30
Mengenal CBM (Coal Bed Methane) Posted by imambudiraharjo on January 19, 2010 Batubara memiliki kemampuan menyimpan gas dalam jumlah yang banyak, karena permukaannya mempunyai kemampuan mengadsorpsi gas. Meskipun batubara berupa benda padat dan terlihat seperti batu yang keras, tapi di dalamnya banyak sekali terdapat pori-pori yang berukuran lebih kecil dari skala mikron, sehingga batubara ibarat sebuah spon. Kondisi inilah yang menyebabkan permukaan batubara menjadi sedemikian luas sehingga mampu menyerap gas dalam jumlah yang besar. Jika tekanan gas semakin tinggi, maka kemampuan batubara untuk mengadsorpsi gas juga semakin besar. Gas yang terperangkap pada batubara sebagian besar terdiri dari gas metana, sehingga secara umum gas ini disebut dengan Coal Bed Methane atau disingkat CBM. Dalam klasifikasi energi, CBM termasuk unconventional energy (peringkat 3), bersama-sama dengan tight sand gas,devonian shale gas, dan gas hydrate. High quality gas (peringkat 1) dan low quality gas (peringkat 2) dianggap sebagai conventional gas. Produksi CBM Di dalam lapisan batubara banyak terdapat rekahan (cleat), yang terbentuk ketika berlangsung proses pembatubaraan. Melalui rekahan itulah air dan gas mengalir di dalam lapisan batubara. Adapun bagian pada batubara yang dikelilingi oleh rekahan itu disebut dengan matriks (coal matrix), tempat dimana kebanyakan CBM menempel pada pori-pori yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian, lapisan batubara pada target eksplorasi CBM selain berperan sebagai reservoir, juga berperan sebagai source rock.

Mengenal CBM

Embed Size (px)

DESCRIPTION

energy

Citation preview

Mengenal CBM (Coal Bed Methane)

Posted by imambudiraharjo on January 19, 2010

Batubara memiliki kemampuan menyimpan gas dalam jumlah yang banyak, karena permukaannya

mempunyai kemampuan mengadsorpsi gas. Meskipun batubara berupa benda padat dan terlihat seperti

batu yang keras, tapi di dalamnya banyak sekali terdapat pori-pori yang berukuran lebih kecil dari skala

mikron, sehingga batubara ibarat sebuah spon. Kondisi inilah yang menyebabkan permukaan batubara

menjadi sedemikian luas sehingga mampu menyerap gas dalam jumlah yang besar. Jika tekanan gas

semakin tinggi, maka kemampuan batubara untuk mengadsorpsi gas juga semakin besar.

Gas yang terperangkap pada batubara sebagian besar terdiri dari gas metana, sehingga secara umum gas

ini disebut dengan Coal Bed Methane atau disingkat CBM. Dalam klasifikasi energi, CBM

termasuk unconventional energy (peringkat 3), bersama-sama dengan tight sand gas,devonian shale gas,

dan gas hydrate. High quality gas (peringkat 1) dan low quality gas (peringkat 2) dianggap

sebagai conventional gas.

Produksi CBM

Di dalam lapisan batubara banyak terdapat rekahan (cleat), yang terbentuk ketika berlangsung proses

pembatubaraan. Melalui rekahan itulah air dan gas mengalir di dalam lapisan batubara. Adapun bagian pada

batubara yang dikelilingi oleh rekahan itu disebut dengan matriks (coal matrix), tempat dimana kebanyakan

CBM menempel pada pori-pori yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian, lapisan batubara pada target

eksplorasi CBM selain berperan sebagai reservoir, juga berperan sebagai source rock.

Gambar 1. Prinsip produksi CBM

(Sumber: sekitan no hon, hal. 109)

CBM bisa keluar (desorption) dari matriks melalui rekahan, dengan merendahkan tekanan air pada target

lapisan. Hubungan antara kuantitas CBM yang tersimpan dalam matriks terhadap tekanan dinamakan kurva

Langmuir Isotherm (proses tersebut berada pada suhu yang konstan terhadap perubahan tekanan). Untuk

memperoleh CBM, sumur produksi dibuat melalui pengeboran dari permukaan tanah sampai ke lapisan

batubara target. Karena di dalam tanah sendiri lapisan batubara mengalami tekanan yang tinggi, maka efek

penurunan tekanan akan timbul bila air tanah di sekitar lapisan batubara dipompa (dewatering) ke atas. Hal

ini akan menyebabkan gas metana terlepas dari lapisan batubara yang memerangkapnya, dan selanjutnya

akan mengalir ke permukaan tanah melalui sumur produksi tadi. Selain gas, air dalam jumlah yang banyak

juga akan keluar pada proses produksi ini.

Potensi CBM

Mengenai pembentukan CBM, maka berdasarkan riset geosains organik dengan menggunakan isotop stabil

karbon bernomor masa 13, dapat diketahui bahwa terdapat 2 jenis pola pembentukan.

Sebagian besar CBM adalah gas yang terbentuk ketika terjadi perubahan kimia pada batubara akibat

pengaruh panas, yang berlangsung di kedalaman tanah. Ini disebut dengan proses thermogenesis.

Sedangkan untuk CBM pada lapisan brown coal (lignit) yang terdapat di kedalaman kurang dari 200m, gas

metana terbentuk oleh aktivitas mikroorganisme yang berada di lingkungan anaerob. Ini disebut dengan

proses biogenesis. Baik yang terbentuk secara thermogenesis maupun biogenesis, gas yang terperangkap

dalam lapisan batubara disebut dengan CBM.

Gambar 2.

Pembentukan CBM

(Sumber: sekitan no hon, hal. 109)

Kuantitas CBM berkaitan erat dengan peringkat batubara, yang makin bertambah kuantitasnya dari gambut

hingga medium volatile bituminous, lalu berkurang hingga antrasit. Tentu saja kuantitas gas akan semakin

banyak jika lapisan batubaranya semakin tebal.

Dari penelitian Steven dan Hadiyanto, 2005, (IAGI special publication) ada 11 cekungan batubara (coal

basin) di Indonesia yang memiliki CBM, dengan 4 besar urutan cadangan sebagai berikut: 1. Sumsel (183

Tcf), 2. Barito (101.6 Tcf), 3. Kutai (80.4 Tcf), 4. Sum-Tengah (52.5 Tcf). Dengan kata lain sumber daya CBM

di Sumsel sama dengan total (conventional) gas reserves di seluruh Indonesia.

Terkait potensi CBM ini, ada 2 hal yang menarik untuk diperhatikan:

Pertama, jika ada reservoir conventional gas (sandstone) dan reservoir CBM (coal) pada kedalaman,

tekanan, dan volume batuan yang sama, maka volume CBM bisa mencapai 3 – 6 kali lebih banyak

dari conventional gas. Dengan kata lain, CBM menarik secara kuantitas.

Kedua, prinsip terkandungnya CBM adalah adsorption pada coal matrix, sehingga dari segi eksplorasi faktor

keberhasilannya tinggi, karena CBM bisa terdapat pada antiklin maupun sinklin. Secara mudahnya dapat

dikatakan bahwa ada batubara ada CBM.

Produksi CBM & Teknologi Pengeboran

Pada metode produksi CBM secara konvensional, produksi yang ekonomis hanya dapat dilakukan pada

lapisan batubara dengan permeabilitas yang baik.

Tapi dengan kemajuan teknik pengontrolan arah pada pengeboran, arah lubang bor dari permukaan dapat

ditentukan dengan bebas, sehingga pengeboran memanjang dalam suatu lapisan batubara dapat dilakukan.

Seperti ditunjukkan oleh gambar di bawah, produksi gas dapat ditingkatkan volumenya melalui satu lubang

bor dengan menggunakan teknik ini.

Gambar 3. Teknik produksi CBM

(Sumber: sekitan no hon, hal. 113)

Teknik ini juga memungkinkan produksi gas secara ekonomis pada suatu lokasi yang selama ini tidak dapat

diusahakan, terkait permeabilitas lapisan batubaranya yang jelek. Sebagai contoh adalah apa yang

dilakukan di Australia dan beberapa negara lain, dimana produksi gas yang efisien dilakukan dengan sistem

produksi yang mengkombinasikan sumur vertikal dan horizontal, seperti terlihat pada gambar di bawah.

Gambar 4. Produksi CBM dengan sumur kombinasi

(Sumber: sekitan no hon, hal. 113)

Lebih jauh lagi, telah muncul pula ide berupa sistem produksi multilateral, yakni sistem produksi yang

mengoptimalkan teknik pengontrolan arah bor. Lateral yang dimaksud disini adalah sumur (lubang bor) yang

digali arah horizontal, sedangkan multilateral adalah sumur horizontal yang terbagi-bagi menjadi banyak

cabang.

Pada produksi yang lokasi permukaannya terkendala oleh keterbatasan instalasi fasilitas akibat berada di

pegunungan misalnya, maka biaya produksi memungkinkan untuk ditekan bila menggunakan metode ini.

Secara praktikal, misalnya dengan melakukan integrasi fasilitas permukaan.

Catatan: Teknik pengontrolan arah bor

Teknik pengeboran yang menggunakan down hole motor (pada mekanisme ini, hanya bit yang terpasang di

ujung down hole motor saja yang berputar, melalui kerja fluida bertekanan yang dikirim dari permukaan)

dan bukan mesin bor rotary (pada mekanisme ini, perputaran bit disebabkan oleh perputaran batang bor

atau rod) yang selama ini lazim digunakan, untuk melakukan pengeboran sumur horizontal dll dari

permukaan. Pada teknik ini, alat yang disebut MWD (Measurement While Drilling) terpasang di bagian

belakang down hole motor, berfungsi untuk memonitor arah lubang bor dan melakukan koreksi arah sambil

terus mengebor.

Gambar 5. Pengontrolan arah bor

(Sumber: sekitan no hon, hal. 113)

ECBM

ECBM (Enhanced Coal Bed Methane Recovery) adalah teknik untuk meningkatkan keterambilan CBM. Pada

teknik ini, gas injeksi yang umum digunakan adalah N dan CO2. Disini, hasil yang diperoleh sangat berbeda

tergantung dari gas injeksi mana yang digunakan. Gambar di bawah ini menunjukkan produksi CBM dengan

menggunakan gas injeksi N dan CO2.

Gambar 6. ECBM dengan N dan CO2

(Sumber: sekitan no hon, hal. 115)

Bila N yang digunakan, hasilnya segera muncul sehingga volume produksi juga meningkat. Akan tetapi,

karena N dapat mencapai sumur produksi dengan cepat, maka volume produksi secara keseluruhan justru

menjadi berkurang.

Ketika N diinjeksikan ke dalam rekahan (cleat), maka kadar N di dalamnya akan meningkat. Dan karena

konsentrasi N di dalam matriks adalah rendah, maka N akan mengalir masuk ke matriks tersebut. Sebagian

N yang masuk ke dalam matriks akan menempel pada pori-pori. Oleh karena jumlah adsorpsi N lebih sedikit

bila dibandingkan dengan gas metana, maka matriks akan berada dalam kondisi jenuh (saturated) dengan

sedikit N saja.

Gambar 7. Tingkat adsorpsi gas

(Sumber: sekitan no hon, hal. 115)

Gambar 8. Substitusi gas injeksi pada matriks batubara

(Sumber: sekitan no hon, hal. 115)

Namun tidak demikian dengan CO2. Gas ini lebih mudah menempel bila dibandingkan dengan gas metana,

sehingga CO2 akan menghalau gas metana yang menempel pada pori-pori. CO2 kemudian segera saja

banyak menempel di tempat tersebut. Dengan demikian, di dalam matriks akan banyak terdapat CO2

sehingga volume gas itu yang mengalir melalui cleat lebih sedikit bila dibandingkan dengan N. Akibatnya,

CO2 memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai sumur produksi. Selain itu, karena CO2 lebih

banyak mensubstitusi gas metana yang berada di dalam matriks, maka tingkat keterambilan (recovery) CBM

juga meningkat.

*Tulisan ini adalah terjemah bebas buku “Sekitan no hon” sub bab 45, 47, dan 48 (editor Kazuo Fujita,

penerbit Nikkan Kōgyō Shinbunsha, April 2009), ditambah sumber lain, terutama tulisan Yudi Purnama di

milist iagi-net-I tertanggal 24 April 2007.

MigasReview, Jakarta – Saat berpidato di forum Center for Strategic and International Studies (CSIS) Washington D.C., Amerika Serikat, pekan lalu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan menyerukan perlunya Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada minyak. Indonesia harus beralih pada sumber energi alternatif demi mengamankan ketahanan energi nasional yang berkelanjutan di masa mendatang.Konsumsi energi primer Indonesia telah meningkat 50 persen dalam satu dasawarsa terakhir. Padahal, produksi minyak sebagai penyokong utama kebutuhan energi nasional telah merosot dari produksi puncaknya sebesar 1,6 juta barel per hari pada 1977 dan 1995 menjadi sekitar 861.000 barel per hari pada 2012.Pada saat yang sama, cadangan minyak terbukti Indonesia juga turun terus sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat penurunan cadangan minyak mentah tercepat di Asia. Namun di sisi lain, sebanyak 30 persen dari total konsumsi energi primer Indonesia masih bersumber dari minyak sehingga menempatkan negara ini dalam daftar negara pengimpor minyak.Karen menekankan perlunya sikap pro-aktif dengan mengurangi ketergantungan pada minyak dan segera beralih ke sumber energi alternatif, seperti gas alam, gas non konvensional, dan energi baru terbarukan yang cadangannya di Indonesia masih sangat menjanjikan.Nah, selain dilimpahi gas alam, Indonesia ternyata juga kaya akan coalbed methane (CBM) atau gas metana batubara, merupakan gas serbaguna yang mampu memenuhi kebutuhan berbagai macam pasar dengan harga yang sangat terjangkau, yaitu setengah dari harga minyak diesel.  Posisi cadangan Indonesia merupakan yang terbesar ke-6 di dunia. Indonesia dapat secara bertahap mengembangkan CBM dan Pertamina telah merencanakan investasi sebesar US$1,5 miliar untuk 200 sumur eksplorasi CBM dalam 5 tahun ke depan.Apa itu CBM?CBM merujuk kepada gas metana yang terabsorbsi ke dalam matriks padat batubara. Gas ini digolongkan sebagai “sweet gas” karena tidak mengandung hidrogen sulfida (H2S). CBM berbeda dari sandstone biasa dan reservoir konvensional lainnya lantaran gasnya tersimpan di dalam batuan melalui proses absorbsi. Metananya berada dalam keadaan yang hampir cair di sekeliling dalam pori-pori batubara. Rekahan-rekahan terbuka di dalam batubaranya (yang disebutcleats) dapat pula mengandung gas atau terisi/tersaturasi oleh air.Tidak seperti gas alam di reservoir konvensional, CBM sangat sedikit mengandung hidrokarbon berat seperti propana atau butana, dan tidak memiliki kondensat gas alam. CBM juga mengandung beberapa persen karbondioksida.Kepala Perwakilan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Wilayah Kalimantan-Sulawesi Ngatijan mengatakan, untuk melakukan eksploitasi CBM sehingga bisa diproduksi, perlu perlakuan khusus karena kandungan gas yang terjebak dalam batubara tersebut tidak bisa serta-merta keluar. Operator migas perlu melakukan dewatering sebelum mengalirkan gas keluar dari perut bumi.Selain itu, jumlah CBM yang keluar juga tidak terlalu banyak sehingga harus dibor lagi untuk meningkatkan kapasitas produksi. Dengan demikian, pengeboran tidak hanya dilakukan di satu tempat.

Pilot Project     

Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), riset tentang potensi gas metana yang terkandung dalam batubara mulai dilakukan pada 2003 dalam bentuk proyek percontohan di 5 sumur uji CBM di Lapangan Rambutan, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan yang merupakan wilayah kerja PT. Medco E&P Indonesia. Lapisan-lapisan batubara target berada pada kisaran kedalaman 600-1000 meter. Berbeda dengan proses pengembangan sumur reservoir migas, produksi gas dari reservoir CBM diawali dengan produksi air atau disebut sebagai dewatering.Pada pelaksanaan dewatering di kelima sumur CBM, gas telah mulai keluar dari dua lapisan batubara dengan laju produksi yang masih sangat kecil. Hasil simulasi menunjukkan, reservoir Lapangan CBM Rambutan memiliki potensi kandungan gas metana lebih kurang sebesar 30.600 MSCF per sumur, 185.000 MSCF untuk daerah pilot dan 5,5 X 106 MSCF untuk seluruh daerah luasan simulasi, yang dapat diproduksikan selama 20 tahun.Kemampuan produksi maksimum CBM Lapangan Rambutan lebih kurang sebesar 7,4 MSCF per hari untuk satu sumur, 37,5 MSCF per hari untuk daerah pilot dan 1.120 MSCF per hari untuk seluruh daerah luasan simulasi, yang dicapai dalam jangka 13,7 tahun.

Pilot project pengembangan CBM ini dipicu oleh hasil asesmen CBM pada 2003 yang memperkirakan bahwa sumber daya ini di Indonesia sebesar 453 TCF, tersebar di 11 cekungan batubara dan migas. Salah satunya adalah Cekungan Sumatera Selatan sebesar 180 TCF.

Perkembangan proyek percontohan CBM:

1. Kegiatan pilot project dimulai pada 2003 dengan berbagai kegiatan antara lain studi   kelayakan, studi lingkungan, dan kajian regulasi.

2. Pada 2004 dimulai pengeboran sumur CBM pertama hingga kedalaman 600 meter dengan mengambil sejumlah core pada seam batubara untuk diteliti potensinya. Pada tahun itu pula dihasilkan draf Kepmen CBM yang disampaikan kepada Direktorat Jenderal Migas.

3. Pada 2005-2006, kegiatan dilanjutkan dengan pengeboran 4 sumur CBM (Sumur CBM 2, 3, 4, dan 5) dengan kedalaman rata-rata 1000 meter sampai menembus lapisan batubara pada seam-5. Pada 2006 diterbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 33 Tahun 2006 tentang Pengusahaan CBM, yang merupakan hasil kajian regulasi CBM sejak 2003.

4. Pada 2007 dilakukan penelitian dengan kegiatan ke tahap penyelesaian sumur dan pelaksanaan operasi dewatering, meliputi perforasi dan fracturing serta uji lapisan di beberapa sumur pada seam yang telah terpilih. Pada tahap dewatering ini, air terproduksi dari keempat sumur CBM mempunyai konsentrasi chloride (Cl-) yang terukur sebesar 400 ppm, kandungan gas metana berkisar antara 93 – 97 persen, dan gas yang terproduksi di-flare.Keberhasilan pembuktian gas dari pilot project CBM itu mendorong kepercayaan industri untuk mengembangkan sumber daya ini, dengan ditandatanganinya kontrak kerjasama (KKS) CBM pertama pada  27 Mei 2008, dan 2008 dicanangkan sebagai tahun CBM. Sampai dengan 2011, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi ESDM telah menghasilkan 42 KKS CBM.

cbm-lapangan rambutanEksplorasi di Musi BanyuasinSementara itu, PT. Pertamina Hulu Energi Metana Suban I & II (PT. PHE Metana Suban I & II) dalam waktu dekat ini segera merealisasikan rencana eksplorasi CBM di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.GM PHE Metana Suban I & II Alfi Rusin mengatakan, tahun ini PT. PHE Metana Suban I & II akan mengebor 4 titik yang berada di Kecamatan Babat Toman, 2 di Desa Toman dan 2 lainnya di Desa Kasmaran.

Indonesia termasuk 10 negara di dunia yang mempunyai cadangan terbesar batubara, dengan cadangan CBM  sebesar 453.30 Tcf, yang tersebar dalam 11 basin. Ke-3 wilayah dengan potensi CBM terbesar di Indonensia adalah Sumatera Selatan (183 Tcf), Barito (101.6 Tcf) dan Kutai (80,4 Tcf).

Sumber Daya CBM DuniaSelama dasawarsa belakangan ini, CBM telah menjadi suatu sumber energi yang penting di Amerika Serikat (AS), Kanada dan beberapa negara lain. Sumber daya CBM terbesar di dunia terletak di bekas negara Uni Soviet, Kanada, China, Australia dan AS.

Di AS, sumber gas alam non-konvensional ini merupakan sumber daya berharga yang menyumbang sekitar 10 persen dari produksi gas alam per tahunnya. Sementara itu, proyek energi CBM di Rusia pertama kali dioperasikan pada Februari 2011.Meski demikian, sebagian besar potensi CBM dunia masih belum dikembangkan. Pada 2006, sumber daya global diperkirakan mencapai total 143 triliun meter kubik, dan baru 1 triliun meter kubik yang benar-benar telah diambil. Hal ini terjadi akibat masih kurangnya insentif di sejumlah negara untuk sepenuhnya mengeksploitasi sumber daya alam tersebut, terutama di sejumlah bagian bekas negara Uni Soviet, di mana gas alam konvensional sangat berlimpah.

CountryEstimated CBM Resource Base

(trillion cubic metres)

Canada 17 to 92

Russia 17 to 80

China 30 to 35

Australia 8 to 14

USA 4 to 11

Sementara itu, meski eksploitasi di Kanada lebih lambat daripada AS, namun jumlahnya diperkirakan meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi eksplorasi dan ekstraksi baru. Potensi peningkatan proporsi pasokan CBM yang signifikan juga terjadi di China. Permintaan akan gas alam telah melampaui produksi domestik pada 2010 dan CBM menawarkan pasokan akternatif. Pertengahan tahun lalu, the International Energy Agency (IEA) merilis perkiraannya bahwa permintaan global akan gas alam kemungkinan tumbuh 17 persen dalam 5 tahun ke depan akibat melonjaknya konsumsi di China. Permintaan di China dan AS diperkirakan naik 13 persen per tahun hingga 2017 sementara permintaan di Eropa akan naik 7,9 persen.Sumber: IEA 2005Jadi, ketika negara-negara lain telah mulai menggunakan CBM, Indonesia dengan cadangan yang besar, sudah seharusnya melakukan hal yang sama. (cundoko aprilianto)

- See more at: http://migasreview.com/mengenal-potensi-coalbed-methane-di-indonesia.html#sthash.lhSb2yQN.dpuf

Coal bed methane (CBM) merupakan sumber energi yang relatif masih baru. Sumber energi ini merupakan salah satu energi alternatif yang dapat diperbaharui penggunaannya. Gas metane yang diambil dari lapisan batubara ini dapat digunakan sebagai energi untuk berbagai kebutuhan manusia. Walaupun dari energi fosil yang tidak terbaharukan, tetapi gas ini terus terproduksi bila lapisan batubara tersebut ada. Kenapa? Yuk kita bahas sedikit.

Sebagaimana kita ketahui, batubara di Indonesia cadangan dan produksinya cukup menjanjikan. Dapat kita lihat pada gambar 1, dimana Indonesia termasuk negara produsen batubara dunia.

Gambar 1. Negara dengan cadangan dan produksi batubara terbesar di dunia.

Seiring bertambahnya kebutuhan akan energi, baik untuk listrik dan transportasi, negara-negara berkembang seperti Indonesia juga

membutuhkan suatu energi alternatif yang dapat terus dikembangkan. Dapat kita lihat pada gambar 2, dimana kebutuhan akan energi untuk pembangkit listrik terus berkembang. Salah satu pembangkit listrik di dunia yang paling dominan adalah dari energi batubara.

Gambar 2. Sumber pemakaian energi untuk konsumsi listrik di dunia.

Berdasarkan perkiraan dari sebuah institusi di Prancis, maka konsumsi energi di dunia tetap akan memakai minyak, batubara dan gas sebagai energi primer (gambar 3). Projeksi ini memberikan gambaran sebagaimana pentingnya peran energi fosil sebagai energi yang ”harus” terbarukan. Kata-kata harus disini mungkin tidak masuk akal, karena energi tersebut memang habis dipakai (tidak dapat diperbaharui). Dengan adanya teknologi, riset dan pemikiran baru, maka sebuah lapisan batubara dapat memberikan sebuah energi baru berupa gas yang dapat kita pakai.

Bentuk CBM sama halnya dengan gas alam lainnya. Dapat dimanfaatkan rumah tangga, industri kecil, hingga industri besar. CBM biasanya didapati pada tambang batu bara non-tradisional, yang posisinya di bawah tanah, di antara rekahan-rekahan batu bara.

Gambar 3. Energi primer yang dipakai di dunia.

Untuk memproduksi CBM, lapisan batubara harus terairi dengan baik sampai pada titik dimana gas terdapat pada permukaan batubara. Gas tersebut akan teraliri melalui matriks dan pori, dan keluar melalui rekahan atau bukaan yang terdapat pada sumur (gambar 4).

Air dalam lapisan batubara didapat dari adanya proses penggambutan dan pembatubaraan, atau dari masukan (recharge) air dalam outcrops dan akuifer. Air dalam lapisan tersebut dapat mencapai 90% dari jumlah air keseluruhan. Selama proses pembatubaraan, kandungan kelembaban (moisture) berkurang, dengan rank batubara yang meningkat.

Gambar 4. Kaitan antara lapisan batubara, air dan sumur CBM.

Gas biogenik dari lapisan batubara subbituminus akan dapat berpotensi menjadi CBM. Gas biogenik tersebut terjadi oleh adanya reduksi bakteri dari CO2, dimana hasilnya berupa methanogens, bakteri anaerobik yang

keras, menggunakan H2 yang tersedia untuk mengkonversi asetat dan CO2 menjadi metane sebagai by produk dari metabolismenya. Sedangkan beberapa methanogens membuat amina, sulfida, dan methanol untuk memproduksi metane.

Aliran air, dapat memperbaharui aktivitas bakteri, sehingga gas biogenik dapat berkembang hingga tahap akhir. Pada saat penimbunan maksimum, temperatur maksimum pada lapisan batubara mencapai 40-90°C, dimana kondisi ini sangat ideal untuk pembentukan bakteri metane. Metane tersebut terbentuk setelah aliran air bawah tanah pada saat ini telah ada.

Apabila air tanah turun, tekanan pada reservoir turun, pada saat ini CBM bermigrasi menuju reservoir dari sumber lapisan batubara. Perulangan kejadian ini merupakan regenerasi dari gas biogenik. Kejadian ini dipicu oleh naiknya air tanah atau lapisan batubara yang tercuci oleh air. Hal tersebut yang memberikan indikasi bahwa CBM merupakan energi yang dapat terbaharui.

Lapisan batubara dapat menjadi batuan sumber dan reservoir, karena itu CBM diproduksi secara insitu, tersimpan melalui permukaan rekahan, mesopore, dan mikropore (gambar 5). Permukaan tersebut menarik molekul gas, sehingga tersimpan menjadi dekat. Gas tersebut tersimpan pada rekahan dan sistem pori pada batubara sampai pada saat air merubah tekanan pada reservoir. Gas kemudian keluar melalui matriks batubara dan mengalir melalui rekahan sampai pada sumur. Gas tersebut sering kali terjebak pada rekahan-rekahan.

Gambar 5. Kaitan antara porositas mikro, meso dan makro.

CBM juga dapat bermigrasi secara vertikal dan lateral ke reservoir batupasir yang saling berhubungan. Selain itu, dapat juga melalui sesar dan rekahan. Kedalaman minimal dari CBM yang telah dijumpai 300 meter dibawah permukaan laut.

Gas terperangkap pada lapisan batubara sangat bergantung pada posisi dari ketinggian air bawah tanah. Normalnya, tinggi air berada diatas lapisan batubara, dan menahan gas di dalam lapisan. Dengan cara menurunkan tinggi air, maka tekanan dalam reservoir berkurang, sehingga dapat melepaskan CBM (gambar 6).

Gambar 6. Penampang sumur CBM.

Pada saat pertama produksi, ada fasa dimana volume air akan dikurangi (dewatering) agar gas yang dapat diproduksi dapat meningkat. Setelah fasa ini, fasa-fasa produksi stabil akan terjadi. Seiring bertambahnya waktu, peak produksi akan terjadi, saat ini merupakan saat dimana produksi CBM mencapai titik maksimal dan akan turun (decline).

Volume gas yang diproduksi akan berbanding terbalik dengan volume air. Bila volume gas yang diproduksi tinggi, maka volume air akan berkurang. Setelah peak produksi, akan terjadi fasa selanjutnya, yaitu fasa penurunan produksi (gambar 7). Seperti produksi minyak dan gas pada umumnya, fasa-fasa tersebut biasa terjadi. Namun demikian, seperti yang telah diuraikan, CBM dapat terbaharukan.

Gambar 7. Volume vs time dalam produksi CBM.

Gambar 8. Cadangan CBM Amerika.

Cadangan Coal Bed Methane (CBM) Indonesia saat ini cukup besar, yakni 450 TCS dan tersebar dalam 11 basin. Potensi terbesar terletak di kawasan Barito, Kalimantan Timur yakni sekira 101,6 TCS, disusul oleh Kutai sekira 80,4 TCS. Bandingkan dengan gambar 8, Amerika yang memiliki cadangan batubara cukup luas dan tersebar, hanya memiliki cadangan CBM yang relatif kecil.

Berdasarkan data Bank Dunia, konsentrasi potensi terbesar terletak di Kalimantan dan Sumatera. Di Kalimantan Timur, antara lain tersebar di Kabupaten Berau dengan kandungan sekitar 8,4 TCS, Pasir/Asem (3 TCS), Tarakan (17,5 TCS), dan Kutai (80,4 TCS). Kabupaten Barito, Kalimantan Tengah (101,6 TCS). Sementara itu di Sumatera Tengah (52,5 TCS),

Sumatera Selatan (183 TCS), dan Bengkulu 3,6 TCS, sisanya terletak di Jatibarang, Jawa Barat (0,8 TCS) dan Sulawesi (2 TCS).

Sebagai informasi, sumber daya terbesar sebesar 6,49 TCS ada di blok Sangatta-1 dengan operator Pertamina hulu energi methane Kalimantan A dengan basin di Kutai. Disusul Indragiri hulu dengan operator Samantaka mineral prima dengan basin Sumatera Selatan yang mempunyai sumber daya 5,50 TCS, dan sumber daya paling rendah terlatak di blok Sekayu yang dioperatori Medco SBM Sekayo dengan basin Sumatera Selatan, dengan sumber daya 1,70 TCS.

Batubara memiliki kemampuan menyimpan gas dalam jumlah yang banyak, karena permukaannya

mempunyai kemampuan mengadsorpsi gas. Meskipun batubara berupa benda padat dan terlihat

seperti batu yang keras, tapi di dalamnya banyak sekali terdapat pori-pori yang berukuran lebih kecil

dari skala mikron, sehingga batubara ibarat sebuah spon. Kondisi inilah yang menyebabkan

permukaan batubara menjadi sedemikian luas sehingga mampu menyerap gas dalam jumlah yang

besar. Jika tekanan gas semakin tinggi, maka kemampuan batubara untuk mengadsorpsi gas juga

semakin besar.

Gas yang terperangkap pada batubara sebagian besar terdiri dari gas metana, sehingga secara umum

gas ini disebut dengan Coal Bed Methane atau disingkat CBM. Dalam klasifikasi energi, CBM

termasuk unconventional energy(peringkat 3), bersama-sama dengan tight sand gas, devonian shale

gas, dan gas hydrate. High quality gas (peringkat 1) dan low quality gas (peringkat 2) dianggap

sebagai conventional gas.

Produksi CBM

Di dalam lapisan batubara banyak terdapat rekahan (cleat), yang terbentuk ketika berlangsung proses

pembatubaraan. Melalui rekahan itulah air dan gas mengalir di dalam lapisan batubara. Adapun

bagian pada batubara yang dikelilingi oleh rekahan itu disebut dengan matriks (coal matrix), tempat

dimana kebanyakan CBM menempel pada pori-pori yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian,

lapisan batubara pada target eksplorasi CBM selain berperan sebagai reservoir, juga berperan

sebagai source rock.

CBM bisa keluar (desorption) dari matriks melalui rekahan, dengan merendahkan tekanan air pada

target lapisan. Hubungan antara kuantitas CBM yang tersimpan dalam matriks terhadap tekanan

dinamakan kurva Langmuir Isotherm (proses tersebut berada pada suhu yang konstan terhadap

perubahan tekanan). Untuk memperoleh CBM, sumur produksi dibuat melalui pengeboran dari

permukaan tanah sampai ke lapisan batubara target. Karena di dalam tanah sendiri lapisan batubara

mengalami tekanan yang tinggi, maka efek penurunan tekanan akan timbul bila air tanah di sekitar

lapisan batubara dipompa (dewatering) ke atas. Hal ini akan menyebabkan gas metana terlepas dari

lapisan batubara yang memerangkapnya, dan selanjutnya akan mengalir ke permukaan tanah melalui

sumur produksi tadi. Selain gas, air dalam jumlah yang banyak juga akan keluar pada proses produksi

ini.

Potensi CBM

Mengenai pembentukan CBM, maka berdasarkan riset geosains organik dengan menggunakan isotop

stabil karbon bernomor masa 13, dapat diketahui bahwa terdapat 2 jenis pola pembentukan.

Sebagian besar CBM adalah gas yang terbentuk ketika terjadi perubahan kimia pada batubara akibat

pengaruh panas, yang berlangsung di kedalaman tanah. Ini disebut dengan proses thermogenesis.

Sedangkan untuk CBM pada lapisanbrown coal (lignit) yang terdapat di kedalaman kurang dari 200m,

gas metana terbentuk oleh aktivitas mikroorganisme yang berada di lingkungan anaerob. Ini disebut

dengan proses biogenesis. Baik yang terbentuk secara thermogenesis maupun biogenesis, gas yang

terperangkap dalam lapisan batubara disebut dengan CBM.

Kuantitas CBM berkaitan erat dengan peringkat batubara, yang makin bertambah kuantitasnya dari

gambut hinggamedium volatile bituminous, lalu berkurang hingga antrasit. Tentu saja kuantitas gas

akan semakin banyak jika lapisan batubaranya semakin tebal.

Dari penelitian Steven dan Hadiyanto, 2005, (IAGI special publication) ada 11 cekungan batubara (coal

basin) di Indonesia yang memiliki CBM, dengan 4 besar urutan cadangan sebagai berikut: 1. Sumsel

(183 Tcf), 2. Barito (101.6 Tcf), 3. Kutai (80.4 Tcf), 4. Sum-Tengah (52.5 Tcf). Dengan kata lain sumber

daya CBM di Sumsel sama dengan total (conventional) gas reserves di seluruh Indonesia.

Terkait potensi CBM ini, ada 2 hal yang menarik untuk diperhatikan:

Pertama, jika ada reservoir conventional gas (sandstone) dan reservoir CBM (coal) pada kedalaman,

tekanan, dan volume batuan yang sama, maka volume CBM bisa mencapai 3 – 6 kali lebih banyak

dari conventional gas. Dengan kata lain, CBM menarik secara kuantitas.

Kedua, prinsip terkandungnya CBM adalah adsorption pada coal matrix, sehingga dari segi eksplorasi

faktor keberhasilannya tinggi, karena CBM bisa terdapat pada antiklin maupun sinklin. Secara

mudahnya dapat dikatakan bahwa ada batubara ada CBM.

Produksi CBM & Teknologi Pengeboran

Pada metode produksi CBM secara konvensional, produksi yang ekonomis hanya dapat dilakukan pada

lapisan batubara dengan permeabilitas yang baik.

Tapi dengan kemajuan teknik pengontrolan arah pada pengeboran, arah lubang bor dari permukaan

dapat ditentukan dengan bebas, sehingga pengeboran memanjang dalam suatu lapisan batubara

dapat dilakukan. Seperti ditunjukkan oleh gambar di bawah, produksi gas dapat ditingkatkan

volumenya melalui satu lubang bor dengan menggunakan teknik ini.

Gambar 3. Teknik produksi CBM

(Sumber: sekitan no hon, hal. 113)

Teknik ini juga memungkinkan produksi gas secara ekonomis pada suatu lokasi yang selama ini tidak

dapat diusahakan, terkait permeabilitas lapisan batubaranya yang jelek. Sebagai contoh adalah apa

yang dilakukan di Australia dan beberapa negara lain, dimana produksi gas yang efisien dilakukan

dengan sistem produksi yang mengkombinasikan sumur vertikal dan horizontal, seperti terlihat pada

gambar di bawah.

Gambar 4. Produksi CBM dengan sumur kombinasi

(Sumber: sekitan no hon, hal. 113)

Lebih jauh lagi, telah muncul pula ide berupa sistem produksi multilateral, yakni sistem produksi yang

mengoptimalkan teknik pengontrolan arah bor. Lateral yang dimaksud disini adalah sumur (lubang

bor) yang digali arah horizontal, sedangkan multilateral adalah sumur horizontal yang terbagi-bagi

menjadi banyak cabang.

Pada produksi yang lokasi permukaannya terkendala oleh keterbatasan instalasi fasilitas akibat berada

di pegunungan misalnya, maka biaya produksi memungkinkan untuk ditekan bila menggunakan

metode ini. Secara praktikal, misalnya dengan melakukan integrasi fasilitas permukaan.

Catatan: Teknik pengontrolan arah bor

Teknik pengeboran yang menggunakan down hole motor (pada mekanisme ini, hanya bit yang

terpasang di ujungdown hole motor saja yang berputar, melalui kerja fluida bertekanan yang dikirim

dari permukaan) dan bukan mesin bor rotary (pada mekanisme ini, perputaran bit disebabkan oleh

perputaran batang bor atau rod) yang selama ini lazim digunakan, untuk melakukan pengeboran

sumur horizontal dll dari permukaan. Pada teknik ini, alat yang disebut MWD (Measurement While

Drilling) terpasang di bagian belakang down hole motor, berfungsi untuk memonitor arah lubang bor

dan melakukan koreksi arah sambil terus mengebor.

Gambar 5. Pengontrolan arah bor

(Sumber: sekitan no hon, hal. 113)

ECBM

ECBM (Enhanced Coal Bed Methane Recovery) adalah teknik untuk meningkatkan keterambilan CBM.

Pada teknik ini, gas injeksi yang umum digunakan adalah N dan CO2. Disini, hasil yang diperoleh

sangat berbeda tergantung dari gas injeksi mana yang digunakan. Gambar di bawah ini menunjukkan

produksi CBM dengan menggunakan gas injeksi N dan CO2.

Gambar 6. ECBM dengan N dan CO2

(Sumber: sekitan no hon, hal. 115)

Bila N yang digunakan, hasilnya segera muncul sehingga volume produksi juga meningkat. Akan

tetapi, karena N dapat mencapai sumur produksi dengan cepat, maka volume produksi secara

keseluruhan justru menjadi berkurang.

Ketika N diinjeksikan ke dalam rekahan (cleat), maka kadar N di dalamnya akan meningkat. Dan

karena konsentrasi N di dalam matriks adalah rendah, maka N akan mengalir masuk ke matriks

tersebut. Sebagian N yang masuk ke dalam matriks akan menempel pada pori-pori. Oleh karena

jumlah adsorpsi N lebih sedikit bila dibandingkan dengan gas metana, maka matriks akan berada

dalam kondisi jenuh (saturated) dengan sedikit N saja.

Gambar 7. Tingkat adsorpsi gas

(Sumber: sekitan no hon, hal. 115)

Gambar 8. Substitusi gas injeksi pada matriks batubara

(Sumber: sekitan no hon, hal. 115)

Namun tidak demikian dengan CO2. Gas ini lebih mudah menempel bila dibandingkan dengan gas

metana, sehingga CO2 akan menghalau gas metana yang menempel pada pori-pori. CO2 kemudian

segera saja banyak menempel di tempat tersebut. Dengan demikian, di dalam matriks akan banyak

terdapat CO2 sehingga volume gas itu yang mengalir melalui cleat lebih sedikit bila dibandingkan

dengan N. Akibatnya, CO2 memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai sumur produksi. Selain

itu, karena CO2 lebih banyak mensubstitusi gas metana yang berada di dalam matriks, maka tingkat

keterambilan (recovery) CBM juga meningkat.

http://ekopunyablog.wordpress.com/mengenal-cbm-coal-bed-methane/

PENGERTIAN CBMCBM adalah gas metana (gas alam) yang dihasilkan selama proses pembatubaraan dan terperangkap dalam batubara. CBM dikenal juga sebagai ‘sweet gas’, karena sedikitnya kandungan sulfur (dalam bentuk hidrogen sulfida). Gas metana ini terperangkap dalam batubara itu sendiri dan juga air yang ada didalam ruang pori-porinya. Porositas matriks umumnya mengacu pada ukuran cleat (retakan sepanjang batubara), dan bukan porositas batubara tersebut. Porositas ini umumnya sangat rendah jika dibandingkan cekungan tradisional (kurang dari 3%). Sumur-sumur CBM pada fase awal akan memproduksi air untuk beberapa bulan dan kemudian sejalan dengan penurunan produksi air, produksi gas metana akan meningkat karena suatu proses dewatering dapat menurunkan tekanan pada batubara dan akan melepas gas metana tersebut.

Indonesia merupakan salah satu Negara yang berpotensi untuk pengembangan CBM. Perkiraan cadangan CBM Indonesia sekitar 453.3 TCF tersebar di 11 cekungan (Advanced Resources International.inc). Saat ini ada beberapa perusahaan yang sedang melakukan studi secara komprehensip untuk menghitung dan menganalisa potensi CBM di Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Ombilin, Barito, Tarakan Utara, Kutai, dan Berau.

Gas metana terbentuk di dalam batubara melalui dua proses yaitu thermogenic gas danbiogenic gas sekunder. Dalam hal ini CBM yang paling dicari untuk eksplorasi adalah yang terbentuk secara thermogenic.

Thermogenic gas terbentuk secara alami melalui proses pembatubaraan (coalification process) yang merubah humic organic material menjadi batubara. Gas tersebut termasuk metana, CO2, dan bisa juga etana dan propane. Sedangkan biogenic gas sekunderterbentuk pada masa geologi saat ini melalui mikroorganisme anaerobic yang terbawa dalam system air bawah tanah yang aktif setelah proses pembatubaraan selesai. Baikthermogenic maupun biogenic metana secara fisik diadsorpsi sebagai lapisanmonomolecular pada lapisan permukaan dari pori-pori di dalam matrix batubara. Metana tertahan di dalam oleh tekanan hidrostatik air dalam batubara. Rekahan alami di dalam batubara selain berisi air juga memiliki permeabilitas atau kemampuan untuk mengalirnya fluida. Dalam sumur CBM, air biasanya terproduksi di awal yang menghasilkan penurunan tekanan reservoir. Proses ini dinamakan dewatering phase dalam suatu sumur CBM. Sejalan dengan penurunan tekanan, gas metana secara difusi keluar dari matrix batubara melalui rekahan batubara yang saling terhubung. Batubara ini merupakan reservoir yang sangat unik karena terdapat source rock, reservoir dan juga trap didalamnya.

CBM merupakan sumber bahan bakar yang bersih dan lebih ramah terhadap lingkungan daripada minyak bumi, batubara, dan bahkan bahan gas konvensional lainnya. CBM mempunyai potensi yang tinggi secara ekonomi. Akan tetapi CBM di bawah kedalaman 5000 ft kurang mempunyai potensi ekonomi. Proyek CBM harus mempertimbangkan seperti ketebalan lapisan batubara, kandungan gas, permeabilitas, hydrodynamic, kualitsa gas, kualitas air dan opsi pembuangan air, kedalaman dan teknik penyelesaian (completion). Dengan perancangan yang baik dan evaluasi proyek dengan memprtimbangkan hal-hal tersebut, maka tingkat keberhasilan proyek CBM akan sangat tinggi dan menguntungkan.

Beberapa karakteristik batubara yang cocok untuk CBM adalah sebagai berikut:  Kandungan gas yang tinggi: 15 m3 – 30 m3 per ton  Permeabilitas yang bagus: 30 mD – 50 mD  Dangkal: Coal seams < 1.000 m (3.300 ft). Tekanan pada kedalaman yang lebih dalam, pada umumnya

terlalu tinggi untuk mengalirkan gas bahkan ketika coal seamsnya sudah selesai dewatering. Hal ini terjadi karena tekanan tinggi menyebabkan berkurangnya permeabilitas batubara

  Jenis batubara: Umumnya proyek CBM memproduksi gas dari Bituminous coals, akan tetapi bisa juga gas

yang dihasilkan dari Anthractie.

TEKNOLOGI DAN BAGAIMANA CARA UNTUK MEMPRODUKSI CBMTeknologi CBM telah mengalami banyak perkembangan dalam 2 dekade terakhir, akan tetapi apapun yang telah didapatkan dan dipelajari pada masa eksplorasi, karakteristik dan management reservoir dalam konteks sumber cadangan tetap harus menjadi pertimbangan utama. Lapangan CBM memiliki karakter yang berbeda-beda dan begitu pula pengelolaannya. Teknik pemboran konvensional untuk gas alam umumnya bisa diaplikasikan untuk hampir semua CBM. Sebelum pada tahap komersial, CBM dapat diproduksikan dimana pengetesan sumur dapat dilakukan pada 4 atau 5 sumur  pertama. Pemboran CBM umumnya hampir sama dengan pemboran untuk minyak dan gas. Bahkan dalam beberapa daerah , peralatan pemboran yang dipakai hampir sama dengan pemboran untuk sumur air. Selain itu, dibeberapa tempat pemboran berarah (directional drilling) dan pemboran horizontal diterapkan untuk mengoktimalkan produksi dan juga tergantung daerah atau lapangan CBM-nya.

Pemboran horizontal sekarang ini sedang dirintis untuk pemboran CBM. Pemboran horizontal ini dilakukan dengan cara mengebor beberapa ratus kaki secara vertical kemudian dibelokkan secara horizontal sampai kurang lebih 4000 ft.

Hydraulic fracturing atau lebih dikenal sebagai Fracturing adalah suatu teknik untuk meningkatkan luas area permukaan dari batubara. Sistem fluida dan additive yang bisa digunakan pada sumur-sumur konvensional tidak cocok digunakan untuk sumur-sumur CBM. Hal ini dikarenakan lapisan batubara mempunyai katakteritik yang unik dan oleh karenanya dibutuhkan material yang spesial. Secara umum banyak cara untuk mengembangkan CBM. Teknologi produksi termasuk pengeboran konvensional, pemboran sebelum penambangan dan pemboran horizontal seperti yang dijelaskan sebelumnya. Beberapa keberhasilan dalam mengembangkan CBM telah dicapai ketika suatu pemboran dikoordinasikan dengan pertambangan batubara. Di mana sumur-sumur dibor sampai lapisan batubara (coal bed) atau sedikit di atasnya dimana mungkin gas akan terproduksi pada saat pemboran berlangsung. Batubara kemudian ditambang dan kemungkianan lapisan atasnya akan runtuh yang membuat lubang besar dinamakan “gob” yang mungkin akan berhubungan dengan lapisan batubara di atas lapisan utamanya. Gas yang terakumulasi di gob kemudian dipompa melalui sumur-sumur yang ada.

POTENSI CBM DI INDONESIADi Indonesia telah ditemukan banyak potensi untuk lapangan CBM ini. Dari studi awal diperoleh sekitar 213 TCF CBM gas in place dimana Indonesia memiliki potensi CBM ke-7 di dunia. Studi paling mutakhir sekitar 453.3 TCF potensial CBM yang tersebar di 11 basin coal di Indonesia. Meskipun Indonesia memiliki potensi CBM yang sangat besar, akan tetapi lingkungan atau daerah yang harus dikembangkan hampir semuanya merupakan daerah yang memiliki karakter yang sangat menantang. Terdapat 11 potensi CBM di Indonesia yang telah diidentifikasi, yaitu di Ombilin, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jatibarang, Barito, Kutai, Tarakan, Berau, Pasir, Asam-asam, dan Sulawesi Tenggara, dengan cadangan terbesar di Sumatra Selatan sebesar 183 tcf. Saat ini, sebagai bagian dari upaya eksplorasi, sejak bulan April 2005 telah dilakukan pengeboran satu sumur di Pandopo Rambutan, Prabumulih, Sumatra Selatan oleh Badan Litbang ESDM dan Lemigas. Diharapkan produksi CBM ini dapat dijadikan alternatif untuk pembangkit tenaga listrik, terutama di daerah Sumatra Selatan.