28
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Tanggal Posting 2012-05-08 06:02:17 Pendidikan yang tidak didasari oleh kebudayaan akan menghasilkan generasi yang tercerabut dari kehidupan masyarakatnya sendiri. Menjadikan pendidikan yang steril dari kekayaan budayanya sendiri berpotensi menghasilkan enclave dalam masyarakat. Oleh karenanya kebudayaan yang tidak menyatu dengan pendidikan akan cenderung asing bagi kehidupan dan mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Demikian disampaikan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X saat menjadi pembicara kunci dalam konggres Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan bertema "Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Dalam Menghadapi Globalisasi". Diungkapkan bahwa pendidikan dan pengajaran merupakan dua proses satu nafas, memiliki keterkaitan yang berbeda kadarnya dengan kebudayaan. Pendidikan memerdekakan nurani, pengajaran memerdekakan pikiran. Meski begitu pengajaran dapat dikatakan sebagai bagian dari pendidikan secara umum, karena ilmu yang diajarkan dan dipelajari merupakan alat pendidikan. "Dengan demikian perlu ditunjukkan keterpaduan hubungan antara pengajaran, pendidikan dan kebudayaan," ungkapnya saat mengurai makalah "Menggagas Renaisans Pendidikan Berbasis Kebudayaan," papar Sultan di ruang Balai Senat, Senin (7/5). Sultan menyebut rekomendasi para ahli secara umum berkesimpulan bila modernitas telah kehabisan tenaga.

Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan, Pengajaran, dan

Kebudayaan

Tanggal Posting 2012-05-08 06:02:17

Pendidikan yang tidak didasari oleh kebudayaan akan menghasilkan

generasi yang tercerabut dari kehidupan masyarakatnya sendiri. Menjadikan

pendidikan yang steril dari kekayaan budayanya sendiri berpotensi menghasilkan

enclave dalam masyarakat. Oleh karenanya kebudayaan yang tidak menyatu

dengan pendidikan akan cenderung asing bagi kehidupan dan mulai ditinggalkan

oleh masyarakatnya sendiri.

Demikian disampaikan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X saat

menjadi pembicara kunci dalam konggres Pendidikan, Pengajaran dan

Kebudayaan bertema "Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan,

Pengajaran, dan Kebudayaan Dalam Menghadapi Globalisasi". Diungkapkan

bahwa pendidikan dan pengajaran merupakan dua proses satu nafas, memiliki

keterkaitan yang berbeda kadarnya dengan kebudayaan. Pendidikan

memerdekakan nurani, pengajaran memerdekakan pikiran. Meski begitu

pengajaran dapat dikatakan sebagai bagian dari pendidikan secara umum,

karena ilmu yang diajarkan dan dipelajari merupakan alat pendidikan. "Dengan

demikian perlu ditunjukkan keterpaduan hubungan antara pengajaran,

pendidikan dan kebudayaan," ungkapnya saat mengurai makalah "Menggagas

Renaisans Pendidikan Berbasis Kebudayaan," papar Sultan di ruang Balai Senat,

Senin (7/5).

Sultan menyebut rekomendasi para ahli secara umum berkesimpulan bila

modernitas telah kehabisan tenaga. Sebagai jalan keluar maka dapat diwakili

pandangan Fitjrof Capra, ajakan Kembali pada Paradigma Kebudayaan. Bagi

negeri-negeri yang termodernisasi lanjut dan sebagian telah memasuki apa yang

disebut modernisasi radikal bisa kembali ke paradigma kebudayaan dengan

'berkiblatlah ke Timur'. "Penyederhanaan ini tak lain karena di belahan Timur

anasir-anasir kebudayaan sebagian belum terbekukan dan tersisihkan dalam diri

manusia dan masyarakat. Pertanyaannya, bagaimana masyarakat negeri timur,

termasuk Indonesia menanggapinya?. Paling tidak tanggapan dapat dipetakan ke

dalam dua kemungkinan, yaitu tipe 'struktural dan tipe kultural'," ungkap Sultan.

Page 2: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

Tipe struktural dapat dianalogikan dengan struktur kereta api bergerbong

panjang yang berjalan di atas rel tunggal. Jika modernitas masyarakat dunia

diletakkan pada garis kontinum, sesuai perspektif dan teori-teori modernisasi,

maka masyarakat tradisional dan semi modern di Timur adalah gerbong-gerbong

belakang yang mengekor jejak gerbong-gerbong masyarakat modern Barat yang

ada dibagian depan.

Ketika gerbong masyarakat Barat telah berkiblat ke kebudayaan Timur

(berbalik arah), masyarakat tradisional dan semi-modern Timur berada di

gerbong belakang justru tetap mengarah ke modernisasi ala Barat. "Dengan kata

lain, masyarakat Timur harus ter-Baratkan sepenuhnya dulu, untuk kemudian

berbalik ke paradigma kebudayaan Timur, jika masih tersisa waktu. Sepanjang

proses itulah hampir pasti yang terjadi adalah krisis terlembaga," tuturnya.

Sedangkan tanggapan Tipe Kultural, dalam pandangan Sultan dapat

dianalogikan dengan Pesta Oahraga Olimpiade. Bahwa dalam Olimpiade terbuka

kedudukan olahraga dan peserta adalah sama (kompetisi-koeksistensi), tetapi

masing-masing tipe olahraga memiliki ciri-ciri tertentu yang dipengaruhi oleh ciri-

ciri alamiah manusia, misalnya ukuran badan atau karakter kultural tertentu.

Jika paradigma kembali ke kebudayaan ditandai dengan kuatnya minat

masyarakat dunia pada olahraga ber-ranah esoterik-spiritual ke-Timuran, yang

notabene dikuasai oleh masyarakat Timur, secara teoritis dan ideal peluang atlet

Timur merajai Olimpiade lebih terbuka dibanding atlet Barat. "Namun bisa jadi

tanggapan empiris masyarakat Timur boleh jadi sebaliknya," ungkapnya.

Mereka yang berpostur badan rata-rata kecil-pendek lebih aktif

mengembangkan olahraga basket ketimbang mendirikan padepokan pencak

silat, maka hampir dipastikan orang Timur kesulitan mencatatkan prestasi di

arena Olimpiade. Namun sebaliknya bila mau mengembangkan padepokan

pencak silat maka kemungkinan orang Timur mencatatkan prestasi gemilang di

olimpiade sangat terbuka. "Karena dasar-dasar pencak silat ada di Timur. Oleh

karena itu, kita sekarang ini sesungguhnya tengah mengalami krisis identitas,"

imbuhnya.

Sementara itu, mantan Mendiknas A. Malik Fadjar dalam makalah

"Spiritualitas Watak Kebangsaan" menegaskan wujud dan perwujudan atau

Page 3: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

aplikasi spiritualisasi watak kebangsaan dari sudut pandang "Pembangunan

Karakter Bangsa Melalui Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dalam

Menghadapi Globalisasi" diperlukan pendekatan yang "luwes dan luas." Luwes

dalam arti tidak mengarah kepada penyeragaman dan tidak bersifat indoktrinatif,

dan luas dalam arti mencakup berbagai aspek kehidupan dengan segala

kemajemukannya. (Humas UGM/ Agung)

Pendidikan Karakter Untuk Membangun Manusia Indonesia Yang Unggul

Oleh : Thanon Aria Dewangga, Asdep Bidang Pelaksanaan dan Pelaporan

Persidangan

Ada sebagian kecil kalangan berpandangan bahwa Pemerintah kurang serius dalam

membenahi sektor pendidikan. Sesuatu yangdebatable karena dari berbagai sudut

pandang dan dimensi, pemerintah sangat berkomitmen untuk meningkatkan taraf

pendidikan. Mulai dari 20% anggaran khusus untuk pendidikan,  pembangunan

bangunan sekolah-sekolah yang rusak, peningkatan taraf hidup dan kualitas guru

dan lain-lain.

Pendidikan adalah elemen penting dalam pembangunan bangsa karena melalui

pendidikan, dasar pembangunan karakter manusia dimulai. Yang masih hangat

dalam pikiran penulis, yang terlahir di era 70-an, di sekolah dasar kita dibekali

pendidikan karakter  bangsa seperti  PMP dan PSPB sampai akhirnya diberikan

bekal lanjutan model Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan

Pancasila). Pendidikan karakter merupakan salah satu hal penting untuk

membangun dan mempertahankan  jati diri bangsa.  Sayang, pendidikan karakter di

Indonesia perlu diberi perhatian lebih khusus karena selama ini baru menyentuh

pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai. Pendidikan karakter yang

dilakukan belum sampai pada tingkatan interalisasi dan tindakan nyata dalam

kehidupan sehari-hari.

Pendidikan di Indonesia saat ini cenderung lebih mengedepankan penguasaan

aspek keilmuan dan  kecerdasan, namun mengabaikan pendidikan karakter.

Pengetahuan tentang kaidah moral yang didapatkan dalam pendidikan moral atau

etika di sekolah-sekolah saat ini semakin ditinggalkan. Sebagian orang mulai tidak

memperhatikan lagi bahwa pendidikan tersebut berdampak pada perilaku

seseorang. Padahal pendidikan diharapkan mampu menghadirkan generasi yang

berkarakter kuat, karena manusia sesungguhnya dapat dididik , dan harus sejak dini.

Page 4: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

Meski manusia memiliki karakter bawaan, tidak berarti karakter itu tak dapat diubah.

Perubahan karakter mengandaikan suatu perjuangan yang berat, suatu latihan yang

terus-menerus untuk menghidupi nilai-nilai yang baik dan tidak terlepas dari faktor

lingkungan sekitar. Era keterbukaan informasi akibat globalisasi mempunyai faktor-

faktor negatif antara lain mulai lunturnya nilai-nilai kebangsaan   yang dianggap

sempit seperti patriotisme dan nasionalisme yangdianggap tidak cocok dengan nilai-

nilai globalisasi dan universalisasi.

Kekhawatiran terhadap pembangunan karakter bangsa yang dimulai dari pendidikan

usia dini menjadi perhatian khusus dari Presiden SBY. Dalam beberapa kesempatan

Sidang Kabinet, Presiden dan Wakil Presiden mendiskusikan hal-hal yang menjadi

perhatian masyarakat dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain

masih adanya isu dan tantangan sosial yang seharusnya dapat dipecahkan atas

hasil kontribusi sektor pendidikan. Sebagai contoh, meskipun bangsa ini telah

memiliki falsafah Pancasila dan ajaran agama, tetapi masih banyak terjadi aksi

kekerasan antar komunal atau antar umat beragama.

Presiden dalam kunjungannya ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,

saat memberikan arahan dalam Sidang Kabinet Terbatas tanggal 31 Agustus

2012 yang membahas Program Strategis Pemerintah di bidang

Pendidikan berharap perlu ada kontribusi yang dapat disumbangkan oleh sektor

pendidikan untuk memperkuat toleransi, baik nilai sikap mental dan perilaku bagi

bangsa yang majemuk untuk lebih baik lagi. Sikap toleransi harus dibangun,

diajarkan, dan diperkuat kepada anak didik hingga tingkat wajib belajar 9 atau 12

tahun, sehingga diharapkan dapat membuahkan sesuatu yang baik. Wajib belajar 9

tahun dapat dikatakan sebagai formative years, yaitu waktu untuk membentuk

karakter, nilai, sikap, dan perilaku bagi perjalan kehidupan manusia. Jika pemerintah

dapat mengajarkan sikap toleransi dengan metodologi yang tepat, maka hal ini akan

melekat lama.

Tidak hanya dalam kesempatan di Sidang Kabinet, dalam beberapa acara antara

lain National Summit  dan Peringatan Hari Ibu, Presiden SBY menekankan

pentingnya nation character building . Kutipan pernyataan Presiden SBY adalah

sebagai berikut:  “Dalam era globalisasi, demokrasi, dan modernisasi dewasa ini,

watak bangsa yang unggul dan mulia adalah menjadi kewajiban kita semua untuk

membangun dan mengembangkannya.  Character building penting, sama dengan

national development yang harus terus menerus dilakukan. Marilah kita berjiwa

terang, berpikir positif, dan bersikap optimistis. Dengan sikap seperti itu, seberat

Page 5: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

apapun persoalan yang dihadapi bangsa kita, insya Allah akan selalu ada jalan, dan

kita akan bisa terus meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia”.

Poin dari pernyataan di atas adalah pendidikan karakter mempunyai fungsi strategis

bagi kemajuan bangsa, harus ada komitmen untuk menjalankan pendidikan karakter

sebagai bagian dari jati diri bangsa. Komitmen yang harus kita jalankan semua,

mengacu kepada 5 nilai karakter bangsa untuk menjadi manusia unggul yang

disampaikan oleh Presiden SBY yaitu :

1. Manusia Indonesia yang bermoral, berakhlak dan berperilaku baik;

2. Mencapai masyarakat yang cerdas dan rasional;

3. Manusia Indonesia ke depan menjadi manusia yang inovatif dan terus mengejar

kemajuan;

4. Memperkuat semangat “Harus Bisa”, yang terus mencari solusi dalam setiap

kesulitan;

5. Manusia Indonesia haruslah menjadi patriot sejati yang mencintai bangsa,Negara

dan tanah airnya.

(Puncak Peringatan Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional  2011,

Jumat 20Mei 2011)

Pendidikan bukan hanya membangun kecerdasan dan transfer of knowledge, tetapi

juga harus mampu membangun karakter atau character building dan perilaku.

Dengan hakekat pendidikan dan dibangun metodologi yang tepat, maka diharapkan

dapat dibangun intellectual curiosity dan membangun common sense. Tidak bisa

ditunda lagi, generasi penerus bangsa harus serius untuk dibekali pendidikan

karakter agar dapat memenuhi 5 nilai manusia unggul di atas.

KOMPASIANA

Tunggu..! begitu yang ada didalam benak kita ketika mendengar kata Pembangunan

Karakter. Terlintas kata itu seperti sebuah proyek pembangunan masa depan yang

luar biasa dikarena sudah memuncaknya kehilangan karakter sebuah bangsa. Jika

pantas Bangsa ini disebut kehilangan karakter? Ini seperti kebiasaan membuang

sampah sembarang, sebuah prilaku yang sangat buruk namum tidak mustahil untuk

dirubah. Tulisan ini akan beranjak bersemangat dari ungkapan kekecewaan

presiden soekarno pada tahun 1957 dalam pidato tahuhan : “ semula kita mencita

Page 6: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

citakan , bahwa dialam kebebasan dan kemerdekaan , kita akan dapat

mengembangkan segala daya cipta kita untuk membangung sehebat-hebatnya,

membangun satu pemerintahan nasional yang kokoh-kuat, membangun satu

angkatan perang yang kokoh kompak , membangun satu industry modern yang

sanggup memepertinggi taraf hidup rakyat kita, membangu satu pertranian yang

modern guna mempertinggi hasil bumi , membangun satu kebudayaan nasional

yang menunjukan kepribadian bangsa “ . ini menuntun kita kepada tiga pertanyaan

yang kemungkinan akan sedikit banyaknya mengarahkan bagaimana kita

seahrusnya cepat bertindak memperbaiki sistem pendidikan kita

Refelkesi anak sekolah? Benarkah mengajari ke- mandiri-isme

Sejak kita masi sekolah dahulu sering orang tua atau kebanyakan seorang ayah

akan mengatakan “ nak kamu arus rajin belajar supaya pintar, kalo mau pintar yang

harus belajar ! di sekolah kamu akan belajar”. Walau pada kenyataan semuanya

bertolak belakang dengan apa yang terjadi .Seandainya sang anak bisa berbicara

jujur secara dewasa mungkin anak tersebut akan bertanya “BUAT apa aku sekolah,

dan sekolah untuk apa, trus kalo pintar memangnya kenapa? “. saya sedang tidak

mengada ngada atau naïf tapi ini lah yang sedang terjadi, anak anak kita masih

belum terkontaminasi dengan budaya karakter bangsa (ketidakjelasan pemahaman)

dilapangan justru yang terlihat kebiasaan budaya alay atau kegalauan yang menurut

hemat penulis tidak memprogresskan sebuah karaker wajar saja disebut

memanusiakan kesalahan. Sejogya anak-anak tetap la anak anak namum anak

tentu akan menjadi dewasa yang kelak akan menggantikan dewasa tua. Maksudnya

mereka pasti akan menjadi generasi bangsa yang meneruskan estafet bangsa ini,

inilah yang seharusnya menjadi kekhwatiran kita karena ini serius seperti kutipan

bung karno diawal sampai 55 taun berlalu untuk masa sekarang masih relevan untuk

di ajukan sebagai bentuk kemunduran, peristiwa yg sebenarnya menjadi bukti

betapa kegalauan pendidikan kita sedang terjadi. Padahal berbagai cara suda

dilakukan, apa ada yang salah? Ini mirip reduplikasi masalah karena menguapnya

ide-ide tentang penerapan karakter bangsa seperti mandiri, toleran, gotongroyong

dll. Mengapa kita terlihat sulit mengatur dan membajak pikiran anak-anak yang pada

usia belajarnya mudah untuk menerapkan doktrin dan ideology Negara. Pendidikan

nasional harusnya menjadi alat Negara untuk mendidik rakyatnya sesuai dengan

konsep pendidikan kita. Pendidikan kerakyatan.

Page 7: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

Tanpa melupakan Beberapa pengalaman yang saya lalu sebagai pengajar sekitar

2009 adalah bagaimana nasehat saya kepada seorang anak didik menjadi tidak

berguna kemudian mentah karena nasehat ( mimpi) tidak sesuai dengan yang

dilihatnya (fakta) padahal saya sudah beursaha semaksimal mungkin untuk lebih

mengaktifan semangat anak didik tersebut, ini lah yang membuatnya menjadi

berbeda, bagaimana kita akan berbicara menghargai orang lain sedangkan tindakan

menghina presiden dan pemerintahan menjadi tontonan setiap hari. Bagaimana

anak anak laki tersebut dapat menghargai seorang gadis sedangkan hampir dengan

mudahnya dia mendapatkan akses untuk meliat film film kartun yang ditambah ;lagi

dengan berita pers yang kualitasnya bisa disebut murahan. Inilah dilema Negara

dunia ketiga yang punya romantisme kegagalan dan punya budaya lupa, kita tidak

boleh biarkan ini.

Tidak dapat dipungkiri bahwa realita pendidikan kita ini bagaimanapun bentuknya

ada ruang Alpa yang terlihat dalam hal ini yang memberikan pengaruh buruk yang

signifikan dan intoleran kebaikan. Padahal dengan usia yang sangat muda akan

sangat mudah mengatakan mereka harus berkarakter namun bukan berarti

memaksa tanpa aturan,Jangan paksa mereka belajar tapi paksa mereka mencintai

negaranya kemudian katakan “ kalo engkau cinta Negara , belajarmu karena itu

bukti cintamu pada negara”. Ini akan menyalurkan nasionalisme mereka. mengindari

tawuran dan penyakit anak nakal.

Mitos karakter pendidika ?? menguapnya..(kewibawaan peadogois)!

Dahulu ada pameo yang mengatakan ijajah sudah cukup untuk dapat mencari

kerja ,ngapain susa-susah belajar, lebih baik beli aja khan lebih mudah,

karakter gampang itu tinggal dibiasakan..! nah lo..gimana menurut anda. Saya

yakin beberapa dari anda pasti setuju tapi sebagian juga tidak setuju. Baik kita

luruskan pemaknaan yang salah soal diatas, yang pertama ijajah memang menjadi

syarat untuk bekerja kususnya profesi mengajar minimal D4 ini sangat jelas tertera

di UU guru dan dosen no 14 th 2005 serta pp no 9 th 2005 tentang standard

nasional pendidikan,yang kedua belajar bukan soal susah atau payah belajar tapi

pessoal kemauan titik.Ketiga , membeli ijaha saya piker gampang , sepanjang

perjalanan saya mengikuti perkuliahan ada kampus tepatnya kampus ruko tetapi

memiliki kompetensi untuk mengeluarkan ijajah ini teman-teman menyebutnya

kampus “terdaftar/terakreditasi”. Kasus ijajah palsu yang baru-baru saja terjadi di

Page 8: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

unimed adalah contoh nyata betapa ijajah mudah dibeli di

lapangan. Keempat, tetapi ketika profesi ini arus dikaitkan dengan karakter , wah

terdengar runyam karena pada faktanya pembangunan karakter kita masih

mengadat ngadat di tengah jalan, sulit menemukan karakter yang benar-benar

karakter membangun. Inilah saya takutkan barangkali ketika suatu saat seoraqng

siswa bertanya “ kenapa bapak ngomong arus rajin sedangkan bapak/ibu saja malas

masuk atau bapak aja ngajarnya asal-asalan tidak komitmen. Ingatlah pepatah

kontraproduktif, “setiap Tahun murid lebih pintar daripada gurusya”. Jadi untuk

meningkatan kualitas pendidikan tentunya membutuh banyak sekali pengembangan

pemngembangan didalam komponen-kompnen pendidikan . salah satunya adalah

ketersediannya guru professional. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak

sekali guru-guru kita yang tidak bersikap professional , banyak yang mengajar asal-

asalan. Para guru tersebut (sebagian) cenderung mengganggap anak didik seperti

air gelas kosong yang siap di isi air atau kain puti yang siap diberi warna seingga

suasana kelas mirip seperti ceramah dan berceramah. Masih untung kalo oknum

guru tersebut menggunakan 100 teknik gaya ceramah jika tidak yang dilakukannya

pasti gaya monoton, memuakan dan membosankan hingga pada akhirnya anak

didik menguap-nguap atau menetes air liurnya ke meja. Padaal gaya-gaya tersebut

mirip seperti dagelan politik yang tengah beredar di media yang intinya sangat amat

mematikan daya kreatifitas anak didik, percaya atau tidak saudara boleh

memperhatikan anak didik yang sedang berproses belajar mengajar monoton (asal-

asalan) maka anak anak tersebut akan enggan atau bahkan tidak peduli. Rata –rata

mereka akan sulit untuk mengutarakan pendapatnya maupun bertanya , wajar saja

kalau mereka akan bertindak duduk, diam, dengar PERCAKAPAN MONOLOG

GURU MEMBOSANKAN.

Hasil monolog guru Inilah yang disebutkan oleh susilo dengan sebutan “generasi

bisu”. Siswa akan bahagia merona jika kemudian gurunya tidak masuk . Dampaknya

pendidikan kita tetap saja terpuruk. Jika ini di biarkan terus terjadi maka sebuah

tamparan keras tengah melanda seisi dunia pendidikan kita ditenga carut marutnya

maslaah pendidikan di Indonesia dan menambah daftar runyam penyakit

pendidikan. Dan sulit rasanya berkompetisi dengan bangsa lain kalo sistemnya

masih seperti ini. Yang mestinya harus kita sadari bersama pembangunan karakter

akan terjadi dimulai dari bagaimana pengajarnya mampu menstranfer ilmunya dan

kebijaksananya kepada siswanya. Pengajar harus memahami kompetensi yang

harus dicapai peserta didik kreatif dan inovatif dalam melaksanakan pembelajaran.

Page 9: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

Memang waktu yang cukup lama akan sangat diperlukan karena perlu pengulangan

Penalaran dan kecermatan peserta didik yang tinggi. Kompetensi ini akan diraih jika

karakter sebuah mahasiswa pendidikan benar benar menjadi karakter

pendidik. Seinggga nantinya ketika mahasiswa tersebut terjun ke dunia pendidikan

maka dengan mudahnya karakter itu disalurkan kepada anak didiknya yang tentunya

inti dari pendidikan adalah membangun kebudayaan dan perikehidupan serta ikut

mencerdaskan bangsa sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang mandiri, kuat dan

terbaik karena berawal dari karakter asli bangsa. Kemudia Gaya mengajar juga

mencerminkan sifat dan keluhuran gurus tersebut bagaimana dia mengaplikasi

semua karakter dalam berbagai interaksi proses belajar mengajar , melakukan

varian pengajaran dan kreatif dalam menuntaskan mata pelajaran serta komitmen

teguh terhadap sumpahnya sebagai pengajar. Guru yang baik adalah guru yang

professional, guru yang mampu memotivasi anak didiknya dan menjadi teman dan

orang tua yang baik, yang dapat menyusun scenario pengajaran yang sesuai

dengan individu individu cerdas didalam kelas sebagai tanggungjawabnya

(khususnya guru wali) , guru yang memilik stlye sstratak (strategi dan takttik ) dalam

menghadapi anak didiknya sesuai tingkat kesulitannya masing masing anak.

Menciptakan ujian yang adil dan berimbang sesuai kapasitas anak. Inilah lah yang

membedakan guru dengan profesi lain,  . dengan begini kemungkinan menghancur

budaya menghina guru seperti guru dikator, guru killer, guru goblokk..akan sirna

dengan meningkatnya profesionalitasnya.guru memiliki dimensi professional yang

lain TIDAK  Meminjam istilah dari agama islam, budaya pembodohan berjamaah

akan musnah ditelan closet.

Pengajaran?

Mengutip perkataan ki hajar dewantara “ pengajaran nasional itula pengajaran yang

selaras dengan kehidupan bangsa (maatschappelijk) dan keidupan bsangsa yang

artinya mewujudkan suatu sistem pendidikan dan pengajaran yang “nasional”. dan

kata nasional disini yang dimaksud adala “untuk seluruh rakyat Indonesia “ dan “

kembali kepada milik sendiri”.

Dalam konteks nasional ki hajar dewantara bermaksud menekan kan pentingnya

kemandirian (zelfstandigheid)dan hak mengatur diri-sendiri (zelf-beschikkingsrecctht)

Terjebak dalam paragdiman pendidikan yang menurut Bahrudin ” pada umumnya

cara pandang terhadap dunia pendidikan bias makna. Pendidikan telah

Page 10: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

terlembagakan sedemikian rupa menjadi sekolahan”. Disatu sisi untuk

mencerdaskan disatu sisi muncul sebagai kekuatan industry. Sekolah terjebak mirip

seperti perusaan bidang jasa. Para keluarga dan siswanya yang datang kesekolah

tidak lebih hanyala sebagai konsemen belaka. Aroma kapitalistik terjadi antara

keduanya , ada penjual dan pembeli. parameter keberhasilan diliat dari seberapa

banyak siswa yang mendaftarkan sekolah tersebut bukan seberapa siswa yang

tercerahkan khususnya mereka yang ber ekonmi kuat, dan prestise sekolah sangat

mempengaruhi kehidupan, biar dungu asal trendi. Lingkaran ini terlallu memuja

sistem pemasaran. Ini adadalah sistem yang keliru menurut ideology kita

bahkan dengan jelas para pendiri bangsa menempatkan pendidikan sebagai

landasan dan pengawal tegaknya masyarakat bukan menjadi peluang ekonomi

kapital. Hal itu seperti tercamtum di dalam pasal 31 yang tertulis :

1. setiap warga Negara berhak memperoleh pengajaran

2. pemerintah mengusahakan dan menyelenggrakan satu sistem pengajaran

nasional yang di atur undang-undang. Undang ini secara tersirat menolak kapitalistik

pendidikan.

Ayo gerakan bersama.

Walau bagaimana pun pelaksanaan ini memerlukan kerjasama yang ekstra jika kita

ingin anak-anak kita menjadi berkarakter kuat sebagai bangsa Indonesia, dimana

setiap pasal demi pasal dan ayat demi ayat dasar Negara kita ini menjadi baju dan

otak dari pikiran anak-anak Indonesia, namum itu pun butuh kebersamaan kita

karena mengingat banyak hal yang kita butuhkan selain ketersediaan tenaga

pendidik, sarana dan prasarana pendidikan yang sangat dibutuhkan, dan juga

dibutuhkan biaya operasional pendidikan, manajemen sekolah, kepedulian

stakeholders sekolah. Dan walau perdebatan mengenai prubahan dan pergantian

kurikulum , materi pelajaran , distribusi materi informasi, filsterisasi pembelajran.

Inovasi pembelajaran , sertifikasi guru ,PLPG, kompetensi siswa, mahal nya biaya

sekolah, buku mahal, biaya seragam, rendahnya pengargaan guru, dan lainnya

sebagainya akan terus terjadi bukan berarti itu akan menjadi masalah kedepannya

dikarena itu lah bukti bahwa para pemikir dan masyarakat peduli pendidikan

menyusun dan menyiapkan landasan pendidikan kita kedepannya. Jika kita

mempertanyaankannya maka kita peduli dengan sayarat Semuanya menjadi elemen

pendidikan (siswa, guru, pemerintah, swasta) bersatu untuk bekerja sama semua

Page 11: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

solusi pasti akan menjadi jurus sakti untuk mengkarakterkan anak anak bangsanya

serta mengejar tercapainya kurikulum nasional dan visi Indonesia 2030 sekaligus

mengejar ketertinggalan dari Malaysia, singapura, dan lain lain lain pasti akan diraih.

Amin .

POSKOTA NEWS.COM

JAKARTA (Pos Kota) – Di tengah terjangan arus globalisasi atau modernisasi yang

melanda dari sekala penjuru generasi muda rentan terpengaruh oleh budaya asing

yang tidak sesuai dengan norma-norma ketimuran.

Selain itu, dalam batas tertentu harus globalisasi dan modernisasi dapat mengikis

rasa kebangsaan ke generasi muda. Bila hal ini tidak disikapi dengan bijak, generasi

muda akan kehilangan karakter kebangsaannya.

“Pembentukan karakter bangsa sangat penting agar masyarakat dan generasi muda

tidak gampang terombang-ambing oleh masuknya budaya asing, ” kata

Wamendikbud, Wiendu Nuryanti, Rabu (28\11).

Karena itu diperlukan upaya untuk kembali membangkitkan dan memperkuat tradisi

dan budaya sendiri dalam menghadapi masuknya kebudayaan dan nilai-nilai asing

yang tidak sesuai dengan norma ke-Indonesiaan.

Wiendu menjelaskan Indonesia yang memiliki beragam kekayaan tradisi di setiap

daerah jika di kelola secara baik dan benar dapat menjadi kekuatan dan melahirkan

karakter bangsa Indonesia yang kuat.

Dalam pengertian ini lanjut Wiendu Indonesia yang berkarakter adalah bagaimana

menjadikan budaya dan tradisi khas yang kita miliki bisa memperkuat kepribadian

secara personal dan bangsa keseluruhan.

“Salah satu cara menumbuhkan karakter tersebut adalah menanamkan kembali

nilai-nilai dan tradisi budaya negeri, sehingga membentuk karakter ke-Indonesiaan,”

katanya.

Karena itu, kata dia Kemendikbud melakukan upaya Penguatan Karakter Bangsa

terutama di kalangan generasi muda dengan menyelenggarakan program yang

terkait dengan Pembangunan Karakter Bangsa, salah satunya dengan

menyelenggarakan program yang terkait dengan Pembangunan karakter Bangsa,

salah satunya dengan menyelenggarakan sosialisasi  Indonesia Berkarakter di

sejumlah daerah di tanah air.

Page 12: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

Wiendu menambahkan, Salah satu bentuk sosialisasi adalah dengan diskusi dan

pemutaran film-film yang terkait dengan pembentukan karakter bangsa. “Diskusi dan

pemutaran film akan diselenggarakan disejumlah kota diantaranya: Palembang,

Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Makassar,

Sulawesi Selatan, Denpasar, Bali, dan Jayapura, Papua,” jelas Wiendu.

Adapun film-film yang diputar adalah film dokumenter mengenai warisan dunia

(world heritage) yang dimiliki Indonesia, antara lain Noken, Subak, Batik, Wayang,

Prambanan, Keris, dan Sangiran.

Wiendu mengharapkan melalui sosialisasi seperti ini generasi muda akan dapat

menarik pelajaran dan contoh dari kearifan budaya Indonesia yang tercermin dalam

tradisi dan budaya lokal, mulai hidup rukun, tolong-menolong, saling menghargai,

dan etika bermasyarakat serta bagaimana beragama di tengah multikultarisme

masyarakat Indonesia.

“Melalui tema besar “Indonesia Berkarakter” di harapkan akan tumbuh dan

berkembang nilai-nilai karakter kebangsaan di kalangan generasi muda yang kuat

dan selanjutnya dapat membawa Indonesia lebih maju dan lebih baik. Indonesia,

Aku Bangga ,” kata Wiendu.

Pengembangan Karakter dan Kepribadian Mahasiswa Penting Bagi Dunia

Pendidikan

Universitas Jenderal Sudirman

Krisis multidimensional merupakan masalah besar yang sedang dihadapi bangsa

Indonesia. Karakter bangsa yang berada di titik nadir merupakan tantangan bagi

dunia pendidikan. Tidak terkecuali bagi UNSOED sebagai salah satu cikal bakal

lahirnya pejuang muda yang melahirkan generasi yang intelektual ikut bertanggung

jawab dalam perbaikan bangsa. Memiliki kompetensi akademik yang unggul secara

intelektual dan memilki ketrampilan sesuai dengan Visi, Misi dan Tujuan Fakultas

Ekonomi UNSOED menjadi landasan dilaksanakannya kegiatan PKKM

(Pengembangan Karakter dan Kepribadian Mahasiswa) yang diikuti oleh mahasiswa

baru tahun akademik 2012/2013. Kegiatan PKKM ini diselenggarakan selama dua

hari, dimulai pada 4 - 5 September 2012 bertempat di gedung A, gedung C, gedung

D dan gedung G Fakultas Ekonomi UNSOED. Jumlah peserta PKKM sekitar 929

mahasiswa baru dengan Trainer  dari dosen Fakultas Ekonomi UNSOED dan

mahasiswa lama sebagai Co-trainer dengan satgas yang terdiri dari 2 mahasiswa

lama (Rabu,5/9/12).

Page 13: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

Pengembangan Karakter dan Kepribadian Mahasiswa perlu mensinergikan dengan

model pendidikan, dimana mengingat akan sebuah karakter perlu ditumbuhkan

sejak awal karena penumbuhan aspek afektif memerlukan jangka waktu yang

lama. Secara khusus pengembangan pendidikan karakter dan kepribadian

mahasiswa dikembangkan dengan menggunakan model pengintegrasian nilai

secara tidak langsung (nuturrant effect) sehingga mahasiswa di samping menguasai

kompetensi yang berkaitan dengan mata kuliahnya juga memiliki karakter yang

diperlukan. Model yang dikembangkan mengintegrasikan karakter rasa ingin tahu

tinggi (eksploratif), kreatif, kritis, berani mencoba, yakin bisa melakukan (self

efficacy), bertanggung jawab terhadap tugas, kerjasama, disiplin, kerja keras,

mampu mengatur diri dan merefleksi diri untuk mencapai tujuan (self regulatory).

Selain itu, model perkuliahan diharapkan juga menjadi model pembelajaran aktif dan

model pendidikan karakter terintegrasi dengan mata kuliah/mata pelajaran

berkarakter.

 

Dengan kegiatan ini diharapkan bisa mengantarkan mahasiswa baru memasuki

lingkungan baru yang menuntut kemandirian, kerjasama, kedewasaan dan integritas

berpikir, bersikap dan bertindak.

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Membangun Mahasiswa Berkarakter

“When wealth is lost, nothing is lost. When health is lost, something is lost. When

character is lost, everything is lost.”

Ungkapan di atas – yang sering Saya dengar dari Prof. Yoyo Mulyana dulu –

rasanya penad dengan realita kehidupan yang kita alami sebagai bangsa pada hari

ini. Krisis dan bencana yang berkali-kali dialami bangsa ini tak juga membuat kita

mampu mengambil pelajaran darinya untuk kemudian bangkit kembali menjadi

bangsa yang besar dan bermartabat. Bahkan tak sedikit pemuka agama, intelektual,

dan rohaniwan yang meyakini kondisi kehidupan bangsa yang makin buruk dan

terpuruk. Dan semua terjadi karena makin hilangnya jatidiri kita sebagai bangsa.

Bangsa ini mengalami krisis identitas, krisis kepemimpinan, krisis keteladanan,

hingga krisis moral. Korupsi yang makin menggurita dan melibatkan banyak petinggi

negara merupakan simptoma yang nyata dan tak terbantahkan. Juga hukum yang

tak mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat, kolusi, nepotisme, dan praktik-

Page 14: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

praktik immoral para penyelenggara negara merupakan indikasi lain yang  menjadi

tontonan masyarakat setiap hari. Sementara itu, berbagai perilaku kekerasan di

kalangan masyarakat, ketidakpedulian, intoleransi, perjudian, serta berbagai

kriminalitas yang makin kerap terjadi menjadi semacam bukti yang menunjukkan

bahwa bangsa ini sedang sakit. Inilah akar persoalan yang kita hadapi sebagai

bangsa yang semuanya berakar pada makin tergerusnya moralitas sebagai inti dari

karakter manusia, jatidiri bangsa.

Tidak hanya menjalar di kalangan politisi dan rakyat biasa, KKN juga telah

menjangkiti komunitas yang menjadi garda moral masyarakat. Ulama yang harusnya

memberikan tuntunan bagi masyarakat kini beralih profesi menjadi entertainer yang

dituntut untuk menjadi tontonan dan memuaskan dahaga masyarakat akan hiburan,

tentu dengan tarif komersil yang setara dengan kelas “keartisannya”. Senada

dengan itu, tak sedikit ulama di kampung-kampung yang memperjualbelikan ilmu

dan pengaruhnya. Mulai dari menawarkan “mahar” untuk menebus wafak dan

berbagai produk kesaktian instan, hingga menerima dana hibah dan hadiah umroh

gratisan sebagai kompensasi atas dukungannya dalam Pemilu dan Pemilukada.

Simptoma yang serupa tapi tak sama juga menggejala di masyarakat kampus yang

selama ini diyakini sebagai dunia ideal. Korupsi dalam segala bentuk dan modusnya

kini nyaris akrab dengan kehidupan kampus sehari-hari. Mulai dari praktik titip-

menitip dalam penerimaan mahasiswa baru, kolusi dan nepotisme dalam

penerimaan pegawai dan dosen, korupsi dan manipulasi dalam proyek-proyek dan

kegiatan kampus, berbagai tindak plagiarism yang makin marak, hingga praktik jual-

beli nilai, skripsi, bahkan gelar kesarjanaan. Semua bukan lagi isapan jempol,

namun benar-benar nyata terjadi di kampus-kampus kita.

Dampak sistemik dari itu semua tentu mudah dihipotesiskan, atmosfir akademik

makin kering kerontang. Seminar dan kelompok-kelompok diskusi makin langka

ditemukan. Perkuliahan terlaksana hanya sebagai rutinitas tanpa makna, sekedar

menggugurkan kewajiban untuk “menghalalkan” honor atau gaji yang diterimanya

setiap bulan. Perkuliahan gagal menjadi sarana transfer ilmu pengetahuan karena

orientasi mendapatkan nilai telah menghalalkan segala cara untuk mencapainya.

Kampus kehilangan kebijaksanaannya akibat tergerusnya intelektualitas oleh

pragmatisme yang meraja, yang tercermin dari hilangnya martabat, kewibawaan,

dan keberadaban warga kampus dalam setiap sikap dan tindakannya. Hilangnya

sikap kritis masyarakat kampus serta maraknya kebebasan berpendapat dan

berekspresi yang jauh dari nilai-nilai intelektualitas yang beradab, merupakan gejala

Page 15: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

yang sangat mudah ditemukan akhir-akhir ini. Dan mahasiswa pun kehilangan

keteladanan akibat kelangkaan figur akademisi yang dapat dijadikan sebagai raw

model dalam mengembangkan sikap dan kepribadiannya. Memang tak mudah untuk

memutus mata rantai kultur yang telah sangat patologis ini, kendati tak berarti bahwa

ini tak mungkin untuk dilakukan. Artikel ini sekedar menawarkan gagasan guna

meretas harapan dalam mengeradikasi patologi di atas. Semoga.

Karakter Mahasiswa Seharusnya

Tak mudah untuk mendefinisikan karakter mahasiswa (Untirta) yang ideal, apalagi

dengan segudang persoalan yang patologis tersebut di atas.  Pendekatan filosofis

yang radikal lebih dari sekedar perlu untuk dilakukan mengingat bahasan tentang

karakter itu sendiri merupakan tema yang radikal, terlebih tema ini pun menjadi

kebutuhan mendasar bagi Untirta yang tengah meretas jalan untuk menemukan

jatidirinya sebagai perguruan tinggi negeri baru di provinsi yang juga baru.

Secara filosofis memahami dimensi ontologis hingga aksiologis dari mahasiswa

dalam konteks ruang dan waktu merupakan cara paling mendasar guna

menemukenali jatidiri dimaksud. Dengan pendekatan inilah karakter mahasiswa

(Untirta) satu persatu dapat didefinisikan sebagai berikut:

Pertama, mahasiswa adalah bagian dari entitas akademik di sebuah perguruan

tinggi sehingga kemudian disebut sebagai akademisi dalam arti “member of an

academy”. Perguruan tinggi adalah wadah yang harusnya memberi bentuk bagi

entitas yang bernaung didalamnya. Dengan demikian karakter pertama yang harus

dimiliki mahasiswa adalah karakter seorang pembelajar, yang haus akan ilmu

pengetahuan dan kebenaran, intelektual yang senantiasa berpikir kritis dalam

memecahkan masalah dan fenomena sosial maupun alam yang terjadi, yang tunduk

patuh pada etika akademik dan ilmu pengetahuan, yang sadar akan kebebasan

akademik dan kebebasan mimbar akademiknya secara beradab dan

bertanggungjawab, serta sadar akan tanggung jawab moralnya untuk

mendayagunakan ilmu pengetahuan bagi sebesar-besarnya kebaikan dan

kesejahteraan masyarakat.

Kedua, Untirta sebagai wadah memiliki karakteristik  yang integral dengan nilai

sosio-historis masyarakat dan daerah tempatnya berada. Karenanya, karakteristik

inilah yang harusnya menjadi pembeda dengan mahasiswa perguruan tinggi lain.

Dalam hal ini, karakter dan warisan Sultan Ageng Tirtayasa harusnya menjadi

sumber nilai dalam membangun jatidiri sivitas akademikanya. Jiwa kepemimpinan

yang merakyat dan patriotis dilandasi oleh pendekatan saintifik serta religiusitas

Page 16: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

yang tinggi, merupakan karakter dasar Sultan Ageng Tirtayasa yang harus

disemayamkan sebagai karakter sivitas akademika Untirta.

Ketiga, mahasiswa Untirta merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional

dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karenanya kesadaran akan

eksistensi formalnya tersebut harusnya telah terinternalisasi sebagai karakter

mahasiswa Untirta, sehingga mahasiswa secara sadar menjadi bagian dari upaya

sadar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, menjunjung tinggi kepentingan

bangsa dan Negara di atas kepentingan pribadi/golongan, taat azas terhadap

konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku, serta bertanggung jawab

terhadap masa depan bangsa dan negaranya.

Keempat, mahasiswa Untirta merupakan anak bangsa yang menjadi bagian inheren

dari masyarakat. Mahasiswa merupakan representasi dari rakyat baik dalam konteks

kekinian maupun masa depan. Dan mahasiswa adalah duta para orang tua, yang

diutus oleh orang tuanya untuk menjalankan misi pribadi dan keluarga. Karenanya,

mahasiswa Untirta tidak boleh tercerabut dari akar sosiologisnya saat “bertahta” di

menara gading. Mahasiswa harus tetap menjadi bagian dari masyarakat, mampu

berempati terhadap segenap persoalan masyarakat, serta menjadi bagian produktif

untuk meretas jalan keluar terhadap persoalan-persoalan tersebut. Karenanya

diperlukan karakter mahasiswa yang kritis sekaligus empatif dalam menyuarakan

kehendak masyarakatnya, serta kreatif dan inovatif dalam menjawab tantangan

serta permasalahan yang dihadapi masyarakat yang notabene merupakan orang tua

yang mengutus mereka sebagai duta.

Kelima, mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat dunia yang bersuku-suku

dan berbangsa-bangsa. Kesadaran akan kebhinekaan ini merupakan karakter dasar

guna membangun sikap toleran, saling menghormati, dan humanis guna dapat

bekerjasama secara sinergis dalam mewujudkan tatanan masyarakat dunia yang

adil dan sejahtera.

Dan keenam, mahasiswa merupakan insan yang tak boleh terpental jauh dari

eksistensi transedentalnya sebagai mahluk Tuhan yang membawa misi kenabian

guna dapat menjadi khalifah di muka bumi yang bertanggung jawab terhadap

kelangsungan hidup serta kesejahteraan semua mahluk yang ada di muka bumi.

Karenanya, mahasiswa Untirta haruslah pribadi-pribadi yang taat dalam

menjalankan ibadah formalnya serta mampu mewujudkan hakikat ibadah yang

dijalaninya tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.

Page 17: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

Keenam kesadaran eksistensial inilah yang harusnya menjadi landasan dalam

membangun paradigma dan metoda dalam melakukan pembinaan karakter

mahasiswa, sehingga internalisasi akan dimensi aksiologis dan eksistensinya itu

dapat berlangsung secara alamiah dan manusiawi. Tentu bukan proses yang

mudah, apalagi dalam wadah organisasi perguruan tinggi yang kompleks dan

seringkali terkendala oleh kultur birokrasi yang lambat, inefisien, dan formalistik. Lalu

bagaimana dan darimana harus memulainya?

Kepemimpinan yang Kuat

Jika iron will mutlak dibutuhkan untuk mengubah nasib seseorang, maka dibutuhkan

kepemimpinan yang kuat untuk mengubah banyak orang beserta tatanan relasi yang

dibangun diantara mereka. Inilah kata kunci pertama yang Saya yakini justru

merupakan bagian dari akar persoalan bangsa ini. Krisis moralitas yang begitu akut

hampir-hampir tak menyisakan figur-figur pemimpin yang kredibel untuk

mewujudkan idealitas peran kepemimpinannya. Strong leadership dimaksud tentu

bukan dalam arti otoritarianisme maupun totalitarianism, melainkan pemimpin yang

mampu menjadi teladan dalam setiap perkataan dan perbuatannya, berani

melakukan terobosan-terobosan yang mampu mengikis habis keputusasaan, apati,

dan ketidakpastian yang dialami masyarakatnya, serta menjadi inspirasi bagi tumbuh

kembangnya inisiatif masyarakatnya untuk memberdayakan dirinya sendiri secara

mandiri.

Integralitas ikhtiar barulah menjadi kata kunci kedua yang relevan diketengahkan

mengingat bahwa pendidikan merupakan upaya sistemik yang melibatkan banyak

faktor dan aktor di dalamnya. Dalam konteks perguruan tinggi, perlu ada

keterpaduan dalam segala aktivitas yang dilaksanakan oleh setiap orang pada

setiap peran yang dijalankan di setiap unit-unit kerjanya. Perlu ada skenario

pembiasaan yang dilakukan secara terstruktur dan sistemik dalam membangun

kebiasaan yang positif, tidak hanya bagi mahasiswa namun juga bagi seluruh dosen

dan karyawan. Pembelajaran harus dimaknai tidak hanya sebagai aktivitas

perkuliahan di kelas, namun seluruh proses dan interaksi yang terjadi di dalam

maupun di luar kampus. Karenanya, interaksi di luar kelas pun merupakan bagian

inheren dari peran dan eksistensi mahasiswa yang tak boleh bertabrakan satu

dengan yang lain sehingga kesatupaduan pribadi (bukan split personality)

mahasiswa dalam berpikir dan bertindak di dalam dan di luar kelas dapat terbangun.

Dan kata kunci ketiga tentulah reward and punishment. Keseimbangan dalam

memberikan kompensasi maupun sanksi merupakan keharusan dalam membangun

Page 18: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

harmoni sosial.Reward dalam segala ragam bentuknya merupakan stimulan yang

dibutuhkan guna memotivasi masyarakat untuk melakukan sesuatu.

Sementara punishment merupakanearly warning system guna mencegah seseorang

untuk melakukan sesuatu yang dilarang. Kepastian dan ketegasan dalam

menerapkan keduanya tentu diperlukan dalam membangun kewibawaan dan

martabat suatu sistem sosial, sehingga terbangun pula penghormatan dan

kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan dan sistem tersebut sebagai

umpan baliknya. Dan pada akhirnya kontrol dan sanksi sosial terbangun sebagai

bonus dari adanya kebutuhan masyarakat akan harmoni sosial  serta penghormatan

dan kepercayaan publik terhadap kapasitas dan kredibilitas sistem tersebut dalam

memenuhi hajat hidup mereka.

Penutup

Sejarah mencatat adanya keunggulan karakter suatu bangsa sebagai pilar utama

kejayaan dan resiliensi peradaban bangsa tersebut. Dan sejarah pun mencatat

kehancuran peradaban suatu bangsa pun terjadi karena keterpurukan moral yang

melanda bangsa tersebut. Karenanya, persoalan karakter ini bukanlah persoalan

kecil dan sederhana karena eksistensinya yang penting sebagai core of civilization.

Itu sebabnya mengapa Allah menurunkan para nabi dan rasul serta kitabullah untuk

memperbaiki karakter umat manusia. Rasulullah SAW., bahkan diberikan misi

khusus untuk menyempurnakan akhlak ummat manusia (nobel qualities of

character).

Kesadaran setiap bangsa akan pentingnya karakter bagi bangsanya telah

mendorong setiap bangsa untuk melakukan pelembagaan dan internalisasi ideologi

bagi bangsanya. Indoktrinasi adalah cara efektif di masa lalu kendati cepat lekang

digerus jaman seiring dengan bangkitnya kesadaran global akan harkat dan

martabat manusia. Pendekatan yang lebih manusiawi melalui pendidikan yang

mampu membebaskan pikiran tampaknya jauh lebih tepat diterapkan di era yang

telah makin terbuka saat ini. Juga jauh lebih efektif dalam jangka panjang kendati

membutuhkan proses yang lama serta kesungguhan komitmen yang prima.

Sepenggal bait refrain pada lagu Hymne Untirta berikut ini tampaknya sangat

relevan dengan pendekatan dimaksud, “Harapan ku serahkan padamu almamater,

Universitas Tirtayasa tempat ilmu yang abadi. Yang membawa kemajuan, pembebas

pikiran bangsa.” Semoga..

Page 19: Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Klipping Koran

SRIPOKU.COM, PALEMBANG --- Pihak Rektorat Universitas Muhammadiyah

Palembang (UMP), mengimbau seluruh mahasisiwa baru untuk bergabung dalam

wadah organisasi di lingkungan intren kampus. Hal ini disampaikan Wakil Rektor

(WR) III UMP Abid Djazuli, kepada Sripoku.com, Selasa (16/10/2012).

“Aktif dalam sebuah organisasi kampus, merupakan salah satu langkah

pembentukan karakter dalam diri seorang mahasiswa. Jadi dianjurkan agar setiap

mahasisiwa untuk terlibat aktif dalam organisasi di lingkungan UMP,” ujar Abid.

Abid menjelaskan, aktif dalam organisasi kampus dari berbagai bidang, dinilai

mampu sebagai pembentukan pribadi seseorang mahasiswa. Selain itu,

pengalaman sebagai mahasisiwa yang berorganisasi, bisa menjadi bekal ketika

akan bersaing pada dunia kerja jika dibandingan dengan mahasiswa yang hanya

aktif dalam aktivitas perkuliahan saja.

Prestasi mahasisiwa bukan saja ditunjang dengan prestasi akademik. Faktor

pengalaman mahasisiwa dalam organiasi kampus, juga sebagai salah satu faktor

penting untuk menunjang suksesnya mahasiswa kelak setelah selesa kuliah. 

“Terbukti saya memantau mahasiswa yang aktif organisasi kampus, mereka lebih

bisa berkompetisi pasca dari selesai kuliah. Secara sikap pribadi, mahasisiwa yang

aktif oranisasi kampus tampak lebih tegas,” ujarnya.

Tingkatan organisasi kampus di lingkungan UMP, Abid menjelaskan terbagi menjadi

dua. Pertama organisasi tingkat universitas dan kedua organisasi tingkat fakultas.

Setiap organisasi yang ada merupakan kegiatan positif sebagai wadah penyaluran

aktivitas mahasisiwa di luar waktu perkuliahan.

“Dalam satu minggu, kegiatan organisasi kampus diadakan tiga kali tergantung dari

kepengurusannya. Jadi, dari pada nongkrong-nonkrong lebih baik ikut organisasi

kampus,” ujarnya.