41
METAANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN INSOMNIA Kelompok 23, sub kelompok 3: Rillawanti Yuniar 11310325 Rino Agustian Praja 11310328 Rio Wawan Haryanto 11310330 Riri Oktaviana 11310331 Rischa Nurachman 11310332

METAANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN INSOMNIA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

insomnia

Citation preview

METAANALISA

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN INSOMNIA

Kelompok 23, sub kelompok 3:

Rillawanti Yuniar 11310325

Rino Agustian Praja 11310328

Rio Wawan Haryanto 11310330

Riri Oktaviana 11310331

Rischa Nurachman 11310332

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG LAMPUNG TAHUN 2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena berkat rahmatNya lah kami dapat menuntaskan tugas metaanalisa yang diberikan oleh pihak pengajar serta shalawat dan salam tak lupa kami panjatkan hanya pada baginda Rasulullah Nabi Muhammad SAW. Tak lupa kami sampaikan ucapan banyak terima kasih kepada ibu Asri yang senantiasa membimbing kami dalam proses pembelajaran tugas metaanalisan ini hingga bisa selesai. Dan teman-teman kelompok 23 yang bias selalu diajak berbagi dalm berpikir dan menemukan solusi di dalam kesulitan-kesulitan yang kami hadapi.

Dengan diselesaikannya metaanalisa ini diharapkan bisa memenuhi tugas yang telah diberikan kepada kami dan kami sadar tugas ini mungkin masih banyak kesalahan untuk kami mohon dengan sangat kritik dan saran agar kami bias lebih bagus lagi

Bandar Lampung, 20 Juni 2014

Kelompok 23 CRPDAFTAR ISIKATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1TOPIK PENELITIAN

BAB 2PEMBAHASAN

BAB 3TABEL PENELITIAN

BAB 4DISKUSI

BAB 5KESIMPULAN

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

BAB ITOPIK PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN INSOMNIA

1.1. PendahuluanSetiap manusia membutuhkan tidur, karena tidur merupakan bagian penting dalam hidupmanusia. Tidur juga merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi. Upaya apapun pada seseorang untuk bertahan tidak tidur akan bertahan dalam waktu yang terbatas, dan pada akhirnya ia akan tertidur juga. Tidur bukan hanya respon fisiologis tetapi juga dibutuhkan untuk menjaga fungsi otak agar tetap berfungsi normal.

Melihat pentingnya tidur pada manusia, peneliti akan mengangkat topik mengenai masalah gangguan pemenuhan akan tidur,dan gangguan pemenuhan tidur yang akan dibahas adalah insomnia.

Insomnia merupakan fenomena yang dapat terjadi pada siapa saja. Waktu tidur malam (pada orang dewasa) yang seharusnya 7 jam, menjadi tidak dapat terpenuhi karena adanya insomnia. Prevalensi orang yang mengalami insomnia meningkat seiring bertambahnya usia.

Insomnia didefinisikan sebagai kesulitan untuk jatuh tidur, atau mempertahankan tidur, atau bangun lebih dini. Faktor psikologis juga memegang kecenderungan utama dalam insomnia, insomnia disebabkan oleh ketegangan pikiran seseorang yang kemudian mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) sehingga kondisi fisik senantiasa terjaga.

Penelitian ini dilakukan untuk meneliti faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi insomnia. Selain itu penelitian mengenai permasalahan tidur ini masih sedikit yang mengangkatnya pada penelitian di Indonesia.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai penejelasan insomnia dan faktor-faktor yang mempengaruhi insomnia akan dijelaskan pada bab selanjutnya.BAB IILANDASAN TEORI2.1. Fisiologi Tidur

Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai irama sirkadian.

Tidur tidak dapat diartikan sebagai manifestasi proses deaktivasi sistem Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-neuron di substansia retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi. 1Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai pusat tidur (sleep center). Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral batang otak disebut sebagai pusat penggugah (arousal center).

Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu: 11. Tipe Rapid Eye Movement (REM)

2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)

Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.

Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam empat stadium, antara lain: 1 Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium ini dianggap stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran kumparan tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7 siklus perdetik, yang disebut gelombang teta.

Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu tidur. EEG menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle shaped) yang sering dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan trifasik yang dikenal sebagai kompleks K. Pada stadium ini, orang dapat dibangunkan dengan mudah.

Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG menggambarkan gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga 2,5 siklus perdetik, yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.

Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran EEG hampir sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam, atau delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS)

Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagi-bagi dalam stadium seperti dalm tidur NREM.

Pola siklus tidur dan bangun adalah bangun sepanjang hari saat cahaya terang dan tidur sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya perubahan gelap dan terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk melalui mata dan mempengaruhi suatu bagian di hipotalamus yang disebut nucleus supra chiasmatic (NSC). NSC akan mengeluarkan neurotransmiter yang mempengaruhi pengeluaran berbagai hormon pengatur temperatur badan, kortisol, growth hormone, dan lain-lain yang memegang peranan untuk bangun tidur. NSC bekerja seperti jam, meregulasi segala kegiatan bangun tidur. Jika pagi hari cahaya terang masuk, NSC segera mengeluarkan hormon yang menstimulasi peningkatan temperatur badan, kortisol dan GH sehingga orang terbangun. Jila malam tiba, NSC merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga orang mengantuk dan tidur. Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh glandula pineal. Saat hari mulai gelap, melatonin dikeluarkan dalam darah dan akan mempengaruhi terjadinya relaksasi serta penurunan temperatur badan dan kortisol. Kadar melatonin dalam darah mulai meningkat pada jam 9 malam, terus meningkat sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi. 2Perubahan tidur akibat proses menua

Orang usia lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur ( berbaring lama di tempat tidur sebelum tidur) dan mempunyai lebih sedikit/lebih pendek waktu tidur nyenyaknya.

Pada penelitian di laboratorium tidur, orang usia lanjut mengalami waktu tidur yang dalam lebih pendek, sedangkan tidur stadium 1 dan 2 lebih lama. Hasil uji dengan alat polysomnographic didapatkan penurunan yang bermakna dalam slow wave sleep dan rapid eye movement (REM). Orang usia lanjut juga lebih sering terbangun di tengah malam akibat perubahan fisik karena usia dan penyakit yang dideritanya sehingga kualitas tidur secara nyata menurun. 2

Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur normal yaitu menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang. Dalam irama sirkadian yang normal terdapat peranan pengeluaran hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus 24 jam. Ekskresi kortisol dan GH meningkat pada siang hari dan temperatur badan menurun di waktu malam. Pada usia lanjut, ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan kurang menonjol. Melatonin menurun dengan meningkatnya umur.

Penelitian lain menunjukkan kualitas tidur usia lanjut yang sehat, juga tergantung pada bagaimana aktivitasnya pada siang hari. Bila siang hari sibuk dan aktif sepanjang hari, pada malam hari tidak ada gangguan dalam tidurnya, sebaliknya bila siang hari tidak ada kegiatan dan cenderung tidak aktif, malamnya akan sulit tidur. 2

Hypnograms memerlihatkan perbedaan karakter tidur pada orang muda dan orang tua. Dibandingkan dengan orang muda, Orang tua cenderung memiliki onset tidur yang lama, tidur yang terfragmentasi, bangun terlalu dini di pagi hari dan menurunnya tidur tahap 3 dan 4.2.2 Definisi Insomnia

Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam fungsi individu. The International Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup. 2.3 Klasifikasi Insomnia

Insomnia Primer

Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau susah tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia. Pola tidur, kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali menjadi penyebab dari jenis insomnia primer ini.

Insomnia Sekunder

Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1 dari 10 orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia sekunder juga dapat disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk suatu penyakit tertentu, penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang menderita insomnia.

Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu International code of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV dan International Classification of Sleep Disorders (ISD).Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu:

Organik

Non organik

Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)

Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpu buruk, berjalan sambil tidur, dll)

Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia disini adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.

Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:

1. Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain

2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum

3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu

4. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini menetap dan diderita minimal 1 bulan.

Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang direvisi, insomnia diklasifikasikan menjadi:

a. Acute insomnia

b. Psychophysiologic insomnia

c. Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)

d. Idiopathic insomnia

e. Insomnia due to mental disorder

f. Inadequate sleep hygiene

g. Behavioral insomnia of childhood

h. Insomnia due to drug or substance

i. Insomnia due to medical condition

j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition, unspecified (nonorganic)

k. Physiologic insomnia, unspecified (organic)

2.4. Etiologi Insomnia Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia. Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi. Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti Ritalin) dan kortikosteroid. Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam. Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer. Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh atau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh. 'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan tentang tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh tertidur. Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau membaca.2.5 Faktor Resiko Insomnia

Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko insomnia meningkat jika terjadi pada: 1 Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering mengganggu tidur. Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia meningkat sejalan dengan usia. Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi, kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu tidur. Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan risiko terjadinya insomnia.

Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari sering meningkatkan resiko insomnia.2.6 Tanda dan Gejala Insomnia

Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari Sering terbangun pada malam hari Bangun tidur terlalu awal Kelelahan atau mengantuk pada siang hari Iritabilitas, depresi atau kecemasan Konsentrasi dan perhatian berkurang Peningkatan kesalahan dan kecelakaan Ketegangan dan sakit kepala Gejala gastrointestinal2.7 Diagnosis

Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap: 1 Pola tidur penderita.

Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.

Tingkatan stres psikis.

Riwayat medis.

Aktivitas fisik

Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.

Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan pola tidur dan tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan pengisian kuisioner, untuk mencapai tujuan yang sama Anda bisa mencatat waktu tidur Anda selama 2 minggu.

Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu permasalahan yang bisa menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah juga dilakukan untuk menemukan masalah pada tyroid atau pada hal lain yang bisa menyebabkan insomnia.

Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan dan pencatatan selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi, gerakan mata, dan gerakan tubuh. 2Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ 3 Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang buruk

b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan

c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari

d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan

Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan.

Kriteria lama tidur (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria di atas (seperti pada transient insomnia) tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian (F43.2)2.8 Tatalaksana 11. Non Farmakoterapi

a. Terapi Tingkah Laku Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita insomnia.Terapi tingkah laku meliputi

Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.

Teknik Relaksasi.

Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback, dan latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat membantu Anda mengontrol pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.

Terapi kognitif.

Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap muka atau dalam grup.

Restriksi Tidur.

Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.

Kontrol stimulus

Terapi ini dimaksudkan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas.

Instruksi dalam terapi stimulus-kontrol:

1. Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur, tidak untuk membaca, menonton televisi, makan atau bekerja.

2. Pergi ke tempat tidur hanya bila sudah mengantuk. Bila dalam waktu 20 menit di tempat tidur seseorang tidak juga bisa tidur, tinggalkan tempat tidur dan pergi ke ruangan lain dan melakukan hal-hal yang membuat santai. Hindari menonton televisi. Bila sudah merasa mengantuk kembali ke tempat tidur, namun bila alam 20 menit di tempat tidur tidak juga dapat tidur, kembali lakukan hal yang membuat santai, dapat berulang dilakukan sampat seseorang dapat tidur.

3. Bangun di pagi hari pada jam yang sama tanpa mengindahkan berapa lama tidur pada malam sebelumnya. Hal ini dapat memperbaiki jadwal tidur-bangun (kontrol waktu).

4. Tidur siang harus dihindari.

b. Gaya hidup dan pengobatan di rumahBeberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :

Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.

Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa. Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur. Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan pernapasan atau beribadah Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan tidur pada malam hari. Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti menghindari kebisingan Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit setiap hari sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur. Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin Menghindari makan besar sebelum tidur Cek kesehatan secara rutin Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik2. Farmakologi

Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu benzodiazepine dan non-benzodiazepine. 1a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)

b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)

Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur : 4 Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Sleep inducing anti-insomnia yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting)

Misalnya pada gangguan anxietas

Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke proses tidur selanjutnya)

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Prolong latent phase Anti-Insomnia, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik)

Misalnya pada gangguan depresi

Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Sleep Maintining Anti-Insomnia, yaitu golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting).

Misalnya pada gangguan stres psikososial.

Pengaturan Dosis

Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.

Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off (untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)

Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi

Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut

Lama Pemberian

Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan Sleep EEG yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.

Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena Psychological Dependence (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi.

Efek Samping

Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur

Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia (waktu paruh) :

Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam) ( gejala rebound lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik

Waktu paruh sedang, seperti Estazolam ( gejala rebound lebih ringan

Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam ( menimbulkan gejala hang over pada pagi harinya dan juga intensifying daytime sleepiness

Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat terjadi disinhibiting effect yang menyebabkan rage reaction

Interaksi obat

Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan oversedation and respiratory failure

Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal enzyme atau produce protein binding displacement sehingga jarang menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.

Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau CNS Depressant lain, resiko kematian akan meningkat.

Perhatian Khusus

Kontraindikasi :

Sleep apneu syndrome

Congestive Heart Failure

Chronic Respiratory Disease

Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko menimbulkan teratogenic effect (e.g.cleft-palate abnormalities) khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP)

2.9 Komplikasi

Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur. Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.

Komplikasi insomnia meliputi 5 Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.

Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan reaksi kecelakaan.

Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi

Kelebihan berat badan atau kegemukan

Daya tahan tubuh yang rendah

Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

2.10 Prognosis

Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada gangguan lain seperti depresi dan lain-lain. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia. 1BAB III

Metodologi PenelitianDari 10 jurnal yang kami teliti didapatkan diantaranya terdapat jurnal dengan jenis penelitian Analitik 4 jurnal, Eksperimental 2 jurnal, Deskripsi 3 jurnal, Komparatif 2 jurnal. Dengan judul jurnal yang kami bahas (1) Faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan prevalensi kurang tidurkronis pada mahasiswa di daerah istimewa Yogyakarta. Jenis: penelitian kuantitatif noneksperimental bersifat deskriptif analitik cross sectional survey. Variabel dependen: insomnia, variable independen: faktor-faktor yang berkaitan. (2) Hubungan Shift Kerja dengan Gangguan Pola Tidur pada Perawat Instalasi Rawat Inap di RSUD Abdoel Moeloek Bandar Lampung 2013. Jenis: Analitik Observasional, Desain: Cross-sectional. Variabel Dependen: Gangguan Pola Tidur pada Perawat Instalasi Rawat Inap di RSUD Abdoel Moeloek Bandar Lampung 2013, Variabel Independen: Hubungan Shift Kerja. (3) Stresor kerja dan insomnia pada petugas pemadam kebakaran di jakarta selatan. Jenes peelitian: Deskriptif kategorik-kategorik cross sectional. Variabel Dependen: Stressor. Variabel Independen: insomnia. (4) Hubungan kejadian premenstrual syndrome (PMS) dengan kejadian insomnia pada mahasiswi fakultas kedokteran unlam Banjarmasin. Jenis: observasional analitik, Desan penelitian: cross-sectional. Variabel dependen: kejadian insomnia Variabel independen: Kejadian premenstrual syndrome (PMS). (5) Hubungan faktor resiko depresi dengan terjadinya insomnia primer. Jenis penelitian: analitik. Desain: case control. Variabel Dependen: insomnia primer. Variabel Independen : faktor resiko depresi. (6) Pengaruh faktor faktor psikososial dan insomnia terhadap depresi pada lansia di kota yogyakarta. Jenis penelitian: Cross sectional Design : potong lintang. Variabel Dependen : faktor faktor psikososial dan insomnia, Variabel Independen : depresi. (7) Penerimaan masa lalu terhadap insomnia pada lansia Winda Ayu Bestari. Jenis penelitian: Kuantitatif korelational, statistik. Variabel Dependen : masa lalu Variabel Independen : insomnia. (8) Diagnosis and management of geriatric insomnia: a guide for nursepractitioners. Jenis penelitian: deskriptif. Variabel: Diagnosis and management. (9) Pengaruh Senam Lansia Terhadap Penurunan Skala Insomnia Pada Lansia Di Panti Wredha Dewanata Cilacap. Jenis Penelitian: Quasi Eksperimental (eksperimental semu), Desain : pretest-posttest without control group. Variabel Dependen: Penurunan Skala Insomnia, Variabel Independen: Pengaruh Senam Lansia. (10) Pengaruh aromaterapi terhadap insomnia pada lansia di pstw unit budi luhur kasongan bantul Yogyakarta. Jenis: eksperimen, Desain: penelitian Quasi Eksperimen (penelitian eksperimen semu). Variable dependen: insomnia pada lansia, variable independen: Pengaruh aroma terapi.

Bab IVHASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari jurnal yang berjudul Faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan prevalensi kurang tidur kronis pada mahasiswa di daerah istimewa yogyakarta, dari 104 responden terdapat 47 orang (45,19%) yang didiagnosis menderita kurang tidur kronis. Prevalensi kurang tidur kronis pada mahasiswa laki-laki lebih tinggi daripada mahasiswa perempuan, namun setelah dianalisis secara statistik dengan uji Chi Square hal tersebut tidak signifikan (CI: 95%, p>0,05). Begitu pula dengan prevalensi kurang tidur antara mahasiswa medis dan non medis yang juga ditemukan tidak berhubungan. Prevalensi kurang tidur pada kelompok mahasiswa yang jenjang strata program studinya D III juga ditemukan tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik (CI: 95%, p>0,05). pada jurnal yang berjudul Stresor kerja dan insomnia pada petugas pemadam kebakaran di jakarta selatan , menemukan prevalensi insomnia pada petugas pemadam kebakaran cukup tinggi yaitu sebesar 42,9%. Faktor-faktor yang ditemukan berhubungan dengan terjadinya insomnia adalah beban kerja berlebih baik kualitatif maupun kuantitatif dan lokasi tempat tinggal dekat dengan sumber bising. . Hal ini dapat menyebabkan stresor kerja yang kemudian berpengaruh dengan kejadian insomnia, namun didapatkan hasil yang berbeda mengenai stressor pekerjaan lain yang berpengaruh terhadap insomnia dimana pada jurnal yang berjudul Hubungan Shift Kerja dengan Gangguan Pola Tidur pada Perawat Instalasi Rawat Inap di RSUD Abdoel Moeloek Bandar Lampung 2013 didapatkan hasil penelitian Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara shift kerja dan gangguan pola tidur dengan nilai p value=0,434 dengan uji fisher. Hasil penelitian data perawat yang bekerja shift 85%, dan yang non shift 15%. Shift kerja yang paling banyak menyebabkan gangguan pola tidur pada pekerja adalah shift malam (75,8%), kemudian shift pagi (7,2%). Perawat shift yang mengalami gangguan pola tidur (84,3%) dan non shift 15,6%. Perawat yang tidak mengalam gangguan pola tidur yang shift 91,7%, dan non shift.

Pengaruh faktor-faktor psikososial dan insomnia terhadap depresi pada lansia, terdapat perbedaan yang sangat bermakna antara insomnia dengan depresi semakin tinggi insomnia semakin besar kemungkinan mengalami depresi. Pernyataan ini didukung oleh jurnal lain yang berjudul Hubungan faktor resiko depresi dengan terjadinya insomnia primer dengan hasil, dari 8 sampel kelompok orang yang diidentifikasi ada faktor resiko depresi didapatkan hasil rata rata mengalami insomnia. Dan gejala lainnya seperti gelisah, menyendiri, sering melamun. Kualitas tidur menjadi menurun yang normalnya tidur 8 jam menjadi kurang dari 3 jam dalam sehari.

Penerimaan masa lalu terhadap insomnia pada lansia juga dapat dihubungkan dengan faktor depresi. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh dari penerimaan masa lalu terhadap insomnia pada lansia di kecamatan Krayan kabupaten Nunukan. Dimana pengaruh yang dari penerimaan masalalu terhadap insomnia pada lansia yang ditemukan dalam penelitian ini adalah bersifat negatif. Semakin tinggi penerimaan masa lalu, maka insomnia semakinrendah. Sebaliknya, semakin rendah penerimaan masa lalu, maka insomnia semakin tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebesar 39,4% pengaruh dari penerimaan masa lalu terhadap insomnia pada lansia. Sedangkan 60,6% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.Hubungan kejadian premenstrual syndrome (PMS) dengan kejadian insomnia pada mahasiswi fakultas kedokteran unlam banjarmasin didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian PMS dengan kejadian insomnia. Nilai OR sebesar 2,38 dapat juga diinterprestasikan dengan menggunakan rumus, p = OR/(1+OR), sehingga didapatkan 70,4 %. Nilai ini menandakan bahwa kemungkinan penderita PMS untuk mengalami insomnia sebesar 70,4% dibandingkan mereka yang tidak menderita PMS.

Insomnia masih merupakan keluhan yang sering muncul pada lansia, pada jurnal deskriptif yang berjudul Panduan untuk praktisi perawat mengenai Diagnosis dan manajemen insomnia pada geriatri , keluhan insomnia antara orang dewasa yang lebih tua sering di abaikan, dianggap sebagai bagian dari proses penuaan normal atau dilihat sebagai sulit untuk mengobati kondisi. Insomnia geriatri tetap menjadi tantangan bagi penyedia layana kesehatan primer karena kurangnya pedoman klinis berbasis bukti dan pilihan pengobatan terbatas. Manajemen yang efektif dari kondisi ini diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup, yang merupakan masalah utama bagi orang tua dan keluarga mereka. Oleh karena itu waran insomnia geriatri perhatian menyeluruh dari praktisi perawat yang menyediakan perawatan untuk orang dewasa yang lebih tua.

Dari hasil jurnal yg berjudul Pengaruh Senam Lansia Terhadap Penurunan Skala Insomnia Pada Lansia Di Panti Wredha Dewanata Cilacap mendapatkan hasil lansia yang mengalami insomnia sebagian besar berada pada kelompok umur 60-74 tahun(elderly), yaitu 9 responden (56,25%) insomnia ringan, 5 responden (31,25%) insomnia sedang, 2 responden (12,5%) insomnia berat. Derajat insomnia responden setelah diberi perlakuan senam yaitu 11 responden (68,75%) tidak mengalami gangguan insomnia, 3 responden (18,75%) dengan derajat insomnia ringan, 2 responden (12,5%) dengan derajat insomnia sedang. Nilai signifikasi (p) value dari hasil uji statistik yaitu 0.00 lebih kecil dari nilai alpha dengan t hitung 8.1705 lebih kecil dari t table dengan demikian hipotesis diterima. Sedangkan pada jurnal mengenai Pengaruh Aromaterapi terhadap Lansia, responden kelompok perlakuan saat dilakukan pre-test diketahui responden dengan derajat insomnia berat paling dominan yaitu sebanyak 7 orang (46,7%), insomnia derajat sedang 6 orang (40,0%), insomnia derajat ringan 2 orang (13,3%), sedangkan pada kelompok kontrol setelah silakukan pre-test didapatkan responden dengan insomnia insomnia derajat berat yaitu sebanyak 7 orang (46,7%), insomnia derajat sedang 5 orang (33,3%), insomnia derajat ringan 3 orang (20,0%). Dan penelitian ini mendapatkan hasil dan kesimpulan bahwa terapi ini tidak memberikan efek menurunkan derajat insomnia seluruhnya, dari hasil uji Independen sampel t Test dengan nilai t -2,024 dengan nilai probabilitas sig. (2-tailed) 0,053. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara derajat insomnia post-test pada kelompok kontrol.BAB VDISKUSIPrevalensi kurang tidur pada mahasiswa laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Namun setelah dianalisis secara statistik dengan uji Chi Square hal tersebut tidak signifikan. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan prevalensi kurang tidur kronis pada murid SMA dan Mahasiswa tetapi hal tersebut tidak signifikan. Prevalensi kurang tidur pada kelompok mahasiswa yang kuliah dibidang medis lebih tinggi dari pada yang nonmedis tetapi hal tersebut tidak bermakna secara setatistik. Prevalensi kurang tidur pada kelompok mahasiswa yang jenjang strata program studinya D III lebih tinggi daripada yang S1 namun tidak bermakna secara setatistik. Penelitian ini belum menggali faktor-faktor penyebab yang mungkin. Untuk itu perlu dilakukan penelitian yang lebih terperinci untuk mengetahui hal tersebut.

Diberikan 2 kelompok: kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kelompok perlakuan di beri pre-test: responden insomnia derajat berat 7 orang (46,7%), insomnia derajat sedang 6 orang(40,0%), insomnia derajat ringan 2 orang (13,3%).kelompok kontrol setelah dilakukan pre-test didapatkan responden dengan insomnia derajat berat yaitu sebanyak 7 orang (46,7%), insomnia derajat sedang 5 orang (33,3%), insomnia derajat ringan 3 orang (20,0%). Kelompok perlakuan diberi aroma terapi lavender. Tapi hasil dari penelitian dengan menggunakan metode t-test ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan antara responden yang diberikan perlakuan dan responden yang sebagai kontrol

Semakin tinggi usia, kualitas tidur semakin berkurang dan terjadi insomnia. Insomnia membuat otot menjadi tegang, sehingga sulit untuk menimbulkan rasa kantuk. Shift kerja memberikan efek fisiologis berkurangnya waktu tidur, kualitas fisik yang menurun, menurunya nafsu makan dan gangguan pencernaan. Penelusuran kepustakaan tidak menemukan prevalensi insomnia pada populasi petugas pemadam kebakaran. Walaupun demikian, prevalensi insomnia pada penelitian ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan beberapa pekerjaan lain seperti polisi Amerika Serikat (6,5%),12 pengemudi bis di Finlandia (18,9%),13 dan populasi pekerja pada umumnya di Korea (32,9%).7 Namun penelitian terhadap pegawai negeri sipil di Jepang menemukan prevalensi insomnia yang lebihtinggi yaitu sebesar 54,6%.Pada penelitian ini didapatkan juga 17 orang penderita PMS yang tidak mengalami insomnia pada penderita PMS. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya faktor risiko penyebab insomnia yang tidak dikendalikan antara lain, kecemasan (anxietas) dan depresi. Menurut Buysse (2004) keterkaitan depresi dengan insomnia diduga berhubungan dengan adanya penurunan kadar serotonin pada penderita depresi. Serotonin berperan penting dalam pengontrolan onset dan pemeliharaan tidur seseorang. Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil penelitian Inam et al yang menunjukkan persentase gejala depresi pada mahasiswa dengan masa studi satu tahun (59,3%), dua tahun (65,6%), tiga tahun (34,4%), dan empat tahun (37,2%) (18,19). Kecemasan juga berpengaruh terhadap timbulnya insomnia.

Terjadinya gejala insomnia terisolasi untuk kedua penelitian yang digunakan diagnosa formal (DSM-III, jangka waktu lebih dari 2 minggu pada suatu titik waktu tertentu adalah masing DSM-III-R).bagaimanapun, tidak dapat sepenuhnya mengecualikan bahwa insomnia dan depresi tidak ada pada awal memiliki insomnia peluang pada awal hanya sebuah prodrome awal rasio untuk depresi pada tiga tahun tindak lanjut berikutnya depresi. Dua penelitian yang disebutkan di atas 3,95 yang secara statistic signifikan. Menyebabkan gangguan psikososial yang memberikan efek bagi pekerja yang kurang mendapatkan waktu dengan keluarga, teman, kelompok sosial. Yang umumnya dia mengalami gangguan tidur, dimana penderita tidak dapat tidur dan bangun pada waktu yang dikehendaki. Semakin tinggi penerimaan masa lalu, maka insomnia semakin rendah. Sebaliknya penerimaan masalalu yang rendah cenderung memiliki tingkat insomnia yang tinggi. Hal ini disebabkan karena lansia tidak mau menerima masalalunya sehingga lansia melakukan proses berpikir pada malam dan siang hari. Pada penelitian ini secara statistik didapatkan perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin terhadap depresi. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian widiatmoko dan arianti yang melakukan penelitian depresi lansia di poliklinik geriatri RS Dr. Sardjito dan menemukan tidak adanya perbedaan bermakna antara jenis kelamin terhadap depresi.

Insomnia dapat ditegakkan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : susah tidur, faktor kejiwaan, faktor psikosial, efek obat.

Luce dan Segal (1970) yang mengatakan bahwa keluhan terhadap gangguan tidur akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia karena faktor usia merupakan faktor yang terpenting yang berpengaruh terhadap kualitas tidur, efisiensi tidur semakin berkurang. Gangguan insomnia bisa terjadi karena adanya ketegangan otot, ketika seseorang mengalami stres maka beberapa otot akan mengalami ketegangan. Aktifnya saraf simpatis tersebut membuat orang tidak dapat relaks sehingga tidak dapat memunculkan rasa kantuk. Dengan mengikuti kegiatan senam seminggu 3 kali, responden merasa tidurnya menjadi lebih nyenyak dari biasanya dan mudah dalam mengawali tidur. Hal ini dikarenakan dengan melakukan senam lansia otot-otot yang tadinya tegang menjadi relaks dan sebagaimana disebutkan penyebab insomnia salah satunya karena efek dari saraf simpatis yang menyebabkan tegangnya otot-otot sehingga kualitas tidur menjadi terganggu maka penelitian tentang Pengaruh Senam Lansia Terhadap Penurunan Skala Insomnia Pada Lansia Di Panti Wredha Dewanata Cilacap menunjukan adanya hubungan antara senam lansia dengan penurunan insomnia pada lansia

KESIMPULAN

Penelitian menunjukan bahwa faktor yang bisa menyebabkan insomnia diantaranya usia, stressor ( pekerjaan, pendidikan, masalah pribadi ), kecemasan, depresi, dan diantara faktor-faktor yang disebutkan tadi yang paling sering menyebabkan terjadinya insomnia adalah stress baik itu dalam hal pekerjaan, pendidikan, ataupun lingkungan sekitar.

Adapun terkait pengobatan insomnia yang dibahas dalam studi ini, tidak ditemukan adanya penanganan yang dapat menurunkan insomnia, baik dari senam lansia maupun pemberian aromaterapi.

Penderita insomnia hendaknya tetap tenang dan santai beberapa jam sebelum waktu tidur tiba, dan menciptakan suasana yang nyaman di kamar tidur; cahaya yang redup, dan tidak berisik. Jika penyebabnya adalah stres emosional, diberikan obat untuk mengurangi stres. Jika penyebabnya adalah depresi, diberikan obat antidepresi. Jika gangguan tidur berhubungan dengan aktivitas normal penderita dan penderita merasa sehat, bisa diberikan obat tidur untuk sementara waktu.DAFTAR PUSTAKAAmschler DH, McKenzie JF, Elementary Students Sleep Habits and Teacher

Observations of Sleep-Related Problems, J Sch Health. 2005; 75

Alawiyyah,T. 2009. Gambaran Pola Tidur Pada Perawat di Rumah Sakit Syarif Hidayatullah Jakarta 2009 (Skripsi). Fakultas Kedokteran dan Kesehatan

UIN Syarif Hidayatullah: Jakarta.

Astrawan M, Tidur Jadi Lebih Berkualitas, dikutip 18/5/2007 dari

http://www.medicastore.com,Carskadon MA, Patterns of Sleep and Sleepiness in Adolescents,

Paediatrician. 1990; 17Chen W, Shen YD, Chen R, Ding GX, Investigation on Sleep Status of

College and High School Students, Zhonghua Yu Fang Yi Xue Za Zhi,

2005; 39Ellis J, Fox P, Promoting Mental Health in Students; is there a role for sleep?,

J R Soc Health. 2004; 124Feng GS, Chen JW, Yang XZ, Study on The Status and Quality of SleepRelated

Influencing Factors in Medical College Students, Zhonghua Liu

Insomnia.(http://www.mayoclinic.com/health/insomnia/DS00187/DSECTION=alternative-medicine Diakses tanggal 25 Oktober 2013)Japardi, 2002. Gangguan tidur.Usu digital library. Tufts U.19 Maret 2011./

12345678/19481/bedah iskandar %20japardi2.pdfKaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed: Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher Kodrat, K.Y. 2009. Pengaruh Shift Kerja Terhadap Terjadinya Kelelahan pada

Pekerja Pabrik Kelapa Sawit PT x Labuhan Batu, ( Tesis). Universitas

Sumatra Utara: Medan. Kozier. 2004. Pundamental of nursing: Concepts, Process and Practice. New

Yersey. Person Prectice hall. Kroemer, K.H.E., E. Grandjean. 2005. Fitting the task to the human : a Textbook of

Occupational Ergonomics. Fifth edition. Taylor & Francis Publisher. Hal

259-271. Kuswadji, S.1997. Pengaturan Tidur Pekerja Shift, Cermin Dunia Kedokteran, No.

116/1997, 52-48.Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGCMaslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.