunjukkan bahwa, saat perusahaan mengumumkan sebuah aliansi baru, harga saham dari perusahaan yang memiliki pengalaman dalam aliansi lebih banyak cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang kurang berpengalaman dalam melakukan aliansi.

P10.Struktur tata kelola aliansi menjadi kurang optimal seiring dengan kurangnya pengalaman aliansi dari perusahaan

Keterlekatan Sebagai Sebuah Keuntungan dapat DipertahankanAliansi maker-buyer adalah perilaku ekonomi yang mengkombinasikan resources yangkomplementer dan kemampuan yang dimiliki oleh dua atau lebih partner aliansi, untuk membangun sinergi sehingga dapat meningkatkan performa perusahaan. Keterlekatan (embeddedness) dapat dianggap sebagai sebuah resources strategis yang menjelaskan keuntungan perusahaan yang dapat dipertahankan. Sentralitas perusahaan yang dibahas seblumnya merupakan sebuah keuntungan kompetitif yang dapat dipertahankan dan sulit untuk diikuti oleh kompetitor. Tingginya derajat sentralitas memberikan kemungkinan yang lebih besar bahwa perusahan tersebut akan memasuki aliansi baru (Gulati and Gargiulo, 1999; Gulati, 1999; Tsai, 2000). Dengan kata lain, sentralitas merupakan jalan gantung dan sulit ditiru oleh kompetitor dengan derajat sentralitas rendah.Keterlekatan secara relasional juga sulit untuk ditiru kompetitor. Semakin tinggi mutu kepercayaan antara dua perusahaan, maka semakin besar kemungkinan mereka akan membangun aliansi baru. Keterlekatan kognitif adalah keuntungan kompetitif lainnya yang dapat dipertahankan. Kompetitor dengan pengalaman aliansi yang kurang tidak dapat meniru kemampuan kognitif dari perusahaan yang memiliki pengalaman aliansi lebih banyak.Intinya, mengelola aliansi strategis melibatkan empat tugas utama, yaitu : mencari partner yang memiliki resource komplementer, mengalokasikan aktivitas value-added, membangun rutinitas inter-organisasi yang efisien, dan menerapkan struktur tata kelola yang memadai dan efisien. Namun, performa dari setiap perusahaan tidak akan sama karena setiap perusahaan mungkin melekat pada konteks sosial yang berbeda sehingga menghasilkan level performa yang berbeda beda. Perbedaan performa ini akan terus bertahan karena keterlekatan (embeddedness) sangat susah ditiru atau diikuti oleh kompetitor. Tanpa maksud strategis yang kuat, mengubah lingkungan dimana perusahaan tersebut dilekatkan melalui perilaku strategis adalah sesuatu yang sulit dilakukan.

4. Kesimpulan dan Penutup

Dalam dunia bisnis saat ini, hubungan antara perodusen dengan pembeli tingakat menengah (intermediate buyer) sangat kurang diperhatikan dan dikelola baik oleh pure market, maupun menggunakan mekanisme tertentu.Partners dalam aliansi strategis berinvestasi dalam rutinitas inter-organisasi yang efisien yang tidak mungkin dapat dilakukan dalam hubungan dengan pasar. Aliansi strategis juga menjaga otonomi dari dua atau lebih perusahaan, mempertahankan rangsangan high-power dan fleksibilitasbagi partner perusahaan, dan menghindari kegagalan hirarki. Manajer dapat mengalamatkan bahaya terkait investasi pada rutinitas inter-organisasi dengan memperkenalkan banyak mekanisme tata kelola yang telah teridentifikasi sebelumnya pada penelitian ini, termasuk didalamnya kontrak formal, memegang saham bersama, kepercayaan, penggunaan informasi secara bersama, dan joint problem-solving. Perusahaan harus memelihara hubungan jangka panjang dengan salah satu atau banyak partner dengan cara melakukan investasi pada rutinitas inter-organisasi yang efisien, tetap menjaga hubungan baik dengan potensial partner lainnya, untuk dapat mengakses pasar dan informasi dari partner lainnya. Seperti pada contoh sebelumnya dimana supplier tempat duduk (seat) yang membangun pabrik didekat perusahaan produksi mobil. P6 dan P8 menunjukkan bahwa perusahaan harus meningkatkan derajat sentralitasnya untuk menemukan lebih banyak partner. Terkadang manajer diperusahaan produsen menghadapi dilema dalam menentukan apakah akan fokus pada kebutuhan buyer tertentu, atau memproduksi untuk banyak buyer. Untuk masalah ini, penelitian ini menyarankan untuk memlihara pertalian yang kuat dengan satu buyer dan membangun relasi yang baru dengan buyer yang lainnya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pemerintah Taiwan menjalankan proyek yang bertujuan untuk mengubah lingkungan institusional dari perusahaan, salah satunya yaitu membantu perusahaan milik orang Taiwan untuk membangun brand mereka sendiri. Namun, penelitian ini menyarankan agar perusahaan produksi asalh Taiwan yang sudah ada harus berhati hati sebelum membangun brand mereka sendiri. Mengkombinasikan kemampuan produksi dan membangun brand sendiri sangat tidak efisien karena ukuran organisasi yang akan bertambah dan menurunnya fleksibilitas. Manajer dapat menggunakan framework yang terintegrasi dalam paper ini, untuk membantu mengarahkan proses pengambilan keputusan terkait aliansi maker-buyer.Manfaat penelitian ini bagi manajer, yaitu enelitian ini ikut mempertimbangkan masalah ekonomi dan sosial secara bersamaan. Ini sangat penting karena manajer perlu mengerti bahwa perbedaan performa tiap perusahaan akan terus terjadi karena konteks sosial dalam aliansi dapat memberikan keuntungan ataupun kerugian kompetitif. Manfaat lain, penelitian ini berfokus pada aliansi maker-buyer. Tujuan dari aliansi maker-buyer adalah untuk mendapatkan mempertahankan kemampuan komplementer pada dua atau lebih perusahaan yang terpisah. Selain itu, terdapat juga joint ventures atau joint problem-solving yang bertujuan agar perusahaan dapat mempelajari kemampuan dan kondisi internal dari perusahaan partner.

Arah Penelitian SelanjutnyaIde ide penelitian baru dapat diturunkan dari penelitian ini. Misalnya, menidentifikasi masalah ekonomi lain apa yang harus diselesaikan agar dapat meningkatkan sinergi. Selain itu, dapat juga diidentifikasi konteks sosial lainnya yang relevan dengan aktivitas aliansi dari perusahaan, dan hubungan lain antara konteks sosial dengan aktivitas ekonomi. Penelitian ini dapat juga dikembangkan ke arah aliansi untuk pembuatan produk baru (new product development).

Page | 22