7
Mata Ketiga Cinta: Inspiratif(kah?) Oleh Usup Supriyadi “ … Mereka yang membatasi ruang kemanusiaan/ dengan batasbatas negara// sesungguhnya/ belum mengerti makna kemanusiaan//” Kalimat dalam kutipan tersebut mengalamatkan pesan yang “dalam”. Saya kutip dari sajak “Apakah Sampai Padamu Berita tentang Mahanazi?” karya Helvy Tiana Rosa dalam buku kumpulan puisinya yang bertajuk “Mata Ketiga Cinta” terbitan AsmaNadia Publishing House, cetakan pertama; Februari 2012. Helvy Tiana Rosa--selanjutnya saya singkat HTR. Selain dikenal sebagai prosais profesional ternyata penyair yang tidak sekadar. Di bukunya tersebut, HTR memasukkan 42 puisi yang bertitimangsa antara tahun 1985-2011. Hal itu membuktikan bahwa jalan kepenyairan digelutinya. Lebih lanjut, HTR menyatakan, bahwa karya sastra yang sesungguhnya banyak ditulis olehnya ialah puisi. Hanya saja, manuskrip-manuskrip sajaknya banyak yang hilang. Jadi yang ada di “Mata Ketiga Cinta” ialah puisi-puisi yang berhasil terselamatkan, dengan “Cinta” sebagai tema besarnya. Singkat kata, hal yang menarik ialah ketika saya membaca sampul belakang buku tersebut, tertulis di bagian bawah ISBN: “Puisi

Mata Ketiga Cinta Inspiratif(kah)?

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Mata Ketiga Cinta Inspiratif(kah)?

Mata Ketiga Cinta: Inspiratif(kah?)

Oleh Usup Supriyadi

“ … Mereka yang membatasi ruang kemanusiaan/ dengan batasbatas negara// sesungguhnya/

belum mengerti makna kemanusiaan//” Kalimat dalam kutipan tersebut mengalamatkan pesan

yang “dalam”. Saya kutip dari sajak “Apakah Sampai Padamu Berita tentang Mahanazi?” karya

Helvy Tiana Rosa dalam buku kumpulan puisinya yang bertajuk “Mata Ketiga Cinta” terbitan

AsmaNadia Publishing House, cetakan pertama; Februari 2012.

 

Helvy Tiana Rosa--selanjutnya saya singkat HTR. Selain dikenal sebagai prosais profesional

ternyata penyair yang tidak sekadar. Di bukunya tersebut, HTR memasukkan 42 puisi yang

bertitimangsa antara tahun 1985-2011. Hal itu membuktikan bahwa jalan kepenyairan

digelutinya. Lebih lanjut, HTR menyatakan, bahwa karya sastra yang sesungguhnya banyak

ditulis olehnya ialah puisi. Hanya saja, manuskrip-manuskrip sajaknya banyak yang hilang. Jadi

yang ada di “Mata Ketiga Cinta” ialah puisi-puisi yang berhasil terselamatkan, dengan “Cinta”

sebagai tema besarnya.

Singkat kata, hal yang menarik ialah ketika saya membaca sampul belakang buku tersebut,

tertulis di bagian bawah ISBN: “Puisi Inspiratif”. Maka untuk itulah saya jadi ingin menyelami

“Mata Ketiga Cinta” agar saya bisa mendapatkan kesan sebenarnya, 'sungguhkah sajak-sajaknya

bisa dikata inspiratif?' Hatta, setelah saya membaca-resapi, membaca-indahkan, saya dapati

banyak sajaknya memang mengandung daya yang dapat menginspirasi pembaca atau apresiator

sastra. Puisi-puisinya cenderung bentuk dari kristalisasi penghayatan terhadap segala bentuk

silaturahmi batiniah maupun lahiriah. Oleh karena itulah, pembaca dimungkinkan untuk tidak

sekadar mendapatkan pengalaman literer-estetik, tetapi juga pengetahuan dan penyadaran yang

bisa memantik radar-radar keinsafan, sehingga setiap diri bisa kembali menggunakan serta sadar

bahwa “mata ketiga (itu adalah) cinta” terhadap kehidupan dan kemanusiaan.

Page 2: Mata Ketiga Cinta Inspiratif(kah)?

 

Misalnya saja, sajak yang berjudul “Apakah Sampai Padamu Berita tentang Mahanazi?” begitu

terasa sekali 'ilham' yang menyadarkan lagi menyalakan radar-radar kepeduliaan sosial-politis,

sosial-budaya, humanistis, dan begitu menyuarakan cinta akan manusia dan kemanusiaan yang

memanusiawikan manusia itu sendiri. Di sajaknya tersebut saya juga menemukan jejak semangat

agar kita jangan hanya diam kala ditindas atau dizalimi sebagaimana pernah digaungkan oleh

Widji Thukul, aforisme yang dahsyat, “hanya ada satu kata: lawan!” lalu HTR mengakhiri

sajaknya itu dengan kalimat yang menguji nyali kita: “Lawan Mahanazi!” (mahanazi di sini ialah

zionis cs). Juga “Salam Negeriku” begitu melihatkan aku-lirik yang nasionalis-islamis, sehingga

perjuangan tetap berlandaskan kepada kehendakNya, yakni tidak bersedih (QS. At Taubah: 40),

selalu bersabar (QS. Al-Baqarah 153), sebab sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan

(Qs Al-Insyirah 5-6), hanya masalah waktu saja, semuanya pasti akan menuai berkah setelah

musibah. Selama tetap yakin dan meminta pertolongan hanya kepadaNya (QS. Al Fatihah 5).

 

Kemudian, HTR sebagai seorang yang beragama Islam, tak luput pula membuat sajak bernuansa

relijius-sufistik, pengalamannya menunaikan ibadah haji serta umrah--menurut saya berdasarkan

frasa-frasa yang dituliskannya--berhasil membikin puisi yang tidak sekadar berisi memberikan

“khotbah” tetapi bait-bait selain mengilhami pembaca untuk juga berniat menunaikan ibadah

tersebut, jua memberikan kesadaran imani yang hakiki. Dituliskan olehnya pada akhir sajak

berjudul “Thawaf”: “… : kuputuskan membangun ka'bah/ sepanjang masa/ dalam dada///”.

Sebuah akhir sajak yang mengajak dan bernilai. Kita memang harus selalu mengingat Allah di

'dalam dada' dengan jalan berpikir, berzikir, dan ngukir. Haruslah di rumah bernama 'kalbu'

Allah di'tempat'kan, agar setiap langkah tentu diawali dengan 'basmalah' dan apapun hasilnya

kita senantiasa bersyukur mengucap 'hamdalah'.

 

Terakhir, salah satu sajak yang memuasi sekaligus memuisi sehingga ianya pasti memberikan

inspirasi bagi pembaca ialah sajak yang oleh HTR diberi tajuk “Fi Sabilillah” dan berikut ini

saya nukilkan secara utuh isi puisi tersebut:

Page 3: Mata Ketiga Cinta Inspiratif(kah)?

 

Jangan dilarang

Orang yang melayang pandang

Ke sabilillah

: ia sudah tahu resah nyata semesta

Seringai malam bumi kita

 

Jangan ditahan

Orang yang ingin melemparkan diri

Ke sabilillah

: ia sudah tahu ramuan cinta yang firdaus

  Juga rejam rintangan itu

 

Jangan dinanti

Orang yang pergi

Ke sabilillah

: ia sudah tahu ke mana

Harus menjual nyawa

 

Page 4: Mata Ketiga Cinta Inspiratif(kah)?

Ini menurut saya adalah sajaknya yang begitu mengilhami sehingga menyusuplah kesadaran

kepada dasar kalbu sehingga tingkah pun tidak menuai barah. 'Jangan dilarang', 'jangan ditahan',

'jangan dinanti', ujaran-ujaran yang menyiratkan bahwa memang dalam usaha mengarungi 'fi

sabilillah' maka kita khususnya yang ditinggalkan, umpama oleh suami atau saudara yang

berjihad (baca: berjuang secara sungguh-sungguh dalam hal-hal yang makruf) lantas ia yang

ditinggalkan itu, seperti istrinya atau keluarganya, harus ikhlas 'jangan melarang', 'jangan

menahan', dan 'jangan menanti'.

 

Begitupun sang mujahidnya, jangan berharap 'dilarang', 'ditahan' apatah lagi 'dinanti'. Semua

semata mencari rida Allah, dan itu memang butuh keistiqamahan, tiada mudah tapi tak mustahil

untuk dilakoni. Tidak hanya dalam berjihad, dalam berhijrah pun demikian, sebab dikatakan

kalau hijrahnya karena wanita maka, ya cuma dapat wanitanya itu tidak dapat ridaNya.

 

Pada akhirnya, kesemua sajak-sajak HTR dalam “Mata Ketiga Cinta” memang banyak

memberikan inspirasi, khususnya yang berkaitan dengan hal-ikhwal cinta, tidak sebatas cinta

antarmuda-mudi, orangtua kepada anaknya, tetapi sampai kepada cinta ilahiah dan melewati

batas-batas negara, warna kulit, bahasa, bahkan agama sekalipun. Walaupun harus diakui, dalam

segi teknis, ada saya dapati kesalahaan ketikan pada ejaan. Dari segi bentuk sajak-sajaknya

banyak yang bergaya naratif-prosaik, meski begitu tetap mengalun dan anggun tidak terlihat

memaksakan harus berima. Namun, saya senang dengan adanya visualisasi berupa gambar-

gambar yang cukup mendukung ruh sajaknya. Ya, dengan hadirnya buku kumpulan sajaknya ini,

membuktikan HTR tidak sekadar penulis yang membatasi dirinya hanya menulis di dunia prosa,

tapi juga di dunia fiksi. Dan memang, sebaiknya kita menjadi calon-calon pengarang atau

penyair yang tidak membatasi pada salah satu bidang saja.

 

Saya bahagia membaca “Mata Ketiga Cinta” saya benar-benar mendapat inspirasi.  Bahwa cinta

adalah kata yang begitu bahasa dan menjadi alat komunikasi yang asasi dan hakiki. Menjadikan

Page 5: Mata Ketiga Cinta Inspiratif(kah)?

kita manusia menjelma kembali pada asalnya, yakni khalifah Allah yang seharusnya

memakmurkan dunia dan berbagi dengan sesama atas nama cintaNya. Untuk calon penyair

berikutnya, mengabarkan tugas bahwa menyair tidak sekadar berindah-indah merangkai kata

hingga terlalu “langit” tapi cobalah juga menyuarakan mereka yang begitu akar rumput, agar

segala nilai membumi. Tidak seperti, zionis yang begitu bangganya berlakon iblis. Selamat

kepada Hely Tiana Rosa, saya harapkan ini adalah awal. Dinanti karya-karya--khususnya puisi--

selanjutnya. Jika ditanya kepada saya: “Mata ketiga cinta, inspiratifkah? Jawab saya jelas; “Ya”.

Salam!