24
Edisi II / September 2009 Australia Community Development and Civil Society Strengthening Scheme Phase II IDSS Buletin ACCESS ACCESS Media Publikasi Program ACCESS Tahap II Membumikan Konsep Tata Kepemerintahan Lokal yang Demokratis UU Pelayanan Publik Agar Warga Tak Jadi Korban Wawancara: DR. Ir. H. Rosiady Husaenie Sayuti, M.Sc. “Pembangunan Jangan Business as Usualacces-mockup-mas OK.indd 1 9/10/2009 2:39:57 PM

Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

Edisi II / September 2009

Australia Community Development and Civil Society Strengthening Scheme Phase II

IDSS

Buletin

ACCESSACCESSMedia Publikasi Program ACCESS Tahap II

Membumikan Konsep Tata Kepemerintahan Lokal yang Demokratis

UU Pelayanan Publik

Agar Warga Tak Jadi KorbanWawancara: DR. Ir. H. Rosiady Husaenie Sayuti, M.Sc.

“Pembangunan Jangan Business as Usual”

acces-mockup-mas OK.indd 1 9/10/2009 2:39:57 PM

Page 2: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

Dapur Redaksi

Pembaca yang terhormat, majalah di tangan Anda ini merupakan majalah edisi kedua bagi ACCESS Tahap II. Namun, bagi tim produksi, majalah ini adalah edisi pertama kali.

Oya, sebelum itu kami perkenalkan diri dulu. Kami Sloka Institute adalah lembaga pengembangan media, jurnalisme, dan informasi di Denpasar Bali. Mulai Juli lalu, kami bekerja sama dengan ACCESS Tahap II untuk mengelola majalah empat bulanan ini. Sebelumnya majalah ini dikelola oleh ACCESS sendiri dengan sumber daya yang ada.

Nah, sejak edisi September ini, Sloka Institute yang akan mengelola. Kami bertanggung jawab untuk memproduksi majalah mulai dari perencanaan, penulisan, penataletakan (layout), hingga percetakan. Semua tahapan itu tentu saja dikerjakan dengan tetap berkoordinasi dengan tim ACCESS Tahap II.

Tak hanya pengelolaan yang berganti, materi majalah ini pun mengalami beberapa perubahan, yang semoga, lebih baik dari edisi sebelumnya. Misalnya gaya penulisan dan desain yang dibuat lebih populer. Kami berusaha membuatnya lebih baik.

Menurut rencana, majalah ACCESS harus terbit tiap empat bulan sekali. Namun dalam praktiknya tim redaksi harus menyelesaikan majalah ini kurang dari setengah waktu yang diberikan tersebut. Ini karena masalah-masalah teknis seperti persiapan kerjasama, penentuan tema, dan semacamnya.

Tema edisi ini adalah tentang keterlibatan (engagement) warga dalam mendorong Tata Kepemerintahan Lokal yang Lebih Demokratis (TKLD).

Meski penulis dan pengelola majalah ini adalah wartawan yang sudah biasa meliput isu-isu lembaga swadaya masyarakat (LSM), namun isu TKLD adalah hal baru bagi kami. Caranya, selain kami berusaha keras dengan membaca berbagai referensi dari ACCESS terkait dengan program secara umum maupun tentang TKLD, kami juga belajar dari lapangan. Kami melakukan riset, reportase, dan wawancara dengan narasumber yang relevan. Salah satunya adalah ke Nusa Tenggara Barat (NTB), salah satu lokasi program ACCESS Tahap II. Selama lima hari, reporter kami Luh De Suriyani menemui berbagai pihak terkait dengan tema ini seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) NTB, lembaga mitra, dan tentu saja warga yang terlibat. Reportase ini kami lakukan agar kami bisa menyampaikan persoalan dengan lebih, meminjam istilah dalam media mainstream, basah.

Selain itu, kami juga sekalian membagi pengetahuan dan kemampuan kami dalam media relations ataupun jurnalistik. Kami berencana melakukan reportase dan diskusi semacam ini juga ke daerah lain. Jadi, silakan sabar menunggu kedatangan kami seperti halnya menunggu kedatangan majalah edisi selanjutnya. [Redaksi]

Buletin ACCESS adalah media publikasi program dan kegiatan Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS) Phase II. Buletin ini diterbitkan tiap empat bulan sekali dengan target pembaca dari kalangan masyarakat umum, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, serta kalangan lain yang relevan dengan program ACCESS untuk mewujudkan tata kepemerintahan lokal yang demokratis.

Tim Buletin ACCESSPemimpin Redaksi: Direktur Program Tahap IIRedaksi Pelaksana: STO MEL ACCESS Tahap IIKontributor: Staf ACCESS dan Mitra

Tim Produksi Sloka Institute Koordinator: Anton MuhajirReporter: Luh De SuriyaniDesigner: Agus Sumberdana Kartunis: Syamsul “Isoul” Arifin

Alamat RedaksiJl Noja Ayung No 3 Gatsu TimurDenpasar 80237

Telp +62 361 7989495 | Fax +62 361 462976 | SMS [email protected] | www.sloka.or.id

Daftar Isi

02. Dapur Redaksi | Daftar Isi03. Surat Pembaca | Interaksi04. Editorial10. Wawancara11. Opini12. Galeri14. Pojok Kebijakan15. Inspirasi16. Kabar Lapangan18. Jaringan19. Referensi20. Update22. Profil23. Selingan

Interaksi dinamis organisasi masyarakat sipil dengan pemerintahan untuk menjamin keadilan bagi perempuan

dan orang-orang miskin merupakan salah satu syarat terwujudnya TKLD. Program ACCESS Tahap II berupaya memberdayakan warga dan organisasinya agar mereka menyadari dan mampu menuntut hak-haknya dan berpartisipasi aktif untuk mewujudkannya. Fokus membahas bagaimana program ACCESS mendorong keterlibatan warga dalam mewujudkan TKLD.

Fokus Hal. 05

02

acces-mockup-mas OK.indd 2 9/10/2009 2:39:58 PM

Page 3: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

Informasi yang ditulis Buletin ACCESS selama ini sangat membantu untuk menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat. Karena kami bisa tahu pengalaman kegiatan maupun program di daerah lain. Kami juga bertambah wawasan misalnya kalau ada tulisan tentang buku atau jaringan.

Kami juga lebih termotivasi kalau majalah ini menyertakan foto dan gambar kegiatan. Masyarakat jadi termotivasi untuk melakukan kegiatan seperti yang dimuat di majalah. Apalagi kalau cerita dan foto kami ada di majalah, kami pasti jauh lebih senang. Sebab kami bisa membagi pengalaman untuk pembaca di daerah lain.

Untuk perbaikan majalah, saya usul agar penulisannya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat umum. Kalau orang LSM kan tidak apa-apa membaca tulisan dengan bahasa yang ada saat ini. Karena mereka sudah tahu bahasa internasional sekalipun. Maka, kami berharap majalah edisi selanjutnya akan menggunakan bahasa yang lebih mudah dimengerti masyarakat.

Darius ND – Staf KoppesdaJl Piere Tendean No 1 Kampung Arab

Waingapu Sumba TimurNusa Tenggara Timur

Email [email protected]

Karena memiliki banyak bahan menarik untuk dipublikasikan di Buletin ACCESS, kami sangat ingin bisa dimuat di buletin. Cuma karena tidak punya akses ke redaksi buletin, kami hanya memendam keinginan itu. Selain itu juga karena tidak ada permintaan dari redaksi. Makanya besok-besok kalau butuh informasi, silakan kontak kami.

Program kami selama ini lebih banyak untuk community development seperti pemberdayaan masyarakat terutama di bidang teknologi informasi dan data base. Salah satu program terakhir kami adalah pembuatan data base di Kabupaten Jeneponto. Selama enam bulan kami mengumpulkan data tersebut dari seluruh desa di kabupaten. Saat ini sudah ada permintaan dari Kabupaten Bantaeng.

Selain itu, kami juga mengusulkan adanya Koran Desa di dua kabupaten yaitu Jeneponto dan Bantaeng. Dengan sekitar 180 desa di sini tentu bagus kalau ada media penyebaran informasi sesama warga desa. Semoga ACCESS bisa memfasilitasi.

Rahmat – Yayasan Mitra TurateaJl Lanto Daeng Pasewang No 195

Jeneponto Sulawesi SelatanEmail [email protected]

Perlu Bahasa yang Lebih Mudah Dimengerti Siap Menyumbang Bahan Tulisan

Interaksi Saya terbantu dengan ulasan-ulasan mengenai metodologi program penjangkauan yang dibahas di Buletin ACCESS. Misalnya CLAPP atau Outcome Mapping. Bagus sekali ACCESS berbagi tentang metodologi-metodologi itu dan semoga terus ada rubriknya. Ini berguna untuk internal NGO, tapi memang akan sulit dipahami masyarakat umum.

Karena itu sebaiknya ada porsi tulisan-tulisan yang bisa dipahami masyarakat secara luas. Agar pengalaman di lapangan bisa dipelajari publik. Kalau isinya terlalu merujuk pada penggunaan istilah-istilah teknis NGO, terlalu akademis, jadi tidak membumi.

Implementasi metodologi itu ternyata untuk mengakomodasi warga untuk terlibat dalam musyawarah pembangunan desa (Musrenbang). Ini menarik sekali. Saya pernah mengikuti pertemuan pemerintah dan warga yang melibatkan semua LSM. Bagus sekali kalau bisa begitu.

Namun, sayang, saya sering lupa dengan isi dan kampanye Buletin ACCESS karena jadwal penerbitannya lama, empat bulan sekali. Kalau lembaganya pasti ingat terus tapi majalahnya sering lupa mengulas apa saja.

Catur Y. Hariani Direktur Eksekutif Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup

(PPLH) Bali Jl Hang Tuah No 24 Sanur Denpasar Bali Telp. 0361 – 288221 Email : [email protected]

Surat Pembaca

Topik "INTERAKSI" edisi berikutnya : Strategi Musrenbang yang Inovatif

Anda pernah mengikuti Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang)? Bagaimana sebaiknya proses Musrenbang berlangsung agar bisa memperhatikan semua pendapat dan peserta terlibat aktif?

Kirimkan ide-ide kreatif Anda sebagai usulan maksimal 300 kata ke alamat redaksi Buletin ACCES melalui email ke: [email protected] id. Misalnya: Menurut saya Musrenbang harusnya bisa juga menampung pendapat masyarakat melalui SMS atau email. Opini paling menarik akan dipublikasikan dan mendapat hadiah.

03

acces-mockup-mas OK.indd 3 9/10/2009 2:39:58 PM

Page 4: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

Program ACCESS Tahap II bertujuan agar warga dan organisasi mereka berdaya serta memiliki posisi tawar yang memadai untuk melakukan interaksi aktif dengan pemerintahan lokal, baik eksekutif maupun legislatif, dalam upaya meningkatkan hasil-hasil pembangunan.

Ada tiga pihak yang terlibat dalam proses pembangunan yaitu pemerintah, swasta, dan civil society seperti organisasi warga, kelompok masyarakat, partai politik, organisasi massa, dan seterusnya. Dalam praktiknya, swasta menjadi pihak yang mendominasi dua pihak lain. Karena itu masyarakat sipil harus didorong agar berdaya dan mempunyai posisi tawar terutama dalam hubungannya dengan pemerintah.

Masyarakat sipil tidaklah tunggal. Sangat banyak aktor yang terlibat. Karena itu ACCESS menggunakan prinsip program harus berpihak pada perempuan, warga miskin, dan kelompok terpinggirkan lain. Strateginya melalui tiga hal yaitu pemberdayaan masyarakat, meningkatkan interaksi dinamis para pihak, dan memperluas dampak (scaling up) ke daerah lain. Masyarakat sudah berdaya ketika sudah memiliki kesadaran kritis, mereka terorganisir, serta mampu memobilisasi sumber daya yang ada seperti keahlian, uang, fisik, dan seterusnya.

Interaksi aktif dengan pemerintah bisa dilihat misalnya ketika warga bisa menuntut hak mereka sebagai warga negara terkait dengan pembangunan. Salah satu contoh di lapangan adalah penggunaan citizen report card di beberapa daerah lokasi program. Kartu

ini merupakan bentuk keterbukaan pengelolaan oleh aparat negara. Contoh lainnya adalah community complaint centre, yang lebih akrab disebut community centre. Melalui contoh-contoh tersebut, warga bisa berinteraksi dengan pemerintah secara langsung dan memberi umpan balik terhadap pelayanan yang mereka terima.

Tata Kepemerintahan Lokal yang Demokratis (TKLD) sendiri merupakan fokus besar. Ada empat area kunci di mana masyarakat sipil bisa mempengaruhi untuk mewujudkan TKLD yaitu memastikan partisipasi warga, meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan keterbukaan informasi; memastikan pelayanan publik yang bermutu, serta mengupayakan keadilan sosial dan penegakan hukum. Keberpihakan pada kelompok yang termarginalkan sangat penting. Contohnya, partisipasi warga hanya berarti jika ada keterlibatan semua pihak terutama orang miskin, perempuan, dan masyarakat terpinggirkan di berbagai tingkat. Sebab selama ini pelaksanaan pembangunan terutama melibatkan elit setempat. Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) misalnya lebih banyak diikuti elit desa setempat daripada masyarakat miskin atau perempuan.

Agar forum seperti Musrenbang ini bisa diikuti masyarakat umum, perlu ada dua arah pendekatan. Pertama, meningkatkan kapasitas warga. Selain kesadaran kritis juga kemampuan untuk berinteraksi aktif. Kedua, melakukan pendekatan pada formal leader seperti kepala desa atau pemimpin komunitas setempat. Sebab kalau pihak seperti ini tidak didekati, jangan-jangan mereka tidak mau menerima masyarakat lain untuk terlibat dalam Musrenbang itu sendiri.

Warga akan mengambil tanggungjawab di dalam pembangunan jika sejak awal mereka memang dilibatkan. Di ACCESS, warga sudah dibiasakan untuk terlibat bahkan sejak pemetaan wilayah. Di semua kabupaten lokasi program ACCESS Tahap I yaitu Jeneponto, Bantaeng, Lombok Tengah, Lombok Barat, Buton, Muna, Sumba Barat

dan Sumba Timur warga marginal sudah terlibat dalam perencanaan dengan merancang dan menggunakan local poverty indicator atau ukuran tingkat kemiskinan dengan indikator lokal. Dalam proses ini warga sendiri, bukan orang lain, membuat penilaian terhadap tingkat kemiskinan mereka dengan menggunakan indikator seperti bangunan tempat tinggal, pola makan, pola penanganan anggota keluarga yang sakit, kepemilikan ternak, tingkat pendidikan, dan seterusnya.

Hasil ini dituangkan di sebuah peta desa (peta sosial dan ekonomi) sebagai bagian dari informasi yang digunakan warga untuk membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Misalnya ketika ada bantuan dari pemerintah, warga sudah tahu siapa yang berhak mendapatkan. Atau ketika perlu biaya untuk pembangunan, warga sudah tahu siapa saja warga desa yang kaya yang mampu menyumbang.

Meski demikian, menurut ACCESS, hal yang lebih penting bukanlah benda seperti RPJMDes atau ukuran tingkat kemiskinan itu tadi. Semua itu hanya alat. Hal yang lebih penting bagi ACCESS adalah bahwa warga terutama yang miskin, perempuan dan kelompok marginal lain sudah berdaya. Dengan demikian mereka bisa merencanakan dan menentukan pembangunannya sendiri.

Partipasi warga tidaklah berdiri sendiri. Dia terkait dengan area lain seperti transparansi dan akuntabilitas serta keadilan sosial. Partisipasi juga mewujudkan adanya rasa memiliki pada warga sehingga mereka mau melaksanakan proses sejak awal dan bersemangat melaksanakan program.

Editorial

Dari Wawancara dengan Paul Boon Direktur Program ACCESS Tahap II

Perlunya Melibatkan Warga dalam Pembangunan

Pusat pengaduan pelayanan publik di desa sangat membantu. Kalau di kantor pemerintah, ibu-ibu kan malu, belum lagi ditanyakan macam-macam. Sekarang kami, perempuan di desa tidak cuma manggut-manggut saja, tapi ikut ngomong. (Kustiyah, Ketua Community Center (CC) Mandiri, Desa Kekeri, Lombok Barat)

04

acces-mockup-mas OK.indd 4 9/10/2009 2:39:59 PM

Page 5: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

Membumikan Konsep Tata Kepemerintahan Lokal yang Demokratis

Surat itu ditempel di dinding sekretariat bersama Pusat Pengaduan dan Pemberdayaan Masyakarat Mandiri, yang lebih dikenal dengan nama Community Centre (CC) Mandiri. Isinya kesepakatan bersama antara CC Mandiri dan Puskesmas Penimbung tentang mekanisme kontrol masyarakat terhadap kinerja pelayanan kesehatan di puskesmas di Lombok Barat. CC Mandiri mewakili suara masyarakat Desa Kekeri, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat.Dokumen ini bak kitab yang memandu bahwa kesepakatan tentang pelayanan publik bisa diatur secara musyawarah tanpa birokrasi berbelit. Isinya antara lain, para pihak menyadari bahwa mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas merupakan hak seluruh warga tanpa memandang kelas, ras, agama dan jenis kelamin.

Poin berikutnya, para pihak menyadari pentingnya pelayanan kesehatan kepada masyarakat untuk mewujudkan masyarakat yang sehat dan sejahtera. Warga di desa berjarak sekitar 20 km di barat kota Mataram dan Puskesmas juga berpartisipasi dan mengontrol kontrol seluruh warga dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi seluruh warga

Keduanya pun membuat kesepakatan bersama tentang Mekanisme Kontrol Masyarakat terhadap kinerja pelayanan kesehatan di Puskesmas Penimbung. Di antaranya menyangkut waktu operasi Puskesmas, daftar pelayanan gratis bagi masyarakat miskin, juga mekanisme pengaduan. Pengaduan dapat dilakukan dengan cara lisan dan surat secara berjenjang sesuai struktur yang ada dan harus segera ada pertanggungjawabannya ke masyarakat.Kesepakatan per tanggal 23 Januari 2007 itu ditandatangani perwakilan masyarakat Desa Kekeri Sri Rahmadani dan dr. Made Arimbawa Kepala Puskesmas Penimbung.

Proses terwujudnya kesepakatan tertulis atau Memorandum of Understanding (MoU) ini bukan perkara mudah. “Kami di CC pernah didemo Puskesmas,” ujar

Kustiyah Ketua CC Mandiri saat ini. Perempuan pedagang nasi ini lalu tertawa mengenang kejadian tersebut.

Namun adanya MoU sangat membantu warga meningkatkan posisi tawarnya terhadap Puskesmas. “MoU ini efektif memastikan kalau ada warga kami yang miskin, dia juga harus dilayani dengan baik,” ujar Sri Rahmadiani, pegiat CC Mandiri yang juga istri Kepala Desa Kekeri ini.

Kini, MoU itu bisa jadi jejak sejarah terbukanya suara-suara perempuan yang dibungkam dan tidak mendapat akses yang sama dalam menyampaikan aspirasi di Desa Kekeri. “Dulu di rapat kami perempuan bisanya bebetok (Bahasa Sasak yang artinya seperti angguk-angguk) saja,” ingat Kustiyah.

Mimpi Keterlibatan WargaBentuk tata kelola Puskesmas yang dilakukan dokter Made Arimbawa ini telah menganut asas demokratis. Inilah contoh sederhana usaha untuk menerapkan prinsip Tata Kepemerintahan Lokal yang Demokratis (TKLD) yang dianut Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS) Phase II.

ACCESS telah melaksanakan programnya di Indonesia sejak tahun 2002. Sejak Mei 2008 lalu, tahap II telah dimulai untuk periode lima tahun ke depan. Menurut Endah Nirarita, Senior Technical Officer Monitoring, Evaluation, and Learning (STO MEL) ACCESS, program ACCESS Tahap II didesain berdasarkan keberhasilan-keberhasilan ACCESS Tahap I.

Kini kekuatan kapasitas tersebut dibawa ke tingkat lebih lanjut. Sehingga warga juga bisa terlibat aktif dalam proses pembangunan itu sendiri dan dampaknya dapat dirasakan pada tingkat lebih luas, yaitu kabupaten. Inilah mimpi yang coba diwujudkan ACCESS, bahwa warga bisa terlibat dalam demokratisasi.

Fokus

Foto : Luh De Suriyani

05

Buku keluhan warga di Desa Kekeri, Lombok Barat

acces-mockup-mas OK.indd 5 9/10/2009 2:39:59 PM

Page 6: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

“Keterlibatan publik merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan TKLD,” ujar Endah. Selain keterlibatan publik ini hal lain yang perlu dijadikan ukuran adalah transparansi dan akuntabilitas, akses informasi, dan keadilan sosial dan perbaikan pelayanan publik.

Adapun selain NTB, provinsi lain yang menjadi lokasi program adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan (Sulsel), dan Sulawesi Tenggara (Sultra). Di masing-masing provinsi itu ACCESS akan menciptakan ruang dan menyediakan ruang agar partisipasi warga dalam pembangunan bukanlah sekedar mimpi. Untuk itu, ACCESS mendorong terjadinya interaksi dinamis (engagement) antara warga dengan OMS, antar OMS sendiri dan antara warga dengan pemerintah untuk menjamin keadilan bagi perempuan, orang-orang miskin dan kelompok terpinggirkan lainnya.

Dalam program ACCESS Tahap II, keterkaitan itu diperluas di tingkat kabupaten, bukan lagi di tingkat desa atau komunitas. Salah satunya dengan memberdayakan warga agar mereka mampu menuntut pemenuhan atas hak-haknya. Kasus di Desa Kekeri hanya satu dari sekian contoh bagaimana keterlibatan warga dalam pembangunan bisa terwujud sehingga masyarakat mampu meningkatkan kualitas hidupnya, dalam hal pelayanan kesehatan.

Hasil itu terwujud karena pada dasarnya warga sudah memiliki kemampuan, di mana bagi ACCESS ini merupakan modal penting untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil. Pendekatan untuk mewujudkan program ini memang asset based. Pendekatan ini menekankan bahwa pembangunan masyarakat harus dimulai dari modal yang sudah ada. Dalam kasus di Desa Kekeri misalnya berupa kemampuan warga untuk bernegosiasi, harus dipergunakan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Karenanya, tujuan dari program ACCESS Tahap II adalah

membangun kapasitas dan keberdayaan warga.

Perjuangan Melibatkan Minyak dan AirMenggunakan pendekatan ini pula maka bagi ACCESS, pemerintah harus diajak. Ini bukan hal mudah bagi OMS termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sebab selama ini sudah kadung jadi anggapan umum bahwa pemerintah dan LSM ibarat minyak dan air, susah untuk bersatu meski ada di satu tempat. “Kita harus melibatkan pemerintah karena mereka yang punya tanggung jawab, wewenang dan juga sumberdaya (anggaran, misalnya) untuk melaksanakan pembangunan. Namun warga juga harus terlibat aktif,” kata Endah.

ACCESS Tahap II berdasar pada pemahaman bahwa tata kepemerintahan mewakili sebuah sistem yang kompleks. Sistem tata kepemerintahan cukup rumit dikarenakan melibatkan berbagai faktor. Ada pemerintahan di berbagai tingkat, dewan perwakilan rakyat, warga masyarakat dengan berbagai tingkat pengaruh dan kekuasaan, sistem peraturan, budaya pembuatan keputusan dan distribusi manfaat, berbagai jenis kepemimpinan, serta tingkat partisipasi dan kemampuan perorangan yang berbeda-beda.

Untuk mempengaruhi sistem agar lebih demokratis cara pelaksanaannya perlu keterlibatan aktor-aktor penting dari masyarakat sipil, pemerintah, dan hingga sektor swasta. Salah satu faktor yang dapat mengubah sistem adalah perubahan perilaku dari aktor-aktor tersebut. ACCESS, melalui staf dan mitra strategisnya, bekerja secara langsung dengan OMS yang terpilih (istilahnya Boundary Partners atau mitra langsung). Sasarannya, mendorong terwujudnya TKLD dengan bekerja di sejumlah wilayah utama dengan fokus pada perempuan, kaum miskin dan kelompok-kelompok yang terpinggirkan lainnya.

Misalnya mempromosikan partisipasi publik di dalam pembuatan keputusan, mendorong adanya transparansi,

akuntabilitas dan akses terhadap informasi, membantu penyediaan layanan publik yang berkualitas, serta mendorong keadilan sosial dan penegakan hukum. Tiap kelompok diyakinkan memiliki suara dalam proses dan pembuatan keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka. Dengan demikian pelayanan publik diharapkan mudah didapatkan, mudah digunakan, dan mudah untuk diakses.

Segi Tiga TerkaitUntuk itu dialog menjadi hal penting. Agar bisa berdialog dengan pemerintah, maka warga harus berdaya. Dengan demikian warga akan mandiri dan tidak lagi bergantung pada kelompok lain, katakanlah LSM. Misalnya seperti yang dipraktikkan Kelompok Kahuripan di Desa Batulayar, Lombok Barat, dengan

06

acces-mockup-mas OK.indd 6 9/10/2009 2:40:00 PM

Page 7: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

07

Foto

: Lu

h D

e S

uriy

ani

pembuatan pos-pos belajar. Samidin, Ketua Kelompok Kahuripan menjelaskan ada proses rembug warga dengan topik khusus yang didiskusikan di pos-pos belajar. Misalnya bagaimana cara keluar dari masalah kekurangan air di sejumlah dusun wilayah Batulayar.

Salah satu keputusan rembug adalah meminta sumbangan air pada pihak kecamatan dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) setempat. Dalam diskusi tersebut masing-masing warga melakukan tugas sesuai keahliannya seperti membuat surat, mendata sasaran, dan pembagian air.

Langkah berikutnya adalah mencari dukungan dari pihak luar. “Dukungan bagi kami sangat penting artinya dan sangat besar manfaatnya karena dusun kami selalu dianaktirikan karena memang tidak ada yang mencoba mencari dukungan ke pihak luar,” ujarnya. Dukungan coba digalang dari warga sekitar dan institusi sosial seperti lembaga donor.

Namun menurut Dian Anggraeni, Koordinator Provinsi ACCESS NTB lembaga donor hanya faktor stimulan. “Uang triliunan tidak akan berarti jika tidak ada sikap dari pengambil kebijakan,” katanya.

Toh, menurut Samidin lembaga donor tetap berperan penting. “Berdasarkan pengalaman saya, aktor perubahan membentuk segi tiga yang saling berkaitan satu sama lain yaitu LSM, pemerintah, dan masyarakat,” papar Samidin. LSM disebutnya sebagai pendamping dan pemandu pelaksanaan program, mendorong terbangunnya

kesadaran kritis, memfasilitasi aksi masyarakat, dan menyediakan ruang komunikasi dengan pihak tekait.

Sementara pemerintah, menurutnya adalah pihak yang akan menentukan tercapai atau tidaknya apa yang di cita-citakan oleh masyarakat. “Ini terbukti dengan kekuatan yang di miliki oleh pemerintah yakni sebagai pihak pemegang kebijakan,” tegasnya. Selanjutnya yang paling vital adalah masyarakat untuk merancang, mengidentifikasi kebutuhan, menyusun perencanaan dan melaksanakan program. Sebab, masyarat lah pemilik pembangunan yang sebenarnya. [Luh De Suriyani]

Sekolah alternatif di Dusun Duduk Bawah Lombok Barat

Anda punya pengalaman tentang keterlibatan warga dalam tata kepemerintahan lokal yang demokratis seperti yang ditulis di artikel ini? Kenapa disimpan saja? Silakan diceritakan pada kami.

Atau Anda hanya ingin memberikan komentar, kritik, ataupun saran pada tema ini, silakan sampaikan pada kami dengan berkirim email atau lewat pos ke alamat redaksi. Tak hanya akan dimuat, respon menarik juga akan mendapatkan hadiah dari kami.

Jadi, tunggu apa lagi?

Sejak ACCESS ada di Kabupaten Bantaeng, Pemkab melihat adanya perubahan cukup signifikan akan partisipasi warga. Mulai muncul kesadaran warga untuk menggagas masa depannya. Perempuan juga makin terlibat dalam menyuarakan kebutuhan dan aspirasinya. (Harmoni, S Sos, M Si Staf Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Bantaeng).

acces-mockup-mas OK.indd 7 9/10/2009 2:40:00 PM

Page 8: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

Interaksi Aktif Tak Sekadar Angan

Merencanakan Bersama Berugak saka nem, bale panjang bertiang enam itu terlihat penuh. Sekitar 15 orang duduk lesehan di lantai pondok panggung tersebut. Ada remaja perempuan, ibu rumah tangga, kepala desa, pegawai Dinas Kesehatan, wakil Badan Permusyawarahan Masyarakat Daerah (BPMD), dan lainnya. Semua duduk setara, tak ada sekat status sosial, jabatan, atau jenis kelamin.

Akhir Agustus lalu itu, mereka membicarakan masa depan Berugak Desa, inisiatif gerakan warga dan perangkat desa Desa Kopang Rembiga, Kecamatan Kopang, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sejak empat tahun lalu warga terlibat dalam pemetaan desa. Niat ini berawal dari keresahan karena buruknya kualitas kesehatan masyarakat di sejumlah tempat di desa itu.

Rukmawati, salah satu perempuan penggerak Berugak Desa, menunjukkan peta desa dengan tiga warna titik, merah, kuning dan hijau yang memenuhi peta Desa Kopang Rembiga. “Warna merah termasuk kategori miskin, kuning ekonominya menengah, sedangkan hijau berarti kaya,” jelasnya pada Rochelle White, staf AusAID yang tertarik mempelajari Berugak Desa.

Peta Sosial merupakan modal awal untuk merencanakan pembangunan. Pemetaan tersebut selalu ditekankan ketika mitra ACCESS akan memulai program. Bukan hanya di NTB, tapi di tiga provinsi lainnya juga yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan (Sulsel), dan Sulawesi Tenggara (Sultra). “Hampir semua lokasi program ACCESS selalu menggunakan perencanaan desa secara partisipatif,” kata Paul Boon, Direktur Program ACCESS Tahap II.

Menurut Paul, perencanaan secara partisipatif ini penting untuk mendorong keterlibatan warga dari awal dalam proses pembangunan. Salah satu hal penting adalah munculnya tingkat kemiskinan lokal yang dibuat berdasarkan standar masyarakat lokal tentang kemiskinan. “Jadi warga sendiri, bukan orang lain, yang menilai tingkat ekonominya,” tambahnya. Tingkat kemiskinan itu bisa dilihat misalnya dari bangunan tempat tinggal, berapa kali ke dokter, tingkat pendidikan, dan seterusnya.

Berdasarkan peta sosial tersebut, warga bisa membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Misal ketika ada bantuan dari pemerintah, warga sudah tahu siapa yang berhak mendapatkan.

Menyebarkan Keterlibatan Peta sosial juga berguna untuk memetakan prioritas

pembangunan di desa tersebut. Sebagai contoh bagi petani rumput laut, kebutuhan utamanya adalah mendirikan koperasi. Agar pemetaan berlangsung terbuka, mitra ACCESS mendorong adanya fasilitator desa, biasa disebut Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM). Mereka inilah yang memfasilitasi pemetaan.

Keterlibatan warga desa ini menarik pemerintah. Di Jeneponto dan Bantaeng, dua kabupten di Sulsel, pemerintah setempat melaksanakan pemetaan ini di semua desanya. Menurut Koordinator Provinsi (Korprov) ACCESS Tahap II Sulsel Sartono, peta sosial ini sudah ada di 113 desa/kelurahan di Jeneponto dan 67 desa/kelurahan di Bantaeng. “Pemerintah lokal menggunakan peta sosial sebagai referensi RPJM selain mereka juga mengacu pada kebijakan dari pemerintah pusat,” katanya.

Sartono menambahkan, di tingkat lebih lanjut peta sosial itu kemudian diwujudkan dalam RPJM. KPM masing-masing desa terlibat pula dalam pengawalan agar hasil pemetaan itu bisa masuk dalam RPJM tersebut. Sebagai contoh, 42 desa di Jeneponto dan 26 desa di Bantaeng sudah menyusun RPJM berdasarkan peta sosial tersebut.

Namun RPJM dan peta sosial itu bukan hal terpenting dalam proses ini. Semua itu hanya alat. Hal yang lebih penting bagi ACCESS adalah bahwa warga sudah berdaya. “Dengan demikian mereka bisa merencanakan dan menentukan pembangunannya sendiri,” kata Paul.

Karena itulah, bagi ACCESS, keterlibatan warga itu harus disebarkan hingga tingkat paling bawah seperti di desa. Di Lombok Tengah, misalnya, Berugak Desa diperluas ke empat desa lain yaitu Desa Bebuak, Waja Geseng, Montong Gamang, dan Lendang Ara.

Fokus

Sejumlah kelompok warga membuktikan kolaborasi pemerintah dan masyarakat sipil mempercepat upaya pemenuhan hak dasar warga seperti pendidikan dan kesehatan.

08

Diskusi di berugak

Foto : Luh De S

uriyani

acces-mockup-mas OK.indd 8 9/10/2009 2:40:00 PM

Page 9: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

Peta sosial Desa Arungkeke, Kec. Arungkeke, Kab. Jeneponto

Foto : Anton Muhajir“Saya ingin terlibat dalam Berugak Desa ini. Desa saya banyak pengepul sampah, ada potensi sampah organik yang bisa diolah,” ujar Suratman, lelaki 28 tahun, Kepala Desa Montong Gamang.

“Saya tidak bisa sendiri memecahkan masalah desa. Harus bekerja sama dengan warga,” tambah lulusan Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan, Universitas Mataram tahun 2002 ini.

Salah satu kolaborasi warga dan perangkat desa misalnya dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa. Warga-warga desa yang terampil sebagai fasilitator Musrenbang merumuskan rencana pembangunan desa dalam Rencana RPJM. “Setelah itu warga kemudian mengawal implementasinya,” ungkap Bagus Aryawa, Koordinator Divisi Pengelolaan Sumber Daya Alam Mitra Samya, yang melakukan pendampingan Berugak Desa.

Mengejar KetertinggalanKeterlibatan warga dalam proses pembangunan juga terjadi di Kelompok Kahuripan di Desa Batulayar, Kecamatan Batulayar, Lombok Barat. Awalnya sejumlah dusun dengan sedikitnya 500 orang warga di kawasan ini terisolasi tanpa air dan listrik. Ironisnya, dusun ini dekat kawasan wisata paling terkenal di Lombok, Senggigi. Bahkan, sekitar 300 meter dari Dusun Duduk Bawah, sedikitnya terdapat lima villa megah dengan limpahan listrik.

Didampingi Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI), mitra lokal ACCESS NTB, warga mengejar ketertinggalannya. Pada tahun 2004 diadakan berbagai macam pertemuan mulai dari tingkat dusun sampai pada tingkat desa. Pertemuan itu diadakan di pesantren dan masjid. “Waktu itu saya belum paham maksud dan tujuannya,” aku Samidin, pemuda dusun setempat.

Dari pertemuan-pertemuan itu Samidin dan warga membuat peta sosial, analisis persoalan, dan perencanaan pembangunan desa. “Ini proses demokrasi pembangunan paling demokratis yang pernah saya temui,” jelas pria tamatan SLTA ini.

Tiga dusun yang terisolasi yakni Dusun Batu Bolong, Duduk Bawah, dan Duduk Atas menyatukan diri dalam Kelompok Kahuripan. Kahuripan artinya hidup atau kehidupan. “Kami ingin bangkit,” ujar Samidin. Tahapan proses perubahan ini juga melibatkan instansi pemerintahan desa yang kemudian mendukung pengadaan pipa air.

Kasus anak putus sekolah dan buta huruf coba dikurangi dengan sanggar belajar alternatif. Salah satu aktor penggeraknya adalah Jumilah, perempuan 27 tahun mantan pembantu rumah tangga warga Dusun Duduk Bawah yang kini mengabdi untuk mendidik anak-anak setempat.

”Saya dan teman saya ingin tamat SD dan bisa lancar membaca, saya belajar sendiri disini sama anak-anak,” ujar Jumilah yang baru-baru ini mengikuti ujian persamaan tingkat sekolah dasar, Kejar Paket A. Menurutnya sistem belajar di sekolah formal terlalu kaku, sehingga anak-anak lebih bergairah belajar duduk lesehan beratap langit di rumahnya.

Proses yang tak kalah pentingnya kemudian adalah melakukan pengawasan. Tidak harus dengan cara berhadap-hadapan dengan pemerintah, tapi bisa dengan berkolaborasi. Di Praya, Lombok Tengah, sebuah forum Konsorsium LSM, tengah mewujudkan kolaborasi itu. Forum gabungan 24 LSM di Loteng ini tengah mengupayakan kolaborasi dengan pemerintah daerah melalui keterlibatan dalam perencanaan pembangunan demikian juga pengawalan implementasinya.

“Perlu kapasitas teman-teman LSM agar RPJM berkualitas. Jangan hanya mengajukan usulan. Perlu konsep perancangan makro,” ingat Lalu Rasyidi, Kepala Badan Permusyawarahan Masyarakat Daerah (BPMD) Kabupaten Lombok Tengah, NTB. [Luh De Suriyani]

09

Komentar, kritik, dan saran dapat dikirimkan langsung melalui email ke : [email protected] Kunjungi juga website kami www.sloka.or.id

acces-mockup-mas OK.indd 9 9/10/2009 2:40:01 PM

Page 10: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

Foto : Luh De Suriyani

WawancaraDR. Ir. H. Rosiady Husaenie Sayuti, M.Sc.Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah NTB.

acces-mockup-mas OK.indd 10 9/10/2009 2:40:02 PM

Page 11: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

Pertautan Sebagai Kata Kunci PerubahanOpini

ACCESS Tahap II merupakan program lanjutan kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Australia. Pada ACCESS Phase I ada empat provinsi dan delapan kabupaten di Indonesia yang menjadi lokasi program. Pada tahap selanjutnya, lokasi program diperluas di delapan kabupaten lain dengan tetap mempertahankan kabupaten lama di empat provinsi yang sama yaitu Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan (Sulsel), dan Sulawesi Tenggara (Sultra).

Banyak cerita sukses yang telah dikumpulkan ACCESS Phase I. Cerita sukses itu dirasakan baik oleh warga terutama perempuan dan orang miskin, organisasi masyarakat sipil (OMS), lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun pemerintah. Ada beberapa hal berbeda pada fase ini dibandingkan program sebelumnya yakni pertautan (engagement) dan Gender Social Inclusive (GSI) yang dulunya disebut Gender Poverty Inclusive (GPI).

Pada ACCESS Phase I, fokusnya adalah GPI, di mana perempuan dan orang miskin menjadi aktor yang diutamakan dalam proses pembangunan. Pada fase II aktor ini ditambah dengan keterlibatan aktif kelompok muda dan kelompok marginal seperti difable, pengidap HIV dan AIDS, kelompok masyarakat adat, dan lain-lain. Hal penting yang muncul adalah pertautan para aktor-aktor penggerak pembangunan yang dalam fase I belum menjadi titik tekan.

Pertautan dan KeberlanjutanProgram dimulai dengan membangun kebersamaan dalam mendesain definisi awal terkait dengan good governance, di ACCESS lebih ditekankan pada Tata Kepemerintahan Lokal yang Demokratis (TKLD). Program ini dijalankan dengan bertumpu pada kekuatan para aktor penggerak pembangunan di masing-masing kabupaten. Komitmen bersama harus dibangun di awal dengan menghilangkan sekat-sekat pemisah perjuangan bersama untuk mencapai visi dan agenda kabupaten.

Pelajaran menarik yang saya alami di ACCESS Tahap II wilayah program NTB adalah bahwa membangun kebersamaan dan menyelaraskan langkah itu gampang-gampang susah. Namun dengan memetakan aktor-aktor penggerak pembangunan yang memiliki komitmen sama, kebersamaan dan keselarasan itu bisa terwujud. Kata kunci yang tepat adalah membangun komunikasi setara. ACCESS telah memberikan pembelajaran berkaitan dengan hal ini yakni pertautan atau interaksi dinamis

Oleh Dian AryaniDirektur Eksekutif Yayasan Santai, NTB

(engagement). Menurut saya ini kunci penting dalam keberlanjutan program ke depan.

Pembelajaran pertama adalah forum lintas aktor (FLA) yang didesain para aktor penggerak pembangunan sejak awal. FLA menjadi embrio kebersamaan yang sangat berharga di mana ACCESS bersama aktornya juga terlibat sebagai pemain di dalamnya.

Ada beberapa hal yang secara tidak tertulis menjadi komitmen bersama untuk mengusung

semangat pertautan untuk mewujudkan TKLD di masing-masing kabupaten. Pertama, Tim ACCESS NTB berperan sebagai mediator dan fasilitator antara jaringan masyarakat sipil dengan pihak pemerintah dan donor. Pertemuan di masing-masing kabupaten ini melahirkan komitmen bersama untuk mengadakan program di desa-kecamatan.

Kedua, para aktor penggerak pembangunan baik OMS, organisasi rakyat, maupun individu mendiskusikan agenda bersama dan berbagi peran dalam forum-forum yang telah ada sesuai dengan isu ataupun kawasan.

Ketiga, pertautan ini dijalin di berbagai tingkat dari di desa sampai di provinsi dengan aktor yang memiliki isu dan fokus kerja beragam. Dalam membangun komitmen kebersamaan mencapai TKLD di NTB, para aktor penggerak dari desa sampai kabupaten seperti OMS, pemerintah dan legislatif terlibat aktif. Dulu, pada ACCESS jilid I masih ada sekat-sekat di antara para aktor.

Catatan di atas merupakan hal-hal sangat menonjol dan memiliki kekuatan di ACCESS Tahap II ini. Namun ada juga beberapa kelemahan untuk diperbaiki nantinya. Misalnya, program yang dikembangkan masih terlihat ACCESS driven, meskipun hal itu telah diminimalisir sedemikian rupa. Kenyataan ini juga tetap tidak bisa dipungkiri karena ACCESS juga punya keterbatasan waktu dan biaya, sehingga banyak yang merasa kok harus begini dan harus begitu.

Menurut saya hal menarik dalam membangun kemitraan dengan ACCESS baik di jilid I maupun II adalah pengembangan kapasitas individu dan organisasi sehingga melahirkan champion baru dan generasi baru di NTB. Ini merupakan satu hal yang berkaitan dengan keberlanjutan program setelah ACCESS nantinya tidak ada lagi di NTB.

Opini

11

acces-mockup-mas OK.indd 11 9/10/2009 2:40:03 PM

Page 12: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

G a l e r i K e g i a t a nLokakarya Indeks Masyarakat Sipil di Buton Utara

Lokakarya Indeks Masyarakat Sipil di Kabupaten TTS

Kunjungan MEL Advisor ke Desa Garrasikang

Lokakarya MEL untuk Mitra di Jeneponto

Buton Utara (Butur) adalah pemekaran dari Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara yang baru dibentuk pada tahun 2007. Sebagai kabupaten baru perangkat pemerintahan maupun komponen masyarakat sipil masih dalam proses konsilidasi. Proses pemetaan Indeks Masyarakat Sipil (IMS) yang sebelumnya didahului oleh penelitian, ditanggapi sangat antusias dan positif oleh aktor-aktor baik dari OMS maupun pemerintah. Pemetaan IMS menjadi oasis bagi OMS setempat yang haus akan ruang-ruang dialog terbuka. Hasil IMS ini akan menjadi data dasar bagi program ACCESS Tahap II di semua kabupaten sasaran program.

Desa Garrasikang Sulawesi Selatan adalah salah satu desa yang didukung ACCESS Tahap I melalui pengembangan beberapa kelompok rumput laut. Kelompok-kelompok yang bergabung membentuk Lembaga Ekonomi Desa yang kemudian berubah menjadi Koperasi. Agustus lalu, Nina Shatifan, MEL Advisor ACCESS mengunjungi desa tersebut. Nina berdiskusi dengan para pengurus koperasi tentang pengembangan rumput laut, pendidikan dan pemberantasan buta huruf serta pemberdayaan perempuan di desa itu.

Dalam rangka mendukung mitra dan Forum Lintas Aktor untuk memantau kemajuan dan hasil program yang akan dilaksanakan, ACCESS melakukan Lokakarya Monitoring Evaluasi dan Pembelajaran (MEL) untuk mitra di Jeneponto. Lokakarya selama dua hari untuk mitra dan satu hari untuk Forum Lintas Aktor (FLA) tersebut membantu mitra untuk memahami MEL dengan lebih baik dan untuk memperbaiki rencana aksi yang mereka kembangkan sebelumnya. Untuk FLA, lokakarya membantu mereka untuk mempertajam peran dalam memantau capaian visi dan agenda kabupaten dimasa yang akan datang.

Proses pemetaan IMS dilakukan di kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan (TTS). Secara umum lokakakarya berjalan dengan baik. Bahkan pemerintah menerima hasil IMS sebagai dokumen kabupaten sebagai acuan untuk mempertimbangkan kebijakan daerah. Salah satu orang peserta dari kelompok petani bahkan mengekspresikan apresiasinya terhadap proses tersebut dengan menuliskan surat yang ditulis tangan ke kantor ACCESS. Satu masalah adalah belum terjangkaunya perwakilan peserta dari kecamatan-kecamatan yang sulit dijangkau seperti Amfoang dan Amrasi. Oleh karena itu tim provinsi ACCESS bermaksud untuk membuka ruang dialog untuk mendiskusikan hasil IMS tersebut di dua kecamatan tersebut.

12

acces-mockup-mas OK.indd 12 9/10/2009 2:40:04 PM

Page 13: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

G a l e r i K e g i a t a nKunjungan Tim MRG ke Sumba

Pada 17 – 21 Mei tim Monitoring Review Group (MRG) melakukan kunjungan ke Nusa Tenggara Timur (NTT), untuk melakukan monitoring program ACCESS Tahap II. Fokus monitoring kali ini adalah melihat kualitas hubungan relasi antara ACCESS dengan mitra, masyarakat, Forum Lintas Aktor maupun dengan Pemerintah Sumba Barat, Timur dan Kabupaten Kupang. Selain itu dilihat pula kualitas hubungan dalam ACCESS sendiri. Dalam MRG kali ini pemerintah provinsi diwakili Yohan Loban dari BPMPD Provinsi.

Lokakarya Outcome Mapping di Denpasar

Pameran ACCESS di Forum KTI

Penilaian Proposal di Gereja Tua Mamodu

Outcome Mapping (OM) adalah pendekatan yang membantu praktisi pembangunan mengembangkan kerangka pikir berbeda dengan Logical Framework and Analyisis (LFA). OM menekankan perubahan perilaku sebagai hasil utama program. VECO dan ACCESS sebagai organisasi yang sudah menerapkan pendekatan OM di Indonesia mengadakan lokakarya yang diikuti staf maupun mitranya di Sanur, Bali pada 2-4 September 2009 ini akan dipakai untuk pengembangan Buku Panduan Outcome Mapping dalam bahasa Indonesia, berdasarkan konteks dan pengalaman penerapannya di Indonesia.

ACCESS berpatisipasi dan ikut pemeran Kawasan Timur Indonesia (KTI) di Hotel Clarion Makassar pada 4-5 Agustus 2009. Stand ACCESS ramai dikunjungi peserta forum yang terdiri dari Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) dari 12 Provinsi KTI, donor dan organisasi masyarakat sipil (OMS). Dalam pameran bagian dari Forum KTI IV itu, seorang mitra ACCESS dari Lombok, diwakili Jumilah dari dusun Duduk Bawah menyampaikan pengalamannya dalam mengembangkan sekolah alternatif. Pengalaman tersebut merupakan salah satu ‘Smart Practice’ yang dipilih oleh Majalah BaKTI untuk ditampilkan dalam forum tersebut.

Yayasan Satu Visi berencana mendampingi enam desa di mana di masing-masing desa terdapat 6-8 kelompok tani masyarakat. Penilaian proposal dilakukan pada tanggal 24 Agustus 2009 di sebuah gereja tua di Desa Mamodu, Kecamatan Wanokaka, Kabupaten Sumba Barat. Penilaian dihadiri oleh masyarakat setempat, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Kelompok Simpan Pinjam Perempuan serta pihak pemerintahan desa. Para peserta menilai peningkatan kapasitas bagi warga dalam pengembangan ekonomi dan membuka peluang pasar bagi komoditas lokal merupakan hal penting.

13

acces-mockup-mas OK.indd 13 9/10/2009 2:40:05 PM

Page 14: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

Kita mungkin pernah mengalami hal seperti ini. Ketika mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP), tidak jelas kita harus menunggu berapa lama agar KTP bisa selesai. Kita juga tidak tahu bagaimana mekanisme atau alur untuk membuat KTP baru.

Saking seringnya terjadi, pelayanan yang buruk oleh pemerintah pun jadi sesuatu yang seolah-olah biasa. Warga sering kali jadi korban akan hal ini. Kalimat, “Kalau bisa diperpanjang kenapa harus dipersingkat?” pun biasa dihadapi warga. Lebih parah lagi, warga tidak tahu ke mana harus mengadukan masalah yang dihadapi tersebut.

Namun kini kita bisa bernafas lega. Sebab sudah ada Undang-undang No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang disahkan DPR pada Juni 2009 lalu. UU ini mengatur tentang pelayanan yang diberikan lembaga pemerintah. Pelayanan tersebut mencakup pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, dan seterusnya (Pasal 5 ayat 2).

UU ini bertujuan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat terkait dengan pelayanan pubik (Pasal 3). Jadi, setelah ada UU ini masyarakat yang berurusan dengan pemerintah bisa menuntut hak-haknya dalam pelayanan.

Lalu, apa hak warga dalam pelayanan tersebut? Menurut Pasal 18, warga berhak antara lain (1) mengetahui, (2) mengawasi, (3) mendapat tanggapan jika mengadu; (4) mendapat perlindungan; (5) melaporkan untuk memperbaiki pelayanan; (6) mengadukan pelaksana yang menyimpang; dan (7) mendapat pelayanan yang berkualitas.

Melalui UU ini maka warga berhak bertanya pada petugas di instansi pemerintah. Katakanlah pada saat kita mengurus KTP. Kita berhak bertanya tentang berapa lama waktu pengurusan, bagaimana proses penyelesaiannya, serta berapa biaya yang diperlukan. Ini sepertinya sepele. Namun dalam konteks di Indonesia, di mana pegawai pemerintah merasa lebih tinggi posisinya dibanding warga, warga sering kali takut untuk bertanya.

Bukan hanya bertanya, warga pun diperbolehkan untuk

melakukan pengawasan serta mengadukan kasusnya pada Ombudsman, lembaga yang memang dibentuk menerima pengaduan dari masyarakat, maupun DPR setempat.

Disahkannya UU ini diharapkan bisa menjadi payung hukum di tingkat nasional, agar warga tidak terus jadi korban buruknya layanan oleh pemerintah. Meski demikian, beberapa daerah sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) terkait pelayanan publik. Di antaranya Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah, Kabupaten Jembrana Bali, Kabupaten Blitar Jawa Timur, serta Kabupaten Boalemo Gorontalo.

Perda Provinsi Jatim No 11 tahun 2005 kemudian menjadi dasar bagi pelaksanaan pelayanan publik yang lebih baik. Di Kabupaten Lamongan misalnya, pemerintah kabupaten setempat membuka kotak layanan melalui situs resmi Pemkab. Tiap hari ada 10-15 pengaduan dari masyarakat yang langsung ditindaklanjuti. Selain lewat situs, pengaduan itu bisa disampaikan lewat kotak pos.

Adanya UU Pelayanan Publik akan semakin mendorong berbagai daerah untuk membuat aturan sejenis di tingkat daerah masing-masing. Namun seperti biasa, aturan di atas kertas juga tidak bisa jadi jaminan bahwa semua pelayanan publik seketika akan berubah lebih baik. Selain perlu waktu untuk mengubah mentalitas birokrasi, juga perlu kesadaran warga atas hak-haknya agar lebih aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Dan itu tanggung jawab kita bersama.

Pojok Kebijakan

Anda pernah punya pengalaman tidak menyenangkan terkait dengan pelayanan publik? Misalnya biaya pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang tidak jelas besarnya. Atau pembangunan jalan raya di desa yang tidak jelas kapan akan dilaksanakan. Atau cerita apa saja.

Kenapa tidak ceritakan saja pada pembaca buletin ACCESS? Kirim pengalaman Anda tersebut ke redaksi lewat pos ataupun email. Cerita menarik bukan hanya akan dimuat tapi juga mendapat souvenir menarik dari kami.

Foto

: A

nton

Muh

ajir

Pengumuman Layanan Publik di Jawa Timur

UU Pelayanan Publik

Agar Warga Tak Jadi Korban

14

acces-mockup-mas OK.indd 14 9/10/2009 2:40:06 PM

Page 15: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

PEACH untuk Pengelolaan Keuangan yang Transparan

Selama ini anggaran daerah untuk kepentingan warga lebih sedikit dibanding untuk keperluan operasional pemerintah. Pengelolaan keuangan di Nusa Tenggara Barat (NTB), provinsi termiskin urutan keenam di Indonesia, misalnya. Pada tahun 2008, alokasi anggaran untuk operasional seperti gaji pegawai mencapai 44 persen dari total anggaran. Ironisnya alokasi untuk pendidikan hanya 3 persen, kesehatan 10,2 persen, dan pembangunan infrastruktur 14,9 persen.

Contoh lain adalah provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pengeluaran untuk gaji pegawai menghabiskan hampir setengah dari total pengeluaran pemerintah daerah. Hal ini terjadi antara lain karena kurangnya analisis terhadap alokasi anggaran pembangunan.

Nah, agar kualitas pengelolaan keuangan daerah bisa meningkat diperlukan alat bantu untuk memastikan bahwa setiap program dan kegiatan yang diusulkan setiap sektor berkontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup warga, bukan hanya pada berjalannya roda pemerintahan daerah. Inilah pentingnya Analisis Pengeluaran Publik atau PEACH, singkatan dari Public Expenditure Analysis and Capacity Harmonization.

PEACH terdiri dari dua tahap. Pertama, Analisis Pengeluaran Publik atau Public Expenditure Analysis (PEA). Tahapan ini berupa kajian terhadap keuangan daerah mulai dari sumber-sumber pendapatan, pengelolaan, sampai pada pengeluarannya. Melalui tahap ini akan terliihat dari mana dan berapa besar pendapatan daerah serta untuk pos mana saja pengeluaran yang dilakukan.

Kedua, harmonisasi kapasitas atau Capacity Harmonization (CH). Tahap ini adalah upaya

meningkatkan kemampuan lembaga-lembaga yang terkait pengeluaran dana untuk publik. Misalnya melalui lokakarya tindak lanjut dengan fokus pada isu-isu penting dalam keuangan publik. Pesertanya aparat pemerintah daerah sebagai pelaksana anggaran dan para stakeholder lainnya sebagai pengawas anggaran.

Di Indonesia, PEACH pertama kali dilaksanakan di Papua pada tahun 2005. Prosesnya diawali dengan lokakarya pendahuluan, pengumpulan data lapangan, finalisasi data hingga seminar hasil sebagai bentuk transparansi pengelolaan keuangan daerah. Pelaksana analisis adalah kalangan perguruan tinggi yang difasilitasi Badan Perencanaan dan Pengawasan Pembangunan Daerah (BP3D) Papua.

Ada sejumlah data dan fakta dari analisis ini. Antara lain bahwa secara fiskal, provinsi ini ternyata terkaya kedua di negeri ini. Pada tahun 2003, Papua menjadi provinsi ketiga terbesar dalam hal pendapatan daerah per kapita, enam kali lebih besar dari Jawa Barat.

Namun angka-angka ini bertolak belakang dengan kinerja Papua yang masih rendah dalam memerangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas pembangunan manusia: 40 persen rakyat Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan; sepertiga anak Papua tidak bersekolah; dan sembilan dari sepuluh desa tidak memiliki fasilitas pelayanan kesehatan dasar seperti puskesmas, dokter atau bidan.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut tim analisis memberikan rekomendasi. Misalnya pengalihan kontrol atas mayoritas Dana Otsus pada pemerintah kabupaten/kota karena sebelumnya terlalu banyak dikontrol oleh pemerintah provinsi. Tim juga menyarankan agar investasi jangka panjang lebih diprioritaskan dibanding kebutuhan pembiayaan jangka pendek. Setelah Papua program serupa dilaksanakan di Nanggroe Aceh Darussalam, Gorontalo, dan NTT. Lalu menyusul kemudian Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, Sulawesi Tenggara, serta NTB.

PEACH memang tidak bertendensi menyelesaikan bocornya anggaran pemerintah daerah tapi lebih pada analisis dan pengawasan. Hasilnya, sejauh ini, adalah analisis dan rekomendasi bagaimana agar pengeluaran tersebut lebih bermanfaat untuk warga. Di sisi lain, publikasi hasil analisis melalui seminar dan media massa merupakan transparansi pengelolaan anggaran. Sebab, selama ini anggaran pemerintah termasuk salah satu yang paling tertutup untuk bisa diketahui warga. [Anton Muhajir, dari berbagai sumber]

Inspirasi

Foto

: A

nton

Muh

ajir

Jalan Rusak di Flores NTT

15

acces-mockup-mas OK.indd 15 9/10/2009 2:40:06 PM

Page 16: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

“Kalau seorang Jumilah yang gak tamat SD tanpa gaji dan uang bensin bisa mengajak banyak orang di kampong untuk baca dan tulis, maka seharusnya pemerintah bisa memberantas buta hurup!” kata Jumilah dalam logat Sasak pada rombongan pejabat Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Perempuan yang tidak lulus SD tersebut adalah salah satu pendiri dan pengelola sekolah alternatif di Dusun Duduk Bawah, Desa Batulayar, Kecamatan Batulayar, Lombok Barat.

Pejabat yang berkunjung antara lain Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Kepala BKPMD, Staf Ahli, dan puluhan pejabat lain. Kunjungan itu untuk melihat bagaimana warga bisa melaksanakan program pengentasan buta huruf serta mengelola sekolah gratis untuk masyarakat.

Pemprov berupaya memahami contoh praktik-praktik baik dan inovasi yang berkembang di wilayahnya terkait berbagai isu yang ingin dipecahkan. Salah satu contoh insiatif warga yang berhasil adalah sekolah alternatif Jumilah dan kawan-kawannya.

Pada 23 Juli 2009, kunjungan pun dilakukan. Perkenalan dan dialog berjalan akrab. Di sela-sela diskusi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan NTB Rosiady Husaenie Sayuti dan Staf Ahli Gubernur Bidang Pemberdayaan Masyarakat Lalu Sanusi mengetes salah satu orang tua yang ikut belajar. Bapak itu terbata-bata mengeja nama yang dia tulis. Tepuk tangan langsung terdengar ketika dia berhasil menulis dan membaca. Ada rasa malu tapi bangga terpancar dari mata bapak itu. Dia senang sekali ketika ditepuk-tepuk pundaknya oleh Sanusi yang duduk di sebelahnya.

Surat dari Jumilah sendiri saat ini sudah dibaca Gubernur NTB. Janjinya, Gubernur berjanji akan segera berkunjung ke sekolah alternatif Jumilah dan kawan-kawannya. [Dian Anggaraini, Korprov ACCESS NTB]

Kabar Lapangan

Surat Cinta Jumilah pada Gubernur

Debat Politik Anak SMA”Saya sangat senang. Ini sangat bermanfaat karena saya kenal banyak siswa sekolah lain dan tahu hal di kabupaten dan kota Bima,” kata Zaenab, siswi SMKN 5 Kabupaten Bima pada saat mengikuti Debat Politik Anak Sekolah (Depot Asa). Kegiatan ini diadakan oleh Santiri Foundation dan Lembaga Pengembangan Partisipasi Demokrasi dan Ekonomi Rakyat (LP2DER) pada 29-30 Juni 2009 lalu. Depot Asa merupakan kegiatan inovatif Yayasan Santiri sejak tahun lalu di Mataram. Kegiatan ini kemudian disebarluaskan termasuk ke Bima.

Enampuluh siswa-siswi dari 8 SMA dan sekolah sederajat di kabupaten dan Kota Bima berpartisipasi dalam debat. Mereka terbagi menjadi 15 kelompok masing-masing empat orang. Minimal dua di antara anggota kelompok tersebut harus perempuan.

Melalui riset koran dan berbagai data sekunder, peserta menyusun paper untuk diperdebatkan dalam forum yang dihadiri siswa-siswa, guru-guru dan beberapa aparat pemerintahan di Bima. Tema debat terkait pemberdayaan masyarakat, kesetaraan dan pelayanan publik. Misalnya kualitas dan layanan pendidikan, angka kematian ibu dan bayi dan ekonomi kerakyatan yang terkait dengan pengembangan sumberdaya kelautan dan pesisir.

Masing-masing kelompok harus berperan sebagai LSM, eksekutif atau legislatif yang pro atau kontra terhadap kebijakan. Karenanya, selain memahami isu, peserta dituntut untuk memahami peran-peran tersebut dan memposisikan diri sesuai perannya dalam mempertahankan pendapatnya.

Kegiatan ini menunjukkan bahwa sebenarnya anak-anak SMA dan sederajat mempunyai cukup perhatian terhadap kondisi dan situasi di daerahnya. Melalui Depot Asa, pelajar mendapatkan ruang ekpresi dan media belajar tentang kehidupan sosial politik di daerah masing-masing. [Arief Mahmudi, PO ACCESS Sumbawa]

16

acces-mockup-mas OK.indd 16 9/10/2009 2:40:07 PM

Page 17: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

Merajut Kekuatan Lokal, Menuju Kemandirian

Jalan Panjang Proses Penilaian

Akibat buruknya pengelolaan koperasi, Lembaga Ekonomi Desa (LED) di Kelurahan Palabusa, Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara (Sultra) berjalan tersendat-sendat, dan bahkan tidak pernah mencapai tujuannya. Maka sebagian anggota LED memotori pendirian lembaga ekonomi “baru”, Koperasi Serba Usaha (KSU) Tani Nelayan Palabusa. Pembentukan koperasi itu didukung Yayasan Pengembangan Rakyat Indonesia Madani (Prima).

Tantangan awal koperasi adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat. Namun dengan fasilitasi Yayasan Prima, pengurus koperasi membenahi diri. Melalui Rapat Anggota Tahunan (RAT), anggota koperasi diajak turut serta memikirkan pengembangan koperasi. Pengurus dan anggota pun sering berdiskusi jika ada masalah yang perlu dibahas bersama. Proses ini telah berhasil meningkatkan kepercayaan anggota serta membuat mereka merasa memiliki koperasi tersebut.

Setelah berdiri selama dua tahun, koperasi mulai menampakkan kemajuan. Kepercayaan anggota perlahan kembali tumbuh. Anggota koperasi yang pada awalnya hanya 16 orang kini menjadi 57 orang, terdiri dari 29 laki-laki dan 28 perempuan. Modal koperasi pun mengalami pertumbuhan dari Rp 35 juta menjadi Rp 82 juta lebih.

Kini, koperasi mendukung pengembangan beberapa jenis usaha anggota seperti budidaya rumput laut dan jual beli sembako. Koperasi juga memberikan pinjaman untuk biaya pendidikan anak serta melakukan perluasan usaha seperti melayani pembayaran listrik bagi anggota dan penduduk sekitar. Akhirnya, KSU Tani Nelayan Palabusa sedang mencoba meningkatkan “posisi tawar” anggotanya terhadap tengkulak rumput laut.

Masih banyak tantangan seperti sekretariat koperasi yang masih menumpang serta anggota perempuan yang kurang gigih menyuarakan kepentingannya. Namun, berkaca kepada pengalaman, anggota-anggota koperasi yakin bisa mengatasi tantangan itu. [Rasyid Rasyiki dan Nurhasniati PO ACCESS Sultra]

Melewati jalan panjang, berliku dan sangat melelahkan, akhirnya enam rencana aksi Agenda Bersama Kabupaten rumusan Forum Lintas Aktor (FLA) untuk mewujudkan Tata Kepemerintahan yang Demokratis di Bantaeng dan Jeneponto, Sulawesi Selatan dinyatakan lolos penilaian. Ya, dapat dikatakan jalan panjang karena perlu satu tahun untuk mendapatkan dukungan. Rencana program telah diusulkan pada Oktober 2008. Namun kontrak kerjasamanya baru ditandatangani pada September 2009. Dikatakan berliku karena proses penilaiannya melibatkan banyak pihak seperti Fasilitator Lokal, Staf ACCESS Provinsi, Advisor, Senior Technical Officer, dan Finance Manager.

Enam rencana aksi dari Kabupaten Jeneponto dan Bantaeng terdiri dari kegiatan seperti peningkatan kapasitas warga, peningkatan pelayanan publik, serta pemberdayaan ekonomi. Penilaian dilakukan di masing-masing kantor mitra secara berurutan yaitu Yayasan Mitra Turatea Jeneponto, Yayasan Jalarambang Indonesia Bantaeng, Aliansi Kelompok Usaha Produktif Perempuan Jeneponto, Jaringan Organisasi Masyarakat Sipil Bantaeng, Yayasan Karaeng Opu Bantaeng, dan Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air Jeneponto. Melalui diskusi panjang, keenam program tersebut akhirnya disetujui meskipun terlambat dari yang seharusnya pada akhir Juni 2009.

Ada beberapa pembelajaran dari pengalaman tersebut. Pertama, penyusunan desain rencana aksi didorong mempergunakan pendekatan Outcome Mapping (OM), hal baru bagi LSM mitra, fasilitator lokal, staf ACCESS di provinsi maupun tim Denpasar. Kedua, panjangnya rantai review dan tindaklanjutnya terhadap satu rencana aksi. Ketiga, lamanya waktu dan diskusi dengan banyak pihak serta melakukan tindak lanjut sangat menguras tenaga.

Meski demikian apa yang telah mereka tabur, sekarang telah dipetik hasilnya. Mereka telah menandatangani kontrak kerjasama pada awal bulan September 2009 lalu. [Sartono, Korprov ACCESS Sulsel]

17

acces-mockup-mas OK.indd 17 9/10/2009 2:40:08 PM

Page 18: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

Kemitraan

Di umur yang relatif muda, sembilan tahun sejak berdiri pada Maret 2000, Kemitraan atau Partnership telah membiayai ratusan program menuju tata kelola pemerintahan yang lebih baik (good governance).

Lembaga bernama resmi Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia ini memang lembaga multi-pihak yang dibentuk untuk memacu pembaruan tata pemerintahan. Kemitraan yang berbentuk organisasi nirlaba merupakan bagian dari Program Pembangunan Persatuan Bangsa-Bangsa atau United Nations Development Programme (UNDP).

Kemitraan terbentuk dari berkumpulnya tokoh-tokoh masyarakat sipil, pemerintah, dunia usaha, dan negara-negara donor ketika terjadi krisis ekonomi dan politik di Indonesia pada 1997-1998. Kerjasama mereka berkontribusi pada suksesnya penyelenggaraan Pemilu pada Juni 1999.

Sebagai lembaga internasional pendukung pembangunan berkelanjutan Gesellschaft für

Technische Zusammenarbeit (GTZ), yang dimiliki pemerintah Jerman, membantu berbagai kelompok masyarakat sipil di belahan dunia lain untuk mencapai tujuan pembangunannya. Lembaga ini menyediakan bantuan dan solusi untuk pembangunan politik, ekonomi, ekologi, dan sosial. Bekerja di bawah situasi yang sulit, GTZ mengenalkan proses perubahan dan pembaruan yang kompleks. Tujuan utama lembaga ini adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan modal yang berkelanjutan.

Lembaga yang berpusat di Eschborn, tak jauh dari Frankfurt Jerman ini, berdiri sejak 1975. Selain bekerja untuk Departemen Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan Negara Jerman, GTZ juga membantu lembaga internasional seperti Komisi Eropa, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia, maupun lembaga swasta lain. Keuntungan hasil kerjasama ini dikembalikan pada proyek-proyek mereka terkait pembangunan berkelanjutan.

Saat ini, GTZ mempekerjakan lebih dari 14 ribu staf di sekitar 130 negara di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Eropa timur. GTZ sendiri memiliki kantor di 87 negara dengan sekitar 1.780 orang bekerja di kantor pusat mereka.

Jumlah dana yang pernah disalurkan GTZ sekitar 1.224 juta euro pada tahun 2008 saja di mana sekitar 985 juta euro berasal dari proyek dan program untuk publik. Sekitar 80

Sukses dengan pelaksanaan Pemilu, kelompok ini kemudian mendirikan Partnership pada tahun 2000.

Ada dua pendekatan yang digunakan lembaga ini untuk bekerja sama dengan mitra. Pertama, melalui fasilitasi kegiatan seperti workshop, diskusi, konferensi, dan pelatihan peningkatan kapasitas untuk mendorong dialog di berbagai tingkat masyarakat. Kedua melalui pendanaan program pada mitranya seperti organisasi masyarakat sipil, kampus, pemerintah lokal dan pusat, maupun organisasi massa (Ormas) seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).

Hingga saat ini Kemitraan telah menyalurkan lebih dari US$ 81 juta atau sekitar Rp 81 milyar untuk mendukung sekitar 330 proyek di tingkat lokal maupun nasional. Prioritas program Kemitraan adalah anti korupsi, pelayanan publik, desentralisasi dan otonomi daerah, hukum, Pemilu, serta keamanan. Program ini melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, media, akademisi, dan lembaga donor.

Program-program tersebut terbagi dalam empat kelompok besar yaitu Tata Pemerintahan Demokratis, Pemerintahan dalam Sektor Publik, Tata Pemerintahan dalam Sektor Keamanan dan Peradilan, serta Tata Pemerintahan Ekonomi dan Lingkungan Hidup. Kegiatan dari empat kelompok ini misalnya keterlibatan warga dalam perumusan kebijakan publik, tata pemerintahan yang baik dalam sektor media, sampai pada pengelolaan kehutanan dan perdagangan dan kebijakan yang menjawab tantangan Perubahan Iklim.

Kemitraan | Jl. Brawijaya VIII No. 7 Kebayoran Baru Jakarta 12160 | Telp +622172799566, Fax +62217225667Email [email protected] | Website www.kemitraan.or.id

persen dana lembaga GTZ berasal dari pemerintah Jerman. Sisanya dari kontrak dengan lembaga internasional lain seperti lembaga keuangan ataupun swasta. Di Indonesia, GTZ sudah bekerja selama 34 tahun. Lembaga yang bekerja di Indonesia sejak tahun 1975 ini lebih fokus pada kesehatan, transportasi, reformasi ekonomi, dan desentralisasi. Beberapa di antara programnya adalah pendidikan dasar, kebijakan kehutanan, dan energi terbarukan. Bekerja sama dengan Komisi Eropa, GTZ melaksanakan program pengelolaan kebakaran hutan di Sumatera.

Untuk program kesehatan, GTZ melaksanakan program di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, dan Aceh. Kegiatannya antara lain pengembangan Puskesmas, asuransi kesehatandan sosial, serta pengembangan sistem di sektor manajemen kesehatan termasuk untuk isu HIV/AIDS dan keluarga berencana (KB). Sedangkan untuk transportasi, lembaga ini lebih banyak bermain di perubahan kebijakan transportasi massal.

Bermitra untuk Pemerintahan yang Lebih Bersih

Jaringan

GTZ Kantor JakartaMenara BCA, Grand Indonesia, Level 46Jl. M.H. Thamrin No. 1 Jakarta 10310Telp +622123587111, Fax: +62 21 23587110Email: [email protected] www.gtz.de

Dari Jerman untuk Indonesia

18

acces-mockup-mas OK.indd 18 9/10/2009 2:40:08 PM

Page 19: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

Dunia Tanpa Kemiskinan Bukanlah Impian

Mengawasi Kebocoran Keuangan Daerah

Perdagangan global itu seperti ratusan jalan tol. Perlu ada yang mengatur: batas kecepatan, lampu merah, batas ukuran kendaraan, dan seterusnya. Tanpa aturan, maka truk-truk besar dengan kecepatan tinggi saja yang bisa melewatinya. Aturan tidak hanya akan membuat kendaraan-kendaraan kecil punya kesempatan menggunakan jalan tapi juga disejajarkan dengan kendaraan yang lebih besar.

Tapi bagi Muhammad Yunus, peraih hadiah Nobel Perdamaian 2006, aturan saja tidak cukup. Kendaraan-kendaraan kecil itu harus diberikan jalan yang lebih baik. Sebab dalam praktik selama ini, jalan besar bebas hambatan itu tak hanya menghilangkan kesempatan tapi juga menyingkirkan kendaraan-kendaraan kecil tersebut.

Inilah filosofi lahirnya bisnis sosial yang ditulis di buku berjudul Menciptakan Dunia Tanpa Kemiskinan: Bagaimana Bisnis Sosial Mengubah Kehidupan Kita ini. Bisnis sosial adalah bisnis yang bukan berorientasi pada keuntungan modal tapi juga keadilan sosial. Buku terbitan Gramedia ini membahas pengalaman Grameen Bank di Bangladesh yang didirikan Muhammad Yunus, yang telah menerapkan bisnis sosial.

Bank ini mengelola bisnis dengan orang-orang miskin sebagai pangsa pasarnya. Orang-orang miskin tidak dieksploitasi semata sebagai konsumen tapi sebagai

manusia yang harus diperbaiki taraf hidupnya. Maka, Grameen Bank yang yang memulai usaha pada 1983 ini memberikan pinjaman tanpa jaminan pada orang-orang miskin yang selama ini tidak bisa mendapatkan pinjaman dari bank umum.

Grameen Bank juga menjadikan orang-orang miskin dengan penghasilan kurang dari Rp 10 ribu per hari ini

sebagai pemilik modal. Dari semula hanya bank, usaha Grameen kini bertebaran di semua bidang seperti kredit mikro, perikanan, produksi kain tenun, sumber energi, beasiswa, layanana kesehatan, sampai internet. Dari satu usaha simpan pinjam pada 1983 kini jadi 24 perusahaan. Semua bertujuan sama: meningkatkan kehidupan orang miskin.

Setelah berjalan selama 26 tahun, Grameen Bank memiliki 7 juta orang

miskin sebagai nasabah di mana 97 persen di antaranya adalah perempuan. Usaha ini sudah menjangkau orang miskin di 78.000 desa. Sekitar 64 persen nasabah sudah melewati garis kemiskinan.

Yunus mengingatkan, kemiskinan adalah ancaman terbesar pada perdamaian. Maka mengatasi kemiskinan adalah upaya menyebarkan perdamaian. Wajarlah jika Yunus dan Grameen Bank kemudian mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian.

Meskipun lebih ditujukan untuk jurnalis, buku berjudul Melawan Korupsi: Pedoman Investigasi Skandal Keuangan Daerah ini juga layak jadi pedoman setiap orang. Sebab buku ini memberikan pijakan bagaimana warga harus terlibat dalam pengawasan keuangan daerah.

Buku yang diterbitkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta ini merupakan kumpulan pengalaman wartawan mengungkap korupsi di berbagai daerah. Pengalaman itu kemudian disajikan dalam bentuk petunjuk praktis bagaimana orang lain juga bisa membongkar kebocoran keuangan daerah yang ditujukan untuk memperkaya pejabat tersebut.

Buku saku setebal 200 halaman ini mengungkapkan sejarah korupsi di negeri, budaya korupsi di berbagai daerah, dan siapa saja pelakunya. Pada bagian lain Wahyu Dhyatmika dan kawan-kawan membahas mekanisme keuangan daerah. Mulai dari proses perumusan, pembahasan, hingga pencairan anggaran pendapatan

dan belanja daerah (APBD). Pada bagian selanjutnya ini menjelaskan bagaimana cara memilih narasumber, dokumen, informasi, dan bahan lain untuk melakukan pengawasan pengelolaan keuangan daerah. Bahkan ada pula bab khusus tentang bagaimana menuliskan hasil investigasi dan kemungkinan masalah hukum akibat penulisan.

Sekali lagi, meski disusun untuk kalangan jurnalis, buku ini juga bisa menjadi acuan dan pedoman bagi warga lain seperti peneliti, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), ataupun masyarakat awam lain. Sebab bukankah pengawasan korupsi yang sesungguhnya adalah oleh masyarakat itu sendiri?

Referensi

Jika tertarik mendapatkan buku ini silakan hubungi AJI JakartaJl Prof Dr Soepomo Kompleks BIER No 1AMenteng Dalam Jakarta SelatanTelp. 021 – 83702660, 71100685Email [email protected]

19

acces-mockup-mas OK.indd 19 9/10/2009 2:40:09 PM

Page 20: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

Update

Selama periode April – Juni 2009, terutama selama proses penjajakan sosial dilakukan, enam mitra kerja ACCESS Nusa Tenggara Timur (NTT) Sumba telah berupaya meningkatkan kolaborasi satu sama lain. Upaya-upaya mereka dapat terlihat pada saat sejak tahap persiapan penjajakan, pelaksanaan hingga kepada pasca-penjajakan.

Beberapa anggota mitra mengakui telah terjadi perubahan relasi dan tindakan yang semakin harmonis, akrab, komunikatif, dialogis, kolaboratif sesama lembaga swadaya masyarakat (LSM), terutama mitra-mitra yang ada. Bahkan hubungan personal antara beberapa orang pimpinan lembaga yang sebelumnya dinilai tidak harmonis dan renggang, sekarang hubungan mereka sudah menjadi semakin harmonis dan akrab. Selain itu, terlihat pula meningkatnya kapasitas mitra dalam membangun aliansi dengan organisasi masyarakat sipil (OMS) lain.

Sesama mitra melakukan kolaborasi dengan memanfaatkan dan menghargai asset-asset yang mereka

Saling Berbagi dalam Kolaborasi

Jarpuk Mewujudkan Kemandirian Perempuan

miliki. Misalnya, Yayasan Alam Lestari meminta bantuan teknis dari Yulius Opang Yayasan Cendana Mekar untuk menyusun instrumen penjajakan sosial lembaganya.

Selama proses persiapan penjajakan, setiap mitra telah memainkan peran mereka masing-masing dalam mendukung nilai dan prinsip TKLD dipraktikkan dalam lembaga mereka. Hal ini terlihat dari proses-proses diskusi yang terbangun secara partisipatif, transparan dan akuntabel dengan sesama anggota dalam lembaga dalam membuat instrumen, membuat alur dan proses penjajakan, serta pembagian tugas dan peran.

Para mitra juga telah mempraktikan pendekatan asset based seperti mereka memberikan kontribusi atau bahkan menanggung beberapa pengeluaran selama prapenjajakan seperti transportasi, konsumsi, komunikasi, alat tulis menulis, komputer dan lain-lain. Selain itu, mereka juga mempromosikan keberlanjutan lingkungan hidup seperti hemat energi listrik dan air, menggunakan bahan-bahan yang mudah terurai, konsumsi dari bahan makanan lokal seperti ubi-ubian, pisang, jagung dan sebagainya. [Dari Laporan tiga bulanan ACCESS NTT]

Organisasi perempuan Jaringan Perempuan Usaha Kecil (Jarpuk) Ina Foa Kupang banyak bergelut dengan masalah ekonomi. Sejak berdiri pada tahun 2002, Jarpuk dengan keterbatasan sumber daya, terus melakukan kegiatan untuk menunjukan jati dirinya sebagai perempuan. Perjuangan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga pun mereka lakukan dalam berbagai bentuk kegiatan ekonomi.

Agar tidak ketinggalan dalam informasi lain, Jarpuk dengan keterbatasan pemahaman tentang gender juga selalu aktif mempromosikan isu tentang kemandirian perempuan. Mereka juga ikut dalam seminar, lokakarya, diskusi, serta kegiatan lain yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun Pemerintah di Kupang. Memperluas jaringan dan wawasan berpikir juga menjadi hal yang penting dalam pengembangan diri.

Demikian pula dalam kegiatan Indeks Masyarakat Sipil kabupaten Kupang pada Juli 2009 lalu. Dua orang anggota Jarpuk sangat vokal menyampaikan pendapatnya dalam diskusi. “Untuk bisa maju seperti sekarang, ternyata uang bukan satu-satunya jaminan,” kata Ketua Jarpuk Ina Foa Martha Kewuan. Menurut Martha informasi yang mereka peroleh sangat bermanfaat bagi

pengembangan usaha. Banyak juga suami anggota yang mulai merasakan perubahan. Misalnya pola berpikir yang lebih kritis, termasuk dalam analisis sehingga usahanya lebih baik.

Pada peringatan kemerdekaan Indonesia Agustus lalu, Jarpuk Ina Foa Kupang juga melaksanakan debat antar anggota bertema ”Perempuan dan Kemerdekaan ” dan Pameran Produk karya Jarpuk. Kegiatan yang dibuka Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Kupang Kristin Titu Eki itu memberi semangat bagi peserta. Titu memberikan apresiasi kepada Jarpuk yang sudah memulai aktivitas untuk mengangkat jati diri perempuan. Sebab perempuan memiliki banyak asset yang bisa dikembangkan dalam rangkah menuju kemandirian. [Maria Yulita Sarina, PO ACCESS NTT Timor]

20

acces-mockup-mas OK.indd 20 9/10/2009 2:40:10 PM

Page 21: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

Pembuatan Data Kesejahteraan untuk Dasar Pembangunan Agenda

Penilaian Proposal Lanjutan: September - Oktober

Persiapan Pertemuan Apresiatif Kabupaten (DCEP) di Kabupaten Baru : September – Oktober

Pertemuan Apresiatif Kabupaten di Kabupaten Baru: Oktober

Promosi Sosial Hasil PAK Kabupaten Takalar dan Gowa: Minggu IV Oktober

Lokalatih Monitoring dan Evaluasi di Kabupaten Lama kecuali Jeneponto Bantaeng: Oktober

Training Fasilitasi untuk OMS di Kabupaten Buton Utara: Oktober

Sosialisasi Program Mitra kepada Pemda: Oktober

Pertemuan Forum Lintas Aktor Lombok: Oktober

TOT CLAPP – GSI oleh Mitra Samya untuk mitra ACCESS: Oktober

Sungguh luar biasa perempuan ini. Dengan segala keterbatasannya masih sempat memikirkan pendidikan bukan hanya untuk dirinya justru untuk orang lain. Kalau saya memikirkan pendidikan wajarlah. Ini orang yang tak berpendidikan memikirkan pendidikan. Jumilah menggunakan potensi diri dan lingkungannya untuk menunjukkan dan menyadarkan pendidikan itu penting. (Ir. H. La Sara, MS., PhD, Pembantu Rektor Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara, Dalam Forum Kawasan Timur Indonesia ke-4 di Sulawesi Tenggara untuk mengidentifikasi keberhasilan para aktor perubahan, 5 Agustus 2009)

Pemerintah Kabupaten Bantaeng melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa berkomitmen membuat baseline data kesejahteraan penduduk dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) di 46 desa dan 21 kelurahan dengan pendekatan Community Led Assesment and Planning Process (CLAPP). Pelaksanaan kegiatan ini diserahkan pada mitra LSM lokal. Untuk kegiatan ini dialokasikan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2009 sebesar Rp 540 juta rupiah.

Pengembangan kegiatan kerjasama ACCESS, LSM, dan Pemkab ini sangat dirasakan manfaatnya untuk meningkatkan keterlibatan warga dalam proses pembangunan. Harmoni, staf Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (KPMPD) mengatakan sejak adanya ACCESS di Bantaeng, Pemkab melihat adanya perubahan yang cukup signifikan akan partisipasi warga. Warga mulai terlibat menggagas masa depan desa. Pada dua desa yaitu Bonto Balaeng dan Bonto Tiro di mana ACCESS melaksanakan program, warga sudah berpartisipasi aktif. Perempuan juga terlibat aktif dalam menyuarakan kebutuhan dan aspirasinya.

Proses serupa juga dilaksanakan di Kabupaten Gowa. Perwakilan organisasi masyatakat sipil (OMS) di 18 kecamatan, LSM, DPR, dan Pemkab Gowa menyusun baseline data tentang Indeks Masyarakat Sipil (IMS) yang menggambarkan tingkat kesehatan masyarakat di Kabupaten Gowa. Sebanyak 38 orang yang terdiri dari 12 orang laki-laki dan 36 perempuan. Tak hanya jumlahnya yang banyak, suara perempuan juga mendominasi dalam pertemuan tersebut.

Pengalaman melaksanakan program bersama pemerintah ini menghasilkan bahan belajara yang menarik dan bermanfaat. Pertama, untuk mewujudkan hubungan yang baik dan harmonis dengan pemerintah daerah tidak cukup hanya dengan pemenuhan prosedur administratif. Perlu juga adanya komunikasi intensif dengan pengambil keputusan. Kedua, untuk mendorong keterlibatan perempuan dalam kegiatan perlu ada rancangan sejak awal disertai proses penyadaran dengan berbagai pihak, terutama mereka yang mengambil keputusan. [Sartono, Korprov ACCESS Sulsel]

21

acces-mockup-mas OK.indd 21 9/10/2009 2:40:10 PM

Page 22: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

Sartono, Koordinator Provinsi ACCESS Sulsel

Sartono, 55 tahun, yang akrab disapa Pak De adalah salah satu staf ACCESS yang senang menulis di publikasi seperti buku dan buletin. Penikmat buku sejarah dan agama ini menceritaan pengalamannya 26 tahun bekerja di LSM pada Anton Muhajir.

Kenapa bisa rajin menulis?Dulu waktu bekerja di LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, red) semua staf didorong untuk menulis di koran, termasuk saya. Karena itu saya terbiasa menulis sampai saat ini.

Bagaimana awal mula bekerja di LSM?Saya dulu mengelola Kelompok Zakat Muhammadiyah (Kozam), binaan LP3ES di Klaten, Jawa Tengah. Kozam

Profil

adalah koperasi milik penerima zakat, terutama fakir miskin, untuk meningkatkan pendapatan. Usaha anggotanya macam-macam. Anggotanya ada tukang kayu, bengkel sepeda, pengumpul padi, dan lain-lain. Saya kemudian ditarik ke LP3ES. Sempat ada dilema antara bertahan di usaha garmen saya atau gabung LP3ES. Saya memilih LP3ES. Dari situ saya mulai bergelut di LSM.

Kenapa memilih LSM daripada usaha garmen?Karena waktu itu terpaksa jadi orang kantoran. Saya bergabung di LP3ES pada 1983 sampai 1990. Saya mulai dari tukang ketik, supervisor, training, sampai terakhir koordinator training. Setelah itu bergabung dengan CARE International dan kemudian Overseas Projects Corporation of Victoria (OPCV) pada 1995 hingga 2002. Saya mulai bergabung di ACCESS sejak 2002 hingga saat ini.

Apa yang menarik selama 26 tahun bekerja di LSM?Sering bergaul dengan masyarakat. Jalan-jalan ke banyak tempat, terutama di pedesaan. Saya mendapat banyak pengalaman tentang kondisi masyarakat dan kemauan mereka untuk berubah.

Merangsang daya kritis warga desa yang dicap sebagai kantong pencuri bukan perkara mudah. Stefanus Segu, Direktur Yayasan Bahtera yang masih lajang menceritakan pengalamannya pada Luh De Suriyani.

Stef, panggilan akrab pria 37 tahun kelahiran Sumba yang murah senyum ini. Ketika mahasiswa Stef merasa Sumba bukan tempat terbaik untuk masa depannya. Namun, kini ia tersangkut makin dalam di pelosok-pelosok desa di Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menyebarkan nilai-nilai partisipasi, transaparan, dan keadilan gender.

“Awalnya saya tak berniat kerja di Sumba,” ujar lulusan Teknik Sipil Universitas Atmajaya Jogjakarta ini. Namun perkenalannya dengan Desa Lapale di Sumba Barat mengubah pendiriannya. “Desa ini terkenal karena paling marginal dan hitam. Warganya dikenal kerap merampok dan mencuri,” tambahnya.

Stef merasa stigma ini tak adil. “Saya ingin menghancurkan mitos itu. Pencuri pun harus mendapat peluang dalam pembangunan,” tambahnya. Melalui program ACCESS Phase I Lapale lambat laun berubah. Sejumlah warga terlibat perancangan program pembangunan dan penganggarannya. “Mereka hanya butuh peluang,” kata Stef.

Stef menyebut sejumlah nama aktor-aktor perubahan di Lapale. Misalnya Soli Ledi, Bertha B. Lida, dan Soli Beko. Ketiganya perempuan. Beberapa aktor juga kini jadi perangkat Desa Lapale.

“Saya berusaha memantau dan melibatkan para aktor ini untuk sharing dengan desa-desa lain,” janji Stef. Aktor-aktor perubahan ini penting untuk meluaskan program yang akan menjangkau 14 desa di Sumba Barat, Sumba Timur, Barat Daya, dan Sumba Tengah.

Stefanus Segu, “Pencuri pun Harus Mendapat Peluang dalam Pembangunan”

Pengalaman Panjang dalam Pemberdayaan

Stef merinci ada tiga perubahan dalam internalisasi prinsip Tata Kepemerintahan Lokal yang Demokratis (TKLD). Pertama, keterbukaan pemerintah pada gagasan yang diusung LSM. Kedua, pemanfaatan warga terlatih sebagai trainer di proses-proses pembangunan. Ketiga, perubahan untuk menerapkan prinsip TKLD dalam pembangunan seperti partisipasi warga marginal, transparansi, dan keadilan gender.

“Kita tidak bisa terus konfrontatif, harus saling mengisi,” ujar Stef.

Kontak Stefanus SeguYayasan BahteraEmail: [email protected]

22

acces-mockup-mas OK.indd 22 9/10/2009 2:40:11 PM

Page 23: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

Tips

Kuis

Selingan

Kedai Partisipasi (World Café)

World Café, yang diterjemahkan oleh Inspirit Inc. sebagai “Kedai Partisipasi” adalah salah satu metode fasilitasi yang cocok diterapkan di Indonesia. Kita senang ngobrol, dan kedai partisipasi menangkap obrolan itu sehingga ide-ide cemerlang yang dibicarakan dapat terdokumentasi, dan mendapat pengayaan dari berbagai peserta.

Tahap-tahap World Café:

1. Siapkan beberapa meja dan kursi sesuai dengan jumlah peserta. Susun seperti di café. Satu meja (lebih baik bundar) dikelilingi 4-5 kursi. Kalau meja tidak memadai, gunakan kursi melingkar. Atau malah peserta “melantai”.

2. Siapkan beberapa topik diskusi (biasanya 3) yang bersifat progresif untuk didiskusikan di masing-masing meja selama 20-30 menit. Pertanyaan diskusi harus jelas dan nyambung dengan pengalaman peserta.

3. Siapkan “pencatat” di masing-masing meja untuk mendengarkan, mengamati, serta mencatat isi dan jalannya diskusi.

4. Minta setiap kelompok untuk tetapkan siapa yang akan menjadi tuan rumah.

5. Mulai dengan diskusi putaran pertama. Semua peserta mulai mendiskusikan pertanyaan pertama. Selain berbicara, minta mereka untuk menggunakan media dengan menggambar, mencoret-coret dalam menuangkan ide.

6. Setelah 20-30 menit akhiri diskusi. Minta salah satu peserta untuk tetap di meja sebagai tuan rumah. Peserta lain menjadi ‘duta’ kelompok ke meja lain yang tersebar.

7. Mulai putaran kedua. Tuan rumah mengucapkan selamat datang dan menjelaskan inti hasil diskusi sebelumnya dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Para ‘duta’ dengan membawa pemahaman dari diskusi di meja sebelumnya, dapat bertanya dan memberikan ide-ide baru pada kelompok ini. Tuan rumah memastikan ide-ide tersebut tertangkap dalam flipcart.

8. Putaran berikutnya proses dapat diulang atau semua peserta kembali ke meja awal dan melihat masukan-masukan yang diperoleh selama proses dan mendiskusikan kembali berdasarkan pengalaman mereka pada saat menjadi duta.

9. Hasil akhirnya dapar dipresentasikan kepada semua peserta.

Sumber Flipchart Inspirit, April 2006

1. Berapa dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan Pemerintah Kabupaten Bantaeng untuk membuat baseline data kesejahteraan penduduk pada tahun anggaran 2009?

2. Provinsi mana yang pada tahun 2003 menjadi provinsi ketiga terkaya dalam hal pendapatan daerah per kapita di Indonesia?

3. Siapa nama lengkap Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat saat ini? Kirimkan jawaban Anda ke redaksi Buletin ACCESS melalui surat, email, ataupun SMS ke HP 0817348794 dengan format jawaban Kuis ACCESS # Jawaban 1/Jawaban 2/Jawaban 3/Nama dan Alamat Pengirim.

Contoh: Kuis ACCESS#Rp 2 milyar/Bali/Bani Nawalapatra/Agus Sumberdana/Jl Noja Ayung No 3 Denpasar.

Saya kagum melihat apa yang telah dikerjakan ACCESS Sumba karena memiliki pendekatan dan hubungan baik dengan Pemerintah Daerah, LSM, maupun masyarakat. Ini merupakan model kerjasama baik antara pemerintah dan masyarakat sipil yang baru pertama kali saya ketemui di NTT. (Drs. Yohan Loban, M.Si, Kepala Bidang Pemerintahan Desa dan Kelurahan, BPMPD Provinsi NTT)

23

acces-mockup-mas OK.indd 23 9/10/2009 2:40:11 PM

Page 24: Membumikan Konsep Pemerintah Yang Bagus

Visualisasi Visi Kab. Sumba Barat hasil pertemuan Forum Lintas Aktor “Menoreh Sumba Barat Impian”, Oktober 2008

NTB – LombokJl Panjianom No 4 Kel. Tanjung Karang Ampenan Nusa Tenggara BaratTelp 0370 – 644817, Fax. 0370 – 646736Email [email protected]

NTB – SumbawaJl Gajah Mada No 12B RT 01/RW 01 Kel. Rabadompu Kota Bima Nusa Tenggara BaratTelp/Fax. 0374 – 646874Email [email protected]

Sulawesi SelatanBTN Arakeke Permai Blok C No. 30 BantaengTelp: 0413 23117Fax: 0413 22144Email [email protected]

Sekilas ACCESS Tahap IIAustralian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS) adalah program inisiatif pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia melalui Australian Agency for International Development (AusAID).

ACCESS telah beroperasi sejak tahun 2002, di mana Tahap II telah dimulai pada bulan Mei 2008 untuk periode lima tahun ke depan. ACCESS Tahap II didesain berdasarkan keberhasilan-keberhasilan dari ACCESS Tahap I dengan memberikan fokus pada penguatan kapasitas organisasi masyarakat sipil (OMS) lokal dan masyarakat serta perlunya membangun tuntutan terhadap tata kepemerintahan yang lebih baik.

Sulawesi TenggaraJl. Betoambari No 170E Lorong Nusantara RT 03 RW 01 Kel. Katobengke Kec. BetoambariSulawesi TenggaraTelp/Fax. 0402 – 2821026Email [email protected]

NTT – SumbaJl. Palapa 31 Matawai Waingapu Sumba TimurTelp 0387 – 2564579/0387 – 61865Email [email protected]

NTT – TimorJl. Herewila No 25 B Naikoten IIKupang Nusa Tenggara TimurTelp/Fax. 0380 – 831721Email [email protected]

Kantor BaliJl Bet Ngandang I No 1 XX Sanur Denpasar BaliTelp 0361 – 288428Fax. 0361 – 2877509Email [email protected], Website: www.access-indo.or.id

Koordinator Provinsi dan Alamat Sekretariat Lapangan ACCESS

“Sebagai bentuk kepedulian pada kelestarian lingkungan,

Buletin ini dicetak menggunakan kertas 50 persen daur ulang”

Australia Community Development and Civil Society Strengthening Scheme Phase II

IDSS

acces-mockup-mas OK.indd 24 9/10/2009 2:40:12 PM