12
MELURUSKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF OLEH : UTOMO, M. Pd TENAGA PENGAJAR DI PRODI PLB FKIP UNLAM BANJARMASIN E-mail : [email protected] ABSTRAK Indonesia telah mengenal dan mulai melaksanakan pendidikan inklusif yang diyakini oleh para pakar di bidang pendidikan merupakan paradigm pendidikan yang paling efektif untuk mewujudkan education for all. Indonesia telah meratifikasinya. Sebagai sebuah Negara yang telah menyepakati perjanjian internasional tersebut, tidak bisa semena-mena mengimplementasikannya. Dalam perjalanannya selama kurang lebih delapan tahun ini berbagai kemajuan telah tercapai, namun masih ada permasalahan-permasalahan yang muncul. Mungkin sebagian kalangan mengaanggap hal yang biasa jika terjadi permasalahan. Permasalahan yang paling menonjol adalah antara makna pendidikan inklusif itu sendiri dengan pelaksanaannya masih belum sempurna. Artinya beberapa komponen pendidikan inklusif belum sepenuhnya terealisasi. Hal inilah yang membuat terseok-seoknya perjalanan pendidikan inklusif di Indoensia. Hal ini perlu diluruskan. Jika tidak tentu akan menimbulkan dampak yang bisa jadi membuat sebagian lembaga enggan melaksanakan pendidikan inklusif. Beberapa ide untuk meluruskan pendidikan inklusif tersebut antara lain : (1) Para pelaku yang mengimplementasikan pendidikan inklusif perlu pemahaman yang utuh. Pemahaman yang hanya sepenggal-penggal hanya membuat pelaksanaan pendidikan inklusif tambah membingungkan. (2) Pendidikan inklusif memberikan pemahaman bahwa anak-anak diusahakan menempuh pendidikan di sekolah terdekat dengan pendekatan rayonisasi. (3) Rasio guru dengan peserta didik perlu diselaraskan. (4) Perlunya perubahan criteria sekolah unggulan. (5) Perlunya Pusat Sumber Layanan ABK. (6) Pemahaman tentang pendidikan inklusi sebaiknya tidak hanya kepada guru- guru yang ada, akan tetapi bagi calon guru. PENDAHULUAN Pendidikan inklusif merupakan salah satu alternatif untuk memperluas kesempatan akses pendidikan khususnya bagi anak berkebutuhan khusus (penyandang kelainan dan kelompok anak kurang beruntung lainnya). Anak penyandang kelainan sementara ini mendapat pendidikan secara segregatif di satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa (SLB). Dikarenakan jumlah SLB yang sangat terbatas dibandingkan dengan populasi anak penyandang kelainan dan lokasi SLB yang biasanya di perkotaan mengakibatkan anak penyandang kelainan, terutama yang di daerah pinggiran dan pedesaan, belum memperoleh layanan pendidikan formal secara memadai.

MELURUSKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF OLEH

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MELURUSKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF OLEH

MELURUSKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF

OLEH : UTOMO, M. Pd

TENAGA PENGAJAR DI PRODI PLB FKIP UNLAM BANJARMASIN

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Indonesia telah mengenal dan mulai melaksanakan pendidikan inklusif yang diyakini oleh para

pakar di bidang pendidikan merupakan paradigm pendidikan yang paling efektif untuk

mewujudkan education for all. Indonesia telah meratifikasinya. Sebagai sebuah Negara yang

telah menyepakati perjanjian internasional tersebut, tidak bisa semena-mena

mengimplementasikannya. Dalam perjalanannya selama kurang lebih delapan tahun ini berbagai

kemajuan telah tercapai, namun masih ada permasalahan-permasalahan yang muncul. Mungkin

sebagian kalangan mengaanggap hal yang biasa jika terjadi permasalahan. Permasalahan yang

paling menonjol adalah antara makna pendidikan inklusif itu sendiri dengan pelaksanaannya

masih belum sempurna. Artinya beberapa komponen pendidikan inklusif belum sepenuhnya

terealisasi. Hal inilah yang membuat terseok-seoknya perjalanan pendidikan inklusif di

Indoensia. Hal ini perlu diluruskan. Jika tidak tentu akan menimbulkan dampak yang bisa jadi

membuat sebagian lembaga enggan melaksanakan pendidikan inklusif. Beberapa ide untuk

meluruskan pendidikan inklusif tersebut antara lain : (1) Para pelaku yang mengimplementasikan

pendidikan inklusif perlu pemahaman yang utuh. Pemahaman yang hanya sepenggal-penggal

hanya membuat pelaksanaan pendidikan inklusif tambah membingungkan. (2) Pendidikan

inklusif memberikan pemahaman bahwa anak-anak diusahakan menempuh pendidikan di

sekolah terdekat dengan pendekatan rayonisasi. (3) Rasio guru dengan peserta didik perlu

diselaraskan. (4) Perlunya perubahan criteria sekolah unggulan. (5) Perlunya Pusat Sumber

Layanan ABK. (6) Pemahaman tentang pendidikan inklusi sebaiknya tidak hanya kepada guru-

guru yang ada, akan tetapi bagi calon guru.

PENDAHULUAN

Pendidikan inklusif merupakan salah satu alternatif untuk memperluas kesempatan akses

pendidikan khususnya bagi anak berkebutuhan khusus (penyandang kelainan dan kelompok anak

kurang beruntung lainnya). Anak penyandang kelainan sementara ini mendapat pendidikan

secara segregatif di satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa (SLB). Dikarenakan

jumlah SLB yang sangat terbatas dibandingkan dengan populasi anak penyandang kelainan dan

lokasi SLB yang biasanya di perkotaan mengakibatkan anak penyandang kelainan, terutama

yang di daerah pinggiran dan pedesaan, belum memperoleh layanan pendidikan formal secara

memadai.

Page 2: MELURUSKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF OLEH

Pendidikan inklusif diyakini oleh sebagian besar ahli maupun praktisi di bidang pendidikan

untuk mewujudkan Education for All (EfA). Dikatakan demikian karena paradigma tersebut

sangat akomodatif terhadap semua perbedaan kondisi peserta didik, baik kondisi peserta didik

yang berhubungan dengan fisik, mental, maupun social. Perbedaan merupakan hal yang

biasa/wajar, karena pada kenyataannya semua manusia itu berbeda. Perbedaan tidak akan

mungkin untuk bisa dihilangkan, namun bisanya hanya bisa difasilitasi untuk bisa berkembang

sesuai dengan potensinya masing-masing. Perbedaan sebaiknya bukan menjadi penghambat

untuk bisa belajar bersama, namun perbedaan dijadikan sebuah kekayaan dan kekuatan untuk

meraih prestasi pendidikan (perubahan tingkah laku kearah yang lebih baik). Hal ini senada

dengan pendapatnya Skjorten (2003:117). Pendidikan inklusif adalah konsep pendidikan yang

merangkul semua anak tanpa kecuali, Inklusi berasumsi bahwa hidup dan belajar bersama adalah

suatu cara yang lebih baik, yang dapat memberikan keuntungan bagi setiap orang, bukan hanya

anak-anak yang diberi label sebagai yang memiliki suatu perbedaan.

Di dalam pendidikan inklusif, hambatan seorang anak (baik hambatan yang ada pada diri anak

maupun hambatan yang berasal dari lingkungan anak) untuk bisa belajar bersama merupakan

sebuah tantangan yang perlu diatasi, sebab salah satu tujuan pendidikan inklusif yaitu sebisa

mungkin untuk menghilangkan hambatan tersebut. Jikapun hambatan tersebut tidak bisa

dihilangkan, tetap diusahan untuk dikurangi (peminimalan hambatan).

Kondisi ini merupakan tantangan bagi upaya pensuksesan program wajib belajar pendidikan

dasar sembilan tahun. Hal ini dapat ditengarai dari Angka Partisipasi Sekolah (APS) secara

nasional yang berada dalam kisaran 97,3 % untuk SD dan 84,2 % untuk SMP (berdasarkan data

Susenas tahun 2005). Diduga permasalahan kurangnya kesempatan pendidikan bagi anak

berkelainan menyumbang belum sampainya APS menjadi 100% terutama untuk jenjang SD,

selain sumbangan dari faktor lain misalnya pembiayaan pendidikan dan hambatan geografis.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia telah dirintis sejak tahun 2003, dan sampai

saat ini sudah berkembang menjadi sekitar 740 sekolah. Khusus untuk di Kalimantan Selatan

telah tercatat lebih dari 29 sekolah yang telah menyatakan diri menjadi sekolah yang inklusif.

Jumlah tersebut terdiri dari 2 TK Inklusi, 17 SD Inklusi, 5 SMP Inklusi, 4 SMA Inklusi, dan 1

SMK Inklusi. Penyelenggaraan pendidikan inklusif dilakukan di satuan pendidikan SD/MI,

SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK. Perkembangan penyelenggaraan pendidikan inklusif,

Page 3: MELURUSKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF OLEH

salah satunya didorong oleh semakin banyak orang tua yang memiliki anak penyandang kelainan

dan anak cerdas dan/atau berbakat istimewa menuntut haknya untuk memperoleh pendidikan

secara inklusif di satuan pendidikan reguler.

Landasan hukum nasional yang secara eksplisit menyatakan pendidikan inklusif adalah pada

penjelasan pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam

penjelasan tersebut dinyatakan bahwa pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan

pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan

luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada

tingkat pendidikan dasar dan menegah.

Selain itu dengan diterbitkannya Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif

bagi anak penyandang kelainan dan cerdas istimewa dan bakat istimewa, serta terbitnya

Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010, tentang penyelenggaraan pendidikan, semakin

menegaskan jaminan terbukanya kesempatan bagi anak penyandang ketunaan untuk memperoleh

akses pendidikan di sekolah reguler.

Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia diyakini masih banyak menimbulkan

permasalahan dan persepsi yang berbeda-beda, walaupun dalam perjalanannya telah menempuh

kurang lebih 8 tahun. Secara kuantitas sekolah-sekolah reguler/lembaga pendidikan baik TK, SD,

SMP maupun SMA/SMK memang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun secara

kualitas (kesesuain dengan yang diharapkan) masih perlu dipertanyakan.

Dalam makalah ini penulis mencoba untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan yang timbul.

Ada beberapa permasalahan yang terekam, diantaranya :

1. Banyak kalangan berpendapat bahwa pendidikan inklusi merupakan sebuah model

pendidikan. Hal ini tercermin bahwa sebuah sekolah yang menyatakan diri menjadi sekolah

inklusif harus mendapat label “sekolah inklusi”. Kesesuain label dengan implementasi yang

diharapkan kadang masih jauh. Bahkan dibeberapa sekolah masih “jauh panggang daripada

api”.

2. Implementasi pendidikan inklusi yaitu masih ada yang hanya sekedar mengikutsertakan

peserta didik yang berkebutuhan khusus di sekolah regular tanpa harus memenuhi hak-hak

pendidikan yang sesuai dengan kondisi anak. Bahkan dibeberapa sekolah, anak-anak yang

Page 4: MELURUSKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF OLEH

berkebutuhan khusus masih menjadi “tamu”, bukan menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Paham ini berdampak pada pemindahan peserta didik yang ada di SLB ke sekolah regular.

3. Dibeberapa sekolah yang telah menyatakan diri menjadi sekolah inklusi “kebanjiran” peserta

didik yang berkebutuhan khusus. Hal ini sebagai dampak tidak meratanya sekolah yang telah

menyatakan diri menjadi sekolah inklusi. Disamping itu pemahaman tentang “sekolah

terdekat dengan tempat tinggal anak” belum sepenuhnya diimplementasikan.

4. Dampak dari banyaknya anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi menyebabkan

dibentuknya kelas khusus di sekolah regular. Kelas khusus tersebut peserta didiknya adalah

anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus. Implementasi model ini tentu menyimpang

dari esensi dari pendidikan inklusif. Hal ini tidak bedanya dengan SLB yang terselenggara di

sekolah regular.

Permasalahan-permasalahan tersebut akibat tidak konsistennya dari berbagai kelangan, terutama

pemerintah dalam menjalankan sebuah paradigm pendidikan inklusi. Beberapa komponen yang

seharusnya ada di dalam menjalankan regulasi pendidikan inklusi, belum terimplementasikan

dengan baik. Bahkan terkesan hanya sebagian komponen saja yang dilaksanakan. Penyebab lain

adalah perubahan kearah paradigma pendidikan inklusi cukup besar tantangannya. Tantangan-

tantangan tersebut antara lain :

1. Indonesia sudah bertahun-tahun melaksanakan pendidikan secara segregasi. Paradigma

segregasi telah mengakar kepada penentu kebijakan dan para praktisi pendidikan, bahkan

sering kali membelenggu para pengembang di bidang pendidikan. Mereka berasumsi bahwa

dengan mengelompokkan peserta didik berdasarkan kreteria yang telah ditentukan, maka

akan mempercepat ketercapaian tujuan pendidikan. Kebijakan itu disatu sisi yaitu sisi

kognitifnya mungkin benar, akan tetapi perlu diingat bahwa ranah pendidikan yang perlu

dicapai tidak hanya ranah kognitif saja, akan tetapi ranah psikomotor dan ranah afektif tidak

kalah pentingnya harus menjadi penyerta tujuan yang tidak bisa dipisahkan. Ada juga yang

berpendapat ada ranah social yang juga perlu dicapai.

2. Menjamurnya sekolah berlebel unggulan atau apapun istilahnya yang mengedepankan

kualitas input peserta didik menambah parahnya orang-orang yang secara social

terpinggirkan akan membuat mereka semakin tidak bisa mengenyam pendidikan secara layak

dan adil. Sekolah unggulan selama ini identik dengan kualitas IQ input peserta didik yang

Page 5: MELURUSKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF OLEH

diatas rata-rata dan biaya pendidikan yang cukup mahal yang harus ditanggung oleh para

orangtuanya. Tentu hal ini akan membuat kesenjangan yang lebih dalam. Kesenjangan

selamanya akan selalu menyakitkan bagi banyak orang. Memang kesenjangan akan selalu

ada, akan tetapi jika jaraknya terlalu jauh akan selalu memperburuk keadaan.

3. Penyebaran informasi tentang pendidikan inklusif masih tidak karuan. Penyebab ini yang

sepertinya yang paling dominan. Pendidikan inklusif secara eksplisit memang sudah menjadi

kebijakan secara nasional, akan tetapi secara filosofi belum bisa menyentuh ke semua

komponen bangsa yang bergerak dibidang pendidikan. Tahap-tahapan sosialisasi tidak dilalui

dengan benar. Hal ini diperparah dengan seringnya pergantian pejabat di lingkungan

Kementarian/Dinas Pendidikan yang seharusnya menangani pendidikan inklusi. Jika

memang sudah diyakini bahwa paradigm pendidikan inklusi sudah menjadi agenda yang

hebat untuk mengentaskan bangsa ini dari berbagai keterpurukan, seyogyanya semua pihak

harus komitmen untuk mengimplementasikannya.

4. Profesionalisme guru masih perlu dipertanyakan. Mereka sebagian besar lebih senang

mendidik peserta didik yang “biasa-biasa saja (tidak banyak permasalahan)”. Banyak

diantara mereka (mungkin sebagian besar) lebih senang menghindar jika disuguhi peserta

didik yang mempunyai permasalahan (hambatan belajar) yang lebih berat. Padahal jika

mereka menanganinya dengan senang dan peduli tentu akan menambah profesionalisme

mereka.

5. Acuan peserta didik yang mempunyai “prestasi belajar” sering diartikan secara sempit.

Prestasi belajar sering diasumsikan dengan juara kelas, nilai yang tinggi, siswa yang dapat

mengalahkan akademik siswa lainnya. Asumsi itulah yang membuat para pelaku bidang

pendidikan berlomba-lomba menyeleksi input peserta didik yang hanya dilihat dari

akademiknya saja. Hal ini tentu memperburuk keadaan perkembangan pendidikan inklusi.

Masih banyak sebenarnya permasalahan-permasalahan lainnya. Mudahan beberapa identifikasi

permasalahan perkembangan pendidikan inklusi diatas cukup menjadi gambaran sampai dimana

perkembangan pendidikan inklusi dewasa ini sehingga para praktisi maupun penggendali

pendidikan di Indoensia tercinta ini dapat segera mengambil langkah yang tepat. Tulisan

berikutnya akan penulis coba memberikan beberapa alternative pemecahannya. Semoga menjadi

inspirasi dan perdebatan yang membangun untuk menumbuhkan dan mengimplementasikan

pendidikan inklusif secara benar agar bangsa ini sesegera mungkin bisa bangkit dari

Page 6: MELURUSKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF OLEH

keterpurukan pendidikan. Pendidikan di Indonesia tentu mengalami perkembangan, akan tetapi

dampak buruknya juga tidak kalah berkembang.

PEMBAHASAN

Dunia pendidikan telah sepakat dengan geloranya “education for all (EFA)” harus sesegera

mungkin untuk ditempuh. Bagi Negara-negara yang telah sepaham, maka Negara tersebut

meratifikasinya. Indonesia telah meratifikasinya. Tentu ini sebuah kemajuan ditingkat

silaturahmi internasional. Dunia juga telah sepakat bahwa untuk mewujudkan EFA akan

ditempuh dengan paradigm pendidikan inklusif. Indonesiapun juga telah meratifikasinya.

Pergaulan pendidikan di tingkat internasional sudah tidak ada masalah. Yang menjadi masalah

adalah komitmennya setelah meratifikasi. Jangan hanya karena sebuah tuntutan masyarakat

internasional untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, adil dan tanpa diskriminasi saja

kemudian Indonesia ikut-ikutan meratifikasi. Justru merupakan kebanggaan bagi kita bahwa

Indoensia secara Internasional tetap komitmen dengan bangsa-bangsa lainnya.

Yang perlu segera kita benahi adalah bagaimana permasalahan-permasalahan yang ada setelah

Indonesia mulai melaksanakan pendidikan inklusif 8 tahun yang lalu ini secara terus menerus

dan konsisten tetap dicarikan pemecahannya. Pemecahannya jangan sampai lepas dari pundi-

pundi pendidikan inklusif itu sendiri. Jika lepas, tentu mengurangi makna. Dan pada akhirnya

akan memperburuk keadaan. Makalah ini mencoba mencari solusi. Harapannya bisa menjadi

inspirasi. Permasalahan yang telah penulis sampaiakan dalam Pendahuluan diatas, berikut ini

akan penulis sampaikan beberapa ide.

1. Para pelaku yang mengimplementasikan Pendidikan inklusif perlu pemahaman yang utuh.

Pemahaman yang hanya sepenggal-penggal hanya membuat pelaksanaan pendidikan inklusif

tambah membingungkan. Seperti contoh bahwa pendidikan inklusif hanya mengikutsertakan

anak berkebutuhan khusus di sekolah regular saja tanpa dibarengi dengan implementasi

pemahaman yang lain, tentu membuat berbagai pihak tambah bingung. Yang harus menjadi

patokan utama adalah “anak menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan anak-anak

lainnya yang perlu saling pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman individu”. Seperti

yang telah dikemukan oleh Alimin (2005) yaitu sekolah yang ramah dan terbuka ditandai

Page 7: MELURUSKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF OLEH

antara lain dengan pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman individu anak. Tahapan

yang benar adalah menciptakan sekolah dan guru yang ramah terhadap semua anak

(welcoming school and welcoming teacher) terlebih dahulu.

2. Pendidikan inklusif memberikan pemahaman bahwa anak-anak diusahakan menempuh

pendidikan di sekolah terdekat.

Layanan pendidikan terdekat lebih spesifik ditujukan bagi anak-anak yang mempunyai

kebutuhan khusus. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Sapon-Shevin dalam O’neil, 1994)

yang mengemukakan “pendidikan inklusif adalah system layanan pendidikan yang

mempersyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas

biasa bersama teman-teman seusianya.” Implementasi yang muncul saat ini adalah sekolah-

sekolah yang telah menyatakan diri menjadi sekolah inklusif kebanjiran peserta didik

berkebutuhan khusus. Hal ini karena penyebaran sekolah inklusif tidak diikuti oleh sekolah-

sekolah yang lain. Kebanyakan sekolah enggan sekolahnya menjadi inklusif. Permasalahan

ini sepertinya perlu digalakkan lagi system rayonisasi pendidikan. Artinya setiap sekolah

mempunyai tanggung jawab mencerdaskan anak-anak bangsa ini dengan radius wilayah yang

telah ditentukan oleh pemerintah. Dengan demikian sekolah-sekolah yang ada kedepannya

tidak bisa menolak lagi jika diwilayahnya terdapat anak berkebutuhan khusus. Dalam hal ini

pemerintah sebenarnya telah membantu membuat dasar hukumnya yaitu dengan

Kepmendiknas no 70 tahun 2009. Salah satu pasalnya bahwa setiap Kecamatan minimal ada

1 SD dan 1 SMP yang ditunjuk menjadi sekolah inklusi. Dan 1 SMA setiap Kabupaten. Hal

inipun belum tentu mengatasi masalah karena luas dan jumlah penduduk setiap kecamatan

juga berbeda-beda. Sepertinya model rayon yang paling tepat. Jika sekolah inklusif semakin

banyak tentu tidak akan terjadi penumpukan anak-anak berkebutuhan khusus di satu sekolah

regular. Harapnnya kedepan bagaimana semua sekolah menjadi sekolah yang inklusif.

Gambar dibawah ini mudahan menambah wawasan tentang rayonisasi pendidikan.

Page 8: MELURUSKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF OLEH

Kelurahan/Desa dengan luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah sekolah, dan potensi yang beragam/ berbeda

3. Rasio guru dengan peserta didik perlu diselaraskan.

Rata-rata saat ini satu kelas berjumlah antara 35 – 45 siswa. Satu kelas ditangani oleh satu

orang guru. Padahal idialnya satu kelas sebaiknya hanya 20 siswa dan ditangani oleh dua

orang guru. Satu orang guru menjadi pengajar di depan, kemudian satu orang guru menjadi

asisten guru (prakteknya bisa bergantian). Dengan rasio tersebut asumsinya setiap peserta

didik akan terlayani pendidikannya. Lebih-lebih jika di kelas tersebut ada anak berkebutuhan

khusus. Maka asisten guru tersebut membantu anak yang berkebutuhan khusus. Sebaiknya

kedepan hal ini menjadi kajian pemerintah untuk menselaraskan rasio sesuai dengan

kemampuan guru.

4. Perlunya perubahan criteria sekolah unggulan.

Istilah sekolah unggulan memang manis. Akan tetapi kenyataannya sekolah unggulan hanya

dinikmati oleh segelintir masyarakat yang bisa menjangkaunya. Secara kasat mata jelas

sekolah unggulan akan lebih berhasil daripada sekolah biasa. Hal ini karena selain proses

pembelajarannya baik, gurunya unggul, sarana dan prasarananya baik, akan tetapi dibarengi

dengan input yang secara akademik memang sudah unggul. Ada yang ganjil dalam

implementasinya yaitu sekolah unggulan kurang mengakomodir perbedaan yang sebenarnya

kodrati. Bagi sekolah unggulan harus ingat bahwa masyarakat kita beragam. Penulis berharap

Sebuah Kecamatan

Page 9: MELURUSKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF OLEH

bahwa yang distandarkan bukan inputnya. Penulis berharap ada sekolah inklusif yang

unggul. Bukan menjadi eksklusif. Sekolah yang eksklusif akan jauh dari masyarakat. Sering

kali sekolah tersebut bukan milik masyarakat.

5. Perlunya Pusat Sumber Layanan ABK

Selama ini bagi sebagian besar daerah di Indonesia ini, adanya pusat sumber hanya masih

menjadi angan-angan. Banyak kendala untuk mewujudkannya. Pusat sumber pada intinya

sangat membantu terlaksananya pendidikan inklusif.

6. Pemahaman tentang pendidikan inklusi sebaiknya tidak hanya kepada guru-guru yang ada,

akan tetapi bagi calon guru.

Calon guru yang dimaksud adalah mereka yang masih menempuh di bangku kuliah yaitu

bagi mahasiswa-mahasiswa yang nantinya dipersiapkan untuk mencadi calon guru, baik

mereka yang ada di keguruan maupun yang di ilmu pendidikan (FKIP). Pemikiran para

mahasiswa biasanya masih idialis. Begitu juga jika mereka diberi materi tentang paradigma

pendidikan yang luhur ini sudah barang tentu menjadi nilai plus bagi mahasiwa. Jika

pemahaman mereka lebih awal dimulai, tentu akan lebih dini mereka nantinya setelah

bekerja langsung bisa ikut mewarnai di tempat mereka untuk mengimplementasikan

pendidikan inklusi. Mahasiswa calon guru di negara-negara maju seperti Australia, Jepang,

Norwegia, dll telah mendapat program materi tentang penanganan anak-anak berkebutuhan

khusus termasuk di dalamnya pemahaman tentang pendidikan inklusif. Di Indonesia belum

semua perguruan tinggi menerapkan hal tersebut. Yang penulis ketahui sebagian besar baru

terimplementasi di PDSD/PGTK. Mungkin beberapa perguruan tinggi telah memulai di

program studi/jurusan lainnya. Memulai memberikan pemahaman tentang pendidikan

inklusif jika belum memungkinkan dalam bentuk mata kuliah, ada baiknya

dimasukkan/diintegrasikan ke dalam mata kuliah yang sesuai. Seperti mata kuliah profesi

keguruan atau pengantar pendidikan atau belajar dan pembelajaran.

Tulisan ini tentu belum bisa sempurna untuk dijadikan kajian dalam upaya meluruskan

implementasi pendidikan inklusif di Indonesia. Walau begitu penulis berharap bisa menjadi salah

satu inspirasi untuk terus mengembangkan pendidikan inklusif yang benar-benar inklusif, bukan

sesuatu yang menjadi eksklusif.

Page 10: MELURUSKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF OLEH

KESIMPULAN

Delapan tahun Indonesia telah mencoba mengimplementasikan paradigm pendidikan inklusif.

Suka duka telah dilaluinya. Ada keberhasilan ada juga yang belum mencapai hal yang

diharapkan. Itu semua sebuah proses panjang yang terus dievaluasi dalam perencanaan maupun

pelaksanaannya. Pendidikan inklusif sebuah pendidikan yang luhur. Pendidikan inklusif sangat

diyakini oleh sebagian besar pelaku bidang pendidikan untuk menuju education for all (EFA).

Semua anak bangsa diberbagai belahan bumi ini mempunyai hak/kesempatan pendidikan yang

layak, adil, bermutu dan tanpa diskriminasi. Pendidikan merupakan awal dari kebangkitan dari

sebuah kemajuan suatu Negara. Bagaimana bisa maju jika pendidikan masih tidak adil, masih

diskriminasi, walaupun berkualitas.

Dalam perjalannan yang cukup panjang ini, permasalahan-permasalahan masih muncul dalam

implementasinya. Permasalahan yang sempat terekam oleh penulis diantaranya :

1. Banyak kalangan berpendapat bahwa pendidikan inklusi merupakan sebuah model

pendidikan.

2. Implementasi pendidikan inklusi yaitu masih ada yang hanya sekedar mengikutsertakan

peserta didik yang berkebutuhan khusus di sekolah regular tanpa harus memenuhi hak-hak

pendidikan yang sesuai dengan kondisi anak.

3. Dibeberapa sekolah yang telah menyatakan diri menjadi sekolah inklusi “kebanjiran” peserta

didik yang berkebutuhan khusus, hal ini sebagai dampak tidak meratanya sekolah yang telah

menyatakan diri menjadi sekolah inklusi.

4. Dampak dari banyaknya anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi menyebabkan

dibentuknya kelas khusus di sekolah regular.

Beberapa permasalahan yang sempat terekam oleh penulis tersebut, disinyalir sebagai akibat dari

beberapa hal di bawah ini :

1. Indonesia sudah bertahun-tahun melaksanakan pendidikan secara segregasi sehingga

mempengaruhi paradigm berfikir bagi pelaku pendidikan.

2. Menjamurnya sekolah berlebel unggulan atau apapun istilahnya yang mengedepankan

kualitas input peserta didik menambah parahnya orang-orang yang secara social

Page 11: MELURUSKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF OLEH

terpinggirkan akan membuat mereka semakin tidak bisa mengenyam pendidikan secara layak

dan adil.

3. Penyebaran informasi tentang pendidikan inklusif masih tidak karuan.

4. Profesionalisme guru masih perlu dipertanyakan.

5. Acuan peserta didik yang mempunyai “prestasi belajar” sering diartikan secara sempit.

Semua permasalahan implementasi pendidikan inklusif tersebut perlu dicarikan jalan keluanya.

Ada beberapa ide dari penulis untuk menjadi inspirasi. Antara lain :

1. Para pelaku yang mengimplementasikan Pendidikan inklusif perlu pemahaman yang utuh.

Pemahaman yang hanya sepenggal-penggal hanya membuat pelaksanaan pendidikan inklusif

tambah membingungkan.

2. Pendidikan inklusif memberikan pemahaman bahwa anak-anak diusahakan menempuh

pendidikan di sekolah terdekat.

3. Rasio guru dengan peserta didik perlu diselaraskan.

4. Perlunya perubahan criteria sekolah unggulan.

5. Perlunya Pusat Sumber Layanan ABK

6. Pemahaman tentang pendidikan inklusi sebaiknya tidak hanya kepada guru-guru yang ada,

akan tetapi bagi calon guru.

DAFTAR PUSTAKA

Astati, (2001), Pendidikan Luar Biasa di Sekolah Umum, Bandung :Pendawa

Budiyanto, (2005). Pengantar Pendidikan Inklusif Berbasis Budaya Lokal. Jakarta:

Depdiknas.

Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. (2005). Pedoman Implementasi Pendidikan

Inklusif di Provinsi Jawa Barat. Bandung: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa

Barat

Direktorat PLB. (2004). Buku Seri : Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan terpadu/Inklusi.

Jakarta: Direktorat PLB Ditjen Dikdasmen, Depdiknas.

Direktorat PSLB. (2005). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu/Inklusif, Penilaian

Hasil Belajar Siswa pada Kelas Inklusif/Terpadu. Jakarta : Direktorat PSLB, Ditjen

Manajemen Dikdsmen, Depdiknas.

Page 12: MELURUSKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF OLEH

Direktorat PLB, Draillo Norway, dan UNESCO. ( 2004). Buku Seri: Menjadikan Lingkungan

Inklusif, Ramah terhadap Pembelajaran (LIRP). Jakarta: Direktorat PLB, Braillo

Norway, dan UNESCO.

Erlani L. (2002). Tinjauan Inklusi Eropa dan Amerika mengenai Pendidikan Inklusif (Kajian

Filosofhis, Terminologi, Implementasi, Proses dan Evaluasi. Jepang: Shiusku

University.

Hidayat, (2005). Pengelolaan Kelas Inklusif di Sekolah Dasar Reguler. Tesis Magister pada PPS

UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Hildegun O. (2002). “Pendidikan Inklusif suatu Strategi menuju Pendidikan Untuk

semua”.Makalah pada Lokakarya Gabungan Pendidikan kebutuhan Khusus Tingkat

Nasional Direktorat PLB, Mataram.

J. Davit Smith. (2002), “Inklusi, Sekolah Ramah Untuk Semua.” Terjemahan Denis, Ny Erica.

Nuansa. Jakarta

Johnsen B.H. (2003). Kurikulum untuk Pluralitas Kebutuhan Belajar Individual,

Pendidikan Kebutuhan Khusus sebuah Pengantar. Bandung: Program

Pasca Sarjana UPI.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan. Jakarta: Sekretariat Negara RI.

Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus,

Konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus: Akses dan Mutu,

7-10 Juni 1994. Salamanca, Spanyol: UNESCO dan Ministry of Education

and Science, Spain.